fasilitasi perkawinan beda agama oleh lembaga sosial...

142
FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH LEMBAGA SOSIAL (Study Kasus Terhadap Percik Salatiga ) SKRIPSI Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S. Sy) Oleh: AZZA FAIQ HAMAM NIM 21108023 JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2013

Upload: others

Post on 21-Oct-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH

    LEMBAGA SOSIAL

    (Study Kasus Terhadap Percik Salatiga )

    SKRIPSI

    Disusun untuk Memperoleh Gelar

    Sarjana Syari’ah (S. Sy)

    Oleh:

    AZZA FAIQ HAMAM

    NIM 21108023

    JURUSAN SYARI’AH

    PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH

    SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

    SALATIGA

    2013

  • KEMENTERIAN AGAMA RI

    SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

    Jl. Tentara Pelajar 02 Telp (0298) 323706 Fax 323433 Kode Pos 50721 Salatiga

    http//www.stainsalatiga.ac.id e-mail: [email protected] Ilyya Muhsin, S.HI, M.Si Dosen STAIN Salatiga PERSETUJUAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

    Saudara Azza Faiq Hamam Kepada Yth, Ketua STAIN Salatiga di Salatiga

    Assalamu’alaikum Wr.Wb

    Setelah Kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini Kami kirimkan naskah skripsi saudara: Nama : Azza Faiq Hamam NIM : 21108023 Jurusan : Syari’ah Program studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah Judul : Fasilitasi Perkawinan Beda Agama Oleh Lembaga

    Sosial (Study Kasus Terhadap Percik Salatiga )

    Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut di atas supaya segera dimunaqosyahkan. Demikian agar menjadi perhatian. Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

    Salatiga, 19 Februari 2013 Pembimbing, Ilyya Muhsin, S.HI, M.Si NIP. 197909302003121001

  • SKRIPSI

    FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH

    LEMBAGA SOSIAL

    (Studi Kasus Terhadap Percik Salatiga)

    DISUSUN OLEH

    AZZA FAIQ HAMAM

    NIM: 21108023

    Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)

    Salatiga, pada tanggal 6 Maret 2013 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 Syari’ah

    Susunan Panitia Penguji

    Ketua Penguji : Drs. Miftahudin, M.Ag

    Sekretaris Penguji : Muna Erawati, M.Si

    Penguji I : Drs. Mubadirun, M.Ag

    Penguji II : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag

    Penguji III : Ilyya Muhsin, S.H.I, M.Si,

    Salatiga, 6 Maret 2013 Ketua STAIN Salatiga

    Dr. Imam Sutomo, M.Ag NIP.1958082719830310002

  • PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

    Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

    Nama : Azza Faiq Hamam

    NIM : 21108023

    Jurusan : Syari’ah

    Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah

    Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya

    saya sendiri bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan

    orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode

    etik ilmiah.

    Salatiga, Februari 2013

    Yang Menyatakan,

    Azza Faiq Hamam

    21108023

  • MOTTO DAN PERSEMBAHAN

    MOTTO

    " Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling

    banyak manfaatnya bagi orang lain " ( HR. Bukhari ).

    Persembahan

    Untuk Bapak dan ibuku Untuk Saudara-Saudaraku

    Untuk temen-teman terbaikku,

  • ABSTRAK

    Faiq Hamam, Azza. 2013. Fasilitasi Perkawinan Beda Agama Oleh Lembaga Sosial (Studi Kasus Terhadap Percik Salatiga). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.

    Kata kunci: Fasilitasi, Perkawinan, beda agama, dan Percik.

    Perdebatan hukum tentang perkawinan beda agama sudah berlangsung sejak lama sehingga menimbulkan pemikiran yang baru tentang keabsahan suatu perkawinan. Melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa keabsahan suatu perkawinan tergantung pada agama. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 40 dan 41 telah melarang adanya perkawinan beda Agama namun jika perkawinan tersebut tetap dilakukan maka perkawinan itu akan menjadi rusak / batal (fasad) sesuai dengan pasal 75.

    Adanya peraturan yang tegas tentang perkawinan beda agama ternyata belum mampu membendung pelaku-pelaku perkawinan beda agama. Persoalan-persoalan tersebut membuat peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang perkawinan dan ternyata ada sebuah lembaga sosial yang bisa memfasilitasi adanya perkawinan beda agama, lembaga tersebut bernama Percik (Persemaian Cinta Kemanusiaan). Pertanyaan yang ingin dijawab adalah (1) Mengapa Lembaga Percik memfasilitasi perkawinan beda agama ? (2) Bagaimana proses perkawinan beda agama yang difasilitasi oleh Lembaga Percik Salatiga? (3) Bagaimana pandangan tokoh agama terhadap perkawinan beda agama?

    Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research). Peneltian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan teknik melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif yaitu data yang terkumpul diuraikan secara logis dan sistematis selanjutnya ditarik kesimpulan.

    Hasil penelitian ini adalah Fasilitasi yang dilakukan oleh Percik terhadap pasangan beda agama diasumsikan sebagai pintu darurat yang berusaha memberikan tempat / ruang (mempermudah) untuk melakukan perkawinan beda agama. Fasilitasi yang dilakukan Percik yaitu dengan cara menghubungkan dan menjadi mediator dengan para tokoh agama, lembaga dan instansi pemerintah terkait, yang diperlukan untuk memperoleh pendampingan dalam pelaksanaan perkawinan beda agama. Pandangan Tokoh Agama terhadap perkawinan beda agama pun berbeda, ada yang melihat dalam perkawinan beda agama hal itu boleh saja karena untuk menghormati has asasi manusia namun ada juga tokoh agama yang berpendapat lain bahwa perkawinan beda agama itu tidak ideal karena dalam perkawinan beda agama kebanyakan memiliki banyak persoalan dalam perjalanan hidupnya.

  • DAFTAR ISI

    BAB I PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah................................................. 1

    B. Fokus Penelitian........................................................... 5

    C. Tujuan Penelitian.......................................................... 5

    D. Kegunaan Penelitian...................................................... 5

    E. Penegasan Istilah........................................................... 7

    F. Telaah Pustaka.............................................................. 8

    G. Metode Penelitian.......................................................... 11

    H. Sistematika Penulisan..................................................... 15

    BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM BERBAGAI

    PERSEPEKTIF

    A. Perkawinan

    1. Pengertian

    a. Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan

    Nomor 1 tahun 1974........................................... 17

    b. Perkawinan menurut KHI..................................... 18

    c. Perkawinan menurut Fikih.................................... 18

    2. Rukun dan Syarat Perkawinan

    a. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut UU

    Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan........... 19

    b. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut KHI........ 22

    c. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut Fikih....... 24

    3. Tujuan dan Hikmah Perkawinan

    a. Tujuan Perkawinan.............................................. 26

    b. Hikmah Pernikahan.............................................. 27

    B. Nikah Beda Agama Menurut UUP................................... 28

    C. Nikah Beda Agama Menurut KHI.................................... 29

    D. Nikah Beda Agama Menurut Fikih................................... 29

    1. Perkawinan Orang Islam Dengan Bukan Islam

    a. Kaum musrikin dengan ahli kitab......................... 29

  • b. Non-Muslim Memeluk Islam.............................. 34

    c. Wanita islam dengan laki-laki bukan islam............ 34

    E. Nikah Beda Agama Dalam Pandangan HAM........................ 34

    BAB III PROFIL PERCIK DAN PELAKU PERKAWINAN BEDA

    AGAMA

    A. Alasan Percik Memfasilitasi Perkawinan

    Beda Agama.................................................................. 38

    1. Gambaran Umum Lembaga Percik Salatiga............. 38

    a. Sejarah dan Latarbelakang Berdirinya Lembaga

    Percik.................................................................. 38

    b. Visi dan Misi...................................................... 39

    c. Struktur Kepengurusan........................................ 41

    d. Profil Kegiatan Lembaga Percik.......................... 43

    2. Kegiatan Penelitian.................................................. 43

    3. Seminar, Diskusi dan Loka Karya (Workshop)....... 48

    4. Kegiatan Advokasi................................................... 49

    5. Pengembangan Unit Penunjang................................. 50

    6. Pengembangan Relasi dan Kerjasama....................... 51

    7. Pengembangan Kampoeng Percik............................. 51

    8. Sejarah Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda

    Agama....................................................................... 52

    B. Proses Perkawinan Beda Agama Oleh Percik..................... 54

    1. Profil Pelaku Pasangan Perkawinan Beda Agama.......... 54

    a. Pasangan DH (Kristen) – AD (Islam)......................... 54

    b. Pasangan AR (Kristen) – RW (Katolik)...................... 59

    c. Pasangan LM (Kristen) – AL (Islam).......................... 63

    d. Pasangan SW (Kristen) – DJ (Islam)........................... 69

    e. Pasangan Gama (Katolik) – Chinda (Islam)................ 71

    2. Proses Perkawinan Beda Agama Oleh Percik................. 79

    a. Proses Perkawinan di Kantor Catatan Sipil................ 79

  • b. Prosedur Perkawinan Yang di Fasilitasi Percik.......... 81

    C. Pandangan Tokoh Agama Terhadap Pekawinan Beda

    Agama.............................................................................. 87

    BAB IV FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH PERCIK

    A. Alasan Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama.... 99

    1. Perspektif UUP........................................................... 99

    2. Perspektif KHI........................................................... 100

    3. Perspektif Agama....................................................... 100

    4. Persepektif HAM....................................................... 102

    B. Proses Fasilitasi Perkawinan beda Agama Oleh Percik... 103

    C. Pandangan Tokoh Agama Terhadap Perkawinan

    Beda Agama......................................................................... 110

    1. Setuju.......................................................................... 110

    2. Tidak Setuju................................................................ 115

    3. Netral........................................................................... 118

    BAB V PENUTUP

    A. Kesimpulan........................................................................ 121

    B. Saran.................................................................................. 124

  • KATA PENGANTAR

    ÉO ó¡ Î0 «! $# Ç̀»uH÷q§9$# ÉO ŠÏm §9$#

    Puji syukur Penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

    rahmat-Nya dan salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW

    berikut keluarganya, para sahabat dan seluruh umat pengikutnya, Penulis akhirnya

    dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Fasilitasi Perkawinan Beda Agama

    Oleh Lembaga Sosial (Studi Kasus Terhadap Percik Salatiga)”. Penulisan

    skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk menyelesaikan Program

    Studi Ahwal Al Syahsyiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)

    Salatiga. Skripsi ini disadari oleh Penulis masih jauh dari harapan dan masih

    banyak kekurangannya. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun

    dari pembaca. Dalam kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih

    kepada pihak-pihak yang telah membantu Penulis dalam penulisan skripsi ini,

    antara lain :

    1. Dr. Imam Sutomo M.Ag Selaku Ketua STAIN Salatiga

    2. Drs. Mubasirun, M.Ag selaku Ketua Jurusan Syariah

    3. Ilyya Muhsin, S.H.I, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ahwal Al Syahsyiyah

    dan sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah menyempatkan waktu

    dan kesempatanya demi terselesainya skripsi ini.

    4. Dr. Prajarta Dirdjosanjoto, Selaku Direktur Lembaga Percik Salatiga.

    5. Seluruh Staff lembaga Percik Salatiga yang telah meluangkan waktunya demi

    terselesainya skripsi ini.

  • 6. Kepala dan Pegawai Kantor Catatan Sipil (KCS) Salatiga yang telah

    membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

    7. Seluruh anggota Tim penguji skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk

    menilai kelayakan dan menguji skripsi dalam rangka menyelesaikan studi

    Ahwal Al Syahsyiyah Di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)

    Salatiga.

    8. Seluruh staf Program studi yang telah membantu Penulis dalam

    menyelesaikan administrasi-administrasi selama perkuliahan.

    9. Bapak Ibuku yang selalu memberi dukungan dan doa yang tiada henti.

    10. Semua Dosen-dosen Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)

    Salatiga.

    11. Semua teman-teman angkatan 2008 yang tidak dapat aku sebutkan satu

    persatu.

    12. Semua teman, sahabat dan kerabat yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu

    yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

    Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para

    Pembaca.

    Salatiga, Februari 2013

    Penulis

  • DAFTAR TABEL

    Tabel 1.1 Pelaku Perkawinan Beda Agama ................................................... ....12

    Tabel 1.2 Tokoh Agama ................................................................................ ....13

    Table 1.3 Pengurus Percik ............................................................................. ....13

    Tabel 4.1 Proses Perkawinan Rumah Tangga Beda Agama .......................... ....91

    Tabel 4.2 Latar Belakang Keluarga Subjek Penelitian ................................... ....95

    Tabel 4.3 Pandangan Tokoh Agama Terhadap Perkawinan Beda Agama....... 110

  • DAFTAR GAMBAR

    Gambar 4.1 Bagan Prosedur Pencatatan Beda Agama diKCS ........................ ....87

    Gambar 4.2 Bagan Perkawinan Beda Agama Yang di Fasilitasi Percik............. ..93

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

    Lampiran 2 Surat Tugas Pembimbing

    Lampiran 3 Lembar Konsultasi

    Lampiran 4 Berkas-berkas Persyaratan Administrasi Perkawinan Beda Agama Lampiran 5 Dokumentasi Pelaku Perkawinan Beda Agama.

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Negara Indonesia adalah negara yang mempunyai masyarakat yang

    sangat majemuk, baik dari segi budaya, ras, etnik maupun agama. Sehingga

    karena kemajemukannya sering terjadi lalu lintas antar suku, ras, dan agama

    yang tidak bisa dihindari. Salah satu fenomena yang tidak dapat dihindari dari

    lalu lintas kemajemukan adalah perkawinan beda agama, karena perkawinan

    beda agama bukanlah sesuatu hal yang baru dalam masyarakat Indonesia.

    Dahulu orang Hindhu menikah dengan orang Islam, orang Budha dengan orang

    Kristen. Hal ini merupakan hal yang wajar dan manusiawi karena cinta dan

    kasih antar manusia bisa melewati etnis, budaya dan agama (Tim Percik, 2009:

    1).

    Indonesia memiliki dasar hukum perkawinan yang diatur dalam

    Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Menurut

    UUP pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah “ikatan lahir batin

    antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

    membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

    ketuhanan Yang Maha Esa”. UUP memandang sah apabila perkawinan

    dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya sesuai dengan pasal 2

    UUP.

  • Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan dianggap

    sah jika sesuai dengan agamanya. Indonesia mengakui 6 agama yang

    dipercayai. Agama tersebut adalah agama Islam, Kristen Protestan, Kristen

    Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu. Menurut KHI BAB II Pasal 2,

    perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaaqon ghalidzan untuk

    mentaati perintah Allah dan melakukanya merupakan ibadah.

    Perkawinan menurut agama Kristen dan Katholik adalah suatu ikatan

    cinta kasih tetap dan taat yang menggambarkan, melahirkan dan mewujudkan

    hubungan cinta Kristus dengan Gerejanya. Sebagaimana yang diatur dalam

    kitab kejadian 1-26 sampai 30, 2.7 sampai 25 juga Perjanjian Baru episus V: 21

    sampai 33 (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:27). Perkawinan menurut agama

    hindu adalah hubungan yang sakral dan hanya yang sah bila sudah dilakukan

    menurut agama tersebut (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:25). Perkawinan

    menurut agama budha adalah ikatan yang fleksibel karena selalu mengadaptasi

    adat-adat yang hidup dalam masyarakat (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:26).

    Dari pengertian perkawinan di atas mengandung beberapa prinsip

    diantaranya:

    1. Agama Kristen dan Khatolik menghendaki agar penganutnya kawin dengan

    orang yang seagama. Karena tujuan utama perkawinan adalah untuk

    mencapai kebahagiaan sehingga kebahagiaan itu akan sulit tercapai kalau

    suami istri tidak seiman (Nurkhalis dan Baso, 2010:34).

    2. Agama Islam menganut prinsip perkawinan harus dilakukan dengan orang

    yang seagama karena secara teoritis perbedaan agama akan berpotensi

  • menimbulkan konflik (Pamungkas, 2008:44). Dalam Al Qur’an surat Al

    Baqoroh:221 ditegaskan,

    Ÿw ur (#qßs Å3Zs? ÏM »x.ÎŽô³ ßJø9$# 4Ó®Lym £̀ ÏB÷sム4 ×ptBV{ ur îpoYÏB÷s•B ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³ •B öqs9ur

    öNä3÷Gt6yf ôãr& 3 Ÿw ur (#qßs Å3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Ó‰ö7yès9ur í̀ ÏB÷s•B ׎öyz `ÏiB

    78 ÎŽô³ •B öqs9ur öNä3t6yf ôãr& 3 y7 Í́̄»s9'ré& tbqããô‰tƒ ’n

  • beragama Kristen ataupun Katolik dalam kepercayaannya juga tidak

    diperbolehkan menikah dengan orang yang berbeda agama.

    Adanya peraturan yang melarang perkawinan beda agama ternyata

    belum mampu mencegah perkawinan beda agama dalam masyarakat. Aturan

    dalam KHI dan UU Perkawinan di Indonesia seharusnya mampu menjadi

    pedoman yang bisa ditegakkan. Dalam penelitian ini peneliti menemukan

    sebuah lembaga yang yang bisa memfasilitasi perkawinan beda agama.

    Lembaga tersebut adalah Percik (Persemaian Cinta Kemanusiaan). Percik,

    merupakan lembaga independen yang diperuntukan bagi penelitian sosial,

    demokrasi dan keadilan sosial. Lembaga ini didirikan pada awal tanggal 1

    Februari 1996 oleh sekelompok ilmuwan di Salatiga yang terdiri dari sejumlah

    peneliti sosial, pengajar universitas, serta aktivis Lembaga Swadaya

    Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang bantuan hukum serta

    pengorganisasian masyarakat.

    Kesenjangan yang muncul antara peraturan hukum dengan praktek

    yang terjadi inilah yang menarik minat peneliti untuk meneliti bagaimana

    perkawianan beda agama di Lembaga Percik Salatiga. Sehingga Penulis

    memberi judul penelitian skripsi : FASILITASI PERKAWINAN BEDA

    AGAMA OLEH LEMBAGA SOSIAL (Studi Kasus terhadap Percik Salatiga).

  • B. Fokus Penelitian

    Berdasarkan latar belakang di atas, dengan demikian fokus penelitian

    dalam skripsi ini adalah:

    1. Mengapa Lembaga Percik memfasilitasi perkawinan beda agama?

    2. Bagaimana proses perkawinan beda agama yang di fasilitasi oleh Lembaga

    Percik Salatiga?

    3. Bagaimana pandangan tokoh agama terhadap perkawinan beda agama?

    C. Tujuan Penelitian

    Sesuai dengan fokus penelitian yang menjadi target skripsi ini, maka

    tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

    1. Mengetahui alasan Lembaga Percik memfasilitasi perkawinan beda

    agama.

    2. Mengetahui proses perkawinan beda agama di Lembaga Percik Salatiga.

    3. Mengetahui pandangan tokoh agama terhadap perkawinan beda agama.

    D. Kegunaan Penelitian

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara

    teoritis maupun secara praktis di antaranya adalah sebagai berikut:

    1. Secara Teoritis

    Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang perkawinan

    beda agama dan khazanah keislaman pada umumnya dan khususnya jurusan

    Syariah program studi ahwal-alsyakhsiyyah.

  • 2. Secara Praktis

    a. Bagi Masyarakat

    1) Bagi pelaku nikah agama

    Terhadap masyarakat khususnya bagi pelaku nikah beda

    agama agar lebih mempertimbangkan akibat yang akan diterima jika

    akan melakukan perkawinan beda agama.

    2) Bagi tokoh agama

    Agar para tokoh agama lebih gencar lagi menyiarkan

    agamanya khususnya tentang masalah perkawinan untuk

    meminimalisir angka perceraian akibat dari perkawinan beda agama.

    b. Bagi Program Studi Al Ahwal Al Syakhsiyyah

    Dengan adanya penelitian terhadap lembaga yang memfasilitasi

    perkawinan beda agama diharapkan dapat menambah wawasan bagi

    Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah sehingga dari Program Studi dapat

    menjadikannya sebagai bahan diskusi dan memantau perkembangan

    produk hukum mengenai perkawinan beda agama tersebut.

    c. Bagi Percik

    Hasil dari penelitian tentang perkawinan beda agama ini

    diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Percik sebagai

    lembaga yang memfasilitasi perkawinan beda agama untuk mengambil

    kebijakan-kebijakan yang tepat ketika menghadapi calon mempelai yang

    akan melakukan perkawinan beda agama.

  • E. Penegasan Istilah

    Sebelum memulai menyusun skripsi ini perlu penulis sampaikan

    bahwa judul skripsi adalah FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA

    OLEH LEMBAGA SOSIAL (Studi Kasus di Lembaga Percik Salatiga). Untuk

    menghindari kesalahfahaman pengertian, maka penulis kemukakan pengertian

    serta sekaligus penegasan judul skripsi ini sebagai berikut:

    Fasilitasi adalah sarana atau segala sesuatu untuk memudahkan atau

    melancarkan pelaksanaan (KBBI, 2010:t.h).

    Perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 adalah ikatan lahir

    batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

    tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

    berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan menurut KHI adalah

    pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk

    mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, bertujuan

    untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (KHI Pasal

    2). Perkawinan yang dimaksud peneliti adalah akad antara pria dan wanita

    untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang sah menurut agama baik

    dicatatkan di KUA atau Kantor Catatan Sipil.

    Beda adalah sesuatu yg menjadikan berlainan (tidak sama) (KBBI,

    2010:t.h). Agama adalah ajaran, sistem yg mengatur tata keimanan

    (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata

    kaidah yg berhubungan dengan pergaulan manusia (KBBI, 2010:t.h).

  • Perkawinan Beda Agama yang dimaksud dalam penelitian tersebut

    adalah Perkawinan yang dilakukan oleh pemeluk Agama yang berbeda pada

    saat aqad perkawinan.

    Lembaga adalah badan (organisasi) yang bermaksud melakukan suatu

    penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha (Soeryadarminta,

    2006:685).

    Sosial adalah segala sesuatu mengenai masyarakat (Soeryadarminta,

    2006:1141).

    Jadi yang dimaksud Lembaga sosial adalah suatu badan (organisasi)

    yang bermaksud melakukan suatu penyelidikan keilmuan, berkaitan dengan

    masyarakat.

    Dengan demikian Fasilitasi perkawinan beda agama oleh lembaga

    sosial adalah suatu usaha yang dilakukan oleh badan (organisasi) berkaitan

    dengan perkawinan yang dilakukan antara pria dan wanita dengan ajaran atau

    kaidah-kaidah yang berbeda dalam pelaksaan perkawinan sebelum

    dilangsungkanya perkawinan hingga sesudah perkawinan dilaksanakan.

    F. Telaah Pustaka

    Penelitian tentang perkawinan beda agama sudah banyak dilakukan

    oleh peneliti sebelumnya. Diantara penelitian-penelitian tersebut adalah

    penelitian yang dilakukan oleh Maftuhul Fuadi yang berjudul Nikah Beda

    Agama Perspektif Ulil Abshar Abdalla. Penelitian tersebut bertujuan untuk

    mengetahui bagaimana pandangan Ulil Abshar Abdalla tentang nikah beda

  • agama. Menurut Fuadi, dalam beragama, Ulil Abshar Abdalla tidak lagi

    memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktek keislaman yang dianut

    oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah “baju”

    dan formal, menurutnya yang pokok adalah nilai yang terkandung di

    dalamnya. Setiap agama menunjuk pada nilai keadilan, oleh karena itu setiap

    agama sama. Karena setiap agama sama maka dihalalkan nikah beda agama

    (Fuadi, 2006).

    Skripsi Auwenda Fauzi yang berjudul Perkawinan Campuran Dalam

    Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafi’i

    Tentang Perkawinan Campuran) menjelaskan dua hal pokok pemikiran Imam

    Syafi’i tentang perkawinan campuran. Pertama, perkawinan antara perempuan

    muslim dan laki-laki bukan muslim adalah haram hukumnya. Kedua, laki-laki

    muslim diharamkan mengawini perempuan bukan muslim. Pendapat ini lebih

    didasarkan pada pertimbangan menolak mafsadat demi menjaga keutuhan

    umat dari akibat buruk yang ditimbulkan oleh perkawinan campuran (Fauzi,

    2004).

    Adapun penelitian selanjutnya adalah Skripsi Sri Nikmah yang

    berjudul Perkawinan Lintas Agama dalam Tinjauan Hukum Islam dan

    Perundang-undangan di Indonesia, Skripsi Sekolah Tinggi Agama Islam

    Negeri (STAIN) Salatiga, 2011. Penelitian tersebut menjelaskan mengenai

    kehidupan masyarakat pelaku perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel

    Salatiga. Tujuan penelitian tersebut diantaranya untuk mengetahui praktek

    perkawinan lintas agama dilakukan di Kelurahan Bugel, mengetahui faktor-

  • faktor perkawinan lintas agama dapat terjadi di Kelurahan Bugel, mengetahui

    cara pasangan suami istri pelaku perkawinan lintas agama mempertahankan

    perkawinan beda agama.

    Dalam penelitian tersebut ada dua pola perkawinan lintas agama di

    Kelurahan Bugel, yaitu perkawinan yang dilakukan di KUA dan di KCS.

    Faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan lintas agama di Kelurahan

    Bugel meliputi, pandangan tertentu tentang agama dan keberagamaan,

    perempuan tidak memiliki kemandirian hidup, tradisi perkawinan lintas

    agama, kurangnya pengetahuan agama dan kristenisasi pihak luar ( Nikmah,

    2011).

    Peneliti-peneliti terdahulu tersebut, meskipun memiliki tema yang

    sama yaitu tentang perkawinan beda agama, namun memiliki perbedaan

    dengan fokus penelitian ini. Perbedaan-perbedaan penelitian ini dengan

    peneliti terdahulu diantaranya adalah sebagai berikut : pertama, Skripsi yang

    disusun oleh Maftuhul Fuadi yang berjudul Nikah Beda Agama persepektif

    Ulil Absar Abdalla. menitik beratkan pada literatur tentang pemikiran tokoh

    sedangkan penulis yang dibahas disini adalah study lapangan.

    Kedua, Skripsi Auwenda Fauzi yang berjudul Perkawinan Campuran

    Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam

    Syafi’i Tentang Perkawinan Campuran). Menitik beratkan pada pemikiran

    tokoh sedangkan penulis bahas disini adalah study lapangan.

    Ketiga Skripsi Sri Nikmah yang berjudul Perkawinan Lintas Agama

    dalam Tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia.

  • Memiliki kesamaan dengan penelitian, yaitu sama-sama penelitian lapangan.

    Sedangkan perbedaanya terdapat pada pelakunya. Jika Skripsi Sri Nikmah

    pelaku perkawinan beda Agama hakikatnya tidak menikah beda agama

    karena pada saat akad perkawinan pasangan pindah keagama calon

    pasangannya setelah prosesi akad pasangan pindah ke Agama semula.

    Adapun dalam penelitian ini, pelaku perkawinan beda agama dalam

    melangsungkan akad tetap pada agamanya masing-masing.

    G. Metodologi Penelitian

    1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

    Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, karena

    penelitian ini bertujuan untuk mengungkap semaksimal mungkin data dari

    kasus yang akan diteliti, menggunakan pendekatan normatif dan sosiologis.

    Pendekatan normatif digunakan untuk mengetahui status hukum perkawinan

    beda agama dan pendekatan sosiologis digunakan untuk mengetahui

    bagaimana perkawinan beda agama yang dipraktekkan di Lembaga Percik

    Salatiga dan bagaimana pandangan tokoh agama maupun masyarakat

    terhadap perkawinan beda agama.

    2. Kehadiran Peneliti

    Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama

    karena peneliti secara langsung mengumpulkan data di lapangan. Status

    peneliti dalam mengumpulkan data diketahui oleh informan secara jelas

    guna menghindari kesalahpahaman antara peneliti dengan informan.

  • 3. Lokasi Penelitian

    Penelitian ini dilakukan di Lembaga Percik Salatiga yang beralamat

    di Jl. Patimura Km. 1 Kampung Percik, Turusan-Salatiga.

    4. Sumber Data

    Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

    a. Sumber data primer; yaitu hasil temuan data di lapangan melalui

    wawancara dengan pengurus Lembaga percik, tokoh Agama, pelaku

    nikah beda agama.

    1). Pelaku Perkawinan Beda Agama

    Tabel 1.1 Pelaku Perkawinan Beda Agama

    No Suam

    i Agama Istri Agama

    Kawin

    Tahun

    Tempat Perkawinan

    1 AD Islam DH Kristen 2005 Percik dan GKJ Sidomukti

    2 AR Kristen RW Katolik 2005

    Gereja

    Kristen

    3 AL Islam LM Kristen 2005 Percik dan GKJ Sidomukti

    4

    DJ Islam SW Kristen 2007

    GKJ

    Sidomukti

    dan

    Rumah Istri

    5

    Gama Katolik Cinda Islam 2012

    Gereja

    Kristus Raja

    dan

    Rumah Suami

  • 2) Tokoh Agama

    Tabel 1.2 Tokoh Agama

    No Nama Agama Keterangan

    1 K.H. Anshori Jawadi Islam Kyai

    2 Pdt. Eben Heizer L Kristen Pendeta

    3 Pdt. Sari F Kristen Pendeta

    4 Prof. Zuhri Islam Pakar hukum Islam

    5 K.H. Atiq Afifudin Islam Tokoh NU

    6 K. Mustain Islam Ta’mir masjid

    3) Pengurus Percik Tabel 1.3 Pengurus Percik

    No Nama Keterangan

    1 Agung Waskito A Staff Advoksi

    2 Muhammad Akbar Staff Peneliti

    b. Sumber data sekunder; yaitu data yang diperoleh dari literatur buku-

    buku, perundang-undangan tentang perkawinan dan kepustakaan ilmiah

    lain yang menjadi referensi maupun sumber pelengkap penelitian.

    5. Prosedur Pengumpulan Data

    a. Wawancara

    Pengumpulan data dengan cara mengadakan wawancara langsung

    dengan pihak-pihak yang berkaitan. Dalam hal ini adalah para pengurus

    maupun anggota Lembaga Percik Salatiga, pendeta, tokoh Agama Islam,

    pelaku nikah beda agama, dan pegawai Kantor Catatan Sipil.

  • b. Observasi

    Metode pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung dan

    pencatatan secara sistematis atas pelaksanaan perkawinan beda agama di

    Lembaga Percik Salatiga, Kantor Catatan Sipil dan GKJ Sidomukti.

    c. Dokumentasi

    Adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis,

    seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori,

    dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah

    penelitian (Margono, 2004:23). Adapun dokumen-dokumen yang

    diperoleh adalah Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP),

    foto copy kutipan Akte Perkawinan dan foto copy berkas N1-N4 dari

    kelurahan.

    d. Analisis Data

    Data yang diperoleh, baik dari studi lapangan maupun studi

    pustaka pada dasarnya merupakan data yang dianalisis secara deskriptif

    kualitatif, yaitu data yang terkumpul diuraikan secara logis dan sistematis

    dan selanjutnya ditarik kesimpulan.

    e. Pengecekan keabsahan Data

    Data-data yang diperoleh dicek keabsahannya dengan metode

    triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan

    sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap

    objek penelitian (Moloeng, 2004:330). Pengecekan keabsahan data

  • dilakukan karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekeliruan

    yang terlewati oleh penulis.

    Pengecekan dilakukan denga cara membandingkan hasil

    pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang

    dikatakan informan satu dengan informan lain, maupun membandingkan

    hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan.

    H. Sistematika Penulisan

    Penulisan penelitian ini disajikan secara keseluruhan menjadi lima bab,

    terdiri dari bab pertama yang berisi latar belakang masalah, fokus penelitian,

    tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka dan

    metode penelitian yang meliputi jenis penelitian, sumber data, prosedur

    pengumpulan data, analisis data, dan sistematika Penulisan.

    Bab dua berisi pernikahan beda agama dalam berbagai perspektif yaitu

    perspektif UUP, KHI dan HAM

    Bab tiga adalah profil percik dan pelaku pasangan perkawinan beda

    agama. kedua sub bab ini, yang pertama mengenai gambaran umum Lembaga

    Percik Salatiga, yang berisi tentang sejarah dan latar belakang Lembaga Percik,

    visi misi, kepengurusan, tugas dan kewajiban, program dan kinerja Lembaga

    percik. Sub yang ke dua tentang profil pelaku perkawinan `beda agama.

    Bab empat adalah Fasilitasi perkawinan beda agama oleh percik yang

    berisi tentang alasan percik memfasilitasi perkawinan beda agama, proses

  • fasilitasi perkawinan beda agama oleh percik, dan pandangan tokoh agama

    terhadap fasilitasi perkawinan beda agama.

    Bab lima yaitu penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran.

  • BAB II

    PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM BEBAGAI PERSEPEKTIF

    A. Perkawinan

    1. Pengertian

    a. Perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun

    1974

    Pengertian perkawinan dalam Undang-undang nomor 1 tahun

    1974 tentang Perkawinan pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan

    adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

    sebagai suami istri”.

    Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu

    diperhatikan yaitu:

    1) Ikatan lahir diartikan keterikatan antara kedua belah pihak secara

    formal baik dalam hubungan antara satu sama lain maupun mereka

    dengan masyarakat luas. Ikatan batin diartikan adanya satu tujuan

    untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal. Untuk itu

    dalam sebuah perkawinan tidak bisa dipisahkan antara ikatan lahir

    dan ikatan batin, karena memang keduanya merupakan satu

    kesatuan yang utuh.

    2) Seorang pria dengan seorang wanita mengandung arti bahwa

    perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini

  • menolak adanya perkawinan sesama jenis yang telah dilegalkan

    oleh beberapa orang Barat.

    3) Sebagai suami istri mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah

    bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah

    tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama” (Syarifuddin,

    2006:40).

    b. Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam

    Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) BAB II

    pasal 2 adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqon

    ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya

    merupakan ibadah.

    c. Perkawinan menurut fikih

    Perkawinan menurut fikih adalah pernikahan. Secara bahasa

    pernikahan ialah al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna

    nikah (Zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad

    nikah (Tihami, 2009:7). Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena

    dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab dan kabul. Selain itu nikah

    juga bisa diartikan sebagai bersetubuh (Assegaf, 2005:131).

    Adapun menurut syara’ nikah adalah akad serah terima antara

    laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu

    sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang

    sakinah serta masyarakat yang sejahtera. Para ahli fikih berkata,

  • zawwaja atau nikah adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya

    mengandung kata, inkah atau tazwij (Tihami, 2009:8).

    2. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan

    a. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1

    Tahun 1974 tentang Perkawinan

    Rukun yaitu sesuatu yang harus ada yang menentukan sah dan

    tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam

    rangkaian pekerjaan itu. Syarat yaitu sesuatu yang harus ada yang

    menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu

    itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Sah adalah sesuatu

    pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat (Ghazaly,

    2003:45).

    Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga mengatur

    syarat-syarat sahnya suatu perkawinan yang meliputi syarat formil dan

    materiil. Syarat formil adalah syarat-syarat yang menyangkut

    formalitas-formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan

    pada saat perkawinan dilangsungkan. Syarat materiil adalah syarat

    mengenai diri pribadi calon mempelai.

    Syarat formil terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun

    1975 tantang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yang

    meliputi:

  • 1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada

    pegawai pencatat perkawinan (pasal 3 ayat 1).

    2) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan (pasal 8).

    3) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan

    kepercayaannya masing-masing (pasal 10 ayat 2).

    4) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan (pasal

    11).

    Syarat materiil yang berlaku umum tertuang dalam UU No.

    1/1974, meliputi:

    1) Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 6 ayat 1).

    2) Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita

    sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat 1).

    3) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal

    diijinkan oleh pasal 3 (2) dan pasal 4 (pasal 9).

    4) Waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya,

    yaitu: 130 hari bila putus karena kematian, 3 kali suci atau minimal

    90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan datang

    bulan, 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan

    tidak datang bulan, sampai melahirkan bila putus dalam keadaan

    hamil, tidak ada waktu tunggu jika belum pernah berhubungan

    kelamin, penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya

    putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap bagi

    suatu perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus

  • karena kematian (pasal 11 UU No. 1/1974 dan pasal 39 PP No.

    9/1975).

    Syarat materiil yang berlaku khusus dalam UU No. 1/1974,

    meliputi:

    a. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam

    pasal 8,9 dan 10 UU No. 1/1974, yaitu larangan perkawinan antara

    dua orang yang:

    1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau

    pun ke atas;

    2) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping;

    3) Berhubungan semenda;

    4) Berhubungan susuan;

    5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau

    kemenakan istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari

    seorang;

    6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain

    yang berlaku dilarang kawin;

    7) Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam

    hal tersebut pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 (pasal 9).

    8) Telah bercerai untuk kedua kalinya sepanjang hukum masing-

    masing agamanya dan kepercayaannya tidak menentukan lain

    (pasal 10).

  • 9) Ijin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai

    usia 21 tahun.

    b. Rukun dan syarat sah Perkawinan menurut Kompilasi hukum

    Islam

    Rukun dan syarat perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam

    adalah harus ada calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi serta

    ijab dan kabul (pasal 14).

    Syarat bagi calon mempelai meliputi:

    1) Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita

    sudah mencapai 16 tahun sesuai ketetapan dalam pasal 7 UU No.

    1/1974 (pasal 15 ayat 1).

    2) Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 16 ayat 1).

    3) Tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam

    BAB VI (pasal 18). BAB VI tentang larangan kawin menyebutkan:

    Pasal 39, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang

    pria dengan seorang wanita disebabkan karena:

    a) Pertalian nasab;

    b) Pertalian kerabat semenda;

    c) Pertalian sesusuan.

    Pasal 40, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang

    pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:

    a) Karena wanita tersebut masih terikat satu perkawinan dengan

    orang lain;

  • b) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan

    pria lain;

    c) Seorang wanita yang tidak beragama Islam.

    Pasal 41, ayat 1 seorang pria dilarang memadu istrinya

    dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab

    atau sesusuan dengan istrinya.

    Pasal 42, seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan

    dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4

    (empat) orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali

    perkawinan atau masih dalam iddah raj’i ataupun salah seorang di

    antara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya

    dalam masa iddah raj’i.

    Pasal 43, ayat 1 dilarang melangsungkan perkawinan antara

    seorang pria:

    a) Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali.

    b) Dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an.

    Pasal 44, seorang wanita Islam dilarang melangsungkan

    perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

    4) Waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya,

    yaitu: 130 hari bila putus karena kematian, 3 kali suci atau minimal

    90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan datang

    bulan, 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan

    tidak datang bulan, sampai melahirkan bila putus dalam keadaan

  • hamil, tidak ada waktu tunggu jika belum pernah berhubungan

    kelamin, penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya

    putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap bagi

    suatu perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus

    karena kematian (pasal 153).

    Syarat wali nikah tertuang dalam pasal 20, yaitu bertindak sebagai

    wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam

    yakni muslim, akil dan baligh.

    Syarat saksi nikah tertuang dalam pasal 25, yaitu yang dapat

    ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki

    muslim, adil, akil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu

    atau tuli. Pasal 26, saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung

    akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat

    akad nikah dilangsungkan.

    Syarat akad nikah terdapat dalam pasal 27, ijab dan kabul antara

    wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang

    waktu.

    c. Rukun dan syarat sah Perkawinan menurut fikih

    Rukun nikah menurut Slamet Abidin dan Aminudin (1999:68)

    adalah sebagai berikut:

    a. Calon mempelai laki-laki

    b. Calon mempelai perempuan

  • c. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan

    perkawinan

    d. Dua orang saksi

    e. Shighat ijab qabul

    Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan adalah

    segala hal yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan.

    Untuk sahnya suatu perkawinan, selain memenuhi rukun juga harus

    memenuhi syarat-syarat yang mendahuluinya.

    Syarat suatu akad dalam perkawinan, meliputi:

    a. Akad harus dimulai dengan ijab yaitu penyerahan dari pihak

    perempuan kepada pihak laki-laki kemudian dilanjutkan dengan

    qabul yaitu penerimaan dari pihak laki-laki;

    b. Materi ijab dan qabul tidak boleh berbeda;

    c. Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa

    terputus walaupun sesaat;

    d. Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang

    bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena

    perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup;

    e. Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus

    terang.

    Syarat bagi kedua calon mempelai, meliputi:

    a. Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang

    lainnya, baik nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lainnya;

  • b. Keduanya sama-sama beragama Islam;

    c. Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan;

    d. Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula dengan

    pihak yang akan mengawininya;

    e. Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan

    perkawinan.

    Syarat bagi wali nikah, meliputi:

    a. Dewasa dan berakal sehat;

    b. Laki-laki;

    c. Muslim;

    d. Merdeka;

    e. Tidak berada dalam pengampuan;

    f. Berpikiran baik;

    g. Adil;

    h. Tidak sedang melakukan ihram.

    Syarat bagi saksi, meliputi:

    a. Berjumlah minimal dua orang;

    b. Kedua saksi beragama Islam;

    c. Kedua saksi adalah orang merdeka;

    d. Kedua saksi adalah laki-laki;

    e. Kedua saksi bersifat adil;

    f. Kedua saksi dapat mendengar dan melihat.

    3. Tujuan dan Hikmah Perkawinan

  • a. Tujuan Perkawinan

    1) Untuk mendapatkan anak dari keturunan yang sah dalam

    melanjutkan generasi yang akan datang. Dengan adanya perkawinan

    naluri seksual manusia dapat tersalurkan sesuai jalan yang diridhoi

    Allah, selain itu dapat menjaga nasab yang oleh Islam sangat

    diperhatikan (Sabiq, 1980:19).

    2) Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup

    dan rasa kasih sayang (Syarifuddin, 2006:47).

    3) Untuk mendapatkan dan melangsungkan keturunan.

    4) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima

    hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh

    harta kekayaan yang halal.

    5) Untuk membangun rumah tangga dan membangun masyarakat yang

    tentram atas dasar rasa cinta dan kasih sayang.

    6) Sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

    b. Hikmah Perkawinan

    Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan

    berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat

    manusia. Adapun hikmah perkawinan menurut Tihami dan Sohari

    Sahrani (2009:19-20) adalah sebagai berikut:

    1) Perkawinan adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk

    menyalurkan dan memuaskan naluri seks dengan kawin badan jadi

  • segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari yang melihat dan

    perasaan tenang menikmati barang yang berharga.

    2) Perkawinan merupakan jalan terbaik untuk membuat anak-anak

    menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup

    manusia serta memelihara nasib yang oleh Islam sangat diperhatikan

    sekali.

    3) Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam

    suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan-

    perasaan yang ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat

    baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.

    4) Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak

    menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat

    bakat dan pembawaan seseorang dan akan cekatan dalam bekerja.

    5) Pembagian tugas dimana yang satu mengurusi rumah tangga

    sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas

    tanggung jawab antara suami-istri dalam menangani tugas-tugasnya.

    6) Perkawinan dapat membuahkan diantaranya tali kekeluargaan,

    memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan

    memperkuat hubungan masyarakat.

    B. Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan

    Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak

    ada aturan yang tegas mengenai perkawinan beda agama. UU tersebut hanya

  • menganggap bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut

    hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” (pasal 2 ayat1).

    C. Perkawinan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

    Secara tegas KHI melarang perkawinan beda agama. Aturan ini

    tercantum dalam pasal 75 (1) yaitu perkawinan batal karena salah satu dari

    suami atau istri murtad. Pengadilan Agama yang notabene sebagai pemutus

    suatu perkara dalam perceraian mengambil KHI sebagai dasar dalam

    menetapkannya. Menurut KHI pasal 116 huruf h menyatakan bahwa perceraian

    dapat putus karena “peralihan agama atau murtad yang menyebabkan

    terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga”. Dengan adanya alasan pasal

    tersebut secara tegas KHI melarang adanya perkawinan beda agama. Namun di

    sisi lain KHI ternyata membuka peluang untuk perkawinan beda agama karena

    pada saat peralihan agama dalam rumah tangga namun tidak menimbulkan

    “ketidakrukunan”, maka secara tidak langsung KHI juga tidak melarang

    adanya perkawinan beda agama.

    Jadi ketika ada peralihan agama dalam rumah tangga namun tidak

    menimbulkan “ketidakrukunan” maka secara tidak langsung KHI juga tidak

    melarang adanya perkawinan beda agama.

    D. Perkawinan Beda Agama Menurut fikih

    1. Perkawinan Orang Islam Dengan Ahli Kitab

    a) Kaum musrikin dan ahli kitab

  • Ayat Al-quran disamping menjelaskan tentang pernikahan

    golongan mukminin juga menjelaskan tentang pernikahan dengan

    golongan ahli kitab dan musrik yang sekaligus menjadi dasar hukum

    nikah beda agama diatara mereka. Dasar hukum pernikahan orang islam

    dengan ahli kitab dan orang musrik dalam firman Allah SWT

    1) surat Al-baqarah ayat 221 :

    Ÿw ur (#qßs Å3Zs? ÏM »x.ÎŽô³ ßJø9$# 4Ó®Lym £̀ ÏB÷sム4 ×ptBV{ ur îpoYÏB÷s•B ׎öyz `ÏiB 7px.ÎŽô³ •B

    öqs9ur öNä3÷Gt6yf ôãr& 3 Ÿw ur (#qßs Å3Zè? tûüÏ.ÎŽô³ ßJø9$# 4Ó®Lym (#qãZÏB÷sム4 Ó‰ö7yès9ur í̀ ÏB÷s•B

    ׎öyz `ÏiB 78 ÎŽô³ •B öqs9ur öNä3t6yf ôãr& 3 y7 Í́̄»s9'ré& tbqããô‰tƒ ’n

  • tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |= »tGÅ3ø9$# `ÏB öNä3Î=ö6s% !#sŒÎ) £̀ èdqßJçF÷s?#uä £̀ èdu‘qã_ é& tûüÏYÅÁ øtèC

    uŽöxî tûüÅs Ïÿ»|¡ ãB Ÿw ur ü“ É‹Ï‚ GãB 5b#y‰÷{ r& 3 `tBur öàÿõ3tƒ Ç̀»uKƒM} $$Î/ ô‰s)sù

    xÝ Î6ym ¼ã&é#yJtã uqèdur ’Îû ÍotÅz Fy $# z̀ÏB z̀ƒÎŽÅ£ »sƒø:$# ÇÎÈ

    Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi (Depag, 1976: 158).

    Menurut Al-jaziri sebagaimana dikutip oleh sukarja dibagi menjadi

    tiga golongan yaitu:

    a. Golongan yang tidak berkitab samawi atau tidak berkitab semacam

    kitab samawi.

    Contoh: orang yang menyembah berhala dan orang murtad yang

    disamakan dengan mereka.

    b. Golongan yang mempunyai semacam kitab samawi.

    Contoh: orang-orang majizi yang menyembah api.

    c. Golongan yang beriman kepada kitab suci. Mereka adalah orang

    Yahudi yang percaya kepada kitab taurat dan orang-orang nasrani

    yang mempercayai injil.

  • Sementara itu Yusuf al-Qardawi membagi golongan non-Muslim

    menjadi golongan musrik, murtad, bahai, dan ahli kitab. Musrik adalah

    penyembah berhala, mulhid adalah golongan ateis, murtad adalah

    golongan yang keluar dari agama islam, bahai termasuk Murtad. Ahli kitab

    adalah kaum Yahudi dan Nasrani.

    Titik tolak penggolongan al-Jaziri dari segi kitab, sedang Yusuf al-

    Qardawi dari segi nama untuk tiap golongan. Dalam rinciannya sama,

    hanya Yusuf Qardawi menambahkan golongan Ateis dan Bahai.

    Dua golongan pertama disebut oleh al-Jaziri adalah Musrik.

    Golongan Mulhid, Murtad dan bahai, dalam hukum nikah oleh Yusuf

    Qardhawi dari segi nama untuk tiap golongan. Dalam rincianya sama,

    hanya Yusuf Qardhawi menambahkan golongan ateis dan bahai.

    Ahlul kitab adalah penganut taurat dan injil. Kaum yahudi dan samiri

    adalah penganut Taurat. Penganut injil adalah Nasrani yang seakar dalam

    agama mereka, seperti orang prancis, jerman dan lain-lain. Masalah yang

    pelik adalah golongan Ahlul Kitab. Apakah mereka tidak musrik atau juga

    termasuk golongan musrik (LSIK, 1994:2-3).

    Paramufassir memandang bahwa perkawinan seorang mukmin

    dipandang halal jika mereka masih berpegang pada kitab-kitab yang masih

    murni namun jika kitab atau keyakinannya sudah menyimpang maka

    haram untuk dinikahi sesuai dengan surat albayyinah ayat 1:

  • “Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik

    (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)

    sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”,

    Dan al-hajj ayat 17 yang berbunyi:

    “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,

    orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi

    dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara

    mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala

    sesuat”.

    Hukum pria islam yang menikah dengan wanita bukan islam

    dibedakan menjadi 2 yaitu :

    1. Dengan wanita musrik dan wanita murtad hukumnya haram sesuai

    dengan surat albaqarah 221.

    2. Dengan wanita ahli kitab ada tiga hukum yaitu halal, haram, dan yang

    menghalalkan tapi siasat tidak menghendakinya.

    a. Golongan yang menghalalkan berpendirian bahwa menikahi

    perempuan ahli kitab (yahudi dan nasrani) halal hukumnya

    asalkan perempuan ahli kitab itu merupakan agama keturunan

    dari nenek moyang mereka yang menganut agama tersebut

    sebelum masa nabi muhammad dibangkitkan menjadi rosul.

    b. Golongan yang mengharamkan yaitu ibnu umar sesuai dengan al-

    baqarah 221.

  • c. Golongan yang menggap halal tetapi siasat tidak menghendakinya

    yang menimbulkan hukum mubah dalam perkawinan itu karena

    dalam perkawinan itu ada bahaya kalau-kalau sisuami ikut agama

    istrinya (LSIK, 1994: 6-13).

    b) Non-Muslim Memeluk Islam

    Perkawinan non-Muslim baik Ahlul Kitab maupun Musrik, dapat

    dibagi atas dua keadaan. Pertama, perkawinan itu terjadi diantara

    mereka setelah mereka hijrah dan dilakukan di Da’arul Islam. Kedua,

    perkawinan itu terjadi di negeri mereka sendiri, yaitu di Daarul Harbi.

    Daarul Islam adalah negeri yang diperintah secara penuh oleh kaum

    muslimin. Darul Harbi adalah negeri dimana kaum muslimin tidak

    mempunyai tidak mempunyai kekuasaan untuk mengaturnya.

    Perkawinan yang terjadi diantara mereka dalam dua keadaan

    tersebut mungkin sesuai dengan syarat dan rukun akad pernikahan

    Islam, mungkin berbeda. Bila persyaratan perkawinan mereka sesuai

    dengan perkawinan islam, maka perkawinan mereka itu sah dalam

    pandangan islam. Bila berbeda dengan persyaratan perkawinan islam

    maka perkawinannya dianggap tidak sah (LSIK, 1994:4).

    c) Wanita islam dengan laki-laki bukan islam

    Seluruh ulama’ telah sepakat bahwa wanita islam haram menikah

    dengan pria non muslim. Hal itu sesuai dengan al-baqoroh 221 (LSIK,

    1994:5).

  • E. Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)

    Menurut Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholis (1995:245-246) Indonesia

    memiliki peraturan mengenai hak asasi manusia, melalui TAP MPR No. XVII

    tahun 1998 tentang hak asasi manusia yang terdiri dari 10 bab dan 44 pasal.

    Ketetapan MPR tersebut menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak

    dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi

    sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak tersebut meliputi hak untuk

    hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak berkomunikasi, hak

    keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak

    kesejahteraan.

    Indonesia juga memiliki undang-undang lain mengenai hak asasi

    manusia, yaitu undang-undang nomor 39 tahun 1999 yang terdiri dari 11 bab

    dan 106 pasal. Peraturan mengenai hak asasi manusia dalam undang-undang

    tersebut didasarkan pada DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)

    atau Universal Declaration of human rights yang dicetuskan oleh Perserikatan

    Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948. Undang-Undang ini secara rinci

    mengatur tentang hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan

    keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas

    kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta

    dalam pemerintah, hak wanita dan hak anak. Selain tentang hak asasi manusia,

    diatur pula mengenai kewajiban dasar manusia, kewajiban dan tanggungjawab

    pemerintah dalam penegakan hak asasi manusi, serta fungsi dan tugas Komnas

    Hak Asasi Manusia. Undang-Undang ini merupakan payung dari seluruh

  • peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu,

    pelanggaran hak asasi manusia secara langsung atau tidak langsung, dikenakan

    sanksi pidana, perdata, dan atau administrasi sesuai ketentuan peraturan

    perundang-undangan.

    Menurut Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish (2005:257) sejak UU

    Perkawinan disahkan pada 1974, sejumlah persoalan muncul, di antaranya

    berkaitan dengan masalah nikah beda agama, yaitu:

    Pertama, dalam pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa sahnya perkawinan

    tergantung apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

    kepercayaannya itu. Ketentuan ini hanya dapat dilaksanakan manakala kedua

    mempelai memiliki agama yang sama. Kalau keduanya memiliki agama yang

    berbeda, maka salah satu harus mengikuti agama yang lain. Kemudian kembali

    ke agamanya semula setelah perkawinan terlaksana.

    Kedua, dalam pasal 2 ayat 2 dinyatakan tiap-tiap perkawinan dicatat

    menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peran pemerintah

    sebatas melakukan pencatatan nikah. Pemerintah hanya mengatur aspek

    administrasi perkawinan. Namun kedua ayat tersebut dalam prakteknya berlaku

    secara kumulatif. Kedua-duanya harus diterapkan bagi persyaratan sahnya

    suatu perkawinan.

    Berkaitan dengan perkawinan beda agama, dalam KHI ada dua pasal

    yang melarang. Pertama, pasal 40 yang menyatakan seorang pria dilarang

    melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama islam.

    Kedua, pasal 44 menyatakan seorang wanita Islam dilarang melangsungkan

  • perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam. Perbedaan agama

    dalam KHI dipandang sebagai penghalang bagi pasangan yang hendak

    melangsungkan perkawinan.

    Menurut perspektif hak asasi manusia, Undang-Undang Perkawinan

    tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan (2), serta KHI pasal 40 dan 44 bertentangan

    dengan isi DUHAM pasal 16 ayat 1 yang menyebutkan, “Iaki-laki dan

    perempuan dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau

    agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka

    mempunyai hak yang sama dalam perkawinan, di dalam masa perkawinan,

    dan di kala perceraian.” Ayat 2, “Perkawinan hanya dapat dilaksanakan

    berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.”

    Sementara ayat 3 menyebut, “Keluarga adalah kesatuan sewajarnya serta

    bersifat pokok dari masyarakat dan berhak mendapat perlindungan dari

    masyarakat dan negara.” Selain itu, Juga bertentangan dengan Pasal 10 ayat (1)

    UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yang berbunyi “Setiap orang

    berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui

    perkawinan yang sah.” Dan pada Pasal 10 ayat (2) yang berbunyi, “Perkawinan

    yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon

    istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan.”

  • BAB III

    FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH PERCIK

    D. Alasan Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama

    1. Gambaran Umum Lembaga Percik Salatiga

    a. Sejarah dan Latar Belakang Berdirinya Lembaga Percik Salatiga

    Percik merupakan lembaga independen yang diperuntukan bagi

    penelitian sosial, demokrasi dan keadilan sosial. Lembaga ini didirikan pada

    awal tahun 1996 (1 Februari 1996) oleh sekelompok Ilmuwan di Salatiga

    yang terdiri dari sejumlah peneliti sosial, pengajar Universitas, serta aktivis

    Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang bantuan

    hukum serta pengorganisasian masyarakat.

    Para pendiri ini merupakan sebagian dari staf akademik sebuah

    Universitas di Salatiga yang terpaksa keluar dari Universitas tersebut karena

    menolak beberapa kebijakan dari pengurus yayasan dan pimipinan

    Universitas yang dinilai tidak demokratis, bertentangan dengan nilai-nilai

    kemanusiaan dan tidak menjunjung tinggi kebebasan akademis serta

    otonomi kampus. Berdirinya Lembaga Percik merupakan wadah baru untuk

    mewujudkan idealisme mereka mengenai masyarakat yang demokratis dan

    berkeadilan sosial.

    Kelahiran Percik juga tidak dapat dilepaskan dari tuntutan yang

    semakin luas dalam masyarakat Indonesia tentang perlunya proses

    demokratisasi dilaksanakan dengan segera di berbagai bidang kehidupan

  • bermasyarakat dan bernegara. Tuntutan tersebut muncul sebagai bagian dari

    keprihatinan yang meluas di masyarakat terhadap sistem politik yang

    semakin sentralistik, hegemonik, opresif dan tidak toleran. Sistem politik

    yang tidak sehat tersebut berakibat pada rendahnya kesadaran dan

    partisipasi politik rakyat, tiadanya ruang publik yang memungkinkan

    terjadinya pertukaran wacana publik secara bebas, tidak berkembangnya

    lembaga-lembaga demokrasi, lemahnya penegakan hukum dan Hak Asasi

    Manusia (HAM), serta birokrasi pemerintahan yang korup. Di lain pihak

    perkembangan masyarakat menunjukan kecederungan ke arah masyarakat

    plural yang tersekat-sekat yang di dalamnya mengandung potensi konflik

    horisontal yang besar.

    Kondisi politik yang tidak sehat tersebut melanda kehidupan politik

    baik pada aras nasional maupun pada aras lokal. Keterlibatan panjang staf

    Percik dalam berbagai penelitian dan studi pada aras lokal yang dimiliki

    secara individual oleh staf Percik dan dilandasi pula oleh keyakinan bahwa

    bagi masa depan Indonesia arena politik pada aras lokal ini justru semakin

    penting dan menentukan, maka lahirnya Percik merupakan perwujudan dari

    keinginan untuk ikut menggulirkan proses demokratisasi politik pada aras

    (pada titik / level) lokal (http://www.percik.or.id/).

    b. Visi dan Misi

    Percik sebagai Lembaga independen yang didirikan untuk penelitian

    sosial, demokrasi dan keadilan sosial memiliki visi jangka panjangnya

    sebagai berikut:

  • 1) Mendukung penciptaan masyarakat sipil, melalui pemberdayaan

    lembaga-lembaga demokrasi dan pengembangan nilai-nilai demokrasi.

    2) Mendorong masyarakat pada penyadaran akan dasar-dasar kehidupan

    masyarakat plural dan toleransi dalam seluruh kehidupan sosial.

    3) Memberikan perhatian pada dasar-dasar masyarakat sipil, HAM

    khususnya bagi orang-orang yang telah dilemahkan dan dipinggirkan

    dari pelayanan pemerintah dan sistem hukum.

    Visi tersebut dalam kurun waktu yang lebih pendek khususnya

    mengacu kepada tuntutan perkembangan yang ada dalam masyarakat saat

    ini, mendorong Percik untuk mengutamakan segi-segi berikut:

    1) Peningkatan kinerja pemerintah lokal menuju kearah pemerintahan

    lokal yang sehat dan baik.

    2) Meningkatkan kesadaran politik masyarakat kearah perwujudan

    prinsip-prinsip bernegara dan bermasyarakat yang demokratis,

    menjunjung tinggi penegakan hukum dan menghormati Hak Asasi

    Manusia (HAM).

    3) Memperkuat Civil Society yang berbasis pada nilai-nilai pluralisme dan

    toleransi.

    Untuk mewujudkan ketiga segi dari visi tersebut, misi Percik

    berpusat kepada tiga pilar kegiatan berikut:

    1) Menyelenggaraan kegiatan-kegiatan studi dan penelitian yang memenuhi

    standar keilmuan yang tinggi, independen, serta memenuhi nilai-nilai

    kegunaan bagi kehidupan masyarakat luas.

  • 2) Melakukan kegiatan refleksi sebagai upaya untuk meningkatkan

    pemahaman yang lebih mendalam terhadap berbagai gejala yang diteliti

    serta menghubungkannya dengan berbagai nilai luhur yang diyakini dan

    menjadi komitmen Percik.

    3) Melakukan program aksi yang ditujukan kepada terciptanya masyarakat

    demokratis dan berkeadilan (http://www.percik.or.id/).

    c. Struktur Kepengurusan

    Dalam menjalankan program kegiatannya, Lembaga Percik

    Salatiga menentukan susunan pengurus sebagai berikut

    (http://www.percik.or.id/):

    Pengurus Yayasan : Nico. L. Kana (Ketua)

    Sukotjo (Sekretaris)

    Heru Wijatsih Kuwat Trijanto (Bendahara)

    Direktur : Pradjarta Dirdjosanjoto

    Wakil Direktur : I Made Samiana

    Penelitian : Nico. L. Kana (Tenaga Ahli)

    Setyo Handoyo

    Ninik Handayani

    C. Dwi Wuryaningsih

    Mohammad Akbar

    Singgih Nugroho

    Haryani Saptaningtyas

    Slamet Luwihono

  • Kutut Suwondo (paroh waktu )

    Fera Nugroho (paroh waktu )

    Advokasi : Budi Lazarusli

    RH Dwiprasetyo

    Nick Tunggul Wiratmoko

    Hery Wibowo T

    Agung Waskitoadi

    Damar Waskitojati

    Christina Arief THM

    Unit Penunjang Program : Widya P Setyanto (Publikasi)

    Bernadetta Rorita Dewi (Perpustakaan)

    Unit Penunjang Administrasi, Keuangan dan Kerumahtanggaan:

    Agung Ari Mursito (Administrasi)

    Ambar Istiyani

    Halomoan Pulungan (Keuangan)

    Dewi Retnowati

    Erwin Setiyaning Yuli Astuti

    Dayusman Junus (Kerumahtanggaan)

    Wagiman

    Dendy Gunawan

    Sukiman

    Suyatno

    Lucia Wahini

  • d. Profil Kegiatan Lembaga Percik

    Dalam perjalanan waktu kegiatan Percik telah berkembang dengan

    pesat pada empat areas of concern, yaitu (1) bidang politik lokal, (2)

    pluralisme masyarakat dan budaya, (3) civil society dan demokrasi, serta

    (4) hukum dan HAM. Keempat bidang perhatian ini saling kait mengait

    satu sama lain.

    Di empat bidang perhatian tersebut Percik telah mengembangkan

    kegiatan-kegiatan sebagai berikut (http://www.percik.or.id/):

    1) Kegiatan Penelitian

    Percik menempatkan kegiatan penelitian sebagai salah satu pilar

    utama disamping kegiatan advokasi dan refleksi. Kegiatan penelitian

    dilaksanakan berdasar minat dari dalam lingkungan Percik sendiri,

    kerjasama dengan lembaga lain, ataupun atas ‘pesanan’dari pihak luar.

    Khususnya terhadap penelitian pesanan, Percik berusaha secara kritis

    mempertimbangkan kandungan kepentingan dan kemanfaatan dari

    penelitan yang dipesan.

    Untuk mengembangkan kegiatan di bidang penelitian Percik

    mengembangkan dua pusat penelitian, yaitu:

    a) Pusat Penelitian Politik Lokal (P2PL)

    Pusat Penelitian Politik Lokal (P2PL), semula bernama Pusat

    Penelitian dan Pengembangan Politik Lokal (P3PL), berdiri pada

    pertengahan tahun 1999. Pendirian pusat penelitian ini merupakan

    wujud keinginan Percik untuk mengkaji dinamika dan perkembangan

  • politik lokal sesudah Orde Baru, memberikan dukungan kepada

    kebijakan yang mempertimbangkan situasi dan kondisi politik lokal,

    mengembangkan fungsi pusat informasi tentang politk lokal dan

    mendorong upaya pemberdayaan masyarakat dalam bidang sosial

    politk oleh masyarakat yang bersangkutan dengan memperhitungkan

    temuan penelitian.

    Berkat antara lain dukungan dana dari The Ford Foundation,

    selama kurun waktu 1999-2005 P2PL telah melakukan sejumlah

    program yang berorientasi pada gagasan tersebut di atas yang

    mencakup kegiatan-kegiatan penelitian, pengembangan kelembagaan,

    dan upaya pengembangan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan

    penelitian P2PL memfokuskan pada aspek-aspek dari gejala

    perubahan politik di aras lokal, baik di pedesaan, kecamatan maupun

    kabupaten/kota. Ada enam gejala perubahan yang ditelaah, yaitu (1)

    adanya perubahan atau pergeseran pusat-pusat kekuasaan, (2) adanya

    perubahan basis relasi politik, (3) meluasnya gejala faksionalisme, (4)

    adanya perubahan pola kepemimpinan, (5) perubahan fungsi ideologi,

    dan (6) adanya perkembangan lembaga lokal.

    Keenam gejala perubahan itu didekati lewat telaah terhadap

    isu-isu yang muncul di lokasi-lokasi penelitian P2PL (yaitu di wilayah

    pedesaan di Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah,

    Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, Kabupaten Minahasa

    Sulawesi Utara, Kabupaten Lombok Barat, NTB, Kabupaten Kendari

  • Sulawesi Tenggara, Kabupaten Mamasa Sulewesi Selatan, dan

    Kabupaten Sumba Timur, NTT).

    Pemahaman yang diperoleh dari kegiatan penelitian

    mengungkapkan antara lain, teridentifikasikannya gejala-gejala

    perubahan dalam politik lokal baik dalam kelembagaan formal

    maupun dalam dinamika di kalangan masyarakat, terungkapkannya

    kerangka acuan kultural dalam dinamika politik lokal, dan peranan

    dari kelompok-kelompok agama dalam kehidupan masyarakat desa.

    Selain itu untuk menopang kegiatan penelitian, P2PL

    menyelenggarakan seminar tentang metodologi penelitian, seminar

    tentang temuan penelitian, dan seminar oleh para tamu (sosiolog,

    antropolog, dan ahli ilmu politik) yang memberikan seminar datang

    baik dari dalam negeri (UGM, UNDIP, UNAIR, LIPI) maupun luar

    negeri (VU-Amsterdam).

    Untuk mengembangkan jaringan peminat studi politik lokal,

    P2PL menyelenggarakan Seminar Internasional Dinamika Politik

    Lokal di Indonesia. Seminar ini diselenggarakan setiap tahun, pada

    tahun 2005 ini sudah memasuki tahun keenam. Selain itu P2PL juga

    melakukan pembentukan basis pemerhati politik lokal melalui training

    yang mencakup pemahaman teroritis dan latihan ketrampilan

    penelitian, serta pemberian beasiswa kepada peneliti (yang berasal

    dari kalangan perguruan tinggi dan LSM) yang melakukan studi politk

    lokal.

  • Dalam pengembangan kelembagaan tercakup upaya

    pengembangan sarana pendukung bagi kegiatan-kegiatan P2PL,

    seperti (1) pengembangan koleksi kepustakaan dalam bidang politik

    lokal, (2) penerbitan berkala jurnal Politik Lokal-Humaniora Renai,

    (3) penerbitan seri monografi tentang politik lokal, (4) kerjasama

    pelatihan metodologi (antara lain dengan FISIPOL-UGM, dan CCSS

    Yogyakarta), dan (5) kerjasama penelitian (dengan Menristek,

    CRWRC, dsb).

    Termasuk ke dalam jenis kegiatan ini adalah pemberian

    bimbingan penelitian bagi berbagai pihak (misalnya peserta training

    tersebut di atas, penerima dana RUKK-Menristek) dan penyediaan

    fasilitas station (pangkalan) penelitian. Selama kurun waktu 1999–

    2005 sejumlah peneliti tamu, baik dari dalam negeri maupun luar

    negeri, telah memanfaatkan fasilitas station penelitian P2PL.

    P2PL mendorong upaya masyarakat sendiri untuk

    mengembangkan kemampuan setempat dengan turut

    memperhitungkan hasil penelitian di lokasi studi. Realisasi kegiatan

    ini (lewat FBB dan PDR) telah menunjukkan antara lain

    perkembangan benih-benih demokrasi pada aras pedesaan.

    b) Pusat Studi Transformasi Praktek-Praktek Keagamaan Lokal

    Disamping Pusat Penelitian Politik Lokal, Percik

    mengambangkan Pusat Studi dan Penelitian Transformasi Praktek-

    Praktek Keagamaan Lokal. Pengembangan pusat studi dan penelitian

  • ini dilatar belakangi oleh pemikiran bahwa kajian praktek-praktek

    keagamaan lokal sangat diperlukan untuk memahami sifat perubahan

    politik pada aras lokal. Kajian praktek-praktek keagamaan lokal dapat

    membantu mencermati berbagai bentuk ‘keagenan’ lokal dalam arti

    luas; ‘akar dan rute’ perubahan yang bermula sebagai proses lokal.

    Studi agama lokal sering diabaikan karena dianggap kurang relevan

    bagi pemahaman terhadap perubahan politik dan ekonomi. Padahal

    praktek-praktek keagamaan membantu mengungkapkan cara-cara

    pemegang peran lokal memahami situasi setempat dan berupaya

    mengatasi hambatan yang mereka hadapi. Dalam praktek keagamaan,

    masyarakat setempat merenungkan dan menanggapi isu-isu penting

    serta hambatan yang mereka hadapi. Praktek keagamaan dapat

    dipandang sebagai cara-cara mengatasi isu-isu serta hambatan konkret

    yang menantang para pemegang peran lokal. Pemahaman tentang

    agama-agama setempat dapat menjadi kunci untuk memahami

    transformasi politik dalam arti yang lebih luas.

    Kegiatan dari Pusat Studi Transformasi Praktek-praktek

    Keagamaan Lokal meliputi kegiatan penelitian mengenai berbagai

    topik yang diminati oleh anggota tim peneliti (lihat uraian mengenai

    Penelitian tentang Sejarah Praktek Keagamaan Lokal), training

    metodologi dalam rangka penyiapan penelitian lapang dari kegiatan

    Percik sendiri, training metodologi atas permintaan dari pihak luar

    (Lingkungan Universitas, Lembaga Research, Lembaga Keagamaan,

  • dsb), seminar dan diskusi mengenai topik-topik khusus, serta

    publikasi.

    2) Seminar, Diskusi dan Loka Karya (Workshop).

    Kegiatan seminar, diskusi, dan loka karya diselenggarakan oleh

    Percik sebagai wahana untuk bertukar wacana, belajar bersama mengenai

    topik-topik yang diminati, mendesiminasikan dan membahas hasil-hasil

    penelitian, serta melakukan refleksi kritis terhadap perkembangan

    masyarakat dan ilmu pengetahuan. Dalam penyelenggaraan seminar,

    diskusi, dan lokakarya, nilai-nilai kebebasan, keterbukaan, dan kritis

    mendapat perhatian dan pengutamaan.

    Tema-tema berikut menjadi pokok bahasan Lembaga Percik:

    a) Seminar di seputar masalah Hak Asasi Manusia dan Kebebasan

    Beragama.

    b) Seminar, Lokakarya dan Diskusi mengenai Pemilu 1999

    c) Seminar tentang Desentralisasi dan Otonomi Daerah.

    d) Seminar Internasional Tahunan tentang Dinamika Politik Lokal di

    Indonesia.

    e) Seminar Jurnal Renai yang diadakan dua kali per tahun

    f) Seminar Tamu

    g) Seminar dengan Tema Khusus

    h) Seminar mengenai Metodologi Penelitian

    3) Kegiatan Advokasi.

  • Selain kegiatan penelitian dan penyelenggaraan seminar,

    lokakarya dan diskusi, Percik juga menyelenggarakan program yang

    bersifat advokasi. Diantaranya adalah:

    a) Program Kepemerintahan Lokal (Local Good Governance

    programme)

    Program ini secara khusus bertujuan untuk penguatan

    lembaga-lembaga demokrasi di tingkat lokal, peningkatan mutu SDM,

    serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan

    publik. Bentuk-bentuk kegiatan yang dikembangkan antara lain

    adalah: skill training programme di bidang ke legislatifan (legal

    drafting, analisis budget, dsb), pengembangan kapasitas organisasi,

    dan penyelesaian sengketa alternatif. Skill training programme ini

    antara lain diperuntukkan bagi para anggota legislatif, eksekutif, para

    anggota kelompok perempuan, para aktifis muda di pedesaan, dsb.

    b) Program Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) dan

    Peningkatan Kesadaran Politik Masyarakat.

    Program pendidikan politik ini antara lain bertujuan untuk

    memberikan pengetahuan dasar mengenai demokrasi, hak-hak politik

    warga negara, serta penegakan hukum dan HAM. Untuk tujuan itu

    selain menyelenggarakan pelatihan (antara lain Pendidikan HAM

    untuk Perempuan, untuk para pamong desa, serta untuk warga gereja),

    berbagai bentuk advokasi, Percik juga mengembangkan materi dan

    modul pelatihan advokasi politik dan pendidikan HAM. Dalam rangka

  • menyongsong Pemilu 1999, Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden

    2004, serta Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkadal),

    c) Program Pemberdayaan Civil Society

    Program pemberdayaan Civil Society terutama menekankan

    pada upaya pengembangan nilai-nilai pluralisme dan toleransi, serta

    mendorong semakin luasnya partisipasi masyarakat dalam proses

    penentuan kebijakan publik. Diantara berbagai kegiatannya, termasuk

    di dalamnya adalah Pembentukan forum-forum komunikasi lintas

    agama dan lintas golongan kemasyarakatan serta pengembangan

    forum warga (CBO) di tingkat lokal. Termasuk dalam program ini

    adalah:

    1) Forum Sarasehan Lintas Iman: SOBAT

    2) Program Belajar Bersama: Sobhet.

    3) Desk Pengembangan Kehidupan Bergereja (DPKB)

    d) Program Pendampingan di Bidang Hukum

    Percik memiliki dua program di bidang pendampingan hukum

    yaitu program bantuan hukum di bidang litigasi dan non litigasi yang

    dilakukan oleh Biro Pelayanan dan Bantuan Hukum (BPBH), dan

    program peningkatan fungsi kepolisian beorientasi masyarakat (COP)

    di Salatiga.

    4) Pengembangan Unit Penunjang

    Untuk mendukung kinerja lembaga, Percik mengembangkan unit-

    unit penunjang yaitu perpustakaan dan dokumentasi dengan koleksi

  • khusus, publikasi, teknologi informasi, dan pengembangan Kampoeng

    Percik.

    5) Pengembangan Relasi dan Kerjasama

    Terutama sejak lima taun terakhir, relasi dan kerjasama Percik

    dengan berbagai mitra telah berkembang dengan pesat. Relasi tersebut

    antara lain dengan:

    1) Relasi dengan berbagai pusat studi

    2) Relasi dengan berbagai kelompok dan organisasi keagamaan

    3) Relasi dengan berbagai LSM di tingkat lokal, profinsial maupun

    nasional

    6) Pengembangan Kampoeng Percik

    Sejak tahun 2002 secara bertahap Percik mengembangkan tempat

    kerja yang diberi nama Kampoeng Percik. Tempat kerja ini terletak di

    kota Salatiga berjarak sekitar 1 km dari pusat kota. Di atas tanah seluas

    1.25 ha, tempat kerja ini terdiri dari 6 rumah tradisional Jawa dari kayu

    jati tua yang semula merupakan rumah-rumah penduduk di pedesaan.

    Rumah-rumah tersebut kini difungsikan sebagai kantor administrasi,

    ruang kerja staf, ruang perpustakaan, aula seminar, kantin dan rumah

    tamu. Dengan lokasi yang berada ditengah persawahan, lingkungan

    pepohonan yang hijau, udara yang sejuk dan segar, Kampoeng Percik

    memberi suasana yang akrab dengan alam, nyaman untuk bekerja dan

    berseminar. Di masa mendatang Percik bermaksud melengkapi

    Kampoeng Percik ini dengan fasilitas untuk pusat pelatihan.

  • 2. Sejarah Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama

    Lembaga Percik merupakan lembaga untuk Penelitian Sosial,

    demokrasi dan Keadilan Sosial. Lembaga tersebut sejak awal berdirinya, juga

    memberikan perhatian terhadap persoalan hubungan lintas iman.

    Percik menyelenggarakan program yang bersifat advokasi, di dalamnya

    terdapat berbagai forum kegiatan, yaitu forum komunikasi lintas agama, lintas

    golongan kemasyarakatan dan pengembangan forum warga (CBO). Program

    tersebut melahirkan Forum Sarasehan Lintas Iman yang diberi nama SOBAT.

    Forum SOBAT ini merupakan gerakan untuk pemberdayaan civil society di

    tingkat local. Forum tersebut bertujuan membangun organisasi yang

    mengutamakan warganegara dalam hal lintas agama (citizen based

    organization) yang mampu mencari penyelesaian bersama terhadap berbagai

    ketegangan dan konflik dalam masyarakat (http://www.percik.or.id).

    Strategi pendekatan SOBAT pada dasarnya berupaya untuk

    memperbaiki relasi hubungan lintas agama melalui penciptaan hubungan

    pertemanan diantaranya:

    a) Menciptakan kepercayaan (trust) dengan mengenal orang lain (the Others)

    secara langsung atau tidak langsung, tidak hanya memandang dari

    kacamata Kristen maupun Islam saja atau sebaliknya.

    b) Menciptakan kesediaan belajar bersama tentang konteks lokal kehidupan

    mereka.

    c) Menciptakan kesediaan belajar bersama dan mengembangkan kemampuan

    bersama. Strategi ini dipilih karena relasi lintas iman yang selama ini telah

  • sangat diwarnai oleh kecurigaan dan suburnya prasangka buruk

    (http://www.percik.or.id).

    SOBAT telah berkembang dan membentuk suatu gerakan dan kegiatan

    diantaranya:

    a) Gerakan “Kata Hawa” yang bertujuan untuk mendorong munculnya

    emansipasi wanita lintas iman.

    b) SOBAT Muda, bertujuan untuk mempererat hubungan pertemanan di

    masa mendatang.

    c) Kegiatan Wacana Lintas Iman, merupakan Wahana refleksi dan kerjasama

    teologi lintas iman.

    d) SOBAT Anak, Program ini bertujuan untuk menumbuhkan toleransi pada

    anak yang berbeda latar belakang agama, suku, dan etis, sejak usia dini.

    e) SOBAT juga menjembatani maupun memfasilitasi perkawinan beda

    agama (http://www.percik.or.id).

    Menurut staff percik (wawancara tanggal 12 Desember 2012)

    mengatakan bahwa tidak adanya aturan yang tegas mengenai perkawinan beda

    agama, menimbulkan kebingungan masyarakat dalam menanggapi kasus

    perkawinan beda agama. Ada pihak yang setuju namun ada juga yang tidak

    setuju dengan adanya perkawinan beda agama. Ada yang menganggap sah

    namun ada juga yang menganggap tidak sah perkawinan beda agama. Hal ini

    dipengaruhi oleh pemahaman dan pola pikir masing-masing pihak. Sehingga

    berbagai pasangan yang hendak menikah beda agama dengan tetap memeluk

  • agamanya masing-masing, seringkali mengalami kesulitan untuk mendapatkan

    pelayanan, baik secara administratif maupun keagamaan.

    Berangkat dari berbagai persoalan tersebut akhirnya percik menemukan

    sebuah gagasan tentang perkawinan beda agama yaitu dengan cara

    menghubungkan dan menjadi mediator dengan para tokoh agama, lembaga dan

    instansi pemerintah terkait, yang diperlukan untuk memperoleh pendampingan

    dalam pelaksanaan pernikahan beda agama. Fasilitasi yang dilakukan oleh

    Percik terhadap pasangan beda agama ini diasumsikan sebagai pintu darurat

    yang berusaha memberi tempat/ruang (mempermudah) untuk melakukan

    perkawinan beda agama.

    E. Proses Perkawinan Beda Agama di Percik

    1. Profil Pelaku Perkawinan Beda Agama

    a. Pasangan DH (Kristen) dan AD (Islam)

    Jodoh adalah Rahasia Illahi

    Dalam kehidupan manusia masalah rejeki dan jodoh memang

    menjadi rahasia Tuhan. Manusia hanya berhak merencanakan segala

    sesuatunya namun tetap kuasa akhir berada di tangan Tuhan. Walaupun

    begitu, manusia masih diberi kesempatan untuk mengubah takdir yang

    ada dalam hidupnya. Begitu halnya bagi AD dan DH yang merasa telah

    dijodohkan oleh Tuhan meskipun memiliki latar belakang agama yang

    berbeda.

  • AD tinggal di Perum Bandung Indah Kostrad RT.02 RW.08,

    sedangkan Dian tinggal di JL. Brigjen Sudiarto III/31 Desa Kalicacing.

    Pertemuan AD dan DH berawal dari tempat kerja yang sama, mereka

    sama-sama bekerja di Yayasan Salib Suci TK-SD Ignatius Slamet

    Riyadi-Karawang. Mereka mulai akrab kira-kira tahun 2008, saat itu

    Agung sudah bekerja di sekolah tersebut sejak tahun 2004 sedangkan

    DH masuk tahun 2007. Waktu dua tahun digunakan AD dan DH untuk

    saling memahami dan memikirkan kelanjutan hubungan mereka ke

    depan. Karena memang sejak awal AD meminta DH bukan untuk

    menjadi pacar, tapi sebagai istri, jadi selama dua tahun tersebut mereka

    berpacaran untuk memikirkan bagaimana mereka bisa melangsungkan

    perkawinan dan menyakinan kepada keluarga masing-masing.

    Pada awal AD menyampaikan keinginannya untuk menikah

    dengan DH yang beragama Kristen (2009), sempat ada pertentangan

    dari orang tua AD mengenai rencana perkawinan mereka. Mengingat

    orang tua AD termasuk orang yang cukup taat pada ajaran agamanya.

    Orang tua AD juga berasal dari keluarga muslim, maka dari pihak

    keluarga AD pun banyak pertentangan dengan keinginanya tersebut.

    AD lahir dan besar dengan didikan agama Islam baik dari orang tua

    maupun dari bangku sekolahnya.

    Orang tua AD meminta kepada AD untuk memikirkan kembali

    pilihannya, terbesit keinginan bagi mereka agar AD menikah dengan

    wanita yang satu keyakinan. Setelah kira-kira satu tahun kemudian, AD

  • menyampaikan tekadnya untuk tetap menikah beda agama. Alasan yang

    diutarakan AD memilih perkawinan beda agama adalah berniat untuk

    ibadah dan berbuat baik. Agung sudah mengetahui perkawinan beda

    agama sejak masih SMP, karena ada tetangganya yang menikah beda

    agama. Saat itu memang AD memandangnya sebagai suatu keanehan,

    tapi ternyata takdir berkata lain, bahwa AD juga termasuk yang

    dijodohkan Tuhan untuk melakukan perkawinan beda agama juga.

    Dari pihak kelu