farmakologiobat-obatanestesi

37
PRINSIP DASAR FARMAKOLOGI DAN APLIKASI OBAT ANESTESI 1.1 Pendahuluan Istilah anestetik dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes yang artinya tidak ada rasa sakit. Anestetik dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu anestetik lokal yang merupakan penghilang rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran, dan anestetik umum sebagai penghilang rasa sakit yang disertai hilangnya kesadaran. Semua zat anestesi umum menghambat susunan saraf secara bertahap, mula-mula fungsi yang kompleks akan dihambat dan yang paling akhir adalah medula oblongata yang mengandung pusat vasomotor dan pusat pernafasan yang vital. Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter menjadi 4 stadium, yaitu stadium analgesia, satdium delirium, stadium pembedahan, dan stadium paralisis medulla. 1 Obat anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Obat ini bekerja pada setiap bagian saraf. Pemberian anestetik lokal pada kulit akan menghambat transmisi impuls sensorik, sebaliknya pemberian anestetik lokal pada batang saraf menyebabkan paralisis sensorik dan motorik di daerah yang dipersarafinya. Mekanisme kerja anestetik lokla adalah mencegah konduksi dan timbulnya impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di membran sel. 1 Prinsip dasar farmakologi obat anestetik, meliputi transfer membran, absorbsi, metabolisme, distribusi, dan eliminasi obat. Pada anestetik lokal, peristiwa farmakologik ini lebih sederhana tanpa mempengaruhi pusat kesadaran di SSP. 1 Kepentingan utama farmakologi anestetik secara klinis adalah dalam menentukan dosis yang optimal untuk suatu obat, dimana dalam selang dosis tersebut obat akan mempunyai efek terapi tanpa menimbulkan efek toksik. Seberapa besar jumlah yang diperlukan ditentukan dengan menentukan tingkat konsentrasi minimal yang dapat menimbulkan efek separuh dari efek terapi yang diharapkan, dan tingkat konsentrasi maksimal yang umumnya ditentukan pada jumlah konsentrasi obat. 2 2.1 Prinsip Dasar Farmakologi Klinik Obat Anestesi 2.1.1 Transfer Membran Obat Anestetik Peristiwa terpenting dalam proses farmakokinetik adalah transport lintas membran. Dan untuk melintasi membran, cara yang dipakai adalah dengan difusi pasif dan transport aktif. Kebanyakan obat berupa elektrolit lemah (asam atau basa lemah), yang dalam larutan, dalam hal ini cairan tubuh, akan terionisasi. Derajat ionisasinya tergantung pKa obat dan pH larutan. Untuk obat asam, pKa rendah berarti relatif kuat dan demikian pula sebaliknya. Bentuk non ion umumnya larut baik dalam lemak sehingga mudah berdifusi melintasi membran dengan cara melarut

Upload: vicky-zulpiqor

Post on 26-Jun-2015

1.764 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

PRINSIP DASAR FARMAKOLOGI DAN APLIKASI OBAT ANESTESI

1.1 Pendahuluan Istilah anestetik dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes yang artinya

tidak ada rasa sakit. Anestetik dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu anestetik lokal yang merupakan penghilang rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran, dan anestetik umum sebagai penghilang rasa sakit yang disertai hilangnya kesadaran. Semua zat anestesi umum menghambat susunan saraf secara bertahap, mula-mula fungsi yang kompleks akan dihambat dan yang paling akhir adalah medula oblongata yang mengandung pusat vasomotor dan pusat pernafasan yang vital. Guedel (1920) membagi anestesi umum dengan eter menjadi 4 stadium, yaitu stadium analgesia, satdium delirium, stadium pembedahan, dan stadium paralisis medulla.1

Obat anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Obat ini bekerja pada setiap bagian saraf. Pemberian anestetik lokal pada kulit akan menghambat transmisi impuls sensorik, sebaliknya pemberian anestetik lokal pada batang saraf menyebabkan paralisis sensorik dan motorik di daerah yang dipersarafinya. Mekanisme kerja anestetik lokla adalah mencegah konduksi dan timbulnya impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di membran sel.1

Prinsip dasar farmakologi obat anestetik, meliputi transfer membran, absorbsi, metabolisme, distribusi, dan eliminasi obat. Pada anestetik lokal, peristiwa farmakologik ini lebih sederhana tanpa mempengaruhi pusat kesadaran di SSP. 1

Kepentingan utama farmakologi anestetik secara klinis adalah dalam menentukan dosis yang optimal untuk suatu obat, dimana dalam selang dosis tersebut obat akan mempunyai efek terapi tanpa menimbulkan efek toksik. Seberapa besar jumlah yang diperlukan ditentukan dengan menentukan tingkat konsentrasi minimal yang dapat menimbulkan efek separuh dari efek terapi yang diharapkan, dan tingkat konsentrasi maksimal yang umumnya ditentukan pada jumlah konsentrasi obat.2

2.1 Prinsip Dasar Farmakologi Klinik Obat Anestesi 2.1.1 Transfer Membran Obat Anestetik

Peristiwa terpenting dalam proses farmakokinetik adalah transport lintas membran. Dan untuk melintasi membran, cara yang dipakai adalah dengan difusi pasif dan transport aktif. Kebanyakan obat berupa elektrolit lemah (asam atau basa lemah), yang dalam larutan, dalam hal ini cairan tubuh, akan terionisasi. Derajat ionisasinya tergantung pKa obat dan pH larutan. Untuk obat asam, pKa rendah berarti relatif kuat dan demikian pula sebaliknya. Bentuk non ion umumnya larut baik dalam lemak sehingga mudah berdifusi melintasi membran dengan cara melarut

Page 2: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

1

dalam lemak membran. Sedangkan bentuk ion, sukar melintasi membran karena sukar larut dalam lemak.2

Membran sel merupakan membran semipermeable, sehingga dapat dilewati air dan zat terlarut bukan ion yang berat molekulnya kurang dari 100-200, yang merembesi dinding membran sel secara difusi melalui kanal hidrofilik akibat perbedaan tekanan hidrostatik maupun tekanan osmotik. 2

Transport obat melintasi endotel kapiler terutama melalui celah-celah antarsel, kecuali di susunan saraf pusat karena pada sususnan syaraf pusat celah kapilernya sangat kecil. Celah endotel kapiler dapat meloloskan molekul besar sampai molekul dengan berat molekul sebesar 67.000. Obat bebas, termasuk yang tidak larut dalam lemak dan bentuk ion sekalipun, umumnya mempunyai berat molekul lebih kecil dari 67.000, sehingga semuanya dapat dapat melalui celah endotel kapiler. Proses ini berperan dalam absorbsi obat setelah pemberian parenteral. 2 2.1.2 Absorbsi dan Bioavailabilitas Obat

Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut kelengkapan dan kecepatan trasfer obat dari tempat pemberiannya, dinyatakan dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Tapi secara klinik yang lebih penting adalah bioavailabilitas, yang mana menyatakan jumlah obat, dalam persen terhadap dosis, yang mencapai tempat kerjanya atau sirkulasi sistemik. Ini terjadi karena tidak semua yang diabsobsidari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik. Sebagian akan dimetabolisme di hati pada lintasan pertamanya, dikenal dengan istilah metabolisme atau eliminasi lintas pertama. Obat semacam ini mempunyai bioavailabilitas oral yang tidak begitu tinggi, sehingga untuk mencapai sirkulasi sistemik lebih sering diberikan bukan secara oral, dapat dengan cara parenteral, sublingual ataupun rektal. 3

Pemberian intravena tidak mengalami absorpsi, maka kadar obat dalam darah diperoleh secara tepat, cepat dan dapat disesuaikan dengan renspon penderita. Larutan yang iritatif hanya dapat diberikan dengan cara ini karena dinding pembuluh darah relatif tidak sensitif, dibandingkan dengan pemberian secara subkutan ataupun intramuskular, dan bila diberikan secara perlahan akan mengalami pengenceran oleh darah.2

2.1.3 Distribusi Obat

Distribusi obat setelah ada dalam sirkulasi tubuh terjadi dalam dua tahap. Fase pertama terjadi segera setelah penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik (jantung, hati, ginjal dan otak). Selanjutnya fase kedua mencakup organ yang perfusinya tidak sebaik organ di atas (otot, vicera, kulit dan jaringan lemak). Pada organ-organ tersebut, difusi ke ruang interstisial jaringan terjadi cepat karena celah antar sel endotel kapiler mampu melewatkan obat bebas, kecuali di sususnan saraf pusat. Kemudian obat yang larut dalam lemak akan terdistribusi ke dalam sel, dengan cara melarut dalam lemak membran sel, sedangkan yang sulit menembus membran sel akan terbatas distribusinya sampai di cairan ekstrasel.2

Page 3: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

2

Distribusi juga dipengaruhi oleh ikatan obat terhadap protein plasma, disini protein plasma berfungsi sebagai tempat penampungan obat, dimana hanya obat bebas yang dapat berdifusi dan mencapai keseimbangan. Derajat ikatannya ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat dan kadar proteinnya sendiri, sehingga pengikatan obat ini akan berkurang jika terjadi malnutrisi berat karena akan terjadi defisiensi protein. Adanya tempat penampungan dalam tubuh dapat memperpanjang kerja obat, karena obat yang terakumulasi dalam keseimbangan antara tempat penampungan dengan obat di plasma, akan dilepaskan dari tempat penampungan jika kadar di plasma menurun. Sebaliknya, kerja obat dapat memendek jika terjadi redistribusi ke jaringan lain dimana obat tersebut tidak mempunyai efek, biasanya terjadi pada obat yang sangat larut dalam lemak.4 2.1.4 Eliminasi Obat

Obat dikeluarkan dari dalam tubuh, baik dalam bentuk asal maupun hasil metabolismenya, melalui berbagai organ tubuh. Obat atau metabolit polar umumnya lebih mudah diekskresi dari pada yang larut dalam lemak.2,5 Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi disini merupakan hasil dari 3 proses, yakni filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal, dan reabsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal sehingga dosis perlu diturunkan atau interval pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.3

Selain ginjal, hati juga merupakan organ ekskresi yang penting, dimana hasil metabolisme dikeluarkan melalui empedu dan kemudian dibuang melalui feses, meskipun sering kali dilakukan penyerapan kembali di usus dan akhirnya diekskresikan melalui ginjal.4 2.1.5 Metabolisme Obat

Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim.2,5 Dalam proses ini umumnya obat diubah menjadi lebih polar (lebih mudah larut dalam air) sehingga lebih mudah dikeluarkan dari dalam tubuh melalui ginjal. Proses biotransformasi ini juga merubah aktivitas obat, yang umumnya merubahnya menjadi bentuk yang tidak aktif, meskipun ada juga yang merubah calon obat menjadi obat yang aktif dari bentuk sebelumnya yang tidak aktif.2

Reaksi biokimia yang terjadi dapat dibedakan atas reaksi fase I dan fase II. Reaksi fase I meliputi oksidasi, reduksi dan hidrolisis, ini mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar, yang dapat bersifat inaktif, kurang aktif atau lebih aktif. Reaksi fase II, disebut juga reaksi sintetik, merupakan konyugasi obat atau metabolit hasil reaksi fase I dengan substrat endogen, sehingga menghasilkan metabolit yang lebih mudah terionisasi dan mudah dieksresi. Tidak semua obat melalui kedua fase ini, ada juga yang hanya melalui fase I tanpa harus melalu fase II untuk dapat dieksresi dari dalam tubuh, ataupun hanya melalui fase II saja.4 2.1.6 Prinsip Farmakokinetik Klinik

Page 4: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

3

Farmakologi klinik adalah cabang farmakologi yang mempelajari efek obat pada manusia.2. Sedangkan farmakokinetik klinik adalah bagian farmakologi klinik yang membahas obat dari segi farmakokinetiknya. Dasar pemikiran disusunnya farmakokinetik klinik adalah untuk mengetahui hubungan antara toksisitas obat dengan cara penentuan kadar obat tersebut di dalam tubuh. Dari hasil penelitian berbagai jenis obat, didapati adanya kesesuaian antara konsentrasi obat dalam sirkulasi dengan konsentrasi obat di tempat kerjanya. Sehingga untuk menentukan dosis yang aman untuk suatu obat, dianggap cukup dengan mengetahui konsentrasi obat tersebut di dalam sirkulasi. Untuk itu dipakai tiga parameter utama dalam menentukan hal tersebut. Parameter pertama adalah bersihan obat, yang mengukur kemampuan tubuh untuk mengeluarkan obat dari dalam tubuh. Kedua adalah volume distribusi, yang mengukur tempat yang tersedia dalam tubuh guna menampung sejumlah obat. Ketiga adalah bioaviabilitas dari obat, yang menujukkan seberapa besar fraksi obat yang diabsorpsi dan beredar dalam sirkulasi.3

Bersihan obat. Bersihan obat adalah konsep yang terpenting dalam menentukan dosis dari

suatu obat. Tujuan penentuan dosis obat adalah memberikan jumlah yang cukup untuk menjaga konsentrasi suatu obat dalam batas yang menimbulkan efek terapi. Jadi bila konsentrasi tersebut dan nilai bersihannya diketahui maka dosis yang diperlukan dapat ditentukan dengan memkai persamaan sebagai berikut :

Dosis = CL x Css dimana CL adalah bersihan obat secara keseluhan (bersihan sistemik) dan Css adalah konsentrasi dalam sirkulasi yang dikehendaki.3

Bersihan bukan menunjukkan berapa jumlah obat yang dapat dikeluarkan dari tubuh, tapi menunjukkan berapa jumlah cairan tubuh, dalam hal ini adalah plasma darah, yang dapat dibebaskan dari suatu obat yang terlarut didalamnya. Bersihan dinyatakan dalam volume per unit waktu. Karena pembebasan obat dari plasma dapat dilakukan oleh berbagai macam organ, maka yang dihitung adalah jumlah dari semua bersihan yang dilakukan oleh berbagai organ tersebut. Seperti diketahui organ utama yang berperan dalam membersihkan obat dari plasma adalah ginjal dan hati, maka bersihan sistemik dapat dihitung dengan persamaan :

CL sistemik = CL renal + CL hepar + CL organ lain Dari persamaan di atas terlihat bahwa bersihan sistemik dapat dipengaruhi oleh adanya gangguan fungsi organ-organ yang berperan dalam pembersihan tersebut.3 Volume distribusi.

Volume distribusi dari suatu obat berhubungan dengan jumlah obat yang ada dalam tubuh dan konsentrasi obat tersebut dalam plasma. Jadi Xd adalah jumlah obat yang baru saja diberikan dan C adalah konsentrasinya dalam plasma sesaat setelah itu (t=0) maka volume distribusi dari obat tersebut didapat dengan persamaan :

VD = Xd / C Sebagai contoh, obat yang sangat kuat terikat pada protein plasma tidak akan

segera meninggalkan sirkulasi dengan jumlah yang berarti, mempunyai nilai VD yang kecil. Sebaliknya obat yang sangat larut dalam lemak, sehingga mudah terikat dengan protein jaringan di luar sirkulasi, akan mempunyai nilai VD yang besar. Pada

Page 5: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

4

pemberian secara terus menerus, misalnya melalui tetesan infus, terjadi keadaan stabil dimana konsentrasi dalam sirkulasi akan dipertahankan, untuk ini diberikan simbol khusus yaitu Vss.5

Volume distribusi dapat bervariasi tergantung dari berbagai macam faktor seperti pKa, derajat ikatannya dengan protein plasma, koefisien partisi terhadap lemak dan juga terhadap jaringan lain. Dan selain dari itu juga perlu dipertimbangkan adanya perubahan fungsi dari jaringan yang berperan sebagai tempat penampungan obat dalam tubuh karena faktor usia, jenis kelamin, penyakit dan komposisi jaringan dalam tubuh.5 Waktu paruh.

Waktu paruh (t1/2) adalah waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan konsentrasi obat dalam plasma sampai setengah jumlah semula. Waktu paruh dipengaruhi baik oleh nilai bersihan maupun nilai volume distribusi, hal mana hubungannya dapat terlihat dengan persamaan sebagai berikut :

t 1/2 = 0,693 x Vss / CL Dari persamaan diatas dapat ditentukan perkiraan waktu paruh suatu obat jika nilai volume distribusi dalam keadaan stabil dan nilai bersihannya diketahui. Perlu diingat bahwa baik volume distribusi maupun bersihan suatu obat dapat berubah sesuai dengan kondisi suatu individu tertentu, sebagaimana telah dibahas sebelumnya.5

Bioaviabilitas. Jumlah obat yang mencapai sirkulasi sistemik dapat dinyatakan sebagai fraksi

dari suatu dosis, yang sering disebut bioaviabilitas. Disini nilai bioavibilitas sangat tergantung dari proses absorpsi dari obat tersebut, yang dengan sendirinya ditentukan juga dengan cara pemberian obat tersebut. Karena pada pemberian secara intara vena obat langsung berada dalam sirkulasi sistemik, maka nilai bioaviabilitasnya adalah 1, yang artinya seluruh obat yang diberikan berada dalam sirkulasi setelah pemberian dilakukan. 5 Penentuan dosis obat.

Kepentingan utama farmakokinetik secara klinis adalah dalam menentukan dosis yang optimal untuk suatu obat, dimana dalam selang dosis tersebut obat akan mempunyai efek terapi tanpa menimbulkan efek toksik. Seberapa besar jumlah yang diperlukan ditentukan dengan menentukan tingkat konsentrasi minimal yang dapat menimbulkan efek separuh dari efek terapi yang diharapkan, dan tingkat konsentrasi maksimal yang umumnya ditentukan pada jumlah konsentrasi obat dimana akan menimbulkan efek toksik pada 5 % - 10 % dari seluruh penderita. Dalam memantau efek dari obat, diperlukan cara pemantauan yang memadai sehingga peningkatan dosis dapat dilihat pengaruhnya pada efek yang dipantau. 2

Dosis awal adalah dosis yang diperlukan untuk mencapai tingkat konsentrasi optimal dalam waktu singkat. Pada pemberian awal suatu obat, akan terjadi distribusi obat keluar dari sirkulasi sistemik sesuai dengan volume distribusinya sehingga konsentrasi di sirkulasi sistemik menurun dan baru akan mencapai nilai optimal yang diperlukan untuk menimbulkan efek terapi setelah dosis berikut ditambahkan atau terjadi redistribusi kembali ke sirkulasi dari tempat-tempat penampungan obat

Page 6: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

5

tersebut. Oleh karenanya diperlukan jumlah yang lebih besar pada awal pemberian untuk mengisi tempat penampungan obat diluar sirkulasi sistemik, sehingga efek terapi segera dapat ditimbulkan.2

Dosis pemeliharaan adalah jumlah obat yang diperlukan untuk mempertahankan konsentrasi obat dalam sirkulasi sistemik dalam keadaan stabil. Ini dapat dicapai dengan pemberian terus menerus (misalnya dengan melalui infus) maupun secara berselang diberikan jumlah tertentu. Pemberian berselang akan menyebabkan konsentrasi di sistemik berfluktuasi sesuai dengan selang waktu yang dipakai karena selama waktu itu akan terjadi bersihan dari obat tersebut. Umumnya selang waktu yang dipilih untuk memberikan dosis ulangan adalah sesuai dengan waktu paruh, meskipun ada obat dengan selang dosis yang besar tanpa menimbulkan efek toksik, dapat diberikan dengan dengan selang waktu yang jauh lebih lama dari waktu paruhnya, yang dengan sendirinya diberikan pengulangan dosis dengan jumlah lebih besar, ini berarti menimbulkan fluktuasi yang cukup besar dari konsentrasi obat di sirkulasi sistemik.6 2.2 Tinjauan Farmakologik Anestetik Umum 2.2.1 Anestetik Inhalasi

a. Eter Eter diperoleh sengan memanaskan etil alkohol dengan asam sulfur di

bawah suhu 130 oC. Eter tidak berwarna , mudah menguap, dan berbau khas. Eter tidak bereaksi dengan soda lime, mudah terbakar atau meledak, dan dapat terurai oleh cahaya, panas, atau udara.7

Secara farmakologi klinis, eter mempengaruhi sejumlah fungsi sistem organ tubuh. Eter mampu meningkatkan denyut nadi, merangsang simpatis, dan mendepresi vagal. Aritmia jarang terjadi. Frekuensi napas bertambah pada permulaan anestesi, dan kemudian melambat. Sekresi saluran napas meningkat. Tekanan intrakranial juga meningkat akibat dilatasi pembuluh darah otak. 7

Rangsangan sentral simpatis menimbulkan peningkatan katekolamin plasma, dengan konsekuensi peningkatan denyut jantung, produksi glikogen bertambah, disertai peningkatan kadar gula darah. Mual dan muntah dapat merupakan komplikasi saluran cerna akibat menurunnya otot tonus gastrointestinal. Relaksasi otot sangat baik pada penggunaan eter. 7

Keuntungan penggunaan eter adalah harganya yang murah dan mudah didapat, tidak perlu digabung dengan obat anestesi lain, karena memenuhi trias anestesi. Penggunaan alat dan metode sederhana memungkinkan eter sangat portabel. Batas keamanan eter juga cukup lebar sehingga mudah digunakan. 7

Page 7: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

6

Kelemahan eter antara lain sifatnya yang mudah terbakar dan meledak, bau yang tidak enak dan iritatif, hipersekresi kelenjar ludah, serta menyebabkan hiperglikemia dan mual muntah. 7

b. Halotan Halotan merupakan anestetik umum inhalasi dengan nama IUPAC 2-

bromo-2-kloro-1,1,1-trifluoroetan. Halotan merupakan satu dari dua agen anestetik inhalasi yang terdaftar dalam formulasi WHO 2004 untuk anestesi induksi dan pemeliharaan, selain eter. Perbedaannya adalah, halotan merupakan agen anestetik yang bersifat terfluorinasi.8

Halotan memiliki karakter fisik bersih, tidak berwarna, tidak mudah terbakar, dan tidak iritatif. Titik didih 50,3 oC. Dekomposisi dapat terjadi setelah pemajanan sinar, dan untuk menghindari hal ini, halotan perlu ditambahkan timol 0,01%. 8

Untuk induksi anestesi, halotan diberikan dengan konsentrasi 2 – 4% v/v pada dewasa, dan 1,5 – 2 % v/v pada anak-anak, dan diberikan bersama oksigen atau campuran oksigen-nitrous oksida. Induksi dapat dimulai dengan konsentrasi 0,5% v/v dan secara bertahap dititrasi dengan meningkatkan dosis ke level tertentu. Untuk dosis pemeliharaan dewasa dan anak-anak adalah 0,5 – 2 % v/v. Untuk orang tua, dosis dapat dikurangi. 8

Penggunaan halotan perlu mempertimbangkan fisiologis hepar, karena halotan secara bermakna dapat memicu hepatitis fulminan. Halotan juga bersifat mendepresi miokardial sehingga menyebabkan bradikardi dan hipotensi. Peningkatan sensitivitas terhadap katekolamin mampu menyebabkan aritmia jantung. Efek samping lainnya adalah PONVS (Postoperative nausea, vomiting, and Shivering), peningkatan tekanan intrakrnial, penurunan aliran darah renal dan GFR, hipertermia. 8

c. Enfluran Enfluran merupakan eter terhalogenasi yang telah digunakan sebagai anestesi inhalasi sejak dikembangkan tahun 1963. enfluran memiliki nama kimia 1-kloro-1,1,2,-trifluoroetil-difluorometil-eter. Memiliki titik didih pada 56,5 oC. Nilai MAC adalah 1,68. Induksi dengan enfluran terjadi secara cepat dan lancar. Jarang terdapat mual dan muntah. Pemulihan paska anestesi enfluran juga cepat.7 Enfluran berbentuk cair pada suhu kamar, mudah menguap, dan berbau enak. Enfluran merupakan anestesi poten, mendepresi SSP dan menimbulkan efek hipnotik. Pada konsentrasi inspirasi 3-3,5% dapat timbul perubahan pada EEG, berupa gelombang epileptiform. Pada anestesi yang dalam dapat menimbulkan penurunan tekanan darah disebabkan depresi pada miokard. Selain itu, enfluran juga mendepresi napas dengan menurunkan volume tidal. Pada otot, terjadi efek relaksasi sedang dan efek ini meningkatkan kinerja obat-obat relaksan otot. Enfluran tidak memiliki efek hepatotoksik atau nefrotoksik. Namun, beberapa literatur melaporkan adanya efek nefrotoksik dan kegagalan ginjal akut akibat metabolit yang dihasilkan oleh metabolisme enfluran.7

Page 8: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

7

d. Desfluran

Desfluran (2,2,2-trifluoro-1-fluoroetil-difluorometil eter) merupakan etil metil eter berfluorinasi yang digunakan sebagai agen pemelihara anestesi umum. Bersama dengan sevofluran, penggunaannya mulai menggantikan isofluran, meskipun harganya lebih mahal. Desfluran memiliki onset kerja yang sangat singkat dan kelarutan dalam darahnya sangat rendah.9

Kelemahan desfluran adalah potensinya yang kurang kuat, perih, dan harga yang mahal. Desfluran juga dapat menyebabkan takikardi dan iritasi saluran napas bila digunakan pada konsentrasi lebih dari 10%. Desfluran menunjukkan reaksi dengan CO2 pada sirkuit anestesi.9 Desfluran sangat stabil dan tahan terhadap degradasi soda lime dan hepar. Eksresi dari florida organik dan inorganik minimal. Konsentrasi rata-rata setelah pemberian 1.0 MAC (minimum alveolar concentration)/ jam desflurane adalah kurang dari 1 mmol/L. Paparan lama desflurane berkaitan dengan fungsi ginjal normal.10

e. Isofluran Isofluran merupakan isomer dari enfluran dengan efek-efek samping

yang minimal. Isofluran memiliki nama kimia 2-kloro-2-(difluorometoksi)-1,1,1-trifluoro-etan, merupakan eter berhalogenasi yang digunakan untuk anestesi inhalasi. Karakteristik fisik isofluran antara lain titik didih 48,5 OC, nilai MAC 1,15 vol %.7,11

Mekanisme terkait sifat anestetik masih belum sepenuhnya dipahami, namun diduga terdapat interaksi isofluran dengan berbagai reseptor pada transmisi sinaptik. Isofluran mengikat reseptor GABA, reseptor glutamat, dan reseptor glisin, serta menghambat konduksi kanal kalium. Penghambatan glisin akan membantu menghambat fungsi motorik. Aktivasi kalsium ATPase akan meningkatkan permeabilitas membran.11

Seperti anestesi inhalasi yang lain, isofluran juga mendepresi napas. Volume tidal dan frekuensi napas dapat menurun menimbulkan dilatasi bronkus, sehingga baik untuk kasusu penyakit paru obstruksi menahun.7

Depresi terhadap jantung minimal dibandingkan enfluran dan halotan. Pada beberapa kasus dapat menyebabkan takikardi. Isofluran memiliki efek relaksasi otot yang baik dan berpotensiasi dengan obat relaksan otot, namun tidak terlalu merelaksasi otot uterus pada kasus obstetri.7

Berbeda dengan enfluran, obat ini tidak menimbulkan perubahan gambaran epileptiform pada EEG, serta tidak begitu mempengaruhi aliran darah otak. Metabolisme yang minimal menyebabkan obat ini aman bagi fungsi hepar dan ginjal.7,11

f. Sevofluran Sevofluran memiliki nama kimia fluorometil heksafluoroisopropil eter,

merupakan agen anestesi inhalasi berbagu manis, tidak mudah meledak, yang merupakan hasil fluorinasi metil isopropil eter. Sevofluran memiliki titik didih 58,6 oC dan nilai MAC 2 vol%. Penggunaan sevofluran dapat diberikan

Page 9: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

8

bersama oksigen dan N2O. Onset kerja obat sangat cepat, dan konsentrasinya dalam darah relatif rendah.12

Sevofluran dapat membentuk 2 senyawa hasil degradasi selama anestesi dilakukan, yaitu senyawa A dan senyawa B, yang pembentukannya akan meningkat terutama bila suhu terlalu tinggi atau soda lime telah rusak. Senyawa A dapat menyebabkan nekrosis renal pada tikus, sedangkan pada manusia, derajat kerusakan jaringan ginjal masih sedang dalam penelitian. Dengan memperhatikan hal ini, sevofluran dianjurkan diberikan dengan minimum aliran gas 2 liter/menit, karena aliran yang rendah akan memicu peningkatan temperatur soda lime.12

g. Metoksifluran Methoxyfluran merupakan obat anestesi yang pada tahun 1960 dan

1970an kontra indikasi terhadap pasien dengan penyakit ginjal karena biotransformasinya menjadi nephrotoksik, florida inorganik, dan asam oksalik. Enfluran juga mengalami biotransformasi menjadi florida inorganik tetapi kadar setelah 2-4 jam anastesi hanya 19 mM pada pasien dengan penyakit ginjal ringan sampai dengan sedang, secara signifikasn nilainya lebih rendah dari ambang nephrotoksis yaitu 50 mM, sehingga dengan kadar ini florida tidak menyebabkan gangguan ginjal lebih lanjut. Kadar fluorida dari isofluran adalah 3-5 mM dan hanya 1 sampai 2 mM setelah halotan, sehingga obat-obat tersebut tidak potensial nephrotoksik.13

h. Nitrous Oksida Nitrous oksida merupakan gas inhalan yang digunakan sebagai agen

pemelihara anestesi umum. Penggunaan nitrous oksida bersama dengan oksigen atau udara. Efek anestesi nitrous oksida menurun bila digunakan secara tunggal, sehingga perlu pula penambahan agen anstetik lainnya dengan dosis rendah. Nitrous oksida memiliki efek analgetik yang baik. Penggunaan campuran nitrous oksida dengan oksigen 50:50 v/v disebut entonox, yang digunakan sebagai analgesi daripada anestesi.8

N2O diserap dengan cepat dalam tubuh, yaitu 1 liter/menit dalam menit pertama. Terdapat 3 fase pengambilan N2O berdasarkan saturasi arteri, yaitu pertama, dalam 5 menit mencapai 50% saturasi; kedua, daam 30-90 menit mencapai 90% saturasi; dan dalam 5 jam mencapai saturasi penuh. Dalam 100 mL darah dapat terlarut 47mL N2O, dan hampir seluruhnya dikeluarkan kembali melalui paru.7

N2O nerupakan zat anestesi lemah, menimbulkan efek analgesia dan hipnotik lemah. Efek kardiovaskular minimal, sehingga perubahan pada frekuensi jantung, irama, dan curah jantung maupun EKG juga minimal. Pernapasan tidak banyak dipengaruhi. Depresi napas terjadi pada pemakaian N2O tanpa oksigen. Sensitivitas laring dan trakea terhadap manipulasi menurun.7

Pada sistem lain, seperti gastrointestinal, sistem urologi, dan reproduksi tidak banyak dipengaruhi. Tidak terjadi relaksasi otot atau perubahan terhadap fungsi endokrin dan metabolik.7,14

Page 10: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

9

i. Xenon Meskipun jarang digunakan dan kurang popular, xenon merupakan

unsur gas mulia yang stabil dan dapat digunakan sebagai agen anestesi umum. Terdapat dua mekanisme yang diduga menyebabkan unsur ini memiliki sifat anestesi. Pertama, adanya penghambatan pompa kalsium ATP-ase, yang menyebabkan hilangnya kalsium sel, termasuk membran sel sinaptik. Pendapat kedua mengatakan bahwa xenon memiliki interaksi nonspesifik dengan lipid membran.15

Xenon memiliki nilai MAC 71 vol%, menyebabkan unsur ini lebih poten 50% dibanding N2O. Penggunaan bersama oksigen akan meminimalisir risiko hipoksia. Tidak seperti N2O, xenon tidak termasuk gas rumah kaca, sehingga lebih aman untuk lingkungan.15

2.2.2 Anestetik Intravena Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur

intravena, baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot. Setelah berada didalam pembuluh darah vena, obat – obat ini akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi umum, selanjutnya akan menuju target organ masing – masing dan akhirnya diekskresikan sesuai dengan farmakodinamiknya masing-masing.16

Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu batas keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek yang diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal.16

a. Propofol Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia

intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi.17

Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3 tahun.5 Mengandung lecitin, glycerol dan minyak soybean, sedangkan pertumbuhan kuman dihambat oleh adanya asam etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal tersebut sangat tergantung pada pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg).18

Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui ,tapi diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor GABA – A (Gamma Amino Butired Acid) dan reseptor glisin, yang menyebabkan terhambatnya penutupan kanal ion.19

Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98% terikat protein plasma, eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi suatu metabolit tidak aktif, waktu paruh propofol diperkirakan berkisar antara 2 – 24 jam. Namun dalam kenyataanya di klinis jauh lebih pendek karena propofol didistribusikan

Page 11: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

10

secara cepat ke jaringan tepi. Dosis induksi cepat menyebabkan sedasi ( rata – rata 30 – 45 detik ) dan kecepatan untuk pulih juga relatif singkat. Satu ampul 20ml mengandung propofol 10mg/ml. Popofol bersifat hipnotik murni tanpa disertai efek analgetik ataupun relaksasi otot.18,19,20

Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik, pada pemberian dosis induksi (2mg /kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. 16,18

Dapat menyebakan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun sekali disertai dengan peningkatan denyut nadi, pengaruh terhadap frekuensi jantung juga sangat minim.18

Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasus dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian diprivan.16,19

Dosis dan penggunaan propofol sebagai agen anestesi, yaitu: • Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV. • Sedasi : 25 to 75 µg/kg/min dengan I.V infus • Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 - 150 µg/kg/min IV (titrasi). • Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila

digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain. • Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi yang

minimal 0,2% • Profofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam

lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri.

Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai 75%. Nyeri

ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada pemberian propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan lidocain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan, berikan secara I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan propofol. Propofol merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati – hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti hiperlipidemia dan pankreatitis.16,19

b. Etomidate

Etomidate merupakan agen anestetik intravena kerja cepat yang digunakan sebagai induksi dan sedasi dalam prosedur operasi singkat, seperti reduksi dislokasi sendi dan kardioversi. Etomidate merupakan derivat imidazol yang mengalami karboksilasi, dengan potensi anestesi dan amnesi. Pada dosis tipikal, etomidate bekerja dalam rentang 5 – 10 menit dan memiliki waktu paruh 2-5 menit dan akan habis setelah 75 menit. Etomidate mengikat kuat protein plasma dan dimetabolisme oleh enzim esterase plasma dan hepatik.21

Page 12: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

11

Dosis anestetik induksi rata-rata untuk dewasa adalah 0,3 mg/Kg intravena, dengan dosis tipikal antara 20-40 mg. Dosis inisial adalah 0,2 – 0,6 mg/Kg dengan masa kerja 30-60 menit. Dosis pemeliharaan adalah 5-20 µg/Kg/menit intravena. Seperti halnya anestesi umum lainnya, etomidat menyebabkan hilangnya kesadaran. Untuk prosedur kardioversi, dosis yang digunakan adalah 10 mg dan pemberian ini dapat diulang. 21

c. Barbiturat

Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik dan sedatif. Namun sekarang, kecuali untuk beberapa penggunaan yang spesifik, barbiturat telah banyak digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian fenobarbital, yang memiliki anti konvulsi yang masih banyak digunakan. Secara kimia, barbiturat merupakan derivat asam barbiturat. Asam barbiturat (2,4,4-trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil reaksi kondensasi antara ureum dengan asam malonat.22

Efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai, mulai dari sedasi, hipnosis, koma sampai dengan kematian. Efek antianseitas barbiturat berhubungan dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek hipnotik barbiturat dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang mengganggu. Efek anastesi umumnya diperlihatkan oleh golongan tiobarbital dan beberapa oksibarbital untuk anastesi umum. Untuk efek antikonvulsi umumnya diberikan oleh berbiturat yang mengandung substitusi 5-fenil misalnya fenobarbital.23

Barbiturat berkerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya. Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinap. Penghambatan hanya terjadi pada sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak semuanya melalui GABA sebagai mediator. Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan inhibisi transmisi sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat bersifat sebagai agonis GABA-nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi SSP yang berat.24

Pada susunan saraf perifer, barbiturat secara selektif menekan transmisi ganglion otonom dan mereduksi eksitasi nikotinik oleh esterkolin. Efek ini terlihat dengan turunya tekanan darah setelah pemberian oksibarbital IV dan pada intoksikasi berat.24

Pada pernafasan, barbiturat menyebabkan depresi nafas yang sebanding dengan besarnya dosis. Pemberian barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh terhadap pernafasan, sedangkan dosis hipnotik menyebabkan pengurangan frekuensi nafas. Pernafasan dapat terganggu karena : (1) pengaruh langsung barbiturat terhadap pusat nafas; (2) hiperefleksi N.vagus, yang bisa menyebabkan batuk, bersin, cegukan, dan laringospasme pada anastesi IV. Pada intoksikasi barbiturat, kepekaan sel pengatur nafas pada medulla oblongata terhadap CO2 berkurang sehingga ventilasi paru berkurang. Keadaan ini

Page 13: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

12

menyebabkan pengeluaran CO2 dan pemasukan O2 berkurang, sehingga terjadilah hipoksia.22,24,25

Pada sistem kardiovaskular, barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek yang nyata. Frekuensi nadi dan tekanan darah sedikit menurun akibat sedasi yang ditimbulkan oleh berbiturat. Pemberian barbiturat dosis terapi secara IV dengan cepat dapat menyebabkan tekanan darah turun secara mendadak. Efek kardiovaskular pada intoksikasi barbiturat sebagian besar disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat depresi nafas. Selain itu pada dosis tinggi dapat menyebabkan depresi pusat vasomotor diikuti vasodilatasi perifer sehingga terjadi hipotensi.25,26

Pada saluran cerna, Oksibarbiturat cenderung menurunkan tonus otot usus dan kontraksinya. Pusat kerjanya sebagian diperifer dan sebagian dipusat bergantung pada dosis. Dosis hipnotik tidak memperpanjang waktu pengosongan lambung dan gejala muntah, diare dapat dihilangkan oleh dosis sedasi barbiturat.22,25

Pada hepar, barbiturat menaikan kadar enzim, protein dan lemak pada retikuloendoplasmik hati. Induksi enzim ini menaikan kecepatan metabolisme beberapa obat dan zat endogen termasuk hormone stroid, garam empedu, vitamin K dan D.22

Pada ginjal, barbiturat tidak berefek buruk pada ginjal yang sehat. Oliguri dan anuria dapat terjadi pada keracunan akut barbiturat terutama akibat hipotensi yang nyata.24

Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus halus kedalam darah. Secara IV barbiturat digunakan untuk mengatasi status epilepsi dan menginduksi serta mempertahankan anastesi umum. Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat melewati plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutan dalam lemak; tiopental yang terbesa.24

Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan metoheksital, setelah pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan menyebabkan kadarnya dalam plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturat yang kurang lipofilik, misalnya aprobarbital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna didalam hati sebelum diekskresi di ginjal. Pada kebanyakan kasus, perubahan pada fungsi ginjal tidak mempengaruhi eliminasi obat. Fenobarbital diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak berubah sampai jumlah tertentu (20-30 %) pada manusia.23

Faktor yang mempengaruhi biodisposisi hipnotik dan sedatif dapat dipengaruhi oleh berbagai hal terutama perubahan pada fungsi hati sebagai akibat dari penyakit, usia tua yang mengakibatkan penurunan kecepatan pembersihan obat yang dimetabolisme yang terjadi hampir pada semua obat golongan barbiturat.23,24

Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata karena efek terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh golongan benzodiazepine. Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan barbiturat yang digunakan, umumnya tiopental dan fenobarbital.25 Tiopental :

Page 14: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

13

• Di gunakan untuk induksi pada anestesi umum. • Operasi yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahit luka). • Sedasi pada analgesik regional • Mengatasi kejang-kejang pada eklamsia, epilepsi, dan tetanus

Fenobarbital : • Untuk menghilangkan ansietas • Sebagai antikonvulsi (pada epilepsi) • Untuk sedatif dan hipnotik

Barbiturat tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturat, penyakit hati atau ginjal, hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturat juga tidak boleh diberikan pada penderita psikoneurotik tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari yang terjadi pada penderita usia lanjut.23,25

Efek samping penggunaan barbiturat, antara lain:

• Hangover, yaitu residu depresi SSP setelah efek hipnotik berakhir. Dapat terjadi beberapa hari setelah pemberian obat dihentikan. Efek residu mungkin berupa vertigo, mual, atau diare. Kadang kadang timbul kelainan emosional dan fobia dapat bertambah berat.

• Eksitasi paradoksal, Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturat (terutama fenoberbital dan N-desmetil barbiturat) lebih menimbulkan eksitasi dari pada depresi. idiosinkrasi ini relative umum terjadi diantara penderita usia lanjut dan lemah.

• Rasa nyeri, Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, neuralgia, artalgia, terutama pada penderita psikoneurotik yang menderita insomnia. Bila diberikan dalam keadaan nyeri, dapat menyebabkan gelisah, eksitasi, dan bahkan delirium.

• Alergi, Reaksi alergi terutama terjadi pada individu alergik. Segala bentuk hipersensitivitas dapat timbul, terutama dermatosis. Jarang terjadi dermatosis eksfoliativa yang berakhir fatal pada penggunaan fenobarbital, kadang-kadang disertai demam, delirium dan kerusakan degeneratif hati.

• Reaksi obat, Kombinasi barbiturat dengan depresan SSP lain misal etanol akan meningkatkan efek depresinya; Antihistamin, isoniasid, metilfenidat, dan penghambat MAO juga dapat menaikkan efek depresi barbiturat.

• Intoksikasi barbiturat dapat terjadi karena percobaan bunuh diri, kelalaian, kecelakaan pada anak-anak atau penyalahgunaan obat. Dosis letal barbiturat sangan bervariasi. Keracunan berat umumnya terjadi bila lebih dari 10 kali dosis hipnotik dimakan sekaligus. Dosis fatal fenobarbital adalah 6-10 g, sedangkan amobarbital, sekobarbital, dan pentobarbital adalah 2-3 g. kadar plasma letal terendah yang dikemukakan adalah 60 mcg/ml bagi fenobarbital, dan 10 mcg/ml bagi barbiturat dengan efek singkat, misal amobarbital dan pentobarbital.23 Gejala simtomatik keracunan barbiturat ditunjukan terutama terhadap SSP dan kardiovaskular. Pada keracunan berat, reflek dalam mungkin tetap ada selama beberapa waktu setelah penderita koma. Gejala babinzki sering kali

Page 15: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

14

positif. Pupil mata mungkin kontraksi dan bereaksi terhadap cahaya, tapi pada tahap akhir keracunan mungkin dapat terjadi dilatasi. Gejala intoksikasi akut yang bahaya ialah depresi pernafasan berat, tekanan darah turun rendah sekali, oligiuria dan anuria.22

Intoksikasi barbiturat akut dapat diatasi dengan maksimal dengan

pengobatan simtomatik suportif yang umum. Dalamnya koma dan ventilasi yang memadai adalah yang pertama dinilai. Bila keracunan terjadi < 24 jam sejak makan obat, tindakan cuci lambung dan memuntahkan obat perlu dipertimbangkan, sebab barbiturat dapat mengurangi motilitas saluran cerna. Tindakan cuci lambung serta memuntahkan obat perlu dilakukan hanya setelah tindakan untuk menghindari aspirasi dilakukan. Setelah cuci lambung, karbon aktif dan suatu pencahar (sarbitol) harus diberikan. Pemberian dosis ulang karbon (setelah terdengar bising usus) dapat mempersingkat waktu paruh fenobarbital. Pengukuran fungsi nafas perlu dilakukan sedini mungkin. Pco2 dan O2 perlu dimonitor, dan pernafasan buatan harus dimulai bila diindikasikan.22,24,25

Pada keracunan barbiturat akut yang berat, syok merupakan ancaman utama. Sering kali penderita dikirim ke rumah sakit dalam keadaan hipotensi berat atau syok, dan dehidrasi yang berat pula. Hal ini segara diatasi, bila perlu tekanan darah dapat ditunjang dengan dopamine. Interaksi obat yang paling sering melibatkan hipnotik-sedatif adalah interaksi dengan obat depresan susunan saraf pusat lain, yang menyebabkan efek aditif. Efek aditif yang jelas dapat diramalkan dengan penggunaan minuman beralkohol, analgesik narkotik, antikonvulsi, fenotiazin dan obat-obat anti depresan golongan trisiklik.23

d. Benzodiazepin

Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan lorazepam tidak larut dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol. Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls atau Dizac), yang tidak menyebakan nyeri atau tromboplebitis tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya yang rendah, midazolam merupakan benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan dengan PH 3,5.27

Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri.27 • Untuk preoperatif digunakan 0,5 – 2,5mg/kgbb • Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3 – 5 mg • Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena. • Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.3

Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek puncak akan

muncul setelah 4 - 8 menit setelah diazepam disuntikkan secara I.V dan waktu paruh dari benzodiazepine ini adalah 20 jam. Dosis ulangan akan menyebabkan terjadinya akumulasi dan pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam dan diazepam

Page 16: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

15

didistribusikan secara cepat setelah injeksi bolus, metabolisme mungkin akan tampak lambat pada pasien tua.27

Dalam sistem saraf pusat, Dapat menimbulkan amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi otot dan mepunyai efek sedasi, efek analgesik tidak ada, menurunkan aliran darah otak dan laju metabolisme.27

Pada sistem kardiovaskular, benzodiazepin menyebabkan vasodilatasi sistemik yang ringan dan menurunkan cardiac out put. Tidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung, perubahan hemodinamik mungkin terjadi pada dosis yang besar atau apabila dikombinasi dengan opioid.1,18 Pada sistem respirasi, mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal , depresi pusat nafas mungkin dapat terjadi pada pasien dengan penyakit paru atau pasien dengan retardasi mental.27

Benzodiazepin dapat menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supraspinal dan spinal , sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita kekakuan otot rangka.27 e. Ketamin

Ketamin adalah suatu “rapid acting non barbiturat general anesthethic” termasuk golongan fenyl cyclohexylamine dengan rumus kimia 2-(0-chlorophenil) 2 (methylamino) cyclohexanone hydrochloride. Pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carsen pada tahun 1965. Ketamin mempuyai efek analgesi yang kuat sekali akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan) yang disertai penerimaan keadaan lingkungan yang salah (anestesi disosiasi) .28

Ketamin merupakan zat anestesi dengan aksi satu arah yang berarti efek analgesinya akan hilang bila obat itu telah didetoksikasi/dieksresi, dengan demikian pemakaian lama harus dihindarkan. Anestetik ini adalah suatu derivat dari pencyclidin suatu obat anti psikosa. Induksi ketamin pada prinsipnya sama dengan tiopental. Namun penampakan pasien pada saat tidak sadar berbeda dengan bila menggunakan barbiturat. Pasien tidak tampak “tidur”. Mata mungkin tetap terbuka tetapi tidak menjawab bila diajak bicara dan tidak ada respon terhadap rangsangan nyeri. Tonus otot rahang biasanya baik setelah pemberian ketamin. Demikian juga reflek batuk. Untuk prosedur yang singkat ketamin dapat diberikan secara iv / im setiap beberapa menit untuk mencegah rasa sakit.28

Sebagian besar ketamin mengalami dealkilasi dan hidrolisis dalam hati, kemudian dieksresi terutama dalam bentuk metabolik dan sedikit dalam bentuk utuh. Dosis intravena ketamin, yaitu 1-4 mg/kgBB, dengan dosis rata-rata 2 mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, dosis tambahan 0,5 mg/kgBB sesuai kebutuhan. Dosis intramuskular, yaitu 6-12, mg/kgBB, dosis rata-rata 10 mg/kgBB dengan lama kerja 10-25 menit, terutama untuk anak dengan ulangan 0,5 dosis permulaan. Pulih sadar pemberian ketamin kira-kira tercapai antara 10 – 15 menit, tetapi sulit untuk menentukan saatnya yang tepat, seperti halnya sulit menentukan permulaan kerjanya.28

Ketamin merupakan analgesi yang sangat kuat, sehingga meskipun penderita sudah sadar, efek analgesiknya masih ada. Rasa nyeri yang terutama

Page 17: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

16

dihambat adalah nyeri somatik, untuk analgesik nyeri viseral hampir tidak ada sehingga tidak efektif untuk operasi organ-organ viseral. Pada anak, analgesi viseral cukup baik sehingga dapat dipakai untuk operasi seperti hernia atau batu ginjal, walaupun terjadi rangsangan pada peritoneum. Ketamin baik untuk analgesi pada bayi/anak tanpa menyebabkan efek hipnotik – sedasi (menggunakan subdose 2,5 mg/kgBB, IM) .28

Anastetik ini tidak mempunyai daya pelemas otot, kadang-kadang malah tonus otot meningkat disertai gerakan-gerakan yang tidak terkendali, sehingga ketamin tidak begitu baik bila digunakan sebagai obat tunggal, seperti pada operasi intra abdominal dan operasi lain yang membutuhkan penderita diam.28

Anestesi ini sering digunakan untuk induksi dan disusul dengan pemberian eter atau N2O. Dalam keadaan tidur dapat terjadi gerakan-gerakan spontan dari lengan, tungkai, bibir, mulut bahkan sampai bersuara, walaupun dosisnya ditingkatkan sampai dosis yang mendepresi pernafasan. Karena anastetik ini menimbulkan nistgmus, maka tidak dapat digunakan untuk operasi mata khususnya strabismus. Anestesi yang menggunakan ketamin menyebabkan desosiasi karena obat ini mempengaruhi asosiasi di korteks serebri. Eksitasi dapat terjadi pada pemberian ketamin (seperti mimpi yang menakutkan), pencegahannya dengan pemberian obat tranquilizer. Ketamin juga berefek gangguan psikis setelah siuman dan gejala kejang sewaktu dalam anestesi. Efek ini dapat dicegah dengan pemberian valium.28

Ketamin akan merangsang pelepasan katekolamin andogen dengan akibat terjadi peningkatan denyut nadi, tekanan darah dan curah jantung. Karena itu efeknya menguntungkan untuk anestesi pada pasien syok/renjatan. Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya sementara kecuali dosis terlalu besar dan adanya obat-obat depresan sebagai premedikasi. Ketamin menyebabkan dilatasi bronkhus dan bersifat antagonis terhadap efek kontraksi bronkhus oleh histamin. Baik untuk penderita asma dan untuk mengurangi spasme bronkhus pada anestesi umum yang ringan.28

Tekanan darah akan naik baik sistole maupun diastole. Kenaikan rata-rata antara 20-25 % dari tekanan darah semula, mencapai maksimal beberapa menit setelah suntikan dan akan turun kembali dalam 15 menit kemudian. Denyut nadi juga meningkat. Ketamin dapat meningkatkan gula darah 15 % dari keadaan normal, walaupun demikian bukan merupakan kontraindikasi mutlak untuk penderita dengan DM. Ketamin juga dapat menyebabkan hipersalivasi, tapi efek ini dapat dikurangi dengan pemberian premedikasi antikolinergik. Aliran darah ke otak, tekanan intrakaranial dan tekanan intra okuler meningkat pada pemberian ketamin. Karena itu sebaiknya jangan digunakan pada pembedahan pasien dengan tekanan intrakranial yang meningkat (edema serebri, tumor intracranial) dan pasien pada pembedahan mata.28

2.3 Obat Anestesi Lokal

Page 18: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

17

Anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Anestetik lokal bekerja pada tiap bagian susunan saraf.29

Anestetik lokal bekerja merintangi secara bolak-balik penerusan impuls-impuls saraf ke Susunan Saraf Pusat (SSP) dan dengan demikian menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas atau rasa dingin. Anestetik lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di mukosa. Disamping itu, anestesia lokal mengganggu fungsi semua organ dimana terjadi konduksi/transmisi dari beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal mempunyai efek yang penting terhadap SSP, ganglia otonom, cabang-cabang neuromuskular dan semua jaringan otot.29

Persyaratan obat yang boleh digunakan sebagai anestesi lokal: 29 • Tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen • Batas keamanan harus lebar • Efektif dengan pemberian secara injeksi atau penggunaan setempat pada membran

mukosa • Mulai kerjanya harus sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu yang

yang cukup lama • Dapat larut air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga stabil terhadap

pemanasan. Secara kimia, anestesi lokal digolongkan sebagai berikut : 29

1. Senyawa ester Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada degradasi dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis. Karena itu golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami metabolisme dibandingkan golongan amida. Contohnya: tetrakain, benzokain, kokain, prokain dengan prokain sebagai prototip. 2. Senyawa amida Contohnya senyawa amida adalah dibukain, lidokain, mepivakain dan prilokain. 3. Lainnya Contohnya fenol, benzilalkohol, etilklorida, cryofluoran. Anestesi lokal sering kali digunakan secara parenteral (injeksi) pada pembedahan kecil dimana anestesi umum tidak perlu atau tidak diinginkan.

Jenis anestesi lokal dalam bentuk parenteral yang paling banyak digunakan adalah: Anestesi permukaan. Sebagai suntikan banyak digunakan sebagai penghilang rasa oleh dokter gigi untuk mencabut geraham atau oleh dokter keluarga untuk pembedahan kecil seperti menjahit luka di kulit. Sediaan ini aman dan pada kadar yang tepat tidak akan mengganggu proses penyembuhan luka. Anestesi Infiltrasi. Tujuannya untuk menimbulkan anestesi ujung saraf melalui injeksi pada atau sekitar jaringan yang akan dianestesi sehingga mengakibatkan hilangnya rasa di kulit dan

Page 19: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

18

jaringan yang terletak lebih dalam, misalnya daerah kecil di kulit atau gusi (pada pencabutan gigi). Anestesi Blok Cara ini dapat digunakan pada tindakan pembedahan maupun untuk tujuan diagnostik dan terapi. Anestesi Spinal Obat disuntikkan di tulang punggung dan diperoleh pembiusan dari kaki sampai tulang dada hanya dalam beberapa menit. Anestesi spinal ini bermanfaat untuk operasi perut bagian bawah, perineum atau tungkai bawah. Anestesi Epidural Anestesi epidural (blokade subarakhnoid atau intratekal) disuntikkan di ruang epidural yakni ruang antara kedua selaput keras dari sumsum belakang. Anestesi Kaudal Anestesi kaudal adalah bentuk anestesi epidural yang disuntikkan melalui tempat yang berbeda yaitu ke dalam kanalis sakralis melalui hiatus skralis. Efek sampingnya adalah akibat dari efek depresi terhadap SSP dan efek kardiodepresifnya (menekan fungsi jantung) dengan gejala penghambatan penapasan dan sirkulasi darah. Anestesi lokal dapat pula mengakibatkan reaksi hipersensitasi.

Secara umum anestetik lokal mempunyai rumus dasar yang terdiri dari 3 bagian: gugus amin hidrofil yang berhubungan dengan gugus residu aromatic lipofil melalui suatu gugus antara. Gugus amin selalu berupa amin tersier atau amin sekunder. Gugus antara dan gugus aromatic dihubungkan dengan ikatan amid atau ikatan ester. Maka secara kimia anestetik lokal digolongkan atas senyawa ester dan senyawa amida.29

Obat baru pada dasarnya adalah obat lama dengan mengganti, mengurangi atau menambah bagian kepala, badan, dan ekor. Di Indonesia yang paling banyak digunakan ialah lidokain dan bupivakain.29 Tabel 1. Perbandingan anestetik lokal golongan amida

Amida topikal infiltrasi Blok Saraf

ARIV Epidural Spinal intratekal

Lidokain + + + + + + Etidokain - + + - + - Prilokain - + + + + - Mepivakain - + + - + - Bupivakain - + + - + + Ropivakain - + + - + + levobupivakain - + + - + + a. Dibukain30

Devirat kuinon ini, merupakan anestetik lokal yang paling kuat, paling toksik dan mempunyai masa kerja panjang. Dibandingkan dengan prokain, dibukain kira0kira 15 kali lebih kuat dan toksik dengan masa kerja 3 kali lebih panjang. Dibukain HCl digunakan untuk anesthesia suntikan pada kadar 0,05-0,1%; untuk

Page 20: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

19

anesthesia topical telinga 0,5-2%; dan untuk kulit berupa salep 0.5-1%. Dosis total dibukain pada anesthesia spinal ialah 7,5-10mg. b. Lidokain30

Lidokain (Xilokain) adalah anestetik lokal yang kuat yang digunakan secara luas dengan pemberian topical dan suntikan. Anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat, lebih lama dan lebih ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain. Lidokain merupakan aminoetilamid. Pada larutan 0,5% toksisitasnya sama, tetapi pada larutan 2% lebih toksik daripada prokain. Larutan lidokain 0,5% digunakan untuk anesthesia infiltrasi, sedangkan larutan 1,0-2% untuk anesthesia blok dan topical. Anesthesia ini efektif bila digunakan tanpa vasokonstriktor, tetapi kecepatan absorbs dan toksisitasnya bertambah dan masa kerjanya lebih pendek. Lidokain merupakan obat terpilih bagi mereka yang hipersensitif terhadap prokain dan juga epinefrin. Lidokain dapat menimbulkan kantuk sediaan berupa larutan 0,5%-5% dengan atau tanpa epinefrin. (1:50.000 sampai 1: 200.000).

Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan, dan dapat melewati sawar darah otak. Kadarnya dalam plasma fetus dapat mencapai 60% kadar dalam darah ibu. Di dalam hati, lidokain mengalami deakilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda (Mixed-Function Oxidases ) membentuk monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid. Kedua metabolit monoetilglisin xilidid maupun glisin xilidid ternyata masih memiliki efek anestetik lokal. Pada manusia 75% dari xilidid akan disekresi bersama urin dalam membentuk metabolit akhir, 4 hidroksi-2-6 dimetil-anilin.

Efek samping lidokain biasanya berkaitan dengan efeknya terhadap SSP, misalnya mengantuk, pusing, parestesia, gangguan mental, koma, dan seizures. Mungkin sekali metabolit lidokain yaitu monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid ikut berperan dalam timbulnya efek samping ini. Lidokain dosis berlebihan dapat menyebabkan kematian akibat fibrilasi ventrikel, atau oleh hentijantung

Lidokain sering digunakan secara suntikan untuk anesthesia infiltrasi, blockade saraf, anesthesia epidural ataupun anesthesia selaput lender. Pada anesthesia infitrasi biasanya digunakan larutan 0,25% - 0,50% dengan atau tanpa adrenalin. Tanpa adrenalin dosis total tidak boleh melebihi 200mg dalam waktu 24 jam, dan dengan adrenalin tidak boleh melebihi 500 mg untuk jangka waktu yang sama. Dalam bidang kedokteran gigi, biasanya digunakan larutan 1 – 2 % dengan adrenalin; untuk anesthesia infiltrasi dengan mula kerja 5 menit dan masa kerja kira-kira satu jam dibutuhkan dosis 0,5 – 1,0 ml. untuk blockade saraf digunakan 1 – 2 ml.

Lidokain dapat pula digunakan untuk anesthesia permukaan. Untuk anesthesia rongga mulut, kerongkongan dan saluran cerna bagian atas digunakan larutan 1-4% dengan dosis maksimal 1 gram sehari dibagi dalam beberapa dosis. Pruritus di daerah anogenital atau rasa sakit yang menyertai wasir dapat dihilangkan dengan supositoria atau bentuk salep dan krem 5 %. Untuk anesthesia sebelum dilakukan tindakan sistoskopi atau kateterisasi uretra digunakan lidokain gel 2 % dan selum dilakukan bronkoskopi atau pemasangan pipa endotrakeal biasanya digunakan semprotan dengan kadar 2-4%.

Page 21: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

20

Lidokain juga dapat menurunkan iritabilitas jantung, karena itu juga digunakan sebagai aritmia. c. Mepivakain HCl30

Devirat amida dari xylidide ini cukup populer sejak diperkenalkan untuk tujuan klinis pada akhir 1950-an.Anestetik lokal golongan amida ini sifat farmakologiknya mirip lidokain. Mepivekain digunakan untuk anesthesia infiltrasi, blockade saraf regional dan anesthesia spinal. sediaan untuk suntikan merupakan larutan 1,0; 1,5 dan 2%.

Kecepatan timbulnya efek, durasi aksi, potensi, dan toksisitasnya mirip dengan lidokain. Mepivakain tidak mempunyai sifat alergenik terhadap agen anestesi lokal tipe ester. Agen ini dipasarkan sebagai garam hidroklorida dan dapat digunakan untuk anestesi infiltrasi atau regional namun kurang efektif bila digunakan untuk anestesi topikal. Mepivakain dapat menimbulkan vasokonstriksi lebih ringan daripada lignokain tetapi biasanya mepivacain digunakan dalam bentuk larutan dengan penambahan adrenalin 1: 80.000. maksimal 5 mg/kg berat tubuh. Satu buah cartridge biasanya sudah cukup untuk anestesi infiltrasi atau regional.

Mepivakain kadang-kadang dipasarkan dalam bentuk larutan 3 % tanpa penambahan vasokonstriktor, untuk medapat kedalaman dan durasi anestesi pada pasien tertentu di mana pemakaian vasokonstriktor merupakan kontradiksi. Larutan seperti ini dapat menimbulkan anestesi pulpa yang berlangsung antara 20-40 menit dan anestesi jaringan lunak berdurasi 2-4 jam. Obat ini jangan digunakan pada pasien yang alergi terhadap anestesi lokal tipe amida, atau pasien yang menderita penyakit hati yang parah. Mepivacain yang dipasarkan dengan nama dagang Carbocaine biasanya tidak mengandung paraben dan karena itu, dapat digunakan pada pasien alergi paraben. Mepivakain lebih toksik terhadap neonatus, dan karenanya tidak digunakan untuk anestesia obstetrik. Mungkin ini ada hubungannya dengan pH darah neonatus yang lebih rendah, yang menyebabkan ion obat tersebut terperangkap, dan memperlambat metabolismenya. Pada orang dewasa, indeks terapinya lebih tinggi daripada lidokain. Mula kerjanya hampir sama dengan lidokain, tetapi lama kerjanya lebih panjang sekitar 20%. Mepivakain tidak efektif sebagai anestetik topikal. Toksisitas mepivacain serata dengan lignokain (lidokain) namun bila mepivacain dalam darah sudah mencapai tingkat tertentu, akan terjadi eksitasi sistem saraf sentral bukan depresi, dan eksitasi ini dapat berakhir berupa konvulsi dan depresi respirasi. d. Prilokain30

Walaupun merupakan devirat toluidin, agen anestesi lokal tipe amida ini pada dasarnya mempunyai formula kimiawi dan farmakologi yang mirip dengan lignokain dan mepivakain. Anestetik lokal golongan amida ini efek farmakologiknya mirip lidokain, tetapi mula kerja dan masa kerjanya lebih lama daripada lidokain. Prilokain juga menimbulkan kantuk seperti lidokain. Sifat toksik yang unik ialah prilokain dapat menimbulkan methemoglobinemia; hal ini disebabkan oleh kedua metabolit prilokain yaitu orto-toluidin dan nitroso- toluidin. Walaupun methemoglobinemia ini mudah diatasi dengan pemberian biru-metilen intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB larutan 1 % dalam waktu 5 menit; namun efek terapeutiknya hanya berlangsung sebentar,

Page 22: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

21

sebab biru metilen sudah mengalami bersihan, sebelum semua methemoglobin sempat diubah menjadi Hb.

Anestetik ini digunakan untuk berbagai macam anestesia disuntikan dengan sediaan berkadar 1,0; 2,0 dan 3,0%. Prilokain umumnya dipasarkan dalam bentuk garam hidroklorida dengan nama dagang Citanest dan dapat digunakan untuk mendapat anestesi infiltrasi dan regional. Namun prilokain biasanya tidak dapat digunakan untuk mendapat efek anestesi topikal.Prilokain biasanya menimbulkan aksi yang lebih cepat daripada lignokain namun anastesi yang ditimbulkannya tidaklah terlalu dalam. Prilokain juga kurang mempunyai efek vasodilator bila dibanding dengan lignokain dan biasanya termetabolisme dengan lebih cepat. Obat ini kurang toksik dibandingkan dengan lignokain tetapi dosis total yang dipergunakan sebaiknya tidak lebih dari 400 mg.Salah satu produk pemecahan prilokain adalah ortotoluidin yang dapat menimbulkan metahaemoglobin. Metahaemoglobin yang cukup besar hanya dapat terjadi bila dosis obat yang dipergunakan lebih dari 400 mg. metahaemoglobin 1 % terjadi pada penggunaan dosis 400 mg, dan biasanya diperlukan tingkatan metahaemoglobin lebih dari 20 % agar terjadi simtom seperti sianosis bibir dan membrane mukosa atau kadang-kadang depresi respirasi. Karena pemakainan satu cartridge saja sudah cukup untuk mendapat efek anestesi infiltrasi atau regional yang diinginkan, dank arena setiap cartridge hanya mengandung 80 mg prilokain hidroklorida, maka resiko terjadinya metahaemoglobin pada penggunaan prilokain untuk praktek klinis tentunya sangat kecil.

Walaupun demikian, agen ini jangan digunakan untuk bayi, penderita metaharmoglobinemia, penderita penyakit hati, hipoksia, anemia, penyakit ginjal atau gagal jantung, atau penderita kelainan lain di mana masalah oksigenasi berdampak fatal, seperti pada wanita hamil. Prilokain juga jangan dipergunakan pada pasien yang mempunyai riwayat alergi terhadap agen anetesi tipe amida atau alergi paraben.Penambahan felypressin (octapressin) dengan konsistensi 0,03 i.u/ml (=1:200.000) sebagai agen vasokonstriktor akan dapat meningkatakan baik kedalam maupun durasi anestesi. Larutan nestesi yang mengandung felypressin akan sangat bermanfaat bagi pasien yang menderita penyakit kardio-vaskular. e. Bupivakain (Markain) 30

Struktur mirip dengan lidokain, kecuali gugus yang mengandung amin dan butyl piperidin. Merupakan anestetik lokal yang mempunyai masa kerja yang panjang, dengan efek blockade terhadap sensorik lebih besar daripada motorik. Karena efek ini bupivakain lebih popular digunakan untuk memperpanjang analgesia selama persalinan dan masa pascapembedahan. Suatu penelitian menunjukan bahwa bupivakain dapat mengurangi dosis penggunaan morfin dalam mengontrol nyeri pada pascapembedahan Caesar. Pada dosis efektif yang sebanding, bupivakain lebih kardiotoksik daripada lidokain. Lidokain dan bupivakain, keduanya menghambat saluran Na+ jantung (cardiac Na+ channels) selama sistolik. Namun bupivakain terdisosiasi jauh lebih lambat daripada lidokain selama diastolic, sehingga ada fraksi yang cukup besar tetap terhambat pada akhir diastolik.

Manifestasi klinik berupa aritma ventrikuler yang berat dan depresi miokard. Keadaan ini dapat terjadi pada pemberian bupivakain dosis besar. Toksisitas jantung

Page 23: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

22

yang disebabkan oleh bupivakain sulit diatasi dan bertambah berat dengan adanya asidosis, hiperkarbia, dan hipoksemia.Ropivakain juga merupakan anestetik lokal yang mempunyai masa kerja panjang, ddengan toksisitas terhadap jantung lebih rendah daripada bupivakain pada dosis efektif yang sebanding, namun sedikit kurang kuat dalam menimbulkan anestesia dibandingkan bupivakain.Larutan bupivakain hidroklorida tersedia dalam konsentrasi 0,25% untuk anestesia infiltrasi dan 0,5% untuk suntikan paravertebral. Tanpa epinefrin, dosis maksimum untuk anestesia infiltrasi adalah sekitar 2 mg/KgBB.

f. Naropin (Ropivakain HCl)30

Sifat-sifat naropin injeksiNaropin injeksi mengandung ropivakain HCl, yaitu obat anestetik lokal golongan amida. Naropin injeksi adalah larutan isotonik yang steril, mengandung bahan campuran obat (etantiomer) yang murni yaitu Natrium Klorida (NaCl) agar menjadi larutan isotonik dan aqua untuk injeksi. Natrium Hidroksida (NaOH) dan/ atau asam Hidroklorida (HCl) dapat ditambahkan untuk meyesuaikan pHnya (keasamannya). Naropi injeksi diberikan secara parentral.Nama kimia ropivakain HCl adalah molekul S-(-)-1-propil-2,6-pipekoloksilida hidroklorida monohidrat. Zat bat berupa bubuk kristal berwarn putih dengan rumus molekul C17H26N2O-R-HCl-H2O dan berat molekulnya 328,89. Struktur molekulnya adalah sebagai berikut:Pda suhu 250C, kelarutan ropivakain HCl dalam air adalah 53,8 mmg/mL dengan rasio distribusi antara n-oktanol dan fosfat bufer pada pH 7,4 adalah 14:1 dan pKanya 8,07 dalam larutan KCl 1 M. pKa ropivakain hampir sama denganbupivkain (8,1) dan mendekati pKa mepivakain (7,7) . akan tetapi kelarutan ropivakain dalam lemak (lipid) berada diantar kelarutan bupivakain dan mepivakain.Naropin injeksi tidak mengandung bahan pengawet dan tersedia dalam bentuk sediaan dosis tunggal dengan konsentrasi masing-masing 2,0 mg/mL (o,2%), 5,0 mg/mL (0,5%), 7,5 mg/mL (0,75%), dan 10 mg/mL (1,0%). Gravitas (berat) larutan Naropin injeksi berkisar antara 1,002 sampai 1,005 pada suhu 24oC.

Efek samping ropivakain mirip dengan efek samping anastetik lokal kelompok amida lainnya. Reaksi efek samping anastetik lokal kelompok amida terutama berkaitan dengan kadarnyan dalam plasma yang berlebihan, yang dapat terjadi apabila melebihi dosis, jarum suntik masuk ke dalam pembuluh darah tanpa sengaja atau jika metaolisme obat tersebut dalam tubuh lambat.

Kejadian tentang efek sampingnya telah dilaporkan berdasarkan penelitian klinik yang telah dilakukan di amerika serikat dan negara-negara lainnya. Obat yang dijadikan acuan biasanya adalah bupivakain. Penelitian tersebut meggunakan bermacam-macam obat premedikasi, sedasi dan prosedur pembedahan. Sebanyak 3988 pasien diberikan naropin dengan konsentrasi sampai 1 % dalam percobaan klinik. Setiap pasien dihitung sekali untuk setiap jenis reaksi efek smaping yang dialaminya.

Efek samping akut yang Paling sering dijumpai dan memerlukan penanganan yang cepat adalah efek sampingnya pada sistem saraf pusat (SSP) dan sistem kardiovaskuler. Reaksi efek samping ini pada umumnya tergantung pada dosis dan disebabkan oleh kadar obat dalam plasma yang tinggi yang bisa terjadi karena over dosis, absorbsi (penyerapan) obat terlalu cepat dari tempat suntikan, rendahnya

Page 24: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

23

toleransi pasien terhadap obat, atau apabila jarum suntik anastesi lokal masuk ke dalam pembuluh darah.

Di samping toksisitas sistemiknya yang tergantung pada dosis, masuknya obat ke dalam subaraknoid secara tidak sengaja ketika melakukan blok epidural melalui lumbal (tulang punggung) , atau ketika melakukan blok saraf di dekat kolumna vertebra (khususnya di bagian kepala dan dibagian leher), dapat mengakibatkan depresi pernafasan dan apnea (sesak nafas) total atau apnea sesuai tingkat saraf spinal yang mengontrol pernafasan. Juga dapat terjadi hipotensi karena berkurangnya tonus (kekuatan) saraf simpati atau para lisis respirasi (kelumpuhan otot-otot pernafasan) serta hipoventilasi karena obat anastetik mencapai tingkatan saraf motorik di kepala. Keadaan ini dapat memicu henti jantung apabila tidak ditangani dengan segera.

Faktor-faktor yang mempengaruhi ikatan obat dengan protein plasma misanya asidosis, penyakit sistemik yang dapat mengubah produksi protein dalam tubuh, atau kompetensi dengan obat-obat lainnya untuk berikatan dengan protein, dapat menurunkan toleransi (daya terima terhadap obat) seorang pasien. Pemberian naropin secara epidural pada beberapa kasus seperti halnya pemberian obat-obat anastesi lainnya dapat meningkatkan suhu tubuh secara mendadak diatas 38,5oC. ini paling sering terjadi apabila dosis naropin diatas 16mg/jam.

Efek samping ini ditandai dengan kegelisahan dan depresi. Ketegangan, kecemasan, pusing, telinga berdengung (tinitus), penguatan kabur, atau tremor (bergetar) dapat terjadi dan bahkan dapat menimbulkan komvulsi (kejang otot). Akan tetapi, kegelisahan dapat terjadi mendadak atau bisajuga tidak terjadi, dimana reaksi efek samping hanya berupa depresi. Depresi ini bisa berlanjut menjadi rasa kantuk dan akhirnya kesadaran pasien hilang dan terjadi henti nafas. Efek samping lainnya pada sistem saraf pusat adalah nausea (mual), muntah menggigil, dan konstriksi pupil (pupil mata menyempit).

Dosis tinggi atau masuknya jarum suntik kedalam pembukuh darah dapat menyebabkan kadar obat dalam plasma meningkat sehingga mengakibatkan depresi otot jantung (jantung menjadi lemah), darah yang dipompa jantung berkurang, hambatan konduksi saraf pada jantung, hipotensi, bradikardi (denyut nadi kurang 60 kali/menit), aritmia ventrikular (denyut jantung tidak berirama), yaitu takikardi ventrikel (denyut jantung diatas 100 kali/ menit) dan vibrilasi atrium (jantung berdebar) dan bahkan henti jantung (oleh karena itu, perlu diperhatikan catatan peringatan, pencegahan, dan overdosis pada label obat).

Pada penggunaan naropin injeksi, jarang terjadi reaksi alergi tetapi bisa saja terjadi jika pasien terlalu sensitif terhadap obat anestesi lokal (perhatikan peringatan pada label obat). Reaksi efek samping alergi ditandai dengan gejala-gejala berupa urtikaria (kulit bengkak merah), pruritus (gatal-gatal), eritema (kulit merah-merah), udem angioneurotik (misalnya udem laring), takikardi, bersin-bersin, mual, muntah, pusing, sinkop (pingsan), keringatan, badan panas dan bahkan reaksi anapilaksis (termaksuk hipotensi berat). Sensistifitas silang antar obat anestesi lokal kelompok amida pernah terjadi. Bupivacain Injeksi bupivacain HCl merupkan solusi isotonik steril yang mengandung agen anastetik lokal dengan atau tanpa epinefrin 1:2000 dan diinjeksikan secara parenteral. Bupivacain PKA memiliki kemiripan dengan lidocain

Page 25: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

24

dan memiliki derajat slubilitas lipid yang lebih besar. Bupivacin dihungkan secara kimia dan farmakologis dengan aastetik lokal amino acyl. Bupivacain merupakan homolog dari mepivacain dan secara kimiawi dihubungkan dengan lidocain. Ketiga anastetik ini mengandung rantai amida dan amino. Berbeda dengan anastetik lokal tipe procain yang memiliki ikatan ester. Setiap 1 ml larutan isotonik steril mengandung bupivacain hidroklorida dan 0.005 mg epinefrin, dengan 0.5 mg sodium metabisulfite sebagai anti oksidan dan 0.2 mg asam sitrat sebagai stabilisasi. g. Duranest ( Etidokain) 30

Duranest ( etidocaine HCl) indikasi pemberian suntikan untuk anasesi infiltrasi, perpheral nerve blok (pada Brachial Plexus, intercostals, retrobulbar, ulnar dan inferior alveolar) dan pusat neural blok ( Lumbat atau Caudal epidural blok).

Dengan semua anastesi lokal, dosis dari Duranest ( Etidocaine HCl) pemberian suntikan dengan memkai daerah depend upon untuk pemberian anastetiknya, Pembuluh darahnya halus, nomor dari bagian neuronal menjadi terhalang, tipe dari anastetik adalah regional, dan kondisi badan dai seorang pasien. Dosis maksimum dengan memakai 1 suntikan ditentukan pada dasar dari status pasien, dengan menjalankan tipe anastetik regional meskipun 1suntikan 450 mg yang dipakai untuk anastetik regional tanpa menimbulkan efek. Pada waktu sekarang salah bila menerima bentuk dosis maksimum dari 1 suntikan tidak melampaui 400 mg ( approximately 8,0 mg/kg atau 3,6 mg/lb dibawah 50 kg berat badan seseorang) dengan epenefrin 1:200,000 dan 1:300,000 ( approximately 6 mg/kg atau 2.7 mg/lb dibawah 50 kg berat badan seseorang) tanpa epinefrin.

Tindakan pencegahan bertentangan, kadang-kadang pengalaman kurang baik sehingga tidak sengaja mengikuti penembusan pada daerah Subarachnoid. Dosis percobaan 2-5 ml memberi bentuk obat sampai 5 menit pertama, total volume suntikan pada Lumbar atau Caudal Epidural blok, bentuk dosis percobaan diberikan berulang-ulang jika pasien bergerak seperti biasa bahwa catheter boleh dipindahkan. Epinefrin jika berisi dosis percobaan (10-15 mg) boleh membantun pada penembusan suntikan intra vaskular. Jika suntikan mengenai Blood Vessel, berjalanya epinefrin untuk menghasilkan “Respon Epinefrin” dalam 45 menit terdiri dari bertambahnya tekanan darah sistolik heart rate. Circumolar pallor, palpitis pada seorang pasien.

Ketika pemberian anastetik lokal pada bidang kedokteran gigi, dosis Duranest (Etidocaine Hcl) pemberiannya pada saat pasien masih sadar pemberian anastetiknya pada bagian oral cavity, vaskularisasinya pada oral tissue, volume efektif pada anastesi lokal harus benar-benar tepat. Pada oral cavity pemberian anastesi lokal dan teknik serta prosedurnya harus spesifik. Bentuk keperluan dosis determinan pada individu dasar, pada maxilla, inferior alveolar, nervus blok dosisnya 1,0-50 mL dan pemberian Duranest 1.5% sedangkan dengan epinefrin 1:200,000 biasanya sangat efektif.

Manisfestasi kardiovakular biasanya menekan pada karakteristik oleh bradi kardi, pembuluh darah kolaps, dan berbagai macam penyakit cardiac, reaksi alergi merupakan karakteristik dari lesi cutaneus, urticaria, edema atau reaksi anapilaktik. Reaksi aleri bleh terjadi dari akibat sensitive dari anastesi lokal, untuk methylparaben pada obat dengan berbagai macam dosis obat, mengetahui sensifitas pada kulit jika disentuh dan biasanya double harganya.

Page 26: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

25

2.4 Analgetik Obat analgesik adalah obat yang mempunyai efek menghilangkan atau mengurangi nyeri tanpa disertai hilangnya kesadaran atau fungsi sensorik lainnya. Obat analgesik bekerja dengan meningkatkan ambang nyeri, mempengaruhi emosi (sehingga mempengaruhi persepsi nyeri), menimbulkan sedasi atau sopor (sehingga nilai ambang nyeri naik) atau mengubah persepsi modalitas nyeri. Pada dasarnya obat analgesik dapat digolongkan ke dalam analgesik golongan narkotik dan analgesik golongan non-narkotik. Narkotik adalah bahan atau zat yang punya efek mirip Morfin yang menimbulkan efek narkosis (keadaan seperti tidur). Analgesik opiat adalah obat yang mempunyai efek analgesik kuat tetapi tidak menimbulkan efek narkosis dan adiksi sebagaimana Morfin, maka nama analgesik narkotik kurang tepat.31

Definisi nyeri menurut The International Association for the Study of Pain adalah pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial dan aktual. Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau yang tidak berbahaya (non-noksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan, kehangatan, tekanan ringan.32 Nyeri dirasakan apabila reseptor-reseptor nyeri spesifik teraktivasi. Nyeri dijelaskan secara subjektif dan objektif berdasarkan lama atau durasi, kecepatan sensasi dan letak.33 Mekanisme terjadinya nyeri melewati 4 tahapan yaitu: 34 • Transduksi

Kemudian terjadi perubahan patofisiologis karena mediator-mediator nyeri mempengaruhi juga nosiseptor diluar daerah trauma sehingga lingkaran nyeri meluas. Selanjutnya terjadi proses sensitisasi perifer yaitu menurunnya nilai ambang rangsang nosiseptor karena pengaruh mediator-mediator tersebut di atas dan penurunan pH jaringan. Akibatnya nyeri dapat timbul karena rangsang yang sebelumnya tidak menimbulkan nyeri misalnya rabaan. Sensitisasi perifer ini mengakibatkan pula terjadinya sensitisasi sentral yaitu hipereksitabilitas neuron pada korda spinalis, terpengaruhnya neuron simpatis dan perubahan intraseluler yang menyebabkan nyeri dirasakan lebih lama. Rangsangan nyeri diubah menjadi depolarisasi membrane reseptor yang kemudian menjadi impuls syaraf.

• Transmisi Transmisi adalah proses penerusan impuls nyeri dari nosiseptor saraf perifer melewati kornu dorsalis, korda spinalis menuju korteks serebri. Transmisi sepanjang akson berlangsung karena proses polarisasi, sedangkan dari neuron presinaps ke pasca sinaps melewati neurotransmitter.

• Modulasi Modulasi adalah proses pengendalian internal oleh sistem saraf, dapat meningkatkan atau mengurangi penerusan impuls nyeri. Hambatan terjadi melalui sistem analgesia endogen yang melibatkan bermacam-macam neurotansmiter antara lain golongan endorphin yang dikeluarkan oleh sel otak dan neuron di korda spinalis. Impuls ini bermula dari area periaquaductuagrey (PAG) dan menghambat transmisi impuls pre maupun pasca sinaps di tingkat korda spinalis.

Page 27: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

26

Modulasi nyeri dapat timbul di nosiseptor perifer medula spinalis atau supraspinalis.

• Persepsi Persepsi adalah hasil rekonstruksi susunan saraf pusat tentang impuls nyeri yang diterima. Rekonstruksi merupakan hasil interaksi sistem saraf sensoris, informasi kognitif (korteks serebri) dan pengalaman emosional (hipokampus dan amigdala). Persepsi menentukan berat ringannya nyeri yang dirasakan.

2.4.1 Opioid

Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor Morfin. Opioid sering digunakan dalam anestesi untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan. Bahkan terkadang digunakan untuk anestesi narkotik total pada pembedahan jantung. Opium adalah getah candu. Opiat adalah obat yang dibuat dari opium. Analgesik opioid digolongkan dalam 3 kelompok, di antaranya adalah agonis opiat, antagonis opiat dan kombinasi.32

Reseptor opioid sebenarnya tersebar luas di seluruh jaringan sistem saraf pusat, tetapi lebih terkonsentrasi di otak tengah yaitu di sistem limbik, thalamus, hipotalamus, korpus striatum, sistem aktivasi reticular dan di korda spinalis yaitu substansia gelatinosa dan dijumpai pula di pleksus saraf usus. Molekul opioid dan polipeptida endogen (metenkefalin, beta-endorfin, dinorfin) berinteraksi dengan reseptor morfin dan menghasilkan efek. Reseptor Opioid diidentifikasikan menjadi 5 golongan, yaitu : 31 • Reseptor µ (mu) : µ-1, analgesia supraspinal, sedasi. Reseptor µ-2, analgesia spinal,

depresi nafas, euphoria, ketergantungan fisik, kekakuan otot. • Reseptor δ (delta) : analgesia spinal, epileptogen. • Reseptor κ (kappa): κ-1 analegsia spinal. Reseptor κ-2 tak diketahui. Reseptor κ-3

analgesia supraspinal. • Reseptor σ (sigma) : disforia, halusinasi, stimulasi jantung. • Reseptor є (epsilon) : respons hormonal.

Pada sistem supraspinal, tempat kerja opioid ialah di reseptor substansia grisea, yaitu di periaquaduktus dan periventrikular, sedangkan pada sistem spinal tempat kerjanya di substansia gelatinosa korda spinalis. Morfin (agonis) terutama bekerja di reseptor µ dan sisanya di reseptor κ, maka analgesik opioid menghilangkan nyeri dengan cara bekerja pada mekanisme terjadinya nyeri pada tahap modulasi sehingga menyebabkan tidak terbentuknya persepsi nyeri.31

a. Fentanil Fentanil adalah sebuah analgesik opioid yang potent. Nama kimiawinya

adalah N-Phenyl-N-(1-2-phenylethyl-4-piperidyl) propanamide. Pertama kali disintesa di Belgia pada akhir tahun 1950. Fentanil memiliki besar potensi analgeik 80 kali lebih baik daripada Morfin, dikenalkan pada praktek kedokteran pada tahun 1960-an sebagai anestesi intravena dengan nama merek dagang Sublimaze®. Kemudian dikenalkan juga analog dari Fentanil yaitu alfentanil (Alfenta®) dan Sufentanil (Sufenta®) di mana Sufentanil memiliki potensi lebih

Page 28: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

27

baik daripada Fentanil yakni sebesar 5 sampai 10 kali, dan Sufentanil ini biasanya digunakan di dalam operasi jantung.35

Saat ini, Fentanil digunakan untuk anestesi dan analgesik. Sebagai contoh, Duragesic® adalah Fentanil transdermal dalam bentuk koyo yang digunakan untuk terapi nyeri yang kronis, dan Actiq® adalah Fentanil yang larut perlahan-lahan di dalam mulut, di mana obat ini efektif untuk terapi nyeri pada pasien yang menderita kanker. Carfentanil (Wildnil®) adalah analog dari Fentanil dengan potensi analgesik 10.000 kali lebih besar dibandingkan dengan Morfin, dan obat ini digunakan dalam praktik dokter hewan untuk melumpuhkan hewan-hewan yang berukuran besar.35

Fentanil terutama bekerja sebagai agonis reseptor µ. Seperti Morfin, Fentanil menimbulkan analgesia, sedasi, euphoria, depresi nafas dan efek sental lain. Efek analgesia Fentanil serupa dengan efek analgesik Morfin. Efek analgesik Fentanil mulai timbul 15 menit setelah pemberian per oral dan mencapai puncak dalam 2 jam. Efek analgesik timbul lebih cepat setelah pemberian subkutan atau intramuskulus yaitu dalam 10 menit, mencapai puncak dalam waktu 1 jam dan masa kerjanya 3-5 jam. Efektivitas Fentanil 75-100 µg parenteral kurang lebih sama dengan Morfin 10 mg. Karena bioavaibilitas oral 40-60 % maka efektifitas sebagai analgesik bila diberikan peroral setengahnya dari bila diberikan parenteral.35

Pada dosis ekuianalgesik, sedasi yang terlihat sama dengan sedasi pada Morfin. Pemberian Fentanil kepada pasien yang menderita nyeri atau cemas, akan menimbulkan euphoria. Berbeda dengan Morfin, dosis toksik Fentanil kadang-kadang menimbulkan perangsangan SSP misalnya tremor, kedutan otot, dan konvulsi.35

Fentanil dalam dosis ekuianalgesik menimbulkan depresi napas sama kuat dengan Morfin dan mencapai puncaknya dalam 1 jam setelah suntikan IM. Kedua obat ini menurunkan kepekaan pusat nafas terhadap CO2 dan mempengaruhi pusat napas yang mengatur irama napas dalam pons. Berbeda dengan Morfin, Fentanil terutama menurunkan tidal volume, sehingga efek depresi nafas oleh Fentanil tidak disadari. Depresi napas oleh Fentanil dapat dilawan oleh Nalokson dan antagonis opioid lain.35

Pemberian Fentanil secara sistemik menimbulkan anestesi kornea, dengan akibatnya menghilangnya reflek kornea. Berbeda dengan Morfin, Fentanil tidak mempengaruhi diameter pupil dan refleks pupil. Seperti Morfin dan Metadon, Fentanil meningkatkan kepekaan alat keseimbangan yang merupakan dasar timbulnya mual, muntah dan pusing pada mereka yang berobat jalan. Seperti Morfin dan Metadon, Fentanil tidak berefek antikonvulsi. Fentanil menyebabkan penglepasan ADH.35

Pada sistem kardiovaskular, pemberian dosis terapi Fentanil pada pasien yang berbaring tidak mempengaruhi kardiovaskular, tidak menghambat kontraksi miokard dan tidak mengubah gambaran EKG. Penderita berobat jalan mungkin menderita sinkop disertai penurunan tekanan darah, tetapi gejala ini cepat hilang jika penderita berbaring. Sinkop timbul pada penyuntikan cepat Fentanil IV karena terjadi vasodilatasi perifer dan penglepasan Histamine. Seperti Morfin,

Page 29: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

28

Fentanil dapat menaikkan kadar CO2 darah akibat depresi napas; kadar CO2 yang tinggi ini menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak sehingga timbul kenaikan tekanan cairan serebrospinal.35

Efek spasmogenik Fentanil terhadap lambung dan usus kecil lebih lemah daripada Morfin. Kontraksi propulsif dan non-propulsif saluran cerna berkurang, tetapi dapat timbul spasme secara tiba-tiba serta peninggian tonus usus. Seperti Morfin, Kodein dan Metadon, Fentanil lebih aman daripada Morfin, tetapi lebih kuat daripada Kodein dalam menimbulkan spasme saluran empedu. Fentanil tidak menimbulkan konstipasi sekuat Morfin, sehingga Fentanil tidak berguna untuk pengobatan simtomatik diare.35

Fentanil dapat menghilangkan bronkhospasme oleh Histamin dan Metakolin, namun pemberian dosis terapi Fentanil tidak banyak mempengaruhi otot bronchus normal. Dalam dosis besar justru dapat menimbulkan bronkokonstriksi. Setelah pemberian Fentanil dosis terapi, peristaltik ureter berkurang. Hal ini disebabkan berkurangnya produksi urine akibat dilepaskannya ADH dan berkurangnya laju filtrasi glomerulus.35

Fentanil sedikit sekali merangsang uterus dewasa yang tidak hamil. Aktivitas uterus hamil tua tidak banyak dipengaruhi oleh Fentanil, dan pada uterus yang hiperaktif akibat Oksitosin, Fentanil meningkatkan tonus, menambah frekuensi dan intensitas kontraksi uterus. Jika Fentanil diberikan sebelum pemberian oksitoksin, obat ini tidak mengantagonis efek oksotosin. Dosis terapi Fentanil yang diberikan sewaktu partus tidak memperlambat kelangsungan partus dan tidak mengubah kontraksi uterus. Fentanil tidak mengganggu kontraksi atau involusi uterus pasca persalinan dan tidak menambah frekuensi perdarahan pasca persalinan.35

Fentanil larut dalam lemak dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan Morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak oleh paru ketika pertama kali melewatinya. Dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi serta sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urine.34

Beberapa indikasi penggunaan Fentanil, yaitu : • Nyeri hebat karena luka bakar. • Pasien-pasien yang alergi dengan Morfin. • Nyeri hebat karena fraktur tulang. • Nyeri non-traumatik seperti batu pada ginjal. • Pasien-pasien yang menderita kanker.

Beberapa kontra indikasi penggunaan Fentanil, yaitu: 35 • Adanya gangguan atau depresi pernafasan. • Hipotensi yang tidak terkoreksi. • Alergi terhadap zat-zat narkotik. • Pasien-pasien dengan curiga klinis cedera kepala, dada, atau cedera perut.

Penggunaan secara bersamaan Fentanil transdermal dengan Ritonavir atau Poten 3A4 inhibitor seperti Ketoconazole, Itraconazole, Troleandomycin, Clarithromycin, Nelfinavir, and Nefazadone, bisa menghasilkan peningkatan

Page 30: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

29

konsentrasi Fentanil dalam plasma, di mana hal tersebut bisa meningkatkan atau memperpanjang efek obat yang merugikan dan bisa potensial menyebabkan depresi pernafasan yang fatal.32,33,35

Penggunaan secara bersamaan Fentanil transdermal dengan CYP34A inhibitor bisa menghasilkan peningkatan konsentrasi Fentanil dalam plasma, di mana hal tersebut bisa meningkatkan atau memperpanjang efek obat dan bisa menyebabkan depresi pernafasan yang serius. Pada situasi seperti ini, dibutuhkan penangan pasien yang khusus dan juga terus memonitor pasien.32,33,34

Penggunaan secara bersamaa Fentanil transdermal dengan depresan sistem saraf pusat lainnya, tidak terbatas pada opioid-opioid lainnya, obat-obat sedative, hipnotik, transquilizer (misal Benzodiazepine), anestesi umum, Phenothiazine, obat pelemas otot, dan alkohol bisa menyebabkan depresi pernafasan, hipotensi, dan sedasi yang dalam, atau berpotenisal menyebabkan koma ataupun kematian. Ketika obat-obat tersebut dikombinasikan, dosis salah satu atau kedu obat tersebut secara signifikan akan berkurang.32,33,35

Anestesi atau sedasi Dosis: 1-3 µg/kg/dose (maksimal : 50 µg) IV or IM Bisa diulang (dengan dosis yang sama) Kebanyakan pasien memerlukan 3-5 dosis Fentanil (3-5 µg/kg).

Untuk Dewasa, dosis fentanil Transdermal (Duragesic®), memperhatikan: jumlah yang diperbolehkan : 25, 50, 75, 100 µg/hour, onset untuk berefek penuh hanya setelah 24 jam, dan mengganti koyo Fentanil setiap 3 hari sekali. Untuk tablet Transmucosal (Actiq®), memperhatikan: jumlah yang diperbolehkan : 200, 400, 800, 1200, 1600 µg, Dosis maksimal 4 tablet sehari.35

Fentanil bisa menyebabkan depresi pernafasan, sediakan selalu peralatan resusitasi. Bisa menyebabkan mual dan atau muntah. Dosis tinggi bisa menyebabkan kekakuan otot yang menimbulkan kesulitan ventilasi. Dosis Fentanil 100 µg ekuivalen dengan 10 mg Morfin.35

2.5 Relaksan

Obat relaksan otot adalah obat yang digunakan untuk melemaskan otot rangka atau untuk melumpuhkan otot. Biasanya digunakan sebelum operasi untuk mempermudah suatu operasi atau memasukan suatu alat ke dalam tubuh. Obat relaksan otot yang beredar di Indonesia terbagi dalam dua kelompok obat yaitu obat pelumpuh otot dan obat pelemas otot yang bekerja sentral.36

Relaksasi otot skeletal dapat terjadi dengan anestesi inhalasi yang dalam, blok syaraf regional atau dengan obat yang memblok pertemuan neuromuskular. Golongan obat yang disebut terakhir ini sering disebut sebagai obat pelumpuh otot, dimana obat ini dapat menimbulkan paralisis dari otot skeletal tanpa menyebabkan amnesia, tidak sadar dan juga tidak menimbulkan analgesi.37

Berdasarkan mekanisme kerja obat pelumpuh otot pada pertemuan neuromuskular, obat ini dapat digolongkan dalam dua golongan. Golongan obat yang menimbulkan depolarisasi, secara fisik menyerupai asetilkolin (ACh) sehingga akan terikat pada reseptor ACh dan menimbulkan potensial aksi dari otot skeletal karena terbukanya kanal natrium. Namun tidak seperti ACh obat ini tidak langsung

Page 31: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

30

dimetabolisme oleh asetilkolin esterase, sehingga konsentrasinya di celah sinap akan menetap lebih lama yang akan menghasilkan pemanjangan depolarisasi dari lempeng pertemuan otot skeletal. Adanya potensial aksi pada lempeng pertemuan otot skeletal ini akan menyebabkan potensial aksi pada membran otot, yang akan membuka kanal sodium dalam waktu tertentu. Setelah tertutup kembali kanal ini tidak dapat terbuka kembali sebelum terjadi repolarisasi dari lempeng motorik, yang disini tidak juga akan terjadi sebelum obat yang menyebabkan depolarisasi meninggalkan reseptor yang didudukinya. Sementara itu setelah kanal sodium di peri junctional tertutup, otot akan kembali pada posisi relaksasi dan akan berlanjut sampai obat golongan ini dihidrolisis oleh enzim pseudo cholinesterase yang terdapat di plasma dan di hati. Umumnya proses ini berlangsung dalam waktu yang singkat sehingga tidak dibutuhkan obat spesifik untuk melawan efek relaksasi dari obat golongan depolarisasi ini. 4,6,37

Obat golongan non-depolarisasi juga terikat pada reseptor ACh namun tidak menyebabkan terbukanya kanal natrium sehingga tidak terjadi kontraksi otot skeletal, karena tidak timbul potensial aksi pada lempeng akhir motorik. Obat golongan ini akan menetap pada reseptor ACh (kecuali Atracurium dan Mivacurium) sampai terjadi redistribusi, metabolisme ataupun eliminasi obat ini dari dalam tubuh, dapat juga dengan pemberian obat yang bersifat melawan daya kerja obat ini. Cara melawannya dengan menekan fungsi asetilkolinesterase sehingga meningkatkan konsentrasi ACh, untuk dapat berkompetisi dalam menduduki reseptor ACh dan menghilangkan efek blok yang ditimbulkan oleh obat golongan non-depolarisasi.2,4,6 Faktor-faktor yang mempengaruhi farmakokinetik dari obat pelumpuh otot secara garis besar dibedakan dalam dua kelompok : 2 a. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah dari obat bebas dalam sirkulasi. b. Faktor-faktor yang mempengaruhi perpindahan obat dalam sirkulasi dan pada

pertemuan neuromuskular. Jumlah obat bebas dalam sirkulasi adalah faktor yang sangat berpengaruh

dalam menentukan jumlah obat yang dapat mencapai target organ. Begitu obat diberikan, secara intravena, maka konsentrasinya dalam sirkulasi ditentukan oleh jumlah dan dosis obat yang diberikan, kecepatan pemberian dan kecepatan sirkulasi. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah banyaknya obat yang diikat oleh protein plasma, dimana semakin banyak yang terikat oleh protein plasma semakin sedikit obat yang akan berdifusi keluar dari sirkulasi menuju tempat kerjanya di pertemuan neuromuskular. 5

Kecepatan perpindahan obat dari sirkulasi ke pertemuan neuromuskular dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertemuan neuromuskular secara umum mendapat perfusi yang lebih cepat dibandingkan otot secara keseluruhan. Ini terjadi karena tidak banyaknya membran yang harus dilalui untuk mencapai tempat kerja dari obat ini, begitu keluar dari kapiler obat langsung berada di post junctional membrane dan langsung ke terminal motorik. Jadi hanya diperlukan penyebaran ke ruang ekstraselular, tanpa harus melewati membran sel.2

Penurunan konsentrasi obat dalam sirkulasi terbagi dalam dua fase. Setelah pemberian konsentrasi menurun secara cepat karena proses distibusi ke berbagai jaringan, diikuti oleh fase lambat yang terjadi karena pengeluaran obat melalui ginjal

Page 32: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

31

dan empedu. Karena obat pelumpuh otot sangat mudah terionisasi dalam sirkulasi yang mana akan menjadikannya sulit untuk melewati membran sel, hal ini membuatnya mempunyai nilai volume distribusi yang kecil. VD pada awal pemberian adalah 80-140 ml/kg, sedangkan pada keadaan stabil (VD

ss) adalah 200-450 ml/kg. Ini menunjukkan bahwa obat pelumpuh otot tidak tersebar secara luas dalam tubuh. Sebagai perbandingan dapat dilihat obat yang sangat larut dalam lemak (sehingga mudah menembus membran sel) seperti thiopenthal yang mempunyai VD

ss mencapai 2 liter / kg.2,38

Pengeluaran obat pelumpuh otot dari sirkulasi terjadi melalui tiga proses. Yang pertama adalah biotransformasi. Succinylcholine dan atracurium adalah contoh obat yang dimetabolisme secara langsung di plasma oleh pseudocholineesterase, pancuronium dan vecuronium dimetabolisme di hati, sedangkan +-tubocurarine dan gallamine dikeluarkan dalam bentuk utuh. Ekskresi melalui ginjal dan empedu adalah proses berikutnya untuk mengeluaran obat-obat tersebut dari sirkulasi dan kemudian keluar dari dalam tubuh.38,39

Tabel 1. Obat pelumpuh otot golongan depolarisasi dan non depolarisasi.

Succinylcholine Succinylcholine mengalami hidrolisis secara cepat oleh plasma cholinesterase

menjadi succinylmonocholine, yang mempunyai efek blok sangat lemah ( + 1/20 efek succicylcholine ) dan selanjutnya dalam waktu yang lebih lama menjadi asam suksinil dan kolin, waktu paruhnya sekitar 2-4 menit.1.11. Yang perlu dicatat adalah

Obat golongan depolarisasi Masa kerja singkat : Succinylcholine Decamethonium Obat golongan non-depolarisasi Masa kerja lama : Tubocurarine Metocurine Doxacurium Pancuronium Pipecuronium Gallamine Masa kerja sedang : Atracurium Vecuronium Rocuronium Masa kerja singkat : Mivacurium

Page 33: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

32

peningkatan ataupun penurunan aktifitas dari plasma cholinesterase tidak mempengaruhi mula kerja dan lama kerja dari obat ini secara bermakna. Sering kali timbul anggapan bahwa metabolisme dari obat inilah yang mengakhiri efek blok otot skeletal, pada kenyataannya tidaklah demikian. Metabolisme yang terjadi di plasma hanya menentukan jumlah obat yang dapat mencapai tempat kerja, dan di tempat kerjanya obat ini akan menimbulkan blok yang akan terus berlangsung sampai obat tersebut kembali keluar dari tempat kerjanya.38,39

Dosis yang diperlukan untuk menimbulkan blok pada 95 % penderita (ED95) pada otot adductor pollicis adalah 0,3 - 0,5 mg / kg. Sedangkan dosis efektif yang menimbulkan efek pada 50 % penderita (ED50) adalah 0,2 - 0,3 mg / kg. Pada kedua keadaan tersebut, pemberian obat anestesi inhalasi akan menyebabkan penurunan dosis. Mula kerja obat ini dengan dosis subparalisis (kurang dari 0,3 - 0,5 mg/kg) sekitar 1,5-2 menit. Dosis yang lebih besar ( 1-1,5 mg/kg ) akan menimbulkan efek dalam waktu 1 menit. Mula kerjanya lebih cepat berefek pada diafragma dan otot laring, serta akan lebih cepat pada anak-anak dari pada dewasa. Lama kerjanya dengan dosis 1 mg/kg adalah 10-12 menit.2,39 Pancuronium bromide

Pancuronium bromide adalah pelumpuh otot golongan non-depolarisasi dengan mula kerja yang lambat dan masa kerja panjang. Masa kerja obat golongan ini ditentukan oleh konsentrasinya di plasma yang akan menurun sampai batas minimal yang dapat menimbulkan efek blok pada otot skeletal.38,39

Pancuronium diberikan dengan dosis 0,1 mg/kg. 15-40 % dari jumlah yang diberikan akan mengalami proses deasetilisasi menjadi 3-OH, 17-OH, atau 3,17-OH pancuronium. Obat ini sebagian besar diekskresi dalam bentuk asalnya, 46% melalui urine dan 5-10% melalui empedu setelah 24 jam pertama. Sisanya dieksrkresi melalui urine setelah diubah menjadi metabolit hasil diasetilisasi.38,39

3-OH adalah metabolit yang paling poten, dimana mempunyai potensi setengah dari pancuronium dan juga mempunyai T1/2 sama dengan pancuronium. ED95 dari pancuronium adalah 60 m g/kg dan sebagaimana pelumpuh otot non-depolarisasi yang lain, mula kerjanya bertambah singkat pada bayi dan anak-anak.2 Vecuronium

Vecuronium mempunyai rumus bangun yang menyerupai pancuronium, namun mempunyai masa kerja yang lebih singkat, sekitar setengah kali masa kerja pancuronium (lihat tabel 2). Metabolisme dilakukan di hati dengan ekskresi utamanya melalui empedu dan sebagian kecil melalui urine. Ekskresi melalui urine pada 24 jam pertama adalah 15% dari jumlah obat yang diberikan, persentase yang kecil disini menunjukkan vecuronium lebih aman digunakan pada penderita kelainan fungsi ginjal dibandingkan dengan pancuronium.39

Dosis awal yang dibutuhkan adalah 0,1 mg/kg dan dapat ditingkatkan sampai 0,3 mg/kg, namun dosis 0,15 mg/kg sudah cukup untuk memberikan efek blok dengan mula kerja 1-2 menit setelah pemberian sebagai sarana intubasi trakhea. ED95 dari obat ini adalah 50 m g/kg dan akan mempunyai mula kerja yang lebih singkat pada anak-anak, namun akan memanjang pada bayi dan orang tua karena adanya penurunan bersihan plasma. Masa kerjanya dengan dosis pemeliharaan 0,1 mg/kg

Page 34: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

33

adalah 23 menit. Tidak ditemukan adanya efek kumulasi yang dapat memperpanjang blok otot yang ditimbulkan dengan pemberian berulang sebesar 25% dari dosis awal, atau sebagai alternatif dapat diberikan secara terus menerus melalui infus dengan dosis 1-2 m g/kg.37,38,39 Atracurium

Atracurium adalah obat pelumpuh otot dengan masa kerja yang relatif singkat, ini disebabkan karena pengubahan bentuk quaternary ammonium menjadi tertiary amine yang terjadi secara spontan dalam plasma (dikenal dengan reaksi Hoffman). Reaksi ini meningkat bila terjadi kenaikan pH darah, misalnya pada penderita dengan hiperventilasi. Reaksi lain yang berperan dalam penurunan konsentrasi atracurium dalam sirkulasi adalah hidrolisis ester oleh plasma esterase. Pada kenyataannya reaksi hidrolisis ester merupakan cara metabolisme utama dari atracurium, namun reaksi Hoffman memberikan suatu keamanan pada pemakaian atracurium untuk penderita dengan kelainan fungsi hati maupun ginjal.39

Atracurium diekskresi melalui empedu sekitar 55% dari dosis yang diberikan dan sisanya dikeluarkan melalui urine setelah 7 jam sejak pertama kali diberikan. Waktu paruhnya adalah 20 menit.11. ED95 obat ini adalah 200m g/kg dengan efek blok maksimal dicapai setelah 5-6 menit.1. Dosis 0,5 mg/kg diperlukan untuk intubasi trakhea dengan efek maksimal dicapai setelah 30-60 detik setelah pemberian intravena. Dosis awal yang dibutuhkan untuk menimbulkan relaksasi otot adalah 0,25 mg/kg dan dilanjutkan dengan dosis pengulangan sebesar 0,1 mg/kg setiap 10-20 menit atau dengan pemberian perinfus sebanyak 5-10 m g/kg.37

DAFTAR PUSTAKA

1. Jusuf AA. Drug affecting nervous system. Bagian Histologi FK UI/Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Binaan. Jakarta, 2008.

2. Bevan David R, Donati Francois. Muscle relaxants and clinical monitoring. In:

Healy Thomas EJ, Cohen Peter J, editors. Wylie and Churchill-Davidson’s A Practice of Anaeshtesia. London: Edward Arnold, 1994; 147-71.

3. Hudson RJ, Henthorn TK. Basic Principles of clinical Pharmacology. Dalam

Clinical Anaesthesia, 5th Edition. Editor: Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Lippincott Williams & Wilkins, 2006.

4. Dachlan R. Farmakologi obat-obat anestesia inhalasi. Dalam Anestesiologi

FKUI. Editor: Muhiman M, Thaib MR, Sunatrio S, Dachlan R. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI, Jakarta, 1989

Page 35: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

34

5. Hazra A, Sen A. ISDB WHO Section Review: Drugs used in anaesthesia. Department of Anaesthesia, Calcutta, India, 2004.

6. Eger, Eisenkraft, Weiskopf. The Pharmacology of Inhaled Anesthetics. 2003

7. Kedokteran dan Linux. Penatalaksanaan anestesi pada pasien nephrektomi

kiri. 2007. (Diakses dari www.medlinux.blogspot.com, tanggal 31 Agustus 2008)

8. Xie Z, Dong Y, Maeda U, et al. The Inhalation Anesthetic Isoflurane Induces a

Vicious Cycle of Apoptosis and Amyloid β-Protein Accumulation. Journal of Neuroscience 2007;27(6): 1247–54

9. M. C. Lewis MC, I. Nevoa, M. A. Paniaguaa, A. Ben-Aric, E. Prettoa, S.

Eisdorfera, E. Davidsona, I. Matotc, C. Eisdorfer. Uncomplicated general anesthesia in the elderly results in cognitive decline: Does cognitive decline predict morbidity and mortality?. Medical Hypotheses 2007;68 (3): 484–92

10. Anonymous. Methoxyflurane. 2008. (diakses dari www.wikipedia.com, tanggal

15 September 2008).

11. Guo TZ, Davies MF, Kingery WS, Patterson A, et al. Nitrous oxide produces antinociceptive response via alpha2B and/or alpha2C adrenoceptor subtypes in mice. Anesthesiolog 1999; 90: 470–6.

12. Sanders RD, Daqing M, Mervyn M. Xenon: elemental anaesthesia in clinical

practice. British Medical Bulletin 1005;71 (1): 115–135

13. Mulyana RS. Anesthesi Intravena. Prima Medika Hospital/Universitas Udayana Denpasar, 2007

14. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital 6th edition: by William

E. Hurford, Michael T. Bailin, J. Kenneth Davison, Kenneth L. Haspel, Carl Rosow, Susan A. Vassallo, Massachusetts General Hospital Dept. of Anesthesia and Critical Care, Nicholas E. Awde By Lippincott Williams & Wilkins Publishers, 2002

15. Mangku G. Standart pelayanan dan tatalaksana anastesia – analgesia dan terapi intensif rumah

sakit sanglah denpasar FK UNUD, Denpasar ,2000: 46- 67

16. Palmer. Propofol, 2006, (diakses dari http://www.palmer.net.html, tanggal 15 September 2008)

17. Wikipedia. Propofol. 2006 (diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/ Propofol.html, tanggal

15 September 2008)

Page 36: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

35

18. Wikipedia. Etomidate. 2008 (diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/ etomidate.html, tanggal 15 September 2008)

19. Santoso S, Hadi RD. Farmakologi dan Terapi, Bagian Farmakologi Fakultas

Kedokteran Indonesia., Jakarta, 1995: 124-139

20. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Indonesia. Edisi II, Jakarta, 2001: 77-83, 161

21. Kedokteran dan Linux. Barbiturat. 2007. (Diakses dari www.medlinux.

blogspot.com, tanggal 31 Agustus 2008)

22. Katzung. Farmakologi Dasar dan Klinis, Staf Dosen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 1998 : 351-366

23. Tjay dan Rahardja. Obat-obat Penting, PT Elex Media Komputindo Klompok

Gramedia, Jakarta, 2003: 357-369

24. Palmer. Benzodiazepin, 2006, (diakses dari http://www.palmer.net.html, tanggal 15 September 2008)

25. Kedokteran dan Linux. Ketamin. 2007. (Diakses dari www.medlinux.

blogspot.com , tanggal 31 Agustus 2008)

26. Medicastore. Obat bius Lokal / Anestesi Lokal. 2006. (Diakses dari www.medicastore.com, tanggal 15 September 2008)

27. Daniel. Anaesthetik Lokal Golongan Amida. Majalah Gerai, 2008;7:10

28. Ngatidjan. Transkripsi Kuliah Farmakologi 1, Bagian Farmakologi dan

Toksikologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2001.

29. Latief, Said. A. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Tatalaksana Nyeri. Edisi II. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2001 : 74-83

30. Corwin, EJ. Buku Saku Patofisiologi, Edisi I. Penerbit Buku Kedokteran EGC,

Jakarta : 2001, h 222-228.

31. bubakar, M. Nyeri, 5 rd ed Anestesi dan Reanimasi, Fakultas Kedokteran Universitas Gajahmada, Yogyakarta, 1999: 4-9.

32. Kirana R., Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek

Sampingnya., PT. Elex Media Komputindo, Jakarta. 1978 : 327-333.

Page 37: FARMAKOLOGIOBAT-OBATANESTESI

36

33. Medicastore. Obat Relaksan Otot. 2006. (Diakses dari www.medicastore.com,

tanggal 15 September 2008)

34. Morgan G E, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology. 1st ed. Los Angeles: Prentice-Hall International Inc, 1992; 135-48.

35. Zunilda SB, Setiawati Arini, Suyatna FD. Pengantar farmakologi. Dalam:

Ganiswara Sulistia G, editor. Farmakologi dan terapi edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995; 1-23.

36. Calvey TN, Williams NE. Principles and practice of pharmacology for

anaesthetists. London: Blackwell Scientific Publications, 1982; 1-29, 159-84.

37. Hull CJ. General principles of pharmacokinetics. In: Roberts C Prys, Hug CC Jr, editors. Pharmocokinetics of anaesthesia. London: Blackwell Scientific Publications, 1984; 1-24.

38. Miller RD. Pharmacokinetics of muscle relaxants and their antagonists. In :

Roberts C Prys, Hug CC Jr, editors. Pharmocokinetics of anaesthesia. London: Blackwell Scientific Publications, 1984; 246-69.

39. Clarke RSJ, Hunter AR. Neuromusculas blocking agents. In : Dundee John w,

Clarke R S J, McCaughey William. Clinical Anaesthetic Pharmacology. London: Churchill Livingstone, 1991; 295-313.