farmako

10
Tujuan Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh obat yang bekerja pada SSO dengan cara mempelajari kontraksi usus sehingga peserta praktikum dapat menjelaskan golongan sifatbdan kerja obat-obat tersebut. Alat dan bahan Alat yang digunakan adalah isolated organ bath, larutan tyrode, spoit 1 ml, jarum, benang, gunting, scalpel, pinset, termometer. Bahan yang digunakan yaitu kelinci, BaCl 2 1%, pilokarpin 0,1% dan 1:10.000, atropin 0,1%, dan epineprin 1:25.000. Metoda Kelinci dianastesi dengan cara membenturkan kepalanya. Kelinci dibuka dan dipotong rongga abdomennya dengan menggunakan gunting. Kemudian usus kelinci tersebut dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam cawan petri besar yang berisi larutan tyrode dengan suhu 37 0 C. Isi usus perlahan-lahan disemprot keluar sampai bersih dengan spoit yang berisi larutan tyrode. Usus tersebut kemudian dipotong dengan panjang 1,5-2 cm. Kedua sisi potongan usus halus itu diikat dengan benang (dilakukan didalam gelas beker yang berisi larutan tyrode 37 0 C) dan dimasukkan ke dalam organ bath. Dilihat kontraksi normalnya.

Upload: erik-dia-fari

Post on 03-Jul-2015

459 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: Farmako

Tujuan

Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh obat yang bekerja

pada SSO dengan cara mempelajari kontraksi usus sehingga peserta praktikum

dapat menjelaskan golongan sifatbdan kerja obat-obat tersebut.

Alat dan bahan

Alat yang digunakan adalah isolated organ bath, larutan tyrode, spoit 1 ml,

jarum, benang, gunting, scalpel, pinset, termometer. Bahan yang digunakan yaitu

kelinci, BaCl2 1%, pilokarpin 0,1% dan 1:10.000, atropin 0,1%, dan epineprin

1:25.000.

Metoda

Kelinci dianastesi dengan cara membenturkan kepalanya. Kelinci dibuka

dan dipotong rongga abdomennya dengan menggunakan gunting. Kemudian usus

kelinci tersebut dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam cawan petri besar yang

berisi larutan tyrode dengan suhu 370C. Isi usus perlahan-lahan disemprot keluar

sampai bersih dengan spoit yang berisi larutan tyrode. Usus tersebut kemudian

dipotong dengan panjang 1,5-2 cm. Kedua sisi potongan usus halus itu diikat

dengan benang (dilakukan didalam gelas beker yang berisi larutan tyrode 370C)

dan dimasukkan ke dalam organ bath. Dilihat kontraksi normalnya.

Usus normal dalam organ bath yang telah dilihat kontraksinya tersebut,

diberi epineprin 1:25.000 sebanyak 0,1 ml dan diamati perubahannya. Selanjutnya

usus dicuci dengan larutan tyrode dan diberi pilokarpin 1:10.000 sebanyak 0,1 ml,

kemudian diamati perubahannya. Setelah itu, diberikan pilokarpin 0,1 % sebanyak

0,25 ml, kemudian dilihat perubahannya. Pada puncak pemberian pilokarpin ini,

usus ditambahkan epineprin 1:25.000 sebanyak 0,1 ml. Diamati perubahannya dan

dicuci kembali menggunakan larutan tyrode.

Usus yang telah dicuci kembali tersebut diberikan larutan pilokarpin 0,1%

sebanyak 0,25 ml. Diamati perubahannya , kemudian diberikan larutan atropin 0,1

% sebanyak 0,25 ml. Diamati kembali perubahannya dan dicuci dengan tyrode.

Diberikan larutan BaCl2 1% sebanyak 2 ml dan dilihat perubahannya. Kemudian

diberi larutan atropin 0,1% sebanyak 0,5 ml dan diamati perubahannya kembali.

Page 2: Farmako

Seluruh gambar hasil perekaman dilaporkan sesuai perlakuan/zat yang diberikan

pada usus yang terisolasi. Diukur tinggi dan lebar gelombang serta frekuensi

gelombang rata-ratanya.

Tinjauan Pustaka

Usus, yang terdiri atas otot polos, memiliki aktivitas yang dipengaruhi

oleh sistem saraf otonom. Kekuatan dan kecepatan gerakan usus dipengaruhi oleh

saraf simpatis dan saraf parasimpatis. Saraf simpatis berkerja menghambat

aktivitas usus sedangkan saraf parasimpatis bekerja menstimulasi aktivitas usus.

Gerakan usus terdiri atas 3 macam, yaitu peristaltik, segmentasi, dan pendulum.

Obat-obat yang bekerja terhadap sistem saraf otonom dibagi ke dalam 5

kelompok, yaitu:

1. Parasimpatomimetik (kolinergik), merupakan obat-obatan yang memiliki

efek menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf

parasimpatis. Contohnya adalah asetilkolin dan pilokarpin.

2. Parasimpatolitik (antikolonergik), merupakan obat-obatan yang memiliki

efek yang menghambat efek saraf parasimpatis. Contohnya adalah atropin.

3. Simpatomimetik (adrenergik), merupakan onat-obatan yang memiliki efek

yang menyerupai efek yang ditimbulkan oleh aktivitas sisinan saraf

simpatis. Contohnya adalah epineprin.

4. Sempatolitik (antiadrenergik), merupakan obat-obatan yang bekerja

dengan menghambat efek aktivitas saraf simpatis. Contohnya adalah

reserpin dan propanolol.

5. Obat ganglion, merupakan obat-obatan yang merangsang atau

menghambat penerusan impuls di ganglion. Contohnya adalah nikotin dan

pentolinum.

Pilokarpin berasal dari tanaman Pilocarpus jaborandi dan Pilokarpus

microphyllus. Pilokarpin bekerja pada efektor muskarinik dan memperlihatkan

efek nikotinik. Pilokarpin menyebabkan rangsangan terhadap kelenjar keringat,

kelenjar air mata, dan kelenjar ludah. Efek terhadap kelenjar keringat ini terjadi

Page 3: Farmako

karena perangsangan langsung (efek muskarinik) dan sebagian karena

perangsangan ganglion (efek nikotinik). Secara anatomi kelenjar keringat

termasuk sistem simpatik yang memiliki neurotransmitter asetilkolin. Hal inilah

yang menjelaskan terjadinya hiperhidrosis oleh zat kolinergik.

Atropin (campuran d- dan l- hiosiamin) ditemukan dalam Atropabelladona

dan Datura stramonium. Atropin merupakan alkaloid ester organik dari asam

tropat dengan tropanol atau skopin (basa organik). Pada saluran cerna atropin

bersifat menghambat peristaltis lambung dan usus sehingga biasa juga disebut

antispasmodik. Penghambatan terhadap asetilkolin eksogen atau ester kolin terjadi

lengkap, tetapi terhadap asetilkolin endogen hanya terjadi parsial. Atropine

menyebabkan berkurangnya sekresi air liur dan sekresi lambung. (Darmansjah

1995)

Epineprin termasuk ke dalam obat-obatan yang bersifat adrenergik

golongan katekolamin. Penggunaan klinis epineprin dapat diterapkan pada sistem

kardiovaskular, sistem saraf pusat, otot polos, proses metabolik, dan lain-lain.

Dalam sistem kardiovaskular pemberian epineprin dapat mengakibatkan

vasokonstriksi, meningkatkan denyut jantung, meningkatnya tekanan darah dan

meningkatkan kekuatan kontraksi jantung. Dalam sistem saraf pusat epineprin

dapar merangsang terjadinya kegelisahan, rasa khawatir, sakit kepala, dan tremor.

Efek epineprin pada otot polos bergantung pada reseptor yangterdapat pada organ.

Pada saluran cerna terjadi relaksasi otot polos saluran cerna, pada uterus terjadi

penghambatan tonus dan kontraksi uterus, pada kandung kemih terjadi relaksasi

otot detrusor kandung kemih, dan pada pernafasan menimbulkan relaksasi otot

polos bronkus. Dalam proses metabolic epineprin menstimulasi glikogenolisis di

sel-sel hati dan otot rangka serta lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas dari

jaringan lemak. Pemberian epineprin dapat juga menghambat sekresi kelenjar,

menurunkan tekanan intraokular, dan mempercepat pembekuan darah. (Henri

2010)

BaCl2 merupakan garam yang dibentuk oleh asam kuat (HCl) dan basa

kuat (Ba(OH)2). Garam BaCl2 dapat menstimulasi gerakan peristaltik usus. Selain

itu, BaCl2 bersifat mengiritan usus sehingga usus dapat menjadi rusak.

Page 4: Farmako

Pembahasan

Sistem saraf otonom terbagi menjadi dua yaitu,sistem saraf simpatis dan

sistem saraf parasimpatis. Saraf simpatis disalurkan melalui torakolumbal dari

torakal 1 sampai lumbal 3,dalam sistem ini termasuk ganglia paravertebral,

pravertebral dan ganglia terminal. Saraf parasimpatis atau kraniosakral outflow

disalurkan melalui saraf otak 3, 7, 9 dan 10, dan nervus pelvikus yang berasal dari

bagian segmen 2, 3, dan 4.Saraf simpatis bersifat flight or flight sedangkan saraf

parasimpatis berfungsi memelihara fungsi tubuh yang penting. Aktivitas usus

dipengaruhi oleh kedua saraf ini dimana saraf simpatis akan menurunkan gerakan

usus sedangkan saraf parasimpatis akan meningkatkan gerakan usus.

Pada praktikum dilakukan percobaan pengaruh obat pada organ usus yang

terisolasi dari seekor kelinci. Pengaruh obat pada usus diukur dengan

menggunakan organ bath dan kimograf. Sebelum obat diberikan pada usus,

kontraksi normal dari usus diukur untuk memastikan usus dalam keadaan baik.

Praktikum ini melakukan 4 kali percobaan yang berbeda pada usus. Dari hasil

praktikum yang diamati, usus kelinci diberikan epineprin 1 : 25000 sebanyak 0,1

ml. Hasil dari kimograf menunjukkan kontraksi usus sebaik saja diberikan

epineprin menurunn dari yang normal. Hal ini karena epineprin bersifat

parasimpatolitik ( antikholinergik) yaitu, obat yang memiliki efek menghambat

kerja dari sistem saraf parasimpatis.

Pada percobaan kedua, usus diberikan pilokarpin 1 : 10000 sebanyak 0,1

ml. Kontraksi usus meningkat dari yang normal dan usus kemudian diberi

pilokarpin 0,1 % sebanyak 0,25 ml. Kontraksi usus diamati dan hasilnya kontraksi

dari usus terus meningkat lagi. Kemudian usus diberikan epineprin 1 : 25000

sebanyak 0,1 ml. Kontraksi usus menurun tetapi tidak kembali ke paras normal.

Pilokarpin ini bersifat parasimpatomemetik dimana efek yang ditimbulkan adalah

meningkatkan kerja dari sistem saraf parasimpatis sedangkan epineprin

mempunyai efek yang sebaliknya seperti pada percobaan yang pertama. Pada saat

epineprin diberikan, dapat diamati bahwa kontraksi usus menurun sedikit.

Kontraksi usus tidak kembali normal efek yang ditimbul dari pilokarpin tidak

dapat dilawan oleh epineprin.

Page 5: Farmako

Pada percobaan ketiga, usus diperlakukan dengan pemberian pilokarpin

0,1 % sebanyak 0,25 ml dan kemudian selepas diamati perubahannya usus

diberikan lagi dengan atropine 0,1 % sebanyak 0.25 ml. Dari hasil kimograf,

kontraksi usus meningkat selepas diberikan pilokarpin sedangkan apabila usus

diberikan atropine kontraksi usus menurun dengan drastis. Pilokarpin adalah obat

yang memiliki efek yang kholinergik yaitu, memiliki efek yang sama dengan efek

yang ditimbulkan oleh saraf parasimpatis. Sedangkan atropine adalah obat yang

antikholinergik yaitu, menghambat efek dari saraf parasimpatis. Dalam percobaan

ini, kita dapat lihat atropine memghambat kerja dari pilokarpin dengan

memblokade perlekatan neurotransmitter dari asetilkolin pada reseptor sel saraf.

Pada percobaan keempat, usus diberikan larutan BaCl 1 % sebanyak 2 ml

dan diamati perubahannnya kemudian usus diberikan atropine 0,1 % sebanyak 0,5

ml. Kontraksi usus meningkat dratis apabila diberikan BaCl dan pada saat

atropine ditambahkan kontraksi usus tetap tinggi dan tidak menurun sama sekali.

BaCl memiliki efek parasimpatis yang sangat kuat sehingga kontraksi usus tinggi.

Tetapi, BaCl ini bersifat iritansia yaitu, dapat mengiritasi organ usus sehingga

rusak. Hal ini dapat kita lihat pada saat atropine diberikan, kontraksi usus tidak

menurun karena usus telah diritasi oleh BaCl sehingga usus rusak dan tidak

merespon pada atropine.

Kesimpulan

Pada paraktikum ini dapat disimpulkan bahwa aktivitas usus dipengaruhi

oleh sistem saraf otonom yaitu, sistem saraf simpatis dan sistem saraf

parasimpatis. Setiap obat yang diberikan mempunyai efek yang berbeda pada

organ usus. Ada obat yang menurunkan gerakan kontraksi usus dan ada yang yang

meningkatkan gerakan kontraksis usus. Pemberian obat pada usus haruslah

berhati-hati karena efek yang dapat bermacam-macam pada usus. Garam BaCl

berbahaya karena dapat merusak usus.

Page 6: Farmako

Daftar Pustaka

Darmansjah I..1995.Farmakologi dan Terapi Ed.4.Jakarta:Gaya Baru.

Darmansjah I. dan Gan Sulistia.1995.Farmakologi dan Terapi Ed.4.Jakarta:Gaya

Baru.

D. Henri. Drug affecting nervous

system.http://henridumas.blogspot.com/2010/01/drug-affecting-nervous-

sistem.html [19 Maret 2011]

Galeott S.2005 Anticholinergics http://www.healthline.com/galecontent/anticholinergics [20 Maret 2011]