farma 2 diuretik lia
TRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI/TERAPI KEDOKTERAN
DIURETIKA
Kasmiliawaty
I1A002024
Kelompok VI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2005
HALAMAN PENGESAHAN
DIURETIKA
Banjarbaru, 26 Maret 2005
Mengetahui,
Asisten Praktikan
Hj. Huda KasmiliawatyNIM. I1A000018 NIM. I1A002024
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diuretik ialah obat yang mampu mempercepat diuresis air dan zat-zat yang
terlarut di dalamnya melalui ginjal. Masalah keseimbangan elektrolit dalam tubuh
seperti natrium, kalium, magnesium, kalsium dan sebagainya – sangat erat hubungannya
dengan pemakaian diuretik. Bahkan belakangan ini diuretik mempengaruhi profil lipid
dan metabolisme glukosa dalam tubuh. Salah satu contoh diuretika kuat yang cukup
dikenal serta akan diujikan dalam percobaan kali ini adalah furosemid dan
Hidroklortiazid.
Secara normal, cairan dalam tubuh manusia terus menerus bersirkulasi sesuai
dengan tugasnya sebagai media bagi metabolisme sel. Dalam cairan ini berlangsung
berbagai proses baik anabolisme maupun katabolisme. Sebagai media katabolisme,
cairan berfungsi sebagai pembawa sisa-sisa kegiatan tubuh yang sudah tidak diperlukan
lagi. Selain itu, tubuh selalu mengusahakan agar jumlah cairan yang ada dalam
lingkungannya selalu konstan. Jika karena suatu hal tubuh mengalami kekurangan
cairan, maka tubuh akan mengkompensasi kekurangan tersebut dengan menghemat
cairan yang ada.
Pada beberapa keadaan tertentu, tubuh tidak dapat lagi mengkompensasi
kelebihan cairan yang terjadi. Hal ini mengakibatkan terjadinya berbagai keadaan yang
bersifat patologis, misalnya terjadinya oedema karena penumpukan cairan diruang
interstitial atau peningkatan tekanan darah karena jumlah cairan intravaskular yang
sangat meningkat.
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan terhadap beberapa jenis diuretik
untuk memahami efek diuresis yang ditimbulkan. Disamping itu dilakukan pula
perbandingan efek diuresis masing-masing diuretik dengan membandingkan jumlah urin
yang terukur akibat pemberian obat tersebut.
Tujuan praktikum
Tujuan yang ingin dicapai pada praktikum kali ini adalah memahami efek
diuresis dari suatu diuretika.
Tinjauan pustaka
Ginjal melakukan berbagai fungsi metabolik dan eksretorik. Selain
membersihkan tubuh dari zat sampah yang bernitrogan dan hasil metabolisme lain,
ginjal dengan cara cermat melakukan fungsi homeostasis cairan, elektrolit, dan asam
basa. Ginjal menerima sekitar satu liter darah atau 500 ml plasma per menit. Dengan
menggunakan proses-proses filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi diproduksi sekitar 500-2000
ml urine setiap hari (Widmann, 1995).
Ginjal menjalankan fungsi multiple yaitu (Guyton,1998) :
1) Pengaturan keseimbangan air dan elektrolit
2) Pengaturan konsentrasi osmolalitas cairan tubuh dan konsentrasi elektrolit
3) Pengaturan keseimbangan asam basa
4) Eksresi produk sisa metabolic dan bahan kimia asing
5) Pengaturan tekanan arteri
6) Sekresi hormon
7) Glukoneogenesis.
Seperti kita ketahui bahwa ginjal merupakan alat ekskresi utama dimana
sebagian besar dari zat-zat buangan dari darh dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal
dengan proses (Anonymous,2005) :
- Ultrafiltrasi oleh kapsula bowmani glomerulus (corpus Malpighi).
- Reabsorpsi tubulus untuk mengambil zat-zat yang mungkin masih bisa
digunakan oleh tubuh.
- Sekresi melalui tubuli contorti dan ansa Henle.
Pada orang sehat sekitar 650 ml plasma (1200 ml darah) melalui jaringan
ekskresi ginjal yang berfungsi setiap menit, dan dibentuk sekitar 125 ml filtrat
glomerulus. Air dari plasma akan melalui glomerulus dengan bebas, dan konstituen-
konstituen plasma yang tidak terikat, dengan berat molekul kurang dari 70.000 ada di
dalam filtrat glomerulus dalam konsentrasi yang kira-kira sama dengan yang ada dalam
plasma. Zat-zat dengan berat molekul lebih dari 70.000 tidak akan melalui glomerulus
dengan bebas dan ada dalam filtrat glomerulus dengan konsentrasi lebih rendah
daripada konsentrasinya dalam plasma meskipun ukuran molekul bukanlah faktor
penentu satu-satunya untuk filtrasi (Baron, 1995).
Pada keadaan normal protein (yang bermolekul besar) tidak akan dapat
melewati filter ini sehingga dengan ditemukannya protein dalam urin seseorang, dpt
merupakan petunjuk adanya kelainan pada ginjal. Sesuai dengan sifat ultrafiltrasi, maka
zat yang dapat tersaring dipengaruhi oleh tekanan penyaringan (tekana ultrafiltrasi yang
besarnya tergantung pada tekanan darah). Bila tekanan dalam sirkulasi atrial berkurang
(misalnya karena pengatruh obat-obata penurun tekanan darah, atau pada syok
hipotensif), maka kemampuan ultrafiltrasi akan menurun (Anonymous, 2005).
Secara teknik, istilah ‘diuresis’ menandakan adanya peningkatan volume urin
(Ives, 1997). Secara umum, diuresis memiliki dua pengertian; pertama menunjukkan
adanya penambahan volume urin yang diproduksi, dan yang kedua menunjukkan jumlah
pengeluaran zat-zat terlarut dan air (Sunaryo, 1995). Jika ‘natriuretika’ adalah senyawa
yang secara primer menstimulasi ekskresi ion Na+, maka ‘saluretika’ menyebabkan
eliminasi serentak ion Na+, K+, dan Cl-. Eliminasi elektrolit berhubungan dengan
pengeluaran air (Schunack, 1990) sehingga obat-obat tersebut selalu disebut diuretika
(Ives, 1997).
Diuretika adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urine.
Istilah diuretik mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan
volume urine yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran atau
kehilangan zat-zat terlarut dan air. Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi
cairan edema, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga
volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal (Sunaryo, 1995).
Secara umum diuretika dapat dibagi dalam dua golongan besar yaitu : (1)
diuretika osmotik; dan (2) penghambat mekanisme transpor elektrolit di dalam tubulus
ginjal. Obat yang termasuk golongan kedua meliputi : (1) penghambat karbonik
anhidrase; (2) benzotiadiazid; (3) diuretik hemat kalium; dan (4) diuretik kuat (Sunaryo,
1995).
Diuretik osmotik mengurangi air tubuh total lebih dari kandungan kation tubuh
total sehingga mengurangi volume intrasel. Efek ini digunakan untuk mengurangu
tekanan intrakranial pada keadaan neurologik dan untuk mengurangi tekanan intraokuler
sebelum tindakan oftalmologi (Katzung, 1995).
Istilah diuretika osmotik biasanya digunakan untuk zat bukan elektrolit yang
mudah dan cepat diekskresi oleh ginjal. Suatu zat dapat bertindak sebagai diuretika
osmotik jika memenuhi 4 syarat, yaitu : (1) difiltrasi secara bebas oleh glomerulus; (2)
tidak atau hanya sedikit direabsorpsi sel tubulus ginjal; (3) secara farmakologis
merupakan zat yang inert; dan (4) umumnya resisten terhadap perubahan-perubahan
metabolik. Dengan sifat-sifat ini, maka diuretika osmotik dapat diberikan dalam jumlah
cukup besar sehingga turut menentukan derajat osmolalitas plasma, filtrasi glomerulus,
dan cairan tubulus. Adanya zat tersebut dalam cairan tubulus, meningkatkan tekanan
osmotik, sehingga jumlah air dan elektrolit yang dieksresi bertambah besar. Tetapi,
untuk menimbulkan diuresis yang cukup besar, diperlukan dosis diuretika osmotik yang
tinggi. Contoh golongan obat ini adalah manitol, urea, gliserin, dan isosorbid; dengan
tempat kerja utama dan cara kerja adalah sebagai berikut (Sunaryo, 1995) :
1. Pada tubulus proksimal, ia menghambat reabsorpsi natrium dan air melalui daya
osmotiknya
2. Pada ansa Henle, ia menghambat reabsorpsi natrium dan air karena
hipertonisitas daerah medula menurun.
3. Pada duktus koligentes, ia menghambat reabsorpsi natrium dan air akibat adanya
papillary wash out, kecepatan aliran filtrat yang tinggi, atau adanya faktor lain.
Karbonik anhidrase – terdapat antara lain dalam sel korteks renalis, pankreas,
mukosa lambung, mata, eritrosit, dan SSP; tetapi tidak terdapat dalam plasma – adalah
enzim yang mengkatalisis reaksi CO2 + H2O ↔ H2CO3. Dalam tubuh, H2CO3 berada
dalam keseimbangan dengan ion H+ dan CO3- yang selain sangat penting dalam sistem
buffer darah, juga penting pada proses reabsorpsi ion tetap dalam tubulus ginjal, sekresi
asam lambung, dan beberapa proses lain dalam tubuh. Penghambat karbonat anhidrase
menyebabkan diuresis natrium bikarbonat dan pengurangan cadangan bikarbonat total
tubuh (Katzung, 1995).
Enzim ini dapat dihambat aktivitasnya oleh sianida, azida, dan sulfida. Derivat
sulfonamid yang juga dapat menghambat kerja enzim ini adalah asetazolamid dan
diklorofenamid. Tempat kerja utama diuretika penghambat enzim karbonik anhidrase
adalah pada tubulus proksimal dengan cara menghambat reabsorpsi bikarbonat
(Sunaryo, 1995). Biasanya digunakan untuk menurunkan tekanan intra okuler pada
penyakit gaukoma (Anonymous, 2005).
Senyawa benzotiadiazid (tiazid) hanya memiliki sedikit kerja inhibisi
“karbonanhidrase”. Titik sergapnya terutama segmen tubulus distal ascendens dan
menghambat absorpsi ion natrium dan absorpsi pasif ion klorida, sebaliknya eliminasi
bikarbonat dapat dikatakan tidak berubah. Karena ekskresi ion kalium juga bertambah,
maka pada penggunaan yang lebih lama, dapat terjadi hipokalemia, yang merupakan
kerja ikutan yang berbahaya (Schunack et al, 1990).
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa benzotiadiazid berefek langsung
terhadap transpor Na+ dan Cl- dengan menghambat reabsorpsi NaCl di hulu tubulus
distal ginjal, lepas dari efek penghambatannya terhadap enzim karbonik anhidrase.
Prototipe golongan ini adalah klorotiazid, yang merupakan obat tandingan pertama
golongan Hg-organik, yang telah mendominasi diuretika selama lebih dari 30 tahun
(Sunaryo, 1995).
Tiazid merupakan diuretik terpilih untuk pengobatan odema akibat payah
jantung ringan sampai sedang. Hasil yang baik juga didapat pada pengobatan tiazid
untuk odema akibat penyakit hati dan ginjal kronis (Sunaryo, 1995). Indikasi utama
tiazid adalah untuk hipertensi, gagal jantung kongestif, nefrolitiasis yang disebabkan
hiperkalsiuria idiopati, dan diabetes insipidus nefrogenik. Penggunaan berlebihan
diuretika ini sangat berbahaya pada penderita sirosis hepatis, gagal ginjal borderline,
dan gagal ginjal kongestif (Ives, 1997).
HCT (hydrochlortiazide) termasuk diuretika sulfonamid subgolongan sulfonil.
Obat ini memiliki pKa = 8,8, tidak larut dalam air, namun larut dalam amonia encer,
larutan natrium hidroksida, dan alkohol (metanol, etanol). HCT diekskresikan di ginjal
dalam bentuk yang tidak berubah (Schunack, 1990).
Diuretik hemat kalium mengantagonis efek aldosteron pada tubulus renalis
bagian distal akhir dan tubulus renalis kolegens daerah korteks. Penghambatan bisa
timbul dengan antagonisme langsung pada tingkat reseptor mineralokortikoid
sitoplasma (spirolakton, termasuk spironolakton dan proneron), dengan pembentukan
renin atau angiotensin II (obat anti inflamasi non steroid, penghambat enzim,
pengkonversi) atau dengan penghambat langsung transport Na+ oleh tubulus renalis
koligens (tiamteren, amilorid) (Katzung, 1995 ; Anonymous, 2005).
Diuretik kuat, tempat kerja di Ansa Henle bagian ascenden pada depan epitel
tebal, dengan caramenghambat transport elektrolit aktif. Termasuk dalam kelompok ini
adalah asam etakrinat, furosemid, dan bumetanid (Anonymous, 2005).
Furosemid lebih banyak digunakan daripada asam etakrinat, karena gangguan
saluran cerna yang labih ringan dan kurva dosis responnya kurang curam. Obat ini
secara cepat diabsorpsi dan dieliminasi melalui sekresi ginjal dan filtrasi glomerulus
(Ives, 1997 ; Sunaryo, 1995).
Furosemid menimbulkan respon diuretik cepat sebanding durasi pendek (6-8
jam). Menghambat reabsorpsi natrium keluar dari tubuli ginjal, termasuk putaran Henle
(“putaran diuretik”) yang terhitung potensi dan efektivitas tinggi dalam kasus
menurunkan flitrasi glomeruler.Karena kerjanya yang kuat dan cepat muncul, furosemid
juga cocok untuk terapi odema otak dan paru-paru. Jangka waktu kerjanya relatif
singkat yaitu 6 jam (Schunack et al, 1990 ).
CARA PERCOBAAN
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah :
- gelas ukur
- penampun urine
- corong
Bahan yang digunakan :
- Furosemid 40 mg
- Hidroklorotiazid (HCT) 40 mg
- Plasebo
Cara Kerja
1. Menentukan 2 orang praktikan laki-laki dari setiap kelompok dengan kondisi
kesehatan yang baik, tidak memiliki riwayat sakit ginjal, gangguan miksi, dan alergi
terhadap sulfa, furosemid, dan tiazid, untuk dijadikan probandus.
2. Menjelang praktikum dimulai, probandus tidak merokok, tidak minum kopi, teh,
coklat, maupun obat apapun.
3. Probandus mengosongkan vesika urinarianya.
4. Probandus meminum obat (plasebo, furosemid, atau tiazid).
5. Probandus mengeluarkan urin setiap 15 menit dan dilakukan sebanyak 5 kali.
6. Probandus meminum segelas air putih setiap 1 jam.
7. Membandingkan hasil pengukuran volum urine antara kelompok perlakuan dengan
furosemid, dengan tiazid, dan kontrol (plasebo).
8. Melakukan analisa statistik dengan uji F (ANAVA) yang dilanjutkan dengan uji
Tukey-HSD.
BAB IIIHASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Dari Praktikum diuretika yang telah dilakukan, maka diperoleh data kelas
sebagai berikut:
Tabel 1. Data Hasil Pengukuran Volum Urin Setelah Pemberian FurosemidNo
Nama NaracobaVolum Urin (mL)
Total15” 30” 45” 60” 75”
1 M. Riyad Filza 6.0 20.0 59.0 85.0 155.0 325.02 Anwar Fauzi 12.0 9.0 38.0 46.0 33.0 138.03 M. Yandi 27.0 41.0 12.0 8.0 12.0 100.04 Anindya Wisastra .0 .0 60.0 .0 130.0 190.05 Nanda Sujud Andi 8.0 .0 .0 130.0 155.0 293.06 Yoeharto 18.0 11.0 12.0 12.0 25.0 78.0
Rerata 11.833 13.500 30.167 46.833 46.833Standar Deviasi 9.559 15.424 25.895 51.554 51.554
Tabel 2. Data Hasil Pengukuran Volum Urin Setelah Pemberian HidroklorotiazidNo
Nama NaracobaVolum Urin (mL)
Total15” 30” 45” 60” 75”
1 Subhan Padila 28.0 7.5 7.0 10.0 11.5 64.02 Azeli Riswan 45.0 10.0 33.0 39.0 23.0 150.03 Gt. Adhi Affandi 55.0 80.0 75.0 64.0 24.0 298.04 Razi Haekal Doewes 25.0 6.0 25.0 42.0 27.0 125.05 Admaji Wibowo 15.0 8.0 21.0 29.0 20.0 88.06 Ahmad Rahmawan 11.0 10.0 11.5 22.0 30.5 85.0
Rerata 29.833 20.250 28.750 34.333 34.333Standar Deviasi 17.116 29.312 24.503 18.619 18.619
Tabel 3. Data Hasil Pengukuran Volum Urin Setelah Pemberian PlaseboNo
Nama NaracobaVolum Urin (mL)
Total15” 30” 45” 60” 75”
1 M. Welly Dafif 9.0 8.0 7.0 6.0 6.0 36.02 HM. Irwan Arziansyah 12.0 7.5 8.0 8.0 10.0 45.03 Abdul Rasyid Tamam 11.0 16.0 32.0 28.0 27.0 144.04 M. Anhar Dani .0 .0 .0 .0 .0 0.05 Riyan Maulana 36.0 15.0 21.0 17.0 9.0 98.06 Hasto Suprobo 5.0 6.0 .0 10.0 7.0 28.0
Rerata 12.167 8.750 11.330 11.500 11.500Standar Deviasi 12.481 5.965 12.707 9.793 9.793
Grafik 1. Hubungan diuretika furosemid, HCT, dan plasebo terhadap rerata volume urin per 15 menit
Tabel 4. Analisis korelasi Furosemid, HCT, dan Plasebo setelah 15 menit
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Volume urin setelah 15 menit
Tukey HSD
-18.000 7.7467 .083 -38.122 2.122
-.333 7.7467 .999 -20.455 19.788
18.000 7.7467 .083 -2.122 38.122
17.667 7.7467 .090 -2.455 37.788
.333 7.7467 .999 -19.788 20.455
-17.667 7.7467 .090 -37.788 2.455
(J) Jenis ObatHCT
Plasebo
furosemid
Plasebo
furosemid
HCT
(I) Jenis Obatfurosemid
HCT
Plasebo
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
Volume urin setelah 15 menit
Tukey HSDa
6 11.833
6 12.167
6 29.833
.083
Jenis Obatfurosemid
Plasebo
HCT
Sig.
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
ANOVA
Volume urin setelah 15 menit
1272.444 2 636.222 3.534 .055
2700.500 15 180.033
3972.944 17
Between Groups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Volume urin setelah 30 menit
Tukey HSDa
6 8.750
6 13.500
6 20.250
.573
Jenis ObatPlasebo
Furosemid
HCT
Sig.
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Tabel 5. Analisis korelasi Furosemid, HCT, dan Plasebo setelah 30 menit
ANOVA
Volume urin setelah 30 menit
400.750 2 200.375 .531 .599
5663.250 15 377.550
6064.000 17
Between Groups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Volume urin setelah 30 menit
Tukey HSD
-6.750 11.2183 .821 -35.889 22.389
4.750 11.2183 .907 -24.389 33.889
6.750 11.2183 .821 -22.389 35.889
11.500 11.2183 .573 -17.639 40.639
-4.750 11.2183 .907 -33.889 24.389
-11.500 11.2183 .573 -40.639 17.639
(J) Jenis ObatHCT
Plasebo
Furosemid
Plasebo
Furosemid
HCT
(I) Jenis ObatFurosemid
HCT
Plasebo
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
Tabel 6. Analisis korelasi Furosemid, HCT, dan Plasebo setelah 45 menit
ANOVA
Volume urin setelah 45 menit
1320.083 2 660.042 1.382 .281
7162.042 15 477.469
8482.125 17
Between Groups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Volume urin setelah 45 menit
Tukey HSD
1.417 12.6157 .993 -31.352 34.186
18.833 12.6157 .322 -13.936 51.602
-1.417 12.6157 .993 -34.186 31.352
17.417 12.6157 .375 -15.352 50.186
-18.833 12.6157 .322 -51.602 13.936
-17.417 12.6157 .375 -50.186 15.352
(J) Jenis ObatHCT
Plasebo
Furosemid
Plasebo
Furosemid
HCT
(I) Jenis ObatFurosemid
HCT
Plasebo
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
Volume urin setelah 45 menit
Tukey HSDa
6 11.333
6 28.750
6 30.167
.322
Jenis ObatPlasebo
HCT
Furosemid
Sig.
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
ANOVA
Volume urin setelah 75 menit
19400.333 2 9700.167 6.041 .012
24086.667 15 1605.778
43487.000 17
Between Groups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Tabel 7. Analisis korelasi Furosemid, HCT, dan Plasebo setelah 60 menit
ANOVA
Volume urin setelah 60 menit
3852.111 2 1926.056 1.864 .189
15501.667 15 1033.444
19353.778 17
Between Groups
Within Groups
Total
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Volume urin setelah 60 menit
Tukey HSD
12.500 18.5602 .782 -35.710 60.710
35.333 18.5602 .172 -12.876 83.543
-12.500 18.5602 .782 -60.710 35.710
22.833 18.5602 .454 -25.376 71.043
-35.333 18.5602 .172 -83.543 12.876
-22.833 18.5602 .454 -71.043 25.376
(J) Jenis ObatHCT
Plasebo
Furosemid
Plasebo
Furosemid
HCT
(I) Jenis ObatFurosemid
HCT
Plasebo
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
Tabel 8. Analisis korelasi Furosemid, HCT, dan Plasebo setelah 75 menit
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Volume urin setelah 75 menit
Tukey HSD
62.333* 23.1357 .042 2.239 122.428
75.167* 23.1357 .014 15.072 135.261
-62.333* 23.1357 .042 -122.428 -2.239
12.833 23.1357 .846 -47.261 72.928
-75.167* 23.1357 .014 -135.261 -15.072
-12.833 23.1357 .846 -72.928 47.261
(J) Jenis ObatHCT
Plasebo
Furosemid
Plasebo
Furosemid
HCT
(I) Jenis ObatFurosemid
HCT
Plasebo
MeanDifference
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
The mean difference is significant at the .05 level.*.
Volume urin setelah 60 menit
Tukey HSDa
6 11.500
6 34.333
6 46.833
.172
Jenis ObatPlasebo
HCT
Furosemid
Sig.
N 1
Subsetfor alpha
= .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Volume urin setelah 75 menit
Tukey HSDa
6 9.833
6 22.667
6 85.000
.846 1.000
Jenis ObatPlasebo
HCT
Furosemid
Sig.
N 1 2
Subset for alpha = .05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
Catatan:
1. Percobaan pada menit ke 15 hingga 60, tidak terdapat adanya perbedaan yang
bermakna antara furosemid, HCT, dan placebo.
2. Dari semua perlakuan, hanya tabel 8 (menit ke-75) yang menunjukkan adanya
perbedaan. Uji Anova pada tabel tersebut menunjukkan signifikansi (sig.) kurang
dari 0,05, artinya terdapat perbedaan yang bermakna. Adapun perbedaan tersebut
terlihat pada kolom Multiple comparison, dimana dari tabel tersebut diketahui
bahwa furosemid berbeda secara bermakna dari HCT dan Plasebo, sedangkan HCT
tidak memiliki perbedaan secara bermakna jika dibandingkan dengan plasebo.
Namun, apabila dilihat pada kolom Tukey HSD, tampak bahwa HCT memiliki efek
diuresis yang lebih tinggi daripada plasebo. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dari
ketiga bahan tersebut, furosemid memiliki efek diuresis yang paling tinggi, diikuti
HCT dan plasebo.
Pembahasan
Diuretika yang digunakan pada praktikum kali ini adalah furosemide dan
Hidroklortiazid (HCT). Diuretika adalah zat yang dapat memperbanyak pengeluaran
urine (diuresis) akibat khasiat langsung terhadap ginjal. Probandus yang digunakan pada
praktikum ini adalah praktikan laki-laki yang sehat, tidak mempunyai riwayat sakit
ginjal, gangguan miksi, serta alergi terhadap sulfa, furosemid, dan tiazid. Pada hari
percobaan, probandus tidak boleh merokok, tidak minum kopi, teh, coklat, maupun
obat apapun yang nantinya akan berpengaruh terhadap hasil praktikum (terjadi interaksi
dengan obat).
Sebagai langkah kerja pertama, setiap probandus mengosongkan vesika
urinarianya. Setelah itu, dalam waktu yang bersamaan, semua probandus meminum obat
yang jenisnya tidak diketahui, apakah furosemid, HCT, atau hanya plasebo. Dalam
waktu 75 menit, probandus mengeluarkan urin setiap 15 menit sekali; pada menit ke-60,
probandus meminum segelas air putih agar tidak terjadi dehidrasi. Volum urin yang
diekskresi diukur dan dibandingkan untuk mengetahui efek diuresis dari pemberian
obat-obat tersebut. Dari hasil pemeriksaan dapat dilihat bahwa volum rata-rata urin yang
dikeluarkan setelah pemberian furosemid, HCT, dan plasebo menunjukkan nilai yang
berbeda.
Tabel 1, 2, dan 3 menunjukkan volum rata-rata urin yang diekskresi setelah
pemberian furosemid, hidroklorotiazid, dan plasebo. Pada tabel 1, terlihat rerata volum
urin setiap 15 menit mengalami peningkatan. Peningkatan yang cukup besar terjadi pada
menit ke 45. Data tersebut menunjukkan bahwa furosemid meningkatkan ekskresi urin
dalam waktu kurang lebih 45 menit setelah obat diminum. Pada tabel 2 terlihat volum
rata-rata urin yang diekskresi setelah pemberian HCT. Rerata volum urin para
probandus mengalami peningkatan pada menit ke 45, 60, dan 75. Sedangkan pada tabel
3 memperlihatkan volum rata-rata urin yang diekskresi setelah pemberian plasebo.
Hasil percobaan pada tabel 1, 2, dan 3 terangkum dalam grafik 1. Grafik ini
menunjukkan hubungan diuretika furosemid, HCT, dan plasebo terhadap rerata volume
urin per 15 menit. Pada grafik terlihat peningkatan volume urin yang signifikan pada
pemberian furosemid. Pada pemberian HCT, volume urin meningkat tetapi tidak sebesar
pada pemberian furosemid. Pada pemberian plasebo, kurva yang dihasilkan tidak
menunjukkan fluktuasi yang berarti.
Tabel 4 memperlihatkan analisis analisis korelasi furosemid, HCT, dan plasebo
menit ke 15. Uji Anova pada tabel tersebut menunjukkan signifikansi (sig.) 0,055 ini
berarti lebih dari 0,05. Hal ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna
antara efek diuresis pada pemberian furosemid, HCT, dan plasebo. Pada tabel 5, 6, dan
7 juga diperoleh hasil analisis statistik dengan uji Anova menunjukkan signifikansi
(sig.) lebih dari 0,05. Hal ini juga menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara efek diuresis pada pemberian furosemid, HCT, dan plasebo menit ke-
30, 45, dan 60. Dari semua perlakuan, hanya tabel 8 (menit ke-75) yang menunjukkan
adanya perbedaan efek diuresis pada pemberian furosemid, HCT, dan plasebo. Uji
Anova pada tabel tersebut menunjukkan signifikansi (sig.) kurang dari 0,05, artinya
terdapat perbedaan yang bermakna.
Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa jumlah rata-rata urin yang
dikeluarkan probandus yang diberi masing-masing obat dan plasebo menunjukkan hasil
yang berbeda. Hasil uji F (anova) untuk menentukan signifikansi kesamaan antara
pemberian furosemid dan HCT menunjukkan perbedaan yang bermakna.
Adapun perbedaan tersebut terlihat pada kolom Multiple comparison, dimana
dari tabel tersebut diketahui bahwa furosemid berbeda secara bermakna dari HCT dan
Plasebo, sedangkan HCT tidak memiliki perbedaan secara bermakna jika dibandingkan
dengan plasebo. Namun, apabila dilihat pada kolom Tukey HSD, tampak bahwa HCT
memiliki efek diuresis yang lebih tinggi daripada plasebo. Dari hasil tersebut , dapat
dikatakan bahwa Furosemid dan HCT memiliki onset cepat (1-2 jam) dan durasi yang
lama (6-12 jam). Furosemid yang diberikan secara oral memiliki onset sekitar ½-1 jam
dengan durasi sekitar 6-8 jam; sementara dengan pemberian secara intravena maupun
intramuskular efeknya timbul hampir lebih cepat dengan durasi selama 2 jam. Waktu
paruh furosemid sekitar 1 jam, dan sekitar 97% obat ini terikat dengan protein plasma
(Ferko, 1989).
Furosemid merupakan diuretik yang sangat kuat, tempat kerjanya yang utama
di bagain epitel tebal ansa henle. Diuretik kuat bekerja dengan cara reabsorbsi elektrolit
di ansa henle asendens bagian epitel tebal; tempat kerjanya dipermukaan epitel bagian
luminal. Saat terjadinya perubahan hemodinamik di ginjal mengakibatkan menurunnya
reabsorbsi cairan dan elektrolit di tubuli proksimal sehingga meningkatkan efek awal
dari diuresisi (Katzung, 1995).
Pemberian HCT secara oral lebih baik daripada pemberian secara intravena.
Setelah HCT diberikan secara oral, diuresis dimulai dalam 2 jam dan berakhir dalam 6-
12 jam. Waktu paruh HCT sekitar 6-15 jam, dan sekitar 90% obat ini terikat dengan
protein plasma (Ferko, 1989).
Plasebo secara farmakologis tidak aktif ( tidak mempengaruhi secara bermakna
dari ekskresi urin) dan hanya digunakan sebagai pembanding atau sugestor. plasebo
tidak mempengaruhi secara bermakna dari ekskresi urin.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa, dari
kedua bahan praktikum di atas, maka :
1. Furosemid memiliki efek diuresis yang paling tinggi baru diikuti HCT.
2. Furosemid dan HCT memiliki onset cepat (1-2 jam) dan durasi yang lama (6-12
jam).
Saran
Perlu dilakukan percobaan dengan membandingkan furosemid dan Tiazid,
sejauh mana efek furosemid dan Tiazid dapat mempengaruhi diuresis serta
membandingkan berbagai diuretika yang lainnya, sehingga dapat mempermudah dalam
menterapi suatu kelainan seseorang yang berkaitan dengan hal diuresis.
DAFTAR PUSTAKA
Widmann, F.K. Tinjauan Klinis Atas Hasil Pemeriksaan Laboratorium Edisi 9. Jakarta : EGC, 1995. 519
Baron, D.N Patologi Klinik . Edisi 4. Jakarta : EGC, 1995. 129
Guyton et al. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC, 1997. Hal : 726-727
Katzung, BG. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi VI. Jakarta : EGC, 1995. 90
Ferko, Andrew P. Diuretics in Basic Pharmacology in Medicine. Third Edition . USA : McGrew Hill Inc, 1989. 125
Ives, Harlan E. & David G. Warnock. Obat-obat Diuretik dalam Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta : EGC, 1997.279
Anonymous. Buku Petunjuk Praktikum Farmakologi/Terapi II. Banjarbaru : FK UNLAM, 2005. 1-6
Sunaryo. Diuretik dan Antidiuretik dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta : FK UI, 1995. 286
Schunack, Walter et al. Senyawa Obat Buku Pelajaran Kimia Farmasi. Edisi Kedua. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1990. 154