farkhan basyirudin fps
DESCRIPTION
bullyTRANSCRIPT
HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL DENGAN PERILAKU
BULLYING PARA SANTRI MADRASAH ALIYAH PONDOK
PESANTREN ASSA’ADAH SERANG BANTEN
Skripsi diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Disusun Oleh:
FARKHAN BASYIRUDIN
104070002346
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M/1432 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya Farkhan Basyirudin, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini adalah hasil karya asli sendiri, guna mendapatkan gelar sarjana
Strata 1 (S 1) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, tanpa meniru karya lainnya baik dari Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atau Universitas lainnya.
2. Semua sumber penulisan yang tercantum sudah sesuai dengan kebijakan
atau aturan yang sudah di tentukan oleh Fakultas Psikologi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti melanggar aturan yang ada, penulis siap
mengikuti aturan atau kebijakan yang telah di tetapkan oleh Fakultas
Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 9 Desember 2010
Farkhan Basyirudin
HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL DENGAN PERILAKU
BULLYING PARA SANTRI MADRASAH ALIYAH PONDOK
PESANTREN ASSA’ADAH SERANG BANTEN
Skripsi diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Disusun Oleh:
FARKHAN BASYIRUDIN
104070002346
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dra. Diana Mutiah, M.Si Gazi Saloom, M.Si.
NIP 196710291996032001 NIP 19711214 2007011 014
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H / 2010 M
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL DENGAN PERILAKU BULLYING PARA SANTRI MADRASAH ALIYAH PONDOK PESANTREN ASSA’ADAH SERANG BANTEN telah di ujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.
Jakarta, 9 Desember 2010
Sidang Munaqasyah
Dekan/ Pembantu Dekan/ Ketua Merangkap Anggota Sekertaris Merangkap Anggota
Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 130 885 552 NIP. 195612231983032001
Anggota :
Penguji II
Gazi Saloom, M.Si NIP. 19711214 2007011 014
Pembimbing I
Dra. Diana Mutiah, M.Si NIP. 196710291996032001
MOTTO
Keep on trying Keep on moving Keep on fighting
Hadiah kecil ini aku persembahkan untuk
Bapak dan Ibu serta kakak-kakakku tercinta
Semoga Tuhan selalu mendampingi setiap
langkah keluarga ini…
ABSTRAK
(A) Fakultas Psikologi (B) Desember, 2010 (C) Farkhan Basyirudin (D) Hubungan Antara Penalaran Moral Dengan Perilaku Bullying Para Santri
Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Assa’adah Serang Banten (E) Halaman xviii + 73
Nilai-nilai keagamaan yang di ajarkan di pesantren bertujuan membentuk kepribadian santri yang sesuai dengan standar moral yang berlaku di masyarakat. Ternyata hal itu tidak mempengaruhi dan menekan perilaku bullying di kalangan santri. Ini disebabkan adanya kegagalan dalam pembentukan kode moral benar atau salah, dan kegagalan dalam merubah konsep moral khusus ke umum. Moralitas pasca-konvensional seharusnya dicapai selama masa remaja. Tapi dengan masih adanya remaja pada tingkat pra-konvensional atau konvensional, maka tidaklah heran apabila diantara remaja masih banyak yang melakukan perilaku bullying.
Perilaku bullying adalah tindakan negatif, yang bersifat agresif atau manipulatif dalam rangkaian tindakan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain selama periode waktu tertentu yang didasarkan pada ketidakseimbangan kekuatan. Jenis penindasan (bullying): verbal, fisik, dan relasional/psikologis yang melibatkan pelaku bullying, korban bullying, dan penonton/saksi. Penalaran moral adalah suatu bentuk pertimbangan atau pemikiran yang digunakan dalam menilai dan mengambil keputusan apakah tindakan yang dilakukan tersebut benar atau salah yang didasari oleh prinsip moral yang dimilikinya. Tahap-tahap perkembangan penalaran moral yaitu pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari secara empirik hubungan antara penalaran moral dengan perilaku bullying. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian korelasi. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 100 orang santri pondok pesantren Assa’adah, Serang, Banten. Dari jumlah tersebut dipilih 80 orang responden sebagai sampel penelitian dengan menggunakan teknik simple random sampling. Instrumen pengumpulan data adalah Skala model Likert. Bentuk pengolahan dan analisa data menggunakan analisa statistika dengan menggunakan program SPSS 18.00, pada uji validitas menggunakan korelasi Product Moment dari Pearson dan untuk menguji reliabilitas instrument dengan Alpha Cronbach. Sedangkan untuk menguji hipotesis penelitian digunakan Korelasi Product Moment. Jumlah item yang valid untuk skala penalaran moral 25 item dan 11 item yang tidak valid. Reliabilitas skala penalaran moral adalah 0.923. sedangkan pada skala perilaku bullying terdapat 29 item yang valid dan 7 ietm yang tidak valid. Reliabilitas perilaku bullying adalah 0.908. Berdasarkan analisa korelasi Product Moment dari Pearson terhadap hipotesis yang diajukan, diperoleh hasil bahwa terdapat
i
hubungan yang negatif dan signifikan antara penalaran moral dengan perilaku bullying. Karena r hitung (- 0.298) p < 0.01 yang berarti jika penalaran moralnya rendah maka perilaku bullyingnya tinggi. Disarankan agar pembina pondok pesantren lebih meningkatkan penalaran moral santri sehingga dapat menekan perilaku bullying. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan menguji faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku bullying seperti situasi sosial, pola asuh, dan tipe kepribadian.
(F) Daftar Pustaka : 26 buku (1980-2009) + 1 jurnal + 5 website
ii
ABSTRACT
(A) Faculty of Psychology (B) December, 2010 (C) Farkhan Basyirudin (D) The correlation Between Moral Reasoning With Bullying behavior in students. (E) Pages xviii + 73 (F) Religious values that induced in the boarding school students aimed at creating a personality that fit with the prevailing moral standards in society. Apparently it did not affect and reduce bullying behavior among students. This is due to the failure in forming a moral code of right or wrong, and failure to change the moral concepts specific to the general. Post-conventional morality should be achieved during adolescence. But with still there are teenagers at the pre-conventional or conventional, it would not be surprised if among adolescents are still many who do the bullying behavior. Bullying behavior is a negative action, that is aggressive or manipulative in a series of actions taken by one or more persons against another person during a specified time period based on the imbalance of power. Type of persecution (bullying): verbal, physical, and relational / psychological bullying involving the perpetrator, victim of bullying, and spectators / witnesses. Moral reasoning is a form of consideration or thought that is used to evaluate and make a decision whether the action taken is right or wrong based on moral principles he had. Stages of development of moral reasoning is pre-conventional, conventional, and post-conventional. This research was conducted to study empirically the correlation between moral reasoning with bullying behavior. This type of research used in this study is the quantitative approach with correlation research method. The population in this study were 100 people boarding school students Assa'adah, Serang, Banten. Of these respondents 80 people selected as the study sample using random sampling technique. Data collection instruments are Likert Scale model. Forms processing and data analysis using statistical analysis using SPSS 18.00, on the validity test using the correlation Product Moment from Pearson and to test the reliability of the instrument with Cronbach Alpha. Meanwhile, to test the research hypothesis using the Product Moment. The number of valid items for the scale of moral reasoning are 25 items and 11 items that are not valid. Reliability scale of moral reasoning is 0923. Whereas on the scale of bullying behavior there are 29 valid items and 7 items invalid. Reliability of bullying behavior is 0908. Based on the correlation analysis of Product Moment from Pearson to the hypothesis proposed, results showed there is a negative and significant relationship between moral reasoning with bullying behavior. Because the count r (- 0298) <r table (p <0.01) which means that if the low moral reasoning, the behavior of high its bullying.
iii
Hopefully, the students further enhance moral reasoning in order to reduce bullying behavior. For further research is expected to examine other factors that influence bullying behavior such as social situation, parenting, and personality type. (G) References: 26 books (1980-2009) + 1 journal + 5 websites
iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan judul “HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL
DENGAN PERILAKU BULLYING PARA SANTRI MADRASAH ALIYAH
PONDOK PESANTREN ASSA’ADAH SERANG BANTEN” untuk
memenuhi salah satu syarat dalam menempuh ujian Sarjana Psikologi Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini belum dapat dikatakan
sempurna, karena keterbatasan penulis dalam hal pengetahuan, kemampuan,
pengalaman, dan juga waktu. Namun demikian penulis berharap semoga skripsi
ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan, dan
dorongan serta saran dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Jahja Umar,Ph.D Dekan Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan untuk
menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Dra. Diana Mutiah, M.Si dosen pembimbing I dan Bapak Gazi Saloom,
M.Si. Selaku Dosen Pembimbing II serta sebagai dosen penasehat akademik,
v
yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, motivasi dan
bantuannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3. Seluruh dosen, staf administrasi dan keluarga besar Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mendukung
dan membantu penulis selama penulis mengikuti perkuliahan.
4. Pimpinan Pondok pesantren Assa’adah Ust. Mujib, para staf ustadz/ustadzah,
dan para santriwan/i yang telah memberikan bantuan pada penulis dalam
pengumpulan informasi dan data penelitian ini. Segenap pengurus dan santri
pondok pesantren Bina Tahfiz Al Qur’an yang telah memberikan bantuan
dalam pelaksanaan Try Out penelitian.
5. Penulis secara khusus menyampaikan terimakasih yang sangat pribadi kepada
kedua orang tua penulis, Bapak Nasikin, Ibu Harsunah, kakak-kakaku Mas
Yazid, Mba Khusnul, Mas Badruz, Bang Saiman, Mba Lasmi, Nur, Iis,
Keponakanku Najma, Najah, dan Yasmine serta saudara-saudara yang selalu
memberikan doa, dorongan, kepercayaan dan dukungan baik secara moril
maupun materil serta kasih sayang yang tiada terkira.
6. Kawan-kawan seperjuangan di KPA. Arkadia, FP2I, Alumni MWI ’04,
teman-teman kelas C ’04. Teruslah berkarya dalam bendera keilmuan,
semoga persahabatan kita tidak terputus oleh ruang dan waktu.
vi
Semoga semua kebaikan dan bantuan yang diberikan akan mendapatkan imbalan
yang setimpal dari Allah SWT. Akhir kata penulis mohon maaf apabila terdapat
kesalahan, kekurangan atau kekeliruan dalam menyusun skripsi ini. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca umumnya.
Amin ya Robbal’alamin.
Jakarta, Desember 2010
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERNYATAAN
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
MOTTO
PERSEMBAHAN
ABSTRAK ………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR …………………………………………………….. v
DAFTAR ISI………………………………………………………………. viii
DAFTAR SKEMA………………………………………………………… x
DAFTAR TABEL …………………………………………………………. xi
DAFTAR GAMBAR..................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………. xiii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………….. 1
1.1. Latar Belakang Masalah…………………..……………….. 1
1.2. Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah……….……. 10
1.3. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ……….………... 12
1.4. Sistematika Penulisan …………………..…………………. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………….…………………………. 14
2.1. Bullying…………………………………………….…….. 14
2.5. Pengertia Penalaran Moral………………………..………. 26
2.8. Kerangka Berpikir…………………………...…………… 43
2.9. Hipotesis …………………………………………………. 43
BAB III METODE PENELITIAN ……..…………………………………. 44
3.1. Jenis dan Tipe Penelitian ……….………………….……. 44
3.2. Identifikasi dan Klasifikasi Variabel……………………… 45
3.3. Definisi konseptual dan operasional variabel.………......... 45
3.4. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel……… 46
viii
3.5. Metode dan Instrumen Pengumpulan Data …………..….. 47
3.6. Hasil Uji Coba Instrumen Penelitian…………….……….. 50
3.7. Teknik Uji Instrumen Penelitian……………..…………… 53
3.8. Teknik Analisa Data………………………………………. 53
3.9. Prosedur Penelitian………………………….…………… 54
BAB IV HASIL PENELITIAN …………………………………………… 56
4.1. Gambaran Umum Sample Penelitian........ ………………. 56
4.2. Uji Persyaratan………………………………..………….. 58
4.3. Distribusi Penyebaran Skor Responden..…………………. 63
4.4. Hasil Utama Penelitian atau Uji Hipotesis…………..…… 66
BAB V DISKUSI, KESIMPULAN DAN SARAN ………….………….. 70
5.1. Kesimpulan ...………………………………….….……… 70
5.2. Diskusi …………………………………….……...……… 70
5.3. Saran…………...………………………….……………... 72
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 75
ix
DAFTAR SKEMA
Halaman
SKEMA 1 Tahap Perkembangan Moral Kohlberg …………………..….. 34
SKEMA 2 Kerangka berpikir ……………………………..…………….. 42
x
DAFTAR TABEL Halaman
Tabel 3.1. Rasio populasi dan sample……………………………………. 45
Tabel 3.2. Bobot Nilai Skala……………………………………………... 47
Tabel 3.3.. Blue Print Skala Perilaku Bullying............................................ 48
Tabel 3.4 Blue Print Skala Perilaku Moral................................................ 48
Tabel 3.5 Kisi-kisi Skala Perilaku Bullying.............................................. 49
Tabel 3.6. Kisi-kisi Skala Penalaran Moral................................................ 50
Tabel 3.7 Klasifikasi Reliabilitas......................................................... 51
Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jenis Kelamin … 55
Tabel 4.2 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Usia …………… 56
Tabel 4.3 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Jurusan …… 56
Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas Skala Penalaran Moral 58
Tabel 4.5. Hasil Uji Normalitas Skala Perilaku Bullying 59
Tabel 4.6. Hasil Uji Homogenitas Penalaran Moral……………………….. 61
Tabel 4.7. Hasil Uji Homogenitas Perilaku Bullying................................... 61
Tabel 4.8 Statistik Deskriptif..................................................................... 62
Tabel 4.9 Norma Penalaran Moral............................................................. 63
Tabel 4.10 Norma Perilaku Bullying........................................................... 63
Tabel 4.11 Kategorisasi Skor Penalaran Moral Berdasarkan Usia..............
64
Tabel 4.12 Kategorisasi Skor Perilaku Bullying Berdasarkan Usia.............
65
Tabel 4.13 Hasil Uji Hubungan Penalaran Moral dengan Perilaku Bullying..
66
Tabel 4.14 Regresi Sederhana.......................................................................
67
Tabel 4.15 Uji Beda Penalaran Moral Berdasarkan Jenis Kelamin.............. 67
Tabel 4.16 Uji Beda Perilaku Bullying Berdasarkan Jenis Kelamin............. 68
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 4.1 Skatterplot skala Penalaran Moral………………… 58
Gambar 4.2 Skatterplot skala Perilaku Bullying………………… 59
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Try Out skala Penalaran Moral
Lampiran 2 Hasil Try Out skala Prilaku Bullying
Lampiran 3 Validitas dan Reliabilitas skala Penalaran Moral
Lampiran 4 Validitas dan Reliabilitas skala Prilaku Bullying
Lampiran 5 Hasil penelitian skala Penalaran Moral
Lampiran 6 Hasil penelitian skala Prilaku Bullying
Lampiran 7 Kategori skor Penalaran Moral dan Perilaku Bullying
Lampiran 8 Frekuensi Penalaran Moral dan Perilaku Bullying
Lampiran 9 Normalitas Penalaran Moral dan Perilaku Bullying
Lampiran 10 Homogenitas Penalaran Moral dan Perilaku Bullying
Lampiran 11 Korelasi antara Penalaran Moral dengan Perilaku Bullying
Lampiran 12 Regresi Sederhana
Lampiran 13 Uji Beda
Lampiran 14 Skala try out Penelitian
Lampiran 15 Skala Penelitian
xiii
xiv
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal yang paling penting dalam penentuan masa depan
suatu bangsa dimana pendidikan adalah sebagai alat atau metode untuk
membentuk kepribadian dan karakter bangsa. Sukses tidaknya dunia pendidikan
bergantung pada peserta didik, tenaga pendidik dan pemerintah sebagai regulasi
pendidikan.
Oleh karena itu, peran pemerintah dalam memperhatikan dunia pendidikan
dengan meningkatkan mutu pendidikan sesuai Peraturan Pemerintah No. 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab II Pasal 4 menjelaskan
bahwa standar nasional pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat (LeKDiS, 2005),
Namun, dewasa ini banyak beredar berita baik di media cetak maupun
elektronik mengenai kasus tindak kekerasan yang ditimbulkan oleh para pelajar.
Mulai dari kasus tawuran antar sekolah, geng, sampai tindak kekerasan dan
penindasan siswa sekolah yang dilakukan para senior kepada juniornya.
Pada dasarnya perilaku-perilaku yang mengandung unsur tindakan
agresivitas yang sistematis, terencana dan bertujuan dari satu pihak dengan pihak
lain melalui penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang, terjadi secara
2
berulang selama periode waktu tertentu baik berupa kekerasan fisik maupun
psikologis, merupakan karakteristik khusus yang dikenal dengan istilah bullying
(Sullivan, 2001).
Masih menurut Sullivan (2005) Bullying adalah tindakan negatif, yang
bersifat agresif atau manipulatif dalam rangkaian tindakan yang dilakukan oleh
satu orang atau lebih terhadap orang lain. Biasanya selama periode waktu tertentu
yang didasarkan pada ketidakseimbangan kekuatan.
Sedangkan menurut Coloroso (2007), bullying adalah tindakan intimidasi
yang dilakukan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Tindakan
penindasan ini dapat diartikan sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk
menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan
tidak berdaya. Bentuknya bisa bersifat fisik seperti memukul, menampar, dan
memalak. Bersifat verbal seperti memaki, menggosip, dan mengejek, serta
psikologis seperti mengintimidasi, mengucilkan, mengabaikan, dan
mendiskriminasi. Kekerasan dan perilaku negatif ini dapat terjadi di luar maupun
di dalam sekolah.
Coloroso (2007) menambahkan, perilaku bullying/bullies tidak
memperhitungkan alasan mengapa mereka melakukan bullying tersebut.
Terkadang pelaku hanya mencari alasan yang dapat diterima atas tindakan yang ia
lakukan, misalnya melakukan bullying untuk mendisiplinkan adik kelas atau
korban. Tetapi perilaku tersebut berlangsung selama periode yang cukup lama dan
membuat korban mengalami luka baik fisik maupun psikologis.
3
Menurut Lipkins (2008), kebanyakan mereka menjadi pelaku karena
terbentuk, bukan karena berbakat. Mereka terbentuk karena pernah menjadi
korban penindasan. Mereka pernah di tindas, menyaksikan penindasan, dan pada
akhirnya sampai tiba giliran mereka untuk menindas. Mereka itulah para anggota
senior yang mempunyai kedudukan penting, kemampuan yang lebih, atau
kepribadiannya yang disegani.
Biasanya siswa-siswa senior bergerak dalam satu angkatan. Mereka
melakukan bullying terhadap siswa-siswa juniornya karena mereka merasa
mendapatkan kesempatan melakukannya lantaran pernah menjadi korban bullying
saat menjadi siswa junior. Sementara siswa-siswa korban mereka pun dibina
untuk menyimpan dendam dan kejengkelan yang akan mereka lampiaskan saat
mereka menjadi siswa senior pada angkatan yang akan datang (SEJIWA, 2008).
Seperti halnya kasus yang menyita banyak perhatian masyarakat terjadi di
SMAN 82 (3/11/2009). Korban adalah Ade Fauzan, siswa kelas I yang menjadi
korban kekerasan dari siswa kelas III. terpaksa dirawat di RS Pusat Pertamina
(RSPP), Jakarta Selatan karena di pukul dan dikeroyok oleh siswa kelas III hingga
pingsan selama 3 jam. (www.detiknews.com).
Pada kenyataannya, tindak kekerasan pada remaja tidak hanya berlaku
pada institusi pendidikan SMA saja, melainkan sudah merambah ke dunia
pesantren. Sebagai contoh kasus, dua santri Pondok Pesantren (Ponpes) Assalaam
di Pabelan, Kartasura, Sukoharjo, masuk RS Panti Waluyo dipukuli seniornya
(13/7/2007). Pemukulan itu dilakukan oleh para santri pembimbing usai santri-
4
santri Takhassus belajar malam. Sebab siswa Assalaam berasal dari berbagai suku
di Indonesia (www.suaramerdeka.com).
Setidaknya berdasarkan data yang dikumpulkan Komnas Perlindungan
Anak (KPA) angka kekerasan di sekolah pada tahun 2009 meningkat hinga 20%
dibanding pada tahun 2008. Menurut Sekjen KPA, Sirait (2009) telah terjadi aksi
bullying atau kekerasan di sekolah sebanyak 472 kasus. Angka ini meningkat dari
tahun 2008, yang jumlahnya sebanyak 362 kasus. (www.detiknews.com)
Di Indonesia belum ada data memadai karena penelitian tentang fenomena
bullying masih baru. Akan tetapi dari hasil studi yang dilakukan ahli intervensi
bullying asal Amerika, Huneck (2006) mengungkapkan bahwa 10-16 persen siswa
Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan,
tendangan ataupun didorong, sedikitnya sekali dalam seminggu.
(http://run18.multiply.com)
Dijkstra dkk, (2008) menyebutkan bahwa, dari 3.312 subjek laki-laki dan
perempuan, yang terbagi antara kelompok remaja populer dan non-populer
menunjukkan perilaku bullying oleh remaja populer berhubungan pada alasan
perbedaan status sosial yang melekat pada mereka.
Menurut penelitian dari Yayasan Sejiwa sebuah lembaga swadaya
masyarakat yang peduli dengan masalah kekerasan di sekolah, melakukan survey
pada workshop antibullying pada 28 April 2006. hasil survey yang di hadiri oleh
250 peserta tersebut, 94,9 % peserta yang hadir menyatakan bahwa bullying
5
memang terjadi di sekolah-sekolah Indonesia. Namun jenis-jenis tindakan
bullying yang mereka laporkan dalam workshop tersebut amat beragam (SEJIWA,
2008).
Dengan banyaknya fenomena perilaku remaja melakukan tindak kekerasan
dan penindasan atau bisa disebut dengan perilaku bullying, menimbulkan
pertanyaan mengenai penalaran dan nilai-nilai moral yang mereka anut sehingga
muncul perilaku tersebut.
Menurut Kohlberg perkembangan penalaran moral manusia terdiri dari
tiga tingkat, yaitu tingkat pra-konvensional, konvensional, dan pasca-
konvensional. Masing-masing tingkat diikuti dengan dua tahap perkembangan
moral (Santrock, 2002).
Kohlberg menambahkan bahwa moralitas pasca-konvensional seharusnya
dicapai selama masa remaja dalam tahap ini individu mempunyai keyakinan
moral dan dapat menyesuaikan diri dengan standar sosial yang diinternalisasikan
dengan didasarkan pada rasa hormat kepada orang lain (Hurlock, 1980).
Akan tetapi Kohlberg (1995) dalam penelitian empirisnya menyebutkan
bahwa tidak semua orang akan mencapai tahap tertinggi, melainkan hanya
minoritas kecil yaitu hanya 5 sampai 10 persen dari seluruh penduduk, bahkan
kemudian angka inipun masih diragukannya. Diakui pula, suatu saat orang dapat
jatuh kembali pada tahap moral yang lebih rendah, yang disebutnya sebagai
“regresi fungsional”.
6
Senada dengan hal tersebut, Hurlock (1980) menjelaskan bahwa remaja
yang tidak berhasil melakukan peralihan ke dalam tahap moralitas dewasa, maka
tugas tersebut di selesaikan pada awal masa dewasa. Sehingga mereka membentuk
kode moral berdasarkan tahapan konsep moral sebelumnya yang secara sosial
belum tentu dapat di terima.
Artinya, sesuai yang dikatakan oleh Yusuf (2002), dengan masih adanya
remaja pada tingkat pra-konvensional atau konvensional, maka tidaklah heran
apabila diantara remaja masih banyak yang melakukan dekadensi moral termasuk
didalamnya perilaku bullying.
Hal ini dikarenakan masa remaja sebagai periode badai dan tekanan. Suatu
masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan
kelenjar. Adapun meningginya emosi terutama karena masa remaja berada
dibawah tekanan sosial menghadapi kondisi baru, sedangkan saat masa kanak-
kanak kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan itu (Hurlock,
1980).
Pada dasarnya remaja diharapkan sudah mampu menggali konsep-konsep
yang berlaku khusus di masa kanak-kanak, dengan prinsip moral yang berlaku
umum dan merumuskannya ke dalam kode moral yang akan berfungsi sebagai
pedoman bagi perilakunya. Sekarang ia akan membentuk kode moral sendiri
berdasarkan konsep benar dan salah yang telah diubah dan diperbaikinya agar
sesuai dengan tingkat perkembangan yang lebih matang dan telah dilengkapi
7
dengan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang dipelajari dari orangtua dan
gurunya (Hurlock, 1980).
Oleh karena itu, remaja diharapkan mampu mengendalikan perilakunya
sendiri, yang sebelumnya menjadi tanggung jawab orang tua atau guru. Namun
terkadang remaja mudah dipengaruhi oleh stimuli yang bersifat negatif dari
lingkungannya tanpa berfikir panjang terhadap akibat yang akan ditimbulkannya.
Apabila ia mengalami ketidakmatangan dalam proses perkembangan perilaku
sosialnya.
Selain itu pada sisi kognitif, remaja mempunyai persepsi untuk bersikap
dan mencari nilai ideal dengan berbagai perangkat untuk meraihnya. Sebagaimana
diungkapkan oleh Piaget bahwa, semakin orang terbuka dengan banyak
pengalaman di dunia luar, maka ia akan semakin dibantu untuk mengembangkan
pengetahuan dan cara berfikirnya (Suparno, 2001).
Selanjutnya menurut Gunarsa (1989), remaja hendaknya mampu bersikap
kritis terhadap tata cara yang pernah diterimanya, dan menyadari penilaian baik
dan buruk yang telah dianutnya. Akan tetapi jika remaja belum memperoleh azas-
azas baru yang lebih bersifat umum dan belum terikat pada sistem penilaian yang
pasti, maka ia masih akan mengalami kebimbangan dan keraguan. Sehingga ia
akan melakukan segala sesuatunya dengan semaunya. Ini menandakan bahwa
moralitas pada masa ini masih dipengaruhi oleh dirinya sendiri, dan belum
mencapai taraf objektivitas.
8
Hal ini menunjukkan bahwa proses perkembangan tidak selalu berjalan
dalam alur yang linier, lurus atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai
yang dianut, karena banyak faktor yang menghambatnya. Faktor penghambat ini
bisa bersifat internal maupun eksternal (Yusuf, 2002).
Adapun Usia remaja ditandai dengan terjadinya perubahan yang besar
dalam aspek biologis, perubahan kognitif, maupun perubahan sosio-emosional
(Santrock, 2003). Remaja pada umumnya berada pada tingkat Sekolah Menengah
Atas (SMA ), atau setara dengan santri pada tingkat Aliyah.
Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok
pesantren. Pondok Pesantren adalah sekolah pendidikan agama yang
kurikulumnya lebih banyak ilmu-ilmu keagamaan dibanding ilmu-ilmu umum.
Selanjutnya, tujuan Pondok pesantren adalah membentuk kepribadian Muslim
yang menguasai ajaran-ajaran Islam dan mengamalkannya, sehingga bermanfaat
bagi agama, masyarakat dan Negara (Qomar, 2005).
Pada kenyataannya, kebanyakan alasan para orang tua menyekolahkan
anaknya di pesantren, mereka ingin membina atau memperbaiki akhlak anaknya.
Terlebih untuk masuk pesantren belum ada test masuk. Sehingga semua orang
bebas masuk asal membayar biaya administrasi. Anak-anak dari keluarga broken
home dan anak-anak nakal pun seringkali dititipkan ke pesantren agar insaf.
Akibatnya, anak-anak yang “bermasalah” ini kerap kali mempengaruhi teman-
temannya, termasuk didalamnya memicu perilaku bullying.
9
Sebagaimana dari pengamatan dan observasi penulis pada salah satu
pondok pesantren, di Pondok Pesantren Assa’adah di daerah Serang, Banten,
terkait dengan hal tersebut di atas, ada beberapa tindak kekerasan dan penindasan
yang sering terjadi pada sebagian santri. Perilaku negatif tersebut berupa
pemalakan yang biasa dilakukan para senior kepada juniornya. Sebagaimana
pengakuan salah seorang santri yang bernama SH (nama samaran), siswa kelas 1
Takhassus atau sederajat tingkat kelas satu SMA bahwa sering kali setiap baru
mendapat kiriman uang, beberapa dari santri senior meminta uang. Biasanya
diikuti dengan intimidasi, pengucilan, bahkan kekerasan fisik jika kemauan para
seniornya tidak terpenuhi. Santri baru atau junior seringkali tidak mampu berbuat
apapun selain membentuk kelompok sendiri untuk menghindari penindasan dari
para senior.
Selain kasus tersebut, masih banyak kasus-kasus lain yang lebih kompleks
mengenai penindasan senior dengan alasan demi mendisiplinkan juniornya. Pada
akhirnya mereka tidak memandang aturan-aturan atau nilai-nilai yang berlaku di
sekolah maupun masyarakat sehingga para santripun dapat melakukan tindakan
demikian.
Sebagaimana dikatakan Kohlberg bahwa perkembangan moral
bersangkutan dengan bertambahnya kemampuan menyesuaikan diri terhadap
aturan-aturan dalam masyarakatnya. Seseorang telah memperkembangkan aspek
moral, bilamana ia telah menginternalisasikan atau telah mempelajari aturan-
10
aturan kehidupan di dalam masyarakat dan bisa memperhatikan dalam perilaku
yang terus-menerus atau menetap (Gunarsa, 1997).
Maka jelaslah bahwa, ternyata banyaknya nilai-nilai keagamaan yang di
tanamkan di pesantren untuk menciptakan kepribadian-kepribadian santri yang
sesuai dengan standar moral yang berlaku di masyarakat, tidak mempengaruhi dan
menekan perilaku bullying di kalangan santri.
Melihat fenomena tersebut diatas, terjadinya perilaku bullying pada santri
merupakan salah satu topik yang menarik untuk dibahas, apalagi jika hal tersebut
dikaitkan dengan dengan penalaran moral. Oleh karena itu, timbullah persoalan
yang menarik untuk diteliti yaitu tentang hubungan antara penalaran moral dengan
perilaku Bullying para santri Aliyah
1.2. Perumusan dan Pembatasan Masalah
A. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan, maka perumusan
masalah pada penelitian ini adalah:
”Apakah ada hubungan antara penalaran moral dengan perilaku Bullying
para santri Aliyah pondok pesantren Assa’adah Serang Banten?”
11
B. Pembatasan Masalah
Agar penelitian ini tidak meluas maka perlu adanya pembatasan masalah sebagai
berikut :
a. Perilaku Bullying disini merupakan perilaku kekerasan yang terjadi di
pesantren, yang dilakukan oleh santri senior terhadap juniornya dilakukan
secara berulang-ulang dan dalam periode waktu tertentu. Bentuk dari
perilaku Bullying dapat berupa fisik, psikologis, baik verbal maupun non
verbal, atau gabungan dari keduanya (Coloroso, 2007).
b. Penalaran moral adalah pertimbangan individu mengenai baik dan buruk
suatu hal untuk memperkuat aturan, norma atau nilai etis yang dianut yang
diterapkan dalam berbagai situasi yang melibatkan proses kognitif
(Kohlberg, 1995).
c. Santri yang dimaksud, adalah Santri yang meliputi santri laki-laki dan
perempuan kelas 3 pada jenjang Aliyah Pondok Pesantren Assa’adah,
Serang, Banten. Menurut Gunarsa (1989), pada jenjang ini merupakan
masa remaja, yang meliputi adanya perubahan fisik dan psikis, seperti
halnya pelepasan diri dari ikatan emosionil dengan orang tua dan
pembentukan rencana hidup dan sistem nilai sendiri
12
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
A. Tujuan
Penelitan ini mempunyai tujuan untuk mencari hubungan antara penalaran moral
dengan perilaku Bullying para santri Aliyah pondok pesantren Assa’adah Serang
Banten.
B. Manfaat
Praktis.
Penelitian ini diharapkan memberi maanfaat secara pragmatis secara khusus
kepada para santri, pembina pondok pesantren, dan bagi masyarakat luas pada
umumnya. Hal tersebut supaya dapat dijadikan suatu bahan pengetahuan tentang
hubungan antara penalaran moral dengan perilaku Bullying pada santri.
Teoritis
Pada tataran teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang
bermanfaat bagi khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang
pengetahuan ilmu Psikologi yang mengkaji tentang penalaran moral dan perilaku
bullying santri, serta keterkaitan antara keduanya.
1.4. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini, yang berjudul “Hubungan antara penalaran
moral dengan perilaku Bullying pada santri” yang terdiri dari lima bab
pembahasan, yaitu:
13
BAB I : Merupakan bab pendahuluan yang didalamnya mencakup
pembahasan dari latar belakang masalah, perumusan masalah,
pembatasan masalah, tujuan dan manfaat, serta sistematika
penulisan.
BAB II : Adalah bab yang membahas kajian pustaka mengenai Definisi
penalaran moral, Tahapan-tahapan penalaran moral, faktor-faktor
yang mempengaruhi penalaran moral, definisi perilaku bullying,
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku bullying, definisi
santri, pondok pesantren, kerangka berpikir dan keterkaitan antara
ketiganya, serta hipotesis.
BAB III : Adalah bab metodologi penelitian yang didalamnya mencakup
jenis penelitian, subjek penelitian, teknik pengambilan sample,
metode dan instrument penelitian, prosedur penelitian, teknik
pengolahan dan analisa data.
BAB IV : Berisi tentang hasil penelitian, yaitu gambaran umum subjek
penelitian, pelaksanaan penelitian, dan analisis data.
BAB V : Berisi kesimpulan yang mengemukakan uraian tentang
pernyataan mengenai hasil penelitian sebagai jawaban atas
tujuan dan masalah penelitian. Kemudian dilanjutkan diskusi
dan saran.
14
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Bullying
Kamus Marriem Webster menjelaskan bully sebagai to treat abusively (perlakuan
secara tidak sopan) atau to affect by means of force or coercion (mempengaruhi
dengan paksaan dan kekuatan).
(www.e-psikologi.com).
Sullivan (2005) memberikan definisi bullying sebagai berikut: Bullying is
a negative and often aggressive or manipulative act or series of acts by one or
more people against another person or people usually over a period of time. it is
abusive and is based on imbalance of power.
Bullying adalah tindakan negatif, yang bersifat agresif atau manipulatif
dalam rangkaian tindakan yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap
orang lain. Biasanya selama periode waktu tertentu yang didasarkan pada
ketidakseimbangan kekuatan.
Menurut Coloroso (2007) Penindasan atau Bullying adalah aktivitas sadar,
disengaja, dan keji yang dimaksudkan untuk melukai, menanamkan ketakutan
melalui ancaman agreasi lebih lanjut, dan menciptakan teror. Apakah penindasan
ini direncanakan lebih dulu atau terjadi tiba-tiba saja, nyata atau tersembunyi,
dihadapan anda atau dibelakang punggung anda, mudah diidentifikasi atau
15
terselubung dibalik pertemanan yang tampak, dilakukan oleh seorang anak atau
sekelompok anak.
Sedangkan menurut Lipkins (2008) bullying atau penindasan adalah
tindakan penyerangan dengan sengaja yang tujuannya melukai korban secara fisik
atau psikologis, atau keduanya.
Istilah bullying diilhami dari kata bull (bahasa Inggris) yang berarti
“banteng” yang suka menanduk. Pihak pelaku bullying biasa disebut bully.
Sedangkan pengertian Bullying itu sendiri adalah sebuah situasi dimana terjadinya
penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang/kelompok
(SEJIWA, 2008).
Menurut Sullivan (2001), bullying mengandung unsur-unsur berikut :
1. Dimaksudkan untuk merugikan
2. Ketidakseimbangan kekuatan
3. Terorganisasi dan sistematis
4. Dilakukan berulang, terjadi selama periode waktu tertentu
5. Kekerasan yang dialami oleh korban bullying dapat bersifat eksternal (fisik)
dan internal (psikologis).
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa perilaku Bullying merupakan
perilaku kekerasan yang sistematis dilakukan oleh senior terhadap juniornya
dilakukan secara berulang-ulang dan dalam periode waktu tertentu. Bentuk dari
perilaku Bullying dapat berupa fisik, psikologis, baik verbal maupun non verbal,
atau gabungan dari keduanya.
16
Selanjutnya Coloroso (2007) menambahkan ada empat tanda-tanda
penindasan :
1. Ketidak seimbangan kekuatan: penindas bisa saja orang yang lebih tua, lebih
besar, lebih kuat, lebih mahie secara verbal, lebih tinggi dalam status sosial,
berasal dari ras yang berbeda, atau tidak berjenis kelamin sama. Sejumlah
besar anak yang berkumpul bersama-sama untuk menindas dapat menciptakan
ketidakseimbangan. Penindasan bukan persaingan antar saudara kandung dan
bukan pula perkelahian yang melibatkan dua pihak yang setara.
2. Niat untuk mencederai: penindasan berarti menyebabkan kepedihan emosional
dan/atau luka fisik, memerlukan tindakanuntuk dapat melukai, dan
menimbulkan rasa senang di hati sang penindas saat menyaksikan luka
tersebut. Tidak ada kecelakaan atau kekeliruan, tidak ada keseleo lidah atau
godaan yang main-main, tidak ada kaki yang salah tempat, tidak ada
ketidaksengajaan dalam pengucilan.
3. Ancaman agresi lebih lanjut: baik pihak penindas maupun pihak yang
tertindas mengetahui bahwa penindasan dapat dan kemungkinan akan terjadi
kembali. Penindasan tidak dimaksudkan sebagai peristiwa yang hanya terjadi
sekali saja.
Ketika eskalasi penindasan meningkat tanpa henti, elemen keempat muncul:
4. Teror: penindasan adalah kekerasan sistematik yang digunakan untuk
mengintimidasi dan memelihara dominasi. Terror yang menusuk tepat
dijantung korban penindasan bukan hanya merupakan sebuah cara untuk
mencapai tujuan penindasan, terror itulah yang menjadi tujuan penindasan. Ini
17
bukanlah suatu insiden agresi sekali saja yang dikeluarkan oleh kmarahan
karena sebuah isu tertentu, bukan pula tanggapan impulsive atas suatu celaan.
Para penindas (bullies) biasanya bertindak sendirian atau dalam kelompok
kecil dan memilih orang-orang yang mereka anggap rentan untuk mereka jadikan
korban. Dan biasanya menginginkan sesuatu bisa berupa uang, bekal makan
seorang siswa, jawaban pekerjaan rumah, atau mungkin cuma perhatian. Atau
mungkin penindas bertingkah hanya untuk memperlihatkan bahwa mereka lebih
kuat, dengan demikian mereka menandaskan status sebagai “jagoan” (Lipkins,
2008). Pihak yang kuat di sini bukan saja kuat secara fisik, tapi juga kuat secara
mental (SEJIWA, 2008).
Dalam dunia anak-anak, bullying biasanya terjadi karena adanya
kerjasama yang bagus dari ketiga pihak, yang oleh Coloroso (2007), disebutnya
dengan istilah tiga mata rantai penindasan. Pertama, bullying terjadi karena ada
pihak yang menindas. Kedua, ada penonton yang diam atau mendukung, entah
karena takut atau karena merasa satu kelompok. Ketiga, ada pihak yang dianggap
lemah dan menganggap dirinya sebagai pihak yang lemah (takut bilang sama guru
atau orangtua, takut melawan, atau malah memberi permakluman). Atas
kerjasama ketiga pihak itu biasanya praktek bullying sangat sukses dilakukan oleh
anak yang merasa punya punya power atau kekuatan. Dari penjelasan sejumlah
pakar tentang korban bullying, umumnya para korban itu memiliki ciri-ciri "ter",
misalnya: terkecil, terbodoh, terpintar, tercantik, terkaya, dan seterusnya.
18
Abraham Maslow (1970, dalam Sullivan, 2001) mengembangkan teori
bahwa manusia memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi sebelum mencapai
tahapan kebutuhan selanjutnya. Teori Maslow berguna untuk menjelaskan
beberapa kemungkinan efek bullying. Jika anak-anak diintimidasi, kebutuhan rasa
aman mereka belum dipenuhi. Sebaliknya, mereka berusaha untuk menghindari
perilaku bullying atau melarikan diri dengan mencari tempat aman di sekolah dan
masyarakat. jika mereka secara emosional mendapat intimidasi, dikucilkan atau
terisolasi, maka mereka sulit untuk mendapatkan teman di sekolah.
2.2. Jenis-jenis Perilaku Bullying
Coloroso (2007) menyebutkan terdapat tiga jenis penindasan: verbal, fisik, dan
relasional. Pada dasarnya secara substansi, masing-masing dapat menimbulkan
masalah sendiri-sendiri. Namun ketiganya kerap membentuk kombinasi untuk
menciptakan tekanan yang lebih kuat.
2.2.1. Penindasan Verbal
Kekerasan secara verbal mungkin adalah bentuk penindasan yang paling umum
digunakan baik oleh anak perempuan maupun anak laki-laki. Penindasan verbal
dapat diteriakan di sekolah dan bercampur dengan hingar-bingar yang terdengar
oleh para guru, diabaikan karena hanya dianggap sebagai dialog yang bodoh dan
tidak simpatik diantara rekan sebaya. Ketika seorang anak menjadi sasaran
lelucon, ia kerap diabaikan oleh yang lain, terutama dalam aktivitas sosial,
menjadi yang terakhir dipilih dan menjadi yang pertama dieliminasi (untuk
kegiatan tertentu).
19
Penindasan verbal dapat berupa julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam,
penghinaan baik bersifat pribadi maupun rasial, dan pernyataan berupa ajakan-
ajakan seksual atau pelecehan seksual. Selain itu penindasan verbal dapat berupa
perampasan uang jajan atau barang-barang, telepon yang kasar, e-mail yang
mengintimidasi, surat kaleng yang berisi ancaman kekerasan, tuduhan-tuduhan
yang tidak benar, kasak-kusuk yang keji dan keliru, serta gosip bisa menjadi
bentuk penindasan.
2.2.2. Penindasan Fisik
Yang termasuk jenis penindasan ini adalah memukul, mencekik, menyikut,
meninju, menendang, menggigit, memiting, mencakar, meludahi, menekuk
anggota tubuh anak yang ditindas hingga posisi yang menyakitkan, dan merusak
serta menghancurkan pakaian dan barang-barang milik anak yang tertindas.
Semakin kuat dan dewasa sang penindas, semakin berbahaya jenis penindasan ini,
bahkan walaupun tidak dimaksudkan untuk menciderai secara serius.
2.2.3. Penindasan Relasional/Psikologis
Jenis penindasan ini paling sulit dideteksi dari luar. Penindasan relasional adalah
pelemahan harga diri si korban penindasan secara sistematis melalui pengabaian,
pengucilan, pengecualian, atau penghindaran. Penghindaran suatu tindakan
penyingkiran adala alat penindasan yang terkuat. Anak yang digunjingkan
mungkin tidak mengetahui gosip tersebut, namun tetap akan mengalami efeknya.
Penindasan relasional dapat digunakan untuk mengasingkan atau menolak
seorang teman atau secara sengaja untuk merusak persahabatan. Perilaku ini dapat
mencakup sikap-sikap tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan mata,
20
helaan nafas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa mengejek, dan bahasa tubuh yang
kasar.
Menurut Smith (1999, dalam Sullivan, 2001) perilaku bullying anak laki-
laki dan perempuan berbeda. Anak laki-laki lebih cenderung melakukan secara
langsung yaitu bullying secara fisik, dan anak perempuan lebih cenderung
melakukan secara tidak langsung, seperti menyebarkan gosip tentang korban.
2.3. Komponen-komponen dalam Perilaku Bullying
Pada dasarnya perilaku bullying merupakan sebuah situasi yang tercipta ketika
tiga komponen atau karakter bertemu di satu tempat, yaitu pelaku bullying,
korban bullying, dan penonton/saksi (Coloroso, 2007). Situasi ini bagaikan sebuah
pertunjukan dengan tiga aktor yang memainkan perannya masing-masing.
2.3.1. Pelaku Bullying
Inilah aktor utama perilaku bullying. Dialah sang agresor, provokator, sekaligus
inisiator situasi bullying. Si pelaku bullying umumnya seorang anak atau murid
yang berfisik besar dan kuat, namun tidak jarang juga ia bertubuh kecil atau
sedang namun memiliki dominasi psikologis yang besar di kalangan teman-
temannya. Selain itu pelaku bullying umumnya temperamental. Mereka
melakukan bullying terhadap orang lain sebagai pelampiasan kekesalan dan
kekecewaannya. Ada kalanya karena mereka merasa tidak punya teman, sehingga
menciptakan situasi bullying supaya memiliki pengikut dan kelompok sendiri.
Atau mereka takut menjadi korban bullying, sehigga menggambil inisiatif sebagai
pelaku bullying untuk keamanan sendiri (SEJIWA, 2008).
21
Menurut Sullivan (2005), karakteristik dari pelaku bullying adalah mereka
tahu bagaimana menggunakan kekuasaan, dan menggunakan kepemimpinan yang
dimiliki sebagai kekuatan untuk menindas.
Menurut Lipkins (2008), mereka adalah para anggota senior kelompok
atau anggota-anggota yang punya kedudukan penting karena besar badan,
kedudukan, kemampuan, atau kepribadian. Kebanyakan dari mereka menjadi
pelaku karena terbentuk, bukan karena berbakat. Mereka terbentuk karena pernah
menjadi korban.
2.3.2. Korban Bullying
Korban bullying bukanlah sekedar pelaku pasif dari situsi bullying. Ia turut
berperan serta memelihara dan melestarikan situasi bullying dengan bersikap
diam. Sang korban umumnya tidak berbuat apa-apa dan membiarkan saja perilaku
bullying berlangsung padanya, karena ia tidak memiliki kekuatan diri untuk
membela diri atau melawan. Sikap diam sang korban ini tentunya beralasan.
Alasan yang utama, mereka berpikir bila melaporkan kegiatan bullying yang
menimpanya tidak akan menyelesaikan masalah. Karena jika guru menindak
pelaku bullying, hasilnya justru akan memperparah situasi bullying pada sang
korban.
Selain itu, anak-anak bisa jadi telah mempunyai sistem nilai bahwa dengan
mengadukan orang lain adalah wujud sifat kekanak-kanakan, manja, lemah dan
sama sekali tidak dewasa. Bagi sang korban, lebih baik menanggung beban
penderitaan ini daripada harus melanggar tata nilai di kalangan anak-anak dan
mengadukan anak lain.
22
Akibatnya, para korban bullying merasa terisolasi dan dikucilkan oleh
kelompok, teman-teman, dan hubungan sosialnya, tetapi juga menyebabkan
mereka merasa tidak mampu dan tidak menarik. Orang-orang yang telah
diintimidasi sering mengalami kesulitan membentuk hubungan yang baik, dan
cenderung sulit untuk hidup secara normal (Sullivan, 2001).
2.3.3. Saksi Bullying/Penonton
Menurut Lipkins (2008), Penonton adalah orang-orang yang diterima kelompok
dan sudah dilantik menjadi anggota. Dalam beberapa kasus, mereka yang juga
baru bergabung dalam kelompok bisa menjadi penonton, atau beberapa anggota
senior bisa menjadi penonton dengan tipe yang beraneka ragam.
Lipkins (2008) menambahkan, pada dasarnya ada dua jenis penonton,
yakni aktif dan pasif. Saksi aktif biasanya ikut berseru dan turut menertawakan
korban bullying yang tengah dianiaya, atau bisa jadi telah menjadi anggota
kelompok yang di pimpin oleh pelaku bullying. Atau hanya sekedar ikut-ikutan
untuk menyelamatkan dirinya daripada menjadi korban atau nalurinya untuk
bergabung dengan pelaku bullying.
Saksi pasif yang juga berada di arena bullying lebih memilih diam karena
alasan yang wajar yaitu takut. Jika ia melakukan intervensi, atau melaporkan
kepada orang dewasa, ia tidak mau mengambil resiko sebagai korban pelaku
bullying selanjutnya. Situasi seperti ini biasanya menumpulkan empati para saksi
demi keselamatan dirinya.
Ada banyak alasan mengapa beberapa anak menggunakan kecakapan dan
bakat mereka untuk menindas orang lain. Para penindas tidak muncul dari rahim
23
sebagai penindas, tapi temperamen sejak lahir merupakan sebuah faktor. Namun
ada faktor lain, yaitu apa yang dikatakan oleh Bronfenbrenner (dalam Coloroso,
2007), seorang ilmuwan sosial, sebagai pengaruh lingkungan: kehidupan di rumah
si penindas, kehidupan di sekolah, masyarakat, serta budaya (termasuk media)
yang mengizinkan atau mendorong perilaku semacam itu. Satu hal yang perlu
diketahui adalah bahwa para penindas diajari untuk menindas. Penindasan
bukanlah tentang kemarahan, tetapi juga bukan konflik. Penindasan adalah sebuah
penghinaan, yaitu sebuah perasaan tidak suka yang kuat terhadap seseorang yang
dianggap tidak berharga, lemah, atau tidak layak, mendapatkan penghargaan.
Dengan kata lain, penindasan adalah arogansi yang terwujud dalam
tindakan. Anak-anak yang menindas memiliki semacam hawa superioritas yang
kerap merupakan sebuah topeng untuk menutupi luka yang dalam dan
ketidakmampuannya. Mereka berdalih bahwa superioritas yang dimilikinya
membolehkan mereka melukai seseorang yang mereka anggap hina, padahal ini
merupakan dalih untuki merendahkan seseorang sehingga mereka dapat merasa
lebih unggul (Coloroso, 2007).
2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying
Kebanyakan perilaku bullying berkembang dari berbagai faktor lingkungan yang
kompleks. Tidak ada faktor tunggal menjadi penyebab munculnya bullying.
Faktor-faktor penyebabnya antara lain:
24
2.4.1. Faktor Internal
Secara internal pada dasarnya perilaku bullying muncul dari penalaran
moral anak yang rendah. Anak yang melakukan bullying pada temannya karena
anak ingin mendapatkan penghargaan diri dari orang lain dan anak belum
memahami suatu perbuatan benar atau salah berdasarkan norma moral.
Sebagaimana pendapat Budiningsih (2004) mengatakan bahwa penalaran moral
menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan apakah tindakan
tersebut baik atau buruk. Penalaran moral ini yang menjadi indikator dari tahapan
kematangan moral seseorang.
Adanya penalaran moral anak tersebut dapat mengakibatkan anak
memiliki kemampuan untuk menilai tindakan bullying yang menyakiti orang lain
sebagai perbuatan yang tidak boleh di lakukan, sehingga anak dengan penalaran
moral yang tinggi tidak melakukan perilaku bullying. Akan tetapi bagi anak yang
kurang memiliki penalaran moral, tidak memikirkan setiap tindakannya apakah
mengandung nilai-nilai yang baik atau buruk. Anak tersebut tidak mau tahu
apakah perbuatannya akan melukai temannya atau tidak. Sebagaimana yang di
katakan Bukhim (2008) bahwa perilaku menyimpang yang dilakukan anak
disebabkan oleh minimnya pemahaman anak terhadap nilai diri yang positif.
Akibatnya anak tersebut memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku
bullying.
25
2.4.2. Faktor Eksternal
a. Faktor Keluarga
Anak yang melihat orang tuanya atau saudaranya melakukan bullying sering akan
mengembangkan perilaku bullying juga. Ketika anak menerima pesan negatif
berupa hukuman fisik di rumah, mereka akan mengembangkan konsep diri dan
harapan diri yang negatif, yang kemudian dengan pengalaman tersebut mereka
cenderung akan lebih dulu meyerang orang lain sebelum mereka diserang.
Bullying dimaknai oleh anak sebagai sebuah kekuatan untuk melindungi diri dari
lingkungan yang mengancam.
b. Faktor Sekolah
Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, anak-anak
sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka
untuk melakukan intimidasi anak-anak yang lainnya. Bullying berkembang
dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering memberikan masukan yang
negatif pada siswanya misalnya, berupa hukuman yang tidak membangun
sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati antar sesama
anggota sekolah.
c. Faktor Kelompok Sebaya
Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan teman sekitar rumah
kadang kala terdorong untuk melakukan bullying. Kadang kala beberapa anak
melakukan bullying pada anak yang lainnya dalam usaha untuk membuktikan
bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, meskipun mereka sendiri
merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut.
26
2.5. Pengertian Penalaran Moral
Moral berasal dari kata latin mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat
istiadat, atau kebiasaan (Gunarsa, 1986 dalam Ali, Asrori, 2009).
Sedangkan menurut Hurlock (1981) moral berasal dari bahasa latin
“Mores”, yang berarti budi bahasa, adat istiadat, dan cara kebiasaan rakyat.
Perilaku moral merupakan perilaku di dalam konformitas dengan suatu tata cara
moral kelompok sosial.
Menurut Yusuf (2002), Istilah moral dari bahasa Latin “mos” (Moris),
yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan/nilai-nilai, atau tata cara
kehidupan. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan
melakukan peraturan, nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral. Seseorang dikatakan
bermoral, apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang
dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya.
Moral menurut Rogers (1986, dalam Ali, Asrori, 2009) merupakan kaidah
norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan
kelompok sosial dan masyarakat. moral merupakan standar baik dan buruk yang
ditentukan bagi individu oleh nilai-nilai sosial budaya dimana individu sebagai
anggota sosial.
Kohlberg menegaskan bahwa moral merupakan bagian dari penalaran.
Maka ia pun menamakannya penalaran moral. Dengan demikian orang yang
bertindak sesuai dengan moral adalah orang yang mendasarkan tindakannya atas
penilaian baik buruknya sesuatu ( dalam Lickona, 1976, dalam Sarwono, 2005).
27
Menurut Kohlberg perkembangan moral bersangkut-paut dengan
bertambahnya kemampuan menyesuaikan diri terhadap aturan-aturan atau kaidah-
kaidah yang ada dalam lingkungan hidupnya atau dalam masyarakatnya.
Seseorang telah memperkembangkan aspek moral, bilamana ia telah
menginternalisasikan atau telah mempelajari aturan-aturan atau kaidah-kaidah
kehidupan di dalam masyarakat dan bisa memperhatikan dalam perilaku yang
terus-menerus atau menetap (Gunarsa, 1997)
Penalaran moral berhubungan dengan peraturan dan nilai-nilai mengenai
apa yang dilakukan seseorang dalam interaksinya dengn orang lain, yang diteliti
dalam 3 domain (Santrock : 2003) :
1. Bagaimana remaja mempertimbangkan dan memikirkan peraturan-peraturan
melakukan tingkah laku etis.
2. Bagaimana remaja bertingkah laku dalam situasi moral yang sebenarnya?
3. Bagaimana perasaan remaja mengenai perasaan moral?
Dari beberapa pengertian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa yang
dimaksud penalaran moral adalah pertimbangan individu mengenai baik dan
buruk suatu hal untuk memperkuat aturan, norma atau nilai etis yang dianut yang
diterapkan dalam berbagai situasi yang melibatkan proses kognitif.
2.5.1. Teori Penalaran Moral Piaget
Piaget membagi perkembangan penalaran moral menjadi dua tahap, yaitu:
1. Heteronomous morality ialah tahap pertama perkembangan moral Piaget, yang
terjadi kira-kira umur 4 – 7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan
28
sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh diubah, yang lepas dari kendali
manusia.
2. Autonomous morality ialah tahap kedua perkembangan moral Piaget, yang
diperlihatkan oleh anak-anak yang lebih tua (kira-kira usia 10 tahun dan
lebih). Anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum diciptakan
oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus
mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya. Anak
usia 7 -10 tahun berada di dalam suatu transisi diantara dua tahap,
menunjukkan ciri dari keduanya.
Pemikir heteronomous juga yakin akan keadilan yang immanen (immanent
justice), yakni suatu konsep bila aturan dilanggar, maka hukuman akan dikenakan
segera. Anak-anak kecil yakin bahwa pelanggaran dihubungkan secara otomatis
dengan hukuman. Oleh karena itu, anak-anak kecil seringkali melihat disekitar
dengan kuatir setelah melakukan suatu pelanggaran, sambil mengharapkan
hukuman yang tidak terelakkan. Anak-anak yang lebih tua yakni pemikir yang
otonomous, menyadari bahwa hukuman ditengahi secara sosial dan hanya terjadi
bila seseorang yang relevan menyaksikan kesalahan dan bahwa, hukuman tidak
terelakkan (Santrock, 2002).
Piaget berpendapat bahwa, seraya berkembang anak-anak juga menjadi
lebih canggih dalam berpikir tentang persoalan-persoalan sosial, khususnya
tentang kemungkinan-kemungkinan dan kondisi-kondisi kerjasama. Piaget yakin
bahwa pemahaman sosial ini terjadi melalui relasi-relasi teman sebaya yang saling
memberi dan menerima. Dalam kelompok teman sebaya, dimana semua anggota
29
memiliki kekuasaan dan status yang sama, rencana-rencana dirundingkan dan di
kordinasikan, dan ketidaksetujuan diungkapkan sehingga pada akhirnya
disepakati. Relasi orang tua–anak, dimana orang tua memiliki kekuasaan
sementara anak tidak, tampaknya kurang mengembangkan pemikiran moral,
karena aturan selalu diteruskan dengan cara otoriter. (Santrock, 2002).
2.5.2. Teori Psikoanalisa Freud
Freud menyebutkan bahwa struktur kepribadian seseorang terbagi menjadi tiga
bagian, yaitu id, ego, dan super ego. Super ego merupakan cabang moral dan salah
satu dari tiga struktur utama kepribadian. Terbentuk ketika anak mengatasi konflik
Oedipus dan mengidentifikasi dirinya dengan orang tua yang berjenis kelamin
sama di awal masa kanak-kanak. Melalui identifikasi anak-anak dan remaja
memasukan standar orang tua mereka terhadap apa yang benar dan apa yang
salah. Individu menyesuaikan diri mereka dengan standar masyarakat untuk
menghindari rasa bersalah.
Dalam pandangan Freud, Super ego terdiri dari dua komponen utama yaitu
ego ideal dan concience (kata hati). Ego ideal merupakan persepsi manusia
mengenai sosok manusia yang didambakan. Seseorang akan memberikan reward
dengan memunculkan rasa bangga, dan nilai pribadi bila ia melakukan tindakan
yang sesuai dengan standar moral. Sementara concience (kata hati) akan
menghukum individu tersebut bila ia melakukan tindakan yang tidak bermoral,
dengan cara membuat dirinya merasa bersalah dan tidak berharga (Santrock,
2003).
30
2.5.3. Teori Erikson
Erikson (dalam Santrock, 2003) mengemukakan bahwa ada tiga tahap
perkembangan moral yaitu pembelajaran moral yang spesifik di masa anak-anak,
perhatian terhadap ideologi pada masa remaja, dan konsolidasi etis di masa
dewasa. Menurut Erikson selama masa remaja individu melakukan pencarian
identitas. Bila remaja dikecewakan oleh keyakinan moral dan keagamaan yang
mereka peroleh selama masa kanak-kanak, mereka merasa kehilangan tujuan dan
merasa hidup mereka kosong setidaknya untuk sementara. Hal ini dapat membawa
remaja ke usaha mencari ideologi yang akan memberikan tujuan dalam hidup
mereka. Agar suatu ideologi dapat diterima harus ada bukti nyata dan haruslah
sesuai dengan kemampuan remaja untuk berpikir logis. Bila orang lain juga
memiliki ideologi yang sama maka perasaan sebagai bagian dari suatu kelompok
masyarakatpun terbentuk. Bagi Erikson ideologi berperan sebagai pelindung
identitas selama masa remaja karena ideologi memberikan perasaan adanya
tujuan, membantu menghubungkan masa kini dengan masa depan, dan memberi
arti bagi tingkah laku.
2.5.4. Teori Kohlberg
Menurut teori Kohlberg (dalam Santrock, 2002) telah menekankan bahwa
perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang
secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg mendasarkan teori perkembangan moral
pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada
pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-
anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi serangkaian cerita dimana tokoh-
31
tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Berikut ini ialah dilema Kohlberg
yang paling populer:
” Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus.
Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut
adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di
kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker
menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut.
Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami
pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam
uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari
harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon
agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya
membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku
menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi
nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”
Cerita ini adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg
untuk menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-
anak yang menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema
moral. Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau
salah? Pataskah suami yang baik itu mencuri?. Dengan adanya cerita di atas
menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat perkembangan moral, yang
masing-masing ditandai oleh 2 tahap.
32
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori
Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang
dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg
terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap pada
masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut :
Tingkat satu : Penalaran Pra-konvensional
Penalaran Pra-konvensional (preconventional reasoning) adalah tingkat yang
paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak
tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral. Penalaran moral
dikendalikan oleh imbalan (hadiah) atau hukuman eksternal.
Tahap 1. Orientasi hukuman dan ketaatan (punishment and obedience
orientation) ialah tahap pertama dalam teori perkembangan Kohlberg. Pada
tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman. Anak-anak taat karena
orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat.
Tahap 2. Individualisme dan tujuan (individualism and purpose) ialah tahap
kedua dalam perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini penalaran moral
didasarkan atas imbalan (hadiah) dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila
mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat.
Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap
menghasilkan hadiah.
33
Tingkat dua: Penalaran Konvensional
Penalaran Konvensional (conventional reasoning) adalah tingkat kedua atau
menengah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini
internalisasi individual ialah menengah. Seseorang mentaati standar-standar
(internal) tertentu, tetapi mereka tidak mentaati standar-standar orang lain
(eksternal), seperti orang tua atau aturan masyarakat.
Tahap 3. Norma-norma interpersonal (interpersonal norms) ialah tahap ketiga
dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini seseorang
menghargai kebenaran, kepedulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai
landasan pertimbangan moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar
moral orangtuanya pada tahap ini, sambil mengharapkan dihargai oleh
orangtuanya sebagai “perempuan yang baik” atau seorang “laki-laki yang baik”.
Tahap 4. Moralitas sistem sosial (social system morality) ialah tahap keempat
dari perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini pertimbangan-pertimbangan
didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum-hukum, keadilan, dan
kewajiban.
Tingkat Tiga: Penalaran Pasca-konvensional
Penalaran Pasca-Konvensional (postconventional reasoning) ialah tingkat
tertinggi dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini moralitas
benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang
lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternaltif, menjajaki pilihan-
pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode moral pribadi.
34
Tahap 5. Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual (community rights
versus individual rights) ialah tahap kelima dalam perkembangan moral
Kohlberg. Pada tahap ini, seseorang memahami bahwa nilai-nilai dan aturan-
aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang
ke orang lain. Seseorang menyadari bahwa hukum penting bagi masyarakat, tetapi
juga mengetahui bahwa hukum dapat diubah. Seseorang percaya bahwa beberapa
nilai, seperti kebebasan, lebih penting daripada hukum.
Tahap 6. Prinsip-prinsip etis universal (universal ethical principles) ialah tahap
keenam dan tertinggi dalam perkembangan moral Kohlberg. Pada tahap ini
seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-
hak manusia yang universal. Bila menghadapi konflik antara hukum dan suara
hati, seseorang akan mengikuti suara hati, walaupun keputusan itu mungkin
melibatkan resiko pribadi.
Kohlberg percaya bahwa seluruh tingkatan dalam tahap perkembangannya
terjadi secara berurutan sesuai dengan usia. Sebelum mencapai usia 9 tahun
kebanyakan penalaran anak dalam menghadapi dilema moral dilakukan dengan
cara yang pra-konvensional. Pada awal masa remaja, penalaran mereka dilakukan
dengan cara yang lebih konvensional. Kebanyakan penalar remaja berada pada
tahap 3, dengan menunjukkan adanya ciri-ciri pada tahap 2 dan 4. pada awal masa
dewasa, sejumlah kecil individu berpikir dengan cara pasca konvensional
(Santrock, 2002).
Akan tetapi tahap pasca-konvensional tidak terjadi pada semua remaja,
tetapi hanya terjadi pada sebagian dari mereka. Mereka yang mencapai tahap ini
35
mendasarkan penilaian terhadap aturan harapan masyarakat pada prinsip-prinsip
moral umum sesuai dengan tingkat 5 dan 6 (Sarwono, 2008).
Skema 2.1 Tahap Perkembangan Moral menurut Kohlberg (Gunarsa, 1997) :
Tingkat Tahap Ciri Khusus
Tingkat I : Pra-konvensional
Tahap 1. Orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman.
Tahap 2. Relativistik hedonism
Harus patuh agar tidak di hukum. Ada faktor pribadi yang relatif dan prinsip kesenangan.
Tingkat II : Konvensional
Tahap 3. Orientasi mengenai anak yang baik.
Tahap 4. Mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas.
Agar menjadi anak yang baik, perbuatannya harus diterima oleh masyarakat. Menyadari kewajibannya untuk ikut melaksanakan norma-norma yang ada dan mempertahankan pentingnya ada norma-norma.
Tingkat III : Pasca-konvensional Tahap 5. terhadap perjanjian antara dirinya
dengan lingkungan sosial. Tahap 6. Prinsip universal.
Perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Berbuat baik agar diperlakukan baik. Berkembangnya norma etik (kata hati) untuk menentukan perbuatan moral dengan prinsip uiversal.
Menurut Kohlberg (1995) dalam penelitian empirisnya memperlihatkan
bahwa tidak semua orang akan mencapai tahap tertinggi, melainkan hanya
minoritas kecil yaitu hanya 5 sampai 10 persen dari seluruh penduduk, bahkan
kemudian angka inipun masih diragukannya. Diakui pula, suatu saat orang dapat
jatuh kembali pada tahap moral yang lebih rendah, yang disebutnya sebagai
“regresi fungsional”.
36
Kohlberg menambahkan, semua tahap-tahap perkembangan tidak
ditentukan oleh pendapat atau pertimbangan-pertimbangan khusus, melainkan
oleh cara berpikir mengenai soal-soal dan dasar-dasar moral untuk mengadakan
pilihan. Tahap 1 dan 2 yang khas bagi anak-anak muda dan anak-anak nakal,
dilukiskan sebagai tahap “pra-moral” sebab semua putusan sebagian besar dibuat
atas dasar kepentingan diri dan pertimbangan-pertimbangan material. Tahap 3 dan
4 yang berorientasi pada kelompok merupakan tahap “konvensional”, pada tingkat
inilah kebanyakan orang dewasa bertingkah laku. Dua tahap akhir yang mengacu
pada “prinsip” merupakan ciri khas dari 20 hingga 25 persen populasi orang
dewasa, dengan kemungkinan hingga 5 hingga 10 persennya mencapai tahap 6.
2.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penalaran Moral.
Menurut Kohlberg (1995) faktor-faktor utama yang didapat dari pengalaman bagi
perkembangan moral, tampaknya berupa jumlah dan keanekaragaman
pengalaman sosial, kesempatan untuk mengambil sejumlah peran dan untuk
berjumpa dengan sudut pandang yang lain.
Senada apa yang telah disebutkan Kohlberg, Gunarsa (1989) menjelaskan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral erat kaitannya
dengan proses kemampuan menentukan sesuatu peran dalam pergaulan dan
menjalankan peran tersebut. Kemampuan berperan memungkinkan individu
menilai berbagai situasi sosial dari berbagai sudut pandangan. Dengan
perkembangan moral, cara berperan bertambah luas sehingga semakin
37
bertambahnya peran yang di pegang, semakin banyak pengalaman yang
merangsang perkembangan moral.
2.6.1. Perubahan Konsep Moral
Menurut Hurlock, (1980) salah satu tugas penting yang harus diakuasai remaja
adalah mempelajari apa yang diharapkan oleh kelompoknya dan kemudian mau
membentuk perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing,
diawasi, didorong, dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Remaja diharapkan mengganti konsep-konsep moral yang berlaku khusus dimasa
kanak-kanak dengan prinsip moral yang berlaku umum dan merumuskannya
kedalam kode moral yang akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya.
Tidak kalah pentingnya, remaja harus mengendalikan perilakunya sendiri, yang
sebelumnya menjadi tanggung jawab orangtua dan guru.
Hurlock (1980) menambahkan, ada dua kondisi yang membuat
penggantian konsep moral khusus ke dalam konsep yang berlaku umum tentang
benar dan salah yang lebih sulit daripada yang seharusnya
1. Kurangnya bimbingan dalam mempelajari prinsip pokok tentang benar dan
salah, orangtua dan guru jarang menekankan dalam usaha pembinaan remaja
untuk melihat hubungan antara prinsip khusus yang dipelajari sebelumnya
dengan prinsip umum yang penting untuk mengendalikan perilaku dalam
kehidupan orang dewasa.
2. Kondisi kedua yang membuat sulitnya penggantian konsep moral yang
berlaku khusus dengan konsep moral yang berlaku umum berhubungan
dengan jenis disiplin yang diterapkan dirumah dan disekolah. Karena
38
orangtua dan guru mengasumsikan bahwa remaja mengetahui apa yang
benar, maka penekanan kedisiplinan hanya terletak pada pemberian hukuman
pada perilaku salah yang dianggap sengaja dilakukan. Penjelasan mengenai
alasan salah tidaknya suatu perilaku jarang ditekankan dan bahkan jarang
memberi ganjaran bagi remaja yang berperilaku benar.
2.6.2. Pembentukan Kode Moral
Selanjutnya Hurlock (1980) menjelaskan, ketika memasuki masa remaja, anak-
anak tidak lagi begitu saja menerima kode moral dari orangtua, guru, bahkan
teman-teman sebaya. Sekarang ia sendiri ingin membentuk kode moral sendiri
berdasarkan konsep benar dan salah yang telah diubah dan diperbaikinya agar
sesuai dengan tingkat perkembangan yang lebih matang dan telah dilengkapi
dengan hukum-hukum dan peraturan-peraturan yang dipelajari dari orangtua dan
gurunya. Beberapa remaja bahkan melengkapi kode moral mereka dengan
pengetahuan yang diperoleh dari pelajaran agama.
Pembentukan kode moral terasa sulit bagi remaja karena
ketidakkonsistenan dalam konsep benar dan salah yang ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari. Ketidakkonsistenan membuat remaja bingung dan
terhalang dalam proses pembentukan kode moral yang tidak hanya memuaskan
tetapi akan membimbingnya untuk memperoleh dukungan sosial. Bagi anak-anak
berbohong merupakan hal yang buruk, namun bagi banyak remaja “berbohong
sosial” atau berbohong untuk menghindari kemungkinan menyakikan hati orang
lain kadang-kadang dibenarkan (Hurlock, 1980).
39
2.7. Pondok Pesantren
Menurut Qomar (2005), Pesantren adalah suatu tempat pendidikan dan pengajaran
yang menekankan pelajaran agama Islam dan didukung asrama sebagai tempat
tinggal santri yang bersifat permanen.
Dhofier (1994, dalam Qomar, 2005) memandang membagi pesantren
menjadi dua kategori yaitu pesantren salafi dan khalafi. Pesantren salafi tetap
mengajarkan pengajaran kitab-kitab islam klasik sebagai inti pendidikannya.
Penerapan sistem madrasah untuk memudahkan sistem sorongan yang dipakai
dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran
pengetahuan umum. Sedang pesantren khalafi telah memasukan pelajaran-
pelajaran umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka
tipe-tipe sekolah umum di lingkungan pesantren.
Disamping itu Dhofier juga membagi berdasarkan jumlah santri dan
pengaruhnya. Ada pesantren kecil, menengah dan besar. Pesantren kecil biasanya
mempunyai santri mempunyai santri di bawah seribu dan pengaruhnya terbatas
pada tingkatan kabupaten. Pesantren menengah biasanya mempunyai seribu
sampai dua ribu santri, yang mempunyai pengaruh dan menarik santri-santri dari
berbagai kabupaten. Pesantren besar biasanya memiliki lebih dari dua ribu santri
yang berasal dari berbagai kabupaten dan propinsi.
Pesantren pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan
lain seperti sekolah. Bedanya, di pesantren para pelajar disediakan tempat untuk
menginap. Tindak kekerasan di pesantren muncul karena para santri dalam jumlah
besar tinggal di satu tempat. Dalam satu kamar kecil bisa dihuni oleh banyak
40
santri. Mereka beraktivitas, mandi, mencuci, makan, dan tidur bersama. Mulai
dari santri junior maupun senior.
Terlebih untuk masuk pesantren belum ada test masuk. Sehingga semua
orang bebas masuk asal membayar biaya administrasi. Anak-anak dari keluarga
broken home dan anak-anak nakal pun seringkali dititipkan ke pesantren agar
insaf. Sehingga para santri dan santriwati bermasalah ini kadangkala
mempengaruhi teman-temannya.
Ada dugaan bahwa pengelolaan konflik tidak penting di pesantren,
mengingat secara demonstratif di lembaga pendidikan tersebut tidak nampak
adanya konflik. Hal itu karena semua hal yang terkait dengan pesantren tunduk
pada inisiatif dan kebijakan Kiyai. Akan tetapi perlu dicatat bahwa di lingkungan
pendidikan apapun sebenarnya akan ditemukan dua macam konflik. Yaitu konflik
yang nyata (manifested conflict) dan konflik tersembunyi (hidden or latent
conflict) (Mastuki dkk, 2004).
Namun begitu, pada dasarnya peran kependidikan menurut Haedari
(2007), pesantren tidak terhenti pada mobilitas vertikal saja (materi-materi
agama), tetapi juga berkembang hingga memasuki wilayah mobilitas horizontal
(kesadaran sosial).
Banyaknya nilai-nilai keagamaan yang di tanamkan di pesantren
hendaknya mampu menciptakan kepribadian-kepribadian santri yang sesuai
dengan standar moral yang berlaku di masyarakat.
41
2.8. Kerangka Berpikir
Pesantren merupakan salah satu model pendidikan yang sudah lama mengakar
dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan pesantren merupakan cikal bakal
dari sistem pendidikan Islam yang ada di tanah air ini. Namun begitu, peristiwa
bullying di pesantren terkadang bisa dilihat tapi sulit dibuktikan karena, sering
diselesaikan secara kekeluargaan. Lantas mengapa praktik tersebut sering terjadi
dilembaga yang bertugas mencetak pada agamawan?
Tindakan bullying ini dapat diartikan sebagai penggunaan kekuasaan atau
kekuatan untuk menyakiti seseorang atau kelompok sehingga korban merasa
tertekan, trauma, dan tidak berdaya. Bentuknya bisa bersifat fisik seperti
memukul, menampar, dan memalak. Bersifat verbal seperti memaki, menggosip,
dan mengejek, serta psikologis seperti mengintimidasi, mengucilkan,
mengabaikan, dan mendiskriminasi (Coloroso, 2007).
Akibatnya, para korban bullying merasa terisolasi dan dikucilkan oleh
kelompok, teman-teman, dan hubungan sosialnya, tetapi juga menyebabkan
mereka merasa tidak mampu dan tidak menarik. Orang-orang yang telah
diintimidasi sering mengalami kesulitan membentuk hubungan yang baik, dan
cenderung sulit untuk hidup secara normal (Sullivan, 2001).
Dengan banyaknya fenomena perilaku remaja melakukan tindak kekerasan
atau bullying, menimbulkan pertanyaan mengenai alasan, pola pikir dan nilai-
nilai moral yang mereka anut sehingga muncul perilaku tersebut. Terlebih mereka
hidup di lingkungan pondok pesantren.
42
Menurut teori Kohlberg perkembangan moral manusia terdiri dari tiga
tingkat. Yaitu tingkat pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.
Masing-masing tingkat diikuti dengan dua tahap perkembangan moral (Santrock,
2002).
Kohlberg menambahkan bahwa, moralitas pasca-konvensional seharusnya
dicapai selama masa remaja. dalam tahap ini individu mempunyai keyakinan
moral dan dapat menyesuaikan diri dengan standar sosial yang diinternalisasikan
dengan didasarkan pada rasa hormat kepada orang lain (Hurlock, 1980).
Hurlock menambahkan, bahwa remaja diharapkan mampu mengganti
konsep-konsep moral yang berlaku khusus dimasa kanak-kanak dengan prinsip
moral yang berlaku umum dan merumuskannya kedalam kode moral yang akan
berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Remaja yang tidak berhasil
melakukan peralihan ke dalam tahap moralitas dewasa, maka tugas tersebut di
selesaikan pada awal masa dewasa. Sehingga mereka membentuk kode moral
berdasarkan tahapan konsep moral sebelumnya yang secara sosial belum tentu
dapat di terima.
Menurut Yusuf (2002), Proses perkembangan itu tidak selalu berjalan
dalam alur yang linier, lurus atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai
yang dianut, karena banyak faktor yang menghambatnya. Ini artinya bahwa
dengan masih adanya remaja pada tingkat pra-konvensional atau konvensional,
maka tidaklah heran apabila diantara remaja masih banyak yang melakukan
dekadensi moral termasuk didalamnya perilaku bullying.
43
Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi tingkat
penalaran moral santri, maka semakin rendah perilaku bullyingnya dan semakin
rendah tingkat penalaran moral santri, maka semakin tinggi perilaku bullyingnya.
Skema 2.2
Kegagalan membentuk kode moral
Benar/ Salah
Kegagalan merubah
konsep moral Khusus/ Umum
Pondok Pesantren
Bullying
Penalaran Moral
Non-Fisik Fisik
Konvensional Pra-konvensional Pasca-konvensional
Tidak terjadi Bullying
Psikologis
2.9. Hipotesa Penelitian
a. Hipotesis Nihil (Ho)
“Tidak ada hubungan yang signifikan antara Penalaran Moral dengan
Perilaku Bullying”
b. Hipotesis Alternatif (Ha)
“Ada hubungan yang signifikan antara Penalaran Moral dengan Perilaku
Bullying”
44
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis dan Tipe Penelitian
Penelitian ini mengkaji hubungan antara penalaran moral dengan perilaku
Bullying pada santri. Berdasarkan pendekatan penelitian, peneliti menggunakan
pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menjelaskan,
meramalkan dan/atau mengontrol fenomena melalui pengumpulan data terfokus
dari data numerik (Santoso, 2000).
Pada penelitian kuantitatif ini menggunakan metode deskriptif dengan
jenis penelitian korelasional (descriptive correlational study), sebab peneliti ingin
mencari hubungan antara penalaran moral dengan perilaku bullying. Menurut
Suryabrata (2006), penelitian korelasional adalah penelitian yang bertujuan
menyelidiki sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan variasi pada
satu atau lebih variabel lain berdasarkan koefisien korelasi. Dengan penelitian
korelasional, pengukuran terhadap beberapa variabel serta saling hubungan antara
variabel-variabel tersebut dapat dilakukan secara serentak dalam kondisi yang
realistik. Hal ini juga memungkinkan bagi peneliti untuk memperoleh informasi
mengenai taraf hubungan yang terjadi, bukan mengenai ada tidaknya efek variabel
satu dengan variabel yang lain.
45
3.2. Identifikasi dan klasifikasi variabel
Yang menjadi variabel bebas (independence variable) adalah penalaran moral,
sedangkan yang menjadi variable terikat (dependence variable) adalah perilaku
Bullying.
3.3. Definisi Konseptual dan Operasional Variabel
3.3.1. Definisi Konseptual
Perilaku Bullying merupakan perilaku kekerasan yang dilakukan oleh senior
terhadap juniornya dilakukan secara berulang-ulang dan dalam periode waktu
tertentu. Bentuk dari perilaku Bullying dapat berupa fisik, psikologis, baik verbal
maupun non verbal, atau gabungan dari keduanya(Coloroso, 2007).
Penalaran moral adalah pertimbangan individu mengenai baik dan buruk suatu hal
untuk memperkuat aturan, norma atau nilai etis yang dianut yang diterapkan
dalam berbagai situasi yang melibatkan proses kognitif (Kohlberg, 1995).
3.3.2. Definisi Operasional
Perilaku Bullying adalah skor yang diperoleh dari responden melalui skala
perilaku Bullying yang diajukan kepada santriwan dan santriwati tingkat Aliyah
(SMA) berdasarkan penilaiannya yang mencakup penindasan secara fisik,
penindasan verbal, dan penindasan psikologis.
46
Penalaran moral adalah skor yang diperoleh dari jawaban responden
terhadap skala penalaran moral yang di ukur melalui aspek-aspeknya, yaitu
orientasi hukuman dan ketaatan, individualisme, norma-norma interpersonal,
moral dalam sistem sosial, hak-hak masyarakat, prinsip-prinsip etis universal.
3.4. Populasi dan Subyek Penelitian
3.4.1. Populasi
Gay (1976; dalam Sevilla, 1993) mendefinisikan populasi sebagai kelompok di
mana peneliti akan menggeneralisasikan hasil penelitiannya. Sebagai suatu
populasi, kelompok subjek ini harus memiliki ciri-ciri atau karakteristik bersama
yang membedakannya dari kelompok subjek yang lain. Untuk penelitian ini
jumlah populasi sebesar 108 santri kelas 3 Aliyah Pondok Pesantren Assa’adah
Serang, Banten.
3.4.2. Subyek (sampel)
Sedangkan subyek (sampel), menurut Ferguson (1980; dalam Sevilla, 1993),
adalah beberapa bagian kecil atau cuplikan yang ditarik dari populasi atau porsi
dari suatu populasi. Ukuran sampel minimum yang dapat diterima berdasarkan
tipe penelitian korelasional adalah sampel dapat dikatakan besar bila terdiri dari
30 orang atau lebih. Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 108 santri kelas 3
Aliyah. Sedangkan sampel yang di ambil sebanyak 80 subjek.
Tabel 3.1 : Jumlah populasi dan sampel
Populasi Sampel 108 orang 80 orang
47
3.4.3. Teknik Pengambilan Subyek
Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara probability sampling
dengan teknik simple random sampling. Menurut Suryabrata (2006), bahwa
teknik simple random sampling adalah suatu teknik pengambilan sampel yang
digunakan jika populasi dianggap homogen, dan tersedia daftar, nomor urut dari
seluruh unit populasi. Karena dilakukan secara probability sampling, maka semua
individu akan mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi sampel
dalam penelitian ini. Sesuai dengan tujuan penelitian, yang menjadi subyek
penelitian ini adalah santri kelas 3 Aliyah Pondok Pesantren Assa’adah Santri
kelas 3 Aliyah jurusan IPA, IPS dan Bahasa.
Teknik penelitian ini dengan undian menggunakan kertas kecil-kecil yang
di tuliskan nomor subjek, satu nomor untuk setiap kertas. Kemudian kertas
digulung, dengan tanpa prasangka di ambil beberapa gulungan kertas sehingga
nomor-nomor yang tertera pada gulungan kertas yang terambil itulah yang
merupakan nomor subjek penelitian (Arikunto, 2006).
3.5. Instrumen Penelitian
Metode dan Instrumen Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan skala, yaitu sejumlah pernyataan
tertulis untuk memperoleh jawaban dari responden, dengan item pernyataan
positif (favorable) dan negatif (unfavorable). Skor akhir subjek adalah skor total
dari jawaban pada setiap pernyataan. Terdapat empat jawaban alternatif, yaitu
sangat sesuai (SS), sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS).
48
Subyek diminta memilih derajat kesetujuan dan ketidaksetujuan untuk setiap
pernyataan. Skoring yang digunakan untuk setiap kategori pada setiap item dalam
penelitian ini adalah berdasarkan norma pada tabel di bawah ini.
Skor untuk untuk masing-masing penyataan:
Tabel 3.2 : Bobot Nilai Skala
Skala Favorable Unfavorable Sangat Sesuai
Sesuai Tidak Sesuai
Sangat Tidak Sesuai
4 3 2 1
1 2 3 4
Adapun skala dalam penelitian ini adalah menggunakan skala model Likert, yang
digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi responden terhadap suatu
objek karena pembuatannya relatif mudah dan reliabilitasnya tinggi. Dalam skala
ini subjek diharuskan memilih jawaban yang paling menggambarkan tentang
dirinya sendiri dan bukan pendapat orang lain tentang suatu pernyataan (Umar,
2008)
Peneliti menggunakan skala model Likert yang terdiri dari 2 macam, yaitu skala
Penalaran Moral dan Perilaku Bullying .
49
Tabel 3.3: Blue Print Skala Perilaku Bullying
Jenis Indikator No item favorable
No item unfavorable Jml.
• Menghina secara rasial 14, 18 20, 21, 22, 23
• Memberikan julukan nama jelek kepada korban 13 19
Penindasan Verbal
• Mengintimidasi secara kasar 15, 16, 17 24
12
• Menyakiti anggota tubuh 1, 2, 3, 4, 5 8, 9, 10 Penindasan Fisik • Menghancurkan barang-barang
milik korban 6, 7 11, 12 12
• Pandangan yang agresif 26, 30 31, 32, 36
• Bahasa tubuh yang kasar. 25, 34 Penindasan Psikologis
• Mengabaikan persahabatan korban 27, 28, 29 33, 35
12
Total 19 17 36
Selanjutnya skor subyek pada setiap pernyataan dijumlahkan dan nilai total
menjadi skor setiap subyek. Makin tinggi skor subjek, maka perilaku Bullying
subyek semakin tinggi. Dan sebaliknya, semakin rendah skor subyek, maka
semakin rendah perilaku Bullying subyek.
Tabel 3.4: Blue Print Skala Penalaran Moral
Aspek Indikator No Item Favorable
No Item Unfavorable Jml.
Orientasi Hukuman dan ketaatan
Penalaran moral didasarkan atas penghindaran hukuman 1, 2, 3 4, 5, 6 6
Individualisme Penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah) dan kepentingan sendiri.
7, 8, 9 10, 11, 12 6
Norma-norma interpersonal
Agar menjadi anak yang baik, perbuatannya harus diterima oleh masyarakat
13, 14, 15 16, 17, 18 6
Moral dalam sistem social
Menyadari kewajibannya untuk ikut melaksanakan norma-norma yang ada dan mempertahankan pentingnya
19, 20, 21 22, 23, 24 6
50
adanya norma
Orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial.
Berbuat baik agar diperlakukan baik oleh lingkungan.
25, 26, 27 28, 29, 30 6
Prinsip-prinsip etis universal
Berkembangnya norma etik (kata hati) 31, 32, 33 34, 35, 36 6
Jumlah 18 18 36
Selanjutnya skor subyek pada setiap pernyataan dijumlahkan dan nilai
total menjadi skor setiap subyek. Makin tinggi skor subyek, maka penalaran moral
subyek semakin tinggi. Dan jika sebaliknya, yaitu semakin rendah skor subyek,
maka semakin rendah pula penalaran moralnya.
3.6. Hasil Uji Coba Instrumen Peneliltian
3.6.1. Hasil Uji Skala Perilaku Bullying
Dari 36 item yang di uji cobakan, terdapat 29 item yang valid pada taraf
kepercayaan 95 %, sedangkan 7 item lainnya tidak valid. Nomor item skala
perilaku bullying yang valid dapat di lihat pada tabel berikut:
Tabel 3.5:
Kisi-kisi Skala Perilaku Bullying
Jenis No item favorable No item unfavorable
Jumlah Item Valid
14*, 18* 20*, 21*, 22*, 23* 13* 19* Penindasan Verbal
15, 16*, 17* 24*
11
1*, 2*, 3*, 4*, 5* 8*, 9*, 10* Penindasan Fisik 6, 7 11*, 12*
10
51
26, 30 31*, 32*, 36*
25*, 34* Penindasan Psikologis
27, 28*, 29* 33, 35*
8
Jumlah Item Valid 13 16 29
Keterangan : * Item valid
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 36 item skala perilaku bullying,
ada 29 item yang valid dengan α = 0,05, yaitu item 1, 2, 3, 4, 5, 8, 9, 10, 11, 12,
13, 14, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 28, 29, 31, 32, 34, 35, dan 36. Item-
item yang valid itulah yang dijadikan alat ukur untuk penelitian. Dari uji coba
reliabilitas item yang valid pada skala perilaku bullying, diperoleh koefisien alpha
cronbach sebesar 0.908. angka tersebut dapat dikatakan reliabel karena menurut
Azwar (2003), koefisien yang tinggi adalah yang mendekati angka 1.00.
3.6.2. Hasil Uji Skala Penalaran Moral
Dari 36 item yang di uji cobakan, terdapat 25 item yang valid pada taraf
kepercayaan 95 %, sedangkan 11 item lainnya tidak valid. Nomor item skala
penalaran moral yang valid dapat di lihat pada tabel berikut:
Tabel 3.6:
Kisi-kisi Skala Penalaran Moral
Aspek No Item Favorable
No Item Unfavorable
Jumlah Item Valid
Orientasi Hukuman dan ketaatan 1*, 2*, 3* 4*, 5, 6*
5
Individualisme 7*, 8, 9 10*, 11*, 12* 4
Norma-norma interpersonal 13, 14*, 15* 16*, 17*, 18*
5
52
Moral dalam sistem sosial 19, 20, 21* 22*, 23*, 24*
4
Orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial.
25, 26, 27* 28*, 29*, 30
3
Prinsip-prinsip etis universal 31*, 32, 33* 34*, 35*, 36 4
Jumlah Item Valid 10 15 25
Keterangan : * item valid
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari 36 item skala perilaku bullying,
ada 25 item yang valid dengan α = 0,05, yaitu item 1, 2, 3, 4, 6, 7, 10, 11, 12, 14,
16, 17, 18, 21, 22, 23, 24, 27, 28, 29, 31, 33, 34, dan 35. Item-item yang valid
itulah yang dijadikan alat ukur untuk penelitian.
Selanjutnya item yang valid pada skala penalaran moral, diperoleh
koefisien alpha cronbach sebesar 0.923. Hasil tersebut menunjukkan bahwa skala
penalaran moral ini dapat dikatakan reliabel karena menurut Azwar (2003),
koefisien reliabilitas yang tinggi adalah yang mendekati angka 1.00.
Adapun untuk mengetahui klasifikasi reliabilitas alat ukur dapat dilihat
pada penjelasan berikut :
Tabel 3.7: Klasifikasi Reliabilitas
Koefisien reliabilitas Klasifikasi reliabilitas
> 0.90 Sangat reliabel 0.70 – 0.89 Reliabel 0.40 – 0.69 Cukup reliabel 0.20 – 0.39 Tidak reliabel
53
3.7. Teknik Uji Instrumen Penelitian
Sesuai dengan kaidah penelitian, maka peneliti mengadakan uji instrumen
penelitian yang akan peneliti gunakan. Tahap awal peneliti membuat item skala
yang kemudian melakukan try out. Untuk menguji validitas dari setiap item
pernyataan dilakukan analisis item, yaitu mengkorelasikan setiap item dengan
skor total, koefesien korelasinya diperhitungkan sebagai validitas item-item yang
memiliki korelasi signifikan langsung dipilih sebagai skala final dan dihitung,
sedangkan item yang tidak memiliki korelasi signifikan diabaikan. Penghitungan
korelasi dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi pearson-product
moment, dan penghitungannya menggunakan program perangkat lunak SPSS
18.00.
Adapun untuk menghitung reliabilitas dari kedua skala ini dilakukan
dengan menggunakan rumus alpha cronbach, yaitu dalam pengolahannya,
penghitungan reliabilitas ini menggunakan program komputer khusus untuk
penghitungan data penelitian yaitu program perangkat lunak SPSS 18.00.
3.8. Teknik Analisis Data
Untuk menganalisa data yang berkaitan dengan tujuan penelitian yang
menghubungkan antara penalaran moral dengan perilaku bullying santri, maka
akan digunakan rumus korelasi pearson product moment dengan mengunakan
program perangkat lunak SPSS 18.00.
54
Adapun untuk menganalisa data yang berkaitan dengan penelitian yang
membandingkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan terhadap penalaran moral
maupun perilaku bullying, maka digunakan t-test antar kelompok dan statistika
sederhana dengan menggunakan program perangkat lunak SPSS 18.00.
3.9. Prosedur Penelitian
3.9.1. Tahap Persiapan
1. Di mulai dengan perumusan masalah
2. Menentukan variabel penelitian
3. Melakukan studi kepustakaan untuk mendapatkan gambaran dan landasan
teoritis yang tepat
4. Menentukan, menyusun dan menyiapkan alat ukur yang akan digunakan
dalam penelitian ini, yaitu skala penalaran moral dan skala perilaku
bullying.
5. Menentukan lokasi penelitian
6. Melakukan uji coba alat ukur (try out)
3.9.2. Tahap Pengambilan Data
1. Menentukan sampel penelitian
2. Memberikan penjelasan mengenai tujuan penelitian dan meminta
kesediaan subyek untuk mengisi kuesioner penelitian.
3. Melaksanakan pengambilan data dengan memberikan kuesioner yang telah
disiapkan kepada subjek penelitian
55
3.9.3. Tahap Pengolahan Data
1. Melakukan skoring terhadap hasil kuesioner yang telah diisi oleh
responden.
2. Menghitung dan mencatat tabulasi data yang diperoleh, kemudian
membuat tabel data.
3. Melakukan analisis data dengan menggunakan metode statistik untuk
menguji hipotesis penelitian.
3.9.4. Tahap Pembahasan
1. Menginterpretasikan dan membahas hasil analisis statistik berdasarkan
teori.
2. Merumuskan kesimpulan hasil penelitian yang di peroleh dan dibahas
berdasarkan data dan teori yang ada.
56
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Sampel
4.1.1. Gambaran Umum Berdasarkan Jenis Kelamin
Pengambilan responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 80 orang remaja
yang berusia 17-20 tahun berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, dapat di
gambarkan sebagai berikut:
Tabel 4.1 Gambaran Responden berdasarkan jenis kelemin
Jenis kelamin Frekuensi Persentase
Laki-laki 41 51.3
Perempuan 39 48.8
Jumlah 80 100.0
Dari tabel diatas dapat terlihat, frekuensi sampel dalam penelitian ini
diperoleh dari 80 responden berdasarkan jenis kelamin. Dalam penelitian ini
sebanyak 51.3 % dari 41 responden laki-laki sedangkan untuk perempuan
sebanyak 48.8 % dari 39 responden.
4.1.2. Gambaran Umum Berdasarkan Usia
Rentang usia dalam penelitian ini adalah remaja akhir yaitu usia 17-20 tahun,
berikut adalah tabel responden berdasarkan usia.
57
Tabel 4.2. Gambaran Responden Berdasarkan Usia
Usia Frekuensi Persentase 17 3 3.8 18 58 72.5 19 15 18.8 20 4 5.0
Jumlah 80 100.0
Dari tabel 4.2 terlihat bahwa responden dalam penelitian ini adalah remaja
yang berusia 17-20 tahun , dimana responden berusia 17 tahun sebanyak 3 orang
yaitu 3.8 %, responden berusia 18 tahun sebanyak 58 orang yaitu 72.5 %,
responden berusia 19 tahun sebanyak 15 orang yaitu 18.8 %, dan responden
berusia 20 tahun sebanyak 4 orang yaitu 5.0 %.
4.1.3. Gambaran Umum Berdasarkan Jurusan
Selanjutnya responden berdasarkan jurusan, berikut tabel jumlah responden
berdasarkan jurusan.
Tabel 4.3 Gambaran responden berdasarkan jurusan
Jurusan Frekuensi Persentase IPA 26 32.5 IPS 26 32.5
Bahasa 28 35.0 Jumlah 80 100.0
Responden pada kelompok kelas jurusan IPA sebanyak 26 orang atau 32.5
%, kelas jurusan IPS sebanyak 26 orang atau 32.5 %, dan kelas jurusan Bahasa
sebanyak 28 orang atau 35.0 %.
58
4.2. Uji Persyaratan
4.2.1. Uji Normalitas
Uji kenormalan bertujuan untuk menguji apakah data sampel terdistribusi secara
normal atau tidak normal, untuk menguji kenormalan data yang responden
pengujiannya kurang dari 100 maka digunakan Shapiro Wilk. Karena uji Shapiro
Wilk adalah salah satu cara untuk menguji kebaikan yang pantas (goodness of fit)
dan baik digunakan apabila responden pengujian kurang dari 100 (Kuncono,
2005). Dalam hal ini digunakan untuk menentukan apakah distribusi frekuensi
pengamatan dari suatu variabel secara signifikan berbeda dari yang diharapkan
atau distribusi frekuensi teoritis. Sehingga hipotesis statistiknya adalah distribusi
frekuensi hasil pengamatan bersesuaian dengan distribusi frekuensi harapan
(teoritis) (Sevilla, 1993). Adapun yang dapat diajukkan adalah :
Hο = Sampel dari populasi yang bedristribusi normal
H¹ = Sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal
Dengan demikian, berdasarkan hasil uji normalitas shapiro wilk diperoleh data
pada skala penalaran moral, dinyatakan nilai signifikansi adalah p 0,051 dengan
menggunakan taraf signifikansi alpha 5 % (α 0,05). Maka diketahui nilai 0,051 >
0,05 sehingga data dalam penelitian ini berdistribusi normal, dan dalam uji
hipotesanya termasuk dalam statistik parametrik.
59
Tabel 4.4 Hasil uji normalitas skala Penalaran Moral
Tests of Normality
.121 80 .006 .969 80 .051Penalaran_MoralStatistic df Sig. Statistic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Lilliefors Significance Correctiona.
Gambar 4.1
Scatterplot skala Penalaran Moral
Normal Q-Q Plot of Penalaran_Moral
Observed Value40
Expected Normal
-2.5
0.0
2.5
50 60 70 80 90 100
Dari gambar di atas, dapat terlihat bahwa sebaran data variabel sikap terhadap
penalaran moral tersebar dekat di sekeliling garis, yang berarti data tersebut bisa
dikatakan berdistribusi normal (Santoso, 2000).
60
Sedangkan untuk uji normalitas skala perilaku Bullying dapat dilihat
dalam tabel berikut :
Tabel 4.5 : Hasil uji normalitas skala perilaku bullying
Tests of Normality
.129 80 .002 .972 80 .081Perilaku_BullyingStatistic df Sig. Statistic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Lilliefors Significance Correctiona.
Dari tabel di atas dapat diketahui hasil uji normalitas data pada perilaku bullying
diperoleh angka probabilitas sebesar 0.081 dengan menggunakan taraf signifikansi
5 %, maka diketahui bahwa nilai probabilitas 0.081 > 0.05 sehingga dapat di
simpulkan bahwa data berdistribusi normal.
Gambar 4.2 : Scatterplot skala perilaku bullying
Normal Q-Q Plot of Perilaku_Bullying
Observed Value
30 -2
0
2 Expected Normal
40 50 60 70 80 90
61
Dari gambar di atas, dapat terlihat bahwa sebaran data variabel perilaku
bullying tersebar dekat di sekeliling garis, yang berarti data tersebut bisa di
katakan berdistribusi normal (Santoso, 2000).
4.2.2. Uji Homogenitas
Uji homogenitas bertujuan untuk menguji bahwa dua atau lebih kelompok dari
data sampel berasal dari populasi yang memiliki varian yang sama (Suharsimi,
2006). Kesamaan asal sampel ini antara lain dibuktikan dengan adanya kesamaan
variasi-variasi kelompok yang membentuk sampel tersebut. Jika ternyata tidak
terdapat perbedaan variasi di antara kelompok dan ini mengandung arti bahwa
kelompok-kelompok tersebut homogen, maka dapat di katakan bahwa kelompok-
kelompok sampel tersebut berasal dari populasi yang sama. Pengujian
homogenitas sampel sangat penting apabila peneliti bermaksud melakukan
generalisasi untuk hasil penelitiannya serta penelitian yang data penelitiannya di
ambil dari kelompok-kelompok terpisah yang berasal dari satu populasi
(Suharsimi, 2006).
Dalam penelitian ini, uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan
rumus One-Way Anova. Adapun hipotesis yang dapat diajukan adalah :
Hο = Varians data bersifat homogen atau identik
H¹ = Varians data bersifat tidak homogen atau tidak identik
Ada dua macam cara pengambilan keputusan yang dapat dilakukan, yaitu
menggunakan probabilitas dan membandingkan uji F hitung dengan F tabel. Jika
pengambilan keputusan menggunakan probabilitas, maka kesimpulan yang dapat
62
di ambil adalah probabilitas > 0,05, maka Hο diterima. Sedangkan probabilitas <
0,05, maka Hο ditolak. Jika pengambilan keputusan menggunakan perbandingan F
hitung dan F tabel, maka kesimpulan yang dapat di ambil adalah F hitung < F
tabel, maka Hο diterima. Tetapi, jika F hitung > F tabel, maka Hο ditolak.
Berdasarkan hasil uji homogenitas yang dilakukan melalui program SPSS
18.00 diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 4.6
Test of Homogeneity of Variances
Penalaran_Moral
1.503 3 76 .220Levene Statistic df1 df2 Sig.
Tabel 4.7
Test of Homogeneity of Variances
Perilaku_Bullying
.775 3 76 .511Levene Statistic df1 df2 Sig.
Pengambilan keputusan untuk data penelitian ini menggunakan
perbandingan probabilitas. Dari tabel uji homogenitas di atas sebagaimana
terdapat dalam lampiran kolom Test of Homogenity of Variances pada Levene
Statistic, dapat diketahui bahwa skala sikap terhadap Penalaran Moral memiliki
nilai signifikansi 0.220 > 0.05 sehingga Hο diterima, artinya varians data bersifat
homogen atau populasi-populasi berasal dari varians yang sama. Sedangkan pada
skala perilaku bullying memiliki nilai signifikansi 0.511 > 0.05 sehingga Hο
diterima dan artinya varians data bersifat homogen.
63
4.3. Distribusi Penyebaran Skor Responden
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan program SPSS
versi 18.00 diperoleh sebagai berikut :
Tabel 4.8 : Statistik Deskriptif
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Penalaran_Moral 80 47 91 69.07 10.887
Perilaku_Bullying 80 36 89 60.93 12.655
Valid N (listwise) 80
Dari tabel 4.8 dapat dijelaskan bahwa penalaran moral memiliki nilai
minimum 47 dan nilai maksimum 91 dengan mean atau rata-rata 69.07 serta
standard deviasi sebesar 10.887. Sedangkan untuk perilaku bullying diperoleh
nilai minimum 36 dan nilai maksimum 89 dengan mean atau rata-rata 60.93 serta
standard deviasi sebesar 12.655.
4.3.1. Kategorisasi Skor Responden
Untuk mengetahui norma penalaran moral, maka penulis membaginya dalam tiga
kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Dari perhitungan statistik diketahui
untuk skala penalaran moral dengan mean sebesar 69.07dengan SD sebesar
10.887, maka untuk mengklasifikasikan berdasarkan skor yang diperoleh dapat
dilihat pada tabel berikut :
64
Tabel 4.9 : Norma Penalaran Moral
Kategori Klasifikasi Skor Interval/Norma Jumlah Persentase Tinggi Mean + 1 SD ke atas > 79.96 10 12.8 % Sedang Mean ± 1 SD 58.18 - 79.96 59 73.1 % Rendah Mean – 1 SD ke bawah < 58.18 11 14.1 % Jumlah 80 100
Dari tabel di atas diketahui bahwa responden yang memiliki kategori
tinggi terhadap penalaran moral berjumlah 10 orang (12.8 %), responden yang
memiliki kategori sedang penalaran moral berjumlah 59 orang (73.1 %), dan
responden yang memiliki kategori rendah penalaran moral berjumlah 11 orang
(14.1 %).
Sedangkan, untuk mengetahui norma perilaku bullying maka penulis
membaginya dalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Dari
perhitungan statistik diketahui untuk skala perilaku bullying dengan mean sebesar
60.93 dengan SD sebesar 12.655, maka untuk mengklasifikasikan berdasarkan
skor yang diperoleh dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.10 : Norma Perilaku Bullying
Kategori Klasifikasi Skor Interval/Norma Jumlah Persentase Tinggi Mean + 1 SD ke atas > 73.58 15 19.1 % Sedang Mean ± 1 SD 48.27- 73.58 51 63.3 % Rendah Mean – 1 SD ke bawah < 48.27 14 17.6 % Jumlah 80 100 %
Dari tabel di atas diketahui bahwa responden yang memiliki kategori
tinggi terhadap perilaku bullying berjumlah 15 orang (19.1 %), responden yang
memiliki kategori sedang perilaku bullying berjumlah 51 orang (63.3 %), dan
responden yang memiliki kategori rendah perilaku bullying berjumlah 14 orang
(17.6 %).
65
4.3.2. Kategorisasi Skor Responden Berdasarkan Usia
Sesuai dengan keterangan di atas, maka data yang diperoleh berdasarkan sampel
yang di ambil adalah sebagai berikut :
Tabel 4.11 : Kategori Penalaran Moral
Usia Tinggi Sedang Rendah Jumlah Persentase
17 tahun 0 2 1 3 3.75 % 18 tahun 8 42 9 59 73.75 % 19 tahun 1 14 0 15 18.75 % 20 tahun 1 1 1 3 3.75 %
Total 80 100 %
Berdasarkan data di atas diketahui banyaknya sebaran responden pada
skala penalaran moral yang berusia 17 tahun berjumlah 3 orang, yaitu yang
memiliki penalaran moral tinggi tidak ada, penalaran moral sedang 2 orang,
penalaran moral rendah 1 orang santri. Usia 18 tahun berjumlah 59 orang, yaitu 8
santri memiliki penalaran moral yang tinggi, 42 orang santri memiliki penalaran
moral sedang, dan 9 orang santri memiliki penalaran moral rendah. Usia 19 tahun
berjumlah 15 orang, yaitu 1 orang memiliki penalaran moral tinggi, 14 orang
santri memiliki penalaran moral sedang, dan tidak ada yang memiliki penalaran
moral rendah. Usia 20 tahun berjumlah 3 orang, yaitu 1 santri memiliki penalaran
moral yang tinggi, 1 orang santri memiliki penalaran moral sedang, dan 1 orang
santri memiliki penalaran moral rendah.
66
Tabel 4.12 : Kategori Perilaku Bullying
Usia Tinggi Sedang Rendah Total Persentase
17 tahun 0 3 0 3 3.75 % 18 tahun 13 35 10 58 72.5 % 19 tahun 2 11 2 15 18.75 % 20 tahun 1 2 1 4 5 %
Total 80 100 %
Berdasarkan data di atas diketahui banyaknya sebaran responden pada
skala perilaku bullying yang berusia 17 tahun berjumlah 3 orang, yaitu yang
memiliki perilaku bullying tinggi tidak ada, penalaran moral sedang 3 orang,
perilaku bullying rendah tidak ada. Usia 18 tahun berjumlah 58 orang, yaitu 13
santri memiliki perilaku bullying yang tinggi, 35 orang santri memiliki perilaku
bullying sedang, dan 10 orang santri memiliki perilaku bullying rendah. Usia 19
tahun berjumlah 15 orang, yaitu 2 orang memiliki perilaku bullying tinggi, 11
orang santri memiliki perilaku bullying sedang, dan 2 orang santri memiliki
perilaku bullying rendah. Usia 20 tahun berjumlah 4 orang, yaitu 1 santri memiliki
perilaku bullying yang tinggi, 2 orang santri memiliki perilaku bullying sedang,
dan 1 orang santri memiliki perilaku bullying rendah.
4.4. Hasil Utama Penelitian atau Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi product
moment dari Pearson, yaitu dengan mengkorelasikan jumlah skor variabel
penalaran moral dengan perilaku bullying. Rumus korelasi product moment ini
digunakan untuk mengetahui kekuatan hubungan antar dua variabel. Lalu peneliti
menggunakan analisis uji beda (uji T) untuk melihat
67
perbedaan antara dua kelompok subjek pada masing-masing variabel. Untuk
penghitungannya dilakukan dengan menggunakan program SPSS 18.00 for
windows.
4.4.1. Uji Hubungan Penalaran Moral Dengan Perilaku Bullying
Tabel 4.13 : Hubungan antara Penalaran Moral dengan Perilaku Bullying
Correlations
Penalaran_Moral Perilaku_Bullying
Pearson Correlation 1 -.298**
Sig. (2-tailed) .007
Penalaran_Moral
N 80 80
Pearson Correlation -.298** 1
Sig. (2-tailed) .007 Perilaku_Bullying
N 80 80
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Berdasarkan tabel di atas diketahui, bahwa koefisien korelasi antara skala
Penalaran Moral dengan Perilaku Bullying adalah sebesar - 0.298 dengan nilai
signifikansi atau probabilitas 0.005 (p < 0.01) maka dapat disimpulkan bahwa H0
ditolak. Artinya bahwa jika penalaran moralnya rendah maka perilaku
bullyingnya tinggi. Hal ini menunjukkan ada hubungan yang negatif dan
signifikan antara Penalaran Moral dengan Perilaku Bullying.
Dalam hal ini, untuk mengetahui sejauhmana penalaran moral di masa
mendatang dapat diprediksi munculnya perilaku bullying, peneliti menggunakan
regresi sederhana. Berikut penghitungan regresi sederhana dengan menggunakan
SPSS 18.00 for windows.
68
Tabel 4.14 : Regresi Sederhana
Model Summary
.298a .089 .077 12.156Model1
R R SquareAdjustedR Square
Std. Error ofthe Estimate
Predictors: (Constant), Penalaran_Morala.
Hubungan antara variabel penalaran moral (x) dan perilaku bullying (y)
mempunyai R = 0,298 atau 29,8%. Dan besar sumbangan pengaruh variabel (x)
terhadap (y) sebesar R Square (r2) = 0,089 atau 0,9%. R Square (r2) disebut
koefisien determinasi, yang menggambarkan seberapa besar perubahan antar
variasi dari variabel dependen yang dalam hal ini berarti 0,9% dari variansi
perilaku bullying bisa dijelaskan oleh variabel penalaran moral. Sedangkan
sisanya (100% - 0,9% = 99,1%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti
dalam penelitian ini. r2 berkisar pada angka 0 sampai 1, dengan catatan semakin
kecil r2, semakin lemah hubungan kedua variabel.
4.4.2. Uji Beda Penalaran Moral dan Perilaku Bullying Berdasarkan Jenis
Kelamin
Tabel 4.15 : Uji Beda Penalaran Moral Berdasarkan Jenis Kelamin
Independent Samples Test
1.443 .233 .736 78 .464 1.797 2.442 -3.065 6.660
.734 75.752 .465 1.797 2.450 -3.082 6.677
Equal variancesassumedEqual variancesnot assumed
Penalaran_MoralF Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
69
Terlihat bahwa t hitung untuk penalaran moral dengan equal variances assumed
adalah 0,736, sedangkan t tabel bisa di hitung pada tabel t-test dengan α = 0,05, df =
80 (didapat dari rumus n-2, dimana n adalah jumlah sampel, 80 – 2 = 78) didapat t
tabel 2.00 (0,736< 2,00). Terlihat bahwa nilai probabilitas pada kolom sig. (2-
tailed) adalah 0.464 atau probabilitas di atas 0,05 (0,464 > 0,05). Dengan
demikian Ho diterima atau tidak terdapat perbedaan penalaran moral antara
remaja akhir laki-laki dengan remaja akhir perempuan. Artinya, penalaran moral
antara remaja akhir laki-laki dengan remaja akhir perempuan adalah sama.
Tabel 4.16 : Uji Beda Perilaku Bullying Berdasarkan Jenis Kelamin
Independent Samples Test
.590 .445 -.104 78 .917 -.296 2.848 -5.967 5.374
-.104 77.363 .917 -.296 2.851 -5.974 5.381
Equal variancesassumedEqual variancesnot assumed
Perilaku_BullyingF Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
Terlihat bahwa t hitung untuk penalaran moral dengan equal variances assumed
adalah 0,445, sedangkan t tabel bisa di hitung pada tabel t-test dengan α = 0,05, df =
80 (didapat dari rumus n-2, dimana n adalah jumlah sampel, 80 – 2 = 78) didapat t
tabel 2.00 (0,445< 2,00). Terlihat bahwa nilai probabilitas pada kolom sig. (2-
tailed) adalah 0.917 atau probabilitas di atas 0,05 (0,917 > 0,05). Dengan
demikian Ho diterima atau tidak terdapat perbedaan perilaku bullying antara
remaja akhir laki-laki dengan remaja akhir perempuan. Artinya, perilaku bullying
antara remaja akhir laki-laki dengan remaja akhir perempuan adalah sama.
70
BAB 5
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa data dan pengujian hipotesis yang telah dikemukakan
pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan negatif dan
signifikan antara penalaran moral dengan perilaku bullying. Hal ini ditunjukkan
dari hasil perolehan nilai koefisien sebesar -0,298 yang signifikan, baik pada level
significancy 0,01 atau pun 0,05. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa
semakin rendah penalaran moral maka semakin tinggi perilaku bullying. Selain itu
dalam hasil tambahan dalam hasil Regresi sederhana aspek penalaran moral
mempunyai pengaruh sebesar 0,9 %, sisanya 99,1% dijelaskan oleh variabel lain
yang belum diteliti dalam penelitian ini.
5.2. Diskusi
Dari hasil penelitian diketahui bahwa adanya hubungan yang negatif signifikan
antara penalaran moral terhahadap perilaku bullying berdasarkan pada
perhitungan uji hipotesis dari Pearson terhadap skor skala penalaran moral dan
perilaku bullying. Terdapat korelasi yang negative dan signifikan antara
penalaran moral terhahadap perilaku bullying. Ini menjelaskan bahwa semakin
tinggi penalaran moral maka semakin rendah perilaku bullying dan begitu juga
sebaliknya.
71
Dalam sebuah kajian yang dilakukan oleh Kaiser Fondation, Nickelodeon,
dan Children Now (2001) hampir ¾ anak pra remaja di Amerika yang di
wawancarai mengungkapkan bahwa bullying adalah peristiwa yang biasa terjadi
di sekolah ketika mulai memasuki SMU; 86 % anak-anak yang berusia 12-15
tahun mengatakan bahwa mereka di ejek dan di tindas saat di sekolah (Coloroso,
2007).
Selanjutnya, Pepler dkk (1991) melakukan studi deskriptif di Toronto
Board of Education melakukan penelitian pada 211 siswa, mulai dari SD hingga
SMP, juga guru-guru dan para orang tua memperoleh data statistik bahwa 35 %
reponden terlibat langsung insiden bullying, 38% siswa pendidikan khusus
mengalami bullying di banding presentase siswa lain hanya 18 %, 24 % perilaku
bullying terkait dengan ras, selanjutnya 23 % siswa merasa di tindas dan 71 %
guru-guru terlibat perilaku bullying (Coloroso, 2007).
Dari hasil penelitian tersebut menandakan bahwa jenis keluarga, sekolah
dan masyarakat memainkan peranan penting, namun sekolah adalah tempat anak-
anak mendapat pelajaran dalam pendidikan moral mereka. Pendidkan moral tidak
hanya untuk mengajari kebaikan, tetapi juga untuk mengajari tentang hal yang
termasuk perbuatan baik dan agar memiliki kekuatan untuk berbuat baik.
Sebagaimana penelitian sebelumnya yang di lakukan oleh Miller dan
Bersoff (Santrock, 2003) menunjukkan bahwa penalaran moral yang tinggi dapat
memberikan prioritas yang utama pada kebutuhan interpersonal dalam situasi-
situasi konflik moral.
72
Selain itu, kebanyakan penelitian yang menggunakan sistem skoring
Kohlberg tidak menemukan adanya perbedaan jenis kelamin (Walker, 1984,
1991a,1991b). Sebagai contoh, dalam suatu penelitian diketahui bahwa 53 dari 80
perempuan dan laki-laki menunjukkan salah satu, baik dari perspektif kepedulian
maupun dari perspektif keadilan, namun 27 subyek menggunakan kedua orientasi
tersebut tanpa ada yang lebih mendominasi (Gilligan & Attanucci, 1988 dalam
Santrock, 2003).
Bila sebuah pesantren secara konsisten membahas dan mengangkat nilai
hormat menjadi salah satu prinsip yang ditegakkan oleh semua pihak, maka sikap
guru terhadap santri, sikap santri dengan santri lain akan santun, penuh dukungan,
saling memahami, dan menimbulkan kerjasama yang lebih kuat. Dengan demikian
tindakan bullying akan dapat ditekan, karena fokus dan energi semua pihak
tertuju pada kerjasama dan bagaimana untuk saling mengisidan menguatkan.
5.3. Saran
Berdasarkan pengalaman yang dialami dalam melakukan penelitian dan dari hasil
penelitian, maka peneliti dapat memberikan saran untuk menyempurnakan
penelitian-penelitian selanjutnya.
5.3.1. Saran Teoritis
1. Bagi penelitian selanjutnya diharapkan untuk mencari faktor-faktor lain
yang mempengaruhi perilaku bullying seperti situasi sosial, pola asuh, dan
tipe kepribadian. Hal ini dikarenakan perilaku bullying selain dipengaruhi
73
oleh faktor internal, di pengaruhi pula oleh faktor eksternal atau
lingkungan melalui pergaulan teman sebaya dan tipe pengasuhan di
rumah.
2. Wilayah pengambilan responden penelitian ini hanya terbatas pada lokasi
tertentu, sehingga untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat
memperluas wilayah peneltian. Sehingga dapat memperoleh hasil secara
representatif dari berbagai tipe maupun wilayah pondok pesantren lainnya.
3. Ada baiknya untuk penelitian yang sejenis selanjutnya mengambil subjek
penelitian dari fase-fase perkembangan yang lain. Hal ini penting supaya
dapat diketahui adanya suatu perbedaan di setiap fase perkembangan
lainnya.
4. Disarankan untuk peneliti selanjutnya agar dapat mempertimbangkan
dengan cermat untuk meneruskan penelitian ini, mengingat hasil regresi
sederhana aspek penalaran moral hanya mempunyai pengaruh sebesar 0,9
%, terhadap perilaku bullying, sisanya 99,1% dijelaskan oleh variabel lain
yang belum diteliti dalam penelitian ini.
5.3.2. Saran Praktis
1. Untuk remaja/para santri pada umumnya agar terus menjaga dan
mempertahankan kepribadian yang menghargai toleransi dan sikap
menghargai orang lain serta meningkatkan perilaku tolong menolong,
yakni dimulai dari diri pribadi masing-masing, keluarga dan lingkungan.
74
2. Harapan bagi para pengasuh pondok pesantren hendaknya mampu
meningkatkan kualitas kepribadian santrinya melalui kegiatan Outbond,
training kepemimpinan, atau kegiatan ektrakurikuler yang membangun
kerjasama para santri. Mengingat pondok pesantren secara khas lebih
dominan mengajarkan para santrinya pelajaran keagamaan, sehingga
model pengajaran atau kegiatan-kegiatan pendukung di rasa penting pula.
3. Ada baiknya para orang tua turut ikut mengawasi pola pergaulan anak-
anaknya dengan memilih sekolah atau pesantren yang tepat, mengenal
dengan dekat teman-teman sebayanya, menciptakan suasana keterbukaan
di lingkungan rumah, supaya dapat termonitor dengan baik sehingga jika
ada suatu hal yang sekiranya anak tersebut terlibat menjadi korban ataupun
pelaku bullying maka dengan cepat di tangani.
75
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Asrori, (2009) Psikologi remaja perkembangan peserta didik, Jakarta, Bumi aksara
Arikunto, Suharsimi, (2006) Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik, edisi
revisi vi, Jakarta, PT Asdi Mahasatya Azwar, S. (2003). Reliabilitas dan validitas, Yogyakarta: Pustaka Belajar
Burdiningsih, C A. (2004) Pembelajaran moral. berpijak pada karakteristik siswa dan budayanya. Jakarta: Rineka Cipta
Bukhim, M. (2008). Membentuk moral anak melalui PAUD informal. Di akses 15
Desenber 2010. dari http://koranpendidikan.com Coloroso, Barbara. (2007). Stop bullying (memutus rantai kekerasan anak dari
prasekolah hingga SMU). Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta.
Dijkstra Jan Kornelis dkk, Beyond the class norm: bullying behavior of popular adolescents and its relation to peer acceptance and rejection, dalam jurnal behavioral science; psychology and child and school psychology, journal of abnormal child psychology, volume 36, number 8, 2008, pages1289-1299 , University of Groningen, The Netherlands
Gunarsa, Singgih., (1997), Dasar dan teori perkembangan anak, Jakarta; BPK
Gunung Mulia. Gunarsa, Singgih & Ny. Gunarsa D. Y. Singgih (1989). Psikologi remaja. Jakarta:
PT. BPK. Gunung Mulia. Hurlock. Elizabeth, (1980), Psikologi perkembangan (suatu pendekatan
sepanjang rentang kehidupan) Ed. 5, Jakarta, Erlangga Haedari, Amin, H. (2007) Transformasi pesantren; pengembangan aspek
pendidikan, keagamaan, dan sosial, Jakarta: LekDis & Media Nusantara.
Kohlberg, Lawrence, (1995) Tahapan-tahapan perkembangan moral, Kanisius, Yogyakarta
Kuncono, (2005) Aplikasi komputer psikologi; diktat kuliah dan panduan
praktikum, edisi ke II, Jakarta, Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia
76
Lipkins, Susan. (2008) Menghentikan perploncoan di sekolah/kampus.
Tangerang: Inspirita Publishing.
Lembaga Kajian Pendidikan Keislaman Dan Sosial (LeKDiS), (2005), Standar nasional pendidikan (PP RI NO. 19 TAHUN 2005), LeKDiS, Ciputat
Mastuki dkk, (2004) Manajemen pondok pesantren, Jakarta, Diva Pustaka
Qomar, Mujamil (2005) Pesantren dari transformasi metodologi menuju demokratisasi institusi. Jakarta : Erlangga
Santrock, W. John. (2002). Life span development (perkembangan masa hidup), jilid I. Jakarta: Erlangga
Santrock, W. John. (2003). Adolence perkembangan remaja. Jakarta: Erlangga.
Sarwono, Sarlito,. (2004) Psikologi remaja. Jakarta: PT. Grasindo Persada
Santoso, Singgih (2000) Buku latihan spss statistik parametrik. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Sevilla, C.G., dkk. (1993). Pengantar metode penelitian. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia SEJIWA, (2008), Mengatasi kekerasan di sekolah dan lingkungan sekitar anak.
Jakarta: PT. Grasindo.
Sullivan, Keith (2001) The anti bullying handbook, New Zealand, Oxford University Press
Sullivan, Keith (2005) Bullying in secondary schools; what it looks like and how
to manage it, London, Paul Chapmans Publishing Suparno, Paul. (2001). Teori perkembangan kognitif Jean Piaget. Yogyakarta:
Kanisius. Suryabrata, S. (2006). Metodologi penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Umar, Husen. (2008). Riset sumber daya manusia dalam organisasi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Yusuf. Syamsu. (2002). Psikologi perkembangan anak & remaja. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya Offset.
77
Internet: http://www.detiknews.com/read/2009/11/06/125625/1236590/10/siswa-sman-82-
dihajar-senior-gara-gara-lewat--jalur-gaza- /9:19 pm/04-07-2010 http://www.suaramerdeka.com/harian/0708/23/nas01.htm/ 12:15 pm/04-07-2010
http://www.detiknews.com/read/2009/11/17/095752/1243038/159/ruang-eksekusi-di-zona-antikekerasan/08:15 pm/04-07-2010
http://run18.multiply.com/reviews/item/3/11:12 pm/04-07-2010
http://www.e-psikologi.com/epsi/search.asp/11:19 pm/04-07-2010
LAMPIRAN 3 : Reliabilitas dan Validitas skala penalaran moral
Case Processing Summary
N %
Valid 80 100,0
Excludeda 0 ,0
Cases
Total 80 100,0
a. Listwise deletion based on all variables in the
procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
,923 36
Item Statistics
Mean Std. Deviation N
VAR00001 3,0500 ,52531 80
VAR00002 2,6250 ,62389 80
VAR00003 2,9000 ,34126 80
VAR00004 2,7250 ,61572 80
VAR00005 2,3875 ,80338 80
VAR00006 2,9375 ,60261 80
VAR00007 2,6875 ,70430 80
VAR00008 2,4875 ,67494 80
VAR00009 2,5000 ,77948 80
VAR00010 2,7125 ,67868 80
VAR00011 2,6750 ,59054 80
VAR00012 2,6500 ,65796 80
VAR00013 3,0875 ,69708 80
VAR00014 2,7125 ,65976 80
VAR00015 2,6750 ,77582 80
VAR00016 2,6750 ,63195 80
VAR00017 2,9000 ,78917 80
VAR00018 2,5625 ,65301 80
VAR00019 3,1625 ,60470 80
VAR00020 2,8750 ,64386 80
VAR00021 2,9625 ,66454 80
VAR00022 2,6000 ,72216 80
VAR00023 2,8750 ,48718 80
VAR00024 2,6500 ,67693 80
VAR00025 2,8250 ,63195 80
VAR00026 2,8000 ,56029 80
VAR00027 2,9125 ,73250 80
VAR00028 2,6375 ,71589 80
VAR00029 2,9500 ,54888 80
VAR00030 2,8875 ,74619 80
VAR00031 2,6250 ,62389 80
VAR00032 2,5625 ,83959 80
VAR00033 2,7750 ,72871 80
VAR00034 2,9000 ,66751 80
VAR00035 2,7000 ,70081 80
VAR00036 2,9125 ,76628 80
Item-Total Statistics
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance
if Item Deleted
Corrected Item-
Total
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
VAR00001 96,5125 152,481 ,316 ,922
VAR00002 96,9375 145,021 ,762 ,918
VAR00003 96,6625 153,695 ,360 ,922
VAR00004 96,8375 150,163 ,418 ,921
VAR00005 97,1750 151,260 ,251 ,924
VAR00006 96,6250 151,073 ,366 ,922
VAR00007 96,8750 142,769 ,808 ,917
VAR00008 97,0750 152,399 ,240 ,923
VAR00009 97,0625 154,794 ,075 ,926
VAR00010 96,8500 143,471 ,795 ,917
VAR00011 96,8875 145,696 ,758 ,918
VAR00012 96,9125 144,157 ,776 ,917
VAR00013 96,4750 153,873 ,144 ,925
VAR00014 96,8500 144,458 ,754 ,917
VAR00015 96,8875 149,721 ,344 ,923
VAR00016 96,8875 143,848 ,832 ,917
VAR00017 96,6625 146,783 ,494 ,921
VAR00018 97,0000 150,152 ,392 ,922
VAR00019 96,4000 154,547 ,129 ,924
VAR00020 96,6875 152,850 ,226 ,923
VAR00021 96,6000 150,370 ,371 ,922
VAR00022 96,9625 141,606 ,857 ,916
VAR00023 96,6875 149,635 ,586 ,920
VAR00024 96,9125 143,245 ,812 ,917
VAR00025 96,7375 152,171 ,275 ,923
VAR00026 96,7625 153,981 ,184 ,924
VAR00027 96,6500 149,749 ,367 ,922
VAR00028 96,9250 142,121 ,833 ,916
VAR00029 96,6125 149,886 ,496 ,921
VAR00030 96,6750 151,969 ,235 ,924
VAR00031 96,9375 143,983 ,834 ,917
VAR00032 97,0000 150,962 ,252 ,924
VAR00033 96,7875 143,815 ,716 ,918
VAR00034 96,6625 146,201 ,633 ,919
VAR00035 96,8625 143,715 ,753 ,917
VAR00036 96,6500 152,661 ,191 ,924
Scale Statistics
Mean Variance Std. Deviation N of Items
99,5625 156,857 12,52425 36
LAMPIRAN 4 : Reliabilitas dan validitas skala Bullying
Case Processing Summary
N %
Valid 80 100,0
Excludeda 0 ,0
Cases
Total 80 100,0
a. Listwise deletion based on all variables in the
procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items
,908 36
Item Statistics
Mean Std. Deviation N
VAR00001 1,9000 ,43864 80
VAR00002 1,8375 ,58339 80
VAR00003 1,6500 ,47998 80
VAR00004 2,1000 ,88016 80
VAR00005 1,6250 ,60326 80
VAR00006 1,8625 ,70699 80
VAR00007 1,6625 ,59414 80
VAR00008 2,2375 ,86043 80
VAR00009 2,1375 ,89646 80
VAR00010 2,5500 ,70979 80
VAR00011 1,7000 ,70081 80
VAR00012 1,9500 1,14627 80
VAR00013 2,1750 ,65168 80
VAR00014 2,0625 ,76875 80
VAR00015 2,5750 ,70755 80
VAR00016 1,8625 ,38133 80
VAR00017 1,9125 ,57794 80
VAR00018 2,0250 ,74587 80
VAR00019 1,7000 ,68251 80
VAR00020 2,0250 ,63595 80
VAR00021 1,7375 ,49667 80
VAR00022 2,1750 ,68943 80
VAR00023 1,9500 ,67317 80
VAR00024 2,1750 ,72522 80
VAR00025 2,0750 ,68943 80
VAR00026 1,8000 ,58244 80
VAR00027 1,9375 ,48636 80
VAR00028 1,9625 ,53825 80
VAR00029 1,9250 ,56870 80
VAR00030 2,3000 ,64435 80
VAR00031 1,8625 ,74194 80
VAR00032 2,1625 ,77040 80
VAR00033 2,3625 ,90349 80
VAR00034 2,1625 ,86337 80
VAR00035 2,3750 ,78555 80
VAR00036 2,3500 ,87294 80
Item-Total Statistics
Scale Mean if
Item Deleted
Scale Variance
if Item Deleted
Corrected Item-
Total
Correlation
Cronbach's
Alpha if Item
Deleted
VAR00001 70,9625 146,163 ,563 ,905
VAR00002 71,0250 144,253 ,552 ,904
VAR00003 71,2125 147,790 ,369 ,906
VAR00004 70,7625 138,892 ,610 ,903
VAR00005 71,2375 142,082 ,687 ,902
VAR00006 71,0000 147,570 ,248 ,908
VAR00007 71,2000 149,428 ,175 ,909
VAR00008 70,6250 143,250 ,405 ,906
VAR00009 70,7250 138,328 ,626 ,902
VAR00010 70,3125 143,711 ,476 ,905
VAR00011 71,1625 140,113 ,706 ,902
VAR00012 70,9125 135,499 ,581 ,903
VAR00013 70,6875 146,167 ,364 ,906
VAR00014 70,8000 140,795 ,599 ,903
VAR00015 70,2875 149,271 ,148 ,909
VAR00016 71,0000 147,443 ,511 ,905
VAR00017 70,9500 146,403 ,399 ,906
VAR00018 70,8375 146,062 ,316 ,907
VAR00019 71,1625 144,340 ,458 ,905
VAR00020 70,8375 146,796 ,332 ,907
VAR00021 71,1250 145,604 ,540 ,905
VAR00022 70,6875 146,395 ,327 ,907
VAR00023 70,9125 144,410 ,461 ,905
VAR00024 70,6875 141,104 ,621 ,903
VAR00025 70,7875 143,030 ,535 ,904
VAR00026 71,0625 148,135 ,271 ,907
VAR00027 70,9250 152,728 -,053 ,910
VAR00028 70,9000 146,648 ,413 ,906
VAR00029 70,9375 145,072 ,506 ,905
VAR00030 70,5625 147,869 ,258 ,908
VAR00031 71,0000 141,013 ,611 ,903
VAR00032 70,7000 139,757 ,657 ,902
VAR00033 70,5000 149,975 ,069 ,912
VAR00034 70,7000 138,922 ,622 ,902
VAR00035 70,4875 143,671 ,427 ,906
VAR00036 70,5125 138,177 ,652 ,902
Scale Statistics
Mean Variance Std. Deviation N of Items
72,8625 152,323 12,34191 36
LAMPIRAN 8 : Frekuensi
Statistics
80 80 800 0 0
ValidMissing
N
penalaran_moral
perilaku_bullying gender
penalaran_moral
1 1.3 1.3 1.33 3.8 3.8 5.01 1.3 1.3 6.31 1.3 1.3 7.51 1.3 1.3 8.83 3.8 3.8 12.51 1.3 1.3 13.82 2.5 2.5 16.33 3.8 3.8 20.03 3.8 3.8 23.85 6.3 6.3 30.05 6.3 6.3 36.36 7.5 7.5 43.83 3.8 3.8 47.51 1.3 1.3 48.82 2.5 2.5 51.34 5.0 5.0 56.32 2.5 2.5 58.88 10.0 10.0 68.82 2.5 2.5 71.36 7.5 7.5 78.84 5.0 5.0 83.83 3.8 3.8 87.51 1.3 1.3 88.81 1.3 1.3 90.01 1.3 1.3 91.32 2.5 2.5 93.81 1.3 1.3 95.02 2.5 2.5 97.51 1.3 1.3 98.81 1.3 1.3 100.0
80 100.0 100.0
47495152535458596061626364657071727374757778798085868788899091Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
perilaku_bullying
3 3.8 3.8 3.81 1.3 1.3 5.04 5.0 5.0 10.02 2.5 2.5 12.52 2.5 2.5 15.02 2.5 2.5 17.51 1.3 1.3 18.83 3.8 3.8 22.52 2.5 2.5 25.05 6.3 6.3 31.33 3.8 3.8 35.04 5.0 5.0 40.09 11.3 11.3 51.37 8.8 8.8 60.02 2.5 2.5 62.55 6.3 6.3 68.82 2.5 2.5 71.32 2.5 2.5 73.81 1.3 1.3 75.01 1.3 1.3 76.33 3.8 3.8 80.01 1.3 1.3 81.32 2.5 2.5 83.82 2.5 2.5 86.31 1.3 1.3 87.51 1.3 1.3 88.83 3.8 3.8 92.51 1.3 1.3 93.81 1.3 1.3 95.01 1.3 1.3 96.31 1.3 1.3 97.51 1.3 1.3 98.81 1.3 1.3 100.0
80 100.0 100.0
364142444647505152565758596062646667687172737476777980828384858689Total
ValidFrequency Percent Valid Percent
CumulativePercent
gender
Frequency Percent Valid Percent Cumulative
Percent laki-laki 41 51.3 51.3 51.3perempuan 39 48.8 48.8 100.0
Valid
Total 80 100.0 100.0
LAMPIRAN 9 : Normalitas
Explore [DataSet1] H:\Hasil penelitian.sav
Case Processing Summary
80 100.0% 0 .0% 80 100.0%Penalaran_MoraN Percent N Percent N Percent
Valid Missing TotalCases
Descriptives
69.08 1.21766.65
71.50
69.0771.00
118.52610.887
47914415
.030 .269-.638 .532
MeanLower BoundUpper Bound
95% ConfidenceInterval for Mean
5% Trimmed MeanMedianVarianceStd. DeviationMinimumMaximumRangeInterquartile RangeSkewnessKurtosis
Penalaran_MoraStatistic Std. Error
Tests of Normality
.121 80 .006 .969 80 .051Penalaran_MoralStatistic df Sig. Statistic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Lilliefors Significance Correctiona.
Penalaran_Moral
9080706050
Penalaran_Moral
12.5
10.0
7.5
5.0
2.5
0.0
Freq
uenc
y
Mean =69.08�Std. Dev. =10.887�
N =80
Histogram
Penalaran_Moral Stem-and-Leaf Plot Frequency Stem & Leaf 4.00 4 . 7999 9.00 5 . 123444899 25.00 6 . 0001112222233333444444555 32.00 7 . 01122223344444444557777778888999 8.00 8 . 05677899 2.00 9 . 01 Stem width: 10 Each leaf: 1 case(s)
Normal Q-Q Plot of Penalaran_Moral
-2.5
0.0
2.5Expected Normal
Observed Value
40 50 60 70 80 90 100
Detrended Normal Q-Q Plot of Penalaran_Moral
Observed Value
10090807060 50 40
0.2
0.1
0.0
-0.1
-0.2
-0.3
Dev from Normal
0.3
100
90
80
70
60
50
40
Penalaran_Moral
Explore [DataSet1] H:\Hasil penelitian.sav
Case Processing Summary
80 100.0% 0 .0% 80 100.0%Perilaku_BullyingN Percent N Percent N Percent
Valid Missing TotalCases
Descriptives
60.93 1.41558.11
63.74
60.8559.00
160.14612.655
36895317
.152 .269-.408 .532
MeanLower BoundUpper Bound
95% ConfidenceInterval for Mean
5% Trimmed MeanMedianVarianceStd. DeviationMinimumMaximumRangeInterquartile RangeSkewnessKurtosis
Perilaku_BullyingStatistic Std. Error
Tests of Normality
.129 80 .002 .972 80 .081Perilaku_BullyingStatistic df Sig. Statistic df Sig.
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Lilliefors Significance Correctiona.
Perilaku_Bullying
908070605040
Perilaku_Bullying
25
20
15
10
5
0
Freq
uenc
y
Mean =60.92�Std. Dev. =12.655�
N =80
Histogram
Perilaku_Bullying Stem-and-Leaf Plot Frequency Stem & Leaf 3.00 3 . 666 11.00 4 . 12222446677 27.00 5 . 011122666667778888999999999 19.00 6 . 0000000224444466778 12.00 7 . 122234466799 8.00 8 . 00234569 Stem width: 10 Each leaf: 1 case(s)
90807060504030
Observed Value
2
0
- 2
Expe
cted
Nor
mal
Normal Q- Q Plot of Perilaku_Bullying
90807060504030
Observed Value
0.25
0.00
- 0.25
Dev
from
Nor
mal
Detrended Normal Q- Q Plot of Perilaku_Bullying
Perilaku_Bullying
90
80
70
60
50
40
30
LAMPIRAN 11 : Korelasi
Correlations [DataSet1] H:\Hasil penelitian.sav
Correlations
1 -.298**.007
80 80-.298** 1.007
80 80
Pearson CorrelationSig. (2-tailed)NPearson CorrelationSig. (2-tailed)N
Penalaran_Moral
Perilaku_Bullying
Penalaran_Moral
Perilaku_Bullying
Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).**.
LAMPIRAN 10 : Homogenitas
Oneway [DataSet1] H:\Hasil penelitian.sav
Test of Homogeneity of Variances
Penalaran_Moral
1.503 3 76 .220Levene Statistic df1 df2 Sig.
ANOVA
Penalaran_Moral
186.547 3 62.182 .515 .6739177.003 76 120.7509363.550 79
Between GroupsWithin GroupsTotal
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Penalaran_Moral
-5.178 6.506 .856 -22.27 11.91-7.800 6.950 .677 -26.06 10.46-3.833 8.393 .968 -25.88 18.215.178 6.506 .856 -11.91 22.27
-2.622 3.183 .843 -10.98 5.741.345 5.681 .995 -13.58 16.277.800 6.950 .677 -10.46 26.062.622 3.183 .843 -5.74 10.983.967 6.184 .918 -12.28 20.213.833 8.393 .968 -18.21 25.88
-1.345 5.681 .995 -16.27 13.58-3.967 6.184 .918 -20.21 12.28-5.178 6.506 1.000 -22.80 12.45-7.800 6.950 1.000 -26.63 11.03-3.833 8.393 1.000 -26.57 18.905.178 6.506 1.000 -12.45 22.80
-2.622 3.183 1.000 -11.24 6.001.345 5.681 1.000 -14.04 16.737.800 6.950 1.000 -11.03 26.632.622 3.183 1.000 -6.00 11.243.967 6.184 1.000 -12.79 20.723.833 8.393 1.000 -18.90 26.57
-1.345 5.681 1.000 -16.73 14.04-3.967 6.184 1.000 -20.72 12.79
(J) Usia181920171920171820171819181920171920171820171819
(I) Usia17
18
19
20
17
18
19
20
Tukey HSD
Bonferroni
MeanDifference (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
Homogeneous Subsets
Penalaran_Moral
3 63.674 67.50
58 68.8415 71.47
.611
Usia17201819Sig.
Tukey HSDa,bN 1
Subset foralpha = .
05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.995.a.
The group sizes are unequal. The harmonic mean of thegroup sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
b.
Oneway [DataSet1] H:\Hasil penelitian.sav
Test of Homogeneity of Variances
Perilaku_Bullying
.775 3 76 .511Levene Statistic df1 df2 Sig.
ANOVA
Perilaku_Bullying
101.269 3 33.756 .204 .89312550.28 76 165.13512651.55 79
Between GroupsWithin GroupsTotal
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Perilaku_Bullying
-2.632 7.609 .986 -22.62 17.35-3.933 8.127 .962 -25.28 17.421.083 9.815 1.000 -24.70 26.862.632 7.609 .986 -17.35 22.62
-1.301 3.722 .985 -11.08 8.483.716 6.643 .944 -13.73 21.173.933 8.127 .962 -17.42 25.281.301 3.722 .985 -8.48 11.085.017 7.231 .899 -13.98 24.01
-1.083 9.815 1.000 -26.86 24.70-3.716 6.643 .944 -21.17 13.73-5.017 7.231 .899 -24.01 13.98-2.632 7.609 1.000 -23.24 17.98-3.933 8.127 1.000 -25.95 18.081.083 9.815 1.000 -25.51 27.672.632 7.609 1.000 -17.98 23.24
-1.301 3.722 1.000 -11.39 8.783.716 6.643 1.000 -14.28 21.713.933 8.127 1.000 -18.08 25.951.301 3.722 1.000 -8.78 11.395.017 7.231 1.000 -14.57 24.61
-1.083 9.815 1.000 -27.67 25.51-3.716 6.643 1.000 -21.71 14.28-5.017 7.231 1.000 -24.61 14.57
(J) Usia181920171920171820171819181920171920171820171819
(I) Usia17
18
19
20
17
18
19
20
Tukey HSD
Bonferroni
MeanDifference (I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
Homogeneous Subsets
Perilaku_Bullying
4 57.253 58.33
58 60.9715 62.27
.906
Usia20171819Sig.
Tukey HSDa,bN 1
Subset foralpha = .
05
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.995.a.
The group sizes are unequal. The harmonic mean of thegroup sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.
b.
LAMPIRAN 12 : Regresi
Regression [DataSet1] H:\Hasil penelitian.sav
Variables Entered/Removedb
Penalaran_Moral
a . Enter
Model1
VariablesEntered
VariablesRemoved Method
All requested variables entered.a.
Dependent Variable: Perilaku_Bullyingb.
Model Summary
.298a .089 .077 12.156Model1
R R SquareAdjusted R
SquareStd. Error ofthe Estimate
Predictors: (Constant), Penalaran_Morala.
ANOVAb
1125.651 1 1125.651 7.618 .007a
11525.90 78 147.76812651.55 79
RegressionResidualTotal
Model1
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
Predictors: (Constant), Penalaran_Morala.
Dependent Variable: Perilaku_Bullyingb.
Coefficientsa
84.875 8.783 9.663 .000-.347 .126 -.298 -2.760 .007
(Constant)Penalaran_Mora
Model1
B Std. Error
UnstandardizedCoefficients
Beta
StandardizedCoefficients
t Sig.
Dependent Variable: Perilaku_Bullyinga.
LAMPIRAN 13 : Uji beda
T-Test [DataSet1] H:\Hasil penelitian.sav
Group Statistics
41 69.95 10.247 1.60039 68.15 11.584 1.855
GenderLaki-lakiPerempuan
Penalaran_MoraN Mean Std. Deviation
Std. ErrorMean
Independent Samples Test
1.443 .233 .736 78 .464 1.797 2.442 -3.065 6.660
.734 75.752 .465 1.797 2.450 -3.082 6.677
Equal variances assumeEqual variances notassumed
Penalaran_MoraF Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% Confidence Intervalof the Difference
t-test for Equality of Means
T-Test [DataSet1] H:\Hasil penelitian.sav
Group Statistics
41 60.78 12.483 1.95039 61.08 12.995 2.081
GenderLaki-lakiPerempuan
Perilaku_BullyingN Mean Std. Deviation
Std. ErrorMean
Independent Samples Test
.590 .445 -.104 78 .917 -.296 2.848 -5.967 5.374
-.104 77.363 .917 -.296 2.851 -5.974 5.381
Equal variances assumedEqual variances notassumed
Perilaku_BullyingF Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
t-test for Equality of Means95% Confidence Interval
of the Difference
LAMPIRAN 14 : SKALA TRY OUT PENELITIAN
PENDAHULUAN
Assalamu’alaikum Wr. Wb Responden yang terhormat, Saya adalah mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang melaksanakan tugas skripsi mengenai remaja.
Dalam rangka mengumpulkan data, Saya memohon kesediaan Anda meluangkan waktu untuk menjawab kuesioner ini. Data ini sangat tergantung jawaban Anda yang sejujurnya dan sesuai dengan diri Anda. Bantuan Anda sangat berharga bagi penelitian yang sedang saya lakukan.
Atas segala bantuan dan kerjasama yang Anda berikan, saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya,
Peneliti
IDENTITAS RESPONDEN
Nama (inisial) : .....................
Usia : .....................
Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
Jakarta, Agustus 2010
( )
Data Diri Responden
1. Usia : ....... 2. Jenis Kelamin : L / P 3. Suku : ........ 4. Tingkat Pendidikan: ......... 5. Masa Kerja : .......
Berikut ini terdapat sejumlah pernyatan. Baca dan pahami dengan baik setiap pernyataan tersebut. Anda diminta untuk mengemukakan apakah pernyataan-pernyataan tersebut sesuai dengan diri Anda, dengan cara memberi tanda silang (X) dalam kotak di depan salah satu pilihan jawaban yang tersedia, yaitu
SS = Sangat Sesuai
S = Sesuai
TS = Tidak Sesuai
STS = Sangat Tidak Sesuai
Setiap orang dapat mempunyai jawaban yang berbeda dan tidak ada jawaban yang di anggap salah, karena itu pilihlah jawaban yang paling sesuai dengan diri Anda.
Contoh :
No Pernyataan STS TS S SS
1 Saya merasakan ketenangan setelah selesai shalat
X
***SELAMAT MENGERJAKAN***
Skala Try Out Perilaku Bullying
Pertimbangan No Pernyataan SS S TS STS
1 Saya akan mendorong adik kelas/teman yang tidak saya sukai, agar ia tidak mendekati saya.
2 Saya menendang adik kelas/teman karena kesal kepadanya
3 Saya akan memukul adik kelas/teman yang tidak saya sukai, agar tidak mengganggu saya dan kelompok geng saya
4 Saya merasa berani untuk menampar orang yang tidak saya sukai, ketika bersama teman-teman saya.
5 Saya merasa sangat puas jika bisa memukul/menendang musuh/teman yang tidak saya sukai di depan teman-teman saya.
6 Saya akan mengambil/merusak secara diam-diam barang milik teman saya yang mempunyai sifat pelit
7 Saya meminta dengan paksa ketika adik kelas/teman yang terlihat lemah, baru saja mendapat uang kiriman/oleh-oleh dari keluarganya.
8 Bagi saya, mengganggu adik kelas/ teman yang lebih lemah sama saja sebagai pengecut.
9 Bagi saya, tindakan memukul/menendang, dan menampar teman adalah tindakan diluar batas.
10 Mengancam orang yang tidak saya sukai dengan hal-hal yang membuatnya merasa takut, merupakan hal yang diluar batas.
11 Meski tidak mempunyai uang, saya tidak akan memaksa meminta uang kepada adik kelas/teman.
12 Bagi saya merusak/atau memeras barang milik orang lain merupakan tindakan kriminal
13 Saya memanggil nama teman/adik kelas saya dengan nama yang jelek
14 Saya mengejek teman-teman lain dengan ejekan yang menyangkut bentuk tubuh, seperti sebutan ‘gendut/cungkring’.
15 Saya tidak segan-segan untuk memaki teman/adik kelas jika perilakunya sangat menyebalkan
16 Saya langsung membentak jika adik kelas/teman ada yang menertawakan kesalahan saya
17 Saya menggertak adik kelas/teman yang tidak saya sukai jika memandang ke arah saya
18 Jika teman-teman mengolok-olok adik kelas/teman, saya ikut bergabung karena menyenangkan
19 Saya selalu memanggil nama teman saya dengan nama aslinya.
20 Saya mengabaikan untuk ikut bersorak ketika adik kelas/teman sedang di olok-olok/berkelahi dengan teman
21 Bagi saya, sangat tidak penting mengejek teman yang tidak kita sukai dengan kekurangan atau kelebihan dari bentuk badannya
(seperti sebutan: gendut/cungkring).
22 Jika ada teman yang menjadi bahan ejekan, maka saya akan mencoba untuk merangkulnya
23 Jika ada teman yang mengejek, maka saya cukup membalasnya dengan senyuman tipis.
24 Saya bersikap biasa kepada orang yang saya benci
25 Saya akan membuat gerakan ejekan sambil berkata ‘bencong’ pada teman yang tidak saya sukai.
26 Saya akan membuat bentuk muka yang sangat mengejek, sehingga teman yang tidak saya sukai menunduk dan pergi.
27 Saya mengabaikan teman yang saya anggap tidak penting/tidak untuk menjadi teman saya
28 Tanpa memperdulikan perasaan sahabat/teman sekamar saya, saya akan memilih teman baru yang menguntungkan bagi saya.
29 Saya akan mempengaruhi teman dari musuh saya untuk membuat persahabat mereka retak.
30 Saya akan memandang dengan sinis, jika teman yang tidak saya sukai lewat di depan saya.
31 Saya akan mencoba ramah pada orang yang tidak saya sukai/musuh saya sekalipun.
32 Jika teman yang tidak saya sukai datang menghampiri saya, maka saya akan memberikan senyuman manis padanya.
33 Suatu hal yang tidak pantas bagi saya untuk merusak persahabatan orang yang tidak saya sukai/musuh saya sekalipun
34 Saya rasa teman yang aneh (bencong) itu bukan untuk dikucilkan, tapi ditemani dan diarahkan
35 Menurut saya, rasa setia kawan antar teman tidak perlu jika hal tersebut hanya akan menyakiti orang lain
36 Saya akan memandang dengan ramah, teman yang tidak saya sukai lewat di depan saya.
Skala Try Out Penalaran Moral
Pertimbangan No Pernyataan SS S TS STS
1 Saya patuh pada peraturan Pondok Pesantren karena takut mendapat hukuman
2 Saya tidak menyukai segala bentuk hukuman yang diberikan oleh ustadz/pengurus pondok
3 Saya sangat takut untuk kabur dari pesantren karena hukuman yang di terapkan oleh pihak pondok pesantren sangat keras
4 Saya mengabaikan peraturan yang di terapkan oleh pengurus pondok pesantren
5 Bagi saya melanggar peraturan merupakan tantangan tersendiri yang sangat menyenangkan di lingkungan pesantren
6 Saya kabur dari asrama tanpa memperdulikan hukuman yang diterapkan jika saya ketahuan oleh pengurus pondok
7 Saat ustadz favorit saya sedang mengajar, saya selalu berusaha aktif di dalam kelas supaya dapat menarik perhatiannya dan dapat nilai bagus
8 Saya lebih memilih mendekati teman yang popular/berprestasi di pesantren, supaya saya bisa ikut di kenal/mudah mengerjakan tugas.
9 Saya sangat menginginkan menjadi pengurus OSIS supaya bisa mendapat kesempatan beasiswa/populer di lingkungan pesantren
10 Saat pelajaran berlangsung, saya lebih memilih diam karena takut di tunjuk oleh ustadz untuk mengerjakan soal di depan santri lain
11 Bagi saya, menjadi pengurus OSIS merupakan hal yang tidak penting karena hanya membuang-buang waktu saja.
12 Saya selalu merasa malu jika prestasi saya mendapat pujian/sanjungan dari teman-teman dan para ustadz
13 Ketika saya melakukan kesalahan pada santri lain, saya tidak sungkan terlebih dulu untuk meminta maaf
14 Saya sangat senang membuat teman saya merasa bahagia walau kadang saya sedang merasa sedih
15 Jika ada berita tidak baik tentang teman saya, sebisa mungkin saya menyimpannya sendiri
16 Saya merasa gengsi jika saya yang terlebih dahulu untuk meminta maaf kepada santri lain
17 Bagi saya, menceritakan gosip terbaru mengenai santri lain merupakan suatu hal yang menyenangkan di waktu luang
18 Ketika saya sedang sedih, saya merasa cuek dengan permasalahan teman-teman saya
19 Peraturan Pondok Pesantren merupakan hal yang penting
sebagai acuan dalam kenyamanan belajar mengajar
20 Bagi saya, mengerjakan piket kelas atau asrama suatu hal yang menyenangkan karena telah menjalankan peratuan yang ada
21 Saya akan menolak ajakan teman untuk menghisap rokok secara sembunyi-sembunyi
22 Kadang-kadang saya ingin melanggar peraturan sekolah yang menyebalkan
23 Bagi saya, mengerjakan piket kelas/asrama merupakan aktifitas paling menyebalkan
24 Saya suka mencuri waktu ketika sedang istirahat untuk dapat menghisap rokok
25 Sebisa mungkin saya menghindari pertengkaran dengan santri lain di pesantren
26 Saya berusaha untuk menepati janji kepada siapapun, walaupun saya sering di ingkari
27 Saya ikut mengantri saat mengambil makan di asrama, walaupun banyak yang menyerobot antrian
28 Saya sering terlibat pertengakaran dengan santri lain, hal itu merupakan hal yang biasa terjadi pesantren
29 Saya merupakan orang yang susah untuk menepati janji karena banyaknya kesibukan saya
30 Jika saya terburu-buru, saya suka menyerobot antrian makan
31 Jika saya kehabisan bekal, saya mengambil barang milik teman saya
32 Ketika saya tidak mendapat izin untuk pulang menjenguk orang tua saya yang sakit, Saya takut untuk nekat kabur dari pesantren
33 Saya semangat untuk masuk kelas, walau sedang malas/sakit.
34 Jika saya kehabisan bekal, maka saya puasa
35 Jika saya tidak di beri izin untuk pulang secara mendadak karena orang tua saya sakit, saya akan nekat untuk kabur dari pesantren
36 Ketika saya merasa malas masuk kelas, saya pura-pura sakit
LAMPIRAN 15 : SKALA PENELITIAN
PENDAHULUAN
Assalamu’alaikum Wr. Wb Responden yang terhormat, Saya adalah mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang sedang melaksanakan tugas skripsi mengenai remaja.
Dalam rangka mengumpulkan data, Saya memohon kesediaan Anda meluangkan waktu untuk menjawab kuesioner ini. Data ini sangat tergantung jawaban Anda yang sejujurnya dan sesuai dengan diri Anda. Bantuan Anda sangat berharga bagi penelitian yang sedang saya lakukan.
Atas segala bantuan dan kerjasama yang Anda berikan, saya ucapkan terima kasih.
Hormat saya,
Peneliti
IDENTITAS RESPONDEN
Nama (inisial) : .....................
Usia : .....................
Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
Jakarta, September 2010
( )
Data Diri Responden
1. Usia : ....... 2. Jenis Kelamin : L / P 3. Suku : ........ 4. Tingkat Pendidikan: ......... 5. Masa Kerja : .......
Berikut ini terdapat sejumlah pernyatan. Baca dan pahami dengan baik setiap pernyataan tersebut. Anda diminta untuk mengemukakan apakah pernyataan-pernyataan tersebut sesuai dengan diri Anda, dengan cara memberi tanda silang (X) dalam kotak di depan salah satu pilihan jawaban yang tersedia, yaitu
SS = Sangat Sesuai
S = Sesuai
TS = Tidak Sesuai
STS = Sangat Tidak Sesuai
Setiap orang dapat mempunyai jawaban yang berbeda dan tidak ada jawaban yang di anggap salah, karena itu pilihlah jawaban yang paling sesuai dengan diri Anda.
Contoh :
No Pernyataan STS TS S SS
1 Saya merasakan ketenangan setelah selesai shalat
X
***SELAMAT MENGERJAKAN***
Skala Perilaku Bullying
Pertimbangan No Pernyataan SS S TS STS
1 Saya akan mendorong adik kelas/teman yang tidak saya sukai, agar ia tidak mendekati saya.
2 Saya menendang adik kelas/teman karena kesal kepadanya
3 Saya akan memukul adik kelas/teman yang tidak saya sukai, agar tidak mengganggu saya dan kelompok geng saya
4 Saya merasa berani untuk menampar orang yang tidak saya sukai, ketika bersama teman-teman saya.
5 Saya merasa sangat puas jika bisa memukul/menendang musuh/teman yang tidak saya sukai di depan teman-teman saya.
6 Bagi saya, mengganggu adik kelas/ teman yang lebih lemah sama saja sebagai pengecut.
7 Bagi saya, tindakan memukul/menendang, dan menampar teman adalah tindakan diluar batas.
8 Mengancam orang yang tidak saya sukai dengan hal-hal yang membuatnya merasa takut, merupakan hal yang diluar batas.
9 Meski tidak mempunyai uang, saya tidak akan memaksa meminta uang kepada adik kelas/teman.
10 Bagi saya merusak/atau memeras barang milik orang lain merupakan tindakan kriminal
11 Saya memanggil nama teman/adik kelas saya dengan nama yang jelek
12 Saya mengejek teman-teman lain dengan ejekan yang menyangkut bentuk tubuh, seperti sebutan ‘gendut/cungkring’.
13 Saya langsung membentak jika adik kelas/teman ada yang menertawakan kesalahan saya
14 Saya menggertak adik kelas/teman yang tidak saya sukai jika memandang ke arah saya
15 Jika teman-teman mengolok-olok adik kelas/teman, saya ikut bergabung karena menyenangkan
16 Saya selalu memanggil nama teman saya dengan nama aslinya.
17 Saya mengabaikan untuk ikut bersorak ketika adik kelas/teman sedang di olok-olok/berkelahi dengan teman
18 Bagi saya, sangat tidak penting mengejek teman yang tidak kita sukai dengan kekurangan atau kelebihan dari bentuk badannya (seperti sebutan: gendut/cungkring).
19 Jika ada teman yang menjadi bahan ejekan, maka saya akan mencoba untuk merangkulnya
20 Jika ada teman yang mengejek, maka saya cukup membalasnya dengan senyuman tipis.
21 Saya bersikap biasa kepada orang yang saya benci
22 Saya akan membuat gerakan ejekan sambil berkata ‘bencong’ pada teman yang tidak saya sukai.
23 Tanpa memperdulikan perasaan sahabat/teman sekamar saya, saya akan memilih teman baru yang menguntungkan bagi saya.
24 Saya akan mempengaruhi teman dari musuh saya untuk membuat persahabat mereka retak.
25 Saya akan mencoba ramah pada orang yang tidak saya sukai/musuh saya sekalipun.
26 Jika teman yang tidak saya sukai datang menghampiri saya, maka saya akan memberikan senyuman manis padanya.
27 Saya rasa teman yang aneh (bencong) itu bukan untuk dikucilkan, tapi ditemani dan diarahkan
28 Menurut saya, rasa setia kawan antar teman tidak perlu jika hal tersebut hanya akan menyakiti orang lain
29 Saya akan memandang dengan ramah, teman yang tidak saya sukai lewat di depan saya.
Skala Penalaran Moral
Pertimbangan No Pernyataan SS S TS STS
1 Saya patuh pada peraturan Pondok Pesantren karena takut mendapat hukuman
2 Saya tidak menyukai segala bentuk hukuman yang diberikan oleh ustadz/pengurus pondok
3 Saya sangat takut untuk kabur dari pesantren karena hukuman yang di terapkan oleh pihak pondok pesantren sangat keras
4 Saya mengabaikan peraturan yang di terapkan oleh pengurus pondok pesantren
5 Saya kabur dari asrama tanpa memperdulikan hukuman yang diterapkan jika saya ketahuan oleh pengurus pondok
6 Saat ustadz favorit saya sedang mengajar, saya selalu berusaha aktif di dalam kelas supaya dapat menarik perhatiannya dan dapat nilai bagus
7 Saat pelajaran berlangsung, saya lebih memilih diam karena takut di tunjuk oleh ustadz untuk mengerjakan soal di depan santri lain
8 Bagi saya, menjadi pengurus OSIS merupakan hal yang tidak penting karena hanya membuang-buang waktu saja.
9 Saya selalu merasa malu jika prestasi saya mendapat pujian/sanjungan dari teman-teman dan para ustadz
10 Saya sangat senang membuat teman saya merasa bahagia walau kadang saya sedang merasa sedih
11 Jika ada berita tidak baik tentang teman saya, sebisa mungkin saya menyimpannya sendiri
12 Saya merasa gengsi jika saya yang terlebih dahulu untuk meminta maaf kepada santri lain
13 Bagi saya, menceritakan gosip terbaru mengenai santri lain merupakan suatu hal yang menyenangkan di waktu luang
14 Ketika saya sedang sedih, saya merasa cuek dengan permasalahan teman-teman saya
15 Saya akan menolak ajakan teman untuk menghisap rokok secara sembunyi-sembunyi
16 Kadang-kadang saya ingin melanggar peraturan sekolah yang menyebalkan
17 Bagi saya, mengerjakan piket kelas/asrama merupakan aktifitas paling menyebalkan
18 Saya suka mencuri waktu ketika sedang istirahat untuk dapat menghisap rokok
19 Saya ikut mengantri saat mengambil makan di asrama, walaupun banyak yang menyerobot antrian
20 Saya sering terlibat pertengakaran dengan santri lain, hal itu
merupakan hal yang biasa terjadi pesantren 21 Saya merupakan orang yang susah untuk menepati janji karena
banyaknya kesibukan saya
22 Jika saya kehabisan bekal, saya mengambil barang milik teman saya
23 Saya semangat untuk masuk kelas, walau sedang malas/sakit.
24 Jika saya kehabisan bekal, maka saya puasa
25 Jika saya tidak di beri izin untuk pulang secara mendadak karena orang tua saya sakit, saya akan nekat untuk kabur dari pesantren