fakultas psikologi universitas kristen satya...
TRANSCRIPT
HUBUNGAN KEBAHAGIAAN DENGAN BEBAN KERJA PADA
RELIGIUS PEREMPUAN
OLEH
BARBARA TRI TOSIYANI
80 2013 060
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
2
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang
bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Barbara Tri Tosiyani
Nim : 80 2013 060
Program Studi : Piskologi
Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana
Jenis Karya : Tugas Akhir
Demi mengembangkan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
UKSW hal bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive royality freeright) atas karya
ilmiah saya berjudul:
HUBUNGAN KEBAHAGIAAN DENGAN BEBAN KERJA PADA
RELIGIUS PEREMPUAN
Dengan hak bebas royality non-exclusive ini, UKSW berhak menyimpan mengalih
media/mengalih formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan
mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Salatiga
Pada Tanggal: 13 Desember 2016
Yang menyatakan,
Barbara Tri Tosiyani
Mengetahui,
Pembimbing Utama
Drs. Aloysius L. S. Soesilo, MA
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Barbara Tri Tosiyani
Nim : 802013060
Program Studi : Psikologi
Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana.
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul:
HUBUNGAN KEBAHAGIAAN DENGAN BEBAN KERJA PADA
RELIGIUS PEREMPUAN
Yang dibimbing oleh :
Drs. Aloysius L. S. Soesilo, MA
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Didalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau
gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk
rangkai kalimat atau gambar serta symbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya
sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis atau sumber aslinya.
Salatiga, 13 Desember 2016
Yang memberi pernyataan
Barbara Tri Tosiyani
LEMBAR PENGESAHAN
HUBUNGAN KEBAHAGIAAN DENGAN BEBAN KERJA PADA
RELIGIUS PEREMPUAN
Oleh
Barbara Tri Tosiyani
802013060
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Disetujui pada tanggal : 4 Januari 2017
Oleh:
Pembimbing Utama
Drs. Aloysius L. S. Soesilo, MA
Diketahui oleh, Disahkan oleh,
Kaprogdi Dekan
Dr. Christiana Hari Soetjiningsih, MS. Prof. Dr. Sutarto Wijono, MA
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
HUBUNGAN KEBAHAGIAAN DENGAN BEBAN KERJA PADA
RELIGIUS PEREMPUAN
Barbara Tri Tosiyani
Aloysius L. S. Soesilo
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
i
Abstrak
Kebahagiaan merupakan suatu kehidupan yang penuh makna baik bagi diri sendiri
maupun bagi orang lain. Hal ini mungkin terjadi saat manusia memiliki emosi yang
positif, mau terlibat dalam kehidupan disekitarnya, dan memiliki hidup yang bermakna.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat signifikansi hubungan antara kebahagiaan dengan
beban kerja pada religius perempuan. Metode penelitian menggunakan metode
kuantitatif dengan partisipan para religius perempuan di jawa tengah yang berjumlah
155 orang dengan teknik purposive sampling. Metode analisis data dalam penelitian ini
menggunakan analisis korelasi Pearson Product Moment. Dari hasil analisis data
diperoleh hasil koefisien korelasi r = 0,580 dengan signifikansi sebesar 0,001 (p < 0,05)
yang berarti terdapat hubungan positif yang signifikan antara kebahagiaan dengan beban
kerja pada religius perempuan.
Kata Kunci: Kebahagiaan, Beban Kerja, Religius perempuan
ii
Abstract
Happiness is a life that is meaningful both for one’s self and for others. This may occur
when people have positive emotions, get involved in his environment, and have a
meaningful life. This study aimed to examine the significance of the relationship on
happiness with the workload on women religious. The research method uses
quantitative methods, with the participation of religious women in Central Java which
amounted to 155 people with purposive sampling techniques. Methods of data analysis
in this study used Pearson Product Moment correlation analysis. From the analysis of
the data obtained by the correlation coefficient r = 0.580 with a significance of 0.001 (p
<0.05), which means there is a significant positive relationship between happiness with
the workload on women religious.
Keywords: Happiness, Workload, women Religious
1
PENDAHULUAN
Manusia memiliki kehendak untuk mencari kebahagiaan di dalam hidup.
Aristoteles (dalam Seligman, 2013) berpendapat bahwa seluruh tindakan manusia
adalah untuk mencapai kebahagiaan. Happiness atau kebahagiaan menurut Biswas,
Diener dan Dean (2007) merupakan kualitas dari keseluruhan hidup manusia, apa yang
membuat kehidupan menjadi baik secara keseluruhan seperti kesehatan yang lebih baik,
kreativitas yang tinggi ataupun pendapatan yang lebih tinggi. Seligman (2013)
menambahkan bahwa segala yang kita lakukan adalah untuk membuat kita bahagia.
Kebahagiaan dioperasionalkan atau didefinisikan oleh kepuasan hidup. Dengan
demikian, manusia cenderung memperjuangkan kebahagiaan demi mendapatkan
kepuasan hidup.
Kebahagiaan merupakan suatu kehidupan yang penuh makna baik bagi diri
sendiri maupun bagi orang lain. Hal ini mungkin terjadi saat manusia memiliki emosi
yang positif, mau terlibat dalam kehidupan di sekitarnya, dan memiliki hidup yang
bermakna. Seligman (2013) menjelaskan bahwa orang yang memiliki emosi positif,
keterlibatan dan makna yang tinggi di dalam hidup adalah orang yang paling bahagia.
Orang dalam keadaan ini memiliki kepuasan hidup yang paling tinggi. Carr (2004)
mengungkapkan bahwa orang yang berbahagia adalah orang yang dapat membuka diri,
optimis, memiliki harga diri yang tinggi serta memiliki kontrol diri yang baik. Ryff,
Keyes, dan Shmotkin (2002) lebih lanjut mengungkapkan bahwa psychological well-
being menunjukkan arti pemenuhan diri dari potensi manusia. Dalam hal ini individu
yang memiliki psychological well-being yang tinggi memiliki perasaan senang,
2
memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, merasa puas dengan kehidupan dan
sebagainya.
Keith (2009) menjelaskan bahwa kebahagiaan yang dalam adalah kebahagiaan
yang menyentuh roh dan berhubungan dengan jiwa. Kebahagiaan dapat diartikan
sebagai aktualisasai diri, pemenuhan diri atau memfokuskan diri. Para pemeluk agama
menyebutnya menemukan kehendak Tuhan dalam hidup mereka. Menemukan makna
kehidupan adalah kunci untuk memperoleh kebahagiaan yang dalam. Makna kehidupan
itu bisa menjadi milik individu, apapun yang terjadi. Individu dapat merasakan
kebahagiaan disaat mampu menemukan makna hidup sekalipun dalam saat yang sulit.
Untuk menemukan kebahagiaan, secara umum orang cenderung menggunakan
segala cara untuk mendapatkan hal-hal yang ingin dicapai. Kebahagiaan ini biasanya
direpresentasikan sebagai hal yang bersifat materil seperti rumah, mobil, uang dan
kebutuhan lainnya. Wilson (dalam Seligman, 2010) menyatakan bahwa orang-orang
yang bahagia adalah orang yang berpenghasilan besar, menikah, muda, sehat,
berpendidikan, dan religius. Maka pemenuhan kebutuhan secara materil menjadi hal
yang biasa dalam kehidupan sosial masyarakat. Seseorang akan berusaha dan bekerja
keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bekerja menjadi salah satu sarana untuk
memperoleh kebahagiaan, karena dengan bekerja orang dapat memperoleh uang dan
dapat mengaktualisasikan dirinya. Kebahagiaan yang diharapkan ini bisa dicapai lewat
faktor psikologis dan fisiologis. Abraham Maslow (dalam Feist & Feist, 2010)
mengungkapkan mengenai hierarki kebutuhan yang meliputi kebutuhan fisiologis
(physiological), keamanan (safety), cinta dan keberadaan (love and belongingness),
penghargaan (esteem), dan aktualisasi diri (self-actualization). Selain kebutuhan
fisiologis pemenuhan kebutuhan psikologis seperti rasa nyaman, aman dan diterima
3
oleh lingkungan sosial juga menjadi salah satu hal yang mendukung seseorang untuk
merasakan kebahagiaan. Religius perempuan memiliki pandangan yang berbeda
mengenai kebahagiaan. Perbedaan terletak pada usaha tidak mengejar hal-hal duniawi
seperti harta kekayaan dan popularitas melainkan pembaktian diri pada Tuhan dan
pelayanan penuh cinta kasih kepada sesama.
Manusia memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan hidup. Gereja Katolik
Roma memiliki paradigma tersendiri mengenai pilihan hidup. Pilihan hidup ini terbagi
menjadi dua bagian yaitu pilihan sebagai awam dan pilihan hidup khusus sebagai
religius (imam, biarawan dan biarawati). Yohanes Paulus (dalam Vita consecrata, 2006)
mengungkapkan karena dilahirkan kembali dalam Kristus, semua orang beriman
memiliki martabat yang sama, mereka semua dipanggil untuk kekudusan; semua
bekerjasama dalam membangun satu Tubuh Kristus masing-masing menurut panggilan
dan karunia yang diterimanya dari Roh. Jacobs (1987) menambahkan bahwa kekhasan
hidup membiara ialah mau menyatakan dengan sejelas-jelasnya bahwa hidup kristiani
secara hakiki bersifat panggilan. Panggilan hidup ini memiliki tugas dan misi yang
berbeda-beda tetapi tetap memiliki hubungan timbal balik sehingga saling melengkapi.
Yohanes Paulus (dalam Kitab Hukum Kanonik, 2006) mengatakan bahwa hidup
religius sebagai pembaktian seluruh pribadi, menampakkan di dalam Gereja pernikahan
yang mengagumkan yang diadakan oleh Allah, pertanda dari zaman yang akan datang.
Demikianlah hendaknya religius menyempurnakan penyerahan diri seutuhnya bagaikan
kurban yang dipersembahkan kepada Allah; dengan itu seluruh eksistensi dirinya
menjadi ibadat yang terus menerus kepada Allah dalam cintakasih. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa religius perempuan merupakan perempuan yang
mempersembahkan diri pada Allah dengan seluruh eksistensi dirinya menjadi ibadat
4
yang terus-menerus kepada Allah dalam cinta kasih. Religius perempuan dalam
kalangan masyarakat biasa dikenal sebagai biarawati atau suster.
Biarawati adalah perempuan yang memilih cara khusus dalam mengikuti
Kristus, guna membaktikan diri kepada Tuhan dengan berkomitmen pada tiga kaul atau
tri kaul. Aleksander (2007) menuturkan bahwa seorang biarawati adalah seorang
perempuan yang hidup di biara yang secara sukarela meninggalkan kehidupan duniawi
dan memfokuskan dirinya dan hidupnya untuk kehidupan agama di suatu tempat
ibadah. Seorang biarawati diikat oleh „tri suci‟ atau janji suci yang harus ia patuhi
seumur hidupnya. Hidup yang dibaktikan ini diteguhkan dengan semangat injil yaitu
penghayatan ketiga kaul yang meliputi kaul ketaatan, kemiskinan dan kemurnian.
Ridick (1989) kaul ketaatan mengacu pada panggilan bersama sebagai sesama anggota
gereja untuk melayani, siap siaga untuk menderita sebagai ungkapan untuk mau ikut
ambil bagian dalam penyerahan diri Kristus kepada Bapa. Kaul kemiskinan tidak hanya
merujuk pada sikap lepas bebas terhadap harta benda melainkan pengarahan taraf hidup,
suatu usaha untuk menjadi tidak terlekat pada satu tahap kehidupan saja agar dapat
bebas meraih dan memiliki keintiman yang total dan terpadu dengan Kristus. Kaul
kemurnian merupakan persembahan hidup total kepada Tuhan, di mana seksualitas
dipadukan dan disertakan secara terarah untuk menanggapi panggilan Tuhan, yaitu
hidup bakti untuk dan kepada Yesus sebagai nilai yang terutama dalam rencana hidup
dan tugas perutusan. Realisasi ketiga kaul ini diwujudkan dalam semangat Ordo lewat
bidang kerasulan yang berupa pelayanan kesehatan, pendidikan, sosial dan bidang karya
lainnya.
Biarawati memiliki dorongan untuk mencari dan merasakan kebahagiaan. Bagi
para biarawati kebahagiaan ini mengacu pada kebahagiaan eskatologis atau kebahagiaan
5
kekal. Jacobs (1987) mengungkapkan arti hidup eskatologis yaitu orang tidak lagi
mengakui tujuan hidup di dunia ini, tetapi semata-mata hidup dari harapan akan hidup
di akhirat. Kebahagiaan dicapai melalui pembaktian hidup pada Tuhan dan pelayanan
pada sesama. Kebahagiaan di dunia bukan semata-mata kepenuhan akan kebutuhan
materil melainkan keterlibatan untuk peduli pada orang-orang disekitarnya. Delapan
sabda Bahagia (dalam Injil Matius 5: 1-12) merujuk pada sikap untuk mengandalkan
dan menggantungkan seluruh hidup hanya pada Allah dan peduli pada sesama.
Kebahagiaan akan sangat dirasakan saat religius mampu menjalin relasi dengan Tuhan
dan mampu melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan. Kebahagiaan itu dapat
dirasakan saat mampu melayani dan berbagi kasih pada orang lain atau sesama. Seorang
biarawati harus mampu bertanggung jawab pada tugas panggilan dan perutusan yang
dipercayakan yang meliputi bidang kesehatan, pendidikan, sosial, pastoral dan bidang
karya lannya seperti asrama dan rumah retret. Dalam pelaksanaan tugas perutusan itu
biarawati bekerja sama dengan orang lain. Biarawati dapat menemukan kebahagiaan
lewat pelayanan, persahabatan, relasi dan dukungan sosial yang baik dari lingkungan
sosialnya, rekan kerja dan dari saudara-saudari sepanggilan baik di dalam maupun di
luar komunitas.
Berdasarkan pengamatan dan melalui ungkapan beberapa biarawati dalam
melaksanakan tugas perutusan mereka mengalami kebingungan, dan merasakan
munculnya emosi-emosi negatif yang dirasakan terutama saat menjalankan tugas yang
tidak sesuai dengan kemampuan. Beberapa biarawati yang sudah memiliki pengalaman
bekerja sebelum menjadi biarawati juga mengalami kesulitan dalam melaksanakan
tugas. Kesulitan itu muncul karena tugas yang dipercayakan berbeda dengan pekerjaan
yang biasa dilakukan. Dalam situasi ini para biarawati berusaha menyesuaikan diri
6
dengan rekan kerja dan lingkungan baru. Keadaan ini mendorong mereka untuk belajar
memahami dan mengenali rekan-rekan kerja yang dipercayakan. Beberapa biarawati
juga memiliki tugas rangkap. Dalam proses melaksanakan tugas mereka menyatakan
bahwa merasakan kelelahan emosional dan kelelahan fisik saat harus membagi
konsentrasi dan waktu untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan. Fenomena
yang dialami para suster ini merujuk pada terganggunya emosi-emosi positif seperti
kebahagiaan.
Konsep mengenai kebahagiaan secara teoritis berasal dari teori dalam psikologi
positif. Teori kebahagiaan ini menekankan potensi individu akan emosi positif masa
lalu berkaitan dengan kepuasan, kelegaan, kesuksesan, kebanggaan dan kedamaian.
Emosi positif masa sekarang berkaitan dengan kegembiraan, ekstase, keriangan dan rasa
senang. Emosi positif pada masa depan mencakup optimisme, harapan, keyakinan, dan
kepercayaan (Seligman, 2010). Seligman (2013) menjelaskan kembali mengenai teori
kebahagiaan yang mencakup tiga unsur yaitu: emosi positif, keterlibatan dan makna.
Emosi positif mencakup tentang apa yang dirasa, keterlibatan berkaitan dengan hidup
yang mengalir dan makna berkaitan dengan hidup yang menjadi bagian dari dan
melayani sesuatu yang lebih besar.
Rosetti (2011) mengungkapkan bahwa kebahagiaan para imam terletak pada
kehidupan rohani yaitu kedalaman relasi dengan Tuhan dan sesama yang diwujudkan
dalam tugas pelayanan dan perutusan. Dalam studi mengenai kesehatan psikologi dan
spiritual para imam, ia mengungkapkan beberapa faktor yang berkontribusi terhadap
kebahagiaan yaitu a) relasi dengan Allah; b) kedamaian batin; c) devosi kepada Maria;
d) pandangan terhadap selibat; e) dukungan antar religius; f) dukungan keluarga;
7
g) masa kecil kurang bahagia; h) kesepian dan rasa tidak dihargai; i) problem
emosional; j) narcissistic traits; dan k) konflik seksual.
Penelitian yang dilakukan oleh Rosetti (2011) berkaitan dengan kebahagiaan
para Imam di Amerika Serikat menunjukkan hasil bahwa para Imam merasakan
kebahagiaan dan mengalami kepenuhan dalam hidup panggilannya. Yamrewav (2016)
juga melakukan penelitian yang sama dalam konteks di Indonesia mengenai
kebahagiaan imam dan menunjukkan hasil bahwa para Imam merasakan kebahagiaan.
Penelitian yang dilakukan Hanggoro (2015) mengenai Subjective Well-being pada
biarawati di Jogjakarta menunjukkan bahwa biarawati mengalami kepuasan hidup
terhadap hidupnya yang sekarang dan cenderung banyak mengalami perasan
menyenangkan dalam hidupnya (positive affect) dan sedikit mengalami perasaan yang
tidak menyenangkan (negative affect) dalam hidup membiara. Desy (2015) juga
melakukan penelitian pada Biarawati di Kalimantan Timur mengenai kebermaknaan
hidup. Penelitian ini menunjukkan hasil yang sama bahwa biarawati dapat menemukan
makna dalam hidupnya. Dari keempat penelitian ini dapat dilihat bahwa kaum religius
merasakan kebahagiaan dan kebermaknaan hidup. Dalam penelitian di atas khususnya
di Indonesia belum melibatkan faktor pekerjaan atau beban kerja. Maka, peneliti tertarik
untuk melihat hubungan kebahagiaan dengan beban pekerjaan para religius perempuan
atau biarawati.
Konsep mengenai Beban kerja menurut Munandar (2001) adalah kombinasi
beban kerja kuantitatif dan kualitatif. Beban kerja secara kuantitatif yaitu timbul karena
tugas-tugas terlalu banyak atau sedikit, sedangkan beban kerja kualitatif jika pekerja
merasa tidak mampu melakukan tugas atau tidak menggunakan keterampilan atau
potensi dari pekerja. Manuaba (dalam Tarwaka, 2000) mengungkapkan pula bahwa
8
hubungan antara beban kerja dan kapasitas kerja dipengaruhi oleh faktor eksternal
maupun faktor internal. Faktor eksternal berkaitan dengan beban kerja yang berasal dari
luar tubuh pekerja. Faktor internal berkaitan dengan faktor yang berasal dari dalam
tubuh itu sendiri sebagai akibat adanya reaksi dari beban kerja eksternal. Kedua faktor
ini saling terkait dan dapat mempengaruhi keadaan seseorang dalam melaksanakan
pekerjaanya. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa beban kerja merupakan
sutu pekerjaan yang diberikan kepada seseorang dan harus dipertanggungjawabkan.
Dalam studinya Rosetti (2011) menggunakan dan memodifikasi Maslach
Burnout Inventory Manual, dan disesuaikan dengan konteks para imam. Rosetti
mengungkapkan adanya empat variabel dalam skala beban pekerjaan, yang meliputi a)
kepuasan atas pilihan hidup; b) pencapaian pribadi; dan c) depersonalisasi; d) kelelahan
emosional. Beban kerja menjadi salah satu bagian dalam kehidupan biarawati. Setiap
biarawati pasti memiliki tugas perutusan yang harus dipertanggung jawabkan pada
kongregasi. Persoalan akan muncul disaat biarawati harus melaksanakan tugas tanpa
memiliki kemampuan yang sesuai. Biarawati juga harus siap ditugaskan dimanapun dan
kapanpun sesuai dengan kebutuhan kongregasi. Walaupun sulit dan berat para biarawati
akan tetap melaksanakan tugasnya karena menyadari akan kaul yang telah diikrarkan.
Kaul inilah yang mendorong para biarawati untuk setia dengan tugas perutusan yang
dipercayakan.
Untuk mencapai kebahagiaan ada beberapa hambatan seperti munculnya krisis
dan kesulitan yang dihadapi para biarawati berkaitan dengan tugas pelayanan,
kurangnya dukungan sosial, kesenjangan antara kemampuan dan tuntutan tugas dan
beban kerja yang diemban atau tugas yang dipercayakan. Beban pekerjaan ini akan
menguras tenaga dan konsentrasi sehingga bagi para suster sangat diperlukan
9
kemampuan untuk membagi waktu antara berdoa, hidup berkomunitas dan bekerja.
Pada saat ketiga hal ini tidak dapat terlaksana dengan baik maka akan menjadi sebuah
tekanan yang berdampak pada krisis hidup membiara. Pada saat krisis inilah seseorang
dapat meninggalkan kongregasi atau keluar dari hidup membiara.
Berdasarkan dari latar belakang diatas, peneliti mencoba merumuskan fokus
penulisan yakni: adakah hubungan yang signifikan antara kebahagiaan dengan beban
kerja pada religius perempuan? Penelitian ini bertujuan untuk melihat signifikansi
hubungan antara kebahagiaan dengan beban kerja pada religius perempuan.
Hipotesis dari penelitian ini adalah:
H0: Tidak ada hubungan positif dan signifikan antara kebahagiaan dengan beban kerja
pada religius perempuan.
H1: Ada hubungan positif dan signifikan antara kebahagiaan dengan beban kerja pada
religius perempuan.
METODE PENELITIAN
a. Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah para religius perempuan yang berada di
Keuskupan Agung Semarang (KAS). Jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 190
biarawati dengan karakteristik bertugas di Keuskupan Agung Semarang, aktif dalam
tugas pelayanan atau karya dan berada dalam tahapan yunior, medior balita, medior
muda, medior madya dan senior. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam
10
penelitian ini adalah Purposive Sampling dengan 26 religius perempuan yang tidak
diikutsertakan karena tidak memenuhi kriteria dari karakteristik tersebut.
Pengisian angket dilakukan dengan cara peneliti datang langsung kekomunitas-
komunitas para religius perempuan di wilayah Keuskupan Agung Semarang.
b. Instrumen pengambilan data
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Tingkat
Kebahagiaan dan Beban Pekerjaan yang disusun oleh Mgr. Stephen Rosetti (2011).
Kedua skala tersebut kemudian dimodifikasi serta disesuaikan dengan konteks di
Indonesia oleh Yamrewav (2016). Pada skala tingkat kebahagiaan diperoleh Alpha
Cronbach sebesar 0,767. Skala tingkat kebahagiaan merupakan Skala Likert dengan
lima alternatif jawaban dari “Sangat Tidak Setuju” hingga “Sangat Setuju”. Skala ini
mempunyai 59 item pernyataan dan terdiri dari 11 faktor yang meliputi: relasi dengan
Allah, kedamaian batin, devosi kepada Maria, pandangan terhadap selibat, dukungan
antar religius, dukungan keluarga, masa kecil kurang bahagia, kesepian dan rasa tidak
dihargai, problem emosional, narcissistic traits, dan konflik seksual.
Pada Skala beban pekerjaan yang dimodifikasi oleh Yamrewav (2016) diperoleh
Alpha Cronbach sebesar 0,817. Skala beban pekerjaan merupakan Skala Likert dengan
lima alternatif jawaban dari “Tidak Pernah” hingga “Selalu”. Dalam skala ini terdapat
22 item pernyataan dan terdiri dari 4 faktor yang meliputi: kepuasan atas pilihan hidup,
pencapaian pribadi, depersonalisasi dan kelelahan emosional. Dalam keperluan ini
peneliti menyesuaikan kedua instrumen untuk konteks biarawati. Kedua instrument
akan diuji coba sebelum digunakan oleh peneliti.
11
Penyebaran skala dilakukan pada tanggal 25 Juli sampai 14 Agustus 2016.
Peneliti menyebar 190 skala, namun hanya 155 skala yang dapat diolah karena
mendapat kendala seperti beberapa angket tidak dikembalikan oleh subyek, pengisian
identitas kurang lengkap dan beberapa item pernyataan yang tidak terisi. Data yang
diperoleh kemudian diolah dengan menggunakan bantuan komputer SPSS.
HASIL
Data Demografis
Tabel 1. Usia
Usia para biarawati saat ini adalah 22-89 tahun, dengan rataan usia 51,85 tahun
dan usia pada saat masuk biara 18-32, dengan rataan 22,43 tahun. Tabel ini
menunjukkan bahwa dalam situasi jaman saat ini yang marak dengan perilaku
konsumtif dan hedonisme mengakibatkan sedikitnya jumlah calon-calon yang masuk
dan sedikit pula yang bertahan.
12
Tabel 2. Level Formasi
Tahapan dalam kehidupan membiara meliputi: yunior, medior balita, medior
muda, medior madya dan senior. Tahap yunior merupakan tahap setelah menyelesaikan
masa novisiat (pendidikan para biarawati) dan pada masa kaul sementara; tahap medior
balita merupakan tahap setelah menyelesaikan masa yunior yaitu usia kaul kekal 0-5
tahun. Tahap medior muda yaitu kaul kekal tahun keenam sampai dengan usia 45 tahun.
Tahap medior madya yaitu kaul kekal usia 46 sampai 60 tahun, dan tahap senior kaul
kekal usia 61-75 tahun atau lebih. Para biarawati yang berada pada tahap medior hingga
senior sudah mengikrarkan kaul kekal yang merupakan tahapan puncak dalam
kehidupan membiara.
Tabel frekuensi level formasi menunjukkan bahwa para biarawati memiliki lebih
banyak anggota senior dan medior madya. Bahkan apabila anggota yunior, medior
balita, dan medior muda digabung, tetap lebih sedikit dibanding medior madya dan
senior.
13
Tabel 3. Pendidikan
Tabel frekuensi pendidikan menunjukkan bahwa cukup banyak biarawati yang
berada pada tingkat pendidikan SMA dan Strata satu. Tingkat pendidikan strata satu dan
strata dua lebih banyak pada biarawati yang berada pada level formasi medior muda,
medior madya dan senior. Sementara itu untuk kategori SMA tersebar merata pada
seluruh level formasi.
Tabel 4. Ekaristi Harian
Tabel frekuensi Ekaristi harian menunjukkan bahwa hampir semua biarawati
merayakan Ekaristi setiap hari. Ekaristi menjadi sumber dan puncak iman Kristiani.
Para biarawati merayakan perayaan Ekaristi setiap hari untuk menjalin relasi dan
menimba kekuatan dari Tuhan agar dapat menjalankan tugas perutusan yang
dipercayakan. Sebagian para biarawati yang tidak melaksanakan Ekaristi harian
terkendala dengan keterbatasan fisik seperti sakit dan juga adanya keterbatasan
pelayanan Ekaristi ditempat bertugas.
14
Tabel 6. Doa Pribadi
Tabel ini menunjukkan bahwa secara umum para biarawati memperhatikan
kehidupan rohani yaitu hidup doa yang dilaksanakan dalam waktu yang bervariasi. Doa
menjadi kesempatan untuk menjalin relasi secara intens dengan Tuhan. Sebagian besar
para biarawati menggunakan waktu untuk doa pribadi dengan rentang 16-60 menit.
Rentang waktu yang digunakan ini tidak termasuk waktu yang digunakan untuk doa
bersama.
Uji Validitas dan Uji Realibilitas
Uji Validitas dihitung dengan korelasi Product Moment. Hasil yang diperoleh
dari satu kali perhitungan dan pengujian data pada skala Kebahagiaan yang terdiri dari
59 item, 18 item gugur dan tersisa 41 item valid. Perhitungan dan pengujian data pada
skala Beban Pekerjaan yang terdiri dari 22 item, 6 item gugur dan tersisa 16 item valid.
Penentuan item-item yang valid menggunakan ketentuan Azwar (2015), yaitu dikatakan
valid bila korelasi tiap faktor bernilai positif dan sebesar 0,30; namun bila jumlah item
belum mencukupi batas kriteria dapat diturunkan dari 0,30 menjadi 0,25. Peneliti dalam
hal ini menggunakan batas kriteria 0,25. Koefisien korelasi item total pada skala
15
Kebahagiaan bergerak antara 0,260 sampai 0,573 dan pada skala Beban Pekerjaan
korelasi item total bergerak antara 0,260 sampai 0,495.
Pengujian reliabilitas data dalam penelitian ini menggunakan koefisien Alpha-
Chronbach. Koefisien alpha pada skala Kebahagiaan sebesar 0,912 dan pada skala
Beban Pekerjaan sebesar 0,771. Hasil ini menunjukkan bahwa skala Kebahagiaan
reliabel karena interval koefisiennya berada pada tingkat yang sangat kuat yaitu antara
0.80-1.000. Pada skala Beban Pekerjaan juga reliabel karena interval koefisiennya
berada pada tingkat yang kuat yaitu antara 0,60-0,799 (Sugiyono, 2011).
Hasil Analisis Deskriptif
Hasil perhitungan nilai rata-rata, maksimal, minimal dan standar deviasi skala
Kebahagiaan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 8
Kategori Kebahagiaan
No Interval Kategori F % Mean SD
1 172,2 ≤ × ≤ 205 Sangat Tinggi 74 47,74 %
169, 6
14,312 2 139,4 ≤ × < 172,2 Tinggi 78 50,32 %
3 106,6 ≤ × < 139,4 Sedang 3 1,93 %
4 73,8 ≤ × < 106,6 Rendah 0 0 %
5 41 ≤ × < 73,8 Sangat Rendah 0 0 %
Jumlah 155 100 %
Max = 202 Min = 127
16
Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa skor Kebahagiaan para biarawati berada pada
kategori tinggi dengan Mean 169,64. Dengan demikian secara umum para biarawati
merasakan kebahagiaan dalam hidup panggilannya. Dari 155 biarawati yang terlibat
sebagai partisipan terdapat 74 biarawati yang memiliki kebahagiaan yang sangat tinggi,
78 biarawati dalam kategori tinggi dan 3 biarawati berada pada kategori sedang. Skor
yang diperoleh partisipan bergerak dari skor minimum sebesar 127 sampai dengan skor
maksimum sebesar 202 dengan dan Standar Deviasi 14,312.
Tabel 9
Kategori Beban Pekerjaan
No Interval Kategori F % Mean SD
1 67,2 ≤ × ≤ 80 Sangat Tinggi 71 45,80 %
65,77
5,982 2 54,4 ≤ × < 67,2 Tinggi 81 52,26 %
3 41,6 ≤ × < 54,4 Sedang 3 1,93 %
4 28,8 ≤ × < 41,6 Rendah 0 0 %
5 16 ≤ × < 28,8 Sangat Rendah 0 0 %
Jumlah 155 100 %
Max = 79 Min = 49
Dari tabel 9 dapat dilihat bahwa skor Beban Pekerjaan para biarawati berada
pada kategori tinggi dengan Mean 65,77. Secara umun para biarawati memilki Beban
pekerjaan yang tinggi. Dari 155 partisipan dalam penelitian ini terdapat 71 biarawati
memiliki beban pekerjaan yang berada pada kategori sangat tinggi, 81 biarawati berada
pada kategori tinggi dan 3 biarawati berasa pada kategori sedang. Skor yang diperoleh
17
partisipan bergerak dari skor minimum sebesar 49 sampai dengan skor maksimum
sebesar 79 dengan Standar Deviasi 5,982.
Hasil kedua tabel diatas menunjukkan bahwa secara umum tingkat kebahagiaan
dan tingkat beban pekerjaan para biarawati berada pada kategori tinggi.
Uji Asumsi
Uji asumsi yang dilakukan adalah uji normalitas dan uji linearitas. Uji
normalitas dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 10. Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Kebahagiaan Pekerjaan
N 155 155
Normal Parametersa Mean 169.64 65.77
Std. Deviation 14.312 5.982
Most Extreme
Differences
Absolute .046 .070
Positive .024 .039
Negative -.046 -.070
Kolmogorov-Smirnov Z .573 .870
Asymp. Sig. (2-tailed) .898 .435
a. Test distribution is Normal.
Pada tabel 10 dapat dilihat nilai K-S-Z Kebahagiaan sebesar 0,573 dengan
probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0, 898 (p>0,05). Nilai K-S-Z Beban Pekerjaan
sebesar 0,870 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,435 (p>0,05). Hasil ini
menunjukkan bahwa data Kebahagiaan dan Beban Pekerjaan berdistribusi normal.
18
Hasil uji linearitas dapat dilihat pada tabel 11 di bawah ini:
Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara
variabel bebas dengan variabel terikat. Uji linearitas antara Kebahagiaan dengan Beban
Pekerjaan diperoleh F sebesar 0,857 dengan nilai probabilitas sebesar 0,732 atau p>
0,05. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel Kebahagiaan mempunyai
korelasi yang linear dengan variabel Beban Pekerjaan.
Tabel 11. Uji Linearitas
ANOVA Table
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
Pekerjaan *
Kebahagiaan
Between
Groups
(Combined) 3040.471 56 54.294 2.154 .000
Linearity 1852.058 1 1852.058 73.464 .000
Deviation from
Linearity 1188.413 55 21.608 .857 .732
Within Groups 2470.626 98 25.210
Total 5511.097 154
19
Korelasi Kebahagiaan dan Beban Pekerjaan
Tabel 12. Uji Korelasi
Pada Tabel 12 di atas dapat dilihat bahwa Pearson correlation (r) antara variabel
Kebahagiaan dengan Beban Pekerjaan sebesar 0,580 dengan signifikan antara keduanya
adalah 0,001 (p < 0,05). Hubungan korelasi antara Kebahagiaan dengan Beban
Pekerjaan berada pada kategori kuat yaitu antara 0,50-0,69 (De Vaus, 2002). Tanda
positif menunjukkan bahwa korelasi yang terjadi antara Kebahagiaan dan Beban
Pekerjaan adalah hubungan yang berbanding lurus artinya semakin tinggi Kebahagiaan
maka semakin tinggi pula Beban Pekerjaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
korelasi antara kedua variabel adalah kuat, signifikan dan searah.
Correlations
Kebahagiaan Pekerjaan
Kebahagiaan Pearson
Correlation 1 .580
**
Sig. (1-tailed) .000
N 155 155
Pekerjaan Pearson
Correlation .580
** 1
Sig. (1-tailed) .000
N 155 155
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
20
Tabel 13. Korelasi kebahagiaan dengan faktor kebahagiaan
Faktor Kebahagiaan Pearson Correlation Sig. (1-tailed)
Relasi dengan Allah ,628** ,000
Pandangan terhadap selibat ,550** ,000
Dukungan keluarga ,543** ,000
Devosi kepada Maria ,375** ,000
Kedamaian batin ,369** ,000
Dukungan antar religius ,298** ,000
Masa kecil kurang bahagia -,296** ,000
Problem emosional -,278** ,000
Konflik seksual -,248** ,001
Kesepian dan rasa tidak dihargai -,237** ,001
Narcissistic traits -,175* ,015
Dari tabel di atas diketahui bahwa faktor relasi dengan Allah dan faktor
pandangan terhadap selibat berkorelasi paling kuat. Beberapa faktor yang berkorelasi
positif terhadap kebahagiaan para religius perempuan meliputi faktor relasi dengan
Allah, pandangan terhadap selibat, dukungan keluarga, devosi kepada Maria, kedamaian
batin dan dukungan antar religius. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi faktor-
faktor tersebut maka para religius perempuan semakin merasakan kebahagiaan. Faktor-
faktor yang berkorelasi negatif terhadap kebahagiaan meliputi faktor masa kecil kurang
bahagia, problem emosional, konflik seksual, kesepian dan rasa tidak dihargai, serta
narcissistic traits. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin rendah faktor-faktor tersebut
maka para religius perempuan akan semakin merasakan kebahagiaan.
21
Tabel 14. Korelasi Beban kerja dengan faktor beban kerja
Faktor beban kerja Pearson Correlation Sig. (1-tailed)
Kepuasan atas pilihan hidup ,626** ,000
Pencapaian pribadi ,359** ,000
Depersonalisasi -,213** ,004
Kelelahan emosional -,141* ,040
Pada tabel di atas menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berkorelasi secara
positif terhadap beban kerja adalah faktor kepuasan atas pilihan hidup dan pencapaian
pribadi. Sementara itu, faktor-faktor yang berkorelasi negatif terhadap beban kerja
meliputi faktor depersonalisasi dan faktor kelelahan emosional.
Korelasi Kebahagiaan dengan Faktor Beban Pekerjaan
Tabel 15. Korelasi kebahagiaan dengan faktor-faktor beban kerja
Faktor beban kerja Pearson Correlation Sig. (1-tailed)
Kepuasan atas pilihan hidup ,171* ,016
Pencapaian pribadi ,140* ,041
Kelelahan emosional -,182* ,012
Depersonalisasi -,141* ,040
Pada tabel 15 di atas dapat dilihat bahwa Pearson correlation (r) antara
kebahagiaan dengan faktor kepuasan atas pilihan hidup dan pencapaian pribadi sebesar
0,171 dan 0,140 dengan signifikan antara keduanya adalah 0,016 dan 0,041 (p < 0,05).
Tanda positif menunjukkan bahwa korelasi yang terjadi antara kebahagiaan dengan
22
faktor kepuasan atas pilihan hidup dan pencapaian pribadi berbanding lurus, artinya
semakin tinggi kebahagiaan semakin tinggi pula faktor kepuasan atas pilihan hidup dan
pencapaian pribadi.
Pearson correlation (r) antara kebahagiaan dengan faktor kelelahan emosional
dan faktor depersonalisasi sebesar -0,182 dan -0,141 dengan signifikan antara keduanya
adalah 0,012 dan 0,040 (p < 0,05). Tanda negatif menunjukkan bahwa korelasi yang
terjadi antara kebahagiaan dengan faktor kelelahan emosional dan faktor depersonalisasi
bebanding terbalik, artinya semakin tinggi kebahagiaan maka semakin rendah faktor
kelelahan emosional dan faktor depersonalisasi.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai Hubungan Kebahagiaan dengan Beban
Kerja pada Biarawati diperoleh hasil perhitungan koefisien korelasi (r) sebesar 0,580
dengan signifikansi sebesar 0,001 (p < 0,05). Dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
positif dan signifikan antara Kebahagiaan dengan Beban Kerja pada Religius
Perempuan, artinya semakin tinggi kebahagiaan para religius perempuan, maka semakin
tinggi pula beban kerja para religius perempuan. Sebaliknya semakin rendah
kebahagiaan, maka semakin rendah pula beban kerja para religius perempuan.
Hasil penelitian ini mendukung riset yang pernah dilakukan oleh Guzman,
Largo, Mandap & Munoz (2014) bahwa kebahagiaan memiliki dampak pada kepuasan
kerja. Bakker dan Oerlemans (2016) dalam penelitiannya juga menuliskan bahwa
terdapat hubungan antara Kebahagiaan dengan Pekerjaan, yaitu orang dengan tingkat
keterlibatan kerja yang tinggi dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari dan tetap bahagia.
Hubungan antara kebahagiaan dengan pekerjaan sejalan dengan pendapat Seligman
23
(2013), bahwa kebahagiaan mencakup tiga unsur yang meliputi: emosi positif,
keterlibatan dan makna. Emosi positif mencakup tentang apa yang dirasa, keterlibatan
berkaitan dengan hidup yang mengalir dan makna berkaitan dengan hidup yang menjadi
bagian dari dan melayani sesuatu yang lebih besar. Emosi positif, keterlibatan dan
tingkat pemaknaan hidup yang tinggi mampu memberikan pengaruh dan berhubungan
dengan kebahagiaan.
Dari penelitian yang dilakukan Jale (2015) tentang hubungan antara kebahagiaan
subjektif, pengampunan dan perenungan pada kepuasan hidup diperoleh hasil bahwa
kebahagiaan subjektif dan pengampunan berkorelasi positif dengan kepuasan hidup
sedangkan perenungan berkorelasi negatif terhadap kepuasan hidup. Penelitian ini
membuktikan bahwa kebahagiaan berkorelasi positif dengan kepuasan hidup.
Kebahagiaan juga berkorelasi positif dengan religiusitas. Menurut Lewis dan Cruise
(2006) agama memiliki hubungan positif dengan kebahagiaan disaat adanya dukungan
sosial, memberikan tujuan hidup, memberikan harapan, memberikan kepastian
eksistensial, dan pengalaman menyenangkan dalam praktik keagamaan; di sisi lain
agama juga dapat menimbulkan dampak negatif karena munculnya ketakutan terhadap
kematian, lingkungan sosial yang kurang mendukung seperti perbedaan keyakinan.
Sillick dan Cathcart (2013) menambahkan bahwa orientasi keagamaan secara intrinsik
cenderung berkorelasi rendah terhadap kebahagiaan dan orientasi keagamaan secara
ekstrinsik berkorelasi tinggi terhadap kebahagiaan.
Dalam penelitian ini diperoleh hasil yang menunjukkan bahwa para biarawati
memiliki kebahagiaan yang tinggi (dengan perolehan Mean: 169,6 dan SD: 14,312).
Tingginya kebahagiaan para biarawati didukung dengan hasil wawancara yang
diperoleh peneliti dari beberapa biarawati yang mengungkapkan bahwa merasakan
24
sukacita karena diberi rahmat untuk mensetiai hidup panggilan dan perutusan yang
dipercayakan. Walaupun terkadang mengalami kesulitan dan tantangan mereka tetap
merasa bahwa Tuhan selalu menolong. Semangat Deus Providebit (Tuhan akan
menyelenggarakan) menjadi kekuatan para biarawati untuk setia. Dukungan dan relasi
dengan para biarawati juga menjadi faktor yang membantu mereka untuk bertahan dan
berjuang dalam situasi yang sulit.
Ditinjau dari faktor yang berkorelasi terhadap kebahagiaan dihasilkan bahwa
faktor relasi dengan Allah dan pandangan terhadap selibat menjadi faktor yang
berkorelasi paling kuat. Hasil ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Rosetti
(2011) bahwa semakin tinggi relasi dengan Allah maka semakin tinggi pula tingkat
kebahagiaan dan kepuasan hidup. Para biarawati yang memiliki relasi yang dekat
dengan Allah dan memiliki pandangan yang positif akan hidup selibat maka akan
semakin merasakan kebahagiaan. Kuatnya relasi dengan Allah nampak pada data
demografis yang menunjukkan bahwa para biarawati melaksanakan ekaristi harian yang
merupakan sumber dan puncak iman Kristiani. Para biarawati juga memperhatikan
kehidupan rohani dengan berdoa baik secara pribadi maupun bersama, salah satunya
melalui devosi kepada Bunda Maria. Usaha yang dilakukan untuk memelihara
kehidupan rohani membuat para biarawati semakin merasakan kedamaian batin. Faktor
dukungan keluarga, kedamaian batin, devosi kepada Maria, dukungan antar religius dan
keterlibatan berkorelasi positif terhadap kebahagiaan para biarawati. Artinya, semakin
tinggi faktor-faktor tersebut maka para biarawati semakin merasakan kebahagiaan.
Faktor problem emosional, kesepian dan kurang dihargai, masa kecil kurang bahagia,
narcissistic traits dan konflik seksual berkorelasi negatif terhadap kebahagiaan para
25
biarawati. Artinya, jika semakin rendah faktor-faktor tersebut para biarawati semakin
merasakan kebahagiaan.
Para biarawati yang berpartisipasi dalam penelitian ini memiliki beban kerja
yang tinggi (dengan perolehan Mean: 65.77 dan SD: 5, 982). Tingginya beban
pekerjaan didukung dengan ungkapan beberapa biarawati yang mengatakan bahwa
merasa bahagia saat bisa melayani orang-orang yang dipercayakan dalam tugas
perutusan. Meskipun tugas-tugas tersebut terasa berat dan menguras energi mereka
melihat bahwa hal ini sebagai sebuah konsekwensi dari tugas yang dipercayakan.
Mereka melihat bahwa orientasi kehidupan ini bukan pada diri sendiri melainkan demi
kemuliaan Tuhan dan demi kesejahteraan sesama. Berdasarkan pengalaman peneliti
sendiri yang merupakan seorang biarawati perasaan yang serupa juga dialami.
Meskipun tugas yang dipercayakan terasa berat dan sulit, akan tetap berusaha untuk
bertanggung jawab dan mempersembahkan segalanya pada Tuhan. Peneliti melihat
bahwa tugas yang dipercayakan bukan demi kepentingan sendiri melainkan demi
kebutuhan karya pelayanan. Paradigma ini akan membantu para biarawati untuk lebih
bahagia dalam menjalankan tugas-tugas yang dipercayakan.
Menurut Wilson (dalam Seligman, 2010) kebahagiaan secara umum dipengaruhi
oleh faktor penghasilan besar, menikah, muda, sehat, berpendidikan, dan religius.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Schiffrin dan Nelson (2010) tentang hubungan
antara kebahagiaan dan stres menunjukkan adanya hubungan terbalik antara kedua
variabel tersebut. Semakin tinggi stres yang dirasakan maka kebahagiaan yang
dirasakan semakin rendah begitu pula sebaliknya. Stres menjadi salah satu faktor
ketidakbahagiaan. Lutfiyah (2011) dalam penelitiannya tentang faktor yang
mempengaruhi stres kerja pada polisi lalu lintas mengungkapkan bahwa stres yang
26
dirasakan dipengaruhi oleh beban kerja, pengembangan karir dan sub divisi. Beban
kerja menjadi faktor yang berpengaruh paling kuat terhadap stress. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa beban kerja cukup mempengaruhi kebahagiaan, karena jika
beban kerja rendah maka tingkat stres juga rendah. Semakin individu memiliki tingkat
stres dan beban kerja yang rendah maka akan merasakan kebahagiaan yang tinggi.
Hasil ini menunjukkan adanya perbedaan perspektif kebahagiaan antara para
biarawati dengan masyarakat pada umumnya. Para biarawati memaknai beban kerja
sebagai salah satu sarana untuk melayani Tuhan dan sesama. Paradigma ini membantu
para biarawati untuk semakin merasakan kepuasan hidup. Sedangkan masyarakat pada
umumnya merasa bahwa beban kerja merupakan salah satu faktor yang dapat
mengakibatkan kelelahan sehingga dapat menimbulkan stress. Aspek religiusitas dan
spiritualitas menjadi faktor yang mempengaruhi perspektif ini. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Aghababaeia dan Błachnio (2014) ditemukan bahwa Religiusitas
berhubungan dengan tingginya tujuan hidup, kebahagiaan dan kepuasan hidup. Tujuan
hidup menjadi prediktor kebahagiaan dan kepuasan hidup. Kozaryn (2010)
menambahkan bahwa aspek instrinsik religiusitas yang mempromosikan kegiatan sosial
mampu meningkatkan kepuasan hidup. Pada penelitian yang dilakukan oleh Carroll,
Sicking dan Thompson (2014) menunjukkan bahwa aspek kerohanian dalam bekerja
menjadi prediktor yang signifikan pada kepuasan kerja, naiknya omset, dan komitmen
organisasai. Walt dan Klerk (2014) juga menemukan adanya hubungan yang signifikan
antara spiritualitas ditempat kerja dengan kepuasan kerja. Spiritualitas karya pelayanan
membantu para biarawati untuk merasakan kepuasan kerja. Dengan demikian dapat
dilihat bahwa dengan memasukkan unsur spiritualitas dan kerohanian dalam karya
27
pelayanan yang dipercayakan para biarawati merasakan kepuasan hidup sehingga
semakin merasakan kebahagiaan.
Ditinjau dari faktor yang berkorelasi pada beban pekerjaan, kepuasan atas
pilihan hidup dan pencapaian pribadi berkorelasi kuat. Hal ini berarti bawa para
biarawati merasa puas dalam pilihan hidup sebagai biarawati dan puas dengan
pencapain yang diperolehnya dalam tugas pelayanan dan perutusan, walaupun memiliki
banyak beban pekerjaan. Faktor depersonalisasi dan kelelahan emosional berkorelasi
negatif terhadap beban kerja. Ini artinya semakin rendah depersonalisasi dan kelelahan
emosional yang dirasakan maka para biarawati akan semakin merasakan kepuasan
hidup dalam tugas pelayanan dan perutusan.
Hasil korelasi antara kebahagiaan dengan faktor-faktor beban kerja
menunjukkan bahwa faktor kepuasan atas pilihan hidup dan faktor pencapaian pribadi
berkorelasi positif, artinya semakin tinggi kebahagiaan maka semakin tinggi pula
kepuasan atas pilihan hidup dan pencapaian pribadi para biarawati. Faktor kelelahan
emosional dan faktor depersonalisasi berkorelasi negatif terhadap kebahagiaan, artinya
semakin tinggi kebahagiaan maka semakin rendah faktor kelelahan emosional dan
faktor depersonalisasi para biarawati. Hasil ini menunjukkan bahwa para biarawati
merasakan kebahagiaan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan yang dipercayakan
karena melalui pekejaan tersebut mereka merasakan kepuasan atas pilihan hidup.
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah disampaikan, maka dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara
Kebahagiaan dengan Beban Kerja pada Religius perempuan. Faktor tingkat kebahagiaan
28
dan Beban kerja memiliki kontribusi pada kebahagiaan para religius perempuan sebesar
54,8% dan 45,2% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.
Dalam research yang dilakukan Mujcic dan Oswald (2016) dengan partisipan
orang dewasa di Australia menemukan bahwa meningkatnya kebahagiaan, kepuasan
hidup dan kesejahteraan diprediksi dengan meningkatnya konsumsi buah dan sayur.
Pola hidup sehat memiliki kontribusi pada kebahagiaan sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Peltzer dan Pengpid (2013) pada 800 mahasiswa teknik dan ilmu program
pendidikan di Gitam University, Visakhapatnam di India, yang melihat adanya
hubungan antara kebahagiaan dengan perilaku hidup sehat. Selain pola hidup sehat
aktivitas fisik, status kesehatan dan fungsi sosial menentukan tingkat kebahagiaan
(Barreto, 2014).
Eryilmaz (2014) melakukan penelitian pada 68 orang dewasa Turki tentang
strategi yang diadopsi oleh orang dewasa Turki untuk meningkatkan kebahagiaan dalam
kehidupan sehari-hari. Penelitian ini menunjukkan bahwa Keterlibatan bekerja menjadi
salah satu strategi untuk meningkatkan kebahagiaan. Usaha meningkatkan kebahagiaan
dalam kehidupan kerja dapat dilakukan dengan membangun relasi yang positif dengan
rekan kerja, memiliki kontrol mental, melakukan aktivitas keagamaan dan menjaga
keadaan fisik yang baik. Chancellor, Layous dan Lyubomirsky (2015) mengemukakan
bahwa kegiatan positif dapat membantu karyawan lebih bahagia dan berpotensi lebih
produktif dan lebih terlibat di tempat kerja.
Hu (2015) dalam penelitian yang dilakukan pada penduduk perkotaan Cina
menemukan bahwa pendidikan tinggi memiliki hubungan positif dengan kebahagiaan.
Strobel, Tumasjan, dan Sporrle (2011) dalam penelitiannya tentang hubungan self-
efficacy dengan faktor kepribadian dan subjective well-being pada 180 partisipan yang
29
terdiri dari mahasiswa dan wiraswasta, ditemukan bahwa self-efficacy memediasi
hubungan faktor kepribadian dan dua komponen SWB (Subjective well-being) yaitu
kepuasan hidup dan kebahagiaan.
Dukungan sosial juga menjadi faktor yang mempengaruhi kebahagiaan. Calvo,
Arcaya, Baum, Lowe dan Waters (2015) dalam penelitiannya tentang kebahagiaan para
korban selamat sebelum dan sesudah bencana badai Katrina dengan partisipan 491
perempuan. Hasil penelitan menunjukkan bahwa kebahagiaan sebelum bencana dan
dukungan sosial setelah bencana menjadi pelindung terhadap afek negatif dari bencana.
Penelitian ini sejalan dengan Chan dan Lee (2006) yang melakukan penelitian pada para
lansia di Cina. Hasil menunjukkan bahwa para lansia yang memiliki jaringan sosial
yang lebih tinggi cenderung merasakan kebahagiaan. Hubungan antara jaringan sosial
dengan kebahagiaan dimediasi oleh dukungan sosial. Para lansia memperoleh dukungan
sosial melalui jaringan sosial atau relasi sosial sehingga dapat merasakan kebahagiaan.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa faktor-faktor lain yang mempengaruhi
kebahagiaan adalah: faktor kesehatan, keterlibatan kerja, pendidikan, self-efficacy
(efikasi diri) dan dukungan sosial.
30
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan tentang mengenai Hubungan
Kebahagiaan dengan Beban Kerja diperoleh kesimpulan hasil perhitungan koefisien
korelasi (r) dan signifikansi yang dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang
signifikan antara Kebahagiaan dan Beban Kerja pada Religius Perempuan. Dalam
penelitian ini diperoleh hasil Kebahagiaan dan Beban Kerja para religius perempuan
dalam kategori yang tinggi. Hasil menunjukkan bahwa semakin tinggi kebahagiaan
akan semakin tinggi pula beban pekerjaan. Faktor yang berkorelasi paling kuat terhadap
kebahagiaan adalah faktor relasi dengan Allah dan pandangan terhadap selibat,
sedangkan faktor yang berkorelasi paling kuat terhadap beban pekerjaan adalah faktor
kepuasan atas pilihan hidup dan pencapaian pribadi. Penelitian ini menunjukkan bahwa
para biarawati merasakan kebahagiaan dalam melaksanakan tugas atau pekerjaan yang
dipercayakan karena melalui tugas tersebut para biarawati dapat merasakan kepuasan
atas pilihan hidup. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa adanya aspek religiusitas dan
spiritualitas yang dimiliki para biarawati dalam melaksanakan tugas pelayanan sehingga
dapat merasakan kebahagiaan dan kepuasan atas pilihan hidup.
Faktor tingkat kebahagiaan dan Beban kerja memiliki kontribusi pada
kebahagiaan para biarawati sebesar 54,8% dan 45,2% dipengaruhi oleh faktor-faktor
lain. Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas dapat dilihat bahwa
beberapa faktor lain yang berkontribusi pada kebahagiaan adalah faktor kesehatan,
keterlibatan kerja, pendidikan, efikasi diri dan dukungan sosial.
31
Saran
Setelah penulis melakukan penelitian dan pengamatan langsung di lapangan serta
melihat hasil penelitian yang ada, maka berikut ini beberapa saran yang penulis ajukan:
1. Bagi subjek penelitian.
a. Dengan dilakukannya penelitian ini para religius perempuan atau biarawati
mampu mempertahankan kebahagiaan dengan memperhatikan faktor relasi
dengan Allah, pandangan terhadap hidup selibat, kepuasan atas pilihan
hidup dan pencapaian pribadi serta meningkatkan aspek spiritualitas.
b. Para religius perempuan/biarawati dapat mengembangkan potensi yang
dimiliki dalam melaksanakan tugas pelayanan dan perutusan sehingga
semakin merasakan kepuasan atas pilihan hidup.
c. Para religius perempuan/biarawati dapat memperhatikan faktor kesehatan,
keterlibatan kerja, pendidikan, efikasi diri dan dukungan sosial, karena
faktor tersebut dapat mempengaruhi kebahagiaan.
2. Bagi peneliti selanjutnya.
a. Dapat menggunakan skala Kebahagiaan yang lain mengingat skala
kebahagiaan dan skala beban pekerjaan ini belum tentu representatif saat
digunakan pada partisipan yang lain.
b. Dapat melakukan atau mengukur lebih mendalam tentang hubungan
Kebahagiaan dan Beban Kerja dengan mengambil partisipan dari berbagai
32
macam tarekat religius perempuan/biarawati, untuk melihat perbandingan
hubungan apakah hasilnya sama dengan partisipan dalam penelitian ini.
c. Dapat melakukan atau mengukur hubungan kebahagiaan dan Beban kerja
dengan partisipan para imam dan biarawan. Dapat juga ditambahkan
variabel baru kesehatan, pendidikan dan jenis pekerjaan.
d. Dapat melakukan penelitian mengenai Kebahagiaan dan Beban Kerja pada
para religius perempuan/biarawati dengan menggunakan metode penelitian
yang lainnya, seperti menggunakan mixed method (metode kualitatif dan
kuantitatif).
33
DAFTAR PUSTAKA
Aghababaei, N & Blachnio, A. (2014). Purpose in life mediates the relationship
between religiosity and happiness: Evidence from Poland. Journal Mental
Health, Religion & Culture, 217, 827–831.
Aleksander (2007). Aku sebagai citra Allah. Medan. Bina Media Perintis.
Alkitab (1987). Bogor: lembaga alkitab Indonesia.
Azwar, S. (2015). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Bakker, A & Oerleman, W. (2016). Mommentary work happiness as a function of
enduring burnout and work engagement. Journal of Psychology, 150, 755-778
Barreto, S. P (2014). Direct and indirect relationships between physical activity and
happiness levels among older adults: a cross-sectional study. Journal Aging &
Mental Health, 18, 861–868.
Biswas, M.A., Diener, E.D & Dean, U. (2007). Personality, culture, and subjective well-
being: Emotional and cognitive evaluations of life. Annual
Revision Psychological Journal, 54, 403-25.
Calvo, R., Arcaya, M., Baum, C.F., Lowe, S.R & Waters, M.C. (2015). Happily ever
after? Pre-and-post disaster determinants of happiness among survivors of
hurricane Katrina. J Happiness Stud (2015) 16, 427–442.
Carr, A. (2004). Positive psychology the science of happiness and human strengths.
Canada: Routledge.
Carroll, S. T., Sicking, S. J. & Thompson, B. (2014). Sanctification of work: assessing
the role of spirituality in employment attitudes. Journal Mental Health, Religion
& Culture, 17, 545–556.
Chan, Y.K & Lee, R.P.L (2006). Network size, social support and happiness in later
life: A comparative study of Beijing and Hong Kong. Journal of Happiness
Studies, 7, 87-112.
Chancellor, J., Layous, K. & Lyubomirsky, S. (2015). Recalling positive events at work
makes employees feel happier, move more, but interact less: A 6-week
randomized controlled intervention at a Japanese workplace. Journal of
Happiness Studies (2015) 16, 871–887.
34
Desy, A. (2015). Kebermaknaan hidup pada biarawati di Kalimantan Timur. eJournal
Psikologi, 4, 107-119.
De Vaus, David (2002). Survey in social research 5th edition. London: Routledge
Eryilmaz, A. (2014). Strategies adopted by Turkish adults for increasing happiness in
daily life. Mental Health, Religion & Culture, 17, 680–689.
Feist, J & Feist, G (2010). Teori kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika
Guzman, A.B., Largo, E., Mandap, L & Munoz, V.M (2014). The mediating effect of
happiness on the job satisfaction of aging Filipino workers: A structural equation
model (SEM). Journal Educational Gerontology, 40, 767-782.
Hanggoro, Y. (2015). Penelitian deskriptif subjective well-being pada biarawati di
yogjakarta. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Psikologi, Universitas Sanata
Dharma.
Hu, A (2015). The changing happiness-enhancing effect of a college degree under
higher education expansion: Evidence from China. Journal of Happiness Studies
(2015) 16, 669–685.
Jacobs, T. (1987). Hidup membiara makna dan tantangannya. Yogyakarta: Kanisius.
Jale, E. (2015). Predictive effects of subjective happiness, forgiveness, and rumination
on life satisfaction. Journal Social Behaviour and Personality, 43, 1563-1574.
Keith, M. K. (2009). Do it anyway. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
Kozaryn, A. O (2010). Religiosity and life satisfaction across nations. Journal Mental
Health, Religion & Culture, 13, 155–169.
Lewis, C & Cruise, S (2006). Religion and happiness: Consensus, contradictions,
comments and concerns. Journal Metal Health, Religion and Culture, 9, 213-
225.
Lutfiyah (2011). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi stress kerja pada polisi lalu
lintas. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Mujcic, R & Oswald, A. J. (2016). Evolution of well-being and happiness after
increases in consumption of fruit and vegetables. AJPH Research, 106, 1504-
1510.
Munandar, A (2001). Psikologi industri dan organisasi. Jakarta: UI Press
35
Paulus, Y (2006). Kitab hukum kanonik (Codex iuris canonoci). Bogor: Grafika Mardi
Yuana.
Peltzer, K & Pengpid, S (2013). Subjective happiness and health behavior among
a sample of university students in india. Social Behavior And Personality, 41(6),
1045-1056
Ridick, J (1989). Kaul harta melimpah dalam bejana tanah liat. Yogyakarta: Kanisius
Rosetti, S. (2011). Why priest are happy: A study of the psychological and spiritual
health of priest. Indiana: Ave Maria Press Notre Dame.
Ryff, D., Keyes., Corey Lee M. & Shmotkin, D. (2002). Optimizing well-being: The
empirical encounter of two traditions. Journal of Personality and Social
Psychology, 82, 1007-1022.
Schiffrin, H. H & Nelson, K. S (2010). Stressed and happy? Investigating the
relationship between happiness and perceived stress. Journal of Happiness
Studies (2010), 11, 33-39.
Seligman, M. (2005). Authentic happiness: Menciptakan kebahagiaan dengan
psikologi positif. Bandung: kaifa.
Seligman, M. (2013). Beyond authentic happiness menciptakan kebahagiaan sempurna
dengan psikologi positif. Bandung: kaifa.
Seri Dokumen Gerejawi. (2006). Vita consecrata (hidup bhakti). Jakarta: Departemen
Dokumentasi dan Penerangan KWI.
Sugiyono. (2011). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan r&d. Bandung: Alfabeta.
Sillick, W & Chartcart, S. (2013). The relationship between religious orientasion and
happiness: The mediating role of purpose in life. Journal Metal Health, Religion
and Culture, 5, 494-507.
Strobel, M., Tumasjan, A., & Sporrle, M. (2011) Be yourself, believe in yourself, and
be happy: Self-efficacy as a mediator between personality factors and subjective
well being. Scandinavian Journal of Psychology, 52, 43–48.
Tarwaka. (2004). Ergonomi untuk keselamatan, kesehatan kerja dan produktivitas.
Surakarta: Uniba
Walt, F. & Klerk, J. (2014). Workplace spirituality and job satisfaction. International
Review of Psychiatry, 26 (3), 379–389.
Yamrewav, F. I (2016). Apakah imam dan religius di Indonesia bahagia? Rohani no. 04
edisi ke-63. Yogyakarta: Kanisius.