hubungan antara workplace well-being dengan employee

34
HUBUNGAN ANTARA WORKPLACE WELL-BEING DENGAN EMPLOYEE ENGAGEMENT PADA STAFF TATA USAHA UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA OLEH DEVI WULAN SARI 80 2010 039 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

HUBUNGAN ANTARA WORKPLACE WELL-BEING DENGAN

EMPLOYEE ENGAGEMENT PADA STAFF TATA USAHA

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

OLEH

DEVI WULAN SARI

80 2010 039

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk

Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2015

Page 2: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee
Page 3: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee
Page 4: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee
Page 5: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee
Page 6: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee
Page 7: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

HUBUNGAN ANTARA WORKPLACE WELL-BEING DENGAN

EMPLOYEE ENGAGEMENT PADA STAFF TATA USAHA

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

Devi Wulan Sari

Sutarto Wijono

Jusuf Tjahjo Purnomo

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2015

Page 8: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

i

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara workplace

well-being dengan employee engagement pada staff tata usaha Universitas Kristen Satya

Wacana Salatiga. Ada sejumlah 45 staff diambil sebagai sampel yang dilakukan dengan

menggunakan teknik sampel purposive sampling. Metode penelitian yang digunakan

dalam pengumpulan data dengan metode skala, yaitu skala workplace well-being yang

disusun oleh Page (2009), yang terdiri dari 14 pernyataan, dan skala employee

engagement yang disusun oleh Bakker & Schaufeli (2003), yang terdiri dari 16

pernyataan. Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik korelasi product moment

dari Pearson. Dari hasil analisa data diperoleh koefisien korelasi (r) 0,804 dengan nilai

signifikansi 0,000 (p < 0,05) yang berarti ada hubungan positif yang signifikan antara

workplace well-being dengan employee engagement. Hal ini bermakna bahwa tingginya

workplace well-being pada staff tata usaha akan diikuti dengan employee engagement

yang tinggi.

Kata Kunci : Workplace Well-Being, Employee Engagement.

Page 9: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

ii

Abstract

The purpose of this study is to determine the relationship between workplace

well-being with employee engagement on administrative staff at Satya Wacana

Christian University of Salatiga. There are amount of 45 staff sample done by using

purposive sampling technique. The research method which is used in data collection

methods was scale method; it was the scale of workplace well-being that compiled by

Page (2009), which consists of 14 statements, and employee engagement scale

developed by Bakker & Schaufeli (2003), which consists of 16 statements. Data

analysis technique used is a product moment correlation technique. From the data

analysis obtained correlation coefficient (r) 0.804; p = 0,000 (p <0,05), which means

there is a significant positive relationship between workplace well-being with employee

engagement. This means that high workplace well-being on the administrative staff will

be followed by high employee engagement.

Keywords: Workplace Well-Being, Employee Engagement.

Page 10: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

1

PENDAHULUAN

Sumber daya manusia (SDM) merupakan hal yang sangat penting dalam suatu

organisasi, karena efektivitas dan keberhasilan suatu organisasi sangat tergantung

kepadanya. Kinerja SDM yang tinggi dapat mendorong munculnya perilaku melebihi

apa yang telah distandarkan perusahaan (Krietner & Kinicki, 2004). Ada pergeseran

paradigma dalam kajian manajemen SDM. Saat ini manusia tidak lagi dipandang

sebagai sumber daya (resource) atau karyawan saja melainkan asset (capital). Sumber

daya yang dimiliki akan dihabiskan, lalu dibuang. Namun asset akan dikembangkan

secara berkesinambungan untuk mencapai level yang lebih tinggi, tanpa henti. Hal ini

berimbas terhadap kebijakan perusahaan. Jika dahulu paradigmanya adalah bagaimana

mendapatkan karyawan terbaik yang bekerja dengan baik dalam jangka waktu yang

lama, lalu dibuang (dipecat, diputus kontrak, dll). Tetapi pada saat kinerjanya menurun,

maka saat ini banyak perusahaan melakukan kebalikannya, mereka menciptakan

karyawan yang akan bekerja dengan baik secara konsisten, memberi mereka pelatihan,

coaching, insentif, fasilitas, dan banyak hal lain, agar karyawan merasa terikat

(employee engagement) dan ikut memiliki perusahaan tersebut (Lewis, 2012).

Bagaimana dengan di Indonesia? employee engagement masih menjadi topik yang

asing saat ini, terbukti dengan belum banyaknya penelitian atau referensi ilmiah yang

bisa ditemukan mengenai kajian employee engagement ini. Namun demikian, dengan

kondisi pengelolaan karyawan saat ini di Indonesia, nampak jelas bahwa sangat penting

untuk meneliti dan mengembangkan model keterikatan yang cocok dengan perusahaan

atau lembaga dan karyawan di Indonesia. Setiap tahunnya, dapat dilihat, membaca, atau

bahkan mengalami sendiri bagaimana karyawan atau buruh berdemonstrasi menuntut

Page 11: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

2

upah layak, jaminan atas banyak hal, dan peningkatan kesejahteraan. Sementara itu di

sisi yang lain pengusaha (perusahaan) juga dihimpit situasi yang sulit (Wustari 2010).

Pada bulan Maret 2015 pukul 13.00 WIB, penulis melakukan observasi &

wawancara informal dengan dua staff tata usaha UKSW. Hasil observasi & wawancara

tersebut penulis menemukan bahwa untuk mencapai suatu kesuksesan lembaga yang

harus ditanamkan terlebih dahulu adalah rasa keterikatan terhadap pekerjaannya.

Dengan memiliki hal tersebut akan membuat karyawan menikmati pekerjaan yang

mereka lakukan, mereka berkeinginan untuk memberikan segala bantuan yang mereka

mampu untuk dapat mensukseskan organisasi dimana mereka bekerja. Selain itu juga,

membuat karyawan lebih berkonsisten, bertanggungjawab. Rasa keterikatan ini juga

yang membuatnya semangat dalam bekerja, sehingga dapat memberikan waktu, tenaga,

serta inisiatif yang lebih untuk dapat berkontribusi pada kesuksesan organisasi atau

lembaga. Jadi tidaklah mengherankan bahwa employee engagement telah menjadi

agenda penting untuk dimiliki oleh setiap perusahaan/lembaga. Sementara itu, Leiter &

Bakker (2010) menembahkan bahwa ketika karyawan terikat, mereka merasa terdorong

untuk berusaha maju menuju tujuan yang menantang, mereka menginginkan

kesuksesan. Karyawan yang terikat juga mempunyai level energi yang tinggi dan secara

antusias terlibat dalam pekerjaannya (Schaufeli, Taris & Rhenen, 2008).

Sebaliknya, tanpa adanya employee engagement, inisiatif pengembangan dalam

bentuk apapun tidak akan membuahkan hasil, karena hal tersebut tidak disertai dengan

peran serta, komitmen, dan rasa keterikatan para karyawannya. Hal ini yang kemudian

membuka mata para manajer bahwa penting sekali untuk membuat para karyawan, yang

notabene adalah Sumber Daya Manusia bagi perusahaan/lembaga, untuk terikat pada

organisasi. Analogi sederhananya adalah employee engagement tidak dibangun dengan

Page 12: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

3

cara yang sama seperti Firaun yaitu memperlakukan budak-budak Israel pada waktu dia

membangun piramidanya dulu. Tetapi manajer menciptakan lingkungan dan dunia kerja

yang kondusif dan menantang, sehingga mereka merasa sejahtera dan kemudian

memunculkan potensi optimal mereka (Lewis, 2012).

Fenomena karyawan yang terikat pada perusahaannya sehingga ikut merasa

memiliki ini disebut sebagai employee engagement dan menjadi „primadona‟ dalam

kajian tentang sumberdaya manusia di perusahaan (Albrecht, 2010). Mengapa begitu?

karena saat karyawan terikat muncul kemampuan lebih (enabled) dan juga antusiasme

(energized) yang secara langsung maupun tidak langsung mendongkrak performa kerja

si karyawan. Memang benar, bahwa masih menjadi perdebatan apakah employee

engagement ini memang benar-benar sebuah konsep strategis baru atau hanya menjadi

“baju baru” dari workaholism. Sementara itu, Bakker (dalam Albrecht, 2010)

menjabarkan bahwa ada perbedaan mendasar antara work-engagement dan workaholism

dari siapa yang menjadi tuan dan bawahan. Pada workaholism, karyawan menjadi budak

pekerjaan dan dikuasai hidupnya oleh pekerjaan tersebut (Vallerand, dalam Albrecht,

2008). Namun, karyawan yang terikat pada perusahaannya menguasai keadaan, dan

secara sadar sepenuhnya memberikan lebih dari 100% performanya tanpa mengabaikan

kehidupan di luar pekerjaannya (Schaufeli, 2006, dalam Albrecht, 2010).

Alasan yang mendasari bahwa pentingnya untuk meneliti employee engagement

pada staff tata usaha adalah karyawan staff TU memiliki kerentanan stagnansi kerja

yang cukup tinggi. Dalam bertugas/menyelesaikan tugas mereka sangat bersemangat,

antusias, inspirasi, konsentrasi penuh, serta memiliki perasaan senang sehingga hingga

apa yang menjadi pekerjaannya dapat diselesaikan dengan cepat, tepat pada waktunya.

Hal tersebut secara potensial membawa karyawan dapat mengalami perasaan burnout.

Page 13: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

4

Di sisi lain jenjang karier seorang pegawai TU relatif pendek, sehingga secara afeksi

penghargaan akan pekerjaan tata usaha juga tidak setinggi rekan karyawan lain.

Karyawan TU hanyalah bagian pendukung dan bukan bintang utama dalam struktur

organisasi. Stakeholder mereka, dalam kasus ini mahasiswa UKSW. Hal tersebut tentu

saja tidak memberikan kadar penghormatan yang sama kepada staff TU dibanding

dengan staff pengajar. Namun, bila dilihat dari data karyawan yang peneliti dapatkan,

mayoritas staff TU di UKSW telah bekerja lebih dari 5 tahun yang dibuktikan dengan

status mereka sebagai pegawai tetap, dimana 68,87% dari total 106 orang pegawai TU

di UKSW telah berstatus pegawai tetap, dengan demografi 56,64% di antaranya adalah

pegawai laki-laki yang notabene menjadi tulang punggung keluarganya. Hal ini terbukti

bahwa cukup bayak karyawan staff TU yang memiliki employee engagement, yang

telah berkontribusi dalam kesuksesan lembaga.

Sementara itu, Albrecht (2010) mengemukakan bahwa apabila karyawan merasa

terikat (engaged) dengan perusahaannya, dia akan ikut merasa memiliki. Artinya,

pengusaha dan buruh akan memiliki visi yang sama akan kemajuan perusahaannya.

Namun jika dilihat ke banyak negara lain, employee engagement sudah menjadi agenda

utama di hampir seluruh perusahaan. Bakker (2010) dalam jurnal ketenagakerjaan

Kanada mengemukakan bahwa 69% dari 368 responden yang merupakan profesional di

bidang HR mengemukakan bahwa employee engagement menjadi solusi bagi masalah

di perusahaan mereka, dengan 82% menyetujui bahwa employee engagement esensial

untuk perkembangan perusahaan mereka, dan hanya 0,5% yang merasa bahwa tidak

penting untuk membuat karyawan terikat pada perusahaannya. Hasil yang tidak jauh

berbeda tercermin dari review yang dirilis oleh Harvard Business School (2013) dengan

568 responden yang merupakan karyawan di berbagai belahan dunia, hasilnya adalah

Page 14: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

5

71% responden memandang employee engagement sebagai faktor penting bagi

kesuksesan perusahaan namun hanya 24% responden yang mengaku terikat (engaged)

dengan perusahaannya saat ini.

Dampak positif, atau manfaat yang langsung terasa dari adanya rasa terikat

(employee engagement) karyawan pada perusahaannya terbukti pada sebuah penelitian

yang dilakukan Fairhurst (2010) keterikatan (engagement) meningkatkan pendapatan

perusahaan sebesar 57%, meningkatkan nilai perusahaan 16%, dan meningkatkan

kesejahteraan karyawan itu sendiri sebesar 20% (Fairhurst, D; O‟Connor. 2010). Hal ini

sejalan dengan apa yang ditemukan Robinson dkk (2011) yang menyatakan bahwa

dalam kondisi yang sama, karyawan yang terikat memiliki performa lebih baik 21%

dibanding dengan karyawan yang tidak terikat.

Keterikatan tidak muncul begitu saja, ada banyak hal yang mendorong munculnya

rasa terikat seorang karyawan pada perusahaan/lembaganya. Salah satu adalah rasa

sejahtera (well-being). Rasa sejahtera yang diperoleh oleh karyawan dari pekerjaan

mereka, yang terkait dengan perasaan karyawan secara umum (core affect) dan nilai

intrinsik dan pekerjaan (workvalues) ini disebut sebagai Workplace Well-Being (WWB)

(Russell dalam Page, 2005). Pernyataan tersebut didukung oleh Page (2005) yang

mengemukakan workplace well-being didasari oleh nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsik

dari pekerjaan.

Workplace Well-Being (WWB) menjadi penting untuk diteliti karena WWB bisa

menjadi penyumbang utama terhadap peningkatan kinerja pada karyawan dan

menumbuhkan rasa employee engagement. WWB merupakan salah satu faktor yang

berperan besar menciptakan Employee Engagement pada tenaga kerja (Schmidt, Faye.

2004). Hal ini sejalan dengan penelitian Erin yang dilakukan pada pelayanan kesehatan,

Page 15: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

6

dimana dalam kerangka yang disusun sebagai diskusi, menyatakan bahwa hasil ini

menjadikan WWB sebagai pondasi utama pelayanan kesehatan (kinerja) yang prima

dari pelayanan kesehatan di Kanada (LMCC, 2007). Hasil penelitian lain yang

diutarakan oleh Lilita (2013) pada karyawan staff dari Universitas Namibia,

menyatakan bahwa kesejahteraan itu dikonseptualisasikan sebagai proses yang saling

terkait dengan terikatan kerja. Hasil analisis menunjukkan bahwa lapangan kerja

memainkan peran penting dalam keterlibatan kerja, baik sebagai kontribusi. Kelebihan

beban kerja dan gaya manajemen dapat mempengaruhi keterlibatan dalam bekerja baik

secara emosional maupun fisik.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Wustari & Mangunwijaya (2010) ditemukan

bahwa pada karyawan pada umumnya (tidak dikhususkan pada perusahaan tertentu atau

bidang pekerjaan tertentu) workplace well-being memiliki hubungan positif yang

signifikan dengan employee engagement (r=0,551). Sementara itu workplace well-being

memberi kontribusi yang sangat signifikan (80,3%) pada kemunculan employee

engagement. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Donny & Wing mengenai

kesejahteraan psikis dengan keterikatan karyawan pada PT. X menunjukkan bahwa ada

hubungan yang tidak signifikan.

Pendapat yang berlawanan dikemukakan oleh Leoni (2014) pada penelitiannya

yang dilakukan pada karyawan, menunjukkan bahwa tidak terdapat adanya hubungan

yang signifikan antara pekerjaan dengan kesejahteraan karyawan. Hal ini menyebabkan

terjadinya trunover pada karyawan, karena karyawan tidak merasakan keterikatan pada

perusahaan tersebut.

Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) merupakan lembaga yang bergerak di

bidang pendidikan. Didalam penelitian ini, penulis mengadakan penelitian pada

Page 16: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

7

karyawan staff tata usaha perfakultas, dimana karyawan telah bekerja selama minimal 5

(lima) tahun atau telah diangkat menjadi karyawan tetap. Karyawan tersebut selalu

dihadapkan untuk berkontribusi dalam kesuksesan lembaga secara terus-menerus. Jika

hasil atau upah yang diterima tidak sesuai dengan harapan karyawan dengan kinerja

yang selama ini telah diberikan maka akan menimbulkan ketidak terikatan kerja atau

yang biasa disebut dengan employee engagement. Dari uraian diatas peneliti tertarik

untuk meneliti apakah ada hubungan antara Workplace Well-being dengan Employee

Engagement pada staff Tata Usaha Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Employee Engagement

Konsep Employee Engagement ini relatif baru dan muncul sekitar dua decade

belakangan ini (Rafferty, Maben, West dan Robinson, 2005; Melcrum Publishing, 2005;

Ellis dan Sorensen, 2007). Employee engagement merupakan pengembangan dari dua

konsep terdahulu, yaitu komitmen dan Organizational Citizenship Behavior

(OCB/Perilaku Organisasi Karyawan) (Robinson, Perryman & Hayday, 2004; Rafferty

dkk., 2005). Pada suatu kesempatan Robinson dkk. (2004) mengatakan bahwa kedua

konsep terdahulu yaitu komitmen dan OCB dirasa kurang lengkap, dan di dalam konsep

employee engagement, dimasukkan unsur kesadaran bisnis (business awareness).

Rafferty dkk (2005) juga membedakan antara konsep employee engagement dengan dua

konsep terdahulunya, dimana employee engagement lebih menunjukkan proses saling

memberi dan menerima yang menguntungkan antara karyawan dan organisasi.

Perrin (2003) mendefinisikan employee engagement sebagai kesediaan karyawan

dan kemampuannya untuk berkontribusi dalam kesuksesan perusahaan secara terus

menerus. Rasa keterikatan terhadap organisasi ini sangat dipengaruhi oleh berbagai

Page 17: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

8

faktor seperti faktor emosional dan rasional berkaitan dengan pekerjaan dan pengalaman

kerja secara keseluruhan.

Schaufeli dan Bakker (2004) mendefinisikan employee engagement sebagai suatu

kondisi mental yang positif, terpenuhi, dan berkaitan dengan pekerjaan yang

mempunyai karakteristik semangat, dedikasi, dan penghayatan. Kondisi mental tersebut

melibatkan rasa afektif dan kognitif.

Britt, Dickinson, Greene-Shortridge, dan McKibben (2007) menjelaskan employee

engagement sebagai perasaan seseorang untuk bertanggung jawab dan peduli terhadap

performansi pekerjaannya.

Dari definisi-definisi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa definisi employee

engagement adalah perasaan seseorang untuk bertanggung jawab atau berkomitmen

terhadap pekerjaannya, yang didasari oleh kondisi mental yang positif, terpenuhi, dan

berkaitan dengan pekerjaan yang mempunyai karakteristik semangat, dedikasi, dan

penghayatan. Kondisi mental tersebut melibatkan rasa afektif dan kognitif.

Dimensi Employee Engagement

Employee Engagement tersusun atas tiga dimensi, yaitu semangat (Vigor),

dedikasi (Dedication), absorpsi (Absorption) (Schaufeh & Bakker 2004; Schaufeli dkk,

2001) yang akan dijelaskan sebagai berikut:

1. Semangat atau vigor didefinisikan sebagai tingkat energi dan ketahanan mental yang

tinggi ketika individu menyelesaikan pekerjaan, keinginan untuk menanamkan

semangat pada pekerjaan, serta persisten dalam menghadapi kesulitan-kesulitan

yang ditemui saat bekerja (Schauteli & Bakker, 2004; Schaufeli dkk, 2001).

Page 18: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

9

2. Dedikasi atau dedication adalah identifikasi yang kuat pada pekerjaan dan mencakup

perasaan yang meliputi, antusiasme, inspirasi, kebanggaan, dan tantangan (Schauteli

& Bakker, 2004; Chunghtal & Buckley, 2008, dalam Peng-Lin, 2009).

3. Absorpsi atau absorption dijelaskan sebagai konsentrasi penuh dan perasaan senang

yang dirasakan inidividu ketika sedang bekerja, dimana individu merasa waktu

berjalan dengan cepat dan sulit meninggalkan pekerjaan (Schaufeti & Bakker, 2004;

Bakker & Demerouti, 2008, dalam Peng-Lin, 2009).

Definisi Workplace Well-Being

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan dari Page (2005) karena

pendekatan ini memaparkan dengan lengkap definisi dan dimensi-dimensi dari

workplace well-being. Definisi workplace well-being yang dikemukakan oleh Page

(2005), yaitu :

“The sense of well-being that employees gain from their work. It is conceptualised

as core affect plus the satisfaction of intrinsic and/or extrinsic work values”

(Page, 2005; hlm.3).

Dari penjelasan tersebut, workplace well-being didefinisikan sebagai rasa

sejahtera yang diperoleh pekerja dari pekerjaan mereka, yang terkait dengan perasaan

pekerja secara umum (core affect) dan nilai intrinsik maupun ekstrinsik dari pekerjaan

(work values).

Core affect didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana rasa nyaman dan tidak

nyaman bercampur dan gairah (passion) yang mempengaruhi aktivitas manusia (Russel

dalam Page, 2005). Untuk itu, core affect dapat diartikan sebagai perasaan individu

secara umum. Nilai pekerjaan (work values), baik intrinsik maupun ekstrinsik,

Page 19: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

10

didefinisikan sebagai derajat harga, kepentingan, dan hal-hal yang disukai oleh individu

di tempat kerja (Knoop, dalam Page, 2005).

Dari definisi-definisi tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa definisi workplace

well-being adalah rasa sejahtera yang diperoleh oleh karyawan dari pekerjaan mereka,

yang terkait dengan perasaan karyawan secara umum (core affect) dan nilai intrinsik

maupun ekstrinsik dari pekerjaan (work values).

Page (2005) menjelaskan bahwa terdapat 13 aspek dari workplace well-being

yang dibagi ke dalam dua dimensi atau faktor besar yaitu 5 aspek dari faktor intrinsik

dan 8 aspek dari faktor ekstrinsik.

Dimensi Workplace Well-Being

Dimensi Workplace Well-Being menurut Page (2005) sebagai berikut:

1. Dimensi Intrinsik

Dimensi instrinsik terdiri dan aspek-aspek yang mengacu pada perasaan karyawan

terkait tugas yang dimiliki dari tempat kerja mereka. Dimensi intrinsik ini terdiri

dari lima aspek, yaitu:

a. Tanggungjawab dalam Kerja.

Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan yang dimiliki karyawan terhadap

tanggungjawab kerja yang diberikan organisasi dan kepercayaan untuk

melakukan pekerjaan dengan baik.

b. Makna Pekerjaan.

Aspek ini didefinisikan sebagi perasaan karyawan bahwa pekerjaannya

memiliki arti dan tujuan baik secara personal, maupun untuk skala yang lebih

luas.

Page 20: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

11

c. Kemandirian dalam Pekerjaan.

Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan individu bahwa dirinya dipercaya

untuk melaksakan tugasnya secara mandiri, tanpa petunjuk dari manajemen.

d. Penggunaan Kemampuan dan Pengetahuan dalam Bekerja.

Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan bahwa pekerjaan yang diberikan

memungkinkan mereka untuk menggunakan pengetahuan dan kemampuan

yang dimiliki.

e. Perasaan Berprestasi dalam Bekerja.

Aspek ini didefinisikan sebagai rasa memiliki pencapaian tertentu terkait

dengan tujuan yang berhubungan dengan kerja.

2. Dimensi Ekstrinsik

Dimensi ekstrinsik adalah dimensi yang mengacu kepada hal-hal di lingkungan

kerja yang dapat mempengaruhi karyawan dalam bekerja. Dimensi ini terdiri dan

delapan aspek sebagal berikut :

a. Penggunaan Waktu yang Sebaik-baiknya.

Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan karyawan mengenal waktu kerjanya

merupakan hal yang penting karena memungkinkan karyawan untuk

membentuk keseimbangan antara waktu kerja dan kehidupan pribadi (work-life

balance).

b. Kondisi Kerja.

Aspek ini didefinisikan sebagai kepuasan karyawan terhadap lingkungan kerja

seperti ruang kerja dan budaya organisasi.

Page 21: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

12

c. Supervisi.

Aspek ini didefinisikan sebagai karyawan terhadap perlakuan atasan, seperti

perlakuan baik, pemberian dukungan, pemberian bantuan ketika dibutuhkan,

umpan balik yang sesuai dan penghargaan dari atasan.

d. Peluang Promosi.

Aspek ini didefinisikan sebagai kondisi lingkungan kerja yang memberikan

kesempatan karyawan untuk berkembang secara profesional.

e. Pengakuan terhadap Kinerja yang Baik.

Aspek ini didefinisikan sebagai perasaan karyawan bahwa di lingkungan kerja

mereka, mereka telah menghasilkan kinerja yang baik dan yang tidak

mendapatkan perlakuan yang berbeda.

f. Penghargaan sebagai Individu ditempat Kerja.

Aspek ini memiliki definisi sebagai perasaan karyawan bahwa mereka dihargai

dan diterima sebagai individu baik oleh keluarga maupun atasan mereka.

g. Upah (pay).

Aspek ini didefinisikan sebagai kepuasan karyawan terhadap upah, keuntungan

dan penghargaan berupa uang yang didapatnya dan lingkungan kerja.

h. Keamanan Pekerjaan.

Aspek ini didefinisikan sebagai kepuasan dengan rasa aman di posisi pekerjaan

mereka.

METODE

Partisipan

Penelitian ini dilakukan di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, populasi

yang digunakan adalah Karyawan Staff Tata Usaha berjumlah 45 orang sebagai

Page 22: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

13

responden yang akan di teliti. Menggunakan teknik purposive sampling, yang artinya

subyek diambil berdasarkan kriteria. Adapun kriteria yang digunakan adalah (1) Staff

Tata Usaha Perfakultas, (2) subyek telah bekerja selama minimal 5 (lima) tahun atau

telah diangkat menjadi karyawan tetap.

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 3 bagian. Bagian

pertama berkaitan dengan workplace well-being. Workplace well-being diukur dengan

menggunakan "Workplace Well-Being Scale" yang disusun oleh Page (2009), yang

terdiri dari 16 pertanyaan. Dari jumlah tersebut, 5 pertanyaan yang mengacu pada

perasaan karyawan terkait tugas dalam bekerja contohnya “seberapa puaskah anda

terhadap tanggungjawab kerja anda”, dan 11 pertanyaan untuk hal-hal dilingkungan

kerja contohnya “seberapa puaskah anda dengan kenyamanan durasi jam kerja anda”.

Untuk kedua dimensi yaitu intrinsik dan ekstrinsik, mencakup 11 pilihan jawaban

berdasarkan frekuensi berikut: “nol berarti merasakan benar-benar tidak puas, dan 10

berarti merasakan benar-benar puas. Dan tengah skala adalah 5, yang berarti merasa

netral, tidak puas atau puas”.

Bagian kedua berkaitan dengan employee engagement, employee engagement di

ukur dengan menggunakan “employee engagement Scale" yang disusun oleh Bakker &

Schaufeli (2003), yang terdiri dari 17 pernyataan. Dari jumlah tersebut, 6 pertanyaan

yang mengacu pada semangat dalam bekerja contohnya “saat bekerja, saya merasa

energi saya meluap-luap”, selnjutnya 5 pertanyaan yang mengacu pada dedikasi

contohnya “saya melakukan pekerjaan saya dengan sepenuh hati”, dan 6 pertanyaan

yang mengacu pada absorpsi contohnya “waktu cepat berlalu saat saya bekerja”. Untuk

ketiga dimensi yaitu semangat (vigor), dedikasi (dedication) dan absorpsi (absorption),

Page 23: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

14

mencakup 7 pilihan jawaban berdasarkan frekuensi berikut: “Tidak Pernah (TP),

Hampir Tidak Pernah (HTP), Jarang (J), Kadang (K), Sering, Sangat Sering (SS), dan

Selalu. Sehingga penilaiannya adalah nilai 0 diberikan untuk jawaban Tidak Pernah

(TP), nilai 1 diberikan untuk jawaban Hampir Tidak Pernah (HTP), nilai 2 diberikan

untuk jawaban Jarang (J), nilai 3 diberikan untuk jawaban Kadang (K), nilai 4 diberikan

untuk jawaban Sering, nilai 5 diberikan untuk jawaban Sangat Sering (SS), dan nilai 6

diberikan untuk jawaban Selalu”.

Bagian ketiga mencakup sejumlah pertanyaan demografis seperti jenis kelamin,

usia, status perkawinan, tingkat pendidikan, merupakan karyawan tetap atau tidak,

jabatan, dan lama bekerja.

Prosedur Penelitian

Kuesioner dibagikan kepada karyawan staff tata usaha dan responden diminta

untuk mengisi kuesioner tersebut sesuai dengan keadaan dari masing-masing karyawan.

Kuesioner yang telah diberikan, sebelumnya akan peneliti beritahu bahwa hasilnya akan

digunakan untuk tujuan penelitian saja dan akan merahasikan data-data yang dianggap

sangat pribadi dari karyawan-karyawan tersebut.

UJI ASUMSI

Hasil Uji Reliabilitas dan Seleksi Item

1. Skala Workplace Well-Being

Uji reliabilitas dan analisa seleksi item pada skala workplace well-being

dilakukan dengan dua kali putaran. Putaran pertama untuk menyeleksi butir item

yang lolos (memenuhi konvensi item) dan mengeliminasi item yang gugur.

Selanjutnya pada putaran kedua untuk mengukur reliabilitas pengukuran dan daya

diskriminan setelah mengeluarkan item gugur.

Page 24: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

15

Hasil uji reliabilitas dan daya diskriminan item pada putaran pertama dari

workplace well-being dengan 16 item didapatkan koefisien reliabilitas sebesar

0,911 yang berarti alat ukur tersebut tergolong reliabel, dan dari 16 item tersebut

tidak terdapat item yang gugur. Penentuan-penentuan item valid menggunakan

ketentuan dari Azwar (2012) yang menyatakan bahwa item pada skala pengukuran

dapat dikatakan valid apabila > 0,30. Nilai korelasi item total bergerak antara

0,403-0,818 dengan minimal indeks daya diskriminan item sebesar 0,30.

2. Skala Employee Engagement

Uji reliabilitas dan analisa seleksi item pada skala employee engagement

dilakukan dengan dua kali putaran. Putaran pertama untuk menyeleksi butir item

yang lolos (memenuhi konvensi item) dan mengeliminasi item yang gugur.

Selanjutnya pada putaran kedua untuk mengukur reliabilitas pengukuran dan daya

diskriminan setelah mengeluarkan item gugur.

Hasil uji reliabilitas dan daya diskriminan item pada putaran pertama dari

employee engagement dengan 17 item didapatkan koefisien reliabilitas sebesar

0,848 yang berarti alat ukur tersebut tergolong reliabel. Jumlah item yang gugur

adalah 3, yaitu pada item 3, 6, dan 16. Penentuan-penentuan item valid

menggunakan ketentuan dari Azwar (2012) yang menyatakan bahwa item pada

skala pengukuran dapat dikatakan valid apabila > 0,30. Pada pengujian kedua

didapatkan perubahan koefisien reliabilitas sebesar 0,882. Nilai korelasi item total

bergerak antara 0,359-0,705 dengan minimal indeks daya diskriminan item sebesar

0,30.

Page 25: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

16

HASIL PENELITIAN

Uji Deskriptif

Tabel 1

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

WWB 45 83 159 121.07 18.206

Engagement 45 33 80 55.18 11.308

Valid N

(listwise) 45

1. Variabel Workplace Well-Being (WWB)

Variabel workplace well-being (WWB) memiliki skala yang berisi 16 item

dengan nilai berjenjang antara nilai 0 hingga nilai 10, dan memiliki mean sebesar

121,07 dengan standar deviasi 18,206 dan jumlah subjek (N) sebanyak 45 yang

memperoleh nilai empirik minimum sebesar 83 dan maksimum 159 (lihat Tabel 1).

Untuk menentukan tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel stres kerja, peneliti

menggunakan 4 (empat) kategori yaitu rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi.

Maka skor hipotetik maksimum 10x16 item valid = 160 dan skor minimum 0x16

item valid = 0, maka intervalnya adalah 40 (diperoleh dari perhitungan Interval).

Norma kategorisasi hasil pengukuran Skala WWB dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2.

Kategorisasi Pengukuran Skala Workplace Well-being

No. Interval Kategori Mean N Presentase

1. 0 < X < 40 Rendah 0 0%

2. 40 < X < 80 Sedang 0 0%

3. 80 < X < 120 Tinggi 21 46,67%

4. 120 < X < 160 Sangat Tinggi 121,07 24 53,33%

Jumlah 45 100%

SD = 18,20639 Min = 83 Max = 159

Page 26: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

17

Berdasarkan Tabel 2. di atas dapat dilihat bahwa 24 orang memiliki skor WWB

yang berada pada kategori sangat tinggi dengan presentase 53,33%, 21 orang

memiliki skor WWB pada kategori tinggi dengan presentase 46,67%, dan tidak ada

staff tata usaha yang memiliki skor WWB yang sedang dan rendah dengan

presentase 0%. Berdasarkan rata-rata WWB staff tata usaha berada pada kategori

sangat tinggi. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 83

sampai dengan skor maksimum sebesar 159 dengan standar deviasi 18,206.

2. Variabel Employee Engagement

Variabel employee engagement memiliki skala yang berisi 14 item dengan nilai

berjenjang antara nilai 0 hingga nilai 6. dan memiliki mean sebesar 55,18 dengan

standar deviasi 11,308 dan jumlah subjek (N) sebanyak 45 yang memperoleh nilai

empirik minimum sebesar 33 dan maksimum 80 (lihat Tabel 1). Untuk menentukan

tinggi rendahnya hasil pengukuran variabel stres kerja, peneliti menggunakan 4

(empat) kategori yaitu rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi. Maka skor hipotetik

maksimum 6x14 item valid = 84 dan skor minimum 0x14 item valid = 0, maka

intervalnya adalah 21 (diperoleh dari perhitungan Interval).

Norma kategorisasi hasil pengukuran Skala WWB dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3.

Kategorisasi Pengukuran Skala Employee Engagement

No. Interval Kategori Mean N Presentase

1. 0 < X < 21 Rendah 0 0%

2. 21 < X < 42 Sedang 4 8,89%

3. 42 < X < 63 Tinggi 55,18 29 64,44%

4. 63 < X < 84 Sangat Tinggi 12 26,67%

Jumlah 45 100%

SD = 11,30826 Min = 33 Max = 80

Page 27: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

18

Berdasarkan Tabel 3. di atas dapat dilihat bahwa 12 orang memiliki skor

employee engagement yang berada pada kategori sangat tinggi dengan presentase

26,67%, 29 orang memiliki skor employee engagement yang berada pada kategori

tinggi dengan presentase 64,44%, dan 4 orang memiliki skor employee engagement

yang berada pada kategori sedang dengan prensentase 8,89%, serta tidak ada staff

tata usaha yang memiliki skor employee engagement yang rendah dengan presentase

0%. Berdasarkan rata-rata employee engagement staff tata usaha berada pada

kategori tinggi. Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 33

sampai dengan skor maksimum sebesar 80 dengan standar deviasi 11,308.

Uji Normalitas

Untuk uji normalitas sebaran skor digunakan uji Kolmogorof Smirnov.

Tabel 4.

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

WWB Engagement

N 45 45

Normal Parametersa Mean 121.07 55.18

Std. Deviation 18.206 11.308

Most Extreme

Differences

Absolute .071 .128

Positive .071 .128

Negative -.064 -.061

Kolmogorov-Smirnov Z .477 .862

Asymp. Sig. (2-tailed) .977 .447

Berdasarkan hasil uji normalitas yang menggunakan Kolmogorof smirnov pada

tabel 4 diatas, dapat diketahui kedua variabel memiliki signifikansi p>0,05. Variabel

Workplace Well-Being memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,477 dengan nilai signifikansi

sebesar 0,977 (p>0,05). Oleh karena nilai signifikansi p>0,05, maka distribusi data

berdistribusi normal. Hal ini juga terjadi pada variabel Employee Engagement yang

Page 28: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

19

memiliki nilai K-S-Z sebesar 0,862 dengan nilai signifikansi sebesar 0,477 (p>0,05),

dengan demikian data Employee Engagement juga berdistribusi normal.

Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk menguji integritas hubungan data yaitu variabel

bebas dan variabel terikat, untuk mengetahui apakah variabel bebas berhubungan

dengan variabel terikat atau tidak.

Tabel 5.

Hasil Uji Linearitas antara Workplace Well-Being dengan Employee Engagement

ANOVA Table

Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig.

Engage

ment *

WWB

Between

Groups

(Combined) 4873.244 29 168.043 3.346 .008

Linearity 3636.273 1 3636.273 72.404 .000

Deviation from

Linearity 1236.971 28 44.178 .880 .628

Within Groups 753.333 15 50.222

Total 5626.578 44

Dari hasil uji linearitas diperoleh nilai Fbeda sebesar 0,880 dengan sig.= 0,628

(p>0,05) yang menunjukkan hubungan antara workplace well-being dengan employee

engagement pada staff tata usaha adalah linear.

Uji Korelasi

Hasil korelasi antara workplace well-being dengan employee engagement pada staff

tata usaha yang menggunakan analisis korelasi Pearson product moment dapat dilihat pada

tabel 6, berikut ini :

Page 29: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

20

Tabel 6.

Hasil Uji Korelasi antara Workplace Well-Being dengan Employee Engagement

Correlations

WWB Engagement

WWB Pearson Correlation 1 .804**

Sig. (2-tailed) .000

N 45 45

Engagement Pearson Correlation .804**

1

Sig. (2-tailed) .000

N 45 45

Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi antara

workplace well-being dengan employee engagement pada staff tata usaha, sebesar 0,804

dengan signifikansi = 0,000 (p<0,05), yang menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif

antara workplace well-being dengan employee engagement pada staff tata usaha

Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi workplace well-being yang meraka

dapatkan maka semakin tinggi pula employee engagement pada mereka. Besarnya variasi

employee engagement staff tata usaha dengan workplace well-being dapat menjelaskan

bahwa workplace well-being memberikan kontribusi employee engagement staff tata usaha

64% dan sisanya 36% yang dipengaruhi oleh faktor lain diluar workplace well-being yang

dapat berpengaruh terhadap employee engagement staff tata usaha.

Hasil Demografis

Dari 45 responden yang diteliti, 24 adalah karyawan yang berjenis kelamin laki-laki

dengan usia rata-rata berkisaran 25 – 54 tahun dan 21 berjenis kelamin perempuan dengan

usia rata-rata berkisaran 26 – 55 tahun, merupakan karyawan tetap yang bekerja lebih dari

5 tahun bahkan sebagian besar telah bekerja selama puluhan tahun, dengan dasar kontrak

Page 30: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

21

yaitu waktu penuh dengan rata-rata waktu perminggunya 37,5 - 40/jam, mayoritas

karyawan laki-laki dan perempuan telah berstatus sudah menikah, dan dari 45 karyawan,

15 karyawan merupakan tamatan S1, 8 karyawan merupakan tamatan D3, dan 22 karyawan

merupakan tamatan SMK/SMA.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai hubungan antara workplace well-being dengan

employee engagement pada staff tata usaha universitas kristen satya wacana Salatiga, di

dapat hasil uji korelasi yang sudah dilakukan oleh peneliti maka didapatkan nilai korelasi

sebesar 0,804 dengan signifikansi 0,000 (p < 0.05). Hal ini menunjukkan bahwa H1

diterima dan H0 ditolak, yang artinya bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara

workplace well-being dengan employee engagement pada staff tata usaha universitas

kristen satya wacana Salatiga. Hal ini berarti semakin tinggi workplace well-being maka

semakin tinggi pula employee engagementnya. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa

kemungkinan. Pertama, sebagai staff TU menganggap bahwa bekerja sebagai TU di UKSW

membuat mereka memperoleh nilai-nilai kerja yang dapat dinikmati untuk menoleh

pekerjaannya, sehingga membuat mereka berprilaku positif pada pekerjaannya. Kedua,

pada umumnya karyawan TU merasakan ada kenyamanan kerja yang dapat membuat

mereka sejahtera sehingga dapat membuat mereka bekerja lebih terikat untuk mendukung

tugas-tugasnya sebagai TU di UKSW.

Hasil penelitian ini mendukung yang diutarakan oleh Lilita (2013) pada karyawan

staff dari Universitas Namibia, menyatakan bahwa kesejahteraan itu dikonseptualisasikan

sebagai proses yang saling terkait dengan terikatan kerja. Hasil analisis menunjukkan

bahwa lapangan kerja memainkan peran penting dalam keterlibatan kerja, baik sebagai

kontribusi. Kelebihan beban kerja dan gaya manajemen dapat mempengaruhi keterlibatan

Page 31: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

22

dalam bekerja baik secara emosional maupun fisik. Hal serupa diungkapkan oleh Wustari

& Mangunwijaya (2010) dalam penelitiannya ditemukan bahwa workplace well-being

memiliki hubungan positif yang signifikan dengan employee engagement (r=0,551), dan

lebih jauh lagi workplace well-being memberi kontribusi yang sangat signifikan (80,3%)

pada kemunculan employee engagement. Schmidt, Faye (2004) bahwa workplace well-

being salah satu faktor yang berperan besar menciptakan employee engagement.

Berdasarkan hasil analisa deskriptif dalam peelitian ini, diperoleh data bahwa

workplace well-being sebesar 53,33% yang ada pada kategori sangat tinggi. Hal ini

menunjukkan bahwa sebagian besar karyawan staff TU memiliki workplace well-being

yang tinggi. Pada tingkat employee engagement yang dimiliki oleh staff tata usaha sebesar

64,44% yang berada pada kategori tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian staff

tata usaha memiliki tingkat employee engagement yang berada pada taraf tinggi.

Rasa keterikatan atau employee engagement ini membuat karyawan semangat dalam

bekerja. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa employee engagement telah menjadi

agenda penting untuk dimiliki oleh setiap perusahaan/organisasi. Sebaliknya, tanpa adanya

employee engagement, inisiatif pengembangan dalam bentuk apapun tidak akan

membuahkan hasil, karena tidak disertai dengan peran serta, komitmen, serta rasa

keterikatan para karyawannya (Lewis, 2012).

Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fairhurst (2010) keterikatan

(engagement) meningkatkan pendapatan perusahaan sebesar 57%, meningkatkan nilai

perusahaan 16%, dan meningkatkan kesejahteraan karyawan itu sendiri sebesar 20%

(Fairhurst, D; O‟Connor. 2010).

Page 32: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

23

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas mengenai hubungan antara

workplace well-being dengan employee engagement pada staff tata usaha universitas

kristen satya wacana Salatiga, dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang

signifikan antara hubungan antara workplace well-being dengan employee engagement

pada staff tata usaha universitas kristen satya wacana Salatiga. Dari hasil analisa data

diperoleh koefisien korelasi (r) 0,804 dengan nilai signifikansi 0,000(p < 0,05).

Sebagian besar subjek staff tata usaha memiliki tingkat workplace well-being dengan

rata-rata sebesar 1,2107 yang berada pada kategori sangat tinggi, dan rata-rata employee

engagement sebesar 55.1778 berada pada kategori tinggi. Sumbangan efektif workplace

well-being sebesar 64%, hal ini berarti bahwa 36% workplace well-being dipengaruhi

faktor lain.

Saran

Adapun saran peneliti berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut :

1. Bagi karyawan staff tata usaha.

Setiap karyawan diberi kesempatan untuk mewujudkan nilai-nilai kerja akan

kesehariannya melalui pelayanan yang diberikan kepada dosen & mahasiswa sehingga

dapat lebih terikat dengan tugasnya sebagai TU di UKSW.

2. Bagi lembaga Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.

UKSW perlu memberikan kesempatan kepada setiap TU untuk meningkatkan

keterampilan mereka dalam melayani dosen & mahasiswa melalui berbagai pelatihan

yang mengembangkan nilai-nilai kerja yang positif, untuk dapat melayani dengan baik

dan profesional.

Page 33: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

24

3. Bagi penelitian selanjutnya.

a. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan dapat meneliti faktor-faktor lain yang

dapat mempengaruhi antara employee engagement pada staff tata usaha selain

workplace well-being, seperti faktor komitmen, dan lainnya.

b. Diharapkan populasi pada penelitian selanjutnya dapat diperluas, serta dapat

melihat perbandingan pada perbedaan antara jabatan.

DAFTAR PUSTAKA

Adriana, M.L. (2013). Antecedents And Outcomes Of Work-Related Psychological

Well-Being Of Staff Members Of The University Of Namibia (Tesis). University

Of Namibia.

Albrecht, S. L. (2010). Employee engagement: 10 key questions for research and

practice (pp 3-19). In Albrecht, S.A. (Ed). Handbook of employee engagement:

perspectives, issues, research, and practices. Edward Elgar Publishing, Inc.:

Massachusets.

Arikunto, S. (2006). Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Edisi Revisi.

Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi. Edisi 2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bakker, A.B; M.P. Leiter (Eds.): Work engagement: A Handbook of Essential Theory

and Research. New York, Psychology Press.

Erin Research Inc. (2005). Building a better workplace – Joint pilot project; Results of

the 2005 PSHRMAC Employee Survey.

Fairhurst, D. J, O‟Connor (2010). Employee Well-Being: Taking Engagement and

Performance to Next Level. TowersWatson.

Finney, M.I. (2010). Engagement: cara pintar membuat karyawan mencurahkan

kemampuan terbaik untuk perusahaan. Penerjemah: Verawaty Pakpahan.

Jakarta. Penerbit PPM.

Gallup. (2004). Diunduh pada. Dari http:www.gallup.com/consulting/121535/Employee

Enggement-Overview-Brochure.aspx.

Gilbreth, Brad & Benson, Philip G. (2004). The Contribution of Supervisor Behaviour

to Employee Psychological Wellbeing. Work & Stress, July, 1 B, 3, 255-266.

Page 34: Hubungan Antara Workplace Well-Being dengan Employee

25

Hadi, S. (2004). Metodologi research. Yogyakarta: Andi Ofset.

Haryanto, D & Ispurwanto, W. (2012). Hubungan Kesejahteraan Psikis Dengan

Keterikatan Karyawan Pada PT.X. jurnal Universitas Bina Nusantara.

Lewis, R. E. Donaldson-Feilder. (2012). Managing for Sustainable Employee

Engagement. London: Chartered Institute of Personnel & Development.

Luthans, F. Peterson., S.J. (2002). Employee engagement and manager self-efficacy:

implications for managerial effectiveness and development. Journal of

Management Development, 21, (5), pp: 276-287.

Macey, William H., Schneider, Benyamin., Barbera, Karen M., Young, Scott A, (2009)

Employee Engagement, tools for analysis, Practice, and Competitive Advantage,

Wiley‐ Blackwell, Chichester, West Sussex, United Kingdom.

McShane, Steven L. Glinow., Mary Ann von (2008) Organizational Behavior,

McGraw‐Hill Irwim, New York.

Nurgiyantoro, Gunawan, & Marzuki. (2009). Statistik terapan: untuk penelitian ilmu-

ilmu sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Page, Kathryn. (2005). Subjective Wellbeing in the Workplace (Thesis). School of

Psychology Faculty of Health and Behavioural Sciences Deakin University.

Page, Karthryn. (2010). Submitted in partial fulfillment of the requirements for the

degree of docktor of psychology (Thesis). School of Psychology and Psychiatry.

Australia: Monash University.

Robbins, S. & Judge, T. (2007), Organizational Behavior, 12th

edition, Prentice-Hall.

Schaufeli, W.B & Bakker, A.B. (2004). Job demands, job resources, and their

relationship with burnout and engagement: a multi-sample study. Journal of

Organizational Behavior, 25, 293-315.

Schmidt, Faye. (2004). Workplace Well-Being in the Public Sector – A Review of the

Literature and the Road Ahead. Treasury Board of Canada Secretariat.

Vaart, DVL. Linde, B. Beer, DL. & Cockeran, M. (2014). Employee Well-Being,

Intention To Leave And Perceived. Journal Of Economic And Management

Sciences (Sajems), 1:32-44.

Wustari, LHM. (2010). Pengaruh Workplace Wellbeing terhadap Psychological Capital

dan Employee Engagement. Kumpulan karya tulis ilmiah konferensi APIO IV

Surabaya.