evaluasi pengembangan kawasan agropolitan untuk komoditas kopi pada skpp i di kabupaten jombang

14
Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada SKPP I Di Kabupaten Jombang 1 EVALUASI KESESUAIAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN UNTUK KOMODITAS KOPI PADA SKPP I DI KABUPATEN JOMBANG Dwikki Rahadian Yudha Wijayanto Mahasiswa S1 Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya, [email protected] Wiwik Sri Utami Dosen Pembimbing Mahasiswa Abstrak Satuan Kawasan Pengembangan Pertanian I (SKPP I) adalah sasaran pengembangan kawasan agropolitan di Kabupaten Jombang. SKPP I memiliki 15 komoditas unggulan, salah satunya yaitu kopi. Kopi merupakan komoditas yang memiliki stabilitas harga pasar yang baik, sehingga para petani akan cenderung tetap bertahan menanam kopi dari tahun ke tahun karena tingkat kerugiannya lebih kecil. Di samping itu, kebijakan dan rencana pembangunan yang detil telah ditetapkan pemerintah setempat dalam rangka mengembangkan kawasan agropolitan untuk komoditas kopi. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kesesuaian lahan bagi tanaman kopi dan mengevaluasi kesesuaian wilayahnya dalam konsep pengembangan kawasan agropolitan. Jenis penelitian yang digunakan ialah penelitian survei. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini meliputi wawancara, observasi, pengukuran di lapangan, uji laboratorium, dan dokumentasi. Selanjutnya data yang terhimpun dianalisis dengan metode matching: (1) antara karakteristik lahan dengan syarat tumbuh tanaman kopi; (2) dan antara kebijakan atau strategi pengembangan kawasan agropolitan dengan kondisi eksisting di lapangan. Hasil penelitian mengenai evaluasi kesesuaian lahan menunjukkan bahwa terdapat lahan seluas 8.454,32 Ha di SKPP I yang memiliki potensi untuk budidaya kopi. Lahan tersebut terletak di tiga kecamatan yaitu Kecamatan Wonosalam (6.679,11 Ha), Kecamatan Bareng (1.232,85 Ha), dan Kecamatan Mojowarno (542,36 Ha). Dari total luas lahan yang berpotensi tersebut tergolong kelas kesesuaian lahan berupa S2 (cukup sesuai) dan S3 (sesuai marginal) dengan faktor pembatas pada variabel temperatur, bulan kering, tekstur tanah, drainase tanah, dan kemiringan lereng. Sedangkan hasil penelitian untuk evaluasi kesesuaian wilayah pengembangan kawasan agropolitan menunjukan bahwa: (1) belum ada realisasi pembangunan industri pembuatan pupuk untuk tanaman kopi; (2) hanya terdapat satu home industry pengolahan berbahan baku kopi yang bernama “Kopi Bagong”; (3) pola kemitraan pemasaran yang direncakan belum berjalan namun masih bergantung pada keberadaan tengkulak; (4) belum adanya realisasi kesinambungan keberadaan BPR dengan petani kopi yang membutuhkan bantuan modal. Kata Kunci: kesesuaian lahan, kesesuaian wilayah, agropolitan, komoditas kopi. Abstract Satuan Kawasan Pengembangan Pertanian I (SKPP I) is subjected as agropolitan development area in Jombang City. SKPP I has 15 leading commodity, one of which is coffee. Coffee is a commodity that has a good market price stability, so that farmers will tend to persist to grow coffee for long time because the rate of loss is smaller. In addition, policies and detailed development plan has set local authorities in order to develop agropolitan for coffee. Therefore, this study aims to evaluate land suitability for coffee plantations and evaluate region suitability of agropolitan development concept. This type of research is a survey research. Data collection techniques in this study included interviews, observations, measurements in the field, laboratory testing, and documentation. Furthermore, the data collected was analyzed by the method of matching: (1) between the land characteristics with the requirements growth coffee plant; (2) and between the policy or strategy of agropolitan development with the existing condition in the field. Results of research on land suitability evaluation indicates there is an area of 8.454,32 Ha in SKPP I which have the potential for the cultivation of coffee. The land is located in three sub-districts of Wonosalam (6.679,11 Ha), Bareng (1.232,85 Ha), and Mojowarno (542,36 Ha). Of the total land area that potentially are still classified as land evaluation classes in the form of S2 (Cukup Sesuai) and S3 (Sesuai Marginal) with the limitation factors on the variable temperature, dry season, soil texture, soil drainage, and slope. While the results of study to evaluate region suitability of the agropolitan development area show that: (1) there is no realization of industrial manufacture of fertilizer for the coffee plants; (2) there is only one home industry of coffee processing named "Kopi Bagong"; (3) the pattern of planned marketing partnerships which have not been running but is still dependent on the existence of “tengkulak”; (4) the lack of realization of the continued existence of BPR with coffee farmers who need capital. Keywords: land suitability, region suitability, agropolitan, coffee commodities

Upload: alim-sumarno

Post on 11-Jan-2016

13 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, author : DWIKKI RAHADIAN YUDHA WIJAYANT

TRANSCRIPT

Page 1: EVALUASI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN UNTUK KOMODITAS KOPI PADA SKPP I DI KABUPATEN JOMBANG

Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada

SKPP I Di Kabupaten Jombang

1

EVALUASI KESESUAIAN PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN UNTUK

KOMODITAS KOPI PADA SKPP I DI KABUPATEN JOMBANG

Dwikki Rahadian Yudha Wijayanto

Mahasiswa S1 Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya, [email protected]

Wiwik Sri Utami

Dosen Pembimbing Mahasiswa

Abstrak

Satuan Kawasan Pengembangan Pertanian I (SKPP I) adalah sasaran pengembangan kawasan

agropolitan di Kabupaten Jombang. SKPP I memiliki 15 komoditas unggulan, salah satunya yaitu kopi.

Kopi merupakan komoditas yang memiliki stabilitas harga pasar yang baik, sehingga para petani akan

cenderung tetap bertahan menanam kopi dari tahun ke tahun karena tingkat kerugiannya lebih kecil. Di

samping itu, kebijakan dan rencana pembangunan yang detil telah ditetapkan pemerintah setempat dalam

rangka mengembangkan kawasan agropolitan untuk komoditas kopi. Oleh sebab itu, penelitian ini

bertujuan untuk mengevaluasi kesesuaian lahan bagi tanaman kopi dan mengevaluasi kesesuaian

wilayahnya dalam konsep pengembangan kawasan agropolitan.

Jenis penelitian yang digunakan ialah penelitian survei. Teknik pengumpulan data pada penelitian

ini meliputi wawancara, observasi, pengukuran di lapangan, uji laboratorium, dan dokumentasi.

Selanjutnya data yang terhimpun dianalisis dengan metode matching: (1) antara karakteristik lahan

dengan syarat tumbuh tanaman kopi; (2) dan antara kebijakan atau strategi pengembangan kawasan

agropolitan dengan kondisi eksisting di lapangan.

Hasil penelitian mengenai evaluasi kesesuaian lahan menunjukkan bahwa terdapat lahan seluas

8.454,32 Ha di SKPP I yang memiliki potensi untuk budidaya kopi. Lahan tersebut terletak di tiga

kecamatan yaitu Kecamatan Wonosalam (6.679,11 Ha), Kecamatan Bareng (1.232,85 Ha), dan Kecamatan

Mojowarno (542,36 Ha). Dari total luas lahan yang berpotensi tersebut tergolong kelas kesesuaian lahan

berupa S2 (cukup sesuai) dan S3 (sesuai marginal) dengan faktor pembatas pada variabel temperatur, bulan

kering, tekstur tanah, drainase tanah, dan kemiringan lereng. Sedangkan hasil penelitian untuk evaluasi

kesesuaian wilayah pengembangan kawasan agropolitan menunjukan bahwa: (1) belum ada realisasi

pembangunan industri pembuatan pupuk untuk tanaman kopi; (2) hanya terdapat satu home industry

pengolahan berbahan baku kopi yang bernama “Kopi Bagong”; (3) pola kemitraan pemasaran yang

direncakan belum berjalan namun masih bergantung pada keberadaan tengkulak; (4) belum adanya

realisasi kesinambungan keberadaan BPR dengan petani kopi yang membutuhkan bantuan modal.

Kata Kunci: kesesuaian lahan, kesesuaian wilayah, agropolitan, komoditas kopi.

Abstract

Satuan Kawasan Pengembangan Pertanian I (SKPP I) is subjected as agropolitan development

area in Jombang City. SKPP I has 15 leading commodity, one of which is coffee. Coffee is a commodity

that has a good market price stability, so that farmers will tend to persist to grow coffee for long time

because the rate of loss is smaller. In addition, policies and detailed development plan has set local

authorities in order to develop agropolitan for coffee. Therefore, this study aims to evaluate land

suitability for coffee plantations and evaluate region suitability of agropolitan development concept.

This type of research is a survey research. Data collection techniques in this study included

interviews, observations, measurements in the field, laboratory testing, and documentation. Furthermore,

the data collected was analyzed by the method of matching: (1) between the land characteristics with the

requirements growth coffee plant; (2) and between the policy or strategy of agropolitan development with

the existing condition in the field.

Results of research on land suitability evaluation indicates there is an area of 8.454,32 Ha in

SKPP I which have the potential for the cultivation of coffee. The land is located in three sub-districts of

Wonosalam (6.679,11 Ha), Bareng (1.232,85 Ha), and Mojowarno (542,36 Ha). Of the total land area

that potentially are still classified as land evaluation classes in the form of S2 (Cukup Sesuai) and S3

(Sesuai Marginal) with the limitation factors on the variable temperature, dry season, soil texture, soil

drainage, and slope. While the results of study to evaluate region suitability of the agropolitan

development area show that: (1) there is no realization of industrial manufacture of fertilizer for the

coffee plants; (2) there is only one home industry of coffee processing named "Kopi Bagong"; (3) the

pattern of planned marketing partnerships which have not been running but is still dependent on the

existence of “tengkulak”; (4) the lack of realization of the continued existence of BPR with coffee farmers

who need capital.

Keywords: land suitability, region suitability, agropolitan, coffee commodities

Page 2: EVALUASI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN UNTUK KOMODITAS KOPI PADA SKPP I DI KABUPATEN JOMBANG

Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015

2

PENDAHULUAN

Secara geografis, Indonesia memiliki potensi yang

baik untuk bidang pertanian. Hal ini ditinjau dari

karakteristik geologi, klimatik dan edafik yang dimiliki

(Andrianto, 2014:1). Sementara jika dilihat dari sudut

pandang sosial, data menunjukkan bahwa dari jumlah

tenaga kerja Indonesia sebanyak 112.761.072 jiwa,

terdapat 34,7% yang bekerja di sektor agraris (BPS,

2014). Hal tersebut juga melatarbelakangi istilah “negara

agraris” yang disematkan masyarakat dunia kepada negara

Indonesia. Mengingat bidang pertanian merupakan mata

pencaharian pokok bagi sebagian besar penduduknya

(Andrianto, 2014:2). Hal ini mengindikasikan bahwa

bidang pertanian di Indonesia merupakan potensi besar

untuk dikembangkan, sehingga pembangunan bidang

pertanian sebagai sektor basis wilayah pedesaan akan

menjadi suatu hal yang vital (Muta’ali,2013:113). Seperti

diketahui bahwa kesenjangan pembangunan di perkotaan

dan pedesaan masih menjadi masalah bagi Indonesia,

maka dari itu diperlukan konsep pembangunan pedesaan

yang secara konkret bisa mengatasi masalah tersebut.

Agropolitan merupakan salah satu konsep

pembangunan yang dianggap masih menjadi solusi utama

dalam meminimalkan kesenjangan antara perkotaan dan

pedesaan (Rahmawati, 2008:18). Melalui konsep ini juga

akan mendorong penduduk pedesaan untuk tetap tinggal

di wilayahnya dan berinvestasi di kawasan pedesaan.

Sebagaimana telah diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007

tentang Penataan Ruang bahwa konsep agropolitan

diartikan sebagai kawasan pusat kegiatan di wilayah

pedesaan yang berbasis pertanian dan pengelolaan sumber

daya alam tertentu yang dilengkapi dengan adanya

keterkaitan fungsional keruangan serta didasarkan pada

sistem agribisnis yang di dalamnya mencakup kegiatan

agroindustri (Rustiadi, dkk. 2011:329). Menindaklanjuti

regulasi dari Pemerintah Pusat tersebut, maka Provinsi

Jawa Timur juga telah memulai mengkampanyekan

pembangunan wilayah pedesaan berbasis pendekatan

agropolitan. Provinsi ini telah menetapkan 22 kabupaten

sebagai sasaran pengembangan kawasan agropolitan,

salah satunya adalah Kabupaten Jombang.

Sejak tahun 2010, melalui Keputusan Bupati Jombang

Nomor 188.4.45/189/145.10.10/2010 tentang Penetapan

Lokasi dan Komoditas Unggulan Kawasan Agropolitan

pada Satuan Kawasan Pengembangan Pertanian I (SKPP

I) di Kabupaten Jombang, telah ditetapkan empat

kecamatan yang menjadi sasaran pengembangan kawasan

agropolitan. Empat kecamatan tersebut tergabung dalam

SKPP I yang meliputi Kecamatan Mojowarno, Kecamatan

Wonosalam, Kecamatan Bareng, dan Kecamatan Ngoro.

Berdasarkan surat keputusan tersebut juga telah

ditentukan 15 komoditas unggulan yang dikembangkan,

salah satunya ialah komoditas kopi.

Kopi merupakan komoditas yang memiliki stabilitas

harga pasar yang baik, sehingga para petani akan

cenderung tetap bertahan menanam kopi dari tahun ke

tahun karena tingkat kerugiannya lebih kecil. Selain itu,

produk kopi juga memiliki kemampuan untuk disimpan

dalam waktu yang lama, bahkan semakin lama usia kopi

disimpan maka semakin mahal harga jualnya. Komoditas

kopi menjadi salah satu andalan bagi Kabupaten Jombang,

meskipun hanya terdapat dua kecamatan yang setiap

tahunnya menghasilkan panen produk kopi, yaitu

Kecamatan Wonosalam dan Bareng. Dengan luas lahan

1.252,5 Ha, dua kecamatan tersebut mampu memproduksi

474,79 Ton produk kopi dalam satu tahun (BPS Kab.

Jombang, 2014). Di samping itu, komoditas kopi telah

ditetapkan rencana pengembangannya melalui dokumen

rencana induk pengembangan kawasan agropolitan oleh

Bappeda Kab. Jombang. Rancangan tersebut meliputi: (1)

pembangunan industri pupuk untuk tanaman kopi; (2)

pembangunan industri pengolahan berbahan baku produk

kopi seperti industri kopi bubuk, minuman rasa kopi, dan

essense kopi; (3) pola kemitraan strategi pemasaran

berbasis Koperasi Masyarakat Agribisnis Terintegrasi

Vertikal (KOVATMA) dan Korporasi Masyarakat

Agribisnis (KOMA); (4) penyediaan lembaga perkreditan

(Bappeda Kab. Jombang, 2010:122-123).

Namun demikian, penetapan komoditas kopi sebagai

salah satu komoditas unggulan pada kawasan agropolitan

di SKPP I tentu memerlukan kajian lebih lanjut. Hal ini

untuk memastikan bahwa keberadaan pengembangan

komoditas kopi di SKPP I sudah sesuai menurut teori dan

pelaksanaan strateginya telah berjalan sesuai rencana.

Maka dari itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk

menentukan kesesuaian lahan bagi pengembangan

komoditas kopi dan menentukan kesesuaian wilayahnya

berdasarkan pelaksanaan strategi dan kebijakan

pengembangan kawasan agropolitan yang telah disusun.

Dengan demikian akan dapat diketahui sebaran kelas

kesesuaian lahan untuk tanaman kopi di SKPP I dan dapat

diketahui sejauh mana implementasi rencana

pengembangan kawasan agropolitan tersebut.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini ialah penelitian survei. Dengan

pendekatan deskriptif evaluatif, yaitu bertujuan untuk

membandingkan atau matching kondisi di lapangan

dengan kriteria atau syarat tertentu. Lokasi penelitian ini

berada di SKPP I yang penentuannya dilakukan secara

purposive berdasarkan Surat Keputusan Bupati Jombang

Nomor 188.4.45/189/145.10.10/2010 tentang Penetapan

Lokasi dan Komoditas Unggulan Kawasan Agropolitan

pada Satuan Kawasan Pengembangan Pertanian I (SKPP

Page 3: EVALUASI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN UNTUK KOMODITAS KOPI PADA SKPP I DI KABUPATEN JOMBANG

Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada

SKPP I Di Kabupaten Jombang

3

I) di Kabupaten Jombang. Subjek penelitian ini adalah

seluruh cakupan wilayah dari SKPP I di Kabupaten

Jombang, yang secara administratif terbagi dalam empat

kecamatan berikut: Kecamatan Mojowarno, Kecamatan

Wonosalam, Kecamatan Bareng, dan Kecamatan Ngoro.

Sementara itu, terdapat tiga objek penelitian yang

meliputi: (1) objek penelitian untuk menentukan tingkat

kesesuaian lahan untuk tanaman kopi yang didasarkan

pada peta unit analisis lahan yang kemudian dipilih

beberapa unit lahan secara purposive berdasarkan

pertimbangan tertentu dengan pendekatan fisiografis; (2)

untuk evaluasi kesesuaian wilayah pengembangan

kawasan agropolitan untuk komoditas kopi adalah para

pengurus kelompok tani yang berada di Desa

Carangwulung dan Desa Jarak. Di mana terdapat 13

kelompok tani yang akan menjadi responden. Penentuan

asal lokasi kelompok tani ini dilakukan secara purposive

dengan dasar pertimbangan bahwa kedua desa tersebut

telah ditetapkan sebagai kawasan pemusatan produksi

komoditas kopi; (3) Kepala Bagian Ekonomi Bappeda

Kab. Jombang selaku penanggung jawab program

agropolitan SKPP I.

Tabel 1. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kopi

Kualitas/Karakteristik

Lahan Simbol

Tingkat Kesesuaian

S1

(Sangat Sesuai)

S2

(Cukup Sesuai)

S3

(Sesuai

Marginal)

N

(Tidak

Sesuai)

Temperatur

Rata-rata tahunan (°C)

(t)

22-25

>25-28

>28-32

19-<22

>32

<19

Ketersediaan air

Bulan Kering (<75mm)

Curah hujan/tahun (mm)

Kelembapan (%)

(w)

2-3

1500-2500

45-<80

>3-5

>2500-3000

80-90

35-45

>5-6

>3000-4000

1250-<1500

>90

30-<35

>6

>4000

<1250

<30

Media perakaran

Drainase tanah

Tekstur

(r)

Baik

L, SCL, Sil, Si,

CL, SiCL

Sedang

SL, SC, SiC, C

Agak terhambat,

agak cepat

LS, Str C

Terhambat,

agak cepat,

sangat

terhambat,

sangat cepat.

Kerikil, pasir

Penyiapan lahan

Konsistensi

(p)

-

-

Sangat keras,

sangat teguh,

sangat lekat

Berkerikil,

berbatu

Tingkat Bahaya Erosi

Kemiringan Lereng (%)

(e)

<8

8-15

>15-25

>25

Teknik pengumpulan data yang digunakan ialah

wawancara, observasi, pengukuran di lapangan, uji

laboratorium, dan dokumentasi. Wawancara dilakukan

untuk mendapatkan data mengenai variabel industri

pembuatan pupuk untuk tanaman kopi, industri

pengolahan berbahan baku produk kopi, strategi

pemasaran, dan lembaga perkreditan. Di mana yang

menjadi target dalam wawancara adalah kelompok tani

dan Kepala Bagian Ekonomi Bappeda Kab. Jombang.

Sementara untuk observasi dilakukan dalam rangka

memperoleh data mengenai drainase tanah dan

penggunaan lahan eksisting. Pengukuran di lapangan

dilakukan untuk mendapatkan data koordinat letak

industri pupuk untuk tanaman kopi, koordinat letak

industri pengolahan berbahan baku produk kopi, dan

koordinat letak lembaga perkreditan, serta koordinat titik

unit lahan sebagai objek penelitian. Uji laboratorium

dilakukan untuk memperoleh data mengenai tekstur tanah

dan konsistensi tanah. Kemudian dokumentasi dilakukan

untuk memperoleh data-data sekunder yang meliputi peta

penggunaan lahan, dan peta jenis tanah dari wilayah

Kabupaten Jombang, data jumlah curah hujan menurut

bulan pada tahun 2004 – 2013, data temperatur menurut

bulan pada tahun 2011 – 2014, dan data kelembapan

udara menurut bulan pada tahun 2011 – 2014, dan peta

Rupa Bumi Indonesia skala 1:25.000 dengan nomor

lembar 1508-323 (Kandangan), 1508-324 (Pujon), 1508-

Sumber: Modifikasi dari Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007:310

Page 4: EVALUASI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN UNTUK KOMODITAS KOPI PADA SKPP I DI KABUPATEN JOMBANG

Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015

4

332 (Kunjang), 1508-341 (Ngoro), 1508-342

(Panglungan), dan 1508-343 (Mojoagung).

Teknik analisis data yang digunakan untuk

mengevaluasi kesesuaian lahan adalah matching atau

membandingkan antara karakteristik lahan dengan syarat

tumbuh tanaman kopi. Kriteria kesesuaian lahan untuk

tanaman kopi seperti disajikan pada Tabel 1. Sedangkan

untuk mengevaluasi kesesuaian wilayah digunakan teknik

yang sama yaitu matching atau membandingkan antara

kebijakan atau strategi pengembangan kawasan

agropolitan dengan kondisi eksisting di lapangan.

HASIL PENELITIAN

Unit Analisis Lahan SKPP I

Unit analisis lahan merupakan hal yang mendasari

dalam teknik analisis data matching antara antara

karakteristik lahan dengan syarat tumbuh tanaman kopi.

Pada unit analisis lahan ini digunakan empat peta dasar

yaitu peta bentuk lahan, peta jenis tanah, peta kemiringan

lereng, dan peta penggunaan lahan. Keempat peta tersebut

diolah melalui Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan

aplikasi Arc View 3.3. Keempat peta dasar tersebut di-

overlay (tumpang susun) dan menghasilkan peta unit

analisis lahan. Setelah dilakukan tahap overlay, maka

didapatkan 37 unit lahan di SKPP I.

Ditinjau dari aspek bentuk lahan, seluruh unit lahan

yang ada di SKPP I dapat dibagi menjadi dataran fluvial,

lereng bawah pegunungan, dan lereng tengah

pegunungan. Menurut Soetoto (2013:142), bentuk lahan

dataran fluvial merupakan dataran yang terbentuk dari

hasil sedimentasi sungai dan kegiatan erosi. Bentuk lahan

ini mencakup sebagian wilayah dari Kecamatan

Mojowarno, Bareng dan seluruh Kecamatan Ngoro. Pada

bentuk lahan dataran fluvial ini tampak memiliki

karakteristik pola aliran sungai membentang secara

vertikal (dari utara ke selatan) dan relief permukaan yang

datar.

Bentuk lahan lereng bawah pegunungan dan lereng

tengah pegunungan adalah tergolong dalam bentuk lahan

vulkanik. Kedua bentuk lahan tersebut menunjukkan

karakteristik lahan yang dipengaruhi oleh aktivitas

vulkanik, baik di masa lampau atau saat ini (Soetoto,

2013:142). Untuk bentuk lahan lereng bawah

pegunungan, wilayahnya mencakup sebagian dari

Kecamatan Mojowarno, Bareng, dan Wonosalam. Bentuk

lahan tersebut merupakan yang terluas. Bentuk lahan ini

dicirikan oleh tingkat kerapatan garis kontur yang relatif

cukup renggang dengan rentang ketinggian tempat mulai

50 – 1.100 m dpal.

Wilayah dari bentuk lahan lereng tengah pegunungan

hanya mencakup Kecamatan Wonosalam. Pada bentuk

lahan tersebut dicirikan dengan tingkat kerapatan garis

kontur yang tinggi dan memiliki rentang ketinggian

tempat mulai dari 1.100 – 2.150 m dpal. Pola aliran sungai

pada bentuk lahan ini menunjukkan pola membentang

secara horisontal (dari timur ke barat) sesuai dengan

bentuk lembah atau igir dari relief wilayah tersebut.

Dilihat dari aspek jenis tanah, maka terdapat empat

jenis tanah di SKPP I yang meliputi: (1) Asosiasi

mediteran cokelat dan grumusol kelabu; (2) Komplek

andosol cokelat, andosol cokelat kekuningan dan litosol;

(3) Komplek regosol dan litosol; (4) Latosol cokelat

kemerahan. Keempat jenis tanah tersebut menjadi salah

satu informasi spasial yang juga digunakan untuk

pembuatan peta unit analisis lahan. Meskipun jenis tanah

secara langsung tidak terlalu berpengaruh terhadap

keberadaan tumbuhan kopi, namun penggunaan aspek

jenis tanah sebagai salah satu dasar peta unit analisis lahan

dianggap memiliki peran penting. Hal ini dapat

memberikan gambaran informasi detil mengenai jenis

tanah di SKPP I, sehingga dalam proses analisis menjadi

semakin rinci.

Ditinjau dari aspek kemiringan lereng, terdapat empat

kelas kemiringan lereng yang meliputi meliputi kelompok

(<8%), (>8-15%), (>15-25%), dan (>25%). Kecamatan

Mojowarno, Kecamatan Ngoro, dan Kecamatan Bareng

memiliki karakteristik wilayah dengan kemiringan lereng

di bawah 8%, artinya permukaan tanahnya tergolong

datar. Sedangkan di Kecamatan Wonosalam tampak

memiliki kelas kemiringan lereng yang lebih bervariasi,

mengingat kecamatan ini memiliki wilayah yang

topografinya berbukit-bukit. Namun sebagian kecil

wilayah Kecamatan Wonosalam juga masih memiliki

areal yang kemiringan lerengnya di bawah 8% dan

termasuk relatif datar.

Berdasarkan aspek penggunaan lahan di SKPP I

menunjukkan bahwa sawah irigasi banyak terdapat di

Kecamatan Mojowarno, Kecamatan Bareng, dan

Kecamatan Ngoro. Hal tersebut sesuai dengan

karakteristik topografi wilayahnya yang relatif datar.

Sedangkan penggunaan lahan berupa hutan banyak

tercakup dalam wilayah administratif Kecamatan

Wonosalam, hal ini didasarkan pada kondisi topografinya

yang merupakan kawasan pegunungan dan dalam areal

hutan tersebut juga terdapat daerah hutan lindung yang

bernama Taman Hutan Raya (Tahura) R. Soeryo yang

dikelola oleh Provinsi Jawa Timur.

Berdasarkan 37 unit lahan yang terdapat di SKPP I,

kemudian dipilih beberapa unit lahan yang dianggap

memiliki potensi untuk budidaya tanaman kopi. Proses

pemilihan tersebut didasarkan pada pertimbangan pada

setiap aspek dasar penyusun unit analisis lahan. Pada

aspek bentuk lahan, berdasarkan tiga bentuk lahan yang

dimiliki SKPP I maka terdapat dua bentuk lahan yang

diasumsikan sesuai untuk tanaman kopi. Kedua bentuk

lahan yang dimaksud ialah lereng bawah pegunungan dan

Page 5: EVALUASI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN UNTUK KOMODITAS KOPI PADA SKPP I DI KABUPATEN JOMBANG

Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada

SKPP I Di Kabupaten Jombang

5

lereng tengah pegunungan. Hal ini didasarkan pada

adanya pengaruh topografi dan temperatur yang lebih

sesuai untuk tanaman kopi yaitu pada daerah pegunungan.

Dilihat dari aspek jenis tanah, semua jenis tanah yang

dimiliki oleh SKPP I tidak memiliki pengaruh terhadap

keberadaan tanaman kopi, karena pada dasarnya tanaman

kopi sesuai pada semua jenis tanah. Lalu pada aspek

kemiringan lereng, berdasarkan kelas kemiringan lereng

yang ada maka dikaitkan dengan dasar teori oleh

Hardjowigeno dan Widiatmaka yang menyatakan bahwa

daerah yang sesuai untuk tanaman kopi adalah yang

memiliki kemiringan lereng sebesar 0-25%. Maka dari itu,

terdapat tiga kelas kemiringan lereng yang dijadikan dasar

pemilihan satuan lahan sebagai objek penelitian yaitu

kelas (<8%), (>8-15%), dan (>15-25%).

Aspek penggunaan lahan menunjukkan bahwa

terdapat dua jenis penggunaan lahan yang diasumsikan

memiliki potensi untuk dijadikan tempat budidaya

tanaman kopi, yaitu penggunaan lahan berupa kebun dan

tanah ladang. Penentuan tersebut disebabkan karena

penggunaan lahan kebun pada dasarnya adalah sesuai

untuk tanaman kopi, mengingat tanaman ini merupakan

salah satu varietas tanaman perkebunan, lalu untuk

penggunaan lahan berupa tanah ladang dianggap memiliki

potensi untuk diubah menjadi penggunaan lahan kebun,

khususnya kebun kopi. Sedangkan untuk kelima jenis

penggunaaan lahan lainnya yaitu berupa hutan, sawah

irigasi, sawah tadah hujan, semak belukar, dan

permukiman diasumsikan tidak memiliki potensi untuk

dijadikan tempat budidaya kopi dikarenakan perlunya

upaya ekstra untuk mengubah penggunaan lahan tersebut

menjadi kebun kopi.

Dengan demikian diperoleh enam unit lahan terpilih

untuk diteliti lebih lanjut dan memiliki potensi dijadikan

lahan perkebunan kopi. Informasi mengenai ke-enam unit

lahan yang dimaksud seperti ditampilkan pada Tabel 2. Di

mana pada tabel tersebut telah diberikan informasi secara

rinci termasuk titik pengambilan sampel tanah.

Tabel 2. Unit Analisis Lahan Terpilih pada SKPP I

No. Unit Lahan Bentuk

Lahan

Jenis Tanah Kemiri-

ngan

Lereng

Penggu-

naan

Lahan

Titik Pengambilan Sampel

Koordi-nat Desa

1 F2.L.I.K Lereng Bawah

Pegunungan Lat. Co. Kem. <8% Kebun X: 650088

Y: 9149592

Pucangrejo

2 F2.L.I.TL Lereng Bawah

Pegunungan Lat. Co. Kem. <8% Tanah

Ladang

X: 653420

Y: 9150952

Panglungan

3 F2.L.II.K Lereng Bawah

Pegunungan Lat. Co. Kem. >8 - 15% Kebun X: 653266

Y: 9147268

Carangwulung

4 F2.L.II.TL Lereng Bawah

Pegunungan Lat. Co. Kem. >8 - 15% Tanah

Ladang

X: 649751

Y: 9142470

Galengdowo

5 F2.L.III.K Lereng Bawah

Pegunungan Lat. Co. Kem. >15 – 25% Kebun X: 652438

Y: 9144370

Jarak

6 F2.L.III.TL Lereng Bawah

Pegunungan Lat. Co. Kem. >15 – 25% Tanah

Ladang

X: 652996

Y: 9143622

Jarak

Keterangan Tabel 2:

Lat. Co. Kem. : Latosol cokelat kemerahan

Evaluasi Kesesuaian Lahan

Evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman kopi di

SKPP I Kabupaten Jombang akan ditentukan tingkat

kesesuaian lahan berdasarkan nilai dari kualitas dan

karakteristik lahan yang dibandingkan (matching) dengan

syarat tumbuh tanaman kopi. Dengan demikian akan

dapat diketahui kelas kesesuaian lahan dari lokasi yang

menjadi objek penelitian, dalam hal ini terdapat 6 (enam)

unit lahan terpilih yaitu F2.L.I.K, F2.L.I.TL, F2.L.II.K,

F2.L.II.TL, F2.L.III.K, dan F2.L.III.TL. Dalam penentuan

kelas kesesuaian lahan yang dihasilkan juga akan

memberikan informasi mengenai faktor pembatasnya

berdasarkan aspek kualitas lahan yang diteliti. Hasil dari

proses matching antara nilai karakteristik lahan pada

masing-masing unit lahan terpilih dengan syarat tumbuh

tanaman kopi dapat dilihat pada Tabel 3.

Sumber: Analisis Data, 2015

Page 6: EVALUASI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN UNTUK KOMODITAS KOPI PADA SKPP I DI KABUPATEN JOMBANG

Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015

6

Tabel 3. Hasil Matching Karakteristik Lahan dengan Syarat Tumbuh Tanaman Kopi pada Unit Lahan Terpilih

di SKPP I Kabupaten Jombang

Kualitas/Karakteristik

Lahan

Kelas Kesesuaian Lahan

F2.L.I.K F2.L.I.TL F2.L.II.K F2.L.II.TL F2.L.III.K F2.L.III.TL

Nilai Kls Nilai Kls Nilai Kls Nilai Kls Nilai Kls Nilai Kls

Temperatur (t)

Rata-rata tahunan (°C)

26,1

S2

26,1

S2

25,5

S2

25,2

S2

25,5

S2

25,2

S2

Ketersediaan air (w)

Bulan kering

(<75mm)

Curah hujan/tahun

(mm)

Kelembapan (%)

4,8

1738,9-

1962,1

77,4

S2

S1

S1

5

1738,9-

1962,1

77,4

S2

S1

S1

4,8

1738,9-

1962,1

77,4

S2

S1

S1

4,8

1738,9-

1962,1

77,4

S2

S1

S1

4,8

1738,9-

1962,1

77,4

S2

S1

S1

4,8

1738,9-

1962,1

77,4

S2

S1

S1

Media perakaran (r)

Drainase tanah

Tekstur

Baik

SL

S1

S2

Agak cepat

C

S3

S2

Baik

SCL

S1

S1

Agak ter-

hambat

SCL

S3

S1

Baik

SL

S1

S2

Baik

SL

S1

S2

Penyiapan lahan (p)

Konsistensi

Teguh

S1

Teguh

S1

Teguh

S1

Teguh

S1

Teguh

S1

Gembur

S1

Tingkat bahaya erosi (e)

Kemiringan lereng (%)

<8

S1

<8

S1

>8-15

S2

>8-15

S2

>15-25

S3

>15-25

S3

Kelas Kesesuaian Lahan

S2

S3

S2

S3

S3

S3

Faktor Pembatas

S2 t, S2 w, S2r-2

S3 r-1

S2 t, S2 w, S2 e

S3 r-1

S3 e

S3 e

Keterangan:

Kls : Kelas S2 t : Faktor pembatas pada temperatur SL : Lempung berpasir

S1 : Sangat sesuai S2 r-2 : Faktor pembatas pada tekstur tanah C : Liat

S2 : Cukup sesuai S2 w : Faktor pembatas pada bulan kering SCL : Lempung liat berpasir

S3 : Sesuai marginal S2 e / S3 e: Faktor pembatas pada kemiringan lereng

S3 r-1 : Faktor pembatas pada drainase tanah

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa masing-

masing unit lahan memiliki kelas kesesuaian lahan dan

faktor pembatas yang cukup bervariasi. Bahkan tidak

terdapat unit lahan yang memiliki kelas kesesuaian lahan

berupa S1 (sangat sesuai). Akan tetapi dari keenam unit

lahan yang diteliti juga tidak ada yang tergolong pada

kelas kesesuaian lahan berupa N (tidak sesuai). Untuk

memperjelas konteks spasial hasil evaluasi kesesuaian

lahan ini juga dapat dilihat pada Peta 1.

Unit lahan F2.L.I.K (Lereng bawah pegunungan;

Latosol cokelat kemerahan; Lereng <8%; Kebun)

tergolong kelas kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai),

dengan faktor pembatas dari tiga variabel yaitu variabel

temperatur rata-rata tahunan, bulan kering, dan tekstur

tanah. Unit lahan tersebut memiliki penggunaan lahan

berupa kebun, yaitu untuk budidaya tanaman kopi yang

dikelola dengan sistem tumpangsari, artinya juga terdapat

beberapa jenis tanaman lain yang tumbuh di sekitar area

kebun tersebut. Dengan temperatur rata-rata tahunan

sebesar 26, 1 °C, kemudian memiliki rata-rata jumlah

bulan kering tahunan sebesar 4,8 bulan, serta tekstur tanah

yang berupa SL (Lempung berpasir), hal ini yang

menyebabkan unit lahan F2.L.I.K memiliki kelas

kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai) dengan faktor

pembatas dari ketiga variabel tersebut. Dengan demikian

penggunaan lahan kopi pada unit lahan ini perlu

diupayakan beberapa usaha perbaikan lahan agar dapat

memaksimalkan potensi lahan untuk tanaman kopi. Usaha

perbaikan lahan yang dilakukan perlu disesuaikan dengan

ketiga faktor pembatas yang ada.

Unit lahan F2.L.I.TL (Lereng bawah pegunungan;

Latosol cokelat kemerahan; Lereng <8%; Tanah ladang)

tergolong kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai marginal),

dengan faktor pembatas berupa drainase tanah. Unit lahan

tersebut memiliki penggunaan lahan berupa tegalan,

dengan beberapa tanaman palawija yang tumbuh

disekitarnya. Drainase tanah yang dimiliki unit lahan ini

ialah tergolong Agak Cepat, hal tersebut yang menjadi

penentu kelas kesesuaian lahan berupa S3 (sesuai

marginal). Dengan demikian pada unit lahan F2.L.I.TL

dapat dikatakan memiliki potensi untuk dijadikan sebagai

lahan budidaya tanaman kopi, namun dengan catatan

perlu adanya upaya perbaikan lahan khususnya untuk

kondisi drainase tanah.

Unit lahan F2.L.II.K (Lereng bawah pegunungan;

Latosol cokelat kemerahan; Lereng >8-15%; Kebun)

memiliki kelas kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai),

dengan faktor pembatas dari tiga variabel yaitu variabel

temperatur rata-rata tahunan, bulan kering, dan

kemiringan lereng. Unit lahan tersebut memiliki

penggunaan lahan berupa kebun, yaitu untuk budidaya

tanaman kopi yang dikelola dengan sistem tumpangsari,

hal ini sama dengan penggunaan lahan pada unit lahan

F2.L.I.K. Dengan temperatur rata-rata tahunan sebesar 25,

Sumber: Analisis data, 2015

Page 7: EVALUASI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN UNTUK KOMODITAS KOPI PADA SKPP I DI KABUPATEN JOMBANG

Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada

SKPP I Di Kabupaten Jombang

7

5 °C, kemudian memiliki rata-rata jumlah bulan kering

tahunan sebesar 4,8 bulan, serta kemiringan lereng sebesar

>8-15%, hal ini yang menyebabkan unit lahan F2.L.II.K

memiliki kelas kesesuaian lahan S2 (cukup sesuai) dengan

faktor pembatas dari ketiga variabel tersebut. Dengan

demikian penggunaan lahan kopi pada unit lahan ini perlu

diupayakan beberapa usaha perbaikan lahan agar dapat

memaksimalkan potensi lahan untuk tanaman kopi. Usaha

perbaikan lahan yang dilakukan perlu disesuaikan dengan

ketiga faktor pembatas yang ada.

Peta 1. Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kopi Pada SKPP I di Kabupaten Jombang

Unit lahan F2.L.II.TL (Lereng bawah pegunungan;

Latosol cokelat kemerahan; Lereng >8-15%; Tanah

ladang) memiliki kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai

marginal), dengan faktor pembatas berupa drainase tanah,

hal ini sama dengan unit lahan F2.L.I.TL. Unit lahan

tersebut memiliki penggunaan lahan berupa tegalan,

dengan beberapa tanaman sejenis ketela yang tumbuh

disekitarnya. Drainase tanah yang dimiliki unit lahan ini

ialah tergolong Agak Terhambat, hal tersebut yang

menjadi penentu kelas kesesuaian lahan berupa S3 (sesuai

marginal). Dengan demikian pada unit lahan F2.L.II.TL

dapat dikatakan memiliki potensi untuk dijadikan sebagai

lahan budidaya tanaman kopi, namun dengan catatan

perlu adanya upaya perbaikan lahan khususnya untuk

kondisi drainase tanah.

Unit lahan F2.L.III.K (Lereng bawah pegunungan;

Latosol cokelat kemerahan; Lereng >15-25%; Kebun) dan

F2.L.III.TL (Lereng bawah pegunungan; Latosol cokelat

kemerahan; Lereng >15-25%; Tanah ladang) tercatat

memiliki kelas kesesuaian lahan yang sama yaitu berupa

kelas S3 (sesuai marginal), dengan faktor pembatas

berupa kemiringan lereng. Kedua unit lahan tersebut

memiliki tipe penggunaan lahan yang berbeda, untuk unit

lahan F2.L.III.K memiliki penggunaan lahan berupa

kebun, yaitu untuk budidaya tanaman kopi. Sedangkan

pada unit lahan F2.L.III.TL memiliki penggunaan lahan

berupa tegalan dan ditumbuhi beberapa jenis tanaman

ketela. Dengan kemiringan lereng sebesar >15-25%, maka

hal tersebut menyebabkan unit lahan F2.L.III.K dan

F2.L.III.TL memiliki kelas kesesuaian lahan S3 (sesuai

marginal). Dengan demikian penggunaan lahan kopi yang

ada pada unit lahan F2.L.III.K perlu diupayakan beberapa

usaha perbaikan lahan agar dapat memaksimalkan potensi

lahan tersebut untuk tanaman kopi, sedangkan untuk unit

lahan F2.L.III.TL dapat dikatakan memiliki potensi

dijadikan sebagai lahan budidaya kopi, namun pada kedua

unit lahan ini diperlukan usaha perbaikan lahan dalam

variabel kemiringan lereng.

Evaluasi Kesesuaian Wilayah

Evaluasi kesesuaian wilayah pengembangan kawasan

agropolitan untuk komoditas kopi dilakukan agar dapat

diketahui kesinambungan antara kebijakan dan strategi

pembangunan yang ditetapkan melalui dokumen rencana

Page 8: EVALUASI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN UNTUK KOMODITAS KOPI PADA SKPP I DI KABUPATEN JOMBANG

Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015

8

induk dengan kondisi eksisting di lapangan, yaitu pada

SKPP I Kabupaten Jombang. Berikut ini disajikan melalui

tabel berupa hasil matching antara kebijakan dan strategi

pembangunan dengan kondisi realita di lapangan:

Tabel 4. Hasil Matching Kebijakan dan Strategi Pengembangan Kawasan Agropolitan dengan Kondisi Eksisting

pada SKPP I di Kabupaten Jombang

No. Subsistem Variabel Kebijakan dan Strategi Kondisi Eksisting

1 Input Industri pembuatan pupuk

untuk tanaman kopi

Menyediakan industri pembuatan

pupuk untuk tanaman kopi

(Bappeda Kab. Jombang,

2010:123)

Belum Terealisasikan

2 Pasca panen Industri pengolahan

berbahan baku produk kopi

Menyediakan industri pengolahan

berbahan baku produk kopi

berupa kopi bubuk, minuman rasa

kopi, dan essence kopi (Bappeda

Kab. Jombang, 2010:122)

Industri kopi bubuk dan

biji polesan bernama

“Kopi Bagong”

3 Pemasaran Strategi pemasaran Pola kemitraan dengan

KOVATMA dan KOMA bersama

Pemerintah Daerah setempat

(Bappeda Kab. Jombang,

2010:123)

Belum Terealisasikan

4 Jasa dan

Penunjang

Lembaga perkreditan Menyediakan BPR pada seluruh

desa hinterland cluster

perkebunan tanaman tahunan

(Bappeda Kab. Jombang,

2010:123)

BPR setingkat

kecamatan dan belum

terintegrasi dengan

petani kopi

Berdasarkan Tabel 4, dapat diketahui sejauh mana

implementasi perencanaan pengembangan kawasan

agropolitan di SKPP I telah terlaksana dengan baik dan

mencapai taraf sesuai. Berdasarkan kajian menurut

subsistem agribisnis dan agroindustri, dapat diketahui

karakteristik masing-masing variabel yang diteliti. Untuk

tinjauan secara spasial juga ditampilkan melalui Peta 2

yang meggambarkan lokasi berbagai infrastruktur yang

terkait dengan subsistem agribisnis dan agroindustri

sebagai penopang keberadaan kawasan agropolitan.

Menurut hasil wawancara kepada 13 petani kopi pada

masing-masing kelompok tani yang berada di dua desa

yaitu Desa Carangwulung dan Jarak, menunjukkan bahwa

100% responden tidak mengetahui tentang keberadaan

industri pembuatan pupuk untuk tanaman kopi. Hal ini

menunjukkan bahwa keberadaan industri pembuatan

pupuk untuk tanaman kopi di SKPP I belum terealisasikan

sesuai Rencana Induk Pengembangan Kawasan

Agropolitan.

Industri pengolahan berbahan baku kopi merupakan

bagian dalam subsistem pasca panen pada sistem

agribisnis dan agroindustri yang akan berperan untuk

mendorong terciptanya kawasan agropolitan di SKPP I.

Berdasarkan hasil wawancara, menunjukkan bahwa

92,3% responden tidak mengetahui dan tidak memiliki

ikatan kerjasama dengan industri pengolahan berbahan

baku kopi yang mengolah hasil panen kopi para petani.

Namun terdapat 1 (satu) petani kopi bernama Suaman

yang selama ini juga menjalankan industri pengolahan

berbahan baku kopi yang menghasilkan produk biji kopi

polesan dan kopi bubuk dengan merek “Kopi Bagong”.

Industri pengolahan kopi tersebut telah berjalan sejak

tahun 2008 dan masih termasuk dalam skala home

industry. Sedangkan lokasi industri “Kopi Bagong” ini

berada di kediaman Bapak Suaman, yaitu di Dusun

Segunung, Desa Carangwulung, Kecamatan Wonosalam

dengan letak koordinat geografis pada 07° 42’ 36” LS dan

112° 24’ 00” BT.

Strategi pemasaran komoditas kopi merupakan bagian

dalam subsistem pemasaran pada sistem agribisnis dan

agroindustri yang akan berperan untuk mendorong

terciptanya kawasan agropolitan di SKPP I. Berdasarkan

hasil wawancara, menunjukkan bahwa 92,3% responden

melakukan strategi pemasaran dengan cara menjual hasil

panen kopi ke tengkulak dalam kondisi ose (kering hasil

proses penjemuran). Namun untuk petani kopi yang juga

memiliki industri pengolahan berbahan baku kopi dengan

merek “Kopi Bagong” yaitu Bapak Suaman, selama ini

menggunakan strategi pemasaran dengan bantuan dari

Dinas Perkebunan dan Kehutanan yang menjualkan

produk biji kopi polesan dan kopi bubuknya. Akan tetapi,

strategi pemasaran dengan pola kemitraan Koperasi

Masyarakat Agribisnis Terintegrasi Vertikal

(KOVATMA) dan Korporasi Masyarakat Agribisnis

(KOMA) dengan Pemerintah Daerah tingkat Kabupaten

Jombang dan Provinsi Jawa Timur serta investor yang

bersangkutan, yang menjadi sasaran dalam Rencana Induk

selama ini tampak belum terealisasikan.

Sumber: Analisis data, 2015

Page 9: EVALUASI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN UNTUK KOMODITAS KOPI PADA SKPP I DI KABUPATEN JOMBANG

Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada

SKPP I Di Kabupaten Jombang

9

Peta 2. Kesesuaian Wilayah Pengembangan Kawasan Agropolitan untuk Komoditas Kopi Pada SKPP I di

Kabupaten Jombang

Lembaga perkreditan merupakan bagian dalam

subsistem jasa dan penunjang pada sistem agribisnis dan

agroindustri yang akan berperan untuk mendorong

terciptanya kawasan agropolitan di SKPP I. Berdasarkan

hasil wawancara, menunjukkan bahwa 92,3% responden

tidak pernah bekerjasama dengan lembaga perkreditan

untuk membantu sistem permodalannya dalam budidaya

tanaman kopi. Sedangkan bagi Bapak Suaman yaitu

petani kopi sekaligus pemilik industri pengolahan

berbahan baku kopi merek “Kopi Bagong” menyatakan

pernah menjalin kerjasama dengan Bank Rakyat

Indonesia (BRI) Kecamatan Wonosalam untuk periode

tahun 2008 – 2012. Hal tersebut tidak berlanjut

dikarenakan terjadinya kredit macet. Di samping itu,

berdasarkan pemaparan Kepala Bagian Ekonomi Bappeda

Kab. Jombang selaku penanggung jawab program

agropolitan SKPP I yaitu Ninik Pujirahayu, menyatakan

bahwa terdapat setidaknya 4 (empat) Bank Perkreditan

Rakyat (BPR) di masing-masing kecamatan pada SKPP I,

namun kesinambungan BPR untuk menjalin kerjasama

dengan para petani khususnya petani kopi tampak belum

berjalan maksimal.

PEMBAHASAN

Evaluasi Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Kopi

pada SKPP I di Kabupaten Jombang

Evaluasi kesesuaian lahan merupakan upaya untuk

membandingkan (matching) karakteristik lahan dengan

syarat penggunaan lahan tertentu (Hardjowigeno dan

Widiatmaka, 2007:20). Dalam konteks penelitian ini,

evaluasi kesesuaian lahan yang dilakukan adalah

bertujuan untuk membandingkan (matching) karakteristik

lahan pada SKPP I dengan syarat tumbuh tanaman kopi.

Hal ini juga dikaitkan dengan keberadaan penetapan

SKPP I sebagai kawasan agropolitan yang memiliki salah

satu komoditas unggulan yaitu komoditas kopi.

Berdasarkan unit analisis lahan yang telah dipilih

sebagai objek penelitian dengan menggunakan pendekatan

fisiografis, maka telah diperoleh sebanyak enam unit

lahan. Setelah dilakukan penelitian pada enam unit lahan

tersebut maka dapat diketahui kelas kesesuaian lahan

aktual untuk tanaman kopi pada SKPP I. Kelas kesesuaian

yang dimiliki wilayah ini adalah S2 (cukup sesuai) dan S3

(sesuai marginal) dengan masing-masing faktor pembatas

yang dimiliki. Hasil dari evaluasi kesesuaian lahan ini

telah dipetakan seperti yang ada pada Peta 1.

Peta 1 menunjukkan bahwa Kecamatan Wonosalam,

Kecamatan Bareng, dan Kecamatan Mojowarno memiliki

kelas kesesuaian lahan yang cukup bervariasi untuk

Page 10: EVALUASI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN UNTUK KOMODITAS KOPI PADA SKPP I DI KABUPATEN JOMBANG

Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015

10

tanaman kopi. Secara administratif, hal ini cukup

bertentangan dengan data statistik yang menunjukkan

bahwa produksi kopi pada SKPP I selama ini hanya

terdapat pada kecamatan Bareng dan Wonosalam, karena

secara teori dapat dibuktikan bahwa Kecamatan

Mojowarno juga memiliki beberapa areal lahan yang

potensial untuk dijadikan lokasi budidaya kopi (seperti

disajikan pada Tabel 5).

Tabel 5 Luas Lahan Potensial untuk Tanaman Kopi menurut Desa dan Kelas Kesesuaian Lahan di

Kecamatan Mojowarno (data dalam satuan Ha)

No. Desa

Kelas Kesesuaian Lahan: Faktor Pembatas

Jumlah

S2 (Cukup Sesuai):

temperatur, bulan

kering, tekstur tanah

S2 (Cukup Sesuai):

temperatur, bulan

kering, kemiringan

lereng

S3 (Sesuai Marginal):

drainase tanah

1 Grobogan 53,25 - 93,45 146,70

2 Japanan 239,72 22,21 92,95 354,89

3 Mojoduwur 19,2 - 16,78 35,98

4 Penggaron 4,78 - - 4,78

Jumlah 316,96 22,21 203,19 542,36

Selama ini pada Kecamatan Mojowarno belum

didapati areal lahan untuk budidaya komoditas kopi,

namun setelah dilakukan penelitian maka dapat diketahui

bahwa terdapat areal lahan seluas 542,36 Ha di

Kecamatan Mojowarno bagian timur yang memiliki

potensi untuk dijadikan lokasi budidaya tanaman kopi.

Seperti disajikan pada Tabel 5, dari total areal lahan

potensial untuk kopi tersebut dapat dibagi lagi menjadi

beberapa areal lahan berdasarkan kelas kesesuaian lahan

yang dimiliki beserta faktor pembatasnya. Persebaran

areal lahan yang dimaksud berada di 4 (empat) desa yang

meliputi Desa Grobogan, Japanan, Mojoduwur, dan

Penggaron. Desa Japanan merupakan desa yang memiliki

areal lahan potensial untuk kopi terluas di Kecamatan

Mojowarno, yaitu seluas 354,89 Ha. Akan tetapi, lahan

potensial pada desa tersebut tidak digunakan sebagai

lahan perkebunan kopi (disajikan pada Gambar 3).

Gambar 3 Kondisi Eksisting pada Lahan Potensial

untuk Tanaman Kopi di Desa Japanan, Kecamatan

Mojowarno (Dokumentasi penulis, 2015)

Dilihat pada Gambar 3, menunjukkan bahwa kondisi

eksisting pada lahan potensial untuk tanaman kopi di Desa

Japanan masih digunakan sebagai lahan perkebunan tebu.

Hal ini bisa disebabkan oleh budaya penduduk atau

pemilik lahan tersebut yang cenderung lebih tertarik untuk

membudidayakan tanaman tebu. Pasalnya, di wilayah

sekitar lahan tersebut tidak ditemukan sama sekali lahan

perkebunan kopi, meskipun secara teoritis telah teruji

bahwa areal lahan tersebut memiliki potensi untuk

tanaman kopi.

Berdasarkan angka produktivitas kopi Kecamatan

Bareng sebesar 13,7 ton/tahun pada areal perkebunan kopi

seluas 34 Ha, hal tersebut menempatkan kecamatan ini

sebagai kontributor produk kopi terbesar kedua di

Kabupaten Jombang, termasuk di wilayah SKPP I. Dari

data tersebut juga dapat diasumsikan bahwa 1 Ha kebun

kopi di kecamatan ini akan menghasilkan 2,4 ton produk

kopi per tahunnya. Apabila hal ini dihubungkan dengan

luas lahan potensial untuk tanaman kopi di Kecamatan

Bareng yang mencapai 1.232,85 Ha (seperti disajikan

pada Tabel 6), maka dapat diprediksi bahwa produktivitas

kopi setempat akan meningkat secara signifikan, yaitu

mencapai angka 2.958,84 ton/tahun. Tentunya angka

produksi tersebut dapat tercapai jika seluruh areal lahan

yang memiliki potensi untuk tanaman kopi telah

digunakan petani untuk berbudidaya komoditas kopi.

Persebaran areal lahan potensial untuk tanaman kopi

pada Kecamatan Bareng terletak di 9 (sembilan) desa

yang meliputi Desa Banjaragung, Bareng, Jetisgelaran,

Karangan, Ngampungan, Nglebak, Ngrimbi, Pakel, dan

Pulosari. Desa Pulosari merupakan desa yang memiliki

areal lahan potensial untuk kopi terluas di Kecamatan

Bareng, yaitu seluas 343,12 Ha. Hal tersebut bisa

disebabkan karena faktor geografis wilayah Desa Pulosari

yang terletak di bagian timur Kecamatan Bareng, di mana

Sumber: Analisis data, 2015

Page 11: EVALUASI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN UNTUK KOMODITAS KOPI PADA SKPP I DI KABUPATEN JOMBANG

Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada

SKPP I Di Kabupaten Jombang

11

pada wilayah tersebut merupakan kaki pegunungan

Arjuna dan berbatasan langsung dengan Kecamatan

Wonosalam yang memiliki topografi sebagai daerah

perbukitan dan pegunungan.

Tabel 6 Luas Lahan Potensial untuk Tanaman Kopi Menurut Desa dan Kelas Kesesuaian Lahan di

Kecamatan Bareng (data dalam satuan Ha)

No. Desa

Kelas Kesesuaian Lahan: Faktor Pembatas

Jumlah

S2 (Cukup Sesuai):

temperatur, bulan

kering, tekstur tanah

S2 (Cukup Sesuai):

temperatur, bulan

kering, kemiringan

lereng

S3 (Sesuai Marginal):

drainase tanah

1 Banjaragung 1,23 - - 1,23

2 Bareng 18,36 - - 18,36

3 Jetisgelaran 49,12 0,93 188,07 238,12

4 Karangan - 1,13 192,82 193,95

5 Ngampungan - - 34,50 34,50

6 Nglebak 190,65 - - 190,65

7 Ngrimbi 132,56 - 34,65 167,21

8 Pakel - - 45,71 45,71

9 Pulosari 70,90 226,94 45,28 343,12

Jumlah 462,84 229,01 541,05 1.232,85

Luas lahan 343,12 Ha yang potensial untuk tanaman

kopi di Desa Pulosari tersebut, terdapat seluas 226,94 Ha

lahan yang memiliki kelas kesesuaian S2 (cukup sesuai)

dengan faktor pembatas berupa temperatur, bulan kering,

dan kemiringan lereng. Perlu dilakukan upaya perbaikan

karakteristik lahan pada ketiga faktor pembatas tersebut

yang bertujuan untuk memaksimalkan produktivitas kopi

setempat. Penggunaan lahan pada areal lahan ini ialah

perkebunan kopi yang dibudidayakan dengan sistem

tumpangsari, artinya juga terdapat beberapa jenis tanaman

lain yang tumbuh di sekitar tanaman kopi.

Tabel 7 Luas Lahan Potensial untuk Tanaman Kopi Menurut Desa dan Kelas Kesesuaian Lahan di

Kecamatan Wonosalam (data dalam satuan Ha)

No. Desa

Kelas Kesesuaian Lahan: Faktor Pembatas

Jumlah

Produksi

Kopi

Tahun 2013

(Ton)

S2 (Cukup Sesuai):

temperatur, bulan

kering, tekstur

tanah

S2 (Cukup Sesuai):

temperatur, bulan

kering, kemiringan

lereng

S3 (Sesuai

Marginal):

drainase

tanah

S3 (Sesuai

Marginal):

kemiringan

lereng

1 Carangwulung 38,45 455,6 175,51 128,42 797,99 83,45

2 Gelengdowo 47,72 39,66 166,72 66,79 320,90 68,35

3 Jarak - 105,75 76,46 197,04 379,26 83,77

4 Panglungan 20,28 274,49 433,89 40,48 779,10 67,54

5 Sambirejo 2,58 26,68 410,55 433,85 873,68 78,90

6 Sumberjo 289,07 34,45 343,89 589,39 1.256,82 70,95

7 Wonokerto 3,84 47,28 10,54 483,42 545,09 23,56

8 Wonomerto 49,01 243,77 30,4 129,62 452,79 49,21

9 Wonosalam 503,69 316,45 294,27 159,05 1.273,48 82,79

Jumlah 954,64 1.544,13 1.942,23 2.228,06 6.679,11 540,17

Kecamatan Wonosalam tercatat sebagai kecamatan

penghasil kopi terbesar di Kabupaten Jombang, termasuk

dalam SKPP I. Jika dilihat dari Tabel 7, maka dapat

diketahui bahwa terdapat lahan seluas 6.679,11 Ha yang

memiliki potensi untuk tanaman kopi. Hal tersebut

menempatkan kecamatan ini sebagai daerah yang

memiliki lahan potensial untuk kopi terluas di SKPP I.

Namun demikian, tidak semua bagian pada lahan tersebut

telah digunakan untuk budidaya komoditas kopi. Seperti

diketahui bahwa baru terdapat lahan seluas 1.218,5 Ha

yang digunakan untuk kawasan perkebunan kopi.

Apabila dikaitkan dengan penetapan pemusatan

kawasan produksi kopi yang terletak di Desa

Carangwulung dan Jarak, maka berdasarkan Tabel 7

Sumber: Analisis data, 2015

Sumber: Analisis data, 2015

Page 12: EVALUASI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN UNTUK KOMODITAS KOPI PADA SKPP I DI KABUPATEN JOMBANG

Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015

12

menunjukkan bahwa penetapan tersebut perlu dikaji

ulang. Hal ini dikarenakan luas lahan potensial untuk

tanaman kopi yang dimiliki kedua desa tersebut masih

jauh di bawah luas lahan potensial dari Desa Wonosalam

dan Sumberjo, di mana dua desa ini mempunyai lahan

potensial untuk kopi terluas di Kecamatan Wonosalam.

Pada Desa Carangwulung dan Jarak hanya terdapat lahan

potensial untuk kopi seluas 1.177,25 Ha. Sedangkan pada

Desa Wonosalam dan Sumberjo tercatat memiliki lahan

potensial untuk kopi seluas 2.530,29 Ha. Data ini menjadi

temuan penting bahwa penetapan pemusatan kawasan

produksi kopi sebaiknya perlu mempertimbangkan aspek

potensial dan kesesuaian lahan pada masing-masing

wilayah administrasi, bukan berpatokan pada kontribusi

panen kopi di setiap tahunnya saja.

Berdasarkan angka produktivitas kopi Kecamatan

Wonosalam sebesar 540,17 ton/tahun pada areal

perkebunan kopi seluas 1.218,5 Ha, maka dari data

tersebut juga dapat diasumsikan bahwa 1 Ha kebun kopi

di kecamatan ini akan menghasilkan 2,2 ton produk kopi

per tahunnya. Apabila hal ini dihubungkan dengan luas

lahan potensial untuk tanaman kopi di Kecamatan

Wonosalam yang mencapai 6.679,11 Ha (seperti disajikan

pada Tabel 7), maka dapat diprediksi bahwa produktivitas

kopi setempat akan meningkat secara signifikan, yaitu

mencapai angka 14.649,04 ton/tahun. Tentunya angka

produksi tersebut dapat tercapai jika seluruh areal lahan

yang memiliki potensi untuk tanaman kopi telah

digunakan petani untuk berbudidaya komoditas kopi.

Berdasarkan data-data di atas, maka dapat diketahui

bahwa Kecamatan Mojowarno juga memiliki lahan yang

potensial untuk tanaman kopi. Hal ini membuka peluang

untuk upaya ekstensifikasi guna meningkatkan produksi

kopi di SKPP I dalam rangka menunjang program

pengembangan kawasan agropolitan. Sementara

Kecamatan Wonosalam yang tercatat memiliki lahan

potensial terluas dan produksi kopi terbesar di SKPP I,

tercatat belum memiliki lahan dengan kelas kesesuaian

maksimal yaitu S1 (sangat sesuai). Hal ini dikarenakan

lahan tersebut masih memiliki berbagai faktor pembatas,

seperti temperatur, bulan kering, tekstur tanah, kemiringan

lereng, dan drainase tanah. Oleh sebab itu perlu dilakukan

upaya perbaikan karakteristik lahan pada faktor pembatas

tersebut, agar optimalisasi produksi kopi setempat dapat

tercapai.

Evaluasi Kesesuaian Wilayah Pengembangan

Kawasan Agropolitan untuk Komoditas Kopi pada

SKPP I di Kabupaten Jombang

Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

tentang Penataan Ruang menjelaskan bahwa kawasan

agropolitan merupakan kawasan yang terdiri dari satu atau

lebih pusat kegiatan pada wilayah pedesaan sebagai

sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya

alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan

fungsional dan hierarki keruangan dari kesatuan sistem

permukiman dan sistem agribisnis yang didalamnya

mencakup kegiatan agroindustri (Rustiadi, dkk.,

2011:329). Dalam konteks penelitian ini dibahas

mengenai pengembangan kawasan agropolitan untuk

komoditas kopi di SKPP I Kabupaten Jombang. Dengan

demikian perlu dikaji keberadaan sistem agribisnis dan

agroindustri sebagai penopang terciptanya kawasan

agropolitan di SKPP I.

Berdasarkan Peta 2 dapat dilihat persebaran

infrastruktur yang berkaitan dengan pengembangan

kawasan agropolitan. Infrastruktur yang secara fisik dapat

dilihat pada peta meliputi keberadaan lokasi home

industry “Kopi Bagong” yang terletak di Desa

Carangwulung, kemudian empat BPR (Bank Perkreditan

Rakyat) yang terletak di masing-masing pusat kecamatan

di SKPP I. Sementara infratruktur lain yang terkait dengan

sistem agribisnis dan agroindustri sebagai penopang

kawasan agropolitan tampak belum memadai. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa keterkaitan fungsional dan

hierarki keruangan dari kesatuan sistem agribisnis yang

didalamnya mencakup kegiatan agroindustri di SKPP I

belum sepenuhnya berjalan dengan baik.

Pada dasarnya, agropolitan merupakan kota pertanian

yang tumbuh dan berkembang karena eksistensi subsistem

dalam agribisnis dan agroindustri yang mampu melayani,

mendorong, menarik, dan menghela kegiatan pertanian

setempat (Muta’ali, 2013:173-174). Maka dari itu,

agropolitan dipandang sebagai cara untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat pedesaan yang identik dengan

sektor pertanian. Hal ini tentu mengindikasikan bahwa

peningkatan kesejahteraan petani juga menjadi parameter

utama dalam menentukan keberhasilan pengembangan

kawasan agropolitan. Namun pada kasus yang dibahas

dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa upaya

peningkatan kesejahteraan petani tampak belum

maksimal. Khususnya pada bagian subsistem pemasaran.

Dalam subsistem pemasaran yang sesuai dengan

konsep agropolitan ialah strategi pemasaran yang tidak

lagi bergantung pada pihak ketiga atau tengkulak. Hal ini

disebabkan karena pihak ketiga atau tengkulak lebih

cenderung menjadi pemain yang menentukan harga

pasaran, sehingga petani bergantung sepenuhnya pada

sentimen harga pasar yang ditentukan oleh para tengkulak

tersebut. Hal tersebut tentu berkebalikan dengan maksud

dan tujuan pengembangan kawasan agropolitan yang

menitikberatkan pada peningkatan kesejahteraan petani

dengan salah satu caranya yaitu optimalisasi strategi

pemasaran.

Demikian pula yang terjadi di kawasan agropolitan

SKPP I Kabupaten Jombang, di mana strategi pemasaran

Page 13: EVALUASI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN UNTUK KOMODITAS KOPI PADA SKPP I DI KABUPATEN JOMBANG

Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan Agropolitan Untuk Komoditas Kopi Pada

SKPP I Di Kabupaten Jombang

13

para petani kopi setempat masih sangat bergantung pada

keberadaan tengkulak. Hal ini menjadi catatan penting

bahwa keberadaan strategi pemasaran yang telah

ditetapkan dalam dokumen Rencana Induk

Pengembangan Kawasan Agropolitan SKPP I Kabupaten

Jombang perlu segera direalisasikan agar kebergantungan

petani kopi pada tengkulak dapat mulai berkurang.

Sebagaimana diketahui bahwa telah ditetapkan pola

kemitraan pengembangan sosial kapital, yaitu pola

Koperasi Masyarakat Agribisnis Terintegrasi Vertikal

(KOVATMA) dan Korporasi Masyarakat Agribisnis

(KOMA) yang kegiatannya direncanakan untuk

bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Jombang –

Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Investor yang

bertanggung jawab terhadap pola pemasaran sektor

perkebunan tanaman tahunan, termasuk komoditas kopi.

Dengan berkurangnya kebergantungan petani kopi

terhadap tengkulak, maka strategi pemasaran produk kopi

di SKPP I diharapkan dapat mencapai standar dalam

konsep kawasan agropolitan, yaitu menitikberatkan pada

peningkatan kesejahteraan petani.

Suatu kawasan agropolitan juga perlu didukung

dengan keberadaan integrasi subsistem agribisnis dan

agroindustri yang baik mulai dari hulu (subsistem input)

hingga hilir (subsistem pemasaran). Pelayanan yang

berkaitan dengan penyediaan sarana produksi (saprodi)

merupakan salah satu hal vital yang tidak bisa dilepaskan

dari konsep pengembangan kawasan agropolitan

(Rustiadi, dkk., 2011:329). Seperti telah disusun oleh

Bappeda Kab. Jombang, bahwa untuk mendukung

pengembangan kawasan agropolitan di SKPP I untuk

komoditas kopi, maka diperlukan ketersediaan industri

pembuatan pupuk yang menjadi bagian dari saprodi.

Namun berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa

keberadaan industri pembuatan pupuk tersebut belum

diketahui oleh para petani kopi. Hal ini mengindikasikan

bahwa rencana tersebut belum terealisasikan. Sementara

seluruh petani kopi selama ini masih bergantung terhadap

penggunaan pupuk kandang dan sebagian petani juga

mengkombinasikan antara pupuk kandang dan kimia.

Mercado (dalam Muta’ali, 2013:160) memaparkan

bahwa kawasan agropolitan akan berfungsi sebagai urban-

rural industrial. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan

agroindustri menjadi bagian penting dalam pengembangan

kawasan agropolitan. Sebagaimana dijelaskan bahwa

agroindustri merupakan segala kegiatan industri yang

berkaitan dengan kegiatan pertanian (Andrianto,

2014:255).

Namun kondisi eksisting di SKPP I belum

menunjukkan berjalannya fungsi agropolitan sebagai

urban-rural industrial. Merujuk pada Peta 4.11, gambaran

persebaran dan ketersediaan industri yang berkaitan

dengan kegiatan pertanian khususnya untuk komoditas

kopi terbilang sangat minimum. Hanya saja telah terdapat

home industry pengolahan produk kopi yang bernama

“Kopi Bagong”. Namun jika dikaitkan dengan kebijakan

Pemerintah Kabupaten Jombang mengenai perencanaan

pengembangan kawasan agropolitan, kondisi eksisting

yang ada di SKPP I saat ini belum mencerminkan suatu

kawasan agropolitan secara utuh dan masih jauh dari

rencana pembangunan yang ditetapkan. Seperti diketahui

bahwa pada subsistem pasca panen, Pemerintah

Kabupaten Jombang bertekad untuk mengembangkan

industri pengolahan berbahan baku produk kopi seperti

industri minuman rasa kopi, industri essence kopi, dan

industri kopi bubuk (Bappeda Kab. Jombang, 2010:122).

Akan tetapi dari ketiga bentuk agroindustri tersebut baru

terealisasikan satu jenis yaitu industri kopi bubuk. Hal ini

menunjukkan tahap ketercapaian kebijakan yang belum

maksimal.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan

mengenai “Evaluasi Kesesuaian Pengembangan Kawasan

Agropolitan untuk Komoditas Kopi pada SKPP I di

Kabupaten Jombang”, maka dapat diambil beberapa

kesimpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman

kopi pada SKPP I di Kabupaten Jombang, maka dapat

diketahui bahwa terdapat lahan seluas 8.454,32 Ha

yang memiliki potensi untuk digunakan sebagai lahan

budidaya komoditas kopi. Lahan tersebut terletak di

tiga kecamatan yaitu Kecamatan Wonosalam

(6.679,11 Ha), Kecamatan Bareng (1.232,85 Ha), dan

Kecamatan Mojowarno (542,36 Ha). Dari total luas

lahan yang berpotensi tersebut tidak terdapat lahan

yang memiliki kelas kesesuaian optimal yaitu S1

(sangat sesuai), namun masih tergolong kelas

kesesuaian lahan berupa S2 (cukup sesuai) dan S3

(sesuai marginal) dengan faktor pembatas pada

variabel temperatur, bulan kering, tekstur tanah,

drainase tanah, dan kemiringan lereng. Dengan

demikian perlu upaya perbaikan karakteristik lahan

berdasarkan faktor pembatas tersebut.

2. Berdasarkan evaluasi kesesuaian wilayah

pengembangan kawasan agropolitan untuk komoditas

kopi pada SKPP I di Kabupaten Jombang, maka dapat

diketahui keberadaan dan karakteristik empat variabel

dari empat subsistem agribisnis dan agroindustri yang

diteliti. (1) Pada variabel industri pembuatan pupuk

untuk tanaman kopi, diketahui dari 100% responden

tidak mengetahui keberadaan industri pembuatan

pupuk seperti yang dimaksudkan dalam rencana induk

pengembangan kawasan agropolitan; (2) pada variabel

industri pengolahan berbahan baku kopi, diketahui

bahwa terdapat satu home industry bernama “Kopi

Page 14: EVALUASI PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN UNTUK KOMODITAS KOPI PADA SKPP I DI KABUPATEN JOMBANG

Swara Bhumi. Volume 03 Nomor 03 Tahun 2015

14

Bagong” yang telah berdiri sejak tahun 2008 dan

industri ini menjual produk kopi bubuk dan biji kopi

polesan; (3) untuk variabel strategi pemasaran,

diketahui bahwa 92,3% responden melakukan strategi

pemasaran produk kopinya dengan cara menjualnya

secara langsung kepada tengkulak dengan kondisi kopi

berupa ose kering, dan belum terdapat realisasi pola

kemitraan dalam strategi pemasaran produk kopi

sebagaimana dimaksud pada rencana induk

pengembangan kawasan agropolitan; (4) pada variabel

lembaga perkreditan, diketahui bahwa 92,3%

responden tidak pernah menjalin kerjasama dengan

lembaga perkreditan manapun, sedangkan apabila

dikaitkan dengan rencana induk pengembangan

kawasan agropolitan setempat, maka sudah terdapat

empat BPR setingkat kecamatan yang ada di wilayah

SKPP I namun belum terjalin kesinambungan dengan

para petani kopi yang pada dasarnya membutuhkan

bantuan modal.

SARAN

Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas maka dapat

diberikan beberapa saran kepada pihak-pihak yang terkait

dengan pengembangan kawasan agropolitan untuk

komoditas kopi pada SKPP I di Kabupaten Jombang,

yaitu sebagai berikut:

1. Bagi para petani di SKPP I agar mulai

membudidayakan komoditas kopi pada areal lahan

yang termasuk memiliki potensi untuk tanaman

tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan cara

menggunakan sistem tumpangsari, sehingga tidak

perlu melakukan perubahan pola jenis komoditas yang

telah dikembangkan sebelumnya di lahan yang belum

ditanami kopi. Dengan demikian upaya ekstensifikasi

dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas

kopi setempat berdasarkan potensi lahannya.

2. Bagi Pemerintah Kabupaten Jombang agar

mengalokasikan anggaran dana untuk pembangunan

industri pupuk tanaman kopi dan industri pengolahan

produk kopi sesuai kebijakan yang telah ditetapkan

dalam rencana induk pengembangan kawasan

agropolitan di SKPP I. Hal ini untuk menciptakan

integrasi subsistem agribisnis dan agroindustri yang

baik dalam menopang kawasan agropolitan setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Andrianto, Tuhana T. 2014. Pengantar Ilmu Pertanian:

Agraris, Agribisnis, Agroindustri, dan Agroteknologi.

Yogyakarta: Global Pustaka Utama.

Bappeda Kab. Jombang. 2010. Implementasi Rencana

Induk Pengembangan Kawasan Agropolitan pada

Satuan Kawasan Pengembangan Pertanian I (SKPP

I) dalam Rangka Mewujudkan Pembangunan

Pertanian Terpadu Berbasis Rencana Tata Ruang.

Jombang: Bappeda Kab. Jombang.

BPS. 2014. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas)

Tahun 2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

Hardjowigeno dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi

Kesesuaian Lahan & Perencanaan Tataguna Lahan.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Muta’ali, Lutfi. 2013. Pengembangan Wilayah

Perdesaan (Perspektif Keruangan). Yogyakarta:

Badan Penerbit Fakultas Geografi UGM.

Rahmawati, Nur Fajri. 2008. Pengaruh Pelaksanaan

Agropolitan Terhadap Perkembangan Ekonomi Di

Tujuh Kawasan Agropolitan Kabupaten Magelang.

Skripsi tidak diterbitkan. Bogor: Institut Pertanian

Bogor.

Rustiadi, Sunsun dan Dyah, Ernan. 2011. Perencanaan

dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Yayasan

Pustaka Obor Indonesia.

Soetoto. 2013. Geologi Dasar. Yogyakarta: Ombak.