pengembangan kawasan agropolitan gendangsari dengan model

13
Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan dan Inovasi Daerah ISSN 2685-1571 (Online) Vol. 1, No. 2, Desember 2019, Hal 78-90 Tersedia Online: http://jurnal.madiunkab.go.id/index.php/bp Copyright © 2019 Dwi Bhakti Iriantini, Muhammad Thohiron, dan Soemaryono All rights reserved. Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari dengan Model Coorporate Farming Kabupaten Madiun Dwi Bhakti Iriantini, Muhammad Thohiron, dan Soemaryono Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen Jawa Timur email: [email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian terkait dengan pengembangan Kawasan Gendangsari Kabupaten Madiun sebagai Coorporate Farming (CF). Analisis yang dilakukan dalam kajian ini; (a) sumberdaya lahan kawasan; (b)komoditi unggulan kawasan; (c) sarana prasarana infrastruktur; (d) distribusi pemasaran dan; (e) pemberdayaan, pengorganisasian masyarakat dan kelembagaan. Konsep pengembangan korporasi pertanian (CP) KAG didasarkan pada kondisi (potensial dan aktual), SWOT, akar permasalahan dan tujuan agribisnis KAG itu sendiri, meskipun dalam perjalanannya muncul kreatifitas dan inprovisasi bisnis baik di sisi hulu (up-stream), tengah (internal) maupun sisi hilir (down stream). Kawasan Agropolitan Gendangsari dapat dikembangkan menjadi salah satu model Coorporate Farming di Kabupaten Madiun. Kata kunci : pengembangan kawasan; corporate farming. PENDAHULUAN Issue disparitas atau kesenjangan merupakan hal yang menarik perhatian dalam pembangunan ekonomi kawasan karena menjadi ukuran tingkat pemerataan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai. Kesenjangan dapat berupa kesenjangan dalam infrasturktur pembangunan fisik kawasan maupun suprastruktur seperti SDM, pendapatan (para pelaku ekonomi; petani, tengkulak, pedagang pengumpul, pengepul, pedagang besar), dan teknologi. Kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan serta kemiskinan di perdesaan telah mendorong upaya-upaya pembangungan di kawasan perdesaan. Oleh karena itu, diperlukan adanya arahan pengembangan kawasan perkotaan dan pedesaan yang memiliki dampak saling menguntungkan dan menciptakan interaksi yang berkesinambungan sehingga dapat mengurangi terciptanya kesenjangan. Terdapat dua arahan pengembangan yang penting dalam pengurangan kesenjangan, yaitu; pengembangan kawasan agropolitan terkait kesenjangan infrastruktur fisik kawasan, dan pertanian korporasi (corporate farming) terkait efisiensi usahatani maupun nilai tambah(Pritchard, Burch, & Lawrence, 2007; Schultz, 2009). Menurut BPS pada Februari 2010, bahwa dari jumlah penduduk Indonesia yang bekerja sebanyak 104.485.444 orang, sebesar 41,53 persen diantaranya bekerja di sektor pertanian. Pertanian sebagai sector penyedia pangan yang penting dalam menjaga stabilitas negara.

Upload: others

Post on 09-Jun-2022

23 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari dengan Model

Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan dan Inovasi Daerah ISSN 2685-1571 (Online) Vol. 1, No. 2, Desember 2019, Hal 78-90

Tersedia Online: http://jurnal.madiunkab.go.id/index.php/bp

Copyright © 2019 Dwi Bhakti Iriantini, Muhammad Thohiron, dan Soemaryono

All rights reserved.

Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari dengan

Model Coorporate Farming Kabupaten Madiun

Dwi Bhakti Iriantini, Muhammad Thohiron, dan Soemaryono Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen Jawa Timur

email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian terkait dengan pengembangan Kawasan

Gendangsari Kabupaten Madiun sebagai Coorporate Farming (CF). Analisis yang dilakukan

dalam kajian ini; (a) sumberdaya lahan kawasan; (b)komoditi unggulan kawasan; (c) sarana

prasarana infrastruktur; (d) distribusi pemasaran dan; (e) pemberdayaan, pengorganisasian

masyarakat dan kelembagaan. Konsep pengembangan korporasi pertanian (CP) KAG didasarkan

pada kondisi (potensial dan aktual), SWOT, akar permasalahan dan tujuan agribisnis KAG itu

sendiri, meskipun dalam perjalanannya muncul kreatifitas dan inprovisasi bisnis baik di sisi hulu

(up-stream), tengah (internal) maupun sisi hilir (down stream). Kawasan Agropolitan Gendangsari

dapat dikembangkan menjadi salah satu model Coorporate Farming di Kabupaten Madiun.

Kata kunci : pengembangan kawasan; corporate farming.

PENDAHULUAN

Issue disparitas atau kesenjangan merupakan hal yang menarik perhatian dalam

pembangunan ekonomi kawasan karena menjadi ukuran tingkat pemerataan hasil-hasil

pembangunan yang telah dicapai. Kesenjangan dapat berupa kesenjangan dalam infrasturktur

pembangunan fisik kawasan maupun suprastruktur seperti SDM, pendapatan (para pelaku

ekonomi; petani, tengkulak, pedagang pengumpul, pengepul, pedagang besar), dan teknologi.

Kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan serta kemiskinan di perdesaan telah

mendorong upaya-upaya pembangungan di kawasan perdesaan. Oleh karena itu, diperlukan adanya

arahan pengembangan kawasan perkotaan dan pedesaan yang memiliki dampak saling

menguntungkan dan menciptakan interaksi yang berkesinambungan sehingga dapat mengurangi

terciptanya kesenjangan. Terdapat dua arahan pengembangan yang penting dalam pengurangan

kesenjangan, yaitu; pengembangan kawasan agropolitan terkait kesenjangan infrastruktur fisik

kawasan, dan pertanian korporasi (corporate farming) terkait efisiensi usahatani maupun nilai

tambah(Pritchard, Burch, & Lawrence, 2007; Schultz, 2009).

Menurut BPS pada Februari 2010, bahwa dari jumlah penduduk Indonesia yang bekerja

sebanyak 104.485.444 orang, sebesar 41,53 persen diantaranya bekerja di sektor pertanian.

Pertanian sebagai sector penyedia pangan yang penting dalam menjaga stabilitas negara.

Page 2: Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari dengan Model

Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari

Dwi Bhakti Iriantini, Muhammad Thohiron, dan Soemaryono 79

Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah Vol. 1, No. 2, Desember 2019, hal 78-90

Kontribusinya dalam menyumbang devisa dan dukungannya terhadap sektor industri tidak boleh

diabaikan. Kenyataan yang harus diakui bahwa sektor pertanian di Indonesia sebagian besar

dibangun oleh petani dengan unit usaha yang relatif sempit. Keadaan pelaku usaha pertanian setiap

tahun semakin bertambah jumlahnya tetapi tingkat kesejahteraan masih rendah. Masih rendahnya

taraf kesejahteraan petani terlihat dari hasil sementara Sensus Pertanian (SP) 2003 yang

dibandingkan dengan SP 1993. Rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari

0,5 hektar, baik milik sendiri maupun menyewa, pada tahun 1993 hanya 51,9 persen dari 20,8 juta

rumah tangga petani saat itu. Tahun 2003, atau 10 tahunkemudian, porsi petani gurem 53,9 persen

dari total rumah tangga petani. Tahun 2008, persentase petani gurem diproyeksikan 55,1 persen

(http://els.bappenas.go.id/). Kenaikan persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah

tangga pertanian pengguna lahan mengindikasikan semakin miskinnya petani di Indonesia.

Kenyataan menunjukkan bahwa pelaku-pelaku usahatani yakni petani, adalah mereka yang

sebagian besar mempunyai keterbatasan juga sekaligus tantangan. Kesempatan memperoleh dan

atau mendapatkan akses terhadap sumberdaya tersedia dan pembagian (sharing) yang adil

(delivery) merupakan masalah yang sering dijumpai hingga berdampak pada makin sempitnya

ruang diversifikasi dan melambatnya drivers usahatani(Isa, 2006). Jika dirinci lebih lanjut,

keterbatasan tersebut diantaranya adalah; tingkat kepemilikan lahan, sarana dan prosarana,

keterbatasan permodalan, keterbatan dalam akses IT, tingkat pendidikan dan skill, serta

keterbatasan dalam pemasaran(Kustiwan, 1997; Mustopa & Santosa, 2011). Tantangan kedepan

bagi para petani kita ialah bahwa usahatani selalu dihadapkan pada beban (load), yaitu factor

fisikal lahan, dan jarak geografis (distance). Lahan yang harus diolah (tillage) dan jarak geografis

(distance) yang selalu dan harus ditempuh dalam setiap kali proses produksi. Setiap memulai

kegiatan usahatani, petani kita harus membolak balik tanah, membuat saluran, bedengan atau

guludan dan lainnya yang jika dihitung secara fisik adalah beban bobot massa tanah atau berat jenis

isi terhadap kedalaman lapisan olah dan luasan, yang jika dihitung dalam luasan per hektar

menghasilkan total massa berat tanah yang sangat besar. Petani membutuhkan alat bantu untuk

menghadapinya. Sebagai jarak petani kita harus memobilisasi semua saprodi pertanian dari luar ke

dalam lahan dan hasil panenan ke luar lahan (gudang, prosesing hasil dan pasar)(Moniaga, 2011).

Petani juga membutuhkan alat bantu untuk dapat melintasi jarak geografis lahan sampai pasar. Alat

bantu dalam hal ini mesin peralatan (farm machinery) bagi petani dibutuhkan untuk mengurangi

kerja otot selain efisiensi dan efektifitas usahatani.

Ditambah dengan sifat derivatif produk pertanian yaitu perisable (mudah rusak), annualy

(musiman), dan bulk (volumenya besar dengan nilai rendah) sehingga dibutuhkan pengelolaan

lanjut seperti proses penanganan produk maupun pasca panen yang baik. Hal ini akan berimplikasi

pada kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan dan konsekuensi biaya yang pada akhirnya

Page 3: Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari dengan Model

80–Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah

Vol. 1 No. 2, Desember 2019, hal 78-90

mempengaruhi tingkat marjin yang diterima petani. Pembangunan pertanian telah mengalami

pergeseran dari pendekatan produksi kepada pendekatan agribisnis. Pembangunan agribisnis ini

merupakan respon terhadap perubahan lingkungan strategis internasional yaitu: (a) meningkatnya

tekanan implementasi kesepakatan GATT/WTO; (b) terjadinya revolusi transfortasi,

telekomunikasi dan turisme; (c) globalisasi gerakan rehabilitasi dan konservasi sumberdaya alam;

(d) globalisasi perlindungan hak azazi manusia; dan (e) gerakan perbaikan kualitas produk.

Perubahan lingkungan strategis domestik turut mempengaruhi pula, perubahan pendekatan

tersebut, yaitu diantaranya adalah (a) dinamika ekonomi makro; (b) dinamika sosio-kultural politis;

dan (c) dinamika struktur demografi dan masalah kemiskinan.

Pada umumnya pasar komoditas pertanian bersifat pasar pembeli (buyer’s market) dimana

volume dan harga ditentukan oleh preferensi dan daya beli konsumen. Perubahan lingkungan

strategis seperti globalisasi perdagangan menyebabkan penjual komoditas pertanian baik di pasar

internasional maupun domestik makin bertambah banyak dan saling bersaing ketat, sementara

kekuatan pembeli semakin dominan. Dengan demikian di sisi produsen diperlukan upaya untuk

meningkatkan daya saing, salah satu bentuk daya saing tersebut adalah jaminan mutu produk

(preference guarantee) bagi konsumen dan biaya produksi yang rendah.Tersedianya garansi atau

quality assurance untuk memberikan jaminan mutu produk tertentu bagi konsumen dengan biaya

rendah, diperlukan pengembangan sistem agribisnis yang terpadu diantara sub sistem agribisnis

sepanjang alur vertikal produk yang bersangkutan, sehingga mutu produk sesuai dengan selera

konsumen dan sistem tersebut mampu memanfaatkan keuntungan ekonomi internal. Dalam

membangun keterpaduan sistem agribisnis di Indonesia menghadapi kendala utama yaitu sistem

usahatani belum terkonsolidasi. Penyebab hal tersebut adalah luas lahan garapan sempit sehingga

sebagian besar petani merupakan part time farmer. Dengan karakteristik sistem usahatani yang

demikian tanpa dilakukan upaya konsolidasi usahatani sungguh sangat sulit untuk membangun

sosok agribisnis yang komersial dan modern yang mampu mengikuti dinamika perubahan

permintaan dan bertahan dalam persaingan perdagangan dunia(Hidayat, 2008; Kurniasari &

Ariastita, 2014).

Untuk mempertahankan keberadaan sektor pertanian umumnya di Jawa Timur dan di

Kabupaten Madiun khususnya dinilai sangat strategis, bukan hanya untuk memasok produksi

pangan, tetapi juga untuk menghidupi ribuan bahkan jutaan petani miskin. Oleh karena itu

diperlukan upaya untuk membangun sosok agribisnis yang mampu bersaing dalam era perdagangan

bebas MEA. Salah satu upaya strategis untuk membangun konsolidasi usahatani adalah

pengembangan kelembagaan atau organisasi petani. Corporate Farming (CF) merupakan salah satu

bentuk kelembagaan konsolidasi usahatani untuk mendukung terwujudnya sistem agribisnis yang

terpadu berdayaguna dan berhasil guna di Kabupaten Madiun.

Page 4: Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari dengan Model

Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari

Dwi Bhakti Iriantini, Muhammad Thohiron, dan Soemaryono 81

Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah Vol. 1, No. 2, Desember 2019, hal 78-90

METODE

Metodologi dalam penyusunan kajian ini bersifat expost facto yang dilakukan dengan

pendekatan diskriptif eksploratif. Di dalam penelitian ini berbagai informasi yang berkaitan dengan

analisis dikumpulkan melalui metode penelitian survei. Menurut (Bachrudin & Tobing, 2003;

Sangarimbun & Effendi, 1999)penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu

populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok.Dalam kajian ini

disajikan tabel desain penelitian yang menjelaskan tujuan, variabel-variabel yang dicari dan

kebutuhan data yang didapatkan melalui survei primer maupun sekunder. Metode pengumpulan

data melalui studi literatur, wawancara dan kuisioner.

Variabel yang digunakan dalam kajian penyusunan corporate farming di Kabupaten Madiun

tahun 2019 ini menggunakan tiga variable penelitian yaitu: variable ekonomi, variable fisik

agroekologi, dan variable sosial.Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan

data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari responden yang dihimpun dengan beberapa

metode. Sedangkan data sekunder diperoleh dari Instansi atau Badan/ lembaga terkait dengan

sektor pertanian di Kabupaten Madiun.Metode analisis yang digunakan dalam Kajian penyusunan

Corporate farming di Kabupaten Madiun yaitu: Analisa Potensi dan Akar Masalah (Potential and

Root Cause Analysis); Analisa Faktor Internal dan Eksternal SWOT.

Beberapa tahapan penelitian yang dilakukan dalam penyusunan corporate farming di

Kabupaten Madiun dintaranya adalah sebagai berikut: (1) Melakukan identifiksi dan analisa

kondisi eksisting sumberdaya manusia petani, pelaku pertanian, dan sumberdaya lahan yang ada;

(2) Melakukan identifiksi dan analisa kondisi eksisting infrastruktur atau sarana prasarana

pertanian atau usahatani dan faktor penunjang peningkatan kualitas; (3) Melakukan identifiksi dan

analisa kondisi eksisting aktifitas-aktifitas dari kelembagaan terkait; (4) Melakukan identifiksi dan

analisa kondisi eksisting mengenai peran manajemen dan organisasi terkait pertanian baik on-farm

maupun off-farm; (5) Menyusun scenario keterkaitan, tata hubungan dan tata kelolah kelembagaan

yang terlibat dalam aktifitas pertanian baik hulu-hilir maupun on-farm, off-farm maupun non-farm

yang ada di wilayah studi/ perencanaan; (6) Menyususn model konseptual pengembangan

corporate farming pada wialayah studi perencanaan; (7) Mengitegrasikan semua variabel inputan

baik internal maupun eksternal ke dalam sistem analisis strategi SWOT (IFAS) dan EFAS untuk

memunculkan tujuan bersama melalui sinkronisasi strategi kebijakan sebagai dasar pengembangan

dan perbaikan kinerja kelembagaan; (8) Menyusun arahan strategi sebagai dasar kebijakan

pengembangan agribisnis korporasi pertanian (corporate farming) secara kelembagaan di

Kabupaten Madiun.

Page 5: Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari dengan Model

82–Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah

Vol. 1 No. 2, Desember 2019, hal 78-90

Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pikir Konseptual Kajian Penyusunan

Corporate Farming di Kabupaten Madiun Tahun 2019

HASIL DAN PEMBAHASAN

SDM, Lahan,

Kelembagaan

Sapras/

Fisik

Manajemen

dan Organisasi

Aktifitas On-

farm, Off-farm

Kondisi

Eksisting

Review

Kebijakan

SWOT ANALISIS

MATRIK IFAS -

EFAS

Kekuatan (S)

Peluang (O)

Kelemahan (W)

Tantangan (T)

STRATEGI DAN

ARAHAN

Inisiasi pengembangan dan pembangunan

corporate farming

CAPAIAN PENINGKATAN

KINERJA PERTANIAN SECARA

KELEMBAGAAN

Perbaikan

Pemeliharaan &

Pengembangan

Strategi

Upaya

Kebijakan

Program &

Kegiatan

Participatory

Rural

Appraisal

Model Konseptual

Corporate Farming

Studi Pustaka, Proposal

Root caused

Analysis

Penyusunan Instrumen Penelitian

Page 6: Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari dengan Model

Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari

Dwi Bhakti Iriantini, Muhammad Thohiron, dan Soemaryono 83

Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah Vol. 1, No. 2, Desember 2019, hal 78-90

Dalam mendukung kinerja Kawasan Agropolitan Gedangsari, lahan merupakan sumberdaya

yang sangat penting karena menentukan dayadukungnya (potensi) atau kesuburan alaminya dalam

menentukan produktifitas tanaman yang pada akhirnya menentukan keunggulan pada objek di

atasnya. Luas total wilayah lahan kawasan ini sekitar 205,27 km2 dengan topografi dataran dan

berjenis tanah vertisol (Grumusol) dan sebagian kecil asosiasinya.Sebagai gambaran mengenai

proporsi jumlah Desa dan Luas Kecamatan Terhadap kawasan agropolitan Gedangsari

sebagaimana gambar berikut:

Gambar 2. Grafik Proporsi Jumlah Desa dan Luas Kecamatan

Terhadap kawasan agropolitan Gedangsari

Dari gambar grafik di atas terlihat bahwa Kecamatan Geger mempunyai jumlah desa

terbanyak dibanding Kecamatan lainnya, sedangkan dari proporsi luasan desa terlihat bahwa

Kecamatan Dagangan mempunyai luasan desa yang lebih besar. Hal ini memberi implikasi bahwa

jumlah desa yang lebih banyak berpeluang mengembangkan pola inti-plasma maupun koperasi

untuk pemerataan kegiatan ekonomi, dan luas lahan yang lebih besar berpeluang untuk

ekstensifikasi dan diversifikasi pada kegiatan budidayanya (primer/on-farm).Sedangkan rincian

luas masing-masing desa di masing-masing Kecamatan seperti pada gambar-gambar berikut ini.

Page 7: Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari dengan Model

84–Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah

Vol. 1 No. 2, Desember 2019, hal 78-90

Gambar 3. Proporsi Luasan masing-masing desa di Kecamatan Geger

Gambar 4. Proporsi Luasan masing-masing desa di Kecamatan

Kebonsari

Page 8: Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari dengan Model

Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari

Dwi Bhakti Iriantini, Muhammad Thohiron, dan Soemaryono 85

Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah Vol. 1, No. 2, Desember 2019, hal 78-90

Gambar 5. Proporsi Luasan masing-masing desa di Kecamatan

Dolopo

Gambar 6. Proporsi Luasan masing-masing desa di Kecamatan

Dagangan

Dari grafik 2-6. di atas, menunjukkan bahwa luasan desa tertinggi berturut turut adalah Desa

Segulung, Desa Kradinan, Desa Kebonsari dan Desa Kaibon. Hal ini memberi implikasi bahwa

desa desa tersebut mempunyai potensi lahan yang dapat diberdayakan untuk kegiatan-kegiatan

ekonomi produksi sektor primer (produksi) lahan sawah, pekarangan, kebun ddan tegal untuk

menambah pendapatan. Dalam implementasi konsep corporate farming, prinsip konsolidasi

Page 9: Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari dengan Model

86–Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah

Vol. 1 No. 2, Desember 2019, hal 78-90

manajemen dalam satu kesatuan arahan sangat dibutuhkan seperti aktifitas-aktifitas terkait dalam

pengelolaan lahan (kesatuan luas hamparan, olah tanah, pengairan dan pemupukan). Luasan petak

lahan, jumlah petak lahan, kondisi dan kesesuaian lahan menjadi faktor yang sangat penting untuk

mendapat perhatian manajemen.

Identifikasi potensi komoditi agrokompleks masing-masing kecamatan Kawasan Agropolitan

Gedangsari di maksudkan agar agribisnis yang dikembangkan mampu tumbuh kembang menjadi

motor pengerak sekaligus triger perekonomian kawasan. Agribisnis tersebut selanjutnya mampu

menyerap tenaga, meningkatkan pendapatan masyarakat, sekaligus meningkatkan investasi

kawasan.Analisis penetapan potensi komoditas tiap sektor dan sub sektor pertanian ditujukan untuk

mengetahui kemampuan produksi baik potensial maupun aktual setiap jenis komoditi di Kawasan

Agropolitan Gedangsari. Outputnya ialah apakah suatu komoditi hanya mampu memenuhi atau

melayani kebutuhan/pasar daerahnya sendiri, atau mampu memenuhi kebutuhan daerah lain, atau

bahkan harus mengimpor dari luar daerah untuk kebutuhan daerahnya sendiri. Dalam implementasi

konsep corporate farming, prinsip konsolidasi manajemen dalam satu kesatuan arahan manajemen

sangat dibutuhkan seperti aktifitas-aktifitas terkait dalam faktor pengelolaan tanaman (penentuan

jenis komoditi tanaman, teknis budidaya, produktifitas, biaya produksi, perawatan, panen, pasca

panen dan pemasaran). Oleh karena itu faktor internal dan ekternal tanaman yang mempengaruhi

akan sangat mudah dikendalikan atau dikelolah jika terdapat satu kesatuan manajemen.

Sedangkan dari segi keruangan kawasan akan bermanfaat dalam mengatur dan mengelolah

penjadwalan (skedul) aktifitas on-farm dan off-farm. Aktifitas-aktifitas seperti penentuan saat

tanam dan panen selalu terkait dengan aktifitas sebelumnya atau yang mendahuluinya dan juga

aktifitas sesudahnya. Bahkan ada aktifitas yang dapat dilakukan secara bersamaan (overlapping)

demi efisiensi untuk menghindari kerugian. Jika konsolidasi manajemen dilakukan dengan baik,

masalah teknis dan non teknis tidak banyak terjadi.

Secara umum pengembangan agribisnis hasil-hasil pertanian baik yang menyangkut produk

primer usahatani (on-farm) maupun produk sekunder (olahan lanjut) dan turunannya melalui

agroindustry bertujuan untuk memperoleh nilai tambah. Dengan kata lain, nilai tambah yang

diperoleh dari pengembangan produk olahan jauh lebih tinggi dari produk primer. Salah satu upaya

untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan produk primer pertanian serta untuk

mendukung pengembangan nilai tambah produk pertanian, sesuai dengan kebijakan pembangunan

pertanian jangka panjang, adalah pengembangan agribisnis corporate farming. Di dalam system

korporasi (corporate farming), semua aktifitas diintegrasikan melalui satu perintah majemen, baik

sisi hulu, internal/tengah maupun hilir, yaitu on-farm dan off-farm, atau agro input, agro proses (on-

farm) dan off-farm (agro proses II) atau agro output.

Corporate Farming merupakan bentuk inovasi kelembagaan petani sebagai penyempurnaan

kelembagaan petani sebelumnya agar mampu mengkonsolidasi kegiatan ditingkat usahatani baik

Page 10: Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari dengan Model

Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari

Dwi Bhakti Iriantini, Muhammad Thohiron, dan Soemaryono 87

Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah Vol. 1, No. 2, Desember 2019, hal 78-90

horizontal dan vertikal agar tercipta padu-padan (link-match) dengan kegiatan vertikal agribisnis

dalam satu alur produk, sehingga karakteristik produk akhir dapat dijamin dan disesuaikan dengan

preferensi konsumen. Dengan demikian, Corporate Farming merupakan inovasi kelembagaan

petani untuk meningkatkan daya saing melalui preference guarantee yang merupakan salah satu

bentuk daya saing dalam era perubahan preferensi konsumen dari komoditas kepada karakteristik

produk.

Berdasarkan uraian di atas maka secara umum dapat dirumuskan beberapa strategi kebijakan

dalam pengembangan melalui agribisnis dan agroindustri korporasi pertanian (CF) berbasis produk

primer agrokomplek KAG :

1) Peningkatan Produktivitas Agribisnis dan Daya Saing Produk

Sasaran program dan atau kegiatan yang dapat ditempuh yaitu:

a. Penanganan panen dan pasca panen secara tepat dan sesuai,

b. Pembatasan impor bahan baku melalui kegiatan agroindustri yang dapat men-substitusi

impor sehingga berdampak meningkatnya nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja

c. Diversifikasi produk agroindustri melalui ketersediaan aneka sumber bahan baku di seluruh

pelosok wilayah sehingga tidak tergantung pada komponen impor tetapi focus menghasilkan

produk ekspor yang menghasilkan devisa

d. Peningkatan dan perbaikan teknologi produksi, distribusi, dan pemasaran untuk

meningkatkan produktifitas dan daya saing produk.

2) Peningkatan kapasitas dan kemampuan pelaku agribisnis untuk menghimpun sumberdaya dalam

rangka meningkatkan posisi tawarnya.

Sasaran program dan atau kegiatan yang dapat ditempuh yaitu:

a. Peningkatan kemampuan penguasaan IPTEK dan profesionalisme sumberdaya manusia

b. Peningkatan pemanfaatan dan perluasan peluang dan akses pasar

c. Perluasan akses sumber-sumber permodalan/pembiayaan

d. Perluasan penguasaan teknologi, dan

e. Peningkatan kemampuan di bidang organisasi dan manajemen.

3) Penguatan Keterkaitan Struktural Agribisnis, baik Internal maupun Eksternal dengan sektor lain

(Integrasi vertical dan Integrasi horizontal)

Sasaran program dan atau kegiatan yang dapat ditempuh yaitu:

a. Penguatan dan integrasi struktural agribisnis antar sector, hulu dan hilir serta industry

penunjang lain terkait (transportasi, industry, perdagangan dan jasa)

b. Sinergitas forward dan backward linkage agroindustri, system dan sub-sistem produksi,

pengolahan, distribusi, pemasaran dan berbagai kegiatan atau jasa penunjangnya.

Page 11: Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari dengan Model

88–Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah

Vol. 1 No. 2, Desember 2019, hal 78-90

c. Peningkatan kapasitas dan sumberdaya agroindustri melalui koordinasi kebijakan lembaga

terkait agar bersinergi secara efektif (Koordinasi antar pelaku dan Pembina usaha, yang

melibatkan banyak Departemen dan lembaga pemerintah)

d. Penguatan dan peningkatan intensitas koordinasi dan integrasi kebijakan dan program secara

lintas sektoral dan antar pusat-daerah secara harmonis, baik secara internal maupundalam

hubungannya dengan sektor lain.

4) Penguatan dukungan atas kebijakan makro dan mikro ekonomi

Sasaran program dan atau kegiatan yang dapat ditempuh yaitu:

a. Tersedianya kebijakan ekonomi (makro dan mikro) sebagai payung hukum yang dapat

menciptakan kesempatan dan kepastian usaha, melalui perannya sebagai penyedia pangan

secara beragam, bermutu, dan peningkatan nilai tambah untuk meningkatkan pendapatan

/daya beli masyarakat.

b. Penguatan peran dan fungsi agribisnis produk primer dalam peningkatan nilai tambah

melalui empat kategori proses dari yang paling sederhana; gradding (pembersihan dan

pengelompokan hasil), ginning (pemisahan/ penyosohan), pemotongan dan pencampuran

hingga ke.pengolahan (pemasakan, pengalengan,pengeringan, dsb), dan upaya merubah

kandungan kimia (pengkayaan kandungan gizi).

Sedangkan strategi kebijakan pada masing-masing sector didasarkan pada capaian hasil

indicator kinerja agribisnis masing-masing sub sektor dan sifat serta karakteristik produk

usaha agribisnisi itu sendiri melalui analisis SWOT, yaitu :

a) Sub sector Tanaman Pangan dan Hortikultura

Dari hasil analisis lingkungan strategis factor internal (IFAS) dan factor eksternal (EFAS) di sub

sector tanaman pangan dan hortikultura, dihasilkan beberapa rumusan strategi, yaitu :

1. Memperbaiki perbaikan kualitas produk melalui pertanian ramah lingkungan menuju organik

(strategi ST, 27/I);

2. Meningkatkan produksi melalui optimalisasi kesuburan dan dayadukung lahan (strategi SO,

26/II);

3. Meningkatkan kapasitas dan jumlah (unit-unit) pembuatan pupuk organik (strategi SO,

25/III);

4. Mengembangkan pelatihan pembuatan pupuk organik dan ameliorant lahan (strategi WO

24/IV); dan

5. Meningkatkan peran kelembagaan petani baik sisi hulu maupun hilir (strategi ST, 24/IV).

b) Sub Sektor Perkebunan

Dari hasil analisis lingkungan strategis factor internal (IFAS) dan factor eksternal (EFAS) di sub

sector tanaman perkebunan, dihasilkan beberapa rumusan strategi, yaitu :

1. Meningkatkan produki melalui ekstensifikasi (strategi SO, 25/I);

Page 12: Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari dengan Model

Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari

Dwi Bhakti Iriantini, Muhammad Thohiron, dan Soemaryono 89

Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah Vol. 1, No. 2, Desember 2019, hal 78-90

2. Mengembangkan pelatihan peningkatan teknologi pasca panen (strategi WO, 24/II);

3. Melakukan Pengendalian OPT dengan konsep PHT dengan sisten EWS (strategi ST, 23/III);

4. Meningkatkan Pelatihan teknologi budidaya tanaman kakao (strategi WT, 22/IV); dan

5. Fasilitasi paket bantuan yang bersifat guliran/revolving (strategi dan 5) WO,20/V).

SIMPULAN

Pengembangan kawasan Gedangsari (KAG) dapat diterapkan Model Corporate Farming di

Kabupaten Madiun, yaitu :1) Capaian kinerja sistem agribisnis KGA sisi hulu (up-stream)

usahatani komoditi, dukungan pengelolaan antar sub system, aksesibilitas dan delivery system

dalam wilayah perencanaan dinilai cukup memadai untuk implementasi konsep CF (corporate

farming);2) Dukungan kelembagaan seperti poktan, poknak, pokdakan, popkdarwis, KWT,

gapoktan, BUMDes cukup menunjang kegiatan usahatani;3) Fasilitasi peran kelembagaan

untuk konsep model CF tidak harus membentuk lembaga baru, beberapa kelembagaan petani

(gapoktan, KUD, dan BUMDES) dapat menjadi inisiator dan top leader CF setelah berbadan

hukum;4)Model agribisnis CF pada usahatani komoditi unggulan tebu, padi, jagung, kacang tanah,

durian, kakao dan kopi dapat dijadikan contoh model konseptual corporate farming;5) Inti dan

inisiasi pengembangan CF ialah konsolidasi manajemen yang kuat dan sebaiknya integrasi dalam

klaster;6)Konsolidasi lahan dan manajemen usaha ke dalam satu kesatuan manajemen pengelolaan

merupakan tolok ukur keberhasilan CF karena ada penyadaran kritis untuk saling bersaing

(competitive) menjadi kerja bersama (colaboration).

DAFTAR PUSTAKA

Bachrudin, A., & Tobing, H. L. (2003). Analisis data untuk penelitian survey dengan menggunakan

lisrel 8. FMIPA UNPAD. Bandung.

Hidayat, S. I. (2008). Analisis konversi lahan sawah di Propinsi Jawa Timur. JSEP (Journal of

Social and Agricultural Economics), 2(3), 48-58.

Isa, I. (2006). Strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Paper presented at the Dalam:

Dariah A, Nurida NL, Irawan, Husen E, Agus F, penyunting. Prosiding Seminar

Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Bogor.

Kurniasari, M., & Ariastita, P. G. (2014). Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan

pertanian sebagai upaya prediksi perkembangan lahan pertanian di Kabupaten Lamongan.

Jurnal Teknik ITS, 3(2), C119-C124.

Kustiwan, I. (1997). Permasalahan Konversi Lahan Pertanian Dan Implikasinya Terhadap Penataan

Ruang Wilayah studi Kasus: Wilayah Pantura Jawa Barat. Journal of Regional and City

Planning, 8(1), 49-60.

Moniaga, V. R. (2011). Analisis daya dukung lahan pertanian. AGRI-SOSIOEKONOMI, 7(2), 61-

68.

Page 13: Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari dengan Model

90–Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah

Vol. 1 No. 2, Desember 2019, hal 78-90

Mustopa, Z., & Santosa, P. B. (2011). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi

Lahan Pertanian di Kabupaten Demak. Universitas Diponegoro,

Pritchard, B., Burch, D., & Lawrence, G. (2007). Neither ‘family’nor ‘corporate’farming:

Australian tomato growers as farm family entrepreneurs. Journal of rural studies, 23(1),

75-87.

Sangarimbun, M., & Effendi, S. (1999). Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES.

Schultz, A. B. (2009). Corporate-farming measures in a post-Jones world. Drake J. Agric. L., 14,

97.