Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan dan Inovasi Daerah ISSN 2685-1571 (Online) Vol. 1, No. 2, Desember 2019, Hal 78-90
Tersedia Online: http://jurnal.madiunkab.go.id/index.php/bp
Copyright © 2019 Dwi Bhakti Iriantini, Muhammad Thohiron, dan Soemaryono
All rights reserved.
Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari dengan
Model Coorporate Farming Kabupaten Madiun
Dwi Bhakti Iriantini, Muhammad Thohiron, dan Soemaryono Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Manajemen Jawa Timur
email: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian terkait dengan pengembangan Kawasan
Gendangsari Kabupaten Madiun sebagai Coorporate Farming (CF). Analisis yang dilakukan
dalam kajian ini; (a) sumberdaya lahan kawasan; (b)komoditi unggulan kawasan; (c) sarana
prasarana infrastruktur; (d) distribusi pemasaran dan; (e) pemberdayaan, pengorganisasian
masyarakat dan kelembagaan. Konsep pengembangan korporasi pertanian (CP) KAG didasarkan
pada kondisi (potensial dan aktual), SWOT, akar permasalahan dan tujuan agribisnis KAG itu
sendiri, meskipun dalam perjalanannya muncul kreatifitas dan inprovisasi bisnis baik di sisi hulu
(up-stream), tengah (internal) maupun sisi hilir (down stream). Kawasan Agropolitan Gendangsari
dapat dikembangkan menjadi salah satu model Coorporate Farming di Kabupaten Madiun.
Kata kunci : pengembangan kawasan; corporate farming.
PENDAHULUAN
Issue disparitas atau kesenjangan merupakan hal yang menarik perhatian dalam
pembangunan ekonomi kawasan karena menjadi ukuran tingkat pemerataan hasil-hasil
pembangunan yang telah dicapai. Kesenjangan dapat berupa kesenjangan dalam infrasturktur
pembangunan fisik kawasan maupun suprastruktur seperti SDM, pendapatan (para pelaku
ekonomi; petani, tengkulak, pedagang pengumpul, pengepul, pedagang besar), dan teknologi.
Kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan serta kemiskinan di perdesaan telah
mendorong upaya-upaya pembangungan di kawasan perdesaan. Oleh karena itu, diperlukan adanya
arahan pengembangan kawasan perkotaan dan pedesaan yang memiliki dampak saling
menguntungkan dan menciptakan interaksi yang berkesinambungan sehingga dapat mengurangi
terciptanya kesenjangan. Terdapat dua arahan pengembangan yang penting dalam pengurangan
kesenjangan, yaitu; pengembangan kawasan agropolitan terkait kesenjangan infrastruktur fisik
kawasan, dan pertanian korporasi (corporate farming) terkait efisiensi usahatani maupun nilai
tambah(Pritchard, Burch, & Lawrence, 2007; Schultz, 2009).
Menurut BPS pada Februari 2010, bahwa dari jumlah penduduk Indonesia yang bekerja
sebanyak 104.485.444 orang, sebesar 41,53 persen diantaranya bekerja di sektor pertanian.
Pertanian sebagai sector penyedia pangan yang penting dalam menjaga stabilitas negara.
Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari
Dwi Bhakti Iriantini, Muhammad Thohiron, dan Soemaryono 79
Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah Vol. 1, No. 2, Desember 2019, hal 78-90
Kontribusinya dalam menyumbang devisa dan dukungannya terhadap sektor industri tidak boleh
diabaikan. Kenyataan yang harus diakui bahwa sektor pertanian di Indonesia sebagian besar
dibangun oleh petani dengan unit usaha yang relatif sempit. Keadaan pelaku usaha pertanian setiap
tahun semakin bertambah jumlahnya tetapi tingkat kesejahteraan masih rendah. Masih rendahnya
taraf kesejahteraan petani terlihat dari hasil sementara Sensus Pertanian (SP) 2003 yang
dibandingkan dengan SP 1993. Rumah tangga petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari
0,5 hektar, baik milik sendiri maupun menyewa, pada tahun 1993 hanya 51,9 persen dari 20,8 juta
rumah tangga petani saat itu. Tahun 2003, atau 10 tahunkemudian, porsi petani gurem 53,9 persen
dari total rumah tangga petani. Tahun 2008, persentase petani gurem diproyeksikan 55,1 persen
(http://els.bappenas.go.id/). Kenaikan persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah
tangga pertanian pengguna lahan mengindikasikan semakin miskinnya petani di Indonesia.
Kenyataan menunjukkan bahwa pelaku-pelaku usahatani yakni petani, adalah mereka yang
sebagian besar mempunyai keterbatasan juga sekaligus tantangan. Kesempatan memperoleh dan
atau mendapatkan akses terhadap sumberdaya tersedia dan pembagian (sharing) yang adil
(delivery) merupakan masalah yang sering dijumpai hingga berdampak pada makin sempitnya
ruang diversifikasi dan melambatnya drivers usahatani(Isa, 2006). Jika dirinci lebih lanjut,
keterbatasan tersebut diantaranya adalah; tingkat kepemilikan lahan, sarana dan prosarana,
keterbatasan permodalan, keterbatan dalam akses IT, tingkat pendidikan dan skill, serta
keterbatasan dalam pemasaran(Kustiwan, 1997; Mustopa & Santosa, 2011). Tantangan kedepan
bagi para petani kita ialah bahwa usahatani selalu dihadapkan pada beban (load), yaitu factor
fisikal lahan, dan jarak geografis (distance). Lahan yang harus diolah (tillage) dan jarak geografis
(distance) yang selalu dan harus ditempuh dalam setiap kali proses produksi. Setiap memulai
kegiatan usahatani, petani kita harus membolak balik tanah, membuat saluran, bedengan atau
guludan dan lainnya yang jika dihitung secara fisik adalah beban bobot massa tanah atau berat jenis
isi terhadap kedalaman lapisan olah dan luasan, yang jika dihitung dalam luasan per hektar
menghasilkan total massa berat tanah yang sangat besar. Petani membutuhkan alat bantu untuk
menghadapinya. Sebagai jarak petani kita harus memobilisasi semua saprodi pertanian dari luar ke
dalam lahan dan hasil panenan ke luar lahan (gudang, prosesing hasil dan pasar)(Moniaga, 2011).
Petani juga membutuhkan alat bantu untuk dapat melintasi jarak geografis lahan sampai pasar. Alat
bantu dalam hal ini mesin peralatan (farm machinery) bagi petani dibutuhkan untuk mengurangi
kerja otot selain efisiensi dan efektifitas usahatani.
Ditambah dengan sifat derivatif produk pertanian yaitu perisable (mudah rusak), annualy
(musiman), dan bulk (volumenya besar dengan nilai rendah) sehingga dibutuhkan pengelolaan
lanjut seperti proses penanganan produk maupun pasca panen yang baik. Hal ini akan berimplikasi
pada kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan dan konsekuensi biaya yang pada akhirnya
80–Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah
Vol. 1 No. 2, Desember 2019, hal 78-90
mempengaruhi tingkat marjin yang diterima petani. Pembangunan pertanian telah mengalami
pergeseran dari pendekatan produksi kepada pendekatan agribisnis. Pembangunan agribisnis ini
merupakan respon terhadap perubahan lingkungan strategis internasional yaitu: (a) meningkatnya
tekanan implementasi kesepakatan GATT/WTO; (b) terjadinya revolusi transfortasi,
telekomunikasi dan turisme; (c) globalisasi gerakan rehabilitasi dan konservasi sumberdaya alam;
(d) globalisasi perlindungan hak azazi manusia; dan (e) gerakan perbaikan kualitas produk.
Perubahan lingkungan strategis domestik turut mempengaruhi pula, perubahan pendekatan
tersebut, yaitu diantaranya adalah (a) dinamika ekonomi makro; (b) dinamika sosio-kultural politis;
dan (c) dinamika struktur demografi dan masalah kemiskinan.
Pada umumnya pasar komoditas pertanian bersifat pasar pembeli (buyer’s market) dimana
volume dan harga ditentukan oleh preferensi dan daya beli konsumen. Perubahan lingkungan
strategis seperti globalisasi perdagangan menyebabkan penjual komoditas pertanian baik di pasar
internasional maupun domestik makin bertambah banyak dan saling bersaing ketat, sementara
kekuatan pembeli semakin dominan. Dengan demikian di sisi produsen diperlukan upaya untuk
meningkatkan daya saing, salah satu bentuk daya saing tersebut adalah jaminan mutu produk
(preference guarantee) bagi konsumen dan biaya produksi yang rendah.Tersedianya garansi atau
quality assurance untuk memberikan jaminan mutu produk tertentu bagi konsumen dengan biaya
rendah, diperlukan pengembangan sistem agribisnis yang terpadu diantara sub sistem agribisnis
sepanjang alur vertikal produk yang bersangkutan, sehingga mutu produk sesuai dengan selera
konsumen dan sistem tersebut mampu memanfaatkan keuntungan ekonomi internal. Dalam
membangun keterpaduan sistem agribisnis di Indonesia menghadapi kendala utama yaitu sistem
usahatani belum terkonsolidasi. Penyebab hal tersebut adalah luas lahan garapan sempit sehingga
sebagian besar petani merupakan part time farmer. Dengan karakteristik sistem usahatani yang
demikian tanpa dilakukan upaya konsolidasi usahatani sungguh sangat sulit untuk membangun
sosok agribisnis yang komersial dan modern yang mampu mengikuti dinamika perubahan
permintaan dan bertahan dalam persaingan perdagangan dunia(Hidayat, 2008; Kurniasari &
Ariastita, 2014).
Untuk mempertahankan keberadaan sektor pertanian umumnya di Jawa Timur dan di
Kabupaten Madiun khususnya dinilai sangat strategis, bukan hanya untuk memasok produksi
pangan, tetapi juga untuk menghidupi ribuan bahkan jutaan petani miskin. Oleh karena itu
diperlukan upaya untuk membangun sosok agribisnis yang mampu bersaing dalam era perdagangan
bebas MEA. Salah satu upaya strategis untuk membangun konsolidasi usahatani adalah
pengembangan kelembagaan atau organisasi petani. Corporate Farming (CF) merupakan salah satu
bentuk kelembagaan konsolidasi usahatani untuk mendukung terwujudnya sistem agribisnis yang
terpadu berdayaguna dan berhasil guna di Kabupaten Madiun.
Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari
Dwi Bhakti Iriantini, Muhammad Thohiron, dan Soemaryono 81
Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah Vol. 1, No. 2, Desember 2019, hal 78-90
METODE
Metodologi dalam penyusunan kajian ini bersifat expost facto yang dilakukan dengan
pendekatan diskriptif eksploratif. Di dalam penelitian ini berbagai informasi yang berkaitan dengan
analisis dikumpulkan melalui metode penelitian survei. Menurut (Bachrudin & Tobing, 2003;
Sangarimbun & Effendi, 1999)penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu
populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data pokok.Dalam kajian ini
disajikan tabel desain penelitian yang menjelaskan tujuan, variabel-variabel yang dicari dan
kebutuhan data yang didapatkan melalui survei primer maupun sekunder. Metode pengumpulan
data melalui studi literatur, wawancara dan kuisioner.
Variabel yang digunakan dalam kajian penyusunan corporate farming di Kabupaten Madiun
tahun 2019 ini menggunakan tiga variable penelitian yaitu: variable ekonomi, variable fisik
agroekologi, dan variable sosial.Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari responden yang dihimpun dengan beberapa
metode. Sedangkan data sekunder diperoleh dari Instansi atau Badan/ lembaga terkait dengan
sektor pertanian di Kabupaten Madiun.Metode analisis yang digunakan dalam Kajian penyusunan
Corporate farming di Kabupaten Madiun yaitu: Analisa Potensi dan Akar Masalah (Potential and
Root Cause Analysis); Analisa Faktor Internal dan Eksternal SWOT.
Beberapa tahapan penelitian yang dilakukan dalam penyusunan corporate farming di
Kabupaten Madiun dintaranya adalah sebagai berikut: (1) Melakukan identifiksi dan analisa
kondisi eksisting sumberdaya manusia petani, pelaku pertanian, dan sumberdaya lahan yang ada;
(2) Melakukan identifiksi dan analisa kondisi eksisting infrastruktur atau sarana prasarana
pertanian atau usahatani dan faktor penunjang peningkatan kualitas; (3) Melakukan identifiksi dan
analisa kondisi eksisting aktifitas-aktifitas dari kelembagaan terkait; (4) Melakukan identifiksi dan
analisa kondisi eksisting mengenai peran manajemen dan organisasi terkait pertanian baik on-farm
maupun off-farm; (5) Menyusun scenario keterkaitan, tata hubungan dan tata kelolah kelembagaan
yang terlibat dalam aktifitas pertanian baik hulu-hilir maupun on-farm, off-farm maupun non-farm
yang ada di wilayah studi/ perencanaan; (6) Menyususn model konseptual pengembangan
corporate farming pada wialayah studi perencanaan; (7) Mengitegrasikan semua variabel inputan
baik internal maupun eksternal ke dalam sistem analisis strategi SWOT (IFAS) dan EFAS untuk
memunculkan tujuan bersama melalui sinkronisasi strategi kebijakan sebagai dasar pengembangan
dan perbaikan kinerja kelembagaan; (8) Menyusun arahan strategi sebagai dasar kebijakan
pengembangan agribisnis korporasi pertanian (corporate farming) secara kelembagaan di
Kabupaten Madiun.
82–Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah
Vol. 1 No. 2, Desember 2019, hal 78-90
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pikir Konseptual Kajian Penyusunan
Corporate Farming di Kabupaten Madiun Tahun 2019
HASIL DAN PEMBAHASAN
SDM, Lahan,
Kelembagaan
Sapras/
Fisik
Manajemen
dan Organisasi
Aktifitas On-
farm, Off-farm
Kondisi
Eksisting
Review
Kebijakan
SWOT ANALISIS
MATRIK IFAS -
EFAS
Kekuatan (S)
Peluang (O)
Kelemahan (W)
Tantangan (T)
STRATEGI DAN
ARAHAN
Inisiasi pengembangan dan pembangunan
corporate farming
CAPAIAN PENINGKATAN
KINERJA PERTANIAN SECARA
KELEMBAGAAN
Perbaikan
Pemeliharaan &
Pengembangan
Strategi
Upaya
Kebijakan
Program &
Kegiatan
Participatory
Rural
Appraisal
Model Konseptual
Corporate Farming
Studi Pustaka, Proposal
Root caused
Analysis
Penyusunan Instrumen Penelitian
Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari
Dwi Bhakti Iriantini, Muhammad Thohiron, dan Soemaryono 83
Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah Vol. 1, No. 2, Desember 2019, hal 78-90
Dalam mendukung kinerja Kawasan Agropolitan Gedangsari, lahan merupakan sumberdaya
yang sangat penting karena menentukan dayadukungnya (potensi) atau kesuburan alaminya dalam
menentukan produktifitas tanaman yang pada akhirnya menentukan keunggulan pada objek di
atasnya. Luas total wilayah lahan kawasan ini sekitar 205,27 km2 dengan topografi dataran dan
berjenis tanah vertisol (Grumusol) dan sebagian kecil asosiasinya.Sebagai gambaran mengenai
proporsi jumlah Desa dan Luas Kecamatan Terhadap kawasan agropolitan Gedangsari
sebagaimana gambar berikut:
Gambar 2. Grafik Proporsi Jumlah Desa dan Luas Kecamatan
Terhadap kawasan agropolitan Gedangsari
Dari gambar grafik di atas terlihat bahwa Kecamatan Geger mempunyai jumlah desa
terbanyak dibanding Kecamatan lainnya, sedangkan dari proporsi luasan desa terlihat bahwa
Kecamatan Dagangan mempunyai luasan desa yang lebih besar. Hal ini memberi implikasi bahwa
jumlah desa yang lebih banyak berpeluang mengembangkan pola inti-plasma maupun koperasi
untuk pemerataan kegiatan ekonomi, dan luas lahan yang lebih besar berpeluang untuk
ekstensifikasi dan diversifikasi pada kegiatan budidayanya (primer/on-farm).Sedangkan rincian
luas masing-masing desa di masing-masing Kecamatan seperti pada gambar-gambar berikut ini.
84–Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah
Vol. 1 No. 2, Desember 2019, hal 78-90
Gambar 3. Proporsi Luasan masing-masing desa di Kecamatan Geger
Gambar 4. Proporsi Luasan masing-masing desa di Kecamatan
Kebonsari
Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari
Dwi Bhakti Iriantini, Muhammad Thohiron, dan Soemaryono 85
Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah Vol. 1, No. 2, Desember 2019, hal 78-90
Gambar 5. Proporsi Luasan masing-masing desa di Kecamatan
Dolopo
Gambar 6. Proporsi Luasan masing-masing desa di Kecamatan
Dagangan
Dari grafik 2-6. di atas, menunjukkan bahwa luasan desa tertinggi berturut turut adalah Desa
Segulung, Desa Kradinan, Desa Kebonsari dan Desa Kaibon. Hal ini memberi implikasi bahwa
desa desa tersebut mempunyai potensi lahan yang dapat diberdayakan untuk kegiatan-kegiatan
ekonomi produksi sektor primer (produksi) lahan sawah, pekarangan, kebun ddan tegal untuk
menambah pendapatan. Dalam implementasi konsep corporate farming, prinsip konsolidasi
86–Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah
Vol. 1 No. 2, Desember 2019, hal 78-90
manajemen dalam satu kesatuan arahan sangat dibutuhkan seperti aktifitas-aktifitas terkait dalam
pengelolaan lahan (kesatuan luas hamparan, olah tanah, pengairan dan pemupukan). Luasan petak
lahan, jumlah petak lahan, kondisi dan kesesuaian lahan menjadi faktor yang sangat penting untuk
mendapat perhatian manajemen.
Identifikasi potensi komoditi agrokompleks masing-masing kecamatan Kawasan Agropolitan
Gedangsari di maksudkan agar agribisnis yang dikembangkan mampu tumbuh kembang menjadi
motor pengerak sekaligus triger perekonomian kawasan. Agribisnis tersebut selanjutnya mampu
menyerap tenaga, meningkatkan pendapatan masyarakat, sekaligus meningkatkan investasi
kawasan.Analisis penetapan potensi komoditas tiap sektor dan sub sektor pertanian ditujukan untuk
mengetahui kemampuan produksi baik potensial maupun aktual setiap jenis komoditi di Kawasan
Agropolitan Gedangsari. Outputnya ialah apakah suatu komoditi hanya mampu memenuhi atau
melayani kebutuhan/pasar daerahnya sendiri, atau mampu memenuhi kebutuhan daerah lain, atau
bahkan harus mengimpor dari luar daerah untuk kebutuhan daerahnya sendiri. Dalam implementasi
konsep corporate farming, prinsip konsolidasi manajemen dalam satu kesatuan arahan manajemen
sangat dibutuhkan seperti aktifitas-aktifitas terkait dalam faktor pengelolaan tanaman (penentuan
jenis komoditi tanaman, teknis budidaya, produktifitas, biaya produksi, perawatan, panen, pasca
panen dan pemasaran). Oleh karena itu faktor internal dan ekternal tanaman yang mempengaruhi
akan sangat mudah dikendalikan atau dikelolah jika terdapat satu kesatuan manajemen.
Sedangkan dari segi keruangan kawasan akan bermanfaat dalam mengatur dan mengelolah
penjadwalan (skedul) aktifitas on-farm dan off-farm. Aktifitas-aktifitas seperti penentuan saat
tanam dan panen selalu terkait dengan aktifitas sebelumnya atau yang mendahuluinya dan juga
aktifitas sesudahnya. Bahkan ada aktifitas yang dapat dilakukan secara bersamaan (overlapping)
demi efisiensi untuk menghindari kerugian. Jika konsolidasi manajemen dilakukan dengan baik,
masalah teknis dan non teknis tidak banyak terjadi.
Secara umum pengembangan agribisnis hasil-hasil pertanian baik yang menyangkut produk
primer usahatani (on-farm) maupun produk sekunder (olahan lanjut) dan turunannya melalui
agroindustry bertujuan untuk memperoleh nilai tambah. Dengan kata lain, nilai tambah yang
diperoleh dari pengembangan produk olahan jauh lebih tinggi dari produk primer. Salah satu upaya
untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan produk primer pertanian serta untuk
mendukung pengembangan nilai tambah produk pertanian, sesuai dengan kebijakan pembangunan
pertanian jangka panjang, adalah pengembangan agribisnis corporate farming. Di dalam system
korporasi (corporate farming), semua aktifitas diintegrasikan melalui satu perintah majemen, baik
sisi hulu, internal/tengah maupun hilir, yaitu on-farm dan off-farm, atau agro input, agro proses (on-
farm) dan off-farm (agro proses II) atau agro output.
Corporate Farming merupakan bentuk inovasi kelembagaan petani sebagai penyempurnaan
kelembagaan petani sebelumnya agar mampu mengkonsolidasi kegiatan ditingkat usahatani baik
Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari
Dwi Bhakti Iriantini, Muhammad Thohiron, dan Soemaryono 87
Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah Vol. 1, No. 2, Desember 2019, hal 78-90
horizontal dan vertikal agar tercipta padu-padan (link-match) dengan kegiatan vertikal agribisnis
dalam satu alur produk, sehingga karakteristik produk akhir dapat dijamin dan disesuaikan dengan
preferensi konsumen. Dengan demikian, Corporate Farming merupakan inovasi kelembagaan
petani untuk meningkatkan daya saing melalui preference guarantee yang merupakan salah satu
bentuk daya saing dalam era perubahan preferensi konsumen dari komoditas kepada karakteristik
produk.
Berdasarkan uraian di atas maka secara umum dapat dirumuskan beberapa strategi kebijakan
dalam pengembangan melalui agribisnis dan agroindustri korporasi pertanian (CF) berbasis produk
primer agrokomplek KAG :
1) Peningkatan Produktivitas Agribisnis dan Daya Saing Produk
Sasaran program dan atau kegiatan yang dapat ditempuh yaitu:
a. Penanganan panen dan pasca panen secara tepat dan sesuai,
b. Pembatasan impor bahan baku melalui kegiatan agroindustri yang dapat men-substitusi
impor sehingga berdampak meningkatnya nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja
c. Diversifikasi produk agroindustri melalui ketersediaan aneka sumber bahan baku di seluruh
pelosok wilayah sehingga tidak tergantung pada komponen impor tetapi focus menghasilkan
produk ekspor yang menghasilkan devisa
d. Peningkatan dan perbaikan teknologi produksi, distribusi, dan pemasaran untuk
meningkatkan produktifitas dan daya saing produk.
2) Peningkatan kapasitas dan kemampuan pelaku agribisnis untuk menghimpun sumberdaya dalam
rangka meningkatkan posisi tawarnya.
Sasaran program dan atau kegiatan yang dapat ditempuh yaitu:
a. Peningkatan kemampuan penguasaan IPTEK dan profesionalisme sumberdaya manusia
b. Peningkatan pemanfaatan dan perluasan peluang dan akses pasar
c. Perluasan akses sumber-sumber permodalan/pembiayaan
d. Perluasan penguasaan teknologi, dan
e. Peningkatan kemampuan di bidang organisasi dan manajemen.
3) Penguatan Keterkaitan Struktural Agribisnis, baik Internal maupun Eksternal dengan sektor lain
(Integrasi vertical dan Integrasi horizontal)
Sasaran program dan atau kegiatan yang dapat ditempuh yaitu:
a. Penguatan dan integrasi struktural agribisnis antar sector, hulu dan hilir serta industry
penunjang lain terkait (transportasi, industry, perdagangan dan jasa)
b. Sinergitas forward dan backward linkage agroindustri, system dan sub-sistem produksi,
pengolahan, distribusi, pemasaran dan berbagai kegiatan atau jasa penunjangnya.
88–Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah
Vol. 1 No. 2, Desember 2019, hal 78-90
c. Peningkatan kapasitas dan sumberdaya agroindustri melalui koordinasi kebijakan lembaga
terkait agar bersinergi secara efektif (Koordinasi antar pelaku dan Pembina usaha, yang
melibatkan banyak Departemen dan lembaga pemerintah)
d. Penguatan dan peningkatan intensitas koordinasi dan integrasi kebijakan dan program secara
lintas sektoral dan antar pusat-daerah secara harmonis, baik secara internal maupundalam
hubungannya dengan sektor lain.
4) Penguatan dukungan atas kebijakan makro dan mikro ekonomi
Sasaran program dan atau kegiatan yang dapat ditempuh yaitu:
a. Tersedianya kebijakan ekonomi (makro dan mikro) sebagai payung hukum yang dapat
menciptakan kesempatan dan kepastian usaha, melalui perannya sebagai penyedia pangan
secara beragam, bermutu, dan peningkatan nilai tambah untuk meningkatkan pendapatan
/daya beli masyarakat.
b. Penguatan peran dan fungsi agribisnis produk primer dalam peningkatan nilai tambah
melalui empat kategori proses dari yang paling sederhana; gradding (pembersihan dan
pengelompokan hasil), ginning (pemisahan/ penyosohan), pemotongan dan pencampuran
hingga ke.pengolahan (pemasakan, pengalengan,pengeringan, dsb), dan upaya merubah
kandungan kimia (pengkayaan kandungan gizi).
Sedangkan strategi kebijakan pada masing-masing sector didasarkan pada capaian hasil
indicator kinerja agribisnis masing-masing sub sektor dan sifat serta karakteristik produk
usaha agribisnisi itu sendiri melalui analisis SWOT, yaitu :
a) Sub sector Tanaman Pangan dan Hortikultura
Dari hasil analisis lingkungan strategis factor internal (IFAS) dan factor eksternal (EFAS) di sub
sector tanaman pangan dan hortikultura, dihasilkan beberapa rumusan strategi, yaitu :
1. Memperbaiki perbaikan kualitas produk melalui pertanian ramah lingkungan menuju organik
(strategi ST, 27/I);
2. Meningkatkan produksi melalui optimalisasi kesuburan dan dayadukung lahan (strategi SO,
26/II);
3. Meningkatkan kapasitas dan jumlah (unit-unit) pembuatan pupuk organik (strategi SO,
25/III);
4. Mengembangkan pelatihan pembuatan pupuk organik dan ameliorant lahan (strategi WO
24/IV); dan
5. Meningkatkan peran kelembagaan petani baik sisi hulu maupun hilir (strategi ST, 24/IV).
b) Sub Sektor Perkebunan
Dari hasil analisis lingkungan strategis factor internal (IFAS) dan factor eksternal (EFAS) di sub
sector tanaman perkebunan, dihasilkan beberapa rumusan strategi, yaitu :
1. Meningkatkan produki melalui ekstensifikasi (strategi SO, 25/I);
Pengembangan Kawasan Agropolitan Gendangsari
Dwi Bhakti Iriantini, Muhammad Thohiron, dan Soemaryono 89
Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah Vol. 1, No. 2, Desember 2019, hal 78-90
2. Mengembangkan pelatihan peningkatan teknologi pasca panen (strategi WO, 24/II);
3. Melakukan Pengendalian OPT dengan konsep PHT dengan sisten EWS (strategi ST, 23/III);
4. Meningkatkan Pelatihan teknologi budidaya tanaman kakao (strategi WT, 22/IV); dan
5. Fasilitasi paket bantuan yang bersifat guliran/revolving (strategi dan 5) WO,20/V).
SIMPULAN
Pengembangan kawasan Gedangsari (KAG) dapat diterapkan Model Corporate Farming di
Kabupaten Madiun, yaitu :1) Capaian kinerja sistem agribisnis KGA sisi hulu (up-stream)
usahatani komoditi, dukungan pengelolaan antar sub system, aksesibilitas dan delivery system
dalam wilayah perencanaan dinilai cukup memadai untuk implementasi konsep CF (corporate
farming);2) Dukungan kelembagaan seperti poktan, poknak, pokdakan, popkdarwis, KWT,
gapoktan, BUMDes cukup menunjang kegiatan usahatani;3) Fasilitasi peran kelembagaan
untuk konsep model CF tidak harus membentuk lembaga baru, beberapa kelembagaan petani
(gapoktan, KUD, dan BUMDES) dapat menjadi inisiator dan top leader CF setelah berbadan
hukum;4)Model agribisnis CF pada usahatani komoditi unggulan tebu, padi, jagung, kacang tanah,
durian, kakao dan kopi dapat dijadikan contoh model konseptual corporate farming;5) Inti dan
inisiasi pengembangan CF ialah konsolidasi manajemen yang kuat dan sebaiknya integrasi dalam
klaster;6)Konsolidasi lahan dan manajemen usaha ke dalam satu kesatuan manajemen pengelolaan
merupakan tolok ukur keberhasilan CF karena ada penyadaran kritis untuk saling bersaing
(competitive) menjadi kerja bersama (colaboration).
DAFTAR PUSTAKA
Bachrudin, A., & Tobing, H. L. (2003). Analisis data untuk penelitian survey dengan menggunakan
lisrel 8. FMIPA UNPAD. Bandung.
Hidayat, S. I. (2008). Analisis konversi lahan sawah di Propinsi Jawa Timur. JSEP (Journal of
Social and Agricultural Economics), 2(3), 48-58.
Isa, I. (2006). Strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Paper presented at the Dalam:
Dariah A, Nurida NL, Irawan, Husen E, Agus F, penyunting. Prosiding Seminar
Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian. Bogor.
Kurniasari, M., & Ariastita, P. G. (2014). Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan
pertanian sebagai upaya prediksi perkembangan lahan pertanian di Kabupaten Lamongan.
Jurnal Teknik ITS, 3(2), C119-C124.
Kustiwan, I. (1997). Permasalahan Konversi Lahan Pertanian Dan Implikasinya Terhadap Penataan
Ruang Wilayah studi Kasus: Wilayah Pantura Jawa Barat. Journal of Regional and City
Planning, 8(1), 49-60.
Moniaga, V. R. (2011). Analisis daya dukung lahan pertanian. AGRI-SOSIOEKONOMI, 7(2), 61-
68.
90–Birokrasi Pancasila: Jurnal Pemerintahan, Pembangunan, dan Inovasi Daerah
Vol. 1 No. 2, Desember 2019, hal 78-90
Mustopa, Z., & Santosa, P. B. (2011). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi
Lahan Pertanian di Kabupaten Demak. Universitas Diponegoro,
Pritchard, B., Burch, D., & Lawrence, G. (2007). Neither ‘family’nor ‘corporate’farming:
Australian tomato growers as farm family entrepreneurs. Journal of rural studies, 23(1),
75-87.
Sangarimbun, M., & Effendi, S. (1999). Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES.
Schultz, A. B. (2009). Corporate-farming measures in a post-Jones world. Drake J. Agric. L., 14,
97.