evaluasi bppv dr. rully
DESCRIPTION
Dr. rullyTRANSCRIPT
Evaluasi pasien vertigo posisi paroksismal jinak dengan terapi reposisi kanalit dan latihan Brandt Daroff
Rully Ferdiansyah, Brastho Bramantyo, Widayat Alviandi, Jenny BashiruddinDepartemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
Fakultas Kedokteran Universitas IndonesiaRumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta – Indonesia
ABSTRAK
Latar belakang: Terapi reposisi kanalit (canalith repositioning treatment/CRT) adalah
terapi standar untuk vertigo posisi paroksismal jinak (VPPJ). Latihan Brandt Daroff merupakan
latihan fisik yang ditambahkan pada pasien VPPJ setelah menjalani terapi reposisi kanalit.
Tujuan: Mengetahui proporsi pasien VPPJ yang mengalami kesembuhan satu minggu setelah
menjalani terapi reposisi kanalit dengan dan tanpa tambahan latihan Brandt Daroff. Metode: Dua
kelompok pasien VPPJ yang masing-masing terdiri dari 20 pasien (n=40) menjalani terapi
reposisi kanalit. Kelompok pertama tidak menjalani latihan Brandt Daroff, sedangkan kelompok
kedua menjalani latihan Brandt Daroff di rumah mulai dua hari setelah pelaksanaan terapi
reposisi kanalit. Proporsi kesembuhan dinilai satu minggu sesudah pelaksanaan terapi CRT.
Hasil: Proporsi kesembuhan satu minggu setelah terapi pada kelompok yang menjalani CRT saja
adalah sebanyak 10 pasien. Proporsi kesembuhan pada kelompok yang menjalani terapi
kombinasi CRT dengan latihan Brandt Daroff adalah sebanyak 13 pasien. Kesimpulan: Proporsi
kesembuhan pasien VPPJ tanpa latihan Brandt Daroff sebesar 50%, sedangkan proporsi
kesembuhan pasien VPPJ dengan latihan Brandt Daroff sebesar 65%.
Kata kunci: Vertigo Posisi Paroksismal Jinak (VPPJ), terapi reposisi kanalit, latihan Brandt
Daroff
ABSTRACT
Background: Canalith repositioning treatment/CRT is the standard therapy for patients
with benign paroxysmal positional vertigo (BPPV). Brandt Daroff exercise is a physical exercise
that can be added to BPPV patients after underwent CRT. Purpose: To obtain the proportion of
BPPV patients who had resolution one week after underwent canalith repositioning treatment
(CRT) with and without additional Brandt Daroff exercise. Methods: Two groups of BPPV
1
Laporan Penelitian
patients consists of 20 patients (n=40) underwent CRT. The first group did not undergo Brandt
Daroff exercise, while the second group underwent Brandt Daroff exercise at home starting two
days after CRT is performed. The proportion of resolution is evaluated one week after CRT.
Results: Proportion of resolution one week after therapy in CRT only group is 10 patients.
Proportion of resolution in combination CRT- Brandt Daroff group is 13 patients. Conclusion:
The proportion of resolution in CRT only group is 50%, while the proportion of resolution in
combination CRT-Brandt Daroff group is 65%.
Key words: Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV), canalith repositioning treatment,
Brandt Daroff exercise
Alamat korespondensi: Rully Ferdiansyah, Departemen THT FKUI-RSCM. Jl. Diponegoro 71,
Jakarta. E-mail: [email protected]
PENDAHULUAN
Sebagian besar vertigo yang
dijumpai oleh ahli THT merupakan
penyakit yang dikenal dengan nama
vertigo posisi paroksismal jinak (VPPJ).
Lesi pada VPPJ terletak pada labirin,
sehingga ahli THT berperan besar dalam
diagnosis dan tatalaksana pasien VPPJ.
Penegakkan diagnosis VPPJ
memerlukan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang yang
tepat.
Patofisiologi VPPJ yang banyak
dianut saat ini adalah teori canalithiasis.
Teori ini menduga adanya debris
otokonia yang lepas dari membran
otolith di utrikulus dan masuk ke kanalis
semisirkularis. Debris yang disebut juga
kanalit ini akan mengganggu fungsi
kupula sebagai organ detektor perubahan
posisi kepala dan mengirimkan impuls
yang salah ke otak, akibatnya terjadi
vertigo. Kanalit paling sering terjadi di
kanalis semisirkularis posterior.1,2
Terapi untuk VPPJ pada kanalis
semisirkularis posterior dan anterior
adalah perasat prosedur reposisi kanalit/
canalith repositioning procedure (CRP)
menurut Epley dan perasat liberatory
menurut Semont.3 Perasat Epley
merupakan terapi yang banyak dipakai
di berbagai negara, termasuk di
Departemen THT FKUI-RSCM Jakarta.
Perasat Epley telah mengalami
modifikasi berupa tidak digunakannya
vibrator. Modifikasi seperti ini dikenal
dengan istilah terapi reposisi
2
kanalit/canalith repositioning treatment
(CRT).4,5
Latihan Brandt Daroff merupakan
latihan fisik yang bertujuan untuk
melakukan habituasi terhadap sistem
vestibuler sentral. Selain itu, sebagian
ahli berpendapat bahwa gerakan pada
latihan Brandt Daroff dapat melepaskan
otokonia dari kupula berdasarkan teori
cupulolithiasis.4 Latihan ini mudah
diajarkan pada pasien VPPJ dan mudah
pula dilakukan di rumah. Selain itu,
latihan ini tidak memerlukan waktu lama
dalam pelaksanaannya. Di Departemen
THT FKUI-RSCM, latihan Brandt
Daroff ini telah sering diajarkan pada
pasien VPPJ.
Bila ditegakkan diagnosis VPPJ
kanalis semisirkularis posterior atau
anterior, maka dilakukan perasat CRT
sebagai modalitas terapi. Berdasarkan
teori kanalithiasis, bila kanalit telah
kembali ke utrikulus, maka kanalit tidak
akan mengganggu fungsi kupula lagi,
sehingga tidak akan tercetus gejala
vertigo. Proporsi kesembuhan pada
pasien VPPJ yang telah menjalani terapi
CRT seharusnya dapat dinilai dalam
jangka waktu pendek. Saat ini belum ada
data mengenai proporsi kesembuhan
pada pasien VPPJ satu minggu setelah
menjalani CRT di Departemen THT
FKUI-RSCM. Oleh karena itu, peneliti
berniat melakukan penelitian untuk
mengetahui proporsi pasien VPPJ yang
mengalami kesembuhan satu minggu
setelah menjalani CRT. Selain itu,
peneliti juga ingin mengetahui proporsi
pasien VPPJ yang mengalami
kesembuhan setelah menjalani terapi
CRT ditambah dengan latihan Brandt
Daroff. Evaluasi kesembuhan dinilai
dengan menggunakan kamera video
inframerah sebagai alat penilai
efektivitas terapi jangka pendek, yakni
satu minggu.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
deskriptif untuk melihat proporsi
kesembuhan pada 20 pasien VPPJ yang
menjalani terapi CRT dan 20 pasien
yang menjalani kombinasi CRT dengan
latihan Brandt Daroff. Karakteristik
nistagmus dinilai dengan menggunakan
kamera video inframerah sebelum dan
satu minggu sesudah pelaksanaan terapi
CRT.
Penelitian dilakukan di
Subdepartemen Neurotologi Departemen
THT FKUI-RSCM dari bulan Maret
hingga September 2008. Populasi
3
percontoh adalah pasien dengan VPPJ
kanalis semisirkularis posterior atau
anterior, unilateral maupun bilateral
berdasarkan pemeriksaan perasat Dix-
Hallpike, berusia minimal 10 tahun,
tidak dalam pengobatan dengan obat
antivertigo atau obat-obat yang menekan
fungsi vestibuler dalam dua hari terakhir,
tidak terdapat kontra indikasi untuk
menjalani perasat Dix-Hallpike dan
bersedia ikut serta dalam penelitian ini
dengan menandatangani informed
consent.
Pasien dengan keluhan mengarah
pada VPPJ menjalani pemeriksaan
perasat Dix-Hallpike. Saat perasat
dilakukan, dipasang alat kamera video
inframerah dan dilakukan perekaman ke
laptop menggunakan TV tuner. Pasien
duduk di kursi pemeriksaan dan
terpasang kamera video inframerah.
Sandaran kursi direbahkan hingga
memungkinkan pasien berbaring dalam
posisi telentang (supinasi). Kepala
pasien menoleh ke sisi kanan sejauh 45
derajat. Pemeriksa berdiri di belakang
pasien lalu menarik pasien ke belakang
dan bawah dengan cepat, sehingga posisi
pasien menjadi berbaring dengan kepala
tergantung 20-30 derajat pada ujung
tempat tidur periksa. Posisi ini
dinamakan head hanging right (HHR)
dan dipertahankan paling sedikit selama
40 detik. Pemeriksa mengamati
timbulnya nistagmus dan mencatat
karakteristik nistagmus dan ditunggu
hingga nistagmus berhenti. Selanjutnya
pasien dikembalikan ke posisi duduk
dengan kepala tetap menoleh ke kanan
secara cepat. Posisi ini dinamakan head
up right (HUR) dan dipertahankan
selama 40 detik. Bila timbul nistagmus,
dilakukan pencatatan karakteristik
nistagmus dan posisi ini dipertahankan
hingga nistagmus berhenti. Perasat yang
sama dilakukan pada sisi kiri. Posisi
yang berlawanan ini disebut head
hanging left (HHL) dan head up left
(HUL). Bila timbul respons berupa
nistagmus, pemeriksa kembali
melakukan perasat Dix Hallpike pada
sisi tersebut untuk melihat timbulnya
fenomena kelelahan. Adanya fenomena
kelelahan diketahui dengan melihat
hilang atau berkurangnya lama
nistagmus pada perasat Dix Hallpike
kedua.5
4
Diagnosis VPPJ ditegakkan bila
ditemukan gejala dan tanda sebagai
berikut: a) adanya posisi kepala yang
mencetuskan serangan vertigo; b)
adanya masa laten singkat sebelum
terjadi vertigo dan nistagmus (biasanya
3-15 detik); c) serangan vertigo yang
disertai dengan nistagmus vestibuler
(nistagmus rotatoar geotropik khas pada
keterlibatan kanalis semisirkularis
posterior); d) adanya fenomena
kelelahan (provokasi berulang akan
mengurangi respons); e) gejala
berlangsung singkat (umumnya kurang
dari 1 menit); f) kadang-kadang terlihat
arah nistagmus berubah ke arah yang
berlawanan bila pasien bergerak ke
posisi berlawanan dengan posisi yang
mencetuskan serangan awal.6,7
Setelah diagnosis VPPJ kanalis
semisirkularis posterior atau anterior
ditegakkan, pasien menjalani terapi
CRT. Sebagai contoh pasien mengalami
VPPJ akibat kanalit pada kanalis
semisirkularis posterior kanan. Prosedur
reposisi kanalit yang dilakukan adalah
prosedur reposisi kanalit kanan. Reposisi
dimulai dengan pasien duduk di meja
periksa dan kepala menoleh 45 derajat
ke sisi telinga yang terkena, yaitu sisi
kanan. Pasien lalu dibaringkan dengan
cepat dengan posisi kepala tergantung
seperti saat melakukan perasat Dix-
Hallpike. Posisi ini dipertahankan
selama 1-2 menit. Bila timbul vertigo
atau nistagmus, maka posisi
dipertahankan hingga vertigo atau
nistagmus menghilang. Langkah
berikutnya adalah melakukan rotasi
kepala secara perlahan ke sisi telinga
yang sehat, yakni ke kiri dan
dipertahankan selama 1 menit. Saat ini
posisi kepala menoleh ke sisi kiri sejauh
45 derajat. Selanjutnya badan pasien
dimiringkan ke sisi kiri, dengan
demikian kepala pasien menghadap ke
lantai selama 1 menit. Langkah terakhir
adalah mengembalikan pasien ke posisi
duduk dengan kepala tetap menoleh ke
kiri sejauh 45 derajat. Reposisi kanalit
pada kanalis semisirkularis posterior kiri
adalah dengan cara sebaliknya.
5
Gambar 1. Perasat Dix-Hallpike5
Bila pasien termasuk dalam
kelompok pasien yang mendapat terapi
tambahan latihan Brandt Daroff, maka
pasien diajarkan latihan tersebut untuk
dilakukan sendiri di rumah yang dimulai
dua hari setelah pelaksaanaan CRT.
Latihan Brandt Daroff dilakukan dengan
cara sebagai berikut: Pasien diminta
untuk bergerak dengan cepat dari posisi
duduk ke posisi berbaring pada sisi yang
mencetuskan vertigo (kepala pasien
menoleh ke sisi kontralateral sejauh 45
derajat) selama minimal 30 detik. Bila
timbul vertigo, pasien tetap dalam posisi
tersebut hingga vertigo hilang.
Selanjutnya pasien kembali ke posisi
duduk dengan cepat dan tetap dalam
posisi duduk selama 30 detik. Setelah itu
pasien berbaring ke sisi kontralateral
dengan kepala menoleh menjauhi sisi
tersebut selama 30 detik dilanjutkan
dengan kembali ke posisi duduk selama
30
detik.8,9
Pasien diminta untuk kontrol satu
minggu kemudian. Pada saat kontrol
dilakukan perasat Dix-Hallpike dan
dilakukan perekaman ulang dengan
menggunakan kamera video inframerah.
Selanjutnya dilakukan penilaian
terhadap perbedaan gambaran
nistagmus. Evaluasi juga dilakukan
terhadap keluhan pasien dan
dibandingkan dengan keluhan pada saat
sebelum menjalani terapi CRT. Pasien
dinyatakan sembuh bila tidak ditemukan
nistagmus dan tidak ada keluhan pada
saat kontrol. Bila masih ditemukan
nistagmus atau masih ada keluhan, maka
pasien dinyatakan tidak sembuh.
HASIL
6
Gambar 2. Terapi reposisi kanalit/CRT kanan7 Gambar 3. Latihan Brandt Daroff 8
Selama periode Maret-September
2008 telah dilakukan penelitian pada 40
orang pasien VPPJ yang datang ke
poliklinik Neurotologi Departemen THT
FKUI-RSCM. Percontoh ditetapkan
sesuai dengan kriteria penerimaan
penelitian. Percontoh dimasukkan ke
dalam dua kelompok, yakni kelompok
yang menjalani terapi CRT saja dan
kelompok yang menjalani kombinasi
terapi CRT dan latihan Brandt Daroff,
dengan cara randomisasi blok. Dengan
cara tersebut didapatkan 20 percontoh
untuk setiap kelompok.
Dalam penelitian ini didapatkan
percontoh termuda berusia 18 tahun dan
tertua berusia 73 tahun. Usia rata-rata 51
tahun dengan standar deviasi 12,0. Bila
dikelompokkan berdasarkan batas usia
60 tahun sebagai batasan usia lanjut,
maka 30 percontoh (75%) berusia di
bawah 60 tahun.
Sebaran jenis kelamin percontoh
memperlihatkan bahwa perempuan lebih
banyak daripada laki-laki. Jumlah
percontoh perempuan sebanyak 26 orang
(65%) sedangkan laki-laki 14 orang
(35%).
Keluhan yang diutarakan oleh
percontoh saat diperiksa di poliklinik
Neurotologi meliputi perasaan pusing
berputar, melayang dan tidak
stabil/goyang. Sebagian besar percontoh,
yaitu sebanyak 36 orang (90%)
mengeluh pusing berputar. Perasaan
melayang dan tidak stabil masing-
masing dikeluhkan oleh 2 percontoh
(5%).
Episode serangan VPPJ sering
berulang. Berdasarkan waktu mulainya
episode serangan VPPJ terakhir,
sebanyak 33 percontoh (82,5%) telah
menderita VPPJ kurang dari 8 minggu.
Sisanya sebanyak 7 percontoh (17,5%)
menderita VPPJ lebih dari 2 bulan. Tiga
puluh sembilan percontoh (97,5%)
masih mengalami keluhan gangguan
keseimbangan pada hari pemeriksaan
dilakukan. Dari 40 percontoh, 17 orang
(42,5%) pernah mengalami keluhan
yang sama, namun sempat mengalami
masa sembuh tanpa keluhan.
Frekuensi keluhan pada 23
percontoh (57,5%) lebih dari 2 kali
sehari, sedangkan pada 15 percontoh
(37,5%) frekuensi keluhan antara 1-2
kali sehari. Serangan VPPJ dirasakan
kurang dari 1 menit oleh 32 (80%)
percontoh.
Berdasarkan anamnesis didapatkan
38 dari 40 percontoh (95%) mengalami
serangan vertigo, rasa melayang atau
7
goyang pada saat bangun dari posisi
berbaring di tempat tidur. Gerakan lain
yang dapat mencetuskan keluhan yaitu
menengadahkan kepala (75%),
membaringkan badan (67,5%),
membalikkan badan di tempat tidur
(65%) dan membungkukkan badan
(65%). Gejala penyerta yang terbanyak
dikeluhkan pasien adalah mual, yakni 26
percontoh (65%). Sebanyak 12
percontoh (30%) mengalami gangguan
dalam berjalan akibat VPPJ.
Pada percontoh dengan VPPJ
unilateral, kanalis semisirkularis
posterior kanan lebih sering terkena,
yaitu pada 20 percontoh (50%)
dibandingkan dengan kanalis
semisirkularis posterior kiri, yakni
sebanyak 17 percontoh (42,5%).
Percontoh dengan VPPJ bilateral
sebanyak 3 percontoh (7,5%). Pada 3
percontoh tersebut kanalis semisirkularis
yang terlibat adalah kanalis
semisirkularis posterior kanan dan kiri.
Tidak didapatkan keterlibatan kanalis
semisirkularis anterior sebagai letak lesi
VPPJ pada penelitian ini.
Jumlah percontoh yang menjalani
terapi CRT adalah sebanyak 20
percontoh (50%), sedangkan yang
menjalani kombinasi terapi CRT dan
latihan Brandt Daroff juga sebanyak 20
percontoh (50%).
Tabel 1. Sebaran percontoh yang
menjalani terapi CRT dan kombinasi
CRT-Brandt Daroff
Terapi N %
CRT
CRT + Brandt Daroff
20
20
50
50
Pada kelompok yang menjalani
terapi CRT saja, proporsi percontoh
yang mengalami kesembuhan satu
minggu setelah terapi adalah sebanyak
10 percontoh (50%). Dari 20 percontoh
yang menjalani terapi kombinasi CRT
dengan latihan Brandt Daroff, 13
percontoh (65%) mengalami
kesembuhan satu minggu setelah terapi.
Tabel 2. Proporsi pasien yang
mengalami kesembuhan setelah terapi
CRT
Jenis terapiSembuh
N %
Tidak sembuh
N %
CRT
CRT + Brandt Daroff
10 50
13 65
10 50
7 35
DISKUSI
Rentang usia pasien VPPJ yang
ikut dalam penelitian ini adalah 55 tahun
dengan usia termuda 18 tahun dan tertua
8
73 tahun. Bila usia di atas 60 tahun
dianggap sebagai usia lanjut, jumlah
percontoh yang berusia lanjut adalah 10
orang (25%). Usia rata-rata percontoh
adalah 51 tahun. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh
Smouha.10 Usia rata-rata pasien VPPJ
dalam penelitiannya adalah 52 tahun
dengan rentang usia antara 25-79 tahun.
Chang11 menyatakan bahwa usia awitan
(onset) serangan VPPJ adalah antara 50-
70 tahun.
Berdasarkan jenis kelamin
didapatkan bahwa percontoh perempuan
lebih banyak daripada laki-laki. Jumlah
percontoh perempuan adalah 26 orang
(65%), sedangkan laki-laki sebanyak 14
orang (35%). Smouha10 juga
mendapatkan angka yang hampir sama,
yakni 67% perempuan dan 33% laki-
laki. Dalam penelitian dengan jumlah
pasien VPPJ yang lebih besar, yaitu 259
pasien, Macias dkk.12 mendapatkan
persentase pasien VPPJ perempuan
sebanyak 72%. Barber, seperti yang
dikutip oleh Vibert,13 menyatakan bahwa
VPPJ lebih banyak terjadi pada
perempuan dibandingkan laki-laki.
Sebanyak 36 percontoh (90%)
mengeluhkan pusing berputar sebagai
keluhan utama. Percontoh lain
mengeluhkan perasaan melayang (2
orang) dan perasaan tidak stabil (2
orang). Hal ini sesuai dengan literatur
yang menyatakan bahwa keluhan pasien
VPPJ biasanya adalah serangan vertigo.
Selain itu, pasien VPPJ dapat pula
mengeluh adanya perasaan melayang,
tidak stabil, gangguan berdiri dan
berjalan.11,14
Serangan VPPJ bersifat episodik
dan pada sebagian pasien dapat
mengalami resolusi spontan tanpa terapi.
Dalam penelitian ini, pasien VPPJ
diminta untuk mengingat waktu
mulainya episode VPPJ terakhir.
Sebanyak 7 orang (17,5%) telah
menderita VPPJ lebih dari 2 bulan (8
minggu) sebelum datang ke poliklinik
Neurotologi THT FKUI-RSCM. Sisanya
sebanyak 33 orang menderita VPPJ
kurang dari 8 minggu. Sebanyak 39
orang (97,5%) pasien masih mengalami
serangan VPPJ pada pagi hari sebelum
pemeriksaan dilakukan. Dalam
penelitiannya, Seo15 mendapatkan pasien
VPPJ menjalani terapi reposisi setelah
mengalami VPPJ dalam kurun 0-78 hari
dengan rata-rata 20 hari (kurang lebih 3
minggu). Penelitian Dornhoffer16
menunjukkan rentang waktu yang lebih
lama, yakni antara satu hari hingga 20
9
tahun (rata-rata 18 bulan) sebelum
pasien menjalani reposisi kanalit. Dari
27 pasien VPPJ yang diteliti oleh
Smouha,10 18 (67%) di antaranya telah
mengalami VPPJ selama lebih dari satu
bulan. Hal yang menyebabkan seorang
penderita VPPJ dapat bertahan dengan
penyakitnya dalam jangka waktu lama
adalah karena ia melakukan pembatasan
gerakan yang dapat mencetuskan
serangan VPPJ.
Adanya riwayat episode serangan
VPPJ sebelumnya ditelusuri pada semua
percontoh. Sebanyak 17 orang (42,5%)
menyatakan pernah mengalami serangan
seperti yang dirasakannya saat datang
berobat ke poliklinik Neurotologi THT
FKUI-RSCM, namun sempat mengalami
masa bebas gejala sama sekali.
Timbulnya serangan VPPJ baru setelah
masa bebas gejala dianggap sebagai
rekurensi. Rekurensi sering terjadi pada
VPPJ. Hain dkk.7 menemukan 33 dari 70
pasien (47,1%) yang telah sembuh dari
VPPJ mengalami rekurensi dalam dua
tahun. Penyebab rekurensi pada VPPJ
kebanyakan tidak diketahui/idiopatik
seperti halnya penyebab awal VPPJ. Hal
ini mengakibatkan rekurensi sulit
dihindari.
Pasien VPPJ dapat mengalami
serangan berkali-kali dalam satu hari
bila pasien sering melakukan gerakan
kepala yang mencetuskan serangan.
Sebanyak 23 (57,5%) percontoh
mengalami serangan lebih dari dua kali
setiap harinya. Hal ini menyebabkan
gangguan aktivitas pasien sehari-hari.
Lama setiap serangan kurang dari 1
menit menurut 32 (80%) percontoh.
Sebanyak 8 percontoh mengalami
serangan lebih dari 1 menit. Durasi
serangan VPPJ yang lebih lama ini
mungkin disebabkan otokonia yang
menempel pada kupula, sehingga kupula
terus dalam posisi defleksi seperti pada
teori kupulolitiasis. Pada akhirnya
serangan VPPJ akan menghilang karena
diduga terjadi dispersi otokonia yang
menempel pada kupula atau terjadi
adaptasi vestibuler sentral.2,17
Perubahan posisi kepala yang
paling sering menimbulkan serangan
VPPJ pada percontoh penelitian ini
adalah bila bangun dari posisi berbaring
di tempat tidur. Sebanyak 38 orang
(95%) mengeluhkan hal ini. Keadaan ini
sesuai dengan yang didapatkan oleh
Yimtae dkk,18 namun persentasenya
lebih kecil yakni 17 dari 29 pasien
(58%). Hal ini disebabkan karena pada
10
saat berbaring, kanalit akan terkumpul
pada tempat yang terendah, yaitu kanalis
semisirkularis posterior. Pada saat pasien
bangun dari posisi berbaring, maka
kanalit akan menggerakkan endolimfa
dan kupula akibat gravitasi sehingga
timbul serangan vertigo.2
Rasa mual merupakan gejala
penyerta yang paling banyak dikeluhkan
percontoh. Sebanyak 26 orang (65%)
mengeluhkan hal ini. Gangguan berjalan
dialami oleh 12 orang (30%). Keluhan
tersebut sering dijumpai pada pasien
dengan VPPJ.
Berdasarkan anamnesis didapatkan
38 dari 40 percontoh (95%) mengalami
serangan VPPJ pada saat bangun dari
posisi berbaring di tempat tidur. Gerakan
lain yang dapat mencetuskan serangan
VPPJ yaitu menengadahkan kepala
(75%), membaringkan badan (67,5%),
membalikkan badan di tempat tidur
(65%) dan membungkukkan badan
(65%). Gejala penyerta yang terbanyak
dikeluhkan pasien adalah mual, yakni 26
percontoh (65%). Sebanyak 12
percontoh (30%) mengalami gangguan
dalam berjalan akibat VPPJ. Chang11
mengemukakan bahwa penderita VPPJ
menunjukkan peningkatan ayun tubuh
bila berdiri di atas busa (foam) dengan
mata tertutup. Peningkatan ayun tubuh
juga didapatkan bila pasien berdiri
dengan satu kaki dan mata tertutup. Hal
ini menunjukkan bahwa penderita VPPJ
mengandalkan input visual dan
proprioseptif untuk mempertahankan
keseimbangan karena gangguan input
dari organ vestibuler.11
Pada penelitian ini tidak ditemukan
adanya VPPJ dengan letak lesi di kanalis
semisirkularis anterior, baik kanan
maupun kiri. Semua percontoh
mengalami VPPJ dengan letak lesi di
kanalis semisirkularis posterior. Pada
tiga percontoh (7,5%), lesi terjadi pada
kanalis semisirkularis posterior bilateral,
sehingga menyebabkan VPPJ bilateral.
Dari 37 percontoh dengan VPPJ
unilateral, lesi di kanalis semisirkularis
posterior kanan menyebabkan VPPJ
pada 20 percontoh (50%). Lesi di kanalis
semisirkularis posterior kiri ditemukan
pada 17 percontoh (42,5%). Kanalis
semisirkularis posterior memang
merupakan kanalis semsirkularis yang
paling sering menyebabkan VPPJ.
Korres dkk.2 dalam penelitiannya
mengungkapkan bahwa dari 122 pasien
VPPJ, letak lesi pada 110 pasien adalah
pada kanalis semsirkularis posterior.
Sisanya sebanyak 10 pasien pada kanalis
11
semisirkularis horizontal dan dua pasien
pada kanalis semisirkularis anterior. Ada
dua alasan mengapa kanalis
semisirkularis posterior lebih sering
terlibat daripada kanalis semisirkularis
lainnya. Pertama, letak kanalis
semisirkularis posterior secara anatomis
merupakan bagian yang paling rendah
dari labirin vestibuler, baik pada posisi
kepala tegak maupun berbaring
telentang. Pada posisi kepala tegak,
kanalit akan mengendap dalam kanalis
semisirkularis posterior di posterior dan
inferior dari ampula. Kedua, kanalit akan
terkumpul di dalam kanalis
semisirkularis posterior selama tidur atau
tirah baring yang lama.2
Pada kelompok pertama, yakni
kelompok percontoh yang menjalani
terapi CRT saja, didapatkan hasil 10
percontoh mengalami kesembuhan
(50%). Pasien dinyatakan sembuh bila
tidak didapatkan gambaran nistagmus
dan tidak ada keluhan subjektif pada
pemeriksaan satu minggu setelah terapi
sesuai definisi operasional. Hasil ini
lebih rendah daripada hasil yang didapat
oleh Seo dkk,15 yaitu 72% pasien
mengalami kesembuhan satu minggu
setelah CRT.
Penyebab ketidaksembuhan pasien
setelah menjalani terapi CRT
kemungkinan karena adanya partikel
kanalit yang tersisa di dalam kanalis
semisirkularis. Pada pasien yang diduga
mengalami hal ini, dilakukan terapi CRT
ulang. Terapi CRT pada prinsipnya
dapat diulang hingga seluruh kanalit
dapat dikeluarkan dari kanalis
semisirkularis. Cetusan serangan vertigo
tergantung pada densitas, volume dan
jumlah partikel. Jadi dibutuhkan jumlah
partikel tertentu untuk menimbulkan
vertigo, sehingga bila jumlah partikel
dalam kanal tidak mencukupi, maka
pasien tidak akan mengalami vertigo.2
Smouha10 dalam penelitiannya
mendapatkan bahwa sebagian pasien
tidak langsung mengalami resolusi total
dari gejala VPPJ segera setelah
menjalani CRT. Pada kelompok ini
kemungkinan diperlukan adaptasi untuk
menghilangkan gejala secara total.
Dornhoffer16 mengungkapkan pada
pasien VPPJ kemungkinan telah terjadi
kompensasi vestibuler sentral yang
salah. Dengan demikian, walaupun
kanalit sebagai penyebab utama VPPJ
telah direposisi, pasien masih merasakan
rasa tidak seimbang yang ringan.
Chang11 menyatakan bahwa tidak semua
12
pasien VPPJ mencapai stabilitas postural
yang normal setelah terapi CRT. Bila
pasien masih menunjukkan gangguan
keseimbangan, maka latihan rehabilitasi
vestibuler yang menekankan
peningkatan penggunaan input visual
dan proprioseptif sebaiknya diterapkan
sebagai terapi tambahan.10,11,16
Pada kelompok kedua, 20
percontoh menjalani terapi CRT dan
latihan Brandt Daroff yang dilakukan
dua hari setelah CRT. Hasil penelitian
ini menunjukkan sebanyak 13 percontoh
(65%) mengalami kesembuhan pada
pemeriksaan satu minggu setelah terapi
CRT. Latihan Brandt Daroff merupakan
latihan fisik yang bertujuan untuk
melepaskan otokonia yang diduga
melekat pada kupula dan habituasi pada
sistem vestibuler sentral sehingga timbul
kompensasi. Otokonia yang terlepas
diharapkan akan keluar dari kanalis
semisirkularis, sehingga tidak
mencetuskan gejala vertigo. Dalam
publikasinya, Brandt dan Daroff8
menyatakan bahwa diperlukan
pengulangan dalam jumlah ratusan kali
(“hundred repetitions”) untuk
menimbulkan kompensasi sistem
vestibuler sentral. Percontoh yang
menjalani latihan Brandt Daroff sesuai
protokol penelitian ini paling sedikit
telah melakukan gerakan sebanyak 150
kali sebelum pemeriksaan ulang di
poliklinik Neurotologi THT FKUI-
RSCM. Dengan demikian diharapkan
kompensasi sudah mulai terbentuk.
Dari hasil penelusuran literatur,
tidak didapatkan penelitian di dalam
maupun di luar negeri yang
menggabungkan dua modalitas terapi
yakni CRT dan Brandt Daroff, serta
evaluasi kesembuhannya dalam satu
minggu. Dengan demikian, penelitian ini
menghasilkan data dasar berupa proporsi
pasien VPPJ yang mengalami
kesembuhan setelah menjalani CRT dan
latihan Brandt Daroff pada evaluasi satu
minggu pasca-CRT. Desain penelitian
ini tidak memungkinkan peneliti untuk
mengambil kesimpulan regimen terapi
mana yang lebih baik antara CRT saja
dan CRT dengan latihan Brandt Daroff.
Untuk sampai pada kesimpulan tersebut
diperlukan desain penelitian yang
berbeda dengan jumlah sampel yang
lebih besar.
Sebagai kesimpulan, proporsi
kesembuhan pasien VPPJ yang
menjalani terapi CRT pada evaluasi satu
minggu adalah sebesar 50%, sedangkan
proporsi kesembuhan pasien VPPJ yang
13
menjalani terapi kombinasi CRT dengan
latihan Brandt Daroff adalah sebesar
65%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Li J. Benign paroxysmal positional
vertigo. c2006 - [cited 2006 May 25].
Available from:
http:// www.emedicine.com .
2. Korres S, Balatsouras DG, Kaberos A,
Economou C, Kandiloros D, Ferekidis
E. Occurrence of semicircular canal
involvement in benign paroxysmal
positional vertigo. Otol Neurotol 2003;
23:926-32.
3. Woodworth BA, Gillespie MB, Lambert
PR. The canalith repositioning
procedure for benign positional vertigo:
a meta-analysis. Laryngoscope 2004;
114:1143-6.
4. Herdman SL, Tusa RJ. Posterior and
anterior canal VPPJ. In: Herdman SL,
Tusa RJ, eds. Diagnosis and treatment
of benign paroxysmal positional vertigo.
Illinois: ICS Medical Corporation; 1999.
p. 8-17.
5. Hain TC. Benign paroxysmal positional
vertigo. c2005 - [cited 2006 June 16].
Available from: http://www.dizziness-
andbalance.com/disorders/VPPJ/VPPJ.h
tml.
6. Desmond A. Treatment of vestibular
dysfunction. In: Desmond A, ed.
Vestibular function: evaluation and
treatment. 1st ed. New York: Thieme;
2004. p. 111-47.
7. Hain TC, Helminski JO, Reis IL, Uddin
MK. Vibration does not improve results
of the canalith repositioning procedure.
Arch Otolaryngol Head Neck Surg
2000; 126:617-22.
8. Brandt T, Daroff RB. Physical therapy
for benign paroxysmal positional
vertigo. Arch Otolaryngol 1980;
106:484-5.
9. Helminski JO, Janssen I, Kotaspouikis
D, Kovacs K, Sheldon P, McQueen K.
Strategies to prevent recurrence of
benign paroxysmal positional vertigo.
Arch Otolaryngol Head Neck Surg
2005; 131:344-8.
10. Smouha EE. Time course recovery after
epley maneuvers for benign paroxysmal
positional vertigo. Laryngoscope 1997;
107:187-91.
11. Chang WC, Hsu LC, Yang YR, Wang
RY. Balance ability in patients with
benign paroxysmal positional vertigo.
Otolaryngol Head Neck Surg 2006;
135:534-40.
12. Macias JD, Lambert KM, Massingale S,
Ellensohn A, Fritz JA. Variables
affecting treatment in benign
paroxysmal positional vertigo.
Laryngoscope 2000; 110:1921-4.
13. Vibert D, Kompis M, Hausler R. Benign
paroxysmal positional vertigo in older
women may be related to osteoporosis
14
and osteopenia. Ann Otol Rhinol
Laryngol 2003; 112:885-9.
14. Karlberg M, Hall K, Quickert N, Hinson
J, Halmagyi M. What inner ear diseases
cause benign paroxysmal positional
vertigo? Acta Otolaryngol 2000;
120:380-5.
15. Seo T, Miyamoto A, Saka N, Shimano
K, Sakagami M. Immediate efficacy of
the canalith repositioning procedure for
the treatment of benign paroxysmal
positional vertigo. Otol Neurotol 2007;
28:917-9.
16. Dornhoffer JL, Colvin GB “Kip”.
Benign paroxysmal positional vertigo
and canalith repositioning: clinical
correlations. Am J Otol 2000; 21:230-3.
17. Korres S, Balatsouras D. Diagnostic,
pathophysiologic and therapeutic
aspects of benign paroxysmal positional
vertigo. Otolaryngol Head Neck Surg
2004; 131:438-44.
18. Yimtae K, Srirompotong S,
Srirompotong S, Sae-seaw P. A
randomized trial of canalith
repositioning procedure. Laryngoscope
2003; 113:828-32.
15