etnografi tidore

37
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar yang ada di dunia, Indonesia terdiri dari 17.504 pulau. Terbentang dari Sabang sampai dengan Merauke, terletak di antara benua Asia dan Australia, yang merupakan wilayah yang strategis, hal ini yang membuat Indonesia mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap sektor ekonomi, budaya, politik, dan sosial. Luasnya Negara Indonesia membuat Indonesia memiliki beragam kebudayaan dan suku-suku. Kebudayaan yang dimiliki Indonesia tak jarang menjadi alasan utama para turis-turis yang datang dari luar negeri, oleh karena itu kebudayaan yang ada di Indonesia harus di lestarikan agar tidak hilang digantikan oleh budaya modern yang sedang melanda dunia. Mengenai kebudayaan ini, kami ingin memaparkan kebudayaan dari salah satu kota di Indonesia, yaitu pulau Tidore, di pulau Tidore ini terdapat unsur-unsur kebudayaan yang di antaranya, bahasa, sistem pengetahuan, sistem religi, kesenian, sistem peralatan hidup, dan lain-lain. Tidore adalah salah satu pulau kecil di daerah Maluku Utara, yang terletak di pantai barat dari sebuah pulau besar, yaitu Pulau Halmahera. Selain itu terdapat pula Pulau Ternate, Pulau 4

Upload: indra-purnama-sclieft

Post on 19-Jun-2015

2.723 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

Page 1: Etnografi Tidore

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar yang ada di dunia, Indonesia terdiri dari

17.504 pulau. Terbentang dari Sabang sampai dengan Merauke, terletak di antara benua Asia

dan Australia, yang merupakan wilayah yang strategis, hal ini yang membuat Indonesia

mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap sektor ekonomi, budaya, politik, dan sosial.

Luasnya Negara Indonesia membuat Indonesia memiliki beragam kebudayaan dan suku-suku.

Kebudayaan yang dimiliki Indonesia tak jarang menjadi alasan utama para turis-turis yang

datang dari luar negeri, oleh karena itu kebudayaan yang ada di Indonesia harus di lestarikan

agar tidak hilang digantikan oleh budaya modern yang sedang melanda dunia.

Mengenai kebudayaan ini, kami ingin memaparkan kebudayaan dari salah satu kota di

Indonesia, yaitu pulau Tidore, di pulau Tidore ini terdapat unsur-unsur kebudayaan yang di

antaranya, bahasa, sistem pengetahuan, sistem religi, kesenian, sistem peralatan hidup, dan

lain-lain.

Tidore adalah salah satu pulau kecil di daerah Maluku Utara, yang terletak di pantai barat

dari sebuah pulau besar, yaitu Pulau Halmahera. Selain itu terdapat pula Pulau Ternate, Pulau

Makian, Pulau Morotai. Sekarang. Di Pulau Tidore terdapat istana para Sultan, dan banyak

kastil-kastil peninggalan dari jaman kolonial yang banyak sekali menyimpan sejarah dan

budaya dari masyarakat Tidore.

Mengenai masalah kebudayaan, Tidore termasuk wilayah yang kaya akan kebudayaan di

Indonesia. Memiliki wilayah yang sangat luas, setidaknya ada puluhan etnis yang tersebar di

Pulau Tidore. Puluhan etnis tersebut memiliki keragaman bahasa yang bahkan mereka sendiri

tidak mengerti bahasa tersebut namun tetap mempunyai rasa saling hormat terhadap etnis lain.

4

Page 2: Etnografi Tidore

1.2 RUMUSAN MASALAH / PERMASALAHAN

Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini, yaitu :

1. Bagaimana lokasi lingkungan alam dan demografi ?

2. Bagaimana asal mula dan sejarah suku Tidore ?

3. Bagaimana sistem bahasa pada suku Tidore ?

4. Bagaimana sistem teknologi suku Tidore ?

5. Bagaimana sistem mata pencaharian suku Tidore ?

6. Bagaimana sistem organisasi sosial pada suku Tidore ?

7. Bagaimana sistem pengetahuan suku Tidore ?

8. Bagaimana kesenian pada suku Tidore ?

9. Bagaimana sistem religi suku Tidore ?

1.3 TUJUAN dan MANFAAT PENULISAN

1.3.1 TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan dari penulisan ini, yaitu :

Untuk mengetahui lokasi lingkungan alam dan demografi suku Tidore.

Untuk mengetahui asal mula dan sejarah suku Tidore.

Untuk mengetahui bahasa pada suku Tidore.

Untuk mengetahui sistem teknologi suku Tidore.

Untuk mengetahui sistem mata pencaharian suku Tidore.

Untuk mengetahui sistem organisasi sosial pada suku Tidore.

Untuk mengetahui sistem pengetahuan suku Tidore.

Untuk mengetahui kesenian pada suku Tidore.

Untuk mengetahui sistem religi suku Tidore.

1.3.2 MANFAAT PENULISAN

Sedangkan manfaat dari penulisan ini, yaitu :

Dapat menambah pengetahuan mengenai suku Tidore.

Dapat dijadikan sebagai referensi bagi yang ingin mempelajari Suku Tidore.

Dapat dijadikan sebagai inspirasi bagi penulis-penulis lain yang ingin

Membuat karya tulis mengenai Suku tidore.

5

Page 3: Etnografi Tidore

1.4 METODELOGI PENULISAN

1.4.1 STUDI KEPUSTAKAAN

Penulis melakukan pencarian data-data mengenai suku-suku yang terletak d

Ternate,yang dibutuhkan untuk mendukung penulisan makalah.

1.4.2 STUDI DUNIA MAYA

Dalam metode ini, penulis mengumpulkan data-data yang di ambil dari internet

untuk melengkapi bahan-bahan penulisan makalah ini.

1.4.3 INSTRUMEN PENELITIAN

Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan beberapa alat untuk

mempermudah pencarian data, diantaranya adalah sebagai berikut :

Note Book / PC, untuk membuat data.

Internet, untuk sambungan koneksi pencarian data di internet.

1.5 SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan dibagi menjadi tiga bab yang akan menjabarkan tulisan-tulisan mengenai suku

Tidore secara lengkap. Berikut adalah pembagian pembahasan setiap bab yang ditulis

dalam penelitian ini :

BAB I : PENDAHULUAN

Berisikan tentang uraian latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metodelogi penulisan,

dan sistematika penulisan.

BAB II : PEMBAHASAN

Berisikan mengenai Suku Tidore secara keseluruhan

berdasarkan 9 unsur kebudayaan.

BAB III : PENUTUP

6

Page 4: Etnografi Tidore

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 LOKASI LINGKUNGAN ALAM DAN DEMOGRAFI

Provinsi Maluku Utara merupakan Provinsi kepulauan yang

terdiri dan 397 buah pulau besar dan kecil. Dari jumlah itu,

sebanyak 64 pulau telah di huni, sedangkan 333 pulau lainnya

tidak dihuni. Luas total wilayah Provinsi Maluku Utara

mencapai 145.819,1 km2. Sebagian besar merupakan wilayah

laut, yaitu seluas 100.731,44 km2 (69,08%). Sisanya seluas

45.087,66 km2 (30,92 %), adalah daratan.

Pulau yang tergolong relatif besar adalah Pulau Halmahera

(18.000 km2), pulau yang ukurannya relatif sedang yaitu Pulau

Obi (3.900 km2), Pulau Taliabu(3.195 km2), Pulau Bacan (2.878 km2), dan Pulau Morotai

(2.325 km2). Pulau-pulau yang relatif kecil antara lain Pulau Temate, Tidore, Makian, Kayoa,

Gebe dan sebagainya.

Secara geografis, Provinsi Maluku Utara berada pada 3° Lintang Utara hingga 3° Lintang

Selatan dan 124° hingga 129° BujurTimur. Luas wilayah maupun batas wilayah Kabupaten /

Kota di Provinsi Maluku Utara dapat terlihat dalam tabel berikut ini:

PROVINSI/KABUPATEN/KOTALUAS WILAYAH (KM2)

DARAT LAUT JUMLAH

PROVINSI MALUKU UTARA45.096,6

6100.731,4

4145.801,1

0KABUPATEN HALMAHERA BARAT 2.612,24 11.623,42 14.235,66KABUPATEN HALMAHERA TENGAH 2.276,83 6.104,65 8.381,48KABUPATEN HALMAHERA UTARA 5.447,30 19.536,02 24.983,32KABUPATEN HALMAHERA SELATAN 8.779,32 31.484,40 40.263,72KABUPATEN HALMAHERA TIMUR 6.506,20 7.695,82 14.202,02KABUPATEN KEPULAUAN SULA 9.632,92 14.449,38 24.082,30KOTA TERNATE 250,85 5.544,55 5.795,40KOTA TIDORE KEPULAUAN 9.564,00 4.293,20 13857,20Sumber : BAPPEDA Provinsi Maluku Utara      

7

Page 5: Etnografi Tidore

Penduduk

Jumlah penduduk Provinsi Maluku Utara tahun 2004 berdasarkan hasil yang tercatat oleh

BPS sebanyak 910.656 jiwa yang tersebar di 6 (enam) Kabupaten dan 2 (dua) Kota, dengan

laju pertumbuhan penduduk sebesar 4,03 persen per tahun dan tingkat kepadatan penduduk 20

jiwa per kilometer persegi.

Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Provinsi Maluku Utara Tahun 2004 :

Karakteristik Spesifik

a. Topografi

Sebagian besar wilayah Maluku Utara bergunung-gunung dan berbukit-bukit yang terdiri

dan pulau-pulau vulkanis dan pulau karang, sedangkan sebagian lainnya merupakan dataran.

Pulau Halmahera mempunyai banyak pegunungan yang rapat mulai dan Teluk Kao, Teluk

Buli, Teluk Weda, Teluk Payahe dan Dodinga. Disetiap daerah terdapat punggung gunung

yang merapat ke pesisir, sedangkan pada daerah sekitar Teluk Buli (di Timur) sampai Teluk

Kao (di Utara), pesisir barat mulai dan Teluk Jailolo ke utara dan Teluk Weda ke selatan dan

utara ditemui daerah dataran yang luas.

b. Iklim

Wilayah Maluku Utara dipengaruhi oleh iklim laut tropis dan iklim musim. Oleh karena

itu iklimnya sangat dipengaruhi oleh lautan dan bervariasi antara tiap bagian wilayah yaitu

iklim Halmahera Utara, Halmahera Tengah, Halmahera Barat, Halmahera Selatan dan

Kepulauan Sula. Daerah lklim Halmahera Utara, musim hujan berada pada bulan Desember-

Februari dan kemarau dalam bulan Agustus-Desember yang diselingi pancaroba pada bulan

8

Page 6: Etnografi Tidore

Nopember-Desember. Daerah Iklim Halmahera Tengah dan Halmahera Barat; dimana

dipengaruhi muslim Utara pada bulan Oktober-Maret, pancaroba pada bulan April.

Musim Selatan pada bulan April-September yang diselingi angin Timur dan pancaroba

pada bulan September. Daerah Iklim Halmahera Selatan, dipengaruhi oleh dua musim yaitu

musim Utara pada bulan Oktober-Maret yang diselingi angin Barat dan pancaroba pada bulan

April, musim Selatan pada bulan September diselingi angin Timur dan pancaroba dalam bulan

September. Daerah Iklim Kepulauan Sula; terdiri atas dua musim, musim Utara pada bulan

Oktober-Maret diselingi angin Barat dan pancaroba pada bulan April dan musim Selatan pada

bulan April-September, diselingi angin Timur dan pancaroba pada bulan September.

Sedangkan jenis curah hujan adalah sebagai berikut:

Curah hujan antara 1000 mm — 2000 mm, meliputi pulau Tobelo, pulau Mangote,

pulau Sulabesi, pulau Obi dan sekitarnya, pulau Bacan dan sekitamya, pulau Halmahera

bagian Selatan. Curah hujan antara 2500 mm — 3000 mm, meliputi pulau Halmahera bagian

Utara, sebagian Kecamatan Ibu. Galela dan Loloda. Sedangkan wilayah Iainnya adalah curah

hujan antara 2000 — 2500 mm per tahun.

c. Tanah

Jenis tanah yang tersebar di Provinsi Maluku Utara yaitu terdiri dari:

Jenis Tanah Mediteran terdapat di Pulau Morotai bagian barat, timur dan selatan, Pulau

Doi Kecamatan Loloda.

Jenis Tanah Podsolik Merah Kuning terdapat di Pulau Halmahera dan Utara ke Selatan,

Tobelo, Ibu, Obi bagian Timur, Sanana, Pulau Taliabu, Wasiley, Oba, Weda, Patani dan

Maba.

Jenis Tanah Kompleks terdapat di Pulau Morotai bagian Barat dan Timur, Obi bagian

tengah, Pulau Halmahera bagian tengah sampai timur.

Jenis Latosol terdapat di Lologa, Calela, Jailolo bagian Selatan, Cane Barat, Cane Timur,

Bacan, Obi, Wasilei, Weda dan Maba.

Jenis Tanah Regosol terdapat di Loloda, Calela, Sahu, Kao, Pulau Ternate, Pulau Makian,

Pulau Obi di pesisir utara.

Jenis Tanah Alivial terdapat di Pulau Obi bagian barat, Pulau Taliabu bagian utara dan

tenggara, Oba, Wasilei, Weda, Patani dan Maba.

9

Page 7: Etnografi Tidore

d. Penggunaan Lahan

Secara keseluruhan, penggunaan lahan di Provinsi Maluku Utara didominasi oleh

penggunaan lahan hutan dan lahan perkebunan.  Dan luas daratan seluas 45.069,66 Km2

diantaranya merupakan lahan perkebunan dengan luas 830.683,6 Ha atau 8.306.836 Km2 dan

luas lahan hutan 534.409,0 Ha atau 5.344.090 Km2 serta selebihnya adalah lahan untuk

sawah, perumahan dan permukiman, tegalan dan bangunan lainnya. Penggunaan lahan di

Provinsi Maluku Utara seperti terlihat pada tabel:

2.2 ASAL MULA SEJARAH

Tidore merupakan salah satu pulau yang terdapat di

gugusan kepulauan Maluku. Sebelum Islam datang ke

bumi nusantara, Tidore dikenal dengan nama Kie Duko,

yang berarti pulau yang bergunung api. Penamaan ini

sesuai dengan kondisi topografi Tidore yang memiliki

gunung api –bahkan tertinggi di gugusan kepulauan

Maluku– yang mereka namakan gunung Marijang. Saat ini, gunung Marijang sudah tidak

aktif lagi. Nama Tidore berasal dari gabungan dua rangkaian kata bahasa Tidore dan Arab

dialek Irak: bahasa Tidore, To ado re, artinya, ‘aku telah sampai’ dan bahasa Arab dialek Irak

anta thadore yang berarti ‘kamu datang’. Penggabungan dua rangkaian kata dari dua bahasa

ini bermula dari suatu peristiwa yang terjadi di Tidore.

10

Page 8: Etnografi Tidore

Menurut kisahnya, di daerah Tidore ini sering terjadi pertikaian antar para Momole

(kepala suku), yang didukung oleh anggota komunitasnya masing-masing dalam

memperebutkan wilayah kekuasaan persukuan. Pertikaian tersebut seringkali menimbulkan

pertumpahan darah. Usaha untuk mengatasi pertikaian tersebut selalu mengalami kegagalan.

Suatu ketika, diperkirakan tahun 846 M, rombongan Ibnu Chardazabah, utusan Khalifah al-

Mutawakkil dari Kerajaan Abbasiyah di Baghdad tiba di Tidore. Pada saat itu, di Tidore

sedang terjadi pertikaian antar momole. Untuk meredakan dan menyelesaikan pertikaian

tersebut, salah seorang anggota rombongan Ibnu Chardazabah, bernama Syech Yakub turun

tangan dengan memfasilitasi perundingan yang disebut dengan Togorebo. Pertemuan

disepakati di atas sebuah batu besar di kaki gunung Marijang. Kesepakatannya, momole yang

tiba paling cepat ke lokasi pertemuan akan menjadi pemenang dan

memimpin pertemuan.

Dalam peristiwa itu, setiap momole yang sampai ke lokasi

pertemuan selalu meneriakkan To ado re, karena merasa dialah yang

datang pertama kali dan menjadi pemenang. Namun, ternyata beberapa

orang momole yang bertikai tersebut tiba pada saat yang sama, sehingga

tidak ada yang kalah dan menang. Berselang beberapa saat kemudian, Syech Yakub yang

menjadi fasilitator juga tiba di lokasi dan berujar dengan dialek Iraknya: Anta thadore. Karena

para momole datang pada saat yang bersamaan, maka tidak ada yang menjadi pemenang,

akhirnya yang diangkat sebagai pemimpin adalah Syech Yakub. Konon, sejak saat itu mulai

dikenal kata Tidore, kombinasi dari dua kata: Ta ado re dan Thadore. Demikianlah, kata

Tidore akhirnya menggantikan kata Kie Duko dan menjadi nama sebuah kerajaan besar.

Menurut catatan Kesultanan Tidore, kerajaan ini berdiri sejak Jou Kolano Sahjati naik

tahta pada 12 Rabiul Awal 502 H (1108 M). Namun, sumber tersebut tidak menjelaskan

secara jelas lokasi pusat kerajaan pada saat itu. Asal usul Sahjati bisa dirunut dari kisah

kedatangan Djafar Noh dari negeri Maghribi di Tidore. Noh kemudian mempersunting

seorang gadis setempat, bernama Siti Nursafa. Dari perkawinan tersebut, lahir empat orang

putra dan empat orang putri. Empat putra tersebut adalah: Sahjati, pendiri kerajaan Tidore;

Darajati, pendiri kesultanan Moti; Kaicil Buka, pendiri kesultanan Makian; Bab Mansur

Malamo, pendiri kesultanan Ternate. Sedangkan empat orang putri adalah: Boki Saharnawi,

yang menurunkan raja-raja Banggai; Boki Sadarnawi, yang menurunkan raja-raja Tobungku;

11

Page 9: Etnografi Tidore

Boki Sagarnawi, yang menurunkan raja-raja Loloda; dan Boki Cita Dewi, yang menurunkan

Marsaoli dan Mardike. Kerajaan Tidore merupakan salah satu pilar yang membentuk Kie

Raha, yang lainnya adalah Ternate, Makian dan Moti.

Berdasarkan legenda asal usul di atas, tampak

bahwa empat kerajaan ini berasal dari moyang yang

sama: Djafar Noh dan Siti Nursafa. Terlepas dari

benar atau salah, kemunculan dan perkembangan

legenda asal-usul tersebut secara jelas menunjukkan

adanya kesadaran persaudaraan di antara kerajaan

Kie Raha (gabungan empat kerajaan utama di Maluku Utara, yaitu: Ternate, Tidore, Makian

dan Moti) sehingga mereka kemudian melegitimasinya dengan sebuah mitos asal-usul. Sejak

awal berdirinya hingga raja yang ke-4, pusat kerajaan Tidore belum bisa dipastikan. Barulah

pada era Jou Kolano Bunga Mabunga Balibung, informasi mengenai pusat kerajaan Tidore

sedikit terkuak, itupun masih dalam perdebatan. Tempat tersebut adalah Balibunga, namun

para pemerhati sejarah berbeda pendapat dalam menentukan dimana sebenarnya Balibunga

ini. Ada yang mengatakannya di Utara Tidore, dan adapula yang mengatakannya di daerah

pedalaman Tidore selatan.

Pada tahun 1495 M, Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa Tidore pertama

yang memakai gelar sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada di Gam Tina. Ketika Sultan

Mansur naik tahta tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan

perkampungan baru di Rum Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan Ternate,

dan diapit oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan

tenang, lokasi ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai.

Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang beraneka

ragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole Majimo (Alauddin Syah)

ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan

Ternate, sementara posisi ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan.

Pendapat lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah

membina komunitas Kolano Tomabanga yang masih animis agar memeluk Islam.

Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore di masa Sultan Saifudin (Jou

Kota). Limau Timore ini kemudian berganti nama menjadi Soasio hingga saat ini. Pada abad

12

Page 10: Etnografi Tidore

ke 16 M, orang Portugis dan Spanyol datang ke Maluku –termasuk Tidore– untuk mencari

rempah-rempah, momonopoli perdagangan kemudian menguasai dan menjajah negeri

kepulauan tersebut. Dalam usaha untuk mempertahankan diri, telah terjadi beberapa kali

pertempuran antara kerajaaan-kerajaan di Kepulauan Maluku melawan kolonial Portugis dan

Spanyol. Terkadang, Tidore, Ternate, Bacan dan Jailolo bersekutu sehingga kolonial Eropa

tersebut mengalami kesulitan untuk menaklukkan Tidore dan kerajaan lainnya.

Sepeninggal Portugis, datang Belanda ke

Tidore dengan tujuan yang sama: memonopoli

dan menguasai Tidore demi keuntungan

Belanda sendiri. Dalam sejarah perjuangan di

Tidore, sultan yang dikenal paling gigih dan

sukses melawan Belanda adalah Sultan Nuku

(1738-1805 M). Selama bertahun-tahun, ia berjuang untuk mengusir Belanda dari seluruh

kepulauan Maluku, termasuk Ternate, Bacan dan Jailolo. Perjuangan tersebut membuahkan

hasil dengan menyerahnya Belanda pada Sultan Nuku pada 21 Juni 1801 M. Dengan itu,

Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo kembali merdeka dari kekuasaan asing. Inggris yang juga

ikut membantu Tidore dalam mengusir Belanda kemudian diberi kebebasan untuk menguasai

Ambon dan Banda, dan mengadakan perjanjian damai dengan Sultan Nuku, sehingga relasi

antara kedua belah pihak berjalan cukup harmonis. Di masa Sultan Nuku inilah, Tidore

mencapai masa kegemilangan dan menjadi kerajaan besar yang disegani di seluruh kawasan

itu, termasuk oleh kolonial Eropa. Di masa Sultan Nuku juga, kekuasaan Tidore sampai ke

Kepulauan Pasifik. Menurut catatan sejarah Tidore, Sultan Nuku sendiri yang datang dan

memberi nama pulau-pulau yang ia kuasai, dari Mikronesia hingga Melanesia dan Kepulauan

Solomon. Nama-nama pulau yang masih memakai nama Nuku hingga saat ini adalah Nuku

Hifa, Nuku Oro, Nuku Maboro, Nuku Nau, Nuku Lae-lae, Nuku Fetau dan Nuku Nono.

Seiring dengan masuknya kolonial Eropa, agama Kristen juga masuk ke Tidore. Namun,

karena pengaruh Islam yang sudah begitu mengakar, maka agama ini tidak berhasil

mengembangkan pengaruhnya di Tidore.

13

Page 11: Etnografi Tidore

2.3 BAHASA

Suku Tidore dengan populasi 26.000 berdiam di pulau

Tidore. Pulau ini merupakan salah satu pulau dari banyak

pulau di kepulauan Maluku. Secara administratif, pulau

Tidore termasuk ke dalam wilayah kabupaten Halmahera

Tengah, propinsi Maluku. Dengan Soa-siu sebagai kota

kecamatan yang di dalamnya tinggal berbagai etnis.

Sedangkan mayoritas penduduk di desa-desa adalah orang-orang Tidore asli. Diketahui telah

ada 20 orang yang percaya Tuhan Yesus dari suku Tidore. Penduduk Maluku terdiri dari

bermacam-macam suku yang diindikasikan dalam bahasa lokal yang masih aktif berjumlah

117 bahasa, dari jumlah yang pernah ada sebanyak 130-an bahasa local. Untuk berkomunikasi

dalam kehidupan sehari-hari, orang Tidore menggunakan bahasa Tidore yang tergolong dalam

rumpun non-Austronesia. Dengan bahasa ini pula, orang Tidore kemudian mengembangkan

sastra lisan dan tulisan. Bentuk sastra lisan yang populer adalah /dola bololo/(semacam

peribahasa atau pantun kilat), /dalil tifa/ (ungkapan filosofis yang diiringi alat tifa atau

gendang), /kabata/ (sastra lisan yang dipertunjukkan oleh dua regu dalam jumlah yang genap,

argumennya dalam bentuk syair, gurindam, bidal dsb). Sebagian di antara sastra lisan ini

disampaikan dan dipertunjukkan dengan iringan alat tifa, sejenis gendang. Sastra tulisan juga

cukup baik berkembang di Tidore, hal ini bisa dilihat dari peninggalan manuskrip kesultanan

Tidore yang masih tersimpan di Museun Nasional Jakarta. Dan boleh jadi,manuskrip-

manuskrip tersebut masih banyak tersebar di tangan masyarakat secara individual.

Di samping itu mereka juga dapat mengerti bahasa Ternate yang sejak lama menjadi

lingua france di kawasan Halmahera. Para pengamat kebudayaan pernah membagi wilayah

Maluku Utara dan Halmahera Tengah menjadi beberapa daerah kebudayaan. Daerah-daerah

tersebut adalah daerah kebudayaan Ternate, daerah kebudayaan Tidore dan daerah

kebudayaan Bacan. Daerah kebudayaan Tidore sendiri mencakup kepulauan Halmahera

Tengah dan Halmahera Timur.

14

Page 12: Etnografi Tidore

Berikut ini adalah contoh penggunaan bahasa Ternate dalam kosakata umum :

2.4 SISTEM TEKNOLOGI

2.5 SISTEM MATA PENCAHARIAN

Mata pencaharian pokok sebagian besar masyarakat Tidore adalah bercocok-tanam,

nelayan, berdagang, atau menjadi pegawai negeri. Berbagai jenis tanaman yang banyak

ditanam adalah padi, jagung, ubi jalar dan ubi kayu. Selain itu, juga banyak ditanam cengkeh,

pala, kelapa dan coklat adalah jenis rempah-rempah yang menjadi komoditas andalan yang

menjadi ciri kepulauan Maluku. Inilah rempah-rempah yang menjadikan Tidore terkenal,

dikunjungi para pedagang asing Cina, India dan Arab, dan akhirnya menjadi rebutan para

kolonial kulit putih.

Peternakan

Luas areal pengembangan peternakan di wilayah yang terkenal rempah-rempahnya di zaman

kolonial Belanda ini tidak kurang dari 1,8 juta ha.

Sebagian besar, yaitu 1,6 juta ha merupakan lahan yang

cocok untuk budidaya sapi potong. Namun, luasan

tersebut baru dihuni sekitar 36 ribu ekor sapi. Dari

pengamatan pemerintah daerah jenis-jenis ternak yang

15

Page 13: Etnografi Tidore

dapat dikembangkan di Maluku Utara adalah sapi, kambing kacang, kuda, babi, dan unggas

yang terdiri atas ayam kampung, layer, dan broiler. Sementara berdasarkan potensi

wilayahnya di propinsi ini terpeta lima kawasan pengembangan jenis ternak, yaitu kawasan

Kepulauan Sula, Halmahera Selatan, Halmahera Tengah dan Timur, Halmahera Utara dan

Barat, serta kawasan Ternate dan Tidore. Komoditas unggulan di Kepulauan Sula yang

meliputi Kecamatan Sula Barat dan Sanana adalah kambing, ayam kampung, itik dan ayam

ras. Sedangkan untuk Kecamatan Taliabu Barat dan Timur serta Mangoli Barat dan Timur

komoditas unggulannya adalah ternak sapi dan kerbau. Sedangkan kawasan Halmahera

Selatan diperuntukkan bagi  ternak kambing, sapi, ayam ras, ayam kampung dan itik.

Kawasan Halmahera Utara dan Barat tampaknya lebih cocok untuk pengembangan budidaya

ayam kampung, ayam ras, kambing, itik, dan sapi.  Sementara Halmahera Tengah dan Timur

lebih sesuai untuk beternak sapi, sedangkan kawasan Ternate dan Tidore komoditas

unggulannya adalah ternak kambing, ayam kampung, ayam ras, itik, puyuh, dan sapi. Sejak

20 tahun yang lalu propinsi yang makanan pokok masyarakatnya berupa jagung, pisang, dan

beras ini mengirim sekitar 1.500 ekor sapi ke Sorong, Papua  tiap tahunnya. Sedangkan yang

dipotong sendiri sekitar 7.000 ribu ekor/tahun.

Masyarakat Malut lebih menyukai beternak sapi

ketimbang bekerja di kebun karena lebih efisien. Pasalnya

harga seekor sapi yang mencapai Rp. 5 juta/ekor setara

dengan 10 ton kopra. Bibit sapinya sendiri saat ini masih

didatangkan dari Pulau Buru dan Sulawesi Tenggara

dengan harga Rp. 5 juta/ekor. Sementara untuk komoditas

kambing kacang, bibitnya telah dipenuhi oleh pasokan lokal. Produksi pun hanya untuk

konsumsi masyarakat sendiri. Dipilihnya jenis kambing kacang ini sebagai ternak unggulan

karena binatang ruminansia kecil tersebutlah yang paling mampu bertahan di Maluku Utara

yang beriklim tidak menentu.

Warga Maluku Utara adalah pemakan ikan. Hal ini membuat konsumsi daging, baik

daging sapi, kambing dan ayam kampung menjadi rendah, yaitu hanya sekitar 3,1

kg/kapita/tahun. Hal itu membuat peternakan unggas kurang berkembang. Peternak yang ada

baru di Kota Ternate saja. Itu pun baru enam orang. Namun begitu warga di daerah perkotaan

mulai terbiasa mengonsumsi produk unggas yang berupa daging dan telur sehingga

16

Page 14: Etnografi Tidore

pertumbuhan tingkat konsumsi terus mengalami peningkatan. Hal ini berbeda dengan warga

pedesaan yang selama ini hanya mengonsumsi produk unggas pada acara hajatan, hari raya,

tahun baru, dan natal.

 

2.6 ORGANISASI SOSIAL

Dari sejak awal berdirinya hingga saat ini, telah

berkuasa 38 orang sultan di Tidore. Saat ini, yang

berkuasa adalah Sultan Hi. Djafar Syah.

Periode Pemerintahan

Kerajaan Tidore berdiri sejak 1108 M dan berdiri

sebagai kerajaan merdeka hingga akhir abad ke-18 M.

setelah itu, kerajaan Tidore berada dalam kekuasaan kolonial Belanda. Setelah Indonesia

merdeka, Tidore menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Struktur Pemerintahan

Sistem pemerintahan di Tidore cukup mapan dan berjalan dengan baik. Struktur tertinggi

kekuasaan berada di tangan sultan. Menariknya, Tidore tidak mengenal sistem putra mahkota

sebagaimana kerajaan-kerajaan lainnya di kawasan Nusantara. Seleksi sultan dilakukan

melalui mekanisme seleksi calon-calon yang diajukan dari Dano-dano Folaraha (wakil-wakil

marga dari Folaraha), yang terdiri dari Fola Yade, Fola Ake Sahu, Fola Rum dan Fola Bagus.

Dari nama-nama ini, kemudian dipilih satu di antaranya untuk menjadi sultan. Ketika Tidore

mencapai masa kejayaan di era Sultan Nuku, sistem pemerintahan di Tidore telah berjalan

dengan baik. Saat itu, sultan (kolano) dibantu oleh suatu Dewan Wazir, dalam bahasa Tidore

disebut /Syara, adat se nakudi/. Dewan ini dipimpin oleh sultan dan pelaksana tugasnya

diserahkan kepada /Joujau/ (perdana menteri). Anggota Dewan wazir terdiri dari /Bobato

pehak raha/ (empat pihak bobato; semcam departemen) dan wakil dari wilayah kekuasan.

Bobato ini bertugas untuk mengatur dan melaksanakan keputusan Dewan Wazir. Empat

bobato tersebut adalah: (1) /pehak labe/, semacam departemen agama yang membidangi

masalah syariah. Anggota pehak labe terdiri dari para kadhi, imam, khatib dan modim; (2)

/pehak/ adat bidang pemerintahan dan kemasyarakatan yang terdiri dari Jojau, Kapita Lau

(panglima perang), Hukum Yade (menteri urusan luar), Hukum Soasio (menteri urusan

17

Page 15: Etnografi Tidore

dalam) dan Bobato Ngofa (menteri urusan kabinet); (3) /Pehak Kompania/ (bidang pertahanan

keamanan) yang terdiri dari Kapita Kie, Jou Mayor dan Kapita Ngofa; (4) /pehak/ juru tulis

yang dipimpin oleh seorang berpangkat /Tullamo/ (sekretaris kerajaan). Di bawahnya ada

/Sadaha/ (kepala rumah tangga), /Sowohi Kie/ (protokoler kerajaan bidang kerohanian),

/Sowohi Cina/ (protokoler khusus urusan orang Cina), /Fomanyira Ngare/ (/public relation/

kesultanan) dan Syahbandar (urusan administrasi pelayaran).

Selain struktur di atas, masih ada jabatan lain yang membantu menjalankan tugas

pemerintahan, seperti /Gonone /yang membidangi intelijen dan /Serang oli/ yang membidangi

urusan propaganda.

Wilayah Kekuasaan

Pada masa kejayaannya, wilayah kerajaan Tidore mencakup kawasan yang cukup luas

hingga mencapai Kepulauan Pasifik. Wilayah sekitar pulau Tidore yang menjadi bagian

wilayahnya adalah Papua, gugusan pulau-pulau Raja Ampat dan pulau Seram. Di Kepulauan

Pasifik, kekuasaan Tidore mencakup Mikronesia, Kepulauan Marianas, Marshal, Ngulu,

Kepulauan Kapita Gamrange, Melanesia, Kepulauan Solomon dan beberapa pulau yang

masih menggunakan identitas Nuku, seperti Nuku Haifa, Nuku Oro, Nuku Maboro dan Nuku

Nau. Wilayah lainnya yang termasuk dalam kekuasaan Tidore adalah Haiti dan Kepulauan

Nuku Lae-lae, Nuku Fetau, Nuku Wange dan Nuku Nono.

Keturunan

Sistem garis keturunan pada suku Tidore berdasarkan prinsip patrilineal. Salah satu

kelompok kekerabatan yang penting adalah marga patrilineal, yang mereka sebut soa.

Perkawinan ideal menurut adat mereka adalah kawin antara saudara sepupu (kufu). Adat

menetap bagi pasangan sesudah menikah bersifat utrolokal. Dalam adat ini pasangan

pengantin bebas memilih untuk menetap di lingkungan kerabat suami atau di lingkungan

kerabat istri. Suku Tidore umumnya merupakan pemeluk agama Islam. Tidore pernah menjadi

satu kesultanan pada masa silam. Kesultanan Tidore merupakan salah satu pusat

pengembangan dan penyebaran agama Islam di Maluku. Sampai sekarang tampak bahwa

mereka adalah pemeluk agama Islam yang taat. Setiap desa memiliki paling tidak sebuah

mesjid atau surau. Di desa-desa para ustad dan ulama menjadi pemimpin informal

masyarakaat Tidore. Wilayah kepulauan Maluku adalah daerah yang kaya akan sumber alam,

terutama kekayaan maritim. Walaupun demikian di daerah ini masih terdapat banyak desa

18

Page 16: Etnografi Tidore

miskin atau tertinggal. Diperlukan usaha-usaha guna meningkatkan hasil pertanian, perikanan

dan penambahan sarana dan tenaga medis.

2.7 SISTEM PENGETAHUAN

2.8 KESENIAN

2.8.1 MusikAlat musik yang terkenal adalah Tifa (sejenis gendang) dan

Totobuang. Masing-masing alat musik dari Tifa Totobuang

memiliki fungsi yang bereda-beda dan saling mendukung satu sama

lain hingga melahirkan warna musik yang sangat khas. Namun

musik ini didominasi oleh alat musik Tifa. Terdiri dari Tifa yaitu,

Tifa Jekir, Tifa Dasar, Tifa Potong, Tifa Jekir Potong dan Tifa Bas,

ditambah sebuah Gong berukuran besar dan Toto Buang, yang

merupakan serangkaian gong-gong kecil yang di taruh pada sebuah meja, dengan beberapa

lubang sebagai penyanggah. Adapula alat musik tiup yaitu Kulit Bia (Kulit Kerang).

Dalam kebudayaan Maluku, terdapat pula alat musik petik yaitu Ukulele dan Hawaiian

seperti halnya terdapat dalam kebudayaan Hawaii di Amerika Serikat. Hal ini dapat dilihat

ketika musik-musik Maluku dari dulu hingga sekarang masih memiliki ciri khas dimana

terdapat penggunaan alat musik Hawaiian baik pada lagu-lagu pop maupun dalam mengiringi

tarian tradisional seperti Katreji.

Musik lainnya ialah Sawat. Sawat adalah perpaduan dari budaya Maluku dan budaya

Timur Tengah. Pada beberapa abad silam, bangsa Arab datang untuk menyebarkan agama

Islam di Maluku, kemudian terjadilah campuran budaya termasuk dalam hal musik. Terbukti

pada beberapa alat musik Sawat, seperti rebana dan seruling, yang mencirikan alat musik

gurun pasir.

19

Page 17: Etnografi Tidore

Diluar daripada beragamnya alat musik, orang Maluku terkenal handal dalam bernyanyi.

Sejak dahulupun, mereka sudah sering bernyanyi dalam mengiringi tari-tarian tradisional. Tak

ayal bila sekarang, terdapat banyak penyanyi terkenal yang lahir dari kepulauan ini. Sebut saja

para legenda seperti Broery Pesoelima dan Harvey Malaihollo. Belum lagi para penyanyi

kaliber dunia lainnya seperti Daniel Sahuleka, Ruth Sahanaya, Monica Akihary, Eric

Papilaya, Danjil Tuhumena, Romagna Sasabone, Harvey Malaihollo serta penyanyi-penyanyi

muda berbakat seperti Glen Fredly, Ello Tahitu dan Moluccas.

2.8.2 Tarian

Tari yang terkenal adalah tari Cakalele yang menggambarkan

Tari perang. Tari ini biasanya diperagakan oleh para pria

dewasa sambil memegang Parang dan Salawaku (Perisai).

Ada pula Tarian lain seperti Saureka-Reka yang

menggunakan pelepah pohon sagu. Tarian yang dilakukan oleh enam orang gadis ini sangat

membutuhkan ketepatan dan kecepatan sambil diiringi irama musik yang sangat menarik.

Tarian yang merupakan penggambaran pergaulan anak muda adalah Katreji. Tari Katreji

dimainkan secara berpasangan antara wanita dan pria dengan gerakan bervariasi yang enerjik

dan menarik. Tari ini hampir sama dengan tari-tarian Eropa pada umumnya karena Katreji

juga merupakan suatu akulturasi dari budaya Eropa (Portugis dan Belanda) dengan budaya

Maluku. Hal ini lebih nampak pada setiap aba-aba dalam perubahan pola lantai dan gerak

yang masih menggunakan bahasa Portugis dan Belanda sebagai suatu proses biligualisme.

Tarian ini diiringi alat musik biola, suling bambu, ukulele, karakas, guitar, tifa dan bas gitar,

dengan pola rithm musik barat (Eropa) yang lebih menonjol. Tarian ini masih tetap hidup dan

digemari oleh masyarakat Maluku sampai sekarang.

Selain Katreji, pengaruh Eropa yang terkenal adalah Polonaise yang biasanya dilakukan

orang Maluku pada saat kawinan oleh setiap anggota pesta tersebut dengan berpasangan,

membentuk formasi lingkaran serta melakukan gerakan-gerakan ringan yang dapat diikuti

setiap orang baik tua maupun muda.

2.8.3 Musik Daerah Maluku

Musik di daerah Maluku, alat-alat yang asli sudah hilang. Instrumen musiknya diseluruh

Maluku hampir sama yaitu ; gong (dari Jawa), arababu (rebab) dengan resonator dari

20

Page 18: Etnografi Tidore

tempurung, idiokordo yang disebut tatabuhan, korno (alat musik tiup) yang terbuat dari siput

dan disebut fuk-fuk, bermacam-macam gendang yang disebut tifa. Untuk daerah–daerah

Islam seperti Halmahera, Bacan, Ternate, dan Tidore dengan sendirinya memiliki alat-alat

musik Islam seperti gambus, rebana, bangsil (suling) dan sulepe (alat musik yang sumber

bunyinya dari tali/dawai tapi resonatornya dari tempurung)

2.8.4 Fungsi Musik Daerah

1. Fungsi Individual

Musik merupakan atau mengekspresikan gejolak hati, jiwa,perasaan, atau kegalauan yang

terpendam dalam hatinya. Melalui syair lagu misalnya seniman musik dapat

mengkritik/memprotes kondisi lingkungan, rasa cinta sesama manusia, alam dan Sang

Pencipta.

2 Fungsi SosialMusik memiliki peran besar dalam kehidupan manusia, dalam sebuah

upacara adat, upacara kenegaraan, upacara keagamaan, penyambutan tamu, pesta

pernikahan, dan lain-lain.

a) Media Rekreasi atau Hiburan

b) b) Media Komunikasi

c) Media Pendidikan

d) Media Pemujaan ( Keagamaan)

2.9 SISTEM RELIGI

Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan

Islam. Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan

Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan Kekristenan,

dan pengaruh Kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan

Islam di wilayah Maluku serta Pedagang Arab di pesisir Pulau

Ambon dan sekitarnya sebelumnya. Seiring dengan masuknya

kolonial Eropa, agama Kristen juga masuk ke Tidore. Namun,

karena pengaruh Islam yang sudah begitu mengakar, maka agama

ini tidak berhasil mengembangkan pengaruhnya di Tidore.

21

Page 19: Etnografi Tidore

Tidore pernah menjadi satu kesultanan pada masa silam. Kesultanan Tidore merupakan

salah satu pusat pengembangan dan penyebaran agama Islam di Maluku. Sampai sekarang

tampak bahwa mereka adalah pemeluk agama Islam yang taat. Setiap desa memiliki paling

tidak sebuah mesjid atau surau. Di desa-desa para ustad dan ulama menjadi pemimpin

informal masyarakat Tidore. Masyarakat di Kesultanan Tidore merupakan penganut agama

Islam yang taat, dan Tidore sendiri telah menjadi pusat pengembangan agama Islam di

kawasan kepulauan timur Indonesia sejak dulu kala. Karena kuatnya pengaruh agama Islam

dalam kehidupan mereka, maka para ulama memiliki status dan peran yang penting di

masyarakat. Kuatnya relasi antara masyarakat Tidore dengan Islam tersimbol dalam ungkapan

adat mereka:

/Adat ge mauri Syara, Syara mauri Kitabullah /(Adat bersendi Syara, Syara bersendi

Kitabullah). Perpaduan ini berlangsung harmonis hingga saat ini. Berkenaan dengan garis

kekerabatan, masyarakat Tidore menganut sistem matrilineal. Namun, tampaknya terjadi

perubahan ke arah patrilineal seiring dengan menguatnya pengaruh Islam di Tidore. Klen

patrilineal yang terpenting mereka sebut /soa/. Dalam usaha untuk menjaga keharmonisan

dengan alam, masyarakat Tidore menyelenggarakan berbagai jenis upacara adat. Di antara

upacara tersebut adalah upacara /Legu Gam Adat Negeri/, upacara /Lufu Kie daera se Toloku/

(mengitari wilayah diiringi pembacaan doa selamat), upacara /Ngam Fugo/, /Dola Gumi, Joko

Hale/ dan sebagainya.

Tradisi Hari Raya Idul Adha

Setiap hari kesepuluh bulan Djulhijah, umat Muslim di seluruh dunia memperingati Hari

Raya Idul Adha atau disebut Idul Qurban. Setiap kali perayaan Idul Adha, ada sebuah tradisi

unik dan menarik di masyarakat Negeri (desa) Tulehu Kecamatan Salahutu Kabupaten

Maluku Tengah.

Ratusan pria, mulai dari anak-anak yang baru beranjak

remaja hingga orang dewasa berlari-lari dan

berlompatan, saling injak hanya demi bisa memegang

sebuah bendera. Sebagian dari mereka bahkan tanpa rasa

takut mencari tempat yang tinggi dengan menaiki pagar

maupun atap rumah dan kemudian melompat ke tengah-

22

Page 20: Etnografi Tidore

tengah kerumunan massa, semata-mata ingin mencapai bendera yang diperebutkan tadi.

Sementara itu, sekelompok pemuda lainnya menusuk-nusuk dadanya sendiri dengan paku

besar yang berbentuk semacam mata tombak hingga berdarah-darah. Mereka yang melakukan

ini adalah kelompok lain yang jumlahnya jauh lebih sedikit yakni tidak lebih dari 20 orang.

Kedua peristiwa ini adalah gambaran dari atraksi abda’u dan dabus.

Para pelakunya mengaku, saat memperagakannya mereka tidak merasakan sakit. Atraksi

yang bisa menimbulkan rasa nyilu bagi penontonnya itu dilakukan masyarakat Tulehu, saat

perayaan Idul Adha. Sudah menjadi tradisi masyarakat Tulehu, setiap tahun saat Idul Adha

melakukan kegiatan bernuansa religius maupun adat yang dipusatkan di depan Mesjid Jamie

Tulehu. Selain kedua atraksi tadi, sejumlah atraksi lain juga menyemarakkan suasana

perayaan Idul Adha di desa yang mayoritas penduduknya beragama Islam itu. Ribuan warga

Tulehu maupun dari negeri-negeri tetangga dan masyarakat Ambon berdatangan memenuhi

desa yang berjarak 24 kilometer dari Kota Ambon. Tujuan kedatangan mereka tidak lain ingin

menyaksikan ritual tahunan masyarakat Tulehu saat Idul Adha. Acara diawali dengan

penjemputan Raja Negeri Tulehu oleh pasukan abda’u di kediaman raja. Saat penjemputan

tersebut, raja memberikan petuah kepada segenap pemuda yang akan menjadi pasukan abda’u

untuk mengingatkan kembali makna dari perayaan yang telah dilakukan sejak beratus tahun

yang lalu di negeri mereka.

 “Abda’u merupakan tradisi tahunan Negeri Tulehu yang sangat kental akan nuansa

agama, dan tradisi ini harus terus kita peliara,” kata Raja Tulehu Jhon Ohorella. Usai

memberikan petuah, raja bersama imam mesjid Tulehu kemudian menyerahkan bendera

berwarna hijau bertuliskan kalimat tauhid kepada pasukan abda’u. Bendera ini setiap hari

terpampang di mimbar Mesjid Jamie Tulehu, dan hanya keluar saat abda’u. Bendera ini yang

akan direbutkan pasukan abda’u saat atraksi nanti. Raja bersama imam masjid kemudian

dikawal pasukan abda’u, berjalan menuju panggung utama yang telah dinanti sejumlah

pejabat daerah baik dari provinsi maupun kabupaten. Serangkaian acara peringatan Idul Adha

dilakukan, diisi dengan pawai karnaval menghadirkan berbagai atraksi budaya dan agama.

Selain menampilkan atraksi abda’u dan dabus, berbagai atraksi lain juga meramaikan

diantaranya, rombongan penari dan penyanyi hadrat, tari Patimura (tarian perang perjuangan

Kapitan Patimura), atraksi bambu gila, atraksi ilmu kebathinan (alfitrah) yang diperagakan

sekelompok pemuda memerankan tokoh wali songo, serta drama siswa sekolah dasar yang

23

Page 21: Etnografi Tidore

menceritakan keteguhan Nabi Ismail saat akan dikorbankan ayahnya Nabi Ibrahim atas

petunjuk Allah, namun akhirnya diganti dengan seekor domba. Pawai karnaval ini menyusuri

ruas jalan kampung sekitar 700 meter.

 Usai pawai karnaval, pasukan abda’u kemudian bergegas menuju belakang Masjid Jamie

Tulehu. Di tempat itu kemudian dilakukan penyembelian tiga ekor kambing yang turut

dibawa serta dalam pawai. Darah hasil penyembelian kambing diperebutkan pasukan abda’u

dan dilumuri di sekujur tubuh mereka karena diyakini bisa menghilangkan rasa sakit dan

capek setelah melakukan abda’u. Sebagian besar dari mereka juga yakin, darah kambing itu

bisa membuat tubuh mereka bertambah kuat.

  Karena terbatasnya darah kambing, ratusan orang yang menjadi peserta abda’u saling

rebut demi mendapatnya. Saking terbatasnya, sampai-sampai kain putih yang dipakai selama

abda’u dilumuri darah untuk kemudian diusap ke tubuh dan wajah mereka secara bergantian

dengan rekan mereka yang lain. Menurut tokoh masyarakat Tulehu Mochtar Ohorella (60),

abda’u adalah atraksi pemuda yang menceritakan sejarah kemenangan Islam saat

mengalahkan tentara Kafir Qurais di tanah Arab. Para pemuda yang melompat-lompat dan

berusaha memegang bendera bertuliskan kalimat tauhid itu menggambarkan mereka sedang

bersuka cita setelah memperoleh kemenangan.

Meskipun saat ini tidak ada penjelasan resmi asal muasal abda’u, namun tradisi ini sudah

menjadi bagian dari budaya masyarakat Tulehu saat merayakan Idul Adha. Sedangkan atraksi

dabus, masih menurut Sandia, merupakan tradisi kaum Syiah di Iran yang diadopsi oleh

sebagian masyarakat muslim di Maluku. Di Maluku sendiri, lanjut dia, tradisi dabus dibawa

dari Kerajaan Islam Tidore di Maluku Utara. Saat perlawanan Sutan Nuku melawan Belanda,

penguasa Tidore ini kemudian mengekspansi bala pasukannya ke beberapa daerah di Maluku

seperti Maluku Tenggara dan Geser (Pulau Seram). Saat itu, atraksi ini diperagakan pasukan

Nuku di daerah-daerah tersebut, dan kemudian menjadi membudaya di masyarakat setempat.

24

Page 22: Etnografi Tidore

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dari hasil penulisan pada bab-bab sebelumnya, maka kesimpulan yang diperoleh

adalah

1. Masih adanya nilai-nilai adat yang sangat melekat dalam darah orang Tidore

2. Kehidupan suku Tidore yang sedikit demi sedikit memasuki peradaban dunia

modern, tidak lagi hidup di pedalaman untuk bertahan hidup

3. Masih adanya kehidupan yang membedakan satu orang dengan yang lainnya

berdasarkan stratifikasi sosial

3.2 SARAN

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh, maka diberikan saran-saran yang sekiranya

dapat membantu para pembaca untuk masa mendatang, yaitu

4. Para pembaca harus lebih concern terhadap kehidupan asing di suku-suku lain di

Indonesia

5. Pemerintah harus menjaga suku-suku asing yang ada di Indonesia agar mereka tidak

punah

6. Pemerintah juga harus mematenkan kebudayaan yang ada di Indonesia agar tidak di

klaim sebagai kebudayaan Negara Luar.

25

Page 23: Etnografi Tidore

B I O G R A F I P E N U L I S

Indra Purnama, 20 September 1989, Bandung

Hadi Permana, 18 Maret 1990, Purwakarta

Prasetya Budianto, 21 Agustus 1989, Subang

Viktor Supriatna, 02 Agustus 1985, Bandung

Welli Kesuma Putra, 12 November 1988, Kalimantan

26

Page 24: Etnografi Tidore

D A F T A R P U S T A K A

B. Soelarto, Sekelumit Monografi Daerah Ternate, Depdikbud, Jakarta.

Sumber media Internet :

http://nukusyamsul.blogspot.com/2008/12/kesultanan-tidore.html?zx=b8d075cf65c31541

http://id.wikipedia.org/wiki/Maluku

http://www.poultryindonesia.com/modules.php?name=News&file=print&sid=1020

27