etnografi kuda lumping jalanan
DESCRIPTION
entnografi kuda lumpingTRANSCRIPT
Pendahuluan
Era perkembangan iptek atau yang lazim disebut dengan era globalisasi sangat
berpengaruh pada kehidupan masyarakat Indonesia. Globalisasi ditandai dengan keberadaan
dunia yang seolah tanpa sekat, tidak berbatas, semua bergerak cepat tanpa ada dinding pembatas,
luasnya samudara dan menghamparnya daratan seolah tidak menjadi halangan semua orang
untuk berkomunikasi, saling silang mempengaruhi dan terpengaruh dunia luar. Hal ini tentunya
menimbulkan berbagai implikasi dengan segala aspek kehidupan, baik dari segi ilmu
pengetahuan, teknologi, pertumbuhan ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
Kebudayaan merupakan sebuah hal yang tidak terlepaskan dari adanya fenomena
globalisasi. Keadaan tersebut dapat dipahami, karena dalam fenomena globalisasi
memungkinkan kita bertukar segala hal. Kebudayaan merupakan suatu hal yang mendapat
pengaruh yang besar dengan adanya fenomena globalisasi.
Kebudayaan sendiri merupakan seluruh sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar
(Koentjaraningrat, 2009:144). Artinya bahwa setiap tindakan manusia yang diperoleh dengan
cara belajar merupakan sebuah kebudayaan, dalam hal ini reflek bukan meerupakan sebuah
kebudayaan karena reflek tidak diperoleh dengan cara belajar. Kebudayaan memiliki dua
dimensi , yaitu wujud dan isi. Wujud kebudayaan ada tiga yaitu: (a) wujud kebudayaan sebagai
suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (b)
wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola manusia dalam
masyarakat; dan (c) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia
(Koentjaraningrat 1990:187). Isi kebudayaan sering juga disebut unsur-unsur kebudayaan
universal terdiri dari tujuh unsur, yaitu: (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial,
(4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi,
dan (7) kesenian (Koentjaraningrat 1990:204). Dalam 7 unsur kebudayaan yang dikemukakan
oleh Koenjraningrat, kesenian merupakan unsur yang masuk dalam kebudayaan.
Setiap masyarakat tentunya memiliki kesenian yang berbeda-beda, banyak faktor yang
mempengaruhi sebuah masyarakat memiliki kesenian berberbeda, salah satunya adalah pengaruh
dari lingkungan luar dan keadaan suatu masyarakat. Kaitannya dengan globalisasi, ternyata
berpengaruh pada pola kesenian yang ada di Indonesia, salah satu kesenian yang mengalami
perubahan itu adalah kesenian kuda lumping.
Kuda lumping merupakan salah satu kesenian yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Kesenian ini berupa tarian yang dilakukan oleh laki-laki ataupun permpuan dengan
menggunakan miniatur kuda yang terbuat dari rajutan bambu serta pernak-pernik yang khas.
Dalam pertunjukannya seringkali penari mendapat kekuatan magis sehingga tidak sadarkan diri,
bahkan tidak jarang sang penari memakan barang-barang yang berbahaya.
Konon kesenian kuda lumping sudah ada sejak jaman kerajaan-kerajaan masa lampau,
banyak daerah di nusantara yang masih melestariakan kebudayaan kuda lumping hingga saat ini.
Tarian kuda lumping banyak dijumpai di banyak dearah pulau Jawa dan masing-masing daerah
mengakui bahwa kebudayaan kuda lumping berasal dari daerahnya. Akan tetapi peralihan dari
perkembangan zaman yang terus berjalan membuat banyak perubahan dalam kesenian ini.
Kesenian kuda lumping yang ada sekarang telah mengalami berbagai perubahan baik dalam
bentuknya maupun dalam lokasi dimana kesenian itu digelar. Seperti apa yang peneliti temukan
di jalanan kota Semarang, dimana kesenian kuda lumping mangalami perubahan yang signifikan.
Pembahasan
Rubahnya wajah Kuda Lumping
Kesenian kuda lumping merupakan salah satu kesenian dari sekian banyak kesenian yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kesenian ini merupakan kesenian yang berasal dari pulau Jawa.
Tidak ada sumber pasti mengenai asal mula kesenian ini muncul, banyak dari daerah yang ada di
Jawa yang mengakui kesenian kuda lumping merupakan kebudayaan asli dari daerah mereka.
Banyak versi mengenai dimana sebenarnya asal mula kesenian ini, termasuk penamaan kesenian
ini pun berbeda-beda diberbagai daerah di Jawa, akan tetapi dari banyaknya versi tersebut
tetaplah ada kesamaan dalam penampilan yang dipertunjukan oleh para tokoh yang memainkan
kuda lumping.
Bila melihat kesenian kuda lumping sebelumnya, maka kesenian ini umumnya digelar
pada acara-acara besar seperti khitanan, upacara pernikahan atau menyambut tamu agung, akan
tetapi fenomena yang ada sekarang menunjukan bahwa kesenian ini dipertontonkan dijalanan.
Seperti apa yang saya temukan di jalan kali garang kota Semarang. Dimana kesenian kuda
lumping dipertontonkan dibawah lampu lalu lintas. Selain itu terdapat perubahan antara kuda
lumping yang ada sebelumnya dengan apa yang ada sekarang, agar lebih mudah memahai
perubahan atau perbedaan maka akan ditampilkan tabel sebagai berikut:
Pementasan Kuda Lumping yang
ada di Jalan
Pementasan Kuda Lumping yang
sesungguhnya/dahulu
Keseragaman pakaian tidak
diperhatikan
Keseragaman diperhatikan
Tidak memakai miniatur berbentuk
kuda sebagai pelengkap tarian
Memakai miniatur berbentuk kuda
sebagai pelengkap tarian
Pewarnaan wajah (make up) sebagai
penguat karakter tidak diperhatikan,
dan tidak ada maksud
Pewarnaan wajah (make up) sebagai
penguat karakter diperhatikan, dan
memiliki maksud tertentu. Contoh:
Buto (gambaran makhluk yang jahat)
menggunakan make up yang tebal, alis
yang panjang serta membuat efek wajah
terlihat menyeramkan.
Lagu yang dibawakan untuk
mengiringi tarian tidaklah penuh
Lagu yang dibawakan untuk mengiringi
tarian tidaklah penuh
Dalam pagelaran ataupun pertunjukannnya kuda lumping yang ada di jalanan para penari
hanya menampilkan tarian tanpa mengunakan miniatur kuda diiringi satu lagu tanpa penyanyi
dengan waktu yang relatif singkat. Hal tersebut dilakukan karena lampu lalu lintas yang menyala
berwarna merah, tanda berhenti, tidak berlangsung terlalu lama. Hal ini sependapat dengan apa
yang dikemukakan oleh Kaplan dan Robert A. Manners (2002:112) bahwa ”adaptasi adalah
proses yang menghubungkan sistem budaya dengan lingkungan”. Lingkungan yang tidak
memungkinkan para penari kuda lumping menari satu lagu penuh membuat sehingga kesenian
itu dilakukan dengan waktu yang singkat.
Kendati kesenian kuda lumping yang sekarang telah berbeda dengan apa yang ada
dahulu, tetapi kuda lumping sekarang masih memiliki identitas yang sama dengan yang
terdahulu, yang dengan bahasa saya masih ada “roh” yang sama baik di kesenian kuda lumping
yang dulu dengan kuda lumping yang ada sekarang. Meskipun perubahan dapat dimulai di mana
pun dalam sistem, (dalam institusi peripheral maupun inti) jika perubahan itu tidak bereaksi
dengan institusi inti itu dan mentrnasformasikannya, maka sistem sebagai suatu keseluruhan
tidak akan mengalami perubahan tipe budaya (Kaplan dan Robert A. Manners, 2002:65).
Selanjutnya menurut Kaplan dan Robert A. Manners,( 2002:65) mengatakan bahwa akan tetapi,
dalam kebanyakan kasus transformasi itu bersifat parsial atau baru saja mulai, maka yang terjadi
adalah campuran yang agak ganjil antara institusi lama dan institusi baru dimana yang lama
cenderung dominan. Dalam hal ini kesenian kuda lumping menemukan bentuk yang baru,
dimana walaupun sudah termasuki unsur yang baru tetapi tetap memiliki identitas unsur yang
lama. Hal ini dikarenakan masih adanya ideologi yang tertanam kuat di kesenian kuda lumping.
Teori noe evolusi Steward mengatakan bahwa institusi inti (ideologi) merupakan unsur yang
paling susah untuk dirubah dalam sebuah kebudayaan.
Kuda Lumping untuk hidup
Adanya perubahan yang terjadi pada kesenian kuda lumping tersebut karena adanya
perkebangan dunia, dimana pengaruh globalisasi merangsak ke segala bidang kehidupan
termasuk budaya. Globalisasi membuat kesenian kuda lumping seolah merupakan pertunjukan
yang bersifat tua dan lusuh. Anggapan tersebut membuat kesenian kuda lumping tidak diminati
lagi. Menurut pelaku kesenian kuda lumping yang ada di jalanan kota Semarang, keadaan
tersebut membuat mereka kesulitan untuk mendapatkan undangan untuk mempertunjukan
kesenian yang mereka punya. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka
mendapatkan uang dari pertunjukan kesenian kuda lumping. Adanya kendala itu membuat para
penari kuda lumping turun kejalanan untuk mendapatkan penghasilan.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikatkan oleh Seomarwoto (2004:45) bahwa untuk dapat
bertahan dan menjaga kelangsungan hidup, setiap individu harus peka terhadap perubahan yang
ada di lingkungan. Hal ini dikarenakan kelangsungan untuk beradaptasi mempunyai nilai bagi
kelangsungan setiap makhluk hidup di dunia. Makin besar kemampuan beradaptasi, maka makin
besar pula kelangsungan hidup suatu jenis. Artinya bahwa, para pelaku kesenian kuda lumping
melakukan adaptasi dengan keadaan yang ada untuk melanjutkan kehidupannya. Dengan mereka
merubah pagelaran kesenian kuda lumping kejalanan, mereka tidak lagi kesulitan untuk
mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Penutup
Simpulan:
1. Seiring dengan munculnya era global, kesenian kuda lumping mengalami perubahan
diberbagai sisi, mulai dari bentuk hingga tempat pagelaran kesenian dilangsungkan.
Kendati demikian tetapi kesenian kuda lumping tetaplah memiliki roh yang sama, dalam
arti dalam tataran gagasan atau ide masih belum banyak berubah karena disitilah unsur
kebudayaan yang paling sulit unutuk berubah.
2. Faktor penyebab perubahan kesenian kuda lumping dilatarbelakangi masalah ekonomi,
para pelaku kesenian berusaha beradaptasi dengan keadaan yang ada, dimana kesnian
kuda lumping kini tidak lagi diminati sehingga para pelaku keseniaan menggati caranya
untuk memperoleh pendapatan.
DAFTAR PUSTAKA
Kaplan, D. & Manners, R.A. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Koenjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Soemarwoto, O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:
Djambatan.