essay ham.docx

16
Hak Asasi Manusia (HAM) Sebagai Bentuk Keadilan Manusia yang mendiami bumi ini sangat beragam, manusia terdiri dari bermacam-macam etnis, beragam warna kulit, negara, suku, bahasa dan lain-lain. Dengan pluralitas tersebut manusia juga telah menciptakan beragam cara untuk membuat suatu tatanan yang dapat memberikan kesejahteraan bagi mereka yang disebut dengan konsep keadilan. Konsep keadilan telah menjadi pokok pembicaraan yang penting dan yang tidak pernah ada habisnya karena berbagai macam pemikiran dan pendapat yang berbeda-beda mengenai keadilan dan situasi yang disebut adil. Pembahasan mengenai keadilan telah ada dari jaman filsuf- filsuf tersohor dari Yunani seperti Aristoteles dan Plato. Aristoteles mengemukakan bahwa keadilan bukanlah memberikan banyak atau sedikitnya sesuatu kepada orang lain namun seseorang mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan, dan keadaan yang adil adalah kondisi dimana manusia dapat melakukan perbaikan kehidupannya ke tingkatan paling tinggi 1 . Sedangkan Plato mengemukakan keadilan yang bertumpu pada moralitas. Adil secara moral apabila telah mampu memberikan perlakuan seimbang antara hak dan kewajiban 2 . Selain kedua filsuf terkenal tersebut juga terdapat filsuf-filsuf dan scholar yang membicarakan tentang konsep keadilan. Pada masa kekinian, muncul pemikir seperti john rawls yang terkenal 1 http://www.justiceharvard.org/resources/aristotle-the-politics/ diakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 10.12 2 https://www.bu.edu/wcp/Papers/Anci/AnciBhan.htm diakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 10.12

Upload: gilang-wijaya

Post on 16-Dec-2015

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Hak Asasi Manusia (HAM) Sebagai Bentuk Keadilan

Manusia yang mendiami bumi ini sangat beragam, manusia terdiri dari bermacam-macam etnis, beragam warna kulit, negara, suku, bahasa dan lain-lain. Dengan pluralitas tersebut manusia juga telah menciptakan beragam cara untuk membuat suatu tatanan yang dapat memberikan kesejahteraan bagi mereka yang disebut dengan konsep keadilan. Konsep keadilan telah menjadi pokok pembicaraan yang penting dan yang tidak pernah ada habisnya karena berbagai macam pemikiran dan pendapat yang berbeda-beda mengenai keadilan dan situasi yang disebut adil. Pembahasan mengenai keadilan telah ada dari jaman filsuf-filsuf tersohor dari Yunani seperti Aristoteles dan Plato. Aristoteles mengemukakan bahwa keadilan bukanlah memberikan banyak atau sedikitnya sesuatu kepada orang lain namun seseorang mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan, dan keadaan yang adil adalah kondisi dimana manusia dapat melakukan perbaikan kehidupannya ke tingkatan paling tinggi[footnoteRef:2]. Sedangkan Plato mengemukakan keadilan yang bertumpu pada moralitas. Adil secara moral apabila telah mampu memberikan perlakuan seimbang antara hak dan kewajiban[footnoteRef:3]. Selain kedua filsuf terkenal tersebut juga terdapat filsuf-filsuf dan scholar yang membicarakan tentang konsep keadilan. Pada masa kekinian, muncul pemikir seperti john rawls yang terkenal dengan law of people dan distributive justicenya yang menjadi banyak rujukan bagi scholar lainnya. [2: http://www.justiceharvard.org/resources/aristotle-the-politics/ diakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 10.12] [3: https://www.bu.edu/wcp/Papers/Anci/AnciBhan.htm diakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 10.12]

Perubahan konstelasi perpolitikan di dunia setelah perang dunia pertama dan kedua banyak mengubah pandangan mengenai keadilan. Konsep mengenai perlindungan hak-hak terhadap setiap manusia mulai mencuat ditengah-tengah perbudakan, konflik antar etnis dan bentuk-bentuk diskriminasi yang lain. Hak-Hak individu mulai menjadi concern dalam bahasan keadilan. Terutama ketika negara-negara membuat suatu organisasi internasional yang beranggotakan hampir seluruh negara di dunia yaitu PBB. Dan juga dengan dikeluarkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB (General Assembly) pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III)[footnoteRef:4]. [4: http://www.kontras.org/baru/Deklarasi%20Universal%20HAM.pdf diakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 10.12]

Walaupun sebenarnya deklarasi pada tahun 1948 tersebut bukanlah pengakuan Hak Asasi Manusia yang pertama karena sebelumnya Pengakuan atas Hak Asasi Manusia (HAM) secara konstitusional telah ada di Amerika Serikat melalui Unanimous Declaration of Independence di Amerika Serikat pada tahun 1776. Dan deklarasi tersebut dijadikan contoh oleh Majelis Nasional Perancis ketika menerima deklarasi hak-hak manusia dan warga negara (Declaration des Droits de lhomme et de Citoyen) pada tanggal 26 Agustus 1789[footnoteRef:5]. Walaupun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia bukanlah yang pertama secara konstitusional yang ada di dunia namun Deklarasi tersebut menjadi tonggak utama yang dijadikan dasar, pengakuan dan penegakan HAM di seluruh dunia. Karena dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declarations of Human Rights) pengertian Hak Asasi Manusia tercantum dalam pembukaan yang pada prinsipnya Hak Asasi Manusia merupakan pengakuan atas martabat yang terpadu dalam diri setiap individu dan tak teralihkan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mengikat secara hukum bagi negara-negara PBB yang meratifikasinya. Dan dasar-dasar dari deklarasi ini dijadikan dasar hukum bagi hukum-hukum negara yang bersangkutan yang dimaksudkan untuk melindungi Hak Asasi Manusia setiap individu di masing-masing negara[footnoteRef:6]. [5: Amir Marsuki, Perlindungan dan Penegakan Hak Asasi Manusia, https://www.academia.edu/10236718/Perlindungan_Dan_Penegakan_Hak_Asasi_Manusia diakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 10.12] [6: Ibid.]

Sovereignty vs ResponsibilityKetika berbicara mengenai kedaulatan, maka sebagai mahasiswa hubungan internasional tentunya dirujukkan pada konsep kedaulatan pasca perjanjian westphalia. Bagaimana perjanjian tersebut mengakhiri perang tiga puluh tahun dan negara-negara eropa (kekaisaran romawi suci, spanyol, perancis, swedia dan republik belanda) sepakat untuk menghormati prinsip integritas wilayah atau yang saat ini disebut dengan kedaulatan[footnoteRef:7]. Negara-negara tersebut sepakat untuk menghormati kedaulatan negara lain dan mulailah muncul konsep negara bangsa yang berdaulat. [7: http://www.historytoday.com/richard-cavendish/treaty-westphalia diakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 10.12]

Konsep kedaulatan antar bangsa pun di masa setelah perang dunia kedua diperkuat oleh pembentukan Persatuan Bangsa-Bangsa. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) terbentuk setelah perang dunia kedua untuk mempromote peace and stability, menggaungkan pentingnya kedaulatan, terutama untuk negara-negara yang baru merdeka dan untuk negara-negara yang ingin lepas dari negara penjajahnya (kolonial)[footnoteRef:8]. Terdapat bait di Piagam PBB (UN Charter) yang menyatakan : "Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state."[footnoteRef:9] Hal tersebut membuktikan bahwa negara-negara di dunia harus menghormati kedaulatan negara lain tidak terkecuali. Negara-negara tidak dapat melakukan sesuatu seperti ikut campur dan mengintervensi proses-proses yang terjadi di yurisdiksi negara lain. [8: http://www.cfr.org/humanitarian-intervention/dilemma-humanitarian-intervention/p16524 diakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 10.17] [9: http://www.cfr.org/humanitarian-intervention/dilemma-humanitarian-intervention/p16524 diakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 10.23]

Namun di dalam PBB juga mengakui adanya prinsip intervensi. Seperti pada Konvensi Genosida (Genocide Convention) pada tahun 1948 yang mengesampingkan prinsip non-intervensi yang dimaksudkan untuk meletakkan komitmen bagi dunia internasional untuk dapat bersama-sama dalam menghambat dan menghukum bagi tindakan-tindakan negara dalam hal genosida[footnoteRef:10]. Namun dalam sejarahnya penghukuman komunitas internasional dalam menangani masalah genosida seringkali tidak maksimal seperti pada kasus genosida di Rwanda pada tahun 1994 dimana negara-negara lain dianggap terlambat dalam melakukan pencegahan dan penghukuman atas kejadian ini dan juga pada tahun 1995 di Bosnia.[footnoteRef:11] [10: Ibid.] [11: Ibid.]

Dalam kaitan dengan Negara dan kedaulatan, Setidaknya ada dua hal yang membuat isu intervensi ini sulit untuk mendapat legitimasi secara universal, yang pertama yaitu upaya tersebut sering mendapat tantangan yang tegas terhadap asumsi-asumsi statis , yaitu yang berkaitan dengan Negara dan kedaulatannya, hal ini terjadi karena pada dasarnya upaya tersebut mengisyaratkan kedaulatan bagi manusia secara individual, bahkan kehadiran Negara hanya untuk melindungi hak tersebut seperti yang diungkapkan koffi annan 3Konsep 'kedaulatan negara', kini sedang mengalami pendefinisian ulang bukan lagi semata-mata karena kekuatan globalisasi dan kerja sama internasional.[footnoteRef:12] [12: http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=6001&coid=1&caid=34&gid=1 diakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 10.23]

Negara, kini mulai dipahami sebagai alat untuk melayani rakyatnya, bukan sebaliknya, sehingga terkadang muncul beberapa masalah yang berkaitan dengan hak-hak pemerintah untuk mengatur negaranya terutama yang berkaitan dengan hak kekerasan yang dimiliki oleh Negara, meskipun hal tersebut adalah jelas baik secara konseptual maupun administratif masih tetap saja ada pihak yang menyebutnya pelanggaran oleh negara terutama pelanggaran terhadap HAM. Sementara secara riil hal ini belum dipahami dan disepakati secara universal, yang kedua yaitu penetapan nilai-nilai universal itu secara tak terhindarkan menuntut kesepakatan akan nilai-nilai khusus yang terkait dengan usaha mensejahterakan manusia, hal tersebut agak sulit dicapai didalam dunia dimana terdapat banyak ideology dan masing-masing memiliki perspektif berbeda dalam melihat usaha-usaha untuk mewujudkan kesejahtraan bagi manusia. Perbedaan idiologi tersebut tentu sangat berpengaruh karena dianggap sebagai dasar berfikir sehingga dalam konteks Negara hal tersebut diterjemahkan langsung dalam regulasi dan pembuatan kebijakan pemerintah Negara yang bersangkutan, dari regulasi tersebut dapat kita lihat gambaran metodologi yang digunakan untuk mensejatherakan rakyatnya, dan dari methodologi-methodologi tersebut dapat kita lihat bagaimana sebuah Negara melihat dan atau memperlakukan rakyatnya, sedangkan melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh sebuah pemerintah dapat kita lihat prioritasnya dalam hal ini bidang atau hal-hal apa saja yang menjadi prioritas sebuah Negara dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Hal penting yang perlu digaris bawahi dan mendapat perhatian lebih dalam melihat masalah diatas adalah terkadang sebuah idiologi atau pahaman dasar dalam menjalankan sebuah negara telah melihat semua hal telah ada dalam satu paket sehingga ketika ingin mengintegrasikan sebuah pahaman harus ada yang melemah karena apabila dipaksakan maka akan sulit bertemu dan sangat memungkinkan hanya berkembang menjadi perdebatan yang tiada akhirnya.Gelombang perubahan paradigma dari paradigma kedaulatan yang statis dan absolut menjadi konsep kedaulatan yang lebih dinamis dan negotiable mulai ramai dijadikan pakem oleh aktor-aktor hubungan internasional masa kini sebagai bentuk yang lebih adil. Seperti pada tahun 2000, pemerintahan Kanada dan beberapa aktor lain mengumumkan pembentukan International Commision on Intervention and State Sovereignty (ICISS) sebagai respon terhadap tantangan internasional mengenai tanggung jawab masyarakat internasional dalam menghadapi pelanggaran hak asasi manusia[footnoteRef:13]. Gareth Evans sebagai wakil ketua International Crisis Group dan diplomat Algeria Mohammed Sahnoun mendorong agar dunia internasional merespon tantangan-tantangan mengenai pelanggaran HAM di belahan dunia lainnya yang selalu bertabrakan dengan konsep kedaulatan. Mereka menginginkan perubahan makna bukan lagi tentang hak untuk mengintervensi right to intervene tetapi tanggung jawab untuk melindungi responsibility to protect.[footnoteRef:14] [13: http://www.cfr.org/humanitarian-intervention/dilemma-humanitarian-intervention/p16524 diakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 11.04] [14: http://www.cfr.org/humanitarian-intervention/dilemma-humanitarian-intervention/p16524 diakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 11.04]

Human Rights and Responsibility to Protect sebagai bentuk keadilanMerujuk kepada pandangan salah satu scholar yang berpendapat bahwa Hak Asasi Manusia adalah suatu bentuk keadilan yaitu David Miller. David Miller mengemukakan gagasan baru mengenai keadilan, dan menolak gagasan mengenai global justice yang berarti global equality mengenai kekayaan, kesejahteraan, peluang dan harus menciptakan dan menjalankannya di well ordered society keseluruh masyarakat dunia agar semua setara . David Miller memang tetap mempertahankan ide bahwa setiap individu adalah subjek keadilan[footnoteRef:15]. David Miller mencoba untuk memberikan suatu jawaban atas pertanyaan bagaimana agar keadilan dapat diraih semua orang dan pemenuhan keadilan menurut Miller ini tidaklah semuluk pemikiran John Rawls namun cukup dengan pemenuhan hak-hak dasar kepada seluruh manusia di muka bumi tanpa terkecuali. Hak-hak dasar tersebut adalah yang sering kita dengar dengan sebutan Hak Asasi Manusia atau HAM. HAM dalam pandangan David Miller adalah sesuatu yang mengikat pada setiap individu di belahan dunia manapun tanpa pandang bulu. Oleh karena itu HAM disini adalah tolak ukur minimal bagaimana keadilan telah ditegakkan kepada manusia tersebut atau tidak[footnoteRef:16]. [15: Miller, David. National Responsibility and Global Justice. Oxford University Press Inc., New York. 2007. United states] [16: Ibid.]

Negara adalah pihak yang bertanggung jawab untuk melindungi dan memastikan Hak Asasi Manusia ditegakkan kepada selutuh masyarakatnya. Namun tidak selalu setiap negara menegakkan dan memiliki kapabilitas untuk melindungi HAM masyarakatnya ataupun negara terkadang memang mengorbankan Hak Asasi Manusia masyarakatnya dengan alasan kepenringan nasionalnya. Maka dari itu tanggungjawab untuk melindungi HAM ini akan jatuh kepada masyarakat lain atau negara lain yang sering kita dengar dengan istilah Responsibility to Protect.[footnoteRef:17] Dalam hal ini, negara lain memiliki tanggung jawab untuk menegakkan keadilan tersebut dan tidak boleh hanya membiarkan manusia di tempat lain diinjak-injak Hak Asasinya. Selain itu tanggungjawab ini juga dapat diturunkan ke generasi berikutnya dan tidak ada istilah bahwa hal tersebut hanyalah tanggung jawab pendahulu saja ketika permasalahan HAM tersebut belum selesai. Dapat dikatakan bahwa tanggungjawab ini adalah tanggung jawab kolektif bagi setiap negara atau Collective National Responsibility seperti yang dituliskan oleh David Miller[footnoteRef:18]. [17: Ibid.] [18: Miller, David. National Responsibility and Global Justice. Oxford University Press Inc., New York. 2007. United states]

Negara memiliki power dan kapabilitasnya sendiri seperti kekayaan wealth ataupun military power yang mana dapat digunakan untuk membantu negara lain yang sedang terseok-seok dan tidak dapat memenuhi HAM masyarakatnya. Jangkauan dari Responsibility to Protect ini across border, atau tidak peduli kepada batas-batas negara karena negara lain berhak untuk mengintervensi untuk melakukan tanggungjawab tersebut. Negara-negara memang berusaha keras untuk terus meningkatkan kapabilitas powernya karena itu juga demi melindungi masyarakatnya termasuk HAM masyarakat tersebut, dan juga terutama kepada negara yang memiliki power lebih. Dalam hal ini sisi moralitaslah yang dikedepankan, negara memang berhak untuk kaya dan memperkaya diri namun juga masih ada nilai-nilai moralitas yang membuat negara tersebut memiliki tanggungjawab untuk melindungi pihak yang tidak mendapatkan keadilan, terutama membantu negara atau yang tidak mampu untuk menegakkan HAM.[footnoteRef:19] [19: Ibid.]

Studi Kasus : Konflik di Libya dan Intervensi PBB di Liberia Konflik di Liberia terjadi berangsur-angsur lamanya semenjak tahun 1980an banyak sekali konflik-konflik kekerasan yang menimbulkan banyak korban jiwa di Liberia. Mereka berkonflik dengan sesama warga negara mereka atau biasa disebut dengan perang saudara. Perang saudara ini salah satu penyebab utamanya adalah kecemburuan kepada suatu etnis di Liberia yaitu etnis America-Liberia yang telah lama menduduki mayoritas jabatan pemerintahan yang membuat etnis lainnya merasa cemburu dan memberontak terhadap pemerintahan yang ada dan terjadilah konflik-konflik kekerasan yang didasari oleh kecemburuan tersebut[footnoteRef:20]. [20: http://www.insightonconflict.org/conflicts/liberia/conflict-profile/ diakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 11.00]

Konflik tersebut tidak terlepas dari fakta sejarah yang membuktikan bahwa Liberia adalah negara satu-satunya yang menjadi daerah kolonial dari Amerika Serikat di Afrika. Sekitar tahun 1820-an negara ini banyak didatangi oleh budak-budak yang telah merdeka dari Amerika Serikat. Mereka membentuk suatu koloni disana dan memberikan nama pada suatu tempat yang mereka tinggali dengan nama Monrovia untuk menghormati jasa dari presiden Amerika Serikat James Monroe pada saat itu yang telah mendanai dan melindungi mereka dari serangan para penduduk asli disana karena menolak kehadiran orang amerika di daerah tersebut. Dengan dukungan dari Amerika Serikat mereka bisa mengkolonisasi daerah tersebut dan mereka membentuk suatu negara yang merdeka yang diperintah oleh warga minoritas Amerika-Liberia.[footnoteRef:21] [21: https://history.state.gov/milestones/1830-1860/liberiadiakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 11.01]

Mulai pada saat itu pemerintahan Liberia dikuasai oleh kelompok minoritas Amerika-Liberia dan keturunan-keturunannya. Hal ini membuat gesekan antara penduduk asli Liberia dan kelompok minoritas yang telah ratusan tahun berkuasa di Liberia. Puncaknya pada tahun 1980 yang pada saat itu presiden Liberia William R. Tolbert Jr. dari keturunan Amerika Liberia dikudeta pada bulan April 1980 oleh pemimpin dari salah satu suku di Liberia yaitu suku Krahn yaitu Samuel Doe. Di masa pemerintahan Samuel Doe etnis krahn mendapatan perlakuan yang istimewa dibanding dengan etnis-etnis yang lainnya[footnoteRef:22]. Diskriminasi yang diterapkan pada pemerintahan Samuel Doe jelas menimbulkan kecemburuan sosial bagi etnis-etnis lainnya. Situasi tersebut membuat banyak bermunculan gerakan-gerakan anti Samuel Doe. Puncaknya pada tahun 1989, perang saudara pun pecah di Liberia. Pemberontak yang telah menjalani pelatihan militer di Libya mulai menyerang pemerintah Liberia. Pemberontak tersebut di bawah pimpinan Charles G. Taylor yaitu keturunan campuran America-Liberia dan penduduk asli. Pemberontakan ini berhasil karena banyak dari warga Liberia mendukung pemberontakan ini dikarenakan mereka tidak menyukai cara kepemimpinan dari Samuel Doe. Doe akhirnya dikalahkan dan dibunuh pada tanggal 9 September 1990[footnoteRef:23]. [22: http://www.peri.umass.edu/fileadmin/pdf/Liberia.pdfdiakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 11.01] [23: http://www.liberiapastandpresent.org/charles_taylor.htmdiakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 11.05]

Konflik yang terjadi di sepanjang 1989-1996 merupakan salah satu konflik sipil paling berdarah di Afrika. Konflik tersebut menewaskan lebih dari 200,000 rakyat Liberia dan 1 juta orang mengungsi di kamp-kamp pengungsian di negara-negara tetangga[footnoteRef:24]. Sebuah kesepakatan damai yang dihelat pada tahun 1995 mengantarkan Taylor sebagai Presiden Liberia melalui Pemilihan tahun 1997. Selama kepemimpinan Taylor, NPFL yang sebelumnya adalah tentara pemberontak dijadikan tentara nasional Liberiadan Liberia kembali terjerumus ke peperangan. Tidak hanya berurusan dengan konflik dalam negeri saja namunkali ini melibatkan negara tetangga seperti Sierra Leone. Hal ini lantaran keterlibatan Taylor dalam memberikan dukungan kepada kelompok pemberontak pemerintah Sierra Leone, Revolutionary United Front.Pada tahun 1999, kelompok pemberontak Liberians United for Reconciliation and Democracy (LURD) melakukan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah Taylor. Rezim Taylor semakin terdesak ketika pada Maret 2003, muncul kemudian Movement for Democracy in Liberia (MODEL) yang juga merupakan gerakan perlawanan anti pemerintahan Taylor[footnoteRef:25]. Hal ini menambah banyak sekali jajaran musuh dan pemberontak-pemberontak yang melawan rezim Taylor yang semakin melemahkan kekuatannya. [24: Ibid] [25: http://www.liberiapastandpresent.org/charles_taylor.htmdiakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 11.05]

Pada akhirnya karena rezim presiden Taylor yang semakin melemah, mereka melakukan perundingan damai di Accra, ibukot Ghana. bulan Juni 2003[footnoteRef:26], untuk membicarakan solusi keluar atas krisis. Sebagai hasil dari kesepakatan tersebut, Taylor bersedia mundur dan kemudian pergi ke pengasingan di Nigeria. Penandatanganan perdamaian diteken pada bulan Agustus 2003. Dan selanjutnya demi menjaga keutuhan dan stabilitas keamanan di Liberia, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi nomor 1509 tahun 2003 yang diberinama UNMIL (United Nations Mission in Liberia pada bulan September untuk menjaga keamanan dan mengawal proses perdamaian yang berlangsung[footnoteRef:27]. [26: http://www.wmd.org/resources/whats-being-done/ngo-participation-peace-negotiations/history-conflict-liberiadiakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 11.06] [27: http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/unmil/mandate.shtml diakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 11.25]

Kehadiran UNMIL menggantikan misi PBB lainnya, UNOL (United Nations Peace-building Support Office in Liberia ) yang bertugas mengawasi pemerintahan transisi sejak naiknya Taylor sebagai Presiden tahun 1997. UNOL dianggap gagal menghentikan kekerasan selama masa tugasnya selama 6 tahun. Akhirnya, misi UNOL diakhiri pada bulan Juli 2003.Sejak didirikan pada tahun 2003, UNMIL (United Nations Missions in Liberia) memainkan peranan penting dalam memberikan asistensi kepada pemerintahan transisional Liberia. UNMIL melakukan upaya-upaya pembangunan kembali Liberia pasca konflikUNMIL diterjunkan di Liberia atas restu DK PBB dengan membawa kekuatan sebanyak 15.000 pasukan dari lebih dari 20 negara, termasuk 250 pengamat militer, 160 perwira staf, hingga 875 sipil polisi dan lima unit tambahan terbentuk bersenjata masing-masing terdiri 120 petugas, komponen sipil dan staf pendukung yang diperlukan. Kehadiran UNMIL menggantikan misi PBB lainnya, UNOL (United Nations Peace-building Support Office in Liberia ) yang bertugas mengawasi pemerintahan transisi sejak naiknya Taylor sebagai Presiden tahun 1997. UNOL dianggap gagal menghentikan kekerasan selama masa tugasnya selama 6 tahun. Akhirnya, misi UNOL diakhiri pada bulan Juli 2003[footnoteRef:28]. [28: http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/unmil/facts.shtmldiakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 11.25]

Pasukan Perdamaian UNMIL yang dikepalai Letnan Jenderal Daniel Opande dari Kenya tersebut dibagi menjadi 4 formasi, dimana setiap formasi bertugas mengamankan sektor wilayah penjagaannya. Untuk menunjang efektifitas kegiatannya, masing-masing sektor dibekali dengan satuan tempur, insinyur, dan tim medis.Tugas utama UNMIL adalah untuk membantu Pemerintah Transisi Nasional dalam memperluas otoritas Negara di seluruh Liberia, untuk memberikan keamanan di instalasi-instalasi penting pemerintah, khususnya pelabuhan, bandara dan infrastruktur vital lainnya, untuk menjamin keamanan dan kebebasan bergerak personil PBB, untuk memfasilitasi pergerakan bebas orang, bantuan kemanusiaan dan barang, serta untuk melindungi warga sipil yang berada di bawah ancaman kekerasan fisik[footnoteRef:29]. [29: http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/unmil/mandate.shtml diakses pada tanggal 3 Mei 2015 pada pukul 11.25]

Analisa tindakan Liberia sebagai negara, HAM dan Intervensi sebagai bentuk keadilanKonflik yang terjadi tidak terlepas dari kediktatoran penguasa negara tersebut yang bermaksud untuk mempertahankan kekuasaannya. Pada awalnya suku dari pihak Amerika-Liberia sengaja untuk menduduki sebagian besar jabatan elit politik oleh suku mereka sendiri agar mempermudah jalan mereka menentukan kebijakan negara. Oleh karena itu penentuan national interest ada di tangan mereka karena menurut mereka national interest dari pandangan merekalah yang benar, bukan dari suku lain. National interest dalam hal ini dimaksudkan agar negara mendapatkan power yang sebanyak-banyaknya karena kondisi politik internasional yang anarki agar negara dapat survive. Seperti yang dikemukakan oleh Mearsheimer bahwa negara harus mendapatkan power dan memaksimalkan apa yang mereka punya untuk survive adalah pandangan keadilan menurut negara.Di sisi lain ketika satu etnis atau suku menguasai pemerintahan dan menimbulkan kecemburuan sosial menyebabkan konflik yang berkepanjangan di Liberia memberikan dampak kerusakan yang sangat besar baik itu dalam hal korban jiwa maupun kerugian materi dan diskriminasidiskriminasi antar etnis yang merajalela. Kerusakan-kerusakan tersebut harus ditanggung oleh masyarakat Liberia. Ratusan ribu nyawa melayang dan jutaan harus terusir dari kampung halamannya dan mengungsi ke negara lain. Dalam hal ini Liberia sebagai negara tidak dapat melindungi Hak Asasi Manusia masyarakatnya. Munculnya pemberontakan sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap ketidakadilan yang mereka terima. Pelanggaran Hak Asasi Manusia oleh Liberia pada saat itu seperti kekerasan seksual yang sering dibiarkan oleh negara terhadap anak-anak dan wanita, kepemilikan properti apapun oleh warga yang bukan keturunan kulit hitam tidak diperbolehkan, warga yang bukan keturunan kulit hitam tidak bisa mendapat kewarganegaraan, dan diskriminasi perlakuan bagi etnis minoritas[footnoteRef:30]. [30: http://unmil.unmissions.org/Default.aspx?tabid=3957&language=en-US diakses pada tanggal 4 Mei 2015 pada pukul 22.35]

Oleh karena itu jika merujuk kepada pemenuhan keadilan dari David Miller yang mengatakan bahwa keadilan bukanlah pemerataan kekayaan yang harus dibagi ke setiap orang namun lebih kepada pemenuhan hak-hak dasar manusia seperti hak hidup, hak mendapat perlakuan yang sama di mata hukum, hak kepemilikan properti, dan hak-hak lainnya yang tercantum di Universal Declaration of Human Rights. Maka dalam hal ini negara Liberia gagal dan tidak mampu melindungi dan memberikan keadilan bagi masyarakatnya. Oleh karena itu negara lain ataupun masyarakat internasional memiliki tanggung jawab untuk melindungi (Responsibility to Protect) hak-hak asasi masyarakat yang ada di Liberia. Bentuk tanggung jawab untuk melindungi Hak Asasi Manusia masyarakat Liberia oleh masyarakat internasional adalah dengan mengirimkan pasukan perdamaian dari banyak negara melalui PBB dalam misi-misi perdamaiannya seperti UNOL dan UNMIL untuk melindungi Hak Asasi Manusia masyarakat di Liberia.