epistemologi irfani
DESCRIPTION
Berbeda dengan pengetahuan pada umumnya yang digali dari objek eksternal (korespondesi), pengetahuan irfani digali dari diri sendiri, tepatnya dari realitas kesadaran diri yang dalam bahasa tasawuf disebut kasyf. Objeknya tidak lain hanya bersifat immaterial dan essensial, bersifat swaobjektif (self-object-knowledge), sehingga apa yang disebut sebagai objektivitas objek tidak lain bersifat analitis dan terwujudkan dalam tindakan mengetahuai itu sendiri.TRANSCRIPT
1
EPISTEMOLOGI IRFANI
Oleh: A Khudori Soleh
Irfan dari kata dasar bahasa Arab ‘arafa semakna dengan makrifat, berarti
pengetahuan.1 Tetapi ia berbeda dengan ilmu (`ilm). Irfan atau makrifat berkaitan
dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman
(experience), sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat
transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Karena itu, secara terminologis, irfan
bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat
penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hamba-Nya (kasyf) setelah adanya olah
ruhani (riyâdlah) yang dilakukan atas dasar cinta (love).2 Kebalikan dari
epistemologi bayani, sasaran bidik irfani adalah aspek esoterik syareat, apa yang
ada dibalik teks.
A. Sumber Asal Irfani.
Para ahli berbeda pendapat tentang asal sumber irfan. Pertama,
menganggap bahwa irfan Islam berasal dari sumber Persia dan Majusi, seperti yang
disampaikan Dozy dan Thoulk. Alasannya, sejumlah besar orang-orang Majusi di
Iran utara tetap memeluk agama mereka setelah penaklukan Islam dan banyak
tokoh sufi yang berasal dari daerah Khurasan. Disamping itu, sebagian pendiri
aliran-aliran sufi berasal dari kelompok orang Majusi, seperti Ma`ruf al-Kharki (w.
815 M) dan Bayazid Busthami (w. 877 M).3
Kedua, irfan berasal dari sumber-sumber Kristen, seperti dikatakan Von
Kramer, Ignaz Goldziher, Nicholson, Asin Palacios dan O’lery. Alasannya, (1)
adanya interaksi antara orang-orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliyah
maupun zaman Islam. (2) adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para Sufis,
dalam soal ajaran, tata cara melatih jiwa (riyâdlah) dan mengasingkan diri
(khalwât), dengan kehidupan Yesus dan ajarannya, juga dengan para rahib dalam
soal pakaian dan cara bersembahyang.4
Ketiga, irfan ditimba dari India, seperti pendapat Horten dan Hartman.
Alasannya, (1) kemunculan dan penyebaran irfan (tasawuf) pertama kali adalah di
Khurasan, (2) kebanyakan dari para sufi angkatan pertama bukan dari kalangan
1 Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1993), 251. 2 Mehdi Hairi Yazdi, Ilmu Hudhuri, terj. Ahsin M, (Bandung, Mizan, 1994), 47-8 dan
241; Thabathabai, ‘Pengantar’, dalam Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual, terj. Nasrullah, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1995), 10.
3 RA. Nicholson, Fî al-Tashawuf al-Islami wa al-Tarikhuh, disunting oleh Afifi, (Kairo, Lajnah al-Taklif wa al-Tarjamah wa al-Nasyr, 1974), iii. Uraian tentang Makruf kharki dan Yazid Busthami, lihat Farid al-Din al-Attar, Warisan Para Aulia, terj. Anas Muhyidin, (Bandung, Pustaka, 1994).
4 Musthafa Hilmi, al-Hayah al-Rûhiyah fî al-Islâm, (Kairo, tp, 1945), 44; Nicholson, al-Shufiyah fî al-Islâm, terj. Nurudin Syaribah, (Kairo, tp. 1951), 12; Nicholson, Mistik dalam Islam, terj. Tim Bumi Aksara, (Jakarta, Bumi Aksara, 1998), 8-9.
2
Arab, seperti Ibrahim ibn Adham (w. 782 M), Syaqiq al-Balkh (w. 810 M) dan
Yahya ibn Muadz (w. 871 M). (3) Pada masa sebelum Islam, Turkistan adalah
pusat agama dan kebudayaan Timur serta Barat. Mereka memberi warna
mistisisme lama ketika memeluk Islam. (4) Konsep dan metode tasauf seperti
keluasan hati dan pemakaian tasbih adalah praktek-praktek dari India.5
Keempat, irfan berasal dari sumber-sumber Yunani, khususnya neo-
platonisme dan Hermes, seperti disampaikan O’leary dan Nicholson. Alasannya,
‘Theologi Aristoteles’ yang merupakan paduan antara sistem Porphiry dan Proclus
telah dikenal baik dalam filsafat Islam. Kenyataannya, Dzun al-Nun al-Misri (796-
861 M), seorang tokoh sufisme dikenal sebagai filosof dan pengikut sains
hellenistik.6 Jabiri agaknya termasuk kelompok ini. Menurutnya, irfan diadopsi
dari ajaran Hermes, sedang pengambilan dari teks-teks al-Qur`an lebih
dikarenakan tendensi politik. Sebagai contoh, istilah maqâmat yang secara lafzi
dan maknawi diambil dari al-Qur`an (QS. Al-Fusilat 164), identik dengan konsep
Hermes tentang mi`raj, yakni kenaikan jiwa manusia setelah berpisah dengan raga
untuk menyatu dengan Tuhan. Memang ada kata maqâmat dalam al-Qur`an
tetapi dimaksudkan sebagai ungkapan tentang pelaksanaan hak-hak Tuhan
dengan segenap usaha dan niat yang benar, bukan dalam arti tingkatan atau
tahapan seperti dalam istilah al-Hujwiri (w. 1077 M).7
Persoalannya, benarkah irfan berasal dari sumber luar Islam? Benarkah
Islam sendiri tidak mempunyai ajaran soal irfan? Menurut Nicholson,8 irfan atau
sufisme adalah sesuatu yang rumit dan komplek, sehingga tidak bisa dikemukakan
jawaban sederhana atau berdasarkan satu aspek tentang asal-usulnya. Berdasarkan
landasan ini kita mencoba melihat asal dan sumber irfan.
Pendapat pertama, bahwa irfan berasal dari sumber Persia dan Majusi, jelas
tidak mempunyai dasar pijakan yang kokoh. (1) Perkembangan irfan dan sufisme
tidak sekedar upaya Ma`ruf al-Kharki dan Bayazid Busthami. Banyak tokoh Sufis
Arab yang hidup di Mesir, Syiria dan Baghdad, seperti Dzun al-Nun al-Misri (w.
861 M), Abd al-Qadir Jilani (w. 1165 M), ibn Arabi (w. 1240 M), Umar ibn Faridl
(w. 1234 M), dan Ibn Athaillah al-Ikandari (w. 1309 M). Mereka bahkan tokoh
yang memberi pengaruh besar bagi perkembangan irfan dikemudian hari. (2)
Kemunculan Ma`ruf al-Kharki (w. 815 M) dan Bayazid Busthami (w. 877 M)
adalah setelah zaman Rasul, para sahabat dan angkatan pertama kaum sufisme. Ini
berarti mengabaikan sama sekali pengaruh kehidupan Rasul, para sahabat dan
tokoh pertama angkatan sufisme, seperti Hasan al-Basri (w. 728 M), Malik ibn
5 Musthafa Hilmi, al-Hayah al-Rûhiyah fî al-Islâm, 35; Nicholson, Fî al-Tashawuf al-
Islami, viii. Uraian tentang tokoh-tokoh Sufis yang disebutkan, lihat al-Attar, Warisan Para Aulia, terj. Anas Muhyidin, (Bandung, Pustaka, 1994).
6 Nicholson, Mistik dalam Islam, 10-11; Abu al-Wafa Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. Rafi Usmani, (Bandung, Pustaka, 1985), 29-30. Tentang Dzun al-Nun al-Misri, lihat al-Attar, Warisan Para Aulia, 111-126.
7 Al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, 372-3. Uraian tentang maqâmat al-Hujwiri, lihat al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjûb, (Beirut Dar al-Nahdlah, 1980), 616.
8 Nicholson, Mistik dalam Islam, 7-8.
3
Dinar (w. 748 M), Rabiah al-Adawiyah (w. 752 M) dan Ibrahim ibn Adham (782
M).9
Pendapat kedua, irfan dari Kristen. Memang diakui ada kemiripan antara
tasauf Islam dengan mistisisme Kristen, tetapi hal tidak cukup dijadikan alasan
bahwa irfan berasal dari sumber Kristen. Begitu pula tidak diingkari ada pengaruh
ajaran Kristen pada sebagian tokoh sufis, seperti al-Hallaj (858-913 M) yang
menggunakan terminologi Kristen, seperti malakût, lahût dan nasût. Tetapi, gejala
seperti itu baru muncul pada masa akhir, setelah masa kedua dan ketiga sufisme
cukup mapan dan berpotensi menyangga munculnya angkatan tasawuf
berikutnya.10 Ajaran al-Qur`an, Sunnah, kehidupan Rasul dan para sahabat lebih
menyakinkan kita bahwa irfan dan latihan ruhani diambil dari sumber Islam
sendiri. Nicholson sendiri, pada kajian akhirnya, menyangkal dasar irfan dari luar
Islam. Menurutnya, Kristen memang mempunyai pengaruh pada pertumbuhan
irfan tetapi bukan sebagai sumbernya.11
Pendapat ketiga, irfan dari sumber India. Tidak berbeda dengan pertama,
pendapat ini bahkan lebih tidak bisa diterima nalar. Tidak ada bukti konkrit yang
menunjukkan bahwa kaum sufis mengetahui doktrin dan latihan ruhani kaum
Hindu kecuali pada Abd al-Haqq ibn Sab`in (w. 1270 M), yang menulis al-Risâlah
al-Nuriyah. Disana ada bentuk pujian yang dikutip dari kalangan Hindu.12 Tapi ini
tidak ada artinya, karena sufisme dan irfan telah terpancang kuat lebih dari 6 abad
sebelumnya. Kaum orientalis sendiri, seperti Nicholson, O’leary dan EG. Browne
menolak pendapat tersebut.13
Pendapat keempat, irfan dari Yunani, Neo-platonis atau Hermes. Tidak
diingkari adanya pengaruh Yunani terhadap irfan. Pemikiran illuminasi dan wujud
tunggal Plotinus (205-270 M) berpengaruh pada beberapa tokoh sufi, seperti
Suhrawardi (1153-1191 M), Ibn Arabi (1165-1240 M), ibn Faridl (w. 1234 M),
Abd Karim al-Jilli (1365-1402 M) dan lainnya. Namun, menurut Taftazani,14 hal
itu bukan berarti semua tasawuf atau irfan Islam mesti bersumber dari Yunani.
Sebab, sikap angkatan pertama kaum sufi terhadap filsafat Yunani berbeda dengan
kaum teolog dan filosof abad-abad berikutnya. Para sufi tidak membuka diri
terhadap filsafat Yunani kecuali periode akhir, yakni ketika mereka dengan
sengaja berusaha mengkompromikan intuisinya dengan wawasan intelektualnya,
setelah masuk abad keenam hijriyah.
Disamping itu, tasawuf atau irfan berkaitan dengan kesadaran dan
perasaan. Perasaan dan jiwa manusia adalah satu dan sama, meski berbeda ras dan
9 Uraian tentang kehidupan tokoh-tokoh ini, lihat al-Attar, Warisan Para Aulia, 22-100;
Muthahari, Menapak Jalan Spiritual, terj. Nasrullah, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1995), 39-40. 10 Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, 27. 11 Nicholson, Literary History of the Arabs, sebagaimana dikutip Taftazani, Sufi Dari
Zaman ke Zaman, 26. 12 Abu al-Wafa Taftazani, Ibn Sab`in wa Falsafatuh al-Shufiyah, ((Beirut, Dar al-Kitab
al-Lubnani, 1973), 133. 13 Nicholson, Mistik dalam Islam, 13-15; Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, 28-29. 14 Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, 31.
4
bangsa. Apapun yang berkaitan dengan jiwa manusia, lewat latihan-latihan
ruhani, bisa jadi sama, meski tanpa ada kontak diantara keduanya, sehingga
adanya kesamaan antara irfan dengan gnostisme asing bukan berarti menunjukkan
adanya keterpengaruhan. Karena itulah, pada aspek esoteris ini, Ibn Arabi
menelorkan ide wahdat al-adyân (kesatuan agama). Begitu pula yang dilihat
Huston Smith, bahwa hakekat seluruh agama ini adalah sama dan bertemu dalam
aspek esoterik (hakekat) atau irfan, meski pada aspek eksoterik berbeda.15 Inilah
yang tidak dilihat oleh pengamat lain, termasuk Jabiri dari analisanya yang
menggunakan pendekatan antropologi.
Dengan demikian, irfan sesungguhnya berasal dari sumber Islam sendiri,
tetapi dalam perkembangannya kemudian dipengaruhi oleh faktor luar, Yunani,
Kresten, Hindu atau yang lain. Beberapa tokoh orientalis seperti Nicholson, Louis
Massignon, Spencer Trimingham, juga menyatakan hal yang sama tentang sumber
asal irfan atau sufisme Islam.16
B. Perkembangan Irfani.
Perkembangan irfan, secara umum, bisa dibagi dalam lima fase. Pertama,
fase pembibitan, terjadi pada abad pertama hijriyah. Pada masa ini, apa yang
disebut irfan baru ada dalam bentuk laku zuhûd (askestisme). Kenyataan ini,
menurut Thabathabai, karena para tokoh sufisme yang dikenal sebagai orang-
orang suci tidak berbicara tentang irfan secara terbuka, meski mengakui bahwa
mereka dididik dalam spiritualisme oleh Rasul atau para sahabat.17 Karakter
askestisme periode ini adalah (1) berdasarkan ajaran al-Qur`an dan sunnah, yakni
menjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala dan menjaga diri dari neraka. (2)
bersifat praktis, tanpa ada perhatian untuk menyusun teori atas praktek-praktek
yang dilakukan. (3) Motivasi zuhûdnya adalah rasa takut, yakni rasa takut yang
muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh.18
Kedua, fase kelahiran, terjadi pada abad kedua hijrah. Pada masa ini,
beberapa tokoh sufisme mulai berbicara terbuka tentang irfan. Karya-karya
tentang irfan juga mulai ditulis, diawali Ri`âyat Huqûq Allâh karya Hasan Basri
(642-728 M) yang dianggap sebagai tulisan pertama tentang irfan, kemudian
diikuti Mishbah al-Syarî`ah karya Fudlail ibn Iyadl (w. 803 M). Laku askestisme
juga berubah. Jika awalnya dilakukan atas dasar takut dan mengharap pahala,
dalam periode ini, di tangan Rabiah Adawiyah (w. 801 M), zuhûd dilakukan atas
dasar cinta kepada Tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala.
15 Husein Nasr, Tiga Pemikir Islam: Ibn Sian, Suhrawardi, Ibn Arabi, terj. Mujahid,
(Bandung, Risalah, 1986), 161-63; Huston Smith, ‘Introduction’, dalam Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions, (New York, Horper & Row, 1975),xi-xii; Martin Lings, Membedah Tasawuf, terj. Djohan Effendi, (Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1991), 8-16.
16 Nicholson, Fî al-Tashawuf al-Islami, xvi; JS. Trimingham, The Sufi Orders in Islam, (London, Oxford University Press, 1971), 2; Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, 32-34..
17 Thabathabai, Pengantar, 11. 18 Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, 89-90.
5
Menurut Nicholson, zuhûd ini adalah model prilaku irfan yang paling dini atau
irfan periode awal.19
Ketiga, fase pertumbuhan, terjadi abad 3-4 hijrah. Sejak awal abad ke-3 H,
para tokoh sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan
(akhlâq). Pembahasan masalah ini, lebih lanjut, mendorong mereka untuk
membahas soal pengetahuan intuitif berikut sarana dan metodenya, tentang Dzat
Tuhan dan hubungan-Nya dengan manusia atau hubungan manusia dengan-Nya,
yang kemudian disusul perbincangan tentang fana’ (ecstasy), khususnya oleh Abu
Yazid Bustami (w. 877 M) dan hulûl (imanensi Tuhan dalam manusia) oleh al-
Hallaj (858-913 M). Dari perbincangan-perbincangan seperti ini kemudian
tumbuh pengetahuan irfan, seperti al-Lum`ah fî al-Tashawûf yang ditulis Abu
Nashr Sarraj al-Thusi ( w. 988 M) dan Quthb al-Qulûb karya Abu Thalib al-Makki
(w. 996 M).20
Bersamaan itu, sejumlah tokoh sufisme, seperti Sirri al-Saqathi (w. 867 M),
Abu Said al-Kharraz (w. 895 M), dan Junaid al-Baghdadi (w. 910 M), juga
mempunyai banyak murid. Menurut Taftazani, inilah cikal bakal bagi
terbentuknya tarikat-tarikat sufi dalam Islam, di mana sang murid menempuh
pelajaran dasarnya secara formal dalam suatu majlis. Dalam tariqat ini, sang murid
mempelajari tata tertib irfan, teori maupun prakteknya.21
Dengan demikian, pada fase ini, irfan telah mengkaji soal moral, tingkah
laku dan peningkatannya, pengenalan intuitif langsung pada Tuhan, kefanaan
dalam Realitas Mutlak, dan pencapaian kebahagiaan, disamping penggunaan
simbol-simbol dalam pengungkapan hakekat realitas-realitas yang dicapai irfan,
seperti yang dilakukan Dzun al-Nun al-Misri (796-861 M).22 Namun demikian,
kecenderungan umum fase ini masih pada psiko-moral, belum pada tingkat
metafisis. Ide-ide metafisis yang ada belum terungkap secara jelas. Karena itu,
Nicholson menyatakan, dari segi teoritis dan praktis, kaum sufis fase ini telah
merancang suatu sistem yang sempurna tentang irfan, Akan tetapi, mereka bukan
filosof dan mereka sedikit menaruh perhatian terhadap problem-problem
metafisika.23
Keempat, fase puncak, terjadi pada abad ke-5 H. Pada periode ini irfan
mencapai masa gemilang. Banyak pribadi besar yang lahir dan menulis tentang
19 Nicholson, Fî al-Tashawuf al-Islami, 112. 20 Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, 17; Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual, 45-
46. Uraian tentang istilah-istilah tersebut, lihat Qusyairi, al-Risâlah, (bairut, Dar al-Fikr, tt). Dalam edisi lain, meski kurang bagus, lihat Nicholson, Mistik dalam Islam, terj. Tim Bumi Aksara, (Jakarta, Bumi Aksara, 1998); Simuh, Tasawuf & Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta, Rajawali Press, 1997), 103-158.
21 Taftazani, Ibid, 18. 22 Menurut Abdullah al-Anshari, Dzun al-Nun al-Misri adalah orang pertama yang
membicarakan irfan dalam term-term simbolis dan alegoris, kemudian dikembangkan oleh Junaid al-Baghdadi dan disampaikan diatas mimbar, secara umum, oleh al-Syibli (w. 846 M). Lihat Muthahari, Menapak Jalan Spiritual, 44-45.
23 Nicholson, Fî al-Tashawuf al-Islami, 21.
6
irfan, antara lain, Said Abu Khair (w. 1048 M) yang menulis Rubâ`iyât, Ibn
Utsman al-Hujwiri (w. 1077 M) menulis Kasyf al-Mahjûb, dan Abdullah al-
Anshari (w. 1088 M) menulis Manâzil al-Sâ`irîn,
salah satu buku terpenting dalam irfan. Puncaknya al-Ghazali (w. 1111 M)
menulis Ihyâ’ Ulûm al-Dîn yang menyelaraskan tasawuf dan fiqh (irfan dan
bayani).24 Menurut Nicholson dan TJ. de Boer, ditangan al-Ghazali, irfan menjadi
jalan yang jelas karakternya untuk mencapai pengenalan serta kefanaan dalam
tauhid dan kebahagiaan.25
Kelima, fase spesikasi, terjadi abad ke- 6 & 7 H. Berkat pengaruh pribadi
al-Ghazli yang besar, irfan menjadi semakin dikenal dan berkembang dalam
masyarakat Islam. Ini memberi peluang bagi tokoh sufis untuk mengembangkan
tarikat-tarikat dalam rangka mendidik murid mereka, seperti yang dilakukan A.
Rifai (w. 1174 M), Abd al-Qadir al-Jailani (w. 1253 M), Abu al-Syadlili (w. 1258
M), Abu Abbas al-Mursi (w. 1287 M), dan Ibn Athaillah al-Iskandari (w. 1309
M). Namun, bersamaan dengan itu, disisi lain, muncul pula tokoh-tokoh yang
berusaha memadukan irfan dengan filsafat, khususnya neo-platonisme, seperti
yang dilakukan Suhrawardi (w. 1191 M) lewat karyanya yang terkenal, Hikmah al-
Isyraq, Ibn Arabi (w. 1240 M), Umar ibn Faridl (w. 1234 M), dan Ibn Sab`in al-
Mursi (w. 1270 M). Mereka banyak memiliki teori mendalam tentang jiwa, moral,
pengetahuan, wujud dan lainnya yang sangat bernilai bagi kajian irfan dan filsafat
berikutnya.26 Bahkan, jika tokoh sebelumnya hanya menulis tentang bagaimana
persiapan menerima pengetahuan, menurut Mehdi H. Yazdi,27 Suhrawardi dan Ibn
Arabi diatas justru yang mempelopori penulisan pengalaman mistik yang disebut
pengetahuan irfan.
Dengan demikian, pada fase ini, secara epistemologis, irfan telah terpecah
(terspesifikasi) dalam dua aliran. (1) Irfan sunni –menurut istilah Taftazani-- yang
cenderung pada perilaku praktis (etika) dalam bentuk tarikat-tarikat, (2) irfan
teoritis yang didominasi pemikiran filsafat. Disamping itu, dalam pandangan Jabiri,
ditambah aliran kebatinan yang didominasi aspek mistik.28 Meski demikian,
menurut Muthahari, irfan praktis tetap tidak sama dengan etika dan irfan teoris
berbeda dengan filsafat. Secara garis besar bisa digambarkan dalam bagan dibawah.
29
Keenam, fase kemunduran, terjadi sejak abad ke-8 H. Sejak abad itu, irfan
tidak mengalami perkembangan berarti, bahkan justru mengalami kemunduran.
Para tokohnya lebih cenderung pada pemberian komentar dan ikhtisar atas karya-
karya terdahulu, dan lebih menekankan bentuk ritus dan formalisme, yang
terkadang mendorong mereka menyimpang dari susbtansi ajarannya sendiri. Para
24 Muthahari, Menapak Jalan Spiritual, 46-48. 25 Nicholson, Fî al-Tashawuf al-Islami, 84; Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, 184 26 Taftazani, Ibid, 18-19. 27 Lihat Mehdi Yazdi, Ilmu Hudhuri, 47. 28 Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, 269. 29 Muthahari, Menapak Jalan Spiritual, 21-24.
7
pengikut memang semakin bertambah, tetapi disana tidak muncul pribadi unggul
yang mencapai kedudukan ruhaniyah cukup terhormat seperti pada
pendahulunya.30
Etika
Irfan
Filsafat
Praktis Teoritis
Membahas
hubungan antara
manusia saja.
Tidak ada tahapan
tertentu. Seseorang
bisa mana memilih
yang harus
dilakukan.
Unsur spiritual
sangat terbatas.
Membahas
hubungan antar
manusia dan
hubungan
manusia dengan
Tuhan.
Ada tahapan-
tahapan yang
harus dilalui lebih
dulu untuk
menuju tujuan
akhir.
Unsur spirutual
yang sangat luas
Berdasarkan visi
dan intuisi
kemudian
dikemukakan
teori secara logis.
Eksistensi Tuhan
meliputi
semuanya dan
segala sesuatu
adalah
manifestasi sifat-
Nya.
Capaian tertinggi
manusia adalah
kembali kepada
asal-usulnya
(Tuhan).
Sarana yang
dipakai adalah
kalbu (hati) dan
kesucian jiwa.
Berpijak pada
postulat-postulat.
Eksistensi non-
Tuhan sama
rielnya dengan
eksistensi Tuhan
sendiri.
Capaian tertinggi
manusia adalah
memahami
semesta.
Sarana yang
dipakai adalah
akal dan intelek.
C. Metode Irfan.
Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani, juga tidak atas
rasio seperti burhani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh
Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks
atau keruntutan logika, tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati,
30 Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, 20.
8
Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Dari situ kemudian
dikonsep atau masuk dalam pikiran sebelum dikemukakan kepada oang lain.
Dengan demikian, sebagaimana disampaikan Suhrawardi, secara metodologis,
pengetahuan ruhani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2)
penerimaan, (3) pengungkapan, baik dengan lisan atau tulisan.31
Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan
(kasyf), seseorang yang biasanya disebut sâlik (penempuh jalan spiritual) harus
menyelesaikan jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Para tokoh berbeda pendapat
tentang jumlah jenjang yang harus dilalui.32 Namun, setidaknya, ada tujuh
tahapan yang harus dijalani, yang semua ini berangkat dari tingkatan yang paling
dasar menuju pada tingkatan puncak dimana saat itu qalbu (hati) telah menjadi
netral dan jernih sehingga siap menerima limpahan pengetahuan. Antara lain,
taubat, wara`, zuhud, faqir dan seterusnya.
Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam
jenjang spiritual, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung
dari Tuhan secara illuminatif atau noetic. Dalam kajian filsafat Mehdi Yazdi, pada
tahap ini, seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian
mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya
sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan
realitas yang disadari tersebut, karena bukan objek eksternal, keduanya bukan
sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang
diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula
sebaliknya (ittihâd).33 Sedemikian rupa, sehingga dalam perspektif epistemologis,
pengetahuan irfani ini tidak diperoleh melalui representasi atau data-data indera
apapun, bahkan objek eksternal sama sekali tidak berfungsi dalam pembentukan
gagasan umum pengetahuan ini. Pengetahuan ini justru terbentuk melalui
univikasi eksistensial yang oleh Mehdi Yazdi disebut ‘ilmu huduri’ atau
pengetahuan swaobjek (self-object-knowledge), atau jika dalam teori permainan
31 Dalam pandangan Suhrawardi, pengetahuan ini melalui empat tahapan, yakni
persiapan, penerimaan, pembentukan konsep dalam pikiran, dan penuangan dalam bentuk tulisan. Lihat Parvis Morewedge, Islamic Philosophy and Mysticism, (New York, Caravan Books, 1981), 177.
32 Al-Qusyairi (w. 1072 M) mencatat ada 49 tahapan yang harus dilalui, Abu Said ibn Abu al-Khair sebagaimana dikutip Husein Nashr mencatat 40 tahapan, Abu Nashr al-Tusi mencatat 7 tingkatan, sedang Thabathabai menulis 24 jenjang. Lihat, al-Qusyairi, al-Risâlah, (Beirut, Dar al-Khair, tt), 89-350; Husein Nashr, Tasawuf Dulu & Sekarang, terj. Abd Hadi, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), 89-96; Simuh, Tasawuf & Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta, Rajawali Press, 1997), 49-72; Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual, 120-155.
33 Mehdi Yazdi, Ilmu Hudhuri, 51-53. Dalam bahasa sufisme, kasyf adalah kesadaran hati akan sifat-sifat kebenaran, musyâhadah adalah penyaksian hati atas realitas kebenaran, sedang ittihâd adalah penyatuan hati (diri) dengan realitas kebenaran itu sendiri. Lihat al-Qusyairi, al-Risâlah, 75.
9
bahasa (language game) Wittgenstein, pengetahuan irfani ini tidak lain adalah
bahasa ‘wujud’ itu sendiri.34
Ketiga, pengungkapan. Ini merupakan tahap terakhir dari proses
pencapaian pengetahuan irfani, dimana pengalaman mistik diinterpretasikan dan
diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun demikian,
karena pengetahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi
terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri
dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua
pengalaman ini bisa diungkapkan. Beberapa pengkaji masalah irfan atau mistik
membagi pengetahuan ini dalam beberapa tingkat,35
(a) pengetahuan tak terkatakan,
(b) pengetahuan irfan atau mistisisme,
(c) pengetahuan metasisisme yang terbagi dalam dua bagian;
1. oleh orang ketiga tetapi masih dalam satu tradisi dengan yang bersangkutan (orang Islam menjelaskan pengalaman mistik orang Islam
yang lain).
2. oleh orang ketiga dan dari tradisi yang berbeda (orang Islam menjadi pengalaman mistik dari tokoh mistik non-muslim).
D. Zahir & Batin.
Sesuai dengan sasaran bidik irfan yang esoterik, isu sentral irfan adalah
zahir & batin, bukan sebagai konsep yang berlawanan tetapi sebagai pasangan.
Menurut Muhasibi (w. 857 M), al-Ghazali (w. 1111 M), Ibn Arabi (w. 1240 M),
juga para sufis yang lain, teks keagamaan (al-Qur`an dan hadits) tidak hanya
mengandung apa yang tersurat (zahir) tetapi juga apa yang tersirat (batin). Aspek
zahir teks adalah bacaannya (tilâwah) sedang aspek batinnya adalah takwilnya.36
Jika dianalogikan dengan bayani, konsep zahir-batin ini tidak berbeda dengan
lafat-makna. Bedanya, dalam epistemologi bayani, seseorang berangkat dari lafat
menuju makna; sedang dalam irfani, seseorang justru berangkat dari makna
menuju lafat, dari batin menuju zahir, atau dalam bahasa al-Ghazali,37 makna
sebagai ashl, sedang lafat mengikuti makna (sebagai furû`).
Pendapat zahir-batin diatas didasarkan, pertama, pada al-Qur`an, QS.
Luqman, 20; al-An`am, 120 dan khususnya QS. al-Hadid, 3, yang sekaligus
digunakan sebagai dasar pijakan metafisisnya. Kedua, hadis Rasul, ‘Tidak ada satu
ayatpun dalam alQur`an kecuali disana mengandung aspek zahir dan batin, dan
34 Mehdi Yazdi, Ilmu Hudhuri, 73-74 & 111; Wittgenstein, Philosophical Investigations,
terj. Anscombe, (New York, 1968), paragrap, 247. 35 Mehdi Yazdi, Ilmu Hudhuri, 245-268; William James, The Verievities of Religious
Experience, (New York, 1936), 271-72; Steven K. Katz, Mysticism and Philosophical Analysis, (London, Sheldon Press, 1998), 23;
36 Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, 275; al-Ghazali, Misykat al-Anwâr, (edit), Afifi, (Kairo, Dar al-Qaumiyah, 1964), 73; Ibn Arabi, Tafsîr Ibn Arabi, II, (Kairo, Bulaq, 1867), 2.
37 al-Ghazali, Misykat al-Anwâr, 65.
10
setiap huruf mempunyai had (batas) dan matla` (tampat terbit).38 Ketiga,
pernyataan Imam Ali ibn Abi Thalib (w. 660 M). Menurut Ali ra, al-Qur`an
mengandung empat dimensi, zahir, batin, had dan matla`. Aspek zahir al-Qur`an
adalah tilawah, aspek batinnya adalah pemahaman, aspek had-nya ketentuan halal
dan haram, dan matla`nya adalah apa yang dikehendaki Tuhan atas hamba-Nya.39
Persoalannya, bagaimana makna atau dimensi batin yang diperoleh dari
kasyf tersebut diungkapkan? Menurut Jabiri, makna batin ini, pertama,
diungkapkan dengan cara apa yang disebut sebagai I`tibâr atau qiyas irfani. Yakni
analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada
dalam teks.40 Sebagai contoh, qiyas yang dilakukan kaum Syiah yang menyakini
keunggulan keluarga Imam Ali ra. atas QS. Al-Rahman, 19-22. “Dia membiarkan
dua lautan mengalir dan bertemu; diantara keduanya ada batas yang tidak
terlampaui dan dari keduanya keluar mutiara dan marjan”. Dalam hal ini, Ali dan
Fatimah dinisbatkan pada dua lautan, Muhammad saw dinisbatkan pada batas
(barzah), sedang Hasan & Husein dinisbatkan pada mutiara dan marjan.41
Barzah = Muhammad , Dua lautan = Ali/Fatimah
Dua laut Ali/Fatimah Mutiara & Marjan Hasan/Husein
Contoh lain adalah qiyas yang dilakukan al-Qusyairi atas ayat yang sama.
Menurutnya,42 dalam hati ini ada dua lautan, yakni khauf (takut) dan raja’
(harapan), dan dari sana keluar mutiara dan marjan, yakni ahwâl al-shufiyah dan
lathâif al-mutawaliyah. Diantara keduanya ada batas yang tak terlampaui, yakni
pengawan Tuhan atas ini dan itu. Artinya, konsep sufisme tentang khauf dan raja’
dinisbatkan pada kata ‘bahrain’ (dua lautan), sedang ahwâl dan lathâif dinisbatkan
pada mutiara dan marjan.
Khauf/ Raja’ via Dua lautan
Ahwâl/ Lathâif Mutiara/ Marjan
Dengan demikian, qiyas irfani ini tidak sama dengan qiyas bayani atau
silogisme. Qiyas irfani disini berusaha menyesuaikan konsep yang telah ada atau
pengetahuan yang diperoleh lewat kasyf dengan teks, qiyas al-ghaib `ala al-syahid.
38 Ibn Arabi, Tafsîr Ibn Arabi, II, 2. Berdasarkan hadis ini, Ibn Arabi menyatakan bahwa
zahir al-Qur`ana dalah tafsir, aspek batinnya adalah takwil, had-nya adalah batas kemampuan pemahaman dan matla`nya adalah puncak pendakian hamba dimana ia menyaksikan Tuhan. Namun, Jabiri menyangsikan otensitas hadis dan tafsir ini, karena dibagian lain, Ibn Arabi menyatakan bahwa ia memperoleh hadis tersebut lewat kasyf. Tidak mengikuti rantai perawian sebagaimana dalam ilmu hadis. Lihat, Jabiri, Bunyah…,276.
39 Abu Abdullah al-Sulami, ‘Haqâiq al-Tafsîr’ dalam Ali Zighur (edit), al-Tafsîr al-Shûfi li al-Qur`an, (Beirut, Dar al-Andalus, 1979), 3.
40 Jabiri, Bunyah, 295-6. 41 Ibid, 306. 42 Ibid, 107. Al-Qusyairi, Lathâif al-Isyârât, III, edit oleh Ibrahim Basyuni, (Kairo, al-
Haiah al-Misriah, 1981), 507.
11
Dengan kata lain, seperti dikatakan al-Ghazali diatas, zahir teks dijadikan furû’
(cabang) sedang konsep atau pengetahuan kasyf sebagai ashl (pokok). Karena itu,
qiyas irfani atau I`tibâr tidak memerlukan persyaratan illat atau pertalian antara
lafat dan makna (qarînah lafdziyah `an ma`nawiyah) sebagaimana yang ada dalam
qiyas bayani, tetapi hanya berpedoman pada isyarat (petunjuk batin).43
Metode analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri,44 juga dikenal dalam
pemikiran di Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik, yang disebut analogi
intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan bukan dialakukan
atas dasar kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan
tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan berarti
analogi (qiyas) tersebut telah jatuh.45 Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-
Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani
Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani yang dibangun diantas
dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal yang
didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfan akhirnya hanya merupakan
filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap
pembangunan masyarakat.46
Padahal, irfani Islam sama sekali berbeda dengan mistik di Barat, meski
dibeberapa bagian ada kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa,
rasa dan kayakinan hati, sementara mistik Barat kurang berkaitan dengan semua
itu dan lebih positifistik. Karena itu, menggunakan alat ukur mistik Barat untuk
menganalisa irfan Islam, sesungguhnya, tidak berbeda dengan mengukur rasa
kepedasan cabe dengan melihat warna kulitnya. Tidak akan mencapai hakekat
yang sebenarnya.
Kedua, pengetahuan kasyf diungkapkan lewat apa yang disebut dengan
syathahât. Namun, berbeda dengan qiyas irfani yang dijelaskan secara sadar dan
dikaitkan dengan teks, syathahât ini sama sekali tidak mengikuti aturan-aturan
tersebut. Syathahât lebih merupakan ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân)
karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan
pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w. 877
M), atau ‘Ana al-Haqq’ (Aku adalah Tuhan) dari al-Hallaj (w. 913 M).47
Ungkapan-ungkapan seperti itu, keluar saat seseorang mengalami suatu
pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai dengan
kaidah teologis maupun epistemologis tertentu; sehingga, karena itu pula, ia sering
dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran Islam yang baku. Meski demikian,
43 Jabiri, Bunyah…, 274. 44 Ibid, 376. Disamping anaologi intuitif, al-Jabiri juga menyebutkan analogi perhitungan
dan analogi kesamaan atau analogi mantiq. Analogi perhitungan adalah perbandingan secara matematik, seperti 2/4, 3/6, 4/8 dan seterusnya yang masing-masing sama-sama bernilai ½. Analogi mantiq adalah perbandingan yang biasanya digunakan untuk menarik sebuah kesimpulanm deduksi atau induksi.
45 Ibid, 377. 46 Ibid, 378. 47 Ibid, 288.
12
secara umum, syathahât sebenarnya diterima dikalangan sufisme, meskipun
dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syareat, dengan syarat
bahwa syathahât tersebut harus di takwilkan, yakni ungkapannya harus terlebih
dahulu dikembalikan pada makna zahir teks.48 Artinya, syathahat tidak boleh
diungkapkan secara ‘liar’ dan berseberangan dengan ketentuan syareat yang ada.
Persoalannya, di mana hakekat qiyas irfani, takwil atau syathah sufisme
diatas, sebab apa yang diungkapkan para tokoh sufis tersebut ternyata tidak sama,
meski mereka sama-sama mengklaim telah mengalami atau mendapat
pengetahuan langsung dari realitas mutlak. Mengikuti al-Jabiri, hakekat takwil
dan syathah tidak terletak pada makna umumnya atau universalitasnya melainkan
justru pada makna temporal atau subjektifitasnya. Sebab, takwil atau syathah
tidak lain adalah pemaknaan atau pemahaman atas realitas yang ditangkap saat
kasyf, dan itu pasti berbeda diantara masing-masing orang, sesuai dengan kualitas
jiwa dan pengalaman sosial budaya yang menyertainya.49
E. Nubuwah & Walayah.
Sejalan dengan konsep zahir dan batin, muncul konsep nubuwah dan
walayah. Nubuwah adalah padanan dari konsep zahir sedang walayah pasangan
dari batin. Keduanya berkaitan dengan otoritas religius yang diberikan Tuhan atas
diri seseorang. Bedanya, kenabian ditandai dengan wahyu dan mukjizat serta
diperoleh dengan tanpa usaha, sedang kewalian ditandai dengan karamah serta
irfan, dan diperoleh lewat usaha (iktisâb). Ibn Arabi menyebut kedua konsep
tersebut dengan konsep ‘kenabian umum’ dan ‘kenabian khusus’. Kenabian umum
adalah kewalian yang berhubungan dengan ilham, makrifat atau irfan, sedang
kenabian khusus adalah nabi yang dibekali syareat dan ketentuan hukum-hukum
formal.50
Kedua posisi tersebut mempunyai derajat yang berbeda. Kenabian lebih
tinggi dibanding kewalian, dimana puncak kewalian adalah awal dari kenabian.
Pengalaman mukâsyafat (kasyf) yang bisa dialami pada permulaan kenabian adalah
puncak perjalanan spiritual kewalian.51
Sementara itu, dalam pemikiran madzhab Syiah, walayah dikaitkan dengan
konsep imamah yang punya otoritas religius dan politik. Bagi kaum Syiah, karena
risalah yang diberikan kepada para Rasul telah selesai dengan wafatnya
Muhammad saw, maka para imam-lah yang bertugas menjaga dan meneruskan
misi syareat dengan menerima ilham yang tidak lain adalah hakekat rilasah
kenabian. Karena itu, keberadaan imamah adalah sesuatu yang mutlak karena
mereka adalah nubuwah al-bathiniyah, nubuwah al-haqiqah yang menjadi salah satu
rukun agama. Karena itu pula, menurut Imam Ja`far Shadiq (702-757 M),
kedudukan para imam Syiah adalah sama dengan kedudukan para nabi ghair al-
48 Ibid, 290. 49 Ibid, 281. 50 Ibn Arabi, Futuhât al-Makiyah, III, (Beirut, Dar Shadir, tt), 101. 51 Ibid, II, 24.
13
mursalîn (nabi yang tidak dibekali syareat tersendiri), bahkan dengan para rasul.
Bedanya, Rasul boleh menikah dengan lebih dari empat wanita sementara para
imam tidak boleh.52
F. Penutup.
Berbeda dengan pengetahuan pada umumnya yang digali dari objek
eksternal (korespondesi),53 pengetahuan irfani digali dari diri sendiri, tepatnya dari
realitas kesadaran diri yang dalam bahasa tasawuf disebut kasyf. Objeknya tidak
lain hanya bersifat immaterial dan essensial, bersifat swaobjektif (self-object-
knowledge), sehingga apa yang disebut sebagai objektivitas objek tidak lain bersifat
analitis dan terwujudkan dalam tindakan mengetahuai itu sendiri. Namun, disisi
lain, dari sifatnya yang neotic dan objektif dalam hakekatnya, sebagaimana
dikatakan Mehdi Yazdi, pengetahuan irfani juga bisa dikategorikan dalam
kelompok korespondesi, meski tidak memiliki objek transitif yang aksiden,
sehingga tidak ada alasan untuk melakukan semacam transubjektivitas, apalagi
mengingkari pengertian objektivitas pengetahuan irfani semata karena tidak
memiliki objek luar.
Metode yang dilakukan untuk menggapai pengetahuan tersebut adalah
lewat tahapan-tahapan laku spiritual (riyâdlah), yang dimulai dari taubat sebagai
pensucian diri sampai tawakkal, ridla dan seterusnya. Pada puncaknya, yang
bersangkutan akan memperoleh kesadaran diri dan kesadaran akan hal ghaib
lewat noetic atau pencerahan atau emanasi. Proses pencerahan dan emanasi inilah
yang menuntun sâlik untuk menemui dan mampu menjelaskan rahasia-rahasia
realitas, sehingga tidak tepat jika dikatakan bahwa pengetahuan irfan adalah hasil
abstraksi atau kontemplasi. Abstraksi dan kontemplasi belaka tidak mampu
membawa pada persoalan-persoalan tersebut [.]
Diambil dari buku WACANA BARU FILSAFAT ISLAM, karya A Khudori
Soleh, (Yogyakarya, Pustaka Pelajar, 2004), 194-218.
52 Jabiri, Bunyah, 320. Tentang kategori-kategori dalam filsafat kenabian, lihat Henry
Corbin, History of Islamic Philosophy, (New York, Colombia University Press, 1993), 52; Muthahhari, 1991, Falsafah Kenabian, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1991)..
53 Horald Titus, Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. HM Rasjidi, (Jakarta, Bulan Bintang, 1984), 237-244. Disamping teori korespondensi, ada juga teori koherensi dan pragmatik. Menurut teori koherensi, kebenaran sesuatu dilihat dari tingkat konsistensinya dengan sesuatu yang lain yang telah diakui kebenarannya; korespondensi melihat kebenaran berdasarkan kesesuaian antara pernyataan dengan realitas objektif yang dinyatakan; pragmatik hanya mengakui kebenaran jika memenuhi tiga kriteria, yakni kemanfaatan, memberikan kepuasan dan bisa dilakukan.