enantian panjang tak%kunjung usai:%% -...
TRANSCRIPT
Seri Working Paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Pasca Orde Baru No. 09/WP-‐KAPPOB/I/2017
Dianto Bachriadi
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai: Reforma Agraria Setelah Satu Dasawarsa Reformasi
Agrarian Resources Center
2017
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KTD) Bachriadi, Dianto Penantian Panjang Tak Kunjung Usai: Reforma Agraria Setelah Satu Dasawarsa Reformasi Seri working paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru, Vol. 1, No. 09/WP-‐KAPPOB/I/2017 Cetakan 1, Bandung: ARC, 2017 [2010] 47 hlm; 21 x 29,5 cm ISSN 2541-‐0121
Seri Working Paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru Vol. 1 editor seri, Dianto Bachriadi Seri Working Paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru menyajikan hasil-‐hasil penelitian yang dilakukan oleh ARC terkait dengan kebijakan agraria dan pembangunan di Indonesia paska otoritarianisme Orde Baru. Seri ini menampilkan tulisan-‐tulisan hasil penelitian yang terbaru maupun tulisan lama dalam tema terkait yang belum pernah diterbitkan maupun yang sudah pernah dipublikasi dalam kesempatan lain tetapi relevan dijadikan bagian dari seri working paper ini. Seri working paper ini dipersembahkan untuk mengenang (Alm.) Tri Agung Sujiwo (1975-‐2015). Penerbitan seri ini didukung oleh CCFD – Terre Solidaire, Perancis Tulisan ini pernah diterbitkan dengan judul “’Panggang yang Semakin Jauh dari Api?’ – Refleksi Satu Dasawarsa Reformasi dalam Perspektif Reforma Agraria”, Jurnal Analisis Sosial 15(1): 1-‐64. Versi awal tulisan ini merupakan makalah yang berjudul “A Long Wait That Is Not Yet Over: Reflection on Ten Years of Reformasi in the Context of Agrarian Reform”, disampaikan dalam lokakarya ‘Refleksi atas Sepuluh Tahun Reformasi di Indonesia: Capaian, Hambatan, dan Kemunduran’, Flinders University, Adelaide, Australia, 14-‐15 April 2008. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Anton Lucas, Carol Warren, dan Priyambudi Sulistiyanto atas komentar dan masukannya untuk versi awal tulisan ini. Untuk kepentingan penerbitan seri working paper sekarang, penulis melakukan perbaikan kecil pada beberapa catatan kaki dan daftar pustaka, yang tidak mengubah maknanya sama sekali dari versi tulisan yang pernah terbit pada tahun 2010.
layout & setting: penkee
Jalan Ski Air No. 20, Arcamanik, Bandung 40293, INDONESIA +62 – 22 – 7237799 [email protected] www.arc.or.id
Dianto Bachriadi
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai: Reforma Agraria Setelah Satu Dasawarsa Reformasi
Working Paper ARC 09/WP-‐KAPPOB/I/2017
Agrarian Resources Center 2017
Daftar Isi
Masalah-‐masalah Agraria dari Dulu Hingga Sekarang 2
Reforma Agraria sebagai Jalan Keluar 6
Telikungan Neoliberalisme 7
PPAN: ‘Reformasi Agraria’ ala SBY yang Tidak Jelas 16
Reformasi dalam Perspektif Lokal: Gerakan Petani di Priangan Timur dan Bengkulu 20
Kita Harus Memikirkan Kembali Arah Gerakan Petani dan Reforma Agraria Saat ini 32
Rujukan 38
Tabel Tabel 1. Penguasaan Tanah oleh Rumah Tangga Tani di Indonesia, 1963-‐2003 4
Tabel 2. Pendudukan dan Reklaiming terhadap Tanah Perkebunan dan Hutan Negara yang Diorganisasi oleh SPP dan StaB, 1998-‐ 2006 22
= Bachriadi
1
Konflik-‐konflik agraria yang semakin meluas dan meningkat jumlahnya, ketimpangan
penguasaan tanah, dan meningkatnya ancaman terhadap keamanan pangan sesungguhnya
adalah panggilan nyata agar Reforma Agraria dijalankan (Russet 1964; Tuma, 1965; Dorner,
1972; Eckholm, 1979; Prosterman, Temple, dan Hanstad, 1990; Christodolou, 1990; Sobhan 1993;
Judge 1999; Wiradi 2000; Heering 2003; dan Borras 2007). Di Indonesia kalangan organisasi
non-‐pemerintah, akademisi, Komnas HAM, kelompok-‐kelompok petani dan masyarakat adat,
serta berbagai organisasi gerakan sosial lainnya, sejak masa Orde Baru, telah memberikan
peringatan, himbauan, dan juga desakan kepada pemerintah agar menyelesaikan persoalan-‐
persoalan agraria yang menjadi penyebab kemiskinan, penurunan kualitas lingkungan,
hilangnya potensi produktivitas pedesaan untuk membangun ekonomi nasional yang kuat
(lihat misalnya, Harman et al. 1995; Bachriadi, Faryadi, dan Setiawan, 1997; Bachriadi, 1999,
2001b, 2002b dan 2004a; Wiradi, 2000 dan 2002; Lucas dan Warren, 2003; KNuPKA 2004;
Poniman et al. 2005; dan Bachriadi dan Juliantara 2007).
Harapan besar agar pembaruan agraria ditetapkan sebagai bagian penting dari
pembangunan masa depan sempat menguat ketika kepemimpinan nasional baru terbentuk
setelah Soeharto diturunkan dari kursi kepresidenan pada tahun 1998. Ungkapan ‘tidak
mungkin ada reformasi tanpa reforma agraria’ (Bachriadi, 1998 dan 2001b) secara nyata sudah
menegaskan bahwa persoalan penataan ulang penguasaan tanah dan penetapan prinsip-‐
prinsip baru dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia sesungguhnya adalah bagian
penting dari proses reformasi itu sendiri. Sayangnya, sejak Habibie menggantikan Soeharto,
hingga kini SBY telah menjabat sebagai presiden untuk kedua kalinya, suara-‐suara panggilan
itu tenggelam dalam hiruk-‐pikuk politik kekuasaan dan pemulihan ekonomi dari krisis yang
terjadi pada tahun 1997.
Ketidakpercayaan bahwa Reforma Agraria dapat menjadi jalan keluar untuk beragam
masalah agraria di Indonesia juga tercermin dalam pernyataan sejumlah anggota MPR pasca-‐
1998 yang menyatakan bahwa pembaruan agraria adalah hal yang tidak penting dan/atau
program yang tidak realistis untuk dijalankan pada saat kelompok-‐kelompok gerakan sosial,
aktivis, dan pendukung pembaruan agraria mendesak mereka untuk menerbitkan Ketetapan
MPR tentang pembaruan agraria pada dua Sidang Umum MPR di tahun 1999 dan 2000 (lihat
Bachrioktora 2000). Bahkan ketika pada akhirnya Ketetapan itu (Ketetapan MPR No. IX/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam) dikeluarkan, Presiden
Megawati tidak memberikan tanggapan apa pun. Ketika ia ditantang oleh seorang aktivis
perempuan untuk menjalankan land reform sebagaimana yang dimandatkan oleh TAP-‐MPR di
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
2
atas, ia menanggapi dengan mengatakan bahwa meskipun pembaruan agraria adalah hal yang
penting, secara politik hal itu tidak mungkin dijalankan selain memerlukan biaya yang cukup
besar (wawancara dengan Nissa Wargadipura, Direktur Yapemas, Garut 7.09.07).
Sebaliknya, kehadiran Ketetapan MPR tersebut telah dimanfaatkan dengan sangat baik
oleh para “reformis” neoliberal untuk mendorong terbitnya sejumlah peraturan perundangan-‐
undangan di bidang pengelolaan sumber daya alam atas nama ‘reformasi hukum’. Tidak ada
lagi penghalang bagi para pemilik modal untuk melakukan eksploitasi kekayaan alam di
Indonesia secara besar-‐besaran. Tidak salah jika banyak kalangan, khususnya kelompok-‐
kelompok petani, yang sangat berharap bahwa dengan terbitnya Ketetapan tersebut nasib
mereka akan menjadi lebih baik, kini menganggap telah dikhianati oleh para politisi dan
pemerintah. Pendudukan tanah-‐tanah negara (tanah perkebunan dan kehutanan) lalu menjadi
cara yang mereka yakini sebagai cara terbaik untuk memperbaiki nasibnya dan mendorong
diselesaikannya masalah-‐masalah agraria di Indonesia. Di beberapa tempat, seperti di Priangan
Timur dan Bengkulu, kelompok-‐kelompok petani yang melakukan pendudukan tanah-‐tanah
negara sangat yakin usahanya itu merupakan bagian dari penerapan pembaruan agraria
sebagaimana yang dimandatkan dalam Ketetapan MPR No. IX/2001. Jelas ini adalah suatu
tantangan yang sangat serius kepada para elite penguasa baru yang enggan menjalankan
kebijakan agraria yang pro pada kaum miskin.
Masalah-‐masalah Agraria dari Dulu Hingga Sekarang
Pada masa pemerintahan Megawati (2001-‐2004) pernah ada rapat kabinet terbatas (26
Mei 2003) yang membahas masalah pertanahan di Indonesia. Rapat tersebut menyimpulkan
ada dua masalah serius di bidang pertanahan saat ini yang harus diselesaikan. Pertama adalah
masalah tanah-‐tanah yang tidak produktif akibat spekulasi yang sebenarnya dilarang oleh
UUPA 1960. Kedua, dan yang terpenting menurut kabinet Megawati, adalah kenyataan
kecilnya persentase tanah-‐tanah yang telah bersertifikat yang diyakini menjadi penyebab
utama dari maraknya konflik dan sengketa pertanahan.1 Sayangnya rapat lebih merupakan
upaya untuk membuka kembali jalan bagi pembentukan kerangka kebijakan agraria nasional
yang telah dimulai sejak masa sebelum reformasi tetapi tidak dilanjutkan oleh pemerintahan
Gus Dur karena dianggap isu yang sensitif (lihat Bachriadi, 2005 dan 2006). Salah satu agenda
1 Perspektif ini telah dipromosikan oleh Bank Dunia di Indonesia sejak tahun 1994 ketika membiayai Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) atau Land Administration Project (LAP). Lihat World Bank (1994).
= Bachriadi
3
dalam pembentukan kebijakan baru tersebut adalah mengubah UUPA 1960 (National
Development Planning Agency and National Land Agency 1997: RE – 2-‐3).
Kabinet Megawati melihat dua hal di atas – spekulasi dan sertifikasi tanah – sebagai
penyebab masalah-‐masalah agraria yang menimbulkan konflik. Padahal, konflik agraria lebih
merupakan akibat dari penerapan kebijakan yang sangat berorientasi pada eksploitasi sumber
daya alam secara berlebihan untuk kepentingan pengusaha. Jika hendak mengatasi konflik dan
sengketa tanah, maka orientasi kebijakan itulah yang harus diubah, bukan akses yang sangat
besar untuk pengusaha yang terus dipertahankan, melainkan petani kecil dan kaum miskin
yang harus dijamin aksesnya terhadap tanah dan kekayaan alam. Dalam hal ini para elite gagal
menunjukan keseriusannya memikirkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat, khususnya
kaum miskin, termasuk mencegah kerusakan lingkunganyang lebih parah lagi.
Kebijakan agraria sejak masa Orde Baru telah memperbesar konsentrasi penguasaan
tanah untuk kepentingan bisnis dan membatasi akses penduduk setempat terhadap tanah
untuk kepentingan kehidupan mereka. Persoalan bertambah kompleks manakala aparat
pemerintahan itu sendiri kemudian terlibat di dalam praktik-‐praktik manipulasi dan korupsi
dalam soal pengadaan tanah. Tidaklah mengherankan jika sebuah penelitian yang pernah
dilakukan oleh Komisi Ombudsman Nasional (KON)2 tahun 2002 menemukan bahwa
intensitas tindakan dari aparat yang berwenang menyelenggarakan administrasi pertanahan
(penyediaan tanah dan penerbitan hak atas) yang melanggar sejumlah ketentuan hukum yang
ada mencapai angka 46%.3
2 Komisi Ombudsman Nasional (KON) dibentuk pada tahun 2000 oleh Presiden Abdurahman Wahid sebagai ‘lembaga pemerintah semi-independen’ melalui Keppres No. 44/2000. Lembaga ini menampung keluhan-keluhan masyarakat mengenai pelaksanaan administrasi publik yang menyimpang (maladministrasi) di sejumlah lembaga pemerintahan dan yudikatif, termasuk lembaga penyelenggara administrasi pertanahan. Penelitian pada tahun 2002 diselenggarakan KON bekerjasama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Penelitian ini mengungkap bahwa ternyata hanya sekitar 36% penggusuran tanah dilakukan untuk kepentingan publik, selebihnya atau sekitar 64% dilakukan untuk kegiatan bisnis-privat. Penggusuran-penggusuran yang dilakukan untuk kepentingan bisnis tersebut menggunakan cara-cara kekerasan baik yang dilakukan oleh kaki tangan pebisnis maupun oleh aparat Negara (lihat Bachriadi, Bachrioktora, dan Safitri 2002; juga working paper ARC dalam seri Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru No. 01/KAPPOB/I/2017). Sementara sejumlah studi dan laporan lainnya juga telah menunjukkan dalam banyak kasus konflik agraria aparat militer dan pemerintah terlibat untuk menggusur penduduk setempat yang kemudian menyebabkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, mulai dari intimidasi hingga tindak kekerasan yang sangat serius seperti pembunuhan dan penghilangan orang secara paksa (lihat misalnya Lucas 1992, Wijardjo 1994, Harman et al. 1995, Djuweng 1996, dan Bachriadi 2004a. Lihat juga working paper ARC dalam seri Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru No. 03/KAPPOB/I/2017). 3 Hal-hal yang menyimpang dan melanggar ketentuan hukum tersebut, misalnya, adalah penerbitan sertifkat ganda, penggusuran, dan penerbitan sertifikat HGU di atas tanah yang dikuasai oleh penduduk setempat, bahkan membiarkan sejumlah perkebunan besar terus beroperasi tanpa memiliki HGU yang sah (lihat Bachriadi, Bachrioktora, dan Safitri 2002). Pada Oktober 2004, misalnya, Kantor Perkebunan Provinsi Riau menyatakan ada sekitar 21% dari 161 perkebunan di provinsi ini pada saat itu beroperasi tanpa HGU (Riau Online 2004).
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
4
Mengenai ketimpangan penguasaan tanah di kalangan petani, Bachriadi dan Wiradi
menghitung, berdasarkan hasil-‐hasil Sensus Pertanian 1963-‐2003, jumlah rumah tangga tani
tak bertanah yang dikategorikan sebagai ‘purna tanpa tanah’ atau absolute-‐landless memiliki
porsi cukup besar dalam struktur distribusi penguasaan tanah di Indonesia. Kalkulasi mereka
seperti dapat dilihat dalam Tabel 1 di bawah menunjukkan adanya kecenderungan
peningkatan jumlah kelas absolute-‐landless dan ‘petani gurem’4 sejak tahun 1963 hingga 2003.5
Sementara itu rata-‐rata penguasaan tanah oleh petani di Indoensia sejak tahun 70-‐an tidak
pernah melebihi angka 1 hektare: 0,99 hektare pada tahun 1973; 0,89 hektare di tahun 1983;
0,81 hektare di tahun 1993; dan 0,89 hektare pada tahun 2003. Angka-‐angka ini tidak lebih baik
dari rata-‐rata penguasaan tanah oleh petani pada tahun 1938, yakni 0,84 (lihat Tauchid, 1952:
174-‐176). Rasio Gini penguasaan tanah yang nilainya di atas 0,5 di setiap sensus, seperti yang
ditunjukkan dalam tabel di bawah, menunjukkan seriusnya kondisi ketimpangan tersebut
yang tidak pernah diperbaiki. Gambaran suram penguasaan tanah oleh rumah tangga tani,
khususnya gambaran mengenai ketunakismaan (landlessness), jumlah ‘petani gurem’, dan
ketimpangan penguasaan tanah seperti ditunjukkan dalam tabel ini, merupakan penyebab
kemiskinan di pedesaan.
Tabel 1. Penguasaan Tanah oleh Rumah Tangga Tani di Indonesia, 1963-‐2003
Tahun Sensus Pertanian 1963 1973 1983 1993 2003
Jumlah rumah tangga pertanian (juta) n.a 21,6 23,8 30,2 37,7
‘Absolute-‐landless’ (juta, rumah tangga) n.a 7,1 [33%]
5 [21%]
9,1 [30%]
13,4 [36%]
Petani yang menguasai tanah (juta, rumah tangga) 12,2 14,5
[67%] 18,8 [79%]
21,1 [70%]
24,3 [64%]
Jumlah tanah yang dikuasai petani (juta ha) 12,9 14,2 16,8 17,1 21,5
Rata-‐rata penguasaan tanah oleh petani (ha) 1,05 0,99 0,89 0,81 0,89
Rasio Gini penguasaan tanah*) n.a 0,70 0,64 0,67 0,72
% ‘Petani Gurem’ (menguasai tanah < 0,5 ha) 44 46 45 49 51
Sumber: Bachriadi dan Wiradi (2011), Tabel 1 dan 3, hal. 6 dan 16
Catatan: *) Di sini kelompok ‘absolute-‐landless’ dimasukkan dalam membuat perhitungan rasio gini penguasaan tanah. Hasil Sensus Pertanian 1963 tidak memadai untuk menghitung jumlah ‘absolute-‐landless’. Tanpa ‘absolute-‐landless’, rasio gini penguasaan tanah di kalangan petani pada tahun 1963 adalah 0,55.
4 ‘Petani ‘gurem’ adalah rumah tangga tani yang menguasai tanah kurang dari 0,5 hektare. 5 Sensus Pertanian dilakukan BPS setiap 10 tahun sekali sejak 1963. Ketika versi awal tulisan ini dibuat (2008) dan dipublikasi (2010), Sensus Pertanian 2013 belum dilakukan oleh BPS. Sementara ketika tulisan ini dipublikasi ulang tahun 2017, hasil Sensus Pertanian 2013 belum dikaji oleh penulis.
= Bachriadi
5
Ketunakismaan (landlessness) memang tidak sepenuhnya terjadi akibat proses
pengambilalihan tanah untuk kepentingan-‐kepentingan pengusaha besar. Di Indonesia
ketunakismaan telah meningkat sejak program revolusi hijau diterapkan pada tahun 70-‐an
tanpa didahului oleh suatu penataan ulang atas penguasaan tanah. Meskipun banyak
kontroversi tentang bagaimana program ini berdampak negatif terhadap petani kecil, ada
kesepakatan umum di antara para ahli bahwa petani-‐petani kecil menjadi terlibat hutang dan
sering kali terdorong untuk melepaskan tanahnya; sebaliknya sejumlah kecil petani yang
menguasai tanah cukup luas dapat mengembangkan perekonomian mereka karena adanya
peningkatan produktivitas yang bergantung pada subsidi pemerintah (lihat Bachriadi dan
Wiradi 2011).6
Selain itu, sebelum tahun 1966 pernah dijalankan program land reform, tetapi program
ini dihentikan oleh peristiwa politik tahun 1965-‐1966 dengan berbagai akibat yang tidak hanya
menyangkut terjadinya kekerasan politik dan pembunuhan masal, tetapi juga perampasan-‐
perampasan kembali sejumlah tanah yang pernah diredistribusi melalui program land reform
tersebut (lihat misalnya, Utrecht, 1970: 87, catatan no. 28; Tjondronegoro, 1971: 13; Menteri
Negara Riset Republik Indonesia, 1978: 19; Mammock, 1998[1993]; Forum Keadilan, 1998;
Bachriadi dan Lucas, 2001b; Bachriadi dan Wiradi 2011).7
Asumsi-‐asumsi awal dari pemerintah Orde Baru yang menyatakan bahwa sektor-‐sektor
nonpertanian, baik di perkotaan maupun di pedesaan, dapat menjadi jalan keluar dari
pelimpahan tenaga kerja pedesaan ternyata tidak seluruhnya terbukti dan/atau dapat bertahan
lama. Lapisan terbawah petani-‐petani yang tersingkir dari pedesaan, yang tidak memperoleh
kesempatan kerja di bidang pertanian, ternyata lebih banyak masuk ke sektor ekonomi
informal, menjadi ‘buruh serabutan’, atau menjadi buruh-‐buruh murah di industri manufaktur
yang dapat dengan mudah memindahkan lokasi usahanya (foot-‐loose industries) untuk
mendapatkan biaya produksi yang lebih rendah. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak
1997 telah mempertegas gugurnya semua asumsi tersebut dan membuat tenaga kerja pedesaan
tidak lagi dapat menemukan lapangan kerja di perkotaan. Ini juga membuktikan bahwa
6 Program revolusi hijau yang hanya berorientasi pada peningkatan hasil produksi pertanian ternyata telah mendorong terjadinya proses pemiskinan dan menghilangkan potensi yang sangat besar dari masyarakat desa dalam rangka membangun dasar pembangunan ekonomi nasional yang kuat; sebaliknya program ini hanya memperkuat posisi ekonomi dan politik dari elite-elite pedesaan (Arief 1979; Zacharias 1983; Billah, Widjajanto dan Kristyanto 1984; Wiradi 1984 dan 1986; Kasryno 1984; Hüsken 1989; Hüsken dan White 1989; dan White dan Wiradi 1989). 7 Mengenai hasil-hasil program land reform tahun ’60-an, lihat misalnya Utrech 1970, Morad 1970, Huizer 1980: 64-127, dan Hutagalung 1985.
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
6
strategi pemerintah Orde Baru dalam pengelolaan tanah dan sumber daya alam tidak
dirancang untuk mengembangkan dasar yang kokoh bagi perekonomian bangsa, apalagi
diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat.
Reforma Agraria sebagai Jalan Keluar
Abdurachman Wahid alias Gus Dur sewaktu menjabat sebagai Presiden RI setelah
Pemilu 1999 menyatakan hendak membagi-‐bagi tanah perkebunan yang dikuasai oleh
perusahaan-‐perusahaan perkebunan milik negara (PTP) sebanyak lebih kurang 40%,
khususnya yang telah diduduki dan digarap oleh petani.8 Wahid menganggap penguasaan
tanah oleh perkebunan-‐perkebunan besar berlebihan dan telah membuat petani-‐petani yang
“lapar tanah”, dan tidak pernah “diberi makan” dengan baik oleh pemerintah, melakukan
pendudukan tanah (Surya 2000). Sayangnya niat bagus ini tidak segera terlaksana sampai
saatnya ia dilengserkan oleh parlemen. Terlepas dari seberapa besar kadar komitmen
politiknya itu, Wahid adalah pimpinan nasional yang pertama pasca-‐1965 yang menyerukan
pengurangan dan melakukan redistribusi terhadap tanah negara yang dikuasai dalam skala
besar oleh perusahaan-‐perusahaan perkebunan.9
Gagasan-‐gagasan untuk menjalankan pembaruan agraria telah menguat kembali pada
awal tahun ’90-‐an ketika sekelompok ornop, organisasi tani, dan sejumlah scholar-‐activists
membentuk Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 1994. Sejak tahun 2001,
seperangkat gagasan dan petunjuk untuk menjalankan pembaruan agraria dipertemukan
secara konseptual dengan gagasan penegakan prinsip-‐prinsip baru dalam pengelolaan sumber
daya alam yang berkeadilan. Perkawinan dua konsepsi dan prinsip ini juga bertujuan untuk
menggabungkan dua agenda dari dua kelompok yang biasa disebut kelompok “pro-‐RA
(Reforma Agraria)” dan kelompok yang biasa disebut “pro PSDA (Pengelolaan Sumber Daya
Alam)”.10 Kesepakatan untuk menggabungkan konsep-‐konsep pembaruan agraria dan
8 Wahid pertama kali mengemukakan niatnya itu ketika menyampaikan pidato sambutan pada Konferensi Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam, Jakarta 23 Mei 2000. Ia kemudian mempertegas hal itu dalam Sidang Umum MPR yang pertama di tahun 2000. Lihat Surya 2000; Fauzi dan Zakaria 2000: 40 khususnya catatan 65; dan Bachriadi 2000. 9 Untuk mengetahui pandangan pimpinan nasional pada masa sebelum 1965, lihat misalnya Hatta 1992[1946] dan Soekarno 1960. 10 Sebelumnya kedua kelompok ini sering ‘bersitegang’ mengenai gagasan mana yang lebih penting didahulukan berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam (Bachriadi 2001c). Kelompok pro-PSDA sering menganggap pelaksanaan reforma agraria, khususnya land reform, akan berkontribusi pada perusakan lingkungan, karena program ini akan meredistribusi kontrol dan kepemilikan tanah, termasuk tanah-tanah kehutanan, ke dalam unit-unit kecil. Sementara kelompok pro-RA menyatakan bahwa sangat dimungkinkan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan dan berkeadilan sosial meskipun pembaruan agraria dijalankan; karena selain memberikan
= Bachriadi
7
pengelolaan sumber daya alam tersebut tercermin dalam aktivitas advokasi yang intensif di
sepanjang tahun 2001 yang telah mendorong MPR menerbitkan Ketetapan MPR IX/2001
tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (lihat Lucas dan Warren,
2003). Terbitnya Ketetapan ini, yang berarti masuknya kembali reforma agraria sebagai agenda
negara, merupakan hasil dari kerja lobi dan tekanan-‐tekanan yang telah dilakukan selama
bertahun-‐tahun untuk menghidupkan kembali mandat-‐mandat UUPA 1960 yang dimandulkan
oleh Orde Baru (Wiradi 2000, Tjondronegoro 2007a).
Setelah TAP-‐MPR terbit, muncul sejumlah kerisauan di kalangan pro-‐pembaruan agraria
itu sendiri. Secara khusus muncul kekhawatiran akan adanya akibat negatif dari penerbitan
TAP-‐MPR tersebut terhadap keberadaan UUPA 1960. Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)
menganggap lahirnya Ketetapan tersebut sebagai lonceng kematian bagi UUPA 1960 (Bey,
2002). Sementara di tingkat akar rumput kemunculan TAP-‐MPR ini justru menciptakan
semangat baru di kalangan petani untuk memperluas aksi-‐aksi pendudukan tanah dan
reklaiming yang telah mereka lakukan sejak pertengahan tahun 80-‐an yang dimulai dari kasus
tanah Badega di Garut Selatan (Rianto 1995; Setiakawan 1991; Bachriadi 2002b). Kelompok
petani yang tergabung dalam Serikat Petani Pasundan yang aktif melakukan aksi-‐aksi kolektif
pendudukan tanah, misalnya, menggunakan TAP-‐MPR tersebut sebagai argumen mereka
ketika berhadapan dengan pihak pemerintah maupun penguasa tanah perkebunan dan hutan-‐
negara (Lucas dan Warren, 2003; Bachriadi, 2008 dan 2009a; Peluso, Afiff dan Fauzi, 2008).
Meskipun demikian, TAP-‐MPR ini tidak dapat memperkuat posisi tanah-‐tanah pendudukan
karena pemerintah daerah dan kantor-‐kantor pertanahan setempat tidak segera menerbitkan
peraturan-‐peraturan yang mengakui atau melegalisasi tanah-‐tanah pendudukan tersebut.
Telikungan Neoliberalisme
Mungkin ada benarnya keresahan sekelompok aktivis dan organisasi yang tergabung
dalam FSPI yang menganggap Tap MPR No. IX/2001 akan mengungkap masuknya agenda-‐
agenda neoliberal yang pada intinya hendak mengintensifkan kerja kapital, penguasaan tanah,
dan eksploitasi sumber daya alam lainnya di Indonesia. Kerisauan mereka ternyata menjadi
kenyataan ketika pengawalan atas keluarnya ketetapan tersebut tidak dilakukan secara intensif
dan ketat; sementara elemen gerakan sosial sendiri terbelah menjadi dua, antara yang
mendukung dan yang anti terhadap Ketetapan MPR tersebut. FSPI khawatir ketetapan ini akan
penekanan kepada prinsip keadilan distributif, reforma agraria juga dimaksudkan untuk membatasi konsentrasi penguasaan sumber daya alam yang justru merusak. Lihat juga working paper ARC seri Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru No. 02/KAPPOB/I/2017.
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
8
membuka jalan bagi upaya-‐upaya untuk merevisi UUPA 1960. Sementara kelompok yang pro
TAP-‐MPR tidak mempersoalkan jika UUPA 1960 harus diubah khususnya setelah dilakukan
upaya pengintegrasian semua peraturan perundang-‐undangan yang berkaitan dengan agraria
dan pengelolaan sumber daya alam (lihat Bachriadi, 2002a; dan Lucas dan Warren, 2003);
kelompok pro-‐PSDA kemudian mengikuti inisiatif Kementerian Lingkungan Hidup untuk
menghasilkan Rancangan Undang-‐undang Pengelolaan Sumber Daya Alam yang dinyatakan
sebagai bagian dari upaya menjalankan TAP-‐MPR No. IX/2001 (lihat Kartodihardjo et al. 2005).
Inisiatif ini dilakukan sebelum upaya untuk mengkaji ulang semua peraturan perundangan-‐
undangan yang berkaitan dengan agraria dan pengelolaan sumber daya alam secara resmi
dilakukan oleh pemerintah maupun DPR seperti yang diamanatkan dalam Ketetapan MPR No.
IX/2001. Langkah yang diambil oleh kelompok pro-‐PSDA itu tidak disetujui oleh sejumlah
anggota KPA.
Pada kenyataannya integrasi peraturan perundangan-‐undangan yang berkaitan dengan
agraria dan pengelolaan sumber daya alam tidak menjadi perhatian dari masing-‐masing
departmen terkait dalam pemerintahan (seperti Departemen Kehutanan, Pertambangan, dan
Sumber Daya Kelautan, misalnya), karena mereka hendak mempertahankan administrasi
sektoral dan kekuasaannya terhadap pengelolaan sumber daya alam melalui peraturan hukum
yang terpisah. Jadi, di satu pihak, pemerintahan pasca-‐Soeharto hendak mengubah sejumlah
undang-‐undang yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya alam sejalan dengan program
reformasi hukum (law reform) pada masa reformasi, sesuai dengan agenda reformasi dari
kekuatan-‐kekuatan pro-‐ pasar dalam rangka privatisasi dan mengurangi peran negara di
bidang ekonomi dan penyediaan/pelayanan jaminan sosial.11 Di lain pihak, para pendukung
pembaruan agraria terus terseok-‐seok dalam mengawal proses perubahan-‐perubahan
kebijakan sektoral, kecuali terhadap upaya-‐upaya tertentu yang dilakukan oleh BPN untuk
mengubah UUPA 1960, yang dilakukan dengan sangat cerdik, termasuk memanfaatkan
keberadaan Ketetapan MPR No. IX/2001.
Terbitnya UU Perkebunan (UU No. 18/2004) yang mengganti semua peraturan yang
berkaitan dengan perkebunan12 dan mengukuhkan pemegang HGU atas tanah-‐tanah
perkebunan serta munculnya aspek kriminalisasi atas pendudukan tanah perkebunan di satu
sisi adalah bentuk keberhasilan dari kelompok-‐kelompok pro-‐perkebunan besar untuk
11 Momentum reformasi telah digunakan dengan sangat efektif oleh kekuatan-kekuatan kapitalis neoliberal untuk menata ulang infrastruktur hukum di Indonesia di hampir semua bidang, khususnya investasi, perdagangan, perburuhan, energi dan eksploitasi sumber daya alam melalui serangkaian aktivitas yang disebut dengan “reformasi hukum” (law reform). Lihat Lubis dan Santosa 1999, Bachriadi 2005 dan 2006, Kompas 2008. 12 Termasuk UU No. 51/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin.
= Bachriadi
9
mengukuhkan kontrol mereka terhadap tanah-‐tanah negara; di sisi lainnya, menunjukkan
kemunduran dalam upaya-‐upaya pembentukan hukum yang pro-‐petani dan rakyat kecil dalam
hal penguasaan tanah dan pengelolaan sumber daya alam di era reformasi.13 Kecenderungan
untuk membajak reformasi atas nama ‘pembaruan hukum’ juga terlihat dengan terbitnya UU
Pengelolaan Sumber Daya Air (UU No. 7/2004) yang membuka jalan bagi perusahaan swasta
untuk memonopoli distribusi sumber daya air; dan diterbitkannya UU Darurat No 1/2004 yang
disusul dengan UU. No. 19/2004 untuk mengubah UU Kehutanan (UU No. 41/1999) oleh
pemerintahan Megawati yang memungkinkan sejumlah perusahaan pertambangan untuk
melakukan kegiatan eksploitasi di dalam kawasan hutan lindung (Bachriadi 2004b). Daftar itu
semakin panjang ketika pemerintah Megawati merevisi UU Perminyakan dan Gas Alam (UU
No. 22/2001) yang disusul oleh pemerintahan Yudhoyono yang mengubah peraturan tentang
investasi dengan menerbitkan UU No. 25/2007 serta menerbitkan UU No.4/2009 tentang
pertambangan dan batu bara yang mengukuhkan dominasi perusahaan swasta, khususnya
perusahaan asing, untuk mengeksploitasi sumber daya alam, di satu sisi, dan mengurangi
peran negara dalam mencegah eksploitasi berlebihan. Kita patut berterima kasih kepada
gerakan sosial yang menuntut pembatalan UU Penanaman Modal (UU No. 25/2007) dan
Mahkamah Konstitusi yang dalam persidangan Judicial Review-‐nya kemudian berhasil
menghapus pasal penetapan HGU selama 90 tahun dalam undang-‐undang tersebut (lihat
Mahkamah Konsitusi 2007) karena jelas hal itu bertentangan dengan semangat UUPA 1960
yang hendak mengurangi konsentrasi penguasaan tanah oleh perusahaan-‐perusahaan
perkebunan (lihat pasal III dan IV dari Ketentuan-‐ketentuan Peralihan UUPA 1960).14
Semangat UUPA untuk mengurangi konsentrasi penguasaan tanah oleh perusahaan-‐
perusahaan perkebunan itu sendiri adalah hal yang sangat jarang dikupas dan dianalisis
dengan baik oleh para pengkaji UUPA dan pemerhati perkebunan besar di Indonesia.
Angin perubahan yang bertiup deras pada masa awal era reformasi juga telah membuka
semua tabir ‘kesakralan’ UUPA 1960. Sungguhpun upaya untuk membuka tabir ‘kesakralan’ itu
sebetulnya telah dimulai dengan sangat berani oleh sejumlah aktivis yang banyak bekerja
untuk membela hak-‐hak masyarakat adat ketika mereka mulai melakukan kampanye untuk
13 Tak lama setelah UU ini terbit, para penegak hukum kemudian menggunakannya sebagai dasar hukum untuk menangkap, menahan, dan mengadili sejumlah petani di sejumlah kasus konflik perkebunan dengan tunduhan mereka telah melakukan tindak kriminal, meskipun konflik-konflik itu telah muncul bertahun-tahun sebelum ditebitkannya UU No. 18/2004. Misalnya adalah penangkapan petani di kasus Lengkong di Sukabumi, Jawa Barat, pada tahun 2005-2006 dan kasus Bandar Pasir Mandoge di Asahan, Sumatera Utara, pada tahun 2006. lihat Perhimpunan Rakyat Pekerja 2006, dan Serikat Petani Sumatera Utara 2007a dan 2007b. 14 Sangat disayangkan Mahkaman Konstitusi tidak menerima semua tuntutan kelompok gerakan sosial yang menuntut pembatalan UU Penanaman Modal yang baru tersebut.
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
10
merevisi UUPA 1960 jauh sebelum era reformasi dimulai, dan meskipun pada saat itu mereka
mendapatkan tantangan yang sangat keras dari rezim penguasa yang memanfaatkan
kekuasaan negara yang sangat besar, seperti yang dimandatkan oleh UUPA 1960, untuk
mengabaikan beragam hak rakyat atas tanah,15 ‘semangat reformasi’ telah merangsang
sejumlah pihak termasuk aparat pemerintah dan lembaga-‐lembaga pembangunan asing untuk
berbicara lebih lantang dan mengupayakan sejumlah usaha untuk mengubah UUPA 1960
(Bachriadi 2005 dan 2006). Mereka telah berinisiatif untuk menyusun sejumlah argumen
tentang perlunya UUPA 1960 diganti dalam rangka mengikuti sejumlah kepentingan untuk
mengaitkan kebijakan pertanahan di Indonesia dengan kecenderungan-‐kecederungan dalam
pembentukan kebijakan tanah global yang berorientasi neoliberal. Sejumlah usulan rancangan
undang-‐undang untuk mengganti UUPA 1960 dengan undang-‐undang yang baru pun
kemudian digagas oleh kekuatan pro-‐pasar ini.
Agenda neoliberal untuk mengganti UUPA 1960 adalah untuk mengubah sistem dan
prinsip hukum dalam penyediaan tanah dari sistem yang bertumpu pada negara (state-‐led)
dengan sistem yang bertumpu pada pasar bebas. Di dalam model ini tanah sepenuhnya
diperlakukan sebagai komoditas ekonomi yang sangat bertentangan dengan posisi UUPA 1960
yang memperlakukan tanah sebagai alat untuk mencapai keadilan sosial (melalui prinsip
fungsi sosial dari tanah).16 Agenda neoliberal di bidang pertanahan tersebut mulai dikukuhkan
secara tegas sejak tahun 1994 melalui Proyek Administrasi Pertanahan (1994-‐1998) dan Proyek
Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pertanahan (LMPDP, Land Management and Policy
Development Project) (2005-‐2009). Kedua proyek ini sebagian besar dibiayai oleh pinjaman
luar negeri yang disediakan oleh Bank Dunia dengan tujuan untuk meletakkan dasar-‐dasar
bagi proses pengintegrasian kebijakan pertanahan di Indonesia dengan agenda-‐agenda pasar
bebas (World Bank 1994 dan 2004).
Untuk mencapai tujuan tersebut, suatu legitimasi hukum yang baru diperlukan karena
UUPA 1960 sebagai dasar hukum agriaria yang utama pada hakikatnya memiliki perspektif
yang lain, yakni anti terhadap pasar tanah yang bebas. Karena itu UUPA 1960 harus diubah.
Bank Dunia sangat mendorong perubahan hukum tersebut karena UUPA 1960 dinilai telah
ketinggalan zaman dan tidak cocok lagi dengan situasi pembangunan di Indonesia masa kini
yang harus berhubungan dengan kenyataan perdagangan bebas di era globalisasi sekarang
15 Untuk sejumlah argumen aktivis ornop tantang perlunya mengubah UUPA 1960 dalam rangka memelihara dan mengembalikan hak-hak masyarakat adat atas tanah, lihat misalnya Ruwiastuti 1997, 1998, dan 2000; Bantaya 1997; dan Ruwiastuti, Fauzi dan Bachriadi 1998. 16 Mengenai prinsip fungsi sosial dari tanah lihat UUPA 1960 Pasal 6. Lihat juga penjelasan dan peringatan Hatta 1992[1946]: 10 tentang tanah di Indonesia jangan diperlakukan sebagai komoditas.
= Bachriadi
11
(Bappenas dan BPN 1997: RE – 2-‐3). UUPA 1960 juga dianggap sebagai penghambat penyediaan
tanah untuk tujuan-‐tujuan investasi. Biaya tinggi dalam penyediaan tanah untuk kepentingan
investasi disebabkan oleh adanya distorsi pasar dan konflik, yang muncul akibat lemahnya
aspek kepastian hukum dalam penguasaan tanah di Indonesia. Para penyokong pasar tanah
meyakini bahwa situasi itu bersumber dari “bentuk-‐bentuk hak atas tanah yang diciptakan
oleh UUPA … sangat tidak memadai” (Wallace dan Williamson, 2006: 124).
Itu sebabnya program-‐program yang berkenaan dengan sertifikasi tanah dan
penggantian peraturan perundang-‐undangan yang berhubungan dengan tanah menjadi
agenda penting Bank Dunia yang merupakan salah satu palang pintu (midfielder) terpenting
dari kekuatan neoliberal di Indonesia saat ini. Gagasan untuk mengubah UUPA 1960 pada
awalnya ditampilkan ke publik secara perlahan dan hati-‐hati melalui sejumlah dokumen mulai
tahun 1994. Hingga Soeharto jatuh empat tahun kemudian, di tahun 1998, usaha-‐usaha mereka
masih dalam tahap pengembangan dan penyampaian gagasan melalui serangkaian kajian17 dan
publikasi yang diedarkan secara terbatas. Meskipun demikian, pada tahap ini pun
sesungguhnya sejumlah tantangan dan kritik dari para pendukung pembaruan agraria yang
populis telah muncul (lihat misalnya Konsorsium Pembaruan Agraria 1996a, 1996b, 1997a, dan
1997b).
Bank Dunia dan pemerintah Indonesia sangat sadar bahwa mengubah UUPA 1960
bukanlah perkara mudah (Bappenas dan BPN, 1997). UUPA 1960 memiliki posisi unik dalam
sejarah politik hukum di Indonesia yang membuatnya memiliki pendukung-‐pendukung dan
pembela-‐pembela yang sangat gigih, khususnya sejumlah politisi nasionalis, akademisi, dan
aktivis-‐aktivis yang pro-‐populis (Bachriadi 2005 dan 2006). Akan tetapi pendukung pasar
tanah yang bebas memperoleh situasi yang sangat menguntungkan ketika muncul ‘suara-‐suara
sejenis’ yang berasal dari kelompok organisasi non-‐pemerintah yang menghendaki
pengubahan UUPA meskipun dengan orientasi yang berbeda.
Berbeda dengan agenda neoliberal di atas, sejumlah aktivis memiliki perhatian pada dua
hal berkenaan dengan keberadaan UUPA 1960 yang mendorong mereka untuk menggagas
perubahan undang-‐undang ini. Pertama, mereka menaruh perhatian pada prinsip Hak
Menguasai Negara yang ada dalam UUPA 1960 yang selama ini telah digunakan secara efektif
oleh rezim penguasa untuk mengabaikan hak-‐hak penduduk setempat, khususnya kelompok-‐
kelompok masyarakat adat, atas tanah dan pengelolaan sumber daya alam. Para aktivis hendak
mengganti prinsip tersebut dengan prinsip lainnya yang mereka sebut dengan ‘Hak Menguasai 17 Rangkaian kajian untuk mengubah kebijakan agraria di Indonesia adalah salah satu bagian dari kerja PAP yang dikategorikan sebagai Bagian-C dari proyek ini.
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
12
oleh Rakyat’ dalam rangka mengatur dan mengelola penguasaan dan penggunaan tanah dan
sumber daya alam lainnya.18 Kedua, kepedulian para aktivis adalah untuk memelihara dan
memperkuat pengakuan atas keberagaman hak-‐hak masyakat adat atas tanah dan wilayah
budaya mereka secara hukum yang selama ini tidak cukup jelas diposisikan oleh UUPA 1960
yang bersikap ambivalen (mendua) dalam memandang keberadaan mereka.
Para aktivis yang melakukan kampanye tentang perlunya perubahan UUPA berupaya
melakukan reinterpretasi semangat populisme UUPA 1960 melalui pemberian pengakuan
sepenuhnya terhadap hak-‐hak masyarakat adat atas tanah. Hal terpenting dari gagasan
‘perubahan’ UUPA 1960 yang dikemukakan oleh para aktivis adalah sesungguhnya mereka
hendak menjaga serta memperkuat prinsip-‐prinsip populisme, fungsi sosial tanah, tanah untuk
penggarap, anti monopoli, dan prinsip keberagaman dalam bangsa yang bersatu (lihat
Konsorsium Pembaruan Agraria 1998).
Dalam hal ini tidak semua aktivis dan scholar-‐activists yang bekerja untuk mendorong
pembaruan agraria di Indonesia sepakat dengan gagasan untuk mengubah UUPA 1960.
Sebagian dari mereka adalah para pendukung UUPA 1960 yang sangat gigih. Akhirnya kita
dapat melihat adanya tiga kelompok aktivis yang berkaitan dengan gagasan-‐gagasan dan
upaya-‐upaya untuk mengubah UUPA. Kelompok pertama adalah aktivis-‐aktivis yang
sepenuhnya mendukung penggantian UUPA 1960 dengan undang-‐undang agraria yang baru.
Mereka sebagian besar adalah kelompok gerakan pro-‐masyarakat adat dan beberapa elemen
dari gerakan lingkungan. Kelompok kedua adalah kelompok aktivis dan scholar activists yang
sama sekali menolak gagasan untuk perubahan UUPA 1960. Sejumlah aktivis di pimpinan
pusat FSPI dan sejumlah anggota KPA adalah bagian dari kelompok kedua ini. Kelompok
ketiga adalah aktivis-‐aktivis gerakan sosial pedesaan dan scholar-‐activists yang mengambil
posisi moderat, di tengah-‐tengah kedua kelompok lainnya. Mereka tidak mempromosikan
suatu perubahan maupun penggantian UUPA 1960, tetapi mengusulkan perbaikan atau
amandemen UUPA 1960 dan tetap menjaga namanya sebagai UUPA. Posisi mereka hanya
menyetujui amandemen terhadap sejumlah pasal dari UUPA yang perlu diperbaiki agar lebih
sesuai dengan kondisi kesulitan hidup masyarakat desa di Indonesia saat ini. Mereka
menerima gagasan kelompok pertama dalam rangka menerapkan sudut pandang pluralisme
hukum untuk mengintepretasi ulang semangat populisme UUPA 1960. Mereka juga menerima
gagasan-‐gagasan kelompok kedua untuk mempertahankan prinsip tanah untuk penggarap,
semangat populis, dan kedaulatan bangsa/nasional dari UUPA 1960. Gagasan mereka untuk
18 Lihat Konsorsium Pembaruan Agraria 1998, dan Fauzi dan Bachriadi 1998 untuk melihat lebih lanjut argumen-argumen mengenai hal ini dan mengenai promosi prinsip ‘Hak Menguasai oleh Rakyat’.
= Bachriadi
13
mengamandemen UUPA 1960 adalah dalam rangka membuat undang-‐undang ini menjadi
‘hukum yang aktif’ kembali secara positif yang dapat memberikan kembali kesempatan-‐
kesempatan politik untuk dijalankannya mandat pokok UUPA itu sendiri: pembaruan agraria
yang komprehensif dan terintegrasi dengan kenyataan keberagaman masyarakat Indonesia.
Selama pemerintahan Gus Dur (1999-‐2001) BPN telah meminta salah seorang ahli hukum
agraria dari Universitas Trisakti, Prof. Boedi Harsono, untuk merumuskan usulan Undang-‐
undang Pertanahan Nasional yang substansinya akan mengukuhkan sektoralisme dalam
sistem hukum agraria di Indonesia dan menyiapkan dasar hukum bagi pembentukan pasar
tanah.19 Pengganti Gus Dur, Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-‐2004) yang berasal dari
PDI-‐P mengeluarkan Keppres No. 34/2003 tentang kebijakan nasional di bidang pertanahan20
dalam rangka menindaklanjuti Ketetapan MPR No. IX/2001 yang isinya memerintahkan BPN
untuk menyelesaikan usulan undang-‐undang yang disebut sebagai ‘penyempurnaan’ UUPA
1960 dalam jangka waktu satu tahun setelah terbitnya Keppres21.
Sementara itu Bappenas sejak 2006 mulai mengubah posisi mereka dari sepenuhnya
mendorong perubahan UUPA 1960 ke posisi mempertahankan semangat UUPA 1960 dalam
perumusan-‐perumusan kebijakan pertanahan di Indonesia masa depan. Dalam laporan akhir
sementara Kerangka Kebijakan Pertanahan Nasional (KKPN), Bappenas22 masih bersikap
menyudutkan UUPA 1960 sebagai sumber dari berbagai ketidakpastian hukum dalam
19 Rumusan Prof. Boedi Harsono ini kemudian dipublikasikan dalam bentuk buku pada tahun 2002. Lihat Harsono 2002. Meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit untuk mengganti UUPA 1960, rumusan Prof. Boedi Harsono ini sangat potensial membuat UUPA menjadi tidak berfungsi. Rumusan itu kemudian tidak hanya memperoleh kritik yang sangat keras dari para pendukung UUPA yang berada di luar parlemen yang dimotori oleh KPA (lihat misalnya Fauzi 2001 dan Bachriadi 2001a), tetapi juga dijegal oleh sejumlah politisi nasionalis yang ada di parlemen pada saat itu seperti Armin Arjoso dari PDI-P yang menjadi Ketua Komisi II DPR ketika hendak diajukan ke DPR. 20 Dikeluarkan pada tanggal 23 Mei 2003. 21 Dengan tergesa BPN membentuk tim baru yang kali ini dipimpin langsung oleh Wakil Kepala BPN sendiri, Prof. Maria SW Sumardjono, yang juga seorang ahli hukum agraria dari Universitas Gadjah Mada untuk menyusun suatu rancangan undang-undang yang lain lagi yang disebut dengan RUU Sumber Daya Agraria untuk menggantikan UUPA 1960. RUU tersebut memiliki kecenderungan untuk menetapkan pemberlakuan HGU dalam rentang waktu lebih panjang daripada yang ditetapkan oleh UUPA 1960, dan hendak mengubah/menyederhadakan hak-hak penguasaan tanah yang dalam hal ini juga akan melemahkan posisi undang-undang lainnya yang berkaitan dengan sumber daya alam seperti UU Kehutanan dan Pertambangan. Karena itu, selain memperoleh tentangan dan kritik dari sejumlah pendukung UUPA yang kembali dimotori oleh KPA (lihat misalnya Tjondronegoro et al. 2004, Sodiki 2004 dan Setiawan 2004), rancangan undang-undang rumusan tim BPN kali ini juga ditentang/ditolak oleh sejumlah departemen yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. 22 Laporan akhir sementara ini disampaikan dalam suatu lokakarya nasional yang diselenggarakan oleh Bappenas di Jakarta pada bulan November 2006. KKPN adalah salah satu hasil dari Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) yang dilanjutkan dengan Proyek Pengembangan Kebijakan dan Manajemen Pertanahan (yang lebih dikenal dengan LMPDP) yang dibiayai oleh Bank Dunia. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai LMPDP, lihat situs resmi proyek ini www.landpolicy.od.id
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
14
penguasaan tanah di Indonesia, sebagaimana pandangan-‐pandangan ahli hukum pertanahan
internasional yang disewa oleh Bank Dunia selama ini. Posisi laporan Bappenas mulai berubah
ketika sejumlah scholar-‐activists agraria23 mengkritisi laporan tersebut hingga satu bagian
kesimpulan dari KKPN tersebut menyatakan “semangat UUPA 1960 harus dipertahankan
sebagai salah satu prinsip dari kebijakan pertanahan” (Bappenas 2006: 6).
Di samping sejumlah tantangan yang datang dari para pendukung UUPA, upaya-‐upaya
BPN untuk menghasilkan rancangan undang-‐undang agraria baru yang dapat disahkan oleh
DPR selalu gagal memperoleh dukungan dari lembaga-‐lembaga pemerintah (departemen)
lainnya, seperti departemen kehutanan dan pertambangan, yang tidak mau kehilangan
kekuasaannya dalam mengatur pengelolaan dan penggunaan kekayaan alam. Pada
pertengahan tahun 2006, BPN akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan upaya-‐upaya
mereka untuk menghasilkan undang-‐undang agraria yang baru untuk menggantikan UUPA
1960.24 Kepala BPN, Joyo Winoto, mengatakan lebih baik merumuskan undang-‐undang
pertanahan yang merupakan peraturan perundangan-‐undangan turunan UUPA 1960 untuk
memenuhi kebutuhan perkembangan sosial-‐ekonomi saat ini daripada mengubah UUPA
dengan undang-‐undang agraria baru yang prosesnya lebih rumit (Sinar Harapan 2007). Untuk
itu, dengan bantuan pinjaman uang dari Bank Pembangunan Asia (ADB, Asian Development
Bank), sejak tahun 2007 BPN mulai merumuskan undang-‐undang pertanahan yang
sesungguhnya disusun dalam rangka memenuhi keluhan-‐keluhan dan permintaan pengusaha
yang mengeluhkan soal kerumitan dan biaya tinggi untuk menguasai tanah bagi kegiatan
investasi di Indonesia (lihat Sinar Harapan 2007 dan Asian Development Bank 2007).25
23 Beberapa scholar-activists yang berafiliasi ke KPA yang bersama sejumlah akademisi dan aktivis ornop lainnya selain sejumlah pegawai instansi pemerintah yang diundang untuk memberikan pandangan-pandangan kritis terhadap laporan sementara Bappenas tentang KKPN dalam lokakarya yang diselenggarakan pada bulan November 2006. 24 Secara resmi BPN menyampaikan sikapnya yang baru ini ketika mereka melakukan pertemuan dengar pendapat dan konsultasi dengan DPR pada 29 Januari 2007. Lihat Sinar Harapan 2007. 25 Keluhan-keluhan pengusaha kepada pemerintah muncul ketika diadakan ‘Infrastructure Summit 2005’ di Jakarta, yang kemudian ditanggapi oleh pemerintahan Yudhoyono yang baru saja terpilih dalam Pemilu 2004 dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Proyek Pembangunan dan Kepentingan Umum sebagai pengganti Keppres No. 55/1993. Organisasi-organisasi gerakan sosial menganggap Perpres yang dikeluarkan Yudhoyono lebih berpihak kepada kepentingan bisnis, karena peraturan tersebut cenderung memfasilitasi penggusuran untuk kegiatan yang mengatasnamakan “proyek-proyek pembangunan” ketimbang untuk memberikan pengakuan atau legitimasi tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat untuk keberlanjutan hidupnya. Akibat gelombang protes yang terjadi di berbagai daerah pemerintah kemudian mengganti Perpres tersebut dengan Peraturan Presiden No. 65/2006 yang menurut Sumardjono (seorang ahli hukum agraria dari Universitas Gadjah Mada) dan para penyokong gerakan sosial tidak ada perbedaan yang cukup berarti antara peraturan sebelumnya dengan peraturan penggantinya. Lihat Sinar Harapan 2006, Radar Tasikmalaya 2005a dan 2005b, Kompas 2006a dan 2006b, Sumardjono 2006, dan Koalisi Rakyat Tolak Perpres 36/2005.
= Bachriadi
15
Sejumlah aktivis yang berafiliasi ke KPA menganggap keputusan BPN untuk tidak
mengubah UUPA 1960 adalah keputusan dan kemauan politik yang bagus dari rezim SBY-‐JK26.
Lebih jauh pemimpin KPA percaya bahwa usaha BPN untuk merumuskan undang-‐undang
pertanahan tersebut akan dilakukan sejalan dengan UUPA 1960 (Setiawan 2008). Sayangnya,
para penyokong pembaruan agraria yang populis kurang memberi perhatian dan pengawasan
terhadap proses penyusunan RUU Pertanahan yang dilakukan oleh BPN-‐ADB tersebut.27 Satu-‐
satunya kajian kritis yang agak serius terhadap inisiatif BPN-‐ADB tersebut dilakukan oleh
Serikat Petani Indonesia (SPI) (Serikat Petani Indonesia 2009).28 Dalam kesimpulannya SPI
secara umum menekankan sejumlah kritik terhadap upaya BPN menyusun RUU Pertanahan
sebagai berikut29: (1) RUU Pertanahan hanya memiliki fokus pada investasi di bidang
infrastruktur, bukan untuk pembaruan agraria; (2) inisiatif untuk menyusun RUU ini telah
mengabaikan aspirasi rakyat, karena disusun oleh BPN bersama ADB secara diam-‐diam; (3)
tujuan dari RUU ini adalah untuk mempercepat pembentukan pasar tanah semata; (4) RUU ini
tidak menyokong pembangunan pedesaan yang berkelanjutan; (5) RUU ini akan memperparah
konflik agraria; dan (6) RUU tersebut akan menghilangkan kedaulatan pangan rakyat (Serikat
Petani Indonesia 2009: 13-‐18).
Kelompok yang mendukung pembaruan agraria memang untuk sementara ini berhasil
‘menyelamatkan’ UUPA 1960 dari gempuran langsung kekuatan neoliberal. Namun,
sesungguhnya penataan ulang (law reform) peraturan perundang-‐undangan yang berkaitan
dengan agraria dan pengelolaan sumber daya alam sebagai bagian dari agenda penataan ulang
sistem hukum yang lebih luas di Indonesia yang mendukung pasar dan investasi sepenuhnya
sudah mendekati tuntas. Kekuatan-‐kekuatan neoliberal telah berhasil mengubah atau
26 Komunikasi pribadi dengan Agustiana, Sekretaris Jendral SPP, 22 Agustus 2006; Gunawan Wiradi, anggota Dewan Pakar KPA, 22 Agustus 2006; dan Usep Setiawan, Sekretaris Jendral KPA, 28 Agustus 2006. 27 KPA hanya menyatakan dengan sangat singkat mengenai kegiatan perumusan RUU ini dalam ‘Catatan Kritis’ mereka tentang perkembangan situasi agraria di Indonesia di penghujung tahun 2007 yang dicantumkan di situs KPA (www.kpa.or.id) hampir setahun setelah BPN menyampaikan secara terbuka kegiatan mereka untuk merumuskan undang-undang tersebut dengan bantuan ADB. Lihat Konsorsium Pembaruan Agraria 2007b. Beberapa bulan kemudian pimpinan KPA menulis artikel populer di satu koran nasional, pada awal tahun 2008, di mana ia menyatakan adanya kemungkinan kooptasi neoliberal dalam usaha BPN tersebut, meskipun ia tetap percaya BPN akan mengikuti dan konsisten dengan mandat-mandat serta prinsip-prinsip UUPA 1960. Lihat Setiawan 2008. 28 Lihat kembali catatan 26 di atas mengenai kritik-kritik dari kelompok gerakan sosial yang menolak keberadaan Peraturan Presiden No. 36/2005 dan No. 65/2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan dan Kepentingan Umum. 29 Dengan segala penghargaan kepada SPI dan upaya mereka untuk menyampaikan kritik atas inisiatif BPN ini, kritik-kritik yang disusun oleh SPI pada umumnya dibangun berdasarkan pandangan-pandangan umum, tidak didukung oleh data dan informasi yang cukup, khususnya penyajian hal-hal yang penting untuk dikritisi yang bersumber dari draf atau rumusan RUU Pertanahan yang sedang atau sudah disusun oleh BPN tersebut. Tampaknya SPI tidak memiliki dokumen draf RUU yang sedang/sudah disusun oleh BPN tersebut.
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
16
membuat sejumlah peraturan perundang-‐undangan memfasilitasi kepentingan bisnis swasta
memonopoli pengelolaan kekayaan alam di negeri ini, meskipun hal itu tidak berarti bahwa
era reformasi hanya menyisakan ‘kekalahan’ bagi kelompok pro-‐reforma agraria. Di berbagai
daerah, walau bagaimanapun, perubahan politik dari rezim otoritarian ke demokrasi dengan
berbagai bentuk penyimpangannya (lihat Törnquist et al. 2003; Harris, Stokke dan Törnquist
2004) telah membuka ruang yang lebih besar bagi berkembangnya aksi-‐aksi kolektif, bukan
hanya yang berkaitan dengan pendudukan tanah tetapi juga upaya untuk mendapatkan
pengakuan hukum terhadap hak atas tanah (lihat, misalnya, Affif et al. 2005; Bachriadi 2008
dan 20009a; dan Peluso, Affif dan Rahman 2008).
PPAN: ‘Reformasi Agraria’ ala SBY yang Tidak Jelas
Ada satu lagi lompatan salto politik yang dihasilkan oleh ketidakjelasan dan kontradiksi
dari agenda reformasi yang dimulai pada pertengahan tahun 2006 ketika pemerintahan
Yudhoyono meluncurkan gagasan untuk meredistribusi tanah yang dikenal dengan nama
Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN).30 Munculnya PPAN sebagai satu program di
dalam pemerintahan SBY-‐JK saat ini sesungguhnya juga tidak terlepas dari upaya-‐upaya para
pendukung reforma agraria untuk memasukkan kembali isu ini ke dalam agenda kebijakan
nasional. Proses lobi kepada SBY dilakukan cukup intensif menjelang Pemilihan Presiden
secara langsung pada tahun 200431 dengan hasil SBY merevisi draf “Visi, Misi, dan Program”-‐
nya dengan memasukkan dua paragraf mengenai pelaksanaan reforma agraria jika ia dan JK
berhasil berkuasa. Akan tetapi, setelah lebih dari 2 tahun SBY-‐JK berkuasa tidak ada kejelasan
tentang bagaimana mereka menerjemahkan janji politiknya sewaktu kampanye. Hal ini 30 Program ini berencana meredistribusi sekitar 9,5 juta hektar tanah untuk masyarakat. Meskipun program redistribusi tanah adalah perhatian utama dari para pendukung pembaruan agraria, PPAN dengan segera memicu kontroversi di kalangan aktivis. Sebagian aktivis memandang program ini sebagai kesempatan untuk mempengaruhi BPN dan mewujudkan gagasan-gagasan populis tentang pembaruan agraria (lihat, misalnya, Maguantara et al. 2006, Setiawan 20007, dan Tjondronegoro 2007b). Sementara aktivis yang menentang menyatakan bahwa program tersebut hanya suatu manuver dari lingkaran politik Yudhoyono untuk memenangkan dukungan dari kelompok-kelompok gerakan sosial dan basis-basis petani mereka untuk kepentingan Pemilu 2009. Mereka menilai program ini secara diam-diam hendak menempelkan distribusi tanah sebagai bagian dari paket kebijakan pertanahan neoliberal di Indonesia (lihat Bachriadi 2007, Bachriadi dan Juliantara 2007). 31 Gunawan Wiradi dan Sediono MP Tjondronegoro, dua orang ahli agraria dari Bogor, didekati oleh Anton Poniman yang merupakan anggota dan pendiri Front Indonesia Bersatu, organisasi yang dibentuk untuk mendukung pencalonan SBY dalam pemilihan presiden 2004. Poniman membutuhkan dukungan argumentasi ilmiah yang kuat untuk membawa gagasan land reform ke dalam platform pencalonan SBY-JK. Wiradi sebagai anggota Dewan Pakar KPA kemudian mengundang anggota lainnya untuk berkontribusi dalam merumuskan gagasan untuk disampaikan ke SBY. Hasilnya adalah sebuah dokumen yang disebut dengan ‘Petisi Cisarua’ (dipublikasi sebagai Poniman et al. 2005). Petisi Cisarua intinya berisi seruan kepada pemerintah baru hasil pemilu 2004 untuk menjalankan pembaruan agraria. Pada saat yang sama aktivis-aktivis KPA melobi SBY lewat tim pemenangan pemilunya yang dipimpin oleh Jendral (purnawirawan) Adairi, kolega SBY di angkatan darat.
= Bachriadi
17
membuat kelompok-‐kelompok gerakan sosial melancarkan serangkaian protes yang menuntut
Yudhoyono untuk memenuhi janjinya (Kompas 2005, Tribun 2006, Sinar Harapan 2006).
Menjelang akhir tahun 2006, Joyo Winoto, Kepala BPN, menyatakan pemerintahan SBY-‐
JK hendak menjalankan program redistribusi tanah (lihat Tempo Interaktif, 2006a dan 2006b;
Koran Tempo, 2006; Kompas, 2007a dan 2007b) sebagai program yang dikatakannya sebagai
pelaksanaan dari janji politiknya untuk menjalankan “reformasi agraria” di Indonesia. Dari
laporan-‐laporan media massa sebelumnya terungkap bahwa Tanah Negara yang hendak
diredistribusi ada sekitar 9,25 juta hektare, terdiri atas 1,1 juta hektare tanah yang ditetapkan
sebagai obyek land reform menurut ketentuan yang berlaku (PP No. 224/1961)32; sementara 8,15
juta hektare lagi merupakan tanah yang berstatus kawasan hutan produksi konversi (Media
Indonesia 2007, Pikiran Rakyat 2007, Republika 2007). Tidak jelas benar siapa dan berapa
banyak petani yang akan menjadi subyek (penerima manfaat langsung pembagian tanah),
dengan cara bagaimana redistribusi tanah ini akan dilakukan dan apa bentuk hak yang akan
timbul atas tanah-‐tanah tersebut. Sedangkan soal pembatasan penguasaan tanah, meskipun
dalam pidato Kepala BPN dikatakan pemerintah berjanji untuk “mengatasi masalah
konsentrasi aset” dan “ketidakseimbangan penguasaan dan pemilikan tanah” (Winoto 2007: 4),
tidak jelas berapa hektare tanah kelebihan yang dikuasai oleh pribadi dan berapa luas tanah
yang terkonsentrasi di tangan pengusaha yang akan diredistribusi.
Dalam kerangka pembangunan pertanian yang lebih luas, program pembaruan agraria
SBY tersebut dirancang sebagai program penyerta (complementary program) untuk
menyediakan tanah dalam rangka pengembangan industri bahan bakar nabati (biofuel),
perikanan dan pertambakan, serta revitalisasi perkebunan (Tempo Interaktif, 2006a), yang
justru sangat berpotensi menciptakan konsentrasi penguasaan tanah.33 Karena itu, tidak
berlebihan jika program pembaruan agraria yang dicanangkan oleh SBY dianggap sebagai
kemasan baru untuk memperkuat posisi perkebunan-‐perkebunan besar, seperti yang
dinyatakan oleh Bachriadi (2007), termasuk untuk mengikat petani-‐petani kecil dalam
mekanisme hubungan produksi kontrak (contract farming) atau inti-‐plasma34 karena
32 Menurut ketentuan yang berlaku ada empat jenis tanah obyek land reform, yakni tanah kelebihan batas maksimum, tanah absentee, tanah eks-swapraja, dan tanah negara lainnya (semestinya termasuk tanah eks HGU yang telah dikuasai oleh petani). Lihat PP 224/1961 pasal 1 dalam Harsono 1996: 805. 33 Bandingkan dengan peringatan sejumlah ahli agraria dan aktivis pro reforma agrarian yang dinyatakan dalam ‘Petisi Cisarua’ (Poniman et al. 2005) yang menyatakan bahwa siapa pun yang berkuasa setelah Pemilu 2004 hendaknya tidak menempatkan pembaruan agrarian sebagai program ikutan dalam pembangunan pertanian yang bertumpu kepada investasi yang datang dari luar desa yang hanya berpotensi mengekspolitasi sumberdaya lokal. 34 Dalam model hubungan produksi kontrak, atau inti-plasma, petani kecil (sebagai plasma) dikonsolidasi untuk menghasilkan produk pertanian tertentu yang diatur oleh perusahaan besar (sebagai inti). Perusahaan mengontrol seluruh proses produksi dan distribusi hasil produksi petani sebagai kompensasi dari penyediaan kredit produksi
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
18
pengusaha yang hendak mengembangkan perkebunan besar di Indonesia didorong untuk
mengikutsertakan petani kecil dalam ikatan kontrak produksi dan pemasaran.35 Cukup jelas
pada akhirnya rancangan program pembaruan agraria SBY ini tidak akan meliputi redistribusi
tanah-‐tanah kelebihan batas maksimal (maximum ceiling) dan tanah-‐tanah absentee seperti
yang diatur secara tegas oleh UU No. 56/1960 dan PP. 224/1961. PPAN tidak pula dirancang
untuk menyelesaikan konflik-‐konflik agraria yang telah meruyak di Indonesia sejak zaman
kolonial, apalagi menyelesaikan masalah pendudukan tanah yang dilakukan oleh petani dalam
rangka meraih hak-‐hak ekonominya yang telah diabaikan oleh pemerintah Orde Baru. Hal lain
yang dapat dikatakan belum jelas sama sekali dari PPAN yang dikatakan akan menjalankan
asset reform adalah soal penyediaan sarana-‐sarana produksi serta proteksi terhadap kegiatan
produktif di atas lahan-‐lahan yang akan atau telah diredistribusi.
Pada kenyataannya, hingga saat ini keberadaan PPAN dapat dikatakan ‘antara ada dan
tiada’. Sejumlah pejabat BPN selalu mengatakan program ini sebagai salah satu dari kegiatan
utama mereka sejak tahun 2007, bahkan di sejumlah daerah dikatakan redistribusi tanah
melalui PPAN telah dilakukan (lihat, misalnya, Kantor Pertanahan Kabupaten Garut 2007,
Tempo Interaktif 2008 dan Kontan 2008). BPN sendiri hingga sekarang belum berhasil
mendorong Presiden Yudhono untuk menandatangani peraturan yang mengatur pelaksanaan
PPAN.36 Pada periode pemerintahannya yang pertama (2004-‐2009), SBY tidak mau
menandatangani Peraturan Pemerintah yang telah disiapkan oleh BPN karena masih terjadi
pertentangan kepentingan antardepartemen di dalam kabinet yang tidak dapat diatasinya
secara politis,37 selain ada indikasi dari Departemen Keuangan yang memberi tanda bahwa
pemerintah tidak memiliki anggaran yang cukup untuk menjalankan PPAN. Ketegangan yang
terjadi antara BPN dan Departemen Kehutanan, misalnya, adalah bentuk pertentangan
kepentingan antarlembaga di dalam kabinet yang terjadi pada saat itu yang membuat PPAN
dan teknologi kepada petani. Lihat misalnya Wilson 1986, Kirk 1987, White 1990, Wiradi 1991, Bahcriadi 1995, dan Stiffler 2002 untuk diskusi yang ekstensif mengenai konsep dan penerapan pertanian kontrak dan/atau inti-plasma. 35 Kebijakan ini telah mulai dijalankan oleh pemerintah Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Lihat Bachriadi 1995. Saat ini pola hubungan pertanian kontrak di sektor perkebunan telah memasuki generasi ke-5 yang ditandai dengan dilibatkannya bank-bank swasta dalam penyediaan kredit produksi secara langsung kepada petani (disalurkan tidak melalui ‘perusahaan inti’) untuk terlibat dalam pertanian kontrak (contract farming). Lihat Departemen Pertanian 2007. 36 Hingga bulan Mei 2007 BPN baru berhasil menyelesaikan draf ke-6 dari Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang pelaksanaan pembaruan agraria yang akan menjadi payung hukum pelaksanaan PPAN. Lihat Pemerintah Indonesia (2007). Hingga akhir pemerintahan SBY-JK di tahun 2009, SBY tidak juga menandatangani (R)PP tersebut. 37 Hal ini sangat terkait dengan strategi SBY untuk mengkonsolidasikan sejumlah partai politik di dalam kabinetnya, di mana departemen-departemen tertentu dipimpin oleh menteri yang berasal dari partai yang berbeda-beda.
= Bachriadi
19
tidak bisa segera dijalankan. Departemen Kehutanan menghendaki jika PPAN hendak
dijalankan di dalam kawasan hutan negara, Menteri Kehutanan-‐lah yang akan mengelola
program itu secara langsung, tidak melalui BPN. Selain pertentangan antar-‐departemen,
persoalan menjalankan PPAN ini juga muncul karena sangat terbatasnya keyakinan aparat
pemerintahan lokal dalam menilai luas tanah yang dapat diredistribusi, selain juga ada konflik-‐
konflik antara pemilik perkebunan dan petani yang sama-‐sama bersikeras mengklaim memiliki
hak atas tanah di atas tanah yang diperebutkan (wawancara dengan Marhendi, Sekjen STaB, 26
Februari 2007; Pikiran Rakyat, 2007b, 2007c, dan 2007d; Priangan Post, 2007 dan Kompas,
2007d).
Pertentangan juga terjadi antara BPN dengan kelompok-‐kelompok tani di daerah-‐
daerah. Dalam setiap kunjungannya, Kepala BPN menjanjikan akan menyelesaikan sejumlah
konflik pertanahan yang ada di daerah, karena itulah sejumlah organisasi tani mengumpulkan
data penguasaan tanah anggotanya untuk diserahkan kepada Kanwil BPN di daerah dan
ditembuskan ke kantor BPN Pusat di Jakarta. Kecaman-‐kecaman mulai muncul ketika upaya-‐
upaya mempersiapkan data ini tidak melihat tindak lanjut yang nyata dari BPN di Jakarta
maupun di daerah setelah pertemuan-‐pertemuan yang terjadi antara mereka dengan Kepala
BPN. Oleh sebab itu, berkembanglah ketidakpercayaan mereka kepada BPN, khususnya Kepala
BPN, untuk memenuhi ucapan-‐ucapan dan janji Kepala BPN untuk menyelesaikan konflik-‐
konflik agraria yang dialami anggota-‐anggota mereka. “Tidak diketahui apa yang terjadi
dengan data yang telah kami kumpulkan, susun, dan kirim ke BPN” (wawancara dengan
Marhendi, Sekjen STaB, 26 Februari 2007). Hingga Serikat Tani Bengkulu (STaB)
menyampaikan rasa tidak percayanya secara terbuka melalui surat yang dikirim ke puluhan
organisasi petani dan organisasi non-‐ pemerintah di berbagai daerah di Indonesia untuk
mengajak mereka bersikap lebih tegas kepada BPN (Serikat Tani Bengkulu 2007). Demikian
juga yang terjadi di Jawa Tengah; sejumlah pimpinan kelompok gerakan sosial dan organisasi
tani yang sebelumnya sangat mendukung dan menanamkan harapannya pada program
pembaruan agraria SBY, kemudian menyimpulkan PPAN justru sangat potensial untuk
merusak konsolidasi gerakan tani di Indonesia.38 Seorang aktivis yang terlibat dalam Forum
Perjuangan Petani Batang (FPPB) di Jawa Tengah menyatakan “[Pada akhirnya] PPAN menjadi
sesuatu yang buruk, menyebabkan kita ‘saling memakan’ sendiri. PPAN telah melemahkan
perjuangan kita” (interview dengan Handoko, 6 Juni 2007). Serikat Petani Indonesia (SPI)
38 Diskusi kelompok terfokus (FGD) diselenggarakan pada 6 Juni 2007 di Magelang, bersamaan dengan ‘pertemuan konsolidasi’ dari aktivis-aktivis gerakan sosial di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja Jaring Demokrasi (KKJD) wilayah Jawa Tengah, 5-6 Juni 2007.
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
20
menyimpulkan bahwa PPAN hanya janji manis belaka dari rezim SBY, tidak ada komitmen
yang jelas untuk melaksanakannya (Lusiana dan Ya’kub 2009).
SPP adalah salah satu organisasi tani yang tetap percaya PPAN tidak bisa diabaikan.
Seorang pengelolanya mengatakan “… ada banyak kesempatan dalam PPAN … Perjuangan SPP
memerlukan kemenangan-‐kemenangan kecil. Karena kesempatan kita untuk menang dalam
perjuangan atas tanah sangat kecil, kita harus menggunakan PPAN ini. SPP akan mengambil
kesempatan yang disediakan oleh PPAN, karena SPP harus memikirkan kepentingan ribuan
orang yang tidak pernah memiliki kesempatan [untuk memperoleh tanah] sebaik yang tersedia
pada PPAN” (wawancara tanggal 6 Juni 2007).39 Sekretaris Jendral SPP meyakini bahwa aktivis
pro-‐ reforma agraria dapat menggunakan PPAN untuk memperkuat organisasi tani atau
bahkan digunakan untuk membuat organisasi tani baru di tingkat lokal. Dia juga berharap
PPAN dapat menghentikan, atau paling tidak mengurangi, perluasan pengembangan lahan-‐
lahan perkebunan besar (wawancara dengan Agustiana, Tasikmalaya, 23 Desember 2008).
Reformasi dalam Perspektif Lokal: Gerakan Petani di Priangan Timur dan Bengkulu
Terlepas dari berbagai upaya untuk membawa kembali reforma agraria menjadi agenda
kebijakan negara dan berbagai manuver yang dilakukan oleh rezim yang pro-‐ status quo dan
pro-‐pasar, kelompok-‐kelompok petani baik yang bekerja sendiri-‐sendiri, bekerja sama,
maupun yang ditunggangi oleh elite-‐elite lokal memiliki cara sendiri untuk menerjemahkan
perubahan-‐perubahan politik yang terjadi di Indonesia pada era reformasi. Secara aktif mereka
melakukan aksi-‐aksi kolektif pendudukan tanah dan/atau reklaiming tanah yang dilakukan
baik pada tanah-‐tanah perkebunan besar maupun tanah-‐tanah yang berstatus hutan-‐negara.
Aksi-‐aksi tersebut, yang sebetulnya telah terjadi sejak pertengahan tahun 1980-‐an (lihat
misalnya Agustono 1997, Firmansyah et al. 1999, Hafid 2001, Bachriadi dan Lucas 2001, dan
Bachriadi 2002b), semakin meningkat intensitasnya dan semakin meluas kejadiannya setelah
tahun 1998.
Serikat Petani Pasundan (SPP), yang beraliansi sangat kuat dengan KPA, dan Serikat
Tani Bengkulu (StaB), yang berkerja sama dengan KBH-‐Bengkulu, adalah dua dari sekian
banyak organisasi petani di tingkat lokal yang menggunakan aksi-‐aksi pendudukan tanah
secara efektif dalam membangun kekuatan politiknya. Keduanya mengorganisasi kasus-‐kasus
konflik agraria dan pendudukan tanah baik yang telah terjadi sebelum maupun sesudah
reformasi (1998) di berbagai daerah yang dikenal sebagai wilayah Priangan Timur di Provinsi 39 Pernyataannya ini disampaikan dalam forum diskusi kelompok terbatas (FGD).
= Bachriadi
21
Jawa Barat (SPP) dan Provinsi Bengkulu (StaB). Hingga tahun 2006, ribuan anggota SPP dan
STaB telah menduduki tanah-‐tanah perkebunan besar maupun hutan-‐negara yang luasnya
sebagaimana diperlihatkan dalam tabel berikut ini.
Secara resmi SPP dideklarasikan sebagai organisasi pada Januari 2000, sedangkan STaB
dideklarasikan pada bulan November 1998. Meskipun demikian, aktivis-‐aktivis pembentuk
kedua organisasi ini telah terlibat dalam perjuangan-‐perjuangan petani di sejumlah konflik
agraria beberapa tahun sebelum kedua organisasi tersebut dibentuk. Forum Pemuda, Pelajar,
dan Mahasiswa Garut (FPPMG), Forum Pemuda dan Mahasiswa untuk Rakyat (FPMR) di
Tasikmalaya, dan Forum Aspirasi Rakyat dan Mahasiswa Ciamis (Farmaci) adalah tiga
organisasi gerakan mahasiswa yang mengorganisasi penduduk desa untuk melakukan
perlawanan di kasus-‐kasus konflik agraria yang terjadi di Priangan Timur, Jawa Barat, sebelum
mereka kemudian membentuk SPP. Sementara Kantor Bantuan Hukum Bengkulu (KBH-‐B)
adalah organisasi non-‐pemerintah yang aktivis-‐aktivisnya yang terlibat dalam gerakan
pembelaan petani di sejumlah kasus konflik agraria di Bengkulu kemudian membentuk
STaB.40
40 Lihat Bachriadi 2008, 2009a dan 2010 untuk gambaran lebih lengkap mengenai pembentukan kedua organisasi. Lihat juga SKEPO dan SPP 2002, Aji 2005, Supriadi et al. 2005 dan Affif et al. 2005 untuk gambaran lainnya khusus mengenai pembentukan SPP; untuk STaB lihat juga misalnya Dediyanto 2005 dan Simpul Bengkulu 2006a.
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
22
Tabel 2. Pendudukan dan Reklaiming Tanah Perkebunan dan Hutan Negara yang Diorganisasi oleh SPP dan StaB, 1998-‐ 2006*)
Kabupaten Status Tanah Ketika Aksi Dilakukan
Luas Lahan yang
Dikuasai (ha)
Luas Anggota yang Terlibat (rumahtangga)
Rata-‐rata Luas Lahan yang Dikuasai per Rumah Tangga
(ha)
Serikat Petani Pasundan (SPP): Jumlah Kasus 64
Garut Hutan Negara Perkebunan
4.428 1.227
4.730 1.994
0,83 0,77
Total Tanah Negara yang Dikuasai di Kab. Garut 5.655 6.724 0,84
Tasikmalaya Hutan Negara Perkebunan
1.410 660
1.696 856
0,83 0,77
Total Tanah Negara yang Dikuasai di Kab. Tasikmalaya 2.070 2.553 0,81
Ciamis Hutan Negara Perkebunan
4.378 4.283
4.764 5.980
0,92 0,72
Total Tanah Negara yang Dikuasai di Kab. Ciamis 8.661 10.744 0,81
Serikat Tani Bengkulu (STaB): Jumlah Kasus 16
Bengkulu Utara
Hutan Negara Perkebunan Tanah Proyek Transmigrasi
3.000 14.578 600
1.200 3.294 250
2,50 4,43 2,40
Total Tanah Negara yang Dikuasai di Kab. Bengkulu Utara 18.178 4.744 3,83
Seluma Plantation Land Transmigration Project Land
2.450 150
891 60
2,75 2,50
Total Tanah Negara yang Dikuasai di Kab. Seluma 2.600 951 2,73
Rejang Lebong Perkebunan 1.500 400 3,75
Total Tanah Negara yang Dikuasai di Kab. Rejang Lebong 1.500 400 3,75
Lebong Hutan Negara 500 300 1,67
Total Tanah Negara yang Dikuasai di Kab. Lebong 500 300 1,67
Bengkulu Selatan Hutan Negara 400 210 1,90
Total Tanah Negara yang Dikuasai di Kab. Bengkulu Selatan 400 210 1,90
Sumber: Serikat Petani Pasundan (2006) dan Serikat Tani Bengkulu (2006) *) Jumlah kasus dan lahan yang dikuasai dalam tabel ini meliputi kasus-‐kasus baik yang terjadi sebelum maupun setelah kedua organisasi secara resmi dideklarasikan pada tahun 1998 dan 2000.
= Bachriadi
23
Dalam banyak hal perubahan politik pasca-‐1998 telah mengurangi intensitas represi
negara terhadap aksi-‐aksi pendudukan tanah, meskipun di beberapa kasus hal itu masih
terjadi. Di satu sisi, upaya-‐upaya untuk menghadang aksi-‐aksi pendudukan tanah baik yang
menggunakan aparatus negara maupun preman-‐preman bayaran seperti yang terjadi di
beberapa kasus di Jawa Barat dan Sumatera Utara, misalnya, (lihat Mismuri dan Supriadi 2002,
Fauzi 2003, Wargadipura 2004, dan Serikat Petani Sumatera Utara 2007a dan 2007b) dapat saja
meningkat apalagi setelah adanya perangkat hukum baru, seperti UU Perkebunanan (UU No.
18/2004). Di juga memungkinkan kelompok-‐kelompok petani untuk memperkuat jaringan
mereka dengan kelompok-‐kelompok politik yang sedang memperebutkan kekuasaan dan
kedudukan dalam birokrasi, baik di tingkat lokal maupun nasional, sehingga dalam beberapa
hal mereka dapat juga menggunakan jaringan politik tersebut untuk ‘meredam’ tekanan-‐
tekanan yang datang dari luar.
Perubahan politik 1998 telah mengubah karakter rezim penguasa dari bentuk yang
sentralistik dan sangat monolitik pada masa Orde Baru, menjadi rezim dengan faksionalisme
partai dan aliran yang sangat kental dan saling memperebutkan pengaruh, serta rezim yang
diselimuti ketegangan antara kepentingan ekonomi-‐politik di pusat dan daerah. Sejumlah
kreativitas muncul manakala aliansi antara kelompok petani dan ornop dapat memanfaatkan
’ketegangan’ yang terjadi antara ’pusat dan daerah’ akibat penerapan desentralisasi
pemerintahan; termasuk memanfaatkan ketegangan-‐ketegangan yang terjadi antara daerah
dan pusat serta persaingan sektoral (misalnya, antara Departemen Kehutanan dan BPN).
Aliansi-‐aliansi seperti yang berkembang antara SPP-‐KPA di Priangan Timur, Jawa Barat, dan
StaB-‐KBH-‐Bengkulu di Bengkulu telah turut mempengaruhi konfigurasi kekuasaan di masing-‐
masing daerah.
Hubungan-‐hubungan eksternal dengan pemerintah daerah dan ornop memberikan
informasi untuk memperkuat aksi-‐aksi mereka dalam melakukan pendudukan tanah-‐tanah
perkebunan besar maupun tanah-‐tanah hutan-‐negara di tengah-‐tengah proses transisi
demokratisasi pasca-‐1998 (Lucas and Warren 2003; Bachriadi 2008 dan 2009a; Affif et al. 2005;
dan Peluso, Affif dan Rachman 2008). Perubahan-‐perubahan politik yang terjadi sejak 1998
juga telah memungkinkan kelompok-‐kelompok petani yang terlibat dalam aksi-‐aksi
pendudukan tanah untuk menguasai lembaga-‐lembaga politik formal khususnya di tingkat
desa sebagai bagian dari strategi pertahanan diri (lihat misalnya Affif et al. 2005, Bachriadi
2009a).41
41 Dalam kasus yang lain, Lucas menunjukkan bahwa kelompok petani penuntut hak atas tanah dalam kasus lapangan golf Cimacan, setelah perubahan politik pada 1998 dan mereka berhasil menguasai BPD pada akhirnya
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
24
Selain membangun jaringan politik dalam rangka melindungi hasil-‐hasil aksi
pendudukan tanah yang mereka lakukan, beberapa organisasi petani juga mengembangkan
pendekatan “sosial-‐budaya” khususnya untuk mengurangi stigmatisasi politik sebagai
“komunis” atau “pengikut komunisme”. Mereka melakukan itu dengan cara mengembangkan
kemampuan organisasi dan anggota-‐anggotanya untuk memberikan argumen-‐argumen yang
bersifat religius, khususnya menurut ajaran Islam, selain argumen-‐argumen yang berbasis pada
nilai-‐nilai populis, kemanusiaan, hak asasi manusia, maupun argumentasi berdasarkan hukum
formal atas aksi-‐aksi kolektif pendudukan tanah yang dilakukannya. SPP, misalnya,
mengembangkan ‘korps ulama dan pendakwah’ yang secara intensif mempelajari dan
merumuskan pembenaran-‐pembenaran atas aksi-‐aksi anggota SPP dalam perspektif ajaran
Islam yang dikombinasikan dengan penjelasan-‐penjelasan historis mengenai perjuangan untuk
pembaruan agraria.
Kontribusi perubahan politik dari rezim otoritarian ke kehidupan politik yang lebih
terbuka telah memberi kesempatan kelompok-‐kelompok gerakan sosial di pedesaan untuk
“mengambil nafas” dan menata basis-‐basis mereka. Kesempatan untuk bereksperimen dengan
pengembangan kelompok-‐kelompok usaha bersama, koperasi, pengembangan sistem
pendidikan politik, pendidikan untuk kaum perempuan dan ibu-‐ibu, pengembangan sekolah-‐
sekolah untuk anak-‐anak petani (tidak hanya anggota organisasi), serta berbagai bentuk
pertemuan sosial-‐religius yang terbuka untuk anggota masyarakat lainnya (tidak hanya
anggota) menjadi hal-‐hal yang sekarang lebih mungkin dilakukan ketimbang pada masa Orde
Baru. Semua inisiatif ini tidak hanya mencerminkan strategi mereka untuk mengelola
kohesivitas kelompok maupun ikatan-‐ikatan sosial antara mereka dengan anggota masyarakat
desa lainnya, tetapi juga mencerminkan adanya usaha untuk mengembangkan kapasitas sosial
dan politik bagi anggota mereka.
Tentu saja, organisasi-‐organisasi tani yang kebanyakan berkembang pesat pasca-‐1998
juga terlibat aktif dalam sejumlah upaya dan manuver politik maupun advokasi untuk
mempengaruhi kebijakan, khususnya untuk membawa kembali agenda reforma agraria ke
dalam tubuh negara (lihat, misalnya, Lucas dan Warren 2003; simpul Bengkulu 2006b; Peluso,
Affif dan Rahman 2008; Bachriadi 2009a dan akan terbit 2010). Terlepas dari ketidakberhasilan
mereka membentuk ‘partai politik sendiri’ yang dapat memperjuangkan kepentingan petani,
tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa aksi-‐aksi kolektif yang dilakukan oleh organisasi
gerakan semacam SPP dan STaB telah ikut membangunkan orang-‐orang atau kelompok-‐
berhasil memperjuangkan perolehan ganti rugi yang lebih baik, yang telah mereka perjuangkan lebih dari 15 tahun, atas tanah garapannya yang dahulu digusur untuk pembangunan lapangan golf. Lihat Lucas 2013.
= Bachriadi
25
kelompok reformis yang ada di dalam tubuh pemerintahan atau lembaga negara untuk
mendorong pembentukan kebijakan-‐kebijakan publik yang pro pada kaum miskin di
pedesaan. Upaya-‐upaya kelompok gerakan semacam SPP dan STaB yang sangat aktif mengirim
kader-‐kader mereka untuk menduduki posisi formal sebagai kepala desa, anggota BPD,
anggota legislatif di kabupaten, anggota DPD, maupun untuk mempengaruhi proses Pemilu
dan Pilkada harus diletakkan dalam kerangka mendorong percepatan tumbuhnya kelompok
reformis dan pro-‐kaum miskin di dalam tubuh lembaga-‐lembaga negara pada masa
mendatang; meskipun kemungkinan-‐kemungkinan terjadinya penyimpangan dari aksi-‐aksi
politik ini juga sangat terbuka.
Di Bengkulu, dengan berbekal keyakinan politik setelah melakukan pengujian-‐pengujian
konsolidasi basis dalam Pilkada, anggota-‐anggota STaB bersama dengan sejumlah aktivis
progresif lainnya di Indonesia terlibat aktif dalam pembentukan partai politik alternatif, Partai
Perserikatan Rakyat (PPR) (Simpul Bengkulu 2006: 339).42 Program agraria PPR hendak
mengubah kondisi ketimpangan dalam pemilikan dan penguasaan tanah dan sumber daya
alam serta bentuk-‐bentuk hubungan produksi yang tidak adil yang telah menjadi penyebab
utama dari kemiskinan di pedesaan. PPR tidak memaknai pembaruan agraria hanya sebagai
land reform dalam rangka pembangunan pertanian semata, tetapi juga bertujuan untuk
menata ulang sistem pengelolaan dan pemanfaatan seluruh kekayaan alam, termasuk sumber
daya kehutanan, pertambangan, perikanan, dan sumber daya kelautan dan daerah pesisir
(Partai Perserikatan Rakyat 2007b).43
Kebanyakan aksi-‐aksi pendudukan di tanah-‐tanah perkebunan dan hutan negara, baik
yang dilakukan sebelum maupun setelah reformasi, nyaris ‘tuntas’ dalam pengertian
kelompok-‐kelompok petani telah menguasai secara aktif tanah-‐tanah pendudukan tersebut
dan tinggal menunggu datangnya pengakuan formal dari negara. Ketika Joyo Winoto, Kepala
BPN dalam pemerintahan SBY, mempromosikan PPAN dan mencari dukungan dari kelompok-‐
42 Partai politik yang resminya dibentuk pada tahun 2005 memiliki program pembaruan agraria yang populis dan pengembangan industri nasional, serta memiliki posisi yang sangat jelas anti terhadap pasar bebas dan prinsip-prinsip neoliberal (Partai Perserikatan Rakyat 2007a: 121-130). Sayangnya, meskipun telah berhasil melakukan konsolidasi sejumlah aktivis dan jaringan gerakan sosial di sejumlah tempat yang membuatnya dapat membentuk jaringan politik di 20 provinsi dan ratusan kabupaten, usaha partai ini untuk ikut serta dalam Pemilu 2009 kandas karena dianggap tidak memenuhi persyaratan administrtif oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). 43 Dokumen PPR tentang program partai di bidang agraria tidak menekankan mengenai model, cara, dan batasan-batasan tentang bagaimana seharusnya tanah-tanah diredistribusi, seperti berapa batas maksimal penguasaan tanah, apa jenis hak yang akan diberikan terhadap tanah-tanah redis, apakah tanah-tanah redis dapat diperjualbelikan, dan bagaimana dengan kecenderungan untuk memecah tanah-tanah redis akibat pewarisan, dan sebagainya. Lihat Partai Perserikatan Rakyat 2007b untuk mengetahui lebih rinci program agraria dari partai ini.
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
26
kelompok petani44, maka hal itu seperti hujan yang mendadak turun di tengah terik penantian
petani-‐petani akan adanya pengakuan dari negara atas tanah-‐tanah yang mereka duduki
selama ini. Hal ini diperkuat dengan ajakan dari KPA kepada sejumlah organisasi seperti SPP,
STaB, dan yang lainnya yang pada awalnya sangat antusias mendukung PPAN.45
Sejak dideklarasikan pada tahun 2001, SPP sangat aktif melobi dan menekan BPN baik di
Jakarta maupun di daerah, demikian pula dengan pemerintah daerah, untuk mengakui tanah-‐
tanah yang diduduki oleh anggota-‐anggota mereka (lihat misalnya Pikiran Rakyat 2001, 2002,
2005 dan 2007a, Radar Garut 2005 dan 2007, Galamedia 2005, Kompas 2005, dan Republika
2007b).46 Di Kabupaten Ciamis, misalnya, usaha SPP memperoleh hasil ketika pemerintah
daerah pada tahun 2005 akhirnya membentuk tim khusus untuk menyelesaikan konflik-‐
konflik pertanahan yang ada di kabupaten ini.47 Meskipun SPP memiliki dua orang kadernya
yang duduk di DPRD II pasca-‐ Pemilu 2004, tim bentukan Bupati, yang juga beranggotakan
Sekretaris Jenderal SPP dan salah seorang dari kader SPP yang menjadi anggota parlemen
tersebut, hanya dapat mendaftar sembilan kasus yang hendak diselesaikan. Hanya dua kasus
dari sembilan kasus tersebut yang merupakan basis SPP (wawancara dengan seorang pengelola
SPP Ciamis, 13 Juli 2008). Dengan kata lain masih ada sekitar 23 kasus lainnya dengan ribuan
anggota SPP terlibat di dalamnya yang posisinya tetap tidak jelas.
Berdasarkan rekomendasi dari tim bentukan Bupati tersebut di atas, pada Oktober 2007,
Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis kemudian menerbitkan 493 sertifikat tanah milik di atas
tanah bekas-‐HGU yang sebelumnya dikuasai oleh PT Mulya Sari di daerah Banjaranyar yang
sudah habis masa berlakunya sejak Desember 2005.48 Baik Sekjen SPP (Tadjuk 2008) maupun
44 Terkait dengan hal ini lihat kembali beberapa paragraf pada bagian sebelum ini. 45 Lihat kembali beberapa paragraf pada bagian sebelum ini. 46 Selain tersedia sejumlah bahan sekunder maupun dokumen-dokumen milik SPP, saya sendiri memiliki hubungan yang cukup intensif dengan banyak pendamping (organizer) kasus-kasus konflik agraria di daerah Priangan Timur, Jawa Barat sejak pertangahan tahun 80-an, dan pada tahun 2002-2003 serta 2007-2008 saya melakukan studi lapangan di sejumlah basis SPP baik yang berada di Kabupaten Garut, Tasikmalaya, maupun Ciamis. Penelitian lapangan pada tahun 2007-2008 merupakan bagian dari proses pengumpulan kembali bahan-bahan untuk kepentingan penulisan disertasi di Universitas Flinders, Australia Selatan. Penelitian pada tahun 2007-2008 untuk tujuan yang sama juga saya lakukan di Bengkulu, tetapi keterbatasan tempat dalam tulisan ini membuat saya memutuskan untuk menggunakan beberapa contoh dari Priangan Timur saja. 47 Surat Keputusan Bupati Ciamis No. 522/Kpts.21-HUK/2005 tentang pembentukan tim terpadu penyelesaian masalah pertanahan di Kabupaten Ciamis. 48 Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis No. 07/520.1-10.19/PRONA/2007, 25 Mei 2007. Penerima sertifikat tanah adalah 368 orang yang hampir semuanya adalah anggota SPP. Orang-orang ini pada mulanya adalah petani penggarap di lahan HGU yang tidak aktif tersebut dengan cara menyewa kepada perusahaan pemegang HGU. Pada tahun 2000 mereka berusaha mengajukan sertifikat hak milik ke BPN setempat tetapi tidak berhasil, yang membuatnya kemudian bergabung dengan SPP dalam rangka memperoleh hak milik atas tanah garapan tersebut. Sejak bergabung dengan SPP mereka berhenti membayar sewa tanah, hingga akhirnya berhasil mencapai tujuannya untuk memperoleh sertifikat hak milik pada tahun 2007.
= Bachriadi
27
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Garut49 menyatakan bahwa PPAn sudah mulai
dilaksanakan di Priangan Timur, hal ini diindikasikan dengan penerbitan sertifikat di
Kabupaten Ciamis dan Garut, yang sesungguhnya, sebagaimana tertera di dalam surat tanah
yang sudah didistribusikan kepada sejumlah petani merupakan hasil dari program pendaftaran
tanah yang dikenal dengan nama PRONA50.
SPP sebagai salah satu organisasi akar rumput yang menjadi pendukung utama PPAN,
melalui Sekjen-‐nya, dengan bangga menyatakan “[P]embaruan agraria yang dicanangkan oleh
Presiden SBY yang dinakhodai oleh Kepala BPN, Joyo Winoto, telah dijalankan oleh
pemerintah Kabupaten Ciamis sebagai yang pertama di Indonesia. Program ini sekaligus juga
merupakan upaya untuk menemukan model terbaik untuk menyelesaikan konflik-‐konflik
agraria yang terjadi di Indonesia …” (Tadjuk 2008). Dalam hal ini, Sekjen SPP mungkin ‘lupa’
bahwa status hukum tanah-‐tanah yang digarap oleh anggota SPP lainnya di Kabupaten Ciamis,
Tasikmalaya, dan Garut tetap dalam ketidakpastian hukum, meskipun
pemerintahanYudhoyono menyatakan telah mengatasi masalah agraria melalui program
redistribusi tanah lewat PPAN.
Masalah lainnya yang dihadapi oleh SPP dalam rangka memelihara keberlanjutan
gerakannya sendiri adalah bahwa sejumlah anggota SPP yang telah berhasil menerima
sertifikat hak milik tanah mulai enggan untuk terlibat dalam aktivitas-‐aktivitas SPP.
Tampaknya “setelah berhasil meraih mimpinya, yakni memiliki sertifikat hak milik atas tanah,
mereka kehilangan antusiasme untuk terlibat kembali dalam perjuangan SPP” (wawancara
dengan seorang pendamping (organizer) SPP Ciamis, 13 Juli 2008). Masalah ini hampir sama
dengan masalah lainnya yang menghantui optimisme dan keberhasilan SPP dalam
mengorganisir aksi-‐aksi pendudukan dan reklaiming tanah. Ada kekhawatiran yang sangat
besar bahwa tanah-‐tanah yang telah dikuasai melalui aksi-‐aksi pendudukan dan reklaiming
akan/dapat dengan mudah dilepaskan atau penguasaannya dipindahtangankan ke pihak lain.51
49 Dalam dokumen pemberian hak untuk warga Desa Padaawas, Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut, dinyatakan bahwa sertifikat-sertifikat tanah diterbitkan “sebagai bagian dari program land reform PPAN untuk tahun anggaran 2007”. Lihat Kantor Pertanahan Kabupaten Garut 2007. 50 Sangat jelas tertera dalam sertifikat yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Ciamis bahwa tanah-tanah bekas-HGU PT Mulya Sari yang dialihkan haknya menjadi milik petani-petani yang berasal dari Desa Banjaranyar adalah bagian dari program PRONA (Proyek Operasi Nasional Agraria). PRONA adalah proyek pendaftaran dan sertifikasi tanah yang telah dijalankan oleh BPN sejak zaman Orde Baru. “…PRONA bertujuan untuk melakukan sertifikasi sebanyak mungkin persil tanah, untuk mengatasi lambannya kerja birokrasi serta beban biaya yang cukup besar yang harus dikeluarkan calon penerima hak akibat beragam pungutan tidak resmi dalam setiap tahapan pendaftaran tanah yang membuat proses pendaftaran tanah menjadi lama” (MacAndrew 1986: 68). 51 Contoh yang sangat mencolok, misalnya, adalah dalam kasus Sagara di Garut di mana tanah yang diklaim oleh Perhutani setelah diperjuangkan hampir sepuluh tahun oleh petani dan aktivis-aktivis pembentuk SPP pada
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
28
Hanya tiga tahun setelah perjuangan berat bertahun-‐tahun, para aktivis dikejutkan dengan
kenyataan banyaknya tanah yang menjadi bagian dari 580 hektare yang diredistribusi kepada
petani dalam kasus Sagara kemudian diperjualbelikan setelah mereka memperoleh hak milik
atau pengakuan resmi atas tanah yang disengketakan selama bertahun-‐tahun (Affif et al. 2005:
4; Peluso, Affif dan Rahman 2008: 30).
Di basis SPP yang lainnya di Kabupaten Tasikmalaya (organisasi tani lokal X)52 sejumlah
anggota SPP yang berhasil menduduki sekitar 600 hektare tanah perkebunan yang sebelumnya
dikuasai oleh PTP VIII terlibat aktif dalam ‘jual-‐beli’ lahan garapan. Tanah pendudukan
tersebut pada mulanya telah diredistribusi oleh SPP kepada sekitar 800 petani penggarap,
termasuk sejumlah mantan mandor perkebunan yang kemudian bergabung dengan SPP
(diharuskan menjadi anggota jika hendak turut memperoleh bagian tanah garapan). Untuk
mendukung keberhasilan dan keberlanjutan usaha tani di atas tanah pendudukan tersebut,
SPP dan KPA kemudian melakukan serangkaian usaha untuk mengembangkan kemampuan
ekonomi para petani penggarap dengan membentuk unit koperasi untuk produksi maupun
pemasaran, serta memberikan bantuan penyuluhan dan pelatihan untuk menggabungkan
usaha tani tanaman pangan dan tanaman yang sepenuhnya untuk dijual (cash-‐crops). Aliansi
SPP-‐KPA juga berhasil mendorong pimpinan lokal di X menjadi Kepala Desa dalam rangka
memelihara konsolidasi kelompok tersebut untuk kepentingan jangka panjang
mempertahankan tanah pendudukan mereka. SPP kemudian mempromosikan X sebagai ‘desa
model’, karena keberhasilannya dalam melakukan konsolidasi komunitas, komitmen, serta
keterlibatan anggota dalam program-‐program pembangunan wilayah, serta peningkatan
ekonomi rumah tangga yang terjadi pasca-‐ pendudukan tanah (lihat Affif et al. 2005: 23).
Akan tetapi di X pula SPP menghadapi dilema yang selalu melekat pada banyak
kelompok pendudukan tanah lainnya, yakni distribusi tanah pendudukan didasari oleh
kemampuan pribadi, kapasitas orang untuk membuka lahan, dan dominasi ‘pemimpin
perjuangan’ yang pada akhirnya mengarah kepada pembentukan struktur penguasaan tanah
yang timpang di antara mereka sendiri.53 Sayangnya, X yang diklaim sebagai ‘model’ dan
akhirnya dapat dijadikan obyek redistribusi oleh BPN pada 1997. Lihat Lukmanudin 2002 untuk penjelasan rinci mengenai aksi reklaiming tanah dalam kasus Sagara. Hal yang juga dialami oleh STaB di Bengkulu. 52 Untuk keperluan penulisan artikel ini nama lokasi atau nama OTL SPP yang sesungguhnya tidak disebutkan di sini. Rincian perjuangan petani SPP di lokasi ini dapat dilihat pada Mismuri dan Surpiadi 2002, ‘Berjuang untuk Tanah’ 2003, Affif et al. 2005: 19-26, dan Mismuri dan Prasetyohadi 2008. 53 Hal ini terjadi (dihadapi) di hampir semua basis SPP lainnya. Demikian juga dengan basis-basis STaB di Bengkulu.
= Bachriadi
29
‘contoh terbaik’ dari pengorganisasian komunitas dalam aksi pendudukan tanah, mereka gagal
menegakkan prinsip pembagian dan penguasaan tanah yang merata pasca-‐aksi pendudukan.
Pada mulanya, pimpinan SPP yang dalam hal ini adalah Sekjen SPP, mengatur agar
prosedur pembagian dan penguasaan tanah di X mengikuti konsensus untuk memberikan
tanah seluas 0,25 – 0,5 hektare untuk setiap warga yang telah berusia di atas 15 tahun (Affif et
al. 2005: 20). Konsensus ini tidak bertahan lama karena pimpinan lokal di X menyatakan
anggota komunitasnya memiliki kesepakatan untuk memberikan pimpinan-‐pimpinan
perjuangan kesempatan menguasai tanah antara 1 hingga 1,5 hektare (wawancara dengan
beberapa pendamping (organizer) SPP Tasikmalaya, 29 Maret 2008). Tidak mengejutkan
bahwa pendekatan yang dilakukan oleh pimpinan-‐pimpinan lokal di X ke Sekjen SPP berhasil
memperoleh persetujuannya untuk merevisi konsensus awal.54 Menjadi penting bagi pimpinan
SPP untuk menjaga kesetiaan pimpinan-‐pimpinan lokal di X agar keterlibatan anggota-‐
anggota SPP di X terhadap aktivitas organisasi dapat dipelihara selama mungkin setelah aksi
pendudukan tanah selesai. Sebagai ‘politisi dari gerakan sosial’, bagaimanapun, pimpinan-‐
pimpinan SPP ingin memelihara hubungan politiknya dengan pimpinan-‐pimpinan lokal di X
yang memiliki hubungan langsung dengan massa.
Dalam soal pengaturan distribusi dan penguasaan lahan okupasi, masing-‐masing
organisasi lokal (OTL) SPP memiliki aturan dan tatacaranya sendiri. Meskipun demikian, ada
satu ‘aturan umum’ yang dapat ditemukan di semua OTL SPP yakni pimpinan-‐pimpinan lokal
dapat menguasai lahan lebih banyak dibanding anggota lainnya. Pembenarannya adalah
bahwa ‘para pemimpin dan orang-‐orang yang lebih berjasa berhak atas tanah yang lebih luas
dibandingkan anggota biasa’. Hal ini bukan merupakan sesuatu yang dinegosiasikan antara
OTL dengan pengurus SPP di kabupaten atau antar-‐kabupaten, melainkan pada umumnya
telah menjadi kesepakatan di masing-‐masing OTL. Prinsip pembagian tanah yang ‘egaliter’
seperti yang sering didengungkan dalam kampanye-‐kampanye SPP hanya retorika. Dalam
praktiknya SPP menerapkan pembagian tanah berdasarkan kedudukan/kepemimpinan
seseorang dalam/selama perjuangan atau aksi-‐aksi pendudukan dan/atau reklaiming tanah;
54 Dalam struktur organisasi SPP kepemimpinan di tingkat kabupaten memiliki otoritas dan tanggung jawab untuk mengelola dinamika organisasi di wilayah masing-masing. Tanggung jawab Sekjen SPP sesungguhnya lebih ditujukan untuk melakukan konsolidasi di antara tiga kabupaten yang menjadi wilayah kerja SPP (Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis) serta pengembangan hubungan dengan pihak-pihak luar SPP. Akan tetapi dalam praktiknya, budaya politik yang berkembang di SPP sejak awal hingga saat ini, Sekjen SPP memiliki kekuasaan yang hampir absolut di semua lini pengambilan keputusan dalam organisasi, bahkan terhadap keputusan organisasi pada tingkat organisasi tingkat lokal (OTL) sekalipun. Tanpa persetujuan Sekjen SPP, keputusan-keputusan organisasi di semua tingkatan sangat rentan terhadap perubahan. Sekjen SPP dapat melakukan veto dan/atau mengubah keputusan-keputusan organisasi di tingkatan manapun dan kapan pun ia menghendakinya tanpa perlu melakukan konsultasi dengan pihak lainnya.
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
30
dan anggota-‐anggota yang memiliki keinginan untuk memindahtangankan penguasaan atas
tanah-‐tanah pendudukan juga diberi toleransi55, di mana kedua hal ini kemudian dapat
mengarah pada berkembangnya konsentrasi penguasaan tanah di tangan segelintir anggota
SPP itu sendiri. Dalam hal ini pimpinan SPP baik yang ada di tingkat kabupaten maupun
antar-‐kabupaten ‘menutup mata’ terhadap berkembangnya praktik-‐praktik pengalihan lahan
atau pun terjadinya konsentrasi penguasaan tanah tersebut dalam rangka memelihara
dukungan/keterlibatan anggota terhadap organisasi SPP secara keseluruhan. Kenyataan itu
menunjukkan sulitnya menerapkan gagasan hak-‐hak kolektif dalam penguasaan dan/atau
pemilikan tanah maupun gagasan produksi kolektif di organisasi petani ini; di mana gagasan
yang terakhir (produksi kolektif) telah dicoba diterapkan di beberapa basis (OTL) SPP tetapi
tidak menunjukkan keberhasilan.
Tanpa ada peraturan organisasi yang tegas mengenai batasan-‐batasan tanah yang dapat
dikuasai oleh anggota serta disiplin organisasi yang tinggi untuk menerapkan aturan ini
kepada semua anggota,56 SPP sebagai organisasi tidak dapat menahan kehendak anggota-‐
anggotanya untuk melepaskan penguasaan mereka terhadap tanah-‐tanah pendudukan yang
sebelumnya telah diperjuangkan dengan susah payah. Apalagi anggota-‐anggota SPP, demikian
juga dengan ‘pimpinan tertinggi SPP’ (Sekjen SPP), lebih tertarik untuk menerapkan prinsip
55 Ada banyak alasan bagi anggota untuk melepas atau memindahkan hak garapnya terhadap tanah-tanah pendudukan. Misalnya, alasan kepindahan ke lokasi lain karena perkawinan dan/atau untuk memperoleh pekerjaan lain, alasan kebutuhan dana yang sangat mendadak untuk biaya kesehatan anggota keluarga atau biaya pendidikan anak-anak, maupun alasan ketidakcukupan modal untuk menggarap tanah secara produktif. 56 Ada ‘aturan’ organisasi yang tidak tertulis mengenai batas maksimum tanah yang dapat dikuasai oleh anggota dalam satu lokasi tanah pendudukan, yakni tidak melebihi 5 hektare, mengikuti batasan maksimal penguasaan tanah seperti yang ditetapkan oleh UU No. 56/1960. Akan tetapi, ini adalah satu intepretasi yang kurang tepat, karena aturan resmi soal batasan penguasaan tanah maksimal (maximum ceiling regulation) di daerah-daerah padat penduduk seperti Pulau Jawa berarti setiap rumah tangga hanya dapat “menguasai” tanah maksimal 5 hektare dari seluruh tanah yang dapat mereka kuasai secara sah (bukan hanya tanah-tanah yang “dimiliki”) yang lokasinya pun kemudian dibatasi oleh aturan mengenai tanah-tanah absentee. Sementara dalam interpetasi SPP aturan batas maksimal penguasaan tanah sebanyak 5 hektare hanya berlaku di lokasi lahan pendudukan (occupied land), tidak memperhitungkan tanah-tanah yang mungkin sudah dan/atau dapat dikuasai oleh anggota-anggota sebelum dan/atau sesudah aksi-aksi pendudukan dilakukan dengan berbagai cara. Jadi, anggota-anggota SPP dapat menguasai tanah lebih dari 5 hektare asal tidak berada dalam satu lokasi pendudukan tanah. Dalam kasus-kasus tertentu, seperti di X, misalnya, ada anggota yang dapat menguasai tanah hingga 10 hektare, yang terdiri atas 5 hektare yang terletak di dalam areal pendudukan dan lebih kurang 5 hektare di luar lokasi pendudukan. Bahkan dalam kasus/lokasi yang lain, ada satu anggota yang berhasil memperoleh kembali tanah keluarganya yang diklaim telah direbut oleh perusahaan perkebunan milik negara yang jumlahnya mencapai lebih dari 75 hektare. Mengenai kasus yang terakhir ini informasi diperoleh dari keterangan seorang pendamping (organizer) pengelola SPP Garut, di Bandung 17 Desember 2009. Para pengurus dan pimpinan SPP di semua tingkatan tidak melakukan tindakan apa pun mengenai penguasaan-penguasaan tanah yang melebihi batas maksimal penguasaan tanah seperti yang ditetapkan oleh aturan hukum, karena anggota-anggota yang dapat menguasai tanah berlebih tersebut dianggap tidak melanggar ‘aturan’ organisasi dan intepretasi organisasi terhadap aturan hukum mengenai batas penguasaan tanah maksimal oleh satu rumah tangga.
= Bachriadi
31
penguasaan dan pemilikan individu atas tanah yang telah berhasil mereka perjuangkan.57
Dalam hal ini yang dapat dilakukan oleh SPP sebagai organisasi hanya membatasi
kecenderungan pengalihan penguasaan tanah sebatas lingkup antaranggota saja.58 Dengan
kata lain, satu prinsip umum yang diterapkan di semua OTL-‐SPP adalah larangan untuk
menjual atau mengalihkan penguasaan tanah di lokasi pendudukan kepada pihak lain yang
bukan anggota SPP. Dalam hal ketika ada pihak tertentu yang hendak menguasai tanah di
dalam lokasi pendudukan, maka mereka harus menjadi anggota SPP terlebih dahulu sebelum
dapat mengakses tanah tersebut.59
Dalam kasus X, dengan adanya kecenderungan-‐kecenderungan untuk melepaskan hak
garap atas tanah pendudukan, akhirnya pada tahun 2009, tujuh tahun setelah mereka berhasil
menguasai sekitar 600 hektare tanah perkebunan besar, ada sekitar 63 hektare lahan yang
dialihkan ‘hak garapnya’ oleh sekitar 120 penggarap awal kepada hanya 14 anggota SPP di
lokasi tersebut.60 Sebagian besar dari mereka saat ini adalah anggota-‐anggota yang juga
menjadi bandar-‐bandar yang relatif menguasai jalur/rantai distibusi hasil panen di X. Beberapa
bandar juga merupakan pimpinan lokal SPP di X. Dengan kata lain, kecenderungan
konsentrasi lahan di lokasi pendudukan lahan telah turut memperkuat berkembangnya sistem
ekonomi/perdagangan tradisional kaum tani yang dikuasai oleh bandar-‐bandar (middlemen).
57 Mengenai sikap Sekjen SPP tentang preferensinya terhadap penguasaan dan kepemilikan tanah secara individu (private land ownership and/or control) disampaikan oleh yang bersangkutan berkali-kali kepada saya dalam banyak kesempatan kami berdikusi mengenai hal ini. Pertama kali secara tegas ia mengatakan preferensinya ini adalah ketika kami mendiskusikan praktik-praktik kolektivitas kepemilikan tanah pendudukan yang dilakukan oleh satu organisasi tani di Brasil ketika kami sama-sama mendapat kesempatan untuk melakukan kunjungan lapangan dan studi banding ke Brasil pada tahun 2004. 58 Di X, misalnya, anggota SPP tidak menggunakan istilah ‘jual-beli’ lahan tetapi ‘nitip lahan garapan’. Akibatnya, nama penggarap awal akan tetap dicatat (sebagai) penggarap tanah oleh SPP di dalam buku registrasi mereka, meskipun dalam praktiknya penguasaan dan/atau penggarapan atas tanah tersebut sudah berpindah tangan. Penggunaan istilah ‘nitip tanah garapan’ digunakan karena memperjual-belikan lahan secara teknis tidak diperkenankan, selain itu para petani anggota sendiri sangat memahami bahwa penguasaan mereka atas tanah garapan belum sepenuhnya diakui oleh hukum (legal occupancy) karena itu mereka menggunakan istilah ‘tanah garapan’ bukan ‘tanah milik’. Penggunaan istilah ‘nitip lahan garapan’ dan cara-cara pencatan yang tetap mencantumkan nama-nama penggarap awal di dalam daftar catatan resmi SPP juga bertujuan untuk menunjukkan kepada pihak luar bahwa tanah-tanah pendudukan tidak diperjualbelikan atau dialihkan hak garapnya kepada pihak lain, atau untuk menyatakan secara resmi bahwa semua anggota yang terlibat dalam aksi pendudukan tanah dan/atau yang memperoleh bagian tanah garapan di lokasi tersebut adalah petani-petani penggarap aktif. 59 Pihak-pihak yang potensial menjadi penggarap baru, baik mereka adalah anggota SPP maupun bukan anggota, harus ‘membayar’ (‘memberikan’) ‘uang ganti garap’ kepada penggarap tanah sebelumnya. SPP tidak menetapkan aturan umum mengenai besarnya ‘uang ganti garap’ tersebut. ‘Pembayaran’ kemudian dapat dilakukan secara langsung atau melalui pengurus OTL. 60 Keterbatasan tempat dalam artikel ini tidak memungkinkan saya untuk menguraikan dinamika perubahan dalam struktur penguasaan tanah di X sejak tahun 2000 hingga saat ini.
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
32
Meskipun SPP dan beberapa ornop, seperti KPA, telah menyediakan bantuan-‐bantuan
teknis untuk pengembangan ekonomi secara kolektif di lokasi pendudukan tersebut dengan
membentuk unit-‐unit produksi dan distribusi yang berbasis pada koperasi, penyediaan
penyuluhan teknis pertanian, dan sebagainya (lihat juga Affif et al. 2005: 22-‐24)61, tetapi
hasilnya tidak seperti yang diharapkan karena pada akhirnya semangat kolektivisme itu sendiri
tidak berhasil ditumbuhkan di kalangan anggota SPP. Di lokasi pendudukan tanah ini maupun
di lokasi-‐lokasi lainnya, anggota dan pimpinan lokal dibiarkan untuk mengembangkan sendiri
kepentingan ekonominya masing-‐masing, yang dalam beberapa hal telah mengembangkan
bandar-‐bandar, berkompetisi dengan unit-‐unit koperasi. Para bandar pada akhirnya yang
dapat menguasai aktivitas pertanian lokal, khususnya menguasai distribusi hasil-‐hasil
produksi/panen.62
Kita Harus Memikirkan Kembali Arah Gerakan Petani dan Reforma Agraria Saat ini
Transisi demokrasi yang terjadi di Indonesia sejak 1998 memang telah memberikan
pengaruh kepada gerakan sosial dan politik akar rumput di tingkat lokal, meskipun hal itu
belum menyediakan jalan untuk terjadinya perubahan sosial yang lebih mendasar di pedesaan.
Perubahan-‐perubahan politik yang terjadi pasca1998 hingga saat ini, selain menciptakan
konsolidasi politik baru dari para politikus pro status quo yang lama maupun yang baru,
pengusaha dan preman; perubahan-‐perubahan tersebut hanya menghasilkan perangkat-‐
perangkat bagi demokrasi liberal ketimbang terjadinya proses demokrasi yang lebih
substansial (Prasetyo et al. 2003; Harris, Stoke dan Tornquist, 2004; Robison dan Hadiz, 2004),
serta tidak mendorong terciptanya pengaturan-‐pengaturan politik yang baru untuk
menyelesaikan secara sistematik berbagai masalah struktural seperti konflik-‐konflik agraria
dan ketimpangan penguasaan tanah.
Kesempatan-‐kesempatan politik yang muncul pasca-‐reformasi dan di tengah transisi
demokrasi saat ini juga telah membuat organisasi-‐organisasi gerakan sosial pedesaan tidak
hanya menjadikan reforma agraria sebagai agenda perjuangannya. Dalam posisi sebagai
organisasi gerakan sosial yang berbasis massa, walau bagaimanapun, serikat-‐serikat tani telah
menjadi aktor politik yang cukup signifikan, khususnya di daerah-‐daerah, dalam dua
pengertian: pertama, secara politis ia telah menjadi kekuatan yang dapat membawa aspirasi-‐
61 Beragam bentuk bantuan teknis seperti ini tidak hanya disediakan untuk petani X saja, di beberapa OTL lainnya beragam bantuan teknis untuk pengembangan ekonomi juga dilakukan. 62 Lihat Bachriadi 2010 untuk uraian lebih detail mengenai transaksi lahan dan berkembangnya ekonomi bandar seperti yang terjadi di X maupun OTL-OTL SPP lainnya.
= Bachriadi
33
aspirasi dan kepentingan-‐kepentingan anggota-‐anggotanya ke dalam arena pembentukan
kebijakan; dan kedua, ia telah menjadi pengikat untuk konsolidasi massa yang sangat penting
bagi para politisi untuk meraih dukungan politik baik untuk mempertahankan maupun
merebut kekuasaan. Hal yang kedua ini kemudian membuat organisasi-‐organisasi gerakan
sosial khususnya yang berbasis massa dapat mengembangkan kerja sama, berkolaborasi,
maupun membangun aliansi-‐aliansi dengan kekuatan-‐kekuatan politik lainya, termasuk
partai-‐partai politik maupun pihak pemegang otoritas. Selain itu, kekuatan politik organisasi
gerakan ini bersamaan dengan berbagai kesempatan politik yang sekarang tersedia, baik bagi
organisasi maupun para aktivisnya, untuk terlibat di dalam proses-‐proses politik formal
(institutionalized politics) dan politik perebutan kekuasaan telah membuat spektrum aktivitas
dan agenda perjuangan mereka menjadi melebar. Berbagai manuver politik yang dilakukan
baik secara organisatoris maupun secara individual oleh para aktivisnya, dalam rangka
perebutan kekuasaan maupun untuk meraih akses politik ke pusat-‐pusat kekuasaan negara,
bagaimanapun, dapat membuat agenda perjuangan reforma agraria bergeser, menjadi retorika
politik gerakan sosial ketimbang perjuangan yang sungguh-‐sungguh. Tidak bisa dipungkiri,
terlepas dari kesulitan-‐kesulitan internal mengelola kepentingan-‐kepentingan dan aspirasi
politik maupun ekonomi dari anggota-‐anggotanya, pertarungan politik di antara para elite
lokal pada masa pasca-‐reformasi untuk mempertahankan dan/atau merebut kekuasaan telah
mulai menyeret kelompok-‐kelompok gerakan sosial yang berbasis massa di pedesaan ke dalam
aktivitas-‐aktivitas politik yang mungkin kontra-‐produktif dengan perjuangan untuk
pembaruan agraria itu sendiri.
Apakah reformasi dan perubahan politik pasca-‐1998 adalah perubahan iklim yang akan
menyuburkan tumbuhnya gagasan pembaruan agraria yang sejati hingga hasilnya dapat
dipanen dalam bentuk terwujudnya keadilan agraria? Apakah gagasan reforma agraria akan
mendapatkan ladang yang subur dengan adanya PPAN? Banyak aktivis dan schoolars yang
optimis dengan perubahan-‐perubahan tersebut, banyak pula yang berkeyakinan mereka sudah
berhasil mengembangkan biduk besar, yang bernama serikat-‐serikat petani, untuk mengarungi
arus perubahan politik dan ekonomi pasca-‐1998 yang membawa ribuan petani dengan misi
menemukan pulau harapan yang bernama ‘keadilan agraria’. Pulau tujuan tempat jutaan
petani, tidak hanya ribuan yang sekarang ini turut serta naik dan menumpang di dalam biduk
besar yang sudah angkat sauh, dapat hidup lebih baik.
Saya tidak termasuk pihak yang sangat optimis, bahkan sangat skeptik dengan
kecenderungan-‐kecenderungan perubahan ekonomi dan politik yang terjadi saat ini dapat
mengarah kepada perwujudan keadilan agraria. Berbagai studi telah menyimpulkan
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
34
pensertifikatan tanah ala hukum-‐Barat yang sangat terkait dengan ekonomi pasar adalah
tujuan utama dari perubahan-‐perubahan kebijakan pertanahan global yang dijalankan secara
masif saat ini di belahan dunia mana pun.63 Hernando de Soto, seorang tokoh penting dari
kaum penganjur sertifikat tanah sebagai kunci untuk membebaskan potensi ekonomi kaum
marjinal, pernah diundang untuk berceramah di Indonesia untuk memperkuat argumen-‐
argumen tentang pentingnya perubahan kebijakan pertanahan dan pengelolaan aset negara
dalam bentuk tanah agar sejalan dengan cara pikir kaum neoliberal (Warta FKKM 2006b).
Pandangan-‐pandanganya telah mempengaruhi cara pikir birokrat di Indonesia tentang PPAN
(lihat juga Fauzi, 2009). Cara pandang ini di banyak tempat ‘berkesesuaian’ dengan tuntutan
dan kehendak para petani untuk memperoleh/menguasai tanah secara individual (privat),
meskipun di banyak tempat lainnya cara pandang itu justru bertentangan dengan pandangan-‐
pandangan penduduk setempat yang sedang memperjuangkan kembali gagasan penguasaan
tanah-‐tanah kolektif secara adat.
Politik di era reformasi yang ditandai dengan kompromi-‐kompromi dan kerja sama
antara pemilik modal, preman, dan politisi yang pragmatis dan pro status quo untuk
menguasai arena pembentukan kebijakan publik di berbagai tingkatan (Manning dan van
Dierman, 2000; Komisi Hukum Nasional, 2002; Harris, Stokke, dan Törnquist, 2004; Robison
dan Hadiz, 2004) sesungguhnya telah mempersempit ruang bagi kemungkinan pelaksanaan
reforma agraria yang sejati seperti yang dibayangkan oleh scholar-‐activists yang memunculkan
kembali gagasan ini pada pertengahan tahun 90-‐an. Kompromi-‐kompromi yang kemudian
juga menyeret aktivis dan kelompok-‐kelompok gerakan sosial pedesaan ke dalam pusaran
pertukaran kepentingan dengan politisi pragmatis dan pro status quo juga telah mempersulit
konsolidasi gerakan pembaruan agraria di Indonesia. Hal itu paling tidak bisa tercermin dari
kooptasi gagasan “reforma agraria” yang dilakukan oleh SBY dan pengikut-‐pengikutnya saat ini
melalui program PPAN telah mempersulit proses radikalisasi gagasan di tataran akar-‐rumput.
PPAN dalam praktiknya sudah dapat dipastikan hanya akan merupakan program
redistribusi tanah secara parsial (tidak secara sistematik mencakup semua potensi tanah-‐tanah
obyek land reform dan melibatkan semua rumah tangga tani yang potensial menjadi subyek
penerima tanah), plus dalam banyak hal akan lebih mengedepankan program sertifikasi tanah
ketimbang redistribusi. Program ini sudah dapat dipastikan tidak akan menyentuh hal-‐hal
yang sangat sensitif dalam merombak struktur agraria yang timpang dan menyelesaikan
63 Untuk diskusi yang lebih luas mengenai program sertifikasi tanah sebagai salah satu dasar dari pengembangan ekonomi neoliberal lihat, misalnya, Feder dan Nishio 1999, de Soto 1993 dan 2000, Rosset 2002, Borras 2003, Deininger 2003, dan Bachriadi 2009b.
= Bachriadi
35
konflik-‐konflik agraria. Persoalan agraria di Indonesia tidak dapat diselesaikan hanya dengan
menjalankan redistribusi tanah secara parsial, apalagi hanya dengan memperbaiki sistem
pelayanan registrasi dan sertifikasi tanah.64 Meskipun demikian, harus diakui bahwa secara
individual para petani yang telah menguasai tanah sangat mendambakan tanah-‐tanah mereka
mendapat pengakuan formal melalui sertifikat yang secara ekonomi akan menambah nilai
tanahnya.65
Saya juga sangat skeptik dengan biduk besar yang dibangun oleh para aktivis tersebut.
Saya khawatir, biduk itu akan karam di tengah jalan atau tidak sampai ke tujuaanya karena
beberapa sebab, yang terutama adalah para penumpangnya tidak memiliki disiplin dan tujuan
yang sama dengan semboyan besar yang tercetak dilayar-‐layarnya.66 Biduk itu pun tidak
memiliki aturan yang jelas dan mengikat bagi para penumpangnya, sehingga penumpang
dapat saja turun, lalu pergi, dan naik lagi sekehendaknya masing-‐masing. Sementara daya
tahan, kemapanan, serta kemampuan biduk besar itu untuk berlayar justru sangat ditentukan
oleh semakin banyaknya penumpang yang dapat diangkutnya. Ini adalah biduk politik, yang
secara ‘otomatis’ akan membesar dengan sendirinya dan semakin kuat serta semakin tangguh
jika penumpangnya semakin banyak, asalkan nakhoda dan para kelasinya adalah orang-‐orang
yang berdisiplin, tidak bermain-‐main dengan misi pelayarannya, dan tidak tergoda untuk
singgah di pulau-‐pulau lainya, pasang sauh terlalu lama atau malah berhenti sama sekali di
pulau yang tidak sesuai dengan rencana besar misi pelayaran tersebut.
Benar reformasi telah membuka banyak kesempatan kepada kelompok-‐kelompok
gerakan sosial di pedesaan untuk melakukan aksi-‐aksi pendudukan tanah di berbagai tempat,
beberapa kelompok juga secara politik semakin kuat. Dalam jumlah terbatas bahkan telah ada
kelompok-‐kelompok petani yang telah memperoleh pengakuan resmi dalam bentuk sertifikat
64 Program pertanahan SBY yang pada akhirnya hanya memfokuskan pada program sertifikasi tanah tercermin dari peluncuran program LARASITA (Layanan Rakyat untuk Sertifkasi Tanah) pada pertengahan Desember 2008. LARASITA hanya sebuah program untuk memperbaiki dan meningkatkan pelayanan dalam sertifikasi tanah, dalam rangka memperbanyak persil-persil tanah yang dikuasai oleh individu dengan sertifikat kepemilikan yang jelas, minus tujuan-tujuan untuk melakukan perubahan struktural terhadap keadaan ketimpangan pengadaan tanah dan peneyelesaian konflik-konflik agraria. Lihat Nurdin 2008 dan Fauzi 2009. 65 Sejumlah ornop dan aktivis di Indonesia, bagaimanapun, tidak meyakini bahwa sertifikasi tanah semata, apalagi dalam bentuk hak kepemilikan individual, adalah bentuk dari pembaruan agraria apalagi mengarah kepada perwujudan keadilan agraria. Dalam siaran pers pada tanggal 3 Juli 2009, Sekjen KPA menyatakan: “Dengan kondisi ekonomi makro saat ini yang sangat tidak menguntungkan untuk kaum tani, ditambah dengan penguasaan tanah yang sempit, sertifikasi tanah … tanpa pembaruan agraria, adalah suatu alat yang secara sistematik akan mendorong petani menjual tanah-tanah mereka lebih cepat lagi, hingga akhirnya hanya dikuasai oleh pemodal besar, dengan akibat semakin buruknya kondisi ketimpangan distribusi tanah pada saat ini. Itu pula sebabnya mengapa saat ini banyak tanah pertanian di pedesaan dikuasai oleh orang-orang kota yang berduit, sementara petani miskin semakin terdesak menjadi buruh tani” (Konsorsium Pembaruan Agraria 2009). 66 SPP memiliki semboyan “berjuang untuk pembaruan agraria”, sedangkan STaB memiliki semboyan “tanah dan tahta untuk rakyat” (Bachriadi 2008, 2009a dan 2010).
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
36
atas tanah-‐tanah pendudukan tersebut. Semua itu adalah hasil perjuangan panjang
keterlibatan mereka dengan gerakan reforma agraria. Akan tetapi, jumlah mereka yang dapat
menikmati ‘kemenangan’ dan ‘keberhasilan’ ini tidak terlalu signifikan dibanding dengan
jumlah, sebaran, dan kualitas ketimpangan penguasaan tanah serta konflik agraria yang ada di
Indonesia. Selain itu, hasil-‐hasil perjuangan selama ini yang bentuk utamanya adalah
keberhasilan untuk menguasai persil-‐persil tanah tertentu telah cukup memuaskan petani-‐
petani yang sebelumnya adalah petani-‐petani tak bertanah, memiliki tanah sedikit, atau yang
kehilangan tanahnya akibat direbut oleh pihak lain. Memperoleh tanah: itulah agenda utama
mereka untuk terlibat di dalam gerakan sosial untuk reforma agraria. Ditambah dengan
kegagalan organisasi untuk mengelola dan mengorganisir kembali kelompok-‐kelompok yang
telah berhasil menguasai kembali tanah tersebut, dalam banyak kasus, kemudian membuat
mereka yang telah berhasil itu tidak lagi merasa memiliki kepentingan langsung dengan
agenda gerakan reforma agraria yang lebih luas.
Dari contoh kasus ‘land reform by leverage’ di atas muncul pertanyaan tentang
bagaimana sesungguhnya prinsip-‐prinsip distrubusi tanah yang diterapkan/dijalankan oleh
kelompok-‐kelompok gerakan sosial pedesaan, dan bagaimana model-‐model distribusi dan
penguasaan tanah yang mereka jalankan dapat menjadi penantang dari paradigma hubungan
penguasaan tanah dan pembangunan yang sekarang ini dominan/unggul. Dalam banyak
kasus, seperti yang terlihat di SPP juga di STaB, misalnya, (Bachriadi segera terbit 2010),
banyak tanah yang diperjuangkan dengan susah payah telah berpindah tangan meskipun
belum dilengkapi sertifikat.67
Dapatkah organisasi-‐organisasi gerakan sosial mempertahankan visi jangka panjang
mereka sementara aspirasi-‐aspirasi jangka pendek dari para anggota atas perjuangan panjang
tersebut lebih tertuju pada memiliki dan/atau menguasai tanah semata secara pribadi,
sehingga ada kebebasan untuk memperjualbelikannya, atau sekadar memperbaiki kondisi
perekonomian mereka secara individual pula. Dari studi yang saya lakukan di Priangan Timur,
Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Bengkulu, saya temukan kenyataan yang ‘agak pahit’ yang
harus dihadapi oleh para aktivis gerakan pembaruan agraria. Tetap menjadi suatu pertanyaan
yang serius untuk ‘dijawab’ dan ‘dipecahkan’ oleh gerakan sosial bagaimana kecenderungan-‐
kecenderungan makro dan mikro seperti yang digambarkan singkat di atas akan berpengaruh
kepada program land reform jika pada akhirnya penyingkiran melalui mekanisme pasar akan
67 Lihat juga Warren (2013) untuk gambaran yang lebih kurang serupa yang terjadi di Gili Trawangan, Lombok. Lihat juga KPA Wilayah NTB 1997 untuk latar belakang dan perjuangan penduduk setempat di Gili Trawangan sejak akhir tahun 80-an.
= Bachriadi
37
kembali menghasilkan kelas petani tak bertanah (landless class). Lebih jauh, keberlanjutan
solidaritas organisasi perjuangan untuk pembaruan agraria yang sering diteriakkan dengan
istilah ‘land reform by leverage’ itu sendiri tampaknya sedang menuju ke arah yang
mencemaskan. Memperoleh, menguasai, dan memiliki tanah adalah keinginan petani dan itu
yang membuat sejumlah petani yang baru menguasai tanah sedikit atau tidak menguasai tanah
sama sekali mau terlibat dalam aksi-‐aksi pendudukan tanah. Akan tetapi seperti telah
diungkap di atas, sekali mereka berhasil menguasai tanah, kebanyakan dari mereka kehilangan
antusiasmenya untuk perjuangan lebih lanjut. Ini telah melemahkan konsolidasi gerakan
petani dan menambah beban bagi perjuangan untuk mendorong pembaruan agraria yang
tujuannya lebih luas dari sekadar menyediakan tanah kepada petani.
Reformasi sesungguhnya telah mempersulit proses radikalisasi gerakan untuk reforma
agraria di Indonesia. Ya, betul, reformasi memang telah membuka banyak kesempatan politik
untuk berkembangnya aksi-‐aksi pendudukan tanah di berbagai daerah, dan beberapa
kelompok dari mereka terus tumbuh dan menjadi kuat secara politik; tapi itu semua belum
belum cukup secara politik untuk membuat reforma agraria yang sejati dijalankan, yakni suatu
reforma agraria yang dapat menjadi dasar bagi pembentukan masyarakat Indonesia yang baru.
Hal ini mengingatkan saya kepada satu pidato Bung Karno di tahun 1962 ketika beliau
mengingatkan kader-‐kader Barisan Tani Indonesia (BTI) bahwa “gerakan tani … bukan hanya
mengabdi kepada kepentingan individu, tetapi harus pula satu gerakan perjuangan, satu
strijbeweging untuk mendatangkan satu masyarakat yang adil dan makmur, satu masyarakat
tanpa exploitation de l’homme par l’homme …” (Soekarno 1962: 12).
Bagaimana nasib gagasan reforma agraria yang sejati itu sendiri maupun nasib jutaan
rumah tangga tani tak bertanah atau yang mendekati tak bertanah yang jumlahnya semakin
bertambah dari waktu ke waktu di Indonesia? Untuk sementara ini sesungguhnya mereka
semakin terkubur bersamaan dengan berjalannya waktu, penguatan negara neoliberal, serta
dalam banyak hal telah diperparah pula dengan adanya manuver-‐manuver politik sejumlah
aktivis gerakan sosial yang membawa klaim penderitaan kaum tani marjinal ke dalam arena
politik kekuasaan. Hegemoni global dari ideologi neoliberal tidak diragukan lagi telah menjadi
ancaman serius bagi gerakan petani dan gerakan pembaruan agraria masa kini. Namun, tentu
saja, selain harus bekerja lebih keras lagi ‘meluruskan arah perjuangan dari gerakan tani’, kita
tidak dapat menyerahkan seluruh perjuangan untuk melawan hegemoni tersebut kepada
kelompok petani semata. Diperlukan aliansi perjuangan yang lebih tegas dari kelas-‐kelas
masyarakat yang telah dan akan dirugikan dengan kecenderungan-‐kecenderungan neoliberal
saat ini – O
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
38
Rujukan
Affif, Suraya et al. (2005) Redefining Agrarian Power: Resurgent Agrarian Movements in West Java, Indonesia, Center for Southeast Asian Studies Working Paper No.2-‐05, UC Berkeley: Center for Southeast Asia Studies. Retrieved from: http://escholarship.org/uc/item/7rf2p49g
Agustono, Budi et al. (1997) Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia vs PTPN II. Bandung: Akatiga.
Aji, Gutomo Bayu (2005) Tanah Untuk Penggarap: Pengalaman Serikat Petani Pasundan Menggarap Lahan-‐lahan Perkebunan dan Kehutanan. Bogor: Pustaka Latin.
Arief, Sritua (1979) Indonesia: Growth, Income Disparity and Mass Poverty. Jakarta: SAA.
Asian Development Bank (2007) Republic Indonesia: Enhancing the Legal and Administrative Framework for Land Project, ADB Technical Assistance Report Project No. 37304.
Bachriadi, Dianto (1995) Ketergantungan Petani dan Penetrasi Kapital: Lima Kasus Intensifikasi Pertanian dengan Pola Contract Farmin. Bandung: Akatiga.
Bachriadi, Dianto (1999) Pembaruan Agraria (Agrarian Reform): Urgensi dan Hambatannya dalam Pemerintahan Baru di Indonesia Pasca Pemilu 1999, makalah dipresentasikan dalam Seminar “Mendesakan Agenda Pembaruan Agraria dalam Sidang Umum (SU) MPR 1999” diselenggarkan oleh KPA, ELSAM, and Lab. Sosiologi-‐Antropologi IPB, Jakarta 22 September 1999.
Bachriadi, Dianto (2000) “Land for the landless: Why are the democrats in Jakarta not interested in land reform?”, Inside Indonesia 64, hal. 28-‐29.
Bachriadi, Dianto (2001a) Pokok-‐pokok Kritik terhadap RUU Pertanahan Nasional Usulan BPN, makalah dipresentasikan dalam diskusi internal KSPA, Jakarta 14 Mei 2001.
Bachriadi, Dianto (2001b) Pemetaan Pola Sengketa dan Konflik Agraria di Indonesia, makalah dipresentasikan dalam lokakarya “Arah Kebijakan Nasional mengenai Tanah dan Sumber Daya Alam Lainnya, diselenggarakan oleh KSPA-‐Pokja PSDA-‐dan KPA, Bandung 20-‐23 Agustus 2001.
Bachriadi, Dianto (2001c) “Memandang Selayang ke Dalam: Latar Belakang Munculnya Usulan Ketetapan MPR RI tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Adil dan Berkelanjutan”, dalam Meneguhkan Komitmen, Mendorong Perubahan: Argumen-‐argumen dan Usulan Ketetapan MRP RI tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Adil dan Berkelanjutan, Dianto Bachriadi (ed.). Bandung: KSPA, Pokja PSDA, dan KPA, hal. v-‐xxxiv.
Bachriadi, Dianto (2002a) "Lonceng Kematian atau Tembakan Tanda Start? Kontroversi seputar Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 -‐ Komentar untuk Idham Samudra Bey", Kompas. 11 Januari 2002.
Bachriadi, Dianto (2002b) “Warisan Kolonial yang Tidak Diselesaikan: Konflik dan Pendudukan Tanah di Tapos dan Badega, Jawa Barat”, dalam Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung, Anu Lounela dan R. Yando Zakaria (ed.). Yogyakarta: Insist-‐Press.
Bachriadi, Dianto (2004a) “Tendensi dalam Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia: Menunggu Lahirnya Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA)”, Jurnal Dinamika Masyarakat 3(3), hal. 497-‐521.
= Bachriadi
39
Bachriadi, Dianto (2004b) “Mining in a protected state forest? This is Indonesia!”, Inside Indonesia 80 (Oct-‐Dec 2004), hal. 4-‐5.
Bachriadi, Dianto (2005), Konstelasi Upaya-‐upaya untuk Mengubah UUPA 1960, presentasi [powerpoint file] untuk diskusi yang diselenggarakan oleh Institute for Global Justice, Jakarta 24 Februari 2005.
Bachriadi, Dianto (2006) Neo-‐liberal Land Policies and Consolidation of Power in Indonesia, makalah dipresentasikan dalam International Conference on “Land, Poverty, Social Justice and Development”, Institute of Social Studies (ISS), The Hague, 12-‐14 Januari 2006.
Bachriadi, Dianto (2007) Reforma Agraria untuk Indonesia: Pandangan Kritis tentang Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah ala Pemerintahan SBY, makalah dipresentasikan dalam “Pertemuan Konsolidasi untuk Demokrasi, Simpul Jawa Tengah-‐DIY”, Magelang 6-‐7 Juni 2007.
Bachriadi, Dianto (2008) Struggle for Livelihood and Power: Land Occupation Actions in Contemporary Indonesia, makalah dipresentasikan dalam seminar internasional ‘Private Faces of Power and Institution in Southeast Asia’, JSPS 2007 Core University Program, Bangkok 6-‐7 Desember 2008.
Bachriadi, Dianto (2009a) Land, Rural Social Movements and Democratisation in Indonesia, the Transnational Institute Working Paper, June 2009, http://www.tni.org/project/new-‐politics
Bachriadi, Dianto (2009b) Australian Overseas Development Assistance and the Rural Poor: AusAid and the Formation of Land Markets in Asia-‐Pacific, TNI Land Policy Series 7, Amsterdam: Transnational Institute dan 11.11.11.
Bachriadi, Dianto (2010) Between Discourse and Actions: Agrarian Reform and the Politics of Rural Social Movements in Indonesia After 1965, PhD diss., Flinders University, Australia.
Bachriadi, Dianto dan Dadang Juliantara (2007) Demi Keadilan Agraria: Keharusan Menjalankan Pembaruan Agraria secara Menyeluruh untuk Keadilan Sosial di Indonesia (Sekali Lagi: Pandangan dan Usulan kepada Presiden RI), dokumen Kelompok Studi Pembaruan Agraria (KSPA) yang tidak dipublikasi.
Bachriadi, Dianto dan Anton Lucas (2010a) Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Bachriadi, Dianto dan Anton Lucas (2001b) “Loosing Rights to Land and the Fate of the Land Reform Program: Three West Java Case Studies”, makalah dipresentasikan dalam seminar FISIPOL Gadjah Mada University, Juli 2001.
Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi (2011) Enam Dekade Ketimpangan: Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia. Bandung: ARC Books.
Bachriadi, Dianto, Yudi Bachrioktora dan Hilma Safitri (2002) Ketika Penyelenggaraan Pemerintahan Menyimpang: Maladministrasi di Bidang Pertanahan, laporan penelitian kolaborasi Komisi Ombudsman Nasional dan Konsorsium Pembaruan Agraria, 2002.
Bachriadi, Dianto, Erpan Faryadi dan Bonnie Setiawan (ed.) (1997) Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Bantaya, Yayasan Bantuan Hukum dan Studi Hukum Adat (1997) “Masalah Agraria di Sulawesi”, dalam Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
40
Pembaruan Agraria di Indonesia, Dianto Bachriadi, Erpan Faryadi dan Bonnie Setiawan (eds.). Jakarta: Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan KPA, hal. 227-‐243.
Bappenas (2006) Rumusan Sementara Lokakarya Nasional Finalisasi KKPN, 6 November 2006.
‘Berjuang untuk Tanah, Penghidupan, dan Kebebasan’, kumpulan rekaman wawancara dengan pimpinan petani di Cieceng (wawancara oleh Dianto Bachriadi dan Hilma Safitri untuk “CLARA oral history project of oppressed people in Indonesia”, kaset no. 27-‐28), koleksi Agrarian Resource Center, Bandung, 2003.
Bey, Idham Samudera (2002) "Lonceng Kematian UUPA 1960 Berdentang Kembali -‐ Menyoal TAP MPR No. IX/MPR/2001," Kompas 10 Januari 2002.
Billah, M. M., Loehoer Widjajanto dan Aries Kristyanto (1984) “Segi Penguasaan Tanah dan Dinamika Sosial di Pedesaan Jawa (Tengah)”, dalam Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Sediono MP. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (ed.). Jakarta: Gramedia, hal. 250-‐285.
Borras, Saturnino M, Jr. (2003) “Questioning Market-‐Led Agrarian Reform: Experiences from Brazil, Colombia and South Africa”, Journal of Agrarian Change 3(30), hal. 367-‐394.
Borras, Saturnino M, Jr. (2007) Pro-‐poor Land Reform: A Critique. Ottawa: the University of Ottawa Press.
Christodolou, Demetrios (1990) The Unpromised Land: Agrarian Reform and Conflict Worldwide. London: Zed Books.
Dediyanto (2005) Petani Bengkulu Ikut Berkuasa: “Bak Katak Hendak Jadi Lembu”, monograf disusun untuk forum refleksi gerakan sosial yang diorganisir oleh PERGERAKAN, Bandung 3-‐10 Januari 2005, dokumen PERGERAKAN tidak dipublikasi.
Deininger, Klaus (2003) Land Policies for Growth and Poverty Reduction, World Bank Policy Research Report. Oxford: Oxford University Press.
Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Perkebunan (2007) Program Revitalisasi Perkebunan, bahan presentasi [powerpoint file] disusun oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta 29 Maret 2007.
de Soto, Hernando (1993) “The Missing Ingredient – the Future Surveyed”, The Economist 11-‐17 September 11-‐17 1993, hal. 8-‐10.
de Soto, Hernado (2000) The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else. London: Basic Books.
Djuweng, Stepanus (1996) Land Disputes Cases, the Strawberry of Development: Global Causes of Local Conflicts vs Local Costs of Global Problems, makalah dipresentasikan dalam Konferensi INFID ke-‐10, Canberra 26-‐28 April 1996.
Dorner, Peter (1972) Land Reform and Economic Development. Baltimore: Penguin Books.
Eckholm, Eric (1979) The Dispossessed of the Earth: Land Reform and Sustainable Development, Worldwatch Paper, 30 Juni 1979.
Fauzi, Noer (2003) The New Sundanese Peasants’ Union: Peasant Movements, Changes in Land Control, and Agrarian Questions in Garut, West Java, makalah dipresentasikan dalam “Crossing Borders” Workshop on: New and Resurgent Agrarian Questions in Indonesia and South Africa, Center for Southeast Asia Studies and Center for African Studies, University of California at Berkeley, 24 Oktober 2003.
Fauzi, Noer (2009) “Land titles do not equal agrarian reform”, Inside Indonesia 98, Oct-‐Dec 2009, http://insideindonesia.org/content/view/1250/176/
= Bachriadi
41
Fauzi, Noer dan Dianto Bachriadi (1998) Hak Menguasai dari Negara (HMN): Persoalan Sejarah yang Harus Diselesaikan, Kertas Posisi KPA No. 004/1998, Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria.
Fauzi, Noer dan R. Yando Zakaria (2000) Men-‐siasat-‐i Politik Otonomi Daerah Demi Pembaruan Agraria: Masuk dari Pintu yang Tersedia, Keluar dari Pintu yang Baru, makalah dipresentasikan dalam seri diskusi KEDAI (Study Group on Indonesia’s Adat) ke-‐1, Cisarua, 26-‐28 Mei 2000.
Feder, Gershon dan Akinihio Nishio (1999) “The Benefit of Land Registration and Titling: Economic and Social Perspectives”, Land Use Policy 15(1), hal. 25-‐43.
Firmansyah et al. (1999) Gerakan dan Pertumbuhan Organisasi Petani di Indonesia: Studi Kasus Gerakan Petani Era 1980-‐an. Jakarta: Sekretariat Bina Desa dan Yappika.
Forum Keadilan, “Wayan Intaran: ‘Tanah dari Redistribusi itu Diserobot’”, Forum Keadilan No. 26, Tahun VI, 6 April 1998, hal. 58-‐59.
Galamedia, “Petani Rindukan Keberpihakan”, Galamedia 25 September 2002.
Hafid, J.O.S. (2001) Perlawanan Petani: Kasus Tanah Jenggawah. Bogor: Pustaka Latin.
Harman, Benny K. et al. (ed.) (1995) Pluralisme Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus Tanah. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
Harris, John, Kristian Stokke dan Olle Törnquist (ed.) (2004) Politicising Democracy: the New Local Politics of Democratisation. Hampshire: Palgrave Macmillan.
Harsono, Boedi (1996) Hukum Agraria Indonesia: Himpunan Peraturan-‐peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Harsono, Boedi (2002) Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti.
Hatta, Mohammad (1992) Beberapa Pokok Pikiran, diedit oleh by Sri-‐Edi Swasono dan Fauzie Ridjal. Jakarta: UI-‐Press [versi asli tahun 1946].
Herring, Ronald J. (2003) “Beyond Political Impossibility Theorem of Agrarian Reform”, dalam Changing Path: International Development and the New Politics of Inclusion, Michael Moore dan Peter Houtzager (ed.). Ann Arbor: University of Michigan Press, hal. 58-‐87.
Huizer, Gerrit (1980) Peasant Movements and Their Counterforces in South-‐East Asia. New Delhi: Marwah Pub.
Hüsken, Frans (1989) Masyarakat Desa dalam Perubahan Zaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa, 1830-‐1980. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Hüsken, Frans dan Benjamin White (1989) “Java: Social Differentiation, Food Production, and Agrarian Control”, dalam Agarian Transformations: Local Processes and the State in Southeast Asia, Gillian Hart, Andrew Turton dan Benjamin White (ed.). Berkeley: California University Press, hal. 235-‐265.
Hutagalung, Arie Sukanti (1985) Program Redistribusi Tanah di Indonesia: Suatu Sarana ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan Tanah dan Kepemilikan Tanah. Jakarta: Rajawali Press.
Judge, Paramjit S. (1999) Social Change through Land Reforms. Jaipur: Rawat Publications.
Kantor Pertanahan Kabupaten Garut (2007) “Berita Acara Penyerahan Sertifikat Hak Milik atas Tanah Obyek Landreform Melalui Kegiatan Pembaruan Agraria Nasional T.A. 2007 Desa Padaawas, Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut”, document of Garut Land Office.
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
42
Kasryno, Faisal (ed.) (1984) Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kartodihardjo, Hariadi et al. (2005) Di Bawah Satu Payung: Pengelolaan Sumber Daya Agraria. Jakarta: Suara Bebas.
Kirk, Cristobal (1987) “Contracting Out: Plantations, Smallholders, and Transnational Enterprises”, Institute of Development Studies Bulletin 18(8), hal. 45-‐51.
KNuPKA, Tim Kerja (2004) Penyelesaian Konflik Agraria dan Usulan Pelembagaannya, Naskah Akademik KNuPKA. Jakarta: KOMNAS HAM.
Koalisi Rakyat Tolak Perpres 36/2005 (2005) Cabut Segera Perpres 36/2005 dan Usut Tindakan Represif Aparata Kepolisian terhadap Petani!!, pernyataan Koalisi Rakyat Tolak Perpres 36/2005, dokumen KPA.
Komisi Hukum Nasional (2002) Peta Reformasi Hukum di Indonesia, 1999-‐2001: Transisi Di Bawah Bayang-‐bayang Negara. Jakarta: Komisi Hukum Nasional Indonesia.
Kompas , “DPRD Minta Penjelasan Bupati Ciamis”, Kompas 23 Maret 2005.
Kompas, ”Selesai, Revisi Perpres Tanah – Sejumlah Kalangan Nilai yang Direvisi Tak Signifikan”, Kompas 6 Juni 2006 (a).
Kompas , ”Koalisi LSM Tolak Perpres Pertanahan”, Kompas 28 Juni 2006 (b).
Kompas , ”Redistribusi Lahan bukan Hanya untuk Petani”, Kompas 6 Januari 2007 (a).
Kompas , ”Lahan 24 juta hektar Tidak Teridentifikasi”, Kompas 16 Januari 2007 (b).
Kompas, ”GPP Jabar-‐Banten Tolak Konsep Bagi-‐bagi Lahan”, Kompas 6 Juni 2007 (d).
Kompas, “Intervensi Asing di Sektor Energi Terkuak”, Kompas 5 September 2008.
Konsorsium Pembaruan Agraria (1996a) Land Disputes: Strawberries of Development, KPA’s First Memorandum on the Land Administration Project in Indonesia. Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria.
Konsorsium Pembaruan Agraria (1996b) Our Land is Not for Sale: KPA’s Second Memorandum on the Land Administration Project in Indonesia. Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria.
Konsorsium Pembaruan Agraria (1997a) To Ignore or to Engage NGOs: KPA’s Third Memorandum on the Land Administration Project in Indonesia. Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria.
Konsorsium Pembaruan Agraria (1997b) Tidak! Untuk Pendaftaran Tanah Komunal: KPA’s Fourth Memorandum on the Land Administration Project in Indonesia. Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria.
Konsorsium Pembaruan Agraria (2007) Reforma Agraria: Antara Hambatan dan Harapan – Catatan KPA atas Dinamika Politik Agraria Tahun 2007 dan Proyeksi Tahun 2008, Catatan Kritis KPA tahun 2007, tertanggal 27 Desember 2007, www.kpa.or.id (juga tersedia di http://serikat-‐tani-‐nasional.blogspot.com/2007/12/akhir-‐tahun-‐kpa-‐atas-‐dinamika-‐politik.html).
Konsorsium Pembaruan Agrarian (2009) Keliru Jika SBY Dianggap Telah Melakukan Pembaruan Agraria, Siaran Pers KPA No. 047/Sekretariat/KPA/VII/2009.
Konsorsium Pembaruan Agraria, Tim Legal Drafting (1998) Usulan Revisi Undang-‐undang Pokok (UUPA): Menuju Penegakan Hak-‐hak Rakyat atas Sumber-‐sumber Agraria.
= Bachriadi
43
Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Kontan, “BPN Telah Membagi-‐bagikan 240.000 Bidang Tanah, Lembaga Pengelola Reforma Agraria Masih Terganjal Izin Departemen Keuangan”, Kontan 26 Februari 2008.
Koran Tempo, “Pemerintah Siapkan Pembagian Lahan Petani”, Koran Tempo 13 November 2006.
KPA Wilayah NTB, Tim Studi (1997) “Kondisi dan Permasalahan Agraria di Nusa Tenggara Barat”, dalam Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Dianto Bachriadi, Erpan Faryadi dan Bonnie Setiawan (ed.). Jakarta: Penerbit Facultas Ekonomi Universitas Indonesia dan KPA, hal. 257-‐273.
Lubis, T. Mulya dan Mas Achmad Santosa (1999) “Economic Regulation, Good Governance and the Environment: an Agenda for Law Reform in Indonesia”, dalam Reformasi: Crisis and Change in Indonesia, Arief Budiman, Barbara Hatley dan Damien Kingsbury (ed.). Clayton: Monash Asia Institute of Monash University, hal. 343-‐362.
Lucas, Anton (1992) “Land Disputes in Indonesia: Some Current Perspectives”, Indonesia 53, hal. 79-‐92.
Lucas, Anton (2013) “The Cimacan Golf Course Dispute since the New Order", dalam Land for the People: Agrarian Conflict in Indonesia, Anton Lucas dan Carol Warren (ed.). Athens: Ohio Univ. Press, hal. 141-‐148.
Lucas, Anton dan Carol Warren (2003) “The State, the People and Their Mediators: the Struggle over Agrarian Law Reform in Post New Order Indonesia”, Indonesia 76, hal. 87-‐126.
Lukmanudin, Ibang (2002) “Menolak Klaim Perhutani atas Tanah Rakyat Sagara”, dalam Memecah Ketakutan Menjadi Kekauatan: Kisah-‐kisah Advokasi Indonesia, Indonesian Advocacy Development Initiative (IADI) Team (ed.). Yogyakarta: Insist Press, hal. 305-‐348.
Lusiana, Susan and Achmad Ya’kub (2009) Proyek UU Pertanahan Ditangah Janji Manis PPAN, www.spi.or.id
Maguantara, Yusup N. et al. (2006) Reforma Agraria: Kepastian yang Harus Dijaga. Bogor: KRKP.
Mahkamah Konstitusi (2007) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21-‐22/PUU-‐V/2007. Keputusan Mahkaman Konsitusi meninjau UU No. 25/2007 tentang penanaman modal.
Mamock (1998) “Kasus Tanah Ujung Negoro, Batang, Jawa Tengah”, dalam Pembangunan Berbuah Sengketa: Kumpulan Kasus-‐kasus Sengketa Pertanahan Sepanjang Orde Baru, Boy Fidro dan Noer Fauzi (ed.). Medan: Yayasan Sintesa dan SPSU, hal. 83-‐95.
Manning, Chris dan Peter van Dierman (ed.) (2000) Indonesia in Transition: Social Aspects of Reformasi and Crisis. Singapore: Institute of Southeast Asia Studies.
Media Indonesia, ”9,25 juta hektar Tanah Gratis untuk Rakyat Miskin”, Media Indonesia 22 Mei 2007.
Media Indonesia, “Pertanahan untuk Rakyat! Bukan Omong Kosong”, iklan politik DPP Jaring Nusantara, Media Indonesia 24 Juni 2009.
Menteri Negara Riset Republik Indonesia (1978) Laporan Interim Masalah Pertanahan, laporan disampaikan kepada Presiden RI, 4 Maret 1978.
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
44
Mismuri, Herdi dan Andi Supriadi (2002) Nyucruk Galur Napak Tilas Perjoangan Rahayat Cieceng: Perebutan Tanah ex-‐Perkebunan PTPN VIII Bagjanegara, dalam kumpulan tulisan tentang kasus-‐kasus perjuangan organisasi tingkat lokal Sarikat Petani Pasundan, dokumen SPP yang tidak dipublikasi.
Mismuri, Herdi dan Prasetyohadi (2008) Gerakan Petani Dusun Cieceng di Tasikmalaya, http://spppasundan.multiply.com/tag/kebun
Morad, Aly A. (1970) Land Reform: Report to the Government of Indonesia. Rome: FAO.
National Development Planning Agency dan National Land Agency (1997) Executive Summary of Final Report and Policy Matrix: Land Policy Reform in Indonesia, a Topic Cycle 4 of LAP-‐Part C, Indonesian Land Administration Project.
Nurdin, Iwan (2008) Tentang Peresmian Program Layana Rakyat untuk Sertifikasi Tanah (LARSITA) BPN-‐RI, dokumen KPA tidak dipublikasi.
Partai Perserikatan Rakyat (2007a), Mengapa Kita Berpartai: Panduan Membangun dan Mengelola Partai Perserikatan Rakyat (PPR). Jakarta: Partai Perserikatan Rakyat.
Partai Perserikatan Rakyat (2007b) Tentang Reforma Agraria, dokumen Partai Perserikatan Rakyat, tidak dipublikasi.
Peluso, Nancy L., Suraya Afiff dan Noer F. Rachman (2008) “Claiming the Grounds for Reform: Agrarian and Environmental Movements in Indonesia”, Journal of Agrarian Change 8(2-‐3), hal. 377-‐407.
Perhimpunan Rakyat Pekerja (2006) UU Perkebunan menghambat akses rakyat terhadap sumber-‐sumber agraria!!!, Hentikan kekerasan terhadap petani !!!, pernyataan Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), 15 Desember 2006.
Pikiran Rakyat, “Petani Demo ke Pemda Jabar”, Pikiran Rakyat 23 Mei 2001.
Pikiran Rakyat,”5.000 KK Petani Terkait Sengketa Lahan”, Pikiran Rakyat 11 Juli 2002.
Pikiran Rakyat, ”Ribuan Petani Ciamis Menolak Kenaikan BBM, Mereka Juga Minta Kasus Sengketa Tanah Dituntaskan”, Pikiran Rakyat 23 Maret 2005.
Pikiran Rakyat, ”Rakyat Miskin bisa Punya Tanah”, Pikiran Rakyat 23 Mei 2007 (a).
Pikiran Rakyat, ”Jabar Belum Siap Bagikan Tanah”, Pikiran Rakyat 26 Mei 2007 (b).
Pikiran Rakyat, ”Pembagian Lahan 9,2 Juta ha Tidak Rasional”, Pikiran Rakyat 28 Mei 2007 (c).
Pikiran Rakyat, ”Sulit, Pembagian Lahan di Jabar”, Pikiran Rakyat 20 Mei 2007 (d).
Pikiran Rakyat, ”Sengketa Tanah Ada 42 Kasus”, Pikiran Rakyat 7 Juni 2007 (e).
Poniman, Anton et al. (2005) Petisi Cisarua: Rekomendasi untuk Presiden Republik Indonesia Periode 2004-‐2009, “Reforma Agraria dalam Rangka Pelaksanaan Visi, Misi dan Program Pemerintah Baru”. Bandung: Pergerakan.
Prasetyo, Stanley Adi et al. (2007) Indonesia’s Post-‐Soeharto Democracy Movement. Jakarta: Demos.
Priangan Post, “Soal Tanah Gratis, BPN Belum Mendapat Instruksi”, Priangan Post 26-‐28 Mei 2007.
Prosterman, Roy L., Mary N. Temple dan Timothy M. Hanstad (ed.) (1990) Agrarian Reform and Grassroots Development: Ten Case Studies. Boulder: Lynne Rienner Publisher, Inc.
Radat Garut, “KPA dan SPP Direkrut BPN Masuk Pokja, untuk Tangani Sengketa Agraria”, Radar Garut 2 Desember 2005.
= Bachriadi
45
Radar Garut, “210.000 Anggota SPP Terima Tanah Gratis”, Radar Garut 25 Mei 2007.
Radar Tasikmalaya, “Ormas-‐LSM Gugat Perpres 36”, Radar Tasikmalaya 22 Juni 2005 (a)
Radar Tasikmalaya, “500 Petani Tolak Perpres 36”, Radar Tasikmalaya 30 Juli 2005 (b).
Republika, “Rakyat Miskin akan Dapat Lahan”, Republika 23 Mei 2007 (a).
Republika, “Ribuan Petani Demo Minta Tuntaskan Konflik Agraria”, Republika 20 Juni 2007 (b).
Rianto, Gatot (1995) “Kasus Gunung Badega-‐Garut”, dalam Pluralisme Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus Tanah, Benny K. Harman et al. (ed.). Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, hal. 139-‐148.
Riau Online, ”Perkebunan Besar Tak Ber-‐HGU Berarti Illegal”, Riau Online 19 Maret 2004, http://www.riau.go.id/index.php?module=article&func=display&ptid=1&aid=1568
Robison, Richard dan Vedi R. Hadiz (2004) Reorganizing Power in Indonesia: the Politics of Ologarchy in an Age of Markets. London: Routledge.
Rosset, Peter (2002) The Good, the Bad, and the Ugly: World Bank Land Policies, makalah dipresentasikan dalam seminar “The Negative Impacts of the World Bank’s Policies on Market-‐Based Land Reform”, George Washington University, Washington, DC, 15-‐17 April 2002.
Russet, Bruce (1964) “Inequality and Instability: the Relation of Land Tenure to Politics”, World Politics April 1964, hal. 442-‐454.
Ruwiastuti, Maria R. (1997) “Pembaruan Sistem Hukum Agraria”, dalam Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Perubahan Agraria di Indonesia, Dianto Bachriadi, Erpan Faryadi dan Bonnie Setiawan (ed.). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI dan KPA, hal. 45-‐59.
Ruwiastuti, Maria R. (1998) Menuju Pluralisme Hukum Agraria: Analisa dan Kritik terhadap Marginalisasi Posisi Hukum-‐hukum dan Hak-‐hak Adat Penduduk Asli atas Tanah dan Sumber-‐sumber Agraria oleh Pembuat Undang-‐undang Pokok Agraria (UUPA 1960), Kertas Posisi KPA No. 006/1998. Bandung: Konsorsium Pembaruan Agraria.
Ruwiastuti, Maria Rita (2000) “Sesat Pikir” Politik Hukum Agraria: Membongkar Alas Penguasaan Negara atas Hak-‐hak Adat. Yogyakarta: Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar.
Ruwiastuti, Maria R., Noer Fauzi dan Dianto Bachriadi (1998) Penghancuran Hak Masyarakat Adat atas Tanah: Sistem Penguasaan Tanah Masyarakat Adat dan Hukum Agraria. Bandung: KPA.
Serikat Petani Indonesia (2009) RUU Pertanahan: Strategi Percepatan Pasar Tanah, Studi kasus atas bantuan teknis Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam pengembangan kerangka hukum dan administrasi proyek pertanahan di Indonesia. Jakarta: Dewan Pimpinan Pusat SPI.
Serikat Petani Sumatera Utara (2007a) Perjalanan Petani Sei Kopas Melawan Teror dan Kekerasan, http://www.sintesa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=13&Itemid=1
Serikat Petani Sumatera Utara (2007b) UU Perkebunan Telah Dijadikan Senjata BSP Menangkap Petani Desa Sei Kopas, http://www.sintesa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=26&Itemid=1
Serikat Petani Pasundan (2006) Daftar Rekapitulasi Kasus-‐kasus Tanah Wilayah SPP, dokument Serikat Petani Pasundan.
Penantian Panjang Tak Kunjung Usai = Working Paper ARC No. 09/KAPPOB/I/2017
46
Serikat Tani Bengkulu (2006) Data Pendudukan Tanah oleh Anggota-‐anggota STaB 2006, dokumen Serikat Tani Bengkulu.
Serikat Tani Bengkulu (2007) Surat STaB No. 0123/BPP-‐STAB/V/2007 Kepada Pimpinan dan Anggota OR Tani untuk Menyikapi PPAN, ditandatangani oleh Marhendi (Sekretaris Jendral STaB), 15 Mei 2007.
Setiakawan (1991) “Badega: Solidarity is Strength” and “Chronology of the Badega Land Dispute”, Setiakawan 6, hal. 34-‐37.
Setiawan, Usep (2004) “Belasan Pasal UUPA Masih Relevan dan Perlu”, Sinar Harapan 15 Juni 2004.
Setiawan, Usep (2007) “Momentum Baru Reforma Agraria”, Kompas 23 Februari 2007.
Setiawan, Usep (2008) “Hantu Liberalisme Pertanahan”, Sinar Harapan, 19 Februari 2008.
Simpul Bengkulu, Inisitif Perlawanan Lokal (2006a) “Tanah untuk Rakyat ", dalam Negara adalah Kita: Pengalaman Rakyat Melawan Penindasan, Eko Bambang Subiyantoro et al. (ed.). Jakarta: FBB Prakarsa Rakyat dan Perkumpuan Praxis, hal. 135-‐151.
Sinar Harapan, “Ribuan Petani Tuntut Reformasi Agraria”, Sinar Harapan 17 Mei 2006.
Sinar Harapan, ”UUPA Batal Diamandemen, Penguatan Hak atas Tanah akan Diundangkan”, Sinar Harapan 30 Januari 2007.
SKEPO dan SPP (2002) Laporan Assessment Kapasitas Advokasi: Serikat Petani Pasundan, Mei-‐Juni 2002, laporan SKEPO kepada Pact-‐Indonesia, Jakarta, tidak dipublikasi.
Sobhan, Rehman (1993) Agrarian Reform and Social Transformation: Preconditions for Development. London: Zed Books.
Soekarno (1960) Laksana Malaekat Jang Menjerbu dari Langit!: Djalannya Revolusi Kita, Pidato Presiden Republik Indonesia pada peringatan 15 Tahun Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1960. Jakarta: Departemen Penerangan.
Sodiki, Achmad (2004) Pandangan Kritis terhadap Rancangan Undang-‐undang Sumberdaya Agraria Konsep Badan Pertanahan Nasional, makalah dipresentasikan dalam Kelompok Kerja Amandemen UUPA 1960, Jakarta 20 Mei 2004.
Sumardjono, Maria (2006) “Perpres No 65/2006, Apa yang Berubah?”, Kompas 21 Juni 2006.
Supriadi, Andi et al. (2005) Gerakan Rakyat untuk Pembaruan Agraria. Garut: Serikat Petani Pasundan.
Surya, “Gus Dur: PTP Nyolong Tanah Rakyat!”, Surya 24 Mei 2000.
Tjondronegoro, Sediono M.P. et al. (2004) Kritik terhadap Naskah Rancangan Undang-‐undang tentang Sumberdaya Agraria, makalah dipresentasikan dalam Konsultasi Publik penyempurnaan UUPA 1960, diselenggarakan oleh BPN, Jakarta 27 April 2004.
Tjondronegoro, Sediono MP. (2007) Strategi Implementasi PPAN, www.kpa.or.id
Tuma, Elias H. (1965) Twenty-‐Six Centuries of Agrarian Reform, a Comparative Analysis. Berkeley: University of California Press.
Warren, Carol (2013) “Legal Certainty for Whom? Land Contestation and Value at Gili Trawangan, Lombok”, dalam dalam Land for the People: Agrarian Conflict in Indonesia, Anton Lucas dan Carol Warren (ed.). Athens: Ohio Univ. Press, hal. 243-‐273.
White, Ben (1990) “Agroindustri, Industrialisasi Pedesaan dan Transformasi Pedesaan”, dalam Industrialisasi Pedesaan, Sayogyo dan M. Tambunan (ed.). Jakarta: Sekindo Eka Jaya, hal. 199-‐250.
= Bachriadi
47
White, Benjamin and Gunawan Wiradi (1989) “Agrarian and Non-‐agrarian Bases of Inequality in Nine Javanese Villages”, dalam Agarian Transformation: Local Processes and the States in Southeast Asia, Gillian Hart, Andrew Turton dan Benjamin White (ed.). Berkeley: California University Press, hal. 266-‐302.
Wijardjo, Boedhi (1994) “Insiden Nipah: Pengunjuk Rasa Ditembaki”, dalam Demokrasi, Antara Represi dan Resistensi: Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1993, Mulyana W. Kusumah et al. (ed.). Jakarta: YLBHI, hal. 178-‐183.
Wilson, John 91986) “The Political Economy of Contract Farming”, Review of Radical Political Economy 18(4), hal. 47-‐70.
Wiradi, Gunawan (1984) “Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria”, dalam Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, Sediono MP. Tjindronegoro dan Gunawan Wiradi (ed.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 286-‐328.
Wiradi, Gunawan (1986) Kepenguasaan Tanah dalam Perspektif Transformasi Struktural, makalah dipresentasikan dalam Konferensi Nasional Ilmu Pengetahuan ke-‐4, LIPI, Jakarta, September 1986.
Wiradi, Gunawan (1991) Industri Gula di Jawa dalam Perspektif Model “Inti-‐Satelit”: Kasus di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Working Paper PSP-‐IPB Vol. A-‐31. Bogor: PSP-‐IPB.
Wiradi, Gunawan (2000) Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Yogyakarta: Insist Press-‐KPA-‐Pustaka Pelajar.
Wiradi, Gunawan (2002) Pembaruan Agraria Anak Kandung Konflik Agraria, Konflik Agraria Anak Kandung Pembaruan Agraria, makalah dipresentasikan dalam Seminar Nasional Pembaruan Agraria, Yogyakarta 16 Juli 2002.
World Bank (1994) Staff Appraisal Report: Indonesia Land Administration Project, dokumen Laporan Bank Dunia No. 12820-‐IND, tidak dipublikasi.
Zacharias, Johanes Daniel (1983) A Lurah and His Dynasty: A Study of Village Officialdom in a Village of North Central Java Indonesia, MA thesis, Monash University.
Penulis Dianto Bachriadi
Pendiri dan Peneliti Senior Agrarian Resource Center (ARC). Pada tahun 1995 ikut mendirikan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan pernah menjadi Ketua (1998-‐2002) serta anggota Dewan Pakar (2002-‐2005). Menjadi Staf Ahli Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk Tim Kerja Penyelesaian Konflik Agraria dan Sumberdaya Alam (2011-‐2012), dan menjadi Anggota/Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI (2012-‐2017). Menyelesaikan program doktoral di Flinders University, Australia (2010) dengan disertasi berjudul “Between Discourse and Action: Agrarian Reform and Rural Social Movements in Indonesia Post-‐1965”. Menulis sejumlah buku dan artikel ilmiah dalam topik konflik dan masalah-‐masalah agraria serta gerakan sosial pedesaan, beberapa diantaranya adalah: ‘Mainstreaming Land Right as Human Rights in Southeast Asia’ (ANGOC, 2017), ‘Six Decades of Inequality: Land Tenure Problems in Indonesia’ (bersama Gunawan Wiradi, ARC Books, 2011), ‘Dari Lokal ke Nasional, Kembali ke Lokal: Perjuangan Hak atas Tanah di Indonesia’ (ARC Books, 2012), ‘Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan’ (bersama Anton Lucas, Kepustakaan Populer Gramedia, 2001).
Agrarian Resources Center (ARC)
Lembaga kajian sosial independen yang dibentuk tahun 2005 oleh sejumlah aktivis-‐pemikir agraria di Indonesia. Lembaga ini dibentuk untuk mengisi kekosongan kerja-‐kerja penelitian dan kajian kritis di bidang agraria, khususnya yang dilakukan oleh peneliti-‐peneliti muda. Juga dimaksudkan untuk menjadi tempat bagi aktivis-‐aktivis gerakan sosial melakukan refleksi atas kerja-‐kerja mereka dalam mendorong perubahan sosial. Hasil kajian ARC terutama didedikasikan sebagai masukan kritis untuk kelompok-‐kelompok gerakan sosial baik di pedesaan maupun perkotaan, selain untuk memberikan sumbangan kepada kajian-‐kajian agraria kritis. Publikasi hasil-‐hasil kajian ARC disebarkan dalam berbagai bentuk, seperti: working paper, position paper, buku, dan artikel-‐artikel lepas untuk tujuan publikasi di jurnal-‐jurnal ilmiah maupun untuk diskusi, seminar dan konferensi. Selain melakukan sejumlah kajian dan refleksi, ARC juga menyelenggarakan pelatihan kajian agraria kritis secara reguler yang dikhususkan untuk mahasiswa dan peneliti-‐peneliti muda. Program pelatihan ini dinamakan “Pelatihan Kajian Agraria Kritis Indonesia” atau “Critical Agrarian Studies of Indonesia” (CASI). Pelatihan dilakukan secara intensif dengan skema dukungan penuh lembaga dalam bentuk fellowship dan disusun berjenjang dari tingkat dasar hingga tingkat lanjutan. Di luar pelatihan terstruktur, ada program Peneliti Tamu (visiting researcher) ARC yang diselenggarakan untuk memberi kesempatan khususnya kepada para aktivis gerakan sosial untuk melakukan refleksi dan menuliskan pengalamannya, serta memberi kesempatan kepada peneliti muda dari berbagai latar belakang ilmu sosial untuk mengembangkan minat dan memperluas pengalamannya dalam mengkaji masalah-‐masalah agraria di Indonesia. Peneliti tamu akan bekerja bersama peneliti-‐peneliti ARC untuk mendalami gagasan-‐gagasan dan ide-‐ide penelitian dan penulisan yang akan digarapnya selama berada di ARC. ARC memiliki perpustakaan yang menyimpan koleksi ribuan buku dan jurnal ilmiah dalam bidang agraria, gerakan sosial, antropologi, sosiologi, politik, geografi, ekologi, ekonomi-‐politik, hukum, hak asasi manusia, sejarah, filsafat dan lainnya yang terbuka untuk umum. Perpustakaan ini juga menyimpan koleksi data-‐data hasil penelitian serta dokumen-‐dokumen yang sesuai dengan perhatian dan minat lembaga. Di perpustakaan ARC secara rutin juga dilakukan diskusi-‐diskusi dalam tema-‐tema tertentu, baik untuk menyikapi dinamika sosial-‐ekonomi-‐dan politik yang terkait dengan pembangunan dan masalah-‐masalah agraria maupun untuk mendalami isu-‐isu ekonomi-‐politik lainnya. ARC terbuka untuk kerjasama dengan berbagai pihak, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, selama dapat berpegang pada prinsip-‐prinsip bekerja bersama untuk mewujudkan keadilan sosial, pembebasan, anti penindasan, independensi, dan kesetaraan. Alamat:
Jalan Ski Air No. 20, Arcamanik, Bandung 40293, INDONESIA Telepon/fax.: +62 – 22 – 7237799 Email: [email protected] www.arc.or.id
Buku
Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi. Six Decades of Inequality: Land Tenure Problems in Indonesia . 2011.
Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi. Enam Dekade Ketimpangan: Masalah Penguasaaan Tanah di Indonesia . 2011.
Bachriadi, Dianto (editor). Dari Lokal ke Nasional, Kembali ke Lokal: Perjuangan Hak Atas Tanah di Indonesia . 2012.
Safitri, Hilma. Debottlenecking dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) . 2014.
Bachriadi, Dianto dan Henry Bernstein. Kedaulatan Pangan: Pandangan Skeptikal . 2014.
Working Paper dan Kertas Posisi Bachriadi, Dianto dan Meidi Pratama. Dijual Tanah! yang Berminat Si lahkan Hubungi
Pemil ik, Seratus Persen Dijamin oleh Pemerintah: Krit ik dan Implikasi Pelaksanaan Land Management Policy and Development Project (LMPDP) di Indonesia , Kertas Posisi ARC No. 001/2006 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2006.
Sujiwo, Tri Agung. Perubahan Penguasaan Tanah di Atas Lahan Pendudukan Pasca Reformasi (Studi Kasus Tanah Cieceng, Desa Sindangasih Tasikmalaya) , Working Paper ARC No. 1/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
Suryana, Erwin. Struktur Agraria dan Dinamika Gerakan Sosial Pedesaan di Karawang , Working Paper ARC No. 2/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
ARC, Tim. Kecenderungan Advokasi Gerakan dan Kebijakan Agraria Nasional Pasca Reformasi , Working Paper ARC No. 3/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
Baihaqi. Redistr ibusi Lahan di Cipari Kabupaten Cilacap , Working Paper ARC No. 4/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
Rohman, Lina M. dan Rahmi Indriyani. Pembangunan DAM Jatigede: Beberapa Catatan Awal , Working Paper ARC No. 001 – Agustus 2016 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2016
Qoriah, Sityi M. Masyarakat Dusun Bonto, Desa Kompang, Kec. Sinjai Tengah, Sulawesi Selatan: Catatan Awal , Working Paper ARC No. 002 – September 2016 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2016.
Publikasi-‐publikasi ARC (terbaru)
Bachrioktora, Yudi, Hilma Safitri dan Dianto Bachriadi. Pelanggaran yang Disengaja: Maladministrasi di Bidang Pertanahan Warisan Orde Baru , Working Paper ARC No. 01.a/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Safitri, Hilma, Dianto Bachriadi dan Yudi Bachrioktora. Belok Kanan Demi Kapital: Sistem Hukum dan Kebijakan Agraria di Indonesia sejak Orde Baru , Working Paper ARC No. 01.b/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Tanah untuk Petani Tak Bertanah , Working Paper ARC No. 02/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Melihat Kembali ke Belakang: Upaya-upaya Mendorong Terbitnya TAP MPR RI tentang Pembaruan Agraria , Working Paper ARC No. 03/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Jalan Lain Penyelesaian Konfl ik Agraria: KNuPKA , Working Paper ARC No. 04/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Keruk Terus: Tambang di Hutan Lindung , Working Paper ARC No. 05/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Intervensi Asing: Legislasi Agraria paska Orba , Working Paper ARC No. 06/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Reforma Agraria untuk Indonesia: Krit ik atas Reforma Agraria à la SBY , Working Paper ARC No. 07/WP-KAPPOB/1/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto dan Anton Lucas. Trees, Money, Livelihood and Power: The Polit ics of Conservation in Decentralisation Era in Bengkulu , Working Paper ARC No. 08/WP-KAPPOB/1/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
09/WP-‐KAPPOB/I/2017
ISSN: 2541-‐0121
Jalan Ski Air No. 20, Arcamanik, Bandung 40293, INDONESIA
+62 – 22 – 7237799 [email protected]
www.arc.or.id