emfisema.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok
penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin
tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan
dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada
kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar
ruangan dan di tempat kerja.
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan bahwa pada tahun 1990
PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia,
sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan ke-3 setelah penyakit
kardiovaskuler dan kanker (WHO,2002). Hasil survey penyakit tidak menular
oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun
2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka
kesakaitan (35%), diikuti asma bronkial bronkial (33%), kanker paru (30%) dan
lainnya (2%) (Depkes RI, 2004).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronis yang disertai
gangguan aliran napas. Gangguan ini biasanya disebabkan bronchitis kronis atau
emfisema paru. Hambatan pada saluran napas dapat bersifat progresif sehingga
gejala menjadi lebih berat.
1
Di Amerika Serikat kurang lebih 2 juta orang menderita emfisema.Emfisema
menduduki peringkat ke-9 diantara penyakit kronis yang dapat menimbulkan
gangguan aktifitas . Emfisema terdapat pada 65 % laki-laki dan 15 % wanita.
SKRT DepKes RI menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronis
dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di
Indonesia. Penyakit bronchitis kronik dan emfisema di Indonesia meningkat
seiring dengan meningkatnya jumlah orang yang menghisap rokok, dan pesatnya
kemajuan industry. Emfisema merupakan suatu perubahan anatomis paru yang
ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara bagian distal bronkus
terminal, yang disertai kerusakan dinding alveolus. Rokok adalah penyebab
utama timbulnya emfisema paru. Biasanya pada pasien perokok berumur 15-25
tahun. Pada umur 25-35 tahun mulai timbul perubahan pada saluran napas kecil
dan fungsi paru. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif. Pada umur 45-
55 tahun terjadi sesak napas, hipoksemia, dan perubahan spirometri. Pada umur
55-60 tahun sudah ada kor-pulmonal yang dapat menyebabkan kegagalan napas
dan meninggal dunia.
1.2 Tujuan
Referat ini dibuat untuk mengetahui definisi, klasifikasi, etiologi, patogenesisi,
gambaran klinis, pemeriksaan radiologi, dan terapi dari emphysema pulmonum.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Gambar 1. Anatomi paru
Jalan pernapasan yang menghantarkan udara ke paru-paru adalah hidung, faring,
laring, trakea, bronkus dan bronkhiolus.Saluran pernapasan dari hidung sampai
bronkhiolus dilapisi oleh mukosa bersilia. Ketika udara masuk melalui rongga
hidung, maka udara disaring, dihangatkan dan di lembabkan.
Laring terdiri dari satu cincin tulang rawan yang di hubungkan oleh otot-otot dan
mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat ruang berbentuk segitiga
yang bermuara ke dalam trakea, disebut glotis yang merupakan pemisah antara
saluran pernapasan atas dan bawah.
3
Trakea disokong oleh cincin tulang bronkus trakeobron-khial. Tempat
percabangan trakea menjadi cabang utama bronkus kiri dan kanan dinamakan
karina yang banyak mengandung saraf dan dapat menyebabkan
bronkhospasmebila saraf tersebut rusak.
Bronkus terdiri dari dua, yaitu bronkus kanan dan kiri. Bronkus kanan lebih
pendek, lebih besar dan merupakan lanjutan trakea yang arahnya hamper vertical.
Sebaliknya bronkus kiri lebih panjang, lebih sempit dan merupakan lanjutan
trakea dengan sudut yang lebih lancip.
Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi segmen lobus,
kemudian menjadi segmen bronkus. Percabangan ini terus menerus sampai
cabang terkecil yang disebut bronkhiolus terminalis yang merupakan cabang
saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveolus.
Di luar bronkhiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional
paru-paru, tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari bronkhiolus rerpiratorius
yang memiliki kantong udara kecil atau alveoli yang berasal dari dinding mereka.
Duktus alveolaris yang seluruhnya dibatasi oleh alveolus dan sakus alveolaris
terminalis merupakan struktur akhir paru.
Paru-paru merupakan organ elastis berbentuk kerucut yang terdapat dalam rongga
dada. Kedua paru-paru saling terpisah oleh media stinum sentral yang
mengandung jantung dan pembuluh darah besar. Setiap paru mempunyai apeks
dan basis. Arteri pulmonalis dan darah arteria bronkhiolus, bronkus, saraf dan
pembuluh limphe masuk pada setiap paru pada bagian hilus dan membentuk akar
paru. Paru kanan lebih besar dari pada paru kiri, dibagi menjadi tiga lobus oleh
fisura interlobaris; paru kiri dibagi menjadi dua lobus, yang terbagilagi atas
beberapa segmen sesuai dengan segmen bronkus.
Suplai darah ke paru-paru bersumber dari arteria bron-khialis dan arteria
pulmonalis. Sirkulasi bronchial menyediakan darah teroksigenasi dari sirkulasi
4
sistemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan paru. Arteria
pulmonalis yang berasal dari ventrikel kanan mengalirkan darah vena campuran
ke paru-paru di mana darah tersebut mengambil bagian dalarn pertukaran gas.
Jalinan kapiler paru halus yang mengitari dan menutupi alveolus merupakan
kontak yang diperlukan untuk proses pertukaran gas antara alveolus dan darah.
Darah yang teroksigenasi kemudian di kembalikan melalui vena pulmonalis ke
ventrikel kiri yang kemudian membagikannya kepada sel-sel melalui sirkula
sisistemik.
2.2 DEFINISI
Emfisema merupakan salah satu penyakit yang tergolong dalam COPD (Chronic
Obstructive Pulmonal Disease). Emfisema adalah pembesaran permanen yang
abnormal dari ruang udara pada posisi distal terhadap bronkiol terminal disertai
kerusakan dindingnya, tetapi tanpa fibrosis yang jelas. Emfisema paru-paru
merupakan penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi)
saluran napas, karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan
dan mengalami kerusakan yang luas.Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika
ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya
destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema,
melainkan hanya sebagai “overinflation”. Pada emfisema di mana paru lebih
banyak berisi udara, sehingga ukuran paru bertambah, baik anterior-posterior
maupun ukuran paru secara vertical ke arah diagfragma.
Udara pernafasan akan terdapat didalam rongga jaringan interstitial atau tetap
berada didalam rongga alveoli saja. Proses dapat berjalan secara akut maupun
kronik. Secara umum, emfisema paru- paru ditandai dengan dipsnoea
ekspiratorik, hyperpnoea dan mudahnya penderita mengalami kelelahan
(Subronto,2003).
5
2.3 Insidensi
Di Amerika Serikat kurang lebih 2 juta orang menderita emfisema. Emfisema
menduduki peringkat ke-9 diantara penyakit kronis yang dapat menimbulkan
gangguan aktifitas. Data epidemiologis di Indonesia sangat kurang. Nawas dkk
melakukan penelitian di poliklinik paru RS Persahabatan Jakarta dan
mendapatkan prevalensi PPOK sebanyak 26%, kedua terbanyak setelah
tuberkulosis paru (65%). Emfisema jauh lebih sering ditemukan pada laki-laki
(65%).
2.4 Etiologi
1.Rokok
Secara patologis rokok dapat menyebabkan gangguan pergerakkan silia pada
jalan napas, menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan
hiperplasi kelenjar mucus bronkus. Gangguan pada silia, fungsi makrofag
alveolar mempermudah terjadinya perdangan pada bronkus dan bronkiolus, serta
infeksi pada paru-paru. Peradangan bronkus dan bronkiolus akan mengakibatkan
obstruksi jalan napas, dinding bronkiolus melemah dan alveoli pecah.Disamping
itu, merokok akan merangsang leukosit polimorfonuklear melepaskan enzim
protease (proteolitik), dan menginaktifasi antiprotease (Alfa-1 anti tripsin),
sehingga terjadi ketidakseimbangan antara aktifitas keduanya.
2.Polusi
Polutan industry dan udara juga dapat menyebabkan terjadinya emfisema.
Insidensi dan angka kematian emfisema dapat lebih tinggi di daerah yang padat
industrialisasi. Polusi udara seperti halnya asap tembakau juga menyebabkan
gangguan pada silia, menghambat fungsi makrofag alveolar.
3.Infeksi
Infeksi saluran napas akan menyebabkan kerusakan paru lebih berat. Penyakit
infeksi saluran napas seperti pneumonia, bronkiolitis akut, asma bronkiale, dapat
mengarah pada obstruksi jalan napas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan
terjadinya emfisema.
6
4.Faktor genetik
Defisiensi Alfa-1 antitripsin. Cara yang tepat bagaimana defisiensi adiologic
dapat menimbulkan emfisema masih belum jelas.
5. Obstruksi jalan napas
Emfisema terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus, sehingga
terjadi mekanisme ventil. Udara dapat masuk ke dalam alveolus pada waktu
inspirasi akan tetapi tidak dapat keluar pada waktu ekspirasi. Etiologinya ialah
benda asing di dalam lumen dengan reaksi lokal, tumor intrabronkial di
mediastinum,congenital. Pada jenis yang terakhir, obstruksi dapat disebabkan
oleh defek tulang rawan bronkus
6. Hipotesis Elastase-Anti Elastase
Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan anti
elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan
menimbulkan kerusakan pada jaringan elastisitas paru. Arsitektur paru akan
berubah dan timbul emfisema.
2.5 Klasifikasi
a. emfisema asiner proksimal (emfisema sentraasiner)
emfisema sentraasiner proses dimulai di proksimal asinus. Terbentuk parut
(scar) dan dilatasi fokal bronkioli dan struktur sekitar (duktus dan sakus
alveoli) menghasilkan pelebaran saluran napas di pusat asinus. Ada dua
bentuk yaitu :
1. emfisema fokal : emfisema yang dijumpai pada individu yang terpapar
debu inert seperti debu batu bara.
2. Emfisema sentrilobuler : emfisema sentriasiner yang sering
dihubungkan dengan perokok
b. emfisema panasiner
Pelebaran seluruh asinus. Bisa fokal dan difus
c. emfisema asiner distal
7
terjadi dibagian distal asinus yaitu duktus dan sakus alveolaris. Kelainan ini
mengenai lobus bagian perifer dan berbatasan dengan pleura (subpleura), septa
interlobular dan bundle bronkovaskuler.
Berdasarkan radiologi:
a. Emfisema obstruktif:
1. Akut
2. Kronik
3. Bullous
b. Emfisema non-obstruktif:
1. Kompensasi
2. Senilis (postural)
2.6 Patofisiologi
Gambar 2. Perubahan alveoli pada emfisema
8
Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan
alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau
terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru. Pengisian udara berlebihan
dengan obstruksi terjadi akibat dari obstruksi sebagian yangmengenai suatu
bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara daridalam alveolus menjadi
lebih sukar dari pada pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi
penimbunan udara yang bertambah di sebelah distal dari alveolus. Pada
Emfisema obstruksi kongenital bagian paru yang paling sering terkena adalah
belahan paru kiri atas. Hal ini diperkirakan oleh mekanisme katup penghentian.
Pada paru-paru sebelah kiri terdapat tulang rawan yang terdapat di dalam
bronkus-bronkus yang cacat sehingga mempunyai kemampuan penyesuaian diri
yang berlebihan. Selain itu dapat juga disebabkan stenosis bronkial serta
penekanan dari luar akibat pembuluh darah yang menyimpang.
Mekanisme katup penghentian: pengisian udara berlebihan dengan obstruksi
terjadi akibat dari obstruksi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau
bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih
penimbunan udara di alveolus menjadi bertambah sukar dari pemasukannya di
sebelah distal dari paru. Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas terutama
disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Pada paru-paru normal terjadi
keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru ke laur yaitu
disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan
yang menarik jaringan paru ke dalam yaitu elastisitas paru.
Bila terpapar iritasi yang mengandung radikal hidroksida (OH-). Sebagian besar
partikel bebas ini akan sampai di alveolus waktu menghisap rokok. Partikel ini
merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim paruyang rusak oleh
oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya modifikasi
fungsi dari anti elastase pada saluran napas. Sehingga timbul kerusakan jaringan
interstitial alveolus. Partikel asap rokok dan polusi udara mengenap pada lapisan
mukus yang melapisi mukosa bronkus. Sehingga menghambat aktivitas silia.
9
Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang. Sehingga iritasi pada sel
epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa.
Keadaan ini ditambah dengan gangguan aktivitas silia. Bila oksidasi dan iritasi di
saluran nafas terus berlangsung maka terjadi erosi epital serta pembentukan
jaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi squamosa dan pembentukan
lapisan squamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran napas
yang bersifat irreversibel sehingga terjadi pelebaran alveolus yang permanen
disertai kerusakan dinding alveoli.
Gambar 3. Mekanisme timbulnya emfisema
2.7 Tanda dan Gejala
a. Dispnea
b. Takipnea
c. Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernafasan
d. Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh bidang paru
10
e. Auskultasi : ronchi, perpanjangan ekspirasi
f. Hipoksemia
g. Hiperkapnia
h. Anoreksia
i. Penurunan BB
j. Kelemahan
2.8 Diagnosis
Diagnosis emfisema adalah berdasarkan pada gejala atau keluhan yang didapat
dari anamnesis, tanda-tanda yang didapat dari pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Keluhan Pada emfisema paru keluhan utama adalah
sesak nafas, batuk berdahak tidak begitu mencolok, kadang-kadang disertai
sedikit sputum mukoid.
a. Anamnesa :
a) Riwayat menghirup rokok.
b) Riwayat terpajan zat kimia.
c) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.
d) Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi misalnya BBLR, infeksi
saluran nafas berulang,lingkungan asap rokok dan polusi udara.
e) Sesak nafas waktu aktivitas terjadi bertahap dan perlahan-lahan
memburuk dalam beberapa tahun
f)Pada bayi terdapat kesulitan pernapasan berat tetapi kadang-kadang tidak
terdiagnosis hingga usia sekolah atau bahkan sesudahnya.
b. Pemeriksaan Fisik :
1. Inspeksi :
a) Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup).
b) Dada berbentuk barrel-chest.
c) Sela iga melebar.
d) Sternum menonjol.
e) Retraksi intercostal saat inspirasi.
11
f) Penggunaan otot bantu pernapasan.
2. Palpasi : vokal fremitus melemah.
3. Perkusi : hipersonor, hepar terdorong ke bawah, batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah.
4. Auskultasi :
a) Suara nafas vesikuler normal atau melemah.
b) Terdapat ronki samar-samar.
c) Wheezing terdengar pada waktu inspirasi maupun ekspirasi.
d) Ekspirasi memanjang.
e) Bunyi jantung terdengar jauh.
a. Pemeriksan Penunjang :
1.Faal Paru
a) Spinometri (VEP, KVP).
1) Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP 1 < 80 % KV menurun,
KRF dan VR meningkat.
2) VEP, merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya dan perjalanan penyakit.
b) Uji bronkodilator
1) Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan
15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP 1.
c. Darah Rutin : Hb, Ht, Leukosit
d. Pemeriksaan Radiologis
e. Pemeriksaan Analisis Gas Darah
Terdapat hipoksemia dan hipokalemia akibat kerusakan kapiler alveoli (6).
f. Pemeriksaan EKG
Untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai hipertensi pulmonal
dan hipertrofiventrikel kanan.
g. Pemeriksaan Enzimatik : Kadar alfa-1-antitripsin rendah.
12
2.8 Gambaran radiologis emfisema
2.8.1 Gambaran radiologis emfisema secara umum
Akibat penambahan ukuran paru anterior posterior akan menyebabkan bentuk
toraks kifosis, sedang penambahan ukuran paru vertical menyebabkan diafragma
letak rendah dengan bentuk diafragma yang datar dan peranjakan diafragma
berkurang pada pengamatan dengan fluoroskopi.
Dengan aerasi paru yang bertambah pada seluruh paru atau lobaris ataupun
segmental, akan menghasilkan bayangan lebih radiolusen, sehingga corakan
jaringan paru tampak lebih jelas selain gambaran fibrosisnya dan vascular paru
yang relatif jarang.
Gambar 4. Gamabaran radiologis Emfisema
Gambar 5. Emfisema. Thoraks berbentuk slindrik, diafragma
letak rendah dan mendatar, jantung ramping, sela iga melebar.
13
2. 8.2 Emfisema lobaris
Biasanya terjadi pada bayi baru lahir dengan kelainan tulang rawan,bronkus,
mukosa bronchial yang tebal, sumbatan mucus (mucous plug), penekanan
bronkus dari luar oleh anomaly pembuluh darah. Gambaran radiologiknya
berupa bayangan radiolusen pada bagian paru yang bersangkutan dengan
pendorongan mediastinum ke arah kontra lateral.
Gambar 6. Emfisema lobaris. Bayangan radiolusen di hemitoraks
kanan atas yang mendorong mediastinum kea rah kiri dan sisa
jaringan paru lobus bawah-kanan terdesak ke bawah.
14
Gambar 7. Emfisema lobar congential pada anak. a.pada umur 1
hari radiolografi dada normal.b.tiga hari kemudian terdapat
peningkatan masalah pernafasan, radiografi menunjukkan
emfisema lobus kiri atas mengompresi lobus bawah dan paru-paru
kanan.
Emfisema lobar congenital (CLE) paling sering sering melibatkan lobus kiri
atas atau kanan tengah. Radiografi dada merupakan pemeriksaan primer
terutama dua bidang. Biasanya ada perkembangan secara bertahap dari klinis
dan gambaran radiologi, diman rhontgen dada biasaanya normal saat lahir
dengan meningkatnya gambaran emfisema dalam beberapa hari selanjutnya.
2.8.3 Emfisema bulla
Bulla merupakan emfisema vesikuler setempat dengan ukuran antara 1-2 cm atau
lebih besar, yang kadang-kadang sukar dibedakan dengan pneumotoraks.
Penyebabnya sering tidak diketahui, tapi dianggap sebagai akibat suatu penyakit
paru yang menyebabkan penyumbatan seperti bronkiolitis atau peradangan akut
lainnya dan perangsangan/iritasi gas yang terhisap. Sering factor penyebabnya
sudah tidak tampak lagi, tetapi akibatnya adalah emfisema bulla yang tetap atau
bertambah besar. Gambaran radiologic berupa suatu kantong radiolusen di
perifer lapangan paru, terutama bagian apeks
paru dan bagian basal paru dimana jaringan paru normal sekitarnya akan
terkompresi sehingga menimbulkan keluhan sesak nafas.
15
Gambar 7. Emfisema bula. Perbercakan kedua paru dari proses
spesifik dengan bayangan bula di kedua paru atas
Gambar 8. Foto rontgen paru pria berumur 41 tahun yang
menunjukkan bullae semacam bentuk gelembung-gelembung
radioluscent pada apek paru.
16
Gambar 9. Panah menunjukan gambaran bullae pada paru penderita
emfisema
Gambar 10. Gambaran emfisema pada lobus superior kedua pulmo
dengan perselubungan radioopaque (bullae) pada lobus superior pulmo
sinistra
17
2.8.4 Emfisema kompensasi
Keadaan ini merupakan usaha tubuh secara fisiologik menggantikan jaringan
paru yang tidak berfungsi (atelektasis) atau mengisi toraks bagian paru yang
terangkat pada pneumoektomi.
2.8.5 Emfisema senilis
Emfisema senilis merupakan akibat proses degenerative orang tua pada
kolumnar vertebra yang mengalami kifosis dimana ukuran anterior-posterior
toraks bertambah sedangkan tinggi toraks secara vertical tidak berubah, begitu
pula bentuk diafragma dan peranjakan diafragma tetap tidak berubah. Keadaan
ini akan menimbulkan atrofi septa alveolar dan jaringan paru berkurang dan
akan diisi oleh udara sehingga secara radiologic tampak toraks yang lebih
radiolusen, corakan bronkovaskular yang jarang dan diafragma yang normal
Gambar 11. Emfisema senilis, bentuk thoraks yang slindrik dengan
kedua diafragma letak rendah dan mendatar
18
2.9.Penatalaksanaan
Penatalaksanaan emfisema secara umum meliputi :
a. Penatalaksanaan umum.
b. Pemberian obat-obatan.
c. Terapi oksigen.
d. Latihan fisik.
e. Rehabilitasi.
f. Fisioterapi.
a. Penatalaksanaan umum
1) Pendidikan terhadap keluarga dan penderita Mereka harus mengetahui
faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta faktor yang bisa
memperburuk penyakit. Ini perlu peranan aktif penderita untuk usaha
pencegahan.
2) Menghindari rokok dan zat inhalasi
Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan
penyakit. Penderita harus berhenti merokok. Di samping itu zat-zat
inhalasi yang bersifat iritasi harus dihindari. Karena zat itu menimbulkan
ekserbasi / memperburuk perjalanan penyakit.
3) Menghindari infeksi saluran nafas
Infeksi saluran nafas sedapat mungkin dihindari oleh karena dapat
menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit.
b. Pemberian obat-obatan.
1) Bronkodilator
a) Derivat Xantin
Sejak dulu obat golongan teofilin sering digunakan pada emfisema paru.
Obat ini menghambat enzim fosfodiesterase sehingga cAMP yang
bekerja sebagai bronkodilator dapat dipertahankan pada kadar yang
tinggi ex : teofilin, aminofilin.
19
b) b2. Gol Agonis
Obat ini menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor beta berhubungan erat
dengan adenil siklase yaitu substansi penting yang menghasilkan siklik
AMP yang menyebabkan bronkodilatasi. Pemberian dalam bentuk
aerosol lebih efektif. Obat yang tergolong beta-2 agonis adalah :
terbutalin, metaproterenol dan albuterol.
c) Antikolinergik
Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor kolinergik sehingga
menekan enzim guanilsiklase. Kemudian pembentukan cAMP sehingga
bronkospasme menjadi terhambat ex : Ipratropium bromida diberikan
dalam bentuk inhalasi .
d) Kortikosteroid
Manfaat kortikosteroid pada pengobatan obstruksi jalan napas pada
emfisema masih diperdebatkan. Pada sejumlah penderita mungkin
memberi perbaikan. Pengobatan dihentikan bila tidak ada respon. Obat
yang termasuk di dalamnya adalah : dexametason, prednison dan
prednisolon.
2) Ekspectoran dan Mucolitik
Usaha untuk mengeluarkan dan mengurangi mukus merupakan yang
utama dan penting pada pengelolaan emfisema paru. Ekspectoran dan
mucolitik yang biasa dipakai adalah bromheksin dan karboksi metil sistein
diberikan pada keadaan eksaserbasi. Asetil sistein selain bersifat mukolitik
juga mempunyai efek anti oksidans yang melindungi saluran aspas dari
kerusakan yang disebabkan oleh oksidans .
3) Antibiotik
Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi terutama
pada keadaan eksaserbasi. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit
20
akan semakin memburuk. Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat
perlu dalam penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotik dapat
mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi. Antibiotik yang bermanfaat
adalah golongan Penisilin, eritromisin dan kotrimoksazol biasanya
diberikan selama 7-10 hari. Apabila antibiotik tidak memberikan
perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan mikroorganisme.
c.Terapi oksigen
Pada penderita dengan hipoksemia yaitu PaO2 < 55 mmHg. Pemberian
oksigen konsentrasi rendah 1- 3 liter/menit secara terus menerus memberikan
perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja
d. Latihan fisik
Hal ini dianjurkan sebagai suatu cara untuk meningkatkan kapasitas latihan
pada pasien yang sesak nafas berat. Sedikit perbaikan dapat ditunjukan tetapi
pengobatan jenis ini membutuhkan staf dan waktu yang hanya cocok untuk
sebagian kecil pasien. Latihan pernapasan sendiri tidak menunjukkan manfaat.
Latihan fisik yang biasa dilakukan :
1) Secara perlahan memutar kepala ke kanan dan ke kiri
2) Memutar badan ke kiri dan ke kanan diteruskan membungkuk ke depan
lalu ke belakang
3) Memutar bahu ke depan dan ke belakang
4) Mengayun tangan ke depan dan ke belakang dan membungkuk
5) Gerakan tangan melingkar dan gerakan menekuk tangan
6) Latihan dilakukan 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu
7) Dapat juga dilakukan olah raga ringan naik turun tangga
8) Walking – joging ringan
21
e. RehabilitasiRehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang cemas dan
mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya. Sedangkan rehabilitasi
pekerjaan dilakukan untuk memotivasi penderita melakukan pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuan fisiknya. Misalnya bila istirahat lebih baik duduk
daripada berdiri atau dalam melakukan pekerjaan harus lambat tapi teratur.
f.Fisioterapi
Tujuan dari fisioterapi adalah :
1) Membantu mengeluarkan sputum dan meningkatkan efisiensi batuk.
2) Mengatasi gangguan pernapasan pasien.
3) Memperbaiki gangguan pengembangan thoraks.
4) Meningkatkan kekuatan otot-otot pernapasan.
5) Mengurangi spasme otot leher .
2.10 Prognosis
Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan
gejala klinis waktu berobat.
Penderita yang berumur kurang dari 50 tahun dengan :
a. Sesak ringan, 5 tahun kemudian akan terlihat ada perbaikan.
b. Sesak sedang, 5 tahun kemudian 42 % penderita akan sesak lebih berat dan
meninggal.
22
BAB III
KESIMPULAN
Emfisema adalah suatu keadaan di mana paru lebih banyak berisi udara, sehingga
ukuran paru bertambah, baik anterior-posterior maupun ukuran paru secara vertical
ke arah diagfragma. Penyebab tersering adalah merokok dan polusi udara.
Gejala yang sering ditimbulkan oleh seseorang yang menderita emfisema diantaranya
dispnea,takipnea,hipoksemia,hiperkapnia, anoreksia, penurunan BB, dan kelemahan.
Dari gambaran radiologi pada pasien emfisema ditemukan diafragma letak rendah
dan datar,ruang retrosternal melebar, gambaran vaskuler berkurang, jantung tampak
sempit memanjang, dan pembuluh darah perifer mengecil.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Ajar Patologi Jilid 2 Edisi 7: Paru dan Saluran Napas Atas. Jakarta: EGC
2. Davey. 2006. At a Glance Medicine: Penyakit Paru Obstruktif Kronis.Jakarta:
Erlangga.
3. Guyton dan Hall. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9: Insufesiensi
Pernapasan. Jakarta: EGC Kumar dkk. 2006.
4. http://akhtyo.blogspot.com/2009/03/asma-bronkhitis-emfisema.html
5. http://medinfo.ufl.edu/~bms5191/pulmon/em1.html
6. http://medlinux.blogspot.com/2007/09/emfisema.html
7. http://www.radrounds.com/photo/barrel-chest?context=latest
24
REFERAT
LUNG EMFISEMA
Oleh:
Ahmad Suheil Pulungan, S.Ked (0818011046)
Pembimbing :
dr.Haryadi Sp.Rad
KEPANITERAAN KLINIK SMF RADIOLOGI RSUD ABDUL MOELOEK
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2013
25