ekonomi makro
TRANSCRIPT
TUGAS KELOMPOK
EKONOMI MAKRO
OLEH:
BERTO REKARAYA (09 40 1523)DIKE LYSTIANI (09 40 1543)FRISCA ANGELRIANA (09 40 1576)MEY SURYANINGSIH (09 40 1621)RICCA ARISANDI (09 40 1656)
DOSEN: Prof. Dr. Mashudi
SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI ‘INDONESIA’PONTIANAK
TAHUN AKADEMIK 2010/1011
KEBIJAKAN PEMERINTAHDALAM
BIDANG EKONOMI
Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah kebijakan ekonomi yang digunakan Bank Indonesia
sebagai otoritas moneter, untuk mengendalikan atau mengarahkan perekonomian pada
kondisi yang lebih baik atau diinginkan dengan mengatur jumlah uang yang beredar
(JUB) dan tingkat suku bunga. Kebijakan moneter tujuan utamanya adalah
mengendalikan jumlah uang yang beredar (JUB).
Kebijakan moneter mempunyai tujuan yang sama dengan kebijakan ekonomi
pemerintah lainnya. Perbedaannya terletak pada instrumen kebijakannya. Jika dalam
kebijakan fiskal pemerintah mengendalikan penerimaan dan pengeluaran pemerintah
maka dalam kebijakan moneter Bank Sentral (Bank Indonesia) mengendalikan jumlah
uang yang beredar (JUB).
Melalui kebijakan moneter, Bank Sentral dapat mempertahankan, menambah,
atau mengurangi JUB untuk memacu pertumbuhan ekonomi sekaligus
mempertahankan kestabilan harga-harga. Berbeda dengan kebijakan fiskal, kebijakan
moneter memiliki selisih waktu (time lag) yang relatif lebih singkat dalam hal
pelaksanaannya. Hal ini terjadi karena Bank Sentral tidak memerlukan izin dari DPR
dan kabinet untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan untuk mengatasi masalah yang
sedang dihadapi dalam perekonomian.
Kebijakan moneter memiliki tiga instrumen, yaitu operasi pasar terbuka (open
market operation), kebijakan tingkat suku bunga (discount rate policy) dan rasio
cadangan wajib (reserve requirement ratio). Adapun penjelasannya sebagai berikut :
1. Operasi pasar terbuka ( open market operation )
Yaitu kebijakan pemerintah mengendalikan jumlah uang yang beredar
dengan cara menjual atau membeli surat-surat berharga milik pemerintah. Di
Indonesia operasi pasar terbuka dilakukan dengan menjual atau membeli
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SPBU).
2. Fasilitas Diskonto ( Discount Rate )
Salah satu fasilitasnya yaitu adanya tingkat bunga diskonto yang
maksudnya adalah tingkat bunga yang ditetapkan pemerintah atas bank-bank
umum yang meminjam ke bank sentral.
Jika pemerintah ingin menambah jumlah uang yang beredar, maka
pemerintah melakukan suatu cara yaitu menurunkan tingkat bunga pinjaman
(tingkat diskonto). Dengan tingkat bunga pinjaman yang lebih murah, maka
keinginan bank-bank untuk meminjam uang dari bank sentral menjadi lebih
besar, sehingga jumlah uang yang beredar bertambah dan sebaliknya.
3. Rasio Cadangan Wajib ( Reserve Requirement Ratio )
Penetapan ratio cadangan wajib juga dapat mengubah jumlah uang yang
beredar. Jika rasio cadangan wajib diperbesar, maka kemampuan bank
memberikan kredit akan lebih kecil dibandingkan sebelumnya.
Selain ketiga instrumen yang bersifat kuantitatif tersebut, pemerintah
dapat melakukan himbauan moral (moral suasion). Misalnya untuk
mengendalikan jumlah uang beredar (JUB) di masyarakat, Bank Indonesia
melalui Gubernur Bank Indonesia memberi saran supaya perbankan mengurangi
pemberian kredit ke masyarakat atau ke sektor-sektor tersebut.
Kebijakan moneter dapat bersifat ekspansif maupun kontraktif. Kebijakan
moneter ekspansif dilakukan pemerintah jika ingin menambah jumlah uang
beredar di masyarakat atau yang lebih dikenal kebijakan uang longgar (easy
money policy). Sebaliknya, jika pemerintah ingin mengurangi jumlah uang
beredar di masyarakat, kebijakan moneter yang ditempuh adalah kebijakan
moneter kontraktif atau yang lebih dikenal kebijakan uang ketat (tight money
policy). Selain itu dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Sentral dapat
menggunakan tiga instrumen, yaitu operasi pasar terbuka (open market
operation), kebijakan tingkat suku bunga (discount rate policy) dan rasio
cadangan wajib (reserve requirement ratio).
Kebijakan Perdagangan Luar Negeri
Kebijakan Perdagangan Luar Negeri merupakan salah satu bagian kebijakan
ekonomi makro. Kebijakan Perdagangan Luar Negeri adalah peraturan yang dibuat
oleh pemerintah yang mempengaruhi struktur atau komposisi dan arah transaksi
perdagangan serta pembayaran internasional. Karena merupakan salah satu bagian
dari kebijakan ekonomi makro maka kebijakan perdagangan internasional bekerja
sama dengan baik dengan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter.
Tujuan dari kebijakan perdagangan luar negeri yaitu sebagai berikut :
1. Melindungi kepentingan nasional dari pengaruh negatif yang berasal dari luar
negeri seperti dampak inflasi di luar negeri terhadap inflasi di dalam negeri
melalui impor atau efek resesi ekonomi dunia (krisis global) pertumbuhan ekspor
Indonesia.
2. Melindungi industri nasional dari persaingan barang-barang impor.
3. Menjaga keseimbangan neraca pembayaran sekaligus menjamin persediaan valuta
asing (valas) yang cukup, terutama untuk kebutuhan impor dan pembayaran
cicilan serta bunga utang luar negeri.
4. Menjaga tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil.
5. Meningkatkan kesempatan kerja.
Kebijakan perdagangan luar negeri terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1. Kebijakan Pengembangan atau Promosi Ekspor
Tujuan Kebijakan Pengembangan atau Promosi Ekspor adalah untuk
mendukung dan meningkatkan pertumbuhan ekspor. Tujuan kebijakan ini dapat
dicapai dengan berbagai kebijakan, antara lain kebijakan perpajakan dalam
berbagai bentuk, misalnya pembebasan atau keringanan pajak ekspor dan
penyediaan fasilitas khusus kredit perbankan bagi eksportir.
2. Kebijakan Proteksi atau Kebijakan Impor
Kebijakan Proteksi atau Kebijakan Impor bertujuan untuk melindungi industri
di dalam negeri dari persaingan barang-barang impor. Kebijakan proteksi dapat
diterapkan dengan berbagai instrumen, baik yang berbentuk tarif maupun non
tarif. Proteksi-proteksi yang dilakukan dengan tidak menggunakan tarif disebut
non-tariff barriers. Hambatan yang termasuk ke dalam hambatan non-tarif, antara
lain kuota, subsidi, diskriminasi harga, larangan impor, premi, dan dumping.
Pada intinya, masalah-masalah dalam bidang ekonomi yang dihadapi
pemerintah bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, tetapi kita sebagai
warga negara yang baik semestinya ikut membantu dalam mengatasinya. Banyak
cara yang dapat diupayakan dimulai dengan melakukan program-program serta
kebijakan-kebijakan. Hal tersebut tidak akan berjalan dengan baik tanpa kerja
sama masyarakatnya. Untuk itu, masyarakat semsetinya sudah dapat
memposisikan dirinya untuk membantu supaya pembangunan yang dilakukan
pemerintah tersebut berjalan dengan baik dengan cara tidak menjadi beban atau
kendala bagi pemerintah.
Salah satu contoh kasus yang dapat diambil yaitu krisis ekonomi global yang
terjadi baru-baru ini. Tanggal 15 September 2008 menjadi catatan kelam sejarah
perekonomian Amerika Serikat, kebangkrutan Leman Brothers yang merupakan salah
satu perusahaan investasi atau bank keuangan senior dan terbesar ke 4 di Amerika
serikat menjadi awal dari drama krisis keuangan di negara yang mengagung-agungkan
sistem kapitalis tanpa batas. Siapa yang menyangka suatu negara yang merupakan
tembok kapitalis dunia akan runtuh .Celakanya apa yang terjadi di Amerika Serikat
dengan cepat menyebar dan menjalar keseluruh dunia. Hanya beberapa saat setelah
informasi runtuhnya pusat keuangan dunia di Amerika, transaksi bursa saham
diberbagai belahan dunia seperti Hongkong, China, Australia, Singapura, Korea
Selatan, dan Negara lainnya mengalami penurunan drastis, bahkan Bursa Saham
Indonesia (BEI) harus disuspend selama beberapa hari, pemerintah Indonesia pun
kelihatan panik dalam menyikapi permasalahan ini, peristiwa ini menandai fase awal
dirasakannya dampak krisis ekonomi global yang pada mulanya terjadinya di
Amerika dirasakan oleh negara Indonesia.
Dilihat dari faktor penyebabnya, krisis Ekonomi global pada saat ini berbeda
dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia lebih kurang satu dasawarsa lalu,
yang mana pada saat itu krisis ekonomi yang melanda Indonesia lebih disebabkan
oleh ketidakmampuan Indonesia menyediakan alat pembayaran luar negeri, dan tidak
kokohnya struktur perekonomian Indonesia, tetapi krisis keuangan global pada tahun
2008 ini berasal dari faktor-faktor yang terjadi di luar negeri. Tetapi kalau kita tidak
hati-hati dan waspada dalam menyikapi permasalahan ini, tidak mustahil dampak
krisis keuangan global pada tahun 2008 ini akan sama atau bahkan lebih buruk jika
dibandingkan dengan dampak dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, selain menyebabkan volume
perdagangan global pada tahun 2009 merosot tajam, juga akan berdampak pada
banyaknya industri besar yang terancam bangkrut, terjadinya penurunan kapasitas
produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah pengangguran dunia. Bagi negara-negara
berkembang dan emerging markets, situasi ini dapat merusak fundamental
perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi.
Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap
perekonomian di negara-negara emerging markets dan fenomena flight to quality dari
investor global di tengah krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberikan tekanan
pada mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia dan mengeringkan likuiditas dolar
Amerika Serikat di pasar domestik banyak negara. Hal ini menyebabkan pasar valas
di negara-negara maju maupun berkembang cenderung bergejolak di tengah
ketidakpastian yang meningkat.
Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, meskipun Indonesia telah
membangun momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas
dari dampak negatif perlemahan ekonomi dunia tersebut. Krisis keuangan global yang
mulai berpengaruh secara signifikan dalam triwulan III tahun 2008, dan second round
effectnya akan mulai dirasakan meningkat intensitasnya pada tahun 2009,
diperkirakan akan berdampak negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam
tahun 2009 baik di sisi neraca pembayaran dan neraca sektor riil, maupun sektor
moneter dan sektor fiskal (APBN).
Dampak negatif yang paling cepat dirasakan sebagai akibat dari krisis
perekonomian global adalah pada sektor keuangan melalui aspek sentimen psikologis
maupun akibat merosotnya likuiditas global. Penurunan indeks harga saham di Bursa
Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar 50,0 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah
disertai dengan volatilitas yang meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah
telah terdepresiasi sebesar 17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah
tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih berlangsungnya upaya
penurunan utang (deleveraging) dari lembaga keuangan global.
Seluruh dunia telah diliputi oleh krisis financial (krisis ekonomi global),
seluruh negara-negara di dunia baik itu negara maju maupun negara berkembang telah
terjebak dalam kesulitan yang sangat rumit. Beberapa negara yang sebelumnya
menikmati kondisi ekonomi yang kuat yang mempunyai teknologi yang canggih
dalam hal ilmu pengetahuan, pangan, senjata, obat-obatan terlihat hancur
perekonomiannnya. Fakta dari masalah tersebut adalah bahwa ekonomi negara-negara
tersebut ditopang oleh kebijakan yang sangat rapuh yang meyebabkan collaps terkena
dampak krisis ekonomi global.
Krisis finansial global yang menyebabkan menurunnya kinerja perekonomian
dunia secara drastis pada tahun 2008 diperkirakan masih akan terus berlanjut, bahkan
akan meningkat intensitasnya pada tahun 2009. Perlambatan pertumbuhan ekonomi
dunia, selain menyebabkan volume perdagangan global pada tahun 2009 merosot
tajam, juga akan berdampak pada banyaknya industri besar yang terancam bangkrut,
terjadinya penurunan kapasitas produksi, dan terjadinya lonjakan jumlah
pengangguran dunia. Bagi negara-negara berkembang dan emerging markets, situasi
ini dapat merusak fundamental perekonomian, dan memicu terjadinya krisis ekonomi.
Kekhawatiran atas dampak negatif pelemahan ekonomi global terhadap
perekonomian di negara-negara emerging markets dan fenomena flight to quality dari
investor global di tengah krisis keuangan dunia dewasa ini, telah memberikan tekanan
pada mata uang seluruh dunia, termasuk Indonesia dan mengeringkan likuiditas dolar
Amerika Serikat di pasar domestik banyak negara. Hal ini menyebabkan pasar valas
di negara-negara maju maupun berkembang cenderung bergejolak di tengah
ketidakpastian yang meningkat.
Sebagai negara dengan perekonomian terbuka, meskipun Indonesia telah
membangun momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, tidak akan terlepas
dari dampak negatif perlemahan ekonomi dunia tersebut. Krisis keuangan global yang
mulai berpengaruh secara signifikan dalam triwulan III tahun 2008, dan second round
effectnya akan mulai dirasakan meningkat intensitasnya pada tahun 2009,
diperkirakan akan berdampak negatif pada kinerja ekonomi makro Indonesia dalam
tahun 2009 baik di sisi neraca pembayaran dan neraca sektor riil, maupun sektor
moneter dan sektor fiskal (APBN).
Dampak negatif yang paling cepat dirasakan sebagai akibat dari krisis
perekonomian global adalah pada sektor keuangan melalui aspek sentimen psikologis
maupun akibat merosotnya likuiditas global. Penurunan indeks harga saham di Bursa
Efek Indonesia (BEI) mencapai sekitar 50,0 persen, dan depresiasi nilai tukar rupiah
disertai dengan volatilitas yang meningkat. Sepanjang tahun 2008, nilai tukar rupiah
telah terdepresiasi sebesar 17,5 persen. Kecenderungan volatilitas nilai tukar rupiah
tersebut masih akan berlanjut hingga tahun 2009 dengan masih berlangsungnya upaya
penurunan utang (deleveraging) dari lembaga keuangan global.
Krisis keuangan Amerika Serikat menyebabkan masalah global keuangan
dunia, untuk mengatasi hal tersebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah
mengeluarkan sepuluh arahan: (1) semua kalangan tetap optimis, dan bersinergi
menghadapi krisis keuangan, (2) tetap pertahankan nilai pertumbuhan enam persen,
(3) optimalisasi APBN 2009, (4) dunia usaha khususnya sektor riil harus tetap
bergerak, (5) semua pihak agar cerdas menangkap peluang, (6) galakkan kembali
penggunaan produk dalam negeri, (7) tingkatkan sikap profesionalisme, (8) kerja
sama dalam menghadapi masalah, (9) tidak melakukan langkah non partisan, (10)
komunikasi yang bijak. Sementara itu Mudrajad Kuncoro (2008) mengatakan
bahwa setidaknya ada dua langkah strategis dalam mengatasi dampak krisis keuangan
global, yaitu Demand pull strategy dan supply push strategy. Demand pull strategy
mencakup strategi perkuatan sisi permintaan, yang bisa dilakukan dengan perbaikan
iklim bisnis, fasilitasi mendapatkan HAKI (paten), fasilitasi pemasaran domestik dan
luar negeri dan menyediakan peluang pasar. Langkah strategis lainnya adalah supply
push strategy yang mencakup strategy pendorong sisi penawaran, ini bisa dilakukan
dengan ketersediaan bahan baku, dukungan permodalan, bantuan
teknologi/mesin/alat, dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia.
PENYEBAB KRISIS EKONOMI GLOBAL
Di tengah dinamika ekonomi global yang terus-menerus berubah dengan
akselerasi yang semakin tinggi sebagaimana digambarkan di atas, Indonesia
mengalami terpaan badai krisis yang intensitasnya telah sampai pada keadaan yang
nyaris menuju kebangkrutan ekonomi.
Krisis ekonomi – yang dipicu oleh krisis moneter – beberapa waktu yang lalu,
paling tidak telah memberikan indikasi yang kuat terhadap tiga hal. Pertama,
kredibilitas pemerintah telah sampai pada titik nadir. Penyebab utamanya adalah
karena langkah-langkah yang ditempuh pemerintah dalam merenspons krisis selama
ini lebih bersifat “tambal-sulam”, ad-hoc, dan cenderung menempuh jalan yang
berputar-putar.
Selain itu, seluruh sumber daya yang dimiliki negeri ini dicurahkan
sepenuhnya untuk menyelamatkan sektor modern dari titik kehancuran. Sementara itu,
sektor tradisional, sektor informal, dan ekonomi rakyat, yang juga memiliki eksistensi
di negeri ini seakan-akan dilupakan dari wacana penyelamatan perekonomian yang
tengah menggema.
Kedua, rezim Orde Baru yang selalu mengedepankan pertumbuhan (growth)
ekonomi telah menghasilkan crony capitalism yang telah membuat struktur
perekonomian menjadi sangat rapuh terhadap gejolak-gejolak eksternal. Industri
manufaktur yang sempat dibanggakan itu ternyata sangat bergantung pada bahan baku
impor dan tak memiliki daya tahan. Sementara itu, akibat “dianak-tirikan”, sektor
pertanian pun juga tak kunjung mature sebagai penopang laju industrialisasi. Yang
saat itu terjadi adalah derap industrialisasi melalui serangkaian kebijakan yang
cenderung merugikan sektor pertanian. Akibatnya, sektor pertanian tak mampu
berkembang secara sehat dalam merespons perubahan pola konsumsi masyarakat dan
memperkuat competitive advantage produk-produk ekspor Indonesia.
Salah satu faktor terpenting yang bisa menjelaskan kecenderungan di atas
adalah karena proses penyesuaian ekonomi dan politik (economic and political
adjustment) tidak berlangsung secara mulus dan alamiah. Soeharto-style state-assisted
capitalism nyata-nyata telah merusak dan merapuhkan tatanan perekonomian.
Memang di satu sisi pertumbuhan ekonomi yang telah dihasilkan cukup tinggi, namun
mengakibatkan ekses yang ujung-ujungnya justru counter productive bagi
pertumbuhan yang berkelanjutan.
Ketiga, rezim yang sangat korup telah membuat sendi-sendi perekonomian
mengalami kerapuhan. Secara umum, segala bentuk korupsi akan mengakibatkan arah
alokasi sumber daya perekonomian menjurus pada kegiatan-kegiatan yang tidak
produktif dan tidak memberikan hasil optimum. Dalam kondisi seperti ini
pertumbuhan ekonomi memang sangat mungkin terus berlangsung, bahkan pada
intensitas yang relatif tinggi. Namun demikian, sampai pada batas tertentu pasti akan
mengakibatkan melemahnya basis pertumbuhan.
Selanjutnya, praktik-praktik korupsi secara perlahan C tapi pasti C telah
merusak tatanan ekonomi dan pembusukan politik yang disebabkan oleh perilaku
penguasa, elit politik, dan jajaran birokrasi. Keadaan semakin parah ketika jajaran
angkatan bersenjata dan aparat penegak hukum pun ternyata juga turut terseret ke
dalam jaringan praktik-praktik korupsi itu.
Hancurnya kredibilitas pemerintah yang dibarengi dengan tingginya
ketidakpastian itu telah menyebabkan terkikisnya kepercayaan (trust). Yang terjadi
dewasa ini tidak hanya sekadar pudarnya trust masyarakat terhadap pemerintah dan
sebaliknya, melainkan juga antara pihak luar negeri dengan pemerintah, serta di antara
sesama kelompok masyarakat. Yang terakhir disebutkan itu tercermin dengan sangat
jelas dari keberingasan massa terhadap simbol-simbol kekuasaan serta kemewahan
dan terhadap kelompok etnis Cina, seperti yang dikenal dengan peristiwa Mei 1998.
Sementara itu, krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dapat dilihat
dari respons masyarakat yang kerap kali berlawanan dengan tujuan kebijakan yang
ditempuh pemerintah. Misalnya, kebijakan pemerintah yang seharusnya berupaya
menggiring ekspektasi masyarakat ke arah kanan, justru telah menimbulkan respons
masyarakat menuju ke arah kiri, dan sebaliknya. Faktor lainnya adalah semakin
timpangnya distribusi pendapatan dan kekayaan, sehingga mengakibatkan lunturnya
solidaritas sosial.
DAMPAK YANG DITIMBULKAN OLEH KRISIS EKONOMI GLOBAL
1.Dampak Perekonomian Global terhadap APBNP 2008
Asumsi inflasi dalam APBNP 2008 yang ditetapkan sebesar 6,5%, menurut
Adiningsih (Ekonom dari Universitas Gajah Mada) dalam harian Suara Karya (16/4-
08), dapat melebihi 10% akibat tekanan berat dari kondisi perekonomian global yang
berada di luar kendali pemerintah. Adiningsih mengemukakan bahwa seharusnya
pemerintah menyusun APBN secara konsevatif , karena apabila APBN dirubah terus,
tentu akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Dia juga mengungkapkan
bahwa dunia usaha juga tergantung pada pengelolaan dan realisasi APBN. Apabila
APB tidak konsisten, dipastikan dunia usaha akan sulit tumbuh, sehinga sulit
diharapkan pertumbuhan ekonomi yang tiggi. Mengenai besaran asumsi inflasi dalam
APBNP, menurutnya tidak masuk akal, karena pada akhir tahun 208 terdapat
beberapa hari raya yang sudah pasti akan memicu inflasi lebih tinggi. Disamping itu
harga minyak mentah yang masih akan melambung dan harga pangan dunia yang
meroket. Hal ini akan mempengaruhi harga komoditias di dalam negeri. Tidak semua
komoditas dapat dikendalikan oleh pemerintah. Tambahan lagi, banyak barang impor
termasuk yang illegal masuk ke ke pasar Indonesia. Hinga akhir tahun ini
diperkirakan gejolak pasar Keuangan dunia belum akan reda. Seandainya Amerika
Serikat meningkatkan suku bunga kredit, akan berdampak terhadap Indonesia dan
dikhawatirkan inflasi akan melebihisatudigit.
Dalam menghadapi situasi perekonomian global yang tidak pasti, Raden
Pardede (salah satu calon gubernur BI yang ditolak DPR) mengemukakan
pendapatnya bahwa pemerintah harus membatasi besaran anggaran untuk subsidi.
Menurutnya, dengan asumsi harga minyak mentah sebesar US$ 95 per barel, total
subsidi mencapai sekitar Rp 33 triliun. Jika harga minyak ternyata lebih dri U$$ 100
per barel, diperkirakan lebih dari 30% anggaran belanja habis untuk subsidi,
bagaimana dengan sektro yang lain, katanya.
Berkaitan dengan kekurangan dana dalam APBN pasti dicarikan melalui
pembiayaan yang salah satunya adalah dengan penerbitan Suat Utang Negara (SUN)
disesuaikan dengan melihat kemampuan pasar untuk menyerapnya. Tetapi, jika
subsidi tidak dibatasi, investor akan khawatir mengnenai kemampuan negara dalam
melakukan pembayaran. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian dan rendahnya
daya serap SUN.
Pendapat dari kedua pengamat ekonomi tersebut perlu diperhatikan sebagai
informasi untuk mewaspadai bahwa kondisi perkonomian dunia yang saat ini sedang
bergolak penuh ketidak pastian akan berdampak terhadap tingkat inflasi, alokasi
anggaran untuk subsidi dan daya serap SUN untuk pembiayaan deficit APBN. Namun
demikian, apabila dalam perjalanannya asumsi-asumsi dalam APBNP 2008 meleset
jauh dari kenyataan, pengamat ekonomi tidak seharusnya semata-mata menyalahkan
pemerintah, karena APBN-P 2008 tersebut merupakan hasil pembahasan dan
kesepakatan antara pemerintah dengan DPR. Tambahan lagi, jika asumsi dalam
APBNP tidak sesuai lagi dengan perkembangan kondisi perekonomian, mau tidak
mau APBNP 2008 harus direvisi kembali.
2. Dampak Krisis Keuangan Global terhadap Perekonomian Indonesia
Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat sudah terlihat tanda-tandanya beberapa waktu
yang lalu, Tetapi baru dianggap serius oleh pemerintah Indonesia sejak tanggal 8 Oktober
2008 saat IHSG di BEI turun tajam sampai 10,38 % dan mengharuskan pemerintah
menghentikan kegiatan di pasar bursa modal beberapa hari.
Sebenarnya banyak akibat yang dirasakan oleh Indonesia dengan adanya krisis
keuangan di Amerika serikat , baik akibat positif seperti turunnya harga minyak dunia
yang menembus $ 61 per barel dan akibat negative seperti turunnya nilai rupiah,
berkurangnya nilai export, turunnya investasi atau terjadi flyingout , namun demikian
akibat negatif lebih banyak dirasakan bagi perekonomian Indonesia terutama bagi
sektor riil yang mempunyai pangsa export, pemerintah harus sungguh-sungguh
menangani masalah ini karena pada akhirnya apabila tidak tertangani dengan benar
akan mengakibatkan distabilitas negara atau sering orang bilang akan terjadi Krisis
seri kedua.
Lebih lanjut Ridwan (dosen Ek. Pembangunan UJB)menegaskan , bahwa harus ada
langkah-langkah antisipasi menghadapi krisis keuangan global anatara lain, tetap
menjaga independensi pengambil keputusan, sebisa mungkin mempertahankan tingkat
suku bunga yang ada saat ini, peningkatan pagu jaminan simpanan pada Lembaga
Keuangan Nasional, Penginjeksian secara besar-besaran likuiditas ke dalam perbankan
nasioanal, pemberlakuan kontrol devisa terbatas , pembentukan lembaga procurement
untuk mengatur transaksi devisa BUMN, keharusan izin bank sentral bagi transaksi
arus ke luar modal dalam jumlah tertentu. Disamping itu diskusi juga
merekomendasiakan : Penyiapan satu skema social safety net yang komprehensif
untuk mengantisipasi full-blown crisis , pemerintah daerah secara lebih erat sebagai
mitra dan pelaksana berbagai kebijakan yang ditetapkan, mewaspadai politik
dumping , menyiapakan insentif bagi pengusaha lokal untuk menggarap pasar
domestik, dan merekomendasikan untuk mengkaji ulang sistem ekonomi yang selama
ini mengekor pada sistem ekonomi kapitalis.
CARA MENGATASI KRISIS EKONOMI GLOBAL
Mengatasi Penyebab dan Dampak Krisis Ekonomi Global masih menjadi
berita hangat tanpa melewati 1 (satu) hari pun dalam bulan-bulan terakhir ini.
Berbicara krisis ekonomi adalah bukan berbicara tentang nasib 1 (satu) orang bahkan
lebih dari itu semua karena ini menyangkut nasib sebuah bangsa. Berbagai argument
dan komentar pun dilontarkan di berbagai media yang selalu memojokkan
pemerintahan Yudhoyono dan BI (Bank Indonesia) Di salah satu media menyatakan
bahwa Presiden Yudhoyono menyampaikan 10 langkah untuk menghadapi masalah
tersebut. Empat di antaranya:
1. Meningkatkan penggunaan produksi dalam negeri
2. Memanfaatkan peluang perdagangan internasional
3. Menyatukan langkah strategis Pemerintah dengan Bank Indonesia (BI)
4. Menghindari politik non partisan untuk menghadapi krisis.
Kedengarannya memang masuk akal tapi untuk menghadapi krisis itu
bukanlah semata adalah tugas pemerintah dan Bank Indonesia tapi badai krisis ini
perlu dihadapi bersama jangan sampai kejadian Krisis Ekonomi Global Part II ini
lebih dahsyat meluluh-lantakkan Perekonomian Indonesia seperti yang telah terladi
pada Badai Krisis Moneter Part I di Era Soeharto.
Sadar atau pun tidak sadar Akibat Krisis Ekonomi Global kali in sudah sangat
jauh merambah dalam berbagai strata masyarakat. Dimana-mana pengangguran
semakin bertambah Income perkapita drastis menurun karena beberapa industri mulai
merampingkan tenaga-kerja atau mulai meliburkan tenaga kerja tanpa batas waktu.
Senada dengan hal itu investor-investor lokal dan Asing pun mulai menarik saham
dalam industri-industri di Indonesia. Dari kejadian kejadian itu akan menjadikan
peluang untuk Angka Kriminalitas akan melonjak naik Grafiknya di tanah air belum
lagi kasus-kasus korupsi terbaikan karena bangsa ini telah disibukkan dengan masalah
yang lebih di prioritaskan sehingga dengan bebasnya para koruptor meneruskan
aksinya ditiap jenjang. “Selamat buat para koruptor Anda bisa keluar dari
persembunyain untuk sementara Waktu. How pity a Country !”
Memang sangat Ironis di satu sisi Indonesia yang dikenal sebagai negara
Agraris tapi disisi lain beberapa item bahan pokok masih mengandalkan hasil import
dari negara tetangga. Yah ini mungkin salah satu kelemahan dari bangsa kita bahkan
diri kita yang sebagai rakyat yang kurang berusaha secara profesional dalam
mengelola asset-asset yang ada dalam lahan-lahan indonesia. Lihat saja kekayaan
Alam Indonesia mulai dari hasil laut belum dapat dikelola dengan baik karena
Fasilitas-fasilitas nelayan kurang memadai sehingga negara-negara lain meraup
keuntungan dari hasil menangkap hasil laut dengan cara yang tidak fair. Belum lagi
persediaan minyak yang semakin lama semakin menipis serta Tambang-tambang
Emas yang masih dikuasai negara asing. Jadi sangat disayangkan Punya Harta yang
sangat berlimpah ruah tapi tidak dapat dinikmati secara maksimal oleh bangsa ini.
Jadi memanglah pas ketika Ketua Presidium Persatuan Alumni Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI ) menyatakan bahwa Krisis ekonomi global
telah terjebak pada sistem kapitalisme internasional sehingga sampai saat ini
sepertinya tak ada persiapan jelas menghadapi krisis keuangan global yang berawal
dari runtuhnya industri keuangan di Amerika Serikat. Mereka yang krisis kita yang
”hancur-hancuran” seperti pada bursa saham sehingga menghentikan operasionalnya.
Dan kesimpulannya Indonesia belum siap menghadapi Dampak Krisis
Ekonomi Global yang di motori oleh Negara Super itu. Mungkin dari beberapa uraian
diatas dapat memberi gambaran bahwa kita punya potensi menghadapi krisis ini jika
kita meningkatkan kesadaran sebagai masyarakat indonesia termasuk element
pemerintah berikut departement terkait untuk meningkat pengelolaan sumber daya
secara profesional sehingga bangsa ini menjadi produktif dalam penyediaan hasil
bumi dan dapat mandiri serta terbebas sebagai negara importir bahan pangan dan
minyak bumi terbesar yang akan membalikkan keadaan menjadi negara “Pengekspor
Terbesar”.
DAFTAR PUSTAKA
Bisnis Indonesia, 17 Juni 2009 hal 7, “Boediono, demokrasi, dan ekonomi”
Bisnis Indonesia, 6 Juni 2009 hal 1, “IMF: Ekonomi RI membaik”
Bisnis Indonesia, 6 Juni 2009 hal 1, “Rupiah Tembus Level 9.000/US$”
Bisinis Indonesia, 8 Juni 2009 hal 2, “Indonesia Cepat Lalui Krisis”
Kompas, 15 Juni 2009 hal 21, “Kebijakan Moneter Belum Cukup Longgar”
Bisnis Indonesia, 3 Juni 2009 hal 4, “Kredit Mulai Tumbuh”
http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=DAMPAK%20KRISIS%20EKONOMI%20GLOBAL%20TERHADAP%20KONDISI%20SOSIAL%20EKONOMI%20DI%20PROVINSI%20KEPULAUAN%20BANGKA%20BELITUNG&nomorurut_artikel=273
http://bagkeu-bppk.net/content/mengatasi-dampak-krisis-global-melalui-program-stimulus-fiskal-apbn-09
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_3/artikel_4.htm
http://www.depkeu.go.id/ind/Data/Artikel/dampak_perekonomian.htm
http://metris-community.com/dampak-krisis-ekonomi-global/
http://www.janabadra.ac.id/id/index.php?option=com_content&view=article&id=219:dampak-krisis-keuangan-global-terhadap-perekonomian-indonesia&catid=61:fakultas-ekonomi