efektifitas penegakan kode etik penyelenggara pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/jurnal...
TRANSCRIPT
1 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu Terhadap
Penegakan Integritas Demokrasi Pemilukada
Kariaman Sinaga
(Fisip Univ.Dharmawangsa Medan)
Abstrak
Pelaksanaan Pemilukada masih belum berjalan secara efektif terutama
sebagaimana yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara.Aturan yang telah
ditetapkan belum dapat menjawab permasalahan yang ada sehingga menimbulkan
berbagai masalah yang mengakibatkan penyelenggaraan pemilu harus diulang
yang sangat merugikan bagi rakyat karena dana pembangunan harus dialihkan
untuk pelaksanaan pemilu yang berulang.Sebagai suatu negara yang menjalankan
demokrasi (anglo saxonis) ternyata belum maksimal dalam menjalankan proses
penyelenggaraan pemilu sebagai konsekuensi negara demokrasi.Beberapa hal
yang menjadi masalah adalah: kesepakatan yang tidak kuat antara state dengan
society, kurang lengkapnya aturan yang ditetapkan dalam penyelenggaraan
pemilukada, dan aturan yang tidak substansi sehingga mengganggu dalam
pencapaian tujuan penyelenggaraan pemilu.Penyelenggaraan menjadi tidak efektif
dan dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat yang seharusnya tidak perlu
terjadi.Hal yang paling menjadi sorotan bahwa pelaksanaan pilkada yang
bermasalah akan mengakibatkan disintegrasi dalam demokrasi khususnya di
Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan kepala
daerah masih belum dipahami secara substansi antara penyelenggara pemilihan
dan juga masyarakat sebagai pemilih sehingga pelaksanaan pemilukada tidak
menjadi wadah yang efektif sebagai alat pemersatu bangsa.Ekspektasi masyarakat
terhadap pelaksanaan pemilikada belum dapat direspon secara baik sesuai dengan
nilai-nilai demokrasi.
Kata Kunci:Efektivitas,Kode Etik,Integritas Demokrasi
A.Latar Belakang
Suatu kebijakan pemerintah yang telah dirancang dengan baik ketika harus
berhadapan dengan berbagai realitas lapangan menjadi mandeg atau dengan kata
lain sulit untuk direalisasikan.Fakta yang ada menunjukkan bahwa berbagai
kondisi ideal undang-undang, peraturan pemerintah, regulasi setingkat menteri
pencapaiannya masih jauh dari yang diharapkan.(Erwan Agus Purwanto,2012:2).
Namun kegagalan dari suatu kebijakan bukanlah hanya menjadi masalah
bagi negara-negara berkembang tetapi juga menjadi masalah bagi negara-negara
maju.Mcclintock (1980:64): “The successful implementation of public policy is
dificult in the First World countries, it is more dificult in the Third World...” Hal
ini akan semakin memperjelas kondisi implementasi yang dijalankan di Indonesia
banyak mengalami masalah.
Pembenaran dari kondisi yang dinyatakan diatas tentu tidak sampai disitu
karena harus dilihat dimana level masalah yang dihadapi masing-masing negara
2 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
yang mempunyai perbedaan-perbedaan sesuai dengan kondisi daerahnya masing-
masing.Seperti negara-negara Asia yang sama-sama menghadapi “perlambatan
ekonomi dunia” akan berbeda masing-masing negara Asia dalam menghadapinya.
Pemilukada yang dilakukan serentak pada 2015 sebenarnya telah
memberikan gambaran yang jelas tentang kualitas dari pesta demokrasi yang
dilaksanakan sebagai suatu kebijakan publik.Dari pelaksanaannya dapat diketahui
apa yang menjadi kelemahan dan kelebihan dari pelaksanaan pilkada langsung itu
sendiri.Pemilukada merupakan dilaksanakan pemilihan Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten / Kota secara demokratis dalam negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.( Pasal 1 ayat 2 : Peraturan Bersama Komisi Pemilihan
Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012).
Sebagai perbandingan berbagai kebijakan pemerintah Indonesia juga
masih mengalami kegagalan dalam implementasinya seperti program pengentasan
kemiskinan atau pelaksanaan otonomi daerah yang belum berhasil
dilaksanakan.Berbagai faktor menjadi penyebab dalam kegagalan dari
pelaksanaan kebijakan publik yang dilaksanakan.Sebagaimana pelaksanaan
pemilukada yang memberikan catatan terburuk dalam pelaksanaan pemilukada di
Indonesia dibandingkan dengan daerah-daerah lain.
Kegagalan dalam pelaksanaan pilkada menjadi dampak yang sangat buruk
terhadap proses pembangunan di indonesia.Hal yang menjadi penting adalah
kegagalan kebijakan tersebut akan ditanggung oleh seluruh rakyat indonesia
berupa penyerapan dana publik.Dana yang telah dianggarkan untuk pembangunan
lainnya yang dibutuhkan akhirnya dialihkan untuk pelaksanaan pilkada yang
bermasalah.
Kerugian dalam hal finansial yang dialami akan memberikan dampak bagi
kebijakan pembangunan lainnya yang menjadi terganggu pelaksanaannya karena
harus membiayai suatu kebijakan secara berulang.Hal ini dapat dilihat seperti
yang terjadi di Kabupaten Simalungun dan Kota Pematang Siantar yang telah
banyak merugikan anggaran serta kerugian-kerugian lainnya.
Efektivitas dalam pelaksanaan pemilukada memang sulit untuk dilakukan
pengukuran karena bersifat kualitatif.Rohman A.A (2008: 19) menyatakan ada
kecendrungan untuk masa yang akan datang efisiensi dan efektifitas menjadi
identitas aparat pemerintah dalam memberi pelayanan publik.Konsep efisensi dan
efektifitas dalam suatu kegiatan mau tidak mau harus berhubungan erat dengan
kegiatan pelayanan publik.
Kemudian efektivitas pelayanan publik bisa dilihat dari tingkat
keberhasilan pelayanan yang telah diberikan pada publik sesuai dengan tujuan
atau sasaran dari pelayanan publik itu sendiri.Sedangkan biaya efisiensinya
biasanya lebih menekankan pada aspek internal yang terjadi dalam organisasi
publik tersebut.
3 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
B.Permasalahan
Apakah pelaksanaan pilkada langsung berjalan efektif dalam proses
mencapai integritas demokrasi ?
C.Analisis dan Pembahasan
Sebagai suatu kebijakan publik maka pelaksanaan pilkada langsung jelas
menghadapi masalah yang kompleks karena menyangkut banyak kepentingan
baik dari pihak penyelenggara pemilihan, tim sukses atau dari masyarakat secara
umum.Sebagai suatu negara yang memiliki kemajemukan yang tinggi juga
menjadi tantangan besar dalam menjalankan suatu kebijakan publik.
Kajian lebih saintifik pada masalah sosial dalam melihat evaluasi
pelaksanaan pilkada langsung yang akan dilaksanakan pada 2017 setelah
melaksanakan pada tahun 2015.Evaluasi dari pelaksanaan pilkada langsung juga
memberikan evaluasi ekstra mengingat Provinsi Sumatera Utara menjadi daerah
yang memiliki masalah terbesar dalam pelaksanaan pilkada yang ditandai dari
diulangnya pelaksanaan pilkada di beberapa daerahnya.
Pelaksanaan Pilkada yang dilakukan secara berulang telah menunjukkan
kegagalan besar dalam pelaksanaan kebijakan publik.Penyelenggara pemilihan
umum merupakan lembaga yang paling bertanggungjawab dalam kegagalan
pelaksanaan pilkada langsung tersebut.Namun selanjutnya perlu diketahui secara
sosial apakah yang menyebabkan kegagalan dari pelaksanaan pemilihan kepala
daerah tersebut.
Sebagai suatu fenomena yang juga terjadi adalah pemanfaatan harta negara
oleh incunbent dalam mendapatkan kekuasaan.Jimly Asshiddiqie (2014: 138)
menyatakan situasi tertentu kerapkali menimbulkan praktik kekuasaan yang
absolute sehingga calon incunbent selalu memanfaatkan harta negara untuk
mengoptimalkan sumber daya politik guna merebut kekuasaan.
Sejalan tema pembahasan dalam penulisan ini bahwa pelaksanaan pilkada
harus memperkuat integrasi bangsa khusunya dalam pelaksanaan
demokrasi.Sebagai konsekuensi dari negara yang menganut paham demokrasi
maka pelaksanaan dari demokrasi itu sendiri harus dijalankan sesuai dengan
aturan yang berlaku.Selain daripada itu maka pelaksanaan demokrasi sangat
ditentukan oleh kualitas dari masyarakat sebagai tempat dilaksanakannya pesta
demokrasi.
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan suatu
kebijakan publik (public policy) yang harus dijadikan alat bagi masyarakat untuk
mendapatkan pemimpin yang baik.Untuk mendapatkan pemimpin yang baik maka
sangat diperlukan sistem pemilihan yang baik agar terpilih pemimpin yang
diidam-idamkan masyarakat.
Melalui pemilihan yang mengikuti tahapan yang benar maka pelaksanaan
pilkada langsung bukan hanya untuk memilih kepala daerah tetapi berdampak
kepada tumbuhnya kepercayaan masyarakat (modal sosial) yang sangat
bermanfaat dalam proses pembangunan bangsa.Hal ini dapat dikatakan sebagai
4 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
makna dari pemilihan yang berlangsung sesuai aturan yang memperkuat
pernyataan bahwa pilkada langsung merupakan alat untuk proses pembangunan
bangsa.
Pelaksanaan pemilukada langsung harus benar-benar mengedepankan
nilai-nilai kemanusiaan.Harold Laswell dalam Wahab Abdul Solichin (2008:60)
menyatakan masalah kebijakan harus melihat pada masalah-masalah kemanusiaan
dalam kehidupan masyarakat.Kebijakan publik sangat berkaitan erat dengan
kemanusiaan yang apabila tidak dipenuhi dapat menimbulkan masalah sosial yang
tidak dapat dikendalikan.
Sebagaimana diketahui pemilihan demokrasi indonesia merupakan
paradigma Anglo Saxonis bukan kontinental yang di pelopori oleh Code
Napoleon (1804) dan Otto Van Bismarck (1871).Tentang Paradigma Anglo
Saxonis dipelopori oleh Raja John,Magna Charta (1215), Mills (1589) on Liberty
dan Declaration of Independence (1876).Melalui pemilihan paradigma tersebut
maka akan membawa konsekuensi untuk dapat menjalankan prinsip demokrasi itu
sendiri.
Secara umum beberapa point yang menjadi masalah yang mendasari
pelaksanaan pemilukada adalah:
1.Kebijakan publik belum merupakan hasil pertemuan / kesepakatan state
dan society.
2. Kebijakan yang ditetapkan tidak lengkap sehingga sering menimbulkan
masalah.
3.Kebijakan yang tidak substansi.
Selain ketiga masalah diatas secara eksternal ada dua masalah klasik yang
harus mendapatkan perhatian serius yaitu masalah dalam pelaksanaan pemilukada
serentak antara lain: politik uang (money politic) dan rendahnya partisipasi politik
masyarakat.
1.Politik Uang (money politic)
Persoalan money politic merupakan masalah yang sangat krusial dalam
pelaksanaan pilkada karena sangat menntukan dalam memilih
pemimpin.Seandainya memang tidak ada yang sulit menentukan pemimpin yang
menjadi pilihan tetap saja prosesnya harus berlangsung secara bebas, rahasia,
jujur, dan adil..Sebahagian masyarakat ikut dalam proses pemilihan kepala daerah
bukan karena kesadaran pribadi tetapi karena untuk mendapatkan sejumlah uang
dari calon kepala daerah itu sendiri.Secara sosilogis hal ini akan menimbulkan
ketidakpercayaan atau saling curiga diantara anggota masyarakat.
Pelaksanaan pemilu yang diwarnai oleh money politic merupakan proses
demokrasi yang menghancurkan kepercayaan masyarakat (modal sosial) yang
sangat berbeda arah dengan pencapaian tujuan negara indonesia.Secara lebih
mendetail setiap tahapan harus dilaksanakan secara lebih transparan dan
5 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
memanfaatkan teknologi yang lebih canggih sehingga peluang untuk terjadinya
money politic menjadi tidak ada atau sangat kecil.
Sesuai dengan landasan dan prrinsip dasar etika dan perilaku berdasarkan
pada: Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Undang-Undang, serta
sumpah / janji jabatan sebagai penyelenggara pemilu.Money Politic yang masih
terjadi menunjukkan jauhnya nilai-nilai dengan realitas yang terjadi.
2.Rendahnya Partisipasi Masyarakat
Pelaksanaan pilkada langsung yang dilaksanakan secara umum mulai
proses pendaftaran hingga pemberian suara di TPS yang dilaksanakan di Kota
Medan telah sesuai dengan aturan yang ditetapkan.Namun yang menjadi masalah
adalah keinginan masyarakat untuk hadir di TPS untuk memberikan suara sangat
rendah.
Kolusi,korupsi dan nepotisme yang masih tinggi juga merupakan faktor
penyebab rendahnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pilkada.Dengan
demikian pelaksanaan pilkada langsung yang benar-benar mendapat dukungan
penuh dari masyarakat masih membutuhkan waktu.Hal ini terjadi karena
masyarakat telah dikhianati setelah memberikan kepercayaan atau penghianatan
politik.
Persoalan partisipasi yang rendah harus mendapatkan perhatian yang lebih
intens melalui berbagai perspektif agar mendapatkan solusi.William N Dunn
(2003:8) menyatakan: Jika para analisis berusaha meningkatkan pengetahuan
yang relevan dengan kebijakan, mereka harus menggunakan berbagai perspektif,
metode, ukuran, sumber data, dan media komunikasi.
Berdasarkan pernyataan diatas menjadi dasar dalam melakukan evaluasi
terhadap pelaksanaan pemilukada langsung untuk memperkuat integritas bangsa
indonesia dan dapat mencapai tujuan pelaksanaan pemilukada secara efisien dan
efektif.Adapun evaluasi yang dilakukan adalah:
1.Kebijakan Publik sebagai hasil kesepakatan state dan society.
Permasalahan demokrasi yang ditandai dengan banyaknya pengaduan atas
pelaksanaan pemilukada menunjukkan bahwa aturan yang dibuat tidak
representatif dalam penetapannya.Penetapan aturan masih belum menunjukkan
aturan yang memberi keseimbangan yang jelas antara pihak pemerintah dengan
masyarakat.
Kebijakan publik yang dibuat belum menemukan jati diri dari demokrasi
itu sendiri yang memiliki titik tolak lebih dari satu bagian.Hal ini memberikan
perkembangan yang harus direspon sesuai dengan tuntutan dari ilmu pengetahuan
yang juga selalu mengalami perubahan-perubahan.Negara merupakan bagian yang
paling menentukan dalam pelaksanaan demokrasi yang memiliki peranan besar
dalam pelaksanaannya.
6 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Demokrasi yang bertumpu pada negara diwarnai dengan dominasi negara
yang penuh dalam pelaksanaan pengembangan serta praktik demokrasi.Seperti
yang terjadi pada era 1970-an pada puncak perang dingin antara Blok Barat
dengan Amerika Serikat dan blok Timur dengan Uni Sovietnya.Dalam hali ini
negara memiliki pengaruh yang kuat (independent) dalam perkembangan paham
demokrasi.
Proses perkembangan demokrasi itu sendiri telah mengalami
perkembangan yang lama di negara-negar Eropa dan menjadi nilai-nilai dasar
dalam pelaksanaan demokrasi.Konsep kekuasaan yang dikemukakan oleh
Machiavelli telah memberikan pemahaman kepada konsep kekuasaan realis-
pragmatis.Selanjutnya lahir tokoh-tokoh yang mengemukakan tentang kontrak
sosial seperti Thomas Hobbes, John Locke, Montesqieu dan JJ.Rousseau yang
meletakkan dasar-dasar demo
Selain negara tumpuan berikutnya adalah masyarakat yang juga memiliki
peranan yang tidak kalah penting dalam proses pelaksanaan aturan demokrasi
seperti pelaksanaan pemilukada.Masyarakat (society)
Sebagai negara yang menjalan demokrasi dari pemerintahan dengan
rezim-rezim militer, rezim-rezim komunis, dan rezim-rezim otoriterian maka tidak
dengan mudak menjadi negara yang dapat menjalankan demokrasi.Perkembangan
pada masa lalu yang terjadi dimasyarakat memberikan dampak yang luas
termasuk dalam menjalankan nilai-nilai demokrasi yang benar-benar sesuai
dengan hak azasi manusia.
Beberapa tahapan yang harus dilalui sebagai suatu negara dalam
menjalankan demokrasi dikemukakan oleh Subhan Sofian (2011 : 123) yaitu:
1.Terbentuknya restorasi atau sistem otoriter dalam bentuk baru
2.Terjadinya revolusi sosial karena konflik kepentingan di masyarakat.
3.Liberalisasi terhadap sistem otoriter oleh penguasa
4.Penyempitan proses demokrasi dari sistem liberal kepada demokrasi
limitatif
5.Terbentuknya pemerintahan yang demokratis
Sebagai negara yang relatif telah membaik dalam ekonomi menjadi
kesempatan yang baik untuk menjalankan demokrasi yang sangat menghargai
hak-hak azasi manusia.Pemerintah telah mendapatkan kepercayaan dari
masyarakat untuk menjalankan demokrasi.Partai-partai politik yang juga diwakili
oleh anggota legislatif pada tingkat pengambilan keputusan politik juga
mempunyai pandangan yang sama untuk menjaga nilai-nilai persatuan, nilai-nilai
ketuhanan, dan yang terutama dengan nilai-nilai kerakyatan yang mengutamakan
kedaulatan rakyat atau pemrintahan demokrasi.
Lembaga yang terkait dalam menetapkan aturan masih belum maksimal
dalam penguasaan yang memberikan aturan yang benar-benar menunjukkan
7 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
kejelasan antara state dan society.Tentu menjadi persoalan tersendiri bagaimana
suatu lembaga harus benar-benar diisi oleh orang-orang yang menguasai
permasalahan yang menyangkut program bagi kepentingan masyarakat.
Dilema yang terjadi adalah satu sisi tuntutan aturan yang benar-benar
memberikan kebijakan yang dilakukan mewakili kepentingan negara dan
masyarakat namun pihak yang mewakili diantara kedua belah pihak tidak diisi
oleh orang-orang yang kompeten.Kebijakan yang dihasilkan tidak akan
berkualitas selama permaslahan diatas masih tetap berlangsung.Hal inilah yang
menjadi evaluasi pertama dalam pelaksanaan pilkada langsung yang mungkin
menjadi masalah yang sulit diwujudkan karena menyangkut penentuan siapa yang
merumuskan aturan merupakan masalah tersendiri.
2.Kebijakan harus dibuat selengkap mungkin.
Dalam menetapkan aturan yang menyangkut kebijakan publik harus dibuat
selengkap mungkin dan sedetil mungkin agar setelah disahkan langsung dapat
diterapkan dan masyarakat tidak menunggu terlalu lama.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-
Undangan yang menggantikan UU No.10/2004 antara lain:
1.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Thun 1945
2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3.Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4.Peraturan Pemerintah
5.Peraturan Presiden
6.Peraturan Daerah Provinsi
7.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Selain aturan diatas pasal 8 UU No.12/2011 diatur bahwa jenis Peraturan
Perundang-undangan mencakup peraturan yang ditetapkan oleh:
1.Majelis Permusyawaratan Rakyat
2.Dewan Perwakilan Rakyat.
3.Dewan Perwakilan Daerah
4.Mahkamah Agung
5. Mahkamah Konstitusi
6.Badan Pemeriksa Keuangan
7.Komisi Yudisial
8.Bank Indonesia
8 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
9.Menteri
10.Badan
11.Lembaga
12.Komisi
. Dalam melaksanakan kebijakan publik masih memberikan peluang bagi
lengkapnya suatu aturan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas.Terlebih
menyangkut kepentingan yang menuntut untuk segera dalam pengambilan
keputusan.Hemat penulis keterlambatan aturan untuk menyelesaikan masalah
telah menimbulkan polemik dan merugikan bagi masyarakat secara umum.
3.Kebijakan harus mengedepankan substansi.
Suatu kebijakan publik harus diliaht secara kemanfaatan sosial daripada
hanya melihat pada kebijakan sebagai suatu proses kebijakan sebagai suatu
analisis kemajuan.Berkaitan dengan perumusan kebijakan yang telah disampaikan
sebelumnya bahwa suatu kebijakan harus dilihat secara teratur sesuai dengan
hirarki aturan yang telah ditetapkan.
Kemanfaatan yang dimaksud berarti kemampuan pemerintah untuk
kebijakan yang unggul karena sangat menetukan proses pembangunan suatu
negara dalam arti yang luas.Kebijakan yang tidak unggul justru akan
menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya.Sumatera Utara yang menjadi
daerah yang terbanyak dalam permasalahan penyelenggaraan pemilu
menunjukkan kurang substansinya aturan yang diberlakukan.
Aturan yang dimaksud sebagaimana uraian sebelumnya menyangkut
aturan yang harus ditindaklanjuti melalui aturan yang berada di bawah Undang-
undang.Hal ini untuk memperkuat substansi aturan yang ada melalui aturan yang
mendukungnya.Hal ini juga sejalan dengan tugas pokok pemerintahan yang harus
dapat menjadi pelayan bagi masyarakat.Pemerintah yang dimaksud jelas tidak
hanya pemerintah pusat namun termasuk pemerintah daerah sebagai suatu
kesatuan yang tidak terpisahkan.
Berkaitan dengan penerapan aturan yang substansi sangat ditentukan
kualitas dari manajemen penyelenggara pemili yang harus segera tanggap
terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan
pemilu.Tanpa respon yang baik dan cepat dalam mendukung substansi dari aturan
yang ada dapat menimbulkan masalah sosial yang sangat merugikan baik secara
materil maupun nonmateril.
Keputusan yang tepat harus segera diambil untuk merespon permasalahan
yang menyangkut pada penyelenggaraan pemilu sebagaimana menangani
permasalahan laain dalam masyarakat secara cepat.Keputusan merupakan bentuk
tanggungjawab yang harus ditunjukkan tidak hanya berdasarkan pressure dari
masyarakat yang belum tentu memiliki alasan yang kuat untuk menjalankannya.
9 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Subhan Sofhian (2011:126) menyatakan substansi pelaksanaan pemilu
sebagai pesta demokrasi merupakan proses konsolidasi yang dilakukan antar
komponen bangsa sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.Upaya
konsolidasi yang dilakukan meliputi: Pertama, menemukan kiat-kiat peralihan
kekuasaan dari rezim lama ke rezim baru yang demokratis agar berlangsung
secara damai dan gradual (transition problems).Kedua, mendekati atau menangani
suatu masalah secara arif agar tidak menimbulkan masalah lain (contextual
problems).Dan Ketiga, menangani kesenjangan antara aturan main (hukum) yang
ada dan menguatnya tuntutan masyarakat (systematic problems).
Masalah kesenjangan antara aturan main dengan tuntutan demokrasi yang
makin meluas merupakan hal yang menjadi tuntutan utama dalam pelaksanaan
demokrasi di Indonesia.Melalui pelaksanaan pemilu menjadi hal yang sangat
strategis dalam penerapannya.Dengan demikian dalam pelaksanaannya harus jelas
parameternya agar pelaksanaan demokrasi benar-benar menjadi saluran yang
maksimal dalam memajukan, mencerdaskan, dan memperkuat integrasi bangsa
indonesia.
Untuk mencapai pelaksanaan pemilukada langsung merupakan masalah
yang kompleks karena terkait dengan kepercayaan masyarakat yang harus
dibangun.Terjadi paradoks antara pelaksanaan pilkada yang telah dipersiapkan
dengan biaya yang sangat besar namun tidak sesuai dengan apa yang
diperoleh.Sebagai ilustrasi pesta yang dilaksanakan tidak sesuai dengan undangan
yang diharapkan sehingga dapat dikatakan pesta yang dilaksanakan gagal karena
tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Untuk mencapai pelaksanaan pemilukada langsung merupakan masalah
yang kompleks karena terkait dengan kepercayaan masyarakat yang harus
dibangun.Terjadi paradoks antara pelaksanaan pilkada yang telah dipersiapkan
dengan biaya yang sangat besar namun tidak sesuai dengan apa yang
diperoleh.Sebagai ilustrasi pesta yang dilaksanakan tidak sesuai dengan undangan
yang diharapkan sehingga dapat dikatakan pesta yang dilaksanakan gagal karena
tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Secara internal bahwa pelaksanaan pemilukada sangat ditentukan tiga
faktor utama yaitu:
1.Penetapan peraturan pemilukada yang benar-benar mewakili state dan
society
2.Peraturan yang dibuat harus lengkap dan detil
3.Peraturan yang dibuat harus substansi
Secara eksternal bahwa evaluasi terhadap pemilukada masih diwarnai oleh
politik uang dan partisipasi masyarakat yang rendah dalam memberikan suara
pada penyelenggaraan pemilihan umum.Dengan demikian pelaksanaan
pemilukada kedepannya harus mengikutsertakan partisipasi banyak pihak yang
memakai konsep penyelenggaraan.Pelaksanaan konsep penyelenggaraan pada
10 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
pemilukada juga memberikan konsekuensi pada penegakan hukum yang
menyangkut banyak pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pemilukada.
Kesimpulan
1.Penetapan atau revisi terhadap aturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pemilu harus benar-benar ditentukan oleh orang-orang yang menguasai aturan
dalam penyelenggaraan pemilihan umum.Dengan kata lain pihak yang
menentukan dalam penentuan aturan pelaksanaan pemilukada adalah orang-
orang yang representatif dan kompeten.Berkaitan dengan penetapan Undang-
Undang yang dilakukan pada tingkat legislatif harus dilakukan penyesuaian
yang dapat membantu kualitas dari keputusan tentang penyelenggaraan
pemilihan umum.
2.Peraturan penyelenggaraan pemilukada harus dibuat selengkap dan sedetil
mungkin untuk menghindari adanya permasalahan-permasalahan yang dapat
mengganggu proses penyelenggaraan pemilukada.Kemudian harus segera
respon terhadap kemungkinan terhadap celah yang dapat menimbulkan
masalah-masalah.Masalah yang pada awalnya kecil namun apabila sudah
masuk pada ranah masyarakat akan memiliki dampak besar atau menjadi
masalah yang besar di masyarakat.
3.Peraturan pelaksanaan pemilukada harus di buat secara substansi agar
mengarah pada pencapaian tujuan bernegara melalui pelaksanaan demokrasi
yang mendukung integrasi bangsa indonesia.
4.Kepercayaan masyarakat harus dibangun melalui penyelenggaraan pemilu
sebagai suatu kebijakan strategis dalam proses pencapaian tujuan
negara.Modal sosial sangat menetukan terhadap program yang mengharuskan
partisipasi masyarakat.
11 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Daftar Pustaka
Wahab,AS,2008,Analisis Kebijakan Publik,Malang,UPT Univ. Muhammadiyah
Malang
Dunn,WN,2003,Pengantar Ananlisis Kebijakan Publik,Gajah Mada University
Press
Rohman, AA,2008,Reformasi Pelayanan Publik,Program Sekolah Demokrasi
PlaCIDS, M
Peraturan Bersama Komisi Pemilihan, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 1, 11, dan 13
Tahun 2012 Tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum,
2012,Jakarta
Sofhian, Subhan dkk,2011, Pendidikan Kewarganegaraan, Fokus Media, Bandung
Asshiddiqie, Jimly, Menegakkan Etika Penyelenggaraan Pemilu, 2014, Jakarta
12 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Epistemologi Keputusan Administrasi Yang Berkeadilan
Dalam Mewujudkan Good Governance
Erni Suyani
(Fisip Univ.Dharmawangsa Medan)
Abstrak
Pada akhir dasa-warsa yang lalu, konsep good governance ini lebih dekat di
pergunakan dalam reformasi publik. Di dalam disiplin atau profesi manajemen
publik konsep ini di pandang sebagai suatu aspek dalam paradigma baru ilmu
administrasi publik. Paradigma baru ini menekankan pada peran manajer publik
agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong dan
meningkatkan otonomi manajerial terutama sekali mengurangi campur tangan
kontrol yang di lakukan oleh pemerintah pusat, Tanparansi, akuntabilitas publik
dan di ciptakan pengelolahan manajerial yang bersih dan bebas dari korupsi. Tata
kepermerintahan yang baik )good Governance) merupakan suatu konsep yang
akhir-akhir ini di pergunakan secara regule di dalam ilmu politik dan administarsi
publik (administarasi negara). Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan
terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan
pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Berkembanglah kemudian sebuah
konsep tata pemerintahan yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk berbagai
permasalahan tersebut.
Kata Kunci : Keputusan, Administrasi, Good Govrnance
A. Pendahuluan
Penulis ingin katakan ketika berbicara Good governance maka sering di
gunakan sebagai standar sistem good local governance di katakan baik dalam
menjalankan sistem disentaralisasi dan sebagai parameter yang lain untuk
mengamati praktek demokrasi dalam suatu negara.Para pemegang jabatan publik
harus dapat mempertangung jawabkan kepada publik apa yang mereka lakukan
baik secara pribadi maupun secara publik. Seorang presiden Gebernur, Bupati,
Wali Kota, anggota DPR dan MPR dan pejabat politik lainnya harus menjelaskan
kepada publik mengapa memilih kebijaksanaan X, bukan kebijaksanaan Y,
mengapa memilih menaikkan pajak ketimbang melakukan efesiensi dalam
pemerintahan dan melakukan pemberantasan korupsi sekali lagi apa yang di
lakukan oleh pejabat publik harus terbuka dan tidak ada yang di tutup untuk di
pertanyakan oleh publik.
Tidak hanya itu apa yang di lakukan oleh keluarganya, sanak saudara dan
bahkan teman dekatnya sendiri sering di kaitkan dan di letakkan pada posisi
pejabat publik, mengapa demikian? Alasan sebenarnya sederhana saja, karena
pejabat tersebut mendapat amanah dari masyarakat maka dia harus dapat
menegang amanah tersebut. Konsep Good governance pertama kali di
13 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
perkenalkan oleh UNDP, sebab munculnya konsep ini di sebabkan oleh tidak
terjadinya akuntabilitas, tranparansi. Artinya banyak negara dunia ketiga ketika di
beri bantuan dana tersebut banyak yang tidak tepat sasaran, sehinga negara maju
engan memberikan bantuan terhadap negara dunia ketiga adalah karena belum
terciptanya sistem birokrasi yang efektif, efesien dan tidak adanya tranparansi,
akuntabilitas bantuan dana dari negara maju. Konsekuensinya banyak terjadi
korupsi yang di lakukan oleh dunia ketiga ketika bantuan di turunkan oleh negara
maju.
Pada akhir dasa-warsa yang lalu, konsep good governance ini lebih dekat
di pergunakan dalam reformasi publik. Di dalam disiplin atau profesi manajemen
publik konsep ini di pandang sebagai suatu aspek dalam paradigma baru ilmu
administrasi publik. Paradigma baru ini menekankan pada peran manajer publik
agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong dan
meningkatkan otonomi manajerial terutama sekali mengurangi campur tangan
kontrol yang di lakukan oleh pemerintah pusat, Tanparansi, akuntabilitas publik
dan di ciptakan pengelolahan manajerial yang bersih dan bebas dari korupsi. Tata
kepermerintahan yang baik )good Governance) merupakan suatu konsep yang
akhir-akhir ini di pergunakan secara regule di dalam ilmu politik dan administarsi
publik (administarasi negara). Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan
terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan
pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Berkembanglah kemudian sebuah
konsep tata pemerintahan yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk berbagai
permasalahan tersebut.
Konsep itu yaitu Good governance. Governance berbeda dengan
government yang artinya pemerintahan. Karena government hanyalah satu bagian
dari governance. Bila pemerintahan adalah sebuah infrastruktur, maka governance
juga bicara tentang suprastrukturnya. Banyak sekali definisi tentang good
governance. Kita ambil satu saja untuk sebagai bahan analisa. Bank Dunia dalam
laporannya tentang governance and development tahun 1992 mengartikan good
governance sebagai pelayanan publik yang efisien, sistem pengadilan yang dapat
diandalkan, pemerintahan yang bertanggungjawab pada publiknya (Bintan R.
Saragih). Bergulirnya reformasi membawa angin segar bagi proses demokratisasi
di Indonesia. Sebuah rezim yang amat kuat, solid sekaligus juga korup dan
sentralistis terpaksa menyudahi perannya sebagai penguasa negeri ini. Berarti
terbuka sebuah kesempatan emas untuk memulai proses perbaikan di berbagai
bidang. Sebagai catatan saja kondisi kita waktu itu adalah kondisi yang amat
terpuruk. Tak hanya di bidang ekonomi saja, tapi juga di bidang hukum, birokrasi
dan juga moralitas.
14 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
B. Keputusan Tata Usaha Negara
Dalam konsep HAN dikenal Keputusan/Penetapan Negatif dan Positif,
Permanen dan Temporal. Di samping itu juga terlihat, bahwa pemerintah dalam
melakukan aktivitas atau kegiatan negara dapat berkedudukan sebagai
Pemerintah dan sebagai Administrator.
1. Keputusan/Penetapan Negatif dan Positif, Permanen dan Temporal.
Kegiatan administrasi negara yang dilaksanakan, dijalankan dan
diselenggarakan sebagai pelaksanaan tugas pemerintah tersebut bermacam-
macam. Salah satu macam kegiatan yang sangat mempengaruhi kehidupan negara
dan masyarakat adalah adanya keputusan yang ditetapkan oleh pejabat
pemerintah/administrasi negara yang bersifat yuridis dan mengandung penetapan
(beschikking) yang mempunyai akibat hukum dan membahayakan apabila diambil
secara kurang bertanggung-jawab.
Bentuk daripada keputusan administratif tersebut sangat beraneka ragam,
satu sama lain tergantung dari sifat dan pertimbangannya. Keputusan-keputusan
tersebut dapat berbentuk formal seperti : Surat Memo, besluit, Surat Keputusan,
dan sebagainya. Tetapi dapat pula berupa suatu surat pemberitahuan atau nota
biasa, dapat pula berupa suatu disposisi pada bagian samping dibubuhi tanda
tangan dan cap jabatan bahkan dapat secara lisan.
Setiap keputusan administrasi negara mengandung suatu penetapan
(beschikking). Keputusan atau penetapan yang diambil bisa negatif dan positif.
Keputusan/ Penetapan yang negatif, yaitu keputusan yang menolak suatu
permohonan yang diajukan oleh pemohon. Pemohon, dalam hal ini bisa dari
instansi pemerintah, swasta maupun perseorangan. Keputusan/ Penetapan yang
negatif, hanya berlaku satu kali saja, sehingga dalam hal ini pemohon yang ditolak
permintaannya dengan seketika dapat mengulangi kembali permintaannya yang
ditolak tersebut.
Keputusan/ Penetapan yang positif, keputusan yang mengabulkan suatu
permohonan yang diajukan oleh pemohon. Keputusan/ Penetapan yang positif
dapat berupa:
a. Menciptakan hukum baru pada umumnya (misalnya, menyatakan suatu
daerah tertutup karena ada wabah suatu penyakit menular);
b. Menciptakan keadaan hukum baru hanya terdapat suatu obyek saja
(misalnya, menyatakan suatu pelabuhan sebagai pelabuhan samudra);
c. Membentuk atau membubarkan suatu badan hukum;
d. Memberikan beban (kewajiban) kepada suatu instansi atau perseorangan
(misalnya: ketetapan pajak, wajib militer);
e. Memberikan keuntungan kepada suatu instansi atau perseorangan, antara
lain:.
15 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
1) Dispensasi, yaitu suatu pernyataan dari pejabat administrasi negara yang
berwenang, bahwa suatu ketentuan undang-undang yang tertentu
memang tidak berlaku terhadap kasus yang diajukan oleh seorang (atau
instansi) di dalam suatu permintaannya.
2) Izin atau vergunning, yaitu dispensasi dari suatu larangan;
3) Lisensi, yaitu suatu izin yang bersifat komersial atau mendatangkan
keuntungan atau laba;
4) Konsensi, yaitu suatu penetapan dimana suatu instansi atau orang yang
mendapat konsensi selain mendapat dispensasi izin dan lisensi, juga
diberi semacam “wewenang pemerintahan”, yang memungkinkan
kepadanya, misalnya, membuat jaringan jalan, memasang jaringan listrik
dan telepon, mendirikan rumah sakit, sekolah.
Selanjutnya, mengenai Keputusan/ Penetapan permanen dan temporal
adalah:
a. Penetapan permanen, sekali dikeluarkan berlaku untuk seterusnya,
misalnya ijazah dan surat kawin;
b. Penetapan temporal, yang hanya berlaku untuk waktu tertentu, misalnya
SIM, KTP, dsbnya.
2. Keputusan Pemerintah sebagai Pemerintah dan sebagai Administrator.
Menurut Prayudi, Hukum Administrasi Negara merupakan legal matrix
daripada administrasi negara, sehingga apapun dan dalam bentuk apapun
administrasi negara berbuat, disana harus ada aturan-aturan Hukum Administrasi
Negara (administratieve rechtsregels) yang harus membenarkan kegiatan tersebut
secara hukum (juridische rechtvaardiging). Hal ini merupakan salah satu
konsekuensi daripada asas negara hukum (rehctsstaat). Aturan hukum tersebut
ada yang mengenai organisasi atau seluk-beluk kelembagaan daripada instnasi
administrasi negara yang bersangkutan (organische rechtsregels) dan ada yang
mengenai fungsi-fungsi administrasi negaranya (functionele rechtsregels).
Kegiatan administrasi negara terdiri atas perbuatan-perbuatan yang bersifat
yuridis (yang secara langsung menciptakan akibat-akibat hukum) dan yang
bersifat non yuridis.
Perbuatan-perbuatan hukum administrasi negara tersebut ada empat, yaitu:
a. Penetapan (beschikking, administrative discretion);
b. Rencana (plan);
c. Norma jabaran (concrete normgeving);
d. Legislasi-semu (pseudo-wetgeving).
Keempat macam perbuatan hukum daripada administrasi negara tersebut
dalam kehidupan sehari-hari terkenal dengan sebutan Keputusan Pemerintah, oleh
karena orang awam tidak dapat mengenal berbagai perpedaan dan pembedaan
16 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
administratif-teknis dan yuridis teknis.
Dari keempat perbuatan hukum tersebut yang paling banyak menimbulkan
persoalan bagi warga masyarakat adalah keputusan-keputusan para pejabat
administrasi, yang di kalangan rakyat terkenal dengan sebutan “Keputusan
Pemerintah”.
Keputusan Pemerintah sebagai Pemerintah tidak dirasakan efeknya oleh
warga masyarakat secara langsung, oleh karena suatu Keputusan Pemerintah
(regelingsbesluit) selalu bersifat umum, prinsipil, abstrak, dan personal. Artinya
sama sekali tidak mengenai seorang individu tertentu di dalam kasus tertentu.
Sedangkan yang mempunyai efek langsung adalah Keputusan Pemerintah
sebagai Adminstrator, oleh karena Keputusan Administrasi (administratieve
beschikking) selalu bersifat individual, kasual, konkrit dan khas.
Namun dalam prakteknya sulit bagi warga masyarakat untuk membedakan
kedua macam keputusan pemerintah tersebut. Karena kedua keputusan pemerintah
tersebut diambil dalam rangka kedudukannya sebagai Penguasa Negara
(overhead, public authority). Jadi dalam kedudukannya tersebut Penguasa itu
bisa Pemerintah sebagai Pemerintah (penguasa eksekutif) dan bisa juga
sebagai Administrator (penguasa administratif).
Dalam kedua hal tersebut, Pemerintah mengambil keputusan dengan
wewenang yang sama, yaitu “wewenang kenegaraan” atau wewenang publik,
apakah sebagai Pemerintah (penguasa eksekutif) atau sebagai Administrator
(penguasa administratif). Keputusan pemerintahan merupakan keputusan
pelaksanaan atau eksekutif (politieke daad), artinya penegakan undang-undang
dan wibawa negara. Keputusan administratif merupakan keputusan
penyelenggaraan atau realisasi (materiele daad).
3. Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dalam UU Nomor 5 Tahun
1986 jo UU Nomor 9 Tahun 2004.
Selanjutnya mengenai apa yang dimaksud dengan KTUN dan apa yang
menyebabkan adanya sengketa tata usaha, diatur dalam Ketentuan Umum, Pasal 1
angka 3 dan angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004.
Secara limitatif, Pasal 1 angka 3, menentukan KTUN adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Adanya KTUN sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 tersebut dapat
melahirkan atau mengakibatkan adanya sengketa tata usaha negara. Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan penetapan tertulis tersebut dapat
digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara atau melalui penyelesaian
administratif (dalam hal sengketa kepegawaian) oleh pihak yang merasa
17 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
dirugikan.
Selanjutnya, menurut Pasal 1 angka 4, menentukan bahwa yang dimaksud
dengan sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang
tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
C. Bahaya Wewenang Publik
Para aparatur negara dalam penggunaan wewenang publik harus mengikuti
aturan-aturan Hukum Administrasi Negara, agar supaya tidak terjadi
penyalahgunaan wewenang. Hal ini disebabkan, bahwa wewenang publik tersebut
tidak dapat dilawan dengan jalan biasa.
Wewenang publik tersebut teridiri atas dua kekuasaan yang luar biasa,
yaitu:
1. Wewenang prealabel, yang merupakan wewenang melaksanakan
keputusan-keputusan yang diambil tanpa meminta persetujuan terlebih
dahulu dari instansi atau seorang perseorangan yang manapun;
2. Wewenang ex-officio, artinya semua keputusan yang diambil karena
jabatan (apalagi berdasarkan sumpah jabatan) tidak dapat dilawan oleh
siapa pun dan yang berani melawan dikenakan sanksi pidana (misalnya,
Pasal 160, 161, 212, 216 KUHP).
Oleh sebab itu, dalam membuat keputusan (badan atau pejabat yang diberi
wewenang publik) harus dibuat berdasarkan aturan main yang telah ditetapkan
dan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip hukum, yaitu adanya: keadilan
(justice, equity), kewajaran (decency, reasonability), effisiensi, kepastian hukum
(legal security), dan ketenangan hidup (peaceful life).
Menurut Prayudi, agar supaya wewenang publik dapat dilakukan denga
baik dan tidak adanya penyalahgunaan wewenang, maka dalam penggunaan
wewenang tersebut (pembuatan keputusan) terikat kepada tiga asas hukum, yaitu:
1. Asas yuridikitas (rechtmatigheid), artinya, keputusan pemerintah maupun
administratif tidak boleh melanggar hukum (onrechtmatigee
overheidsdaad);
2. Asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan harus diambil
berdasarkan suatu ketentuan undang-undang;
3. Asas diskresi (discretie, freies ermessen), artinya pejabat penguasa tidak
boleh menolak mengambil keputusan dengan alas an „tidak ada
peraturannya”, dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil
keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas
yuridikitas dan asas legalitas. Ada dua macam diskresi, yaitu: diskresi
bebas, bilamana undang-undang hanya menentukan batas-batasnya, dan
diskresi terikat, bilamana undang-undang menetapkan beberapa alternatif
18 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
untuk dipilih salah satu yang oleh pejabat administrasi dianggap paling
dekat.
D. Pengertian dan Prinsip-Prinsip Good Governance
Banyak orang menjelaskan good governance secara berbeda tergantung
pada konteksnya. Dalam konteks pemberantasan KKN, good governance
diartikan sebagai pemerintahan yang bersih dari praktek KKN. Good governance
dinilai terwujud jika pemerintah mampu menjadikan dirinya sebagai pemerintahan
yang bersih dari praktek KKN.
Prinsip Good Governance adalah merupakan idiologi lama yang pada
intinya merupakan sebuah prinsip yang mengatur masalah pelaksanaan otoritas
politik, ekonomi, sosial, hukum dan administratif di dalam mekanisme atau proses
ketatanegaraan di Indonesia. Ada semacam hipotesis yang berkembang dalam
masyarakat bahwa krisis multi dimensi yang melanda Indonesia pada dasarnya
berasal dari adanya krisis moral aparatur pemerintah yang cenderung koruptif dan
seringkali melakukan tindakan-tindakan kolusi dan nepotisme.
Dalam kondisi yang demikian tersebut maka upaya mewujudkan suatu
good governance di Indonesia merupakan prioritas utama dalam rangka
mewujudkan dan menciptakan suatu tatanan masyarakat pada umumnya dan
sistem pengelolaan negara pada khususnya yang lebih baik serta tidak
menerapkan kembali sistem yang cenderung bersifat korupsi, kolusi dan
nepotisme.
Konsep Good Governance bermula dari adanya rasa ketakutan sebagian
masyarakat terhadap tindakan pejabat negara atau administrasi negara untuk
bertindak secara bebas (freies ermessen). Kewenangan yang ada pada pejabat
negara tersebut dikuatirkan akan menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat,
sehingga kemudian muncul suatu konsep yang menitikberatkan pada prinsip
umum pemerintahan yang baik atau the general principles of good administration
yang kini lebih dikenal dengan good governance.
Hal yang terpenting dari prinsip good governance tersebut adalah prinsip
kecermatan, kepastian, kewajaran, persamaan, dan keseimbangan. Prinsip Good
Governance sebenarnya adalah prinsip yang lebih mengutamakan mengenai
adanya konsep keseimbangan hubungan antara masyarakat dengan negara.
Penerapan Good Governance di Indonesia diharapkan mampu
menggerakkan partisipasi masyarakat (public participation) di segala bidang
kehidupan. Selain itu, konsep good governance tersebut diharapkan juga tidak
hanya diterapkan dalam organisasi pemerintahan tingkat atas, tetapi juga dapat
diterapkan pada organisasi pemerintahan tingkat bawah.
Penerapan konsep good governance tersebut tidak hanya ditujukan kepada
lembaganya saja tetapi juga ditujukan kepada individu-individu yang berfungsi
sebagai apartur pemerintah. Tujuan ideal yang ingin dicapai dari adanya
penerapan konsep good governance oleh aparatur pemerintah adalah untuk
19 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
meningkatkan kinerja yang lebih baik, yaitu yang menghindari budaya kerja yang
muncul dalam kerangka KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).
Konsep pemerintahan umum yang baik ini kemudian dikembangkan oleh
teori ilmu hukum dan yurisprudensi baik di lingkungan administrasi negara
maupun oleh putusan-putusan pengadilan sehingga mendapat tempat yang layak
dalam perundang-undangan. Beberapa unsur pemerintahan yang baik, yang telah
memperoleh tempat yang layak dalam peraturan perundang-undangan di berbagai
negara antara lain:
1. Asas bertindak cermat.
2. Asas motivasi.
3. Asas kepastian hukum.
4. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan.
5. Asas kebijaksanaan.
6. Asas keadilan dan kewajaran.
7. Asas keseimbangan.
8. Asas perlindungan.
9. Asas penyelenggaraan kepentingan umum
Untuk menjamin pemerintahan yang baik (Good Governance) sebagai
syarat terciptanya pemerintahan yang bersih, maka hukum harus dilihat sebagai
asas prosedural (fairness), keterbukaan sistem (transparancy), keterbukaan hasil
kerja (disclosure), pertanggungjawaban publik (accountability), kewajiban
keterbukaan kepada masyarakat (responsibility). Inilah sejarah Good Governance
berlaku di Indonesia
Pemerintah juga mempunyai fungsi-fungsi lain antara lain adalah sebagai
berikut:
1. Mengemudikan pemerintahan (governing)
2. Memberi petunjuk (instructing)
3. Menggerakkan potensi (actuating)
4. Memberikan arahan (directing)
5. Mengkordinasi kegiatan (coordinating)
6. Memberi kesempatan dan kemudahan (facilitating)
7. Memantau dan menilai (evaluating)
8. Melindungi (protecting)
9. Mengawasi (controling)
10. Menunjang dan mendukung (supporting)
Penciptaan hukum yang akomodatif dan rasional adalah sarana
mewujudkan pemerintahan yang berwibawa. Signifikasi tiga komponen hukum
seperti yang dikemukakan Lawrence M. Friedman, yaitu legal subtance, legal
structure dan legal culture, menjadi pra-syarat terwujudnya Good Governance.
20 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Sosok aparatur negara yang berperan sebagai abdi masyarakat dalam
mewujudkan Good Governance dapat dimulai dari dirinya, sebagai individu yang
telah membulatkan tekad melalui “Saptaprasetya” Korpri menciptakan negara dan
sekaligus mendirikan peradaban. Dengan posisi dan perannya maka aparatur
negara adalah individu-individu yang memiliki kemauan yang keras, akhlak yang
lurus, dan kehidupan mereka terbebaskan dari penyakit kejiwaan maupun fisik
yang berbahaya.
Para pamong praja diisyaratkan untuk memiliki empat sifat dalam
melayani publik, yaitu:
1. Ketaatan yang tinggi pada peraturan.
2. Pengendalian diri.
3. Banyak kesabaran.
4. Ketrampilan untuk melihat sesuatu berjalan tidak benar namun tidak turun
tangan, sama seperti ketrampilan yang dimiliki seorang ayah yang mendidik
anaknya menjadi mandiri.
Dalam proses demokratisasi good governance sering mengilhami para
aktivis untuk mewujudkan pemerintah yang memberikan ruang partisipasi yang
luas bagi aktor dan lembaga di luar pemerintahan sehingga ada pembagian peran
dan kekuasaan yang seimbang antara Negara, masyarakat sipil dan mekanisme
pasar. Adanya pembagian peran yang seimbang dan saling melengkapi antar
ketiga unsur tersebut bukan hanya memungkinkan adanya check and balance
tetapi juga menghasilkan sinergi yang baik antar ketiganya dalam mewujudkan
kesejahteraan bersama.
Sementara menurut Lembaga Administrasi Negara (LAN), “Good” dalam
good governance mengandung dua pengertian. Pertama, nilai-nilai yang
menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat
meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan nasional. Kedua,
aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam
pelaksanaan tugasnya. Berdasarkan pengertian ini, LAN kemudian
mengemukakan bahwa good governance berorientasi pada orientasi ideal negara
yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional dan juga kepada pemerintahan
yang berfungsi secara ideal, efektif, dan efisien dalam melakukan upaya mencapai
tujuan nasional.
Konsep pemerintahan yang baik (good governance) awal mulanya tidak
dikenal dalam Hukum Administrasi, maupun dalam Hukum Tata Negara bahkan
dalam Ilmu Politik. Konsep good governance tersebut lahir dari lingkungan
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang awal mulanya dari Organisation for the
Economic Coorporation and Development (OECD). Di mana Komponen good
governance dirinci ke dalam beberapa point berikut:
1. Human rights observance and democracy.
2. Market reforms
3. Bureaucratic reform (corruption and transparancy)
21 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
4. Environmental protection and sustainable development.
5. Reduction in military and defence expenditures and non-production of
weapons of massdestruction.
Selain Organisation for the Economic Coorporation and Development
(OECD) ada juga United Nation Development Program (UNDP) yang
mengemukakan komponen good governance yang meliputi:
1. Participation.
Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan baik
secara langsung maupun melalui intermediasi insititusi legitimasi yang mewakili
kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi.
2. Rule of law
Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu,
terutama hukum untuk hak asasi manusia.
3. Transparancy
Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses,
lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang
membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.
4. Responsiveness.
Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani
setiap stakeholders.
5. Consensus orientation.
Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk
memperoleh pilihan-pilihan terbaik baik kepentingan yang lebih luas baik dalam
hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.
6. Equity
Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai
kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7. Effectiveness and efficiency
Proses-proses dan lembaga-lembaga sebaik mungkin menghasilkan sesuai
dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia.
8. Accountability
Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan
masyarakat bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-lembaga
“stakeholders”. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan
yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal
organisasi.
9. Strategic vision.
Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance
dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang
diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
22 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Dalam hukum positif Indonesia nilai-nilai good governance tersebut,
antara lain dapat ditemukan pada Tap MPR No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis
Besar Halauan Negara, dan Undang-Undang No.25 Tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional 2000-2004. Dalam Ketetapan MPR No.IV/MPR/1999
tersebut ditegaskan tentang konsep pemerintahan yang baik sebagai berikut:
1. Menjamin terwujudnya kehidupan bermasyarakat berdasarkan atas
hukum dan perlindungan hak asasi manusia.
2. Menjamin kehidupan yang demokratis.
3. Mewujudkan keadilan sosial.
4. Menjamin terwujudnya pemerintahan yang layak.
Keempat tujuan pembangunan hukum tersebut di atas adalah tujuan yang
sangat fundamental Sebagaimana dituangkan pada GBHN 1999 – 2004 yaitu
tegaknya asas kedaulatan rakyat atau yang lebih dikenal dengan istilah supremasi
hukum.
Selanjutnya UU No.25 Tahun 2000 tentang Propenas Tahun 2000-2004
dirinci lima prioritas pembangunan nasional sebagai berikut:
1. Membangun sistem politik yang demokratis serta mempertahankan
persatuan dan kesatuan.
2. Mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik.
3. Mempercepat pemulihan ekonomi.
4. Membangun kesejahteraan rakyat.
5. Meningkatkan pembangunan daerah.
Untuk menjamin pemerintahan yang baik (good governance) sebagai
syarat terciptanya pemerintahan yang bersih, maka hukum harus dilihat sebagai
asas prosedural (fairness), keterbukaan sistem (transparancy), keterbukaan hasil
kerja (disclosure), pertanggungjawaban publik (accountability), kewajiban
keterbukaan kepada masyarakat (responsibility). Inilah sejarah good governance
berlaku di Indonesia.
Good governance intinya berorientasi kepada sebuah nilai yang
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat yang dapat meningkatkan kemampuan untuk
mencapai tujuan hidup bermasyarakat dan bernegara. good governance tidak
hanya mencakup aparat administrasi, tetapi semua cabang kekuasaan kenegaraan.
Good governance bukan hanya asas dalam penyelenggaraan negara atau
pemerintahan, tetapi mencakup pula penyelenggaraan politik ekonomi, hukum
dan berbagai aspek kehidupan bernegara.
Konsep pemerintahan yang baik (good governance) dipergunakan sebagai
acuan dan arah bagi administrasi dalam melakukan tindakan, yang dalam
pelaksanaannya harus terikat dengan aturan hukum. Dewasa ini banyak ketentuan
perundang-undangan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang secara tergesa-
gesa, bahkan terkesan dipaksakan sehingga substansinya tidak dapat menjadi
23 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
sarana penegakan keadilan yang sesungguhnya. Bahkan makin banyak juga
oknum yang merasa tidak bersalah dan tidak bertanggungjawab atas segala
perbuatannya, meskipun perbuatan tersebut secara nyata merugikan negara dan
kepentingan rakyat.
E. Arti Penting Good Governance dalam Penyelenggaraan Negara
Konsep Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (good governance)
pertama kali muncul di Parlemen Belanda pada bulan April 1950 yang
dikemukakan oleh De‟Monchy selaku anggota Parlemen Belanda. Menurutnya
dipandang perlu segera diadakan perlindungan hukum bagi para warga terhadap
tindakan-tindakan administrasi negara.
De Monchy menuturkan bahwa untuk terlaksananya pemerintahan yang
bersih, maka para penyelenggara administrasi tidak cukup hanya berpegang pada
aturan normatif undang-undang. Mereka juga harus berpedoman pada asas-asas
umum pemerintahan yang baik. Asas-asas tersebut sebagai peningkatan
perlindungan hukum bagi warganegara.
Secara faktual gagasan De Monchy diakui dan diterima di Indonesia.
Pengakuan dan penerimaan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk
mewujudkan pemerintahan yang baik. Hal tersebut diatur pada UU No.28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme.
Rambu-rambu pelaksanaan asas umum pemerintahan yang baik di
Indonesia sesungguhnya terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
dimana dalam UUD‟45 terdapat sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Ini
menunjukkan adanya kewajiban pemerintah untuk memelihara budi pekerti
kemanusiaan yang luhur sesuai dengan cita-cita moral yang luhur dari rakyat.
Asas pemerintahan yang baik menuntut partisipasi, keterbukaan, pertanggung
jawaban umum dan pengawasan kepastian hukum.
Selain kewajiban pemerintah seperti telah disebutkan di atas tadi, sebagai
pemimpin masyarakat, pemerintah juga mempunyai fungsi-fungsi lain antara lain
adalah sebagai berikut:
1. Mengemudikan pemerintahan (governing)
2. Memberi petunjuk (instructing)
3. Menggerakkan potensi (actuating)
4. Memberikan arahan (directing)
5. Mengkordinasi kegiatan (coordinating)
6. Memberi kesempatan dan kemudahan (facilitating)
7. Memantau dan menilai (evaluating)
8. Melindungi (protecting)
9. Mengawasi (controling)
10. Menunjang dan mendukung (supporting)
24 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Dalam praktek kehidupan kenegaraan selama ini, paling tidak subtansi
Good Governance yang menjadi dasar bagi para administrasi pelaksana
pemerintahan telah dituangkan dalam berbagai ketentuan hukum. Misalnya:
1. Undang-Undang No.8 Tahun 1974 tentang Kepegawaian;
2. Peraturan Pemerintah No.30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil;
3. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
yang Bersih dan Bebas dan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme;
4. Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan
Kekayaan Penyelenggaraan Negara;
5. Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara; dan
6. Peraturan Pemerintah Nomor 198 Tahun 2000 tentang Pembinaan Pegawai
Negeri Sipil dan Pejabat Struktural / Fungsional.
Asas umum pemerintahan yang baik merupakan rambu-rambu bagi para
penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya, rambu-rambu tersebut
diperlukan agar tindakan-tindakannya tetap sesuai dengan tujuan hukum yang
sesungguhnya. Pada negara hukum yang tindakan pemerintahannya sedemikian
menonjol seperti di Indonesia, maka kesewenang-wenangan cenderung menonjol.
Kebebasan diberikan dalam rangka melaksanakan tugas kesejahteraan
umum. Bentuknya adalah kebebasan untuk mengambil tindakan yang tepat, cepat
serta berfaedah dalam keadaan mendesak terhadap sesuatu yang belum diatur oleh
hukum, namun tindakan tersebut harus sesuai dalam bingkai hukum. Di kalangan
ahli hukum Indonesia hal ini lebih dikenal dengan istilah Freies Ermessen.
Fungsi freies ermessen adalah agar administrasi negara sebagai aparat
penyelenggara negara dapat menilai dan menentukan apa yang inkonkrets.
Kebebasan yang dimaksud adalah bebas menetukan apa yang harus dilakukan,
dengan ukuran apa wewenang itu digunakan, kapan tindakan dilakukan dan
bagaimana caranya wewenang itu digunakan. Jadi hakikatnya adalah kebebasan
untuk bertindak demi kepentingan yang lebih besar tetapi sesuai dengan bingkai
hukum. Menentukan apa, kapan, di mana dan bagaiamana caranya, disinilah
diperlukan adanya Asas Umum Pemerintahan yang Baik (Good Governance).
Sejak tumbangnya rezim Orde Baru dan digantikan dengan
gerakan reformasi, istilah good governance begitu popular. Hampir di setiap event
atau peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan, istilah ini tak
pernah ketinggalan. Bahkan dalam pidato-pidato, pejabat negara sering mengutip
kata-kata di atas. Pendeknya good governance telah menjadi wacana yang kian
popular di tengah masyarakat.
Meskipun kata good governance sering disebut pada berbagai event dan
peristiwa oleh berbagai kalangan, pengertian good governance bisa berlainan
antara satu dengan yang lain. Ada sebagian kalangan mengartikan good
25 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu
negara, perusahaan atau organisasi masyarakat yang memenuhi prasyarat-
prasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan good governance
sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic
culture sebagai penopang sustanaibilitas demokrasi itu sendiri.
Masih banyak lagi „tafsir‟ Good Governance yang diberikan oleh berbagai
pihak. Seperti yang didefinisikan oleh World Bank sebagai berikut: Good
Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid
dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang
efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik
secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta
penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Namun untuk ringkasnya Good Governance pada umumnya diartikan
sebagai “Pengelolaan pemerintahan yang baik”. Kata „baik‟ disini
dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-
prinsip dasar good governance.
Adapun prinsip-prinsip dasar atau Asas-asas Umum Pemerintahan yang
Baik yang dikenal di Indonesia antara lain:
1. Asas Kecermatan Formal.
2. Asas Fair Play.
3. Asas Pertimbangan.
4. Asas Kepastian Hukum Formal.
5. Asas Kepastian Hukum Material.
6. Asas Kepercayaan atau Asas Harapan-harapan yang Telah Ditimbulkan.
7. Asas Persamaan.
8. Asas Keseimbangan.
F. Eksistensi Good Governance Dalam Hukum Administrasi Negara
Konsep pemerintahan yang baik (Good Governance) pada dasarnya
bertumpu pada dua landasan utama yaitu Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara. Konsep pemerintahan yang baik dalam makna pemerintahan
akan mengikat pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean
governance). Terselenggaranya kepemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa
(clean and good governance) menjadi harapan bagi setiap bangsa.
Aparat administrasi dan para pelaksana hukum memerlukan sebuah
keberanian dan kemauan untuk menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang
baik sebagai upaya menemukan keadilan yang sesungguhnya. Langkah-langkah
tersebut menjadi pra-syarat terwujudnya pemerintahan yang baik (good
governance).
Penciptaan hukum yang akomodatif dan rasional adalah sarana
mewujudkan pemerintahan yang berwibawa. Signifikasi tiga komponen hukum
26 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
seperti yang dikemukakan Lawrence M. Friedman, yaitu legal subtance, legal
structure dan legal culture, menjadi pra-syarat terwujudnya good governance.
Terwujudnya pemerintahan yang baik adalah manakala terdapat sebuah
sinergi antara swasta, rakyat dan pemerintah sebagai fasilitator yang dilaksanakan
secara transparan, partisipatif, akuntabel dan demokratis. Tidak efektifnya
pemerintah merealisasikan konsep pemerintahan yang baik dalam bentuk norma
menjadi salah satu kendala. Gejala korupsi, kolusi dan nepotisme yang lebih
terbuka dan meluas mempersulit penerapan konsep pemerintahan yang baik.
Di era otonomi dewasa ini yang ditonjolkan bukan kesejahteraan rakyat
tetapi justru kepentingan politik, sehingga kepercayaan seakan-akan menjadi
barang langka. Bahkan, keteladanan semakin sulit ditemukan dalam praktek
pemerintahan. Dalam melaksanakan tugas pelayanannya kepada masyarakat,
pemerintah dibatasi oleh luas jangkauan dan wewenangnya, sebagaimana
ditetapkan dalam ketentuan undang-undang yng berlaku.
Dalam berbagai ketentuan perundang-undangan di samping mengatur
wewenang normatif, para penyelenggara negara diberi wewenang bebas. Namun
dalam prakteknya seringkali wewenang bebas tersebut dimanfaatkan secara
berlebihan.
Sosok aparatur negara yang berperan sebagai abdi masyarakat dalam
mewujudkan good governance dapat dimulai dari dirinya, sebagai individu yang
telah membulatkan tekad melalui “Saptaprasetya” Korpri menciptakan negara dan
sekaligus mendirikan peradaban. Dengan posisi dan perannya maka aparatur
negara adalah individu-individu yang memiliki kemauan yang keras, akhlak yang
lurus, dan kehidupan mereka terbebaskan dari penyakit kejiwaan maupun fisik
yang berbahaya.
Jika good governance lebih diartikan sebagai pembatasan kebebasan dan
kekuasaan pemerintah yang dipengaruhi mekanisme pasar maka akan
memperjelas peran swasta. Building productive partnership between goverment
and business semua ini berarti mendorong perubahan melalui pasar. Atau dengan
adanya kecenderungan global yang kuat pada saat ini ialah globalisasi ekonomi,
ditandai dengan liberalisasi perdagangan dan investasi pasar bebas. Upaya ini
mengacu pada keunggulan komperatif dan kompetitif dengan peningkatan
efisiensi ekonomi dan economi of scale dan memanfaatkan kemajuan teknologi.
G. Peran Aparatur Negara Dalam Mewujudkan Good Governance
Banyak orang memahami good governance dalam konteks yang berbeda.
Dengan banyaknya perspektif yang berbeda dalam menjelaskan konsep good
governance maka tidak mengherankan jika kemudian terdapat banyak
pemahaman yang berbeda-beda mengenai good governance. Namun secara umum
ada beberapa karakteristik dan nilai yang melekat dalam praktek good
governance. Pertama, praktek good governance harus memberi ruang kepada
aktor lembaga non pemerintah untuk berperan serta secara optimal dalam kegiatan
27 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
pemerintahan, sehingga memungkinkan adanya sinergi di antara lembaga
pemerintahan dengan masyarakat sipil dan mekanisme pasar. Kedua, dalam
praktek good governance terkandung nilai-nilai yang membuat pemerintah dapat
lebih efektif bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Nilai-nilai seperti
efisiensi, keadilan, dan daya tanggap menjadi nilai yang penting. Ketiga, praktek
good governance adalah praktek pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktek
KKN serta berorientasi pada kepentingan public. Karena itu, praktek
pemerintahan dinilai baik jika mampu mewujudkan transparansi, penegakan
hukum, dan akuntabilitas publik.
Transparansi lebih mengarah pada kejelasan mekanisme formulasi dan
implementasi kebijakan, program, dan proyek yang dibuat dan dilaksanakan
pemerintah. Pemerintah yang baik adalah pemerintahan yang bersifat transparan
terhadap rakyatnya, baik di tingkat pusat maupun daerah. Rakyat secara pribadi
dapat mengetahui secara jelas dan tanpa ada yang ditutup-tutupi tentang proses
perumusan kebijakan publik dan implementasinya. Dengan kata lain segala
kebijakan dan implementasi kebijakan baik di tingkat pusat mapun di tingkat
daerah harus selalu dilaksanakan secara terbuka dan diketahui umum.
Penegakan hukum lebih mengarah kepada adanya jaminan kepastian
hukum. Setiap kebijakan publik dan peraturan perundangan harus selalu
dirumuskan, ditetapkan dan dilaksanakan berdasarkan prosedur baku yang telah
melembaga dan diketahui oleh masyarakat umum, serta memiliki kesempatan
untuk mengevaluasinya. Pemerintah dalam hal ini aparat pemerintah, harus
mampu mempertanggungjawabkan segala sikap, perilaku dan kebijakan yang
dibuat secara politik, hukum, maupun ekonomi dan diinformasikan secara terbuka
kepada publik, serta membuka kesempatan kepada publik untuk melakukan
pengawasan dan jika dalam prakteknya telah merugikan kepentingan rakyat maka
pemerintah harus mampu mempertanggungjawabkan dan menerima tuntutan
hukum atas tindakan tersebut.
Akuntabilitas publik lebih mengarah kepada pertanggungjawaban aparat
pemerintah kepada masyarakat umum. Karena segala sesuatunya akan dapat
dituntut pertanggungjawaban oleh masyarakat, maka dalam menjalankan tugas-
tugas yang diembannya, aparat pemerintah haruslah dapat bertindak secara
profesional, mandiri dan bertanggungjawab. Apabila melakukan kesalahan bukan
kemudian mencuci tangan ataupun mencari kambing hitam.
Adapun yang harus dilakukan aparat pemerintahan dalam mewujudkan
good governance, setidaknya adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah atau aparat pemerintah diharapkan dapat berfungsi dengan
baik sesuai dengan desk job yang sudah ditentukan, dan tidak
memboroskan uang rakyat yang terkumpul melalui sistim perpajakan.
2. Pemerintah atau aparat pemerintah harus dapat menjalankan fungsinya
berdasarkan norma-norma standar etika dan moralitas pemerintahan yang
berkeadilan.
28 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
3. Pemerintah atau aparat pemerintah harus mampu menghormati legitimasi
konvensi konstitusional yang mencerminkan kedaulatan rakyat
(demokrasi)
4. Pemerintah atau aparat pemerintah harus memiliki daya tanggap terhadap
berbagai variasi yang berkembang dalam masyarakat, serta bersikap
positip atas pertanyaan masyarakat mengenai berbagai kebijakan yang
dijalankan.
Salah satu kunci keberhasilan penerapan good governance adalah terletak
pada peran aparat negara atau pemerintah atau aparat itu sendiri. Di antara tugas
terpenting Negara pada masa depan yang diciptakan oleh lingkungan politik
adalah mewujudkan pembangunan manusia yang berkelanjutan (suistainable
human development) dengan meredifinisi peran pemerintah dalam
mengintegrasikan sosial, ekonomi dan melindungi lingkungan, menciptakan
komitmen politik mengenai restrukturisasi ekonomi ekonomi, sosial, dan politik,
menyediakan infrastruktur, desentralisasi dan demokrasi pemerintah, memperkuat
financial dan kapasitas administrative pemerintah lokal, kota dan metropolitan.
Otoritas terhadap berbagai urusan pemerintahan yang didesentralisasikan
kepada pemerintah daerah lebih banyak jumlahnya daripada yang diatur oleh
pemerintah pusat. Alasan utama pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 adalah untuk menjalankan prinsip demokrasi, meningkatkan peran serta
masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah melalui pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan
bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional.
Kemudian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 lebih menekankan
pemberian kewenangan seluas-luasnya agar daerah memiliki kewenangan
membuat kebijakan untuk pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan
pemberdayaan, dengan mengutamakan kesejahteraan masyarakat di daerah.
Dalam menjalankan sistem pemerintahan yang desentralistis ini pemerintah
daerah diserahi otoritas untuk menjalankan berbagai urusan. Pemerintah daerah
dapat melakukan perencanaan dan pengendalian pembangunan, pemanfaatan dan
pengawasan tata ruang, penyelenggaraan ketertiban umum. Pemerintah daerah
juga menangani bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, penanggulangan
masalah sosial, pelayanan bidang ketenagakerjaan, fasilitas pengembangan
ketenagakerjaan, pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah,
pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanian kependudukan dan catatan
sipil, pelayanan administrasi umum pemerintahan, pelayanan administrasi
penanaman modal, pelayanan-pelayanan dasar lainnya, dan urusan wajib lainnya
yang diamanatkan oleh peraturan perundangan. Smentara pemerintah pusat hanya
menangani bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan
fiskal nasional, dan agama.
29 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Implementasi NPM dapat dilihat juga dari kewajiban melakukan penilaian
kinerja pemerintah daerah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 108 Tahun
2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, PP Nomor 105
Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dan
kemudian dilanjutkan dengan PP Nomor 56 Tahun 2002 tentang Laporan Kinerja
Penyelenggara Pemerintah Daerah dan PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang
Rencana Kerja Pemerintah.
Selain itu, implementasi NPM dapat dilihat dengan diberlakukannya peraturan
perundangan tentang privatisasi seperti Kepres Nomor 122 Tahun 2001 tentang
Tim Kebijakan Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tujuannya untuk
meningkatkan kinerja BUMN yang meliputi perbaikan struktur permodalan,
meningkatkan profesionalisme dan efisiensi usaha, perubahan budaya perusahaan,
memperluas partisipasi masyarakat dalam kepemilikan saham BUMN serta
penciptaan nilai tambah perusahaan melalui penerapan prinsip good corporate
governance yang didasarkan pada transparansi , akuntabilitas, dan kemandirian
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Jimly Asshiddiqie, 1994, “Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia”, Cetakan Pertama, PT Ictiar Baru Van
Hoeve, Jakarta.
________________, 2006, “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia”,
Cet.Ketiga, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta.
________________, 2006, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga
Negara Pasca Reformasi”, Cetakan Pertama, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.
________________, 2007, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Reformasi”, Cetakan Pertama, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Kuntjoro Purbopranoto, 1981, “Perkembangan Hukum Administrasi
Indonesia”, Cetakan Pertama, Angkasa Offset, Bandung.
Mahfud MD, 2007, “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi”, Cet.Pertama, LP3ES, Jakarta.
Philipus M. Haddjon & dkk, 1994, “Pengantar Hukum Administrasi Negara
(Introduction to the Indonesian Administrative Law)”, Cetakan Ketiga,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Prayudi Atmosudirdjo, 1983, “Hukum Administrasi Negara”, Cetakan
Keenam, Ghalia Indonesia, Jakarta.
30 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Ranadireksa, Hendarmin, 2002, “Visi Politik Amandemen UUD 1945
Menuju Konstitusi yang Berkedaulatan Rakyat”, Cetakan Pertama,
Pancur Siwah, Jakarta.
Wiratno, 2010, “Hukum Administrasi Negara”, Cetakan Kedua, Trisakty
University Press, Jakarta.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UUD 1945, 2002, “Amandemen Pertama, Ke Dua, Ke Tiga dan Ke Empat”,
Citra Umbara, Bandung.
UU Nomor 5 Tahun 1986, tentang Peradilan Tata Usaha Negara, internet,
http:www.legalitas.org.
UU Nomor 43 Tahun 1999, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Sinar Grafika,
Jakarta. Peradilan Tata Usaha Negara, internet, http:www.legalitas.org.
UU Nomor 9 Tahun 2004, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, internet,
http:www.legalitas.org.
UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, Penerbit “Forum
Indonesia Maju, Jakarta.
31 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Efektifitas Penerapan Tarif Parkir Di Medan Sesuai Dengan Perda Parkir
Nomor 10 Tahun 2011
Muya Syaroh Iwanda Lubis
(Fisip Univ.Dharmawangsa Medan)
Abstrak
Sistem parkir konvensional yang dikelola oleh beberapa perusahaan, saat ini
memiliki kelebihan dan kekurangan dalam hal ketertiban dan keamanan.
Teknologi komputer (terutama perangkat lunak) saat ini dapat diaplikasikan
sebagai sistem yang sangat membantu dalam membuat suatu sistem perparkiran,
terutama dalam hal pembuatan program untuk sistem parker yang aman dan tertib.
Sistem berbasis cerdas merupakan salah satu bidang ilmu komputer yang dapat
mengimplementasikan sistem parker ini dalam bentuk program komputer. Sistem
berbasis cerdas mendasarkan proses program secara cerdas (intelligence) atau
dalam bidang ilmu komputer disebut kecerdasan buatan.
Kecerdasan buatan adalah proses belajar bagaimana membuat komputer dapat
melakukan suatu pekerjaan seperti layaknya manusia bekerja atau berpikir.
Definisi ini menunjukkan bahwa konsep proses berpikir manusia merupakan
bagian penting dalam pemrograman sistem berbasis cerdas.
Kata Kunci : Efektifitas, Tarif Parkir
A. Pendahuluan
Panitia Khusus (Pansus) Perparkiran DPRD Medan meminta Dinas
Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Medan agar tegas menangani permasalahan
penerapan tarif parkir yang tidak sesuai dengan peraturan daerah (Perda) Parkir
Nomor 10 tahun 2011, termasuk perbedaan tarif yang diberlakukan. Dampak dari
pengutipan tersebut, banyak masyarakat yang mengeluhkan aturan tersebut.
“Makanya, kami mendorong Dispenda tegas terhadap seluruh pengelola
parkir progresif guna membahas revisi Perda, sekaligus menetapkan tarif parkir
yang tidak memberatkan masyarakat,” kata Ketua Pansus Perparkiran Herry
Zulkarnain, Selasa (1/3), usai pembahasan revisi Perda Parkir di ruang Banggar
DPRD Medan, bersama pengelola parkir dan Dispenda Kota Medan.
Herry mengatakan, pada Perda lama tarif satu jam parkir pertama, khusus
roda empat (mobil) senilai Rp2.000. Satu jam berikutnya naik Rp1.000, sampai
batas maksimal lima jam. Untuk roda dua persatu jam pertama tetap Rp1.000, dan
kelipatan Rp1.000 untuk jam berikutnya sampai maksimal lima jam.
“Tapi fakta di lapangan, mereka menetapkan tarif sesuka hati. Karena
itulah kita panggil untuk dibahas dan menetapkan Perda Parkir Progresif ini agar
menjadi acuan ke depan,” katanya. Ketua Fraksi Partai Demokrat ini
menambahkan, setiap pembuatan Perda menelan biaya hingga Rp200 juta.
Dengan begitu, harus dibahas dengan serius dan tidak merugikan pihak
mana pun. Sebab anggarannya diambil dari uang rakyat. Sementara untuk sanksi
32 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
yang diterapkan kepada pengelola bila melanggar aturan, adalah pencabutan izin.
Pemko Medan dalam hal ini Dinas Pendapatan (Dispenda) Kota Medan harus
tegas.
“Tadi kita sepakat harus dibuat plang besaran tarif sesuai aturan agar
masyarakat tahu,” jelas anggota Komisi A ini. Pihaknya mengaku akan
melakukan sidak ke lapangan, melihat apakah sebelum Perda berjalan ada
permainan yang terjadi, sehingga bisa diakomodir untuk merevisi Perda tersebut.
“Jadi sebelum ada aturan baru, diimbau pengelola parkir menerapkan Perda lama.
Kita minta Pemko mencabut izin pengelola atau manajemen yang memberi tarif
sesuka hati,” katanya.
Apalagi, sambung Herry, PAD dari sektor ini cukup tinggi. Namun karena
Perda revisi dijalankan secara sepihak sehingga potensi PAD tidak tergali
maksimal. “Mereka kita kumpulkan hari ini agar tidak merevisi sendiri aturan
yang kita tetapkan. Berapa kebocoran akibat itu silahkan kawan-kawan tanya ke
Dispenda, sebab revisi ini dilakukan karena penerapan Perda lama tidak
dijalankan maksimal,” tukasnya.
Sementara, Kadispenda Kota Medan M Husni mengaku, pengutipan yang
diterapkan kepada pengelola parkir progresif berdasarkan omset satu bulan dikali
25 persen. “Itulah yang kita kutip. Dari sisi target PAD, tercapai. Hanya saja
pengelola tidak mampu menggunakan Perda lama, karena tingginya biaya
perawatan. Makanya kita panggil mereka untuk menemukan solusi yang tidak
memberatkan masing-masing pihak. Untuk sanksi, belum ada tindakan tegas.
Sebab Pemko Medan masih menggunakan azas kepatuhan,” papar Husni.
Pihaknya, diakui Husni, sudah berulangkali melayangkan imbauan kepada
seluruh pengelola parkir agar menerapkan tarif sesuai Perda. “Tetapi dengan
alasan klasik, maintenence tinggi, biaya sewa dan sebagainya, mereka tidak
mampu break even point (BEP) dalam pengelolaan.
Namun dalam penerapan pajak, kita berlakukan berdasar omset ditarik 25
persen, dari total omset sebulan. Potensi PAD target yang dibebankan ke
Dispenda masih bisa tercapai. Tetapi dengan menggunakan Perda lama itu berat
karena mereka sendiri tidak mampu mengelola,”sebut Husni.
Pihaknya optimis bahwa target mereka tahun ini meningkat dari
sebelumnya, yakni Rp16 miliar. “Tahun lalu target kita Rp13 miliar dan itu
tercapai, bahkan over. Makanya tahun ini kita naikkan lagi,” ungkapnya.
Selain imbauan, Husni mengakui ada kelemahan dari Perda sebelumnya.
Menurut dia, sebenarnya ada dua aspek pendekatan dalam menerapkan regulasi
yang ada. Di mana pemerintah harus memberi stimulus kepada pengusaha.
“Kemudian ada namanya analisis pasar, bagaimana mereka mengelola.
Sudah dari 2013 ini kita ajukan. Nah, setelah dianalisis menurut aturan pe-
merintah, kemudian tidak sesuai dengan penerapan di lapangan, boleh saja ada
sanksi. Perda lama belum ada sanksi, makanya ini termasuk yang mau dibenahi.
Sedangkan fungsi izin ada di SKPD lain. Kalau hemat saya pajak itu sebuah
33 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
proses transaksi, kalau dia pungut berarti harus ada yang disetor ke pemerintah,”
jelasnya.
Dispenda mengimbau kepada para pengelola yang belum mendaftar untuk
mendaftarkan wajib pajak. Karena di dalam aturan harus bekerjasama dengan
pihak ketiga. Husni juga menyadari pendekatan yang dilakukan pihaknya
berdasarkan azas kepatutan dan kepatuhan,” katanya didampingi Kasi Penagihan
dan Perhitungan, Sutan Partahi.
Sutan menambahkan, terdapat 45 lebih wajib pajak (WP) yang terdata oleh
pihaknya. Diantara pengelola parkir yang berada dibawah naungan Dispenda,
Carefour Plaza dan Sun Plaza menempati peringkat teratas dalam hal besaran
pajak yang dikutip.
“Kalau Sun Plaza itu sekitar Rp250 juta perbulan, dimana kita perkirakan
omset mereka perbulan dari parkir senilai Rp1,1 miliar. Padahal dari 2011 lalu,
mereka hanya mampu memperoleh Rp110 juta. Sedangkan Carefour Rp260 juta,
dimana sejak tahun 2011 mampu mengumpulkan Rp90 juta perbulan. Jadi dari
total itu kami ambil 25 persen untuk pajak parkir progresif mereka,” jelasnya.
Sedangkan, anggota Pansus Parkir Godfried Lubis menegaskan diperlukan
sanksi yang tercantum dalam revisi Perda yang akan dibuat. Disamping itu
Godfried mengaku keberatan soal pernyataan pihak Dispenda dan bagian hukum
Pemko Medan, yang mengaku tidak perlu izin-izin terlebih dahulu, asal pajak bisa
tergali.
“Menurut saya, justru jangan dikasih NPWPD (Nomor Pokok Wajib Pajak
Daerah) sebelum izin diterbitkan. Seperti di kawasan Asia Mega Mas contohnya.
Harus ke mana kita bayar pajak parkir karena itu merupakan Fasum (fasilitas
umum),” katanya.
Menurut politisi Gerindra ini, hal tersebut harus dikoordinasikan
sebelumnya ke Pemko Medan. Sehingga pajak parkir dari kawasan tersebut bisa
menjadi PAD bagi Kota Medan. Dirinya juga menyadari kelemahan Perda yang
lama, dimana tidak ada sanksi yang mengatur bagi pelanggar aturan.
Untuk itu, dalam revisi perda parkir yang baru nanti, mana-mana yang
belum terakomodir bisa masuk dan diterapkan dengan maksimal. “Kemudian
Pemko juga harus menertibkan pengutipan tempat parkir di kantor-kantor
pemerintahan, yang kita lihat banyak terjadi. Itu bisa kita sebut dengan pungli,
karena sesuai aturan tidak diperbolehkan ada retribusi,” katanya.
Penurunan Tarif Parkir Sementara itu, Suryanti mewakili Asosiasi
Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Sumatera Utara sangat berharap
adanya penurunan tarif parkir. Karena, kebijakan penarikan tarif hingga 25 persen
oleh Pemerintah Kota (Pemko) Medan dinilai sangat memberatkan.
“Memang gak ada masalah dengan rencana revisi Perda Perparkiran ini.
Cuma harapan kami supaya tarif pajak diturunkan, jangan tinggi,”ujar Suryanti
usai pembahasan Pansus Perparkiran yang banyak melibatkan pengelola parkir di
pusat perbelanjaan.
34 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
B. Sistem Pengaturan Parkir
Saat ini jumlah kendaraan di kota besar seperti Medan, perkembangannya
memiliki grafik yang terus naik, yang memiliki arti bahwa jumlah kendaraan
semakin banyak. Semakin bertambahnya jumlah kendaraan tersebut, memiliki
implikasi terhadap kebutuhan parkir di tempat-tempat umum seperti di kantor,
pusat perbelanjaan, sekolah, kampus, tempat rekreasi, dan tempat-tempat umum
lainnya yang memiliki area parkir yang cukup luas.
Sistem parkir konvensional yang dikelola oleh beberapa perusahaan, saat
ini memiliki kelebihan dan kekurangan dalam hal ketertiban dan keamanan.
Teknologi komputer (terutama perangkat lunak) saat ini dapat diaplikasikan
sebagai sistem yang sangat membantu dalam membuat suatu sistem perparkiran,
terutama dalam hal pembuatan program untuk sistem parker yang aman dan tertib.
Sistem berbasis cerdas merupakan salah satu bidang ilmu komputer yang
dapat mengimplementasikan sistem parker ini dalam bentuk program komputer.
Sistem berbasis cerdas mendasarkan proses program secara cerdas (intelligence)
atau dalam bidang ilmu komputer disebut kecerdasan buatan.
Kecerdasan buatan adalah proses belajar bagaimana membuat komputer
dapat melakukan suatu pekerjaan seperti layaknya manusia bekerja atau berpikir.
Definisi ini menunjukkan bahwa konsep proses berpikir manusia merupakan
bagian penting dalam pemrograman sistem berbasis cerdas.
Tujuan utama pemrograman berbasis cerdas adalah membuat komputer
lebih cerdas dengan merancang program yang mampu
melakukan suatu kerja atau fungsi berdasarkan pola kerja otak manusia dalam
melakukan tindakan. Maka tenaga manusia akan berperan minimal disebabkan
sistem ini yang berperan lebih banyak secara otomatis.
Pada sistem parkir ini ditekankan kepada tertibnya kendaraan-kendaraan di
area parkir dan juga tingkat keamanan yang cukup baik. Simulasi dimulai dari
masuknya kendaraan, lalu kendaraan tersebut mengambil karcis parkir. Karena
ada beberapa parkir yang tersedia, maka karcis yang dicetak tercantum alamat
parkir yang tersedia tersebut. Lalu kendaraan tersebut tidak menempati alamat
parkir yang tercantum pada karcis parkir, maka indikator berupa alarm berbunyi.
Tetapi jika kendaraan tersebut parkir pada alamat yang tercantum pada
karcis parkir, maka alarm tidak berbunyi. Kemudian setelah mobil parkir di
alamat yang tepat, terdapat indikator berupa portal kecil yang otomatis tertutup di
alamat parkir tersebut. Kondisi di atas adalah jika parker tidak penuh. Sedangkan
jika kondisi di area parkir penuh, maka karcis tercetak tanpa tercantum alamat
parkir yang kosong.
Tetapi karena kendaraan tersebut sudah mengambil karcis, maka data
kendaraan tersebut akan masuk ke database yang akan disusun berdasarkan waktu
kedatangan. Memang, jika parker belum ada yang tersedia, kendaraan tersebut
harus menunggu dengan berputar di area parkir. Setelah beberapa saat berputar di
35 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
area parkir, maka terdapat parkir kosong di suatu alamat, maka kendaraan yang
menunggu lebih lama yang dapat menempati parkir tersebut.
Akan ada pemberitahuan dengan voice yang ditujukan untuk kendaraan
tersebut. Pemberitahuan tersebut adalah informasi alamat parkir yang dapat
ditempati kendaraan yang menunggu paling lama. Setelah parkir di tempat yang
sesuai dengan yang telah diberitahukan di speaker, maka mobil parkir dengan
keadaan portal kecil yang tertutup. Pada keadaan yang sekarang, banyak mobil
yang harus berputar di area parker karena tidak diketahuinya alamat parker yang
kosong dan kalau pun ada yan
C. Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah "suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling
berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-
bidang yang menyangkut tugas pemerintah". Dunn (dalam Syafiie, 2006:106).
Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa kebijakan adalah "tindakan
yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seorang, kelompok atau
pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-
hambatan tertentu mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau
mewujudkan sasaran yang diinginkan". Friedrich (dalam wahab, 2008:3).
Dari teori-teori di atas maka dapat disimpulkan kebijakan publik adalah
pilihan-pilihan atau keputusan-keputusan yang dibuat pemerintah yang dilakukan
atau tidak dilakukan untuk menjalankan tugas pemerintah dengan tujuan tertentu.
Berdasarkan pengelompokannya, maka kebijakan yang diteliti dalam skripsi ini
termasuk kedalam kebijakan publik bersifat makro karena berdasarkan peraturan
yang bersifat umum.
D. Pengertian Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi adalah pelaksanaan keputusan dasar, biasanya dalam bentuk
Undang-Undang, Perpres, Keppres, Permen, Kepmen maupun Perda namun dapat
pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan dari Kepala Daerah
atau Kepala Dinas yang penting. Mazmanian dan Sabatier (dalam Widodo
2009:88). Selain itu pendapat lain mengatakan bahwa implementasi adalah apa
yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas
program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata
(tangible output). Ripley dan Franklin (dalam Winarno, 2012:148)
Definisi dari pendapat lain mengatakan bahwa implementasi kebijakan,
merupakan tindakan yang dilakukan baik oleh individu atau pejabat-pejabat atau
kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan untuk tercapainya
tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Meter dan Horn (dalam
Nawawi, 2009:131)..
E. Pengertian Pengelolaan
Pengelolaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,
(2007:534) adalah proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan
36 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
tenaga orang lain. Pengelolaan berhubungan dengan manajemen, menurut George
R. Terry & Leslie W. Rue (2005:1) manajemen adalah suatu kegiatan,
pelaksanaannya adalah “managing”(pengelolaan), sedangkan pelaksananya
disebut manager atau pengelola.
F. Penelolaan Parkir
Pengelolaan parkir diatur dalam Peraturan Daerah tentang Parkir agar
mempunyai kekuatan hukum dan diwujudkan rambu larangan, rambu petunjuk
dan informasi. Untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan
yang diterapkan dalam pengendalian parkir perlu diambil langkah yang tegas
dalam menindak para pelanggar kebijakan parkir. Kebijakan parkir dapat dibagi
atas dua kebijakan yaitu kebijakan tarif sebagai salah satu kebijakan fiskal serta
kebijakan pembatasan ketersediaan ruang parkir. Adapun sasaran utama dari
kebijakan parkir sebagai bagian dari kebijakan transportasi adalah sebagai berikut;
1. Untuk mengendalikan jumlah kendaraan yang masuk ke suatu kawasan,
2. Miningkatkan pendapatan asli daerah yang dikumpulkan melalui rertribusi
parkir,
3. Meningkatkan fungsi jalan sehingga sesuai dengan peranannya,
4. Meningkatkan kelancaran dan keselamatan lalu lintas,
5. Mendukung tindakan pembatasan lalu lintas lainnya.
32. Definisi dan Dasar Hukum Parkir
Definisi parkir itu sendiri menurut Peraturan Walikota Samarinda Nomor 03
Tahun 2010 adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat
sementara. Parkir berbeda dengan stop ataupun berhenti. Berhenti adalah sebagian
keadaan tidak bergerak suatu kendaraan untuk sementara dengan pengemudi tidak
tidak meninggalkan kendaraannya.
Adapun dasar hukum pelaksanaan Peraturan Walikota Samarinda Nomor
03 Tahun 2010 sebagai berikut ;
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 96,Tambahan Lembaran
Negara RI Nomor 50225).
2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Prasarana dan Lalu
Lintas Jalan (LembaranNegara RI Tahun 1993 Nomor 64, Tambahan Lembran
Negara RI Nomor 3529)
3. Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor 66 Tahun 1993 Tentang Fasilitas
Parkir Umum.
Penyelenggaraan Parkir
Bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kepemilikan kendaraan
menambah permintaan akan ruang jalan untuk kegiatan dan kelancaran lalu lintas.
Fasilitas parkir dapat berfungsi sebagai salah satu alat pengendali lalu lintas.
Fasilitas parkir untuk umum seperti ini antara lain dapat berupa gedung parkir dan
37 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
taman parkir dan tidak termasuk dalam pengertian ini adalah fasilitas parkir yang
merupakan penunjang dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan oleh kegiatan
pokok dari gedung-gedung perkantoran, pertokoan, dan lain sebagainya.
Sasaran Penyelenggaraan Parkir
Sasaran utama dari kebijakan parkir sebagai bagian dari kebijakan transportasi
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengendalikan jumlah kendaraan yang masuk kesuatu wilayah atau
kawasan .
2. Untuk meningkatkan pendapatan asli daerah yang di kumpulkan melalui
retribusi parkir.
3. Meningkatkan fungsi jalan sehingga sesuai dengan perannya.
4. Meningkatkan kelancaran dan keselamatan lalu lintas.
5. Mendukung tindakan pembatasan lalu lintas lainnya.
Kewenangan Penyelenggaraan Parkir
Peraturan Walikota Samarinda Nomor 03 Tahun 2010 tentang mekanisme
dan pengaturan parkir di tepi jalan umum pada BAB II pasal 3 menyatakan bahwa
pengeloaan parkir di tepi jalan umum yang dilaksanakan Dinas Perhubungan Kota
Samarinda dapat di kerjasamakan dengan cara :
1. Bekerjasama dengan Dinas Pendapatan Provinsi Kalimantan Timur (UPTD
Wilayah Samarinda) dan Kepolisian Kota Besar Kota Samarinda.
2. Melalui mekanisme tender atau lelang.
3. Melalui penunjukan langsung.
Penetapan Lokasi Parkir
Penetapan lokasi fasilitas parkir untuk umum di lakukan oleh Mentri.
Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas untuk umum dilakukan dengan
memperhatikan
1. Rencana umum tata ruang.
2. Keselamatan dan kelancaran lalu lintas.
3. Kelestarian lingkungan.
4. Kemudahan bagi pengguna jasa.
Pembayaran Parkir Ditepi Jalan Umum
Adapun beberapa tata cara pembayaran yang dilaksanakan oleh UPTD
Dinas Perhubungan pada Peraturan Walikota Samarinda Nomor 03 Tahun 2010
pada pasal 19 yaitu sebagai berikut :
1. Semua retribusi wajib di bayar langsung oleh pengelolah parkir kepada
pemegang kas/pembantu pemegang kas pada Dinas Perhubungan Kota
Samarinda atau melalui UPTD pengelolaan Parkir.
38 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
2. Pada setiap penerimaan retribusi, pemegang kas/pembantu pemegang kas
memberikan bukti penerimaan berupa kuitansi.
3. Atas hasil penerimaan retribusi tersebut maka pemegang kas/pembantu
pemegang kas angsung menyetorkan kepada Kas Daerah lewat Bank
KalTim dengan waktu 1x 24 jam dengan menggunakan blangko bukti setor.
Definisi Konsepsional
Definisi Konsepsional adalah suatu deretan kata-kata yang dapat
menggambarkan suatu peristiwa yang ada pada penelitian ilmiah. Sesuai dengan
teori-teori yang di sebutkan, maka berdasarkan judul penelitian Implementasi
Perhubungan Kota Samarinda adalah suatu proses pelaksanaan kegiatan yang
terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan atau
pengendalian yang dilaksanakan oleh Dinas Perhubungan selaku UPTD
pengelolaan parkir dalam mengelola kawasan atau wilayah yang berada di
sepanjang jalan gajah mada yang bertujuan untuk mengendalikan jumlah
kendaraan yang masuk ke kawasan jalan gajah mada sehingga dapat
meningkatkan fungsi jalan gajah mada sesuai perannya dan meningkatkan
kelancaran arus lalu lintas.
Pengelolaan parkir diatur dalam Peraturan daerah tentang parkir agar
mempunyai kekuatan hukum dan diwujudkan pada rambu larangan, rambu
petunjuk dan informasi.Untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap
kebijakan yang diterapkan dalam pengendalian parkir perlu diambil langkah yang
tegas dalam menindak para pelanggar kebijakan parkir. Dasar pengaturan
mengenai parkir adalah Keputusan Menteri Perhubungan No:KM 66 tahun 1993
tentang Fasilitas parkir untuk umum dan keputusan menteri perhubungan No:KM
4 tahun 1994 tentang tata cara parkir kendaraan bermotor dijalan, serta keputusan
Dirjen Perhubungan Darat No. 272/HK.105/DRJD/96 tentang pedoman tekhnis
penyelenggaraan parkir dan Peraturan Walokota Samarinda Nomor 03 tahun
2010, tentang mekanisme dan pengaturan parkir di tepi jalan umum Kota
Samarinda serta Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa
Usaha. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat dari pembahasan berikut ini.
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 1993
tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Dinas Lalu-Lintas dan Angkutan
Jalan Daerah Tingkat I dan Dinas Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan Daerah Tingkat
II, menyatakan bahwa untuk pengelolaan dan penyelenggarakan fasilitas parkir
dibentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perparkiran pada Dinas Lalu-
Lintas dan Angkutan Jalan Daerah Tingkat II. Demikian halnya di Kota
Samarinda telah dibentuk UPTD Pengelola Parkir sebagai instansi pengelola dan
penyelenggara fasilitas parkir dibawah koordinasi Dinas Perhubungan Kota
Samarinda sebagai instansi Pembina dalam menjalankan aturan-aturan atau
kebijakan dari Pemerintah.
39 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi UPTD Pengelola parkir Dinas
Perhubungan Kota Samarinda, maka tujuan utama dari kebijakan pengelolaan
parkir adalah sebagai berikut ;
a. Untuk mengendalikan jumlah kendaraan yang masuk ke suatu kawasan,
b. Miningkatkan pendapatan asli daerah yang dikumpulkan melalui rertribusi
parkir,
c. Meningkatkan fungsi jalan sehingga sesuai dengan peranannya,
d. Meningkatkan kelancaran dan keselamatan lalu lintas,
e. Mendukung tindakan pembatasan lalu lintas lainnya.
Berdasarkan pada orientasi tersebut maka mekanisme dan proses pengelolaan
parkir di Kota Samarinda oleh UPTD Pengelola parkir Dinas Perhubungan dapat
dikolaborasi dalam beberapa tahapan sebagai berikut:
Perencanaan Pengelolaan Parkir
Perencanaan sebagai suatu proses menetapkan tujuan dan untuk memutuskan
suatu kebijakan atau program bagaimana dapat dicapai. Perencanaan pengelolaan
parkir adalah perencanaan pengelolaan parkir dimana perencanaan parkir tersebut
disusun berdasarkan fakta-fakta yang dihadapi untuk membuat gambaran-
gambaran atau rumusan-rumusan aktivitas dimasa akan datang untuk tercapainya
hasil yang diinginkan. Sehingga dalam menyusun perencanaan pengelolaan parkir
perlu adanya aspek-aspek yang mendukung dan bentuk kerja sama dengan pihak
ketiga agar dalam implementasi kebijakan dari pemerintah dapat terlaksana
dengan baik. Jalan Gajah Mada merupakan salah satu jalan yang sering dihadapi
oleh permasalahan tentang lalu lintas yang tidak lancar akibat adanya perparkiran
yang tidak tertata dengan baik.
Salah satu penyebab kemacetan yang terjadi di jalan gajah mada karna
adanya tata cara dan pola parkir kendaraan yang salah yang tidak mengikuti
sistem dan tata tertib peraturan yang berlaku dari Dinas Perhubunganyang
dilakukan oleh juru parkir liar serta adanya aktivitas parkir kendaraan yang
melakukan bongkar muat dan parkir kendaraan angkutan umum di tengah jalan
umum untuk menurunkan dan menaikkan penumpang serta masih banyak
beberapa lahan parkir yang belum dan tidak di perhatikan oleh Dinas
Perhubungan yang merupakan titik potensial penerimaan. Dalam penentuan titik
potensial parkir tepi jalan umum gajah mada di beberapa pertokoan dan pasar
tersebut haruslah sesuai dengan aturan perundang-undangan, dimana penetapan
lokasi dan pembangunan fasilitas parkir tersebut harus memperhatikan :
a. Rencana umum tata ruang
b. Analisis dampak lalu lintas, dan
c. Kemudahan bagi pengguna jalan
Dalam menyelenggarakan fasilitas parkir di jalan gajah mada harus
dilengkapi dengan rambu lalu lintas, dan/atau marka parkir serta marka jalan.Jadi
dalam penetapan potensi kawasan parkir tepi jalan umum gajah mada tidak hanya
semata-mata berorientasi pada upaya peningkatan retribusi semata, tetapi harus
40 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
tetap memenuhi kaidah aturan perundang-undangan yang ada.Salah satu hal yang
penting dalam aspek perencanaan adalah penetapan dalam perhitungan tarif
parkir, dimana dalam prosesnya tidak hanya didasarkan atas perhitungan
pengembalian biaya investasi dan operasional, juga tidak semata-mata untuk
memperoleh keuntungan material dan/atau finansial. Penetapan tarif parkir
dilakukan untuk mengendalikan lalu-lintas melalui pengurangan pemakaian
kendaraan pribadi sehingga mengurangi kemacetan di jalan gajah mada.Melalui
penetapan tarif sedemikian rupa, untuk besaran tarif tertentu diharapkan dapat
mengurangi niat orang untuk menggunakan kendaraan pribadi. Dengan adanya
kerja sama dengan pihak Koperasi Korem yang berada di jalan gajah mada hal ini
dapat meningkatkan penerimaan retribusi parkir di jalan gajah mada dan dapat
menertibkan serta membina juru parkir liar untuk dapat bergabung dengan Dinas
Perhubungan sehingga dapat diberi bimbingan, pembinaan dan pemahaman
tentang parkir.
Pengorganisasian Pengelolaan Parkir
Pengorganisasian pengelolaan parkir di tepi jalan umum gajah mada,
dimana dalam tahapan ini menguraikan tentang proses UPTD Pengelola parkir
Dinas Perhubungan Samarinda dalam melakukan pembagian tugas/kerja, sehingga
setiap orang tahu apa kedudukannya, apa tugasnya, apa kewajibannya. Hal ini
penting, agar para implementator/pelaksana dapat mengetahui dengan jelas
mengenai tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan implementasi kebijakan
dan juga mengetahui dengan jelas dan tegas mengenai apa yang seharusnya
mereka lakukan. Ketentuan atau aturan untuk implementator suatu kebijakan
harus disampaikan pada orang yang tepat, jelas akurat, dan konsisten terhadap
ketentuan atau aturan tertentu. Jika tidak, akan terjadi salah pengertian diantara
implementator dalam mengimplementasikan suatu kebijakan, sehingga hasilnya
tidak akan sesuai dengan apa yang diharapkan. Kebingungan para pelaksana akan
memberi peluang yang besar bagi terjadinya implementasi kebijakan yang tidak
sesuai ketentuan yang dikehendaki. Demikian juga para pembuat kebijakan, dalam
mengamanatkan kebijakan kepada pelaksana tidak hanya sekedar melalui
petunjuk atau perintah semata, akan tetapi harus melakukan komunikasi dengan
para pelaksana kebijakan.
Secara umum pembagian kerja dalam struktur organisasi UPTD Pengelola
Parkir Dinas Perhubungan Kota Samarinda terbagi dalam dua aspek kegiatan
sebagai berikut :
1) Aspek administratif, yang mengurus hal-hal non teknis perparkiran, seperti
personalia, keuangan, dan umum, dimana di kelola oleh sub bagian tata usaha.
2) Aspek teknisoperasional, yang mengurus hal-hal teknis perparkiran, seperti
perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan, yang dikelola oleh kelompok
fungsional.
Kepegawaian UPTD Pengelola Parkir Dinas Perhubungan Kota Samarinda
diketahui bahwa Petugas pengelola administratif perparkiran merupakan Pegawai
41 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Negeri Sipil di lingkungan Dinas Perhubungan Kota Samarinda, demikian pula
petugas tekhnis operasional parkir yang bertugas sebagai pengawas kinerja dan
petugas patrol parkir juga merupakan Pegawai Negeri Sipil yang berasal dari
jabatan fungsional.
Sedangkan petugas parkir yang mengelola parkir di sepanjang jalan gajah
mada merupakan pegawai tidak tetap harian (PTTH) yang diangkat melalui surat
keputusan Dinas Perhubungan, dimana umumnya berasal dari hasil rekrutmen
UPTD parkir Dinas Perhubungan yang dahulunya merupakan Masyarakat yang
menempati dan mengelolah lokasi parkir tersebut yang selanjutnya diberdayakan
oleh UPTD Parkir Dinas Perhubungan menjadi petugas parkir resmi dan juru
parkir binaan.
Dalam melaksanakan tugasnya, petugas parkir berkewajiban untuk
mengatur kendaraan yang parkir di sekitar lokasi yang menjadi areal tanggung
jawabnya, serta menghimpun dana retribusi parkir dari masyarakat yang
menggunakan jasa parkir tepi jalan umum, demikian penjelaskan dari Kepala
UPTD Parkir Dinas Perhubungan. Petugas parkir wajib melaksanakan tugasnya di
lokasi yang telah ditentukan sesuai periode waktu yang ditetapkan, karena tidak
setiap saat pengelolaan parkir suatu lokasi perlu diterapkan, seperti kawasan
perkantoran yang umumnya libur pada hari sabtu dan minggu, dimana tingkat
aktivitas parkir pada hari tersebut tidak terlalu padat, atau suatu kawasan yang
hanya ramai pada waktu-waktu tertentu saja, seperti tempat ibadah (Masjid Raya),
atau tempat hiburan atau tongkrongan malam yang berada di pinggiran sungai
mahakam depan kantor Gubernur jalan gajah mada, sehingga pengelolaan parkir
hanya perlu dilakukan menyesuaikan tingkat keramaian suatu kawasan. Namun
ada pula kawasan yang hampir setiap hari memiliki tingkat kepadatan aktivitas
yang cukup panjang, untuk melakukan pengelolaan kawasan parkir tersebut
diperlukan pergantian petugas per harinya dalam bentuk shift jam kerja.
Pengerakkan Pengelolaan Parkir
Penggerakan (actuating) adalah suatu tindakan untuk mengusahakan agar
semua anggota kelompok berusaha untuk mencapai sasaran sesuai dengan
perencanaan manajerial dan usaha-usaha organisasi. Jadi penggerakan adalah
menggerakan orang-orang agar mau bekerja dengan sendirinya atau penuh
kesadaran secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang dikehendaki secara
efektif. Di dalam organisasi, penggerakan merupakan fungsi yang terpenting dan
paling dominan dalam proses manajemen, karena fungsi penggerak langsungnya
adalah manusia.Banyak istilah yang digunakan untuk fungsi manajemen yang satu
ini.
Dalam melaksanakan parkir, baik pengemudi maupun juru parkir harus
memperhatikan batas parkir yang dinyatakan dengan marka pembatas jalan,
42 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
keamanan kendaraaan dengan mengunci pintu kendaraan dan memasang rem
parkir. Sesuai dengan jenis fasilitasnya, tata cara parkir adalah sebagai berikut.
1. Fasilitas parkir tanpa pengendalian parkir:
- Dalam melakukan parkir, juru parkir dapat memandu pengemudi
kendaraan
- Juru parkir member karcis bukti pembayaran sebelum kendaraan
meninggalkan ruang parkir
- Juru Parkir harus mengenakan seragam dan identitas
2. Fasilitas parkir dengan Pengendalian parkir (menggunakan pintu masuk dan
keluar).
- Pada pintu masuk, baik dengan petugas maupun dengan pintu otomatis
pengemudi harus mendapatkan karcis tanpa parkir, yang mencantumkan
jam masuk (bila diperlukan, petugas mencatat nomor kendaraan)
- Dengan dan tanpa juru parkir, pengemudi memarkirkan kendaraan sesuai
dengan tata cara parkir
- Pada pintu keluar parkir, petugas harus memeriksa kebenaran karcis tanda
parkir, mencatat lama parkir, menghitung tarif parkir sesuai dengan
ketentuan, menerima pembayaran parkir, dengan menyerahkan karcis
bukti pembayaran pada pengemudi.
Pengawasan Parkir
Pengawasan atau pengendalian (controling) adalah rangkaian kegiatan yang harus
dilakukan untuk mengadakan pengawasan, penyempurnaan dan penilaian
(evaluation) untuk menjamin bahwa tujuan dapat tercapai sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam perencanaan.
Menurut G. R. Terry dalam Hasibuan (2005:242) Pengendalian adalah sebagai
proses penetuan, apa yang dicapai yaitu standar, apa yang sedang dilakukan yaitu
pelaksanaan, menilai pelaksanaan dan apabila perlu melakuakn perbaikan-
perbaikan, sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dan standar.
Menurut Husaini Usman (2006:407) menyatakan pengendalian meliputi:
pemantauan, penilaian dan pelaporan. Pemantauan dan penilaian sering disebut
monev, yaitu singkatan dari monitoring dan evaluasi. Dalam pengawasan parkir
yang dilakukan oleh pihak UPTD parkir Dinas perhubungan bahwa setiap anggota
personil akan menyebar karcis resmi kepada juru parkir dan menarik hasil
retribusi dari juru parkir sesuai besaran yang sudah di tetapkan oleh UPTD parkir
Dinas Perhubungan dan menjadi pemantau dalam mengawasi keadaan lalu lintas
dan keadaan parkir di sepanjang jalan gajah mada.
Dari definisi diatas penulis dapat menyimpulkan pengendalian yang dilakukan
sebelum proses, saat proses dan setelah proses yakni hingga hasil akhir diketahui
untuk menjamin bahwa kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan apa yang
direncanakan dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terjadi.
43 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Faktor Penghambat atau Kendala yang dihadapi Dinas Perhubungan Kota
Samarinda dalam Implementasi Kebijakan Pengelolaan Parkir
Dalam melaksanakan pengelolaan parkir tepi jalan umum gajah mada, terdapat
pula hambatan dan kendala yang dihadapi oleh Dinas Perhubungan Kota
Samarinda selaku UPTD Pengelolaan Parkir, hambatan tersebut tentunya menjadi
tantangan tersendiri bagi UPTD Pengelolaan Parkir untuk merumuskan strategi
yang tepat untuk menjawab probematika yang dihadapi di jalan Gajah Mada.
Kendala utama yang dihadapi serta rumusan strategi yang telah dibangun antara
lain :
1) Masih adanya beberapa lahan parkir di jalan gajah mada yang di kuasai oleh
para preman dan ormas, pihak UPTD Pengelolaan Parkir masih melakukan
pendekatan untuk memberi pengarahan kepada mereka dan merangkul mereka
menjadi jukir binaan lalu menjadi jukir resmi.
2) Kapasitas jalan kurang mendukung untuk dilakukan parkir tepi jalan umum
khususnya di jalan gajah mada. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
dengan membuat lahan parkir khusus, lahan kosong akan dijadikan lahan
parkir khusus, dan melibatkan pihak ketiga sebagai pengelola baik pemerintah
maupun pihak Swasta, dengan kerjasama dengan pihak ketiga diharapkan
akan semakin menguntungkan karena dalam pembuatannya tidak perlu
dianggarkan dalam APBD.
3) Kebutuhan pengguna jalan yang berada di jalan gajah mada akan lahan parkir
menimbulkan kantong kawasan parkir illegal serta juru parkir illegal.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian di atas yang telah diuraiankandan
dikemukaan oleh penulis pada bab-bab sebelumnya mengenai pelaksanaan
kebijakan pengelolaan parkir di tepi jalan umum gajah mada, sesuai dengan hasil
penelitian yang telah dilakukan yaitu tentang:
1) Implementasi Kebijakan Pengelolaan Parkir Tepi Jalan Umum Oleh Dinas
Perhubungan Kota Samarinda masih belum optimal diantaranya adalah
sebagai berikut :
a. Perencanaan Pengelolaan Parkir yang dilaksanakan oleh UPTD
Pengelolaan parkir Dinas Perhubungan Kota Samarinda masih banyaknya
lahan parkir potensial sebagai penerimaan retribusi kurang di perhatikan
oleh UPTD parkir dan perencaan UPTD untuk menggandeng Koperasi
Korem agar dapat membantu menertibkan dan membina juru parkir ilegal.
b. Pengorganisasian Pengelolaan Parkir aspek teknis operasional dalam hal-
hal teknisi perparkiran sudah tersusun, tertata dan dikelola dengan baik,
namum masih terkendala jumlah personil di lapangan sehingga kinerja
kurang maksimal karna beberapa petugas pengawas di bebankan juga
44 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
sebagai pemungut hasil retibusi sehingga kinerja petugas kurang
maksimal.
2) Faktor penghambat atau kendala yang dihadapi oleh Dinas Perhubungan
dalam melaksanakan implementasi kebijakan pengelolaan parkir di tepi jalan
umum Gajah Mada yaitu :
a. Perencanaan Pengelolaan Parkir yaitu masih adanya beberapa lahan titik
parkir yang masih di kuasai oleh beberapa preman di sepanjang jalan gajah
mada.
b. Pergerakan pengelolaan Parkir yaitu kapasitas jalan yang kurang
mendukung untuk di lakukannya parkir di tepi jalan umum dan stategi
untuk mengatur arus lalu lintas yang tidak sebanding dengan kapasitas
ruang parkir.
Saran
1. Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa pelaksanaan Implementasi
Kebijakan Pengelolaan Parkir di Tepi Jalan Umum Oleh Dinas Perhubungan
Kota Samarinda telah mengacu pada peraturan perundang-undangan. Namun
demikian, masih terdapat beberapa kendala yang membutuhkan perhatian
serius agar dapat diselesaikan dengan baik, dan agar pengelolaan parkir di tepi
jalan umum gajah mada dapat lebih optimal, berdasarkan hasil penelitian ini
maka penulis memberikan saran rekomendasi sebagai berikut :
a. Dinas Perhubungan sebaiknya lebih gesit lagi dalam melakukan tindakan
disiplin pada tempat-tempat parkir dan merekrut serta membina juru
parkir liar dan pembatasan jam pada kendaraan bongkar muat di waktu
tertentu agar tidak mengganggu lalu lintas, pembuatan halte untuk tempat
orang menurunkan dan menaikkan penumpang.
b. Dalam hal petugas atau personil pemungut hasil retribusi UPTD
Pengelolaan Parkir Dinas Perhubungan Kota Samarinda sebaiknya
menambah personil agar dapat menunjang kinerja serta dapat
melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab sesuai peraturan
yang sudah di tetapkan, untuk Pengawas parkir dan Petugas pemungut
hasil retribusi sebaiknya dipisahkan agar lebih maksimal dalam
menjalankan tugasnya.
2. Faktor penghambat dalam pelaksanaan Implementasi Kebijakan Pengelolaan
Parkir Di Tepi Jalan Umum Gajah Mada yaitu:
a. Melakukan pendekatan kepada juru parkir liar agar mau dibina dan masuk
ke organisasi Dinas Perhubungan serta melakukan kerja sama dengan
pihak ketiga/swasta agar dapat meningkatkan pendapatan retribusi.
b. Pengaturan/pengelolaan parkir yang perlu di perbaiki lagi dan penambahan
lahan parkir resmi serta jam-jam bongkar muat pada kendraan barang
harus diatur agar tidak mengganggu arus kendaraan yang lewat.
45 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Daftar Pustaka
Abdul Wahab, Solichin. 2008. Analisis Kebijaksanaan :Dari Formulasi ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara. Cetakan Keenam. Jakarta: Bumi
Aksara.
Abidin, Said Zainal. 2002. Kebijakan Publik. Edisi Revisi Cetakan Ketiga.
Jakarta: Suara Bebas.
B. Milles, Matthew dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Islamy, M. Irfan. 2009. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Edisi
Kedua. Cetakan Kelima Belas. Jakarta: Bumi Aksara.
Kurniawan, Agung. 2005. Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta:
Pembaruan
Pasolong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta
Ratminto dan Winarsih, Atik Septi.2005. Manajemen Pelayanan.Pengembangan
model konseptual, penerapan citizen carter dan standar pelayanan minimal.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siahaan, Marihot P. 2005. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Bandung: PT.
Rajagrafindo Persada
Sinambela, Lijan Poltak. 2006. Reformasi Pelayanan Publik, Teori, Kebijakan,
dan Implementasi. Jakarta: Bumi Aksara
Dokumen-dokumen:
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM 66 Tahun 1993 tentang Fasilitas
Parkir Untuk Umum.
Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor : 272/Hk.105/Drjd/96
TentangPedoman Teknis Penyelenggaraan Fasilitas Parkir
Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Raya
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2001 Tentang
Retribusi Daerah
46 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Implementasi Kebijakan Retribusi Pasar Dalam Menunjang
Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Mari Ulfa Batoebara
(Fisip Univ.Dharmawangsa Medan)
Abstrak
Proses implementasi kebijakan publik baru dapat dimulai apabila tujuan-
tujuan kebijakan publik telah ditetapkan, program-program telah dibuat, dan dana
telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut. Berdasarkan
beberapa definisi yang disampaikan para ahli di atas, disimpulkan bahwa
implementasi merupakan suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh pelaksana
kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan
tujuan atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri.
Kata Kunci : Kebijakan, Retribusi, Pendapatan Asli Daerah
A. Pendahulua
Implementasi kebijakan adalah usaha-usaha yang dilakukan secara sadar
dan rasional untuk mengetahui siapa-siapa yang terlibat dalam proses
imlementasi, alat-alat yang digunakan, tarif retribusi pasar, faktor penunjang,
Implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan publik.
Biasanya implementasi dilaksanakan setelah sebuah kebijakan dirumuskan dengan
tujuan yang jelas. Implementasi adalah suatu rangkaian aktifitas dalam rangka
menghantarkan kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat
membawa hasil sebagaimana yang diharapkan (Afan Gaffar, 2009: 295).
Rangkaian kegiatan tersebut mencakup persiapan seperangkat peraturan lanjutan
yang merupakan interpretasi dari kebijakan tersebut. Misalnya dari sebuah
undang-undang muncul sejumlah Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,
maupun Peraturan Daerah,
Menyiapkan sumber daya guna menggerakkan implementasi termasuk di
dalamnya sarana dan prasarana, sumber daya keuangan, dan tentu saja siapa yang
bertanggung jawab melaksanakan kebijakan tersebut, dan bagaimana
mengantarkan kebijakansecara konkrit ke masyarakat.
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan
dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan kurang. Untuk mengimplementasikan
kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung
mengimplementasikan dalam bentuk program – program atau melalui formulasi
kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan tersebut. Kebijakan publik dalam
bentuk undang-undang atau Peraturan Daerah adalah jenis kebijakan yang
memerlukan kebijakan publik penjelas atau sering diistilahkan sebagai peraturan
pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung dioperasionalkan antara lain
Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala
47 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Daerah, Keptusan Kepala Dinas, dll (Riant Nugroho Dwijowijoto, 2004: 158-
160).
Terdapat beberapa konsep mengenai implementasi kebijakan yang
dikemukakan oleh beberapa ahli. Secara Etimologis, implementasi menurut
kamus Webster yang dikutib oleh Solichin Abdul Wahab adalah sebagai berikut:
“Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement.
Dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to
provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan
sesuatu); dan to give practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat
terhadap sesuatu (Webster dalam Wahab (2006:64)).
Definisi lain juga diutarakan oleh Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier
yang menjelaskan makna implementasi dengan mengatakan bahwa:
“Hakikat utama implementasi kebijakan adalah memahami apa yang
seharusnya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan.
Pemahaman tersebut mencakup usaha-usaha untuk mengadministrasikannya dan
menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian (Mazmanian
dan Sabatier dalam Widodo (2010:87)).
Pengertian implementasi di atas apabila dikaitkan dengan kebijakan adalah
bahwa sebenarnya kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat dalam suatu
bentuk positif seperti undang-undang dan kemudiandidiamkan dan tidak
dilaksanakan atau diimplmentasikan, tetapi sebuah kebijakan harus dilaksanakan
atau diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan.
Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu (Bambang
Sunggono 1994:137).
Proses implementasi kebijakan publik baru dapat dimulai apabila tujuan-
tujuan kebijakan publik telah ditetapkan, program-program telah dibuat, dan dana
telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut. Berdasarkan
beberapa definisi yang disampaikan para ahli di atas, disimpulkan bahwa
implementasi merupakan suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh pelaksana
kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan
tujuan atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri.
Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyaknya
variable atau faktor-faktor yang masing-masing variabel tersebut saling
berhubungan satu sama lain. Dalam pandangan Edwards III yang dikutip dalam
bukau Subarsono (2006;90), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat
variabel, yaitu:
1. Komunikasi
Komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari
implementasi kebiajkan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para
pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan.
Pengetahuan atas apa yang mereka kerjakan dapat berjalan bila komunikasi
48 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan
implementasi harus dikomunikasikan kepada bagian personalia yang tepat. Selain
itu, kebijakan yang dikomunikasikanpun harus tepat, akurat, dan konsisten.
Komunikasi diperlukan agar pembuat keputusan dan para implementer akan
semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapakan
dalam masyarakat. Terdapat tiga indikator yan dapat digunakan dalam mengukur
keberhasilan variabel komunikasi, yaitu:
a. Transmisi
Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu
implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran
komunikasi adalah salah pengertian (miskomunikasi).
b. Kejelasan informasi
Komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan haruslah jelas
dan tidak membingungkan. Kejelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi
implementasi pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas
dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru
akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah
ditetapkan.
c. Konsistensi Informasi yang disampaikan
Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah
jelas dan konsisten untuk dapat diterapkan dan dijalankan.
2. Sumber Daya
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten,
tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan,
implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud
sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial.
Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar berjalan
dengan efektif, tampa sumberdaya kebijakan hanya tinggal dikertas dan menjadi
dokumen saja.
Sumberdaya meliputi empat komponen,yaitu:
a. Staff yang cukup (jumlah dan mutu);
c. Informasi yang dibutuhkan;
d. Authority, kewenangan yang cukup untuk melaksanakan tugas
tanggungjawab; dan
b. Sarana yang dibutuhkan dalam pelaksanaan.
3. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor,
seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Apabila implementor memiliki
disposisi yang baik, maka implementor akan menjalankan kebijakan dengan baik
seperti yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Sebaliknya jika implementor
memiliki sikap yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses
implementasi kebijakan juga akan menjadi tidak efektif.
49 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
4. Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebiajakan
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu
dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur
operasi yang standar (standart operating procedures atau SOP). SOP menjadi
pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.
2.2 Pengertian Pendapatan Asli Daerah
Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh dari
sumbersumber pendapatan daerah dan dikelola sendiri oleh pemerintah daerah.
Pendapatan Asli Daerah merupakan tulang punggung pembiayaan daerah, oleh
karenanya kemampuan melaksanakan ekonomi diukur dari besarnya kontribusi
yang diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD, semakin besar
kontribusi yang dapat diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD
berarti semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan
pemerintah daerah.
Pendapatan Asli Daerah hanya merupakan salah satu komponen sumber
penerimaan keuangan negara disamping penerimaan lainnya berupa dana
perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah juga sisa
anggaran tahun sebelumnya dapat ditambahkan sebagai sumber pendanaan
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Keseluruhan bagian penerimaan
tersebut setiap tahun tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD).
Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai APBD, namun proporsi
PAD terhadap total penerimaan tetap merupakan indikasi derajat kemandirian
keuangan suatu pemerintah daerah. Pemerintah daerah diharapkan lebih mampu
menggali sumber-sumber keuangan secara maksimal, namun tentu saja dalam
koridor perundang-undangan yang berlaku khususnya untuk memenuhi kebutuhan
pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan
Asli Daerah. Menurut DR.Machfud Sidik,MSc, tuntutan peningkatan PAD
semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintahan
yang dilimpahkan kepada daerah itu sendiri. Dalam penggalian dan peningkatan
pendapatan daerah itu sendiri banyak permasalahan yang ditemukan, hal ini dapat
disebabkan oleh:
a. Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah.
Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan Pusat. Dari
segi upaya pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi
“usaha” daerah dalam pemungutan PAD-nya, dan lebih mengandalkan
kemampuan “negosiasi” daerah terhadap Pusat untuk memperoleh tambahan
bantuan.
b. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah.
Hal ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani oleh
biaya pungut yang besar.
50 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
c. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah.
Hal ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi
daerah. Menurut Undang-undang No. 32 tahun 2004, “ Pendapatan Asli Daerah
adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya
sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang asli
digali di daerah yang digunakan untuk modal dasar pemerintah daerah dalam
membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil
ketergantungan dana dari pemerintah pusat.
Menurut Undang-undang No. 32 tahun 2004 pasal 6, “ Sumber-sumber
Pendapatan Asli Daerah terdiri dari : 1). Pajak daerah, 2). Retribusi daerah, 3).
Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4). Lain-lain Pendapatan
Asli Daerah ( PAD ) yang sah”.
Menurut Mardiasmo (2002:132), “Pendapatan Asli Daerah adalah
penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan
milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan , dan lain-lain
Pendapatan Asli Daerah yang sah”.
Dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah pemerintah daerah
dilarang :
a. Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan
ekonomi biaya tinggi dan
b. Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menghambat
mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan
import/eksport.
2.2.1. Klasifikasi Pendapatan Daerah
2.2.1.1 Pajak Daerah
Dalam UU Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 1 ayat 6
disebutkan, pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang
dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung
yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaran
pemerintahan daerah dan pembangunan daerah”
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa pajak daerah adalah penerimaan
daerah dari orang pribadi atau badan yang sifatnya dipaksakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan tanpa memberi imbalan secara langsung,
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan
daerah.
Selanjutnya Ahmad yani (2002:45) menyebutkan, “bahwa pajak daerah
sebagai salah satu pendapatan daerah yang diharapkan menjadi salah satu sumber
pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk
51 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat”. Dengan demikian
daerah mampu melaksanakan ekonomi, yaitu mampu mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri.
Sedangkan menurut Erly Suandi (2002:41), pajak daerah adalah pajak
yang pemungutannya ada pada pemerintah daerah yang pelaksanaannya dilakukan
oleh Dinas Pendapatan Daerah, Pajak Daerah diatur dalam Undang-undang dan
hasilnya akan dimasukkan ke APBD.
Pajak daerah harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain:
1. Tidak boleh bertentangan atau harus searah dengan kebijaksanaan
pemerintah pusat
2. Pajak daerah harus sederhana dan tidak terlalu banyak jenisnya
3. Biaya administrasi harus rendah
4. Tidak mencampuri sistem perpajakan pusat menurut peraturan-
peraturan yang ditetapkan oleh daerah serta dapat dipaksakan.
2.2.1.2 Retribusi Daerah
Retribusi daerah yang merupakan variabel dependen dalam penelitian ini
merupakan komponen Pendapatan Asli Daerah yang sudah dibahas dalam
terminologi retribusi daerah.
2.2.1.3 Hasil Pengelolaan Daerah Yang Sah
Selain pajak daerah dan retribusi daerah, bagian laba perusahaan milik
daerah (BUMD) merupakan salah satu sumber yang cukup potensial untuk
dikembangkan. Hasil pengelolaan daerah yang sah merupakan pendapatan daerah
dari keuntungan/laba bersih perusahaan daerah untuk anggaran belanja daerah
yang disetor ke kas daerah baik perusahaan daerah yang modalnya sebagian terdiri
dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Perusahaan daerah seperti perusahaan air
bersih (PDAM), Bank Pembangunan Daerah (BPD), hotel, bioskop, percetakan,
perusahaan bis kota dan pasar adalah jenis-jenis BUMD yang memiliki potensi
sebagai sumber-sumber PAD, menciptakan lapangan kerja atau mendorong
pembangunan ekonomi daerah. Selain pajak daerah dan retribusi daerah, bagian
laba perusahaan milik daerah (BUMD) merupakan salah satu sumber yang cukup
potensial untuk dikembangkan. Hasil pengelolaan daerah yang sah merupakan
pendapatan daerah dari keuntungan/laba bersih perusahaan daerah untuk anggaran
belanja daerah yang disetor ke kas daerah baik perusahaan daerah yang modalnya
sebagian terdiri dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Perusahaan daerah seperti
perusahaan air bersih (PDAM), Bank Pembangunan Daerah (BPD), hotel,
bioskop, percetakan, perusahaan bis kota dan pasar adalah jenis-jenis BUMD
yang memiliki potensi sebagai sumber-sumber PAD, menciptakan lapangan kerja
atau mendorong pembangunan ekonomi daerah.
Jenis perusahaan daerah jika dilihat dari struktur modalnya terdiri dari:
1. Perusahaan daerah yang seluruh modalnya terdiri dari kekayaan daerah yang
dipisahkan, yaitu:
a. Untuk dana pembangunan daerah
52 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
c. Untuk anggaran belanja daerah
d. Untuk cadangan umum, sosial dan pendidikan, jasa produksi, dan
sumbangan dana pensiun.
2. Perusahaan daerah yang sebagian modalnya terdiri dari kekayaan daerah yang
dipisahkan yaitu:
a. Untuk dana pengembangan
b. Untuk angaran belanja daerah
c. Selebihnya untuk cadangan umum dan untuk pemegang saham.
d. Lain-lain PAD yang sah
Hasil usaha daerah yang lain yang sah adalah PAD yang tidak termasuk
pajak, retribusi, hasil perusahaan milik daerah yang dipisahkan. Pendapatan ini
terdiri dari:
a. Penjualan aset daerah
b. Jasa giro
2.3 Konsep Retribusi Daerah
Retribusi daerah sebagaimana halnya pajak daerah merupakan salah satu
Pendapatan Asli Daerah yang diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan
dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Menurut Ahmad Yani (2002:55)
“Daerah provinsi, kabupaten/kota diberi peluang dalam menggali potensi sumber-
sumber keuangannya dengan menetapkan jenis retribusi selain yang telah
ditetapkan, sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai
denganaspirasi masyarakat”.
Sumber pendapatan daerah yang penting lainnya adalah Retribusi Daerah.
Retribusi Daerah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Retribusi merupakan pungutan yang dipungut berdasarkan undang-undang
dan peraturan daerah yang berkenaan.
2. Hasil penerimaan retribusi masuk ke kas pemerintah daerah.
3. Pihak yang membayar retribusi mendapatkan kontra prestasi (balas jasa)
secara langsung dari pemerinatah daerah atas pembayaran yang
dilakukannya.
4. Retribusi terutang apabila ada jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah
daerah yang dinikmati oleh orang atau badan.
5. Sanksi yang dikenakan pada retribusi adalah sanksi secara ekonomis, yaitu
yang tidak membayar retribusi, tidak akan memperoleh jasa yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah.
Nasrun, merumuskan pengertian retribusi daerah sebagai berikut:
“ Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran
pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah untuk
53 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
kepentingan umum, atau karena jasa yang diberikan oleh daerah baik langsung
maupun tidak langsung (Riwu Kaho, 2003:171)”.
Soeparmoko (1997;94) mengatakan bahwa:
“ Retribusi adalah suatu pembayaran dari rakyat kepada pemerintah
dimana kita dapat melihat adanya hubungan antar balas jas a langsung diterima
dengan adanya pembayaran reribusi tersebut” Menurut Marihot Siahaan (2005;5),
retribusi adalah:
“ Retribusi adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada Negara karena
adanya jasa tertentu yang diberikan oleh Negara bagi penduduknya secara
perorangan”.
Jasa tersebut dapat dikatan bersifat langsung, yaitu hanya membayar
retribusi yang menikmati balas jasa dari Negara. Hal berarti hak mendapat jasa
dari pemerintah didasarkan pada pembayaran retribusi yang telah ditetapkan oleh
pemerintah daerah dan dipenuhi oleh orang yang mengingkan jasa tersebut.
Sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini
penarikan retribusi hanya dapat dipungut oleh pemerintah daerah. Jadi, retribusi
yang dipungut di Indonesia dewasa ini adalah retribusi daerah. Berdasarkan
Undang-Undang No 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah,
pasal 1 angka 26, retribusi daerah adalah:
“ pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan”(UU No. 34/2000).
Dalam hal ini, retribusi daerah tidak mencari keuntungan atas hasil
tersebut. Karena yang terpenting dari hasil retribusi adalah untuk pemeliharaan
atas kelangsungan pekerjaan, milik dan jasa masyarakat, disamping agar sarana
dan prasarana unit-unit jasapelayanan dapat ditingkatkan dan dikembangkan
sebaik mungkinsesuai dengan perkembangan masyarakat serta peradaban zaman.
Oleh karena itu, penentuan tarif retribusi daerah yang berlaku pada suatu waktu
ditetapkan untuk mencapai maksud diatas, yang wajar dan sesuai dengan imbalan
yang diharapkan dapat mereka peroleh karena memakai jasa atau pelayanan yang
disediakan oleh pemerintah.
2.4 Objek dan Golongan Retribusi
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pasal 18 ayat 1 menentukan
bahwa objek retribusi adalah berbagai jasa tertentu yang disediakan oleh
pemerintah daerah. Tidak semua jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah
dapat dipungut retribusinya, tetapi hanya jasa-jasa tertentuyang merupakan
pertimbangan sosial ekonomi layak dijadikan objek retribusi.
Jasa retribusi daerah tersebut dibagi menjadi tiga golongan,yaitu:
1. Retribusi Jasa Umum, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh
Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemamfaatan umum serta
dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
54 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
2. Retribusi Jasa Usaha, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh
Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada
dasarnya dapat disediakan oleh sector swasta.
3. Retribusi Perizinan Tertentu, yaitu retribusi atas kegiatan tertentu
Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau
badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan
pengawasan atas kegiatan pemamfaatan ruang, penggunaan sumber daya
alam, barang, sarana, prasarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi
kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Jenis-jenis retribusi daerah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Jenis-jenis Retribusi Jasa Umum:
a. Retribusi Pelayanan Kesehatan;
b. Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan:
c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta
Catatan Sipil;
e. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Penguburan Mayat;
c. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
d. Retribusi Pelayanan Pasar;
e. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
f. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
g. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta; dan
h. Retribusi Pengujian Kapal Perikanan.
2. Jenis-jenis Retribusi Jasa Usaha:
a. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
b. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;
c. Retribusi Tempat Pelelangan;
d. Retribusi Terminal;
e. Retribusi Tempat Khusus Parkir;
f. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggraha/Villa;
g. Retribusi Penyedotan Kakus;
h. Retribusi Rumah Potong Hewan;
i. Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal;
j. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga;
i. Retribusi Penyeberangan di Atas Air;
j. Retribusi Pengolahan Limbah Cair; dan
k. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
3. Jenis-jenis Retribusi Perizinan Tertentu:
a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
b. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
c. Retribusi Izin Gangguan; dan
d. Retribusi trayek.
55 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Golongan atau jenis-jenis retribusi jasa umun, retribusi jasa usaha, dan
retribusi perizinan tertentu ditetapkan dengan peraturan pemerintah berdasarkan
criteria tertentu. Penetapan jenis-jenis retribusi jasa umum dan jasa usahadengan
peraturan pemeritah dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam penerapannya
sehingga dapat memberikan kepastian bagi masyarakat dan disesuaikan dengan
kebutuhan nyata daerah yang bersangkutan. Adapun penetapan jenis-jenis
retribusi perizinan tertentu dengan pemerintah dilakukan karena perizinan
tersebut, walaupun merupakan kewenangan pemerintah daerah tetap memerlukan
koordinasi dengan instansi-instansi teknis terkait.
2.5 Konsep Retribusi Pasar
Dari beberapa pendapatan asli daerah, retribusi merupakan salah satu
pendapatan terpenting di samping pajak. Salah satu retribusi daerah yang
mempunyai potensi untuk menambah pendapatan daerah adalah retribusi pasar.
Menurut Poerwadarminta (2001 : 953) yang dimaksud dengan retribusi adalah
pungutan berupa uang oleh pemerintah sebagai balas jasa.
Sedangkan pengertian dari pasar merupakan suatu unit usaha yang
mempunyai peran strategis atas jalannya jaringan distribusi dari produsen ke
konsumen yang membutuhkan suatu produk. Dengan demikian, pasar dapat
dikatakan sebgai penyedia langsung kebutuhan harian masyarakat dan berbagai
interaksi di dalamnya yang melibatkan unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat
(pedagang dan pembeli). Kondisi ini menegaskanbahwa pasar merupakan salah
satu kontributor yang cukup signifikan bagi pelaksanaan pembangunan di daerah,
karena melalui retribusi yang dihasilkan bisa menambah pendapatan daerah
(Sugianto, 2008 : 46)
Dalam Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2001 menjelaskan bahwa:
“Pasar adalah suatu area atau lokasi tertentu yang disediakan/ditetapkan
oleh pemerintah daerah sebagai tempat jual beli barang dan jasa secara
langsung dan teratur, terdiri atas pelataran,bangunan yang berbentuk kios, los
dan bentuk bangunan lainnya”(Perda No.3 Tahun 2001). Retribusi pasar menurut
Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2001, adalah:
“Pembayaran atas pelayanan penyediaan fasilitas pasar berupa pelataran
dan los yang dikelola oleh pemerintah daerah dan khusus disediakan untuk
pedagang”(Perda No. 3 Tahun 2001).
Menurut Kesit Bambang, (2005:135) pengertian Retribusi Pasar adalah :
“Retribusi atas fasilitas pasar tradisional/sederhana yang berupa
pelataran atau los yang dikelola pemerintah daerah dan khusus disediakan untuk
pedagang, tidak termasuk yang dikelola perusahaan daerah pasar”.
Retribusi pasar atau retribusi pelayanan pasar merupakan salah satu jenis
Retribusi jasa umum yang keberadaannya cukup dimamfaatkan oleh masyarakat.
Menurut penjelasan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 yang dimaksud
pelayanan pasar adalah fasilitas pasar tradisional atau sederhana berupa pelataran,
los yang dikelola pemerintah daerah, yang khusus disediakan untuk pedagang,
56 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
tidak termasuk yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah dan Pihak Swasta.
Fasilitas-fasilitas lain yang dikelola oleh pemerintah daerah untuk pedagang yaitu
keamanan, penerangan umum, penyediaan air, telepon, kebersihan dan
penyediaan alat-alat pemadam kebakaran.
Adapun yang menjadi subyek dari retribusi pasar adalah orang pribadi atau
badan yang menggunakan fasilitas pasar. Sedangkan obyek retribusi pasar
meliputi:
1. Penyediaan fasilitas pasar/tempat (Kios, Los, front Toko, dan Pelataran)
pada pasar yang disediakan oleh pemerintah daerah.
Dengan demikian retribusi jasa umum merupakanpelayanan yang
disediakan atau diberikan Pemerintah Daerahuntuk tujuan kepentingan umum.
Dalam pelaksanaan pemungutanretribusi pasar sering mengalami hambatan, hal
ini disebabkankurangnya kesadaran para pedagang membayar retribusi
terutamadipengaruhi oleh tingkat keramaian pasar. Bila pasar ramai,
makakeuntungan penjualan akan naik, sehingga kesadaran untukmembayar
retribusi lebih tinggi. Berdasarkan uraian tersebutdapat dijelaskan antara lain:
a. Wajib retribusi adalah pedagang yang memakai tempat untuk berjualan
barang atau jasa secara tetap maupun tidak tetap di pasar daerah atau di
daerah sekitar pasar sampai radius 200 m,
b. Obyek retribusi adalah pemakainan tempat-tempat berjualan, sedangkan
subyek retribusi adalah pedagang yang memakai tempat untuk berjualan
barang atau jasa secara tetap maupun tidak tetap di pasar daerah,
c. Penerimaan dari retribusi pasar masih potensial untuk ditingkatkan. Apabila
retribusi pasar sebagai sumber penerimaan pendapatan daerah, maka
pengenaan tarif retribusi perlu di evaluasi agar besar kecilnya tarif
mencerminkan prinsip-prinsip ekonomi,
d. Retribusi pasar yang dikenakan setiap pedagang sebagai balas jasa kepada
pemerintah yang telah menyediakan fasilitas perdagangan,
Untuk meningkatkan kesadaran para pedagang untuk membayar retribusi,
maka selalu mengadakan sosialisasi, dan pembinaan yang dapat menumbuhkan
tingkat kesadaran untuk membayar retribusi, Perlunya diterapkan sanksi yang
tegas terhadap pelanggaran bagi pedagang yang tidak melaksanakan kewajiban
membayar retribusi atau yang menunggak serta diterapkan sistem denda (Kesit
Bambang, 2005:135).
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Syukur. 1987. Kumpulan Makalah Study Imlementasi Latar Belakang
Konsep Pendekatan dan Relevansinya Dalam Pembangunan”. Persadi: Ujung
Pandang
Agustino, Edi. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfa Beta: Bandung
Handjito, Dyidiet, 2001. Teori Organisasi dan Teknik Pengorganisasian, PT Raja
Grafindo, Jakarta.
57 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Mardiasmo, 2006. Perpajakan, Edisi Revisi, Andi Yokyakarta, Yokyakarta.
Mamesah, D.J.,1995. Sistem Administrasi Keuangan Daerah, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Muljono, Eugenia, Liliawati, 2001. Peraturan Perundang-undangan tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Harvarindo, Jakarta.
Novia, Windy, 2006. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kashiko, Jakarta.
Nurmantu, Safri, 2003. Pengantar Perpajakan. Granit, Jakarta.
Setyawan, Setu dan Suprapti, Eny, 2004. Perpajakan, Bayu Media, Malang.
Siahaan, Marihot, 2005. Pajak Daer
58 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Paradigma Transparansi Dalam Good Governance
Asnawi
(Fisip Univ.Dharmawangsa Medan)
Abstrak
Governance merupakan seluruh rangkaian proses pembuatan keputusan/
kebijakan dan seluruh rangkaian proses dimana keputusan itu di implementasikan
atau tidak diimplementasikan. UN Commission on Human Settlements
menjelaskan bahwa governance adalah kumpulan dari berbagai cara yang
diterapkan oleh individu warga negara dan para lembaga baik pemerintah maupun
swasta dalam menangani kepentingan-kepentingan umum mereka. Upaya untuk
mewujudkan tata kepemerintahan yang baik hanya dapat dilakukan apabila terjadi
keseimbangan peran ketiga pilar yaitu pemerintah, dunia usaha swasta, dan
masyarakat. Ketiganya mempunyai peran masing- masing. Pemerintahan
(legislatid, eksekutif, dan yudikatif) memainkan peran menjalankan dan
menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi unsur-unsur lain
dalam governance.
Kata Kunci : Paradigma, Transparansi, Good Governance
A. Konsep Good Governance
Pada awalnya Bank Dunia mendefenisikan ―Governance― sebagai ―the
exercise of political power to manage a nation‟s affair (Davis and Keating,
2000). Bank Dunia juga menambahkan karakteristik normative tentang Good
Governance, yaitu:
“An efficient public service, and independent judicial system and legal
frame work to enforce contract; the accountable administration of public funds;
an independent public auditor, responsible to a representative legislature; respect
for law and human rights at all levels of government; a pluralistic institutional
structure; and free press”.
Sementara itu UNDP mendefenisikan Good Governance sebagai “The
Exercise of political, economic, and administrative authority to manage the
nation‟s affair at all levels.
OECD dan WB mensinonimkan Good Governance dengan
penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan betanggung jawab
sejalan dengan demokrasi dan pasar bebas, penghindaran salah alokasi dana
investasi yang langka, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun
administrative, menjalankan disiplin anggaran serta menciptakan kepastian hukum
dan suasana politik untuk tumbuhnya aktivitas kewirausahaan. Selanjutnya UNDP
juga mensinonimkan Good Governance sebagai hubungan sinergis dan
konstruktif diantara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat (LAN, 2000:7).
Atas dasar inilah, maka disusun Sembilan karakteristik Good Governance,
yaitu;
59 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
1. Partisipation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan
keputusan, baik secara langsung maupun melalui inter-mediasi isntitusi
legitimasi yang mewakilkan kepentingannya.
2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang
bulu, terutama hukum untuk azazi manusia
3. Transparency. Tranparansi di bangun atas dasar kebebasan arus informasi
yang berkaitan dengan kepentingan pubik secara langsung dapat diperoleh
masyarakat yang membutuhkan.
4. Responciveness. Lembaga-lembaga dan propses-proses harus mencoba untuk
melayani setiap stakeholders
5. Concensus Orientation. Good Governance menjadi perantarakepentingan
yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik
a. bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan maupun prosedur-
prosedur.
6. Equity. Semua warga Negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai
kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.
7. Effectiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga
menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan
sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.
8. Accountabity. Para pembuatan keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta
dam masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada public dan
lembaga-lembaga stakeholders.
9. Strategic Vision. Para pemimpin dan public harus mempunyai perpsektif
good govenrnance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan
sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.
Bappenas dalam Modulnya Penerapan Prinsip-Prinsip Tata Kelola
Kepemerintahan yang baik (2007:13) mengemukakan bahwa konsep tentang
government, good governance dan good public governance. Menurutnya secara
umum istilah government lebih mudah dipahami sebagai ―Pemerintah‖ yaitu
lembaga beserta aparaturnya yang mempunyai tanggung jawab untuk mengurus
negara dan menjalankan kehendak rakyat.
Governance merupakan seluruh rangkaian proses pembuatan keputusan/
kebijakan dan seluruh rangkaian proses dimana keputusan itu di implementasikan
atau tidak diimplementasikan. UN Commission on Human Settlements (1996)
menjelaskan bahwa governance adalah kumpulan dari berbagai cara yang
diterapkan oleh individu warga negara dan para lembaga baik pemerintah maupun
swasta dalam menangani kepentingan-kepentingan umum mereka.
Hal ini merupakan sebuah proses yang berkesinambungan dimana segala
jenis kepentingan maupun kebutuhan dapat di akomodasikan dan tindakan
korektif diterapkan. Termasuk pula didalamnya lebaga dan regim formal yang
dikuasakan untuk menegakkan kepatuhan, maupun pengaturan secara informal
60 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
sehingga masyarakat dan lembaga memiliki kesepakatan atau kesamaan
kepentingan.
Governance juga dapat diungkapkan oleh Mustopadidjaja (2003) sebagai :
1) Kepemerintahan, 2) Pengelolaan pemerintahan, 3) Penyelenggaraan
pemerintahan, 4) Penyelenggaraan negara, dan 5) Administrasi negara.
Istilah governance lebih compleks karena melibatkan tiga pilar
stakeholders, yakni pemerintah, masyarakat, dan swasta dalam posisi yang sejajar
dan saling kontrol. Hubungan ketiganya harus dalam posisi seimbang dan saling
kontrol (checks and balances), untuk menghindari penguasaan atau ”exploitasi”
oleh satu komponen terhadap komponen lainnya. Bila salah satu
komponen lebih tinggi dari pada yang lain, yang terjadi adalah dominasi
kekuasaan atas dua komponen lainnya.
Istilah good public governance mengandung makna tata kepemerintahan
yang baik, pengelolaan kepemrintahan yang baik, serta dapat pula di ungkapkan
sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang baik, penyelenggaraan negara yang
baik atau pun administrasi negara yang baik.
Istilah tata pemerintahan yang baik (good public governance) merupakan
suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis,
dan efektif. Selain sebagai suatu konsepsi tentang penyelenggraan pemerintahan,
tata kepemerintahaan yang baik juga merupakan suatu gagasan dan nilai untuk
mengatur pola hubungan antara pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat.
Salah satu upaya untuk mewujudkan pelaksanaan kepemerintahan yang
baik (good governance) adalah reformasi birokrasi. Birokrasi sebagai organisasi
formal memiliki kedudukan dan cara kerja yang terikat dengan peraturan, memilki
kompetensi sesuai jabatan dan pekerjaan, memilki semangat pelayanan publik,
pemisahan yang tegas antara milik organisasi dan individu, serta sumber daya
organisasi yang tidak bebas dari pengawasan eksternal.
Upaya untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik hanya dapat
dilakukan apabila terjadi keseimbangan peran ketiga pilar yaitu pemerintah, dunia
usaha swasta, dan masyarakat. Ketiganya mempunyai peran masing- masing.
Pemerintahan (legislatid, eksekutif, dan yudikatif) memainkan peran menjalankan
dan menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi unsur-unsur
lain dalam governance.
Dunia usaha swasta berperan dalam pendiptaan lapangan kerja dan
pendapatan. Masyarakat berperan dalam penciptaan interaksi sosial, ekonomi dan
politik. Ketiga unsur tersebut dalam memainkan perannya masing-masing harus
sesuai dengan nilai-nilai dan prinsi-prinsip yang terkandung dalam tata
kepemerintahan yang baik. Bappenas dalam Modulnya Penerapan Prinsip-Prinsip
Tata Kelola Kepemerintahan yang baik (2007:15) bahwa proses pengembangan
nilai tambah berkelanjutan diantara tiga pilar tata kepemerintahaan yang baik,
yakni pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat.
61 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Kepercayaan, dukungan, dan legitimasi politik dari masyakat akan
diperoleh apabila pemerintah dapat menyediakan pelayanan publik yang memadai
dan menjalankan fungsi perlindungan pada masyarakat. Di sisi lain pemerintah
juga harus mampu menciptakan stabilitas politik, hukum, pertahanan dan
keamanan, ekonomi, serta sosial dan budaya untuk mendorong peran dunia usaha
swasta dalam pembangunan ekonomi. Dunia usaha swasta yang sehat akan
menghasilkan kualitas layanan serta memberikan nilai tambah yang positif bagi
masyarakat. Hal ini tentunya juga akan mengahasilkan pertumbuhan kegiatan
usaha yang tinggi sehingga dapat menumbuhkan loyalitas konsumen dan
kontribusi keuntungan yang lebih besar dari masyarakat sebagai target pasar.
Integrasi pengelolaan ketiga rantai nilai tersebut secara selaras akan menghasilkan
nilai tambah bagi masyarakat.
Masih dalam Bappenas dalam Modulnya Penerapan Prinsip-Prinsip Tata
Kelola Kepemerintahan yang baik (2007:14) penerapan tata kepemerintahan yang
baik dilingkungan pemerintahan tidak terlepas dari penerapan sistem manajement
kepemerintahan yang merupakan rangkaian hasil dari pelaksanaan fungsi-fungsi
manajement, (planing, organizing actuating, dan controlling)‖ yang dilaksanakan
secara profesional dan konsisten. Penerapan sistem manajement tersebut mampu
menghasilkan kemitraan positif antara pemerintah, dunia usaha swasta, dan
masyarakat. Dengan demikian, lingkungan instansi pemerintah diharapkan dapat
memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Agenda penciptaan tata
kepemerintahan yang baik setidaknya memiliki 5 (lima) sasaran yaitu‖ :
1) Berkurangnya secara nyata praktek korupsi, kolusi dan nepotisme di
birokrasi, yang dimulai dari jajaran pejabat yang paling atas;
2) Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah yang
efisien, efektif dan profesional, transparan dan akuntabel;
3) Terhapusnya peraturan dan praktek yang bersifat diskriminatif terhadap
warga negara;
4) Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik;
5) Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah.
Rosyada dkk, (2003:180), mengemukakan pengertian good governance
yang dikutipnya dari Billah adalah merupakan tindakan atau tingkah laku yang
didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan, mengendalikan atau
mempengaruhi masalah public untuk mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan
kehidupan keseharian.
Sementara itu Sedarmayanti (2003:2), menjelaskan bahwa good
governance merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan Negara dalam
melaksanakan penyediaan public goods and service disebut governance
sedangkan praktek terbaiknya disebut good governance.
Menurut Hatifah (2004:1) bahwa di Indonesia isu good governance telah
memasuki arena perdebatan pembangunan yang didorong oleh adanya dinamika
yang menuntut perubahan-perubahan di sisi pemerintah maupun di sisi warga. Ke
62 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
depan, pemerintah dan pemimpin politik di negara ini diharapkan menjadi lebih
demokratis, efisien dalam penggunaan sumber daya publik, efektif menjalankan
fungsi pelayanan publik, lebih tanggap serta mampu menyusun kebijakan,
program dan hukum yang dapat menjamin hak asasi dan keadilan sosial. Sejalan
dengan itu, wargapun diharapkan menjadi warga yang memiliki kesadaran akan
hak dan kewajibannya, lebih terinformasi, memiliki solidaritas terhadap sesama,
bersedia berpartisipasi aktif dalam penyelenggraan urusan publik lainnya tidak
apatis serta tidak memetingkan diri sendiri. Adanya perubahan disisi pemerintah
dan warga seperti tersebut di atas berarti adanya perubahan dalam pola good
governance.
Itulah sebabnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000
(dalam Sedarmayanti, 2004:4), merumuskan arti good governance adalah
kepemerintahan yang mengembankan dan menerapkan prinsip-prinsip
profesionalisme, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi,
efesiensi, efektifitas, supremasi hokum dan dapat diterima oleh seluruh
masyarakat.
Bappenas (2007:17), bahwa dari telusuran keberagaman wacana tata
kepemerintahan yang baik, terdapat sekumpulan nilai yang perlu diterapkan di
Indonesia sebagian dari nilai tersebut sebenarnya telah tumbuh dan berkembang
dalam akar budaya masyarakat indonesia. Walaupun demikian, nilai-nilai tersebut
sangat relefan untuk kembali diterapkan dalam kehidupan, hanya saja istilah dan
kemasannya yang berbeda.
Sekurang-kurangnya terdapat empat belas nilai yang menjadi prinsip
kepemerintahan yang baik, yaitu ;
1) Wawasan kedepan (visionary);
2) Keterbukaan dan transparansi (Openest and transparency)
3) Partisipasi masyarakat (partisipation)
4) Tanggung gugat (acountability)
5) Supremasi hukum (rule of law)
6) Demokrasi (democracy)
7) Profesionalisme dan kompetensi (professionalism and competency)
8) Daya tanggap (responseveness)
9) Efisiensi dan efektifitas (effenciency and efektiveness)
10) Desentralisasi (decentralitation)
11) Kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat (private and civil
society partnership)
12) Komitmen pada pengurangan kesenjangan (commitment to reduce
inequality)
13) Komitmen pada perlindungan lingkungan hidup (commitment to and
vironmental protection)
14) 14) Komitmen pada pasar yang fair (commitment to fair market)
63 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Dengan demikian governance di sini diartikan sebagai mekanisme, praktek
dan tata cara pemerintahan dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan
masalah-masalah publik. Senada dengan itu Hatifah dalam prolognya (2004:1),
mengatakan bahwa dalam konsep governance, pemerintah hanya menjadi salah
satu aktor dan tidak selalu menjadi actor paling menentukan. Ini berarti bahwa
impilikasi dari govenrnance, peran pemerintah sebagai pembangunan maupun
penyedia jasa pelayanan dan infra struktur akan bergeser menjadi bahan
pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di
komunitas dan sektor swasta ikut aktif melakukan upaya tersebut. Itulah sebabnya
governance menuntut redefinisi peran negara, dan itu berarti adanya redefinisi
pula pada peran warga. Ada tuntutan yang lebih besar pada warga, antara lain
untuk memonitor akuntabilitas pemerintah itu sendiri.
Secara terminologis (Hatifah, 2004:2). governance dimengerti sebagai
kepemerintahan sehingga masih banyak yang beranggapan bahwa governance
adalah sinonim dengan government. Interpretasi dari praktek governance selama
ini memang lebih banyak mengacu pada perilaku dan kapasitas pemerintah,
sehingga good governance seolah-olah otomatis akan tercapai apabila ada good
government. Berdasarkan sejarah, ketika istilah governance pertama kali diadopsi
oleh para praktisi di lembaga pembangunan internasional, konotasi governance
yang digunakan memang sangat sempit dan bersifat teknokratis di seputar kinerja
pemerintah yang efektif, utamanya yang terkait dengan manajemen publik dan
korupsi. Oleh sebab itu, banyak kegiatan program bantuan yang masuk dalam
kategori governance tidak lebih dari bantuan teknis yang diarahkan untuk
meningkatkan kapasitas pemerintah dalam menjalankan kebijakan publik dan
mendorong adanya pemerintah yang bersih (menghilangkan korupsi). Itulah
sebabnya Hatifah dalam prolognya mengemukanan bahwa sejatinya konsep
Governance harus dipahami sebagai suatu proses, bukan struktur atau institusi.
(Hatifah, 2004:2).
Selanjutnya dikatakan Hatifah bahwa governance juga menunjukkan
inklusivitas. Artinya kalau government dilihat sebagai mereka maka governance
dilihat sebagai kita. Menurut Leach & Perry Smith (2001) Government
mengandung pengertian seolah-olah hanya politisi dan pemerintahan yang
mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan, sementara sisa dari kita
adalah penerima yang pasif. Sementara Governance meleburkan perbedaan antara
pemerintah dan yang diperintah karena kita semua adalah bagian dari proses
governance.
Menurut Hatifah (2004:3) pada hakekatnya penyelenggaraan pemerintah
ditujukan kepada terciptanya fungsi pelayanan publik (public service).
Pemerintah yang baik cenderung menciptakan terselenggaranya fungsi
pelayanan publik dengan baik pula. Sebaliknya, pemerintahan yang buruk
mengakibatkan fungsi pelayanan publik tidak akan terselenggara dengan baik
pula. Prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, tidak hanya terbatas pada
64 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
penggunaan perundang-undangan yang berlaku, melainkan dikembangkan dengan
menerapkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang tidak hanya
melibatkan pemerintah atau negara (state) semata, tetapi harus melibatkan sistim
birokrasi maupun ekstern birokrasi.
Itulah sebabnya good governance bukan semata-mata mencakup relasi
dalam pemerintahan, melainkan mencakup relasi sinergis dan sejajar antara pasar,
pemerintah dan masyarakat sipil. Gagasan kesejajaran ini mengandung arti akan
pentingnya redefinisi peran dan hubungan ketiga institusi ini dalam mengelola
sumber daya ekonomi, politik, dan kebudayaan yang tersedia dalam masyarakat.
Senada dengan itu, Arief (2006:29) dalam bukunya Demokrasi, sejarah, praktik,
dan dinamika pemikiran, mengemukakan bahwa Good Governance adalah suatu
penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab
yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah
alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun
administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political
framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
B Konsep Transparansi dalam Good Governance
Dalam era reformasi dimana pilar-pilar Good Governance telah menjadi
sesuatu yang urgen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka saat itu pula
transparansi penyelenggaraan pemerintahan sudah menjadi kebutuhan yang tidak
dapat diabaikan lagi. Persoalan pokok dan menjadi sebuah pertanyaan dalam
kajian ini adalah mengapa perlu transparansi dalam Good Governance? Untuk itu,
sebelum kita lebih jauh berupaya menemukan format dan konsep transparansi
mungkin pertanyaan di atas perlu dijawab terlebih dahulu.
Sebagai ilustrasi dapat di kemukakan ketika kandidat Kepala Daerah
maupun kandidat legislatif mencalonkan diri dalam Pilkada maupun Pileg, maka
suatu hal yang tidak bisa kita pungkiri mereka akan menawarkan seperangkat janji
kepada para pemilih, demikian juga halnya para calon anggota legislatif juga akan
memberikan seperangkat janji kepada konstituennya. Selanjutnya setelah mereka
terpilih sebelum melaksanakan tugasnya mereka akan mengangkat sumpah. Hal
itu semua merupakan seperangkat janji yang harus dipenuhi kepada para pemilih
ataupun kepada diri sendiri.
Oleh sebab itu, menyimak ilustrasi diatas maka seharusnya yang menjadi
sasaran utama penyelenggaraan pemerintahan adalah kepercayaan. Artinya ketika
sang kandidat masuk dalam sistem kepemerintahan, maka seperangkat janji-janji
yang diucapkan dalam kampanyenya harus direalisasikan demi terbangunnya
kepercayaan terhadap publik atau konstituennya. Kepercayaan akan tumbuh
karena pemerintah mampu dan mau untuk memenuhi janji yang telah
disampaikan. Kemampuan untuk menjawab atau memenuhi janji atau commitment
kepada orang lain atau diri sendiri tersebut adalah tanggung jawab (responsibility)
.
65 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Dengan demikian pemerintah yang bertanggung jawab adalah pemerintah
yang mampu menjawab atau memenuhi janji kepada publik maupun
konstituennya.
Untuk mewujudkan pertanggungjawaban pemerintah terhadap publik ,
maka salah satu cara dilakukan adalah dengan menggunakan prinsip-prinsip
transparansi (keterbukaan). Transparansi penyelenggaraan pemerintahan memiliki
arti yang sangat penting dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk
mengetahui kebijakan yang akan dan telah diambil oleh pemerintah. Bahkan
dengan adanya transparansi penyelenggaraan pemerintahan tersebut, masyarakat
dapat memberikan feedback atau outcomes terhadap kebijakan yang telah diambil
oleh pemerintah.
Ini berarti bahwa transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat
memberikan makna yang sangat berarti yakni disamping sebagai salah satu wujud
pertanggung jawaban pemerintah kepada rakyat, kecuali itu pula dapat
menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik atau good governance dan
juga dapat mengurangi kesempatan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Disinilah kuncinya mengapa transparansi sangat diperlukan dalam Good
Governance bahkan merupakan salah satu syarat penting. Mungkin masih segar
dalam ingatan kita, bahwa salah satu yang menjadi persoalan diakhir masa masa
orde baru adalah merebaknya kasus-kasus korupsi. Dan salah satu yang dapat
menimbulkan dan memberi ruang gerak kegiatan ini adalah manajemen
pemerintah yang tidak transparan.
Transparansi (transparency) secara harafiah adalah jelas, dapat dilihat
secara menyeluruh dalam arti kata keterbukaan. Dengan demikian, transparansi
dapat diartikan sebagai keterbukaan dalam melaksanakan suatu proses kegiatan.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa tranparansi merupakan salah satu syarat
penting untuk menciptakan Good Governance. Dengan adanya transparansi di
setiap kebijakan tata kelola pemerintahan, maka keadilan (fairness) dapat
ditumbuhkan.
Dengan demikian transparansi berarti keterbukaan pemerintah dalam
memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya
publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi. Dalam arti bahwa
Pemerintah berkewajiban untuk memberikan informasi yang dibutuhkan baik
informasi keuangan maupun lainnya yang akan digunakan untuk pengambilan
keputusan ekonomi sosial dan politik oleh pihak yang berkepentingan. Mardiasmo
(2003:30) mengemukakan bahwa transparansi adalah keterbukaan pemerintah
dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui
dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat.
Selanjutnya Tjokromidjoyo (2003:123), menjelaskan bahwa transparansi
yaitu dapat diketahui oleh banyak pihak (yang berkepentingan) mengenai
perumusan kebijakan (politik) dari pemerintah, organisasi dan badan usaha. Good
Governance tidak membolehkan manajemen pemerintahan yang tertutup.
66 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Oleh karena good governance tidak membolehkan cara-cara yang tertutup,
Gaffar (dalam Rosyada dkk 2003:184), mengemukakan bahwa ada 8 (delapan)
aspek mekanisme pengelolaan anggaran negara yang harus dilakukan secara
transparans yaitu sebagai berikut :
1) Penetapan posisi jabatan atau kedudukan;
2) Kekayaan pejabat publik;
3) Pemberian penghargaan;
4) Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan ;
5) Kesehatan;
6) Moralitas para pejabat dan aparatur pelayan publik;
7) Keamanan dan ketertiban;
8) Kebijakan strategi untuk pencerahan kehidupan masyarakat.
Konsep transparansi menurut Organisation for Economic Cooperation and
Development (OECD) (2004 :66): As transparency is a core governance value.
The regulatory activities of government constitute one of the main contexts within
which transparency must be assured. There is a strong public demand for greater
transparency, which is substantially related to the rapid increase in number and
influence of non governmental organisations (NGOs) or „civil society groups‟, as
well as to increasingly well educated and diverse populations.
Menurutnya bahwa konsep tranparansi adalah merupakan nilai utama dari
system pemerintahan. Konteks utama aktivitas pemerintah harus diyakini
berdasarkan pada transparansi. Terdapat kekuatan publik yang menuntut
transparansi yang lebih besar. Pada hakekatnya ada kaitannya dengan percepatan
dan pengaruh terhadap organisasi swasta, sebagaimana terus meningkatnya
populasi masyarakat. Ini berarti tuntutan publik terhadap transparansi sudah
semakin kuat.
Smith (2004:66), mengemukan bahwa proses transparansi meliputi :
1) Standard procedural requirements (Persayaratan Standar Prosedur), bahwa
proses pembuatan peraturan harus melibatkan partisipasi dan memperhatikan
kebutuhan masyarakat.
2) Consultation processes (Proses Konsultasi), Adanya dialog antara pemerintah
dan masyarakat
3) Appeal rights (Permohonan Izin), adalah pelindung utama dalam proses
pengaturan. Standard dan tidak berbelit, transparan guna menghindari adanya
korupsi.
Hidayat (2007:23), mengemukakan bahwa transparansi berarti masyarakat
harus dapat memperoleh informasi secara bebas dan mudah tentang proses dan
pelaksanaan keputusan yang diambil. Secara umum akuntabilitas publik tidak
akan terjadi tanpa ditunjang transparansi dan kejelasan aturan hukum
Didalam Good Gevernance (Nugroho, Randi R.W 2004:128), transparansi
adalah merupakan salah satu prinsip Good Governance. Artinya transparansi
disini adalah segala keputusan yang diambil dan penerapannya dibuat dan
67 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
dilaksanakan sesuai koridor hokum dan peraturan yang berlaku Hal ini juga
mencakup pengertian bahwa informasi tersedia secara cuma-cuma dan dapat
diakses secara mudah dan langsung. Sementara itu dalam
hhtp.www.transparansi.or.id Jurnal Masyarakat Transparansi, mengemukakan
bahwa transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses
pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-
pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar
dapat dimengerti dan dipantau.
Dari berbagai pandangan para pakar tentang definisi Good Governance
dan Transparansi diatas, maka disimpulkan bahwa keduanya memiliki korelasi
yang signifikan dimana suatu pemerintahan dapat dikatakan baik (Good
governance) berarti pemerintahan tersebut telah menerapkan prinsip-prinsip
tranparansi. Hal ini dimungkinkan karena prinsip-prinsip Good governance adalah
mencakup: Transparansi, Integritas, Akuntabilitas , Tanggung jawab dan
Partisipasi.
Terkait dengan itu, masih jelas dalam ingatan kita beberapa tahun
belakang ini telah berkembang di masyarakat suatu konsep tentang pemerintahan
yang bersih yang bebas KKN atau pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Konsep tentang ajaran ini mendapat perhatian hangat bukan saja dikalangan
akademisi bahkan kalangan aktifis dimana ajaran ini sangat dikenal dengan ajaran
good governance. Namun kenyataan pemerintahan yang bersih dan berwibawa
sangat sulit untuk dilaksanakan dalam praktek kehidupan berbangsa dan
bernegara. Bahkan hingga saat inipun masih terlihat hampir di seluruh jajaran
pemerintahan masalah korupsi, kolusi dan nepotisme sulit untuk dihindari
Sejalan dengan pelaksanaan pemerintahan daerah melalui Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
tentunya kita masih berharap adanya tumbuhnya kepemerintahan yang baik (good
governance) . Dengan adanya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung
jawab melalui lahirnya UU 32/2004 secara ideal diharapkan dapat mendorong
terwujudnya good governance pada penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Semangat otonomi daerah inilah menjadi pemicu pelaksanaan pembangunan
daerah, peningkatan pelayanan kepada masyarakat, serta tumbuhnya nilai-nilai
demokrasi pada tatanan pemerintahan daerah. Dengan adanya kewenangan yang
luas untuk mengatur dan mengurus serta melayani masyarakat, maka hal tersebut
diharapkan dapat terwujud.
Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, daerah memiliki kewenangan yang
luas dan utuh. Dalam pengertian ini daerah tidak lagi menunggu lagi penyerahan
kewenangan dari pusat tapi bias mengembangakan kewenangan yang dimiliki
berdasarkan UU tersebut sesuai dengan kondisi riil di daerahnya. Sedangkan utuh
artinya bahwa dalam melaksanakan kewenangan yang telah diserahkan tersebut
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi merupakan tanggung jawab
pemerintah daerah sepenuhnya. Pemerintahan pusat tidak lagi mencapurinya.
68 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Pemerintah pusat hanya memberikan pedoman, arahan, bimbingan dan penentuan
standarnya. (Nurcholis, 2007:126).
Itulah sebabnya perlu ada perumusan kembali tentang kepemerintahan
yang baik atau good governance tersebut, agar kita memiliki kesepahaman yang
sama. Karena sering kepemerintahan yang baik dapat diartikan dengan
penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan berdasarkan aturan perundang-
undangan dengan memperhatikan aspirasi publik atau hanya memenuhi aspirasi
publik. Disinilah pentingnya kesepahaman bersama tentang istilah
kepemerintahan yang baik atau good governance dalam konteks otonomi daerah.
Perlu dipahami bahwa konsep otonomi daerah secara filosofis telah mengubah
makna government yang berorientasi pada otoritas kepada governance yang
berorientasi pada interaksi antara pemerintah (government), masyarakat (public)
dan swasta (privaty sector).
DAFTAR PUSTAKA.
Abdul Wahab, Solichin, 1997, Analisis Kebijaksanaan, Dari Formulasi
Keimplementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta, Penerbit PT Bumi Aksara
Abidin, Said Zainal, 2004, Kebijakan Publik, Jakarta Pancar Siwah.
Adimihardja, Kusnaka & Hikmat, Harry. 2003. Participatory Research Appraisal.
Pengabdian dan Peberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora
Anderson, James, A. 1997. Public Policy Making Third Edition, USA, Penerbit
Houghton Miffin Company
A.R. Mustapadijaja. 1992. Studi Kebijaksanaan, Perkembangan dan Perepannya
dalam Rangka Administrasi dan Manajemen Pembangunan. Jakarta, LP-FEUI.
Arief, Syaiful, 2006, Demokrasi: sejarah, praktik, dan dinamika pemikiran
Averroes Press, Jakarta.
Chandra, Eka, dkk. 2003. Membangun Forum Warga. Implementasi Partisipasi
dan Penguatan Masyarakat Sipil. Bandung: Akatiga.
Dye R Thomas. 2008. Understanding Public Policy. Pearson Education' Upper
Saddle River' NewJersey
Dun, Willian N, 1981. Public Policy Analysis : An Intruduction, Prentce_Ha, Inc,
Englewood Cliffs, N.J.07632. USA
……………….., 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua.
(Diterjemahkan oleh: Samodra Wibawa.dkk.) Yogyakarta: Gaja Mada University
Pres.
Edwar III, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington,
DC,Congressional Quarterly Press
Gaventa, John dan Valderama, Camilo. 2001. Mewujudkan Partisipasi: Teknik
Partisipasi Masyarakat untuk Abad 21. The British Council dan New. Economics
Foundation.
69 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Efektivitas Pelayanan Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
di Dinas Tata Ruang Dan Tata Bangunan Kota Medan
Andoko
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Pancabudi Medan)
Abstrak
Salah satu cara untuk menanggulangi lemahnya pelayanan aparatur
pemerintah yang menyebabkan tidak optimalnya fungsi pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat adalah dengan mengalihkan aspek-aspek dan fungsi-fungsi
pemerintahan konvensional melalui penggunaan teknologi baru. Salah satu usaha
konkrit adalah dengan memanfaatkan teknologi informasi dalam bentuk
pelayanan perijinan yang terpadu (one stop service) yang sering disebut Pelayanan
Perijinan Terpadu Satu Pintu. Hasil dari bentuk terobosan yang dilakukan
pemerintah tersebut adalah dibentuknya Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu
(KPPT). Tujuan pembentukan badan ini adalah untuk mendorong peningkatan
pelayanan publik yang dianggap kurang transparan atau kurang terbuka. Pelayanan
Perizinan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) disini adalah penyelenggaraan perizinan mulai
dari tahap permohonan sampai tahap penerbitan dokumen (penyerahan izin pada
pemohon), dilakukan secara terpadu dalam satu tempat.
Kata Kunci : Efektifitas, Pelayanan, Izin Mendirikan Bangunan
A. Pendahuluan
Pemerintah dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih,
dan berwibawa diharapkan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik dan
kompleks. Pemerintah memiliki badan wewenang untuk
mengatur kehidupan warga negaranya dan juga memiliki kewajiban untuk
memberikan pelayanan yang maksimal pada masyarakat.Pelayanan terhadap
masyarakat selama ini diupayakan oleh pemerintah selaku penyelenggara
administrasi Negara melalui
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang
merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dengan
telah mengubah paradigma sentralisasi pemerintah ke arah desentralisasi dengan
pemberian otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab. Perubahan
paradigma di atas menuntut pemerintah daerah untuk membuktikan
kesanggupannya dalam melaksanakan unsur-unsur pemerintahan lokal sesuai
dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat lokal khususnya.
Sedangkan Rogers dalam Laporan Akhir Indeks Kepuasan Masyarakat
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (2011, h. 25) mengenalkan model „Three
E‟s‟ dalam sebuah pelayanan publik yang terdiri dari economies, efficiency, dan
effectiveness. Economies yang diartikan sebagai seberapa besar biaya yang
dikeluarkan untuk mendapatkan resources yang dibutuhkan. Kedua efficiency
adalah perbandingan antara output dengan input yang dibutuhkan. Sedangkan
yang ketiga, effectiveness adalah hasil akhir dari pelayanan dikaitkan dengan
output nya.
70 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Salah satu cara untuk menanggulangi lemahnya pelayanan aparatur
pemerintah yang menyebabkan tidak optimalnya fungsi pelayanan yang diberikan
kepada masyarakat adalah dengan mengalihkan aspek-aspek dan fungsi-fungsi
pemerintahan konvensional melalui penggunaan teknologi baru. Salah satu usaha
konkrit adalah dengan memanfaatkan teknologi informasi dalam bentuk
pelayanan perijinan yang terpadu (one stop service) yang sering disebut Pelayanan
Perijinan Terpadu Satu Pintu. Hasil dari bentuk terobosan yang dilakukan
pemerintah tersebut adalah dibentuknya Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu
(KPPT). Tujuan pembentukan badan ini adalah untuk mendorong peningkatan
pelayanan publik yang dianggap kurang transparan atau kurang terbuka.
Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) disini adalah
penyelenggaraan perizinan mulai dari tahap permohonan sampai tahap penerbitan
dokumen (penyerahan izin pada pemohon), dilakukan secara terpadu dalam satu
tempat. Penerapan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) merupakan
salah satu bentuk usaha dalam menjalankan aktifitas pemerintahan yang lebih
efektif dan efisien. Aplikasi teknologi ini merupakan bentuk nyata usaha
pemerintah dalam mempermudah dan mempercepat alur pelayanan perizinan.
Dengan adanya PPTSP yang baik, maka pemerintah dapat melaksanakan
pelayanan secara terpadu dengan memperhatikan kondisi lingkungan dan
masyarakatnya.
Program tersebut didukung dengan adanya perkembangan teknologi
informasi secara global pada akhirnya mampu mengembangkan tingkat pelayanan
perizinan di KPPT dengan menggunakan teknologi internet secara on-line untuk
melayani para pemohon IMB yang berhalangan mendatangi KPPT secara
langsung. Dengan adanya teknologi ini masyarakat dapat mengontrol kinerja
aparatur pelayan publik di KPPT dalam memproses IMB atau perizinan lain yang
telah diajukan. Baik itu mengenai kelengkapan data, administrasi, hingga rincian
retribusi semuanya sangat terbuka dan transparan untuk diakses. Sehingga mampu
meningkatkan kepercayaan dari masyarakat. Khususnya bagi para pemohon IMB
sektor industri pariwisata yang notabene mempunyai skala besar dalam
pengurusan IMB, yang tentunya rincian-rincian yang sekecil mungkin sangat
berpengaruh terhadap tujuan yang mereka inginkan.
Tidak terkecuali di Kota Batu yang belakangan ini mengalami pertumbuhan
yang pesat dalam pembangunan sektor industri pariwisata, dimana Kota otonomi
yang baru berumur sekitar 10 tahun ini merupakan Kota Pariwisata yang banyak
dikunjungi oleh wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri. Pembangunan
untuk menarik wisatawan dan juga investor dalam sektor industri dan pariwisata
gencar dilakukan. Hal ini pasti membutuhkan pelayanan ekstra yang harus
diberikan pemerintah dalam bidang perizinan terhadap masyarakat demi
terciptanya pelayanan dan
juga pengurusan perizinan yang efisien, efektif, dan tepat sasaran.
71 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Peningkatan pembangunan yang dilakukan di Kota Batu baik dari sektor
industri maupun pariwisata secara tidak langsung menimbulkan peningkatan pula
terhadap permohonan pengajuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dengan
harapan mendapat pelayanan prima secara dinamis, tanggap, cepat, serta tepat
sasaran. Oleh sebab itu dengan adanya Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu
(PPTSP) diharapkan pelayanan perizinan terutama dalam pemberian Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) dapat berjalan secara efektif, yaitu sesuai dengan
standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi
penerima pelayanan.
Menurut Dwiyanto (2008, h.136) pelayanan publik merupakan produk
birokrasi publik yang diterima oleh warga pengguna maupun masyarakat secara
luas. Kemudian pelayanan publik dapat didefinisikan sebagai serangkaian aktifitas
yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan warga
pengguna.
Dwiyanto (2008, h. 147) mengklasifikasikan konsep pelayanan publik
sebagai berikut :
a. Pelayanan publik yang efisien dari perspektif pemberi layanan, pemberi
harus mengusahakan agar harga pelayanan murah dan tidak terjadi
pemborosan sumber daya publik. Demikian juga dari perpektif pengguna
layanan, mereka menghendaki pelayanan publik dapat dicapai dengan biaya
yang murah, waktu singkat, dan tidak banyak membuang energi.
b. Pelayanan publik yang responsive adalah kemampuan organisasi untuk
mengidentifikassi kebutuhan masyarakat menyusun prioritas kebutuhan, dan
mengembangkannya kedalam berbagai program pelayanan.
c. Pelayanan publik yang non-partisanadalah sistem pelayanan yang
memperlakukan semua pengguna layanan secara adil tanpa membeda-
bedakan berdasarkan status sosial ekonomi, kesukuan, etnik, agama,
kepartaian, dan sebagainya.
Dalam perspektif hubungan antara masyarakat dan pemerintah sebagai
penyedia pelayanan publik, Moleong dalam Ismail (2010, h.85) mengartikan
pelayanan publik sebagai pemberian layanan terhadap keperluan orang atau
masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan
aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Sedangkan Rogers dalam Profil KPPT (2011, h.25) mengenalkan model
„Three E‟s‟ dalam sebuah pelayanan publik yang terdiri dari economies,
efficiency, dan effectiveness. Economies yang diartikan sebagai seberapa besar
biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan resources yang dibutuhkan. Kedua
efficiency adalah perbandingan antara output dengan input yang dibutuhkan.
Sedangkan yang ketiga, effectiveness adalah hasil akhir dari pelayanan dikaitkan
dengan output nya.
Tolak ukur efektivitas penyelenggaraan pelayanan IMB sektor industri
pariwisata di KPPT Kota Batu sesuai dengan yang diungkapkan oleh Tolak ukur
72 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
efektivitas suatu organisasi dalam kegiatannya juga dikemukakan oleh Bagindo
dan M. Ridwan dalam Dinullah (1990, h.32) sebagai berikut:
1. Mutu pekerjaan, adalah kebaikan pekerjaan yang telah dilakukan oleh
pegawai dengan menimbang faktor-faktor seperti kesalahan-kesalahan yang
menyangkut kualitas pekerjaan.
2. Ketetapan waktu atau volume pekerja, adalah bagaimana kecepatan kerja
dengan bagaimana tepatnya waktu, kecepatan ini dipelihara dan hendaknya
dipertimbangkan. Dalam volume pekerja ini mengandung adanya unsur
waktu yang berfungsi sebagai pembatas penyelesaian suatu pekerjaan.
3. Pengetahuan dan inisiatif pegawai mengenai pekerjaan adalah kesanggupan
pegawai memikul tanggung jawab dan memulai serta melaksanakan hal-hal
yang tanpa instruksi terperinci tentang bagaimana cara mengambil tiap
langkah.
4. Sikap kerja, adalah sampai sejauh mana pegawai tersebut menaruh minat
dalam pekerjaannya. Bila timbul keadaan darurat diperlukan usaha yang
lebih besar dari yang biasanya, apakah ia dengan serta merta menghadapi
tugas ini dengan antuisme.
Dengan adanya latar belakang tersebut pada akhirnya efektivitas pelayanan
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) khususnya sektor industri pariwisata harus
lebih dikaji lebih dalam, baik dalam penyelenggaraan pelayanan yang diberikan
oleh KPPT maupun dalam hal kesesuaian lahan yang disahkan apakah telah sesuai
dengan tata ruang Kota Batu sendiri.
Dari keempat indikator yang dijadikan tolak ukur efektivitas dapat dinilai
bahwa penyelenggaraan pelayanan IMB dalam sektor industri pariwisata dapat
dikatakan telah efektif. Hal ini dibuktikan dengan Pegawai KPPT sebagai abdi
masyarakat dalam proses pelayanan IMB khususnya bidang pariwisata dalam
mutu pekerjaan sudah dapat meminimalisir kesalahan-kesalahan yang terjadi di
lapangan maupun di bagian back office.
Karena pada realitanya para pemohon IMB sektor industri pariwisata ini
merasa telah puas oleh pelayanan yang diberikan. Tidak terdapat kesalahan-
kesalahan yang berarti yang dapat menghambat proses IMB yang diajukan.
Ketetapan waktu dan volume pekerja pada KPPT dalam kepengurusan IMB
pariwisata semua sudah baik, hal tersebut nampak ketika para pemohon IMB
pariwisata di Kota Batu mendapat IMB sesuai dengan waktu yang ditetapkan
sebelumnya.
Namun jika pada beberapa waktu tertentu ada sebuah kendala yang
menyebabkan penunggakan waktu itu dikarenakan bukan dari dalam KPPT,
melainkan dari pihak lain. Pihak lain yang di maksud adalah rekomendasi dari
dinas-dinas lain yang terkait, seperti rekomendasi walikota, Bappeda, Dinas Cipta
Karya dan Tata Ruang Kota, dinas Bina Marga, dan rekomendasi dari masyarakat
sekitar daerah pengajuan IMB yang diwakili oleh Kelurahan dan Kecamatan, atau
73 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
bahkan dari pemohon IMB sendiri. Misalnya saja dengan kurangnya pemenuhan
syarat atau kurang fahamnya dengan prosedur yang berlaku di KPPT.
Kemudian dalam pengetahuan dan inisiatif pegawai para pegawai KPPT ini
sudah mampu menjalankan kinerja dan porsinya tanpa harus ada bimbingan
khusus dari atasan. Dengan adanya kerja tim yang baik, para pegawai KPPT juga
menjadi lebih tanggap dalam melayani masyarakat. Dalam hal sikap kerja yang
juga merupakan salah satu tolak ukur efektivitas para pegawai KPPT dalam
melayani IMB sektor industri pariwisata di Kota Batu sikap kerja yang baik ini
terlihat dari semangat kerja yang tinggi dalam penyelesaian proses pelayanan IMB
terhadap masyarakat yang berkepentingan di dalamnya sehingga tujuannya dapat
tercapai khususnya untuk masyarakat pemohon IMB sektor industri pariwisata.
Dengan kemudahan dalam pengajuan dan proses pelayanan IMB, pada
akhirnya mendorong banyak berdirinya bangunan-bangunan sektor industri
pariwisata baik itu obyek pariwisata maupun perhotelan di kawasan Kota Batu.
Dalam jangka waktu 3 tahun terakhir ini mulai 2009-2011 setidaknya ada 9
(sembilan) bangunan sektor industri pariwisata baik itu obyek pariwisata maupun
perhotelan yang telah disahkan IMB dan telah mampu beroperasional. Yaitu, Batu
Night Spectaculer, Museum Satwa, Hotel Paradise, Hotel Singhasari, Hotel
Arjuno, Batusuki Resort, Wonderland, Jambuluwuk Resort, Batu Town Square.
Hal ini tentu saja sangat berpengaruh kepada kualitas hidup dan kenyamanan
masyarakat Kota Batu.
Selain meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Batu tapi juga
mampu meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar kawasan industri
pariwisata. Ini sangat nampak dari masyarakat yang berkecimpung dalam dunia
wirausaha sedikit banyak telah merasakan dampak dari banyaknya kawasan
wisata di Kota Batu. Selain itu Kota Batu juga menjadi lebih indah dan rapi dalam
tata perkotaanya, serta ramai oleh wisatawan baik wisatawan lokal, daerah,
maupun luar negeri.Salah satu dasar pertimbangan penetapan peraturan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) adalah agar setiap bangunan memenuhi teknik
konstruksi, estetika serta persyaratan lainnya sehingga tercipta suatu rangkaian
bangunan yang layak dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, keindahan
dan interaksi sosial.
Diagram Strategi dan Perencanaan Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan
serta Berwawasan Lingkungan (PBBL)
Tujuan dari penerbitan IMB adalah untuk mengarahkan pembangunan yang
dilaksanakan oleh masyarakat, swasta maupun bangunan pemerintah dengan
pengendalian melalui prosedur perizinan, kelayakan lokasi mendirikan,
peruntukan dan penggunaan bangunan yang sehat, kuat, indah, aman dan nyaman.
Selain itu, adanya IMB berfungsi supaya pemerintah daerah dapat mengontrol
dalam rangka pendataan fisik kota sebagai dasar yang sangat penting bagi
perencanaan, pengawasan dan penertiban pembangunan kota yang terarah dan
sangat bermanfaat pula bagi pemilik bangunan
74 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata
ruang wilayah (RTRW). Di samping sebagai “guidance of future actions” RTRW
pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi
manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras,
seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta
kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development
sustainability). Proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud
operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri.
Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan
dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan
RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.
Dalam penyelenggaraan pelayanan IMB yang dilakukan di KPPT yang
berkaitan dengan syarat dan prosedur pelayanan dapat dikatakan telah efektif yang
mana semua tujuan yang diharapkan oleh masyarakat dapat tercapai. Namun
dalam hal
pengguanaan lahan yang disahkan dalam IMB sektor industri pariwisata di
Kota Batu masih dinilai tidak sesuai. Hal ini mungkin juga dipicu dengan hakekat
mengenai kegiatan pariwisata secara umum yang hanya tertarik pada pemanfaatan
aset lingkungan selaku daya tarik wisata. Namun eksploitasi yang berlebihan pada
akhirnya nanti akan menimbulkan dampak-dampak yang tidak diinginkan. Dalam
pendirian bangunan-bangunan hingga pengoperasionalannya banyak yang
beranggapan bahwa beberapa dari bangunan pariwisata tersebut tidak sesuai
dengan ketentuan tata ruang yang berlaku. Misalnya saja pendirian Jambuluwuk
Resort dan Museum Satwa. Anggapan seperti ini dilatarbelakangi dari pendirian
bangunan tersebut yang didirikan di daerah kawasan hijau. Kenyamanan dan
keselamatan pada akhirnya menjadi sorotan utama akibat yang akan
dipertanyakan dari pendirian bangunan tersebut.
Namun KPPT sebagai pihak yang berwenang mengenai hal ini seakan tidak
mempunyai pertimbangan akan keputusan yang diambil. Walikota sebagai kepala
pemerintahan tertinggi di Kota Batu tetap menjadi pemegang kekuasaan tertinggi
pula dalam IMB khususnya sektor industri pariwisata dan pada akhirnya dapat
diartikan bahwa dalam pengeluaran IMB sektor industri pariwisata di Kota Batu
terdapat intervensi walikota. Rekomendasi dari walikota dijadikan sebagai
tahapan tertinggi dalam pengesahan IMB sektor industri pariwisata. Sehingga
KPPT sebagai pihak yang berwenang dalam hal perizinan hanya dipandang
sebagai perpanjangan tangan dari walikota.
Standar minimal pengeluaran IMB secara umum adalah dipenuhinya segala
sesuatu yang merupakan syarat dan prosedur pelayanan perizinan IMB, serta
adanya rekomendasi dari pihak-pihak terkait. Dalam sektor industri pariwisata
standar minimal yang ditentukan tidak jauh berbeda dengan pengajuan IMB
bangunan lain, hanya saja terkadang rekomendasi yang diberikan jauh lebih luas
ruang lingkupnya. Karena lebih
75 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
dilihat dari Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Luas Bangunan
(KLB), Koefisien Ketinggian Bangunan (KKB), faktor lingkungan, kesehatan,
kenyamanan, dan keselamatan. Karena pada dasarnya dalam sektor industri
pariwisata tersebut akan lebih melibatkan banyak pihak dalam
pengoperasionalannya, baik itu para karyawan, wisatawan yang mendatangi
kawasan industri pariwisata tersebut, dan masyarakat sekitar industri tersebut.
Transparansi dalam biaya retribusi yang dibebankan pada pemohon IMB
sudah dijalankan secara terbuka antar kedua pihak tersebut. Segala rincian yang
menyangkut nominal pemberian IMB dari tahap awal sampai akhir sudah sangat
jelas dan sesuai. Namun untuk transparansi biaya retribusi yang dikenakan sangat
dirahasiakan dan tidak dapat dipublikasikan sedikitpun. Hal ini sangat
mengherankan jika dilihat dari pernyataan yang menjelaskan bahwa semua
perhitungan sudah sesuai akan tetapi mengapa masih ada hal yang sangat
dirahasiakan di dalamnya dari konsumsi publik.
Faktor pendukung terhadap IMB sektor industri pariwisata Adalah dengan
adanya suatu bentuk program baru yang dinamakan Pelayanan Perizinan Terpadu
Satu Pintu (PPTSP). Seperti yang telah diketahui program ini telah menempatkan
suatu bentuk pelayanan perizinan yang dilakukan dalam satu atap atau satu tempat
kantor/dinas yaitu KPPT. Dengan adanya program yang seperti secara langsung
para pemohon IMB sektor pariwisata merupakan salah satu yang diuntungkan
selain para pemohon-pemohon lain. Ini dapat dimanfaatkan oleh pemohon IMB
sektor pariwisata untuk mengajukan IMB sektor pariwisatanya secara mudah.
Kerja tim antara bagian administrasi (back office) dan tim teknis sangat
terkoordinasi. Terkoordinasi ini diartikan sebagai adanya kerjasama yang baik
mulai dari proses pendataan yang didapat dapat benar-benar disesuaikan dengan
kondisi di lapangan (teknis) dengan penuh ketelitian
Serta Adanya perkembangan teknologi informasi secara global pada
akhirnya mampu mengembangkan tingkat pelayanan perizinan di KPPT dengan
menggunakan teknologi internet secara on-line untuk melayani para pemohon
IMB yang berhalangan mendatangi KPPT secara langsung. Dengan adanya
teknologi ini masyarakat dapat mengontrol kinerja aparatur pelayan publik di
KPPT dalam memproses IMB atau perizinan lain yang telah diajukan. Baik itu
mengenai kelengkapan data, administrasi, hingga rincian retribusi semuanya
sangat terbuka dan transparan untuk diakses. Sehingga mampu meningkatkan
kepercayaan dari masyarakat. Khususnya bagi para pemohon IMB sektor industri
pariwisata yang notabene mempunyai skala besar dalam pengurusan IMB, yang
tentunya rincian-rincian yang sekecil mungkin sangat berpengaruh terhadap
tujuan yang mereka inginkan.
Sedangkan faktor penghambat terhadap IMB sektor industri pariwisata
adalah dengan sedikit terhambat oleh peralatan survey yang kurang. Hal ini
mempunyai pengaruh yang sangat besar jika dilihat dari banyaknya pengajuan
IMB khususnya bidang pariwisata saat ini. Karena dengan kurangnya peralatan
76 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
teknis ini dapat menghambat kinerja tim teknis di lapangan yang pada akhirnya
juga mampu mempengaruhi keseluruhan proses IMB. Namun sejauh ini peralatan
teknis tersebut mampu diusahakan dengan seoptimal mungkin dalam kinerja
lapangan meskipun pada dasarnya itu sangat kurang untuk kelengkapan peralatan
kinerja.
Sulitnya mendapat kepercayaan dari masyarakat sekitar mengenai kawasan
wisata yang akan didirikan dalam hal ini diwakili oleh kelurahan atau kecamatan
setempat. Seperti yang diketahui bahwa rekomendasi dari pemerintah, dinas-dinas
terkait, dan masyarakat sekitar merupakan syarat utama proses IMB setelah syarat
kelengkapan data dan administrasi. Rekomendasi dari pemerintah dalam hal ini
walikota lebih mudah dipenuhi, begitu juga dengan rekomendasi dari dinas-dinas
yang terkait.Namun untuk rekomendasi dari masyarakat sekitar kawasan sektor
wisata yang akan didirikan ini cukup sulit.
Penutup
Kesimpulan dalam penulisan ini adalah Pelayanan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) dalam sector industri pariwisata di Kota Batu oleh Kantor
Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) Kota Batu secara penyelenggaraan
pelayanan sudah dilakukan secara efektif. Hal ini nampak dari proses kinerja serta
hasil dari pelayanan perizinan yang diberikan kepada masyarakat telah mencapai
tujuan yang diharapkan terlebih lagi dengan semakin didukung dengan
dikeluarkan program yang dinamakan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu
(PPTSP). Program ini mempermudah masyarakat untuk mengurus IMB,
dikarenakan dengan adanya PPTSP masyarakat dapat mengurus IMB pada satu
tempat atau bisa dikatakan satu atap yaitu di KPPT. Pelayanan Perizinan Terpadu
Satu Pintu (PPTSP) disini adalah penyelenggaraan perizinan mulai dari tahap
permohonan sampai tahap penerbitan dokumen (penyerahan izin pada pemohon),
dilakukan secara terpadu dalam satu tempat yaitu KPPT. Hal ini sangat
berpengaruh bagi para pemohon IMB khususnya sector industri pariwisata karena
jika dilihat dari latar belakangnya bahwa pembangunan kawasan wisata baik itu
obyek wisata maupun perhotelan pastinya mempunyai skala yang besar dalam hal
luas wilayah dan bentuk-bentuk perizinan lain yang menjadi syarat
mengoperasionalkan sector industripariwisatatersebut.
Namun ada beberapa hal yang kurang sesuai dalam pemilihan lahan yang
digunakan dalam pembangunan tempat-tempat industri pariwisata tersebut
sekalipun aparatur yang berwenang telah meyakinkan bahwa pemberian IMB
tersebut sudah sesuai dengan aturan. Namun jika dikaji lebih dalam IMB yang
diberikan pada Jambuluwuk Resort dan Museun Satwa tidak sesuai dengan UU
Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang karena dibangun di daerah
kawasan hijau. Padahal dalam realitanya dalam Pasal 29 Ruang Terbuka Hijau
(RTH) di suatu wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Namun
dilihat dari peta Guna Lahan yang terdapat di Bappeda persentase tersebut belum
77 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
terpenuhi dan bahkan semakin berkurang oleh banyaknya pembangunan
khususnya sektor industri pariwisata.
Saran dalam penulisan ini adalah bahwa dalam efektivitas pelayanan
perizinan IMB sektor industri pariwisata sebaiknya KPPT lebih memberikan
sosialisasi kepada masyarakat pemohon IMB mengenai standar minimal dalam
bentuk syarat dan prosedur yang ditetapkan pada proses pelayanan IMB. KPPT
sebagai pihak yang berwenang dalam hal perizinan sebaiknya mampu
meningkatkan perencanaan yang lebih matang dalam keputusan produk layanan
yang dikeluarkan sehingga nantinya tidak menimbulkan kontroversi dan
kesalahpahaman ditengah masyarakat.
Karena pada dasarnya keputusan yang telah dikeluarkan oleh KPPT dalam
hal perizinan adalah bersifat pasti, tanpa bisa diganggu gugat oleh pihak lain tanpa
adanya alasan yang melatarbelakangi dengan jelas. Terkecuali jika IMB yang
dikeluarkan tidak sesuai dengan UU dan Peraturan Daerah yang berlaku sebagai
pedoman dasar. KPPT sebagai pihak yang berwenang sebaiknya juga mampu
lebih mandiri dalam pengambilan keputusan. Hal ini dimaksudkan agar intervensi
dari walikota dapat diminimalisir mengingat KPPT merupakan pihak yang
berwenang dalam perizinan khusunya dalam hal IMB sektor industri pariwisata.
Daftar Pustaka
Dinullah, Arnaully. (1990) Pola Berfikir Seorang Manager. Bandung, Aksara
Baru.
Dwiyanto, Agus. (2002) Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia.
Yogyakarta,Pusat Media.
Dwiyanto, Agus. (2008). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan
Publik. Yogyakarta,Gadjah Mada University Press.
Ismail, MH.HM dkk. (2010) Menuju Pelayanan Prima. Malang: Program Sekolah
Demokrasi.
Profil KPPT Kota Batu. (2011) KPPT Kota Batu.
Santana K, Septiawan. (2007) Menulis Ilmiah Penelitian Metode Penelitian
Kualitatif. Jakarta, YayasanObor Indonesia.
Silalahi, Ulber. (2009) Metode Penelitian Sosial. Bandung,PT. Rafika Aditama.
78 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
EFEKTIFITAS ALOKASI DANA DESA (ADD) DALAM
MENGENTASKAN KEMISKINAN MENURUT UNDANG-UNDANG
NO.6 TAHHUN 2014 TENTANG DESA
Isdiana Syafitri
(Universitas Amir Hamzah Medan)
Abstrak
Birokratisasi merupakan bentuk kontrol birokrasi terhadap desa dengan perangkat
pengaturan, pedoman, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis secara detail dan
ketat (rigid) sehingga malah menghilangkan makna dan tujuan besarnya.
Pendekatan ini ditempuh karena selain karakter birokrasi yang memiliki
governmentality (hasrat untuk mengatur), juga didasari oleh argumen bahwa desa
tidak mampu dan tidak siap. Berbagai program pembangunan desa, baik sektoral
maupun spasial, mengalir ke desa dengan dipimpin oleh negara (state led
development) atau government driven development. Pada awal tahun 1970-an,
negara menerapkan pembangunan desa terpadu (integrated rural development-
IRD) untuk menjawab ketertinggalan
Kata Kunci : Efektifitas, Alokasi, Mengentaskan
B. Pendahuluan
Negara menghadapi dilema dalam memperlakukan desa. Di satu sisi
negara-bangsa modern Indonesia berupaya melakukan modernisasi-integrasi-
korporatisasi terhadap entitas lokal ke dalam kontrol negara. Negara menerapkan
hukum positif untuk mengatur setiap individu dan wilayah, sekaligus memaksa
hukum adat lokal tunduk kepadanya. Di sisi lain konstitusi, UUD 1945 Pasal 18B
ayat 2, juga mengharuskan negara melakukan rekognisi (pengakuan dan
penghormatan) terhadap kesatuan masyarakat hukum adat (desa, gampong, nagari,
kampung, negeri dan lain-lain) beserta hak-hak tradisionalnya.
Sejak Orde Baru negara memilih cara modernisasi-integrasi-korporatisasi
ketimbang rekognisi (pengakuan dan penghormatan). UU No. 5/1979, UU No.
22/1999 maupun UU No. 32/2004 sama sekali tidak menguraikan dan
menegaskan asas pengakuan dan penghormatan terhadap desa atau yang disebut
nama lain, kecuali hanya mengakui daerah-daerah khusus dan istimewa. Banyak
pihak mengatakan bahwa desentralisasi hanya berhenti di kabupaten/kota, dan
kemudian desa merupakan residu kabupaten/kota. Pasal 200 ayat (1) UU No.
32/2004 menegaskan: “Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk
pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawatan
desa”. Ini berarti bahwa desa hanya direduksi menjadi pemerintahan semata, dan
desa berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota. Bupati/walikota
mempunyai cek kosong untuk mengatur dan mengurus desa secara luas.
Pengaturan mengenai penyerahan sebagian urusan kabupaten/kota ke desa, secara
jelas menerapkan asas residualitas, selain tidak dibenarkan oleh teori
desentralisasi dan hukum tata negara.
Melalui regulasi itu pemerintah selama ini menciptakan desa sebagai
pemerintahan semu (pseudo government). Posisi desa tidak jelas, apakah sebagai
pemerintah atau sebagai komunitas. Kepala desa memang memperoleh mandat
79 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
dari rakyat desa, dan desa memang memiliki pemerintahan, tetapi bukan
pemerintahan yang paling bawah, paling depan dan paling dekat dengan
masyarakat. Pemerintah desa adalah organisasi korporatis yang menjalankan tugas
pembantuan dari pemerintah, mulai dari tugas-tugas administratif hingga
pendataan dan pembagian beras miskin kepada warga masyarakat. Dengan
kalimat lain, desa memiliki banyak kewajiban ketimbang kewenangan, atau desa
lebih banyak menjalankan tugas-tugas dari atas ketimbang menjalankan mandat
dari rakyat desa. Karena itu pemerintah desa dan masyarakat desa bukanlah
entitas yang menyatu secara kolektif seperti kesatuan masyarakat hukum, tetapi
sebagai dua aktor yang saling berhadap-hadapan.
Birokratisasi merupakan bentuk kontrol birokrasi terhadap desa dengan
perangkat pengaturan, pedoman, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis secara
detail dan ketat (rigid) sehingga malah menghilangkan makna dan tujuan
besarnya. Pendekatan ini ditempuh karena selain karakter birokrasi yang memiliki
governmentality (hasrat untuk mengatur), juga didasari oleh argumen bahwa desa
tidak mampu dan tidak siap. Ada sejumlah bentuk birokratisasi yang masuk ke
desa: mengangkat sekdes menjadi PNS; memberikan tugas-tugas administratif
yang begitu banyak kepada desa sampai pada RT; mereduksi makna
tanggungjawab kepala desa kepada rakyat menjadi laporan pertanggungjawaban
kepala desa kepada bupati melalui camat;
B. Desa Membangun
Berbagai program pembangunan desa, baik sektoral maupun spasial,
mengalir ke desa dengan dipimpin oleh negara (state led development) atau
government driven development. Pada awal tahun 1970-an, negara menerapkan
pembangunan desa terpadu (integrated rural development-IRD) untuk menjawab
ketertinggalan, kebodohan maupun kemiskinan desa, sekaligus menciptakan
wilayah dan penduduk desa yang modern dan maju. Sebagaimana dirumuskan
oleh Bank Dunia, IRD mengambil strategi pertumbuhan dan berbasis-wilayah,
terutama wilayah desa. Program IRD secara tipikal menekankan peningkatan
produktivitas pertanian sebagai basis pendapatan orang desa, sekaligus
mengedepankan kontribusi yang terpadu (sinergis) pendidikan, kesehatan,
pelayanan sosial, pelatihan dan perbaikan infrastruktur pedesaan. Program IRD
ditempuh melalui pendekatan perencanaan terpusat (central planning) dengan
tujuan agar keterpaduan berbagai sektor dapat tercapai.
Dengan diilhami oleh IRD itu, pemerintah Orde Baru membuat cetak biru
(master plan) pembangunan nasional secara terpusat, teknokratis dan holistik,
yang dikemas dalam GBHN maupun Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita). Master plan itu selalu mengedepankan dua sisi pembangunan, yakni
sisi sektoral yang mencakup semua sektor kehidupan masyarakat dan sisi
spatial/ruang yang mencakup pembangunan nasional, daerah dan desa. Dalam
konteks ini pembangunan desa ditempatkan sebagai bagian integral dari
pembangunan nasional, ia bukan sebagai bentuk local development apalagi
sebagai indigenous development yang memperhatikan berbagai kearifan lokal.
Semua departemen, kecuali Departemen Luar Negeri, mempunyai program
pembangunan yang masuk ke desa.
Pendekatan pembangunan desa yang terpadu, berbasis wilayah pedesaan
dan dirancang secara terpusat sangat terlihat dalam pengertian pembangunan desa
80 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
versi pemerintah. Departemen Dalam Negeri waktu itu merumuskan
pembangunan desa sebagai berikut:
Pembangunan Desa adalah suatu usaha pembangunan dari masyarakat
pada unit Pemerintahan yang terendah yang harus dilaksanakan dan dibina
terus-menerus, sistematis dan terarah serta sebagai bagian penting dalam usaha
yang menyeluruh. Agenda ini dibagi menjadi tujuan jangka pendek dan jangka
panjang. Tujuan Jangka Pendek: Untuk meningkatkan taraf penghidupan dan
kehidupan rakyat khususnya di desa-desa yang berarti menciptakan situasi dan
kekuatan-kekuatan dan kemampuan desa dalam suatu tingkat yang lebih kuat dan
nyata dalam pembangunan-pembangunan berikutnya. Sedangkan Tujuan Jangka
Panjang: Mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila yang
diridloi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hubungannya dengan sasaran
pembangunan masyarakat desa, ditujukan untuk menaikkan produksi yang
potensial yang dimiliki oleh desa, meningkatkan kesejahteraan dalam rangka
pembangunan ekonomi. Kegiatan dan tindakan yang lebih intensif dan terarah
daripada pembangunan masyarakat desa. Cara tersebut akan mewujudkan pula
nilai ekonomi riil yang bebas di segala penghidupan dan penentu bagi suksesnya
pembangunan nasional.
Para ilmuwan konservatif pun kemudian mengikuti garis pembangunan
yang sentralistik dan berorientasi pada pertumbuhan itu. Pembangunan Desa,
menurut para ilmuwan konservatif, adalah pembangunan yang dilaksanakan di
desa secara menyeluruh dan terpadu dengan imbalan yang serasi antara
pemerintah dan masyarakat dimana pemerintah wajib memberikan bimbingan
sedang masyarakat memberikan partisipasinya dalam bentuk swakarsa dan
swadaya gotong-royong masyarakat pada setiap tahap pembangunan yang
diinginkan (C.S.T. Kansil, 1983 dan BN Marbun, 1988).
Peranan negara sangat dominan dalam pembangunan desa. Gagasan
modernitas yang diperkenalkan pada masyarakat desa melalui mekanisme
pembangunan desa, tidak lebih hanya merupakan manifestasi kontrol negara pada
masyarakat desa. Hal ini diungkapkan secara gamblang dan konseptual oleh
Mohtar Mas'oed (1994) sebagai berikut:
Sebagai bagian dari pembangunan nasional, pembangunan masyarakat
desa (PMD) dikonseptualisasikan sebagai proses pengkonsolidasian berbagai
wilayah teritorial dan pengintegrasian kehidupan masyarakat dalam berbagai
dimensi (sosial, kultural, ekonomi maupun politik) ke dalam satu unit yang utuh.
Dalam perspektif ini, program PMD yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru
mengandung dua proses yang berjalan serentak namun kontradiktif. Pertama,
PMD merupakan proses "memasukkan desa ke dalam negara", yaitu melibatkan
masyarakat desa agar berperan serta dalam masyarakat yang lebih luas. Ini
dilakukan melalui pengenalan kelembagaan baru dalam kehidupan desa dan
penyebaran gagasan modernitas. Kedua, PMD juga berwujud "memasukkan
negara ke desa". Ini adalah proses memperluas kekuasaan dan hegemoni negara
sehingga merasuk ke dalam kehidupan masyarakat desa dan sering mengakibatkan
peningkatan ketergantungan desa terhadap negara.
Argumen itu mengandung makna bahwa pada tahap pertama pemerintah
menjanjikan warga desa untuk dilibatkan dalam pembangunan. Berbagai jenis
proyek pembangunan diperkenalkan, baik melalui mekanisme Pelita, yang
dilaksanakan berbagai instansi sektoral maupun melalui skema INPRES dan
81 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Bandes, telah berfungsi sebagai penyalur berbagai sumberdaya yang dimiliki
pemerintah ke masyarakat. Sebagian besar kebijakan publik itu telah berhasil
memobilisasi penduduk desa bisa menikmati hasil-hasil pembangunan, dan yang
lebih penting lagi, bisa menerapkan hak, kewajiban dan tanggung jawab sebagai
warganegara penuh. Dengan kata lain, proses ini bisa membuka jalan menuju
partisipasi, modernisasi dan juga demokratisasi.
Namun proses di atas kurang didukung oleh proses yang kedua.
Pengalaman menunjukkan bahwa dalam praktek masyarakat desa hanya bisa
mengakses ke negara, apabila negara punya akses ke bawah. Melalui berbagai
aturan main program pembangunan desa, negara melakukan intervensi dan
menuntut monopoli pengabsahan atas lembaga-lembaga dan prosedur yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat desa. Penetrasi ini dilakukan dengan
pembentukan lembaga-lembaga yang didominasi oleh pemerintah, seperti LKMD,
KUD, PKK, dan sebagainya. Demikian juga peranan dominan Kepala Desa yang
sebenarnya merupakan agen pemerintah pusat (negara) di desa, yang benar-benar
berhasil dalam melaksanakan program pembangunan dan sekaligus menerapkan
kebijakan massa mengambang.
Dengan demikian, pembangunan desa terpadu juga ditempuh dengan
pendekatan yang sinergis antara peran pemerintah (yang membuat perencanaan
dan pendanaan secara sentralistik) dengan swadaya (bukan partisipasi)
masyarakat. Peran pemerintah itu diwujudkan dengan menjalankan Inpres
Bantuan Desa (Bandes), kemudian disusul dengan Inpres-inpres lainnya seperti
Inpres Daerah, SD, kesehatan, jalan, reboisasi dan lain-lain. Pada tahun 1969,
bantuan desa senilai 100 ribu rupiah dan meningkat terus sampai dengan 10 juta
rupiah pada akhir-akhir hayat Orde Baru (1999), menyusul lahirnya desentralisasi
melalui UU No. 22/1999. Bantuan desa tentu bukanlah treatment terhadap
desentralisasi dan pemerintahan desa, melainkan sebagai solusi atas pembangunan
desa. Pemberian bandes pada tahap pertama (Pelita I) berdasarkan pada
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 16/1969 tertanggal 26 Februari 1969,
yang kemudian ditindaklanjuti dengan surat bersama Mendagri dan Menteri
Keuangan, serta di-update terus-menerus setuap tahun melalui Surat Menteri
Dalam Negeri, sebagai petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis pengelolaan
bantuan pembangunan desa.
Ketika Inpres Desa dilancarkan pertama kali, ada tiga argumen resmi yang
melandasinya. Pertama, kondisi desa-desa di seluruh Indonesia sebelum
dilaksanakannya Repelita sangat memprihatinkan, terutama keadaan prasarana
desa yang meliputi prasarana produksi, perhubungan, pemasaran dan sosial yang
jumlahnya sangat terbatas. Kedua, banyak masalah yang dihadapi oleh desa
terutama di desa-desa pedalaman yang sulit komunikasinya, rendahnya tingkat
pengetahuan dan keterampilan, fasilitas kesehatan dan kebersihan yang tidak
memadai, dan kelemahan dalam sosial budayanya, administrasi, rendahnya
managemen dan pengawasan. Ketiga, sejarah telah membuktikan bahwa peranan
masyarakat desa sangat besar dalam rangka mempertahankan kemerdekaan.
Potensi swadaya gotong royong masyarakat desa yang sangat besar ternyata
merupakan modal yang nyata dalam memelihara ketahanan nasional, sekaligus
potensi yang perlu dirangsang untuk mensukseskan pembangunan.
Semangat pertumbuhan dan pemerataan tercantum secara eksplisit dalam
kerangka tujuan bantuan pembangunan desa. Pertama, mendorong,
82 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
menggerakkan dan meningkatkan swadaya gotong royong masyarakat dalam
pembangunan desa. Kedua, mengusahakan agar pemerintah desa dan semua
lembaga yang ada seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD),
Lembaga Musyawarah Desa (LMD), Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)
dan lembaga-lembaga lainnya dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Ketiga,
menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan Lumbung Desa/Prekreditan
Desa dengan mendorong swadaya masyarakat, yang selanjutnya untuk
menanggulangi kerawanan pangan dan menunjang upaya pencapaian swasembada
pangan serta mengatasi kelangkaan permodalan di desa. Keempat, meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan usaha-usaha ekonomi pedesaan ke arah
kehidupan berkoperasi dalam rangka meningkatkan pendapatan. Kelima,
meningkatkan kemampuan dan keterampilan masyarakat agar berpikir dinamis
dan kreatif yang dapat menumbuhkan prakarsa dan swadaya masyarakat yang
pada hakekatnya merupakan usaha ekonomi masyarakat pedesaan sehingga
mampu berproduksi, mampu mengolah dan memasarkan hasil produksinya serta
dapat menciptakan dan memperluas lapangan kerja di pedesaan.
Tetapi rupanya tujuan bandesa itu berubah-ubah dari tahun ke tahun.
Sampai tahun 1980-an, tujuan penciptaan lapangan kerja di pedesaan masih sangat
ditekankan, tetapi memasuki tahun 1990-an bersamaan dengan Program IDT
(1994/1995) dan perubahan dari pembangunan desa menjadi pembangunan
masyarakat desa, tujuan penciptaan lapangan kerja itu dihilangkan. Pada tahun
1997, muncul surat Mendagri No. 412.6/1237/SJ, yang mengedepankan beberapa
tujuan bandes yang agak berbeda dengan tujuan-tujuan sebelumnya. Pertama,
mendorong, menggerakkan dan meningkatkan swadaya gotong royong serta untuk
menumbuhkan kreativitas dan otoaktivitas masyarakat dalam pembangunan desa
dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada secara optimal. Kedua,
meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia (SDM) baik aparat maupun
masyarakat desa antara lain melalui kegiatan Latihan Pengembangan
Pembangunan Desa Terpadu yang juga melatih KPD, serta memajukan dan
mengembangkan peranan wanita dalam pembangunan masyarakat desa. Ketiga,
meningkatkan fungsi dan peranan kelembagaan masyarakat di desa yang
mencakup LKMD dan LMD. Keempat, membangun, mengembangkan dan
memeratakan serta memelihara prasarana dan sarana pendukung di pedesaan.
Kelima, mengembangkan ekonomi rakyat di pedesaan lewat pengembangan usaha
ekonomi produktif dalam rangka peningkatan produksi dan pemasaran barang dan
jasa masyarakat pedesaan.
Mengapa terjadi pergeseran tujuan bandes dari 1980-an ke 1990-an?
Apakah tujuan yang digariskan pada tahun 1970-an sampai 1980-an sudah
membuahkan hasil secara optimal? Bagaimana proses, hasil dan manfaat program
bandes yang sudah berjalan selama 30 tahun (1969 sampai 1999)? Apakah waktu
30 tahun tidak cukup untuk mendobrak transformasi desa secara mendasar menuju
kesejahteraan dan kemandirian masyarakat desa?
Serangkaian pertanyaan itu mungkin terlalu besar untuk diajukan.
Bagaimanapun bandes adalah sebuah investasi pemerintah yang terlalu kecil bila
dibandingkan dengan investasi pembangunan sektoral. Lagipula investasi yang
masuk desa tidak hanya melalui pemerintah, tetapi juga melalui pemodal dengan
skema industrialisasi maupun privatisasi. Oleh karena itu, ada begitu banyak
variabel dan aktor yang sangat menentukan transformasi ekonomi-politik desa,
83 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
termasuk menentukan jalan desa menuju kesejahteraan, keadilan dan kemandirian.
Jika kesejahteraan, keadilan dan kemandirian sampai sekarang belum berpihak
kepada desa, sementara pembangunan desa sudah dijalankan selama tiga
dasawarsa, berarti investasi yang ditanam oleh pemerintah dan pemodal
mengandung banyak kekeliruan, baik dari sisi perspektif, pendekatan, disain
kebijakan, maupun implementasi di lapangan. Meskipun demikian, penilaian
terhadap bandes bisa kita lakukan dengan memperhatikan aspek disain, tujuan,
manfaat, dan hasil-hasilnya.
Sampai sekarang belum ada dokumen evaluasi terhadap program Bandes
yang komprehensif, kritis dan mendalam. Pada tahun 1998, Ditjen PMD Depdagri
bekerjasama dengan sejumlah perguruan tinggi (UI, IPB, UNBRAW dan
UNHAS) melakukan penelitian evaluasi terhadap kinerja dan dampak bantuan
desa. Secara akademik banyak cerita dan data menarik yang dihasilkan oleh
penelitian itu, tetapi hal itu tidak mencerminkan sebuah evaluasi yang
komprehensif di seluruh daerah, melainkan hanya berbentuk penelitian yang
mengambil beberapa daerah sampel. Orang sering bertanya, apakah hasil riset
selalu menjadi pijakan bagi inovasi kebijakan, atau hanya menjadi dokumen
administratif proyek yang memenuhi meja kerja birokrasi dan perguruan tinggi.
Tampaknya Inpres Bandes berjalan secara rutin seperti halnya mekanisme kerja
birokrasi, dan secara berkala (karena tradisi Asal Bapak Senang yang tidak jujur)
pihak pelaksana selalu menampilkan banyak cerita sukses di tingkat desa,
terutama cerita mengenai prestasi menggalang swadaya masyarakat dan capaian
proyek prasarana fisik yang bisa dilihat secara langsung dengan mata-kepala.
Kita sering mendengar cerita sukses pembangunan desa yang dijalankan
dan disiarkan oleh pemerintah. Setiap tahun, tepatnya tanggal 16 Agustus,
Presiden selalu menyampaikan pidato kenegaraan yang berisi banyak cerita sukses
program-program pembangunan, termasuk program pembangunan desa melalui
Inpres Bandes. Meskipun ditemukan banyak kelemahan dan kegagalan, di setiap
tahun pemerintah selalu menunjukkan sederet cerita sukses program bantuan desa,
baik dari sisi manfaat dan hasilnya.
Tabel 2.1 menggambarkan volume keluaran proyek-proyek bantuan desa
yang digunakan untuk membangun berbagai prasarana: produksi (bendungan,
irigasi, waduk, bronjong, dll); perhubungan (jalan, jembatan, gorong-gorong, dll);
pemasaran (pasar, kios, lumbung, dll); sosial (gedung serba guna, lapangan,
tempat ibadah, siskamling, dll). Seperti biasa pemerintah selalu menampilkan
target-target kuantitatif yang fantastis. Pada tahun pertama (1969/70), ada
sejumlah 86.009 volume proyek yang dihasilkan, terdiri dari 38.778 volume
proyek sarana produksi; 32.344 volume sarana perhubungan; 10.083 sarana
pemasaran; dan 4.804 sarana sosial. Kalau jumlah desa pada tahun itu sebesar
44.478, berarti volume 4 (empat) jenis proyek itu belum menjangkau secara
merata ke seluruh desa. Lonjakan volume proyek terjadi pada tahun 1982/83,
yakni sejumlah 232.921 proyek. Angka ini barangkali sudah mampu menjangkau
secara merata ke seluruh desa yang jumlahnya 64.650. Tetapi data yang pasti
belum jelas, apakah setiap proyek mampu menjangkau ke setiap desa. Yang juga
perlu dicermati, ternyata memasuki dekade 1980-an, sebagian besar proyek Inpres
84 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Desa dilarikan ke pembangunan atau peningkatan prasarana sosial (gedung serba
guna, tempat ibadah dan poskamling), sementara proyek-proyek untuk pendukung
peningkatan ekonomi produktif (prasarana produksi dan pemasaran) cenderung
berkurang. Sejak 1986/87, sebagian dana bandes dialokasikan untuk mendukung
sarana ekonomi seperti pengembangan simpan pinjam, dana bergulir dan koperasi.
Semua ini merupakan bentuk “katup pengaman” di tingkat lokal dan pemerataan
akses penduduk terhadap modal kecil
C. Alokasi Dana Desa
Negara memberikan kewenangan kepada setiap desa dalam melestarikan
adat dan tradisi serta budaya masyarakat desa. Selain itu, desa juga diberikan
kewenangan dalam pembangunan serta berpartisipasi dalam menggali potensi
desa dengan mendorong pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif.
Pemerintahan desa juga diharapkan dapat lebih terbuka serta bertanggung
jawab dalam melaksanakan kegiatan di desa dengan tujuan memberikan
pelayanan prima kepada masyarakat yang akhirnya memberikan kesejahteraan
bersama dan menempatkan desa sebagai subjek pembangunan.
Guna memastikan pemanfaatan dana desa agar tepat sasaran, Presiden
Jokowi dalam sebuah kesempatan mengingatkan bahwa dana desa 2016 yang
sudah dianggarkan sebesar Rp47 triliun agar diserap seluruhnya di desa-desa dan
sedapat mungkin dipergunakan untuk memberdayakan masyarakat desa.
“Dana desa harus digunakan untuk keperluan padat karya. Barangnya
dibeli di desa, tidak ke kota. Uang harus terus beredar di desa. Kalau pun dana
tersebut digunakan untuk membeli barang yang benar-benar dibutuhkan namun
hanya bisa ditemui di kota, maka penggunaan uang itu tidak berlebihan,” ujar
Presiden Jokowi.
Untuk itu, Presiden menginstruksikan semua kepala daerah dari level
gubernur, bupati, wali kota, hingga kepala desa agar bekerja sama dengan
lembaga jasa keuangan. Tujuannya, agar dana desa digunakan untuk membiayai
proyek infastruktur padat karya, seperti irigasi, jalan desa dan penyediaan fasilitas
air bersih, dengan menyerap material bahan bangunan lokal, serta menggunakan
kontraktor daerah.
Namun, pengusaha daerah itu juga perlu mendapat dukungan permodalan
dari perbankan. “Saya meyakini peredaran uang yang ada di daerah akan semakin
baik. Jangan sampai uang yang sudah ditransfer ke daerah dari APBN, di sananya
dua hari, balik lagi ke Jakarta. Kasihan daerah,” kata Kepala Negara.
Fokus Infrastruktur Instruksi Presiden agar pemanfaatan dana desa benar-
benar dipergunakan untuk program pembangunan infrastruktur padat karya yang
dapat menggerakkan ekonomi desa itu disambut baik berbagai kalangan terutama
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Menteri Desa
PDTT) Marwan Jafar.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
(DPDTT) telah meminta para kepala desa agar dana desa 2016 difokuskan pada
pembangunan infrastruktur desa.
Pembangunan infrastruktur desa akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat
desa, sebab pembangunan infrastruktur akan memberdayakan sumber daya
manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) masing-masing desa.
85 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Marwan mendorong agar dana desa segera dipakai dengan menjalankan
program padat karya, terutama dengan membangun infrastruktur maupun
program-program berbasis potensi lokal desa.
“Saya tidak henti-hentinya mengajak para kepala desa dan semua elemen
masyarakat desa untuk segera memakai dana desa dengan program padat karya,
terutama dengan membangun infrastruktur desa. Juga membuat Badan Usaha
Milik Desa (BUMDesa) agar potensi ekonomi desa tergarap maksimal. Jangan
ragu-ragu apalagi takut memakai dana desa,” ujar Menteri Marwan.
Marwan mencontohkan program padat karya tersebut misalnya dengan
membangun infrastruktur desa yang memanfaatkan tenaga lokal desa,
menggunakan bahan-bahan baku dari desa, sehingga manfaat dana desa pun bisa
dirasakan semua masyarakat di desa tersebut.
“Dana desa adalah amanat undang-undang Desa dan telah menjadi
komitmen pemerintah Jokowi-JK meningkatkan jumlah dana desa. Sekarang
tinggal bagaimana masyarakat bisa melakukan inovasi-inovasi dengan
memanfaatkan dana desa sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat,”
ujarnya.
Oleh karena itu, Marwan mengingatkan agar semua aparat dan masyarakat
desa bekerja cepat menggunakan dana desa dengan basis potensi lokal sehingga
seluruh dana desa itu akan terserap dan tidak dikembalikan ke pusat. Pemerintah
sangat berharap dana desa dapat berputar di desa sehingga mampu menghidupkan
perekonomian desa.
Jika ekonomi desa bergerak positif, maka tentunya akan mampu
mendongkrak perekonomian nasional sekaligus membantu mengentaskan
kemiskinan warga di wilayah pedesaan. Marwan Jafar yang merupakan Menteri
Desa pertama sejak Indonesia merdeka ini menambahkan, proses dan prosedur
dana desa tidak perlu dibuat rumit.
Jika sudah masuk ke rekening desa, maka dapat langsung digunakan untuk
membangun infrastruktur pedesaan.“Bagi desa yang jalannya rusak maka bangun
jalan desa. Jika saluran irigasinya tidak ada, langsung buat saluran irigasi dengan
dana desa,” katanya.
Melalui Peraturan Kementerian Keuangan nomor 93/PMK.07/2015
tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan
Evaluasi Dana Desa, pemerintah pun berupaya agar mekanisme penggunaan dana
desa dibuat sesederhana mungkin sehingga masyarakat tidak kesulitan menerima
maupun menggunakannya.
Template penggunaan dana desa sudah disampaikan ke semua daerah agar
disosialisasikan ke desa-desa. “Cukup dua lembar kertas berisi rencana program
desa, kemudian buat dua lembar kertas berisi realisasi penggunaan dana desa
sebagai laporan. Enggak usah dibuat ribet yang malah menghambat
pembangunan. Dana desa ini hak desa dan jangan sampai mengendap dan kembali
ke pusat,” kata Menteri Marwan.
Meski demikian, memang tidak mudah merealisaskan penggunaan dana
desa agar fokus pada pembangunan infrastruktur saja.Pasalnya, banyak desa yang
telah memiliki program sendiri, misalnya ada desa yang mengajukan untuk
menjadi pusat kebudayaan desa atau membangun perkebunan desa, dan lain-lain.
Namun di sisi lain, program pemberian dana desa sangat diharapkan turut
membantu pengentasan kemiskinan di Tanah Air, karena berdasarkan data Badan
86 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Pusat Statistik (BPS), pedesaan masih menjadi “rumah” bagi penduduk miskin
Indonesia.
Menggerakkan Perekonomian Tahun ini setiap desa di Tanah Air akan
menerima setidaknya dana segar sebesar Rp800 juta, atau meningkat dari nilai
dana desa pada tahun sebelumnya sebesar Rp250 juta–Rp280 juta. Dana desa
merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Desa sebelumnya kurang diperhatikan, mulai mendapatkan perhatian dari
pemerintah pusat dengan pengalokasian dana desa.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi
(Mendes PDTT) Marwan Jafar mengatakan bahwa prioritas penggunaan dana
desa adalah untuk infrastruktur di desa tersebut. “Dana desa diprioritaskan untuk
program-program infrastruktur, dengan para pekerja dari desa setempat, bahan
bangunan juga dari desa setempat. Dengan demikian, fokus kita agar dana desa
tersebut berputar di desa,” kata Marwan di Jakarta, akhir pekan lalu.
Marwan menjelaskan bahwa penggunaan dana desa untuk infrastruktur
berdasarkan pada keputusan Presiden RI Joko Widodo yang harus dipatuhi oleh
kementerian. Infrastruktur yang dimaksud adalah penunjang pembangunan desa,
seperti halnya jalan, irigasi, dan fasilitas air bersih.
Dengan program infrastruktur, menurut dia, bisa menciptakan lapangan
pekerjaan, juga merespons pertumbuhan ekonomi. Dengan program infrastruktur
pula, keberadaan lalu lintas barang dan jasa di desa itu bergerak.
Kepala desa, perangkat desa, dan semua masyarakat desa agar
mengoptimalkan penyerapan dana desa dengan program padat karya, misalnya
dengan membangun infrastruktur desa yang memanfaatkan tenaga lokal desa,
menggunakan bahan-bahan baku dari desa, dan manfaatnya pun harus bisa
dirasakan semua masyarakat desa.
“Saya tidak akan bosan mengajak para kades dan semua masyarakat desa
untuk segera memakai dana desa dengan program padat karya, terutama dengan
membangun infrastruktur desa,” katanya. Selain itu, juga membuat Badan Usaha
Milik Desa (BUMDesa) agar potensi ekonomi desa tergarap maksimal.
Ia menekankan, “Jangan ragu-ragu, apalagi takut memakai dana desa.”
Desa Huntu Barat, Bone Bolango, Gorontalo, misalnya, yang sukses penggunaan
dana desa dengan program padat karya. Dana desa yang telah disalurkan langsung
dipakai membuat Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) perikanan air tawar yang
memberi manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat. Dana desa pun langsung
membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Huntu Barat.
“Penyerapan dana desa di Huntu Barat sangat cepat dan sudah 100 persen.
Hasilnya terlihat dengan terbangunnya kolam-kolam perikanan air tawar yang
langsung memberi pemasukan bagi masyarakat desa. Ini menjadi contoh bagus
bagi desa-desa lainnya,” kata Marwan.
Jika semua desa bekerja cepat menggunakan dana desa, lanjut Menteri
Marwan, secara otomatis dana desa akan terserap sehingga tidak kembali ke pusat.
Dana desa akan berputar di desa dan dapat menghidupkan perekonomian lokal
desa. Jika ekonomi desa bergerak positif, akan mendongkrak perekonomian
nasional.
Politikus PKB itu mengakui bahwa penggunaan dana desa untuk
infrastruktur dapat menimbulkan keresahan di berbagai desa. Pasalnya, kebutuhan
yang diajukan oleh masing-masing desa tidak semata-mata infrastruktur.
87 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
“Contohnya di Sumatera Barat, ada yang mengajukan untuk menjadi pusat
kebudayaan desa. Lalu, di Jawa Barat, ada yang mengajukan untuk perkebunan.
Ini tidak boleh karena harus dialokasikan untuk infrastruktur,” katanya.
Ketua Forum Pengembangan Pembaruan Desa Farid Adi Rahman meminta
pemerintah tidak ikut campur dalam menentukan prioritas penggunaan dana desa
karena setiap desa memiliki kebutuhan yang berbeda.
“Kalau di Papua dan Sumatra, mungkin kebutuhannya di bidang
infrastruktur, tetapi di desa-desa yang ada di Jawa kebutuhannya bukan pada
infrastruktur lagi karena infrastruktur sudah memadai,” kata Farid.
Desa yang ada di Yogyakarta, misalnya, kebutuhan utamanya adalah
modal, badan usaha milik desa, pasar hingga pelatihan sumber daya manusia.
“Jadi, kebutuhannya bukan pada infrastruktur lagi, melainkan lebih pada
kebutuhan pelatihan untuk pariwisata dan lainnya,” ucap Farid.
D. Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Desa
Bagian ini memaparkan beberapa hal mendasar berkenaan dengan
Pengelolaan Keuangan Desa, yang perlu dipahami secara benar mencakup: 1)
Pengertian istilah. 2) Dasar Hukum. 3) Sumber-sumber keuangan desa dan
mekanisme penyalurannya; 4) Asas-Asas Pengelolaan Keuangan Desa. 5)
Tahapan kegiatan Pengelolaan Keuangan Desa, dan 6) Keterlibatan Masyarakat
dalam Pengelolaan Keuangan Desa.
1. Pengertian
Sudahkah kita memiliki pemahaman yang benar tentang pengertian Keuangan
Desa, dan Pengelolaan Keuangan? Berikut adalah pengertian/difinisi
berdasarkan Permendagri No. 113 Tahun 2014:
Keuangan Desa
Semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala
sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban Desa.
Pengelolaan Keuangan
Seluruh rangkaian kegiatan yang dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan hingga pertanggungjawaban yang dilaksanakan dalam
satu tahun anggaran, terhitung mulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
88 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
2. Kerangka Hukum Keuangan Desa
Semua uang yang dipergunakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan desa adalah uang Negara yang harus dikelola berdasar pada hukum
atau peraturan yang berlaku, khususnya:
Kerangka Hukum Keuangan Desa
UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa
a. PP No. 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014
tentang Desa.
b. PP No. 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN yang
telah diubah menjadi PP No. 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa Yang
Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara
a. Permendagri No. 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa.
b. PMK No. 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran,
Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa
c. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
No. 5 tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun
2015 (diperbaharui tiap tahun)
Selain itu, beberapa peraturan lain yang terkait juga perlu difahami oleh pengelola
keuangan desa, antara lain:
a. UU No. 14 tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
b. Peraturan yang diterbitkan oleh Menteri Desa.
c. Permendagri No. 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.
Ketentuan-ketentuan pokok tentang Keuangan Desa dalam UU No. 6 Tahun 2014
tercantum pada Pasal 71 – 75 yang mencakup: Pengertian keuangan desa, Jenis
dan sumber-sumber Pendapatan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APB Desaa), Belanja Desa, dan Kepala Desa sebagai pemegang kekuasaan
Pengelolaan Keuangan Desa. Kemudian dijabarkan lebih rinci dalam PP No. 43
Tahun 2014, sebagaimana termuat pada Pasal 80 (Penghasilan Pemerintah Desa),
dan Pasal 90 – 106. Khusus mengenai Dana Desa diatur oleh PP No. 60 Tahun
2014 Tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN yang telah diubah menjadi
PP No. 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 2014 Tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan
Belanja Negara.
Ketentuan pokok dimaksud selanjutnya dijabarkan secara detil/teknis dalam
Permendagri No. 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa dan
PMK No. 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran,
89 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa . Mengenai prioritas
belanja desa diatur oleh Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi No. 5 tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana
Desa Tahun 2015 yang akan diperbaharui tiap tahun. Dengan demikian, pengelola
keuangan desa wajib merujuk pada tiga peraturan menteri di atas agar terhindar
dari kekeliruan.
3. Sumber Keuangan Desa
Pendapatan Desa meliputi semua penerimaan uang melalui rekening desa yang
merupakan hak desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak perlu dibayar
kembali oleh desa. Menurut UU Desa, pasal 72 ayat (1) pendapatan desa
bersumber dari:
a. Pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan
partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa;
b. Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c. Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
d. Alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang
diterima Kabupaten/Kota;
e. Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi
dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;
f. Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan
g. Lain-lain pendapatan Desa yang sah.
Pendapatan Asli Desa adalah pendapatan yang berasal dari kewenangan
Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan skala lokal Desa. Yang dimaksud
dengan “hasil usaha” termasuk juga termasuk hasil BUM Desa dan tanah
bengkok.
Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (huruf b) bersumber dari
Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata
dan berkeadilan. Anggaran bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara tersebut adalah anggaran yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat
yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota yang digunakan untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan,
pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. Besaran
alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh
perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap.
Sumber pendapatan desa dari APBN yang disebut Dana Desa diperoleh
secara bertahap. „Bertahap‟ menurut PP 22/2015 memiliki dua arti:
a. Merujuk pada „besaran dana‟ yang akan diterima oleh desa. Komitmen
pemerintah untuk alokasi DD adalah 10% dari dana transfer. Tetapi
pemerintah tidak langsung memberikan 10% dana tersebut melainkan
tergantung pada kemampuan keuangan nasional –di satu sisi- dan
kemampuan desa dalam mengelola keuangan desa. Tahap alokasi DD diatur
dalam dalam PP 22/2015 , yaitu 3% pada tahun 2015, 6% pada tahun 2016
dan 10% pada tahun 2017 .
90 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
b. Merujuk pada „tata cara penyaluran‟ yaitu dilakukan dalam 3 tahap.
Pencarian DD dakan dilakukan pada 1) bulan April 40 %, 2) bulan agustus
40% dan 3) bulan Oktober 20 % dari total Dana Desa.
Bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota paling
sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari pajak dan retribusi daerah. Alokasi dana
Desa paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang
diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah
dikurangi Dana Alokasi Khusus. Bagi Kabupaten/Kota yang tidak memberikan
alokasi dana Desa, Pemerintah dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan
sebesar alokasi dana perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang
seharusnya disalurkan ke Desa. Pentahapan dalam arti tata cara penyaluran untuk
ADD dan bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota
diatur dalam peraturan bupati/walikota dengan berpedoman pada Peraturan
Menteri (lihat PP 43/2014 pasal 99 ayat (2).
Besar dan tata cara penyaluran bantuan keuangan yang bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi atau anggaran pendapatan dan
belanja daerah kabupaten/kota ke Desa dilakukan oleh pemerintah
provinsi/kabupaten/kota ke desa sesuai dengan ketersediaan dana dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dalam konteks penatausahaan, menurut Permendagri 113/2014, pendapatan
desa dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: pendapatan asli desa, transfer dan
pendapatan lain-lain. Pendapatan asli desa (point a) adalah pungutan dan/atau
pendapatan yang dimasukan ke rekening desa. Pendapatan desa yang bersumber
dari pemerintah (baik pusat maupun kabupaten) yaitu huruf b sd f diperoleh
melalui transfer antar rekening yaitu dari rekening kabupaten atau provinsi ke ke
rekening kas desa. Sedangkan pendapatan lain-lain adalah pendapatan yang
bersumber dari hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga dan
lain-lain pendapatan desa yang sah (hurup g dan h). Keseluruhan pendapatan desa
akhirnya harus tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB
Desa).
Sumber-sumber Pendapatan Desa adalah Hak Desa
Perlu diketahui oleh desa bahwa pendapatan desa yang bersumber dari: 1) alokasi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; 2) bagian dari hasil pajak daerah dan
retribusi daerah Kabupaten/Kota;
Dan 3) alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang
diterima Kabupaten/Kota; adalah hak desa. Dengan kata lain dari sisi negara dan
pemerintah daerah, ketiga jenis belanja tersebut adalah „belanja wajib‟ yang harus
dialokasikan ke desa. Sebagai hak, maka desa harus mengetahui dan menuntut
besaran alokasi dari belanja wajib sesuai dengan formula perhitungan dan
91 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
mekanisme penyaluran.
Desa dapat mengetahui besar dana yang akan diperoleh melalui transfer dari
pemerintah dan pemerintah daerah. Desa mengetahui dana yang bersumber dari
Dana Desa setelah Pemerintah menetapkan APBN. Sedangkan dana yang
bersumber dari ADD dan bagi hasil pajak daerah setelah Pemerintah Daerah
menetapkan APBD. Secara teknis, di tingkat pusat alokasi DD di bawah Dirjen
Perimbangan Keuangan Kementrian Keuangan (DJPK) dan Alokasi Dana Desa di
bawah Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. DJPK akan
menginformasikan total transfer DD ke kabupaten dan kabupaten
menginformasikan total DD dan ADD ke setiap desa. Karena itu, informasi yang
paling valid mengenai jumlah DD dan ADD yang akan diterima oleh tiap desa
adalah informasi yang bersumber dari Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
di tiap kabupaten.
4. Formula dan Penyaluran DD, ADD dan Bagian dari Hasil Pajak dan
Retribusi Kabupaten/Kota kepada Desa
Formula untuk menghitung besaran dan mekanisme penyaluran dana desa diatur
oleh PP No. 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negaradan PMK No. 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara
Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa.
Sesuai dengan pasal 6 PMK, dalam melaksanakan penghitungan Dana Desa setiap
Desa, Pemerintah Kabupaten/Kota mengacu pada ketentuan sebagai berikut :
1. Sumber Dana Desa yang digunakan dalam penghitungan Dana Desa
setiapDesa berasal dari rincian Dana Desa setiapkabupaten/kota sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Presiden tentang Rincian APBN/APBN-P.
2. Dana Desa setiap Desa dihitung berdasarkan:
a. Alokasi Dasar, yang merupakan alokasi yang dibagi secara merata kepada
setiap Desa sebesar 90% (sembilan puluh per seratus) dari Dana Desa
setiap kabupaten/kota; dan
b. alokasi yang dihitung dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka
kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis setiap Desa
(yang selanjutnya dalam pedoman ini disebut “Bagian Formula”), dengan
bobot sebagai berikut :
25% (dua puluh lima perseratus) untuk jumlah penduduk;
35% (tiga puluh lima perseratus) untuk jumlah penduduk miskin;
10% (sepuluh perseratus) untuk luas wilayah; dan
30% (tiga puluh perseratus) untuk tingkat kesulitan geografis.
3. Ketentuan terkait rumus/formulasi yang digunakan dalam perhitungan
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan ini, yaitu :
92 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Formula Penyaluran Dana Desa dari Kabupaten ke Desa
Dana Desa setiap Desa = (Dana Desa kabupaten/kota – Alokasi Dasar) x [(25%
x rasio jumlah penduduk setiap Desa terhadap total penduduk Desa
kabupaten/kota yang bersangkutan) + (35% x rasio jumlah penduduk miskin
Desa setiap terhadap total penduduk miskin Desa kabupaten/kota yang
bersangkutan) + (10% x rasio luas wilayah Desa setiap terhadap luas wilayah
Desa kabupaten/kota yang bersangkutan) + (30% x rasio IKG setiap Desa
terhadap total IKG Desa kabupaten/kota yang bersangkutan)].
Sedangkan formula untuk ADD dan bagian dari hasil pajak dan retribusi
daerah kabupaten/kota kepada Desa diatur oleh PP 43 tahun 2014 pasal 96 dan
pasal 97. Berdasarkan pasal 96 PP 43 tahun 2014, pengalokasian ADD
mempertimbangkan:
a. kebutuhan penghasilan tetap kepala Desa dan perangkat Desa; dan
b. jumlah penduduk Desa, angka kemiskinan Desa, luas wilayah Desa, dan
tingkat kesulitan geografis Desa.
Pengalokasian ADD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan peraturan bupati/walikota. Ketentuan mengenai tata cara pengalokasian
ADD diatur dengan peraturan bupati/walikota.
Berdasarkan pasal Pasal 97, Pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan
bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota kepada Desa paling
sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari realisasi penerimaan hasil pajak dan
retribusi daerah kabupaten/kota.Pengalokasian bagian dari hasil pajak dan
retribusi daerah dilakukan berdasarkan ketentuan:
a. 60% (enam puluh perseratus) dibagi secara merata kepada seluruh Desa; dan
b. 40% (empat puluh perseratus) dibagi secara proporsional realisasi
penerimaan hasil pajak dan retribusi dari Desa masing-masing.
Pengalokasian bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota
kepada Desa ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota. Ketentuan mengenai
tata cara pengalokasian bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah
kabupaten/kota kepada Desa diatur dengan peraturan bupati/walikota.
Berdasarkan PP No. 22/2015 (pengganti PP No. 60/2014), Dana Desa hanya
dapat disalurkan jika Kabupaten/kota dan Desa telah memenuhi persyaratan. Di
tingkat Kabupaten/kota syarat yang harus ada adalah: 1) peraturan bupati/walikota
tentang tata cara pembagian dan penetapan besaran Dana Desa untuk tiap desa, 2)
peraturan daerah mengenai APBD tahun berjalan dan 3) laporan realisasi Dana
Desa tahun anggaran sebelumnya karena tahun 2015 adalah tahun pertama
penyaluran Dana Desa maka syarat 3) tidak diperlukan. Persyaratan tersebut harus
disampaikan oleh Kabupaten ke DJPK sebelum pencairan pertama.
Di tingkat Desa syarat yang harus ada adalah: 1) APB Desa yang telah
ditetapkan melalui peraturan desa dan 2) laporan realisasi pengggunaan Dana
Desa semester sebelumnya. Desa juga diwajibkan telah mempunyai rekening kas
desa di Bank karena DD, ADD dan Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah akan
diperoleh oleh desa melalui pemindahan atar rekening dari rekening Bendahara
Umum Daerah (BUD) ke Rekening Kas Desa. Tabel berikut menunjukkan
93 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
kewajiban pemerintah pusat, kabupaten/kota dan desa berakiatan dengan Dana
Desa.
Daftar Pustaka
Anom Surya Putra, 2015. Buku 7Badan Usaha Milik Desa: Spirit Usaha Kolektif
Desa.Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi Republik Indonesia.
Bappenas, 2011 (Edisi III), Perkembangan Perdagangan dan Investasi, Jakarta.
Bertens, K. 2000. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: 15. Jakarta: Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama.
Borni Kurniawan, 2015. Buku 5Desa Mandiri Desa, Desa Membangun.Jakarta:
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Republik Indonesia.
Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport, Connecticut:
Greenwood Press.
Didin Abdullah Ghozali, 2015. Buku 4Penggerak Prakarsa Masyarakat
Desa.Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi Republik Indonesia.
Dwiyanto, Agus dkk., 2003, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah,
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Idham Arsyad, 2015. Buku 9Membangun Jaringan Sosial dan Kemitraan.Jakarta:
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Republik Indonesia.
Kartasasmita, Ginandjar, 2004, Administrasi Pembangunan, Jakarta: LP3ES.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 050-187/Kep/Bangda/2007 tentang
Pedoman Penilaian dan Evaluasi Pelaksanaan Penyelenggaraan
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Jakarta:
Departemen Dalam Negeri.
M. Silahuddin, 2015. Buku 1: Kewenangan Desa dan Regulasi Desa. Jakarta:
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Republik Indonesia.
Mochammad Zaini Mustakim, 2015. Buku 2 Kepemimpinan Desa.Jakarta:
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Republik Indonesia.
Naeni Amanulloh, 2015. Buku 3Demokrasi Desa.Jakarta: Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia.
94 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Nyoman Oka 2009, Perencanaan Pembangunan Desa: Seri Panduan Fasilitator
CLAPP (Community Learning And Action Participatory Process), MITRA
SAMYA dengan dukungan AusAID ACCESS.
Osborne, David dan Ted Gaebler, 1996, Mewirausahakan Birokrasi, Jakarta:
Pustaka Binaman Pressindo.
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 54/2010 tentang Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan,
Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan. Jakarta:
Direktur jenderl Bina Pembangunan Deerah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 123,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5539).
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis
Peraturan Di Desa, Jakarta;
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala
Desa, Jakarta;
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Keuangan Desa, Jakarta;
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 114 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pembangunan Desa, Jakarta;
Said, Mas‟ud, 2007, Birokrasi di Negara Birokratis, Malang: UMM Press.
Sutoro Eko, 2015. Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi dan Semangat UU
Desa.Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi Republik Indonesia.
Syarief, Reza M. 2002. Mengembangkan Inovasi dan Kreativitas Berpikir : pada
Diri dan Organisasi Anda.Bandung : Asy Syamiamil Cipta Media.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4421);
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5495);
Wahyuddin Kessa, 2015. Buku 6Perencanaan Pembangunan Desa.Jakarta:
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Republik Indonesia.
95 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
ANALISIS IMPLEMENTASI PENGAMPUNAN PAJAK (TAX
AMNESTY) DI INDONESI
Atika Sandra Dewi
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Amir Hamzah Medan)
Abstrak
Pendapatan negara dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan,
namun demikian peluang untuk terus ditingkatkan di masa yang akan datang
terbuka lebar karena potensinya belum digali secara optimal. Untuk menggali
penerimaan negara dari sektor perpajakan dibutuhkan upaya-upaya nyata, serta
diimplementasikan dalam bentuk kebijakan pemerintah. Upaya-upaya tersebut
dapat berupa intensifikasi maupun ekstensifikasi perpajakan. Intensifikasi pajak
dapat berupa peningkatan jumlah Wajib Pajak (WP) maupun peningkatan
penerimaan pajak itu snediri. Upaya ekstensifikasi dapat berupa perluasan objek
pajak yang selama in belum tergarap. Untuk mengejar penerimaan pajak, perlu
didukung situasi sosial ekonomi politik yang stabil, sehingga masyarakat juga bisa
dengan sukarela membayar pajaknya.
Kata Kunci : Analisis, Implementasi, Amnesti
PENDAHULUAN
Pembangunan nasional yang berlangsung secara terus-menerus dan
berkesinambungan selama ini, bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat baik
materiil dan spiritual. Untuk merealisasikan tujuan tersebut diperlukan anggaran
pembangunan yang cukup besar. Salah satu usaha untuk mewujudkan peningkatan
penerimaan untuk pembangunan tersebut adalah dengan menggali sumber dana
yang berasal dari dalam negeri, yaitu pajak. Secara ekonomi, pemungutan pajak
merupakan penerimaan negara yang digunakan untuk meningkatkan taraf
kehidupan masyarakat. (Mulyo Agung, 2007).
Taraf hidup masyarakat akan meningkat diperlukan anggaran yang selalu
meningkat pula. Hal ini dapat dilihat dari besarnya anggaran pemerintah Indonesia
untuk tahun 2011. Belanja Negara dalam APBN 2011 sebesar Rp 1.229,6 Triliun
meningkat dari tahun 2010 yang hanya sebesar Rp 1.126 Triliun. Sedangkan
tahun 2012 Belanja Negara dalam APBN dianggarkan sebesar Rp 1.435,4 triliun.
Sekarang ini pajak merupakan sumber penerimaan yang dominan dalam struktur
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Hampir 70 persen penerimaan berasal dari sektor pajak. Pemerintah
menargetkan penerimaan pajak 2011 sebesar 708,9 triliun rupiah atau 64,15
persen dari seluruh penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (ABPN) 2011. Sedangkan untuk tahun 2012 penerimaan pajak ditargetkan
sebesar Rp Rp1.032,6 triliun.
Pendapatan negara dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan,
namun demikian peluang untuk terus ditingkatkan di masa yang akan datang
terbuka lebar karena potensinya belum digali secara optimal. Untuk menggali
96 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
penerimaan negara dari sektor perpajakan dibutuhkan upaya-upaya nyata, serta
diimplementasikan dalam bentuk kebijakan pemerintah.
Upaya-upaya tersebut dapat berupa intensifikasi maupun ekstensifikasi
perpajakan. Intensifikasi pajak dapat berupa peningkatan jumlah Wajib Pajak
(WP) maupun peningkatan penerimaan pajak itu snediri. Upaya ekstensifikasi
dapat berupa perluasan objek pajak yang selama in belum tergarap. Untuk
mengejar penerimaan pajak, perlu didukung situasi sosial ekonomi politik yang
stabil, sehingga masyarakat juga bisa dengan sukarela membayar pajaknya.
Pemerintah tentu diharapkan dapat mempertimbangkan kembali kebijakan
perpajakan yang bisa menarik minat masyarakat menjadi wajib pajak seperti
sunset policy. Demikian juga, salah satu kebijakan yang perlu dipertimbangkan
adalah diberikannya tax amnesty atau pengampunan pajak. Kebijakan ini
diharapkan dapat meningkatkan subyek pajak maupun obyek pajak. Subyek pajak
dapat berupa kembalinya dana-dana yang berada di luar negeri, sedangkan dari
sisi obyek pajak berupa penambahan jumlah wajib pajak.
Indonesia pernah menerapkan amnesti pajak pada 1984. Namun
pelaksanaannya tidak efektif karena wajib pajak kurang merespons dan tidak
diikuti dengan reformasi sistem administrasi perpajakan secara menyeluruh.2
Disamping itu peranan sektor pajak dalam sistem APBN masih berfungsi sebagai
pelengkap saja sehingga pemerintah tidak mengupayakan lebih serius.
Pada saat itu penerimaan negara banyak didominasi dari sektor ekspor
minyak dan gas bumi. Berbeda dengan sekarang, penerimaan pajak merupakan
sumber penerimaan dominan dalam struktur APBN Pemerintah Indonesia. Saat
ini, sebagai bentuk reformasi perpajakan salah satu agendanya adalah menerapkan
Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty Bila kita melihat saat diterapkannya
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 sebagai perubahan UU No.6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) diundangkan,
banyak yang memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut terutama dalam pasal
37A dimana kebijakan ini merupakan versi mini dari program pengampunan pajak
yang banyak diminta kalangan usaha. Meskipun belum mampu memuaskan
semua pihak tetapi kebijakan yang lebih dikenal dengan nama Sunset Policy ini
telah menimbulkan kelegaan bagi banyak pihak 3 Dalam pelaksanaannya,
implementasi perpajakan di Indonesia masih mempunyai beberapa permasalahan.
Pertama, kepatuhan wajib pajak masih rendah. Kedua, kekuasaan
Direktorat Jenderal Pajak masih terlalu besar karena mencakup fungsi eksekutif,
legislatif, dan yudikatif sekaligus sehingga menimbulkan ketidakadilan dalam
melayani hak wajib pajak yang berefek turunnya tingkat kepatuhan wajib pajak.
Ketiga, masih rendahnya kepercayaan kepada aparat pajak dan berbelitnya aturan
perpajakan.
B. Makna dan Fungsi Pajak
97 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Pemerintah akan memberlakukan pajak 2-5 persen untuk aset-aset yang
direpatriasi pada Maret 2017. Pemerintah mulai memberlakukan program amnesti
pajak hari Senin (18/7) di tengah upaya untuk mendongkrak penerimaan pajak
dengan mendorong repatriasi dana yang disimpan di luar negeri.
"Mulai hari ini, kantor pajak telah memulai operasi-operasi untuk
melayani mereka yang ingin berpartisipasi dalam program amnesti ini," ujar
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro kepada wartawan dalam sebuah acara
di Jakarta, Senin.
Para pejabat Kementerian Keuangan mengadakan konferensi pers Senin
sore untuk mengumumkan rincian program tersebut. Pemerintah akan
memberlakukan pajak 2-5 persen untuk aset-aset yang direpatriasi pada Maret
2017. Aset-aset itu harus disimpan di Indonesia selama tiga tahun dalam bentuk
dana-dana yang dikelola bank-bank yang telah ditunjuk, dan dapat diinvestasikan
dalam beberapa cara, termasuk obligasi pemerintah.
Dana-dana hasil repatriasi diizinkan untuk ditanamkan dalam instrumen-
instrumen seperti sekuritas, saham, obligasi dan reksadana, serta pembelian
langsung properti. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko di
Kementerian Keuangan, Robert Pakpahan mengatakan, 18 bank telah memenuhi
kualifikasi untuk mengelola dana-dana dari amnesti pajak, bertambah dari tujuh
bank yang diumumkan minggu lalu.
Namun, bank-bank itu masih perlu menunggu surat penunjukan resmi dari
pemerintah untuk memformalkan mandat itu.
Sejumlah eksekutif bank minggu lalu mengatakan mereka memperkirakan
penerimaan besar dari program amnesti tersebut. Direktur Bank Negara Indonesia
Tbk, Panji Irawan mengatakan, mereka mungkin menerima sampai Rp 75 triliun,
sementara CEO Bank mandiri Kartika Wirjoatmodjo mengatakan aliran dananya
"bisa sangat besar."
Bank-bank itu dapat mengelola dana-dana tersebut melalui perusahaan-
perusahaan pengelola aset dan pialang-pialang yang didaftar pemerintah. Sekitar
US$200 miliar dana negara diperkirakan menumpuk di Singapura dan pengelola-
pengelola kekayaan di sana khawatir program amnesti Indonesia bisa
menyebabkan aset-aset keluar dari industri pengelolaan kekayaan yang masif di
negara kota tersebut.
"Hal ini akan memberikan dampak dan sejumlah uang Indonesia akan
keluar dari Singapura, namun tetap saja banyak uang masih akan disimpan di luar
negeri," ujar seorang bankir swasta senior di Singapura, yang meminta namanya
dirahasiakan karena sensitivitas isu ini.
"Saya belum pernah melihat program amnesti pajak berhasil baik di
negara-negara lain jadi belum jelas seberapa efektif program kali ini."
Bursa saham telah mengharapkan keberhasilan implementasi undang-
undang yang diloloskan parlemen pda 28 Juni ini, dengan kenaikan indeks saham
gabungan 5 persen dan pembelian bersih dari para investor asing sekitar Rp 10
triliun sejak saat itu.
Roni Bako, analis pajak dari Universitas Pelita Harapan, mengatakan
perluasan basis pembayar pajak, yang akan muncul seiring pelaporan aset,
merupakan hasil penting dari program tersebut.
Indonesia hanya memiliki sekitar 28 juta pembayar pajak yang terdaftar,
termasuk perusahaan, ujar Roni.
98 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Namun program amnesti ini masih menghadapi kemungkinan kendala di
dalam negeri. Para aktivis hukum minggu lalu mengajukan kajian yudisial atas
undang-undang amnesti pajak ke Mahkamah Konstitusional.
Mereka mengatakan hal itu akan melukai upaya-upaya anti-korupsi di
Indonesia dan melindungi para pengemplang pajak. Sidang pra-peradilan akan
dijadwalkan 14 hari setelah MK melakukan verifikasi dokumen
C. Aspek Pajak Sebagai Sumber Penerimaan Negara
Pembangunan nasional yang selama ini dilaksanakan adalah kegiatan yang
berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan meningkatkan
kesejahteraan rakyat baik materiil dan spiritual. Untuk dapat merealisasikan
tujuan tersebut harus memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah
satu usaha untuk mewujudkan kemandirian bangsa atau negara dalam hal
pembiayaan pembangunan adalah menggali sumber dana yang berasal dari dalam
negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang
berguna bagi kepentingan bersama.
Beberapa ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian
pajak yang dikemukakan oleh P.J.A. Andriani dalam (Brotodihardjo R. Santoso,
1998). Menyebutkan bahwa : “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat
dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-
peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung ditunjuk, dan
yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.”
Pengertian pajak menurut Edwin R.A Slegman dalam buku Essay in
Taxation menyatakan bahwa “Tax is compulsory contribution from the person to
the government to defray the expenses incurred in the common interest of all,
without reference to special benefit conferred”.( Mulyo Agung, Perpajakan
Indonesia, Teori dan Aplikasi, tahun 2007) Pajak mempunyai 2 fungsi utama,
yaitu fungsi penerimaan (budgetair) dan fungsi mengatur (reguler). Fungsi
budgetair dimaksudkan bahwa pajak berfungsi sebagai sumber dana yang
diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sedangkan
fungsi reguler dimaksudkan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijakan di bidang sosial ekonomi.
Pada awal mulanya pajak hanya merupakan pemberian sukarela kepada
raja dan bukan merupakan paksaan dan kewajiban seperti pajak yang ada pada
zaman sekarang. Pajak mulai menjadi pungutan sejak zaman romawi, pada awal
Republik Roma (509-27 SM sudah mulai dikenal beberapa jenis pungutan pajak,
seperti censor, questor dan beberapa lainnya.
Pada zaman Roma tidak disebut pajak seperti zaman sekarang tetapi
disebut publican trubutum, dan pajak pada zaman tersebut merupakan pajak
langsung atas kepala negara. Pada zaman kaisar terkenal Julius Caesar pajak
dikenal dengan nama centesima rerum venalium, yaitu sejenis pajak penjualan
yang besarnya sebesar 1% dari omset penjualan. Di daerah lain Italia dikenal
99 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
dengan nama decumae, yaitu pungutan yang besarnya 10%. Sedangkan beberapa
macam fungsi pemerintahan suatu negara antara lain yaitu :
1. Melaksanakan penertiban (law and order).
2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
3. Pertahanan.
4. Menegakkan keadilan.
Sumber penghasilan negara bisa berasal dari beberapa sumber, yaitu pajak
dan denda, kekayaan alam, bea dan cukai, kontibusi, royalti, retribusi, iuran,
sumbangan, laba dari badan usaha milik negara dan sumber-sumber lainnya. 6
Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam
pembiayaan pembangunan adalah menggali sumber dana yang berasal dari dalam
negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang
berguna bagi kepentingan bersama. Menurut P.J.A Andriani dalam (Brotodiharjo
R. Santoso, 1998), menyebutkan bahwa Pajak adalah iuran kepada negara (yang
dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut
peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung
dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan
pemerintahan. Sedangkan menurut Edwin R.A Slegman dalam bukunya Essay in
Taxation, menyebutkan bahwa Tax is compulsory contribution from the person, to
the government to depray the expenses incurred in the common interest of all,
without reference to special benefit Conperred.
D. Tax Amnesty dan Sunset Policy
Tax amnesty adalah suatu kesempatan waktu yang terbatas pada kelompok
pembayar pajak tertentu untuk membayar sejumlah tertentu dan dalam waktu
tertentu berupa pengampunan kewajiban pajak (termasuk bunga dan denda) yang
berkaitan dengan masa pajak sebelumnya atau periode tertentu tanpa takut
hukuman pidana. Ini biasanya berakhir ketika otoritas yang dimulai penyelidikan
pajak pajak masa lalu.
Dalam beberapa kasus, undang-undang amnesti yang memperpanjang juga
membebankan hukuman yang lebih berat pada mereka yang memenuhi syarat
untuk amnesti tetapi tidak mengambilnya.7 Kebijakan Tax Amnesty sebenarnya
pernah dilakukan Indonesia pada tahun 1984. Demikian juga kebijakan lain yang
serupa berupa Sunset Policy telah dilakukan pada tahun 2008.
Sejak Program Sunset Policy diimplementasikan sepanjang tahun 2008
telah berhasil menambah jumlah NPWP baru sebanyak 5.653.128 NPWP,
bertambahnya SPT tahunan sebanyak 804.814 SPT dan bertambahnya penerimaan
PPh sebesar Rp7,46 triliun. Jumlah NPWP orang pribadi 15,07 juta, NPWP
bendaharawan 447.000, dan NPWP badan hukum 1,63 juta. Jadi totalnya 17,16
juta (data DJP, 2010 kuartal 1)
100 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Pada hakekatnya implementasi tax amnesty maupun sunset policy
sekalipun secara psikologis sangat tidak memihak pada wajib pajak yang selama
ini taat membayar pajak. Kalaupun kebijakan itu diterapkan di suatu negara, harus
ada kajian mendalam mengenai karakteristik wajib pajak yang ada di suatu negara
tersebut karena karakteristik wajib pajak tentu saja berbeda-beda.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah karakteristik wajib
pajak memang banyak yang tidak patuh, sehingga tax amnesty tidak akan
menyinggung para WP yang taat membayar pajak. Selain itu, pola tax amnesty
seperti model sunset policy hanya bisa diterapkan. sekali dalam seumur hidup
wajib pajak.
E. Tarif dan Utang Pajak
Secara teori pemungutan pajak tidak terlepas dari rasa keadilan, sebab
keadilan dapat menciptakan keseimbangan sosial yang sangat penting untuk
kesejahteraan masyarakat. Dalam penetapan tarifnyapun harus mendasarkan pada
prinsip-prinsip keadilan. Dalam penghitungan pajak yang terutang digunakan tarif
pajak. Tarif pajak dimaksud adalah tarif untuk menghitung besarnya pajak
terutang (pajak yang harus dibayar). Besarnya tarif pajak dapat dinyatakan dalam
persentase.
Apabila melihat timbulnya utang pajak, bahwa utang pajak timbul karena
Surat Keputusan Pajak (ajaran formal), ajaran ini diterapkan pada official
assessment system. Perbedaan dengan ajaran materiil bahwa utang pajak timbul
karena undang-undang. Ajaran ini diterapkan pada self assessment system.
Hapusnya utang pajak disebabkan antara lain :
1. Pembayaran. Utang pajak yang melekat pada Wajib Pajak akan hapus karena
pembayaran yang dilakukan ke Kas Negara.
2. Kompensasi Keputusan yang ditunjukkan kepada kompensasi utang pajak
dengan tagihan seseorang di luar pajak tidak diperkenankan. Oleh karena itu
kompensasi terjadi apabila Wajib Pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan
pembayaran pajak. Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang diterima Wajib
Pajak sebelumnya harus dikompensasikan dengan pajak-pajak lainnya yang
terutang.
3. Daluwarsa
Daluwarsa diartikan sebagai daluwarsa penagihan. Hak untuk melakukan
penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau waktu sepuluh tahun terhitung sejak
saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun
pajak yang bersangkutan. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum kapan uang
pajak tidak dapat ditagih lagi. Namun daluwarsa penagihan pajak tertangguh,
antara lain, apabila diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa.
4. Pembebasan
Utang pajak tidak berakhir dalam arti yang semestinya tetapi karena
ditiadakan. Pembebasan pada umumnya tidak diberikan terhadap pokok pajaknya,
tetapi diberikan terhadap sanksi administrasinya.
101 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
5. Penghapusan
Penghapusan utang pajak ini sama sifatnya dengan pembebasan, tetapi
diberikan karena keadaan keuangan Wajib Pajak.8
F. Penerapan Tax Amnesty Sebagai Alternatif
Bagi banyak negara, pengampunan pajak (tax amnesty) seringkali
dijadikan alat untuk menghimpun penerimaan negara dari sektor pajak (tax
revenue) secara cepat dalam jangka waktu yang relatif singkat. Program tax
amnesty ini dilaksanakan karena semakin parahnya upaya penghindaran pajak.
Kebijakan ini dapat memperoleh manfaat perolehan dana, terutama kembalinya
dana yang disimpan di luar negeri, dan kebijakan ini dalam mempunyai
kelemahan dalam jangka panjang dapat 8 Mulyo Agung, 2007, hal 15 berakibat
buruk berupa menurunnya kepatuhan sukarela (voluntary compliance) dari wajib
pajak patuh, bilamana tax amnesty dilaksanakan dengan program yang tidak tepat.
Penelitian ini memberikan gambaran mengenai pelaksanaan tax amnesty di
beberapa negara yang relatif lebih berhasil dalam melaksanakan kebijakan
pengampunan pajak seperti di Afrika Selatan, Irlandia dan India, dengan maksud
untuk mempelajari kebijakan dari masing-masing negara serta menganalisis
faktor-faktor yang menyebabkan program ini dapat berhasil dan mencapai target
yang ditetapkan, serta perspektifnya bagi pebisnis Indonesia.( Urip santoso: 2009)
Berdasarkan penelitian (Enste & Schneider, 2002), bahwa besarnya
persentase kegiatan ekonomi bawah tanah (underground economy), di negara
maju dapat mencapai 14 – 16 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB),
sedangkan di negara berkembang dapat mencapai 35 – 44 persen dari PDB.
Kegiatan ekonomi bawah tanah ini tidak pernah dilaporkan sebagai penghasilan
dalam formulir surat pemberitahuan tahunan (SPT) Pajak Penghasilan, sehingga
masuk dalam criteria penyelundupan pajak (tax evasion).
Penyelundupan pajak mengakibatkan beban pajak yang harus dipikul oleh
para wajib pajak yang jujur membayar pajak menjadi lebih berat, dan hal ini
mengakibatkan ketidakadilan yang tinggi. Peningkatan kegiatan ekonomi bawah
tanah yang dibarengi dengan penyelundupan pajak ini sangat merugikan negara
karena berarti hilangnya penerimaan pajak yang sangat dibutuhkan untuk
membiayaai program pendidikan, kesehatan dan program-program pengentasan
kemiskinan lainnya. Oleh sebab itu timbul pemikiran untuk mengenakan kembali
pajak yang belum dibayar dari kegiatan ekonomi bawah tanah tersebut melalui
program khusus yakni pengampunan pajak (tax amnesty).( Erwin Silitonga: 2006)
G. Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia
Tingkat kepatuhan WP (tax coverage) memegang peranan penting
terhadap keberhasilan pemerintah dalam menentukan besarnya penerimaan dari
sektor pajak. Direktorat Jenderal Pajak mencatat rasio kepatuhan Wajib Pajak
(WP) dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Kepatuhan
wajib pajak di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan seiring dengan
102 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
bertambahnya jumlah WP. Pertambahan jumlah WP tidak berbanding lurus
dengan peningkatan jumlah penerimaan pajak.
Namun, peningkatan realisasi kepatuhan pajak memberikan dampak
positif terhadap target yang telah ditetapkan. Dilain sisi, tingkat kepatuhan
pembayaran pajak orang kaya sampai saat ini belum maksimal atau masih rendah.
Itu sebabnya, upaya-upaya untuk menarik wajib pajak orang kaya terus dilakukan
termasuk upaya Ditjen Pajak membuat kantor pelayanan khusus bagi WP kaya
atau High Net-Worth Individual (HNWI).
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) WP BOP adalah salah satu kantor
pelayanan yang berfungsi menjaring WP orang kaya terutama yang berada
Jakarta. KPP WP BOP akan melayani sekitar 1.200 orang kaya dengan kekayaan
di atas Rp 100 miliar. Salah satu target kepatuhan yang perlu dilakukan juga
adalah menjaring pajak yang berasal dari kekayaan yang berada di luar negeri.
Salah satu upayanya adalah membangkitkan kesadaran WP dan calon/mantan WP
melalui pengampunan pajak (tax amnesty).
Rasio kepatuhan wajib pajak di Indonesia masih tergolong rendah jika
dibandingkan dengan rasio di negara-negara maju. Banyak factor yang
menyebabkan rendahnya rasio tersebut, diantaranya : rendahnya tingkat kesadaran
masyarakat dalam melaksanakan kewajiban penyetoran dan pelaporan pajak,
minimnya jumlah fiskus atau pemeriksa pajak, dan sebagainya.
H. Peluang dan Tantangan Implementasi Tax Amnesty di Indonesia
Ada beberapa langkah yang ditempuh pemerintah Indonesia khususnya
Direktorat Jenderal Pajak guna meningkatkan penerimaan negara dari sector
pajak, antara lain melaksanakan program Sensus Pajak Nasional. Selain itu
melakukan penyempurnaan peraturan untuk menangani tindakan penghindaran
pajak (tax avoidance), tindakan penggelapan pajak melalui transfer pricing, dan
pengenaan pajak final.
Langkah lainnya adalah pembenahan internal aparatur dan sistem
perpajakan. Demikian juga akan dilakukan kenaikan tarif cukai tembakau mulai
tahun 2012 yang rata-rata sebesar 12,2 persen. Upaya berikutnya adalah akan
dilakukan peningkatan akurasi penelitian nilai pabean dan klasifikasi barang
impor serta peningkatan efektivitas pemeriksaan fisik barang. Termasuk
penyempurnaan implementasi Indonesia National Single Windows (INSW) serta
pengembangan otomatisasi pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai.11
Selain itu salah satu bentuk upaya atau inovasi lain dalam sistem
perpajakan yang berguna meningkatkan penerimaan pajak tanpa menambah beban
baik jenis pajak baru maupun persentase pajak yang sudah ada kepada
masyarakat, dunia usaha dan para pekerja adalah melalui program tax amnesty.
Salah satu tujuan pengampunan pajak ini diharapkan dapat mengurangi
citra negatif pada aparat perpajakan yang selalu dipersepsikan selalu bersikap
sewenang-wenang dan harus selalu dihindari, berubah menjadi hubungan yang
103 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
lebih “friendly.” Pada dasarnya inovasi atau upaya ini dapat diterapkan di
Indonesia.
Keunggulan yang diharapkan bila kebijakan tax amnesty
diimplementasikan yaitu akan dapat mendorong masuknya dana-dana dari luar
negeri yang dalam jangka panjang dapat digunakan sebagai pendorong investasi
yang pada gilirannya bermanfaat untuk menstimulasi perekonomian nasional. Di
sisi lain kelemahannya bila diterapkan pengampunan pajak adalah tidak serta
merta menjamin peningkatan kinerja setoran pajak ke kas negara. Hal ini bisa
sebaliknya berpotensi terjadinya penyelewengan, manipulasi dan tindakan moral
hazard lainnya.
Para pengusaha yang memperoleh pemutihan pajak akan melakukan
penggelapan kewajiban pajaknya. Kecuali bila diberlakukan pengampunan pajak
bersyarat. Contohnya pengampunan pajak bersyarat, wajib pajak harus transparan
terhadap aset-aset dan penghasilan mereka. Hal ini guna menghindari kekeliruan
yang sama tahun 1984 tidak terulang kembali yaitu minimnya akses informasi
terhadap masyarakat dan minimnya keterbukaan/transparansi serta sosialisasi
kebijakan ini.
Analisis SWOT Implementasi Tax Amnesty
Bila digunakan analisis SWOT, terutama dilihat dari sisi kekuatan,
kelemahan, peluang dan tantangan implementasi penerapan Tax Amnesty, dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Strength (Kekautan)
1. Sumber daya yang dimiliki pada instansi aparatur pajak saat ini sudah
memadai yang dapat mendukung diberlakukannya penerapan tax amnesty.
Demikian juga infrastruktur pendukung lainnya. Tercatat pegawai Ditjen
Pajak saat ini adalah sebesar 32.000 orang, sehingga No. 5 tahun 1964
tentang Peraturan Pengampunan Pajak yang kemudian secara berturut-turut
diikuti Keppres No. 26 tahun 1984 tentang Pengampunan Pajak jo. Keputusan
Menteri Keuangan No. 345/KMK.04/1984 tentang Pelaksanaan
Pengampunan Pajak jo. Keputusan Menteri Keuangan No. 966/KMK.04/1983
tentang Faktor Penyessuaian Untuk Penghitungan Pajefektifitas pelaksanaan
tax amnesty tersebut masih rendah, efektifitas ini terukur dari rendahnya
partisipasi peserta tax amnesty tersebut.
2. Reformasi dan penataan sistem perpajakan sedang dilakukan baik perbaikan
potensi, intensifikasi dan ekstensifikasi, pengembangan teknologi informasi,
perbaikan sumber daya manusia serta pengawasan. Oleh karena itu bila tax
amnesty dilakukan maka hasilnya tidak optimal. Idealnya tax amnesty
dilakukan hanya sekali.
Opportunity (Peluang)
1. Program ini diharapkan dapat meningkatkan dana-dana masuk ke Indonesia
yang cukup banyak di simpan di luar negeri. Di samping itu, dana-dana yang
selama ini diparkir di luar negeri dapat kembali masuk ke tanah air bila
104 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
pemerintah secepatnya menerapkan pengampunan pajak. Potensi dana yang
mengalir diperkirakan berkisar US$ 20-40 miliar atau setara Rp 360 triliun. (data
Kadin, 2009) Dana tersebut disimpan di sejumlah bank di Singapura dan
Australia.
2. Sejumlah negara telah sukses memberlakukan tax amnesty, salah satu
diantaranya adalah Afrika Selatan, Korea Selatan dan India.
3. Tingkat kepercayaan masyarakat yang masih tinggi merupakan salah satu
peluang untuk mewujudkan tujuan akhir guna mengamankan penerimaan negara
dari sektor pajak 4. Kondisi ekonomi Indonesia selama ini yang selalu membaik
memberikan kesempatan untuk dapat diterapkannnya kebijakan tax amnesty.
5. Tax amnesty dapat berpengaruh positif bagi pasar uang pada Bursa Efek
Indonesia. Bila kebijakan ini diterapkan maka mempunyai potensi terjadi
penambahan emiten baru karena perusahaan-perusahaan tidak perlu khawatir atas
permasalahan pajak yang telah lewat. Karena masalah perpajakan merupakan
salah satu faktor yang dianggap memberatkan bagi calon emiten untuk mengubah
status perushaaannya menjadi perusahaan terbuka.13
6. Bila program tax amnesty berhasil diimplementasikan maka pemerintah
mempunyai beberapa keuntungan antara lain pemerintah dapat
mengkonsentrasikan atau memfokuskan pada upaya pemberantasan korupsi.
Demikian juga dengan diimplementasikan tax amnesty maka asset recoverynya
lebih mudah karena tidak perlu melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan
dan proses hukum lainnya untuk mengambil asset koruptor. Asset recovery adalah
perbandingan antara jumlah kerugian negara yang didakwakan dengan penyitaan
asset atau pengembalian asset korupsi. Selama ini persentase asset recovery
masih relatif kecil. Persentase asset recovery dapat dijadikan acuan penentuan
tarif tax amnesty.14
Treat (Tantangan )
1. Salah satu tantangan yang dihadapi Direktorat Jenderal Pajak adalah antara lain
terus dikembangkan hubungan kerja sama internasional baik dengan institusi
negara-negara lain maupun lembaga keuangan internasional untuk dapat saling
tukar menukar data dan informasi perpajakan. 2. Beberapa peristiwa
penyimpangan di Ditjen Pajak seperti ”Kasus Gayus” berakibat pada penggiringan
opini wajib pajak untuk memboikot pembayaran pajak dengan melakukan
penghindaran pajak (tax
avoidance).
3. Banyaknya permasalahan yang timbul terkait pengampunan pajak sehingga
aturannyapun menjadi semakin kompleks oleh karenanya diperlukan aturan yang
jelas yang tidak menimbulkan persepsi yang berbeda serta berbagai kepentingan.
4. Saat ini Indonesia masih memiliki permasalahan lain terkait peningkatan tax
ratio penerimaan pajak terhadap PDB. Tax ratio Indonesia sampai saat ini masih
rendah berkisar 13 persen bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga,
105 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
sehingga kebijakan tax amnesty adalah salah satu upaya alternatif guna
meningkatkan minat pembayaran pajak di kalangan masyarakat. Bila dilihat
perkembangan Tax Ratio dari tahun 2005 sampai dengan 2010 adalah sebagai
beriku :
SIMPULAN
Simpulan
Dari pembahasan di atas ada beberapa hal yang dapat di simpulkan antara lain
sebagai berikut :
1. Tax amnesty dapat diimplementasikan di Indonesia, namun harus
mempunyai payung hukum sebagai dasar serta tujuan yang jelas dalam
pelaksanaan tax amnesty.
2. Salah satu kelemahan Tax amnesty bila diterapkan di Indonesia adalah dapat
mengakibatkan berbagai penyelewengan dan moral hazard karena sarana
dan prasarana, keterbukaan akses informasi serta pendukung lainnya belum
memadai sebagai prasyarat pemberlakuan tax amnesty tersebut.
3. Implementasi Tax amnesty dalam jangka pendek sebaiknya ditunda terlebih
dahulu menunggu kesiapan berbagai perangkat dan piranti hokum yang
melandasi pelaksanaan kebijakan ini. Namun dalam rangka meningkatkan
penerimaan negara pemerintah (Dirjen Pajak) dapat menerapkan kebijakan-
kebijakan inovatif lainnya seperti Sunset Policy, Tax holiday dan lain-lain
yang dapat menggantikan kebijakan tax amnesty yang masih mendapat
pertentangan dari berbagai lapisan masyarakat. Apalagi akhir-akhir ini ada
kecenderungan tax avoidance sebagai efek kasus Gayus.
Saran
Ada beberapa saran yang dapat disampaikan terkait implementasi tax
amnesty di Indonesia, antara lain sebagai berikut :
1. Penerapan Tax Amnesty harus dilandasi payung hukum berupa Undangundang
dan kejelasan syarat dan tujuannya.
2. Pemberian kebijakan pengampunan pajak semestinya tidak hanya menghapus
hak tagih atas wajib pajak (WP) tetapi yang lebih penting lagi adalah
memperbaiki kepatuhan WP, sehingga pada jangka panjang dapat meningkatkan
penerimaan pajak.
3. Implementasi Tax Amnesty dapat diterapkan bila syarat-syarat keterbukaan dan
akses informasi terhadap masyarakat terpenuhi oleh karena itu apabila tax
amnesty akan diterapkan harus menggunakan tax amnesty bersyarat.
4. Tax amnesty dapat diterapkan terutama pada bidang-bidang atau sektorsektor
industri tertentu saja yang dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan tax
ratio dengan syarat terpenuhinya kesiapan sarana dan prasarana pendukung
lainnya.
106 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Daftar Pustaka
Agung, Mulyo, Teori dan Aplikasi Perpajakan Indonesia, Penerbit Dinamika
Ilmu, Jakarta, 2007
Brotodihardjo R. Santoso, Pengantar Hukum Pajak, Refika Aditama, Bandung,
1998
Enste, H. Dominik & Schendik, Frederick, Shadow Economies: Size, Causes and
Consequences, Journal of Economic Literature, Vol.
XXXVIII March 2000, pp 77-114 Forum Diskusi Ilmiah Perpajakan, berjudul
Amnesti Pajak Perlu Prasarat
Tax Reform, (http://groups.yahoo.com/group/forumpajak/ message/10744)
Ilyas, B. Wirawan, Suhartono Rudy, Panduan Komprehensif dan Praktis Pajak
Penghasilan, Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta, 2007
Kotler, Philip dan Keller L. Kevin, Metodologi Penelitian:Aplikasi Dalam
Pemasaran, Indeks, Jakarta, 2006
Muhammad, Suwarsono, Manajemen Stratejik: Konsep dan Kasus,
Penerbit AMP. YKPN, Yogyakarta 2000
Santoso, Urip & Justina, Setiawan. Tax amnesty dan Pelaksanaanya di
Beberapa Negara : Perspektif Bagi Pebisnis Indonesia, Kopertis,
Volume 11 No. 2 Juli 2009
Silitonga, Erwin, Makalah berjudul: Ekonomi bawah Tanah, Pengampunan
Pajak dan Referandum, 2006
Slegman, R.A. Edwin, Essays in Taxation, New York, 1925
Subiyantoro, Heru dan Riphat, Singgih, Kebijakan, Fiskal, Pemikiran
Konsep dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, 2004
Sukirno. Sadono, Pengantar Teori Makro Ekonomi, Edisi ke-2, PT. Raja
grafindo Persada, Jakarta, 1997
Tambunan, Tulus, Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran,
Teori dan temuan Empiris, LP3ES, Jakarta, 2000
Yusuf, A, Harry, dalam www.pajak2000.com/news_print.php?id=307
http://en.wikipedia.org/wiki/Tax_amnesty
107 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
IMPLEMENTASI PELAYANAN PERIZINAN TERPADU
SATU PINTU M.Syarif
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Pancabudi Medan)
Abstrak:
Implementasi Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu. Tujuan penelitian adalah
menemukan gambaran tentang implementasi PTSP Metode yang digunakan
adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Data primer diperoleh dari wawancara dan
observasi. sedangkan data sekunder diperoleh dari studi dokumentasi. Analisis
data menggunakan metode triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
komitmen pelaksanaan PTSP dari kepala daerah sudah baik, tetapi kendala
ditemukan dalam hal fungsi koordinasi antara lembaga pelaksana PTSP dengan
SKPD teknis karena perbedaan eselonisasi. Imbas tarik menarik kepentingan
antara kedua lembaga tersebut dalam pelayanan publik perizinan dapat berdampak
pada rendahnya kepercayaan pelaku usaha terhadap birokrat pemberi pelayanan
publik.
Kata kunci: implementasi, pelayanan publik terpadu, koordinasi
A. PENDAHULUAN
Pelaksanaan desentralisasi melalui otonomi daerah pada hakikatnya adalah
sebuah upaya memperbaiki pelayanan kepada masyarakat. Dengan otonomi
daerah diharapkan pelayanan publik dapat berlangsung secara lebih efisien dan
efektif. Efisien dalam arti masyarakat tidak perlu membuang waktu dan biaya
terlalu banyak untuk mengurus hal-hal yang diperlukan ke pusat, karena
pemerintah daerah telah diberi wewenang mengurus urusannya.
Efektif dalam arti masyarakat mendapat pelayanan yang berkualitas.
Dalam prakteknya penyelenggaraan otonomi daerah sering diwarnai oleh
kebijakan yang kontra investasi. Beragam pungutan liar menjadi keluhan para
investor di daerah ketika mengurus per-izinan investasinya. Ditambah dengan
ketidakpas- tian waktu penyelesaian pelayanan perizinan menjadi masalah klasik
dalam pelayanan perizinan di era otonomi daerah.
Meskipun demikian, sebenarnya pemerintah pusat juga telah mendorong
dan memfasilitasi perbaikan pelayanan perizinan ini dengan mengeluarkan kebi-
jakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) melalui Permendagri Nomor 24
Tahun 2006. Kebijakan PTSP tersebut bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan
publik serta memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk
memperoleh pelayanan publik.
Selain Permendagri tersebut, beragam peraturan telah dikeluarkan
pemerintah untuk mendorong daerah melaksanakan pelayanan perizinan yang
efektif dan efisien. Diantaranya UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal, Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu
Satu Pin- tu di bidang Penanaman Modal, Peraturan Kepala BKPM Nomor 6
Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Pembinaan dan dan Pelaporan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal. Ma-salah PTSP ini
juga diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2012
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik.
108 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Dalam berbagai peraturan tersebut dijelaskan bahwa PTSP merupakan
wujud dari sebuah sistem pelayanan terpadu dimana proses pengelolaan beberapa
jenis pelayanan dilakukan secara terintegrasi dalam satu tempat. Bahkan dalam PP
Nomor 96 Tahun 2012 khususnya Pasal 15 ayat (2) ditegaskan bahwa sistem
pelayanan terpadu satu pintu wajib dilaksanakan untuk jenis pelayanan perizinan
dan non-perizinan bidang penanaman modal. Dalam kenyataan di lapangan, masih
terdapat banyak kepala daerah yang belum menunjukkan komitmen melaksanakan
PTSP di bidang perizinan.Tarik menarik kewenangan bidang perizinan masih
terjadi di daerah yang sudah membentuk lembaga PTSP.
Beberapa sektor masih berada di bawah kendali dinas teknis ataupun
langsung di bawah kendali kepala daerah. Hal ini diperparah oleh ketidakjelasan
bentuk lembaga PTSP dimana masih ada pemisahan antara layanan perizinan
dengan bidang penanaman modal. Pemisahan tersebut tentunya memberatkan
investor karena harus berurusan dengan dua instansi yang berbeda. Hal ini sangat
tidak efisien dari segi waktu maupun biaya.
Data awal penelitian yang diperoleh terkait PTSP di Kabupaten Bangka ini
memperlihatkan bahwa pada tahun 2013 fungsi pelayanan perizinan dilaksanakan
oleh Kantor Pelayanan Terpadu (KPT). Sedangkan pelayanan penanaman modal
dilaksanakan oleh Badan Penanaman Modal (BPM). KPT Bangka sendiri dirikan
sejak tahun 2008 dan terus mengalami peningkatan dalam volume perizinan yang
ditangani. Tetapi fungsi koordinasi nampaknya mengalami kendala karena status
lembaga PTSP yang masih berbentuk kantor.
Terkait hal itu, maka permasalahan penelitian adalah bagaimana
implementasi pelayanan perizinan terpadu pada Pemerintah Kabupaten Bangka
dan kendala-kendala apa yang mempengaruhinya? Sementara konsep PTSP
sendiri adalah penyelenggaraan kegiatan perizinan dan non perizinan yang proses
pengelolaannya dari mulai tahap permohonan sampai ke tahap penerbitan
dokumen dilakukan secara terpadu dalam satu tempat.
Dalam Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 disebutkan bahwa
penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu ini ditujukan untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dengan memberikan
perhatian lebih kepada usaha mikro, kecil dan menengah. Sedangkan Perangkat
Daerah Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) adalah perangkat
pemerintah daerah yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola sernua
bentuk pelayanan perizinan dan non perizinan di daerah dengan sistem satu pintu.
Pada pasal 7 ayat (1) Permendagri tersebut dinyatakan bahwa ruang
lingkup tugas PPTSP meliputi pemberian pelayanan atassemua hentuk pelayanan
perizinan dan non perizinan yang menjadi kewenangan Kabupaten / Kota. Di
beberapa daerah sudah terbentuk PTSP yang menangani semua jenis perizinan
dan non perizinan termasuk di bidang penanaman modal. Tetapi di beberapa
daerah lainnya, bidang penanaman modal ini masih ditangani oleh SKPD teknis,
baik yang berbentuk Dinas/Badan maupun setingkat Kantor.
Kriteria ataupun tolak ukur agar sebuah PTSP dapat digolongkan sebagai
sebuah PTSP penanaman modal sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) Perpres Nomor 27
Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal
adalah sebagai berikut: sumber daya manusia yang profesional dan memiliki
kompetensi handal; tempat, sarana dan prasarana kerja dan media informasi;
mekanisme kerja dalam bentuk petunjuk pelaksanaan PTSP dibidang penanaman
109 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
modal yang jelas, mudah dipahami, dan mudah diakses oleh penanam modal;
layanan pengaduan (helpdesk) penanam modal; serta sistem Pelayanan Informasi
dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE).
Bintoro (1997) mengemukakan pendayagunaan pelayanan publik oleh
aparat birokrasi dapat dilakukan dengan cara (1) pengembangan pengukuran
standar efisiensi, (2) perbaikan prosedur dan tata kerja rasional organisasi yang
lebih efisien dan efektif dalam manajemen operasional yang proaktif, (3)
mengembangkan dan memantapkan mekanisme koordinasi yang efektif, (4)
mengendalikan dan menyederhanakan birokrasi dengan management by exception
dan minimize body contact dalam pelayananjasa.
Pengendalian, penyederhanaan perizinan dan pengaturan yang perlu
mendapat perhatian lebih adalah dalam hal investasi, kegiatan usaha, pengelolaan
tanah dan bangunan, serta kelancaran lalu lintas barang. Penelitian Kriswantoro
(2012) memperlihatkan bahwa pelayanan perizinan di Kota Yogyakarta
dilaksanakan oleh lembaga berbentuk Dinas yaitu Dinas Perizinan Kota
Yogyakarta. Strategi pelayanan satu pintu (One Stop Service) menggunakan dua
pola yaitu pola pelayanan terpadu satu pintu dan pelayanan terpadu satu atap.
Kemudian salah satu temuan penting dari studi tersebut
adalah adanya kecemburuan antara dinas lain di lingkungan Pemkot Yogyakarta
terhadap Dinas Perizinan yang diberikan kewenangan melayani soal perizinan.
Tetapi studi ini tidak membahas apakah masalah penanaman modal juga ditangani
oleh dinas tersebut. Sementara penelitian yang pernah dilakukan oleh Prameswari
(2012) di Kabupaten Purbalingga menunjukkan bahwa pada awalnya Pemerintah
Kabupaten Purbalingga memaksimalkan potensi investasi di daerah dengan
melakukan penggabungan antara bidang perizinan dengan bidang investasi
melalui pembentukan Kantor Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu.
Penelitian Pertiwi (2012) di Kota Bandung memperlihatkan bahwa masih
ada dualism dalam pengelolaan pelayanan perizinan bidang penanaman modal.
Pelayanan tersebut berada di dua lembaga yaitu Bappeda dan Badan Pelayanan
Perizinan Terpadu (BPPT). Hal ini bertentangan dengan Pasal 26 ayat (2) UU
Penanaman Modal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi
pelayanan perizinan terpadu pada Pemerintah Kabupaten Bangka dan kendala-
kendala yang mempengaruhinya.
Jenis Pelayanan
1. Pelayanan Informasi Penanaman Modal
Tersedianya loket pelayanan informasi bagi yang ingin mendapatkan
informasi penanaman modal, baik mengenai kebijakan penanaman modal,
produk unggulan an potensi investasi, pelayanan perizinan dan non
perizinan dan data investasi penanaman modal. Selain itu pula
menyediakan leaflet, booklet, windows display dan peta potensi.
Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan
a) Jenis-jenis Perizinan dan Non Perizinan
110 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
B. Pengertian Pelayanan Publik Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam
interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik dan
menyediakan kepuasan pelanggan.
Menurut Kotler pelayanan adalah setiap kegiatan atas unjuk kerja yang
ditawarkan oleh salah satu pihak kepada pihak lain yang secaraprinsip intangileble
dan tidak menyebabkan pemindahan kepemilikan apapun, produksinya bisa juga
tidak terikat pada suatu produk fisik.
Menurut Stanton yang dikutip oleh Alma, pelayanan adalah suatu yang
diidentifikasikan secara terpisah, tidak berwujut dan ditawarkanuntuk memenuhi
kebutuhan, sehingga dapat diambil pengertian bahwapelayanan merupakan suatu
manfaat yang diberikan oleh satu pihakkepada pihak lain dan biasanya tidak
berwujud.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, sistem pelayanan
adalah suatu kesatuan usaha yang dinamis yang terdiri dari berbagai bagian yang
berkaitan secara teratur, diikuti dengan unjuk kerja yang ditawarkan oleh satu
pihak terhadap pihak lain dengan memberi manfaat, guna mencapai suatu tujuan.
Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala
bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang
pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi
Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara
atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan
masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
undangan (Kepmenpan Nomor 81 Tahun 1993).
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan(melayani)
keperluan orang atau masyarakat yang mempunyaikepentingan pada organisasi itu
sesuai dengan aturan pokok dantata cara yang telah ditetapkan.
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa pemerintahan pada
hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk
melayani dirinya sendiri,tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan
kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan
kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998).
Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
memberikan layanan baik dan profesional.
2.2 Asas dan Prinsip Pelayanan Publik Pada dasarnya pelayanan publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian
kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar,
dan terjangkau. Oleh sebab itu setidaknya mengandung asas-asas antara lain:
1. Hak dan kewajiban, baik bagi pemberi dan penerima pelayanan publik
tersebut, harus jelas dan diketahui dengan baik oleh masing-masing pihak,
sehingga tidak ada keragu-raguan dalam pelaksanaannya.
2. Pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan
kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar,
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan tetap
berpegang pada efisiensi dan efektifitasnya.
111 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
3. Mutu proses keluaran dan hasil pelayanan publik tersebut harus
diupayakan agar dapat memberikan keamanan, kenyamanan, kelancaran
dan kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
4. Apabila pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Instansi atau
Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan “terpaksa harus mahal”, maka
Instansi atau Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan yang bersangkutan
berkewajiban “memberi peluang” kepada masyarakat untuk ikut
menyelenggarakannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. (Ibrahim, 2008 : 19-20)
Asas Pelayanan Publik adalah untuk memberikan pelayanan yang
memuaskan bagi pengguna jasa, penyelenggara pelayanan harus memenuhi asas-
asas pelayanan sebagai berikut (keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2004):
1. Transparansi
2. Akuntabilitas
3. Kondisional
4. Partisipatif
5. Kesamaan Hak
6. Keseimbangan Hak dan Kewajiban
Penyelenggaraan Pelayanan Publik perlu memperhatikan dan menerapkan
prinsip, standar, pola penyelenggaraan, biaya, pelayanan bagi penyandang cacat,
lanjut usia, wanita hamil dan balita, pelayanan khusus, biro jasa pelayanan, tingkat
kepuasan masyarakat, pengawasan penyelenggaraan, penyelesaian pengaduan
sengketa, serta evaluasi kinerja penyelenggaraa pelayanan publik.
Penyelenggaraan pelayanan publik harus memenuhi beberapa prinsip
sebagai berikut:
a. Kesederhanaan
b. Kejelasan
c. Kepastian Waktu
d. Akurasi
e. Keamanan
f. Tanggung Jawab
g. Kelengkapan Sarana dan Prasarana
h. Kemudahan Akses
i. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan
j. Kenyamanan
Standar Pelayanan Publik adalah setiap penyelenggaraan pelayanan publik
harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya
kepastian bagi penerima pelayanan.
Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam
penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan penerima
pelayanan tersebut. Standar pelayanan publik sekurang-kurangnya meliputi:
a. Prosedur Pelayanan
112 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
b. Waktu Penyelesaian
c. Biaya Pelayanan
d. Produk Pelayanan
e. Sarana dan Prasarana
f. Kompetensi petugas pemberi pelayanan
2.3 Pola Penyelenggara Pelayanan Publik Penyelenggaraan pelayanan publik yang sesuai dengan bentuk dan
sifatnya, menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan
Publik terdapat empat pola pelayanan, yaitu:
a. Pola Pelayanan Fungsional, yaitu pola pelayanan publik diberikan oleh
penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan tugas, fungsi dan
kewenangannya. Misalnya untuk pelayanan pajak akan ditangani unit
organisasi yang berfungsi melakukan pemungutan pajak, contohnya
Kantor Pelayanan Pajak Daerah (KPPD).
b. Pola Pelayanan Terpusat, yaitu pola pelayanan yang diberikan secara
tunggal oleh penyelenggara pelayanan terkait lainnya yang bersangkutan.
Misalnya yaitu pengurusan pelayanan paspor oleh kantor imigrasi dan
pelayanan pembuatan akte kelahiran oleh Kantor Catatan Sipil.
c. Pola Pelayanan Terpadu yang dibagi ke dalam dua bagian pola pelayanan,
yaitu:
a) Pola Pelayanan Terpadu Satu Atap
Pola Pelayanan Terpadu Satu Atap diselenggarakan dalam satu tempat yang
meliputi berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan
dilayani melalui beberapa pintu. Terhadap jenis pelayanan yang sudah dekat
dengan masyarakat tidak perlu disatu atapkan.
b) Pola Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Pola Pelayanan Terpadu Satu Pintu diselenggarakan pada satu tempat yang
memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu. Misalnya pelayanan
pembuatan Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) dan Surat Tanda Nomor
Kendaraan (STNK).
d. Pola Pelayanan Gugus Tugas, yaitu petugas pelayanan publik secara
perorangan atau dalam bentuk gugus tugas ditempatkan pada instansi
pemberi pelayanan dan lokasi pemberi pelayanan tertentu. (KEPMENPAN
Nomor 63 Tahun 2003:5).
113 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Pelayanan Terpadu Satu Pintu
3.1 Pengertian Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Pengertian Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP)
adalah kegiatan penyelenggaraan jasa perizinan dan non-perizinan, yang proses
pengelolaannya di mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap penerbitan ijin
dokumen, dilakukan secara terpadu dalam satu tempat.
Dengan konsep ini, pemohon cukup datang ke satu tempat dan bertemu
dengan petugas front office saja. Hal ini dapat meminimalisasikan interaksi antara
pemohon dengan petugas perizinan dan menghindari pungutan-pungutan tidak
resmi yang seringkali terjadi dalam proses pelayanan.
Pembentukan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP)
pada dasarnya ditujukan untuk menyederhanakan birokrasi pelayanan perizinan
dan non-perizinan dalam bentuk :
1. Mempercepat waktu pelayanan dengan mengurangi tahapan-tahapan
dalam pelayanan yang kurang penting. Koordinasi yang lebih baik juga
akan sangat berpengaruh terhadap percepatan layanan perizinan.
2. Menekan biaya pelayanan izin usaha, selain pengurangan tahapan,
pengurangan biaya juga dapat dilakukan dengan membuat prosedur
pelayanan serta biaya resmi menjadi lebih transparan.
3. Menyederhanakan persyaratan izin usaha industri, dengan
mengembangkan sistem pelayanan paralel dan akan ditemukan
persyaratan-persyaratan yang tumpang tindih, sehingga dapat dilakukan
penyederhanaan persyaratan. Hal ini juga berdampak langsung terhadap
pengurangan biaya dan waktu.
Pelayanan perizinan dengan sistem terpadu satu pintu (one stop service)
ini membuat waktu pembuatan izin menjadi lebih singkat. Pasalnya, dengan
pengurusan administrasi berbasis teknologi informasi, input data cukup dilakukan
sekali dan administrasi bisa dilakukan simultan.
Dengan adanya kelembagaan pelayanan terpadu satu pintu, seluruh
perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota dapat
terlayani dalam satu lembaga. Harapan yang ingin dicapai adalah mendorong
pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dengan memberikan
perhatian yang lebih besar pada peran usaha mikro, kecil, dan menengah.
Tujuannya adalah meningkatkan kualitas layanan publik. Oleh karena itu,
diharapkan terwujud pelayanan publik yang cepat murah, mudah, transparan,
pasti, dan terjangkau, di samping untuk meningkatkan hak-hak masyarakat
terhadap pelayanan publik.
Bentuk pelayanan terpadu ini bisa berbentuk kantor, dinas, ataupun badan.
Dalam penyelenggaraannya, bupati/wali kota wajib melakukan penyederhanaan
layanan meliputi :
1. pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan dilakukan oleh
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP);
2. percepatan waktu proses penyelesaian pelayanan tidak melebihi standar
waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah;
114 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
3. kepastian biaya pelayanan tidak melebihi dari ketentuan yang telah
ditetapkan dalam peraturan daerah;
4. kejelasan prosedur pelayanan dapat ditelusuri dan diketahui setiap tahapan
proses pemberian perizinan dan non perizinan sesuai dengan urutan
prosedurnya;
5. mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan yang sama untuk
dua atau Lebih permohonan perizinan;
6. pembebasan biaya perizinan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)
yang ingin memulai usaha baru sesuai dengan peraturan yang berlaku; dan
7. pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam
kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan Lingkup tugas PPTSP
meliputi pemberian pelayanan atas semua hentuk pelayanan perizinan dan
non perizinan yang menjadi kewenangan Kabupaten / Kota.
Selain itu PPTSP mengeiola administrasi perizinan dan non perizinan
dengan mengacu pada prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan kearnanan
berkas. Dalam pengertian sempit, pelayanan terpadu dapat berarti sebagai satu
instansi pemerintah yang memiliki semua otoritas yang diperlukan untuk memberi
pelbagai perizinan (licenses, permits, approvals dan clearances).
Tanpa otoritas yang mampu menangani semua urusan tersebut instansi
pemerintah tidak dapat mengatur pelbagai pengaturan selama proses. Oleh sebab
itu, dalam hal ini instansi tersebut tidak dapat menyediakan semua bentuk
perizinan yang diperlukan dalam berbagai tingkat administrasi, sehingga harus
bergantung pada otoritas lain.
3.2 Asas Penyelenggaraan Pelayanan Publik Satu Pintu Asas dalam penyelenggaraan pelayanan publik satu pintu yaitu :
a. Transparan, yaitu bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua
pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah
dimengerti oleh usaha jasa.
b. Akuntabel, yaitu dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
c. Partisipatif, yaitu mendorong peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan perizinan dengan memperhatikan aspirasi,
kebutuhan dan harapan masyarakat.Salah satu contoh dengan
menggunakan jasa urus perijinan yang resmi
d. Kesamaan hak, yaitu tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan
suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.Dan juga warga
yang ingin memiliki surat ijin membangun bangunan
e. Efisien, yaitu proses pelayanan perizinan pariwisata hanya melibatkan
tahap-tahap yang penting dan melibatkan personil yang telah di tetapkan.
f. Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban, yaitu pemberi dan penerima
pelayanan perizinan harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing
pihak.
g. Profesional, pemprosesan perizinan melibatkan keahlian yang diperlukan,
baik untuk validasi administratif, verifikasi lapangan, pengukuran dan
115 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
penilaian kelayakan, yang masing-masing prosesnya dilaksanakan
berdasarkan tata urutan dan prosedur yang telah ditetapkan
116 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
117 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
b) Prosedur Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan
2. Pelayanan Pengaduan Penanaman Modal
a) Tabel Penanganan Pengaduan Layanan PTSP
Alur Mekanisme Penanganan Pengaduan Layanan PTSP
118 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
VI. Aparatur Penyelenggara
Petugas Front Office (Verifikator) dan Back Office (Administrator), dari
BPMDP dan SKPD Teknis Provinsi;
Petugas FO dan BO dari Instansi Teknis berdasarkan Surat Penugasan dari
Kepala SKPD teknis masing-masing;
Petugas FO dan BO yang telah ditugaskan dituangkan dalam Instruksi
Gubernur Kalimantan Tengah No. 188.54/0230/BPMDP tanggal 27
Februari 2014 dan Instruksi Kepala BPMDP Provinsi Kalimantan Tengah
No. 188.44/04.a/B.II/BPMDP-2014 tanggal 28 Februari 2014.
Petugas Penyelenggara PTSP diberikan tunjangan khusus sesuai Surat
Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah No. 188.44/134/2014 tentang
119 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
Pemberian Tunjangan Khusus bagi pegawai Penyelenggara PTSP pada
BPMDP Prov. Kalimantan Tengah;
Dalam pemberian izin dan non izin, PTSP dibantu oleh Tim Teknis dari
SKPD Teknis terkait dalam hal memberikan pertimbangan/rekomendasi
teknis atas diterima atau ditolaknya permohonan izin dan non izin yang
diajukan (berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan yang dituangkan dalam
BAP); Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah No.
188.44/133/2014 tentang Tim Teknis dalam rangka PTSP;
Petugas Informasi Penanaman Modal, memberikan informasi mengenai
kebijakan penanaman modal, potensi daerah, promosi dan kerjasama, SOP
perizinan (persyaratan, waktu dan biaya), hak dan kewajiban pelaku
usaha/investor dan IKM;
Petugas Pengaduan Penanaman Modal, menangani administrasi berkas
pengaduan dan permasalahan yang disampaikan oleh masyarakat, pelaku
usaha/investor dan aparatur negara untuk ditindaklanjuti/diproses lebih
lanjut.
VII. Bagan Proses Permohonan Perizinan
120 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN
VIII. Bagan Alur Pengaduan Layanan
121 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN