efektifitas penegakan kode etik penyelenggara pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/jurnal...

121
1 Volume I No.1 Juli Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu Terhadap Penegakan Integritas Demokrasi Pemilukada Kariaman Sinaga (Fisip Univ.Dharmawangsa Medan) Abstrak Pelaksanaan Pemilukada masih belum berjalan secara efektif terutama sebagaimana yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara.Aturan yang telah ditetapkan belum dapat menjawab permasalahan yang ada sehingga menimbulkan berbagai masalah yang mengakibatkan penyelenggaraan pemilu harus diulang yang sangat merugikan bagi rakyat karena dana pembangunan harus dialihkan untuk pelaksanaan pemilu yang berulang.Sebagai suatu negara yang menjalankan demokrasi (anglo saxonis) ternyata belum maksimal dalam menjalankan proses penyelenggaraan pemilu sebagai konsekuensi negara demokrasi.Beberapa hal yang menjadi masalah adalah: kesepakatan yang tidak kuat antara state dengan society, kurang lengkapnya aturan yang ditetapkan dalam penyelenggaraan pemilukada, dan aturan yang tidak substansi sehingga mengganggu dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan pemilu.Penyelenggaraan menjadi tidak efektif dan dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat yang seharusnya tidak perlu terjadi.Hal yang paling menjadi sorotan bahwa pelaksanaan pilkada yang bermasalah akan mengakibatkan disintegrasi dalam demokrasi khususnya di Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan kepala daerah masih belum dipahami secara substansi antara penyelenggara pemilihan dan juga masyarakat sebagai pemilih sehingga pelaksanaan pemilukada tidak menjadi wadah yang efektif sebagai alat pemersatu bangsa.Ekspektasi masyarakat terhadap pelaksanaan pemilikada belum dapat direspon secara baik sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Kata Kunci:Efektivitas,Kode Etik,Integritas Demokrasi A.Latar Belakang Suatu kebijakan pemerintah yang telah dirancang dengan baik ketika harus berhadapan dengan berbagai realitas lapangan menjadi mandeg atau dengan kata lain sulit untuk direalisasikan.Fakta yang ada menunjukkan bahwa berbagai kondisi ideal undang-undang, peraturan pemerintah, regulasi setingkat menteri pencapaiannya masih jauh dari yang diharapkan.(Erwan Agus Purwanto,2012:2). Namun kegagalan dari suatu kebijakan bukanlah hanya menjadi masalah bagi negara-negara berkembang tetapi juga menjadi masalah bagi negara-negara maju.Mcclintock (1980:64): “The successful implementation of public policy is dificult in the First World countries, it is more dificult in the Third World...” Hal ini akan semakin memperjelas kondisi implementasi yang dijalankan di Indonesia banyak mengalami masalah. Pembenaran dari kondisi yang dinyatakan diatas tentu tidak sampai disitu karena harus dilihat dimana level masalah yang dihadapi masing-masing negara

Upload: duongduong

Post on 07-Apr-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

1 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu Terhadap

Penegakan Integritas Demokrasi Pemilukada

Kariaman Sinaga

(Fisip Univ.Dharmawangsa Medan)

Abstrak

Pelaksanaan Pemilukada masih belum berjalan secara efektif terutama

sebagaimana yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara.Aturan yang telah

ditetapkan belum dapat menjawab permasalahan yang ada sehingga menimbulkan

berbagai masalah yang mengakibatkan penyelenggaraan pemilu harus diulang

yang sangat merugikan bagi rakyat karena dana pembangunan harus dialihkan

untuk pelaksanaan pemilu yang berulang.Sebagai suatu negara yang menjalankan

demokrasi (anglo saxonis) ternyata belum maksimal dalam menjalankan proses

penyelenggaraan pemilu sebagai konsekuensi negara demokrasi.Beberapa hal

yang menjadi masalah adalah: kesepakatan yang tidak kuat antara state dengan

society, kurang lengkapnya aturan yang ditetapkan dalam penyelenggaraan

pemilukada, dan aturan yang tidak substansi sehingga mengganggu dalam

pencapaian tujuan penyelenggaraan pemilu.Penyelenggaraan menjadi tidak efektif

dan dapat menimbulkan perpecahan di masyarakat yang seharusnya tidak perlu

terjadi.Hal yang paling menjadi sorotan bahwa pelaksanaan pilkada yang

bermasalah akan mengakibatkan disintegrasi dalam demokrasi khususnya di

Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan kepala

daerah masih belum dipahami secara substansi antara penyelenggara pemilihan

dan juga masyarakat sebagai pemilih sehingga pelaksanaan pemilukada tidak

menjadi wadah yang efektif sebagai alat pemersatu bangsa.Ekspektasi masyarakat

terhadap pelaksanaan pemilikada belum dapat direspon secara baik sesuai dengan

nilai-nilai demokrasi.

Kata Kunci:Efektivitas,Kode Etik,Integritas Demokrasi

A.Latar Belakang

Suatu kebijakan pemerintah yang telah dirancang dengan baik ketika harus

berhadapan dengan berbagai realitas lapangan menjadi mandeg atau dengan kata

lain sulit untuk direalisasikan.Fakta yang ada menunjukkan bahwa berbagai

kondisi ideal undang-undang, peraturan pemerintah, regulasi setingkat menteri

pencapaiannya masih jauh dari yang diharapkan.(Erwan Agus Purwanto,2012:2).

Namun kegagalan dari suatu kebijakan bukanlah hanya menjadi masalah

bagi negara-negara berkembang tetapi juga menjadi masalah bagi negara-negara

maju.Mcclintock (1980:64): “The successful implementation of public policy is

dificult in the First World countries, it is more dificult in the Third World...” Hal

ini akan semakin memperjelas kondisi implementasi yang dijalankan di Indonesia

banyak mengalami masalah.

Pembenaran dari kondisi yang dinyatakan diatas tentu tidak sampai disitu

karena harus dilihat dimana level masalah yang dihadapi masing-masing negara

Page 2: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

2 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

yang mempunyai perbedaan-perbedaan sesuai dengan kondisi daerahnya masing-

masing.Seperti negara-negara Asia yang sama-sama menghadapi “perlambatan

ekonomi dunia” akan berbeda masing-masing negara Asia dalam menghadapinya.

Pemilukada yang dilakukan serentak pada 2015 sebenarnya telah

memberikan gambaran yang jelas tentang kualitas dari pesta demokrasi yang

dilaksanakan sebagai suatu kebijakan publik.Dari pelaksanaannya dapat diketahui

apa yang menjadi kelemahan dan kelebihan dari pelaksanaan pilkada langsung itu

sendiri.Pemilukada merupakan dilaksanakan pemilihan Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten / Kota secara demokratis dalam negara Kesatuan Republik

Indonesia berdasarkan Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.( Pasal 1 ayat 2 : Peraturan Bersama Komisi Pemilihan

Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan Dewan Kehormatan

Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012).

Sebagai perbandingan berbagai kebijakan pemerintah Indonesia juga

masih mengalami kegagalan dalam implementasinya seperti program pengentasan

kemiskinan atau pelaksanaan otonomi daerah yang belum berhasil

dilaksanakan.Berbagai faktor menjadi penyebab dalam kegagalan dari

pelaksanaan kebijakan publik yang dilaksanakan.Sebagaimana pelaksanaan

pemilukada yang memberikan catatan terburuk dalam pelaksanaan pemilukada di

Indonesia dibandingkan dengan daerah-daerah lain.

Kegagalan dalam pelaksanaan pilkada menjadi dampak yang sangat buruk

terhadap proses pembangunan di indonesia.Hal yang menjadi penting adalah

kegagalan kebijakan tersebut akan ditanggung oleh seluruh rakyat indonesia

berupa penyerapan dana publik.Dana yang telah dianggarkan untuk pembangunan

lainnya yang dibutuhkan akhirnya dialihkan untuk pelaksanaan pilkada yang

bermasalah.

Kerugian dalam hal finansial yang dialami akan memberikan dampak bagi

kebijakan pembangunan lainnya yang menjadi terganggu pelaksanaannya karena

harus membiayai suatu kebijakan secara berulang.Hal ini dapat dilihat seperti

yang terjadi di Kabupaten Simalungun dan Kota Pematang Siantar yang telah

banyak merugikan anggaran serta kerugian-kerugian lainnya.

Efektivitas dalam pelaksanaan pemilukada memang sulit untuk dilakukan

pengukuran karena bersifat kualitatif.Rohman A.A (2008: 19) menyatakan ada

kecendrungan untuk masa yang akan datang efisiensi dan efektifitas menjadi

identitas aparat pemerintah dalam memberi pelayanan publik.Konsep efisensi dan

efektifitas dalam suatu kegiatan mau tidak mau harus berhubungan erat dengan

kegiatan pelayanan publik.

Kemudian efektivitas pelayanan publik bisa dilihat dari tingkat

keberhasilan pelayanan yang telah diberikan pada publik sesuai dengan tujuan

atau sasaran dari pelayanan publik itu sendiri.Sedangkan biaya efisiensinya

biasanya lebih menekankan pada aspek internal yang terjadi dalam organisasi

publik tersebut.

Page 3: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

3 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

B.Permasalahan

Apakah pelaksanaan pilkada langsung berjalan efektif dalam proses

mencapai integritas demokrasi ?

C.Analisis dan Pembahasan

Sebagai suatu kebijakan publik maka pelaksanaan pilkada langsung jelas

menghadapi masalah yang kompleks karena menyangkut banyak kepentingan

baik dari pihak penyelenggara pemilihan, tim sukses atau dari masyarakat secara

umum.Sebagai suatu negara yang memiliki kemajemukan yang tinggi juga

menjadi tantangan besar dalam menjalankan suatu kebijakan publik.

Kajian lebih saintifik pada masalah sosial dalam melihat evaluasi

pelaksanaan pilkada langsung yang akan dilaksanakan pada 2017 setelah

melaksanakan pada tahun 2015.Evaluasi dari pelaksanaan pilkada langsung juga

memberikan evaluasi ekstra mengingat Provinsi Sumatera Utara menjadi daerah

yang memiliki masalah terbesar dalam pelaksanaan pilkada yang ditandai dari

diulangnya pelaksanaan pilkada di beberapa daerahnya.

Pelaksanaan Pilkada yang dilakukan secara berulang telah menunjukkan

kegagalan besar dalam pelaksanaan kebijakan publik.Penyelenggara pemilihan

umum merupakan lembaga yang paling bertanggungjawab dalam kegagalan

pelaksanaan pilkada langsung tersebut.Namun selanjutnya perlu diketahui secara

sosial apakah yang menyebabkan kegagalan dari pelaksanaan pemilihan kepala

daerah tersebut.

Sebagai suatu fenomena yang juga terjadi adalah pemanfaatan harta negara

oleh incunbent dalam mendapatkan kekuasaan.Jimly Asshiddiqie (2014: 138)

menyatakan situasi tertentu kerapkali menimbulkan praktik kekuasaan yang

absolute sehingga calon incunbent selalu memanfaatkan harta negara untuk

mengoptimalkan sumber daya politik guna merebut kekuasaan.

Sejalan tema pembahasan dalam penulisan ini bahwa pelaksanaan pilkada

harus memperkuat integrasi bangsa khusunya dalam pelaksanaan

demokrasi.Sebagai konsekuensi dari negara yang menganut paham demokrasi

maka pelaksanaan dari demokrasi itu sendiri harus dijalankan sesuai dengan

aturan yang berlaku.Selain daripada itu maka pelaksanaan demokrasi sangat

ditentukan oleh kualitas dari masyarakat sebagai tempat dilaksanakannya pesta

demokrasi.

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan suatu

kebijakan publik (public policy) yang harus dijadikan alat bagi masyarakat untuk

mendapatkan pemimpin yang baik.Untuk mendapatkan pemimpin yang baik maka

sangat diperlukan sistem pemilihan yang baik agar terpilih pemimpin yang

diidam-idamkan masyarakat.

Melalui pemilihan yang mengikuti tahapan yang benar maka pelaksanaan

pilkada langsung bukan hanya untuk memilih kepala daerah tetapi berdampak

kepada tumbuhnya kepercayaan masyarakat (modal sosial) yang sangat

bermanfaat dalam proses pembangunan bangsa.Hal ini dapat dikatakan sebagai

Page 4: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

4 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

makna dari pemilihan yang berlangsung sesuai aturan yang memperkuat

pernyataan bahwa pilkada langsung merupakan alat untuk proses pembangunan

bangsa.

Pelaksanaan pemilukada langsung harus benar-benar mengedepankan

nilai-nilai kemanusiaan.Harold Laswell dalam Wahab Abdul Solichin (2008:60)

menyatakan masalah kebijakan harus melihat pada masalah-masalah kemanusiaan

dalam kehidupan masyarakat.Kebijakan publik sangat berkaitan erat dengan

kemanusiaan yang apabila tidak dipenuhi dapat menimbulkan masalah sosial yang

tidak dapat dikendalikan.

Sebagaimana diketahui pemilihan demokrasi indonesia merupakan

paradigma Anglo Saxonis bukan kontinental yang di pelopori oleh Code

Napoleon (1804) dan Otto Van Bismarck (1871).Tentang Paradigma Anglo

Saxonis dipelopori oleh Raja John,Magna Charta (1215), Mills (1589) on Liberty

dan Declaration of Independence (1876).Melalui pemilihan paradigma tersebut

maka akan membawa konsekuensi untuk dapat menjalankan prinsip demokrasi itu

sendiri.

Secara umum beberapa point yang menjadi masalah yang mendasari

pelaksanaan pemilukada adalah:

1.Kebijakan publik belum merupakan hasil pertemuan / kesepakatan state

dan society.

2. Kebijakan yang ditetapkan tidak lengkap sehingga sering menimbulkan

masalah.

3.Kebijakan yang tidak substansi.

Selain ketiga masalah diatas secara eksternal ada dua masalah klasik yang

harus mendapatkan perhatian serius yaitu masalah dalam pelaksanaan pemilukada

serentak antara lain: politik uang (money politic) dan rendahnya partisipasi politik

masyarakat.

1.Politik Uang (money politic)

Persoalan money politic merupakan masalah yang sangat krusial dalam

pelaksanaan pilkada karena sangat menntukan dalam memilih

pemimpin.Seandainya memang tidak ada yang sulit menentukan pemimpin yang

menjadi pilihan tetap saja prosesnya harus berlangsung secara bebas, rahasia,

jujur, dan adil..Sebahagian masyarakat ikut dalam proses pemilihan kepala daerah

bukan karena kesadaran pribadi tetapi karena untuk mendapatkan sejumlah uang

dari calon kepala daerah itu sendiri.Secara sosilogis hal ini akan menimbulkan

ketidakpercayaan atau saling curiga diantara anggota masyarakat.

Pelaksanaan pemilu yang diwarnai oleh money politic merupakan proses

demokrasi yang menghancurkan kepercayaan masyarakat (modal sosial) yang

sangat berbeda arah dengan pencapaian tujuan negara indonesia.Secara lebih

mendetail setiap tahapan harus dilaksanakan secara lebih transparan dan

Page 5: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

5 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

memanfaatkan teknologi yang lebih canggih sehingga peluang untuk terjadinya

money politic menjadi tidak ada atau sangat kecil.

Sesuai dengan landasan dan prrinsip dasar etika dan perilaku berdasarkan

pada: Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Undang-Undang, serta

sumpah / janji jabatan sebagai penyelenggara pemilu.Money Politic yang masih

terjadi menunjukkan jauhnya nilai-nilai dengan realitas yang terjadi.

2.Rendahnya Partisipasi Masyarakat

Pelaksanaan pilkada langsung yang dilaksanakan secara umum mulai

proses pendaftaran hingga pemberian suara di TPS yang dilaksanakan di Kota

Medan telah sesuai dengan aturan yang ditetapkan.Namun yang menjadi masalah

adalah keinginan masyarakat untuk hadir di TPS untuk memberikan suara sangat

rendah.

Kolusi,korupsi dan nepotisme yang masih tinggi juga merupakan faktor

penyebab rendahnya partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pilkada.Dengan

demikian pelaksanaan pilkada langsung yang benar-benar mendapat dukungan

penuh dari masyarakat masih membutuhkan waktu.Hal ini terjadi karena

masyarakat telah dikhianati setelah memberikan kepercayaan atau penghianatan

politik.

Persoalan partisipasi yang rendah harus mendapatkan perhatian yang lebih

intens melalui berbagai perspektif agar mendapatkan solusi.William N Dunn

(2003:8) menyatakan: Jika para analisis berusaha meningkatkan pengetahuan

yang relevan dengan kebijakan, mereka harus menggunakan berbagai perspektif,

metode, ukuran, sumber data, dan media komunikasi.

Berdasarkan pernyataan diatas menjadi dasar dalam melakukan evaluasi

terhadap pelaksanaan pemilukada langsung untuk memperkuat integritas bangsa

indonesia dan dapat mencapai tujuan pelaksanaan pemilukada secara efisien dan

efektif.Adapun evaluasi yang dilakukan adalah:

1.Kebijakan Publik sebagai hasil kesepakatan state dan society.

Permasalahan demokrasi yang ditandai dengan banyaknya pengaduan atas

pelaksanaan pemilukada menunjukkan bahwa aturan yang dibuat tidak

representatif dalam penetapannya.Penetapan aturan masih belum menunjukkan

aturan yang memberi keseimbangan yang jelas antara pihak pemerintah dengan

masyarakat.

Kebijakan publik yang dibuat belum menemukan jati diri dari demokrasi

itu sendiri yang memiliki titik tolak lebih dari satu bagian.Hal ini memberikan

perkembangan yang harus direspon sesuai dengan tuntutan dari ilmu pengetahuan

yang juga selalu mengalami perubahan-perubahan.Negara merupakan bagian yang

paling menentukan dalam pelaksanaan demokrasi yang memiliki peranan besar

dalam pelaksanaannya.

Page 6: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

6 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Demokrasi yang bertumpu pada negara diwarnai dengan dominasi negara

yang penuh dalam pelaksanaan pengembangan serta praktik demokrasi.Seperti

yang terjadi pada era 1970-an pada puncak perang dingin antara Blok Barat

dengan Amerika Serikat dan blok Timur dengan Uni Sovietnya.Dalam hali ini

negara memiliki pengaruh yang kuat (independent) dalam perkembangan paham

demokrasi.

Proses perkembangan demokrasi itu sendiri telah mengalami

perkembangan yang lama di negara-negar Eropa dan menjadi nilai-nilai dasar

dalam pelaksanaan demokrasi.Konsep kekuasaan yang dikemukakan oleh

Machiavelli telah memberikan pemahaman kepada konsep kekuasaan realis-

pragmatis.Selanjutnya lahir tokoh-tokoh yang mengemukakan tentang kontrak

sosial seperti Thomas Hobbes, John Locke, Montesqieu dan JJ.Rousseau yang

meletakkan dasar-dasar demo

Selain negara tumpuan berikutnya adalah masyarakat yang juga memiliki

peranan yang tidak kalah penting dalam proses pelaksanaan aturan demokrasi

seperti pelaksanaan pemilukada.Masyarakat (society)

Sebagai negara yang menjalan demokrasi dari pemerintahan dengan

rezim-rezim militer, rezim-rezim komunis, dan rezim-rezim otoriterian maka tidak

dengan mudak menjadi negara yang dapat menjalankan demokrasi.Perkembangan

pada masa lalu yang terjadi dimasyarakat memberikan dampak yang luas

termasuk dalam menjalankan nilai-nilai demokrasi yang benar-benar sesuai

dengan hak azasi manusia.

Beberapa tahapan yang harus dilalui sebagai suatu negara dalam

menjalankan demokrasi dikemukakan oleh Subhan Sofian (2011 : 123) yaitu:

1.Terbentuknya restorasi atau sistem otoriter dalam bentuk baru

2.Terjadinya revolusi sosial karena konflik kepentingan di masyarakat.

3.Liberalisasi terhadap sistem otoriter oleh penguasa

4.Penyempitan proses demokrasi dari sistem liberal kepada demokrasi

limitatif

5.Terbentuknya pemerintahan yang demokratis

Sebagai negara yang relatif telah membaik dalam ekonomi menjadi

kesempatan yang baik untuk menjalankan demokrasi yang sangat menghargai

hak-hak azasi manusia.Pemerintah telah mendapatkan kepercayaan dari

masyarakat untuk menjalankan demokrasi.Partai-partai politik yang juga diwakili

oleh anggota legislatif pada tingkat pengambilan keputusan politik juga

mempunyai pandangan yang sama untuk menjaga nilai-nilai persatuan, nilai-nilai

ketuhanan, dan yang terutama dengan nilai-nilai kerakyatan yang mengutamakan

kedaulatan rakyat atau pemrintahan demokrasi.

Lembaga yang terkait dalam menetapkan aturan masih belum maksimal

dalam penguasaan yang memberikan aturan yang benar-benar menunjukkan

Page 7: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

7 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

kejelasan antara state dan society.Tentu menjadi persoalan tersendiri bagaimana

suatu lembaga harus benar-benar diisi oleh orang-orang yang menguasai

permasalahan yang menyangkut program bagi kepentingan masyarakat.

Dilema yang terjadi adalah satu sisi tuntutan aturan yang benar-benar

memberikan kebijakan yang dilakukan mewakili kepentingan negara dan

masyarakat namun pihak yang mewakili diantara kedua belah pihak tidak diisi

oleh orang-orang yang kompeten.Kebijakan yang dihasilkan tidak akan

berkualitas selama permaslahan diatas masih tetap berlangsung.Hal inilah yang

menjadi evaluasi pertama dalam pelaksanaan pilkada langsung yang mungkin

menjadi masalah yang sulit diwujudkan karena menyangkut penentuan siapa yang

merumuskan aturan merupakan masalah tersendiri.

2.Kebijakan harus dibuat selengkap mungkin.

Dalam menetapkan aturan yang menyangkut kebijakan publik harus dibuat

selengkap mungkin dan sedetil mungkin agar setelah disahkan langsung dapat

diterapkan dan masyarakat tidak menunggu terlalu lama.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-

Undangan yang menggantikan UU No.10/2004 antara lain:

1.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Thun 1945

2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

3.Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

4.Peraturan Pemerintah

5.Peraturan Presiden

6.Peraturan Daerah Provinsi

7.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Selain aturan diatas pasal 8 UU No.12/2011 diatur bahwa jenis Peraturan

Perundang-undangan mencakup peraturan yang ditetapkan oleh:

1.Majelis Permusyawaratan Rakyat

2.Dewan Perwakilan Rakyat.

3.Dewan Perwakilan Daerah

4.Mahkamah Agung

5. Mahkamah Konstitusi

6.Badan Pemeriksa Keuangan

7.Komisi Yudisial

8.Bank Indonesia

Page 8: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

8 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

9.Menteri

10.Badan

11.Lembaga

12.Komisi

. Dalam melaksanakan kebijakan publik masih memberikan peluang bagi

lengkapnya suatu aturan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas.Terlebih

menyangkut kepentingan yang menuntut untuk segera dalam pengambilan

keputusan.Hemat penulis keterlambatan aturan untuk menyelesaikan masalah

telah menimbulkan polemik dan merugikan bagi masyarakat secara umum.

3.Kebijakan harus mengedepankan substansi.

Suatu kebijakan publik harus diliaht secara kemanfaatan sosial daripada

hanya melihat pada kebijakan sebagai suatu proses kebijakan sebagai suatu

analisis kemajuan.Berkaitan dengan perumusan kebijakan yang telah disampaikan

sebelumnya bahwa suatu kebijakan harus dilihat secara teratur sesuai dengan

hirarki aturan yang telah ditetapkan.

Kemanfaatan yang dimaksud berarti kemampuan pemerintah untuk

kebijakan yang unggul karena sangat menetukan proses pembangunan suatu

negara dalam arti yang luas.Kebijakan yang tidak unggul justru akan

menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya.Sumatera Utara yang menjadi

daerah yang terbanyak dalam permasalahan penyelenggaraan pemilu

menunjukkan kurang substansinya aturan yang diberlakukan.

Aturan yang dimaksud sebagaimana uraian sebelumnya menyangkut

aturan yang harus ditindaklanjuti melalui aturan yang berada di bawah Undang-

undang.Hal ini untuk memperkuat substansi aturan yang ada melalui aturan yang

mendukungnya.Hal ini juga sejalan dengan tugas pokok pemerintahan yang harus

dapat menjadi pelayan bagi masyarakat.Pemerintah yang dimaksud jelas tidak

hanya pemerintah pusat namun termasuk pemerintah daerah sebagai suatu

kesatuan yang tidak terpisahkan.

Berkaitan dengan penerapan aturan yang substansi sangat ditentukan

kualitas dari manajemen penyelenggara pemili yang harus segera tanggap

terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan

pemilu.Tanpa respon yang baik dan cepat dalam mendukung substansi dari aturan

yang ada dapat menimbulkan masalah sosial yang sangat merugikan baik secara

materil maupun nonmateril.

Keputusan yang tepat harus segera diambil untuk merespon permasalahan

yang menyangkut pada penyelenggaraan pemilu sebagaimana menangani

permasalahan laain dalam masyarakat secara cepat.Keputusan merupakan bentuk

tanggungjawab yang harus ditunjukkan tidak hanya berdasarkan pressure dari

masyarakat yang belum tentu memiliki alasan yang kuat untuk menjalankannya.

Page 9: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

9 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Subhan Sofhian (2011:126) menyatakan substansi pelaksanaan pemilu

sebagai pesta demokrasi merupakan proses konsolidasi yang dilakukan antar

komponen bangsa sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya.Upaya

konsolidasi yang dilakukan meliputi: Pertama, menemukan kiat-kiat peralihan

kekuasaan dari rezim lama ke rezim baru yang demokratis agar berlangsung

secara damai dan gradual (transition problems).Kedua, mendekati atau menangani

suatu masalah secara arif agar tidak menimbulkan masalah lain (contextual

problems).Dan Ketiga, menangani kesenjangan antara aturan main (hukum) yang

ada dan menguatnya tuntutan masyarakat (systematic problems).

Masalah kesenjangan antara aturan main dengan tuntutan demokrasi yang

makin meluas merupakan hal yang menjadi tuntutan utama dalam pelaksanaan

demokrasi di Indonesia.Melalui pelaksanaan pemilu menjadi hal yang sangat

strategis dalam penerapannya.Dengan demikian dalam pelaksanaannya harus jelas

parameternya agar pelaksanaan demokrasi benar-benar menjadi saluran yang

maksimal dalam memajukan, mencerdaskan, dan memperkuat integrasi bangsa

indonesia.

Untuk mencapai pelaksanaan pemilukada langsung merupakan masalah

yang kompleks karena terkait dengan kepercayaan masyarakat yang harus

dibangun.Terjadi paradoks antara pelaksanaan pilkada yang telah dipersiapkan

dengan biaya yang sangat besar namun tidak sesuai dengan apa yang

diperoleh.Sebagai ilustrasi pesta yang dilaksanakan tidak sesuai dengan undangan

yang diharapkan sehingga dapat dikatakan pesta yang dilaksanakan gagal karena

tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.

Untuk mencapai pelaksanaan pemilukada langsung merupakan masalah

yang kompleks karena terkait dengan kepercayaan masyarakat yang harus

dibangun.Terjadi paradoks antara pelaksanaan pilkada yang telah dipersiapkan

dengan biaya yang sangat besar namun tidak sesuai dengan apa yang

diperoleh.Sebagai ilustrasi pesta yang dilaksanakan tidak sesuai dengan undangan

yang diharapkan sehingga dapat dikatakan pesta yang dilaksanakan gagal karena

tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.

Secara internal bahwa pelaksanaan pemilukada sangat ditentukan tiga

faktor utama yaitu:

1.Penetapan peraturan pemilukada yang benar-benar mewakili state dan

society

2.Peraturan yang dibuat harus lengkap dan detil

3.Peraturan yang dibuat harus substansi

Secara eksternal bahwa evaluasi terhadap pemilukada masih diwarnai oleh

politik uang dan partisipasi masyarakat yang rendah dalam memberikan suara

pada penyelenggaraan pemilihan umum.Dengan demikian pelaksanaan

pemilukada kedepannya harus mengikutsertakan partisipasi banyak pihak yang

memakai konsep penyelenggaraan.Pelaksanaan konsep penyelenggaraan pada

Page 10: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

10 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

pemilukada juga memberikan konsekuensi pada penegakan hukum yang

menyangkut banyak pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pemilukada.

Kesimpulan

1.Penetapan atau revisi terhadap aturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan

pemilu harus benar-benar ditentukan oleh orang-orang yang menguasai aturan

dalam penyelenggaraan pemilihan umum.Dengan kata lain pihak yang

menentukan dalam penentuan aturan pelaksanaan pemilukada adalah orang-

orang yang representatif dan kompeten.Berkaitan dengan penetapan Undang-

Undang yang dilakukan pada tingkat legislatif harus dilakukan penyesuaian

yang dapat membantu kualitas dari keputusan tentang penyelenggaraan

pemilihan umum.

2.Peraturan penyelenggaraan pemilukada harus dibuat selengkap dan sedetil

mungkin untuk menghindari adanya permasalahan-permasalahan yang dapat

mengganggu proses penyelenggaraan pemilukada.Kemudian harus segera

respon terhadap kemungkinan terhadap celah yang dapat menimbulkan

masalah-masalah.Masalah yang pada awalnya kecil namun apabila sudah

masuk pada ranah masyarakat akan memiliki dampak besar atau menjadi

masalah yang besar di masyarakat.

3.Peraturan pelaksanaan pemilukada harus di buat secara substansi agar

mengarah pada pencapaian tujuan bernegara melalui pelaksanaan demokrasi

yang mendukung integrasi bangsa indonesia.

4.Kepercayaan masyarakat harus dibangun melalui penyelenggaraan pemilu

sebagai suatu kebijakan strategis dalam proses pencapaian tujuan

negara.Modal sosial sangat menetukan terhadap program yang mengharuskan

partisipasi masyarakat.

Page 11: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

11 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Daftar Pustaka

Wahab,AS,2008,Analisis Kebijakan Publik,Malang,UPT Univ. Muhammadiyah

Malang

Dunn,WN,2003,Pengantar Ananlisis Kebijakan Publik,Gajah Mada University

Press

Rohman, AA,2008,Reformasi Pelayanan Publik,Program Sekolah Demokrasi

PlaCIDS, M

Peraturan Bersama Komisi Pemilihan, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 1, 11, dan 13

Tahun 2012 Tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum,

2012,Jakarta

Sofhian, Subhan dkk,2011, Pendidikan Kewarganegaraan, Fokus Media, Bandung

Asshiddiqie, Jimly, Menegakkan Etika Penyelenggaraan Pemilu, 2014, Jakarta

Page 12: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

12 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Epistemologi Keputusan Administrasi Yang Berkeadilan

Dalam Mewujudkan Good Governance

Erni Suyani

(Fisip Univ.Dharmawangsa Medan)

Abstrak

Pada akhir dasa-warsa yang lalu, konsep good governance ini lebih dekat di

pergunakan dalam reformasi publik. Di dalam disiplin atau profesi manajemen

publik konsep ini di pandang sebagai suatu aspek dalam paradigma baru ilmu

administrasi publik. Paradigma baru ini menekankan pada peran manajer publik

agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong dan

meningkatkan otonomi manajerial terutama sekali mengurangi campur tangan

kontrol yang di lakukan oleh pemerintah pusat, Tanparansi, akuntabilitas publik

dan di ciptakan pengelolahan manajerial yang bersih dan bebas dari korupsi. Tata

kepermerintahan yang baik )good Governance) merupakan suatu konsep yang

akhir-akhir ini di pergunakan secara regule di dalam ilmu politik dan administarsi

publik (administarasi negara). Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan

terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan

pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Berkembanglah kemudian sebuah

konsep tata pemerintahan yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk berbagai

permasalahan tersebut.

Kata Kunci : Keputusan, Administrasi, Good Govrnance

A. Pendahuluan

Penulis ingin katakan ketika berbicara Good governance maka sering di

gunakan sebagai standar sistem good local governance di katakan baik dalam

menjalankan sistem disentaralisasi dan sebagai parameter yang lain untuk

mengamati praktek demokrasi dalam suatu negara.Para pemegang jabatan publik

harus dapat mempertangung jawabkan kepada publik apa yang mereka lakukan

baik secara pribadi maupun secara publik. Seorang presiden Gebernur, Bupati,

Wali Kota, anggota DPR dan MPR dan pejabat politik lainnya harus menjelaskan

kepada publik mengapa memilih kebijaksanaan X, bukan kebijaksanaan Y,

mengapa memilih menaikkan pajak ketimbang melakukan efesiensi dalam

pemerintahan dan melakukan pemberantasan korupsi sekali lagi apa yang di

lakukan oleh pejabat publik harus terbuka dan tidak ada yang di tutup untuk di

pertanyakan oleh publik.

Tidak hanya itu apa yang di lakukan oleh keluarganya, sanak saudara dan

bahkan teman dekatnya sendiri sering di kaitkan dan di letakkan pada posisi

pejabat publik, mengapa demikian? Alasan sebenarnya sederhana saja, karena

pejabat tersebut mendapat amanah dari masyarakat maka dia harus dapat

menegang amanah tersebut. Konsep Good governance pertama kali di

Page 13: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

13 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

perkenalkan oleh UNDP, sebab munculnya konsep ini di sebabkan oleh tidak

terjadinya akuntabilitas, tranparansi. Artinya banyak negara dunia ketiga ketika di

beri bantuan dana tersebut banyak yang tidak tepat sasaran, sehinga negara maju

engan memberikan bantuan terhadap negara dunia ketiga adalah karena belum

terciptanya sistem birokrasi yang efektif, efesien dan tidak adanya tranparansi,

akuntabilitas bantuan dana dari negara maju. Konsekuensinya banyak terjadi

korupsi yang di lakukan oleh dunia ketiga ketika bantuan di turunkan oleh negara

maju.

Pada akhir dasa-warsa yang lalu, konsep good governance ini lebih dekat

di pergunakan dalam reformasi publik. Di dalam disiplin atau profesi manajemen

publik konsep ini di pandang sebagai suatu aspek dalam paradigma baru ilmu

administrasi publik. Paradigma baru ini menekankan pada peran manajer publik

agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong dan

meningkatkan otonomi manajerial terutama sekali mengurangi campur tangan

kontrol yang di lakukan oleh pemerintah pusat, Tanparansi, akuntabilitas publik

dan di ciptakan pengelolahan manajerial yang bersih dan bebas dari korupsi. Tata

kepermerintahan yang baik )good Governance) merupakan suatu konsep yang

akhir-akhir ini di pergunakan secara regule di dalam ilmu politik dan administarsi

publik (administarasi negara). Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan

terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan

pembangunan masyarakat secara berkelanjutan. Berkembanglah kemudian sebuah

konsep tata pemerintahan yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk berbagai

permasalahan tersebut.

Konsep itu yaitu Good governance. Governance berbeda dengan

government yang artinya pemerintahan. Karena government hanyalah satu bagian

dari governance. Bila pemerintahan adalah sebuah infrastruktur, maka governance

juga bicara tentang suprastrukturnya. Banyak sekali definisi tentang good

governance. Kita ambil satu saja untuk sebagai bahan analisa. Bank Dunia dalam

laporannya tentang governance and development tahun 1992 mengartikan good

governance sebagai pelayanan publik yang efisien, sistem pengadilan yang dapat

diandalkan, pemerintahan yang bertanggungjawab pada publiknya (Bintan R.

Saragih). Bergulirnya reformasi membawa angin segar bagi proses demokratisasi

di Indonesia. Sebuah rezim yang amat kuat, solid sekaligus juga korup dan

sentralistis terpaksa menyudahi perannya sebagai penguasa negeri ini. Berarti

terbuka sebuah kesempatan emas untuk memulai proses perbaikan di berbagai

bidang. Sebagai catatan saja kondisi kita waktu itu adalah kondisi yang amat

terpuruk. Tak hanya di bidang ekonomi saja, tapi juga di bidang hukum, birokrasi

dan juga moralitas.

Page 14: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

14 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

B. Keputusan Tata Usaha Negara

Dalam konsep HAN dikenal Keputusan/Penetapan Negatif dan Positif,

Permanen dan Temporal. Di samping itu juga terlihat, bahwa pemerintah dalam

melakukan aktivitas atau kegiatan negara dapat berkedudukan sebagai

Pemerintah dan sebagai Administrator.

1. Keputusan/Penetapan Negatif dan Positif, Permanen dan Temporal.

Kegiatan administrasi negara yang dilaksanakan, dijalankan dan

diselenggarakan sebagai pelaksanaan tugas pemerintah tersebut bermacam-

macam. Salah satu macam kegiatan yang sangat mempengaruhi kehidupan negara

dan masyarakat adalah adanya keputusan yang ditetapkan oleh pejabat

pemerintah/administrasi negara yang bersifat yuridis dan mengandung penetapan

(beschikking) yang mempunyai akibat hukum dan membahayakan apabila diambil

secara kurang bertanggung-jawab.

Bentuk daripada keputusan administratif tersebut sangat beraneka ragam,

satu sama lain tergantung dari sifat dan pertimbangannya. Keputusan-keputusan

tersebut dapat berbentuk formal seperti : Surat Memo, besluit, Surat Keputusan,

dan sebagainya. Tetapi dapat pula berupa suatu surat pemberitahuan atau nota

biasa, dapat pula berupa suatu disposisi pada bagian samping dibubuhi tanda

tangan dan cap jabatan bahkan dapat secara lisan.

Setiap keputusan administrasi negara mengandung suatu penetapan

(beschikking). Keputusan atau penetapan yang diambil bisa negatif dan positif.

Keputusan/ Penetapan yang negatif, yaitu keputusan yang menolak suatu

permohonan yang diajukan oleh pemohon. Pemohon, dalam hal ini bisa dari

instansi pemerintah, swasta maupun perseorangan. Keputusan/ Penetapan yang

negatif, hanya berlaku satu kali saja, sehingga dalam hal ini pemohon yang ditolak

permintaannya dengan seketika dapat mengulangi kembali permintaannya yang

ditolak tersebut.

Keputusan/ Penetapan yang positif, keputusan yang mengabulkan suatu

permohonan yang diajukan oleh pemohon. Keputusan/ Penetapan yang positif

dapat berupa:

a. Menciptakan hukum baru pada umumnya (misalnya, menyatakan suatu

daerah tertutup karena ada wabah suatu penyakit menular);

b. Menciptakan keadaan hukum baru hanya terdapat suatu obyek saja

(misalnya, menyatakan suatu pelabuhan sebagai pelabuhan samudra);

c. Membentuk atau membubarkan suatu badan hukum;

d. Memberikan beban (kewajiban) kepada suatu instansi atau perseorangan

(misalnya: ketetapan pajak, wajib militer);

e. Memberikan keuntungan kepada suatu instansi atau perseorangan, antara

lain:.

Page 15: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

15 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

1) Dispensasi, yaitu suatu pernyataan dari pejabat administrasi negara yang

berwenang, bahwa suatu ketentuan undang-undang yang tertentu

memang tidak berlaku terhadap kasus yang diajukan oleh seorang (atau

instansi) di dalam suatu permintaannya.

2) Izin atau vergunning, yaitu dispensasi dari suatu larangan;

3) Lisensi, yaitu suatu izin yang bersifat komersial atau mendatangkan

keuntungan atau laba;

4) Konsensi, yaitu suatu penetapan dimana suatu instansi atau orang yang

mendapat konsensi selain mendapat dispensasi izin dan lisensi, juga

diberi semacam “wewenang pemerintahan”, yang memungkinkan

kepadanya, misalnya, membuat jaringan jalan, memasang jaringan listrik

dan telepon, mendirikan rumah sakit, sekolah.

Selanjutnya, mengenai Keputusan/ Penetapan permanen dan temporal

adalah:

a. Penetapan permanen, sekali dikeluarkan berlaku untuk seterusnya,

misalnya ijazah dan surat kawin;

b. Penetapan temporal, yang hanya berlaku untuk waktu tertentu, misalnya

SIM, KTP, dsbnya.

2. Keputusan Pemerintah sebagai Pemerintah dan sebagai Administrator.

Menurut Prayudi, Hukum Administrasi Negara merupakan legal matrix

daripada administrasi negara, sehingga apapun dan dalam bentuk apapun

administrasi negara berbuat, disana harus ada aturan-aturan Hukum Administrasi

Negara (administratieve rechtsregels) yang harus membenarkan kegiatan tersebut

secara hukum (juridische rechtvaardiging). Hal ini merupakan salah satu

konsekuensi daripada asas negara hukum (rehctsstaat). Aturan hukum tersebut

ada yang mengenai organisasi atau seluk-beluk kelembagaan daripada instnasi

administrasi negara yang bersangkutan (organische rechtsregels) dan ada yang

mengenai fungsi-fungsi administrasi negaranya (functionele rechtsregels).

Kegiatan administrasi negara terdiri atas perbuatan-perbuatan yang bersifat

yuridis (yang secara langsung menciptakan akibat-akibat hukum) dan yang

bersifat non yuridis.

Perbuatan-perbuatan hukum administrasi negara tersebut ada empat, yaitu:

a. Penetapan (beschikking, administrative discretion);

b. Rencana (plan);

c. Norma jabaran (concrete normgeving);

d. Legislasi-semu (pseudo-wetgeving).

Keempat macam perbuatan hukum daripada administrasi negara tersebut

dalam kehidupan sehari-hari terkenal dengan sebutan Keputusan Pemerintah, oleh

karena orang awam tidak dapat mengenal berbagai perpedaan dan pembedaan

Page 16: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

16 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

administratif-teknis dan yuridis teknis.

Dari keempat perbuatan hukum tersebut yang paling banyak menimbulkan

persoalan bagi warga masyarakat adalah keputusan-keputusan para pejabat

administrasi, yang di kalangan rakyat terkenal dengan sebutan “Keputusan

Pemerintah”.

Keputusan Pemerintah sebagai Pemerintah tidak dirasakan efeknya oleh

warga masyarakat secara langsung, oleh karena suatu Keputusan Pemerintah

(regelingsbesluit) selalu bersifat umum, prinsipil, abstrak, dan personal. Artinya

sama sekali tidak mengenai seorang individu tertentu di dalam kasus tertentu.

Sedangkan yang mempunyai efek langsung adalah Keputusan Pemerintah

sebagai Adminstrator, oleh karena Keputusan Administrasi (administratieve

beschikking) selalu bersifat individual, kasual, konkrit dan khas.

Namun dalam prakteknya sulit bagi warga masyarakat untuk membedakan

kedua macam keputusan pemerintah tersebut. Karena kedua keputusan pemerintah

tersebut diambil dalam rangka kedudukannya sebagai Penguasa Negara

(overhead, public authority). Jadi dalam kedudukannya tersebut Penguasa itu

bisa Pemerintah sebagai Pemerintah (penguasa eksekutif) dan bisa juga

sebagai Administrator (penguasa administratif).

Dalam kedua hal tersebut, Pemerintah mengambil keputusan dengan

wewenang yang sama, yaitu “wewenang kenegaraan” atau wewenang publik,

apakah sebagai Pemerintah (penguasa eksekutif) atau sebagai Administrator

(penguasa administratif). Keputusan pemerintahan merupakan keputusan

pelaksanaan atau eksekutif (politieke daad), artinya penegakan undang-undang

dan wibawa negara. Keputusan administratif merupakan keputusan

penyelenggaraan atau realisasi (materiele daad).

3. Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dalam UU Nomor 5 Tahun

1986 jo UU Nomor 9 Tahun 2004.

Selanjutnya mengenai apa yang dimaksud dengan KTUN dan apa yang

menyebabkan adanya sengketa tata usaha, diatur dalam Ketentuan Umum, Pasal 1

angka 3 dan angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2004.

Secara limitatif, Pasal 1 angka 3, menentukan KTUN adalah suatu

penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual dan final, yang

menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Adanya KTUN sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3 tersebut dapat

melahirkan atau mengakibatkan adanya sengketa tata usaha negara. Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan penetapan tertulis tersebut dapat

digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara atau melalui penyelesaian

administratif (dalam hal sengketa kepegawaian) oleh pihak yang merasa

Page 17: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

17 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

dirugikan.

Selanjutnya, menurut Pasal 1 angka 4, menentukan bahwa yang dimaksud

dengan sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang

tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat

dikeluarkannya KTUN, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

C. Bahaya Wewenang Publik

Para aparatur negara dalam penggunaan wewenang publik harus mengikuti

aturan-aturan Hukum Administrasi Negara, agar supaya tidak terjadi

penyalahgunaan wewenang. Hal ini disebabkan, bahwa wewenang publik tersebut

tidak dapat dilawan dengan jalan biasa.

Wewenang publik tersebut teridiri atas dua kekuasaan yang luar biasa,

yaitu:

1. Wewenang prealabel, yang merupakan wewenang melaksanakan

keputusan-keputusan yang diambil tanpa meminta persetujuan terlebih

dahulu dari instansi atau seorang perseorangan yang manapun;

2. Wewenang ex-officio, artinya semua keputusan yang diambil karena

jabatan (apalagi berdasarkan sumpah jabatan) tidak dapat dilawan oleh

siapa pun dan yang berani melawan dikenakan sanksi pidana (misalnya,

Pasal 160, 161, 212, 216 KUHP).

Oleh sebab itu, dalam membuat keputusan (badan atau pejabat yang diberi

wewenang publik) harus dibuat berdasarkan aturan main yang telah ditetapkan

dan dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip hukum, yaitu adanya: keadilan

(justice, equity), kewajaran (decency, reasonability), effisiensi, kepastian hukum

(legal security), dan ketenangan hidup (peaceful life).

Menurut Prayudi, agar supaya wewenang publik dapat dilakukan denga

baik dan tidak adanya penyalahgunaan wewenang, maka dalam penggunaan

wewenang tersebut (pembuatan keputusan) terikat kepada tiga asas hukum, yaitu:

1. Asas yuridikitas (rechtmatigheid), artinya, keputusan pemerintah maupun

administratif tidak boleh melanggar hukum (onrechtmatigee

overheidsdaad);

2. Asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan harus diambil

berdasarkan suatu ketentuan undang-undang;

3. Asas diskresi (discretie, freies ermessen), artinya pejabat penguasa tidak

boleh menolak mengambil keputusan dengan alas an „tidak ada

peraturannya”, dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil

keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas

yuridikitas dan asas legalitas. Ada dua macam diskresi, yaitu: diskresi

bebas, bilamana undang-undang hanya menentukan batas-batasnya, dan

diskresi terikat, bilamana undang-undang menetapkan beberapa alternatif

Page 18: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

18 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

untuk dipilih salah satu yang oleh pejabat administrasi dianggap paling

dekat.

D. Pengertian dan Prinsip-Prinsip Good Governance

Banyak orang menjelaskan good governance secara berbeda tergantung

pada konteksnya. Dalam konteks pemberantasan KKN, good governance

diartikan sebagai pemerintahan yang bersih dari praktek KKN. Good governance

dinilai terwujud jika pemerintah mampu menjadikan dirinya sebagai pemerintahan

yang bersih dari praktek KKN.

Prinsip Good Governance adalah merupakan idiologi lama yang pada

intinya merupakan sebuah prinsip yang mengatur masalah pelaksanaan otoritas

politik, ekonomi, sosial, hukum dan administratif di dalam mekanisme atau proses

ketatanegaraan di Indonesia. Ada semacam hipotesis yang berkembang dalam

masyarakat bahwa krisis multi dimensi yang melanda Indonesia pada dasarnya

berasal dari adanya krisis moral aparatur pemerintah yang cenderung koruptif dan

seringkali melakukan tindakan-tindakan kolusi dan nepotisme.

Dalam kondisi yang demikian tersebut maka upaya mewujudkan suatu

good governance di Indonesia merupakan prioritas utama dalam rangka

mewujudkan dan menciptakan suatu tatanan masyarakat pada umumnya dan

sistem pengelolaan negara pada khususnya yang lebih baik serta tidak

menerapkan kembali sistem yang cenderung bersifat korupsi, kolusi dan

nepotisme.

Konsep Good Governance bermula dari adanya rasa ketakutan sebagian

masyarakat terhadap tindakan pejabat negara atau administrasi negara untuk

bertindak secara bebas (freies ermessen). Kewenangan yang ada pada pejabat

negara tersebut dikuatirkan akan menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat,

sehingga kemudian muncul suatu konsep yang menitikberatkan pada prinsip

umum pemerintahan yang baik atau the general principles of good administration

yang kini lebih dikenal dengan good governance.

Hal yang terpenting dari prinsip good governance tersebut adalah prinsip

kecermatan, kepastian, kewajaran, persamaan, dan keseimbangan. Prinsip Good

Governance sebenarnya adalah prinsip yang lebih mengutamakan mengenai

adanya konsep keseimbangan hubungan antara masyarakat dengan negara.

Penerapan Good Governance di Indonesia diharapkan mampu

menggerakkan partisipasi masyarakat (public participation) di segala bidang

kehidupan. Selain itu, konsep good governance tersebut diharapkan juga tidak

hanya diterapkan dalam organisasi pemerintahan tingkat atas, tetapi juga dapat

diterapkan pada organisasi pemerintahan tingkat bawah.

Penerapan konsep good governance tersebut tidak hanya ditujukan kepada

lembaganya saja tetapi juga ditujukan kepada individu-individu yang berfungsi

sebagai apartur pemerintah. Tujuan ideal yang ingin dicapai dari adanya

penerapan konsep good governance oleh aparatur pemerintah adalah untuk

Page 19: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

19 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

meningkatkan kinerja yang lebih baik, yaitu yang menghindari budaya kerja yang

muncul dalam kerangka KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme).

Konsep pemerintahan umum yang baik ini kemudian dikembangkan oleh

teori ilmu hukum dan yurisprudensi baik di lingkungan administrasi negara

maupun oleh putusan-putusan pengadilan sehingga mendapat tempat yang layak

dalam perundang-undangan. Beberapa unsur pemerintahan yang baik, yang telah

memperoleh tempat yang layak dalam peraturan perundang-undangan di berbagai

negara antara lain:

1. Asas bertindak cermat.

2. Asas motivasi.

3. Asas kepastian hukum.

4. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan.

5. Asas kebijaksanaan.

6. Asas keadilan dan kewajaran.

7. Asas keseimbangan.

8. Asas perlindungan.

9. Asas penyelenggaraan kepentingan umum

Untuk menjamin pemerintahan yang baik (Good Governance) sebagai

syarat terciptanya pemerintahan yang bersih, maka hukum harus dilihat sebagai

asas prosedural (fairness), keterbukaan sistem (transparancy), keterbukaan hasil

kerja (disclosure), pertanggungjawaban publik (accountability), kewajiban

keterbukaan kepada masyarakat (responsibility). Inilah sejarah Good Governance

berlaku di Indonesia

Pemerintah juga mempunyai fungsi-fungsi lain antara lain adalah sebagai

berikut:

1. Mengemudikan pemerintahan (governing)

2. Memberi petunjuk (instructing)

3. Menggerakkan potensi (actuating)

4. Memberikan arahan (directing)

5. Mengkordinasi kegiatan (coordinating)

6. Memberi kesempatan dan kemudahan (facilitating)

7. Memantau dan menilai (evaluating)

8. Melindungi (protecting)

9. Mengawasi (controling)

10. Menunjang dan mendukung (supporting)

Penciptaan hukum yang akomodatif dan rasional adalah sarana

mewujudkan pemerintahan yang berwibawa. Signifikasi tiga komponen hukum

seperti yang dikemukakan Lawrence M. Friedman, yaitu legal subtance, legal

structure dan legal culture, menjadi pra-syarat terwujudnya Good Governance.

Page 20: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

20 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Sosok aparatur negara yang berperan sebagai abdi masyarakat dalam

mewujudkan Good Governance dapat dimulai dari dirinya, sebagai individu yang

telah membulatkan tekad melalui “Saptaprasetya” Korpri menciptakan negara dan

sekaligus mendirikan peradaban. Dengan posisi dan perannya maka aparatur

negara adalah individu-individu yang memiliki kemauan yang keras, akhlak yang

lurus, dan kehidupan mereka terbebaskan dari penyakit kejiwaan maupun fisik

yang berbahaya.

Para pamong praja diisyaratkan untuk memiliki empat sifat dalam

melayani publik, yaitu:

1. Ketaatan yang tinggi pada peraturan.

2. Pengendalian diri.

3. Banyak kesabaran.

4. Ketrampilan untuk melihat sesuatu berjalan tidak benar namun tidak turun

tangan, sama seperti ketrampilan yang dimiliki seorang ayah yang mendidik

anaknya menjadi mandiri.

Dalam proses demokratisasi good governance sering mengilhami para

aktivis untuk mewujudkan pemerintah yang memberikan ruang partisipasi yang

luas bagi aktor dan lembaga di luar pemerintahan sehingga ada pembagian peran

dan kekuasaan yang seimbang antara Negara, masyarakat sipil dan mekanisme

pasar. Adanya pembagian peran yang seimbang dan saling melengkapi antar

ketiga unsur tersebut bukan hanya memungkinkan adanya check and balance

tetapi juga menghasilkan sinergi yang baik antar ketiganya dalam mewujudkan

kesejahteraan bersama.

Sementara menurut Lembaga Administrasi Negara (LAN), “Good” dalam

good governance mengandung dua pengertian. Pertama, nilai-nilai yang

menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat dan nilai-nilai yang dapat

meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan nasional. Kedua,

aspek-aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam

pelaksanaan tugasnya. Berdasarkan pengertian ini, LAN kemudian

mengemukakan bahwa good governance berorientasi pada orientasi ideal negara

yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional dan juga kepada pemerintahan

yang berfungsi secara ideal, efektif, dan efisien dalam melakukan upaya mencapai

tujuan nasional.

Konsep pemerintahan yang baik (good governance) awal mulanya tidak

dikenal dalam Hukum Administrasi, maupun dalam Hukum Tata Negara bahkan

dalam Ilmu Politik. Konsep good governance tersebut lahir dari lingkungan

Perserikatan Bangsa-Bangsa yang awal mulanya dari Organisation for the

Economic Coorporation and Development (OECD). Di mana Komponen good

governance dirinci ke dalam beberapa point berikut:

1. Human rights observance and democracy.

2. Market reforms

3. Bureaucratic reform (corruption and transparancy)

Page 21: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

21 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

4. Environmental protection and sustainable development.

5. Reduction in military and defence expenditures and non-production of

weapons of massdestruction.

Selain Organisation for the Economic Coorporation and Development

(OECD) ada juga United Nation Development Program (UNDP) yang

mengemukakan komponen good governance yang meliputi:

1. Participation.

Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan baik

secara langsung maupun melalui intermediasi insititusi legitimasi yang mewakili

kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi.

2. Rule of law

Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu,

terutama hukum untuk hak asasi manusia.

3. Transparancy

Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses-proses,

lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang

membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dapat dimonitor.

4. Responsiveness.

Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani

setiap stakeholders.

5. Consensus orientation.

Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk

memperoleh pilihan-pilihan terbaik baik kepentingan yang lebih luas baik dalam

hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur.

6. Equity

Semua warga negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai

kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.

7. Effectiveness and efficiency

Proses-proses dan lembaga-lembaga sebaik mungkin menghasilkan sesuai

dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia.

8. Accountability

Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan

masyarakat bertanggungjawab kepada publik dan lembaga-lembaga

“stakeholders”. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan

yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal

organisasi.

9. Strategic vision.

Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif good governance

dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang

diperlukan untuk pembangunan semacam ini.

Page 22: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

22 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Dalam hukum positif Indonesia nilai-nilai good governance tersebut,

antara lain dapat ditemukan pada Tap MPR No.IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis

Besar Halauan Negara, dan Undang-Undang No.25 Tahun 2000 tentang Program

Pembangunan Nasional 2000-2004. Dalam Ketetapan MPR No.IV/MPR/1999

tersebut ditegaskan tentang konsep pemerintahan yang baik sebagai berikut:

1. Menjamin terwujudnya kehidupan bermasyarakat berdasarkan atas

hukum dan perlindungan hak asasi manusia.

2. Menjamin kehidupan yang demokratis.

3. Mewujudkan keadilan sosial.

4. Menjamin terwujudnya pemerintahan yang layak.

Keempat tujuan pembangunan hukum tersebut di atas adalah tujuan yang

sangat fundamental Sebagaimana dituangkan pada GBHN 1999 – 2004 yaitu

tegaknya asas kedaulatan rakyat atau yang lebih dikenal dengan istilah supremasi

hukum.

Selanjutnya UU No.25 Tahun 2000 tentang Propenas Tahun 2000-2004

dirinci lima prioritas pembangunan nasional sebagai berikut:

1. Membangun sistem politik yang demokratis serta mempertahankan

persatuan dan kesatuan.

2. Mewujudkan supremasi hukum dan pemerintahan yang baik.

3. Mempercepat pemulihan ekonomi.

4. Membangun kesejahteraan rakyat.

5. Meningkatkan pembangunan daerah.

Untuk menjamin pemerintahan yang baik (good governance) sebagai

syarat terciptanya pemerintahan yang bersih, maka hukum harus dilihat sebagai

asas prosedural (fairness), keterbukaan sistem (transparancy), keterbukaan hasil

kerja (disclosure), pertanggungjawaban publik (accountability), kewajiban

keterbukaan kepada masyarakat (responsibility). Inilah sejarah good governance

berlaku di Indonesia.

Good governance intinya berorientasi kepada sebuah nilai yang

menjunjung tinggi kedaulatan rakyat yang dapat meningkatkan kemampuan untuk

mencapai tujuan hidup bermasyarakat dan bernegara. good governance tidak

hanya mencakup aparat administrasi, tetapi semua cabang kekuasaan kenegaraan.

Good governance bukan hanya asas dalam penyelenggaraan negara atau

pemerintahan, tetapi mencakup pula penyelenggaraan politik ekonomi, hukum

dan berbagai aspek kehidupan bernegara.

Konsep pemerintahan yang baik (good governance) dipergunakan sebagai

acuan dan arah bagi administrasi dalam melakukan tindakan, yang dalam

pelaksanaannya harus terikat dengan aturan hukum. Dewasa ini banyak ketentuan

perundang-undangan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang secara tergesa-

gesa, bahkan terkesan dipaksakan sehingga substansinya tidak dapat menjadi

Page 23: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

23 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

sarana penegakan keadilan yang sesungguhnya. Bahkan makin banyak juga

oknum yang merasa tidak bersalah dan tidak bertanggungjawab atas segala

perbuatannya, meskipun perbuatan tersebut secara nyata merugikan negara dan

kepentingan rakyat.

E. Arti Penting Good Governance dalam Penyelenggaraan Negara

Konsep Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (good governance)

pertama kali muncul di Parlemen Belanda pada bulan April 1950 yang

dikemukakan oleh De‟Monchy selaku anggota Parlemen Belanda. Menurutnya

dipandang perlu segera diadakan perlindungan hukum bagi para warga terhadap

tindakan-tindakan administrasi negara.

De Monchy menuturkan bahwa untuk terlaksananya pemerintahan yang

bersih, maka para penyelenggara administrasi tidak cukup hanya berpegang pada

aturan normatif undang-undang. Mereka juga harus berpedoman pada asas-asas

umum pemerintahan yang baik. Asas-asas tersebut sebagai peningkatan

perlindungan hukum bagi warganegara.

Secara faktual gagasan De Monchy diakui dan diterima di Indonesia.

Pengakuan dan penerimaan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk

mewujudkan pemerintahan yang baik. Hal tersebut diatur pada UU No.28 Tahun

1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi,

Kolusi dan Nepotisme.

Rambu-rambu pelaksanaan asas umum pemerintahan yang baik di

Indonesia sesungguhnya terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,

dimana dalam UUD‟45 terdapat sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Ini

menunjukkan adanya kewajiban pemerintah untuk memelihara budi pekerti

kemanusiaan yang luhur sesuai dengan cita-cita moral yang luhur dari rakyat.

Asas pemerintahan yang baik menuntut partisipasi, keterbukaan, pertanggung

jawaban umum dan pengawasan kepastian hukum.

Selain kewajiban pemerintah seperti telah disebutkan di atas tadi, sebagai

pemimpin masyarakat, pemerintah juga mempunyai fungsi-fungsi lain antara lain

adalah sebagai berikut:

1. Mengemudikan pemerintahan (governing)

2. Memberi petunjuk (instructing)

3. Menggerakkan potensi (actuating)

4. Memberikan arahan (directing)

5. Mengkordinasi kegiatan (coordinating)

6. Memberi kesempatan dan kemudahan (facilitating)

7. Memantau dan menilai (evaluating)

8. Melindungi (protecting)

9. Mengawasi (controling)

10. Menunjang dan mendukung (supporting)

Page 24: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

24 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Dalam praktek kehidupan kenegaraan selama ini, paling tidak subtansi

Good Governance yang menjadi dasar bagi para administrasi pelaksana

pemerintahan telah dituangkan dalam berbagai ketentuan hukum. Misalnya:

1. Undang-Undang No.8 Tahun 1974 tentang Kepegawaian;

2. Peraturan Pemerintah No.30 Tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri

Sipil;

3. Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara

yang Bersih dan Bebas dan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme;

4. Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan

Kekayaan Penyelenggaraan Negara;

5. Peraturan Pemerintah No.68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan

Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara; dan

6. Peraturan Pemerintah Nomor 198 Tahun 2000 tentang Pembinaan Pegawai

Negeri Sipil dan Pejabat Struktural / Fungsional.

Asas umum pemerintahan yang baik merupakan rambu-rambu bagi para

penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya, rambu-rambu tersebut

diperlukan agar tindakan-tindakannya tetap sesuai dengan tujuan hukum yang

sesungguhnya. Pada negara hukum yang tindakan pemerintahannya sedemikian

menonjol seperti di Indonesia, maka kesewenang-wenangan cenderung menonjol.

Kebebasan diberikan dalam rangka melaksanakan tugas kesejahteraan

umum. Bentuknya adalah kebebasan untuk mengambil tindakan yang tepat, cepat

serta berfaedah dalam keadaan mendesak terhadap sesuatu yang belum diatur oleh

hukum, namun tindakan tersebut harus sesuai dalam bingkai hukum. Di kalangan

ahli hukum Indonesia hal ini lebih dikenal dengan istilah Freies Ermessen.

Fungsi freies ermessen adalah agar administrasi negara sebagai aparat

penyelenggara negara dapat menilai dan menentukan apa yang inkonkrets.

Kebebasan yang dimaksud adalah bebas menetukan apa yang harus dilakukan,

dengan ukuran apa wewenang itu digunakan, kapan tindakan dilakukan dan

bagaimana caranya wewenang itu digunakan. Jadi hakikatnya adalah kebebasan

untuk bertindak demi kepentingan yang lebih besar tetapi sesuai dengan bingkai

hukum. Menentukan apa, kapan, di mana dan bagaiamana caranya, disinilah

diperlukan adanya Asas Umum Pemerintahan yang Baik (Good Governance).

Sejak tumbangnya rezim Orde Baru dan digantikan dengan

gerakan reformasi, istilah good governance begitu popular. Hampir di setiap event

atau peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan, istilah ini tak

pernah ketinggalan. Bahkan dalam pidato-pidato, pejabat negara sering mengutip

kata-kata di atas. Pendeknya good governance telah menjadi wacana yang kian

popular di tengah masyarakat.

Meskipun kata good governance sering disebut pada berbagai event dan

peristiwa oleh berbagai kalangan, pengertian good governance bisa berlainan

antara satu dengan yang lain. Ada sebagian kalangan mengartikan good

Page 25: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

25 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja pemerintahan suatu

negara, perusahaan atau organisasi masyarakat yang memenuhi prasyarat-

prasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan good governance

sebagai penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic

culture sebagai penopang sustanaibilitas demokrasi itu sendiri.

Masih banyak lagi „tafsir‟ Good Governance yang diberikan oleh berbagai

pihak. Seperti yang didefinisikan oleh World Bank sebagai berikut: Good

Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid

dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang

efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik

secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta

penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.

Namun untuk ringkasnya Good Governance pada umumnya diartikan

sebagai “Pengelolaan pemerintahan yang baik”. Kata „baik‟ disini

dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-

prinsip dasar good governance.

Adapun prinsip-prinsip dasar atau Asas-asas Umum Pemerintahan yang

Baik yang dikenal di Indonesia antara lain:

1. Asas Kecermatan Formal.

2. Asas Fair Play.

3. Asas Pertimbangan.

4. Asas Kepastian Hukum Formal.

5. Asas Kepastian Hukum Material.

6. Asas Kepercayaan atau Asas Harapan-harapan yang Telah Ditimbulkan.

7. Asas Persamaan.

8. Asas Keseimbangan.

F. Eksistensi Good Governance Dalam Hukum Administrasi Negara

Konsep pemerintahan yang baik (Good Governance) pada dasarnya

bertumpu pada dua landasan utama yaitu Hukum Tata Negara dan Hukum

Administrasi Negara. Konsep pemerintahan yang baik dalam makna pemerintahan

akan mengikat pemerintah dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean

governance). Terselenggaranya kepemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa

(clean and good governance) menjadi harapan bagi setiap bangsa.

Aparat administrasi dan para pelaksana hukum memerlukan sebuah

keberanian dan kemauan untuk menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang

baik sebagai upaya menemukan keadilan yang sesungguhnya. Langkah-langkah

tersebut menjadi pra-syarat terwujudnya pemerintahan yang baik (good

governance).

Penciptaan hukum yang akomodatif dan rasional adalah sarana

mewujudkan pemerintahan yang berwibawa. Signifikasi tiga komponen hukum

Page 26: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

26 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

seperti yang dikemukakan Lawrence M. Friedman, yaitu legal subtance, legal

structure dan legal culture, menjadi pra-syarat terwujudnya good governance.

Terwujudnya pemerintahan yang baik adalah manakala terdapat sebuah

sinergi antara swasta, rakyat dan pemerintah sebagai fasilitator yang dilaksanakan

secara transparan, partisipatif, akuntabel dan demokratis. Tidak efektifnya

pemerintah merealisasikan konsep pemerintahan yang baik dalam bentuk norma

menjadi salah satu kendala. Gejala korupsi, kolusi dan nepotisme yang lebih

terbuka dan meluas mempersulit penerapan konsep pemerintahan yang baik.

Di era otonomi dewasa ini yang ditonjolkan bukan kesejahteraan rakyat

tetapi justru kepentingan politik, sehingga kepercayaan seakan-akan menjadi

barang langka. Bahkan, keteladanan semakin sulit ditemukan dalam praktek

pemerintahan. Dalam melaksanakan tugas pelayanannya kepada masyarakat,

pemerintah dibatasi oleh luas jangkauan dan wewenangnya, sebagaimana

ditetapkan dalam ketentuan undang-undang yng berlaku.

Dalam berbagai ketentuan perundang-undangan di samping mengatur

wewenang normatif, para penyelenggara negara diberi wewenang bebas. Namun

dalam prakteknya seringkali wewenang bebas tersebut dimanfaatkan secara

berlebihan.

Sosok aparatur negara yang berperan sebagai abdi masyarakat dalam

mewujudkan good governance dapat dimulai dari dirinya, sebagai individu yang

telah membulatkan tekad melalui “Saptaprasetya” Korpri menciptakan negara dan

sekaligus mendirikan peradaban. Dengan posisi dan perannya maka aparatur

negara adalah individu-individu yang memiliki kemauan yang keras, akhlak yang

lurus, dan kehidupan mereka terbebaskan dari penyakit kejiwaan maupun fisik

yang berbahaya.

Jika good governance lebih diartikan sebagai pembatasan kebebasan dan

kekuasaan pemerintah yang dipengaruhi mekanisme pasar maka akan

memperjelas peran swasta. Building productive partnership between goverment

and business semua ini berarti mendorong perubahan melalui pasar. Atau dengan

adanya kecenderungan global yang kuat pada saat ini ialah globalisasi ekonomi,

ditandai dengan liberalisasi perdagangan dan investasi pasar bebas. Upaya ini

mengacu pada keunggulan komperatif dan kompetitif dengan peningkatan

efisiensi ekonomi dan economi of scale dan memanfaatkan kemajuan teknologi.

G. Peran Aparatur Negara Dalam Mewujudkan Good Governance

Banyak orang memahami good governance dalam konteks yang berbeda.

Dengan banyaknya perspektif yang berbeda dalam menjelaskan konsep good

governance maka tidak mengherankan jika kemudian terdapat banyak

pemahaman yang berbeda-beda mengenai good governance. Namun secara umum

ada beberapa karakteristik dan nilai yang melekat dalam praktek good

governance. Pertama, praktek good governance harus memberi ruang kepada

aktor lembaga non pemerintah untuk berperan serta secara optimal dalam kegiatan

Page 27: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

27 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

pemerintahan, sehingga memungkinkan adanya sinergi di antara lembaga

pemerintahan dengan masyarakat sipil dan mekanisme pasar. Kedua, dalam

praktek good governance terkandung nilai-nilai yang membuat pemerintah dapat

lebih efektif bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Nilai-nilai seperti

efisiensi, keadilan, dan daya tanggap menjadi nilai yang penting. Ketiga, praktek

good governance adalah praktek pemerintahan yang bersih dan bebas dari praktek

KKN serta berorientasi pada kepentingan public. Karena itu, praktek

pemerintahan dinilai baik jika mampu mewujudkan transparansi, penegakan

hukum, dan akuntabilitas publik.

Transparansi lebih mengarah pada kejelasan mekanisme formulasi dan

implementasi kebijakan, program, dan proyek yang dibuat dan dilaksanakan

pemerintah. Pemerintah yang baik adalah pemerintahan yang bersifat transparan

terhadap rakyatnya, baik di tingkat pusat maupun daerah. Rakyat secara pribadi

dapat mengetahui secara jelas dan tanpa ada yang ditutup-tutupi tentang proses

perumusan kebijakan publik dan implementasinya. Dengan kata lain segala

kebijakan dan implementasi kebijakan baik di tingkat pusat mapun di tingkat

daerah harus selalu dilaksanakan secara terbuka dan diketahui umum.

Penegakan hukum lebih mengarah kepada adanya jaminan kepastian

hukum. Setiap kebijakan publik dan peraturan perundangan harus selalu

dirumuskan, ditetapkan dan dilaksanakan berdasarkan prosedur baku yang telah

melembaga dan diketahui oleh masyarakat umum, serta memiliki kesempatan

untuk mengevaluasinya. Pemerintah dalam hal ini aparat pemerintah, harus

mampu mempertanggungjawabkan segala sikap, perilaku dan kebijakan yang

dibuat secara politik, hukum, maupun ekonomi dan diinformasikan secara terbuka

kepada publik, serta membuka kesempatan kepada publik untuk melakukan

pengawasan dan jika dalam prakteknya telah merugikan kepentingan rakyat maka

pemerintah harus mampu mempertanggungjawabkan dan menerima tuntutan

hukum atas tindakan tersebut.

Akuntabilitas publik lebih mengarah kepada pertanggungjawaban aparat

pemerintah kepada masyarakat umum. Karena segala sesuatunya akan dapat

dituntut pertanggungjawaban oleh masyarakat, maka dalam menjalankan tugas-

tugas yang diembannya, aparat pemerintah haruslah dapat bertindak secara

profesional, mandiri dan bertanggungjawab. Apabila melakukan kesalahan bukan

kemudian mencuci tangan ataupun mencari kambing hitam.

Adapun yang harus dilakukan aparat pemerintahan dalam mewujudkan

good governance, setidaknya adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah atau aparat pemerintah diharapkan dapat berfungsi dengan

baik sesuai dengan desk job yang sudah ditentukan, dan tidak

memboroskan uang rakyat yang terkumpul melalui sistim perpajakan.

2. Pemerintah atau aparat pemerintah harus dapat menjalankan fungsinya

berdasarkan norma-norma standar etika dan moralitas pemerintahan yang

berkeadilan.

Page 28: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

28 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

3. Pemerintah atau aparat pemerintah harus mampu menghormati legitimasi

konvensi konstitusional yang mencerminkan kedaulatan rakyat

(demokrasi)

4. Pemerintah atau aparat pemerintah harus memiliki daya tanggap terhadap

berbagai variasi yang berkembang dalam masyarakat, serta bersikap

positip atas pertanyaan masyarakat mengenai berbagai kebijakan yang

dijalankan.

Salah satu kunci keberhasilan penerapan good governance adalah terletak

pada peran aparat negara atau pemerintah atau aparat itu sendiri. Di antara tugas

terpenting Negara pada masa depan yang diciptakan oleh lingkungan politik

adalah mewujudkan pembangunan manusia yang berkelanjutan (suistainable

human development) dengan meredifinisi peran pemerintah dalam

mengintegrasikan sosial, ekonomi dan melindungi lingkungan, menciptakan

komitmen politik mengenai restrukturisasi ekonomi ekonomi, sosial, dan politik,

menyediakan infrastruktur, desentralisasi dan demokrasi pemerintah, memperkuat

financial dan kapasitas administrative pemerintah lokal, kota dan metropolitan.

Otoritas terhadap berbagai urusan pemerintahan yang didesentralisasikan

kepada pemerintah daerah lebih banyak jumlahnya daripada yang diatur oleh

pemerintah pusat. Alasan utama pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1999 adalah untuk menjalankan prinsip demokrasi, meningkatkan peran serta

masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan

keanekaragaman daerah melalui pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan

bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional.

Kemudian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 lebih menekankan

pemberian kewenangan seluas-luasnya agar daerah memiliki kewenangan

membuat kebijakan untuk pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan

pemberdayaan, dengan mengutamakan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Dalam menjalankan sistem pemerintahan yang desentralistis ini pemerintah

daerah diserahi otoritas untuk menjalankan berbagai urusan. Pemerintah daerah

dapat melakukan perencanaan dan pengendalian pembangunan, pemanfaatan dan

pengawasan tata ruang, penyelenggaraan ketertiban umum. Pemerintah daerah

juga menangani bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, penanggulangan

masalah sosial, pelayanan bidang ketenagakerjaan, fasilitas pengembangan

ketenagakerjaan, pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah,

pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertanian kependudukan dan catatan

sipil, pelayanan administrasi umum pemerintahan, pelayanan administrasi

penanaman modal, pelayanan-pelayanan dasar lainnya, dan urusan wajib lainnya

yang diamanatkan oleh peraturan perundangan. Smentara pemerintah pusat hanya

menangani bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan

fiskal nasional, dan agama.

Page 29: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

29 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Implementasi NPM dapat dilihat juga dari kewajiban melakukan penilaian

kinerja pemerintah daerah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 108 Tahun

2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah, PP Nomor 105

Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, dan

kemudian dilanjutkan dengan PP Nomor 56 Tahun 2002 tentang Laporan Kinerja

Penyelenggara Pemerintah Daerah dan PP Nomor 20 Tahun 2004 tentang

Rencana Kerja Pemerintah.

Selain itu, implementasi NPM dapat dilihat dengan diberlakukannya peraturan

perundangan tentang privatisasi seperti Kepres Nomor 122 Tahun 2001 tentang

Tim Kebijakan Privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tujuannya untuk

meningkatkan kinerja BUMN yang meliputi perbaikan struktur permodalan,

meningkatkan profesionalisme dan efisiensi usaha, perubahan budaya perusahaan,

memperluas partisipasi masyarakat dalam kepemilikan saham BUMN serta

penciptaan nilai tambah perusahaan melalui penerapan prinsip good corporate

governance yang didasarkan pada transparansi , akuntabilitas, dan kemandirian

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Jimly Asshiddiqie, 1994, “Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan

Pelaksanaannya di Indonesia”, Cetakan Pertama, PT Ictiar Baru Van

Hoeve, Jakarta.

________________, 2006, “Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia”,

Cet.Ketiga, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi RI, Jakarta.

________________, 2006, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga

Negara Pasca Reformasi”, Cetakan Pertama, Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

________________, 2007, “Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia

Pasca Reformasi”, Cetakan Pertama, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

Kuntjoro Purbopranoto, 1981, “Perkembangan Hukum Administrasi

Indonesia”, Cetakan Pertama, Angkasa Offset, Bandung.

Mahfud MD, 2007, “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen

Konstitusi”, Cet.Pertama, LP3ES, Jakarta.

Philipus M. Haddjon & dkk, 1994, “Pengantar Hukum Administrasi Negara

(Introduction to the Indonesian Administrative Law)”, Cetakan Ketiga,

Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Prayudi Atmosudirdjo, 1983, “Hukum Administrasi Negara”, Cetakan

Keenam, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Page 30: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

30 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Ranadireksa, Hendarmin, 2002, “Visi Politik Amandemen UUD 1945

Menuju Konstitusi yang Berkedaulatan Rakyat”, Cetakan Pertama,

Pancur Siwah, Jakarta.

Wiratno, 2010, “Hukum Administrasi Negara”, Cetakan Kedua, Trisakty

University Press, Jakarta.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UUD 1945, 2002, “Amandemen Pertama, Ke Dua, Ke Tiga dan Ke Empat”,

Citra Umbara, Bandung.

UU Nomor 5 Tahun 1986, tentang Peradilan Tata Usaha Negara, internet,

http:www.legalitas.org.

UU Nomor 43 Tahun 1999, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, Sinar Grafika,

Jakarta. Peradilan Tata Usaha Negara, internet, http:www.legalitas.org.

UU Nomor 9 Tahun 2004, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, internet,

http:www.legalitas.org.

UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, Penerbit “Forum

Indonesia Maju, Jakarta.

Page 31: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

31 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Efektifitas Penerapan Tarif Parkir Di Medan Sesuai Dengan Perda Parkir

Nomor 10 Tahun 2011

Muya Syaroh Iwanda Lubis

(Fisip Univ.Dharmawangsa Medan)

Abstrak

Sistem parkir konvensional yang dikelola oleh beberapa perusahaan, saat ini

memiliki kelebihan dan kekurangan dalam hal ketertiban dan keamanan.

Teknologi komputer (terutama perangkat lunak) saat ini dapat diaplikasikan

sebagai sistem yang sangat membantu dalam membuat suatu sistem perparkiran,

terutama dalam hal pembuatan program untuk sistem parker yang aman dan tertib.

Sistem berbasis cerdas merupakan salah satu bidang ilmu komputer yang dapat

mengimplementasikan sistem parker ini dalam bentuk program komputer. Sistem

berbasis cerdas mendasarkan proses program secara cerdas (intelligence) atau

dalam bidang ilmu komputer disebut kecerdasan buatan.

Kecerdasan buatan adalah proses belajar bagaimana membuat komputer dapat

melakukan suatu pekerjaan seperti layaknya manusia bekerja atau berpikir.

Definisi ini menunjukkan bahwa konsep proses berpikir manusia merupakan

bagian penting dalam pemrograman sistem berbasis cerdas.

Kata Kunci : Efektifitas, Tarif Parkir

A. Pendahuluan

Panitia Khusus (Pansus) Perparkiran DPRD Medan meminta Dinas

Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Medan agar tegas menangani permasalahan

penerapan tarif parkir yang tidak sesuai dengan peraturan daerah (Perda) Parkir

Nomor 10 tahun 2011, termasuk perbedaan tarif yang diberlakukan. Dampak dari

pengutipan tersebut, banyak masyarakat yang mengeluhkan aturan tersebut.

“Makanya, kami mendorong Dispenda tegas terhadap seluruh pengelola

parkir progresif guna membahas revisi Perda, sekaligus menetapkan tarif parkir

yang tidak memberatkan masyarakat,” kata Ketua Pansus Perparkiran Herry

Zulkarnain, Selasa (1/3), usai pembahasan revisi Perda Parkir di ruang Banggar

DPRD Medan, bersama pengelola parkir dan Dispenda Kota Medan.

Herry mengatakan, pada Perda lama tarif satu jam parkir pertama, khusus

roda empat (mobil) senilai Rp2.000. Satu jam berikutnya naik Rp1.000, sampai

batas maksimal lima jam. Untuk roda dua persatu jam pertama tetap Rp1.000, dan

kelipatan Rp1.000 untuk jam berikutnya sampai maksimal lima jam.

“Tapi fakta di lapangan, mereka menetapkan tarif sesuka hati. Karena

itulah kita panggil untuk dibahas dan menetapkan Perda Parkir Progresif ini agar

menjadi acuan ke depan,” katanya. Ketua Fraksi Partai Demokrat ini

menambahkan, setiap pembuatan Perda menelan biaya hingga Rp200 juta.

Dengan begitu, harus dibahas dengan serius dan tidak merugikan pihak

mana pun. Sebab anggarannya diambil dari uang rakyat. Sementara untuk sanksi

Page 32: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

32 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

yang diterapkan kepada pengelola bila melanggar aturan, adalah pencabutan izin.

Pemko Medan dalam hal ini Dinas Pendapatan (Dispenda) Kota Medan harus

tegas.

“Tadi kita sepakat harus dibuat plang besaran tarif sesuai aturan agar

masyarakat tahu,” jelas anggota Komisi A ini. Pihaknya mengaku akan

melakukan sidak ke lapangan, melihat apakah sebelum Perda berjalan ada

permainan yang terjadi, sehingga bisa diakomodir untuk merevisi Perda tersebut.

“Jadi sebelum ada aturan baru, diimbau pengelola parkir menerapkan Perda lama.

Kita minta Pemko mencabut izin pengelola atau manajemen yang memberi tarif

sesuka hati,” katanya.

Apalagi, sambung Herry, PAD dari sektor ini cukup tinggi. Namun karena

Perda revisi dijalankan secara sepihak sehingga potensi PAD tidak tergali

maksimal. “Mereka kita kumpulkan hari ini agar tidak merevisi sendiri aturan

yang kita tetapkan. Berapa kebocoran akibat itu silahkan kawan-kawan tanya ke

Dispenda, sebab revisi ini dilakukan karena penerapan Perda lama tidak

dijalankan maksimal,” tukasnya.

Sementara, Kadispenda Kota Medan M Husni mengaku, pengutipan yang

diterapkan kepada pengelola parkir progresif berdasarkan omset satu bulan dikali

25 persen. “Itulah yang kita kutip. Dari sisi target PAD, tercapai. Hanya saja

pengelola tidak mampu menggunakan Perda lama, karena tingginya biaya

perawatan. Makanya kita panggil mereka untuk menemukan solusi yang tidak

memberatkan masing-masing pihak. Untuk sanksi, belum ada tindakan tegas.

Sebab Pemko Medan masih menggunakan azas kepatuhan,” papar Husni.

Pihaknya, diakui Husni, sudah berulangkali melayangkan imbauan kepada

seluruh pengelola parkir agar menerapkan tarif sesuai Perda. “Tetapi dengan

alasan klasik, maintenence tinggi, biaya sewa dan sebagainya, mereka tidak

mampu break even point (BEP) dalam pengelolaan.

Namun dalam penerapan pajak, kita berlakukan berdasar omset ditarik 25

persen, dari total omset sebulan. Potensi PAD target yang dibebankan ke

Dispenda masih bisa tercapai. Tetapi dengan menggunakan Perda lama itu berat

karena mereka sendiri tidak mampu mengelola,”sebut Husni.

Pihaknya optimis bahwa target mereka tahun ini meningkat dari

sebelumnya, yakni Rp16 miliar. “Tahun lalu target kita Rp13 miliar dan itu

tercapai, bahkan over. Makanya tahun ini kita naikkan lagi,” ungkapnya.

Selain imbauan, Husni mengakui ada kelemahan dari Perda sebelumnya.

Menurut dia, sebenarnya ada dua aspek pendekatan dalam menerapkan regulasi

yang ada. Di mana pemerintah harus memberi stimulus kepada pengusaha.

“Kemudian ada namanya analisis pasar, bagaimana mereka mengelola.

Sudah dari 2013 ini kita ajukan. Nah, setelah dianalisis menurut aturan pe-

merintah, kemudian tidak sesuai dengan penerapan di lapangan, boleh saja ada

sanksi. Perda lama belum ada sanksi, makanya ini termasuk yang mau dibenahi.

Sedangkan fungsi izin ada di SKPD lain. Kalau hemat saya pajak itu sebuah

Page 33: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

33 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

proses transaksi, kalau dia pungut berarti harus ada yang disetor ke pemerintah,”

jelasnya.

Dispenda mengimbau kepada para pengelola yang belum mendaftar untuk

mendaftarkan wajib pajak. Karena di dalam aturan harus bekerjasama dengan

pihak ketiga. Husni juga menyadari pendekatan yang dilakukan pihaknya

berdasarkan azas kepatutan dan kepatuhan,” katanya didampingi Kasi Penagihan

dan Perhitungan, Sutan Partahi.

Sutan menambahkan, terdapat 45 lebih wajib pajak (WP) yang terdata oleh

pihaknya. Diantara pengelola parkir yang berada dibawah naungan Dispenda,

Carefour Plaza dan Sun Plaza menempati peringkat teratas dalam hal besaran

pajak yang dikutip.

“Kalau Sun Plaza itu sekitar Rp250 juta perbulan, dimana kita perkirakan

omset mereka perbulan dari parkir senilai Rp1,1 miliar. Padahal dari 2011 lalu,

mereka hanya mampu memperoleh Rp110 juta. Sedangkan Carefour Rp260 juta,

dimana sejak tahun 2011 mampu mengumpulkan Rp90 juta perbulan. Jadi dari

total itu kami ambil 25 persen untuk pajak parkir progresif mereka,” jelasnya.

Sedangkan, anggota Pansus Parkir Godfried Lubis menegaskan diperlukan

sanksi yang tercantum dalam revisi Perda yang akan dibuat. Disamping itu

Godfried mengaku keberatan soal pernyataan pihak Dispenda dan bagian hukum

Pemko Medan, yang mengaku tidak perlu izin-izin terlebih dahulu, asal pajak bisa

tergali.

“Menurut saya, justru jangan dikasih NPWPD (Nomor Pokok Wajib Pajak

Daerah) sebelum izin diterbitkan. Seperti di kawasan Asia Mega Mas contohnya.

Harus ke mana kita bayar pajak parkir karena itu merupakan Fasum (fasilitas

umum),” katanya.

Menurut politisi Gerindra ini, hal tersebut harus dikoordinasikan

sebelumnya ke Pemko Medan. Sehingga pajak parkir dari kawasan tersebut bisa

menjadi PAD bagi Kota Medan. Dirinya juga menyadari kelemahan Perda yang

lama, dimana tidak ada sanksi yang mengatur bagi pelanggar aturan.

Untuk itu, dalam revisi perda parkir yang baru nanti, mana-mana yang

belum terakomodir bisa masuk dan diterapkan dengan maksimal. “Kemudian

Pemko juga harus menertibkan pengutipan tempat parkir di kantor-kantor

pemerintahan, yang kita lihat banyak terjadi. Itu bisa kita sebut dengan pungli,

karena sesuai aturan tidak diperbolehkan ada retribusi,” katanya.

Penurunan Tarif Parkir Sementara itu, Suryanti mewakili Asosiasi

Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Sumatera Utara sangat berharap

adanya penurunan tarif parkir. Karena, kebijakan penarikan tarif hingga 25 persen

oleh Pemerintah Kota (Pemko) Medan dinilai sangat memberatkan.

“Memang gak ada masalah dengan rencana revisi Perda Perparkiran ini.

Cuma harapan kami supaya tarif pajak diturunkan, jangan tinggi,”ujar Suryanti

usai pembahasan Pansus Perparkiran yang banyak melibatkan pengelola parkir di

pusat perbelanjaan.

Page 34: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

34 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

B. Sistem Pengaturan Parkir

Saat ini jumlah kendaraan di kota besar seperti Medan, perkembangannya

memiliki grafik yang terus naik, yang memiliki arti bahwa jumlah kendaraan

semakin banyak. Semakin bertambahnya jumlah kendaraan tersebut, memiliki

implikasi terhadap kebutuhan parkir di tempat-tempat umum seperti di kantor,

pusat perbelanjaan, sekolah, kampus, tempat rekreasi, dan tempat-tempat umum

lainnya yang memiliki area parkir yang cukup luas.

Sistem parkir konvensional yang dikelola oleh beberapa perusahaan, saat

ini memiliki kelebihan dan kekurangan dalam hal ketertiban dan keamanan.

Teknologi komputer (terutama perangkat lunak) saat ini dapat diaplikasikan

sebagai sistem yang sangat membantu dalam membuat suatu sistem perparkiran,

terutama dalam hal pembuatan program untuk sistem parker yang aman dan tertib.

Sistem berbasis cerdas merupakan salah satu bidang ilmu komputer yang

dapat mengimplementasikan sistem parker ini dalam bentuk program komputer.

Sistem berbasis cerdas mendasarkan proses program secara cerdas (intelligence)

atau dalam bidang ilmu komputer disebut kecerdasan buatan.

Kecerdasan buatan adalah proses belajar bagaimana membuat komputer

dapat melakukan suatu pekerjaan seperti layaknya manusia bekerja atau berpikir.

Definisi ini menunjukkan bahwa konsep proses berpikir manusia merupakan

bagian penting dalam pemrograman sistem berbasis cerdas.

Tujuan utama pemrograman berbasis cerdas adalah membuat komputer

lebih cerdas dengan merancang program yang mampu

melakukan suatu kerja atau fungsi berdasarkan pola kerja otak manusia dalam

melakukan tindakan. Maka tenaga manusia akan berperan minimal disebabkan

sistem ini yang berperan lebih banyak secara otomatis.

Pada sistem parkir ini ditekankan kepada tertibnya kendaraan-kendaraan di

area parkir dan juga tingkat keamanan yang cukup baik. Simulasi dimulai dari

masuknya kendaraan, lalu kendaraan tersebut mengambil karcis parkir. Karena

ada beberapa parkir yang tersedia, maka karcis yang dicetak tercantum alamat

parkir yang tersedia tersebut. Lalu kendaraan tersebut tidak menempati alamat

parkir yang tercantum pada karcis parkir, maka indikator berupa alarm berbunyi.

Tetapi jika kendaraan tersebut parkir pada alamat yang tercantum pada

karcis parkir, maka alarm tidak berbunyi. Kemudian setelah mobil parkir di

alamat yang tepat, terdapat indikator berupa portal kecil yang otomatis tertutup di

alamat parkir tersebut. Kondisi di atas adalah jika parker tidak penuh. Sedangkan

jika kondisi di area parkir penuh, maka karcis tercetak tanpa tercantum alamat

parkir yang kosong.

Tetapi karena kendaraan tersebut sudah mengambil karcis, maka data

kendaraan tersebut akan masuk ke database yang akan disusun berdasarkan waktu

kedatangan. Memang, jika parker belum ada yang tersedia, kendaraan tersebut

harus menunggu dengan berputar di area parkir. Setelah beberapa saat berputar di

Page 35: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

35 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

area parkir, maka terdapat parkir kosong di suatu alamat, maka kendaraan yang

menunggu lebih lama yang dapat menempati parkir tersebut.

Akan ada pemberitahuan dengan voice yang ditujukan untuk kendaraan

tersebut. Pemberitahuan tersebut adalah informasi alamat parkir yang dapat

ditempati kendaraan yang menunggu paling lama. Setelah parkir di tempat yang

sesuai dengan yang telah diberitahukan di speaker, maka mobil parkir dengan

keadaan portal kecil yang tertutup. Pada keadaan yang sekarang, banyak mobil

yang harus berputar di area parker karena tidak diketahuinya alamat parker yang

kosong dan kalau pun ada yan

C. Pengertian Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah "suatu rangkaian pilihan-pilihan yang saling

berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-

bidang yang menyangkut tugas pemerintah". Dunn (dalam Syafiie, 2006:106).

Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa kebijakan adalah "tindakan

yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seorang, kelompok atau

pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-

hambatan tertentu mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau

mewujudkan sasaran yang diinginkan". Friedrich (dalam wahab, 2008:3).

Dari teori-teori di atas maka dapat disimpulkan kebijakan publik adalah

pilihan-pilihan atau keputusan-keputusan yang dibuat pemerintah yang dilakukan

atau tidak dilakukan untuk menjalankan tugas pemerintah dengan tujuan tertentu.

Berdasarkan pengelompokannya, maka kebijakan yang diteliti dalam skripsi ini

termasuk kedalam kebijakan publik bersifat makro karena berdasarkan peraturan

yang bersifat umum.

D. Pengertian Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi adalah pelaksanaan keputusan dasar, biasanya dalam bentuk

Undang-Undang, Perpres, Keppres, Permen, Kepmen maupun Perda namun dapat

pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan dari Kepala Daerah

atau Kepala Dinas yang penting. Mazmanian dan Sabatier (dalam Widodo

2009:88). Selain itu pendapat lain mengatakan bahwa implementasi adalah apa

yang terjadi setelah undang-undang ditetapkan yang memberikan otoritas

program, kebijakan, keuntungan (benefit), atau suatu jenis keluaran yang nyata

(tangible output). Ripley dan Franklin (dalam Winarno, 2012:148)

Definisi dari pendapat lain mengatakan bahwa implementasi kebijakan,

merupakan tindakan yang dilakukan baik oleh individu atau pejabat-pejabat atau

kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan untuk tercapainya

tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan. Meter dan Horn (dalam

Nawawi, 2009:131)..

E. Pengertian Pengelolaan

Pengelolaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga,

(2007:534) adalah proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan

Page 36: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

36 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

tenaga orang lain. Pengelolaan berhubungan dengan manajemen, menurut George

R. Terry & Leslie W. Rue (2005:1) manajemen adalah suatu kegiatan,

pelaksanaannya adalah “managing”(pengelolaan), sedangkan pelaksananya

disebut manager atau pengelola.

F. Penelolaan Parkir

Pengelolaan parkir diatur dalam Peraturan Daerah tentang Parkir agar

mempunyai kekuatan hukum dan diwujudkan rambu larangan, rambu petunjuk

dan informasi. Untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan

yang diterapkan dalam pengendalian parkir perlu diambil langkah yang tegas

dalam menindak para pelanggar kebijakan parkir. Kebijakan parkir dapat dibagi

atas dua kebijakan yaitu kebijakan tarif sebagai salah satu kebijakan fiskal serta

kebijakan pembatasan ketersediaan ruang parkir. Adapun sasaran utama dari

kebijakan parkir sebagai bagian dari kebijakan transportasi adalah sebagai berikut;

1. Untuk mengendalikan jumlah kendaraan yang masuk ke suatu kawasan,

2. Miningkatkan pendapatan asli daerah yang dikumpulkan melalui rertribusi

parkir,

3. Meningkatkan fungsi jalan sehingga sesuai dengan peranannya,

4. Meningkatkan kelancaran dan keselamatan lalu lintas,

5. Mendukung tindakan pembatasan lalu lintas lainnya.

32. Definisi dan Dasar Hukum Parkir

Definisi parkir itu sendiri menurut Peraturan Walikota Samarinda Nomor 03

Tahun 2010 adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat

sementara. Parkir berbeda dengan stop ataupun berhenti. Berhenti adalah sebagian

keadaan tidak bergerak suatu kendaraan untuk sementara dengan pengemudi tidak

tidak meninggalkan kendaraannya.

Adapun dasar hukum pelaksanaan Peraturan Walikota Samarinda Nomor

03 Tahun 2010 sebagai berikut ;

1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 96,Tambahan Lembaran

Negara RI Nomor 50225).

2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Prasarana dan Lalu

Lintas Jalan (LembaranNegara RI Tahun 1993 Nomor 64, Tambahan Lembran

Negara RI Nomor 3529)

3. Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor 66 Tahun 1993 Tentang Fasilitas

Parkir Umum.

Penyelenggaraan Parkir

Bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kepemilikan kendaraan

menambah permintaan akan ruang jalan untuk kegiatan dan kelancaran lalu lintas.

Fasilitas parkir dapat berfungsi sebagai salah satu alat pengendali lalu lintas.

Fasilitas parkir untuk umum seperti ini antara lain dapat berupa gedung parkir dan

Page 37: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

37 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

taman parkir dan tidak termasuk dalam pengertian ini adalah fasilitas parkir yang

merupakan penunjang dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan oleh kegiatan

pokok dari gedung-gedung perkantoran, pertokoan, dan lain sebagainya.

Sasaran Penyelenggaraan Parkir

Sasaran utama dari kebijakan parkir sebagai bagian dari kebijakan transportasi

adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengendalikan jumlah kendaraan yang masuk kesuatu wilayah atau

kawasan .

2. Untuk meningkatkan pendapatan asli daerah yang di kumpulkan melalui

retribusi parkir.

3. Meningkatkan fungsi jalan sehingga sesuai dengan perannya.

4. Meningkatkan kelancaran dan keselamatan lalu lintas.

5. Mendukung tindakan pembatasan lalu lintas lainnya.

Kewenangan Penyelenggaraan Parkir

Peraturan Walikota Samarinda Nomor 03 Tahun 2010 tentang mekanisme

dan pengaturan parkir di tepi jalan umum pada BAB II pasal 3 menyatakan bahwa

pengeloaan parkir di tepi jalan umum yang dilaksanakan Dinas Perhubungan Kota

Samarinda dapat di kerjasamakan dengan cara :

1. Bekerjasama dengan Dinas Pendapatan Provinsi Kalimantan Timur (UPTD

Wilayah Samarinda) dan Kepolisian Kota Besar Kota Samarinda.

2. Melalui mekanisme tender atau lelang.

3. Melalui penunjukan langsung.

Penetapan Lokasi Parkir

Penetapan lokasi fasilitas parkir untuk umum di lakukan oleh Mentri.

Penetapan lokasi dan pembangunan fasilitas untuk umum dilakukan dengan

memperhatikan

1. Rencana umum tata ruang.

2. Keselamatan dan kelancaran lalu lintas.

3. Kelestarian lingkungan.

4. Kemudahan bagi pengguna jasa.

Pembayaran Parkir Ditepi Jalan Umum

Adapun beberapa tata cara pembayaran yang dilaksanakan oleh UPTD

Dinas Perhubungan pada Peraturan Walikota Samarinda Nomor 03 Tahun 2010

pada pasal 19 yaitu sebagai berikut :

1. Semua retribusi wajib di bayar langsung oleh pengelolah parkir kepada

pemegang kas/pembantu pemegang kas pada Dinas Perhubungan Kota

Samarinda atau melalui UPTD pengelolaan Parkir.

Page 38: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

38 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

2. Pada setiap penerimaan retribusi, pemegang kas/pembantu pemegang kas

memberikan bukti penerimaan berupa kuitansi.

3. Atas hasil penerimaan retribusi tersebut maka pemegang kas/pembantu

pemegang kas angsung menyetorkan kepada Kas Daerah lewat Bank

KalTim dengan waktu 1x 24 jam dengan menggunakan blangko bukti setor.

Definisi Konsepsional

Definisi Konsepsional adalah suatu deretan kata-kata yang dapat

menggambarkan suatu peristiwa yang ada pada penelitian ilmiah. Sesuai dengan

teori-teori yang di sebutkan, maka berdasarkan judul penelitian Implementasi

Perhubungan Kota Samarinda adalah suatu proses pelaksanaan kegiatan yang

terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan atau

pengendalian yang dilaksanakan oleh Dinas Perhubungan selaku UPTD

pengelolaan parkir dalam mengelola kawasan atau wilayah yang berada di

sepanjang jalan gajah mada yang bertujuan untuk mengendalikan jumlah

kendaraan yang masuk ke kawasan jalan gajah mada sehingga dapat

meningkatkan fungsi jalan gajah mada sesuai perannya dan meningkatkan

kelancaran arus lalu lintas.

Pengelolaan parkir diatur dalam Peraturan daerah tentang parkir agar

mempunyai kekuatan hukum dan diwujudkan pada rambu larangan, rambu

petunjuk dan informasi.Untuk meningkatkan kepatuhan masyarakat terhadap

kebijakan yang diterapkan dalam pengendalian parkir perlu diambil langkah yang

tegas dalam menindak para pelanggar kebijakan parkir. Dasar pengaturan

mengenai parkir adalah Keputusan Menteri Perhubungan No:KM 66 tahun 1993

tentang Fasilitas parkir untuk umum dan keputusan menteri perhubungan No:KM

4 tahun 1994 tentang tata cara parkir kendaraan bermotor dijalan, serta keputusan

Dirjen Perhubungan Darat No. 272/HK.105/DRJD/96 tentang pedoman tekhnis

penyelenggaraan parkir dan Peraturan Walokota Samarinda Nomor 03 tahun

2010, tentang mekanisme dan pengaturan parkir di tepi jalan umum Kota

Samarinda serta Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa

Usaha. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat dari pembahasan berikut ini.

Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 1993

tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Dinas Lalu-Lintas dan Angkutan

Jalan Daerah Tingkat I dan Dinas Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan Daerah Tingkat

II, menyatakan bahwa untuk pengelolaan dan penyelenggarakan fasilitas parkir

dibentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perparkiran pada Dinas Lalu-

Lintas dan Angkutan Jalan Daerah Tingkat II. Demikian halnya di Kota

Samarinda telah dibentuk UPTD Pengelola Parkir sebagai instansi pengelola dan

penyelenggara fasilitas parkir dibawah koordinasi Dinas Perhubungan Kota

Samarinda sebagai instansi Pembina dalam menjalankan aturan-aturan atau

kebijakan dari Pemerintah.

Page 39: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

39 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi UPTD Pengelola parkir Dinas

Perhubungan Kota Samarinda, maka tujuan utama dari kebijakan pengelolaan

parkir adalah sebagai berikut ;

a. Untuk mengendalikan jumlah kendaraan yang masuk ke suatu kawasan,

b. Miningkatkan pendapatan asli daerah yang dikumpulkan melalui rertribusi

parkir,

c. Meningkatkan fungsi jalan sehingga sesuai dengan peranannya,

d. Meningkatkan kelancaran dan keselamatan lalu lintas,

e. Mendukung tindakan pembatasan lalu lintas lainnya.

Berdasarkan pada orientasi tersebut maka mekanisme dan proses pengelolaan

parkir di Kota Samarinda oleh UPTD Pengelola parkir Dinas Perhubungan dapat

dikolaborasi dalam beberapa tahapan sebagai berikut:

Perencanaan Pengelolaan Parkir

Perencanaan sebagai suatu proses menetapkan tujuan dan untuk memutuskan

suatu kebijakan atau program bagaimana dapat dicapai. Perencanaan pengelolaan

parkir adalah perencanaan pengelolaan parkir dimana perencanaan parkir tersebut

disusun berdasarkan fakta-fakta yang dihadapi untuk membuat gambaran-

gambaran atau rumusan-rumusan aktivitas dimasa akan datang untuk tercapainya

hasil yang diinginkan. Sehingga dalam menyusun perencanaan pengelolaan parkir

perlu adanya aspek-aspek yang mendukung dan bentuk kerja sama dengan pihak

ketiga agar dalam implementasi kebijakan dari pemerintah dapat terlaksana

dengan baik. Jalan Gajah Mada merupakan salah satu jalan yang sering dihadapi

oleh permasalahan tentang lalu lintas yang tidak lancar akibat adanya perparkiran

yang tidak tertata dengan baik.

Salah satu penyebab kemacetan yang terjadi di jalan gajah mada karna

adanya tata cara dan pola parkir kendaraan yang salah yang tidak mengikuti

sistem dan tata tertib peraturan yang berlaku dari Dinas Perhubunganyang

dilakukan oleh juru parkir liar serta adanya aktivitas parkir kendaraan yang

melakukan bongkar muat dan parkir kendaraan angkutan umum di tengah jalan

umum untuk menurunkan dan menaikkan penumpang serta masih banyak

beberapa lahan parkir yang belum dan tidak di perhatikan oleh Dinas

Perhubungan yang merupakan titik potensial penerimaan. Dalam penentuan titik

potensial parkir tepi jalan umum gajah mada di beberapa pertokoan dan pasar

tersebut haruslah sesuai dengan aturan perundang-undangan, dimana penetapan

lokasi dan pembangunan fasilitas parkir tersebut harus memperhatikan :

a. Rencana umum tata ruang

b. Analisis dampak lalu lintas, dan

c. Kemudahan bagi pengguna jalan

Dalam menyelenggarakan fasilitas parkir di jalan gajah mada harus

dilengkapi dengan rambu lalu lintas, dan/atau marka parkir serta marka jalan.Jadi

dalam penetapan potensi kawasan parkir tepi jalan umum gajah mada tidak hanya

semata-mata berorientasi pada upaya peningkatan retribusi semata, tetapi harus

Page 40: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

40 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

tetap memenuhi kaidah aturan perundang-undangan yang ada.Salah satu hal yang

penting dalam aspek perencanaan adalah penetapan dalam perhitungan tarif

parkir, dimana dalam prosesnya tidak hanya didasarkan atas perhitungan

pengembalian biaya investasi dan operasional, juga tidak semata-mata untuk

memperoleh keuntungan material dan/atau finansial. Penetapan tarif parkir

dilakukan untuk mengendalikan lalu-lintas melalui pengurangan pemakaian

kendaraan pribadi sehingga mengurangi kemacetan di jalan gajah mada.Melalui

penetapan tarif sedemikian rupa, untuk besaran tarif tertentu diharapkan dapat

mengurangi niat orang untuk menggunakan kendaraan pribadi. Dengan adanya

kerja sama dengan pihak Koperasi Korem yang berada di jalan gajah mada hal ini

dapat meningkatkan penerimaan retribusi parkir di jalan gajah mada dan dapat

menertibkan serta membina juru parkir liar untuk dapat bergabung dengan Dinas

Perhubungan sehingga dapat diberi bimbingan, pembinaan dan pemahaman

tentang parkir.

Pengorganisasian Pengelolaan Parkir

Pengorganisasian pengelolaan parkir di tepi jalan umum gajah mada,

dimana dalam tahapan ini menguraikan tentang proses UPTD Pengelola parkir

Dinas Perhubungan Samarinda dalam melakukan pembagian tugas/kerja, sehingga

setiap orang tahu apa kedudukannya, apa tugasnya, apa kewajibannya. Hal ini

penting, agar para implementator/pelaksana dapat mengetahui dengan jelas

mengenai tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan implementasi kebijakan

dan juga mengetahui dengan jelas dan tegas mengenai apa yang seharusnya

mereka lakukan. Ketentuan atau aturan untuk implementator suatu kebijakan

harus disampaikan pada orang yang tepat, jelas akurat, dan konsisten terhadap

ketentuan atau aturan tertentu. Jika tidak, akan terjadi salah pengertian diantara

implementator dalam mengimplementasikan suatu kebijakan, sehingga hasilnya

tidak akan sesuai dengan apa yang diharapkan. Kebingungan para pelaksana akan

memberi peluang yang besar bagi terjadinya implementasi kebijakan yang tidak

sesuai ketentuan yang dikehendaki. Demikian juga para pembuat kebijakan, dalam

mengamanatkan kebijakan kepada pelaksana tidak hanya sekedar melalui

petunjuk atau perintah semata, akan tetapi harus melakukan komunikasi dengan

para pelaksana kebijakan.

Secara umum pembagian kerja dalam struktur organisasi UPTD Pengelola

Parkir Dinas Perhubungan Kota Samarinda terbagi dalam dua aspek kegiatan

sebagai berikut :

1) Aspek administratif, yang mengurus hal-hal non teknis perparkiran, seperti

personalia, keuangan, dan umum, dimana di kelola oleh sub bagian tata usaha.

2) Aspek teknisoperasional, yang mengurus hal-hal teknis perparkiran, seperti

perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan, yang dikelola oleh kelompok

fungsional.

Kepegawaian UPTD Pengelola Parkir Dinas Perhubungan Kota Samarinda

diketahui bahwa Petugas pengelola administratif perparkiran merupakan Pegawai

Page 41: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

41 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Negeri Sipil di lingkungan Dinas Perhubungan Kota Samarinda, demikian pula

petugas tekhnis operasional parkir yang bertugas sebagai pengawas kinerja dan

petugas patrol parkir juga merupakan Pegawai Negeri Sipil yang berasal dari

jabatan fungsional.

Sedangkan petugas parkir yang mengelola parkir di sepanjang jalan gajah

mada merupakan pegawai tidak tetap harian (PTTH) yang diangkat melalui surat

keputusan Dinas Perhubungan, dimana umumnya berasal dari hasil rekrutmen

UPTD parkir Dinas Perhubungan yang dahulunya merupakan Masyarakat yang

menempati dan mengelolah lokasi parkir tersebut yang selanjutnya diberdayakan

oleh UPTD Parkir Dinas Perhubungan menjadi petugas parkir resmi dan juru

parkir binaan.

Dalam melaksanakan tugasnya, petugas parkir berkewajiban untuk

mengatur kendaraan yang parkir di sekitar lokasi yang menjadi areal tanggung

jawabnya, serta menghimpun dana retribusi parkir dari masyarakat yang

menggunakan jasa parkir tepi jalan umum, demikian penjelaskan dari Kepala

UPTD Parkir Dinas Perhubungan. Petugas parkir wajib melaksanakan tugasnya di

lokasi yang telah ditentukan sesuai periode waktu yang ditetapkan, karena tidak

setiap saat pengelolaan parkir suatu lokasi perlu diterapkan, seperti kawasan

perkantoran yang umumnya libur pada hari sabtu dan minggu, dimana tingkat

aktivitas parkir pada hari tersebut tidak terlalu padat, atau suatu kawasan yang

hanya ramai pada waktu-waktu tertentu saja, seperti tempat ibadah (Masjid Raya),

atau tempat hiburan atau tongkrongan malam yang berada di pinggiran sungai

mahakam depan kantor Gubernur jalan gajah mada, sehingga pengelolaan parkir

hanya perlu dilakukan menyesuaikan tingkat keramaian suatu kawasan. Namun

ada pula kawasan yang hampir setiap hari memiliki tingkat kepadatan aktivitas

yang cukup panjang, untuk melakukan pengelolaan kawasan parkir tersebut

diperlukan pergantian petugas per harinya dalam bentuk shift jam kerja.

Pengerakkan Pengelolaan Parkir

Penggerakan (actuating) adalah suatu tindakan untuk mengusahakan agar

semua anggota kelompok berusaha untuk mencapai sasaran sesuai dengan

perencanaan manajerial dan usaha-usaha organisasi. Jadi penggerakan adalah

menggerakan orang-orang agar mau bekerja dengan sendirinya atau penuh

kesadaran secara bersama-sama untuk mencapai tujuan yang dikehendaki secara

efektif. Di dalam organisasi, penggerakan merupakan fungsi yang terpenting dan

paling dominan dalam proses manajemen, karena fungsi penggerak langsungnya

adalah manusia.Banyak istilah yang digunakan untuk fungsi manajemen yang satu

ini.

Dalam melaksanakan parkir, baik pengemudi maupun juru parkir harus

memperhatikan batas parkir yang dinyatakan dengan marka pembatas jalan,

Page 42: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

42 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

keamanan kendaraaan dengan mengunci pintu kendaraan dan memasang rem

parkir. Sesuai dengan jenis fasilitasnya, tata cara parkir adalah sebagai berikut.

1. Fasilitas parkir tanpa pengendalian parkir:

- Dalam melakukan parkir, juru parkir dapat memandu pengemudi

kendaraan

- Juru parkir member karcis bukti pembayaran sebelum kendaraan

meninggalkan ruang parkir

- Juru Parkir harus mengenakan seragam dan identitas

2. Fasilitas parkir dengan Pengendalian parkir (menggunakan pintu masuk dan

keluar).

- Pada pintu masuk, baik dengan petugas maupun dengan pintu otomatis

pengemudi harus mendapatkan karcis tanpa parkir, yang mencantumkan

jam masuk (bila diperlukan, petugas mencatat nomor kendaraan)

- Dengan dan tanpa juru parkir, pengemudi memarkirkan kendaraan sesuai

dengan tata cara parkir

- Pada pintu keluar parkir, petugas harus memeriksa kebenaran karcis tanda

parkir, mencatat lama parkir, menghitung tarif parkir sesuai dengan

ketentuan, menerima pembayaran parkir, dengan menyerahkan karcis

bukti pembayaran pada pengemudi.

Pengawasan Parkir

Pengawasan atau pengendalian (controling) adalah rangkaian kegiatan yang harus

dilakukan untuk mengadakan pengawasan, penyempurnaan dan penilaian

(evaluation) untuk menjamin bahwa tujuan dapat tercapai sebagaimana yang telah

ditetapkan dalam perencanaan.

Menurut G. R. Terry dalam Hasibuan (2005:242) Pengendalian adalah sebagai

proses penetuan, apa yang dicapai yaitu standar, apa yang sedang dilakukan yaitu

pelaksanaan, menilai pelaksanaan dan apabila perlu melakuakn perbaikan-

perbaikan, sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dan standar.

Menurut Husaini Usman (2006:407) menyatakan pengendalian meliputi:

pemantauan, penilaian dan pelaporan. Pemantauan dan penilaian sering disebut

monev, yaitu singkatan dari monitoring dan evaluasi. Dalam pengawasan parkir

yang dilakukan oleh pihak UPTD parkir Dinas perhubungan bahwa setiap anggota

personil akan menyebar karcis resmi kepada juru parkir dan menarik hasil

retribusi dari juru parkir sesuai besaran yang sudah di tetapkan oleh UPTD parkir

Dinas Perhubungan dan menjadi pemantau dalam mengawasi keadaan lalu lintas

dan keadaan parkir di sepanjang jalan gajah mada.

Dari definisi diatas penulis dapat menyimpulkan pengendalian yang dilakukan

sebelum proses, saat proses dan setelah proses yakni hingga hasil akhir diketahui

untuk menjamin bahwa kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan apa yang

direncanakan dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terjadi.

Page 43: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

43 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Faktor Penghambat atau Kendala yang dihadapi Dinas Perhubungan Kota

Samarinda dalam Implementasi Kebijakan Pengelolaan Parkir

Dalam melaksanakan pengelolaan parkir tepi jalan umum gajah mada, terdapat

pula hambatan dan kendala yang dihadapi oleh Dinas Perhubungan Kota

Samarinda selaku UPTD Pengelolaan Parkir, hambatan tersebut tentunya menjadi

tantangan tersendiri bagi UPTD Pengelolaan Parkir untuk merumuskan strategi

yang tepat untuk menjawab probematika yang dihadapi di jalan Gajah Mada.

Kendala utama yang dihadapi serta rumusan strategi yang telah dibangun antara

lain :

1) Masih adanya beberapa lahan parkir di jalan gajah mada yang di kuasai oleh

para preman dan ormas, pihak UPTD Pengelolaan Parkir masih melakukan

pendekatan untuk memberi pengarahan kepada mereka dan merangkul mereka

menjadi jukir binaan lalu menjadi jukir resmi.

2) Kapasitas jalan kurang mendukung untuk dilakukan parkir tepi jalan umum

khususnya di jalan gajah mada. Salah satu upaya yang dilakukan adalah

dengan membuat lahan parkir khusus, lahan kosong akan dijadikan lahan

parkir khusus, dan melibatkan pihak ketiga sebagai pengelola baik pemerintah

maupun pihak Swasta, dengan kerjasama dengan pihak ketiga diharapkan

akan semakin menguntungkan karena dalam pembuatannya tidak perlu

dianggarkan dalam APBD.

3) Kebutuhan pengguna jalan yang berada di jalan gajah mada akan lahan parkir

menimbulkan kantong kawasan parkir illegal serta juru parkir illegal.

PENUTUP

Berdasarkan hasil penelitian di atas yang telah diuraiankandan

dikemukaan oleh penulis pada bab-bab sebelumnya mengenai pelaksanaan

kebijakan pengelolaan parkir di tepi jalan umum gajah mada, sesuai dengan hasil

penelitian yang telah dilakukan yaitu tentang:

1) Implementasi Kebijakan Pengelolaan Parkir Tepi Jalan Umum Oleh Dinas

Perhubungan Kota Samarinda masih belum optimal diantaranya adalah

sebagai berikut :

a. Perencanaan Pengelolaan Parkir yang dilaksanakan oleh UPTD

Pengelolaan parkir Dinas Perhubungan Kota Samarinda masih banyaknya

lahan parkir potensial sebagai penerimaan retribusi kurang di perhatikan

oleh UPTD parkir dan perencaan UPTD untuk menggandeng Koperasi

Korem agar dapat membantu menertibkan dan membina juru parkir ilegal.

b. Pengorganisasian Pengelolaan Parkir aspek teknis operasional dalam hal-

hal teknisi perparkiran sudah tersusun, tertata dan dikelola dengan baik,

namum masih terkendala jumlah personil di lapangan sehingga kinerja

kurang maksimal karna beberapa petugas pengawas di bebankan juga

Page 44: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

44 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

sebagai pemungut hasil retibusi sehingga kinerja petugas kurang

maksimal.

2) Faktor penghambat atau kendala yang dihadapi oleh Dinas Perhubungan

dalam melaksanakan implementasi kebijakan pengelolaan parkir di tepi jalan

umum Gajah Mada yaitu :

a. Perencanaan Pengelolaan Parkir yaitu masih adanya beberapa lahan titik

parkir yang masih di kuasai oleh beberapa preman di sepanjang jalan gajah

mada.

b. Pergerakan pengelolaan Parkir yaitu kapasitas jalan yang kurang

mendukung untuk di lakukannya parkir di tepi jalan umum dan stategi

untuk mengatur arus lalu lintas yang tidak sebanding dengan kapasitas

ruang parkir.

Saran

1. Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa pelaksanaan Implementasi

Kebijakan Pengelolaan Parkir di Tepi Jalan Umum Oleh Dinas Perhubungan

Kota Samarinda telah mengacu pada peraturan perundang-undangan. Namun

demikian, masih terdapat beberapa kendala yang membutuhkan perhatian

serius agar dapat diselesaikan dengan baik, dan agar pengelolaan parkir di tepi

jalan umum gajah mada dapat lebih optimal, berdasarkan hasil penelitian ini

maka penulis memberikan saran rekomendasi sebagai berikut :

a. Dinas Perhubungan sebaiknya lebih gesit lagi dalam melakukan tindakan

disiplin pada tempat-tempat parkir dan merekrut serta membina juru

parkir liar dan pembatasan jam pada kendaraan bongkar muat di waktu

tertentu agar tidak mengganggu lalu lintas, pembuatan halte untuk tempat

orang menurunkan dan menaikkan penumpang.

b. Dalam hal petugas atau personil pemungut hasil retribusi UPTD

Pengelolaan Parkir Dinas Perhubungan Kota Samarinda sebaiknya

menambah personil agar dapat menunjang kinerja serta dapat

melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab sesuai peraturan

yang sudah di tetapkan, untuk Pengawas parkir dan Petugas pemungut

hasil retribusi sebaiknya dipisahkan agar lebih maksimal dalam

menjalankan tugasnya.

2. Faktor penghambat dalam pelaksanaan Implementasi Kebijakan Pengelolaan

Parkir Di Tepi Jalan Umum Gajah Mada yaitu:

a. Melakukan pendekatan kepada juru parkir liar agar mau dibina dan masuk

ke organisasi Dinas Perhubungan serta melakukan kerja sama dengan

pihak ketiga/swasta agar dapat meningkatkan pendapatan retribusi.

b. Pengaturan/pengelolaan parkir yang perlu di perbaiki lagi dan penambahan

lahan parkir resmi serta jam-jam bongkar muat pada kendraan barang

harus diatur agar tidak mengganggu arus kendaraan yang lewat.

Page 45: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

45 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Daftar Pustaka

Abdul Wahab, Solichin. 2008. Analisis Kebijaksanaan :Dari Formulasi ke

Implementasi Kebijaksanaan Negara. Cetakan Keenam. Jakarta: Bumi

Aksara.

Abidin, Said Zainal. 2002. Kebijakan Publik. Edisi Revisi Cetakan Ketiga.

Jakarta: Suara Bebas.

B. Milles, Matthew dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif.

Jakarta: Universitas Indonesia.

Islamy, M. Irfan. 2009. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Edisi

Kedua. Cetakan Kelima Belas. Jakarta: Bumi Aksara.

Kurniawan, Agung. 2005. Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta:

Pembaruan

Pasolong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta

Ratminto dan Winarsih, Atik Septi.2005. Manajemen Pelayanan.Pengembangan

model konseptual, penerapan citizen carter dan standar pelayanan minimal.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Siahaan, Marihot P. 2005. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Bandung: PT.

Rajagrafindo Persada

Sinambela, Lijan Poltak. 2006. Reformasi Pelayanan Publik, Teori, Kebijakan,

dan Implementasi. Jakarta: Bumi Aksara

Dokumen-dokumen:

Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : KM 66 Tahun 1993 tentang Fasilitas

Parkir Untuk Umum.

Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor : 272/Hk.105/Drjd/96

TentangPedoman Teknis Penyelenggaraan Fasilitas Parkir

Undang-undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Raya

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2001 Tentang

Retribusi Daerah

Page 46: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

46 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Implementasi Kebijakan Retribusi Pasar Dalam Menunjang

Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Mari Ulfa Batoebara

(Fisip Univ.Dharmawangsa Medan)

Abstrak

Proses implementasi kebijakan publik baru dapat dimulai apabila tujuan-

tujuan kebijakan publik telah ditetapkan, program-program telah dibuat, dan dana

telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut. Berdasarkan

beberapa definisi yang disampaikan para ahli di atas, disimpulkan bahwa

implementasi merupakan suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh pelaksana

kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan

tujuan atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri.

Kata Kunci : Kebijakan, Retribusi, Pendapatan Asli Daerah

A. Pendahulua

Implementasi kebijakan adalah usaha-usaha yang dilakukan secara sadar

dan rasional untuk mengetahui siapa-siapa yang terlibat dalam proses

imlementasi, alat-alat yang digunakan, tarif retribusi pasar, faktor penunjang,

Implementasi merupakan salah satu tahap dalam proses kebijakan publik.

Biasanya implementasi dilaksanakan setelah sebuah kebijakan dirumuskan dengan

tujuan yang jelas. Implementasi adalah suatu rangkaian aktifitas dalam rangka

menghantarkan kebijakan kepada masyarakat sehingga kebijakan tersebut dapat

membawa hasil sebagaimana yang diharapkan (Afan Gaffar, 2009: 295).

Rangkaian kegiatan tersebut mencakup persiapan seperangkat peraturan lanjutan

yang merupakan interpretasi dari kebijakan tersebut. Misalnya dari sebuah

undang-undang muncul sejumlah Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,

maupun Peraturan Daerah,

Menyiapkan sumber daya guna menggerakkan implementasi termasuk di

dalamnya sarana dan prasarana, sumber daya keuangan, dan tentu saja siapa yang

bertanggung jawab melaksanakan kebijakan tersebut, dan bagaimana

mengantarkan kebijakansecara konkrit ke masyarakat.

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan

dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan kurang. Untuk mengimplementasikan

kebijakan publik, maka ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung

mengimplementasikan dalam bentuk program – program atau melalui formulasi

kebijakan derivate atau turunan dari kebijakan tersebut. Kebijakan publik dalam

bentuk undang-undang atau Peraturan Daerah adalah jenis kebijakan yang

memerlukan kebijakan publik penjelas atau sering diistilahkan sebagai peraturan

pelaksanaan. Kebijakan publik yang bisa langsung dioperasionalkan antara lain

Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala

Page 47: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

47 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Daerah, Keptusan Kepala Dinas, dll (Riant Nugroho Dwijowijoto, 2004: 158-

160).

Terdapat beberapa konsep mengenai implementasi kebijakan yang

dikemukakan oleh beberapa ahli. Secara Etimologis, implementasi menurut

kamus Webster yang dikutib oleh Solichin Abdul Wahab adalah sebagai berikut:

“Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement.

Dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to

provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan

sesuatu); dan to give practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat

terhadap sesuatu (Webster dalam Wahab (2006:64)).

Definisi lain juga diutarakan oleh Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier

yang menjelaskan makna implementasi dengan mengatakan bahwa:

“Hakikat utama implementasi kebijakan adalah memahami apa yang

seharusnya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan.

Pemahaman tersebut mencakup usaha-usaha untuk mengadministrasikannya dan

menimbulkan dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian (Mazmanian

dan Sabatier dalam Widodo (2010:87)).

Pengertian implementasi di atas apabila dikaitkan dengan kebijakan adalah

bahwa sebenarnya kebijakan itu tidak hanya dirumuskan lalu dibuat dalam suatu

bentuk positif seperti undang-undang dan kemudiandidiamkan dan tidak

dilaksanakan atau diimplmentasikan, tetapi sebuah kebijakan harus dilaksanakan

atau diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan.

Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan

tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu (Bambang

Sunggono 1994:137).

Proses implementasi kebijakan publik baru dapat dimulai apabila tujuan-

tujuan kebijakan publik telah ditetapkan, program-program telah dibuat, dan dana

telah dialokasikan untuk pencapaian tujuan kebijakan tersebut. Berdasarkan

beberapa definisi yang disampaikan para ahli di atas, disimpulkan bahwa

implementasi merupakan suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan oleh pelaksana

kebijakan dengan harapan akan memperoleh suatu hasil yang sesuai dengan

tujuan atau sasaran dari suatu kebijakan itu sendiri.

Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyaknya

variable atau faktor-faktor yang masing-masing variabel tersebut saling

berhubungan satu sama lain. Dalam pandangan Edwards III yang dikutip dalam

bukau Subarsono (2006;90), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat

variabel, yaitu:

1. Komunikasi

Komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari

implementasi kebiajkan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para

pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan.

Pengetahuan atas apa yang mereka kerjakan dapat berjalan bila komunikasi

Page 48: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

48 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan

implementasi harus dikomunikasikan kepada bagian personalia yang tepat. Selain

itu, kebijakan yang dikomunikasikanpun harus tepat, akurat, dan konsisten.

Komunikasi diperlukan agar pembuat keputusan dan para implementer akan

semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapakan

dalam masyarakat. Terdapat tiga indikator yan dapat digunakan dalam mengukur

keberhasilan variabel komunikasi, yaitu:

a. Transmisi

Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu

implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran

komunikasi adalah salah pengertian (miskomunikasi).

b. Kejelasan informasi

Komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan haruslah jelas

dan tidak membingungkan. Kejelasan pesan kebijakan tidak selalu menghalangi

implementasi pada tataran tertentu, para pelaksana membutuhkan fleksibilitas

dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru

akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah

ditetapkan.

c. Konsistensi Informasi yang disampaikan

Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah

jelas dan konsisten untuk dapat diterapkan dan dijalankan.

2. Sumber Daya

Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten,

tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan,

implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud

sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor, dan sumberdaya finansial.

Sumberdaya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar berjalan

dengan efektif, tampa sumberdaya kebijakan hanya tinggal dikertas dan menjadi

dokumen saja.

Sumberdaya meliputi empat komponen,yaitu:

a. Staff yang cukup (jumlah dan mutu);

c. Informasi yang dibutuhkan;

d. Authority, kewenangan yang cukup untuk melaksanakan tugas

tanggungjawab; dan

b. Sarana yang dibutuhkan dalam pelaksanaan.

3. Disposisi

Disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor,

seperti komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis. Apabila implementor memiliki

disposisi yang baik, maka implementor akan menjalankan kebijakan dengan baik

seperti yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Sebaliknya jika implementor

memiliki sikap yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses

implementasi kebijakan juga akan menjadi tidak efektif.

Page 49: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

49 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

4. Struktur Birokrasi

Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebiajakan

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu

dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur

operasi yang standar (standart operating procedures atau SOP). SOP menjadi

pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.

2.2 Pengertian Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh dari

sumbersumber pendapatan daerah dan dikelola sendiri oleh pemerintah daerah.

Pendapatan Asli Daerah merupakan tulang punggung pembiayaan daerah, oleh

karenanya kemampuan melaksanakan ekonomi diukur dari besarnya kontribusi

yang diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD, semakin besar

kontribusi yang dapat diberikan oleh Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD

berarti semakin kecil ketergantungan pemerintah daerah terhadap bantuan

pemerintah daerah.

Pendapatan Asli Daerah hanya merupakan salah satu komponen sumber

penerimaan keuangan negara disamping penerimaan lainnya berupa dana

perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah juga sisa

anggaran tahun sebelumnya dapat ditambahkan sebagai sumber pendanaan

penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Keseluruhan bagian penerimaan

tersebut setiap tahun tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah

(APBD).

Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai APBD, namun proporsi

PAD terhadap total penerimaan tetap merupakan indikasi derajat kemandirian

keuangan suatu pemerintah daerah. Pemerintah daerah diharapkan lebih mampu

menggali sumber-sumber keuangan secara maksimal, namun tentu saja dalam

koridor perundang-undangan yang berlaku khususnya untuk memenuhi kebutuhan

pembiayaan pemerintahan dan pembangunan di daerahnya melalui Pendapatan

Asli Daerah. Menurut DR.Machfud Sidik,MSc, tuntutan peningkatan PAD

semakin besar seiring dengan semakin banyaknya kewenangan pemerintahan

yang dilimpahkan kepada daerah itu sendiri. Dalam penggalian dan peningkatan

pendapatan daerah itu sendiri banyak permasalahan yang ditemukan, hal ini dapat

disebabkan oleh:

a. Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah.

Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan Pusat. Dari

segi upaya pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi

“usaha” daerah dalam pemungutan PAD-nya, dan lebih mengandalkan

kemampuan “negosiasi” daerah terhadap Pusat untuk memperoleh tambahan

bantuan.

b. Kemampuan administrasi pemungutan di daerah yang masih rendah.

Hal ini mengakibatkan bahwa pemungutan pajak cenderung dibebani oleh

biaya pungut yang besar.

Page 50: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

50 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

c. Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah.

Hal ini mengakibatkan kebocoran-kebocoran yang sangat berarti bagi

daerah. Menurut Undang-undang No. 32 tahun 2004, “ Pendapatan Asli Daerah

adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya

sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku”.

Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah yang asli

digali di daerah yang digunakan untuk modal dasar pemerintah daerah dalam

membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil

ketergantungan dana dari pemerintah pusat.

Menurut Undang-undang No. 32 tahun 2004 pasal 6, “ Sumber-sumber

Pendapatan Asli Daerah terdiri dari : 1). Pajak daerah, 2). Retribusi daerah, 3).

Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan 4). Lain-lain Pendapatan

Asli Daerah ( PAD ) yang sah”.

Menurut Mardiasmo (2002:132), “Pendapatan Asli Daerah adalah

penerimaan daerah dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan

milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan , dan lain-lain

Pendapatan Asli Daerah yang sah”.

Dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli Daerah pemerintah daerah

dilarang :

a. Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan

ekonomi biaya tinggi dan

b. Menetapkan peraturan daerah tentang pendapatan yang menghambat

mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan kegiatan

import/eksport.

2.2.1. Klasifikasi Pendapatan Daerah

2.2.1.1 Pajak Daerah

Dalam UU Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 1 ayat 6

disebutkan, pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang

dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung

yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaran

pemerintahan daerah dan pembangunan daerah”

Dari pengertian di atas jelaslah bahwa pajak daerah adalah penerimaan

daerah dari orang pribadi atau badan yang sifatnya dipaksakan berdasarkan

peraturan perundang-undangan tanpa memberi imbalan secara langsung,

digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan

daerah.

Selanjutnya Ahmad yani (2002:45) menyebutkan, “bahwa pajak daerah

sebagai salah satu pendapatan daerah yang diharapkan menjadi salah satu sumber

pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk

Page 51: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

51 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat”. Dengan demikian

daerah mampu melaksanakan ekonomi, yaitu mampu mengatur dan mengurus

rumah tangganya sendiri.

Sedangkan menurut Erly Suandi (2002:41), pajak daerah adalah pajak

yang pemungutannya ada pada pemerintah daerah yang pelaksanaannya dilakukan

oleh Dinas Pendapatan Daerah, Pajak Daerah diatur dalam Undang-undang dan

hasilnya akan dimasukkan ke APBD.

Pajak daerah harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain:

1. Tidak boleh bertentangan atau harus searah dengan kebijaksanaan

pemerintah pusat

2. Pajak daerah harus sederhana dan tidak terlalu banyak jenisnya

3. Biaya administrasi harus rendah

4. Tidak mencampuri sistem perpajakan pusat menurut peraturan-

peraturan yang ditetapkan oleh daerah serta dapat dipaksakan.

2.2.1.2 Retribusi Daerah

Retribusi daerah yang merupakan variabel dependen dalam penelitian ini

merupakan komponen Pendapatan Asli Daerah yang sudah dibahas dalam

terminologi retribusi daerah.

2.2.1.3 Hasil Pengelolaan Daerah Yang Sah

Selain pajak daerah dan retribusi daerah, bagian laba perusahaan milik

daerah (BUMD) merupakan salah satu sumber yang cukup potensial untuk

dikembangkan. Hasil pengelolaan daerah yang sah merupakan pendapatan daerah

dari keuntungan/laba bersih perusahaan daerah untuk anggaran belanja daerah

yang disetor ke kas daerah baik perusahaan daerah yang modalnya sebagian terdiri

dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Perusahaan daerah seperti perusahaan air

bersih (PDAM), Bank Pembangunan Daerah (BPD), hotel, bioskop, percetakan,

perusahaan bis kota dan pasar adalah jenis-jenis BUMD yang memiliki potensi

sebagai sumber-sumber PAD, menciptakan lapangan kerja atau mendorong

pembangunan ekonomi daerah. Selain pajak daerah dan retribusi daerah, bagian

laba perusahaan milik daerah (BUMD) merupakan salah satu sumber yang cukup

potensial untuk dikembangkan. Hasil pengelolaan daerah yang sah merupakan

pendapatan daerah dari keuntungan/laba bersih perusahaan daerah untuk anggaran

belanja daerah yang disetor ke kas daerah baik perusahaan daerah yang modalnya

sebagian terdiri dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Perusahaan daerah seperti

perusahaan air bersih (PDAM), Bank Pembangunan Daerah (BPD), hotel,

bioskop, percetakan, perusahaan bis kota dan pasar adalah jenis-jenis BUMD

yang memiliki potensi sebagai sumber-sumber PAD, menciptakan lapangan kerja

atau mendorong pembangunan ekonomi daerah.

Jenis perusahaan daerah jika dilihat dari struktur modalnya terdiri dari:

1. Perusahaan daerah yang seluruh modalnya terdiri dari kekayaan daerah yang

dipisahkan, yaitu:

a. Untuk dana pembangunan daerah

Page 52: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

52 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

c. Untuk anggaran belanja daerah

d. Untuk cadangan umum, sosial dan pendidikan, jasa produksi, dan

sumbangan dana pensiun.

2. Perusahaan daerah yang sebagian modalnya terdiri dari kekayaan daerah yang

dipisahkan yaitu:

a. Untuk dana pengembangan

b. Untuk angaran belanja daerah

c. Selebihnya untuk cadangan umum dan untuk pemegang saham.

d. Lain-lain PAD yang sah

Hasil usaha daerah yang lain yang sah adalah PAD yang tidak termasuk

pajak, retribusi, hasil perusahaan milik daerah yang dipisahkan. Pendapatan ini

terdiri dari:

a. Penjualan aset daerah

b. Jasa giro

2.3 Konsep Retribusi Daerah

Retribusi daerah sebagaimana halnya pajak daerah merupakan salah satu

Pendapatan Asli Daerah yang diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan

penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan

dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Menurut Ahmad Yani (2002:55)

“Daerah provinsi, kabupaten/kota diberi peluang dalam menggali potensi sumber-

sumber keuangannya dengan menetapkan jenis retribusi selain yang telah

ditetapkan, sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai

denganaspirasi masyarakat”.

Sumber pendapatan daerah yang penting lainnya adalah Retribusi Daerah.

Retribusi Daerah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Retribusi merupakan pungutan yang dipungut berdasarkan undang-undang

dan peraturan daerah yang berkenaan.

2. Hasil penerimaan retribusi masuk ke kas pemerintah daerah.

3. Pihak yang membayar retribusi mendapatkan kontra prestasi (balas jasa)

secara langsung dari pemerinatah daerah atas pembayaran yang

dilakukannya.

4. Retribusi terutang apabila ada jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah

daerah yang dinikmati oleh orang atau badan.

5. Sanksi yang dikenakan pada retribusi adalah sanksi secara ekonomis, yaitu

yang tidak membayar retribusi, tidak akan memperoleh jasa yang

diselenggarakan oleh pemerintah daerah.

Nasrun, merumuskan pengertian retribusi daerah sebagai berikut:

“ Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran

pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik daerah untuk

Page 53: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

53 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

kepentingan umum, atau karena jasa yang diberikan oleh daerah baik langsung

maupun tidak langsung (Riwu Kaho, 2003:171)”.

Soeparmoko (1997;94) mengatakan bahwa:

“ Retribusi adalah suatu pembayaran dari rakyat kepada pemerintah

dimana kita dapat melihat adanya hubungan antar balas jas a langsung diterima

dengan adanya pembayaran reribusi tersebut” Menurut Marihot Siahaan (2005;5),

retribusi adalah:

“ Retribusi adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada Negara karena

adanya jasa tertentu yang diberikan oleh Negara bagi penduduknya secara

perorangan”.

Jasa tersebut dapat dikatan bersifat langsung, yaitu hanya membayar

retribusi yang menikmati balas jasa dari Negara. Hal berarti hak mendapat jasa

dari pemerintah didasarkan pada pembayaran retribusi yang telah ditetapkan oleh

pemerintah daerah dan dipenuhi oleh orang yang mengingkan jasa tersebut.

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini

penarikan retribusi hanya dapat dipungut oleh pemerintah daerah. Jadi, retribusi

yang dipungut di Indonesia dewasa ini adalah retribusi daerah. Berdasarkan

Undang-Undang No 34 Tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah,

pasal 1 angka 26, retribusi daerah adalah:

“ pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin

tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk

kepentingan orang pribadi atau badan”(UU No. 34/2000).

Dalam hal ini, retribusi daerah tidak mencari keuntungan atas hasil

tersebut. Karena yang terpenting dari hasil retribusi adalah untuk pemeliharaan

atas kelangsungan pekerjaan, milik dan jasa masyarakat, disamping agar sarana

dan prasarana unit-unit jasapelayanan dapat ditingkatkan dan dikembangkan

sebaik mungkinsesuai dengan perkembangan masyarakat serta peradaban zaman.

Oleh karena itu, penentuan tarif retribusi daerah yang berlaku pada suatu waktu

ditetapkan untuk mencapai maksud diatas, yang wajar dan sesuai dengan imbalan

yang diharapkan dapat mereka peroleh karena memakai jasa atau pelayanan yang

disediakan oleh pemerintah.

2.4 Objek dan Golongan Retribusi

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pasal 18 ayat 1 menentukan

bahwa objek retribusi adalah berbagai jasa tertentu yang disediakan oleh

pemerintah daerah. Tidak semua jasa yang diberikan oleh pemerintah daerah

dapat dipungut retribusinya, tetapi hanya jasa-jasa tertentuyang merupakan

pertimbangan sosial ekonomi layak dijadikan objek retribusi.

Jasa retribusi daerah tersebut dibagi menjadi tiga golongan,yaitu:

1. Retribusi Jasa Umum, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh

Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemamfaatan umum serta

dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

Page 54: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

54 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

2. Retribusi Jasa Usaha, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh

Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada

dasarnya dapat disediakan oleh sector swasta.

3. Retribusi Perizinan Tertentu, yaitu retribusi atas kegiatan tertentu

Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau

badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan

pengawasan atas kegiatan pemamfaatan ruang, penggunaan sumber daya

alam, barang, sarana, prasarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi

kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

Jenis-jenis retribusi daerah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Jenis-jenis Retribusi Jasa Umum:

a. Retribusi Pelayanan Kesehatan;

b. Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan:

c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta

Catatan Sipil;

e. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Penguburan Mayat;

c. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;

d. Retribusi Pelayanan Pasar;

e. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;

f. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;

g. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta; dan

h. Retribusi Pengujian Kapal Perikanan.

2. Jenis-jenis Retribusi Jasa Usaha:

a. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;

b. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;

c. Retribusi Tempat Pelelangan;

d. Retribusi Terminal;

e. Retribusi Tempat Khusus Parkir;

f. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggraha/Villa;

g. Retribusi Penyedotan Kakus;

h. Retribusi Rumah Potong Hewan;

i. Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal;

j. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga;

i. Retribusi Penyeberangan di Atas Air;

j. Retribusi Pengolahan Limbah Cair; dan

k. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.

3. Jenis-jenis Retribusi Perizinan Tertentu:

a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;

b. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;

c. Retribusi Izin Gangguan; dan

d. Retribusi trayek.

Page 55: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

55 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Golongan atau jenis-jenis retribusi jasa umun, retribusi jasa usaha, dan

retribusi perizinan tertentu ditetapkan dengan peraturan pemerintah berdasarkan

criteria tertentu. Penetapan jenis-jenis retribusi jasa umum dan jasa usahadengan

peraturan pemeritah dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam penerapannya

sehingga dapat memberikan kepastian bagi masyarakat dan disesuaikan dengan

kebutuhan nyata daerah yang bersangkutan. Adapun penetapan jenis-jenis

retribusi perizinan tertentu dengan pemerintah dilakukan karena perizinan

tersebut, walaupun merupakan kewenangan pemerintah daerah tetap memerlukan

koordinasi dengan instansi-instansi teknis terkait.

2.5 Konsep Retribusi Pasar

Dari beberapa pendapatan asli daerah, retribusi merupakan salah satu

pendapatan terpenting di samping pajak. Salah satu retribusi daerah yang

mempunyai potensi untuk menambah pendapatan daerah adalah retribusi pasar.

Menurut Poerwadarminta (2001 : 953) yang dimaksud dengan retribusi adalah

pungutan berupa uang oleh pemerintah sebagai balas jasa.

Sedangkan pengertian dari pasar merupakan suatu unit usaha yang

mempunyai peran strategis atas jalannya jaringan distribusi dari produsen ke

konsumen yang membutuhkan suatu produk. Dengan demikian, pasar dapat

dikatakan sebgai penyedia langsung kebutuhan harian masyarakat dan berbagai

interaksi di dalamnya yang melibatkan unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat

(pedagang dan pembeli). Kondisi ini menegaskanbahwa pasar merupakan salah

satu kontributor yang cukup signifikan bagi pelaksanaan pembangunan di daerah,

karena melalui retribusi yang dihasilkan bisa menambah pendapatan daerah

(Sugianto, 2008 : 46)

Dalam Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2001 menjelaskan bahwa:

“Pasar adalah suatu area atau lokasi tertentu yang disediakan/ditetapkan

oleh pemerintah daerah sebagai tempat jual beli barang dan jasa secara

langsung dan teratur, terdiri atas pelataran,bangunan yang berbentuk kios, los

dan bentuk bangunan lainnya”(Perda No.3 Tahun 2001). Retribusi pasar menurut

Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2001, adalah:

“Pembayaran atas pelayanan penyediaan fasilitas pasar berupa pelataran

dan los yang dikelola oleh pemerintah daerah dan khusus disediakan untuk

pedagang”(Perda No. 3 Tahun 2001).

Menurut Kesit Bambang, (2005:135) pengertian Retribusi Pasar adalah :

“Retribusi atas fasilitas pasar tradisional/sederhana yang berupa

pelataran atau los yang dikelola pemerintah daerah dan khusus disediakan untuk

pedagang, tidak termasuk yang dikelola perusahaan daerah pasar”.

Retribusi pasar atau retribusi pelayanan pasar merupakan salah satu jenis

Retribusi jasa umum yang keberadaannya cukup dimamfaatkan oleh masyarakat.

Menurut penjelasan Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 yang dimaksud

pelayanan pasar adalah fasilitas pasar tradisional atau sederhana berupa pelataran,

los yang dikelola pemerintah daerah, yang khusus disediakan untuk pedagang,

Page 56: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

56 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

tidak termasuk yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah dan Pihak Swasta.

Fasilitas-fasilitas lain yang dikelola oleh pemerintah daerah untuk pedagang yaitu

keamanan, penerangan umum, penyediaan air, telepon, kebersihan dan

penyediaan alat-alat pemadam kebakaran.

Adapun yang menjadi subyek dari retribusi pasar adalah orang pribadi atau

badan yang menggunakan fasilitas pasar. Sedangkan obyek retribusi pasar

meliputi:

1. Penyediaan fasilitas pasar/tempat (Kios, Los, front Toko, dan Pelataran)

pada pasar yang disediakan oleh pemerintah daerah.

Dengan demikian retribusi jasa umum merupakanpelayanan yang

disediakan atau diberikan Pemerintah Daerahuntuk tujuan kepentingan umum.

Dalam pelaksanaan pemungutanretribusi pasar sering mengalami hambatan, hal

ini disebabkankurangnya kesadaran para pedagang membayar retribusi

terutamadipengaruhi oleh tingkat keramaian pasar. Bila pasar ramai,

makakeuntungan penjualan akan naik, sehingga kesadaran untukmembayar

retribusi lebih tinggi. Berdasarkan uraian tersebutdapat dijelaskan antara lain:

a. Wajib retribusi adalah pedagang yang memakai tempat untuk berjualan

barang atau jasa secara tetap maupun tidak tetap di pasar daerah atau di

daerah sekitar pasar sampai radius 200 m,

b. Obyek retribusi adalah pemakainan tempat-tempat berjualan, sedangkan

subyek retribusi adalah pedagang yang memakai tempat untuk berjualan

barang atau jasa secara tetap maupun tidak tetap di pasar daerah,

c. Penerimaan dari retribusi pasar masih potensial untuk ditingkatkan. Apabila

retribusi pasar sebagai sumber penerimaan pendapatan daerah, maka

pengenaan tarif retribusi perlu di evaluasi agar besar kecilnya tarif

mencerminkan prinsip-prinsip ekonomi,

d. Retribusi pasar yang dikenakan setiap pedagang sebagai balas jasa kepada

pemerintah yang telah menyediakan fasilitas perdagangan,

Untuk meningkatkan kesadaran para pedagang untuk membayar retribusi,

maka selalu mengadakan sosialisasi, dan pembinaan yang dapat menumbuhkan

tingkat kesadaran untuk membayar retribusi, Perlunya diterapkan sanksi yang

tegas terhadap pelanggaran bagi pedagang yang tidak melaksanakan kewajiban

membayar retribusi atau yang menunggak serta diterapkan sistem denda (Kesit

Bambang, 2005:135).

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Syukur. 1987. Kumpulan Makalah Study Imlementasi Latar Belakang

Konsep Pendekatan dan Relevansinya Dalam Pembangunan”. Persadi: Ujung

Pandang

Agustino, Edi. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Alfa Beta: Bandung

Handjito, Dyidiet, 2001. Teori Organisasi dan Teknik Pengorganisasian, PT Raja

Grafindo, Jakarta.

Page 57: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

57 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Mardiasmo, 2006. Perpajakan, Edisi Revisi, Andi Yokyakarta, Yokyakarta.

Mamesah, D.J.,1995. Sistem Administrasi Keuangan Daerah, Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta.

Muljono, Eugenia, Liliawati, 2001. Peraturan Perundang-undangan tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Harvarindo, Jakarta.

Novia, Windy, 2006. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Kashiko, Jakarta.

Nurmantu, Safri, 2003. Pengantar Perpajakan. Granit, Jakarta.

Setyawan, Setu dan Suprapti, Eny, 2004. Perpajakan, Bayu Media, Malang.

Siahaan, Marihot, 2005. Pajak Daer

Page 58: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

58 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Paradigma Transparansi Dalam Good Governance

Asnawi

(Fisip Univ.Dharmawangsa Medan)

Abstrak

Governance merupakan seluruh rangkaian proses pembuatan keputusan/

kebijakan dan seluruh rangkaian proses dimana keputusan itu di implementasikan

atau tidak diimplementasikan. UN Commission on Human Settlements

menjelaskan bahwa governance adalah kumpulan dari berbagai cara yang

diterapkan oleh individu warga negara dan para lembaga baik pemerintah maupun

swasta dalam menangani kepentingan-kepentingan umum mereka. Upaya untuk

mewujudkan tata kepemerintahan yang baik hanya dapat dilakukan apabila terjadi

keseimbangan peran ketiga pilar yaitu pemerintah, dunia usaha swasta, dan

masyarakat. Ketiganya mempunyai peran masing- masing. Pemerintahan

(legislatid, eksekutif, dan yudikatif) memainkan peran menjalankan dan

menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi unsur-unsur lain

dalam governance.

Kata Kunci : Paradigma, Transparansi, Good Governance

A. Konsep Good Governance

Pada awalnya Bank Dunia mendefenisikan ―Governance― sebagai ―the

exercise of political power to manage a nation‟s affair (Davis and Keating,

2000). Bank Dunia juga menambahkan karakteristik normative tentang Good

Governance, yaitu:

“An efficient public service, and independent judicial system and legal

frame work to enforce contract; the accountable administration of public funds;

an independent public auditor, responsible to a representative legislature; respect

for law and human rights at all levels of government; a pluralistic institutional

structure; and free press”.

Sementara itu UNDP mendefenisikan Good Governance sebagai “The

Exercise of political, economic, and administrative authority to manage the

nation‟s affair at all levels.

OECD dan WB mensinonimkan Good Governance dengan

penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan betanggung jawab

sejalan dengan demokrasi dan pasar bebas, penghindaran salah alokasi dana

investasi yang langka, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun

administrative, menjalankan disiplin anggaran serta menciptakan kepastian hukum

dan suasana politik untuk tumbuhnya aktivitas kewirausahaan. Selanjutnya UNDP

juga mensinonimkan Good Governance sebagai hubungan sinergis dan

konstruktif diantara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat (LAN, 2000:7).

Atas dasar inilah, maka disusun Sembilan karakteristik Good Governance,

yaitu;

Page 59: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

59 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

1. Partisipation. Setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan

keputusan, baik secara langsung maupun melalui inter-mediasi isntitusi

legitimasi yang mewakilkan kepentingannya.

2. Rule of law. Kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang

bulu, terutama hukum untuk azazi manusia

3. Transparency. Tranparansi di bangun atas dasar kebebasan arus informasi

yang berkaitan dengan kepentingan pubik secara langsung dapat diperoleh

masyarakat yang membutuhkan.

4. Responciveness. Lembaga-lembaga dan propses-proses harus mencoba untuk

melayani setiap stakeholders

5. Concensus Orientation. Good Governance menjadi perantarakepentingan

yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik

a. bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan maupun prosedur-

prosedur.

6. Equity. Semua warga Negara, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai

kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.

7. Effectiveness and efficiency. Proses-proses dan lembaga-lembaga

menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan

sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin.

8. Accountabity. Para pembuatan keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta

dam masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada public dan

lembaga-lembaga stakeholders.

9. Strategic Vision. Para pemimpin dan public harus mempunyai perpsektif

good govenrnance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh ke depan

sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan semacam ini.

Bappenas dalam Modulnya Penerapan Prinsip-Prinsip Tata Kelola

Kepemerintahan yang baik (2007:13) mengemukakan bahwa konsep tentang

government, good governance dan good public governance. Menurutnya secara

umum istilah government lebih mudah dipahami sebagai ―Pemerintah‖ yaitu

lembaga beserta aparaturnya yang mempunyai tanggung jawab untuk mengurus

negara dan menjalankan kehendak rakyat.

Governance merupakan seluruh rangkaian proses pembuatan keputusan/

kebijakan dan seluruh rangkaian proses dimana keputusan itu di implementasikan

atau tidak diimplementasikan. UN Commission on Human Settlements (1996)

menjelaskan bahwa governance adalah kumpulan dari berbagai cara yang

diterapkan oleh individu warga negara dan para lembaga baik pemerintah maupun

swasta dalam menangani kepentingan-kepentingan umum mereka.

Hal ini merupakan sebuah proses yang berkesinambungan dimana segala

jenis kepentingan maupun kebutuhan dapat di akomodasikan dan tindakan

korektif diterapkan. Termasuk pula didalamnya lebaga dan regim formal yang

dikuasakan untuk menegakkan kepatuhan, maupun pengaturan secara informal

Page 60: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

60 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

sehingga masyarakat dan lembaga memiliki kesepakatan atau kesamaan

kepentingan.

Governance juga dapat diungkapkan oleh Mustopadidjaja (2003) sebagai :

1) Kepemerintahan, 2) Pengelolaan pemerintahan, 3) Penyelenggaraan

pemerintahan, 4) Penyelenggaraan negara, dan 5) Administrasi negara.

Istilah governance lebih compleks karena melibatkan tiga pilar

stakeholders, yakni pemerintah, masyarakat, dan swasta dalam posisi yang sejajar

dan saling kontrol. Hubungan ketiganya harus dalam posisi seimbang dan saling

kontrol (checks and balances), untuk menghindari penguasaan atau ”exploitasi”

oleh satu komponen terhadap komponen lainnya. Bila salah satu

komponen lebih tinggi dari pada yang lain, yang terjadi adalah dominasi

kekuasaan atas dua komponen lainnya.

Istilah good public governance mengandung makna tata kepemerintahan

yang baik, pengelolaan kepemrintahan yang baik, serta dapat pula di ungkapkan

sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang baik, penyelenggaraan negara yang

baik atau pun administrasi negara yang baik.

Istilah tata pemerintahan yang baik (good public governance) merupakan

suatu konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis,

dan efektif. Selain sebagai suatu konsepsi tentang penyelenggraan pemerintahan,

tata kepemerintahaan yang baik juga merupakan suatu gagasan dan nilai untuk

mengatur pola hubungan antara pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat.

Salah satu upaya untuk mewujudkan pelaksanaan kepemerintahan yang

baik (good governance) adalah reformasi birokrasi. Birokrasi sebagai organisasi

formal memiliki kedudukan dan cara kerja yang terikat dengan peraturan, memilki

kompetensi sesuai jabatan dan pekerjaan, memilki semangat pelayanan publik,

pemisahan yang tegas antara milik organisasi dan individu, serta sumber daya

organisasi yang tidak bebas dari pengawasan eksternal.

Upaya untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik hanya dapat

dilakukan apabila terjadi keseimbangan peran ketiga pilar yaitu pemerintah, dunia

usaha swasta, dan masyarakat. Ketiganya mempunyai peran masing- masing.

Pemerintahan (legislatid, eksekutif, dan yudikatif) memainkan peran menjalankan

dan menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi unsur-unsur

lain dalam governance.

Dunia usaha swasta berperan dalam pendiptaan lapangan kerja dan

pendapatan. Masyarakat berperan dalam penciptaan interaksi sosial, ekonomi dan

politik. Ketiga unsur tersebut dalam memainkan perannya masing-masing harus

sesuai dengan nilai-nilai dan prinsi-prinsip yang terkandung dalam tata

kepemerintahan yang baik. Bappenas dalam Modulnya Penerapan Prinsip-Prinsip

Tata Kelola Kepemerintahan yang baik (2007:15) bahwa proses pengembangan

nilai tambah berkelanjutan diantara tiga pilar tata kepemerintahaan yang baik,

yakni pemerintah, dunia usaha swasta, dan masyarakat.

Page 61: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

61 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Kepercayaan, dukungan, dan legitimasi politik dari masyakat akan

diperoleh apabila pemerintah dapat menyediakan pelayanan publik yang memadai

dan menjalankan fungsi perlindungan pada masyarakat. Di sisi lain pemerintah

juga harus mampu menciptakan stabilitas politik, hukum, pertahanan dan

keamanan, ekonomi, serta sosial dan budaya untuk mendorong peran dunia usaha

swasta dalam pembangunan ekonomi. Dunia usaha swasta yang sehat akan

menghasilkan kualitas layanan serta memberikan nilai tambah yang positif bagi

masyarakat. Hal ini tentunya juga akan mengahasilkan pertumbuhan kegiatan

usaha yang tinggi sehingga dapat menumbuhkan loyalitas konsumen dan

kontribusi keuntungan yang lebih besar dari masyarakat sebagai target pasar.

Integrasi pengelolaan ketiga rantai nilai tersebut secara selaras akan menghasilkan

nilai tambah bagi masyarakat.

Masih dalam Bappenas dalam Modulnya Penerapan Prinsip-Prinsip Tata

Kelola Kepemerintahan yang baik (2007:14) penerapan tata kepemerintahan yang

baik dilingkungan pemerintahan tidak terlepas dari penerapan sistem manajement

kepemerintahan yang merupakan rangkaian hasil dari pelaksanaan fungsi-fungsi

manajement, (planing, organizing actuating, dan controlling)‖ yang dilaksanakan

secara profesional dan konsisten. Penerapan sistem manajement tersebut mampu

menghasilkan kemitraan positif antara pemerintah, dunia usaha swasta, dan

masyarakat. Dengan demikian, lingkungan instansi pemerintah diharapkan dapat

memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Agenda penciptaan tata

kepemerintahan yang baik setidaknya memiliki 5 (lima) sasaran yaitu‖ :

1) Berkurangnya secara nyata praktek korupsi, kolusi dan nepotisme di

birokrasi, yang dimulai dari jajaran pejabat yang paling atas;

2) Terciptanya sistem kelembagaan dan ketatalaksanaan pemerintah yang

efisien, efektif dan profesional, transparan dan akuntabel;

3) Terhapusnya peraturan dan praktek yang bersifat diskriminatif terhadap

warga negara;

4) Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik;

5) Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah.

Rosyada dkk, (2003:180), mengemukakan pengertian good governance

yang dikutipnya dari Billah adalah merupakan tindakan atau tingkah laku yang

didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan, mengendalikan atau

mempengaruhi masalah public untuk mewujudkan nilai-nilai itu dalam tindakan

kehidupan keseharian.

Sementara itu Sedarmayanti (2003:2), menjelaskan bahwa good

governance merupakan proses penyelenggaraan kekuasaan Negara dalam

melaksanakan penyediaan public goods and service disebut governance

sedangkan praktek terbaiknya disebut good governance.

Menurut Hatifah (2004:1) bahwa di Indonesia isu good governance telah

memasuki arena perdebatan pembangunan yang didorong oleh adanya dinamika

yang menuntut perubahan-perubahan di sisi pemerintah maupun di sisi warga. Ke

Page 62: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

62 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

depan, pemerintah dan pemimpin politik di negara ini diharapkan menjadi lebih

demokratis, efisien dalam penggunaan sumber daya publik, efektif menjalankan

fungsi pelayanan publik, lebih tanggap serta mampu menyusun kebijakan,

program dan hukum yang dapat menjamin hak asasi dan keadilan sosial. Sejalan

dengan itu, wargapun diharapkan menjadi warga yang memiliki kesadaran akan

hak dan kewajibannya, lebih terinformasi, memiliki solidaritas terhadap sesama,

bersedia berpartisipasi aktif dalam penyelenggraan urusan publik lainnya tidak

apatis serta tidak memetingkan diri sendiri. Adanya perubahan disisi pemerintah

dan warga seperti tersebut di atas berarti adanya perubahan dalam pola good

governance.

Itulah sebabnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2000

(dalam Sedarmayanti, 2004:4), merumuskan arti good governance adalah

kepemerintahan yang mengembankan dan menerapkan prinsip-prinsip

profesionalisme, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima, demokrasi,

efesiensi, efektifitas, supremasi hokum dan dapat diterima oleh seluruh

masyarakat.

Bappenas (2007:17), bahwa dari telusuran keberagaman wacana tata

kepemerintahan yang baik, terdapat sekumpulan nilai yang perlu diterapkan di

Indonesia sebagian dari nilai tersebut sebenarnya telah tumbuh dan berkembang

dalam akar budaya masyarakat indonesia. Walaupun demikian, nilai-nilai tersebut

sangat relefan untuk kembali diterapkan dalam kehidupan, hanya saja istilah dan

kemasannya yang berbeda.

Sekurang-kurangnya terdapat empat belas nilai yang menjadi prinsip

kepemerintahan yang baik, yaitu ;

1) Wawasan kedepan (visionary);

2) Keterbukaan dan transparansi (Openest and transparency)

3) Partisipasi masyarakat (partisipation)

4) Tanggung gugat (acountability)

5) Supremasi hukum (rule of law)

6) Demokrasi (democracy)

7) Profesionalisme dan kompetensi (professionalism and competency)

8) Daya tanggap (responseveness)

9) Efisiensi dan efektifitas (effenciency and efektiveness)

10) Desentralisasi (decentralitation)

11) Kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat (private and civil

society partnership)

12) Komitmen pada pengurangan kesenjangan (commitment to reduce

inequality)

13) Komitmen pada perlindungan lingkungan hidup (commitment to and

vironmental protection)

14) 14) Komitmen pada pasar yang fair (commitment to fair market)

Page 63: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

63 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Dengan demikian governance di sini diartikan sebagai mekanisme, praktek

dan tata cara pemerintahan dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan

masalah-masalah publik. Senada dengan itu Hatifah dalam prolognya (2004:1),

mengatakan bahwa dalam konsep governance, pemerintah hanya menjadi salah

satu aktor dan tidak selalu menjadi actor paling menentukan. Ini berarti bahwa

impilikasi dari govenrnance, peran pemerintah sebagai pembangunan maupun

penyedia jasa pelayanan dan infra struktur akan bergeser menjadi bahan

pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di

komunitas dan sektor swasta ikut aktif melakukan upaya tersebut. Itulah sebabnya

governance menuntut redefinisi peran negara, dan itu berarti adanya redefinisi

pula pada peran warga. Ada tuntutan yang lebih besar pada warga, antara lain

untuk memonitor akuntabilitas pemerintah itu sendiri.

Secara terminologis (Hatifah, 2004:2). governance dimengerti sebagai

kepemerintahan sehingga masih banyak yang beranggapan bahwa governance

adalah sinonim dengan government. Interpretasi dari praktek governance selama

ini memang lebih banyak mengacu pada perilaku dan kapasitas pemerintah,

sehingga good governance seolah-olah otomatis akan tercapai apabila ada good

government. Berdasarkan sejarah, ketika istilah governance pertama kali diadopsi

oleh para praktisi di lembaga pembangunan internasional, konotasi governance

yang digunakan memang sangat sempit dan bersifat teknokratis di seputar kinerja

pemerintah yang efektif, utamanya yang terkait dengan manajemen publik dan

korupsi. Oleh sebab itu, banyak kegiatan program bantuan yang masuk dalam

kategori governance tidak lebih dari bantuan teknis yang diarahkan untuk

meningkatkan kapasitas pemerintah dalam menjalankan kebijakan publik dan

mendorong adanya pemerintah yang bersih (menghilangkan korupsi). Itulah

sebabnya Hatifah dalam prolognya mengemukanan bahwa sejatinya konsep

Governance harus dipahami sebagai suatu proses, bukan struktur atau institusi.

(Hatifah, 2004:2).

Selanjutnya dikatakan Hatifah bahwa governance juga menunjukkan

inklusivitas. Artinya kalau government dilihat sebagai mereka maka governance

dilihat sebagai kita. Menurut Leach & Perry Smith (2001) Government

mengandung pengertian seolah-olah hanya politisi dan pemerintahan yang

mengatur, melakukan sesuatu, memberikan pelayanan, sementara sisa dari kita

adalah penerima yang pasif. Sementara Governance meleburkan perbedaan antara

pemerintah dan yang diperintah karena kita semua adalah bagian dari proses

governance.

Menurut Hatifah (2004:3) pada hakekatnya penyelenggaraan pemerintah

ditujukan kepada terciptanya fungsi pelayanan publik (public service).

Pemerintah yang baik cenderung menciptakan terselenggaranya fungsi

pelayanan publik dengan baik pula. Sebaliknya, pemerintahan yang buruk

mengakibatkan fungsi pelayanan publik tidak akan terselenggara dengan baik

pula. Prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, tidak hanya terbatas pada

Page 64: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

64 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

penggunaan perundang-undangan yang berlaku, melainkan dikembangkan dengan

menerapkan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik yang tidak hanya

melibatkan pemerintah atau negara (state) semata, tetapi harus melibatkan sistim

birokrasi maupun ekstern birokrasi.

Itulah sebabnya good governance bukan semata-mata mencakup relasi

dalam pemerintahan, melainkan mencakup relasi sinergis dan sejajar antara pasar,

pemerintah dan masyarakat sipil. Gagasan kesejajaran ini mengandung arti akan

pentingnya redefinisi peran dan hubungan ketiga institusi ini dalam mengelola

sumber daya ekonomi, politik, dan kebudayaan yang tersedia dalam masyarakat.

Senada dengan itu, Arief (2006:29) dalam bukunya Demokrasi, sejarah, praktik,

dan dinamika pemikiran, mengemukakan bahwa Good Governance adalah suatu

penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab

yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah

alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun

administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political

framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.

B Konsep Transparansi dalam Good Governance

Dalam era reformasi dimana pilar-pilar Good Governance telah menjadi

sesuatu yang urgen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka saat itu pula

transparansi penyelenggaraan pemerintahan sudah menjadi kebutuhan yang tidak

dapat diabaikan lagi. Persoalan pokok dan menjadi sebuah pertanyaan dalam

kajian ini adalah mengapa perlu transparansi dalam Good Governance? Untuk itu,

sebelum kita lebih jauh berupaya menemukan format dan konsep transparansi

mungkin pertanyaan di atas perlu dijawab terlebih dahulu.

Sebagai ilustrasi dapat di kemukakan ketika kandidat Kepala Daerah

maupun kandidat legislatif mencalonkan diri dalam Pilkada maupun Pileg, maka

suatu hal yang tidak bisa kita pungkiri mereka akan menawarkan seperangkat janji

kepada para pemilih, demikian juga halnya para calon anggota legislatif juga akan

memberikan seperangkat janji kepada konstituennya. Selanjutnya setelah mereka

terpilih sebelum melaksanakan tugasnya mereka akan mengangkat sumpah. Hal

itu semua merupakan seperangkat janji yang harus dipenuhi kepada para pemilih

ataupun kepada diri sendiri.

Oleh sebab itu, menyimak ilustrasi diatas maka seharusnya yang menjadi

sasaran utama penyelenggaraan pemerintahan adalah kepercayaan. Artinya ketika

sang kandidat masuk dalam sistem kepemerintahan, maka seperangkat janji-janji

yang diucapkan dalam kampanyenya harus direalisasikan demi terbangunnya

kepercayaan terhadap publik atau konstituennya. Kepercayaan akan tumbuh

karena pemerintah mampu dan mau untuk memenuhi janji yang telah

disampaikan. Kemampuan untuk menjawab atau memenuhi janji atau commitment

kepada orang lain atau diri sendiri tersebut adalah tanggung jawab (responsibility)

.

Page 65: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

65 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Dengan demikian pemerintah yang bertanggung jawab adalah pemerintah

yang mampu menjawab atau memenuhi janji kepada publik maupun

konstituennya.

Untuk mewujudkan pertanggungjawaban pemerintah terhadap publik ,

maka salah satu cara dilakukan adalah dengan menggunakan prinsip-prinsip

transparansi (keterbukaan). Transparansi penyelenggaraan pemerintahan memiliki

arti yang sangat penting dimana masyarakat diberikan kesempatan untuk

mengetahui kebijakan yang akan dan telah diambil oleh pemerintah. Bahkan

dengan adanya transparansi penyelenggaraan pemerintahan tersebut, masyarakat

dapat memberikan feedback atau outcomes terhadap kebijakan yang telah diambil

oleh pemerintah.

Ini berarti bahwa transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat

memberikan makna yang sangat berarti yakni disamping sebagai salah satu wujud

pertanggung jawaban pemerintah kepada rakyat, kecuali itu pula dapat

menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik atau good governance dan

juga dapat mengurangi kesempatan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).

Disinilah kuncinya mengapa transparansi sangat diperlukan dalam Good

Governance bahkan merupakan salah satu syarat penting. Mungkin masih segar

dalam ingatan kita, bahwa salah satu yang menjadi persoalan diakhir masa masa

orde baru adalah merebaknya kasus-kasus korupsi. Dan salah satu yang dapat

menimbulkan dan memberi ruang gerak kegiatan ini adalah manajemen

pemerintah yang tidak transparan.

Transparansi (transparency) secara harafiah adalah jelas, dapat dilihat

secara menyeluruh dalam arti kata keterbukaan. Dengan demikian, transparansi

dapat diartikan sebagai keterbukaan dalam melaksanakan suatu proses kegiatan.

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa tranparansi merupakan salah satu syarat

penting untuk menciptakan Good Governance. Dengan adanya transparansi di

setiap kebijakan tata kelola pemerintahan, maka keadilan (fairness) dapat

ditumbuhkan.

Dengan demikian transparansi berarti keterbukaan pemerintah dalam

memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya

publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi. Dalam arti bahwa

Pemerintah berkewajiban untuk memberikan informasi yang dibutuhkan baik

informasi keuangan maupun lainnya yang akan digunakan untuk pengambilan

keputusan ekonomi sosial dan politik oleh pihak yang berkepentingan. Mardiasmo

(2003:30) mengemukakan bahwa transparansi adalah keterbukaan pemerintah

dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan daerah sehingga dapat diketahui

dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat.

Selanjutnya Tjokromidjoyo (2003:123), menjelaskan bahwa transparansi

yaitu dapat diketahui oleh banyak pihak (yang berkepentingan) mengenai

perumusan kebijakan (politik) dari pemerintah, organisasi dan badan usaha. Good

Governance tidak membolehkan manajemen pemerintahan yang tertutup.

Page 66: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

66 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Oleh karena good governance tidak membolehkan cara-cara yang tertutup,

Gaffar (dalam Rosyada dkk 2003:184), mengemukakan bahwa ada 8 (delapan)

aspek mekanisme pengelolaan anggaran negara yang harus dilakukan secara

transparans yaitu sebagai berikut :

1) Penetapan posisi jabatan atau kedudukan;

2) Kekayaan pejabat publik;

3) Pemberian penghargaan;

4) Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan ;

5) Kesehatan;

6) Moralitas para pejabat dan aparatur pelayan publik;

7) Keamanan dan ketertiban;

8) Kebijakan strategi untuk pencerahan kehidupan masyarakat.

Konsep transparansi menurut Organisation for Economic Cooperation and

Development (OECD) (2004 :66): As transparency is a core governance value.

The regulatory activities of government constitute one of the main contexts within

which transparency must be assured. There is a strong public demand for greater

transparency, which is substantially related to the rapid increase in number and

influence of non governmental organisations (NGOs) or „civil society groups‟, as

well as to increasingly well educated and diverse populations.

Menurutnya bahwa konsep tranparansi adalah merupakan nilai utama dari

system pemerintahan. Konteks utama aktivitas pemerintah harus diyakini

berdasarkan pada transparansi. Terdapat kekuatan publik yang menuntut

transparansi yang lebih besar. Pada hakekatnya ada kaitannya dengan percepatan

dan pengaruh terhadap organisasi swasta, sebagaimana terus meningkatnya

populasi masyarakat. Ini berarti tuntutan publik terhadap transparansi sudah

semakin kuat.

Smith (2004:66), mengemukan bahwa proses transparansi meliputi :

1) Standard procedural requirements (Persayaratan Standar Prosedur), bahwa

proses pembuatan peraturan harus melibatkan partisipasi dan memperhatikan

kebutuhan masyarakat.

2) Consultation processes (Proses Konsultasi), Adanya dialog antara pemerintah

dan masyarakat

3) Appeal rights (Permohonan Izin), adalah pelindung utama dalam proses

pengaturan. Standard dan tidak berbelit, transparan guna menghindari adanya

korupsi.

Hidayat (2007:23), mengemukakan bahwa transparansi berarti masyarakat

harus dapat memperoleh informasi secara bebas dan mudah tentang proses dan

pelaksanaan keputusan yang diambil. Secara umum akuntabilitas publik tidak

akan terjadi tanpa ditunjang transparansi dan kejelasan aturan hukum

Didalam Good Gevernance (Nugroho, Randi R.W 2004:128), transparansi

adalah merupakan salah satu prinsip Good Governance. Artinya transparansi

disini adalah segala keputusan yang diambil dan penerapannya dibuat dan

Page 67: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

67 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

dilaksanakan sesuai koridor hokum dan peraturan yang berlaku Hal ini juga

mencakup pengertian bahwa informasi tersedia secara cuma-cuma dan dapat

diakses secara mudah dan langsung. Sementara itu dalam

hhtp.www.transparansi.or.id Jurnal Masyarakat Transparansi, mengemukakan

bahwa transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses

pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-

pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar

dapat dimengerti dan dipantau.

Dari berbagai pandangan para pakar tentang definisi Good Governance

dan Transparansi diatas, maka disimpulkan bahwa keduanya memiliki korelasi

yang signifikan dimana suatu pemerintahan dapat dikatakan baik (Good

governance) berarti pemerintahan tersebut telah menerapkan prinsip-prinsip

tranparansi. Hal ini dimungkinkan karena prinsip-prinsip Good governance adalah

mencakup: Transparansi, Integritas, Akuntabilitas , Tanggung jawab dan

Partisipasi.

Terkait dengan itu, masih jelas dalam ingatan kita beberapa tahun

belakang ini telah berkembang di masyarakat suatu konsep tentang pemerintahan

yang bersih yang bebas KKN atau pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Konsep tentang ajaran ini mendapat perhatian hangat bukan saja dikalangan

akademisi bahkan kalangan aktifis dimana ajaran ini sangat dikenal dengan ajaran

good governance. Namun kenyataan pemerintahan yang bersih dan berwibawa

sangat sulit untuk dilaksanakan dalam praktek kehidupan berbangsa dan

bernegara. Bahkan hingga saat inipun masih terlihat hampir di seluruh jajaran

pemerintahan masalah korupsi, kolusi dan nepotisme sulit untuk dihindari

Sejalan dengan pelaksanaan pemerintahan daerah melalui Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

tentunya kita masih berharap adanya tumbuhnya kepemerintahan yang baik (good

governance) . Dengan adanya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung

jawab melalui lahirnya UU 32/2004 secara ideal diharapkan dapat mendorong

terwujudnya good governance pada penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Semangat otonomi daerah inilah menjadi pemicu pelaksanaan pembangunan

daerah, peningkatan pelayanan kepada masyarakat, serta tumbuhnya nilai-nilai

demokrasi pada tatanan pemerintahan daerah. Dengan adanya kewenangan yang

luas untuk mengatur dan mengurus serta melayani masyarakat, maka hal tersebut

diharapkan dapat terwujud.

Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, daerah memiliki kewenangan yang

luas dan utuh. Dalam pengertian ini daerah tidak lagi menunggu lagi penyerahan

kewenangan dari pusat tapi bias mengembangakan kewenangan yang dimiliki

berdasarkan UU tersebut sesuai dengan kondisi riil di daerahnya. Sedangkan utuh

artinya bahwa dalam melaksanakan kewenangan yang telah diserahkan tersebut

mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi merupakan tanggung jawab

pemerintah daerah sepenuhnya. Pemerintahan pusat tidak lagi mencapurinya.

Page 68: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

68 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Pemerintah pusat hanya memberikan pedoman, arahan, bimbingan dan penentuan

standarnya. (Nurcholis, 2007:126).

Itulah sebabnya perlu ada perumusan kembali tentang kepemerintahan

yang baik atau good governance tersebut, agar kita memiliki kesepahaman yang

sama. Karena sering kepemerintahan yang baik dapat diartikan dengan

penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan berdasarkan aturan perundang-

undangan dengan memperhatikan aspirasi publik atau hanya memenuhi aspirasi

publik. Disinilah pentingnya kesepahaman bersama tentang istilah

kepemerintahan yang baik atau good governance dalam konteks otonomi daerah.

Perlu dipahami bahwa konsep otonomi daerah secara filosofis telah mengubah

makna government yang berorientasi pada otoritas kepada governance yang

berorientasi pada interaksi antara pemerintah (government), masyarakat (public)

dan swasta (privaty sector).

DAFTAR PUSTAKA.

Abdul Wahab, Solichin, 1997, Analisis Kebijaksanaan, Dari Formulasi

Keimplementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta, Penerbit PT Bumi Aksara

Abidin, Said Zainal, 2004, Kebijakan Publik, Jakarta Pancar Siwah.

Adimihardja, Kusnaka & Hikmat, Harry. 2003. Participatory Research Appraisal.

Pengabdian dan Peberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora

Anderson, James, A. 1997. Public Policy Making Third Edition, USA, Penerbit

Houghton Miffin Company

A.R. Mustapadijaja. 1992. Studi Kebijaksanaan, Perkembangan dan Perepannya

dalam Rangka Administrasi dan Manajemen Pembangunan. Jakarta, LP-FEUI.

Arief, Syaiful, 2006, Demokrasi: sejarah, praktik, dan dinamika pemikiran

Averroes Press, Jakarta.

Chandra, Eka, dkk. 2003. Membangun Forum Warga. Implementasi Partisipasi

dan Penguatan Masyarakat Sipil. Bandung: Akatiga.

Dye R Thomas. 2008. Understanding Public Policy. Pearson Education' Upper

Saddle River' NewJersey

Dun, Willian N, 1981. Public Policy Analysis : An Intruduction, Prentce_Ha, Inc,

Englewood Cliffs, N.J.07632. USA

……………….., 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua.

(Diterjemahkan oleh: Samodra Wibawa.dkk.) Yogyakarta: Gaja Mada University

Pres.

Edwar III, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington,

DC,Congressional Quarterly Press

Gaventa, John dan Valderama, Camilo. 2001. Mewujudkan Partisipasi: Teknik

Partisipasi Masyarakat untuk Abad 21. The British Council dan New. Economics

Foundation.

Page 69: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

69 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Efektivitas Pelayanan Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

di Dinas Tata Ruang Dan Tata Bangunan Kota Medan

Andoko

(Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Pancabudi Medan)

Abstrak

Salah satu cara untuk menanggulangi lemahnya pelayanan aparatur

pemerintah yang menyebabkan tidak optimalnya fungsi pelayanan yang diberikan

kepada masyarakat adalah dengan mengalihkan aspek-aspek dan fungsi-fungsi

pemerintahan konvensional melalui penggunaan teknologi baru. Salah satu usaha

konkrit adalah dengan memanfaatkan teknologi informasi dalam bentuk

pelayanan perijinan yang terpadu (one stop service) yang sering disebut Pelayanan

Perijinan Terpadu Satu Pintu. Hasil dari bentuk terobosan yang dilakukan

pemerintah tersebut adalah dibentuknya Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu

(KPPT). Tujuan pembentukan badan ini adalah untuk mendorong peningkatan

pelayanan publik yang dianggap kurang transparan atau kurang terbuka. Pelayanan

Perizinan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) disini adalah penyelenggaraan perizinan mulai

dari tahap permohonan sampai tahap penerbitan dokumen (penyerahan izin pada

pemohon), dilakukan secara terpadu dalam satu tempat.

Kata Kunci : Efektifitas, Pelayanan, Izin Mendirikan Bangunan

A. Pendahuluan

Pemerintah dalam rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih,

dan berwibawa diharapkan mampu melaksanakan tugasnya dengan baik dan

kompleks. Pemerintah memiliki badan wewenang untuk

mengatur kehidupan warga negaranya dan juga memiliki kewajiban untuk

memberikan pelayanan yang maksimal pada masyarakat.Pelayanan terhadap

masyarakat selama ini diupayakan oleh pemerintah selaku penyelenggara

administrasi Negara melalui

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang

merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dengan

telah mengubah paradigma sentralisasi pemerintah ke arah desentralisasi dengan

pemberian otonomi daerah yang luas dan bertanggung jawab. Perubahan

paradigma di atas menuntut pemerintah daerah untuk membuktikan

kesanggupannya dalam melaksanakan unsur-unsur pemerintahan lokal sesuai

dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat lokal khususnya.

Sedangkan Rogers dalam Laporan Akhir Indeks Kepuasan Masyarakat

Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (2011, h. 25) mengenalkan model „Three

E‟s‟ dalam sebuah pelayanan publik yang terdiri dari economies, efficiency, dan

effectiveness. Economies yang diartikan sebagai seberapa besar biaya yang

dikeluarkan untuk mendapatkan resources yang dibutuhkan. Kedua efficiency

adalah perbandingan antara output dengan input yang dibutuhkan. Sedangkan

yang ketiga, effectiveness adalah hasil akhir dari pelayanan dikaitkan dengan

output nya.

Page 70: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

70 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Salah satu cara untuk menanggulangi lemahnya pelayanan aparatur

pemerintah yang menyebabkan tidak optimalnya fungsi pelayanan yang diberikan

kepada masyarakat adalah dengan mengalihkan aspek-aspek dan fungsi-fungsi

pemerintahan konvensional melalui penggunaan teknologi baru. Salah satu usaha

konkrit adalah dengan memanfaatkan teknologi informasi dalam bentuk

pelayanan perijinan yang terpadu (one stop service) yang sering disebut Pelayanan

Perijinan Terpadu Satu Pintu. Hasil dari bentuk terobosan yang dilakukan

pemerintah tersebut adalah dibentuknya Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu

(KPPT). Tujuan pembentukan badan ini adalah untuk mendorong peningkatan

pelayanan publik yang dianggap kurang transparan atau kurang terbuka.

Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) disini adalah

penyelenggaraan perizinan mulai dari tahap permohonan sampai tahap penerbitan

dokumen (penyerahan izin pada pemohon), dilakukan secara terpadu dalam satu

tempat. Penerapan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) merupakan

salah satu bentuk usaha dalam menjalankan aktifitas pemerintahan yang lebih

efektif dan efisien. Aplikasi teknologi ini merupakan bentuk nyata usaha

pemerintah dalam mempermudah dan mempercepat alur pelayanan perizinan.

Dengan adanya PPTSP yang baik, maka pemerintah dapat melaksanakan

pelayanan secara terpadu dengan memperhatikan kondisi lingkungan dan

masyarakatnya.

Program tersebut didukung dengan adanya perkembangan teknologi

informasi secara global pada akhirnya mampu mengembangkan tingkat pelayanan

perizinan di KPPT dengan menggunakan teknologi internet secara on-line untuk

melayani para pemohon IMB yang berhalangan mendatangi KPPT secara

langsung. Dengan adanya teknologi ini masyarakat dapat mengontrol kinerja

aparatur pelayan publik di KPPT dalam memproses IMB atau perizinan lain yang

telah diajukan. Baik itu mengenai kelengkapan data, administrasi, hingga rincian

retribusi semuanya sangat terbuka dan transparan untuk diakses. Sehingga mampu

meningkatkan kepercayaan dari masyarakat. Khususnya bagi para pemohon IMB

sektor industri pariwisata yang notabene mempunyai skala besar dalam

pengurusan IMB, yang tentunya rincian-rincian yang sekecil mungkin sangat

berpengaruh terhadap tujuan yang mereka inginkan.

Tidak terkecuali di Kota Batu yang belakangan ini mengalami pertumbuhan

yang pesat dalam pembangunan sektor industri pariwisata, dimana Kota otonomi

yang baru berumur sekitar 10 tahun ini merupakan Kota Pariwisata yang banyak

dikunjungi oleh wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri. Pembangunan

untuk menarik wisatawan dan juga investor dalam sektor industri dan pariwisata

gencar dilakukan. Hal ini pasti membutuhkan pelayanan ekstra yang harus

diberikan pemerintah dalam bidang perizinan terhadap masyarakat demi

terciptanya pelayanan dan

juga pengurusan perizinan yang efisien, efektif, dan tepat sasaran.

Page 71: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

71 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Peningkatan pembangunan yang dilakukan di Kota Batu baik dari sektor

industri maupun pariwisata secara tidak langsung menimbulkan peningkatan pula

terhadap permohonan pengajuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dengan

harapan mendapat pelayanan prima secara dinamis, tanggap, cepat, serta tepat

sasaran. Oleh sebab itu dengan adanya Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu

(PPTSP) diharapkan pelayanan perizinan terutama dalam pemberian Izin

Mendirikan Bangunan (IMB) dapat berjalan secara efektif, yaitu sesuai dengan

standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi

penerima pelayanan.

Menurut Dwiyanto (2008, h.136) pelayanan publik merupakan produk

birokrasi publik yang diterima oleh warga pengguna maupun masyarakat secara

luas. Kemudian pelayanan publik dapat didefinisikan sebagai serangkaian aktifitas

yang dilakukan oleh birokrasi publik untuk memenuhi kebutuhan warga

pengguna.

Dwiyanto (2008, h. 147) mengklasifikasikan konsep pelayanan publik

sebagai berikut :

a. Pelayanan publik yang efisien dari perspektif pemberi layanan, pemberi

harus mengusahakan agar harga pelayanan murah dan tidak terjadi

pemborosan sumber daya publik. Demikian juga dari perpektif pengguna

layanan, mereka menghendaki pelayanan publik dapat dicapai dengan biaya

yang murah, waktu singkat, dan tidak banyak membuang energi.

b. Pelayanan publik yang responsive adalah kemampuan organisasi untuk

mengidentifikassi kebutuhan masyarakat menyusun prioritas kebutuhan, dan

mengembangkannya kedalam berbagai program pelayanan.

c. Pelayanan publik yang non-partisanadalah sistem pelayanan yang

memperlakukan semua pengguna layanan secara adil tanpa membeda-

bedakan berdasarkan status sosial ekonomi, kesukuan, etnik, agama,

kepartaian, dan sebagainya.

Dalam perspektif hubungan antara masyarakat dan pemerintah sebagai

penyedia pelayanan publik, Moleong dalam Ismail (2010, h.85) mengartikan

pelayanan publik sebagai pemberian layanan terhadap keperluan orang atau

masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan

aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.

Sedangkan Rogers dalam Profil KPPT (2011, h.25) mengenalkan model

„Three E‟s‟ dalam sebuah pelayanan publik yang terdiri dari economies,

efficiency, dan effectiveness. Economies yang diartikan sebagai seberapa besar

biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan resources yang dibutuhkan. Kedua

efficiency adalah perbandingan antara output dengan input yang dibutuhkan.

Sedangkan yang ketiga, effectiveness adalah hasil akhir dari pelayanan dikaitkan

dengan output nya.

Tolak ukur efektivitas penyelenggaraan pelayanan IMB sektor industri

pariwisata di KPPT Kota Batu sesuai dengan yang diungkapkan oleh Tolak ukur

Page 72: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

72 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

efektivitas suatu organisasi dalam kegiatannya juga dikemukakan oleh Bagindo

dan M. Ridwan dalam Dinullah (1990, h.32) sebagai berikut:

1. Mutu pekerjaan, adalah kebaikan pekerjaan yang telah dilakukan oleh

pegawai dengan menimbang faktor-faktor seperti kesalahan-kesalahan yang

menyangkut kualitas pekerjaan.

2. Ketetapan waktu atau volume pekerja, adalah bagaimana kecepatan kerja

dengan bagaimana tepatnya waktu, kecepatan ini dipelihara dan hendaknya

dipertimbangkan. Dalam volume pekerja ini mengandung adanya unsur

waktu yang berfungsi sebagai pembatas penyelesaian suatu pekerjaan.

3. Pengetahuan dan inisiatif pegawai mengenai pekerjaan adalah kesanggupan

pegawai memikul tanggung jawab dan memulai serta melaksanakan hal-hal

yang tanpa instruksi terperinci tentang bagaimana cara mengambil tiap

langkah.

4. Sikap kerja, adalah sampai sejauh mana pegawai tersebut menaruh minat

dalam pekerjaannya. Bila timbul keadaan darurat diperlukan usaha yang

lebih besar dari yang biasanya, apakah ia dengan serta merta menghadapi

tugas ini dengan antuisme.

Dengan adanya latar belakang tersebut pada akhirnya efektivitas pelayanan

Izin Mendirikan Bangunan (IMB) khususnya sektor industri pariwisata harus

lebih dikaji lebih dalam, baik dalam penyelenggaraan pelayanan yang diberikan

oleh KPPT maupun dalam hal kesesuaian lahan yang disahkan apakah telah sesuai

dengan tata ruang Kota Batu sendiri.

Dari keempat indikator yang dijadikan tolak ukur efektivitas dapat dinilai

bahwa penyelenggaraan pelayanan IMB dalam sektor industri pariwisata dapat

dikatakan telah efektif. Hal ini dibuktikan dengan Pegawai KPPT sebagai abdi

masyarakat dalam proses pelayanan IMB khususnya bidang pariwisata dalam

mutu pekerjaan sudah dapat meminimalisir kesalahan-kesalahan yang terjadi di

lapangan maupun di bagian back office.

Karena pada realitanya para pemohon IMB sektor industri pariwisata ini

merasa telah puas oleh pelayanan yang diberikan. Tidak terdapat kesalahan-

kesalahan yang berarti yang dapat menghambat proses IMB yang diajukan.

Ketetapan waktu dan volume pekerja pada KPPT dalam kepengurusan IMB

pariwisata semua sudah baik, hal tersebut nampak ketika para pemohon IMB

pariwisata di Kota Batu mendapat IMB sesuai dengan waktu yang ditetapkan

sebelumnya.

Namun jika pada beberapa waktu tertentu ada sebuah kendala yang

menyebabkan penunggakan waktu itu dikarenakan bukan dari dalam KPPT,

melainkan dari pihak lain. Pihak lain yang di maksud adalah rekomendasi dari

dinas-dinas lain yang terkait, seperti rekomendasi walikota, Bappeda, Dinas Cipta

Karya dan Tata Ruang Kota, dinas Bina Marga, dan rekomendasi dari masyarakat

sekitar daerah pengajuan IMB yang diwakili oleh Kelurahan dan Kecamatan, atau

Page 73: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

73 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

bahkan dari pemohon IMB sendiri. Misalnya saja dengan kurangnya pemenuhan

syarat atau kurang fahamnya dengan prosedur yang berlaku di KPPT.

Kemudian dalam pengetahuan dan inisiatif pegawai para pegawai KPPT ini

sudah mampu menjalankan kinerja dan porsinya tanpa harus ada bimbingan

khusus dari atasan. Dengan adanya kerja tim yang baik, para pegawai KPPT juga

menjadi lebih tanggap dalam melayani masyarakat. Dalam hal sikap kerja yang

juga merupakan salah satu tolak ukur efektivitas para pegawai KPPT dalam

melayani IMB sektor industri pariwisata di Kota Batu sikap kerja yang baik ini

terlihat dari semangat kerja yang tinggi dalam penyelesaian proses pelayanan IMB

terhadap masyarakat yang berkepentingan di dalamnya sehingga tujuannya dapat

tercapai khususnya untuk masyarakat pemohon IMB sektor industri pariwisata.

Dengan kemudahan dalam pengajuan dan proses pelayanan IMB, pada

akhirnya mendorong banyak berdirinya bangunan-bangunan sektor industri

pariwisata baik itu obyek pariwisata maupun perhotelan di kawasan Kota Batu.

Dalam jangka waktu 3 tahun terakhir ini mulai 2009-2011 setidaknya ada 9

(sembilan) bangunan sektor industri pariwisata baik itu obyek pariwisata maupun

perhotelan yang telah disahkan IMB dan telah mampu beroperasional. Yaitu, Batu

Night Spectaculer, Museum Satwa, Hotel Paradise, Hotel Singhasari, Hotel

Arjuno, Batusuki Resort, Wonderland, Jambuluwuk Resort, Batu Town Square.

Hal ini tentu saja sangat berpengaruh kepada kualitas hidup dan kenyamanan

masyarakat Kota Batu.

Selain meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Batu tapi juga

mampu meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar kawasan industri

pariwisata. Ini sangat nampak dari masyarakat yang berkecimpung dalam dunia

wirausaha sedikit banyak telah merasakan dampak dari banyaknya kawasan

wisata di Kota Batu. Selain itu Kota Batu juga menjadi lebih indah dan rapi dalam

tata perkotaanya, serta ramai oleh wisatawan baik wisatawan lokal, daerah,

maupun luar negeri.Salah satu dasar pertimbangan penetapan peraturan Izin

Mendirikan Bangunan (IMB) adalah agar setiap bangunan memenuhi teknik

konstruksi, estetika serta persyaratan lainnya sehingga tercipta suatu rangkaian

bangunan yang layak dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, keindahan

dan interaksi sosial.

Diagram Strategi dan Perencanaan Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan

serta Berwawasan Lingkungan (PBBL)

Tujuan dari penerbitan IMB adalah untuk mengarahkan pembangunan yang

dilaksanakan oleh masyarakat, swasta maupun bangunan pemerintah dengan

pengendalian melalui prosedur perizinan, kelayakan lokasi mendirikan,

peruntukan dan penggunaan bangunan yang sehat, kuat, indah, aman dan nyaman.

Selain itu, adanya IMB berfungsi supaya pemerintah daerah dapat mengontrol

dalam rangka pendataan fisik kota sebagai dasar yang sangat penting bagi

perencanaan, pengawasan dan penertiban pembangunan kota yang terarah dan

sangat bermanfaat pula bagi pemilik bangunan

Page 74: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

74 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata

ruang wilayah (RTRW). Di samping sebagai “guidance of future actions” RTRW

pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi

manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras,

seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta

kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development

sustainability). Proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud

operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri.

Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan

dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan

RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.

Dalam penyelenggaraan pelayanan IMB yang dilakukan di KPPT yang

berkaitan dengan syarat dan prosedur pelayanan dapat dikatakan telah efektif yang

mana semua tujuan yang diharapkan oleh masyarakat dapat tercapai. Namun

dalam hal

pengguanaan lahan yang disahkan dalam IMB sektor industri pariwisata di

Kota Batu masih dinilai tidak sesuai. Hal ini mungkin juga dipicu dengan hakekat

mengenai kegiatan pariwisata secara umum yang hanya tertarik pada pemanfaatan

aset lingkungan selaku daya tarik wisata. Namun eksploitasi yang berlebihan pada

akhirnya nanti akan menimbulkan dampak-dampak yang tidak diinginkan. Dalam

pendirian bangunan-bangunan hingga pengoperasionalannya banyak yang

beranggapan bahwa beberapa dari bangunan pariwisata tersebut tidak sesuai

dengan ketentuan tata ruang yang berlaku. Misalnya saja pendirian Jambuluwuk

Resort dan Museum Satwa. Anggapan seperti ini dilatarbelakangi dari pendirian

bangunan tersebut yang didirikan di daerah kawasan hijau. Kenyamanan dan

keselamatan pada akhirnya menjadi sorotan utama akibat yang akan

dipertanyakan dari pendirian bangunan tersebut.

Namun KPPT sebagai pihak yang berwenang mengenai hal ini seakan tidak

mempunyai pertimbangan akan keputusan yang diambil. Walikota sebagai kepala

pemerintahan tertinggi di Kota Batu tetap menjadi pemegang kekuasaan tertinggi

pula dalam IMB khususnya sektor industri pariwisata dan pada akhirnya dapat

diartikan bahwa dalam pengeluaran IMB sektor industri pariwisata di Kota Batu

terdapat intervensi walikota. Rekomendasi dari walikota dijadikan sebagai

tahapan tertinggi dalam pengesahan IMB sektor industri pariwisata. Sehingga

KPPT sebagai pihak yang berwenang dalam hal perizinan hanya dipandang

sebagai perpanjangan tangan dari walikota.

Standar minimal pengeluaran IMB secara umum adalah dipenuhinya segala

sesuatu yang merupakan syarat dan prosedur pelayanan perizinan IMB, serta

adanya rekomendasi dari pihak-pihak terkait. Dalam sektor industri pariwisata

standar minimal yang ditentukan tidak jauh berbeda dengan pengajuan IMB

bangunan lain, hanya saja terkadang rekomendasi yang diberikan jauh lebih luas

ruang lingkupnya. Karena lebih

Page 75: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

75 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

dilihat dari Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Luas Bangunan

(KLB), Koefisien Ketinggian Bangunan (KKB), faktor lingkungan, kesehatan,

kenyamanan, dan keselamatan. Karena pada dasarnya dalam sektor industri

pariwisata tersebut akan lebih melibatkan banyak pihak dalam

pengoperasionalannya, baik itu para karyawan, wisatawan yang mendatangi

kawasan industri pariwisata tersebut, dan masyarakat sekitar industri tersebut.

Transparansi dalam biaya retribusi yang dibebankan pada pemohon IMB

sudah dijalankan secara terbuka antar kedua pihak tersebut. Segala rincian yang

menyangkut nominal pemberian IMB dari tahap awal sampai akhir sudah sangat

jelas dan sesuai. Namun untuk transparansi biaya retribusi yang dikenakan sangat

dirahasiakan dan tidak dapat dipublikasikan sedikitpun. Hal ini sangat

mengherankan jika dilihat dari pernyataan yang menjelaskan bahwa semua

perhitungan sudah sesuai akan tetapi mengapa masih ada hal yang sangat

dirahasiakan di dalamnya dari konsumsi publik.

Faktor pendukung terhadap IMB sektor industri pariwisata Adalah dengan

adanya suatu bentuk program baru yang dinamakan Pelayanan Perizinan Terpadu

Satu Pintu (PPTSP). Seperti yang telah diketahui program ini telah menempatkan

suatu bentuk pelayanan perizinan yang dilakukan dalam satu atap atau satu tempat

kantor/dinas yaitu KPPT. Dengan adanya program yang seperti secara langsung

para pemohon IMB sektor pariwisata merupakan salah satu yang diuntungkan

selain para pemohon-pemohon lain. Ini dapat dimanfaatkan oleh pemohon IMB

sektor pariwisata untuk mengajukan IMB sektor pariwisatanya secara mudah.

Kerja tim antara bagian administrasi (back office) dan tim teknis sangat

terkoordinasi. Terkoordinasi ini diartikan sebagai adanya kerjasama yang baik

mulai dari proses pendataan yang didapat dapat benar-benar disesuaikan dengan

kondisi di lapangan (teknis) dengan penuh ketelitian

Serta Adanya perkembangan teknologi informasi secara global pada

akhirnya mampu mengembangkan tingkat pelayanan perizinan di KPPT dengan

menggunakan teknologi internet secara on-line untuk melayani para pemohon

IMB yang berhalangan mendatangi KPPT secara langsung. Dengan adanya

teknologi ini masyarakat dapat mengontrol kinerja aparatur pelayan publik di

KPPT dalam memproses IMB atau perizinan lain yang telah diajukan. Baik itu

mengenai kelengkapan data, administrasi, hingga rincian retribusi semuanya

sangat terbuka dan transparan untuk diakses. Sehingga mampu meningkatkan

kepercayaan dari masyarakat. Khususnya bagi para pemohon IMB sektor industri

pariwisata yang notabene mempunyai skala besar dalam pengurusan IMB, yang

tentunya rincian-rincian yang sekecil mungkin sangat berpengaruh terhadap

tujuan yang mereka inginkan.

Sedangkan faktor penghambat terhadap IMB sektor industri pariwisata

adalah dengan sedikit terhambat oleh peralatan survey yang kurang. Hal ini

mempunyai pengaruh yang sangat besar jika dilihat dari banyaknya pengajuan

IMB khususnya bidang pariwisata saat ini. Karena dengan kurangnya peralatan

Page 76: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

76 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

teknis ini dapat menghambat kinerja tim teknis di lapangan yang pada akhirnya

juga mampu mempengaruhi keseluruhan proses IMB. Namun sejauh ini peralatan

teknis tersebut mampu diusahakan dengan seoptimal mungkin dalam kinerja

lapangan meskipun pada dasarnya itu sangat kurang untuk kelengkapan peralatan

kinerja.

Sulitnya mendapat kepercayaan dari masyarakat sekitar mengenai kawasan

wisata yang akan didirikan dalam hal ini diwakili oleh kelurahan atau kecamatan

setempat. Seperti yang diketahui bahwa rekomendasi dari pemerintah, dinas-dinas

terkait, dan masyarakat sekitar merupakan syarat utama proses IMB setelah syarat

kelengkapan data dan administrasi. Rekomendasi dari pemerintah dalam hal ini

walikota lebih mudah dipenuhi, begitu juga dengan rekomendasi dari dinas-dinas

yang terkait.Namun untuk rekomendasi dari masyarakat sekitar kawasan sektor

wisata yang akan didirikan ini cukup sulit.

Penutup

Kesimpulan dalam penulisan ini adalah Pelayanan Izin Mendirikan

Bangunan (IMB) dalam sector industri pariwisata di Kota Batu oleh Kantor

Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) Kota Batu secara penyelenggaraan

pelayanan sudah dilakukan secara efektif. Hal ini nampak dari proses kinerja serta

hasil dari pelayanan perizinan yang diberikan kepada masyarakat telah mencapai

tujuan yang diharapkan terlebih lagi dengan semakin didukung dengan

dikeluarkan program yang dinamakan Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu

(PPTSP). Program ini mempermudah masyarakat untuk mengurus IMB,

dikarenakan dengan adanya PPTSP masyarakat dapat mengurus IMB pada satu

tempat atau bisa dikatakan satu atap yaitu di KPPT. Pelayanan Perizinan Terpadu

Satu Pintu (PPTSP) disini adalah penyelenggaraan perizinan mulai dari tahap

permohonan sampai tahap penerbitan dokumen (penyerahan izin pada pemohon),

dilakukan secara terpadu dalam satu tempat yaitu KPPT. Hal ini sangat

berpengaruh bagi para pemohon IMB khususnya sector industri pariwisata karena

jika dilihat dari latar belakangnya bahwa pembangunan kawasan wisata baik itu

obyek wisata maupun perhotelan pastinya mempunyai skala yang besar dalam hal

luas wilayah dan bentuk-bentuk perizinan lain yang menjadi syarat

mengoperasionalkan sector industripariwisatatersebut.

Namun ada beberapa hal yang kurang sesuai dalam pemilihan lahan yang

digunakan dalam pembangunan tempat-tempat industri pariwisata tersebut

sekalipun aparatur yang berwenang telah meyakinkan bahwa pemberian IMB

tersebut sudah sesuai dengan aturan. Namun jika dikaji lebih dalam IMB yang

diberikan pada Jambuluwuk Resort dan Museun Satwa tidak sesuai dengan UU

Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang karena dibangun di daerah

kawasan hijau. Padahal dalam realitanya dalam Pasal 29 Ruang Terbuka Hijau

(RTH) di suatu wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Namun

dilihat dari peta Guna Lahan yang terdapat di Bappeda persentase tersebut belum

Page 77: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

77 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

terpenuhi dan bahkan semakin berkurang oleh banyaknya pembangunan

khususnya sektor industri pariwisata.

Saran dalam penulisan ini adalah bahwa dalam efektivitas pelayanan

perizinan IMB sektor industri pariwisata sebaiknya KPPT lebih memberikan

sosialisasi kepada masyarakat pemohon IMB mengenai standar minimal dalam

bentuk syarat dan prosedur yang ditetapkan pada proses pelayanan IMB. KPPT

sebagai pihak yang berwenang dalam hal perizinan sebaiknya mampu

meningkatkan perencanaan yang lebih matang dalam keputusan produk layanan

yang dikeluarkan sehingga nantinya tidak menimbulkan kontroversi dan

kesalahpahaman ditengah masyarakat.

Karena pada dasarnya keputusan yang telah dikeluarkan oleh KPPT dalam

hal perizinan adalah bersifat pasti, tanpa bisa diganggu gugat oleh pihak lain tanpa

adanya alasan yang melatarbelakangi dengan jelas. Terkecuali jika IMB yang

dikeluarkan tidak sesuai dengan UU dan Peraturan Daerah yang berlaku sebagai

pedoman dasar. KPPT sebagai pihak yang berwenang sebaiknya juga mampu

lebih mandiri dalam pengambilan keputusan. Hal ini dimaksudkan agar intervensi

dari walikota dapat diminimalisir mengingat KPPT merupakan pihak yang

berwenang dalam perizinan khusunya dalam hal IMB sektor industri pariwisata.

Daftar Pustaka

Dinullah, Arnaully. (1990) Pola Berfikir Seorang Manager. Bandung, Aksara

Baru.

Dwiyanto, Agus. (2002) Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia.

Yogyakarta,Pusat Media.

Dwiyanto, Agus. (2008). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan

Publik. Yogyakarta,Gadjah Mada University Press.

Ismail, MH.HM dkk. (2010) Menuju Pelayanan Prima. Malang: Program Sekolah

Demokrasi.

Profil KPPT Kota Batu. (2011) KPPT Kota Batu.

Santana K, Septiawan. (2007) Menulis Ilmiah Penelitian Metode Penelitian

Kualitatif. Jakarta, YayasanObor Indonesia.

Silalahi, Ulber. (2009) Metode Penelitian Sosial. Bandung,PT. Rafika Aditama.

Page 78: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

78 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

EFEKTIFITAS ALOKASI DANA DESA (ADD) DALAM

MENGENTASKAN KEMISKINAN MENURUT UNDANG-UNDANG

NO.6 TAHHUN 2014 TENTANG DESA

Isdiana Syafitri

(Universitas Amir Hamzah Medan)

Abstrak

Birokratisasi merupakan bentuk kontrol birokrasi terhadap desa dengan perangkat

pengaturan, pedoman, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis secara detail dan

ketat (rigid) sehingga malah menghilangkan makna dan tujuan besarnya.

Pendekatan ini ditempuh karena selain karakter birokrasi yang memiliki

governmentality (hasrat untuk mengatur), juga didasari oleh argumen bahwa desa

tidak mampu dan tidak siap. Berbagai program pembangunan desa, baik sektoral

maupun spasial, mengalir ke desa dengan dipimpin oleh negara (state led

development) atau government driven development. Pada awal tahun 1970-an,

negara menerapkan pembangunan desa terpadu (integrated rural development-

IRD) untuk menjawab ketertinggalan

Kata Kunci : Efektifitas, Alokasi, Mengentaskan

B. Pendahuluan

Negara menghadapi dilema dalam memperlakukan desa. Di satu sisi

negara-bangsa modern Indonesia berupaya melakukan modernisasi-integrasi-

korporatisasi terhadap entitas lokal ke dalam kontrol negara. Negara menerapkan

hukum positif untuk mengatur setiap individu dan wilayah, sekaligus memaksa

hukum adat lokal tunduk kepadanya. Di sisi lain konstitusi, UUD 1945 Pasal 18B

ayat 2, juga mengharuskan negara melakukan rekognisi (pengakuan dan

penghormatan) terhadap kesatuan masyarakat hukum adat (desa, gampong, nagari,

kampung, negeri dan lain-lain) beserta hak-hak tradisionalnya.

Sejak Orde Baru negara memilih cara modernisasi-integrasi-korporatisasi

ketimbang rekognisi (pengakuan dan penghormatan). UU No. 5/1979, UU No.

22/1999 maupun UU No. 32/2004 sama sekali tidak menguraikan dan

menegaskan asas pengakuan dan penghormatan terhadap desa atau yang disebut

nama lain, kecuali hanya mengakui daerah-daerah khusus dan istimewa. Banyak

pihak mengatakan bahwa desentralisasi hanya berhenti di kabupaten/kota, dan

kemudian desa merupakan residu kabupaten/kota. Pasal 200 ayat (1) UU No.

32/2004 menegaskan: “Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk

pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawatan

desa”. Ini berarti bahwa desa hanya direduksi menjadi pemerintahan semata, dan

desa berada dalam sistem pemerintahan kabupaten/kota. Bupati/walikota

mempunyai cek kosong untuk mengatur dan mengurus desa secara luas.

Pengaturan mengenai penyerahan sebagian urusan kabupaten/kota ke desa, secara

jelas menerapkan asas residualitas, selain tidak dibenarkan oleh teori

desentralisasi dan hukum tata negara.

Melalui regulasi itu pemerintah selama ini menciptakan desa sebagai

pemerintahan semu (pseudo government). Posisi desa tidak jelas, apakah sebagai

pemerintah atau sebagai komunitas. Kepala desa memang memperoleh mandat

Page 79: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

79 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

dari rakyat desa, dan desa memang memiliki pemerintahan, tetapi bukan

pemerintahan yang paling bawah, paling depan dan paling dekat dengan

masyarakat. Pemerintah desa adalah organisasi korporatis yang menjalankan tugas

pembantuan dari pemerintah, mulai dari tugas-tugas administratif hingga

pendataan dan pembagian beras miskin kepada warga masyarakat. Dengan

kalimat lain, desa memiliki banyak kewajiban ketimbang kewenangan, atau desa

lebih banyak menjalankan tugas-tugas dari atas ketimbang menjalankan mandat

dari rakyat desa. Karena itu pemerintah desa dan masyarakat desa bukanlah

entitas yang menyatu secara kolektif seperti kesatuan masyarakat hukum, tetapi

sebagai dua aktor yang saling berhadap-hadapan.

Birokratisasi merupakan bentuk kontrol birokrasi terhadap desa dengan

perangkat pengaturan, pedoman, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis secara

detail dan ketat (rigid) sehingga malah menghilangkan makna dan tujuan

besarnya. Pendekatan ini ditempuh karena selain karakter birokrasi yang memiliki

governmentality (hasrat untuk mengatur), juga didasari oleh argumen bahwa desa

tidak mampu dan tidak siap. Ada sejumlah bentuk birokratisasi yang masuk ke

desa: mengangkat sekdes menjadi PNS; memberikan tugas-tugas administratif

yang begitu banyak kepada desa sampai pada RT; mereduksi makna

tanggungjawab kepala desa kepada rakyat menjadi laporan pertanggungjawaban

kepala desa kepada bupati melalui camat;

B. Desa Membangun

Berbagai program pembangunan desa, baik sektoral maupun spasial,

mengalir ke desa dengan dipimpin oleh negara (state led development) atau

government driven development. Pada awal tahun 1970-an, negara menerapkan

pembangunan desa terpadu (integrated rural development-IRD) untuk menjawab

ketertinggalan, kebodohan maupun kemiskinan desa, sekaligus menciptakan

wilayah dan penduduk desa yang modern dan maju. Sebagaimana dirumuskan

oleh Bank Dunia, IRD mengambil strategi pertumbuhan dan berbasis-wilayah,

terutama wilayah desa. Program IRD secara tipikal menekankan peningkatan

produktivitas pertanian sebagai basis pendapatan orang desa, sekaligus

mengedepankan kontribusi yang terpadu (sinergis) pendidikan, kesehatan,

pelayanan sosial, pelatihan dan perbaikan infrastruktur pedesaan. Program IRD

ditempuh melalui pendekatan perencanaan terpusat (central planning) dengan

tujuan agar keterpaduan berbagai sektor dapat tercapai.

Dengan diilhami oleh IRD itu, pemerintah Orde Baru membuat cetak biru

(master plan) pembangunan nasional secara terpusat, teknokratis dan holistik,

yang dikemas dalam GBHN maupun Rencana Pembangunan Lima Tahun

(Repelita). Master plan itu selalu mengedepankan dua sisi pembangunan, yakni

sisi sektoral yang mencakup semua sektor kehidupan masyarakat dan sisi

spatial/ruang yang mencakup pembangunan nasional, daerah dan desa. Dalam

konteks ini pembangunan desa ditempatkan sebagai bagian integral dari

pembangunan nasional, ia bukan sebagai bentuk local development apalagi

sebagai indigenous development yang memperhatikan berbagai kearifan lokal.

Semua departemen, kecuali Departemen Luar Negeri, mempunyai program

pembangunan yang masuk ke desa.

Pendekatan pembangunan desa yang terpadu, berbasis wilayah pedesaan

dan dirancang secara terpusat sangat terlihat dalam pengertian pembangunan desa

Page 80: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

80 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

versi pemerintah. Departemen Dalam Negeri waktu itu merumuskan

pembangunan desa sebagai berikut:

Pembangunan Desa adalah suatu usaha pembangunan dari masyarakat

pada unit Pemerintahan yang terendah yang harus dilaksanakan dan dibina

terus-menerus, sistematis dan terarah serta sebagai bagian penting dalam usaha

yang menyeluruh. Agenda ini dibagi menjadi tujuan jangka pendek dan jangka

panjang. Tujuan Jangka Pendek: Untuk meningkatkan taraf penghidupan dan

kehidupan rakyat khususnya di desa-desa yang berarti menciptakan situasi dan

kekuatan-kekuatan dan kemampuan desa dalam suatu tingkat yang lebih kuat dan

nyata dalam pembangunan-pembangunan berikutnya. Sedangkan Tujuan Jangka

Panjang: Mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila yang

diridloi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hubungannya dengan sasaran

pembangunan masyarakat desa, ditujukan untuk menaikkan produksi yang

potensial yang dimiliki oleh desa, meningkatkan kesejahteraan dalam rangka

pembangunan ekonomi. Kegiatan dan tindakan yang lebih intensif dan terarah

daripada pembangunan masyarakat desa. Cara tersebut akan mewujudkan pula

nilai ekonomi riil yang bebas di segala penghidupan dan penentu bagi suksesnya

pembangunan nasional.

Para ilmuwan konservatif pun kemudian mengikuti garis pembangunan

yang sentralistik dan berorientasi pada pertumbuhan itu. Pembangunan Desa,

menurut para ilmuwan konservatif, adalah pembangunan yang dilaksanakan di

desa secara menyeluruh dan terpadu dengan imbalan yang serasi antara

pemerintah dan masyarakat dimana pemerintah wajib memberikan bimbingan

sedang masyarakat memberikan partisipasinya dalam bentuk swakarsa dan

swadaya gotong-royong masyarakat pada setiap tahap pembangunan yang

diinginkan (C.S.T. Kansil, 1983 dan BN Marbun, 1988).

Peranan negara sangat dominan dalam pembangunan desa. Gagasan

modernitas yang diperkenalkan pada masyarakat desa melalui mekanisme

pembangunan desa, tidak lebih hanya merupakan manifestasi kontrol negara pada

masyarakat desa. Hal ini diungkapkan secara gamblang dan konseptual oleh

Mohtar Mas'oed (1994) sebagai berikut:

Sebagai bagian dari pembangunan nasional, pembangunan masyarakat

desa (PMD) dikonseptualisasikan sebagai proses pengkonsolidasian berbagai

wilayah teritorial dan pengintegrasian kehidupan masyarakat dalam berbagai

dimensi (sosial, kultural, ekonomi maupun politik) ke dalam satu unit yang utuh.

Dalam perspektif ini, program PMD yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru

mengandung dua proses yang berjalan serentak namun kontradiktif. Pertama,

PMD merupakan proses "memasukkan desa ke dalam negara", yaitu melibatkan

masyarakat desa agar berperan serta dalam masyarakat yang lebih luas. Ini

dilakukan melalui pengenalan kelembagaan baru dalam kehidupan desa dan

penyebaran gagasan modernitas. Kedua, PMD juga berwujud "memasukkan

negara ke desa". Ini adalah proses memperluas kekuasaan dan hegemoni negara

sehingga merasuk ke dalam kehidupan masyarakat desa dan sering mengakibatkan

peningkatan ketergantungan desa terhadap negara.

Argumen itu mengandung makna bahwa pada tahap pertama pemerintah

menjanjikan warga desa untuk dilibatkan dalam pembangunan. Berbagai jenis

proyek pembangunan diperkenalkan, baik melalui mekanisme Pelita, yang

dilaksanakan berbagai instansi sektoral maupun melalui skema INPRES dan

Page 81: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

81 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Bandes, telah berfungsi sebagai penyalur berbagai sumberdaya yang dimiliki

pemerintah ke masyarakat. Sebagian besar kebijakan publik itu telah berhasil

memobilisasi penduduk desa bisa menikmati hasil-hasil pembangunan, dan yang

lebih penting lagi, bisa menerapkan hak, kewajiban dan tanggung jawab sebagai

warganegara penuh. Dengan kata lain, proses ini bisa membuka jalan menuju

partisipasi, modernisasi dan juga demokratisasi.

Namun proses di atas kurang didukung oleh proses yang kedua.

Pengalaman menunjukkan bahwa dalam praktek masyarakat desa hanya bisa

mengakses ke negara, apabila negara punya akses ke bawah. Melalui berbagai

aturan main program pembangunan desa, negara melakukan intervensi dan

menuntut monopoli pengabsahan atas lembaga-lembaga dan prosedur yang

mempengaruhi kehidupan masyarakat desa. Penetrasi ini dilakukan dengan

pembentukan lembaga-lembaga yang didominasi oleh pemerintah, seperti LKMD,

KUD, PKK, dan sebagainya. Demikian juga peranan dominan Kepala Desa yang

sebenarnya merupakan agen pemerintah pusat (negara) di desa, yang benar-benar

berhasil dalam melaksanakan program pembangunan dan sekaligus menerapkan

kebijakan massa mengambang.

Dengan demikian, pembangunan desa terpadu juga ditempuh dengan

pendekatan yang sinergis antara peran pemerintah (yang membuat perencanaan

dan pendanaan secara sentralistik) dengan swadaya (bukan partisipasi)

masyarakat. Peran pemerintah itu diwujudkan dengan menjalankan Inpres

Bantuan Desa (Bandes), kemudian disusul dengan Inpres-inpres lainnya seperti

Inpres Daerah, SD, kesehatan, jalan, reboisasi dan lain-lain. Pada tahun 1969,

bantuan desa senilai 100 ribu rupiah dan meningkat terus sampai dengan 10 juta

rupiah pada akhir-akhir hayat Orde Baru (1999), menyusul lahirnya desentralisasi

melalui UU No. 22/1999. Bantuan desa tentu bukanlah treatment terhadap

desentralisasi dan pemerintahan desa, melainkan sebagai solusi atas pembangunan

desa. Pemberian bandes pada tahap pertama (Pelita I) berdasarkan pada

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 16/1969 tertanggal 26 Februari 1969,

yang kemudian ditindaklanjuti dengan surat bersama Mendagri dan Menteri

Keuangan, serta di-update terus-menerus setuap tahun melalui Surat Menteri

Dalam Negeri, sebagai petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis pengelolaan

bantuan pembangunan desa.

Ketika Inpres Desa dilancarkan pertama kali, ada tiga argumen resmi yang

melandasinya. Pertama, kondisi desa-desa di seluruh Indonesia sebelum

dilaksanakannya Repelita sangat memprihatinkan, terutama keadaan prasarana

desa yang meliputi prasarana produksi, perhubungan, pemasaran dan sosial yang

jumlahnya sangat terbatas. Kedua, banyak masalah yang dihadapi oleh desa

terutama di desa-desa pedalaman yang sulit komunikasinya, rendahnya tingkat

pengetahuan dan keterampilan, fasilitas kesehatan dan kebersihan yang tidak

memadai, dan kelemahan dalam sosial budayanya, administrasi, rendahnya

managemen dan pengawasan. Ketiga, sejarah telah membuktikan bahwa peranan

masyarakat desa sangat besar dalam rangka mempertahankan kemerdekaan.

Potensi swadaya gotong royong masyarakat desa yang sangat besar ternyata

merupakan modal yang nyata dalam memelihara ketahanan nasional, sekaligus

potensi yang perlu dirangsang untuk mensukseskan pembangunan.

Semangat pertumbuhan dan pemerataan tercantum secara eksplisit dalam

kerangka tujuan bantuan pembangunan desa. Pertama, mendorong,

Page 82: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

82 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

menggerakkan dan meningkatkan swadaya gotong royong masyarakat dalam

pembangunan desa. Kedua, mengusahakan agar pemerintah desa dan semua

lembaga yang ada seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD),

Lembaga Musyawarah Desa (LMD), Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK)

dan lembaga-lembaga lainnya dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Ketiga,

menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan Lumbung Desa/Prekreditan

Desa dengan mendorong swadaya masyarakat, yang selanjutnya untuk

menanggulangi kerawanan pangan dan menunjang upaya pencapaian swasembada

pangan serta mengatasi kelangkaan permodalan di desa. Keempat, meningkatkan

pertumbuhan dan perkembangan usaha-usaha ekonomi pedesaan ke arah

kehidupan berkoperasi dalam rangka meningkatkan pendapatan. Kelima,

meningkatkan kemampuan dan keterampilan masyarakat agar berpikir dinamis

dan kreatif yang dapat menumbuhkan prakarsa dan swadaya masyarakat yang

pada hakekatnya merupakan usaha ekonomi masyarakat pedesaan sehingga

mampu berproduksi, mampu mengolah dan memasarkan hasil produksinya serta

dapat menciptakan dan memperluas lapangan kerja di pedesaan.

Tetapi rupanya tujuan bandesa itu berubah-ubah dari tahun ke tahun.

Sampai tahun 1980-an, tujuan penciptaan lapangan kerja di pedesaan masih sangat

ditekankan, tetapi memasuki tahun 1990-an bersamaan dengan Program IDT

(1994/1995) dan perubahan dari pembangunan desa menjadi pembangunan

masyarakat desa, tujuan penciptaan lapangan kerja itu dihilangkan. Pada tahun

1997, muncul surat Mendagri No. 412.6/1237/SJ, yang mengedepankan beberapa

tujuan bandes yang agak berbeda dengan tujuan-tujuan sebelumnya. Pertama,

mendorong, menggerakkan dan meningkatkan swadaya gotong royong serta untuk

menumbuhkan kreativitas dan otoaktivitas masyarakat dalam pembangunan desa

dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada secara optimal. Kedua,

meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia (SDM) baik aparat maupun

masyarakat desa antara lain melalui kegiatan Latihan Pengembangan

Pembangunan Desa Terpadu yang juga melatih KPD, serta memajukan dan

mengembangkan peranan wanita dalam pembangunan masyarakat desa. Ketiga,

meningkatkan fungsi dan peranan kelembagaan masyarakat di desa yang

mencakup LKMD dan LMD. Keempat, membangun, mengembangkan dan

memeratakan serta memelihara prasarana dan sarana pendukung di pedesaan.

Kelima, mengembangkan ekonomi rakyat di pedesaan lewat pengembangan usaha

ekonomi produktif dalam rangka peningkatan produksi dan pemasaran barang dan

jasa masyarakat pedesaan.

Mengapa terjadi pergeseran tujuan bandes dari 1980-an ke 1990-an?

Apakah tujuan yang digariskan pada tahun 1970-an sampai 1980-an sudah

membuahkan hasil secara optimal? Bagaimana proses, hasil dan manfaat program

bandes yang sudah berjalan selama 30 tahun (1969 sampai 1999)? Apakah waktu

30 tahun tidak cukup untuk mendobrak transformasi desa secara mendasar menuju

kesejahteraan dan kemandirian masyarakat desa?

Serangkaian pertanyaan itu mungkin terlalu besar untuk diajukan.

Bagaimanapun bandes adalah sebuah investasi pemerintah yang terlalu kecil bila

dibandingkan dengan investasi pembangunan sektoral. Lagipula investasi yang

masuk desa tidak hanya melalui pemerintah, tetapi juga melalui pemodal dengan

skema industrialisasi maupun privatisasi. Oleh karena itu, ada begitu banyak

variabel dan aktor yang sangat menentukan transformasi ekonomi-politik desa,

Page 83: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

83 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

termasuk menentukan jalan desa menuju kesejahteraan, keadilan dan kemandirian.

Jika kesejahteraan, keadilan dan kemandirian sampai sekarang belum berpihak

kepada desa, sementara pembangunan desa sudah dijalankan selama tiga

dasawarsa, berarti investasi yang ditanam oleh pemerintah dan pemodal

mengandung banyak kekeliruan, baik dari sisi perspektif, pendekatan, disain

kebijakan, maupun implementasi di lapangan. Meskipun demikian, penilaian

terhadap bandes bisa kita lakukan dengan memperhatikan aspek disain, tujuan,

manfaat, dan hasil-hasilnya.

Sampai sekarang belum ada dokumen evaluasi terhadap program Bandes

yang komprehensif, kritis dan mendalam. Pada tahun 1998, Ditjen PMD Depdagri

bekerjasama dengan sejumlah perguruan tinggi (UI, IPB, UNBRAW dan

UNHAS) melakukan penelitian evaluasi terhadap kinerja dan dampak bantuan

desa. Secara akademik banyak cerita dan data menarik yang dihasilkan oleh

penelitian itu, tetapi hal itu tidak mencerminkan sebuah evaluasi yang

komprehensif di seluruh daerah, melainkan hanya berbentuk penelitian yang

mengambil beberapa daerah sampel. Orang sering bertanya, apakah hasil riset

selalu menjadi pijakan bagi inovasi kebijakan, atau hanya menjadi dokumen

administratif proyek yang memenuhi meja kerja birokrasi dan perguruan tinggi.

Tampaknya Inpres Bandes berjalan secara rutin seperti halnya mekanisme kerja

birokrasi, dan secara berkala (karena tradisi Asal Bapak Senang yang tidak jujur)

pihak pelaksana selalu menampilkan banyak cerita sukses di tingkat desa,

terutama cerita mengenai prestasi menggalang swadaya masyarakat dan capaian

proyek prasarana fisik yang bisa dilihat secara langsung dengan mata-kepala.

Kita sering mendengar cerita sukses pembangunan desa yang dijalankan

dan disiarkan oleh pemerintah. Setiap tahun, tepatnya tanggal 16 Agustus,

Presiden selalu menyampaikan pidato kenegaraan yang berisi banyak cerita sukses

program-program pembangunan, termasuk program pembangunan desa melalui

Inpres Bandes. Meskipun ditemukan banyak kelemahan dan kegagalan, di setiap

tahun pemerintah selalu menunjukkan sederet cerita sukses program bantuan desa,

baik dari sisi manfaat dan hasilnya.

Tabel 2.1 menggambarkan volume keluaran proyek-proyek bantuan desa

yang digunakan untuk membangun berbagai prasarana: produksi (bendungan,

irigasi, waduk, bronjong, dll); perhubungan (jalan, jembatan, gorong-gorong, dll);

pemasaran (pasar, kios, lumbung, dll); sosial (gedung serba guna, lapangan,

tempat ibadah, siskamling, dll). Seperti biasa pemerintah selalu menampilkan

target-target kuantitatif yang fantastis. Pada tahun pertama (1969/70), ada

sejumlah 86.009 volume proyek yang dihasilkan, terdiri dari 38.778 volume

proyek sarana produksi; 32.344 volume sarana perhubungan; 10.083 sarana

pemasaran; dan 4.804 sarana sosial. Kalau jumlah desa pada tahun itu sebesar

44.478, berarti volume 4 (empat) jenis proyek itu belum menjangkau secara

merata ke seluruh desa. Lonjakan volume proyek terjadi pada tahun 1982/83,

yakni sejumlah 232.921 proyek. Angka ini barangkali sudah mampu menjangkau

secara merata ke seluruh desa yang jumlahnya 64.650. Tetapi data yang pasti

belum jelas, apakah setiap proyek mampu menjangkau ke setiap desa. Yang juga

perlu dicermati, ternyata memasuki dekade 1980-an, sebagian besar proyek Inpres

Page 84: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

84 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Desa dilarikan ke pembangunan atau peningkatan prasarana sosial (gedung serba

guna, tempat ibadah dan poskamling), sementara proyek-proyek untuk pendukung

peningkatan ekonomi produktif (prasarana produksi dan pemasaran) cenderung

berkurang. Sejak 1986/87, sebagian dana bandes dialokasikan untuk mendukung

sarana ekonomi seperti pengembangan simpan pinjam, dana bergulir dan koperasi.

Semua ini merupakan bentuk “katup pengaman” di tingkat lokal dan pemerataan

akses penduduk terhadap modal kecil

C. Alokasi Dana Desa

Negara memberikan kewenangan kepada setiap desa dalam melestarikan

adat dan tradisi serta budaya masyarakat desa. Selain itu, desa juga diberikan

kewenangan dalam pembangunan serta berpartisipasi dalam menggali potensi

desa dengan mendorong pemerintahan desa yang profesional, efisien dan efektif.

Pemerintahan desa juga diharapkan dapat lebih terbuka serta bertanggung

jawab dalam melaksanakan kegiatan di desa dengan tujuan memberikan

pelayanan prima kepada masyarakat yang akhirnya memberikan kesejahteraan

bersama dan menempatkan desa sebagai subjek pembangunan.

Guna memastikan pemanfaatan dana desa agar tepat sasaran, Presiden

Jokowi dalam sebuah kesempatan mengingatkan bahwa dana desa 2016 yang

sudah dianggarkan sebesar Rp47 triliun agar diserap seluruhnya di desa-desa dan

sedapat mungkin dipergunakan untuk memberdayakan masyarakat desa.

“Dana desa harus digunakan untuk keperluan padat karya. Barangnya

dibeli di desa, tidak ke kota. Uang harus terus beredar di desa. Kalau pun dana

tersebut digunakan untuk membeli barang yang benar-benar dibutuhkan namun

hanya bisa ditemui di kota, maka penggunaan uang itu tidak berlebihan,” ujar

Presiden Jokowi.

Untuk itu, Presiden menginstruksikan semua kepala daerah dari level

gubernur, bupati, wali kota, hingga kepala desa agar bekerja sama dengan

lembaga jasa keuangan. Tujuannya, agar dana desa digunakan untuk membiayai

proyek infastruktur padat karya, seperti irigasi, jalan desa dan penyediaan fasilitas

air bersih, dengan menyerap material bahan bangunan lokal, serta menggunakan

kontraktor daerah.

Namun, pengusaha daerah itu juga perlu mendapat dukungan permodalan

dari perbankan. “Saya meyakini peredaran uang yang ada di daerah akan semakin

baik. Jangan sampai uang yang sudah ditransfer ke daerah dari APBN, di sananya

dua hari, balik lagi ke Jakarta. Kasihan daerah,” kata Kepala Negara.

Fokus Infrastruktur Instruksi Presiden agar pemanfaatan dana desa benar-

benar dipergunakan untuk program pembangunan infrastruktur padat karya yang

dapat menggerakkan ekonomi desa itu disambut baik berbagai kalangan terutama

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Menteri Desa

PDTT) Marwan Jafar.

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi

(DPDTT) telah meminta para kepala desa agar dana desa 2016 difokuskan pada

pembangunan infrastruktur desa.

Pembangunan infrastruktur desa akan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat

desa, sebab pembangunan infrastruktur akan memberdayakan sumber daya

manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) masing-masing desa.

Page 85: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

85 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Marwan mendorong agar dana desa segera dipakai dengan menjalankan

program padat karya, terutama dengan membangun infrastruktur maupun

program-program berbasis potensi lokal desa.

“Saya tidak henti-hentinya mengajak para kepala desa dan semua elemen

masyarakat desa untuk segera memakai dana desa dengan program padat karya,

terutama dengan membangun infrastruktur desa. Juga membuat Badan Usaha

Milik Desa (BUMDesa) agar potensi ekonomi desa tergarap maksimal. Jangan

ragu-ragu apalagi takut memakai dana desa,” ujar Menteri Marwan.

Marwan mencontohkan program padat karya tersebut misalnya dengan

membangun infrastruktur desa yang memanfaatkan tenaga lokal desa,

menggunakan bahan-bahan baku dari desa, sehingga manfaat dana desa pun bisa

dirasakan semua masyarakat di desa tersebut.

“Dana desa adalah amanat undang-undang Desa dan telah menjadi

komitmen pemerintah Jokowi-JK meningkatkan jumlah dana desa. Sekarang

tinggal bagaimana masyarakat bisa melakukan inovasi-inovasi dengan

memanfaatkan dana desa sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat,”

ujarnya.

Oleh karena itu, Marwan mengingatkan agar semua aparat dan masyarakat

desa bekerja cepat menggunakan dana desa dengan basis potensi lokal sehingga

seluruh dana desa itu akan terserap dan tidak dikembalikan ke pusat. Pemerintah

sangat berharap dana desa dapat berputar di desa sehingga mampu menghidupkan

perekonomian desa.

Jika ekonomi desa bergerak positif, maka tentunya akan mampu

mendongkrak perekonomian nasional sekaligus membantu mengentaskan

kemiskinan warga di wilayah pedesaan. Marwan Jafar yang merupakan Menteri

Desa pertama sejak Indonesia merdeka ini menambahkan, proses dan prosedur

dana desa tidak perlu dibuat rumit.

Jika sudah masuk ke rekening desa, maka dapat langsung digunakan untuk

membangun infrastruktur pedesaan.“Bagi desa yang jalannya rusak maka bangun

jalan desa. Jika saluran irigasinya tidak ada, langsung buat saluran irigasi dengan

dana desa,” katanya.

Melalui Peraturan Kementerian Keuangan nomor 93/PMK.07/2015

tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan, dan

Evaluasi Dana Desa, pemerintah pun berupaya agar mekanisme penggunaan dana

desa dibuat sesederhana mungkin sehingga masyarakat tidak kesulitan menerima

maupun menggunakannya.

Template penggunaan dana desa sudah disampaikan ke semua daerah agar

disosialisasikan ke desa-desa. “Cukup dua lembar kertas berisi rencana program

desa, kemudian buat dua lembar kertas berisi realisasi penggunaan dana desa

sebagai laporan. Enggak usah dibuat ribet yang malah menghambat

pembangunan. Dana desa ini hak desa dan jangan sampai mengendap dan kembali

ke pusat,” kata Menteri Marwan.

Meski demikian, memang tidak mudah merealisaskan penggunaan dana

desa agar fokus pada pembangunan infrastruktur saja.Pasalnya, banyak desa yang

telah memiliki program sendiri, misalnya ada desa yang mengajukan untuk

menjadi pusat kebudayaan desa atau membangun perkebunan desa, dan lain-lain.

Namun di sisi lain, program pemberian dana desa sangat diharapkan turut

membantu pengentasan kemiskinan di Tanah Air, karena berdasarkan data Badan

Page 86: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

86 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Pusat Statistik (BPS), pedesaan masih menjadi “rumah” bagi penduduk miskin

Indonesia.

Menggerakkan Perekonomian Tahun ini setiap desa di Tanah Air akan

menerima setidaknya dana segar sebesar Rp800 juta, atau meningkat dari nilai

dana desa pada tahun sebelumnya sebesar Rp250 juta–Rp280 juta. Dana desa

merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Desa sebelumnya kurang diperhatikan, mulai mendapatkan perhatian dari

pemerintah pusat dengan pengalokasian dana desa.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi

(Mendes PDTT) Marwan Jafar mengatakan bahwa prioritas penggunaan dana

desa adalah untuk infrastruktur di desa tersebut. “Dana desa diprioritaskan untuk

program-program infrastruktur, dengan para pekerja dari desa setempat, bahan

bangunan juga dari desa setempat. Dengan demikian, fokus kita agar dana desa

tersebut berputar di desa,” kata Marwan di Jakarta, akhir pekan lalu.

Marwan menjelaskan bahwa penggunaan dana desa untuk infrastruktur

berdasarkan pada keputusan Presiden RI Joko Widodo yang harus dipatuhi oleh

kementerian. Infrastruktur yang dimaksud adalah penunjang pembangunan desa,

seperti halnya jalan, irigasi, dan fasilitas air bersih.

Dengan program infrastruktur, menurut dia, bisa menciptakan lapangan

pekerjaan, juga merespons pertumbuhan ekonomi. Dengan program infrastruktur

pula, keberadaan lalu lintas barang dan jasa di desa itu bergerak.

Kepala desa, perangkat desa, dan semua masyarakat desa agar

mengoptimalkan penyerapan dana desa dengan program padat karya, misalnya

dengan membangun infrastruktur desa yang memanfaatkan tenaga lokal desa,

menggunakan bahan-bahan baku dari desa, dan manfaatnya pun harus bisa

dirasakan semua masyarakat desa.

“Saya tidak akan bosan mengajak para kades dan semua masyarakat desa

untuk segera memakai dana desa dengan program padat karya, terutama dengan

membangun infrastruktur desa,” katanya. Selain itu, juga membuat Badan Usaha

Milik Desa (BUMDesa) agar potensi ekonomi desa tergarap maksimal.

Ia menekankan, “Jangan ragu-ragu, apalagi takut memakai dana desa.”

Desa Huntu Barat, Bone Bolango, Gorontalo, misalnya, yang sukses penggunaan

dana desa dengan program padat karya. Dana desa yang telah disalurkan langsung

dipakai membuat Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) perikanan air tawar yang

memberi manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat. Dana desa pun langsung

membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Huntu Barat.

“Penyerapan dana desa di Huntu Barat sangat cepat dan sudah 100 persen.

Hasilnya terlihat dengan terbangunnya kolam-kolam perikanan air tawar yang

langsung memberi pemasukan bagi masyarakat desa. Ini menjadi contoh bagus

bagi desa-desa lainnya,” kata Marwan.

Jika semua desa bekerja cepat menggunakan dana desa, lanjut Menteri

Marwan, secara otomatis dana desa akan terserap sehingga tidak kembali ke pusat.

Dana desa akan berputar di desa dan dapat menghidupkan perekonomian lokal

desa. Jika ekonomi desa bergerak positif, akan mendongkrak perekonomian

nasional.

Politikus PKB itu mengakui bahwa penggunaan dana desa untuk

infrastruktur dapat menimbulkan keresahan di berbagai desa. Pasalnya, kebutuhan

yang diajukan oleh masing-masing desa tidak semata-mata infrastruktur.

Page 87: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

87 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

“Contohnya di Sumatera Barat, ada yang mengajukan untuk menjadi pusat

kebudayaan desa. Lalu, di Jawa Barat, ada yang mengajukan untuk perkebunan.

Ini tidak boleh karena harus dialokasikan untuk infrastruktur,” katanya.

Ketua Forum Pengembangan Pembaruan Desa Farid Adi Rahman meminta

pemerintah tidak ikut campur dalam menentukan prioritas penggunaan dana desa

karena setiap desa memiliki kebutuhan yang berbeda.

“Kalau di Papua dan Sumatra, mungkin kebutuhannya di bidang

infrastruktur, tetapi di desa-desa yang ada di Jawa kebutuhannya bukan pada

infrastruktur lagi karena infrastruktur sudah memadai,” kata Farid.

Desa yang ada di Yogyakarta, misalnya, kebutuhan utamanya adalah

modal, badan usaha milik desa, pasar hingga pelatihan sumber daya manusia.

“Jadi, kebutuhannya bukan pada infrastruktur lagi, melainkan lebih pada

kebutuhan pelatihan untuk pariwisata dan lainnya,” ucap Farid.

D. Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Desa

Bagian ini memaparkan beberapa hal mendasar berkenaan dengan

Pengelolaan Keuangan Desa, yang perlu dipahami secara benar mencakup: 1)

Pengertian istilah. 2) Dasar Hukum. 3) Sumber-sumber keuangan desa dan

mekanisme penyalurannya; 4) Asas-Asas Pengelolaan Keuangan Desa. 5)

Tahapan kegiatan Pengelolaan Keuangan Desa, dan 6) Keterlibatan Masyarakat

dalam Pengelolaan Keuangan Desa.

1. Pengertian

Sudahkah kita memiliki pemahaman yang benar tentang pengertian Keuangan

Desa, dan Pengelolaan Keuangan? Berikut adalah pengertian/difinisi

berdasarkan Permendagri No. 113 Tahun 2014:

Keuangan Desa

Semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala

sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan

kewajiban Desa.

Pengelolaan Keuangan

Seluruh rangkaian kegiatan yang dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan,

penatausahaan, pelaporan hingga pertanggungjawaban yang dilaksanakan dalam

satu tahun anggaran, terhitung mulai 1 Januari sampai dengan 31 Desember.

Page 88: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

88 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

2. Kerangka Hukum Keuangan Desa

Semua uang yang dipergunakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan desa adalah uang Negara yang harus dikelola berdasar pada hukum

atau peraturan yang berlaku, khususnya:

Kerangka Hukum Keuangan Desa

UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa

a. PP No. 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014

tentang Desa.

b. PP No. 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN yang

telah diubah menjadi PP No. 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa Yang

Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara

a. Permendagri No. 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa.

b. PMK No. 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran,

Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa

c. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

No. 5 tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun

2015 (diperbaharui tiap tahun)

Selain itu, beberapa peraturan lain yang terkait juga perlu difahami oleh pengelola

keuangan desa, antara lain:

a. UU No. 14 tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik

b. Peraturan yang diterbitkan oleh Menteri Desa.

c. Permendagri No. 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.

Ketentuan-ketentuan pokok tentang Keuangan Desa dalam UU No. 6 Tahun 2014

tercantum pada Pasal 71 – 75 yang mencakup: Pengertian keuangan desa, Jenis

dan sumber-sumber Pendapatan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa

(APB Desaa), Belanja Desa, dan Kepala Desa sebagai pemegang kekuasaan

Pengelolaan Keuangan Desa. Kemudian dijabarkan lebih rinci dalam PP No. 43

Tahun 2014, sebagaimana termuat pada Pasal 80 (Penghasilan Pemerintah Desa),

dan Pasal 90 – 106. Khusus mengenai Dana Desa diatur oleh PP No. 60 Tahun

2014 Tentang Dana Desa yang bersumber dari APBN yang telah diubah menjadi

PP No. 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 60

Tahun 2014 Tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan

Belanja Negara.

Ketentuan pokok dimaksud selanjutnya dijabarkan secara detil/teknis dalam

Permendagri No. 113 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa dan

PMK No. 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara Pengalokasian, Penyaluran,

Page 89: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

89 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa . Mengenai prioritas

belanja desa diatur oleh Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal

dan Transmigrasi No. 5 tahun 2015 tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana

Desa Tahun 2015 yang akan diperbaharui tiap tahun. Dengan demikian, pengelola

keuangan desa wajib merujuk pada tiga peraturan menteri di atas agar terhindar

dari kekeliruan.

3. Sumber Keuangan Desa

Pendapatan Desa meliputi semua penerimaan uang melalui rekening desa yang

merupakan hak desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak perlu dibayar

kembali oleh desa. Menurut UU Desa, pasal 72 ayat (1) pendapatan desa

bersumber dari:

a. Pendapatan asli Desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya dan

partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli Desa;

b. Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

c. Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;

d. Alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang

diterima Kabupaten/Kota;

e. Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi

dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota;

f. Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; dan

g. Lain-lain pendapatan Desa yang sah.

Pendapatan Asli Desa adalah pendapatan yang berasal dari kewenangan

Desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan skala lokal Desa. Yang dimaksud

dengan “hasil usaha” termasuk juga termasuk hasil BUM Desa dan tanah

bengkok.

Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (huruf b) bersumber dari

Belanja Pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis Desa secara merata

dan berkeadilan. Anggaran bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara tersebut adalah anggaran yang diperuntukkan bagi Desa dan Desa Adat

yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Kabupaten/Kota yang digunakan untuk membiayai penyelenggaran pemerintahan,

pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. Besaran

alokasi anggaran yang peruntukannya langsung ke Desa ditentukan 10% (sepuluh

perseratus) dari dan di luar dana Transfer Daerah (on top) secara bertahap.

Sumber pendapatan desa dari APBN yang disebut Dana Desa diperoleh

secara bertahap. „Bertahap‟ menurut PP 22/2015 memiliki dua arti:

a. Merujuk pada „besaran dana‟ yang akan diterima oleh desa. Komitmen

pemerintah untuk alokasi DD adalah 10% dari dana transfer. Tetapi

pemerintah tidak langsung memberikan 10% dana tersebut melainkan

tergantung pada kemampuan keuangan nasional –di satu sisi- dan

kemampuan desa dalam mengelola keuangan desa. Tahap alokasi DD diatur

dalam dalam PP 22/2015 , yaitu 3% pada tahun 2015, 6% pada tahun 2016

dan 10% pada tahun 2017 .

Page 90: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

90 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

b. Merujuk pada „tata cara penyaluran‟ yaitu dilakukan dalam 3 tahap.

Pencarian DD dakan dilakukan pada 1) bulan April 40 %, 2) bulan agustus

40% dan 3) bulan Oktober 20 % dari total Dana Desa.

Bagian hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota paling

sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari pajak dan retribusi daerah. Alokasi dana

Desa paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari dana perimbangan yang

diterima Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah

dikurangi Dana Alokasi Khusus. Bagi Kabupaten/Kota yang tidak memberikan

alokasi dana Desa, Pemerintah dapat melakukan penundaan dan/atau pemotongan

sebesar alokasi dana perimbangan setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus yang

seharusnya disalurkan ke Desa. Pentahapan dalam arti tata cara penyaluran untuk

ADD dan bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota

diatur dalam peraturan bupati/walikota dengan berpedoman pada Peraturan

Menteri (lihat PP 43/2014 pasal 99 ayat (2).

Besar dan tata cara penyaluran bantuan keuangan yang bersumber dari

anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi atau anggaran pendapatan dan

belanja daerah kabupaten/kota ke Desa dilakukan oleh pemerintah

provinsi/kabupaten/kota ke desa sesuai dengan ketersediaan dana dan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Dalam konteks penatausahaan, menurut Permendagri 113/2014, pendapatan

desa dibagi menjadi 3 kelompok yaitu: pendapatan asli desa, transfer dan

pendapatan lain-lain. Pendapatan asli desa (point a) adalah pungutan dan/atau

pendapatan yang dimasukan ke rekening desa. Pendapatan desa yang bersumber

dari pemerintah (baik pusat maupun kabupaten) yaitu huruf b sd f diperoleh

melalui transfer antar rekening yaitu dari rekening kabupaten atau provinsi ke ke

rekening kas desa. Sedangkan pendapatan lain-lain adalah pendapatan yang

bersumber dari hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga dan

lain-lain pendapatan desa yang sah (hurup g dan h). Keseluruhan pendapatan desa

akhirnya harus tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB

Desa).

Sumber-sumber Pendapatan Desa adalah Hak Desa

Perlu diketahui oleh desa bahwa pendapatan desa yang bersumber dari: 1) alokasi

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; 2) bagian dari hasil pajak daerah dan

retribusi daerah Kabupaten/Kota;

Dan 3) alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang

diterima Kabupaten/Kota; adalah hak desa. Dengan kata lain dari sisi negara dan

pemerintah daerah, ketiga jenis belanja tersebut adalah „belanja wajib‟ yang harus

dialokasikan ke desa. Sebagai hak, maka desa harus mengetahui dan menuntut

besaran alokasi dari belanja wajib sesuai dengan formula perhitungan dan

Page 91: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

91 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

mekanisme penyaluran.

Desa dapat mengetahui besar dana yang akan diperoleh melalui transfer dari

pemerintah dan pemerintah daerah. Desa mengetahui dana yang bersumber dari

Dana Desa setelah Pemerintah menetapkan APBN. Sedangkan dana yang

bersumber dari ADD dan bagi hasil pajak daerah setelah Pemerintah Daerah

menetapkan APBD. Secara teknis, di tingkat pusat alokasi DD di bawah Dirjen

Perimbangan Keuangan Kementrian Keuangan (DJPK) dan Alokasi Dana Desa di

bawah Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. DJPK akan

menginformasikan total transfer DD ke kabupaten dan kabupaten

menginformasikan total DD dan ADD ke setiap desa. Karena itu, informasi yang

paling valid mengenai jumlah DD dan ADD yang akan diterima oleh tiap desa

adalah informasi yang bersumber dari Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa

di tiap kabupaten.

4. Formula dan Penyaluran DD, ADD dan Bagian dari Hasil Pajak dan

Retribusi Kabupaten/Kota kepada Desa

Formula untuk menghitung besaran dan mekanisme penyaluran dana desa diatur

oleh PP No. 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor

60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negaradan PMK No. 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara

Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa.

Sesuai dengan pasal 6 PMK, dalam melaksanakan penghitungan Dana Desa setiap

Desa, Pemerintah Kabupaten/Kota mengacu pada ketentuan sebagai berikut :

1. Sumber Dana Desa yang digunakan dalam penghitungan Dana Desa

setiapDesa berasal dari rincian Dana Desa setiapkabupaten/kota sebagaimana

ditetapkan dalam Peraturan Presiden tentang Rincian APBN/APBN-P.

2. Dana Desa setiap Desa dihitung berdasarkan:

a. Alokasi Dasar, yang merupakan alokasi yang dibagi secara merata kepada

setiap Desa sebesar 90% (sembilan puluh per seratus) dari Dana Desa

setiap kabupaten/kota; dan

b. alokasi yang dihitung dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka

kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis setiap Desa

(yang selanjutnya dalam pedoman ini disebut “Bagian Formula”), dengan

bobot sebagai berikut :

25% (dua puluh lima perseratus) untuk jumlah penduduk;

35% (tiga puluh lima perseratus) untuk jumlah penduduk miskin;

10% (sepuluh perseratus) untuk luas wilayah; dan

30% (tiga puluh perseratus) untuk tingkat kesulitan geografis.

3. Ketentuan terkait rumus/formulasi yang digunakan dalam perhitungan

sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan ini, yaitu :

Page 92: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

92 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Formula Penyaluran Dana Desa dari Kabupaten ke Desa

Dana Desa setiap Desa = (Dana Desa kabupaten/kota – Alokasi Dasar) x [(25%

x rasio jumlah penduduk setiap Desa terhadap total penduduk Desa

kabupaten/kota yang bersangkutan) + (35% x rasio jumlah penduduk miskin

Desa setiap terhadap total penduduk miskin Desa kabupaten/kota yang

bersangkutan) + (10% x rasio luas wilayah Desa setiap terhadap luas wilayah

Desa kabupaten/kota yang bersangkutan) + (30% x rasio IKG setiap Desa

terhadap total IKG Desa kabupaten/kota yang bersangkutan)].

Sedangkan formula untuk ADD dan bagian dari hasil pajak dan retribusi

daerah kabupaten/kota kepada Desa diatur oleh PP 43 tahun 2014 pasal 96 dan

pasal 97. Berdasarkan pasal 96 PP 43 tahun 2014, pengalokasian ADD

mempertimbangkan:

a. kebutuhan penghasilan tetap kepala Desa dan perangkat Desa; dan

b. jumlah penduduk Desa, angka kemiskinan Desa, luas wilayah Desa, dan

tingkat kesulitan geografis Desa.

Pengalokasian ADD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

dengan peraturan bupati/walikota. Ketentuan mengenai tata cara pengalokasian

ADD diatur dengan peraturan bupati/walikota.

Berdasarkan pasal Pasal 97, Pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan

bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota kepada Desa paling

sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari realisasi penerimaan hasil pajak dan

retribusi daerah kabupaten/kota.Pengalokasian bagian dari hasil pajak dan

retribusi daerah dilakukan berdasarkan ketentuan:

a. 60% (enam puluh perseratus) dibagi secara merata kepada seluruh Desa; dan

b. 40% (empat puluh perseratus) dibagi secara proporsional realisasi

penerimaan hasil pajak dan retribusi dari Desa masing-masing.

Pengalokasian bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah kabupaten/kota

kepada Desa ditetapkan dengan peraturan bupati/walikota. Ketentuan mengenai

tata cara pengalokasian bagian dari hasil pajak dan retribusi daerah

kabupaten/kota kepada Desa diatur dengan peraturan bupati/walikota.

Berdasarkan PP No. 22/2015 (pengganti PP No. 60/2014), Dana Desa hanya

dapat disalurkan jika Kabupaten/kota dan Desa telah memenuhi persyaratan. Di

tingkat Kabupaten/kota syarat yang harus ada adalah: 1) peraturan bupati/walikota

tentang tata cara pembagian dan penetapan besaran Dana Desa untuk tiap desa, 2)

peraturan daerah mengenai APBD tahun berjalan dan 3) laporan realisasi Dana

Desa tahun anggaran sebelumnya karena tahun 2015 adalah tahun pertama

penyaluran Dana Desa maka syarat 3) tidak diperlukan. Persyaratan tersebut harus

disampaikan oleh Kabupaten ke DJPK sebelum pencairan pertama.

Di tingkat Desa syarat yang harus ada adalah: 1) APB Desa yang telah

ditetapkan melalui peraturan desa dan 2) laporan realisasi pengggunaan Dana

Desa semester sebelumnya. Desa juga diwajibkan telah mempunyai rekening kas

desa di Bank karena DD, ADD dan Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah akan

diperoleh oleh desa melalui pemindahan atar rekening dari rekening Bendahara

Umum Daerah (BUD) ke Rekening Kas Desa. Tabel berikut menunjukkan

Page 93: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

93 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

kewajiban pemerintah pusat, kabupaten/kota dan desa berakiatan dengan Dana

Desa.

Daftar Pustaka

Anom Surya Putra, 2015. Buku 7Badan Usaha Milik Desa: Spirit Usaha Kolektif

Desa.Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan

Transmigrasi Republik Indonesia.

Bappenas, 2011 (Edisi III), Perkembangan Perdagangan dan Investasi, Jakarta.

Bertens, K. 2000. Etika. Seri Filsafat Atma Jaya: 15. Jakarta: Penerbit PT

Gramedia Pustaka Utama.

Borni Kurniawan, 2015. Buku 5Desa Mandiri Desa, Desa Membangun.Jakarta:

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

Republik Indonesia.

Denhardt, Kathryn G. 1988. The ethics of Public Service. Westport, Connecticut:

Greenwood Press.

Didin Abdullah Ghozali, 2015. Buku 4Penggerak Prakarsa Masyarakat

Desa.Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan

Transmigrasi Republik Indonesia.

Dwiyanto, Agus dkk., 2003, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah,

Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Idham Arsyad, 2015. Buku 9Membangun Jaringan Sosial dan Kemitraan.Jakarta:

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

Republik Indonesia.

Kartasasmita, Ginandjar, 2004, Administrasi Pembangunan, Jakarta: LP3ES.

Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 050-187/Kep/Bangda/2007 tentang

Pedoman Penilaian dan Evaluasi Pelaksanaan Penyelenggaraan

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang). Jakarta:

Departemen Dalam Negeri.

M. Silahuddin, 2015. Buku 1: Kewenangan Desa dan Regulasi Desa. Jakarta:

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

Republik Indonesia.

Mochammad Zaini Mustakim, 2015. Buku 2 Kepemimpinan Desa.Jakarta:

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

Republik Indonesia.

Naeni Amanulloh, 2015. Buku 3Demokrasi Desa.Jakarta: Kementerian Desa,

Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia.

Page 94: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

94 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Nyoman Oka 2009, Perencanaan Pembangunan Desa: Seri Panduan Fasilitator

CLAPP (Community Learning And Action Participatory Process), MITRA

SAMYA dengan dukungan AusAID ACCESS.

Osborne, David dan Ted Gaebler, 1996, Mewirausahakan Birokrasi, Jakarta:

Pustaka Binaman Pressindo.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 54/2010 tentang Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan,

Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan. Jakarta:

Direktur jenderl Bina Pembangunan Deerah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 123,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5539).

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis

Peraturan Di Desa, Jakarta;

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 112 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala

Desa, Jakarta;

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan

Keuangan Desa, Jakarta;

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 114 Tahun 2014 tentang Pedoman

Pembangunan Desa, Jakarta;

Said, Mas‟ud, 2007, Birokrasi di Negara Birokratis, Malang: UMM Press.

Sutoro Eko, 2015. Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi dan Semangat UU

Desa.Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan

Transmigrasi Republik Indonesia.

Syarief, Reza M. 2002. Mengembangkan Inovasi dan Kreativitas Berpikir : pada

Diri dan Organisasi Anda.Bandung : Asy Syamiamil Cipta Media.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004

Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4421);

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5495);

Wahyuddin Kessa, 2015. Buku 6Perencanaan Pembangunan Desa.Jakarta:

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

Republik Indonesia.

Page 95: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

95 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

ANALISIS IMPLEMENTASI PENGAMPUNAN PAJAK (TAX

AMNESTY) DI INDONESI

Atika Sandra Dewi

(Dosen Fakultas Hukum Universitas Amir Hamzah Medan)

Abstrak

Pendapatan negara dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan,

namun demikian peluang untuk terus ditingkatkan di masa yang akan datang

terbuka lebar karena potensinya belum digali secara optimal. Untuk menggali

penerimaan negara dari sektor perpajakan dibutuhkan upaya-upaya nyata, serta

diimplementasikan dalam bentuk kebijakan pemerintah. Upaya-upaya tersebut

dapat berupa intensifikasi maupun ekstensifikasi perpajakan. Intensifikasi pajak

dapat berupa peningkatan jumlah Wajib Pajak (WP) maupun peningkatan

penerimaan pajak itu snediri. Upaya ekstensifikasi dapat berupa perluasan objek

pajak yang selama in belum tergarap. Untuk mengejar penerimaan pajak, perlu

didukung situasi sosial ekonomi politik yang stabil, sehingga masyarakat juga bisa

dengan sukarela membayar pajaknya.

Kata Kunci : Analisis, Implementasi, Amnesti

PENDAHULUAN

Pembangunan nasional yang berlangsung secara terus-menerus dan

berkesinambungan selama ini, bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat baik

materiil dan spiritual. Untuk merealisasikan tujuan tersebut diperlukan anggaran

pembangunan yang cukup besar. Salah satu usaha untuk mewujudkan peningkatan

penerimaan untuk pembangunan tersebut adalah dengan menggali sumber dana

yang berasal dari dalam negeri, yaitu pajak. Secara ekonomi, pemungutan pajak

merupakan penerimaan negara yang digunakan untuk meningkatkan taraf

kehidupan masyarakat. (Mulyo Agung, 2007).

Taraf hidup masyarakat akan meningkat diperlukan anggaran yang selalu

meningkat pula. Hal ini dapat dilihat dari besarnya anggaran pemerintah Indonesia

untuk tahun 2011. Belanja Negara dalam APBN 2011 sebesar Rp 1.229,6 Triliun

meningkat dari tahun 2010 yang hanya sebesar Rp 1.126 Triliun. Sedangkan

tahun 2012 Belanja Negara dalam APBN dianggarkan sebesar Rp 1.435,4 triliun.

Sekarang ini pajak merupakan sumber penerimaan yang dominan dalam struktur

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Hampir 70 persen penerimaan berasal dari sektor pajak. Pemerintah

menargetkan penerimaan pajak 2011 sebesar 708,9 triliun rupiah atau 64,15

persen dari seluruh penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan Belanja

Negara (ABPN) 2011. Sedangkan untuk tahun 2012 penerimaan pajak ditargetkan

sebesar Rp Rp1.032,6 triliun.

Pendapatan negara dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan,

namun demikian peluang untuk terus ditingkatkan di masa yang akan datang

terbuka lebar karena potensinya belum digali secara optimal. Untuk menggali

Page 96: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

96 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

penerimaan negara dari sektor perpajakan dibutuhkan upaya-upaya nyata, serta

diimplementasikan dalam bentuk kebijakan pemerintah.

Upaya-upaya tersebut dapat berupa intensifikasi maupun ekstensifikasi

perpajakan. Intensifikasi pajak dapat berupa peningkatan jumlah Wajib Pajak

(WP) maupun peningkatan penerimaan pajak itu snediri. Upaya ekstensifikasi

dapat berupa perluasan objek pajak yang selama in belum tergarap. Untuk

mengejar penerimaan pajak, perlu didukung situasi sosial ekonomi politik yang

stabil, sehingga masyarakat juga bisa dengan sukarela membayar pajaknya.

Pemerintah tentu diharapkan dapat mempertimbangkan kembali kebijakan

perpajakan yang bisa menarik minat masyarakat menjadi wajib pajak seperti

sunset policy. Demikian juga, salah satu kebijakan yang perlu dipertimbangkan

adalah diberikannya tax amnesty atau pengampunan pajak. Kebijakan ini

diharapkan dapat meningkatkan subyek pajak maupun obyek pajak. Subyek pajak

dapat berupa kembalinya dana-dana yang berada di luar negeri, sedangkan dari

sisi obyek pajak berupa penambahan jumlah wajib pajak.

Indonesia pernah menerapkan amnesti pajak pada 1984. Namun

pelaksanaannya tidak efektif karena wajib pajak kurang merespons dan tidak

diikuti dengan reformasi sistem administrasi perpajakan secara menyeluruh.2

Disamping itu peranan sektor pajak dalam sistem APBN masih berfungsi sebagai

pelengkap saja sehingga pemerintah tidak mengupayakan lebih serius.

Pada saat itu penerimaan negara banyak didominasi dari sektor ekspor

minyak dan gas bumi. Berbeda dengan sekarang, penerimaan pajak merupakan

sumber penerimaan dominan dalam struktur APBN Pemerintah Indonesia. Saat

ini, sebagai bentuk reformasi perpajakan salah satu agendanya adalah menerapkan

Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty Bila kita melihat saat diterapkannya

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 sebagai perubahan UU No.6 Tahun 1983

tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) diundangkan,

banyak yang memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut terutama dalam pasal

37A dimana kebijakan ini merupakan versi mini dari program pengampunan pajak

yang banyak diminta kalangan usaha. Meskipun belum mampu memuaskan

semua pihak tetapi kebijakan yang lebih dikenal dengan nama Sunset Policy ini

telah menimbulkan kelegaan bagi banyak pihak 3 Dalam pelaksanaannya,

implementasi perpajakan di Indonesia masih mempunyai beberapa permasalahan.

Pertama, kepatuhan wajib pajak masih rendah. Kedua, kekuasaan

Direktorat Jenderal Pajak masih terlalu besar karena mencakup fungsi eksekutif,

legislatif, dan yudikatif sekaligus sehingga menimbulkan ketidakadilan dalam

melayani hak wajib pajak yang berefek turunnya tingkat kepatuhan wajib pajak.

Ketiga, masih rendahnya kepercayaan kepada aparat pajak dan berbelitnya aturan

perpajakan.

B. Makna dan Fungsi Pajak

Page 97: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

97 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Pemerintah akan memberlakukan pajak 2-5 persen untuk aset-aset yang

direpatriasi pada Maret 2017. Pemerintah mulai memberlakukan program amnesti

pajak hari Senin (18/7) di tengah upaya untuk mendongkrak penerimaan pajak

dengan mendorong repatriasi dana yang disimpan di luar negeri.

"Mulai hari ini, kantor pajak telah memulai operasi-operasi untuk

melayani mereka yang ingin berpartisipasi dalam program amnesti ini," ujar

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro kepada wartawan dalam sebuah acara

di Jakarta, Senin.

Para pejabat Kementerian Keuangan mengadakan konferensi pers Senin

sore untuk mengumumkan rincian program tersebut. Pemerintah akan

memberlakukan pajak 2-5 persen untuk aset-aset yang direpatriasi pada Maret

2017. Aset-aset itu harus disimpan di Indonesia selama tiga tahun dalam bentuk

dana-dana yang dikelola bank-bank yang telah ditunjuk, dan dapat diinvestasikan

dalam beberapa cara, termasuk obligasi pemerintah.

Dana-dana hasil repatriasi diizinkan untuk ditanamkan dalam instrumen-

instrumen seperti sekuritas, saham, obligasi dan reksadana, serta pembelian

langsung properti. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko di

Kementerian Keuangan, Robert Pakpahan mengatakan, 18 bank telah memenuhi

kualifikasi untuk mengelola dana-dana dari amnesti pajak, bertambah dari tujuh

bank yang diumumkan minggu lalu.

Namun, bank-bank itu masih perlu menunggu surat penunjukan resmi dari

pemerintah untuk memformalkan mandat itu.

Sejumlah eksekutif bank minggu lalu mengatakan mereka memperkirakan

penerimaan besar dari program amnesti tersebut. Direktur Bank Negara Indonesia

Tbk, Panji Irawan mengatakan, mereka mungkin menerima sampai Rp 75 triliun,

sementara CEO Bank mandiri Kartika Wirjoatmodjo mengatakan aliran dananya

"bisa sangat besar."

Bank-bank itu dapat mengelola dana-dana tersebut melalui perusahaan-

perusahaan pengelola aset dan pialang-pialang yang didaftar pemerintah. Sekitar

US$200 miliar dana negara diperkirakan menumpuk di Singapura dan pengelola-

pengelola kekayaan di sana khawatir program amnesti Indonesia bisa

menyebabkan aset-aset keluar dari industri pengelolaan kekayaan yang masif di

negara kota tersebut.

"Hal ini akan memberikan dampak dan sejumlah uang Indonesia akan

keluar dari Singapura, namun tetap saja banyak uang masih akan disimpan di luar

negeri," ujar seorang bankir swasta senior di Singapura, yang meminta namanya

dirahasiakan karena sensitivitas isu ini.

"Saya belum pernah melihat program amnesti pajak berhasil baik di

negara-negara lain jadi belum jelas seberapa efektif program kali ini."

Bursa saham telah mengharapkan keberhasilan implementasi undang-

undang yang diloloskan parlemen pda 28 Juni ini, dengan kenaikan indeks saham

gabungan 5 persen dan pembelian bersih dari para investor asing sekitar Rp 10

triliun sejak saat itu.

Roni Bako, analis pajak dari Universitas Pelita Harapan, mengatakan

perluasan basis pembayar pajak, yang akan muncul seiring pelaporan aset,

merupakan hasil penting dari program tersebut.

Indonesia hanya memiliki sekitar 28 juta pembayar pajak yang terdaftar,

termasuk perusahaan, ujar Roni.

Page 98: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

98 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Namun program amnesti ini masih menghadapi kemungkinan kendala di

dalam negeri. Para aktivis hukum minggu lalu mengajukan kajian yudisial atas

undang-undang amnesti pajak ke Mahkamah Konstitusional.

Mereka mengatakan hal itu akan melukai upaya-upaya anti-korupsi di

Indonesia dan melindungi para pengemplang pajak. Sidang pra-peradilan akan

dijadwalkan 14 hari setelah MK melakukan verifikasi dokumen

C. Aspek Pajak Sebagai Sumber Penerimaan Negara

Pembangunan nasional yang selama ini dilaksanakan adalah kegiatan yang

berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan meningkatkan

kesejahteraan rakyat baik materiil dan spiritual. Untuk dapat merealisasikan

tujuan tersebut harus memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah

satu usaha untuk mewujudkan kemandirian bangsa atau negara dalam hal

pembiayaan pembangunan adalah menggali sumber dana yang berasal dari dalam

negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang

berguna bagi kepentingan bersama.

Beberapa ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian

pajak yang dikemukakan oleh P.J.A. Andriani dalam (Brotodihardjo R. Santoso,

1998). Menyebutkan bahwa : “Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat

dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-

peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung ditunjuk, dan

yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum

berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.”

Pengertian pajak menurut Edwin R.A Slegman dalam buku Essay in

Taxation menyatakan bahwa “Tax is compulsory contribution from the person to

the government to defray the expenses incurred in the common interest of all,

without reference to special benefit conferred”.( Mulyo Agung, Perpajakan

Indonesia, Teori dan Aplikasi, tahun 2007) Pajak mempunyai 2 fungsi utama,

yaitu fungsi penerimaan (budgetair) dan fungsi mengatur (reguler). Fungsi

budgetair dimaksudkan bahwa pajak berfungsi sebagai sumber dana yang

diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sedangkan

fungsi reguler dimaksudkan sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan

kebijakan di bidang sosial ekonomi.

Pada awal mulanya pajak hanya merupakan pemberian sukarela kepada

raja dan bukan merupakan paksaan dan kewajiban seperti pajak yang ada pada

zaman sekarang. Pajak mulai menjadi pungutan sejak zaman romawi, pada awal

Republik Roma (509-27 SM sudah mulai dikenal beberapa jenis pungutan pajak,

seperti censor, questor dan beberapa lainnya.

Pada zaman Roma tidak disebut pajak seperti zaman sekarang tetapi

disebut publican trubutum, dan pajak pada zaman tersebut merupakan pajak

langsung atas kepala negara. Pada zaman kaisar terkenal Julius Caesar pajak

dikenal dengan nama centesima rerum venalium, yaitu sejenis pajak penjualan

yang besarnya sebesar 1% dari omset penjualan. Di daerah lain Italia dikenal

Page 99: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

99 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

dengan nama decumae, yaitu pungutan yang besarnya 10%. Sedangkan beberapa

macam fungsi pemerintahan suatu negara antara lain yaitu :

1. Melaksanakan penertiban (law and order).

2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

3. Pertahanan.

4. Menegakkan keadilan.

Sumber penghasilan negara bisa berasal dari beberapa sumber, yaitu pajak

dan denda, kekayaan alam, bea dan cukai, kontibusi, royalti, retribusi, iuran,

sumbangan, laba dari badan usaha milik negara dan sumber-sumber lainnya. 6

Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam

pembiayaan pembangunan adalah menggali sumber dana yang berasal dari dalam

negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang

berguna bagi kepentingan bersama. Menurut P.J.A Andriani dalam (Brotodiharjo

R. Santoso, 1998), menyebutkan bahwa Pajak adalah iuran kepada negara (yang

dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut

peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung

dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-

pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan

pemerintahan. Sedangkan menurut Edwin R.A Slegman dalam bukunya Essay in

Taxation, menyebutkan bahwa Tax is compulsory contribution from the person, to

the government to depray the expenses incurred in the common interest of all,

without reference to special benefit Conperred.

D. Tax Amnesty dan Sunset Policy

Tax amnesty adalah suatu kesempatan waktu yang terbatas pada kelompok

pembayar pajak tertentu untuk membayar sejumlah tertentu dan dalam waktu

tertentu berupa pengampunan kewajiban pajak (termasuk bunga dan denda) yang

berkaitan dengan masa pajak sebelumnya atau periode tertentu tanpa takut

hukuman pidana. Ini biasanya berakhir ketika otoritas yang dimulai penyelidikan

pajak pajak masa lalu.

Dalam beberapa kasus, undang-undang amnesti yang memperpanjang juga

membebankan hukuman yang lebih berat pada mereka yang memenuhi syarat

untuk amnesti tetapi tidak mengambilnya.7 Kebijakan Tax Amnesty sebenarnya

pernah dilakukan Indonesia pada tahun 1984. Demikian juga kebijakan lain yang

serupa berupa Sunset Policy telah dilakukan pada tahun 2008.

Sejak Program Sunset Policy diimplementasikan sepanjang tahun 2008

telah berhasil menambah jumlah NPWP baru sebanyak 5.653.128 NPWP,

bertambahnya SPT tahunan sebanyak 804.814 SPT dan bertambahnya penerimaan

PPh sebesar Rp7,46 triliun. Jumlah NPWP orang pribadi 15,07 juta, NPWP

bendaharawan 447.000, dan NPWP badan hukum 1,63 juta. Jadi totalnya 17,16

juta (data DJP, 2010 kuartal 1)

Page 100: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

100 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Pada hakekatnya implementasi tax amnesty maupun sunset policy

sekalipun secara psikologis sangat tidak memihak pada wajib pajak yang selama

ini taat membayar pajak. Kalaupun kebijakan itu diterapkan di suatu negara, harus

ada kajian mendalam mengenai karakteristik wajib pajak yang ada di suatu negara

tersebut karena karakteristik wajib pajak tentu saja berbeda-beda.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah karakteristik wajib

pajak memang banyak yang tidak patuh, sehingga tax amnesty tidak akan

menyinggung para WP yang taat membayar pajak. Selain itu, pola tax amnesty

seperti model sunset policy hanya bisa diterapkan. sekali dalam seumur hidup

wajib pajak.

E. Tarif dan Utang Pajak

Secara teori pemungutan pajak tidak terlepas dari rasa keadilan, sebab

keadilan dapat menciptakan keseimbangan sosial yang sangat penting untuk

kesejahteraan masyarakat. Dalam penetapan tarifnyapun harus mendasarkan pada

prinsip-prinsip keadilan. Dalam penghitungan pajak yang terutang digunakan tarif

pajak. Tarif pajak dimaksud adalah tarif untuk menghitung besarnya pajak

terutang (pajak yang harus dibayar). Besarnya tarif pajak dapat dinyatakan dalam

persentase.

Apabila melihat timbulnya utang pajak, bahwa utang pajak timbul karena

Surat Keputusan Pajak (ajaran formal), ajaran ini diterapkan pada official

assessment system. Perbedaan dengan ajaran materiil bahwa utang pajak timbul

karena undang-undang. Ajaran ini diterapkan pada self assessment system.

Hapusnya utang pajak disebabkan antara lain :

1. Pembayaran. Utang pajak yang melekat pada Wajib Pajak akan hapus karena

pembayaran yang dilakukan ke Kas Negara.

2. Kompensasi Keputusan yang ditunjukkan kepada kompensasi utang pajak

dengan tagihan seseorang di luar pajak tidak diperkenankan. Oleh karena itu

kompensasi terjadi apabila Wajib Pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan

pembayaran pajak. Jumlah kelebihan pembayaran pajak yang diterima Wajib

Pajak sebelumnya harus dikompensasikan dengan pajak-pajak lainnya yang

terutang.

3. Daluwarsa

Daluwarsa diartikan sebagai daluwarsa penagihan. Hak untuk melakukan

penagihan pajak, daluwarsa setelah lampau waktu sepuluh tahun terhitung sejak

saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun

pajak yang bersangkutan. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum kapan uang

pajak tidak dapat ditagih lagi. Namun daluwarsa penagihan pajak tertangguh,

antara lain, apabila diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa.

4. Pembebasan

Utang pajak tidak berakhir dalam arti yang semestinya tetapi karena

ditiadakan. Pembebasan pada umumnya tidak diberikan terhadap pokok pajaknya,

tetapi diberikan terhadap sanksi administrasinya.

Page 101: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

101 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

5. Penghapusan

Penghapusan utang pajak ini sama sifatnya dengan pembebasan, tetapi

diberikan karena keadaan keuangan Wajib Pajak.8

F. Penerapan Tax Amnesty Sebagai Alternatif

Bagi banyak negara, pengampunan pajak (tax amnesty) seringkali

dijadikan alat untuk menghimpun penerimaan negara dari sektor pajak (tax

revenue) secara cepat dalam jangka waktu yang relatif singkat. Program tax

amnesty ini dilaksanakan karena semakin parahnya upaya penghindaran pajak.

Kebijakan ini dapat memperoleh manfaat perolehan dana, terutama kembalinya

dana yang disimpan di luar negeri, dan kebijakan ini dalam mempunyai

kelemahan dalam jangka panjang dapat 8 Mulyo Agung, 2007, hal 15 berakibat

buruk berupa menurunnya kepatuhan sukarela (voluntary compliance) dari wajib

pajak patuh, bilamana tax amnesty dilaksanakan dengan program yang tidak tepat.

Penelitian ini memberikan gambaran mengenai pelaksanaan tax amnesty di

beberapa negara yang relatif lebih berhasil dalam melaksanakan kebijakan

pengampunan pajak seperti di Afrika Selatan, Irlandia dan India, dengan maksud

untuk mempelajari kebijakan dari masing-masing negara serta menganalisis

faktor-faktor yang menyebabkan program ini dapat berhasil dan mencapai target

yang ditetapkan, serta perspektifnya bagi pebisnis Indonesia.( Urip santoso: 2009)

Berdasarkan penelitian (Enste & Schneider, 2002), bahwa besarnya

persentase kegiatan ekonomi bawah tanah (underground economy), di negara

maju dapat mencapai 14 – 16 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB),

sedangkan di negara berkembang dapat mencapai 35 – 44 persen dari PDB.

Kegiatan ekonomi bawah tanah ini tidak pernah dilaporkan sebagai penghasilan

dalam formulir surat pemberitahuan tahunan (SPT) Pajak Penghasilan, sehingga

masuk dalam criteria penyelundupan pajak (tax evasion).

Penyelundupan pajak mengakibatkan beban pajak yang harus dipikul oleh

para wajib pajak yang jujur membayar pajak menjadi lebih berat, dan hal ini

mengakibatkan ketidakadilan yang tinggi. Peningkatan kegiatan ekonomi bawah

tanah yang dibarengi dengan penyelundupan pajak ini sangat merugikan negara

karena berarti hilangnya penerimaan pajak yang sangat dibutuhkan untuk

membiayaai program pendidikan, kesehatan dan program-program pengentasan

kemiskinan lainnya. Oleh sebab itu timbul pemikiran untuk mengenakan kembali

pajak yang belum dibayar dari kegiatan ekonomi bawah tanah tersebut melalui

program khusus yakni pengampunan pajak (tax amnesty).( Erwin Silitonga: 2006)

G. Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia

Tingkat kepatuhan WP (tax coverage) memegang peranan penting

terhadap keberhasilan pemerintah dalam menentukan besarnya penerimaan dari

sektor pajak. Direktorat Jenderal Pajak mencatat rasio kepatuhan Wajib Pajak

(WP) dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Kepatuhan

wajib pajak di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan seiring dengan

Page 102: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

102 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

bertambahnya jumlah WP. Pertambahan jumlah WP tidak berbanding lurus

dengan peningkatan jumlah penerimaan pajak.

Namun, peningkatan realisasi kepatuhan pajak memberikan dampak

positif terhadap target yang telah ditetapkan. Dilain sisi, tingkat kepatuhan

pembayaran pajak orang kaya sampai saat ini belum maksimal atau masih rendah.

Itu sebabnya, upaya-upaya untuk menarik wajib pajak orang kaya terus dilakukan

termasuk upaya Ditjen Pajak membuat kantor pelayanan khusus bagi WP kaya

atau High Net-Worth Individual (HNWI).

Kantor Pelayanan Pajak (KPP) WP BOP adalah salah satu kantor

pelayanan yang berfungsi menjaring WP orang kaya terutama yang berada

Jakarta. KPP WP BOP akan melayani sekitar 1.200 orang kaya dengan kekayaan

di atas Rp 100 miliar. Salah satu target kepatuhan yang perlu dilakukan juga

adalah menjaring pajak yang berasal dari kekayaan yang berada di luar negeri.

Salah satu upayanya adalah membangkitkan kesadaran WP dan calon/mantan WP

melalui pengampunan pajak (tax amnesty).

Rasio kepatuhan wajib pajak di Indonesia masih tergolong rendah jika

dibandingkan dengan rasio di negara-negara maju. Banyak factor yang

menyebabkan rendahnya rasio tersebut, diantaranya : rendahnya tingkat kesadaran

masyarakat dalam melaksanakan kewajiban penyetoran dan pelaporan pajak,

minimnya jumlah fiskus atau pemeriksa pajak, dan sebagainya.

H. Peluang dan Tantangan Implementasi Tax Amnesty di Indonesia

Ada beberapa langkah yang ditempuh pemerintah Indonesia khususnya

Direktorat Jenderal Pajak guna meningkatkan penerimaan negara dari sector

pajak, antara lain melaksanakan program Sensus Pajak Nasional. Selain itu

melakukan penyempurnaan peraturan untuk menangani tindakan penghindaran

pajak (tax avoidance), tindakan penggelapan pajak melalui transfer pricing, dan

pengenaan pajak final.

Langkah lainnya adalah pembenahan internal aparatur dan sistem

perpajakan. Demikian juga akan dilakukan kenaikan tarif cukai tembakau mulai

tahun 2012 yang rata-rata sebesar 12,2 persen. Upaya berikutnya adalah akan

dilakukan peningkatan akurasi penelitian nilai pabean dan klasifikasi barang

impor serta peningkatan efektivitas pemeriksaan fisik barang. Termasuk

penyempurnaan implementasi Indonesia National Single Windows (INSW) serta

pengembangan otomatisasi pelayanan di bidang kepabeanan dan cukai.11

Selain itu salah satu bentuk upaya atau inovasi lain dalam sistem

perpajakan yang berguna meningkatkan penerimaan pajak tanpa menambah beban

baik jenis pajak baru maupun persentase pajak yang sudah ada kepada

masyarakat, dunia usaha dan para pekerja adalah melalui program tax amnesty.

Salah satu tujuan pengampunan pajak ini diharapkan dapat mengurangi

citra negatif pada aparat perpajakan yang selalu dipersepsikan selalu bersikap

sewenang-wenang dan harus selalu dihindari, berubah menjadi hubungan yang

Page 103: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

103 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

lebih “friendly.” Pada dasarnya inovasi atau upaya ini dapat diterapkan di

Indonesia.

Keunggulan yang diharapkan bila kebijakan tax amnesty

diimplementasikan yaitu akan dapat mendorong masuknya dana-dana dari luar

negeri yang dalam jangka panjang dapat digunakan sebagai pendorong investasi

yang pada gilirannya bermanfaat untuk menstimulasi perekonomian nasional. Di

sisi lain kelemahannya bila diterapkan pengampunan pajak adalah tidak serta

merta menjamin peningkatan kinerja setoran pajak ke kas negara. Hal ini bisa

sebaliknya berpotensi terjadinya penyelewengan, manipulasi dan tindakan moral

hazard lainnya.

Para pengusaha yang memperoleh pemutihan pajak akan melakukan

penggelapan kewajiban pajaknya. Kecuali bila diberlakukan pengampunan pajak

bersyarat. Contohnya pengampunan pajak bersyarat, wajib pajak harus transparan

terhadap aset-aset dan penghasilan mereka. Hal ini guna menghindari kekeliruan

yang sama tahun 1984 tidak terulang kembali yaitu minimnya akses informasi

terhadap masyarakat dan minimnya keterbukaan/transparansi serta sosialisasi

kebijakan ini.

Analisis SWOT Implementasi Tax Amnesty

Bila digunakan analisis SWOT, terutama dilihat dari sisi kekuatan,

kelemahan, peluang dan tantangan implementasi penerapan Tax Amnesty, dapat

dijelaskan sebagai berikut :

Strength (Kekautan)

1. Sumber daya yang dimiliki pada instansi aparatur pajak saat ini sudah

memadai yang dapat mendukung diberlakukannya penerapan tax amnesty.

Demikian juga infrastruktur pendukung lainnya. Tercatat pegawai Ditjen

Pajak saat ini adalah sebesar 32.000 orang, sehingga No. 5 tahun 1964

tentang Peraturan Pengampunan Pajak yang kemudian secara berturut-turut

diikuti Keppres No. 26 tahun 1984 tentang Pengampunan Pajak jo. Keputusan

Menteri Keuangan No. 345/KMK.04/1984 tentang Pelaksanaan

Pengampunan Pajak jo. Keputusan Menteri Keuangan No. 966/KMK.04/1983

tentang Faktor Penyessuaian Untuk Penghitungan Pajefektifitas pelaksanaan

tax amnesty tersebut masih rendah, efektifitas ini terukur dari rendahnya

partisipasi peserta tax amnesty tersebut.

2. Reformasi dan penataan sistem perpajakan sedang dilakukan baik perbaikan

potensi, intensifikasi dan ekstensifikasi, pengembangan teknologi informasi,

perbaikan sumber daya manusia serta pengawasan. Oleh karena itu bila tax

amnesty dilakukan maka hasilnya tidak optimal. Idealnya tax amnesty

dilakukan hanya sekali.

Opportunity (Peluang)

1. Program ini diharapkan dapat meningkatkan dana-dana masuk ke Indonesia

yang cukup banyak di simpan di luar negeri. Di samping itu, dana-dana yang

selama ini diparkir di luar negeri dapat kembali masuk ke tanah air bila

Page 104: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

104 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

pemerintah secepatnya menerapkan pengampunan pajak. Potensi dana yang

mengalir diperkirakan berkisar US$ 20-40 miliar atau setara Rp 360 triliun. (data

Kadin, 2009) Dana tersebut disimpan di sejumlah bank di Singapura dan

Australia.

2. Sejumlah negara telah sukses memberlakukan tax amnesty, salah satu

diantaranya adalah Afrika Selatan, Korea Selatan dan India.

3. Tingkat kepercayaan masyarakat yang masih tinggi merupakan salah satu

peluang untuk mewujudkan tujuan akhir guna mengamankan penerimaan negara

dari sektor pajak 4. Kondisi ekonomi Indonesia selama ini yang selalu membaik

memberikan kesempatan untuk dapat diterapkannnya kebijakan tax amnesty.

5. Tax amnesty dapat berpengaruh positif bagi pasar uang pada Bursa Efek

Indonesia. Bila kebijakan ini diterapkan maka mempunyai potensi terjadi

penambahan emiten baru karena perusahaan-perusahaan tidak perlu khawatir atas

permasalahan pajak yang telah lewat. Karena masalah perpajakan merupakan

salah satu faktor yang dianggap memberatkan bagi calon emiten untuk mengubah

status perushaaannya menjadi perusahaan terbuka.13

6. Bila program tax amnesty berhasil diimplementasikan maka pemerintah

mempunyai beberapa keuntungan antara lain pemerintah dapat

mengkonsentrasikan atau memfokuskan pada upaya pemberantasan korupsi.

Demikian juga dengan diimplementasikan tax amnesty maka asset recoverynya

lebih mudah karena tidak perlu melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan

dan proses hukum lainnya untuk mengambil asset koruptor. Asset recovery adalah

perbandingan antara jumlah kerugian negara yang didakwakan dengan penyitaan

asset atau pengembalian asset korupsi. Selama ini persentase asset recovery

masih relatif kecil. Persentase asset recovery dapat dijadikan acuan penentuan

tarif tax amnesty.14

Treat (Tantangan )

1. Salah satu tantangan yang dihadapi Direktorat Jenderal Pajak adalah antara lain

terus dikembangkan hubungan kerja sama internasional baik dengan institusi

negara-negara lain maupun lembaga keuangan internasional untuk dapat saling

tukar menukar data dan informasi perpajakan. 2. Beberapa peristiwa

penyimpangan di Ditjen Pajak seperti ”Kasus Gayus” berakibat pada penggiringan

opini wajib pajak untuk memboikot pembayaran pajak dengan melakukan

penghindaran pajak (tax

avoidance).

3. Banyaknya permasalahan yang timbul terkait pengampunan pajak sehingga

aturannyapun menjadi semakin kompleks oleh karenanya diperlukan aturan yang

jelas yang tidak menimbulkan persepsi yang berbeda serta berbagai kepentingan.

4. Saat ini Indonesia masih memiliki permasalahan lain terkait peningkatan tax

ratio penerimaan pajak terhadap PDB. Tax ratio Indonesia sampai saat ini masih

rendah berkisar 13 persen bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga,

Page 105: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

105 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

sehingga kebijakan tax amnesty adalah salah satu upaya alternatif guna

meningkatkan minat pembayaran pajak di kalangan masyarakat. Bila dilihat

perkembangan Tax Ratio dari tahun 2005 sampai dengan 2010 adalah sebagai

beriku :

SIMPULAN

Simpulan

Dari pembahasan di atas ada beberapa hal yang dapat di simpulkan antara lain

sebagai berikut :

1. Tax amnesty dapat diimplementasikan di Indonesia, namun harus

mempunyai payung hukum sebagai dasar serta tujuan yang jelas dalam

pelaksanaan tax amnesty.

2. Salah satu kelemahan Tax amnesty bila diterapkan di Indonesia adalah dapat

mengakibatkan berbagai penyelewengan dan moral hazard karena sarana

dan prasarana, keterbukaan akses informasi serta pendukung lainnya belum

memadai sebagai prasyarat pemberlakuan tax amnesty tersebut.

3. Implementasi Tax amnesty dalam jangka pendek sebaiknya ditunda terlebih

dahulu menunggu kesiapan berbagai perangkat dan piranti hokum yang

melandasi pelaksanaan kebijakan ini. Namun dalam rangka meningkatkan

penerimaan negara pemerintah (Dirjen Pajak) dapat menerapkan kebijakan-

kebijakan inovatif lainnya seperti Sunset Policy, Tax holiday dan lain-lain

yang dapat menggantikan kebijakan tax amnesty yang masih mendapat

pertentangan dari berbagai lapisan masyarakat. Apalagi akhir-akhir ini ada

kecenderungan tax avoidance sebagai efek kasus Gayus.

Saran

Ada beberapa saran yang dapat disampaikan terkait implementasi tax

amnesty di Indonesia, antara lain sebagai berikut :

1. Penerapan Tax Amnesty harus dilandasi payung hukum berupa Undangundang

dan kejelasan syarat dan tujuannya.

2. Pemberian kebijakan pengampunan pajak semestinya tidak hanya menghapus

hak tagih atas wajib pajak (WP) tetapi yang lebih penting lagi adalah

memperbaiki kepatuhan WP, sehingga pada jangka panjang dapat meningkatkan

penerimaan pajak.

3. Implementasi Tax Amnesty dapat diterapkan bila syarat-syarat keterbukaan dan

akses informasi terhadap masyarakat terpenuhi oleh karena itu apabila tax

amnesty akan diterapkan harus menggunakan tax amnesty bersyarat.

4. Tax amnesty dapat diterapkan terutama pada bidang-bidang atau sektorsektor

industri tertentu saja yang dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan tax

ratio dengan syarat terpenuhinya kesiapan sarana dan prasarana pendukung

lainnya.

Page 106: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

106 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Daftar Pustaka

Agung, Mulyo, Teori dan Aplikasi Perpajakan Indonesia, Penerbit Dinamika

Ilmu, Jakarta, 2007

Brotodihardjo R. Santoso, Pengantar Hukum Pajak, Refika Aditama, Bandung,

1998

Enste, H. Dominik & Schendik, Frederick, Shadow Economies: Size, Causes and

Consequences, Journal of Economic Literature, Vol.

XXXVIII March 2000, pp 77-114 Forum Diskusi Ilmiah Perpajakan, berjudul

Amnesti Pajak Perlu Prasarat

Tax Reform, (http://groups.yahoo.com/group/forumpajak/ message/10744)

Ilyas, B. Wirawan, Suhartono Rudy, Panduan Komprehensif dan Praktis Pajak

Penghasilan, Lembaga Penerbit FEUI, Jakarta, 2007

Kotler, Philip dan Keller L. Kevin, Metodologi Penelitian:Aplikasi Dalam

Pemasaran, Indeks, Jakarta, 2006

Muhammad, Suwarsono, Manajemen Stratejik: Konsep dan Kasus,

Penerbit AMP. YKPN, Yogyakarta 2000

Santoso, Urip & Justina, Setiawan. Tax amnesty dan Pelaksanaanya di

Beberapa Negara : Perspektif Bagi Pebisnis Indonesia, Kopertis,

Volume 11 No. 2 Juli 2009

Silitonga, Erwin, Makalah berjudul: Ekonomi bawah Tanah, Pengampunan

Pajak dan Referandum, 2006

Slegman, R.A. Edwin, Essays in Taxation, New York, 1925

Subiyantoro, Heru dan Riphat, Singgih, Kebijakan, Fiskal, Pemikiran

Konsep dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, 2004

Sukirno. Sadono, Pengantar Teori Makro Ekonomi, Edisi ke-2, PT. Raja

grafindo Persada, Jakarta, 1997

Tambunan, Tulus, Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran,

Teori dan temuan Empiris, LP3ES, Jakarta, 2000

Yusuf, A, Harry, dalam www.pajak2000.com/news_print.php?id=307

http://en.wikipedia.org/wiki/Tax_amnesty

Page 107: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

107 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

IMPLEMENTASI PELAYANAN PERIZINAN TERPADU

SATU PINTU M.Syarif

(Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Pancabudi Medan)

Abstrak:

Implementasi Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu. Tujuan penelitian adalah

menemukan gambaran tentang implementasi PTSP Metode yang digunakan

adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Data primer diperoleh dari wawancara dan

observasi. sedangkan data sekunder diperoleh dari studi dokumentasi. Analisis

data menggunakan metode triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

komitmen pelaksanaan PTSP dari kepala daerah sudah baik, tetapi kendala

ditemukan dalam hal fungsi koordinasi antara lembaga pelaksana PTSP dengan

SKPD teknis karena perbedaan eselonisasi. Imbas tarik menarik kepentingan

antara kedua lembaga tersebut dalam pelayanan publik perizinan dapat berdampak

pada rendahnya kepercayaan pelaku usaha terhadap birokrat pemberi pelayanan

publik.

Kata kunci: implementasi, pelayanan publik terpadu, koordinasi

A. PENDAHULUAN

Pelaksanaan desentralisasi melalui otonomi daerah pada hakikatnya adalah

sebuah upaya memperbaiki pelayanan kepada masyarakat. Dengan otonomi

daerah diharapkan pelayanan publik dapat berlangsung secara lebih efisien dan

efektif. Efisien dalam arti masyarakat tidak perlu membuang waktu dan biaya

terlalu banyak untuk mengurus hal-hal yang diperlukan ke pusat, karena

pemerintah daerah telah diberi wewenang mengurus urusannya.

Efektif dalam arti masyarakat mendapat pelayanan yang berkualitas.

Dalam prakteknya penyelenggaraan otonomi daerah sering diwarnai oleh

kebijakan yang kontra investasi. Beragam pungutan liar menjadi keluhan para

investor di daerah ketika mengurus per-izinan investasinya. Ditambah dengan

ketidakpas- tian waktu penyelesaian pelayanan perizinan menjadi masalah klasik

dalam pelayanan perizinan di era otonomi daerah.

Meskipun demikian, sebenarnya pemerintah pusat juga telah mendorong

dan memfasilitasi perbaikan pelayanan perizinan ini dengan mengeluarkan kebi-

jakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) melalui Permendagri Nomor 24

Tahun 2006. Kebijakan PTSP tersebut bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan

publik serta memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk

memperoleh pelayanan publik.

Selain Permendagri tersebut, beragam peraturan telah dikeluarkan

pemerintah untuk mendorong daerah melaksanakan pelayanan perizinan yang

efektif dan efisien. Diantaranya UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman

Modal, Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu

Satu Pin- tu di bidang Penanaman Modal, Peraturan Kepala BKPM Nomor 6

Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Pembinaan dan dan Pelaporan

Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal. Ma-salah PTSP ini

juga diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2012

tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan

Publik.

Page 108: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

108 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Dalam berbagai peraturan tersebut dijelaskan bahwa PTSP merupakan

wujud dari sebuah sistem pelayanan terpadu dimana proses pengelolaan beberapa

jenis pelayanan dilakukan secara terintegrasi dalam satu tempat. Bahkan dalam PP

Nomor 96 Tahun 2012 khususnya Pasal 15 ayat (2) ditegaskan bahwa sistem

pelayanan terpadu satu pintu wajib dilaksanakan untuk jenis pelayanan perizinan

dan non-perizinan bidang penanaman modal. Dalam kenyataan di lapangan, masih

terdapat banyak kepala daerah yang belum menunjukkan komitmen melaksanakan

PTSP di bidang perizinan.Tarik menarik kewenangan bidang perizinan masih

terjadi di daerah yang sudah membentuk lembaga PTSP.

Beberapa sektor masih berada di bawah kendali dinas teknis ataupun

langsung di bawah kendali kepala daerah. Hal ini diperparah oleh ketidakjelasan

bentuk lembaga PTSP dimana masih ada pemisahan antara layanan perizinan

dengan bidang penanaman modal. Pemisahan tersebut tentunya memberatkan

investor karena harus berurusan dengan dua instansi yang berbeda. Hal ini sangat

tidak efisien dari segi waktu maupun biaya.

Data awal penelitian yang diperoleh terkait PTSP di Kabupaten Bangka ini

memperlihatkan bahwa pada tahun 2013 fungsi pelayanan perizinan dilaksanakan

oleh Kantor Pelayanan Terpadu (KPT). Sedangkan pelayanan penanaman modal

dilaksanakan oleh Badan Penanaman Modal (BPM). KPT Bangka sendiri dirikan

sejak tahun 2008 dan terus mengalami peningkatan dalam volume perizinan yang

ditangani. Tetapi fungsi koordinasi nampaknya mengalami kendala karena status

lembaga PTSP yang masih berbentuk kantor.

Terkait hal itu, maka permasalahan penelitian adalah bagaimana

implementasi pelayanan perizinan terpadu pada Pemerintah Kabupaten Bangka

dan kendala-kendala apa yang mempengaruhinya? Sementara konsep PTSP

sendiri adalah penyelenggaraan kegiatan perizinan dan non perizinan yang proses

pengelolaannya dari mulai tahap permohonan sampai ke tahap penerbitan

dokumen dilakukan secara terpadu dalam satu tempat.

Dalam Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 disebutkan bahwa

penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu ini ditujukan untuk mendorong

pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dengan memberikan

perhatian lebih kepada usaha mikro, kecil dan menengah. Sedangkan Perangkat

Daerah Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) adalah perangkat

pemerintah daerah yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola sernua

bentuk pelayanan perizinan dan non perizinan di daerah dengan sistem satu pintu.

Pada pasal 7 ayat (1) Permendagri tersebut dinyatakan bahwa ruang

lingkup tugas PPTSP meliputi pemberian pelayanan atassemua hentuk pelayanan

perizinan dan non perizinan yang menjadi kewenangan Kabupaten / Kota. Di

beberapa daerah sudah terbentuk PTSP yang menangani semua jenis perizinan

dan non perizinan termasuk di bidang penanaman modal. Tetapi di beberapa

daerah lainnya, bidang penanaman modal ini masih ditangani oleh SKPD teknis,

baik yang berbentuk Dinas/Badan maupun setingkat Kantor.

Kriteria ataupun tolak ukur agar sebuah PTSP dapat digolongkan sebagai

sebuah PTSP penanaman modal sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) Perpres Nomor 27

Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal

adalah sebagai berikut: sumber daya manusia yang profesional dan memiliki

kompetensi handal; tempat, sarana dan prasarana kerja dan media informasi;

mekanisme kerja dalam bentuk petunjuk pelaksanaan PTSP dibidang penanaman

Page 109: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

109 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

modal yang jelas, mudah dipahami, dan mudah diakses oleh penanam modal;

layanan pengaduan (helpdesk) penanam modal; serta sistem Pelayanan Informasi

dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE).

Bintoro (1997) mengemukakan pendayagunaan pelayanan publik oleh

aparat birokrasi dapat dilakukan dengan cara (1) pengembangan pengukuran

standar efisiensi, (2) perbaikan prosedur dan tata kerja rasional organisasi yang

lebih efisien dan efektif dalam manajemen operasional yang proaktif, (3)

mengembangkan dan memantapkan mekanisme koordinasi yang efektif, (4)

mengendalikan dan menyederhanakan birokrasi dengan management by exception

dan minimize body contact dalam pelayananjasa.

Pengendalian, penyederhanaan perizinan dan pengaturan yang perlu

mendapat perhatian lebih adalah dalam hal investasi, kegiatan usaha, pengelolaan

tanah dan bangunan, serta kelancaran lalu lintas barang. Penelitian Kriswantoro

(2012) memperlihatkan bahwa pelayanan perizinan di Kota Yogyakarta

dilaksanakan oleh lembaga berbentuk Dinas yaitu Dinas Perizinan Kota

Yogyakarta. Strategi pelayanan satu pintu (One Stop Service) menggunakan dua

pola yaitu pola pelayanan terpadu satu pintu dan pelayanan terpadu satu atap.

Kemudian salah satu temuan penting dari studi tersebut

adalah adanya kecemburuan antara dinas lain di lingkungan Pemkot Yogyakarta

terhadap Dinas Perizinan yang diberikan kewenangan melayani soal perizinan.

Tetapi studi ini tidak membahas apakah masalah penanaman modal juga ditangani

oleh dinas tersebut. Sementara penelitian yang pernah dilakukan oleh Prameswari

(2012) di Kabupaten Purbalingga menunjukkan bahwa pada awalnya Pemerintah

Kabupaten Purbalingga memaksimalkan potensi investasi di daerah dengan

melakukan penggabungan antara bidang perizinan dengan bidang investasi

melalui pembentukan Kantor Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu.

Penelitian Pertiwi (2012) di Kota Bandung memperlihatkan bahwa masih

ada dualism dalam pengelolaan pelayanan perizinan bidang penanaman modal.

Pelayanan tersebut berada di dua lembaga yaitu Bappeda dan Badan Pelayanan

Perizinan Terpadu (BPPT). Hal ini bertentangan dengan Pasal 26 ayat (2) UU

Penanaman Modal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi

pelayanan perizinan terpadu pada Pemerintah Kabupaten Bangka dan kendala-

kendala yang mempengaruhinya.

Jenis Pelayanan

1. Pelayanan Informasi Penanaman Modal

Tersedianya loket pelayanan informasi bagi yang ingin mendapatkan

informasi penanaman modal, baik mengenai kebijakan penanaman modal,

produk unggulan an potensi investasi, pelayanan perizinan dan non

perizinan dan data investasi penanaman modal. Selain itu pula

menyediakan leaflet, booklet, windows display dan peta potensi.

Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan

a) Jenis-jenis Perizinan dan Non Perizinan

Page 110: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

110 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

B. Pengertian Pelayanan Publik Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam

interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik dan

menyediakan kepuasan pelanggan.

Menurut Kotler pelayanan adalah setiap kegiatan atas unjuk kerja yang

ditawarkan oleh salah satu pihak kepada pihak lain yang secaraprinsip intangileble

dan tidak menyebabkan pemindahan kepemilikan apapun, produksinya bisa juga

tidak terikat pada suatu produk fisik.

Menurut Stanton yang dikutip oleh Alma, pelayanan adalah suatu yang

diidentifikasikan secara terpisah, tidak berwujut dan ditawarkanuntuk memenuhi

kebutuhan, sehingga dapat diambil pengertian bahwapelayanan merupakan suatu

manfaat yang diberikan oleh satu pihakkepada pihak lain dan biasanya tidak

berwujud.

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, sistem pelayanan

adalah suatu kesatuan usaha yang dinamis yang terdiri dari berbagai bagian yang

berkaitan secara teratur, diikuti dengan unjuk kerja yang ditawarkan oleh satu

pihak terhadap pihak lain dengan memberi manfaat, guna mencapai suatu tujuan.

Pelayanan publik atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala

bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang

pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi

Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara

atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan

masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-

undangan (Kepmenpan Nomor 81 Tahun 1993).

Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan(melayani)

keperluan orang atau masyarakat yang mempunyaikepentingan pada organisasi itu

sesuai dengan aturan pokok dantata cara yang telah ditetapkan.

Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa pemerintahan pada

hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk

melayani dirinya sendiri,tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan

kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan

kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998).

Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk

memberikan layanan baik dan profesional.

2.2 Asas dan Prinsip Pelayanan Publik Pada dasarnya pelayanan publik dilaksanakan dalam suatu rangkaian

kegiatan terpadu yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar,

dan terjangkau. Oleh sebab itu setidaknya mengandung asas-asas antara lain:

1. Hak dan kewajiban, baik bagi pemberi dan penerima pelayanan publik

tersebut, harus jelas dan diketahui dengan baik oleh masing-masing pihak,

sehingga tidak ada keragu-raguan dalam pelaksanaannya.

2. Pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan

kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar,

berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan tetap

berpegang pada efisiensi dan efektifitasnya.

Page 111: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

111 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

3. Mutu proses keluaran dan hasil pelayanan publik tersebut harus

diupayakan agar dapat memberikan keamanan, kenyamanan, kelancaran

dan kepastian hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

4. Apabila pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Instansi atau

Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan “terpaksa harus mahal”, maka

Instansi atau Lembaga Pemerintah atau Pemerintahan yang bersangkutan

berkewajiban “memberi peluang” kepada masyarakat untuk ikut

menyelenggarakannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. (Ibrahim, 2008 : 19-20)

Asas Pelayanan Publik adalah untuk memberikan pelayanan yang

memuaskan bagi pengguna jasa, penyelenggara pelayanan harus memenuhi asas-

asas pelayanan sebagai berikut (keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2004):

1. Transparansi

2. Akuntabilitas

3. Kondisional

4. Partisipatif

5. Kesamaan Hak

6. Keseimbangan Hak dan Kewajiban

Penyelenggaraan Pelayanan Publik perlu memperhatikan dan menerapkan

prinsip, standar, pola penyelenggaraan, biaya, pelayanan bagi penyandang cacat,

lanjut usia, wanita hamil dan balita, pelayanan khusus, biro jasa pelayanan, tingkat

kepuasan masyarakat, pengawasan penyelenggaraan, penyelesaian pengaduan

sengketa, serta evaluasi kinerja penyelenggaraa pelayanan publik.

Penyelenggaraan pelayanan publik harus memenuhi beberapa prinsip

sebagai berikut:

a. Kesederhanaan

b. Kejelasan

c. Kepastian Waktu

d. Akurasi

e. Keamanan

f. Tanggung Jawab

g. Kelengkapan Sarana dan Prasarana

h. Kemudahan Akses

i. Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan

j. Kenyamanan

Standar Pelayanan Publik adalah setiap penyelenggaraan pelayanan publik

harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya

kepastian bagi penerima pelayanan.

Standar pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam

penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan penerima

pelayanan tersebut. Standar pelayanan publik sekurang-kurangnya meliputi:

a. Prosedur Pelayanan

Page 112: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

112 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

b. Waktu Penyelesaian

c. Biaya Pelayanan

d. Produk Pelayanan

e. Sarana dan Prasarana

f. Kompetensi petugas pemberi pelayanan

2.3 Pola Penyelenggara Pelayanan Publik Penyelenggaraan pelayanan publik yang sesuai dengan bentuk dan

sifatnya, menurut Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan

Publik terdapat empat pola pelayanan, yaitu:

a. Pola Pelayanan Fungsional, yaitu pola pelayanan publik diberikan oleh

penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan tugas, fungsi dan

kewenangannya. Misalnya untuk pelayanan pajak akan ditangani unit

organisasi yang berfungsi melakukan pemungutan pajak, contohnya

Kantor Pelayanan Pajak Daerah (KPPD).

b. Pola Pelayanan Terpusat, yaitu pola pelayanan yang diberikan secara

tunggal oleh penyelenggara pelayanan terkait lainnya yang bersangkutan.

Misalnya yaitu pengurusan pelayanan paspor oleh kantor imigrasi dan

pelayanan pembuatan akte kelahiran oleh Kantor Catatan Sipil.

c. Pola Pelayanan Terpadu yang dibagi ke dalam dua bagian pola pelayanan,

yaitu:

a) Pola Pelayanan Terpadu Satu Atap

Pola Pelayanan Terpadu Satu Atap diselenggarakan dalam satu tempat yang

meliputi berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan

dilayani melalui beberapa pintu. Terhadap jenis pelayanan yang sudah dekat

dengan masyarakat tidak perlu disatu atapkan.

b) Pola Pelayanan Terpadu Satu Pintu

Pola Pelayanan Terpadu Satu Pintu diselenggarakan pada satu tempat yang

memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu. Misalnya pelayanan

pembuatan Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) dan Surat Tanda Nomor

Kendaraan (STNK).

d. Pola Pelayanan Gugus Tugas, yaitu petugas pelayanan publik secara

perorangan atau dalam bentuk gugus tugas ditempatkan pada instansi

pemberi pelayanan dan lokasi pemberi pelayanan tertentu. (KEPMENPAN

Nomor 63 Tahun 2003:5).

Page 113: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

113 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Pelayanan Terpadu Satu Pintu

3.1 Pengertian Pelayanan Terpadu Satu Pintu

Pengertian Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP)

adalah kegiatan penyelenggaraan jasa perizinan dan non-perizinan, yang proses

pengelolaannya di mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap penerbitan ijin

dokumen, dilakukan secara terpadu dalam satu tempat.

Dengan konsep ini, pemohon cukup datang ke satu tempat dan bertemu

dengan petugas front office saja. Hal ini dapat meminimalisasikan interaksi antara

pemohon dengan petugas perizinan dan menghindari pungutan-pungutan tidak

resmi yang seringkali terjadi dalam proses pelayanan.

Pembentukan Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP)

pada dasarnya ditujukan untuk menyederhanakan birokrasi pelayanan perizinan

dan non-perizinan dalam bentuk :

1. Mempercepat waktu pelayanan dengan mengurangi tahapan-tahapan

dalam pelayanan yang kurang penting. Koordinasi yang lebih baik juga

akan sangat berpengaruh terhadap percepatan layanan perizinan.

2. Menekan biaya pelayanan izin usaha, selain pengurangan tahapan,

pengurangan biaya juga dapat dilakukan dengan membuat prosedur

pelayanan serta biaya resmi menjadi lebih transparan.

3. Menyederhanakan persyaratan izin usaha industri, dengan

mengembangkan sistem pelayanan paralel dan akan ditemukan

persyaratan-persyaratan yang tumpang tindih, sehingga dapat dilakukan

penyederhanaan persyaratan. Hal ini juga berdampak langsung terhadap

pengurangan biaya dan waktu.

Pelayanan perizinan dengan sistem terpadu satu pintu (one stop service)

ini membuat waktu pembuatan izin menjadi lebih singkat. Pasalnya, dengan

pengurusan administrasi berbasis teknologi informasi, input data cukup dilakukan

sekali dan administrasi bisa dilakukan simultan.

Dengan adanya kelembagaan pelayanan terpadu satu pintu, seluruh

perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota dapat

terlayani dalam satu lembaga. Harapan yang ingin dicapai adalah mendorong

pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dengan memberikan

perhatian yang lebih besar pada peran usaha mikro, kecil, dan menengah.

Tujuannya adalah meningkatkan kualitas layanan publik. Oleh karena itu,

diharapkan terwujud pelayanan publik yang cepat murah, mudah, transparan,

pasti, dan terjangkau, di samping untuk meningkatkan hak-hak masyarakat

terhadap pelayanan publik.

Bentuk pelayanan terpadu ini bisa berbentuk kantor, dinas, ataupun badan.

Dalam penyelenggaraannya, bupati/wali kota wajib melakukan penyederhanaan

layanan meliputi :

1. pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan dilakukan oleh

Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP);

2. percepatan waktu proses penyelesaian pelayanan tidak melebihi standar

waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah;

Page 114: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

114 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

3. kepastian biaya pelayanan tidak melebihi dari ketentuan yang telah

ditetapkan dalam peraturan daerah;

4. kejelasan prosedur pelayanan dapat ditelusuri dan diketahui setiap tahapan

proses pemberian perizinan dan non perizinan sesuai dengan urutan

prosedurnya;

5. mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan yang sama untuk

dua atau Lebih permohonan perizinan;

6. pembebasan biaya perizinan bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)

yang ingin memulai usaha baru sesuai dengan peraturan yang berlaku; dan

7. pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam

kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan Lingkup tugas PPTSP

meliputi pemberian pelayanan atas semua hentuk pelayanan perizinan dan

non perizinan yang menjadi kewenangan Kabupaten / Kota.

Selain itu PPTSP mengeiola administrasi perizinan dan non perizinan

dengan mengacu pada prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan kearnanan

berkas. Dalam pengertian sempit, pelayanan terpadu dapat berarti sebagai satu

instansi pemerintah yang memiliki semua otoritas yang diperlukan untuk memberi

pelbagai perizinan (licenses, permits, approvals dan clearances).

Tanpa otoritas yang mampu menangani semua urusan tersebut instansi

pemerintah tidak dapat mengatur pelbagai pengaturan selama proses. Oleh sebab

itu, dalam hal ini instansi tersebut tidak dapat menyediakan semua bentuk

perizinan yang diperlukan dalam berbagai tingkat administrasi, sehingga harus

bergantung pada otoritas lain.

3.2 Asas Penyelenggaraan Pelayanan Publik Satu Pintu Asas dalam penyelenggaraan pelayanan publik satu pintu yaitu :

a. Transparan, yaitu bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua

pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah

dimengerti oleh usaha jasa.

b. Akuntabel, yaitu dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

c. Partisipatif, yaitu mendorong peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraan pelayanan perizinan dengan memperhatikan aspirasi,

kebutuhan dan harapan masyarakat.Salah satu contoh dengan

menggunakan jasa urus perijinan yang resmi

d. Kesamaan hak, yaitu tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan

suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.Dan juga warga

yang ingin memiliki surat ijin membangun bangunan

e. Efisien, yaitu proses pelayanan perizinan pariwisata hanya melibatkan

tahap-tahap yang penting dan melibatkan personil yang telah di tetapkan.

f. Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban, yaitu pemberi dan penerima

pelayanan perizinan harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing

pihak.

g. Profesional, pemprosesan perizinan melibatkan keahlian yang diperlukan,

baik untuk validasi administratif, verifikasi lapangan, pengukuran dan

Page 115: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

115 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

penilaian kelayakan, yang masing-masing prosesnya dilaksanakan

berdasarkan tata urutan dan prosedur yang telah ditetapkan

Page 116: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

116 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Page 117: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

117 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

b) Prosedur Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan

2. Pelayanan Pengaduan Penanaman Modal

a) Tabel Penanganan Pengaduan Layanan PTSP

Alur Mekanisme Penanganan Pengaduan Layanan PTSP

Page 118: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

118 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

VI. Aparatur Penyelenggara

Petugas Front Office (Verifikator) dan Back Office (Administrator), dari

BPMDP dan SKPD Teknis Provinsi;

Petugas FO dan BO dari Instansi Teknis berdasarkan Surat Penugasan dari

Kepala SKPD teknis masing-masing;

Petugas FO dan BO yang telah ditugaskan dituangkan dalam Instruksi

Gubernur Kalimantan Tengah No. 188.54/0230/BPMDP tanggal 27

Februari 2014 dan Instruksi Kepala BPMDP Provinsi Kalimantan Tengah

No. 188.44/04.a/B.II/BPMDP-2014 tanggal 28 Februari 2014.

Petugas Penyelenggara PTSP diberikan tunjangan khusus sesuai Surat

Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah No. 188.44/134/2014 tentang

Page 119: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

119 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

Pemberian Tunjangan Khusus bagi pegawai Penyelenggara PTSP pada

BPMDP Prov. Kalimantan Tengah;

Dalam pemberian izin dan non izin, PTSP dibantu oleh Tim Teknis dari

SKPD Teknis terkait dalam hal memberikan pertimbangan/rekomendasi

teknis atas diterima atau ditolaknya permohonan izin dan non izin yang

diajukan (berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan yang dituangkan dalam

BAP); Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah No.

188.44/133/2014 tentang Tim Teknis dalam rangka PTSP;

Petugas Informasi Penanaman Modal, memberikan informasi mengenai

kebijakan penanaman modal, potensi daerah, promosi dan kerjasama, SOP

perizinan (persyaratan, waktu dan biaya), hak dan kewajiban pelaku

usaha/investor dan IKM;

Petugas Pengaduan Penanaman Modal, menangani administrasi berkas

pengaduan dan permasalahan yang disampaikan oleh masyarakat, pelaku

usaha/investor dan aparatur negara untuk ditindaklanjuti/diproses lebih

lanjut.

VII. Bagan Proses Permohonan Perizinan

Page 120: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

120 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN

VIII. Bagan Alur Pengaduan Layanan

Page 121: Efektifitas Penegakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu ...dharmawangsa.ac.id/public/upload/JURNAL PUBLIK UNDHAR.pdf · Sumatera Utara dan secara umum di Indonesia.Pelaksanaan pemilihan

121 Volume I No.1 Juli – Desember 2016| Jurnal Publik UNDHAR MEDAN