efek penambahan gula pasir terhadap mutu...
TRANSCRIPT
-
EFEK PENAMBAHAN GULA PASIR TERHADAP MUTU ORGANOLEPTIK DAN BAKTERI TOTAL IKAN BANDENG
CHANOS CHANOS Forsskal
S K R I P S I
JUMRIANY SYAM
L231 12 602
PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEPARTEMEN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2018
-
EFEK PENAMBAHAN GULA PASIR TERHADAP MUTU ORGANOLEPTIK DAN BAKTERI TOTAL IKAN BANDENG
CHANOS CHANOS Forsskal
S K R I P S I
Oleh
JUMRIANY SYAM
L231 12 602
Skripsi
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana
pada
Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Universitas Hasanuddin
PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN DEPARTEMEN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2018
-
ABSTRAK
JUMRIANY SYAM. EFEK PENAMBAHAN GULA PASIR TERHADAP MUTU
ORGANOLEPTIK DAN BAKTERI TOTAL IKAN BANDENG Chanos Chanos
Forsskal. Dibimbing oleh Metusalach dan Fahrul.
Berbagai macam bahan pengawet alami digunakan dalam mengawetkan
bahan makanan, seperti garam, asam, gula dan berbagai jenis bumbu. Dalam
penelitian ini, gula pasir digunakan sebagai bahan pengawet ikan segar.
Penelitian ini adalah bertujuan untuk mengetahui apakah gula pasir dapat
mengawetkan ikan bandeng segar. Pendekatan penelitian yang digunakan
adalah metode eksperimen. Ikan bandeng segar dibersihkan lalu direndam
selama satu jam dalam larutan gula pasir dengan konsentrasi 0, 15, 25 atau
35%. Ikan kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik zip lock lalu disimpan
pada suhu kamar dan suhu rendah (dalam kulkas). Ikan penelitian diuji mutunya
secara organoleptik dan bakteriologis setiap hari hingga mutunya mencapai titik
tidak layak konsumsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mutu ikan bandeng
yang diawetkan dengan gula pasir dapat bertahan pada layak konsumsi hanya
selama satu hari jika disimpan pada suhu kamar, tetapi jika disimpan pada suhu
rendah dalam kulkas dapat bertahan sampai 9 hari pada konsentrasi gula pasir ≥
25%, 7 hari pada konsentrasi gula pasir 15% dan 5 hari pada konsentrasi < 15%.
Gula pasir memiliki daya hambat kuat terhadap pertumbuhan bakteri dan daya
hambatnya meningkat sejalan dengan meningkatnya konsentrasi yang
digunakan. Jumlah tertinggi total bakteri yang terkandung dalam ikan sampai
akhir penelitian adalah 3,5x102 koloni/g, masih jauh dibawah standar maksimum
total bakteri pada ikan segar (5x105 koloni/g) menurut SNI-7388.09.1.1 (2009).
Kata kunci: Bakteri total, bandeng, gula pasir, mutu, organoleptik.
-
ABSTRACT
JUMRIANY SYAM. EFFECTS OF TABLE SUGAR ADDITION ON
ORGANOLEPTIC QUALITY AND TOTAL BACTERIA OF FRESH MILKFISH
Chanos Chanos Forsskal. Supervised by Metusalach dan Fahrul
Various natural preservatives have been used in food preservation, such as
salt, organic acids, sugar and seasonings. In this study, table sugar was used to
preserve fresh fish. This study was aimed to determine whether table sugar can
preserve the quality of fresh milkfish. The study used a laboratory experiment
method. Fresh milkfish were prepared by removing guts, gills and scales, washed
under running water and then dripped. Fish were then dipped for one hour in
table sugar solution of 0, 15, 25 and 35% concentrations. The fish were then
removed, let to drip and put into zip-lock plastic bags, and then stored either at
room or low temperature in a fridge. The organoleptic value and total bacteria of
the fish were determined daily until the fish was unsuitable for consumption.
Results showed that, at room temperature, table sugar was able to preserve the
fresh milkfish at a quality level of suitable for consumption only for one day. When
stored in the fridge, table sugar could prolong the freshness of the milkfish and
suitable for consumption up to 9 days at ≥ 25%, up to 7 days at 15%, and up to 5
days at < 15% of sugar concentrations. Table sugar shows strong inhibition
against bacterial growth and its inhibition capacity increases as the sugar
concentration increases. The highest bacterial count in the experimental fish was
3,5x102 colony/g which was far below the maximum standard (5x105 colony/g) of
bacterial counts for fresh fish according to SNI-7388.09.1.1 (2009).
Key words: Total bacteria, milkfish, quality, organoleptic, table sugar.
-
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Jumriany Syam, lahir di
Makassar pada tanggal 15 Juli 1994. Penulis
merupakan anak 1 dari 2 bersaudara, dari pasangan
Ayah Syamsuddin dan Ibu Rabasia. Penulis
menyelesaikan pendidikan SD Negeri 34 Inpres
Tumalia Maros pada Tahun 2006, SMP Negeri 1 Maros
pada Tahun 2009, dan SMK Negeri 1 Lau Maros Tahun 2012.
Pada tahun 2012 penulis melanjutkan pendidikan ke Universitas Hasanuddin
tepatnya di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Departemen Perikanan
Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, melalui jalur kerja sama
2012.
Aktivitas Penulis selama menjadi mahasiswa adalah aktif selama
perkuliahan dan selama pendidikan. Organisasi yang penulis ikuti yaitu KMP
PSP KEMAPI FIKP UNHAS.
-
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat
waktu. Salam dan salawat terkirim kepada yang mulia Nabi Besar Muhammad
SAW yang senantiasa menjadi contoh dan inspirasi bagi seluruh umat manusia.
Berbagai kesulitan dan hambatan yang penulis alami sejak dari
pelaksanaan penelitian hingga penyusunan skripsi ini, akan tetapi semua itu
dapat dilewatii karena adanya dukungan, dorongan dan bantuan berbagai pihak,
terkhusus dari orang tua penulis Drs. H. Adil (alm.), Hj. Padriati A.MA,
Syamsuddin, dan Rabasiah yang senantiasa mengingatkan, memberi
semangat serta mendoa sehingga penulisan ini dapat berjalan dengan lancar.
Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih tak terhingga dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Metusalach, M.Sc. selaku pembimbing utama yang
telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan,
memotivasi dan memberi banyak saran bermanfaat bagi penulis dalam
menyusun skripsi ini.
2. Bapak Fahrul, S.Pi, M.Si Selaku pembimbing akademik sekaligus
pembimbing anggota yang dengan sabar membimbing dan mengarahkan
penulis selama penyusunan skripsi.
3. Ibu Dr. Nursinah Amir, S.Pi, M,Si, Dr. Ir. Andi Assir Marimba, M.Sc, dan
Ir.Mahfud Palo, M.Si selaku tim penguji yang telah meluangkan banyak
waktunya dan memberikan saran-saran yang bermanfaat bagi penulis.
4. Rekan-rekan satu tim dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi, Andi
Ramlah, Ditayanti Pratiwi, serta Kiki Reski yang selalu memberi semangat
dan kerjasama yang baik dalam suka maupun duka.
-
5. Indrawati Nur. yang senantiasa menemani, membantu dan memberi
semangat selama penelitian.
6. Nur Ihwan, ST. yang senantiasa mendukung, menyemangati serta
meluangkan banyak waktunya untuk membantu pengolahan data dan saat
penyusunan skripsi.
7. Dimas Primadian Nugroho, ST. yang senantiasa meluangkan waktu untuk
membantu dalam penyusunan data mentah.
8. Keluarga Besar PSP khususnya PSP#12 serta semua pihak yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas motivasi dan
dukungannya selama ini kepada penulis.
Penulis sadar bahwa skripsi tidaklah sempurna. Meski demikian, penulis
mengharapkan semoga tulisan ini dapat memberi manfaat khusunya dalam
pengawetan ikan segar.
Makassar, Januari 2018
Jumriany Syam
-
KATA PENGANTAR
Ikan segar adalah jenis bahan makanan yang sangat cepat mengalami
kerusakan. Karena itu, ikan harus segera ditangani dan diberi perlakuan untuk
menghambat terjadinya kerusakan sesaat setelah ditangkap. Sampai saat ini
hanya ada dua cara yang diterapkan untuk menghambat kerusakan pada ikan
segar, yaitu pendinginan dan pembekuan. Pendinginan dengan es merupakan
cara yang paling umum dan mudah diterapkan, dan dianggap murah. Persoalan
yang dihadapi dalam pendinginan dengan es adalah es sering tidak tersedia,
khususnya di lokasi-lokasi produksi, dan keterbatasan kemampuan es dalam
menghambat penurunan mutu ikan segar. Oleh karena itu perlu dicari cara untuk
menghambat penurunan mutu ikan segar, setidaknya untuk memberi
kesempatan mendapatkan es sebagai bahan pengawet utama.
Penggunaan gula dalam pengawetan bahan makanan sudah dikenal sejak
lama dan diterapkan secara luas untuk berbagai macam produk makanan.
Namun penggunaan gula untuk pengawetan makanan menghasilkan produk
yang hampir selalu berupa produk kering, setidaknya berupa produk berkadar air
rendah. Dalam pengawetan ikan, gula hanya digunakan sebagai pengawet pada
pembuatan dendeng ikan, sedangkan untuk ikan segar belum tersedia informasi
penggunaannya.
Skripsi ini menyajikan informasi tentang potensi penggunaan gula pasir
sebagai bahan pengawet ikan segar. Penelitian untuk penyusunan skripsi ini
dirancang untuk mendapatkan data tentang apakah gula pasir dapat
menghambat penurunan mutu ikan bandeng segar pada suhu kamar dan apakah
gula pasir dapat meningkatkan kemampuan suhu rendah dalam menghambat
penurunan mutu ikan bandeng segar.
-
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………….... ii
DAFTAR TABEL …………………………………………………………………… iii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………………… iv
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………………… v
I. PENDAHULUAN ……………………………………………………………... 1
A. Latar Belakang ………………………………………………………….. 1
B. Tujuan dan Kegunaan ………………………………………………….. 3
II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………….. 4
A. Taksonomi dan Morfologi ……………………………………………… 4
B. Pengawetan ……………………………………………………………... 6
C. Gula Pasir ……………………………………………………………….. 6
D. Kemunduran Mutu Ikan ………………………………………………… 10
E. Uji Sensori ……………………………………………………………….. 14
F. Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesegaran Ikan ………………. 16
III. METODE PENELITIAN ……………………………………………………… 18
A. Waktu dan Tempat ……………………………………………………... 18
B. Alat dan Bahan ………………………………………………………….. 18
C. Prosedur Penelitian …………………………………………………….. 18
D. Rancangan Percobaan ………………………………………………… 20
E. Analisa Data …………………………………………………………….. 22
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………………… 23
A. Uji Organoleptik …………………………………………………………. 23
1. Penyimpanan pada Suhu Kamar ………………………………… 23
2. Penyimpanan pada suhu rendah (Kulkas) ……………………… 28
-
B. Angka Lempeng Total ………………………………………………….. 33
1. ALT Penyimpanan pada Suhu Kamar …………………………… 33
2. ALT Penyimpanan pada suhu rendah (Kulkas) .………………… 34
V. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………………... 39
A. Kesimpulan ……………………………………………………………… 39
B. Saran …………………………………………………………………….. 39
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….. 40
LAMPIRAN …………………………………………………………………………. 44
-
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Ciri utama ikan segar bermutu tinggi dan bermutu rendah …………… 17
-
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Bandeng Chanos chanos Forsskal ………………………………………. 4
2. Diagram alir alur penelitian .....…………………………………………… 22
3. Nilai organoleptik mata ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir ………………………………………………………………………….
23
4. Nilai organoleptik LPT ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir ………………………………………………………………………….
24
5. Nilai organoleptik bau ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir ………………………………………………………………………….
26
6. Nilai organoleptik tekstur ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir ………………………………………………………………………….
27
7. Nilai organoleptik mata ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir ………………………………………………………………………….
28
8. Nilai organoleptik LPT ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir ………………………………………………………………………….
30
9. Nilai organoleptik bau ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir ………………………………………………………………………….
31
10. Nilai organoleptik tekstur ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir ………………………………………………………………………….
32
11. Nilai ALT ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu kamar ………………………………………………
34
12. Nilai ALT ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu rendah ………………………………………………
35
-
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Score sheet organoleptik ikan segar …………………………………….. 45
2. Hasil uji organoleptik mata ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu ruang (kamar) …………..………………
47
3. Hasil uji organoleptik LPT ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu ruang (kamar)……..……………………..
48
4. Hasil uji organoleptik bau ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu ruang (kamar)……..…………………….
49
5. Hasil uji organoleptik tekstur ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu (kamar) ………………………..…..
50
6. Hasil uji organoleptik mata ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu rendah (3 …………………………...…
51
7. Hasil uji organoleptik LPT ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu rendah (3 …………………………...…
53
8. Hasil uji organoleptik bau ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu rendah (3 ……………………………..
55
9. Hasil uji organoleptik tekstur ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu rendah (3 ………………………
57
10. Hasil uji total bakteri (ALT) pada ikan bandeng yang diawetkan dengan gula dan disimpan pada suhu ruang dan suhu rendah (3 )….
59
11 Hasil pengolahan data ALT ikan bandeng yang diawetkan gula pasir dan disimpan pada suhu ruang dan suhu rendah (3 )…………………
60
12. Hasil uji statistik nilai organoleptik mata ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu kamar ……………………..
61
13. Hasil uji statistik nilai organoleptik lendir permukaan tubuh (LPT) ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu kamar …………………………………………………………………………
62
14. Hasil uji statistik nilai organoleptik bau ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu kamar ……………………..
63
15. Hasil uji statistik nilai organoleptik tekstur ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu kamar ………...
64
-
16. Uji-t berdasarkan lama penyimpanan nilai organoleptik dan ALT ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu kamar …………………………………………………………………………
65
17. Hasil uji statistik nilai organoleptik mata ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu rendah (kulkas) ………….
66
18. Hasil uji statistik nilai organoleptik lendir permukaan tubuh (LPT ) ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu rendah (kulkas) ……………………………………………………………...
68
19. Hasil uji statistik nilai organoleptik bau ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu rendah (kulkas) ………….
70
20.
Hasil uji statistik nilai organoleptik tekstur ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu rendah (kulkas)
72
21. Hasil uji statistik nilai angka lempeng total bakteri (ALT) ikan yang diawetkan dengan gula pasir yang disimpan pada suhu kamar ..……..
74
22. Hasil uji statistik nilai angka lempeng total bakteri (ALT) ikan yang diawetkan dengan gula pasir yang disimpan pada suhu rendah (kulkas) ………………………………………………………………………
75
23. Penangkapan dan penyiapan ikan bandeng yang digunakan untuk penelitian ……………………………………………………………………..
77
24. Proses analisa angka lempeng total bakteri (ALT) pada ikan bandeng yang digunakan dalam penelitian ……………………………………....…
78
-
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang kaya dengan hasil perikanan. Salah satu
jenis hasil dari perikanan tersebut adalah ikan bandeng (Chanos Chanos
Forsskal). Ikan bandeng banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia karena
mempunyai nilai gizi tinggi dan rasa yang lezat. Menurut Pajimiati (2009), ikan
bandeng mengandung protein sekitar 20% dan lemak 4,8% dari berat basah ikan
segar. Protein dalam daging ikan bandeng mengandung asam amino esensial
yaitu arginin, histidin, isoleusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan, dan
valin. Tingginya nilai gizi pada ikan bandeng menjadikan ikan ini sebagai salah
satu sumber makanan bagi manusia. Pada umumnya konsumen menghendaki
ikan segar, padahal ikan termasuk komoditas yang sangat mudah busuk.
Ikan segar atau ikan basah adalah ikan yang belum atau tidak diawetkan
dengan bahan apapun kecuali didinginkan dengan es. Penanganan ikan segar
dilakukan pada ikan sejak ditangkap sampai diterima konsumen. Proses
pembusukan lebih cepat pada suhu tinggi sehingga proses pembusukan dapat
dihambat dengan suhu rendah. Menurut Junianto (2003), kesegaran ikan tidak
dapat ditingkatkan tetapi hanya dapat dipertahankan. Pengawetan ikan dengan
cara pendinginan dapat mempertahankan masa kesegaran (shelf life) ikan
selama 12-18 hari, tergantung jenis ikan, cara penanganan, tingkat kesegaran
ikan yang diinginkan dan suhu yang digunakan. Pendinginan ikan merupakan
salah satu proses yang umum digunakan untuk mengatasi pembusukan ikan,
baik selama penangkapan, pengangkutan, maupun penyimpanan sementara
sebelum diolah menjadi produk lain.
Pengawetan atau pengolahan hasil perikanan bertujuan untuk menghambat
penurunan mutu dengan cara menghentikan kegiatan zat-zat dan
-
2
mikroorganisme yang dapat menimbulkan pembusukan (kemunduran mutu) dan
memperpanjang daya simpan. Dasar pengawetan ikan adalah mempertahankan
kesegaran ikan selama mungkin dengan cara menghambat atau menghentikan
beberapa aktivitas bakteri pembusuk yang ada pada tubuh ikan (Prahasta dan
Masturi, 2009). Untuk mengatasi masalah pembusukan ikan (selama
penangkapan, pengangkutan, penyimpanan dan pemasaran) diperlukan media
pendingin untuk mempertahankan kesegaran ikan dalam waktu tertentu
(Moeljanto, 2002).
Dalam industri pangan, sukrosa digunakan sebagai penambah cita rasa.
Sukrosa adalah disakarida yang merupakan senyawa gula yang paling disukai.
Selain itu sukrosa juga digunakan sebagai bahan pengawet. Pada pembuatan
produk fermentasi, sukrosa dimanfaatkan oleh bakteri asam laktat sebagai
sumber energi dan meningkatkan antibakteri pada produk fermentasi.
Penambahan sukrosa dapat memberikan nutrisi tambahan bagi bakteri asam
laktat untuk metabolisme dan pertumbuhan sel. Dengan tersedianya nutrisi yang
optimal, maka aktivitas bakteri asam laktat akan meningkat sehingga
menyebabkan jumlah asam hasil metabolisme juga meningkat.
Bakteri asam laktat memanfaatkan gula sebagai sumber energi,
pertumbuhan dan menghasilkan metabolit berupa asam laktat selama proses
fermentasi. Menurut Spreer (1998), asam laktat dan asetaldehida yang dihasilkan
menyebabkan penurunan pH media fermentasi atau meningkatkan keasaman
dan menimbulkan aroma khas. Turunnya pH media akan menyebabkan
terganggunya aktivitas metabolisme dan perkembangbiakan sel bakteri.
Oberman dan Libudzisz (1998) dalam Rahmawati (2006) menyatakan
peningkatan jumlah bakteri menyebabkan peningkatan perombakan senyawa
gula yang ada pada medium menjadi asam–asam organik. Asam-asam organik
-
3
ini mampu menghambat dan bahkan menghentikan aktivitas dan pertumbuhan
mikroorganisme, termasuk bakteri.
Ikan bandeng merupakan salah satu sumber protein hewani yang mudah
mengalami kerusakan yang di akibatkan oleh bakteri, khamir maupun jamur
(Widiastuti, 2005). Kerusakan yang cepat pada ikan menjadi kendala bagi penjual
di pasar. Oleh karena itu perlu upaya untuk mengawetkan ikan tersebut sehingga
dapat diterima konsumen dalam keadaan yang masih layak dikonsumsi. Berbagai
cara pengawetan dan bahan pengawet dapat diterapkan pada pengawetan
makanan. Salah satu bahan yang sering digunakan sebagai bahan pengawet
makanan adalah sukrosa (gula). Meskipun gula umumnya digunakan untuk
mengawetkan bahan makanan rendah kadar air seperti dendeng, namun tidak
tertutup kemungkinan bahwa gula dapat pula digunakan pada bahan makanan
berkadar air tinggi. Ikan segar adalah salah satu contoh bahan makanan
berkadar air tinggi. Namun belum tersedia informasi mengenai daya awet gula
terhadap ikan segar, khususnya ikan bandeng segar. Karena itulah dilakukan
penelitian ini untuk mengeksplorasi potensi gula pasir sebagai bahan pengawet
ikan segar.
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah gula pasir dapat
mengawetkan ikan bandeng segar.
Kegunaan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang
potensi penggunaan gula pasir sebagai bahan pengawet ikan segar.
-
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Taksonomi dan Morfologi
Ikan bandeng (Chanos Chanos Forsskal) adalah salah satu komoditas
perikanan penting Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki tingkat konsumsi
yang tinggi. Selain untuk konsumsi, ikan bandeng juga di pakai sebagai umpan
pada usaha penangkapan ikan tuna (Syamsuddin, 2010).
Gambar 1, Bandeng Chanos chanos Forsskal
Sumber: Asosiasi perikanan Pole and line dan Handline Indonesia, 2006.
Menurut (Saanin, 1968), klasifikasi ikan bandeng (Chanos Chanos
Forsskal) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia.
Phylum : Chordata.
Sub Phylum : Vertebrata.
Class : Pisces.
Sub Class : Teleosteoi.
Ordo : Malachoptergyy.
Family : Chanidae.
Genus : Chanos.
Species: Chanos Chanos Forsskal.
-
5
Subdrajat (2008), mengemukakan taksonomi dan klasifikasi ikan
bandeng yang memiliki perbedaan dengan klasifikasi dari saanin (1968)
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia.
Phylum : Chordata.
Sub Phylum : Vertebrata.
Class : Osteichthyes.
Ordo : Gonorynchiformes
Family : Chanidae.
Genus : Chanos.
Species: Chanos Chanos.
Ikan bandeng jantan memiliki dua lubang anus dan ukuran badan agak kecil
sedangkan bandeng betina memiliki tiga lubang anus dan ukuran badan lebih
besar dari ikan bandeng jantan. Ikan bandeng mempunyai tubuh yang ramping
dan ditutupi oleh sisik. Jari-jari siripnya terdiri dari jari-jari yang lunak dan sirip
ekornya panjang dan bercagak. Mulut sedang dan non protractile dengan posisi
mulut satu garis dengan sisi bawah bola mata, dan tidak memiliki sungut. Ikan ini
memiliki tubuh langsing dengan sirip ekornya bercabang sehingga mampu
berenang dengan cepat. Warna tubuhnya putih keperak-perakan, mulut tidak
bergerigi, menyukai makan ganggang yang tumbuh di dasar perairan (Indriati,
2006).
Teknologi budidaya ikan bandeng di tambak telah berkembang pesat mulai
dari sistem tradisional sampai sistem intensif. Pada teknologi budidaya secara
intensif, penggunaan pakan merupakan salah satu komponen yang sangat besar
peranannya untuk meningkatkan pertumbuhan yang optimal. Namun salah satu
kendala umum dalam upaya intensifikasi budidaya ikan khususnya ikan bandeng
-
6
adalah harga pakan yang mahal dan membutuhkan jumlah pakan yang banyak
sehingga biaya produksi cukup tinggi yang dapat mencapai 35-60% dari total
biaya produksi (Sutikno, 2011).
B. Pengawetan Ikan
Pengawetan ikan adalah berbagai metode yang digunakan untuk
memperpanjang usia simpan ikan dan produk ikan. Metode pengawetan
diantaranya pengeringan, penggaraman, pengasapan, pembekuan, pengalengan
ikan, dan kombinasinya. Pengawetan ikan merupakan salah satu cara dalam
meningkatkan nilai tambah hasil tangkapan dan budi daya sehingga nelayan dan
petambak dapat memperoleh penghasilan tambahan jika dibandingkan dengan
menjual dalam bentuk segar. Selain itu, usaha pengawetan ikan dapat membuka
lapangan kerja baru. Penurunan temperatur akan membuat aktivitas
metabolisme mikroba dan enzim autolisis dapat dikurangi atau dihentikan. Hal ini
dapat dilakukan dengan pendinginan di mana temperatur diturunkan hingga
menjadi dingin atau beku. Metode ini banyak digunakan pada kapal
penangkapan ikan untuk menjaga kesegaran ikan yang ditangkap sehingga
kapal dapat berada di laut lebih lama sebelum berlabuh (Wikipedia, 2015).
C. Gula Pasir
Gula adalah istilah umum yang sering diartikan bagi setiap karbohidrat
yang digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya
digunakan untuk menyatakan sukrosa, gula yang diperoleh dari bit atau tebu.
Gula pasir atau sukrosa adalah hasil dari penguapan nira tebu (Saccharum
officinarum). Gula pasir berbentuk kristal berwarna putih dan mempunyai rasa
manis. Gula pasir mengandung sukrosa 97,1%, gula reduksi 1,24%, kadar airnya
0,61%, dan senyawa organik bukan gula 0,7% (Suparmo dan Sudarmanto,
1991). Fennema (1976) menjelaskan bahwa gula berfungsi sebagai sumber
nutrisi dalam bahan makanan, sebagai pembentuk tekstur dan pembentuk flavor
https://id.wikipedia.org/wiki/Ikanhttps://id.wikipedia.org/wiki/Produk_ikanhttps://id.wikipedia.org/wiki/Pengeringan_%28makanan%29https://id.wikipedia.org/wiki/Penggaramanhttps://id.wikipedia.org/wiki/Pengasapan_%28makanan%29https://id.wikipedia.org/wiki/Teknologi_pembekuan_makananhttps://id.wikipedia.org/wiki/Pengalengan_ikanhttps://id.wikipedia.org/wiki/Pengalengan_ikanhttps://id.wikipedia.org/wiki/Autolisishttps://id.wikipedia.org/wiki/Makanan_bekuhttps://id.wikipedia.org/wiki/Kapal_penangkap_ikanhttps://id.wikipedia.org/wiki/Kapal_penangkap_ikan
-
7
melalui reaksi pencoklatan. Menurut Buckle dkk. (1985), daya larut yang tinggi
dari gula dan daya mengikatnya terhadap air (sifat higroskopis) merupakan sifat-
sifat yang menyebabkan gula sering digunakan dalam pengawetan bahan
pangan. Kemampuannya menyerap kandungan air dalam bahan pangan ini
dapat memperpanjang umur simpan (Cahyo dan Hidayanti, 2006). Konsentrasi
yang cukup tinggi pada olahan pangan dapat mencegah pertumbuhan bakteri,
sehingga dapat berperan sebagai pengawet. Apabila gula ditambahkan ke dalam
bahan pangan dalam konsentrasi yang tinggi (paling sedikit 40% padatan
terlarut) sebagian dari air yag ada menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan
mikroorganisme dan aktivitas air (aw) dari bahan pangan berkurang (Buckle,
1985).
Semua makhluk hidup termasuk mikroba membutuhkan air. Kebutuhan
mikroorganisme akan air, disebut aktivitas air. Nilai aw juga berpengaruh
terhadap pertumbuhan total mikroba. Nilai aw pada makanan dapat berubah
sesuai dengan waktu dan tidak lepas dari pengaruh temperatur, tekanan udara
dan komposisi makanan itu sendiri. Nilai aw sangat dipengaruhi oleh kelembaban
ruangan, pangan yang disimpan di dalam ruangan yang lembab (RH tinggi) akan
mudah menyerap air sehingga nilai aktivitas air (aw) meningkat.
Sukrosa merupakan disakarida yang mempunyai kelarutannya dalam air
meningkat dengan semakin meningkatnya suhu pemanasan dan sukrosa
meleleh pada suhu 160°C, membentuk cairan yang jernih sedangkan pada
pemanasan selanjutya berubah menjadi coklat. Selama pemanasan sebagian
sukrosa terurai menjadi glukosa dan fruktosa yang disebut gula invert (Winarno,
1992) Di dalam teknologi pangan, sukrosa dapat berperan sebagai pemanis,
pengawet, substrat fermentasi serta dapat untuk memodifikasi tekstur (Birch and
Parker, 1979). Dalam pembentukan gel, campuran glukosa atau fruktosa dengan
sukrosa menghasilkan tekstur yang lebih liat (Ward and Courts, 1977)
-
8
Gula pasir adalah butiran menyerupai kristal hasil pemanasan dan
pengeringan sari tebu, yaitu butiran berwarna putih. Selain dalam bentuk butiran,
gula pasir juga dijual dalam bentuk tepung atau disebut gula halus. Fungsi utama
gula dalam pengawetan adalah untuk memodifikasi rasa dan menurunkan kadar
air yang sangat dibutuhkan oleh mikroorganisme. Gula pasir juga berfungsi
dalam memberikan rasa manis seperti olahan produk dendeng dan dapat
mengawetkan ikan dimana ikan tidak dapat di tumbuhi bakteri dan khamir
(Soeparno, 1994).
Sukrosa (termasuk di dalamnya gula pasir) mempunyai peran penting
dalam pengolahan makanan. Sukrosa terdiri dari molekul glukosa dan fruktosa.
Beberapa monosakarida dan oligosakarida mempunyai rasa manis sehingga
sering di gunakan dalam sirup jagung. Standar kemanisan menggunakan rasa
manis sukrosa sebagai rujukan. Sukrosa memiliki titik lebur 160ºC dan bila gula
yang telah mencair dipanaskan terus sehingga suhunya melampaui titik leburnya,
misalnya pada suhu 170ºC, maka mulailah terjadi karamelisasi sukrosa
(Winarno, 1992).
Sukrosa atau gula tebu merupakan disakarida yang paling manis yang
terdiri dari glukosa dan fruktosa. Sumber-sumber sukrosa yang terdapat di alam
antara lain: tebu (100% mengandung sukrosa), bit, gula nira (50% sukrosa), dan
jelly. Komposisi kimia dari gula adalah sama, satu satuan fruktosa yang digabung
dengan satu satuan glukosa. Ikatan ini disebut ikatan glikosida yang dibentuk jika
gugus hidroksil pada salah satu gula bereaksi dengan karbon anomer pada gula
yang kedua. Ikatan glikosida menghubungkan karbon ketal dan asetal dan
bersifat β dari fruktosa dan α dari glukosa. Pemanis yang biasa digunakan yaitu
sukrosa, fruktosa, glukosa, selulosa atau gliserol (Tamime, 2006; Rahman dkk.
1992). Sukrosa merupakan salah satu karbohidrat yang sering digunakan
sebagai bahan pemanis dan diperoleh dari bit atau tebu. Sukrosa mempunyai
-
9
daya larut tinggi, dapat menurunkan aktivitas air (aw) dan meningkatkan air.
Sukrosa adalah disakarida yang apabila dihidrolisis akan terpisah menjadi dua
molekul monosakarida yaitu glukosa dan fruktosa (DeMan, 1997;
Sastrohamidjojo, 2005).
Sukrosa adalah karbohidrat yang mempunyai rumus kimia C12H22O11, terdiri
dari 2 komponen monosakarida yaitu D-glukosa dan D-fruktosa. Nama kimia
yang lebih tepat dari sukrosa adalah α-D-glukopyranosyl-β-D-fruktofuranoside
(Goutara dan Wijandi, 1985). Sukrosa memiliki berat molekul 342,30. Sukrosa
terdapat di alam dalam jaringan tanaman terutama buah, biji, bunga dan akar.
Madu lebah mengandung sebagian besar sukrosa dan hasil hidrolisanya
(Sudarmadji, 1984). Hidrolisis juga dapat dipercepat dengan asam, misalnya
dengan kalium bitartrat atau jus lemon, keduanya asam lemah. Demikian juga,
keasaman lambung mengubah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa
selama proses pencernaan dalam tubuh.
Senyawa antibakteri sebagai hasil proses perombakan gula adalah asam
organik, hidrogen peroksida, acetaldehyd, diacetyl, karbokdioksida dan alkohol
sebagai metabolit primer. Asam organik yang dihasilkan antara lain asam laktat.
Dengan adanya asam laktat menyebabkan penurunan pH sehingga dapat
menghambat pertumbuhan bakteri (Surono, 2004). Senyawa antibakteri
bacteriocin dihasilkan pada pada saat subsrat mulai habis yang akan
merangsang terbentuknya enzim-enzim yang berperan untuk pembentukkan
metabolit sekunder. Todorov dan Dicks (2007) menyebutkan bahwa aktivitas
antibakteri berupa bacteriocin yang dihasilkan oleh Lactobacillus pentosus
ST712BZ optimum setelah lama fermentasi 24 jam dengan media pertumbuhan
yang ditambahkan 20-40 gram/liter glukosa. Yang, Z. (2000), menyebutkan
bahwa asam laktat, asam-asam organik lain, hydrogen peroksida, dan
diasetil serta senyawa senyawa lain yang bersifat antimikroba. Asam laktat
-
10
yang tinggi dan pH yang rendah mempunyai fungsi sebagai antibakteri yaitu
menghambat pertumbuhan bakteri patogen.
Naidu dan Clemeus (2000). menyatakan bahwa efektivitas antibakteri dari
asam laktat meningkat bersamaan dengan penurunan pH. Asam laktat yang
tak terdisosiasi bebas menembus membran sel dan kemudian masuk ke
dalam sitoplasma bersuasana pH tinggi. Pada kondisi pH tinggi (dalam
sitoplasma), asam laktat terdisosiasi sehingga menghasilkan proton yang
menurunkan pH sitoplasma. Sel akan berusaha mempertahankan pH internalnya
dengan cara menetralkan atau memaksa keluar proton. Usaha ini akan
memperlambat pertumbuhan bakteri karena energi pertumbuhan digunakan
untuk mengeluarkan proton. Jika pH eksternal rendah dan konsentrasi asam
ekstra seluler tinggi maka beban dari sel akan menjadi besar dan pH sitoplasma
akan menjadi turun. Hal ini tidak mungkin bisa dilalui pada kondisi pertumbuhan
dan jika terjadi maka sel akan mati.
D. Kemunduran Mutu Ikan
Sejak ikan diangkat dari air, serangkaian kemunduran mutu terjadi dan
membuat, bau, dan rasa ikan menjadi semakin buruk, sehingga menurunkan nilai
ekonomisnya. Perubahan ini terjadi sangat cepat tergantung jenis, ukuran, dan
bentuk ikan, suhu dan kondisi lingkungan ikan. Ikan adalah jenis makanan yang
paling mudah busuk (Mulyono, 2010).
Proses perubahan pada ikan setelah ikan mati terjadi karena aktivitas
enzim, mikroorganisme dan kimiawi. Ketiga hal tersebut menyebabkan tingkat
kesegaran ikan menurun. Penurunan tingkat kesegaran ikan ini terlihat dengan
adanya perubahan fisik, kimia, dan organoleptik pada ikan. Perubahan karena
faktor kimiawi dan mikrobiologi pada hakekatnya dapat terjadi secara
bersamaan, sedangkan kerusakan yang diakibatkan oleh kerusakan mekanik
-
11
karena terjadinya gencetan atau benturan. Urutan proses perubahan yang terjadi
pada ikan setelah mati (Mulyono, 2010) meliputi perubahan:
1. Pra rigor mortis
Perubahan ini merupakan peristiwa terlepasnya lendir dari kelenjar
dibawah permukaan kulit. Lendir yang dikeluarkan ini sebagian besar terdiri dari
glikoprotein dan musin yang merupakan media ideal bagi pertumbuhan bakteri.
Lendir dibentuk dalam sel pada kulit ikan dan proses pembentukannya akan
sangat efektif sesaat setelah ikan mati. Lendir tersebut banyak mengandung
senyawa nitrogen dan merupakan sumber hara bagi mikroorganisme. Lendir
juga mudah rusak dan menimbulkan aroma tidak sedap pada ikan, dan bakteri
berkembang biak lebih cepat (Mulyono, 2010).
2. Perubahan rigor mortis
Perubahan rigor mortis merupakan akibat dari suatu rangkaian perubahan
kimia yang kompleks di dalam otot ikan sesudah kematian. Fase ini ditandai
dengan tubuh ikan yang kejang setelah ikan mati. Setelah tahap kekejangan
dilampaui barulah ikan akan mengalami proses penurunan mutu yang
disebabkan oleh aksi enzimatik dan perubahan kimiawi (terutama proses
oksidasi), serta aksi bakterial. Proses kejang otot ini berlangsung secara terus-
menerus yang menyebabkan myomer pada jaringan pecah. Proses ini disebut
dengan gap (adanya jarak antara jaringan otot) dan menyebabkan pemisahan
jaringan otot. Fenomena pembentukan gap ini tergantung pada suhu, semakin
tinggi suhu ikan saat memasuki fase rigor mortis semakin besar gap yang akan
terbentuk. Dengan demikian, suhu ikan harus diperhatikan dan harus serendah-
rendahnya saat ikan dalam fase rigor mortis. Proses rigor mortis ini dikehendaki
selama mungkin, karena proses ini dapat menghambat proses penurunan mutu
oleh aksi mikroba (Mulyono, 2010).
-
12
3. Perubahan pasca rigor mortis (post-rigor)
Setelah ikan mati, enzim masih mempunyai kemampuan untuk bekerja
secara aktif, namun sistem kerja enzim menjadi tidak terkontrol karena organ
pengontrol tidak berfungsi lagi. Akibatnya enzim dapat merusak organ tubuh
ikan. Peristiwa ini disebut autolisis. Autolisis merupakan perombakan jaringan
yang disebabkan oleh enzim. Autolisis merupakan proses penguraian glikogen
menjadi asam laktat yangd isebabkan oleh pembakaran yang terjadi dalam
daging ikan sesaat sesudah aliran darah pada daging terhenti. Proses autolisis
terjadi pada struktur jaringan terutama sering terjadi pada lapisan sepanjang
myosept. Proses autolisis biasanya diikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri,
sebab semua hasil penguraian enzim selama proses autolisis merupakan media
yang sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri dan mikroorganisme lain.
Terjadinya autolisis membantu dalam menyediakan kebutuhan bakteri. Pada
keadaan tertentu autolisis akan menyebabkan ikan menjadi busuk (Mulyono,
2010).
4. Perubahan karena aktivitas mikroba
Pada tahapan ini bakteri telah terdapat dalam jumlah yang sangat banyak
akibat perkembang biakan yang terjadi pada fase-fase sebelumnya. Aksi bakteri
ini dimulai pada saat yang hamper bersamaan dengan autolisis, dan kemudian
berjalan sejajar. Bakteri merusak ikan lebih parah dari pada kerusakan yang
diakibatkan oleh enzim. Pemusatan bakteri terdapat di isiperut, insang, dan
selaput lendir ikan. Mikroorganisme tidak hanya menyebabkan penguraian
senyawa protein, tetapi juga senyawa yang mengandung nitrogen, lemak,
sampai peroksida, aldehida, keton, dan senyawa alifatik sederhana. Meskipun
demikian, penguraian senyawa nitrogen terjadi lebih cepat daripada penguraian
senyawa lemak. Penetrasi bakteri ke dalam jaringan otot dan penguraian oleh
bakteri terjadi secara paralel dengan proses autolisis. Kecepatan dan intensitas
-
13
proses tersebut tergantung pada suhu. Suhu yang rendah akan menghambat
aktivitas mikroorganisme, sehingga proses autolysis yang akan mendominasi.
Dekomposisi oleh bakteri terhadap protein ikan ternyata akan mengahasilkan
zat-zat yang bersifat toksik atau beracun dan berbau tidak sedap. Sewaktu
masih hidup ataupun segera sesudah mati, daging ikan masih dalam keadaan
steril. Setelah kematian berlangsung maka bakteri yang terdapat pada
permukaan tubuh ikan mulai mengadakan penetrasi ke dalam otot/daging.
Dekomposisi tersebut akan cepat terjadi setelah selesai fase rigor mortis
(Mulyono, 2010).
5. Perubahan karena oksidasi
Proses perubahan pada ikan dapat juga terjadi karena proses oksidasi
lemak sehingga timbul aroma tengik yang tidak diinginkan dan perubahan rupa
serta warna daging kearah cokelat kusam. Kandungan asam lemak tak jenuh
dalam daging ikan mudah mengalami proses oksidasi yang dapat menyebabkan
bau tengik dalam tubuh ikan itu sendiri, sehingga ikan segar harus cepat di
tangani dengan baik agar tetap layak di konsumsi (Florensia dkk., 2012).
Oksidasi lemak tidak jenuh merupakan masalah yang harus mendapat perhatian
yang sungguh-sungguh, karena oksidasi lemak akan mengakibatkan bau ikan
menjadi tidak enak. Hasil oksidasi lemak adalah hidroperoksida yang kemudian
akan teroksidasi lebih lanjut menjadi aldehida dan keton. Cara mencegah proses
oksidasi adalah dengan mengusahakan sekecil mungkin terjadinya kontak antara
ikan dengan udara bebas di sekelilingnya, yakni dengan menggunakan ruang
hampa udara atau pembungkus kedap udara, menggunakan antioksidan, atau
menghilangkan unsur-unsur penyebab proses oksidasi (Mulyono, 2010).
Oksidasi lemak dapat mewakili perubahan-perubahan yang lain yang berdampak
pada nutrisi dan keamanan mutu (Shaidi, 1995). Oksidasi lemak dapat di cegah
-
14
atau diminimalkan dengan menggunakan antioksidan. Antioksidan adalah bahan
aditif yang dapat melindungi bahan pangan dari kerusakan yang di sebabkan
oleh oksidasi seperti ketengikkan, perubahan warna dan kehilangan nilai gizi
(Harikedua, 2012).
E. Uji Sensoris
Uji sensoris menggunakan manusia yang sebagai instrumen. Salah satu
uji sensoris yang digunakan adalah uji afektif yang bertujuan untuk menilai
respon pribadi (kesukaan/penerimaan) dari produk tertentu atau karakteristik
produk suatu tertentu. Uji afektif dibagi menjadi dua katagori yaitu uji
pemilihan/preferensi dan uji peneriman. Uji penerimaan di ukur sebagai tingkat
kesukaan terhadap produk sedangkan uji prefensi menunjukkan ekspresi suatu
produk yang menonjol di banding produk lain (Adawiah, 2007).
Penggunaan metode skala membantu penentuan tingkat kesukaan dan
preferensi dari produk-produk yang di uji.Skala hedonik adalah skala yang umum
di gunakan.Parameter untuk menentukan kesegaran ikan terdiri atas faktor-faktor
fisikawi: sensori, organoleptik, kimiawi, dan mikrobiologi. Kesegaran ikan dapat
dilihat dengan metode yang sederhana dan lebih mudah dibandingkan dengan
metode lainnya dengan melihat kondisi fisik (Afrianto dan Liviawaty, 1989),yaitu
sebagai berikut:
1. Kenampakan luar
Ikan yang masih segar mempunyai kenampakan cerah dan tidak suram.
Keadaan itu dikarenakan belum banyak perubahan biokimia yang terjadi. Pada
ikan tidak ditemukan tanda-tanda perubahan warna, tetapi secara berangsur
warna makin suram, karena timbulnya lendir sebagai akibat berlangsungnya
proses biokimiawi lebih lanjut dan berkembangnya mikroba.
-
15
2. Kelenturan daging ikan
Daging ikan segar lentur jika dibengkokkan dan segera akan kembali ke
bentuknya semula apabila dilepaskan. Kelenturan itu dikarenakan belum
terputusnya jaringan pengikat pada daging. Pada ikan busuk jaringan
pengikatnya banyak mengalami kerusakan dan dinding selnya banyak yang
rusak sehingga daging ikan kehilangan kelenturan.
3. Keadaan mata
Parameter ini merupakan yang paling mudah untuk dilihat. Perubahan
kesegaran ikan akan menyebabkan perubahan yang nyata pada kecerahan
matanya.
4. Keadaan daging
Kualitas ikan ditentukan oleh dagingnya. Ikan yang masih segar berdaging
kenyal, jika ditekan dengan telunjuk atau ibu jari maka bekasnya akan segera
hilang. Daging ikan yang belum kehilangan cairan daging kelihatan basah dan
pada permukaan tubuh belum terdapat lendir yang menyebabkan kenampakan
ikan menjadi suram/kusam dan tidak menarik. Karena kerusakan pada jaringan
dagingnya timbul cairan sebagai tetes-tetes air yang mengalir keluar, dan daging
kehilangan kekenyalan tekstur.
5. Keadaan insang dan sisik
Warna insang dapat dikatakan sebagai indikator, apakah ikan masih segar
atau tidak. Ikan yang masih segar insangnya berwarna merah cerah, sedangkan
ikan yang tidak segar berwarna merah gelap. Insang ikan merupakan pusat
darah mengambil oksigen dari dalam air. Ikan yang mati mengakibatkan
peredaran darah terhenti, bahkan sebaliknya dapat teroksidasi sehingga
warnanya berubah menjadi merah gelap. Sisik ikan juga dapat menjadi
parameter kesegaran ikan. Untuk ikan bersisik, jika sisiknya masih melekat kuat,
tidak mudah dilepaskan dari tubuhnya berarti ikan tersebut masih segar
-
16
F. Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kesegaran Ikan
Ikan dikatakan baik jika masih dalam kondisi segar. Keadaan seperti inilah
yang paling disukai sebagai bahan pangan. Kesegaran ikan akan terpelihara
jika penanganan ikan berlangsung secara baik. Sebab yang disebut sebagai
ikan segar adalah bila perubahan-perubahan biokimiawi, mikrobiologi,
maupun sifat fisiknya dan semua yang terjadi belum sampai menyebabkan
kerusakan berat pada daging ikan (Widyasari, 2006).
Menurut Bahar (2006) dalam Mulyono (2010), kecepatan pembusukan
pada ikan ditentukan oleh beberapa hal antara lain:
1. Spesies ikan
Setiap jenis ikan memiliki kecepatan pembusukkan yang berbeda-beda
makin kecil ikan maka akan semakin cepat proses pembusukan terjadi.
2. Suhu
Ikan yang tertangkap pada daerah tropis lebih cepat membusuk di
bandingkan dengan ikan yang tertangkap di daerah dingin.
3. Fase Pertumbuhan
Ikan yang sedang dalam keadaan matang gonad akan lebih cepat
mengalami proses pembusukan dari pada ikan yang tidak dalam keadaan
matang gonad. Hal ini disebabkan kadar protein ikan yang sedang
dalam matang gonad lebih tinggi.
4. Kadar Air
Semakin tinggi kadar air yang terdapat pada tubuh ikan maka akan semakin
cepat terjadinya proses pembusukan pada ikan tersebut.
-
17
5. Cara ikan tertangkap
Ikan yang tertangkap dengan kondisi menggelepar-gelepar, akan lebih cepat
membusuk dari pada ikan yang tertangkap dengan jala.
Kesegaran adalah tolok ukur untuk membedakan ikan yang sudah tidak
baik dan ikan yang baik kualitasnya. Ciri-ciri ikan segar dan ikan yang
mulai busuk dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Ciri utama ikan segar bermutu tinggi dan bermutu rendah.
Parameter Ikan Segar Ikan tidak Segar
Mata Cerah, bola mata menonjol,
Kornea jernih
Bola mata cekung,pupil putih
susu, kornea keruh
Insang Warna merah cemerlang, tanpa
Lendir
Warna kusam dan berlendir
Lendir Lapisan lender jernih, transparan,
mengkilat cerah, belum ada
perubahan warna
Lendir berwarna kekuningan
sampai coklat tebal, warna
cerah hilang, pemutihan nyata
Daging dan
Perut
Sayatan daging sangat
cemerlang,
Berwarna asli, tidak ada
pemerahan sepanjang tulang
belakang, perut utuh, ginjal
merah terang,dinding perut
dagingnya utuh, bau isi perut
segar
Sayatan daging kusam,warna
merah jelas sepanjang tulang
belakang,dinding perut rapuh,
bau busuk
Bau Segar, bau rumput laut, bau
spesifik menurut jenis
Bau busuk
Konsistensi Padat,elastic bila di tekan dengan
jari,sulit menyobek daging dari
tulang
Sangat lunak,bekas jari tidak
hilang bila di tekan,mudah
sekali menyobek daging dari
tulang belakang
Sumber: SNI No.01-2729.1-2006
-
III. METEDOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini di laksanakan pada bulan Maret - April 2016, bertempat di
Laboratorium Teknologi Hasil Perikanan dan Laboratorium Mikrobiologi Laut
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
B. Alat dan Bahan
Alat yang di gunakan adalah kantong plastik zip, peniris, gelas ukur, pisau,
baskom, vorteks, oven sterilizer, cawan petri, pipet otomatis, bunsen, inkubator,
timbangan analitik, lumpang keramik, water bath, autoclave, hot-plate stirrer.
Bahan baku dalam penelitian ini ikan bandeng (Chanos Chanos Frosskal),
segar, gula pasir, aquades, Plate Count Agar (PCA), Butterfield’s phosphate
buffered (BFP), spiritus.
C. Prosedur Penelitan
1. Ikan Sampel dan Penyiapannya
Ikan bandeng segar yang digunakan berukuran 4 ekor/ kg dan diambil
langsung di tambak Maros. Ikan di masukkan kedalam coolbox, diberi es yang
cukup dan dibawa ke laboratorium untuk dijadikan bahan penelitian. Di
laboratorium ikan di buang insang dan isi perutnya, dicuci bersih lalu di tiriskan.
2. Larutan gula
Gula pasir di masukkan kedalam wadah yang bersih dan kering lalu di
larutkan dengan aquades untuk membuat laurutan dengan konsentrasi 0, 15,
25, dan 35%.
3. Perlakuan gula
Ikan sampel yang telah di tiriskan lalu di rendam selama 1 jam dalam
larutan gula pasir dengan konsentrasi 0, 15, 25, dan 35%. Setelah perendaman,
-
19
ikan dari setiap perlakuan di masukkkan ke dalam kantong plastik zip kemudian
disimpan pada suhu rendah dalam kulkas dan pada suhu ruang.
4. Uji organoleptik
Mutu ikan percobaan diuji secara organoleptik sekali dalam sehari. Uji
organoleptik dilakukan terhadap parameter kenampakan, mata, lendir permukaan
tubuh (LPT), bau, tekstur. Uji organoleptik dilakukan sampai ikan penelitian
mencapai batas nilai penerimaan nilai organoleptik dengan menggunakan score-
sheet untuk ikan segar sesuai dengan SNI No 01-279. 01-2006 (Lampiran 1).
5. Uji bakteri total
Pengujian dilakukan setiap hari terhadap bakteri total (angka lempeng total
ALT). Prosedur pengujian ALT mengikuti SNI No. 01-2332. 3-2006. Penentuan
ALT dilakukan dengan cara menimbang sampel secara asptis sebanyak 25 g.
Sampel di masukkan ke dalam wadah plastik streril dan ditambahkan 225 ml
larutan butterfielda phospate buffered kemudian dihomogenkan selama 2 menit.
Larutan yang di hasilkan merupakan pengenceran 10-1. Selanjutnya dengan
menggunakan pipet steril mengambil 1 ml larutan di atas dan di masukkan ke
dalam 9 ml laruran butterfielda phospate buffered lalu divortex. Larutan ini
merupakan pengenceran 10-2. Untuk mendapatkan pengenceran 10-3 , 10-4 dan
10-5 dilakukan dengan cara yang sama.
Dengan menggunakan matode cawan agar tuang, 1 ml dari setiap
pengenceran (10-1, 10-2, 10-3, 10-4, 10-5) dipipet ke dalam cawan petri steril. Ke
dalam masing-masing cawan petri yang berisi sampel ditambahkan 12-15 ml
PCA yang sudah didinginkan dalam water bath hingga mencapai suhu 45 ±1oC.
Agar sampel dan media tercampur sempurna dilakukan pemutaran cawan ke
depan dan belakang atau ke kiri dan kekanan, lalu menunggu hingga agar dalam
cawan memadat. Setelah itu cawan petri di balik dan di masukkan ke dalam
inkubator dan diinkubasi pada suhu 30 (± 10C) selama 24 jam. Setelah diinkubasi
-
20
hitung jumlah koloni yang tumbuh, dan jumlah ALT dihitung dengan
menggunakan rumus :
∑C N = -------------------------------------
[(1 x n1) + (0,1 x n2)] x (d)
Dimana :
N: jumlah bakteri, dinyatakan dalam satuan koloni per ml atau koloni per g.
∑C: jumlah koloni pada semua cawan yang dihitung
n1 : jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung
n2: jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung
d : pengenceran pertama yang dihitung.
D. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang di gunakan adalah rancangan acak lengkap
pola factorial dengan 2 faktor, yaitu konsentrasi gula pasir dan durasi (lama)
penyimpanan. Penelitian ini dipisahkan menjadi dua bagian berdasarkan suhu
penyimpanan, yaitu penyimpanan pada suhu ruang (kamar) dan penyimpanan
pada suhu rendah (3°C). Penelitian bagian pertama dilakukan untuk menguji
pengaruh penggunaan gula terhadap kesegaran ikan Bandeng yang disimpan
pada suhu kamar (ruang), sedangkan penelitian bagian kedua dilakukan untuk
menguji pengaruh penggunaan gula terhadap kesegaran ikan Bandeng yang
disimpan pada suhu rendah.
Perlakuan larutan gula pasir (faktor 1) yang digunakan baik pada penelitian
bagian pertama maupun pada penelitian bagian kedua adalah konsentrasi 0, 15,
25, dan 35%. Perlakuan durasi penyimpanan (faktor 2) adalah 2 hari untuk
penelitian bagian pertama, dan 9 hari untuk penelitian bagian kedua. Setiap
perlakuan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.
Khusus untuk perlakuan konsentrasi gula 0% yang disimpan pada suhu
ruang, total bakterinya juga dianalisa pada akhir hari pertama penyimpanan
-
21
dengan tujuan untuk mengetahui apakah total bakteri belum melampaui batas
maksimal yang dipersyaratkan untuk ikan segar sehingga masih dibutuhkan
untuk melakukan uji total bakteri pada hari kedua. Untuk penelitian bagian kedua,
total bakteri tidak dianalisa pada hari ke-9 karena bertepatan dengan hari libur
nasional, dimana laboran libur dan laboratorium tertutup. Secara singkat, alur
penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
E. Analisa Data
Data hasil penelitian di analisas menggunakan Anova untuk menguji
pengaruh perlakuan. Jika ada pengaruh perlakuan maka uji di lanjutkan
menggunakan uji Tukey untuk melihat perlakuan yang memberikan pengaruh
berbeda. Pengaruh perlakuan dan perbedaan antar perlakuan di tetapkan pada
tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Hasil pengolahan data penelitian
ditampilkan dalam bentuk gambar.
-
22
Gambar 2. Diagram alir alur penelitian
Ikan bandeng segar
Dibersihkan (insang
dan isi perut dibuang)
Ikan di cuci bersih
Direndam dalam larutan gula
dengan konsentrasi
0,15,25,dan 35% selama 1 jam
Uji organoleptik
dan ALT
Disimpan pada suhu
kamar ( ruang ) selama
2 hari
Sampling tiap hari untuk uji
organoleptik dan uji ALT
Disimpan pada suhu
kulkas 30 C
Sampling tiap hari sampai
hari ke-9 untuk uji
organoleptik dan sampai
hari ke-8 untuk uji ALT
-
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Uji Organoleptik
Penilaian mutu ikan bandeng Chanos-chanos Forsskal secara organoleptik
yang disimpan pada suhu kamar dan suhu rendah (kulkas) pada penelitian ini
meliputi kondisi mata, lendir permukaan tubuh (LPT), bau, dan tekstur.
1. Penyimpanan pada Suhu Kamar
a. Kondisi Mata
Hasil uji organoleptik memperlihatkan bahwa gula pasir dapat menghambat
perubahan (penurunan) kondisi mata ikan bandeng meskipun ikan disimpan
pada suhu kamar (Gambar 2). Pengaruh penggunaan gula pasir untuk
mengawetkan ikan bandeng terlihat sangat jelas terutama pada hari ke-2
penyimpanan pada suhu kamar. Laju penurunan kondisi mata ikan meurun
dengan meningkatnya konsentrasi gula pasir yang digunakan. Namun demikian,
hanya konsentrasi gula pasir 35% yang mampu mempertahankan kandisi mata
ikan berada pada level layak konsumsi (nilai organoleptik 5,9) sampai 2 hari
penyimpanan pada suhu kamar, meskipun ikan sudah tergolong kurang segar.
Standar minimal nilai organoleptik ikan segar menurut SNI No: 01-2729.1-2006
adalah sebesar 7.0.
Gambar 3. Nilai organoleptik mata ikan bandeng yang diawetkan dengan gula
pasir.
0
2
4
6
8
1 2
0% gula
15% gula
25% gula
35% gula
Nila
i Ma
ta
Lama Penyimpanan (hari)
-
24
Untuk ikan yang disimpan pada suhu kamar, hasil Anova memperlihatkan
bahwa baik konsentrasi gula pasir, lama waktu penyimpanan maupun
interaksinya berpengaruh secara nyata (p0.05), tetapi kedua perlakuan tersebut menghasilkan nilai organoleptik
mata ikan yang berbeda nyata (p
-
25
Hasil uji statistik menggunakan Anova memperlihatkan bahwa konsentrasi
gula pasir, lama waktu penyimpanan dan interaksinya memberikan pengaruh
nyata (p0.05) tetapi keduanya
memberikan nilai organoleptik yang lebih tinggi dan berbeda nyata (p0.05) (Lampiran 3). Uji-t
menunjukkan bahwa nilai organoleptik ikan berdasarkan penyimpanan 1 dan 2
hari berbeda nyata (p
-
26
Gambar 5. Nilai organoleptik bau ikan bandeng yang diawetkan dengan gula
pasir.
Hasil Uji-t pada (Lampiran 6) memperlihatkan bahwa hanya lama waktu
penyimpanan yang berpengaruh nyata (p0.05) (Lampiran 4).
d. Tekstur
Penggunaan gula pasir sebagai pengawet untuk ikan bandeng tidak dapat
mempertahankan konsistensi daging ikan (tekstur) tetap baik jika ikan bandeng
disimpan pada suhu kamar lebih dari 1 hari (Gambar 5). Namun demkian, tekstur
ikan bandeng lebih baik jika diberi pengawet gula pasir pada konsentrasi 25 dan
35% dan hanya disimpan selama 1 hari pada suhu kamar. Pada hari ke-2
penyimpanan pada suhu kamar, nilai organoleptik ikan bandeng telah menurun
drastis dan mencapai level kondisi tekstur ikan busuk. Standar minimal nilai
organoleptik ikan segar menurut SNI No: 01-2729.1-2006 adalah sebesar 7,0.
0
2
4
6
8
10
1 2
0% gula
15% gula
25% gula
35% gulaNila
i Ba
u
Lama Penyimpanan (hari)
-
27
Gambar 6. Nilai organoleptik tekstur ikan bandeng yang diawetkan dengan gula
pasir.
Hasil Uji-t dan Anova menunjukkan bahwa lama waktu penyimpanan
(Lampiran 6) dan konsentrasi gula pasir, serta interaksi antara lama waktu
penyimpanan dengan konsentrasi gula pasir dalam memberikan berpengaruh
nyata (p
-
28
2. Penyimpanan pada suhu rendah (Kulkas)
a. Kondisi Mata
Hasil penilaian organoleptik kondisi mata ikan bandeng yang diawetkan
dengan gula pasir menunjukkan bahwa penurunan kondisi mata ikan dapat di
hambat dengan menggunakan gula pasir. (Gambar 7) memeperlihatkan bahwa
kondisi mata ikan baru mengalami penurunan setelah di simpan selama 4 hari
pada suhu rendah (dalam kulkas). Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa laju
penurunan kondisi mata ikan mengalami penurunan dengan meningkatnya
konsentrasi gula. Konsentrasi gula pasir 25 dan 35% dapat mempertahankan
kondisi mata ikan pada level layak di konsumsi sampai 7 hari penyimpanan
dalam kulkas.
Gambar 7. Nilai organoleptik mata ikan bandeng yang diawetkan dengan gula
pasir.
Hasil uji dengan Anova dua arah memperlihatkan bahwa baik konsentrasi
gula, Lama waktu penyimpanan pada suhu rendah maupun interaksi antara
konsentrasi gula dengan lama penyimpanan berpengaruh nyata (0
-
29
mengindikasikan bahwa konsentrasi gula dan lama penyimpanan secara
bersama-sama mempengaruhi nilai organoleptik mata ikan bandeng yang
diawetkan.
Hasil uji Tukey (Lampiran 7) pengaruh konsentrasi gula terhadap nilai
organoleptik mata ikan memperlihatkan bahwa konsentrasi gula 0 dan 35%
menghasilkan nilai organoleptik mata ikan bandeng yang berbeda nyata (p
-
30
Gambar 8. Nilai organoleptik LPT ikan bandeng yang diawetkan dengan gula
pasir.
Hasil Anova dua arah memperlihatkan bahwa nilai organoleptik LPT
dipengaruhi secara nyata (p
-
31
memperlihatkan bahwa konsentrasi gula 0 dan 35% menghasilkan nilai
organoleptik LPT ikan bandeng yang berbeda nyata (P
-
32
Nilai organoleptik bau ikan yang diuji menggunakan Anova dua arah
menunjukkan bahwa konsentrasi gula lama waktu penyimpanan dan
interaksinya, berpengaruh secara nyata (p
-
33
Hasil uji menggunakan Anova dua arah (Lampiran 10) memperlihatkan
bahwa kedua variabel yang di ujikan (konsentrasi gula dan lama penyimpanan)
serta interaksinya berpengaruh nyata (p
-
34
pertumbuhan bakteri sudah sangat kuat sehingga laju pertumbuhan bakteri juga
sangat rendah.
Gambar 11. Nilai ALT ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan
disimpan pada suhu kamar.
Hasil Anova Uji-t memperlihatkan bahwa konsentrasi gula pasir dan lama
penyimpanan (Lampiran 6) serta interaksinya berpengaruh nyata (p0.05), tetapi keduanya berbeda nyata (p0.05).
2. ALT Penyimpanan pada Suhu Rendah (Kulkas).
Angka lempeng total (ALT) ikan bandeng yang diawetkan dengan gula
pasir dan disimpan pada suhu rendah (di dalam kulkas) menunjukkan bahwa
pertumbuhan bakteri dapat di hambat dengan menggunakan gula pasir. (Gambar
11) memeperlihatkan bahwa penggunaan gula pasir pada konsentrasi ≥ 15%
Lama Penyimpanan (hari)
-
35
mampu menghambat atau bahkan menghentikan pertumbuhan bakteri. Dari
gambar tersebut juga terlihat bahwa ada hubungan terbalik antara konsentrasi
gula pasir dengan pertumbuhan bakteri. Semakin tinggi konsentrasi gula pasir
yang digunakan maka semakin rendah jumlah bakteri yang ada, dan hal ini
menandakan adanya bakteri yang tidak tahan terhadap kasar gula tinggi
sehingga mengalami kematian. Gambar 12 tersebut juga memberikan indikasi
bahwa efek antibakteri dari gula diperkuat oleh suhu rendah, sehingga
penggunaan gula sebagai bahan pengawet yang dikombinasikan dengan
penyimpanan pada suhu rendah akan menekan bahkan menurunkan jumlah
bakteri pada ikan yang diawetkan.
Gambar 12. Nilai ALT ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan
disimpan pada suhu rendah.
Hasil Anova (Lampiran 12) memperlihatkan bahwa konsentrasi gula dan
lama penyimpanan pada suhu rendah berpengaruh secara nyata (p
-
36
dalam mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Hasil uji Tukey (Lampiran 12)
menunjukkan bahwa ALT pada ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir
dan disimpan pada suhu rendah tidak berbeda antara konsentrasi 15, 25 dan
35%, tetapi ALT pada ikan bandeng pada ketiga konsentrasi tersebut lebih
rendah dan berbeda nyata (p
-
37
disebabkan dalam tubuh ikan tersedia gizi yang memadai sebagai sumber
makanan dan media bagi pertumbuhan bakteri. Daging ikan merupakan
substrat yang sangat baik untuk bakteri karena menyediakan senyawa-
senyawa yang dapat menjadi sumber nitrogen, karbon, dan nutrien-nutrien lain
untuk kebutuhan hidupnya (Mulyono; 2010).
Hasil penilitian ini menunjukkan bahwa gula pasir dapat menghambat
pertumbuhan bakteri pada ikan. Bakteri pembusuk yang berperan pada proses
kemunduruan mutu ikan antara lain Acinetobacter spp., Achromobacter spp.,
Pseudomonas spp., Moraxella spp., Aeromonas spp., Flavobacterium spp.,
Shewanella spp., serta beberapa jenis bakteri gram negatif lainnya. Dari
kelompok bakteri Gram positif antara lain: Bacillus spp., Micrococcus spp.,
Clostridium spp., Corinebacterium spp., dan Lactobacillus spp., sering dijumpai
pada ikan-ikan yang telah busuk (Buckle et al., 1987; Gram dan Huss 1996).
Pada suhu kamar, ikan lebih cepat memasuki fase rigor mortis dan
berlangsung lebih singkat. Jika fase rigor mortis tidak dapat di pertahankan lebih
lama, maka pembusukkan oleh aktivitas enzim dan bakteri akan berlangsung
lebih cepat. Aktivitas enzim dan bakteri tersebut menyebabkan perubahan yang
sangat cepat sehingga ikan memasuki fase post rigor dalam waktu singkat
setelah ikan mati. Fase ini menunjukkan mutu ikan ini sudah mengalami
penurunan (FAO, 1995). Menurut Iiyas (1983), mutu ikan cepat turun pada suhu
25-100C dan awet selama 3-10 jam.
Gula adalah salah satu pengawet alami yang aman dan merupakan
sumber antimikroba yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat (BAL). BAL dapat
menghasilkan produk metabolit yang bersifat antimikroba antara diasetil,
hidrogen peroksida, asam organik, dan bakteriosin. Kelompok bakteri asam laktat
menghasilkan sejumlah besar asam laktat sebagai hasil akhir dari karbohidrat
atau hasil metabolisme glukosa. Bakteri asam laktat dapat menghambat
-
38
pertumbuhan dari beberapa jenis organisme lainnya (Jay et al., 2005). Asam
laktat dihasilkan dengan menurunkan nilai pH dari lingkungan pertumbuhannya
dan menimbulkan rasa asam. Bakteri asam laktat terbagi menjadi dua kelompok
berdasarkan hasil akhir dari metabolisme glukosa yaitu bersifat homofermentatif
dan heterofermentatif. Jenis-jenis homofermentatif yang terpenting 5
menghasilkan hanya asam laktat dari metabolisma glukosa. Kelompok
heterofermentatif menghasilkan karbondioksida dan asam-asam volatil
(menguap) lainnya, alkohol dan ester disamping asam laktat (Buckle et al.,
1987).
Teknik penanganan ikan yang paling umum dilakukan untuk menjaga
kesegaran ikan adalah penggunaan suhu rendah. Pada kondisi suhu rendah
pertumbuhan bakteri pembusuk dan proses-proses biokimia yang mengarah
pada kemunduran mutu berlangsung lebih lambat. Hasil penelitian ini
mengindikasikan bahwa ada kerja sinergis antara gula pasir dengan suhu rendah
yang digunakan. Hal ini terbukti dengan lebih rendahnya jumlah bakteri yang ada
pada ikan bandeng yang diberi perlakuan gula pasir sebagai pengawet
dibandingkan dengan jumlah bakteri pada ikan bandeng tanpa pengawet gula
pasir. Penyimpanan pada suhu rendah menekan pertumbuhan bakteri, tetapi
penggunaan gula pasir pada ikan yang disimpan pada suhu rendah
memperbesar daya hambat terhadap pertumbuhan bakteri. Bakteri yang
pertumbuhan dan aktivitasnya terhambat pada penyimpanan suhu rendah
biasanya dari jenis bakteri termorfil dan mesofil (Gelman et al., 2001).
-
39
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Gula pasir dapat menghambat penurunan mutu ikan bandeng segar
sehingga dapat digunakan untuk mengawetkan ikan (bandeng) segar.
Kesegaran ikan (bandeng) yang direndam selama satu jam dalam larutan gula
pasir dengan konsentrasi 25% dan disimpan pada suhu kamar dapat bertahan
selama satu hari pada level layak konsumsi, dan jika disimpan pada suhu rendah
(kulkas) dapat bertahan sampai 9 hari. Pada konsentrasi gula pasir 35%,
penurunan nilai organoleptik dan pertumbuhan bakteri pada ikan bandeng
terhambat secara signifikan sehingga kesegaran dan daya simpannya dapat
diperpanjang.
B. Saran
a. Jika mengawetkan ikan (bandeng) segar dengan gula pasir, maka
sebaiknya menggunakan konsentrasi gula pasir lebih tinggi dari 15%.
b. Perlu penelitian serupa terhadap ikan-ikan jenis lainnya agar diperoleh
informasi yang lebih luas mengenai potensi penggunaan gula pasir
sebagai bahan pengawet ikan segar.
-
40
DAFTAR PUSTAKA
Adawiah, R, 2007. Pengelolahan dan Pengawetan Ikan. Haka Grafis, Jakarta.
Afrianto, E. dan Liviawaty, E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kasinus.
Yogyakarta.
Afrianto, E. dan Liviawaty, E. 2005. Pakan Ikan. Kanisius, Yogyakarta.
AP2HI. 2016. Ikan Bandeng. Asosiasi Perikanan Pole and Line dan Handline
Indonesia. www. Ap2hi.org/?. Knowledge-shering= ikan bandeng. Diakses
21 maret 2016, pukul 09:05.
Birch, G.G., dan Parker, K.J. 1979. Sugar : Science and Technology. Apllied
Science Publisher, London.
Buckle, K.A, Edward, R.A, Fleet, G.Hand Wooten, M. 1985. Food Science,
Waston Ferguson and Co Brisbane.
Buckle, K. A., Edwards, R. A. Fleet, G.H. and Wootton, M. 1987. Ilmu Pangan.
Terjemahan: H. Purnomo dan Adiono. Universitas Indonesia Press,
Jakarta.
Cahyo dan Hidayanti. 2006. Bahan Tambahan Pangan, Kanisus. Yogyakarta.
DeMan, J.M. 1997. Kimia Makanan. ITB, Bandung.
Fennema, O.R., 1976. Principle of Food Science Part I, Food Chemistry. Marcel
Dekker Inc, New York.
Florensia, S., Pramesti Dewi, Nur Rahayu Utami. 2012. Pengaruh ekstrak
lengkuas pada perendaman ikan bandeng. Jurnal FMIPA Universitas
Negeri Semarang.
Ghufron. 1994. Pembenihan Bandeng. BBI. Pemeliharan Budidaya Ikan Tawar
Kalimantan.
Gelman, A., Glatman L., Drabkin, V., dan Harpas, S. 2001. Effect of storage
temperstur and preservative treatment on shelf life of the pondraised
freshwater fish, silver perch (Bidyanus). Journal Food Protection, 64:1584-
15.
Goutara dan Wijandi, S. 1985. Dasar Pengolahan Gula. Departemen Teknologi
Hasil Pertanian IPB, Bogor.
-
41
Gram, L. and Huss, H.H. 1996, Microbiological spoilage of fish and fish products.
Int. J. Food Microbiol., 33(1):121-137.
Harikedua, S.D. 2012. Penghambat oksidasi lipida ikan tuna olah air jahe selama
penyimpanan dingin. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis Vol. VIII-1.
Indriati, A. 2006. Identifikasi dan diagnosa Trichodina sp. dan Dactylogyrus sp.
pada ikan mas di Stasiun Karantina Ikan Kelas II Luwuk.
Irianto. 2005. Pengawetan Ikan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Iiyas, S. 1983. Teknologi Refrigrasi Hasil Perikanan. Jilid 1. Pusat Penelitian dan.
Pengembangan Perikanan. Jakarta.
Jay, J. M., Loessner, M. J. and Golden, D. A. 2005. Modern Food Microbiology.
7th ed. Springer Science Business Media, LLC, New York.
Junianto. 2003. Tehnik Penanganan Ikan. Penerbit Swadaya. 118 hlm Jakarta.
Moeljanto, R. 2002. Pendinginan dan Pembekuan. Penerbit Swadaya, Jakarta.
Mulyono. 2010. Pengaruh Penggunaan Berbagai Konsentrasi Biji Kluwak
(Pangium edule) Terhadap Daya Awet Ikan Bandeng (Chanos chanos
Forsk) Segar. Skripsi, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas
Diponegoro, Semarang.
Naidu, A. S. dan Clemens, R. A. 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC
Press, LCC.
Prahasta, A. dan Masturi, H. 2009. Agribisnis Bandeng. Pustaka Grafika,
Bandung.
Pamijiati, W. 2009. Pengaruh Ekstrak Daun Selasih (Ocimum basilicum Linn)
Terhadap Mutu Kesegaran Ikan Bandeng (Chanos chanos Forsk) Selama
Penyimpanan Dingin. Skripsi. Universitas Diponegoro, Semarang.
Rahmawati, R.D. 2006. Studi Viabilitas dan Aktivitas Antimikrobial Bakteri
Probiotik (Lactobacillus acidophillus) dalam Medium Fermentasi Berbasis
Susu dan Bekatul Selama Proses Fermentasi. Skripsi. Jurusan THP.
Universitas Brawijaya. Malang.
Saanin, H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I-II. Edisi II. Bina
Cipta Bogor.
Shaidi. 2005. Teknologi Pangan, Gadjah Mada University Press Yogyakarta.
-
42
SNI, ALT, 2006. Batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan. SNI No-01-
2332.3. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.
SNI, Ikan bermutu tinggi dan rendah, 2006. SNI No.01-27291. Badan
Standarisasi Nasional, Jakarta.
Spreer, E. 1998. Milk and Dairy Product Technology. Marcel Dekker Inc. USA.
Sudarmadji, S. 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian.
Edisi ke tiga, Yogkyakarta, Liberty.
Sudrajat, A. 2008. Budidaya 23 Komoditas Laut Menguntungkan. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Suparmo dan Sudarmanto. 1991. Proses Pengolahan Tebu. PAU Pangan dan
Gizi. UGM. Yogyakarta.
Surono, 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. YAPPMMI. Jakarta.
Sutikno, E. 2011. Pembuatan Pakan Buatan Ikan Bandeng. Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau
Jepara. p.1-34.
Syamsuddin, R. 2010. Sektor Perikanan Kawasan Indonesia Timur: Potensi,
Permasalahan, dan prospek. PT. Perca, Jakarta.
Soeparno, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada Universitas Press.
Yogyakarta.
Tamime, A.Y. 2006. Fermented Milks. Blackwell, UK.
Todorov, S.D. and Dicks, L.M.T. 2007. Bacteriocin production by Lactobacillus
pentosus ST712BZ isolated from boza. Brazilian Journal of Microbiology
vol. 38 no. 1.
Ward, A. G. and Courts, A. 1977. The Science and Technology of Gelatine,
Academic Press. London.
Wikipedia, 2015. http//id.wikipedia.org/wiki/pengawetan makanan. Diakses 21
maret 2016, pukul 09:00.
Widyastuti. 2005. Pemanfaatan limbah pegolahan ikan. Bogor.
Widyasari, Yulisha Anggun., 2006. “Pengaruh Fasilitas Dan Pelayanan Terhadap
Kepuasan Konsumen pada Hotel Graha Santika Semarang”. Skripsi
Semarang : STIKUBANK
-
43
Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta. Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta
Yang, Z. 2000. Antimicrobial Compounds and Extracellular Polysaccharides
Produced By Lactic Acid Bacteria: Structure and Properties. Department of
Food Technology University of Helsinki.
-
44
L A M P I R A N
-
45
Lampiran 1. Score sheet organoleptik ikan segar
Nama Panelis : ……………………………………
Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melalukan
pengujian
Baerilah tanda √ pada nilai yang di pilh sesuai kode contoh yang di uji
Spesifikasi Nilai Kode Contoh
1 2 3
1. Mata
Cerah, bola mata menonjol, kornea jernih 9
9
Cerah, bola mata rata, kornea jernih 8
8
Agak cerah, bola mata rata, pupil agak ke abu-abuan,
kornea agak keruh
7
7
Bolah mata agak cekung, pupil berubah keabu-abuan,
kornea agak keruh,
6
6
Bola mata agak cekung, pupil ke abu-abuan, kornea
agak keruh
3
5
Bola mata cekung, pupil mulai berubah menjadi putih
susu, kornea keruh
3
3
Bola mata sangat cekung, kornea agak kuning 1
1
2. Lendir Permukaan Tubuh
Lapisan lender jernih, transparan, mengkilat cerah 9
9
Lapisam lendir jernih, transparan, cerah, belum ada
perubahan warna
8
8
Lapisan lender mulai agak keruh, warna agak putih,
kurang transparan
7
7
Lendir tebal menggumpal, mulai berubah warna putih
keruh
6
6
Lendir tebal menggumpal, berwarna putih kuning 5
5
Lendir tebal menggumpal, warna kuning kecoklatan 3
3
3. Bau
Bau sangat segar, spesifik jenis 9
9
Segar, spesifik jenis 8
8
Netral 7
-
46
7
Bau amoniak mulai tercium, sedikit bau asam 5
5
Bau amoniak kuat, ada bau H2S, bau asam jelas dan
busuk
3
3
Bau busuk jelas 1
1
4. Tekstur
Padat, elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek
daging dari tulang belakang
9
9
Agak padat, elastis bila di tekan dengan jari, sulit
menyobek daging dari tulang belakang
8
8
Agak padat, agak elastis bila di tekan dengan jari, sulit
merobek daging dari belakang
7
7
Agak lunak kurang elastis bila di tekan dengan jari,
agak mudah menyobek daging dari tulang belakang
5
5
Lunak, bekas jari terlihat bila di tekan, mudah
menyobek daging dari tulang belakang
3
3
Sangat lunak, bekas jari tidak hilang bila di tekan,
mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang
1
1
-
47
Lampiran 2. Hasil uji organoleptik mata ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu ruang (kamar).
Hari Konsentrasi
(%)
Panelis ke-
Total Rerata 1 2 3 4 5 6
Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2
1
0 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 84 7.00
15 7 7 7 7 8 7 8 8 7 7 7 7 87 7.25
25 9 9 9 7 8 7 8 7 8 7 7 7 93 7.75
35 8 8 7 7 7 8 7 8 8 8 8 7 91 7.58
2
0 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 36 3.00
15 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 3 3 56 4.67
25 6 5 5 5 6 5 6 5 5 6 5 5 64 5.33
35 6 7 5 6 7 5 7 7 6 7 5 6 74 6.17
-
48
Lampiran 3. Hasil uji organoleptik LPT ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu ruang (kamar).
Hari Konsentrasi
(%)
Panelis ke-
Total Rerata 1 2 3 4 5 6
Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2
1
0 7 7 7 7 7 6 7 7 7 6 7 7 82 6.83
15 8 7 7 7 8 7 8 7 7 7 7 7 87 7.25
25 9 9 8 7 8 8 7 7 9 9 8 8 97 8.08
35 8 7 8 7 8 9 8 8 7 7 8 7 92 7.67
2
0 7 7 7 6 7 7 6 6 7 6 6 6 78 6.50
15 6 6 5 3 5 5 6 6 5 5 5 5 62 5.17
25 7 6 7 6 8 8 7 6 6 6 6 6 79 6.58
35 7 7 7 8 8 7 8 8 8 7 8 8 91 7.58
-
49
Lampiran 4. Hasil uji organoleptik bau ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu ruang (kamar).
Hari Konsentrasi
(%)
Panelis ke-
Total Rerata 1 2 3 4 5 6
Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2
1
0 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 8 85 7.08
15 8 8 7 7 8 7 8 7 8 7 7 7 89 7.08
25 9 9 8 9 7 7 8 8 8 8 7 7 95 7.92
35 9 9 7 8 8 9 8 8 9 9 7 7 98 8.17
2
0 3 3 3 3 1 1 1 1 3 3 1 1 24 2.00
15 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 1.00
25 3 3 3 3 1 1 1 1 3 3 1 1 24 2.00
35 1 1 3 3 1 1 3 3 1 1 1 1 20 1.67
-
50
Lampiran 5. Hasil uji organoleptik tekstur ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu ruang (kamar).
Hari Konsentrasi
(%)
Panelis ke
Total Rerata 1 2 3 4 5 6
Ikan 1
Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2
1
0 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 8 7 85 7.08
15 7 7 7 7 8 8 7 7 7 7 7 7 86 7.17
25 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 8 8 106 8.83
35 9 9 9 9 8 8 8 8 9 9 8 8 102 8.50
2
0 3 3 3 3 1 1 3 1 1 1 1 1 22 1.83
15 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 36 3.00
25 3 3 3 3 1 1 3 1 1 1 1 1 22 1.83
35 3 3 3 3 1 1 1 1 3 3 1 1 24 2.00
-
51
Lampiran 6. Hasil uji organoleptik mata ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu rendah (3
Hari Konsentrasi
(%)
Panelis ke-
Total Rerata 1 2 3 4 5 6
Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2
1
0 9 9 8 9 9 8 8 9 8 9 8 9 103 8.58
15 8 9 8 8 8 8 9 9 8 8 8 9 100 8.33
25 9 9 9 9 8 8 8 9 8 9 8 9 103 8.58
35 8 8 9 9 8 9 8 8 8 9 8 9 101 8.42
2
0 7 7 9 9 6 6 8 8 8 8 7 8 91 7.58
15 7 7 7 7 8 8 7 6 7 7 7 7 85 7.08
25 8 9 7 7 7 7 8 7 7 7 8 9 91 7.58
35 9 9 8 8 9 9 9 9 8 9 9 9 105 8.75
3
0 8 8 7 7 8 8 8 8 9 8 9 9 97 8.08
15 8 8 8 8 8 8 8 8 9 9 8 8 98 8.17
25 9 8 8 8 7 6 9 8 8 8 9 8 96 8.00
35 9 9 9 9 9 9 9 9 8 8 8 9 105 8.75
4
0 9 8 9 8 9 9 9 8 8 8 8 9 102 8.50
15 9 9 9 9 8 9 9 8 8 9 8 9 104 8.67
25 9 9 8 8 7 7 7 6 7 7 7 6 88 7.33
35 9 9 8 8 8 8 8 9 8 8 8 7 98 8.17
5
0 5 5 5 5 5 5 3 3 5 5 5 3 54 4.50
15 5 5 6 6 6 6 6 6 5 5 6 6 68 5.67
25 7 6 7 6 7 6 7 6 6 7 6 7 78 6.50
35 8 8 7 8 7 7 8 8 7 8 8 7 91 7.58
-
52
6
0 5 5 3 3 5 5 5 5 5 5 3 3 52 4.33
15 6 6 6 6 6 6 5 5 6 6 6 6 70 5.83
25 7 7 7 7 7 7 7 7 7 6 6 6 81 6.75
35 7 8 8 8 8 8 8 7 7 8 8 8 93 7.75
7
0 7 7 6 7 5 7 6 6 5 6 5 5 72 6.00
15 7 7 7 7 6 6 6 6 7 7 5 6 77 6.42
25 7 7 7 6 6 5 6 5 6 6 5 6 72 6.00
35 6 6 6 6 6 6 7 7 6 6 8 8 78 6.50
8
0 1 3 3 1 1 1 1 1 3 3 1 1 20 1.67
15 1 3 1 3 5 5 3 3 3 3 5 5 40 3.33
25 6 5 5 5 6 5 5 5 5 5 6 6 64 5.33
35 6 6 6 6 3 3 6 5 6 6 6 6 65 5.42
9
0 5 3 5 5 3 6 3 6 3 6 3 5 53 4.42
15 5 5 5 3 5 5 6 3 3 6 6 7 59 4.92
25 6 6 5 5 5 5 5 6 6 5 5 5 64 5.33
35 6 6 6 5 5 6 6 6 6 5 6 6 69 5.75
-
53
Lampiran 7. Hasil uji organoleptik LPT ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu rendah (3
Hari Konsentrasi
(%)
Panelis ke-
Total Rerata 1 2 3 4 5 6
Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2
1
0 7 8 9 7 9 7 7 7 9 8 8 8 94 7.83
15 7 9 7 9 7 9 9 9 7 9 8 9 99 8.25
25 9 9 9 9 9 8 9 9 9 8 9 9 106 8.83
35 8 9 7 9 7 9 8 9 9 9 8 9 101 8.42
2
0 7 7 6 6 7 7 9 9 8 8 8 7 89 7.42
15 7 7 7 7 8 7 9 9 8 8 7 7 91 7.58
25 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 96 8.00
35 9 8 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 107 8.92
3
0 8 8 7 7 8 8 9 8 9 8 9 9 98 8.17
15 9 9 8 8 8 8 8 8 9 8 8 9 100 8.33
25 9 9 8 7 8 7 9 8 8 8 8 9 98 8.17
35 8 8 8 9 8 8 8 9 9 9 9 8 101 8.42
4
0 6 6 6 6 7 7 6 6 6 6 7 7 76 6.33
15 7 7 7 7 7 7 7 7 8 8 8 7 87 7.25
25 8 8 7 7 8 7 8 7 8 7 7 7 89 7.42
35 7 7 8 8 8 8 8 7 8 7 8 8 92 7.67
5
0 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 72 6.00
15 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 84 7.00
25 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 84 7.00
35 8 8 8 8 8 8 9 7 9 7 9 7 96 8.00
-
54
6
0 6 6 7 7 6 6 7 7 6 6 6 6 76 6.33
15 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 84 7.00
25 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 84 7.00
35 7 8 7 7 7 7 7 7 8 7 7 7 86 7.17
7
0 7 7 6 6 6 6 6 6 7 7 6 6 76 6.33
15 7 7 6 6 6 6 6 6 6 6 6 7 75 6.25
25 7 7 8 8 7 7 7 7 7 7 6 6 84 7.00
35 7 7 8 8 8 8 8 8 7 7 8 6 90 7.50
8
0 3 5 5 3 5 5 5 5 3 3 5 5 52 4.33
15 5 3 5 5 5 3 3 5 3 6 5 3 51 4.25
25 7 7 7 6 7 6 7 7 5 6 6 5 76 6.33
35 7 7 6 6 5 5 7 7 7 7 7 7 78 6.50
9
0 6 6 6 6 6 6 6 6 6 5 5 6 70 5.83
15 6 6 5 5 5 6 6 6 6 6 6 6 69 5.75
25 6 6 7 7 7 5 7 7 5 5 6 6 74 6.17
35 7 7 5 6 7 7 7 7 7 7 7 7 81 6.75
-
55
Lampiran 8. Hasil uji organoleptik bau ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu rendah (3 )
Hari Konsentrasi
(%)
Panelis ke-
Total Rerata 1 2 3 4 5 6
Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2
1
0 9 9 9 9 9 8 9 9 9 8 9 9 106 8.83
15 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 108 9.00
25 9 9 9 9 9 8 9 9 9 8 9 9 106 8.83
35 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 108 9.00
2
0 7 7 8 8 7 7 8 8 8 8 8 8 92 7.67
15 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 96 8.00
25 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 9 8 97 8.08
35 9 8 9 9 9 9 9 9 9 9 8 8 105 8.75
3
0 8 8 7 7 9 9 8 8 8 8 8 8 96 8.00
15 9 9 8 8 9 9 8 8 8 9 8 8 101 8.42
25 9 9 9 9 8 8 9 9 8 8 8 9 103 8.58
35 9 9 9 9 8 8 9 9 9 9 8 8 104 8.67
4
0 8 8 9 8 8 9 9 9 8 9 9 8 102 8.50
15 9 8 8 9 9 9 9 9 9 8 9 9 105 8.75
25 9 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 97 8.08
35 9 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 97 8.08
5
0 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 84 7.00
15 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 84 7.00
25 7 7 8 8 7 7 7 7 8 8 7 7 88 7.33
35 8 8 8 8 8 8 7 7 8 8 8 8 94 7.83
-
56
6
0 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 84 7.00
15 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 84 7.00
25 7 7 7 7 8 8 7 7 8 8 7 7 88 7.33
35 7 7 7 7 7 7 7 7 8 8 8 8 88 7.33
7
0 7 7 7 7 7 6 7 6 7 6 6 6 79 6.58
15 6 6 7 7 6 7 7 6 7 6 7 6 78 6.50
25 7 8 8 7 7 7 7 5 7 7 7 7 84 7.00
35 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 84 7.00
8
0 3 5 3 3 5 5 1 1 3 3 1 1 34 2.83
15 5 5 3 3 5 5 7 5 5 5 7 7 62 5.17
25 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 84 7.00
35 7 7 7 7 7 7 7 7 5 7 7 7 82 6.83
9
0 7 5 5 5 5 3 3 3 3 5 5 5 54 4.50
15 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 60 5.00
25 7 7 5 5 7 7 5 5 5 5 7 7 72 6.00
35 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 5 82 6.83
-
57
Lampiran 9. Hasil uji organoleptik tekstur ikan bandeng yang diawetkan dengan gula pasir dan disimpan pada suhu rendah (3
Hari Konsentrasi
(%)
Panelis ke-
Total Rerata 1 2 3 4 5 6
Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2 Ikan 1 Ikan 2
1
0 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 108 9.00
15 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 108 9.00
25 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 108 9.00
35 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 9 108 9.00
2
0 7 7 3 7 8 8 8 8 8 8 7 7 86 7.17
15 9 9 9 9 9 9 9 9 8 8 9 9 106 8.83
25 9 9 8 8 8 8 9 9 9 9 9 9 104 8.67
35 9 9 9 9 9 9 9 9 9