ee indonesia a1.doc
DESCRIPTION
apa nihTRANSCRIPT
…………………………………………………………………..
Extended Essay
CoverCandidate name:Candidate number:Word Count:Examination Session:
1
Acknowledgement~Acknowledgement~
Walaupun dengan latar belakang budaya Jawa yang sangat kuat, saya ingin memberi sedikit pandangan tentang budaya yang telah
saya telan setiap hari ini. Sejak kecil aku selalu dididik untuk menjadi anak perempuan yang nantinya bisa menjadi Ibu rumah tangga yang baik. Kenapa harus
jadi Ibu rumah tangga? Aku ingin menjadi sesuatu yang lebih.Terima kasih banyak saya tunjukan kepada Ibu Tiwi yang telah
mendorong saya untuk memperdalam topik ini dan memberikan banyak bantuan ide selama proyek essai ini saya kerjakan.
Dan tentu saja tidak terlupakan, terima kasih yang paling banyak ku berikan kepada Ibundaku karena telah memberi ijin kepadaku untuk
menjadi sesuatu yang lebih.
2
Daftar Isi~Daftar Isi~
Bab I: Pendahuluan …………..……………….................……...…….1-6
1.1 Latar Belakang Keluarga Jawa …………………...….3-4
Kebudayaan Jawa ……………………...………………... 3Pernikahan dan Keluarga ………………………………... 4Status Wanita Dalam Keluarga ………………………….. 4
1.2 Pemilihan Buku ………………..………………..……. 5-6
Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer …………... 5Para Priyayi Karya Umar Kayam ……………………….. 6
1.3 Topik yang Akan Dibahas ……………………………… 6
Bab II: Isi …………………………………………………………….7-13
2.1 Wanita Sebagai Pajangan ……………………………….8-10
2.2 Wanita Sebagai Pengurus Rumah Tangga …………...10-12
2.3 Wanita Sebagai Pemuas Nafsu ………………………..12-13
Bab III: Penutup …………………………………………………. 14-16
Daftar Pustaka ………………………………………………………...17
3
~Bab I:Pendahuluan
Belanja ke pasar, mencuci piring, memasak, memomong anak,
memanjakan suami; itulah stereotype peran seorang istri dalam
rumah tangga. Mengapa stereotype itu dicapkan pada wanita?
4
Apakah selalu ada hukum patriaki yang akan slalu berdiri di setiap
rumah tangga?
Pada era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-
wanita di negeri Indonesia belum memperoleh kebebasan dalam
berbagai hal. Para wanita belum diijinkan untuk memperoleh
pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan untuk
menentukan jodoh/suami sendiri. Raden Ajeng Kartini yang pada
masa remajanya banyak bergaul dengan orang-orang terpelajar
serta gemar membaca buku khususnya buku-buku mengenai
kemajuan wanita, mulai menyadari betapa tertinggalnya wanita
Indonesia bila dibandingkan dengan wanita bangsa lain terutama
wanita Eropa. Sejak saat itu, beliau tak menyerah untuk
memperjuangkan hak-hak seorang wanita agar dapat bebas dari
hukum patriaki yang berdiri dengan teguhnya pada era tersebut.
("Raden Ajeng Kartini (1879-1904)")
Patriaki adalah sebuah sistem dimana kekuasaan ayah atau
lelaki menjadi lebih superior ,kedudukan seorang lelaki lebih tinggi
derajatnya dibandingkan derajat seorang perempuan . Sistem ini
berkembang dalam budaya Ibrani, Yunani, Romawi, Hindu dan China
("Patriarchy"). Dalam keluarga yang mendirikan sistem patriaki,
dikarenakan status suami selalu lebih tinggi, kekuasaan seorang
istri hanyalah sebatas dalam hal-hal domestik seperti memasak dan
mencuci. Pengaruh ini begitu kuat sehingga mengikat erat
masyarakat dunia global. Sistem ini memberi kesempatan kepada
sang suami untuk menguasai sang isteri, anak-anak dan semua
penghuni rumahnya yang ditaruh di bawah kuasanya sebagai
pemiliknya.
Seharusnya setelah perjuangan Ibu Kartini, kaum hawa
mendapatkan hak dan kewajiban yang sama rata seperti kaum
adam; akan tetapi, akan selalu ada norma tak tertulis yang
menyatakan bahwa seorang istri, dan bukanlah suami, yang
bertanggung jawab untuk mengurus rumah. Menurut norma yang
5
ada, seorang wanita dalam suatu rumah tangga diharuskan untuk
menjaga keindahan rumah, memasak dan memomong anak; dan
apabila seorang wanita tidak memenuhi kewajiban tersebut dia
akan dicap sebagai istri yang tidak baik apapun alasannya.
Walaupun hak wanita di Indonesia sudah diberi kebebasan, budaya
orang Indonesia tetaplah sangat kental dan mengikat kehidupan
seseorang.
1.1 Latar Belakang Keluarga Jawa
Kebudayaan Jawa
Pulau Jawa yang terletak di bagian selatan kepulauan
Indonesia adalah salah satu pulau di Indonesia yang memiliki
populasi terbanyak, tercatat 114,733,500 penduduk tinggal di
pulau Jawa pada tahun 1995. Dilihat dari banyaknya penduduk
yang tinggal di pulau Jawa, suku yang berada di pulau Jawa
sangatlah beragam. Dibagi dari bahasa yang mereka gunakan,
ada dua suku besar yang ada di pulau Jawa, dua suku tersebut
adalah suku Jawa dan suku Sunda. ("Java (island)")
Suku Jawa yang kebanyakan menempati kepulauan Jawa
bagian tengah adalah kebudayaan terbesar di antara 36 suku lain
di Indonesia. Orang Jawa terkenal sebagai suku bangsa yang
sopan dan halus, sifat ini pun terbentuk berdasarkan watak orang
Jawa yang ingin menjaga harmoni dan menghindari konflik; karena
itulah orang Jawa sangatlah teguh akan kebudayaannya dan tidak
pernah menentang/membantah semua norma yang sudah
diturunkan oleh nenek moyang mereka. Walaupun suku Jawa
terkenal dengan kehalusannya, di balik semua kehalusan mereka,
mereka juga menerapkan adanya perbedaan kelas sosial yang
membagi masyarakat Jawa. ("Soetardi")
Hanya ada dua kelas sosial yaitu priyayi dan bukan
priyayi. Priyayi adalah orang-orang yang melakukan kerja
6
‘halus’, seperti mereka yang bekerja untuk pemerintah.
Yang bukan Priyayi adalah mereka yang melakukan kerja
‘kasar’, dan itu termasuk petani, kuli, pedagang dan
orang-orang lainnya. (Greetz 1961)
Berkelas, berdarah biru, kaya akan harta, disegani dan
berkuasa adalah kata-kata yang biasa digunakan untuk
mendeskripsikan arti seorang Priyayi. Istilah Priyayi sudah tidak
asing lagi dalam kebudayaan Jawa. Priyayi, atau keturunan darah
biru, merupakan suatu golongan tertinggi dalam masyarakat Jawa,
di atas kaum santri dan abangan, karena memiliki keturunan dari
keluarga kerajaan. Yang membedakan status mereka adalah gelar
yang diberikan di depan nama mereka yang melambangkan status
mereka yang lebih tinggi. Untuk mendapatkan gelar ‘Raden’,
seseorang haruslah lahir dari keturunan Raden lainnya.
Pernikahan dan Keluarga
Sampai jaman sekarang, perjodohan, walaupun sudah tidak
sepopuler dulu, masih terjadi dalam kebudayaan Jawa, lebih
tepatnya di kelas sosial yang rendah (Greetz 1961). Mereka
menjodohkan anaknya dengan tujuan agar anak mereka memiliki
kehidupan yang lebih baik dari pada orang tuanya.
Tradisi keluarga Jawa bersistemasikan keluarga nuclear,
dimana keluarga menjadi sumber dari segalanya dan sangat
mementingkan hubungan baik antara satu sama lain. Setelah
menikah, sepasang suami istri diperbolehkan untuk tinggal di
antara rumah keluarga sang suami atau di rumah keluarga sang
istri, tetapi jika mereka sudah dapat bekerja dan mendapat
penghasilan sendiri, sepasang suami dan istri tersebut
diperbolehkan untuk berpisah rumah dengan keluarganya. (Megawati)
Walaupun tidak boleh dilakukan di depan umum, sudah
menjadi keharusan dalam suku Jawa sebagai sepasang suami istri
untuk menunjukan kasih sayang antara satu sama lain. Seorang
7
istri harus menghormati suaminya karena dalam rumah tangga,
seorang suami dianggap sebagai orang yang lebih tua dari sang
istri. Sang suami adalah pemimpin dari sebuah keluarga dan selalu
memiliki status yang lebih tinggi dari sang istri. (Geertz 1961)
Status Wanita dalam Keluarga
Dalam hal-hal rumah tangga, wanita sangatlah berkuasa.
Dalam kebudayaan Jawa, sepasang suami istri harus bekerja sama
sebagai tim dalam membina rumah tangga. Kekuasaan seorang
istri hanyalah sebatas dalam hal-hal domestik seperti memasak
dan mencuci. Suami dan istri bekerja sama dalam membuat
keputusan keuangan keluarga, akan tetapi para suami tidak
memikirkan pengeluaran keseharian, seperti uang belanja, karena
itu adalah pekerjaan seorang istri.
Para suami memang harus bekerja sama dengan para
istrinya dalam rumah tangga, akan tetapi rumah tangga
yang didominasi oleh suami sangatlah jarang. (Greetz 1961)
Sama halnya dengan para anak, seorang istri pun harus
tunduk kepada sang kepala keluraga yaitu suami. Seorang suami
sebagai kepala keluarga haruslah dihormati kedudukannya dan
karena inilah sang suami jadi memiliki wewenang atas istri, anak-
anak dan semuanya yang tinggal dalam rumahnya. Karena
kekuasaan lelaki ini juga, kekuasaan seorang istri pun menjadi
terbatas dan kegiatan para istri di luar mengurus rumah tangga,
mencuci dan memasak menjadi tidak signifikan dan tidak pernah
dibahas.
1.2 Pemilihan Buku
Dalam dunia sastra, status seorang wanita dalam rumah
tangga sudah menjadi tema yang tidak asing lagi. Banyak penulis
yang membahas dan mengungkit sosok seorang wanita dalam
8
rumah tangga. Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer dan Para
Priyayi karya Umar Kayam adalah salah satu dari sekian banyak
karya sastra yang mengangkat isu tersebut. Latar belakang kedua
penulis tersebut datang dari kebudayaan yang sama; mereka
adalah dua pengarang bersuku Jawa yang menulis tentang
kehidupan masyarakat Jawa yang masih lekat dengan kebudayaan
mereka.
Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer
Gadis Pantai adalah sebuah novel karya Pramoedya
Ananta Toer yang mengisahkan tentang pengalaman seorang
gadis belia berumur 14 tahun yang dilahirkan di sebuah kampung
nelayan di Jawa Tengah. Gadis Pantai adalah seorang gadis yang
cantik dan kecantikannya itulah yang membuatnya diambil istri
oleh seorang pembesar, seorang Jawa yang bekerja pada Belanda.
Ia pun hidup di istana sebagai Bendoro Putri, perempuan yang
melayani nafsu birahi laki-laki sampai kemudian dia memutuskan
untuk menikah dengan perempuan yang sederajat dengannya.
Gadis Pantai tidur dengan pembesar itu. Perkawinan itu
memberikan prestise baginya di kampung halamannya karena dia
dipandang telah dinaikkan derajatnya. Tapi setelah ia melahirkan
seorang bayi perempuan, pembesar yang telah memilikinya tega
membuang dan menelantarkannya begitu saja. (Toer)
Para Priyayi karya Umar Kayam
Novel karya Umar Kayam yang berjudul Para Priyayi
menceritakan tentang perjalanan Soedarsono seorang anak dari
keluarga buruh tani yang dapat bersekolah dan kemudian menjadi
guru desa berkat dorongan Asisten Wedana Ndoro Seten.
Soedarsono dari awal dipercayakan untuk menjadi “sang pemula”
untuk membangun dinasti keluarga priyayi kecil. Dan ia pun
memasuki dunia elite birokrasi sebagai priyayi pangreh praja.
Buku ini juga menceritakan tentang ketiga anaknya yang melewati
9
zaman Belanda dan zaman Jepang tumbuh sebagai guru opsir peta
dan istri asisten wedana. Setelah segala kerja kerasnya, cita-cita
keluarganya pun berhasil. (Kayam)
1.3 Topik yang Akan Dibahas
Menurut kedua buku: Dalam kebudayaan Jawa, apakah
peran seorang istri dalam kehidupan berkeluarga lebih
tinggi derajatnya daripada seorang suami?
Dari kedua buku kita bisa lihat bahwa sistem Patriaki berdiri
sangat teguh dalam rumah tangga dalam kebudayaan Jawa. Fungsi
seorang istri hanyalah sebagai pajangan, sebagai pengurus
rumah tangga dan sebagai pemuas nafsu sang suami. Setelah
membaca kedua buku tersebut, dapat dilihat bahwa dalam rumah
tangga yang berbasis kebudayaan Jawa, hukum patriaki masihlah
berlaku dan kodrat wanita lebih rendah dibandingkan oleh lelaki.
10
~Bab II: Isi
2.1 Wanita Sebagai Pajangan
“Dalam acara sosial, para istri tampak di sebelah suaminya
masing-masing; ...” (Winzeler 1982)
11
Pada jaman dahulu, keadaan ekonomi di Indonesia berada di
posisi yang kurang baik karena Indonesia masih berada di bawah
penjajahan negeri lain. Keadaan ekonomi dan sosial di Indonesia
pada jaman dahulu yang tidak mengijinkan para wanita di Indonesia
untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan para pria
menjadi kerugian yang sangat besar bagi kaum wanita pada saat
itu. Dikarenakan oleh kurangnya pendidikan yang mereka terima,
kaum wanita pada jaman dahulu tidak dapat berpartisipasi dalam
organisasi-organasi penting yang ada. Di luar pekerjaan rumah
tangga yang mereka kerjakan setiap harinya, para wanita tidak
memiliki kegiatan lain yang dapat mereka lakukan untuk menjadi
lebih aktif didalam lingkungan mereka.
Dikarenakan oleh kurang aktifnya para wanita dalam
organisasi lingkungan, merekapun hanya menjadi pajangan yang
terlihat cantik menurut sisi eksteriornya saja. Bagaikan sebuah vas
indah yang dipajang di dalam rumah, wanita dalam sebuah rumah
tangga juga menjadi hiasan yang menghiasi rumah. Para suami
menginginkan istrinya untuk mendampingi mereka ke acara-acara
sosial karena bagaikan barang-barang indah lainnya, para pria ingin
‘memamerkan’ barang-barang miliknya. Mereka akan merasa
sangat bangga jika menikah dengan wanita yang cantik karena
mereka akan ‘memamerkan’ istrinya seperti perabotan lain yang ia
punya.
“Lantas milik perempuan itu sendiri apa?”
“Tidak ada, Mas Nganten. Dia sendiri hak-milik lelaki.”
...ia hanyalah milik Bendoro. Yang ia tak habis mengerti,
mengapa ia harus berlaku sedemikian rupa sehingga sama
nilainya dengan meja, dengan kursii dan lemari, dengan
kasur tempat ia dan Bendoro pada malam-malam tertentu
bercengkerama.“(Toer,88)
12
Karakter mBok dalam buku Gadis Pantai datang sebagai guru
hidup yang mengajari segala sesuatu tentang hidup kepada Mas
Nganten yang masih labil pada saat itu. mBok selalu memberikan
cerita tentang pengalaman hidupnya sebagai ‘sahaya’ dan
pengabdiannya kepada sang Bendoro. Dapat dilihat dari beberapa
percakapan mBok dan Mas Nganten dalam buku Gadis Pantai, mBok
memiliki sifat yang pasrah yang ditunjukan dari sikapnya yang
penurut dan pengabdiannya yang cukup besar pada Bendoro. Sang
karakter mBok selalu berbicara tentang bagaimana Mas Nganten
harus tunduk mengabdi kepada Bendoro suaminya, seperti halnya
selayaknya seorang istri yang ideal.
Kutipan diatas diambil dari salah satu percakapan antara
mBok dan Mas Nganten dimana mBok menjelaskan kepada Mas
Nganten bahwa tugas para wanita adalah untuk menjaga segala
sesuatunya yang dimiliki oleh lelakinya. Setelah percakapan
tersebut, Mas Nganten merasa bahwa ia adalah tidak beda seperti
barang-barang indah yang ada di rumah mewah tersebut dimana
Bendoro dapat ‘menggunakan’ dirinya kapanpun sesuka hati
Bendoro tanpa memikirkan perasaan hati Mas Nganten.
Hampir semua undangan diterimanya dan itu berarti
bahwa saya sebagai istrinya juga mesti berangkat
mendampingi. (Kayam,207)
Dan bagaikan perhiasan indah, para wanita diwajibkan untuk
menemani suaminya kemanapun mereka pergi. Seperti halnya
cincin berlian yang mengikat pada tangan, penampilan seorang istri
adalah segala bagi seorang suami. Semakin cantik seorang istri,
semakin bangga pula sang suami untuk mengajaknya pergi ke
acara-acara sosial dimana mereka dapat ‘memamerkan’ barang-
barang yang mereka miliki. Seorang istri diwajibkan untuk turut
pergi bersama suaminya walaupun hati mereka menolak karena
bukti pengabdian dan kesetiaan kepada seorang suami adalah
13
segalanya dalam adat-istidat Jawa. Menjadi pendamping suami
adalah salah satu bentuk abdi yang dapat ditunjukkan oleh seorang
istri.
Dalam bab yang berjudul Para Istri dalam buku Para Priyayi
yang ditulis oleh Umar Kayam, sangat menonjolkan sikap abdi yang
dimiliki oleh istri dari Bapak Tole kepada suaminya. Pada awal bab
tersebut diceritakan bagaimana istri dari Bapak Tole menunjukan
abdinya dengan cara menemani suaminya ke setiap undangan yang
mereka datangi. “Orang Jawa mengatakan bahwa istri adalah
garwa, sigarane nyawa, yang berarti belahan jiwa. Maka sebagai
belahan jiwa bukanlah saya tidak boleh berpisah dari belahan yang
satu lagi?” (Kayam,207), itulah alasan yang digunakan oleh istri Bapak
Tole untuk terus menemani suaminya kemanapun ia pergi dan ini
adalah sebagai salah satu bentuk abdi yang ia berikan kepada
suaminya yang ia sebut sebagai belahan jiwanya.
2.2 Wanita Sebagai Pengurus Rumah Tangga
(Dalam kehidupan rumah tangga) Wanita memiliki
kekuasaan, pengaruh dan kewajiban yang lebih besar dari
suaminya;...
(Greetz 1961)
Seorang istri dalam keluarga Jawa, harus menghormati
suaminya karena dalam rumah tangga, seorang suami dianggap
sebagai orang yang lebih tua dari sang istri. Peran suami didalam
sebuah keluarga adalah sebagai kepala keluarga. Sebagai kepala
keluarga, seorang istri diwajibkan untuk menuruti segala perintah
yang keluar dari mulut sang suami. Tugas sang suami adalah untuk
bekerja dan mencari nafkah untuk memenuhi segala kebutuhan
keluarganya dan tugas seorang istri, untuk menunjukan rasa terima
kasihnya, adalah untuk mengurus keadaan rumah tangga.
Kewajiban sorang wanita dalam sebuah keluarga adalah untuk
mengurus kebutuhan rumah tangga seperti belanja, mencuci dan
14
memasak. Kekuasaan seorang istri hanyalah sebatas dalam hal-hal
domestik seperti memasak dan mencuci. Suami dan istri bekerja
sama dalam membuat keputusan keuangan keluarga, akan tetapi
para suami tidak memikirkan pengeluaran keseharian, seperti uang
belanja, karena itu adalah pekerjaan seorang istri. Untuk
menunjukan rasa terima kasih kepada sang suami yang telah
mencari nafkah, peran sang istri adalah untuk melayani suami dan
mengurus pekerjaan rumah tangga.
Kini setiap bulan ia terpanggil ke ruang tengah. Bendoro
suaminya, duduk pada kursi yang terbalik arahnya, sedang
ia sendiri dengan sebuah jepitan bambu menjepit lintah-
lintah seekor demi seekor dari stoples, dan diletakan pada
tengkuk, pelipis, kening, juga lengan Bendoro....,Gadis
Pantai menjaga jatuhnya binatang-binatang yang dengan
selembar karet sarang tawon....Dia harus dikembalikan
kedalam stoples. (Toer,107)
Setelah melakukan pekerjaan berat yang suaminya lakukan
untuk mencari nafkah, sebagai tanda terima kasih, sang istri
diharuskan untuk melayani dan menurut kehendak sang suami.
Mengurus kesehatan suami adalah salah satu bentuk dari bukti
pengabdian seorang isti kepada suaminya.
Pada tahun kedua dalam perkawinan mereka, Gadis Pantai
sudah mulai terbiasa untuk mengabdi kepada Bendoro. Kutipan di
atas menunjukkan salah satu tindakan Gadis Pantai yang
melambangkan pengabdiannya kepada suaminya. Pekerjaan
tersebut yang harus ia lakukan setiap bulannya adalah sebuah
perintah dari suaminya yang harus ia laksanakan karena perannya
sebagai istri Bendoro yang menuntut dirinya untuk mulai mengabdi
kepada Bendoro.
15
Soalnya sebentar lagi jam lima pagi. Dan itu berarti jam
kebiasaan saya untuk bangun menyiapkan kopi, makanan
kecil pagi, air hangat, dan sarapan pagi, sementara
bapaknya tole jalan-jalan pergi ke alun-alun.... Barangkali
karena menjadi kebiasaan, maka tidak bisa jadi bosan
lagi....Pasti semua itu tidak mungkin hanya saya awasi
atau saya bayangkan dari tempat tidur. Saya mesti turun
sendiri mengawasi. Bukankan itu untuk kesenangan dan
kenikmatan suami dan saya sendiri? (Kayam,209)
Kutipan di atas juga diambil dari bab Para Istri dari buku Para
Priyayi. Kutipan tersebut adalah rincian pekerjaan rumah yang istri
bapake tole lakukan setiap pagi. Ia menyebutkan bahwa ini adalah
kebiasaan yang ia lakukan setiap pagi sampai iapun tidak dapat
merasa bosan dengan apa yang ia harus lakukan setiap pagi
tersebut. Walaupun bukan dirinya yang menyiapkan, dia harus tetap
mengawasi proses persiapan makan pagi tersebut karena ia merasa
bahwa itu adalah kewajibannya untuk memenuhi pekerjaan rumah
dan melayani suaminya yang ia cintai. Dengan cara ini juga istri
bapake tole menunjukan abdi kepada suaminya tersebut. Ia
memastikan proses persiapaan makan pagi tersebut untuk berjalan
dengan sempurna agar suaminya bisa menikmati sarapan pagi yang
sudah ia persiapkan.
Dalam kalimat terakhir yang ada didalam kutipan di atas,
menunjukan rasa abdi yang sangat tinggi kepada suaminya yang
diberikan oleh istri bapake tole. Dalam kalimat tersebut ia
menyatakan bahwa kesenangan suaminya adalah kesenangannya
juga. Kalimat tersebut menjadi motifasi istri bapake tole untuk terus
mengabdi dan menurut kepada suaminya.
2.3 Wanita Sebagai Pemuas Nafsu
Seorang ilmuan terkenal bernama Alfred Kinsey pernah
melakukan eksperimen yang menyangkut tentang kehidupan seks
16
manusia yang menjadi topik yang sempat menjadi topik yang
sangat kontrofersial pada jamannya. Alfred Kinsey mempunyai teori
yang ia sangat percaya yaitu hubungan seks adalah sebuah
tuntutan biologis yang perlu dipenuhi oleh setiap manusia. Tidak
hanya itu, iapun percaya bahwa hubungan seks tidak perlu
dilakukan dengan perasaan dan cinta karena hubungan tersebut
hanyalah suatu kebutuhan biologis yang perlu dipenuhi. (“Kinsey”)
Dalam suatu pernikahan, hubungan intim antara sepasang
suami istri sangatlah penting untuk dijaga karena tanpa hubungan
tersebut, salah satu antara suami istri tersebut dapat merasa tidak
diperhatikan. Hal tersebut dapat menyebabkan ketidak harmonisan
rumah tangga yang nanti bisa menghancurkan hubungan sepasang
suami istri.
Ingin sekali wanita tua ini mengingatkan Gadis Pantai, tapi
ia tak berani....Ia tahu benar dalam sehari, wanita utama
bisa berganti 25 kali tanpa sedikitpun mengurangi perbawa
Bendoro. Ia tahu besok atau lusa paling lama setelah Gadis
Pantai melahirkan anaknya yang pertama, wanita muda
tak berdosa ini mungkin akan langkahi dan lalui jalan
hidupnya sendiri...Dan ibu muda ini...menderita. (Toer,98)
Inti cerita dari buku Gadis Pantai yang ditulis oleh Pramoedya
Ananta Toer adalah untuk menceritakan kepedihan yang Gadis
Pantai rasakan saat dirinya dibuang oleh pembesar yang telah
menikahi dirinya dikarenakan dirinya yang melahirkan seorang
anak. Gadis Pantai pada usia 14 tahun, dimana seorang perempuan
masihlah dalam kondisi yang labil, dijadikan seorang istri oleh
Bendoro yang kaya. Dikarenakan oleh statusnya yang lebih rendah
daripada sang Bendoro, Gadis Pantai pun diangkat menjadi sebagai
Mas Nganten. Mas Nganten adalah perempuan yang melayani
kebutuhan seks pembesar sampai kemudian sang pembesar
17
memilih untuk menikah dengan perempuan yang sekelas atau
sederajat dengannya.
“Begini. Kau adalah istriku dan istri yang sangat baik. Tetapi,
sekarang, karena kesibukan kita masing-masing, mungkin
karena tekanan pekerjaan saya, mungkin karena usia, saya
membutuhkan juga seorang teman perempuan yang lain.
Bahkan yang lain sama sekali. Dan Sri mengisi kebutuhan
itu.”
Saya diam saja. Kurang ajar. Enak saja dia melihat perempuan
sebagai kebutuhan lelaki. (Kayam,215)
Dalam sebuah hubungan rumah tangga, tanpa hubungan yang
intim antara sepasang suami istri sangatlah susah untuk menjaga
keharmonisan keluarga. Jika keduanya sibuk dengan urusan sendiri
dan tidak saling memperhatikan satu sama lain, kejadian-kejadian
yang tidak diinginkan yang dapat merusak sebuah rumah tangga
yang harmonis, seperti perselingkuhan, dapat terjadi kapan saja.
Perselingkuhan dapat terjadi karena kurang harmonisnya suatu
hubungan yang menyebabkan pasangannya untuk mencari
keharmonisan dalah hubungan lain.
Seperti halnya dalam buku Para Priyayi, hubungan rumah tangga
Soemini menjadi kacau sejak ia mengetahui bahwa suaminya,
Hardjono, selingkuh dengan Sri Asih. Alasan yang digunakan oleh
Hardjono untuk selingkuh adalah kurangnya ‘perhatian’ yang
diberikan oleh Soemini. Hardjono pun mengemukakan bahwa wanita
perlu memenuhi ‘kebutuhan’ lelaki. Jika ‘kebutuahan’ tersebut tidak
dapat terpenuhi, sang suami dapat dengan gampangnya saja
melampiaskan kebutuhannya tersebut kepada wanita lain yang bisa
memenuhinya, seperti apa yang telah dilakukan oleh Hardjono.
18
~Bab 3: Penutup
19
Dalam kebudayaan Jawa, apakah peran seorang istri
dalam kehidupan berkeluarga lebih tinggi derajatnya
daripada seorang suami?
Dari novel Para Priyayi karya Umar Kayam dan Gadis Pantai
karya Pramoedya Ananta Toer, dapat disimpulkan bahwa dalam
kebudayaan Jawa, status seorang istri dalam sebuah keluarga akan
selalu berada di bawah status seorang suami. Kebudayaan Jawa
percaya bahwa seorang istri diwajibkan untuk mengabdi kepada
suaminya dan menuruti segala perintahnya karena sang suami telah
bekerja keras untuk menghidupi keluarganya. Dengan cara
mengabdi kepada suami, seorang istri dapat menunjukkan rasa
terima kasih dan balas budi kepada suaminya yang telah kerja
membanting tulang untuk mencari nafkah. Dalam kedua novel
ditunjukkan bahwa pengabdian kebada seorang suami dapat
ditunjukan dengan menjadi sebagai ‘pajangan’, pengurus rumah
tangga dan pemuas nafsu sang suami.
Dikarenakan oleh kurang aktifnya para wanita dalam
organisasi lingkungan, wanita hanya menjadi pajangan yang terlihat
cantik menurut sisi eksteriornya saja. Bagaikan sebuah vas indah
yang dipajang di dalam rumah, wanita dalam sebuah rumah tangga
juga menjadi hiasan yang menghiasi rumah. Dalam buku Gadis
Pantai, dapat dilihat pengabdian Mas Nganten kepada Bendoro dari
kesabaran hati Mas Nganten setiap malam saat menunggu
kedatangan Bendoro yang tak menentu. Lain dari Mas Nganten, istri
bapake tole dalam buku Para Priyayi menunjukan abdi kepada
20
suaminya dengan cara menemani suaminya ke setiap acara sosial
dan kemana pun suaminya pergi.
Peran suami di dalam sebuah keluarga adalah sebagai kepala
keluarga. Sebagai kepala keluarga, seorang istri diwajibkan untuk
menuruti segala perintah yang keluar dari mulut sang suami. Tugas
sang suami adalah untuk bekerja dan mencari nafkah untuk
memenuhi segala kebutuhan keluarganya dan tugas seorang istri,
untuk menunjukkan rasa terima kasihnya, adalah untuk mengurus
keadaan rumah tangga. Mas Nganten dalam buku Gadis Pantai
ditunjukkan mulai terbiasa dengan keadaan barunya dan sudah
mulai tunduk mengabdi pada Bendoro saat ia membantu menaruh
lintah di tubuh Bendoro demi kesehatan Bendoro. Dan dalam buku
Para Priyayi, istri bapake tole setiap pagi menyiapkan sarapan pagi
untuk suaminya karena menurut dirinya, kesenangan suaminya
adalah kesenangannya juga.
Dalam suatu pernikahan, hubungan intim antara sepasang
suami istri sangatlah penting untuk dijaga karena tanpa hubungan
tersebut, salah satu pihak maupun pihak suami ataupun istri
tersebut dapat merasa tidak diperhatikan. Inti cerita dari novel
Gadis Pantai adalah untuk menunjukkan betapa jahatnya sang
Bendoro yang hanya mau ‘menghabiskan waktu’ dengan Mas
Nganten tanpa mempertanggung jawabkan kehendaknya tersebut.
Dan dalam buku Para Priyayi kita bisa lihat pentingnya hubungan
intim antar pasangan suami istri dari musibah yang ditimpa oleh
Soemini yang diselingkuhi suaminya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa tugas seorang istri dalam
kehidupan berumah tangga adalah untuk mengabdi kepada suami
yang telah bekerja keras demi menghidupi keluarganya. Dari kedua
buah buku sastra yang sudah dibahas di atas dapat dilihat betapa
pentingnya pengabdian dalam kebudayaan Jawa. Tetapi apakah
dominasi lelaki dalam keluarga hanya terjadi dalam kebudayaan
Jawa? Atau adakah kebudayaan lain yang mementingkan
pengabdian seorang istri kepada suaminya? Dunia kerumah
21
tanggaan tentunya pasti akan berbeda-beda normanya bergantung
datri asal-usul keluarganya pula.
Daftar Pustaka~
Anonymous, "The Javanese Family." 9 June 2007 <http://www.unu.edu/unupress/unupbooks/uu13se/uu13se09.htm>.
Geertz, H. 1961. The Javanese Family: A Study of Kinship and Socialization. New York: Free Press of Glencoe.
Gokhale,B.G. "Java (island)." Encarta Reference Library Premium. CD-ROM.2005 ed.Microsoft.
Kayam, Umar. Para Priyayi: sebuah novel. XI. Jakarta: Pustaka Grafiti, 2003.
Kinsey. Dir. Bill Condon. Perf. Liam Neeson, Peter Sarsgaard, Laura Linney, Chris O'Donnell. DVD. Qwerty Films, 2004.
22
Megawati, Ratna. "Gender Perspective In Early Childhood Care and Development In Indonesia." Coordinator's Notebook 201997 3. 16 Sep 2007 <http://www.ecdgroup.com/download/ca120fgs.pdf>.
Cruikshank,Barbara R.. "Patriarchy." Encarta Reference Library Premium. CD-ROM.2005 ed.Microsoft.
"Raden Ajeng Kartini (1879-1904)." Ensiklopedi Tokoh Indonesia. 2004. 09 Jun 2007 <http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/k/kartini-ra/index.shtml>.
Soetardi, Seraphine Arimurti. Personal interview. 09 Dec 2006.
Toer, Pramoedya Ananta. Gadis Pantai. III. Jakarta: Lentera Dipantara, 2006.
Winzeler, R.L. 1982. "Sexual Status in Southeast Asia: Comparative Perspectives on Women, Agriculture and Political Organization." In: P.V. Esterik, ed. Women of Southeast Asia. Occasional Paper No. 9, Center of Southeast Asian Studies. Dekalb, Ill.: Northern Illinois University.
23