edisi vi bagian 2

Upload: puji-dar

Post on 11-Oct-2015

88 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Sintren dalam tarikan Tradisi dan Modernitass

TRANSCRIPT

  • 78

    SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL BERDASARKAN TAUHID ILMU

    Hafiedh Hasan1 e-mail :[email protected]

    ABSTRAK

    Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar kebudayaan bangsa dan berdasarkan Pancasila dan UUD 45. tujuannya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya...(UUN o.2/1989 tentang UUSPN). Dalam GBHN 1999 dituliskan tiga misi utama sistem pendidikan nasional yang ternyata hasilnya tidak sesuai target. Kebanyakan para pelajar lulusan sekolah yang sekarang ini dipercaya rakyat mengatur Negara berakhlak kurang baik sehingga menyebabkan Negara kita mengalami kemunduran seperti saat ini. Bahkan para pelajar yang belum lulus pun ada yang bersikap negatif seperti tawuran, memakai dan menjual narkoba, melawan guru dan orang tua, merusak fasilitas umum dan sebagainya. Kegagalan lainnya terlihat pada kualitas pelajar Indonesia yang kemampuannya sekarang jauh tertinggal dibanding pelajar dari negara serta standar kelulusan Indonesia yang jauh dari standar internasional

    Pendidikan berbasis tauhid merupakan salah satu solusi untuk pendidikan di Indonesia, Pendidikan berbasis tauhid adalah keseluruhan kegiatan pendidikan yang meliputi pembimbingan, pembinaan dan pengembangan potensi diri manusia sesuai dengan bakat, kadar kemampuan dan keahlian masing-masing yang bersumber dan bermuara kepada Tuhan, Allah SWT. Selanjutnya ilmu dan keahlian yang dimilki diaplikasikan dalam kehidupan sebagai realisasi kokret pengabdian dan kepatuhan kepada Allah. Upaya ke arah itu diawali dari menanamkan nilai-nalai akhlaq al karimah (budi pekerti, tatakrama, (menurut istialah lokal kita di indonesia) dalam diri setiap peserta didik kemudian diimplementasikan kelak melalui peran kekhalifahan sebagai pemakmur dan pemelihara kehidupan didunia ini.

    Sedangkan konsep dasar dari Kurikulum Berbasis Tauhid adalah menerapkan sebuah kurikulum pendidikan yang muatan maupun metode pembelajarannya mengarah kepada pembentukan karakter Islami untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. dan yang lebih prinsip dalam KBT akan menghadirkan Allah pada semua materi pelajaran yang dipelajari siswa jadi tidak ada pemisahan antara agama dengan kehidupan. Kehidupan di dunia adalah sarana mencapai kesuksesan di akherat, kehidupan akherat merupakan kontrol kehidupan kita di dunia

    Kata kuci: Sistem Pendidikan, Tauhid Ilmu

    1Hafiedh Hasan, SpdI, MM adalah Dosen STIT Pemalang

  • 79

    A. Pendahuluan Dalam Pembukaan UUD 1945 termaktub kalimat mencerdaskan

    kehidupan bangsa, mengandung makna bahwa negara dengan segala upayanya melahirkan patron, yakni undang-undang tentang sisten pendidikan nasional agar rakyatnya cerdas intelektual dan spiritual. Negara berkewajiban memberi arah dan tujuan sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945 dengan mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan memiliki ilmu pengetahuan sebagai modal untuk mengembangkan dirinya. Di samping itu sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi untuk menghadapi tantangan zaman.

    Untuk mencapai tujuan tersebut dibuat Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003, yang pada intinya adalah pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan tujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat jasmani dan rohani, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggungjawab.

    Undang-Undang pendidikan tersebut memberikan fungsi pendidikan bagi warga masyarakat agar memiliki ketangguhan iman sebagai benteng pertahanan negara yang paling kuat, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pakaian kesalehan, berakhlak mulia sebagai tindakan yang harus selalu dijaga, sehat jasmani dan rohani, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggungjawab.

    Undang Undang Pendidikan ini memberi arah yang jelas bagi terselenggaranya Sistem Pendidikan Nasional yang mantap. Undang-undang pendidikan nasional memuat aturan dan patron agar dapat menghantarkan negara pada kemajuan, kesejahteraan, dan keadilan. Kader pemimpin negara masa depan adalah putra/putri bangsa yang merupakan hasil produksi dari pada pendidikan nasional kita.

    Sistem pendidikan kita telah diuji dengan perkembangan zaman. Hari ini semua orang menyalahkan sistem pendidikan yang belum membawa hasil yang memuaskan, belum dapat meluluskan sarjana yang siap pakai. Kita patut bangga karena tidak sedikit anak-anak indonesia yang meraih beberapa prestasi di dunia internasional. Segudang prestasi mereka raih di bidang akademik seperti biologi, fisika, matematika dan non akademik seperti di bidang musik. Anak-anak indonesia mampu mengalahkan peserta dari negara maju lain. Namun di balik kesuksenan tersebut banyak pelajar dan lulusan yang menunjukan sikap yang tidak terpuji. Banyak pelajar yang terlibat tawuran, melakukan tindakan

  • 80

    kriminal pencurian penodongan,penyimpangan seksual, menyalah gunakan obat-obatan terlarang dan sebagainya.

    Keadaan ini semakin menambah potret pendidikan kita tidak menarik dan tidak sedap dipandang makin menurunkan kepercayaan masayarakat terhadap wibawa dunia pendidikan kita. Jika keadaan yang demikian tidak segera dicari solusinya, maka akan sulit mencari alternatif yang lain yang paling efektif untuk membina moralitas masyarakat. Berbagai solusi untuk memperbaiki dunia pendidikan dan mencari sebab-sebabnya merupakan hal yang tidak dapat ditunda lagi

    Dilihat dari sudut pandang tujuannya, tujuan nabi ada dua. Pertama, menyampaikan segala sesuatu yang menyangkut kehidupan akhirat dan yang kedua adalah menyampaikan segala sesuatu yang menyangkut kesuksesan manusia di dunia atau disebut dengan tauhid sosial. Tauhid sosial merupakan sarana dalam mendekatkan diri pada Allah SWT. Manusia tidak dapat mendekatkan diri pada Allah jika sistem yang berlaku disekitarnya adalah sistem yang tidak adil. Nilai-nilai seperti keadilan, kejujuran, hak, cinta dan kasih sayang merupakan contoh hal-hal yang dapat memuluskan jalan manusia pada kesejah teraan dan keselamatan dunia akhirat.

    Begitu pula ilmu pengetahuan. Dengan adanya ilmu, manusia dapat saling berinteraksi dan bekerja sama demi mewujudkan tauhid sosial dalam masyarakat karena puncak taqwa manusia adalah saat dia dapat mencintai orang lain seperti dia mencintai dirinya sendiri.

    Sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-rasul kami dengan membawa bukti yang nyata, dan telah kami turunkan bersama mereka kitab-kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat menegakkan keadilan.

    B. Pembahasan Tauhid ilmu berasal dari dua kata yang berbeda yang masing-masing kata

    tersebut memiliki konsep tersendiri. Tauhid bermakna kesatuan atau menyatukan. Hal ini lebih ditujukan pada ke-Esaan Allah SWT. Sedangkan ilmu didefinisikan oleh al-Jurjani sebagai keyakinan yang tetap, sesuai dengan peristiwa.2 Ilmu merupakan salah satu nikmat dari Allah diantara nikmat-nikmat Allah yang lain. Ilmu yang diberi oleh Allah berdasarkan wahyuNya yaitu al-Kitab (studi yang berkaitan dengan pengembangan rohani manusia yang dikembangkan melalui al-dzikir kepada Allah SWT) dan al-Hikmat (studi yang berkaitan dengan perkembangan potensi manusia melalui al-fikr kepada alam disekitarnya), jadi tidak mungkin menjadi malapetaka tetapi melainkan sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Jadi tauhid ilmu merupakan kesatuan hubungan diantara berbagai ilmu yang dikembangkan manusia agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kemanusiaan.

    2 Http://www.islamlib.com/id/litdex. (Jaringan Islam Liberal).

  • 81

    Berdasarkan Al Quran, ada dua macam tauhid, yaitu Tawhid al-Allah dan Insa-niyat. Terdapat lima tauhidullah yang saling berkaitan yaitu : Rububiyat,Uluhyah, dan Mulukiyat. Sedangkan insaniyat mengandung beberapa komponen, yang meliputi : musawat (persamaan) ukhuwat (persaudaraan), tasamuh (toleran), musyawarat ( demokrasi), taawun (tolong-menolong), ijtihat/jihat dan amal shaleh, takaful al-ijtima ( solidaritas), amar maruf nahyi munkar dan istiqamat (teguh pendirian). Bila seseorang sudah memiliki sikap-sikap diatas, maka ia termasuk orang-orang yang berada pada kualifikasi kepribadian tazktyat (suci diri).

    Tujuan beribadah dalam syari'at Islam adalah sehat dan bersih dari kotoran jasmani rohani serta berakhlak mulia. Hal-hal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, yaitu sebagai makhluk berakal yang mengabdi kepada Allah (habl min al-Allah) dan makhluk sosial (habl min an-nas). Tuntutan manusia sebagai makhluk berbudaya dan pengemban amanat khilafah membuat manusia dianjurkan untuk memiliki ilmu pengetahuan demi terwujudnya tauhid sosial dalam masyarakat.

    .

    Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, karena sesunggunhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertangguang jawabannya. Qs. Al-Isra (17) : 36

    1. Tauhid Ilmu dalam Sistem Pendidikan Nasional Sumber-sumber pengetahuan adalah A1 Qur'an dan alam. Al Qur'an

    merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah SWT kepada rasulNya Muhammad SAW. Kitab ini berfungsi sebagai pedoman hidup, nasihat, penyembuh berbagai penyakit hati, petunjuk dan rahmat umat manusia, juga sebagai inspirator perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan di dunia.5 Segala pengetahuan yang berasal dari alam tidak mungkin bertentangan dengan Al Qur'an dan tidak mungkin bersifat salah.3

    Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar kebudayaan bangsa dan berdasarkan Pancasila dan UUD 45. tujuannya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya...(UUN o.2/1989 tentang UUSPN). Dalam GBHN 1999 dituliskan tiga misi utama sistem pendidikan nasional yang ternyata hasilnya tidak sesuai target. Kebanyakan para pelajar lulusan sekolah yang sekarang ini dipercaya rakyat mengatur Negara berakhlak kurang baik sehingga menyebabkan Negara kita mengalami kemunduran seperti saat ini. Bahkan para pelajar yang belum lulus pun ada yang

    3 Drs.H. Ayat Dimyati,M.dkk. 2000. Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam pendidikan.

    Nuansa: Bandung. Hal.40

  • 82

    bersikap negatif seperti tawuran, memakai dan menjual narkoba, melawan guru dan orang tua, merusak fasilitas umum dan sebagainya. Kegagalan lainnya terlihat pada kualitas pelajar Indonesia yang kemampuannya sekarang jauh tertinggal dibanding pelajar Malaysia serta standar kelulusan Indonesia yang jauh dari standar internasional.

    Pendidikan berbasis tauhid adalah salah satu ide besar Hidayatullah dalam berbagi solusi pendidikan Islam dalam mempersiapkan generasi Islam masa depan. Sehingga diperlukan sebuah identitas yang jelas dalam eksistensinya. Ada pilar pilar penumpu pendidikan tauhid, yang mana di dalamnya dikembangkan sistem nilai sebagai berikut sebagai pilar dasarnya:

    1) Berpegang Teguh Pada Nilai-nilai Tauhid Siswa/siswa harus memiliki kesadaran sebagai hamba dari Al Khaliq,

    makhluk dari Sang Pencipta, dan posisi manusia yang dibekali akal oleh Allah SWT, dilebihkan dari yang lain. Konskuensi dari kesadaran itu, setiap individu yang ada memiliki pemahaman bahwa setiap aktivitasnya diatur oleh yang Maha Mengetahui, yaitu Allah SWT. Dari pemahaman ini diharapkan pula santri-santri yang dihasilkan memiliki landasan keimanan yang kuat yang dihasilkan/terlahir dari proses berpikir secara jernih dan mendalam. Dengan budaya ini, maka tindakan-tindakan harian/perilaku sehari-hari akan mencerminkan dan dilandasi nilai-nilai keimanan/tauhid sebagai penampakan pemahaman wajibnya terikat pada aturan Sang Pencipta.

    2) Ketaatan Yang Tinggi (budaya Samina wa athona) Implikasi dari tingkat keimanan yang kuat dan keterikatan dengan

    syariat Allah SWT adalah ketaatan yang tinggi. Baik ketaatan pada Allah SWT, seruan Rasul-Nya, Ulil Amri yang menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, maupun ketaatan pada pimpinannya. Ketaatan ini bisa dipahami sebagai wujud kepercayaan dan pengabdian seseorang kepada sesuatu yang di luar dirinya sesuai dengan aturan-aturan Allah SWT. Dalam prakteknya, konsep ketaatan ini akan terwujud dalam kehidupan sehari-hari siswa/siswa seperti ibadah, pakaian, tingkah laku, proses belajar mengajar, ujian, termasuk ketaatan pada pimpinan dan aturan-aturan pesantren.

    3) Ukhuwah Islamiyyah dan silaturrahim Sifat khas dari kaum muslimin adalah tertanamnya semangat dan

    nilai-nilai ukhuwah Islamiyyah yang tinggi pada mereka. Nilai-nilai ini juga akan ditanamkan pada siswa i sebagai wujud proses penyadaran bahwa mereka adalah bagian dari kaum muslimin yang harus mengetahui apa ituUkhuwah dan UkhuwahIslamiyyah. Semangat Ukhuwah Islamiyyah muncul dalam sikap saling membantu dalam kebenaran dan taqwa dan tidak saling bantu dalam kejahatan dan dosa, serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran,

  • 83

    4) Kerja Keras (mujahadah dan saI) Saswa/siswa diharapkan memiliki semangat untuk bekerja keras dan

    semangat pantang menyerah. Semangat ini perlu ditanamkan sejak dini sebagai upaya untuk mendidik para siswa/siswa agar mereka siap untuk mengadapi realitas/kenyataan hidup di masa depan, tantangan-tantangan, hambatan-hambatan, dan segala macam problema hidup yang akan ditemui. Semangat ini dilandasi dari sirah Rasul dimana Rasul sangat senang dan memuji para shahabat yang telapak tangannya keras sebagai wujud kerja keras mereka. Jadi etos kerja harus menjiwai semangat hidup para santri.

    5) Belajar terus (budaya Iqro) Sebagai seorang muslim kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan

    adalah mencari ilmu, baik ilmu yang termasuk fardhu ain (tsaqofah Islam), maupun ilmu yang termasu fardhu kifayah (ilmu kehidupan). Yang pertama diperlukan seorang muslim agar menjadi orang yang kuat imannya dan tinggi keshalehannya. Sedang ilmu yang kedua diperlukan untuk meraih kemajuan material bagi diri dan masyarakat dalam rangka pelaksanaan tugas kekhilafahan. Sikap kecintaan dan kegairahan menuntut ilmu harus menjiwai setiap siswa. Untuk itulah siswa harus memiliki konsep-konsep dasar keilmuan yang cukup sebagai pilarrujukan dari masyarakat. Dalam hal keilmuan ini tentu tsaqofah Islam harus menjadi pemahaman yang lebih dari ilmu-ilmu yang lain. Artinya pemahaman tentang tsaqofah Islam dalam segala aspek akan menjadi modal yang sangat potensial dan cemerlang untuk proses interaksi dan perubahan tatanan masyarakat sesuai syariat Islam.

    6) Perjuangan dan Pengorbanan (Jihad dan hijrah) Yang tidak pernah lepas dari para shahabat Rasul adalah semangat

    juang dan semangat tempur yang tinggi dalam membela Islam. Semangat juang ini juga akan menjadi semangat para santri/siswa dalam kehidupan sehari-hari. Santri/siswa harus memilki kesadaran bahwa Islam memerlukan perjuangan, kerja keras dan pengorbanan. Semangat untuk berjuang juga ditanamkan dari sisi bahwa mereka akan terjun dengan kehidupan nyata yang sangat keras, jahiliyah, dan brutal, untuk itu para santri/siswa ditanamkan untuk selalu memiliki semangat perjuangan yang tinggi dan pantang menyerah.

    7) Keikhlasan Sebagai seorang muslim, sudah selayaknya seorang santri/siswa

    memiliki sifat-sifat yang mulia seperti yang pernah dicontohkan oleh Rasul SAW. Salah satu sifat yang selalu dicontohkan oleh Rasul adalah sikap ikhlas. Sikap ikhlas ini merupakan salah satu syarat supaya amal diterima oleh Allah SWT.

  • 84

    8) Kejujuran (Shidiq) Sifat dan karakteristik yang juga harus dimiliki oleh santri adalah sifat

    jujur. Jujur bukan semata-mata norma yang berlaku di masyarakat, namun sikap jujur yang memang dilandasi oleh perintah syara. Sifat ini akan menanamkan image dan pandangan pada masyarakat bahwa santri/siswa yang dihasilkan memang orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan pandangan Islam. Dari sikap ini akan muncul kepercayaan dari masyarakat, sikap simpati, dan kerjasama berlandaskan kejujuran sebagai salah satu landasan moril yang ada di masyarakat.

    9) Kemandirian dan Ulet Siswa/santri dibekali dengan semangat dan tekad untuk memiliki

    kemandirian dalam hidupnya. Artinya dalam menghadapi segala permasalahan hidup sangat ditekankan untuk bersikap dan berbuat semaksimal dan seoptimal mungkin dengan kekuatan dan sumberdaya sendiri. Selama siswa/santri sendiri mampu mengatasi maka diprioritaskan untuk diselesaikan dengan sumberdayanya sendiri. Sikap mandiri merupakan modal dasar bagi santrinya untuk sukses dalam berwirausaha apabila telah selesai masa pendidikan mereka.

    10) Keteladanan (Uswatun Hasanah) Apabila telah berbaur dan menyatu dengan masyarakat, maka yang

    dibutuhkan adalahistiqomah dan suri teladan. Begitu bagi para siswa/santri, sikap untuk selalu istiqomah berpegang teguh dengan aturan Allah, dan mengaplikasikan dalam perbuatan sehari-hari akan memberikan citra positif di masyarakat. Keteladan ini perlu ditanamkan pada para santri, karena mereka adalah unsur dari masyarakat yang notabene memiliki pemahaman Islam yang cukup, dan telah dididik untuk menjadi uswah bagi masyarakat.

    11) Kebersihan, Kerapihan, dan Keindahan Siswa/santri sejak dini harus diberikan kesadaran dan pemahaman tentang kewajiban untuk memelihara kebersihan, menjaga kerapihan, dan mengatur lingkungannya agar selalu indah. Karena dengan demikian maka ia akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. di satu sisi, mendapat berkah sehat disisi lain, dan mendapat simpati masyarakat karena kebersihan dan kerapihannya.

    12) Kedisiplinan Salah satu kunci keberhasilan Rasul dan para sahabat dalam

    membangun masyarakat Madinah adalah kedisiplinan Rasul mendidik para shahabat. Rasul memberikan suri tauladan dengan contoh akhlak-akhlak mulia berupa menepati janji, jujur dan tepat waktu. Untuk itu santri/siswa

  • 85

    sejak awal dididik untuk memiliki sifat disiplin yang tinggi, tepat waktu dan selalu berpegang teguh pada akad yang dibuat. Kedisiplinan akan membawa santri/siswa pada pekerjaan dan hasil yang optimal.Secara manajerial dipahami bahwa kedisiplinan merupakan awal dari suatu keberhasilan.

    13) Inovatif dan Kreatif Inovatif adalah suatu suatu daya upaya yang dilakukan untuk

    menemukan hal-hal baru yang sebelumnya belum ada. Sedangkan kreatif adalah suatu upaya untuk mengembangkan sesuatu yang sudah ada menjadi sesuatu yang lain yang lebih baik. Sikap inovatif dan kreatif juga ditanamkan pada santri/siswa sejak dini, agar para santri/siswa mampu menciptakan karya baru, serta mampu mengembangkan teknologi yang ada agar memilki nilai yang lebih dari nilai sebelumnya.4

    Undang-undang pendidikan kita selalu ketinggalan dengan pesatnya perkembangan teknologi dan ekonomi dan Undang Undang pendidikan juga belum mampu memproduk hasil yang sesuai dengan tuntutan zaman apalagi untuk menciptakan SDM yang handal untuk menyelesaikan selaksa problematika hidup. Jika substansi yang terdapat dalam batang tubuh Undang-undang tersebut ditelaah secara seksama, tampak bahwa secara keseluruhan cukup ideal. Namun ideal ini belum tampak dalam realitas. Seluruh pakar berpendapat bahwa dasar pendidikan Islam adalah tauhid. Kurikulum Pendidikan Islam harus dirancang berdasarkan konsep tauhid dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Fungsi pendidikan Islam harus berfungsi sebagai penyiapan kader-kader khalifah. Sifat dan syarat seorang pendidik.

    Ada beberapa sifat dan syarat seorang pendidik diantaranya: 1. Setiap pendidik harus memiliki sifat rabbani. Seorang guru hendaknya

    menyempurnakan sifat rabaniahnya dengan keikhlasan. Ketka menyampaikan ilmunya kepada anak didik, seorang pendidik harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya

    2. Seorang guru harus senantiasa meingkatkan wawasan, pengetahuan, dan kajiannya.

    3. Seorang pendidik hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar. 4. Seorang pendidik harus cerdik dan terampil dalam menciptakan metode

    pengajaran yang variatif serta sesuai dengan situasi dan materi pelajaran. 5. Seorang guru harus mampu bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai

    proposinya sehingga dia mampu mengontrol dan menguasai siswa. 6. Seorang guru dituntut untuk memahami psikologi anak, psikologi

    perkembangan, dan psikologi pendidikan 7. Seorang guru dituntut untuk peka terhadap fenomena kehidupan5

    4 Tim editor, Orientasi Nilai Dasar Islam, (Yogyakarta : UII Press, 2004), hlm.22

  • 86

    Salah satu ciri masyarakat Indonesia adalah religius. Sedangkan nilai keagamaan yang paling mendasar adalah nilai ketauhidan. Termasuk dalam dunia pendidikan. Tujuan pendidikan hendaknya tidak direduksi hanya pada aspek material semata. Pendidikan seharusnya justru mengintegrasikan kekuatan besar manusia, yaitu akal dan jiwa. Akal membutuhkan informasi, dan jiwa sangat membutuhkan petunjuk (wahyu). Oleh karena itu kita perlu satu konsep pendidikan yang berbasis tauhid. Sebuah konsep pendidikan yang mengantarkan peserta didik mengenal dirinya sekaligus mengenal Allah, tumbuh spirit belajarnya, tampil dengan semangat etos kerja yang membanggakan, dengan niat semata-mata karena Allah demi umat Islam.

    Karena itu sistem pendidikan bangsa kita haruslah berlandaskan ketauhidan. Pengembangan kurikulum berasaskan tauhid yang kondusif dan memudahkan para peserta didik biasanya dikembangkan dalam isi materi, sehingga para pengembang kurikulum haruslah orang yang tidak hanya pakar dalam ilmu mereka masing-masing tetapi juga orang yang memiliki kepakaran dalam bidang agama. Kurikulum berasaskan tauhid adalah kurikulum yang dalam penyampaiannya tidak lepas dari keesaan Tuhan, keesaan manusia, dan keesaan alam.5

    Efektifitas dan implementasi makna tauhid ilmu dalam kurikulum pendidikan nasional tergantung pada para pelaksana pendidikan di lapangan. Karena itu kurikulum dalam arti luas tidak hanya mengenai isi materi tetapi juga terdapat komponen-komponen lain yang mendukung seperti : 1. Sarana dan prasarana pendidikan misalnya : lingkungan, situasi dan kondisi,

    gedung, ruang kelas, audio visual aid, perpustakaan dan lain-lain. 2. komponen pelaksana pendidikan seperti : guru/dosen, petugas administrasi,

    petugas kebersihan, dan lain-lain

    Guru atau dosen berfungsi sebagai ujung tombak pendidikan. Mereka bukan hanya berfungsi sebagai pentransfer ilmu pengetahuan tetapi juga berfungsi sebagai pendidik yang bertanggung jawab terhadap pembentukan kepribadian pelajar.

    Dengan demikian yang di maksud pendidikan berbasis tauhid adalah keseluruhan kegiatan pendidikan yang meliputi pembimbingan, pembinaan dan pengembangan potensi diri manusia sesuai dengan bakat, kadar kemampuan dan keahlian masing-masing yang bersumber dan bermuara kepada Tuhan, Allah SWT. Selanjitnya ilmu dan keahlian yang dimilki diaplikasikan dalam kehidupan sebagai realisasi kokret pengabdian dan kepatuhan kepada Allah. Upaya ke arah itu diawali dari menanamkan nilai-nalai akhlaq al karimah (budi pekerti, tatakrama, menurut istialah lokal kita di indonesia) dalam diri setiap peserta didik kemudian diimplementasikan kelak melalui peran kekhalifahan sebagai

    5 Drs.H.Ayat Dimyati,M.dkk. 2000. Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan.

    Nuansa Bandung. Hal.78

  • 87

    pemakmur dan pemelihara kehidupan didunia ini. Sebab pada dasarnya tujuan akhir pendidikan menurut islam adalah: 1. Terbentuknya insan kamil ( manusia universal,conscience) berwajah Qurani 2. Terciptanya insan kaffa yang memilki dimensi-dimensi religius, budaya, dan

    ilmiah 3. Penyadaran terhadap eksistensi manusia sebagai abd ( hamba ), khalifah,

    pewaris perjuangan risalah para Nabi atau Rosul Allah SWT.6

    Konsep pendidikan berbasis ketuhanan, mengharuskan setiap orang baik dalam kapasitas sebagai sebyek maupun obyek yang memasuki kehidupan yang kaffa ( Q.s. Al-Baqarah/2:208). Seseorang mencapai derajat yang sempurna. Kesempurnaan seorangmanusia memilki hubungan erat dengan unsu-unsur keutamaan ( al fadhil ) atau berfungsinya semua daya yang dimiliki oleh setiap orang sesuai dengan tuntunan kesempurnaan yang dimilki oleh manusia. Sebaliknya daya-daya yang tidak berfungsi sesuai dengan tuntunan kesempurnaan, maka ia akan melahirkan keburukan atau al-razail.

    Perwujudan kepribadian yang selalu menampilkan keutamaan atau kebaikan itu merupakan suatu sikap utuh yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan yang diketahui melalui sikap dan perilaku yang semakin humanis, toleran, dan bijak dalam pandangan dan kebijakan serta mendatangkan berbagai nilai guna yang dapat membahagiakan pihak lain dalam kehidupan bersama.7

    2. Kurikulum Pendidikan Berdasarkan tauhid Ilmu Kalau kita mau berbicara mengenai KBT kita mulai dari landasan berfikir

    kita, firman Allah dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku ...(QS Al-Dzariyat (51):56). Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (QS Al-Ahzab (33): 21) "Tuhanku mendidikku dengan sebaik-baiknya, maka sungguh baiklah pendidikan-ku." (HR Ibn Sam'ani).

    Dari sini kita harus menyadari bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dalam arti luas, cara beribadah kita kepada Allah telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Jadi konsep dasar dari Kurikulum Berbasis Tauhid adalah menerapkan sebuah kurikulum pendidikan yang muatan maupun metode pembelajarannya mengarah kepada pembentukan karakter Islami untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. dan yang lebih prinsip dalam KBT akan menghadirkan Allah pada semua materi pelajaran yang dipelajari siswa jadi tidak ada pemisahan antara agama dengan kehidupan. Kehidupan di dunia adalah sarana mencapai kesuksesan di akherat, kehidupan akherat merupakan kontrol kehidupan kita di dunia.

    6 Ismail Faruqi Razy, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1988), hlm. 27

    7 Muhammad Ismail Yusanto, Menggagas pendidikan Islam, (Jakarta: Al Azhar Press, 2004), hlm. 57

  • 88

    Kurikulum merupakan materi yang harus diajarkan pada para peserta didik dalam suatu program pendidikan. Secara luas, kurikulum dapat diartikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar para peserta didik yang dapat mendukung proses perkembangan dirinya kearah perwujudan sesuai dengan tujuan pendidikan. Dengan adanya kedua pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pada kenyataannyam, materi saja tidak akan cukup dalam membentuk sebuah kepribadiaan bagi peserta didik, tetapi juga harus dapat dipadukan dengan kegiatan-kegiatan positif yang saling berinteraksi satu sama lain sehingga menimbulkan suatu pengalaman belajar yang berarti. Sehingga berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut terjadilah suatu proses perubahan tingkah laku. Kurikulum Berbasis Tauhid, Kurikulum ini berlandaskan Aqidah Islam, sifat dan kandungan kurikulum bertujuan mencetak karakter Islami pada diri siswa untuk mewujudkan kehidupan Islami berdasar Al Qur'an dan Sunnah. Prinsip dasarnya manusia hadir di dunia tidaklah bebas sekehendaknya, namun lengkap dengan aturan Allah yang melekat pada dirinya. Seluruh perbuatan diukur dari halal dan haram, syari atau tidak syari, Allah ridho apa tidak.

    Dalam prosesnya, pendidikan keilmuan harus terpadu dengan pendidikan ketauhidan. Perkembangan pendidikan yang berasaskan tauhid dapat dilakukan sedini mungkin. Dimulai dari pndidikan dasar 9 tahun dimulailah penanaman ilmu tauhid yang berorientasi syariah praktis. Dengan kemampuan daya absorbsi perkembangan psikologis dan kondisi sosiologisnya serta dengan pendekatan interdisipliner maka penanaman tauhid ilmu pada usia dini akan sangat mudah. Seiring dengan perkembangan sifat psikologisnya, sifat-sifat sosial dan lingkungan juga perlu diarahkan untuk memancing respon nalar almiah peserta didik. Praktik etika dan moral sesuai dengan usia dan pergaulannya perlu diimbangi dengan penanaman sifat-sifat istiqamah, toleransi, dan penghargaaan atas hal-hal orisinil.

    Dalam jenjang pendidikan tinggi mulai dilakukan penekanan pada proses disipliner dengan tauhid-tauhid ilmu yang lebih nalariah, kritis, kreatif, namun tetap imaniah. Melalui pendidikan akademik maupun pendidikan profesional dibangun jalur-jalur pendidikan yang memperhatikan mobilitas mahasiswa dalam memilih bidang studi. tauhid tidak sekadar dijadikan mata pelajaran tetapi lebih sebagai sistem filsafat yang mendasari keseluruhan sistem pendidikan. Dalam bahasa Prof. Dr. H Mastuhu, M.Ed (2000) tauhid akan menjadi payung yang akan menaungi keseluruhan proses pendidikan agar tetap berada dalam bingkainya. Pengayaan materi pelajaran dalam proses belajar mengajar harus merupakan cerminan dari tauhid. Karena subyek utama dalam pendidikan adalah manusia, maka dengan tauhid ini pendidikan hendak mengarahkan anak didik menjadi manusi tauhid, dalam arti memiliki komitmen yang tinggi terhadap Tuhannya dan menjaga hubungan baik dengan sesama dan lingkungannya. Dengan kalimat lain, pendidikan dalam perspektif tauhid hendak mengarahkan

  • 89

    manusia pada tiga pola hubungan fungsional: hubungan dengan Tuhan (aspek teologis), manusia (antropologis) dan alam (kosmologis).8

    Pendidikan islam merupakan aktivitas bimbingan yang disengaja untuk mencapi kepribadian muslim, baik berkenaan dengan jasmani, rohani, maupun akhlak. Salah satu komponen operasional pendidikan dalam sistem belajar adalah kurikulum pendidikan. dalam Konferensi Pendidikan Islam Pertama Sedunia kurikulum pendidikan islam dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu : 1. Pengetahuan abadi. Pengetahuan ini diberikan berdasarkan wahyu Illahi yang

    diturunkan dalam Al Qur'an dan Sunnah. 2. Pengetahuan yang diperoleh. Yaitu ilmu-ilmu sosial alam dan terapannya.

    Dari dua kelompok tersebut maka disusun kurikulum sebagai berikut: a. Pengetahuan abadi kajian tentang kitab suci Al Qur'an dan Sunnah studi fiqih (hukum Islam) studi syanah kebudayaan lslam studi naskah-naskah langka bahasa-bahasa b. pengetahuan yang diperoleh sastra seni dan keterampilan ilmu-ilmu sosial ilmu-ilmu terapan9

    Dengan mempertimbangkan orientasi kurikulum dan prinsip integralisasi, sistematik, ekologik dan fleksibilitas, kurikulum disusun dan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik, paling tidak memenuhi beberapa hal mendasar sebagai berikut : 1) Materi kurikulum harus merupakan integtasi ilmu (Tauhid Ilmu/Ilmu Islam) 2) Materi yang disusun tidak menyalahi fitrah manusia 3) Adanya relevansi dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu sebagai upaya dalam

    rangka ibadah kepada Allah; 4) Disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan usia anak didik 5) Perlunya membawa anak didik kepada objek emperis, sehingga anak didik

    mempunyai keterampilan-keterampilan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyaraka, dan dapat mencari penghidupan yang layak; Materi yang diajarkan tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga bersifat praktis

    6) Adanya penyusunan kurikulum yang integral, terorganisasi, dan terlepas dari segala kontradiksi antara materi satu dengan materi lainnya

    7) Materi yang disusun memiliki relevansi dengan masalah-masalah aktual

    8 H.Ayat Dimyati, M.dkk, Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan, (Nuansa:

    Bandung, 2000), hlm. 9 Syafaruddin. 2009. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Hijri Pustaka Utama hal 20

  • 90

    8) Adanya metode yang mampu menghantarkan tercapainya materi pelajaran dengan memperhatikan perbedaan masing-masing individu

    9) Materi yang disusun mempunyai relevansi dengan tingkat perkembangan anak didik dan aspek-aspek sosial dan mempunyai pengaruh positif serta pragmatis

    10) Memperhatikan kepuasan pembawaan fitrah 11) Memperhatikan pendidikan kejuruan untuk mencari penghidupan dan adanya

    ilmu alat untuk mempelajari ilmu-ilmu lain 12) Setiap jenis dan jenjang pendidikan harus mengandung muatan yang bersifat

    Tauhid Ilmu (Integrasi Ilmu Islami), sehingga ilmu apa saja yang dikembangkan selalu berorientasi pada ajaran Islam (pengembangan Ilmu Islam).10

    Demi kelancaran kurikulum sistem pendidikan yang telah ditetapkan, maka pemerintah telah menyusun Arah Kebijakan Pendidikan Nasional 5 tahun untuk menyusun program pembangunan nasional. Butir-butir kebijaksanaanya adalah sebagai berikut: a. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh

    pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat demi terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi.

    b. Meningkatkan kemampuan akademik dan professional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga pendidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal.

    c. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan local sesuai kepentingan setempat. Serta diversifikasi jenis pendidikan secara professional.

    d. Memberdayakan lembaga pendidikan, baik sekolah maupun non sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat yang di dukung sarana dan prasarana yang memadai.

    e. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen.

    f. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

    g. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak lingkungan dan perlindungan sesuai dengan Potensinnya.

    Tetapi kita juga harus maklum bahwa semua kehidupan berawal dari keluarga. Disamping lembaga pendidikan yang harus diikuti sedini mungkin, keluarga adalah pusat segala pendidikan yang menjadi inti dari segala upaya pendidikan. Maka dari itu, sebuah keluarga harus dibangun dengan landasan

    10 S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 34

  • 91

    agama yang kokoh sehingga terwujud keluarga sakinah. Dan dengan adanya dasar keimanan yang kuat diharapkan kelak akan menghasilkan sumber daya manusia yang tangguh dalam menghadapi kemajuan zaman.11

    C. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas maka selanjutnya dapat diperoleh

    kesimpulan sebagai berikut: 1. Bermujahadah dalam mentadabburi, mentafakkuri kandungan kitab suci al-

    Quran dan mengamalkannya secara massal bahkan kolossal. Tidak bisa hanya pribadi, atau kelompok semata. Tetapi harus serempak dan sinergis berkesinambungan.

    2. Meninggalkan paham anthroposentris dan segera menuju pada paham tauhidi. Sebagaimana atsar sayyidina Ali bahwa, akal dan wahyu ibarat dua tanduk yang tidak bisa dipisahkan apalagi dipertentangkan.

    3. Seluruh umat Islam berkewajiban meningkatkan kepekaan atau sensitivitas terhadap kondisi umat Islam secara menyeluruh, sehingga lahir kepedulian yang tinggi untuk bersama-sama mengambil peran dalam menjawab tantangan zaman.

    4. Mulailah satu gerakan walau kecil untuk mencintai dan memakmurkan masjid. Setidaknya dengan cara meramaikan pelaksanaan sholat jamaah di masjid lima waktu, meningkatkan kuantitas dan kualitas kegiatan keilmuan di masjid, bahkan mungkin kegiatan ekonomi di masjid.

    5. Setiap muslim hendaknya meningkatkan kualitas diri dengan mempertajam bekal keilmuan ukhrowi dan duniawi sekaligus. Kita tidak boleh hanya paham satu ilmu dan lupa terhadap ilmu yang lain

    DAFTAR PUSTAKA

    Ayat Dimyati, M. dkk, Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan, Nuansa : Bandung, 2000.

    Faruqi, Ismail Razy, Tauhid, Bandung: Pustaka, 1988.

    Http://www. Islamlib.com/id/index. (Jaringan islam Liberal). di akses pada tanggal 11 juni 2013.

    11

    Ibid, hlm 45

  • 92

    Nasution. S, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

    , Pengembangan Kurikulum, Bandung: Bumi Aksara, 1993.

    Surya, Muhammad, Integrasi Tauhid I1mu dalam Sistem Pendidikan Nasional, dalam Hendar Riyadi (ed.), Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan, Bandung: Penerbit Nuansa, 2000.

    Syafaruddin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2009.

    Tim editor, Orientasi Nilai Dasar Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004.

    Yossi Suparyo, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Media Abadi, 2005.

    Yusanto, Muhammad Ismail, Menggagas pendidikan Islami, Jakarta: Al Azhar Press, 2004.

  • 93

    Novel Lauh Mahfuz: Agama dan Harmonisasi Keberagamaan

    Arif Hidayat1

    Abstrak

    Manusia memang beragam, penuh perbedaan, unik, dan punya jalan pikir masing-masing, selalu ada sisi-sisi yang tersembunyi di dalamnya, sudut-sudut gelap yang harus dibaca dengan teliti dan cermat untuk menuju pada makna sebenarnya karena semuanya memiliki kemungkinan untuk diinterpretasi.dan menarik untuk diapresiasi.

    Demikianpun Novel Lauh Mahfuz karya Nugroho Suksmanto, yang penuh dengan pesan-pesan bermakna terkait dengan cara memahami agama, mengatasi perbedaan, dan harmonisasi dalam keberagaman. Perlu untuk diketahui dan dipahami bahwa untuk memahaminya tidak hanya dibangun melalui susunan peristiwa, tetapi juga dapat dimunculkan melalui tokoh yang melatarbelakangi sistem sosial dan budaya tertentu. Dalam novel Lauh Mahfuz, tokoh menjadi artikulasi ganda atas keperibadian yang memiliki pandangan, juga tindakannya adalah proyeksi dari wacana. Adanya tokoh Syekh Abu Salaf dan Syekh Ibnu Khalaf misalnya, dapat kita identifikasi sebagai dua tokoh yang memiliki dua pandangan besar yang dalam konteksnya dapat kita hubungkan dengan keberadaan kaum Salaf dan Khalaf. Novel Lauh Mahfuz memberikan kita seberkas cahaya untuk menyadari hakikat perbedaan yang penuh dengan konflik. Kita serasa diajak masuk pada ruang yang punya banyak pintu untuk menyalakan cahaya di dalam hati dan memahami hidup beragama secara humanis dan terbuka pada perbedaan.

    Kata Kunci : Agama, Harmonisasi, Keberagaman

    Pengantar Sebuah kabar yang menggembirakan dari langit itu dipahaminya melalui

    bahasa, maka bacalah. Begitulah wahyu pertama yang turun di gua Hira, melalui perantara Malaikat Jibril, yang disampaikan dengan Bahasa Arab. Dan al-Quran adalah al-Quran, Kitab Suci yang diturunkan Allah untuk keselamatan umat manusia, yang mana Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya. Sebagaimana bahasa al-Quran yang estetis, ia memiliki tujuh tingkatan makna, dari yang sangat mudah dipahami sampai hanya yang diketahui oleh Allah. Saat dipahami lebih mendalam, al-Quran kaya makna, yang memiliki

    1Arif Hidayat, M.Hum adalah Dosen LB di STAIN Purwokerto dan di Sekolah Tinggi Teknik Telematika Telkom Purwokerto

  • 94

    pengaruh besar dari saat turun sampai waktu-waktu yang akan datang. Hanya saja, pasca Nabi Muhammad Saw wafat, mulai banyak penafsiran sehingga muncul perbedaan dengan klaim-klaim kebenaran subjektif.

    Manusia memang beragam, penuh perbedaan, unik, dan punya jalan pikir masing-masing, seperti yang saya temukan saat membaca novel berjudul Lauh Mahfuz karya Nugroho Suksmanto. Novel yang cukup menyita waktu itu, akhirnya selesai saya baca, dan menarik untuk diapresiasi terkait dengan cara memahami agama, mengatasi perbedaan, dan harmonisasi dalam keberagaman.

    Sebelumnya, bolehlah saya berasumsi bahwa novel tak hanya terdiri dari sederet susunan cerita saja, jauh lebih dari itu, novel menawarkan pada kita ruang-ruang peristiwa yang kompleks tentang sebuah dunia yang dipandang secara partikular dan unik oleh pengarang. Realitas ditampilkan dalam sudut pandang yang berbeda dengan prinsip permainan bahasa, penuh kotradiksi. Begitulah asumsi yang ditawarkan oleh kalangan postuktural semacam Barthes dan Foucault misalnya, terkait cara menyikapi teks, tak terkecuali juga novel yang menggunakan bahasa sebagai medium. Tentunya, kita harus membuka tanda dusta yang direka oleh pengarang. Melalui kemungkinan yang terbuka, kita dapat memasuki tatanan sosial yang dikonstruk dalam proses dialektika panjang antara yang nyata dan yang fiktif, antara yang real dan simbolik. Resikonya, tak jarang pula harus berhadapan dengan kode konotasi yang dibangun dalam cerita sehingga kita serasa bertualang dalam persepsi tokoh, situasi, dan konflik-konflik yang membuat dimensi emosi kita muncul sebagai respons. Kombinasi yang kompleks itu dapat kita cermati melalui sistem tanda yang ada di dalamnya, kemudian kita serasa terbang mengelilingi gugusan wacana, tentunya dengan membaca entitas berkabut yang ada di sekitarnya.

    Novel berjudul Lauh Mahfuz memiliki kompleksitas semacam itu: seperti sebuah bangunan dengan konsekuensi sastrawi untuk memusatkan cerita pada sudut pandang tertentu, namun tersedia banyak pintu dan jendela untuk memasukinya. Novel ini bercerita tentang tokoh Panji dalam memahami esensi hidup, yang ditemukan melalui jalan beragama, kemudian mendaki tujuh langit menuju Lauh Mahfuz untuk mengubah nasib agar tidak banyak korban tak berdosa berjatuhan di muka bumi. Tokoh Panji mengalami berbagai macam persoalan, dari proses kehidupan sehari-hari yang sangat sepele, sampai memasuki alam metafafisik yang penuh dengan fenomena kontradiktif. Dia, sejak kecil, telah terhubung dengan dimensi ruh sehingga bisa berkelana pada alam ghaib dan terhubung dengan beberapa orang yang memiliki kekuatan mistis. Maka itulah, tokoh Panji dapat melakukan perjalanan spiritual (dengan berbagai macam rintangan) setahap demi setahap dengan bimbingan Syekh Abu Salaf menuju puncak tertinggi (yang digambarkan sebagai Lauh Mahfuz).

    Pertanyaan yang muncul kemudian: apakah hanya cerita seperti itu yang hendak ditawarkan dari sebuah novel? Seperti yang telah saya katakan sebelumnya bahwa novel memiliki ruang yang sangat lebar dan bervariasi, maka yang perlu untuk dicermati secara mendalam pada novel Lauh Mahfuz adalah

  • 95

    pada proses dialektika cerita itu sendiri dan usaha menemukan kemungkinan tersembunyinya sebagai entitas yang berada di sekitar teks karena selalu ada kode, semacam celah bagi kita untuk memasuki ruang itu. Kita pun dihadapkan pada pandangan yang ideal dan faktual, dengan proyek panjang tentang agama yang menimpa manusia, yang tak kunjung selesai. Kira-kira semacam kematian masal yang pecah di dalam ingatan, atau semacam konsep-konsep yang membuat kita tercengang pada sebuah kemuliaan dengan seakan-akan tiada batas lagi dunia ini, yang dapat membuat kita keluar masuk pada sebuah rahasia.

    Namun saya tekankan, bahwa selalu ada sisi-sisi yang tersembunyi di dalam teks: sudut-sudut gelap yang harus dibaca dengan teliti dan cermat untuk menuju pada makna teks karena semuanya memiliki kemungkinan untuk diinterpretasi. Tak ada yang di luar teks, kata Derrida. Pada wilayah itu, saya pikir, kita dapat memasuki kedamaian dan kedalaman makna melalui retorika imaji dari novel Lauh Mahfuz atas cerita yang cukup keramat. Maka itu, hasrat untuk memburu entitas pun harus kita redam-terkendali, kita telusuri dengan pelan-pelan agar tidak tersesat ataupun terjebak dalam perangkap yang kita buat sendiri.

    Novel, Kode, dan Wacana Kalau sudah begitu, acuan macam mana yang mesti digunakan untuk

    berburu makna dengan membuka per lembar halaman? Sekiranya, mula-mula, kita bisa bercermin pada novel-novel dengan tema agama yang pernah ada dulu: yang menyinggung tentang agama. Sebutlah misalnya, novel Anak-anak Gebelawi karya Naguib Mahfouz (novelis asal Mesir) yang banyak mendapatkan kritik pedas dari para ekstrimis Islam. Atau, novel Ayat-ayat Setan karya Salman Rushdie yang membuatnya harus bersembunyi karena banyaknya orang yang ingin membunuh (karena dinilai telah melecehkan agama). Namun, pujian terhadap novel yang bertema agama juga ada, semisal novel-novel karya Rabindranath Tagore, yang kemudian membawanya meraih nobel. Sementara itu, di Indonesia, kita bisa melihat pada novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja terbitan Balai Pustaka, 1949, yang menimbulkan pembahasan cukup panas dengan penolakan dari beberapa tokoh agama, tetapi juga ada sambutan baik pada novel-novel karya Kuntowijoyo dengan semangat profetik ataupun pada novel-novel Habiburahman El Shirazi yang cukup popular.

    Lantas, bagaimanakah kondisi terakhir novel Indonesia? Faruk memandang bahwa novel Indonesia mutakhir berada dalam pergumulan antara totalisasi dan detotalisasi.2 Maksud dari pernyataannya, bahwa novel Indonesia mutakhir berusaha untuk mengungkap nilai-nilai pada wilayah yang terdegradasi atas realitas yang telah terdegradasi. Realitas dimodifikasi dengan sedemikian rupa untuk menyampaikan pesan-pesan humanis atas peristiwa yang mengalami

    2Faruk. Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi. Yogyakarta: Gama Media, 2001, hlm. 34-35

  • 96

    ketimpangan. Pendapat Faruk tentang totalisasi dan detotalisasi mencapai titik temu dalam jejak transisi yang saling terhubung antara realitas yang ideal, subjektif, dan dimensi ketuhanan.3 Tampaknya, begitu pula dengan novel Lauh Mahfuz yang berusaha untuk menyampaikan pandangan tentang agama dalam menyikapi perbedaan cara pandang karena banyaknya perselisihan tentang agama. Ada hubungan yang dialogis antara yang ideal, subjektif, dan dimensi ketuhanan, dengan memuat fenomena paradoks atas agama yang seharusnya mengarahkan pada kesejahteraan, kedamaian, keselarasan dan harmonisasi hidup, tapi justru menjadi akar masalah atas perselisihan hanya demi pencapaian klaim kebenaran. Nah, sampai di sini, sedikitnya, kita telah memahami gambaran ruang yang penuh dengan alegori tersebut, beserta tatanan Imajiner yang dilingkari oleh konsep refleksi dari realitas.

    Adapun dalam memahami sistemisasi kode yang dibangun di dalam novel Lauh Mahfuz karya Nugroho Suksmanto harus dipahami secara bertingkat, yakni dari denotasi ke konotasi dan seluruh perangkat kode menjadi wacana dalam pemunculan masalah dan penyelesaian realitas-simbolik. Kita dapat memasukinya dengan retorika imaji yang dibungkus oleh bahasa. Roland Barthes pernah menjelaskan tentang retorika imaji: Imaji dipahami sebagai batas dari makna dan imaji memungkinkan adanya penghargaan atau pengakuan sungguh-sungguh terhadap ontologi pertandaan.4 Retorika imaji dalam novel Lauh Mahfuz dapat dicermati oleh pembaca dalam susunan cerita bertingkat di alam ghaib. Padepokan as-Salaf, Burung-burung Ababil, Sidratul Muntaha, Isra Mikraj, dan Lauh Mahfuz adalah realitas yang hanya bisa ditangkap oleh pembaca dengan imaji. Ada susunan mitos, baik bersumber dari al-Quran, Kitab, maupun dari buku-buku yang menuliskan keberadaanya. Eksistensi itu dapat kita baca dalam realitas Imajiner sebagai dimensi yang dipercaya keberadaanya. Alam-alam imajinal (yang selama ini menjadi teka-teki bagi orang awam) dapat dinarasikan dan dideskripsikan dengan jelas dalam Lauh Mahfuz dan semua itu seakan tampak dalam bentangan mata kita. Novel ini menjadi semacam visioner, sekalipun realitas semacam itu bukan sebagai inti utama yang hendak diwacanakan, namun wilayah ini menjadi bagian dari sistematisasi kode yang cukup penting untuk menuju pada entitas yang saling berimplikasi.

    Perlu untuk diketahui dan dipahami bahwa kode tidak hanya dibangun melalui susunan peristiwa, tetapi juga dapat dimunculkan melalui tokoh yang melatarbelakangi sistem sosial dan budaya tertentu. Dalam novel Lauh Mahfuz, tokoh menjadi artikulasi ganda atas keperibadian yang memiliki pandangan, juga tindakannya adalah proyeksi dari wacana. Adanya tokoh Syekh Abu Salaf

    3 Ibid, hlm 45-47

    4Roland Barthers. Mitologi (Mythologies) diterj. oleh Nurhadi dan A. Sihabul Milah. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006, hlm. 19-20

  • 97

    dan Syekh Ibnu Khalaf misalnya, dapat kita identifikasi sebagai dua tokoh yang memiliki dua pandangan besar yang dalam konteksnya dapat kita hubungkan dengan keberadaan kaum Salaf dan Khalaf. Pada bagian LXII Pertempuran Pamungkas, kedua tokoh itu memiliki perbedaan tafsir atas pilihan tindakan yang dilakukan oleh tokoh Panji kerena menyembunyikan pencuri, berbohong, melukai santri, dan dianggap menentang perintah yang ditegaskan Kitab Suci. Dari permasalahan itu, dua tokoh besar harus bersitegang untuk mengokohkan pendapatnya masing-masing secara subjektif, apalagi mereka mendapatkan bisikan setan. Perdebatan benar dan salah dalam hal sudut pandang tafsir sering muncul dalam Islam antara kaum salaf dan khalaf. Dua tokoh tersebut (Syekh Abu Salaf dan Syekh Ibnu Khalaf) adalah representasi, yang memiliki identitas tersendiri.

    Tokoh-tokoh yang ada di dalam novel Lauh Mahfuz adalah tokoh yang beridentitas dengan latarbelakang yang beragampenuh dengan perbedaan. Tokoh Maria Secunda mulanya bernama Menik, yang pergi karena keluarganya dibantai (baca: rumahnya dibakar) karena menjadi aktivis PKI. Dia mengalami hilang ingatan ketika tidur di bis membentur kursi, kemudian datang ke gereja dan mendapat sambutan ramah dari Suster Kepala dari Biara Gereja Katolik Santa Ursula. Dia diberi nama baru, bernama Maria Secunda, memiliki identitas baru, (seakan baru dilahirkan, atas ingatannya yang hilang), yakni dengan beragama Kristen. Selain itu, ada tokoh lain, yakni tokoh Pak Ranuwisid yang merupakan proyeksi dari aliran kebatinan, dan sebagai pengurus Paguyuban Ngesti Tungga. Dari dua contoh itu saja, kita dapat mengidentifikasi peranan tokoh yang sengaja dikonstruks oleh pengarang untuk menampilkan wacana berdasarkan keberbedaan identitas yang mereka miliki.

    Bagi Foucault (2002), wacana senantiasa menampilkan praktik sosial dan objek material atas kedirian subjek. Adanya keterlibatan karakterisasi tokoh (sebagai kedirian subjek) dalam struktur dan sistem sosial, juga bagian dari wacana. Pembentukan wacana adalah pola peristiwa-peristiwa diskursif yang mengacu, atau melahirkan, suatu objek umum pada berbagai arena.5 Wacana muncul melalui bahasa, dan novel menggunakan bahasa untuk menceritakan, sementara kita membaca keadaan tokoh juga melalui bahasa. Dan perlu untuk dicermati bahwa wacana di dalam novel tidak hanya muncul berdasarkan cerita itu sendiri, namun situasi kejiwaan seorang tokoh juga dapat menjadi kode yang terkait dengan struktur sosial. Sebagai contoh adalah situasi kejiwaan yang dialami oleh tokoh Menik dalam kutipan berikut ini.

    Selagi dalam otaknya berkecamuk pikiran-pikiran kesangsian, tiba-tiba Menik dikejutkan oleh dentang lonceng gereja yang sayup-sayup terdengar merdu seakan memanggil-manggil dirinya. Dan ketika mentap tanda salib di atasnya menaranya, terbayang salib itu

    5Chris Barker. Cultural Studies: Teori dan Praktik (Cultural Studies: Theory and Practic) diterj. oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008, hlm. 83

  • 98

    berada di dada seorang perempuan yang mengulurkan tangan. Tanda keikhlasan yang ditawarkan.

    Menik sempat sejenak terkesima, kemudian tersadarkan bahwa dia tak perlu ragu-ragu menyambut tawaran dari penampakan itu.

    . Kemudian dia membiarkan berlama-lama perasaannya

    terbuai dalam kenikmatan itu. Kenikmatan yang memberikan ketenangan batin dan kesegaran lahiriah.6

    `Narasi tentang situasi kejiwaan yang dialami oleh tokoh Menik membuka sebauh wacana atas situasi yang terpinggirkan. Tokoh Menik mengalami dilema akibat goncangan mental atas keluarganya yang terbakar satu rumah karena terlibat PKI. Situasi kejiwaan dari tokoh Menik juga menjadi metafor perubahan sosial dengan menemukan identitas lain, yakni dengan masuk agama Kristen. Situasi kejiwaan dari tokoh Menik ketika mendapatkan identitas baru mengalami ketenangan batin dan kesegaran lahiriah karena masa lalunya terkubur dalam amnesia. Begitulah, sebuah situasi kejiwaan yang tampaknya semu, ternyata terhubung dengan ruang sosial yang begitu pelik.

    Satu hal yang perlu untuk dicermati dengan seksama, yakni beberapa wacana yang dimunculkan di dalam novel Lauh Mahfuz ditampilkan dalam dialog-dialog antartokoh. Dialog tersebut berbentuk narasi yang panjang, yang kadang-kadang terasa menggurui karena banyaknya muatan ideologis yang ditawarkan. Terkait dengan permasalahan seperti itu, Paul Riceour pernah menjelaskan bahwa diskursus yang memang dapat diucapkan, tetapi dia ditulis kerena tidak diucapkan.7 Ucapan menjadi teks. Artinya, bahwa ketika seorang tokoh di dalam novel Lauh Mahfuz sedang membicarakan sesuatu, memproduksi ujaran kepada tokoh lain, sesungguhnya itu juga bagian dari teks yang berpotensi untuk dimaknai. Pada ranah itu, ada kode yang dapat kita ambil sebagai petunjuk untuk terhubung dengan fragmen lain.

    Kita pun dapat memasuki beberapa pengetahuan yang diterima oleh tokoh Panji saat berdialog dan mendapat pengarahan dari tokoh-tokoh lain yang telah berpengetahuan. Tokoh Panji banyak mendapatkan pengarahan dari Syaikh Abu Salaf dan mendapat bisikan dari Pak Ranuwisid. Kata-kata dari mereka adalah wacana. Kualitas komunikasinya dapat dicerap oleh pembaca sebagai pengetahuan.

    Bararti? Kehidupan itu ilusi! Iya Kesimpulannya?

    6 Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012, hlm.

    42-43 7Paul Riceour. Hermeneutika Ilmu Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 197

  • 99

    Selagi Menuk terdian, Syekh Abu Salaf melanjutkan, Yang kamu sebut ilusi itu tidak datang sendiri. Pasti ada yang menciptakan atau memiliki. Kalau ilusi manusia hanyalah sebatas dua dimensi, seperti mimpi misalnya, sedangkan ilusi dari Yang Mahakuasa dapat terjadi dalam tiga dimensi, berwujud jagat raya dan seisinya. Ini tentu dilahirkan berlandaskan sebuah konsep yang menghadirkan makna. Ternyata ada logika lain dari Yang Mahakuasa yang tak terbayangkan oleh otak manusia.8

    Dari dialog itu, tidak hanya tokoh Panji dan Menuk yang mendapatkan pengetahuan, tetapi juga pembaca mendapat informasi, wawasan, dan cara pandang. Ada kebenaran tentang dimensi ketuhanan yang diutarakan oleh tokoh Syekh Abu Salaf. Kita serasa mendapatkan informasi mengenai hakikat ilusi (sebagai peristiwa) yang pada akhirnya tertuju pada Tuhan Mahakuasa. Dalam mengungkapan hal semacam itu, pengarang dengan mudah menyampaikan pengetahuan-pengetahuan melalui tokoh yang telah disiapkan sebagai yang menguasai pengetahuan tersebut. Syekh Abu Salaf adalah seorang kiai dari padepokan as-Salaf, yang dianggap memiliki kesucian jiwa dan memancarkan kejernihan aura. Wajarlah, bila Syekh Abu Salaf mengetahui dimensi kehidupan dunia, jiwa, dan ruh, yang kemudian diceritakan kepada tokoh Panji. Dari tokoh-tokoh yang telah dipersiapkan itulah, ada kebebasan untuk memainkan wacana dengan sebuah ide yang lurus sebagai benang yang mengikat beberapa fragmen. Tampak sekilas bahwa cerita dari novel Lauh Mahfuz terasa begitu liar; seolah-olah bermain dengan banyak sekali wacana, dengan mencakup beberapa aspek, namun semua itu berada dalam konstituitif narasigaris lurus dari tema mayor yang ada dalam struktur narasi.

    Agama: Sebuah Pilihan atas Kebebasan Konstituitif narasi yang dimunculkan di dalam novel Lauh Mahfuz karya

    Nugroho Suksmanto dibangun pada garis paralel yang erat dengan tema agama dan perbedaan untuk dipahami secara humanis. Ada kritik, sekaligus ada anjuran (pesan), yang lebih tepatnya kita sebut sebagai wacana. Berwacana dan membicarakan agama perlu kehati-hatian karena rawan menjadi perdebatan dan ketersingungan beberapa pihak yang merasa dilecehkan. Dan begitulah konsekuensi yang perlu untuk dipilih, ditindaklanjuti, demi keselarasan atas hidup yang harmonis dalam beragama, bersosial, dan bernegara. Bagaimanapun juga, novel (sebagai salah satu genre karya sastra) berbicara dari sisi kemanusiaan, dari realitas yang termarginal, terdegradasari, dan berjuang atas ketimpangan, entah apapun latar belakangnya. Berangkat dari banyaknya pertikaian berlatarbelakang agama, baik intern maupun antarumat beragama, yang menyebabkan korban berjatuhan, novel Lauh Mahfuz memberikan kita seberkas cahaya untuk menyadari hakikat perbedaan yang penuh dengan konflik.

    8 Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz,hlm 62-63.

  • 100

    Kita serasa diajak masuk pada ruang yang punya banyak pintu untuk menyalakan cahaya di dalam hati dan memahami hidup beragama secara humanis dan terbuka pada perbedaan.

    Kita dibawa masuk pada sebuah ruang yang penuh dengan pilihan hidup. Dan memang, harus diakui bahwa memeluk agama adalah sebuah pilihan, seperti yang termaktub di dalam surat al-Kafirun.

    Artinya: 1) Katakanlah: Hai orang-orang kafir. 2) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3) Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. 4) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. 5) Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6) Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.

    Dalam hal ini. Tuhan telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk beragama sesuai dengan pilihannya, sesuai dengan keyakinan dan pandangannya. Ada hak asasi dari Tuhan untuk setiap orang dalam memeluk agama, tanpa mempermasalahkan. Esensi mengenai pilihan, hak azasi, dan kebebasan itulah, yang ingin ditekankan kembali dari novel Lauh Mahfuz. Jalan menuju Tuhan adalah sebanyak jumlah ciptaan-Nya. Masyarakat modern dengan pandangan rasionalisasi yang kaku telah melakukan kekeliruan dalam menginterpretasikan teks agama yang suci dan sakral. Mereka memandang interpretasi sebagai satu-satunya kebenaran jawaban atas zaman, padahal mereka adalah manusia: tempat salah dan lupa. Konsep rasionalitas dipahami dan diterapkan bagi umat secara mutlak, dan yang tidak mengikuti adalah salah. Interpretasi itu pun menjadi belenggu bagi kita semua. Kita perlu sadar, bahwa memeluk agama perlu dilandasi oleh spiritualitas dari hati si pemeluk itu sendiri. Ketika Sachiko Murata melakukan studi naskah klasik di Cina, dia menemukan bahwa esensi religiusitas yang dibangun oleh Tao, Budhism, Konfusian, dan Islam terbentuk dari hati tiap-tiap pemeluknya itu sendiri. Memeluk agama perlu dilandasi keikhlasan dalam bingkai spiritualitas, tanpa paksaan, tanpa ancaman, tanpa tekanan ataupun tanpa kekangan dari pihak manapun.9

    Setiap orang memiliki keyakinan masing-masing, dengan spiritualitas yang terkandung di dalam hatinya. Tokoh Menik dan Menuk dalam novel Lauh Mahfuz diceritakan sebagai saudara kembar, namun pilihan atas agama dan keyakinan mereka berbeda. Dan mereka tidak dipaksakan, tanpa ancaman, tanpa

    9Sachiko Murata. Kearifan Sufi Cina (Chinese Gleams of Sufi Light; Wang Tai-yus Great Learning of the Pure anda Real and Liu Chihs Displaying the Concealment of the Real Realm) diterj. oleh Susilo Adi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003

  • 101

    tekanan ataupun tanpa kekangan dari pihak manapun dalam memeluk agama. Lebih karena kesadaran diri yang mendorong untuk memahami hidup dengan konsep iman.

    Menik sempat terkesima, kemudian tersadarkan bahwa dia tak perlu ragu-ragu menyambur tawaran penampakan itu.

    Itukah Bunda Maria? Dia tidak tahu. Yang jelas wajahnya begitu lembut dan memukau. Kesan tulus dengan kasih dan cinta terlihat memancar dari raut mukanya. Tak kuasa Menik menolak uluran tangannya. Maka bergegaslah dia menghampiri gereja itu.

    Dalam perjalanan menuju gereja, Menik tak henti-henti merasa takjub akan pengalaman spiritual yang baru saja dia rasakan. Ketakjuban itu membasuk dirinya dengan sebuah kesejukan jiwa, yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Yang membuat dia melangkah lebih ringan, menatappenuh percaya diri, dan membuahkan harapan bahwa hidupnya takkan sia-sia, bahkan berguna nantinya. Bahwa pada suatu saat, ketika nanti diamelangkah ke alam kekal, pasti perempuan yang ada dalam penampakannya tadi, akan menjemputnya. Bukankah itu esensi kehidupan, sebuah perjalanan meraih kebahagiaan. Kebahagiaan yang lahir bukan dari benda, atau dari sebuah ideology, tetapi kebahagiaan yang lahir dalam perasaan seorang hamba dari Yang Mahakuasa.10

    Dari kutipan tersebut, dapat dicermati bahwa tokoh Menik mendapat bimbingan spiritual dari roh Bunda Maria. Kegalauan dan kekalutan dalam ketaksadaran atas masa lalu tokoh Menik yang menyertai dirinya, kemudian mendapat petunjuk dan ketenangan jiwa hingga tergerak menuju gereja. Instrument ini karena dorongan dalam batin yang begitu kuat sehingga menggerakan seluruh tubuh secara operasional. Tentang peranan jiwa dan spiritualitas, Imam ar-Razi mengatakan mengenai pengaruhnya pada tubuh, ia mengharuskan adanya dominasi jiwa atas tubuh dan tampilnya emansipasi di dalamnya.11

    Maka itu, lain halnya dengan tokoh Menuk yang menyatukan keseluruhan jiwa secara komprehensif, yakni ketika mendapatkan pengetahuan dari Syekh Abu Salaf sebagai petunjuk, seperti yang ada dalam kutipan di bawah ini.

    Akhirnya Menuk Memohon, Syekh, boleh aku mengikuti jejak Syekh, memeluk Islam. Rasanya aku ingin lebih memahami rahasia alam serta kehidupan yang digelar Tuhan dan bersikap serta berprilaku sebagaimana yang Dia kehendaki.

    10 Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz, hlm 42

    11Ar-Razi, Imam. Ruh dan Jiwa; Tinjauan Filosofis dalam Prespektif Islam (Imam Razis Ilm al-Akhlaq) diterj. oleh H. Mochtar Zoerni dan Joko S Kahhar. Surabaya: Risalah Gusti, 2000, hlm 105

  • 102

    Syekh Abu Salaf langsung menjawab, Ucapkanlah Syahadat! Itu petanda engkau telah menjadi seorang muslim. Karena itu, merupakan Rukun Islam yang pertama12

    Dalam kutipan tersebut, petunjuk yang datang pada tokoh Menuk adalah pengetahuan yang diresapi, dihayati, dan dipersepsi dengan pikiran. Ranah ini membuka instrument mengenai manifestasi jalan jiwa untuk menelusuri ranah-ranah yang lain. Pada konteks seperti itu, menurut Imam ar-Razi bahwa: semakin tumbuh berkembang pengetahuan jiwa, semakin sempurna keadaan untuk sadar. Tidak mengherankan, dalam kondisi semacam itu menjadikan seseorang memiliki penyatuan dan internalisasi nilai-nilai dengan agama dapat mengkristal dengan cepat.

    Kendati tokoh Menik dan Menuk adalah saudara kembar, tumbuh dalam lingkaran ideologi komunis, namun petunjuk bagi datangnya iman berada dalam jalan yang berbeda. Jiwa menjadi tempat tinggal spiritualitas manusia, dan dari situlah keyakinan mengenai benar dan salah muncul. Tokoh Menik mendapatkan petunjuk dalam goncangan mental dan berada dalam ketaksadaran sehingga spiritualitas keberagamannya adalah laku. Sedangkan tokoh Menuk mendapatkan petunjuk dengan pengetahuan terus-menerus dengan cara mendengar sehingga transformasinya terwujud dalam tindakan kreatif. Namun, perlu untuk dipahami, bahwa kedua tokoh tersebut telah mendapatkan keyakinan berdasar pada pengetahuan masing-masing. Dari pengetahuan itulah, mereka memiliki kesadaran praktis (sistem nilai) terhadap realitas: dengan segenap struktur sosial-budaya yang melingkari. Keyakinan seseorang terbentuk tanpa paksaan, tanpa tekanan, dan tanpa ancaman, yakni lebih melalui kesadaran tiap-tiap diri untuk beriktikad dan bertindak dalam dorongan jiwa yang bijak dan suci.

    Keyakinan dan kekuatan spiritual untuk mendalami agama sebagai pilihan juga dimiliki oleh tokoh Panji tanpa ada paksaan dari siapapun, seperti yang tertera dalam kutipan di bawah ini.

    Apa yang ingin kamu lakukan di sini, Panji? Menuk membuka pembicaraan.

    Aku tidak tahu. Aku hanya memiliki kerinduan untuk bertemu nabi besar junjunganumat Islam, Muhammad sallallahu alaihi wasalam, kalau diizinkan.

    Kerinduan itu yang mungki membawamu ke sini. Tetapi bertemu Nabi adalah sesuatu yang tak mungkin dilakukan. Beliau berada di tingkatan langit yang tak dapat dikunjungi oleh manusia, sesuci apa pun. Kecuali beliau sendiri yang mengndangnya, itu mungkin .13

    Dari kutipan itu, kita dapat mencermati bahwa yang dilakukan oleh tokoh Panji adalah pilihan hidup. Segala yang termanifestasi di dalam dirinya adalah

    12 Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz, hlm 66

    13 Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz, hlm 52

  • 103

    embun yang sangat halus, yang mengurai kekosongan dalam setiap waktu. Beragama yang baik adalah dengan menjaga kehalusan budi, menjalin kerukunan dengan sesama manusia, dan menjadi pemimpin yang baik bagi alam semesta. Dalam pandangan Muhammad Iqbal sesungguhnya cara yang dipakai al-Quran dengan kata wahyu menunjukkan, bahwa al-Quran memandangnya sebagai sesuatu milik universal, yakni ditujukan untuk keselamatan dan kesejahteraan umat. Nabi Muhammad Saw menyarankan pada umatnya bahwa apabila mereka ingin selamat, berpeganglah pada dua tuntunan, yakni al-Quran dan Hadis. Adapun yang banyak terjadi setelah Nabi Muhammad Saw wafat, justru al- Quran dan Hadis menjadi perdebatan di kalangan pemikir, intelektual, pengkaji, maupun pengkritik dengan klaim kebenaran subjektif atas interpretasi masing-masing. Jika hal ini berlanjut terus-menerus, akan dapat memicu perpecahan di dalam Islam, bahkan kehancuran, hanya disebabkan oleh perbedaan tafsir semata.14

    Kebenaran Absolut, Peperangan Setiap orang meyakini kebenaran berdasarkan pengetahuan yang

    dimilikinya. Menurut Muhammad, besarnya kekuasaan manusia dalam menguasai alam telah memberikan suatu kepercayaan baru dan menimbulkan perasaan lebih tinggi di atas semua kekuatan yang membentuk lingkungannya.15 Begitulah sebuah pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, yang berpotensi membentuk kekuasaan. Yang menjadi masalah adalah manakala ejek-mengejak terjadi atau salah satu pihak menyerang (menantang perang). Dalam novel Lauh Mahfuz, perebuatan untuk menjadi yang paling benar dimunculkan dalam konflik antara dua tokoh dalam satu agama, yang diwakili oleh Syekh Abu Salaf dan Syekh Ibnu Khalaf, seperti yang ada dalam kutipan berikut ini.

    Ketika Syekh Abu Salaf berbalik arah menghampiri, Syekh Ibnu Khalaf menegur sambil mengangkat punggung Panji.

    Pandu, apa dosa anak ini? Jangan Tanya saya. Tanya anak murtad itu. Berikan hukuman

    yang pantas untuknya. Dia telah menodai misi suci yang kita persiapkan untuk menyelamatkan umat kita dari bencana. Dengan berbohong dan menentang perintah yang ditegaskan Kitab Suci, dia telah melawan kehendak Tuhan! Kamu ingat Pandu, dalam Alquran dinyatakan, laknat Allah itu ditimpakanatas orang-orang dusta.

    Pandu, jangan membawa nama Tuhan untuk memperdaya seseorang. Tuhan bukanlah monster atau berhala yang bayang-

    14 Muhammad Iqbal. Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam (The Reconstruction of

    Religious Thought in Islam diterj. oleh Ali Audah, Taufik Ismail, dan Goenawan Mohamad. Yogyakarta: Jalasutra, 2002, hlm. 206

    15 Ibid., hlm. 34

  • 104

    bayangnya dapat kau pakai menakut-nakuti dan dijadikan alasan untuk sewenang-wenang menghakimi.

    Pandito, ketentuan Tuhan yang tertuang dalam Alquran tidak kupaka untuk menakut-nakuti atau menghakimi, tetapi untuk ditegakkan mengatur kehidupan agar umat menapak jalan yang diridai.16

    Perdebatan dua tokoh besar itu dimulai dengan adanya salah paham dan perbedaan sudut pandang mengenai kebenaran. Mereka sama-sama berdasar pada al-Quran sebagai dasar. Namun, esensi al-Quran yang mereka gunakan hanya sebagai pembenaran atas pendapat subjektif mereka saja. Pertaruangan antara ilmu dan agama hampir tidak sebatas pada intelektualitas belaka, tetapi pada cara-cara menafsirkan dunia di sekitar kita.17 Pertarungan itu adalah pertarungan subjektif, dengan mewacanakan ideologi masing-masing untuk kepentingan golongan, dan keterakuian sebagai pemenang atas capaian kebenaran.

    Klaim kebenaran terhadap teks agama selolah-olah membuka cakrawala manusia untuk mendapatkan nilai-nilai intrinsik yang lebih banyak, yang semua itu, tentunya, didukung dengan dalil-dalil sebagai pembenaran agar cukup meyakinkan. Tentu saja, dalam ranah ini, siapapun yang mampu menjangkau dataran rasionalitas secara profesional, maka dialah yang mampu meyakinkan pihaknya, dan akan mendapat dukungan lebih banyak untuk diikuti. Doktrin mengenai agama selalu menuju etika. Begitulah yang sering digembar-gemborkan dalam ceramah. Dalam pandangan Jurgen Habermas, ranah itu berada dalam wilayah nilai yang menjadi induk bagi ide-ide yang berpengaruh secara sosial dan terbangun dalam struktur norma tindakan. Di balik itu, ada dinamika kepentingan. Nah, pada saat itulah itulah, perselisihan tidak terelakan lagi.18

    Tokoh Syekh Abu Salaf dan Syekh Ibnu Khalaf dalam novel Lauh Mahfuz karya Nugroho Suksmanto adalah kode dari kaum salaf dan khalaf. Salaf diartikan sebagai ulama yang hidup pada masa tiga abad pertama setelah Nabi hijrah, sedangkan Khalaf adalah ulama yang hidup sesudahnya, ketika orang mulai kehilangan kefasihan berbahasa Arab. Mereka sering berdebat tentang kebenaran di dalam Islam. Mereka sering berdebat ikhwal al-Quran dan Hadis, maupun pandangan-pandangan dalam kisah-kisah religius. Tidak jarang pula, dua pandangan itu saling mengejek dengan mengambil al-Quran dam Hadis sebagai sumber. Sebenarnya, adanya perbedaan itu wajar, namun, sifat pengetahuan manusia adalah konseptual, dan dengan bersenjatakan koseptual inilah manusia berkenalan dengan aspek kebenaran yang bisa diselidiki.19 Cara meereka dalam

    16 Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz, hlm 447-448

    17 Skolimowski, Henryk.2004. Filsafat Lingkungan. Yogyakarta: Bentang, hlm. 60

    18Jurgen Habermas. Teori Tindakan Komunikatif I: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat (Theorie des Kommunikativen Handelns, Band I: Handlungsrationalitat und Gesellschaftliche Ratioonalisierung) diterj. oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007, hlm. 239

    19 Muhammad Iqbal. Rekonstruksi, hlm. 42

  • 105

    menyikapi kebenaran itulah, yang seharusnya diluruskan agar tidak bertentangan dengan hak orang lain: dalam memahami kebenaran secara subjektif. Hal ini karena di dalam keyakinan terhadap kebenaran akan memuncul kuasa pada pihak lain. Terlebih lagi, ketika dalam menyampaikan kebenaran itu menyinggung perasaan dari salah satu pihak, maka perselisihan hanya ikhwal penentuan lebaran atau ikhwal tata cara shalat Subuh saja dapat menjadi konflik. Pedebatan itu banyak yang sepele, namun dalam emosi yang labil (dipenuhi amarah), setan senantiasa berbisik:

    Seketika setan punya celah untuk menghasut. Dia menggunakan sosok wanita, Ummu Zinnirah, ibu kandung Syaikh Ibnu Khalaf.

    Dengan halus ia menyampaikan bisikan, Pandito, sekarang saatnya kamu membalaskan kepedihan Ibu, yang merasakan betapa sakit hati seorang istri tatkala dimadu. Bunuh dia Pandito, lempar mayatnya ke pangkuan ibunya yang telah merampas kebahagiaan Ibu.

    Syekh Ibnu Khalaf membalas dengan menghunus replika pedang Nabi Al-Rashub di pinggangnya. Muncul suasana seteruan yang menjadi semakin sengit ketika setan lain melontarkan hasutan.

    Menggunakan sosok Hajar Marwah, ibu kandung Syekh Abu Salaf, iblis mengembuskan bisikan, Pandu, kini saatnya kamu membalas cercaan dan hinaan yang selalu Ibu terima sebagai istri kedua. Habisi nyawanya, lempar jenazahnya ke hadapan ibunya!

    Terjadilah pertempuran dua pendekar mahasakti dan digdaya.20

    Kita dapat mencermati bahwa era legitimasi dan gengsi selalu muncul pada setiap orang, tak terkecuali orang yang beriman sekalipun. Dinamika kepentingan bergerak dalam arus bawah sadar. Benturan ideologi dari sebuah penafsiran itu pun menjadi konflik, yang dalam ranah lebih jauh dapat memicu perpecahan. Novel Lauh Mahfuz karya Nugroho Suksmanto mewacanakan tentang pentingnya kesadaran atas konflik yang berlatarbelakang agama (terutama yang seagama, dalam hal ini Islam), yakni dengan melalui strategi umpan balik. Tepatnya, dengan himah di bailk kisah itu. Hikmah yang muncul dari pertengkaran Syekh Abu Salaf dan Syekh Ibnu Khalaf adalah kesadaran diri untuk: mengajarkan bahwa Tuhan itu tunggal, tetapi keagungan-Nya terletak dari keberagaman ciptaan-Nya.21

    Pertikaian mengenai perbedaan sudut pandang dan penafsiran, dalam hal ini, dapat diselesaikan dengan pandangan luhur, dengan tetap tenang dan tidak terbawa emosi sehingga jalan tengah dapat diambil. Tokoh yang mampu menjalankan itu adalah Pak Ranuwisid, yakni kode dari orang yang masih memegang pada tradisi dan budaya, dengan ajaran kebatinan Islam. Dengan

    20 Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz, hlm 450-451

    21 Ibid., hlm 452

  • 106

    memahami hubungan antara manusia dengan manusia, dia membawa pesan kenabian (profetik), yang dikenakan sebagai jubah. Jubah adalah pakaian, yang dapat kita pahami sebagai sesuatu yang melingkari (menutup) tubuh. Jubah adalah simbol dari aura, sesuatu yang memancar ke luar dan mengelilingi tubuh. Aura muncul dari jiwa. Aura muncul berdasarkan pada amal perbuatan seseorang. Memakai jubah nabi berarti menjalankan perintah nabi. Dari rangkaian itu, kita bisa memaknai bahwa dengan memahami hakikat Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw adalah kedamaian. Mencintai sesama manusia berada dalam puncak kebaikan, sebagaimana arti dari Islam itu sendiri, yakni selamat. Agar seseorang tetap berada dalam kebaikan, ia harus senantiasa sadar diri dengan sekitarnya.

    Kesadaran berada di dalam hati. Maka itu, hati perlu untuk dijernihkan. Rendra, pernah mengatakan bahwa lumut rasa iri dan benci di dalam jiwa, apabila disinari kesadaran, bisa berubah menjadi padang rumput cinta kasih yang segar dan darmawan.22 Untuk melatih kesadaran tentunya dengan menahan (baca: bersabar) atas fenomena yang muncul dalam realitas. Dalam sebuah sajak, Rendra menegaskan Kesadaran adalah matahari/Kesabaran adalah bumi. Bersabar yang dimaksudkan di sini, bukan berarti diam tanpa memberikan perlawanan. Tentu adakalanya melawan. Pada masa Nabi Muhammad Saw, dilakukannya berperang adalah untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Berikut ini, paparan dari Sachiko Murata dan William C. Chittick tentang agama dan pesan kedamaian:23

    Titik balik datang pda tahun 622 M. satu delegasi datang kepada Muhammad dari kota Yastrib, sekitas dua ratus mil utara Mekkah. Mereka mencari juru damai untuk menghentikan perselisihan internalnya, dan mereka mendengar hal-hal baik tentang kebijaksanaan Muhammad.

    Konsolidasi Islam yang berlangsung selam periode Madinah berarti fokus ayat-ayat al-Quran yang diwahyukan berubah dari ancaman kesengsaraan dan janji keselamatan menjadi instruksi konkrit bagaimana hidup semestinya dijalani dalam upaya mendapat perlindungan dari Allah. Muhammad bertindak sebagai nabi, raja, hakim, dan pembimbing spiritual bagi seluruh masyarakat. Oleh karena beliau merupakan penerima pesan ilahi, beliau menyampaikan perintah mengenai masalah politik dan sosial, menyelesaikan dan memberi hukuman atau ampunan bagi para

    22 Rendra. 1999. Memberi Makna pada Hidup yang Fana. Jakarta: Pabelan Jayakarta,

    hlm. 104 23

    Murata, Sachiko dan William C. Chittick. 2005. The Vision of Islam diterj. oleh Suharsono. Yogyakarta: Suluh Press, 2005, hlm. xxvii-xxviii

  • 107

    pelanggar hukum Allah, dan beliau menasihati dalam upaya personalnya untuk mencapai kedekatan dengan Allah.

    Nabi Muahammad Saw. telah memberikan contoh tentang esensi ajaran Islam yang disebarkan untuk keselamatan dan perdamaian umat manusia.

    Pesan-pesan kedamaian dalam novel Lauh Mahfuz karya Nugroho Suksmanto ditampilkan dalam indeksial. Misalnya, kita dapat membaca bahwa setelah tokoh Panji menunaikan tugas dalam mengapai langit demi langit menuju Lauh Mahfuz dengan mengunakan senjata yang diberi Syekh Abu Salaf, maka senjata itu dihancurkan ke langit. Dari kronologi ini, fragmen narasi ingin member penekanan bahwa senjata hanya digunakan seperlunya saja, yakni untuk membela diri, bukan untuk membunuh. Begitulah pesan penting yang hendak disuarakan pada bangsa Indonesia, yang dalam akhir-akhir ini bermunculan konflik antarumat beragama maupun konflik dalam seagama.

    Dari pesan itu. perlu kita catat, dalam hal ini, novel tidak hanya sekadar bahasa tulis yang berimajinatif, tetapi novel memuat suara dan sudut pandang yang telah diperhitungkan. Umpan balik moral ini untuk dipahami sebagai wacana yang akan bergerak ke dalam praktik sosial. Kritik sentralnya, terutama tertuju pada benturan di dalam Islam yang dapat memicu perpecahan, yakni antara kaum Salaf dan Khalaf, dengan klaim-klaim kebenaran atas teks-teks suci dan sakral, baik paa al-Quran maupun Hadis. Dalam sebuah dialog antara tokoh Panji dengan Gus Dur, muncul wacana menarik sebagai tawaran solusi atas benturan sosial tersebut, yang dapat dicermati dalam petikan berikut ini.

    Benturan ini mungkin bisa dihindari bilamana kaum pembaharu yang menamakan diri kaum khalaf, sebelum melakukantafsir, menyuguhkan konsep (dengan kehati-hatian tentunya) namun tetap menjalin silaturahmi dengan ulama-ulam besar salafis. Sebenarnya bisa dirancang bayangan atau gambaran seperti apa menurut persepsi atau penghayatan mereka akan dihadirkan, sehingga perbedaan tafsir isa disikapi sebagai sebuah perbedaan pendekatan semata, tanpa mengurangi kesakralan sebuah teks. Juga tetap memberikan kesempatan kaum salaf berpijak pada keyakinan tafsir mereka, tanpa memaksakan perubahan tafsir yang lebih didasari oleh kepentingan berpikir secara logis yang menghilangkan aspek romantismeinstingtif dan intuitif yang berlandaskan pada nash agama.

    Ini dirasakan penting bagi pemenuhan kebutuhan spiritual mereka. Kaum salaf lebih mengandalkan kedalaman hati dalam mengamalkan ajaran agama dan transendensinya.

    Dengan semangat persaudaraan dan menghilangkan segala bentuk prasangka, kehadiran dua kubu atau aliran yang dilandasi perbedaan pendekatan itu akan melahirkan kesadaran bahwa Tuhan memang ternyata sengaja memberikan opsi atau pilihan menjadi salaf atau khalaf. Dan ini, dari karakter dominasi salah satu bagian

  • 108

    otak manusia saja, sangat dimungkinkan. Belum lagi aspek penetingan lain.24

    Dengan adanya tawaran untuk perdamaian semacam itu adalah terciptanya kerukunan dan harmonisasi dalam beragama. Kita perlu menunjung tinggi sikap saling menghargai, saling menghormati, tenggang rasa, dan toleransi dalam beragama. Perbedaan yang ada di muka bumi bukan untuk diperdebatkan, melainkan adanya perbedaan adalah untuk melengkapi kekurangan dari yang lainnya. Begitulah keagungan dan kebesaran Tuhan dalam membuat sistem di alam semesta melalui perbedaan. Pada kaitan ini, perlu kiranya saya ambil pendapat dari Yusuf Qardhawi, bahwa cinta kasih adalah ruh kehidupan dan pilar bagi lestarinya umat manusia.25 Dalam jalinan cinta kasih yang tumbuh dari hati itulah, kedamaian dapat tercipta. Relasi manusia dengan manusia adalah saudara, apapun jenis ras, suku, bangsa, maupun agamanya. Setiap manusia adalah bersaudara, yakni sebagai keturunan Adam yang diperintahkan untuk menjadi khalifah bagi alam semesta.

    Harmonisasi Keberagaman Wacana mengenai harmonisasi dalam keberagaman, dan kerukunan telah

    dipersiapkan dengan baik oleh pengarang. Dia awal cerita (di bagian I Gelisah) dari novel Lauh Mahfuz telah dipaparkan sederet fragmen tentang kekisruhan yang membuat manusia tidak berdosa harus menjadi korban. Dari kasus G 30 S yang menelan korban kira-kira 2.000.000 orang, kasus Gedung Menara Kembar (World Trade Center) di Amerika yang kemudian memicu peperangan dan menelan banyak sekali korban. Fenomena itu menjadi akar wacana mengenai hak setiap manusia untuk hidup layak sebagaimana mestinya. Bahkan, hak untuk hidup layak tidak hanya dimiliki oleh manusia saja, tetapi juga semua makhluk hidup sebagai ciptaan Tuhan. Bahkan, iktikad dari tokoh Panji menggapai Lauh Mahfuz bertujuan untuk merubah suratan takdir agar bencana tidak terjadi. Takdir tetaplah takdir. Bencana tetap terjadi, hanya berpindah tempat, yakni di Lautan Pasifik mendekat ke Kepulauan Jepang dan di Laut Atlantik dekat Teluk Meksiko. Dalam kedustaan semacam itu, sebenarnya yang hendak diwacanakan lebih pada keselamatan umat manusia. Hanya saja, cara yang dipakai oleh pengarang dalam berwacana melalui mutasi-realitas, yakni dengan memindahkan realitas yang fakta menjadi fiktif (rekaan di dalam novel).

    Dalam pembacaan seperti ini, kita harus cermat dan tidak boleh memahami yang tersurat. Kita memang harus membaca tanda yang berada di balik peristiwa itu. Di dalam novel ini, sengaja ditekankan bahwa pencapaian spiritualitas tokoh Panji dari tahap ke tahap menuju Lauh Mahfuz, semata-mata

    24 Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz, hlm 259

    25 Yusuf Qardhawi. Merasakan Kehadiran Tuhan. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005, hlm.

    149

  • 109

    karena perbuatan baik kepada makhluk hidup di dunia ini. Moralitas para peghuni langit adalah moralitas yang mengedepankan hak asasi manusia dan kesejahteraan sosial (human right and social welfare morality).26 Selain itu, dikatakannya bahwa: Moralitas para peghuni langit adalah prinsip-prinsip etika universal (universal ethical principles). Kita dapat melihat dari perbuatan baik yang dilakukan tokoh Panji dan terhubung pada alam lain dalam tabel berikut ini.

    Tabel Kebaikan

    No. Tokoh yang Ditolong Jenis Perbuatan Hikmah 1. Kucing Penebus kesalahan karena

    tak sengaja meracuninya Mempertemukan Tokoh Panji dengan tokoh Menuk

    2. Menik Menolong dari sergapan warga yang ingin melenyapkan PKI hingga ke anak cucunya

    Kembaran dari tokoh Menik, yaitu tokoh Menuk menjadi pendamping spiritual dalam menuju Lauh Mahfuz

    3. Anjing (Nyuk-Nyuk)

    Menolong saat terluka parah di jalan karena tertabrak kendaraan, yang kemudian dipelihara

    yang membujuk Malaikat Hafazhah agar Panji mendaki langit pertama menuju Lauh Mahfuz

    4. Pak Somad (tukang becak)

    Menolong saat terlindas truk di Jalan Indraprasta

    orang yang mengusulkan kepada Malaikat Hafazhah agar tokoh Panji untuk mendaki langit kedua menuju Lauh Mahfuz

    5. Jauhari Memberi makan saat jadi teman masih kecil, menolong keluarganya saat Jauhari meninggal.

    orang yang meminta kepada Malaikat Hafazhah agar tokoh Panji mendaki langit ketiga menuju Lauh Mahfuz

    6. Pamanya Membebaskan menjalani karma karena sering menembak burung-burung di atas kuburan

    orang yang meminta kepada Malaikat Hafazhah agar tokoh Panji mendaki langit keempat menuju Lauh Mahfuz

    7. Kakek dan Nenek

    Melalui permainan catur, tokoh Panji yang menjalin hubungan kakek nenek yang terpisah.

    orang yang mengusulkan kepada Malaikat Hafazhah agar tokoh Panji mendaki langit kelima menuju Lauh Mahfuz

    8. Siregar dan Mengasuh (membesarkan) Siregar yang mengusulkan kepada

    26 Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz, hlm 273

  • 110

    Anak Yatim anak yatim, dan membahagiakan orang-orang miskin saat lebaran

    Malaikat Hafazhah agar tokoh Panji mendaki langit keenam menuju Lauh Mahfuz

    9. Ibunya Berbakti, dan memenuhi permintaan terakhirnya sebelum meninggal dunia

    Tokoh ibu yang menyampaikan permohonan kepada Malaikat Hafazhah agar tokoh Panji disetujui menggapai Lauh Mahfuz

    Perjalanan melewati tujuh langit menuju Lauh Mahfuz adalah alegori yang cukup sulit untuk ditebak. Setiap langit memiliki gambaran peristiwa sendiri-sendiri, dengan penghubung yang berbeda berdasarkan pada amal perbuatan tokoh Panji. Tingkat pertolongan yang paling rendah adalah menolong bintang (sekalipun binatang itu najis), sendangkan tingkat pertolongan paling tinggi adalah berbakti pada ibu kandung. Nilai-nilai semacam itu mulai memudar pada masyarakat perkotaan yang individual, yang mana orang-orang lebih percaya pada sistem abstrak buah perkembangan dari teknologi. Keadaan menyedihkan lain, tergambar dalam ras, suku, dan agama yang primordialisme akibat penolakan interaksi dengan budaya dari luar. Ini menekankan bahwa interaksi kita dalam ranah sosial harus dibangun dalam kerangka persaudaraan dan dalam balutan cinta kasih, tanpa harus membeda-bedakan. Dengan nada yang polisemik, kiranya perlu adanya sifat terbuka, sopan santun bersosialisasi, dan toleran kepada orang lain secara berdampingan.

    Untuk bisa bersosialisasi dengan baik agar tercipta kerukunan perlu ada iman kepada Tuhan. Dengan beriman, mata akan terbuka pada nilai-nilai, bentangan alam semesta, gejala alam yang dipahami sebagai keberadaan Tuhan. Nilai-nilai luhur transendental perlu untuk dipegang untuk mewujudkan konsep muamalah secara kaffah. Transendensi menjadi dasar bagi humanisasi dan liberasi. Dalam kerangka itu, kita dapat mewujudkan amar makruf dan nahi mungkar, agar mewujud perbuatan baik kepada sesama manusia, alam semesta dan Tuhan sehingga dapat mencegah kemungkaran.

    Sebenarnya, bila dicermati dengan seksama, wacana yang diusung dalam novel Lauh Mahfuz hampir senafas dengan konsep sastra profetik yang pernah dituliskan oleh Kuntowijoyo, dengan humanisme, liberasi, dan transendensi. Tautologies yang dibangun oleh Kuntowijoyo di dalam karya-karyanya lebih mengedapankan eksistensi diri: manusia untuk menemukan jati diri di tengah realitas. Sedangkan transformasi yang diusung Nugroho Suksmanto lebih mengupayakan humanisasi dalam menyikapi pluralisme agar konsep muamalah berjalan dengan baik. Pesan dari novel Lauh Mahfuz agar terjadinya kerukunan dalam keberbedaan, yang dimunculkan pada hak setiap individu untuk bebas memilih.

  • 111

    Ketika Romo Warih Permadi, Syekh Ibu Klahaf Al-Ahmad, Pak Ranuwisid, Bu Rekso Bergowo, Panji dan Menuk berada dalam satu meja untuk menikmati hidangan pesta perkawinan, Romo Warih membuka pembicaraan, Bu Rekso, putrid-putri Ibu sekarang sudah memiliki keyakinan. Menik memilih Katolik, sedang Menuk memeluk Islam. Tinggal Ibu yang belum menentukan, ikut bergabung dengan Romo Warih atau bergabung dengan Syekh Ibnu Khalaf.

    Apakah itu suatu keharusan? Bu Rekso mempertanyakan. Oh, tidak. Agama lain juga ada. Hanya bangsa kita telah

    menetapkan Pancasila sebagai falsafah Negara. Mengacu pada sila pertamanya, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, setiap warga Negara diharuskan memeluk agama sebagai manifestasi percaya adanya Tuhan, jawab Romo Warih Permadi27

    Dalam kutipan tersebut, setiap tokoh mengekspresikan kebenaran dalam cara pandang masing-masing, namun mereka menerima dengan terbuka. Tak ada kemarahan. Kebenaran dari tiap-tiap tokoh sama-sama sah. Semua agama memiliki kebenarannya sendiri-sendiri. Tidak untuk dipaksakan kepada agama lain. Begitulah, yang seharusnya dipahami dalam realitas yang penuh dengan perbedaan. Adapun tingkat keimanan dalam menjalani agama diukur pada cara menghayati spiritualitas masing-masing. Dengan kata lain, beribadah adalah konsekuensi manusia dengan Tuhan yang tak perlu dipamerkan ataupun sebagai yang paling benar, sementara itu dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus siap dengan berbagai macam keberbedaan pada masyarakat global.

    Wacana mengenai harmonisasi keberagaman, juga dimunculkan dalam bagian Dialog Mantan Presiden. Dalam cerita itu, Presiden Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur saling berdialog tentang masa lalu ketika hidup di dunia. Mereka saling meminta maaf atas kesalahan yang telah diperbuat, dengan mengakui kesalahan masing-masing. Mereka memaafkan. Soeharto meminta maaf karena telah karena telah menggulingkan Soekarno dengan rasa kesepian di penjara setelah turun jabatan dan mengalami depresi bera. Sedangkan Soekarno juga meminta maaf karena lengsernya Soeharto juga ada Peran Megawati (putri Soekarno). Mereka berdua berdialog dengan saling menyesal telah menyengsarakan rakyat Indonesia. Kendati cerita tersebut seperti anekdot, tetapi lebih dari itu, makna muncul dalam representasi: yakni suasana perdamaian yang harmonis. Kesan itulah yang ingin ditampilkan.

    Dan dialog mereka diakhiri dengan sebuah kesimpulan dari Gus Dur Jilbab, dengan demikian merupakan pilihan bagi wanita muslim yang pemakaiannya dilandasi keyakinan masing-masing penggunanya. Gitu aja kok repot! yang menandakan bahwa sesunguhnya dalam perbedaan itu ada pilihan bagi setiap orang. Pilihan itu sendiri didasari oleh keyakinan dari setiap individu.

    27 Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz, hlm 472

  • 112

    Perbedaan bukan untuk diperdebatkan karena merupakan keyakinan dari setiap orang, dan setiap keyakinan dalam diri adalah hak asasi yang paling hakiki, yang dim