dramakala 5

8
drama kala media komunikasi dan informasi teater E d i s i O K T O B E R - N O V E M B E R 2 0 1 1 05 Panggung Teater Indonesia Membaca Teater Indonesia Hari Ini 2 4 3 8 WACANA Panggung Teater Modern Indonesia BERITA UTAMA Panggung Teater Indonesia - Jilid 1 KHASANAH Realitas Teater Realis MATA KALA Teater Indonesia Yang Bergerak

Upload: lspr-jakarta

Post on 22-Mar-2016

242 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Dramakala 5 Stikom LSP

TRANSCRIPT

Page 1: Dramakala 5

dramakalamedia komunikasi dan informasi teater

Edisi OKTOBER - NOVEM

BER 201105

Panggung Teater IndonesiaMembaca Teater Indonesia Hari Ini

2

43

8

WACANAPanggung Teater Modern Indonesia

BERITA UTAMAPanggung Teater Indonesia - Jilid 1

KHASANAHRealitas Teater Realis

MATA KALATeater Indonesia Yang Bergerak

Page 2: Dramakala 5

2 Edisi 5 - Oktober 2011 KALA MEMBACA

Teater modern Indonesia beruntung dan boleh bangga memiliki dramawan seperti WS.Rendra, Arifin C. Noer, Suyatna Anirun, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Putu Wijaya, Nano Riantiarno, dan beberapa nama lain tak tersebutkan di sini, yang yang berkarya dengan penuh dedikasi dan kecintaan. Keberadaan persona-persona tersebut telah memantabkan kehadiran teater di Indonesia sebagai sesuatu yang layak diapresiasi dengan tinggi.

Drama Kala edisi kali ini akan memperbincangkan secara khusus tentang teater modern Indonesia dalam rangka membaca dan mengapresiasi capaian bentuk artistik dan estetik teater Indonesia sedahulu hingga sesampai kini. Tentu saja, berbicara tentang teater Indonesia tidak dapat dilepaskan dari nama-nama yang telah disebutkan dengan hormat di atas bersebab mereka adalah tonggak-tonggak dalam teater Indonesia. Kehadiran tokoh-tokoh teater Indonesia ini memiliki tempat yang khas di hati penonton dan pekerja teater di Indonesia. Bersama ketokohan persona-persona teater itu menghadir juga nama nama pekerja teater dari berbagai kota yang lebih berikut muncul dalam panggung pertunjukan di Indonesia dan kami pun dengan penuh semangat mewawancarai mereka sebagai nara sumber dari tema ini, mereka adalah Dindon WS (Jakarta), Irwan Jamal (Bandung), Tya Setiawati (Padang), dan Iswadi Pratama (Lampung).

Guna merekam jejak dan memberi apresiasi terhadap tokoh-tokoh teater modern Indonesia ini kami undang Agus R Sarjono, seorang dosen teater STSI Bandung yang lebih dikenal sebagai penyair untuk menuliskan pemahamannya akan Arifin C. Noer dan WS Rendra di rubrik Khasanah. Sedangkan untuk Wacana kami hadirkan Benjon, seorang praktisi teater dan juga dosen untuk memaparkan pandangannya tentang Teater Modern Indonesia.

Khusus untuk tema Panggung Teater Indonesia ini, kami akan menurunkannya dalam dua bagian, bagian pertama pada edisi kelima yang sekarang ada di tangan anda ini, dan bagian kedua pada edisi keenam yang akan terbit pada November-Desember. Semoga bacaan ini boleh berkenan di hati anda. Selamat membaca.

Redaksi

dramakalaDewan Eksekutif IDEAL

Pembina : Prita Kemal Gani, MBA, MCIPR, APRPenasihat : Arswendo AtmowilotoDirektur Internal : Chrisdina WempiDirektur Eksternal : Rafael JolongbayanGeneral Manager : Renata Tirta KurniawanKoordinator : Maulia Rori Rarasati

Dewan Redaksi

Pimpinan Redaksi : Harris Priadie BahWakil Pimpinan Redaksi : Andi BersamaReporter : Dediesputra Siregar Dendi Madiya Irwan SenjayaEditor : Malhamang ZamzamLayout : Aditya Nugroho PratomoFotografer : Reza Kurnia

Alamat RedaksiSTIKOM The London School of Public Relations - JakartaKomplek Perkantoran Sudirman ParkJl. K.H. Mas Mansyur Kav. 35Jakarta Pusat 10220

Cover“Bunga Di Comberan” - Teater SakataFoto Dok. Teater Tetas

WACANA

Panggung Teater Modern IndonesiaTeater modern Indonesia terkini harus menerima nasib

sosialnya. Lingkungan eksternal yang mendukung vitalisasi peran sosial teater, tidak lagi semarak. Pers tidak antusias melaporkan peristiwa pertunjukan teater untuk mempertajam kritisisme publik. Pendidikan formal teater jalan di tempat. Lembaga donasi lebih tertarik pada keberesan laporan administratif produksi. Pihak sponsor hanya tertarik bertransaksi dengan segelintir seniman yang punya nilai jual. Manajemen kelompok teater masih terkonsentrasi pada figur karismatik di kelompoknya. Sementara penggalian ide-ide artistik masih dikerjakan oleh sejumlah peteater, teater tidak lagi punya forum bersama yang secara representatif dan kritis mampu melakukan pengujian terhadap nilai-nilai gagasan yang ditawarkan itu. Reportase pertunjukan menjadi kepingan berita yang terserak, tanpa temali isu.

Rendra dan Bengkel Teater pernah berhasil mendorong panggung teater sebagai kekuatan pencerdasan publik. Tetapi hal demikian lebih banyak ditentukan oleh faktor kefiguran Rendra sebagai pribadi yang magnetis. Pasca reformasi, enerji teater justru tumpah di jalan-jalan, mengiringi acara demo atau peristiwa unjuk rasa. Pers kerap menyebutnya sebagai aksi teatrikal. Ada ancaman disfungsi sosial pada teater modern. Nasib sosial seperti itu tidak mengindikasikan bahwa teater kehilangan tungku kreativitas. Teater hanya sedang kehilangan alat baca bagi dirinya, sehingga ruang artikulasinya di ranah publik semakin terbatas.

Putu Wijaya bersikap lebih optimistik. Sejak kelahiran TIM, menurutnya, dikotomi antara tradisi dan modern jadi melebur. Teater tradisi direapresiasi. Teater modern memodifikasi aspirasi tradisi. Jadilah pertemuan lintas perspektif itu menjadi ramuan estetika baru. Putu menyebutnya sebagai tradisi baru. Cara pandang Putu sekaligus memberi imbangan terhadap cara pandang dominan saat itu, yang cenderung menempatkan perkembangan teater di Indonesia sebagai bentuk subordinasi atau malah duplikasi dari teater Barat. Teater modern Indonesia bisa dibaca dari sumber tradisinya sendiri.

Salah satu jalan pemodernan teater Indonesia memang bisa menggunakan teater tradisi sebagai

lumbung kreativitas. Kesinambungan itu bisa juga menjadi perspektif dan alat baca bagi model eksplorasi estetik dalam panggung teater. Ditinjau dari konteks ini, maka sejumlah cara untuk mereapresiasi dan merevitalisasi tradisi telah ditunjukkan oleh peteater dari generasi pasca Rendra.

Dari Rendra sampai Riantiarno, adalah generasi peteater yang masih memiliki memori tradisi lebih kental dan merasuk. Generasi ini mampu mengekstraksi dan mensublimasi nilai dan idiom teater tradisi untuk dibawa ke dalam lanskap kesadaran kontemporer. Dengan sikap reflektif dan selektivitas yang berbeda, generasi Rendra sampai Riantiarno menunjukkan model model penyandingan dan penenunan aspirasi, substansi dan atmosfir tradisi ke dalam panggung teater modernnya. Pada masa deklinasi Orde Baru, sekitar tahun 90-an, sebagai implikasi langsung dan tidak langsung atas gegap reformasi, muncul kecenderungan lain dalam memperlakukan tradisi, yaitu demistifikasi tradisi. Respon estetik yang tampak adalah sebuah jalan menghidupkan kembali tradisi, setidaknya dalam tiga kecenderungan: tradisi sebagai kemungkinan, sebagai keleluasaan dan sebagai sublimasi estetik.

Model tradisi sebagai kemungkinan adalah cara mengartikulasikan tradisi dalam habitat kontemporer, dengan melibatkan idiom-idiom dan diksi privat. Dari sini muncul sikap mendistorsi narasi besar dan menyusun teks lateral dalam presentasi teaternya. Pelakunya, diantaranya Wayang Suket-Slamet Gundono, Bandar Teater-Malhamang Zamzam, Teater Ruang-Joko Bibit Santoso dan Teater Re-PUBLIK-BenJon.

Model lain adalah memperlakukan tradisi sebagai keleluasaan, yaitu cara mendekati dan berdialog dengan spiritualitas tradisi dengan melibatkan kecerdasan modern. Teater jadi semacam riset eksistensial untuk memperoleh pencerahan identitas. Pelaku di lini ini adalah Teater Garasi-Yudi Ahmad Tajudin dkk, dan yang bergiat belakangan Kelompok Seni Teku-Ibed Suryana Yoga.

Kecenderungan lain adalah mengadopsi tradisi untuk mencapai sublimasi estetik. Ini adalah cara menggunakan epistemologi dan tematik lokal sebagai bagian dari penegasan biografi kultural peteaternya. Pelaku

yang memilih jalan ini adalah Teater Gapit versi Bambang Widoyo SP(alm), Teater Gidag-Gidig-Hanindawan, Laskar Panggung-Yusef Muldiyana.

Sedangkan peteater yang hampir sepenuhnya hidup dan menyerap kultur urban sebagai biosfir sosialnya, menyusun presentasi teaternya dalam bentuk estetika kolase. Kolase itu menghadirkan narasi puitik tubuh dan benda, menghilangnya cerita, menguatnya aspek piktorial dan komposisi visual. Dalam barisan ini ada Teater Kubur-Dindon, Teater Payung Hitam-Rachman Sabur, Teater Kami-Harris Priadie BAH, Teater Kosong-Radhar Panca Dahana.

Peteater dari generasi yang lebih muda sadar akan implikasi multi-media, spektakel gambar dan estetika lintas genre. Mereka barangkali tidak mempersepsi tradisi dalam konsep ‘warisan’. Tradisi adalah kekinian itu sendiri. Maka terbentuklah semacam personalisasi tradisi. Pelaku potensial yang mengisi ruang yang belum sungguh-sungguh bertuan ini adalah Manahan Hutahuruk, Irwan Jamal, Jamalludin, Naomi Srikandi, Asep Budiman, Bembeng Prihadi.

Identifikasi terhadap panorama panggung teater modern Indonesia yang dipaparkan ini, belum merupakan potret yang lengkap. Alat baca yang dipakai juga melibatkan risiko penyederhanaan dan subjektivitas. Isi album tidaklah terbuka sepenuhnya. Tapi inilah segelintir jejak estetik dari lanskap teater modern Indonesia. Teater sebagai sejarah panggung. Panggung yang sedang ditinggal sejarah sosialnya.*

dramakala

dramakala

Oleh :Benny Johanes

Page 3: Dramakala 5

3Edisi 5 - Oktober 2011BERITA UTAMA

Panggung Teater Indonesia - Jilid Satu“Membaca Teater Indonesia Hari Ini”

Panggung Teater Indonesia tetap dengan kegairahannya. Saat rubrik Berita Utama ini

diturunkan, tercatat di Jakarta saja setidaknya tiga pementasan besar beriringan muncul. Teater Koma di GKJ mementaskan AntigoNeo karya Evald Flisar yang disadur sekaligus disutradarai Rangga Riantiarno (putra N.Riantiarno), 7-16 Oktober 2011. Di Teater Kecil – TIM, 6-7 Oktober 2011 tampil pentas karya dan sutradara Tya Setiawati, satu di antara sutradara teater wanita potensial dari grup Teater Sakata Padangpanjang. Untuk produksinya kali ini, ia berkolaborasi dengan Teater Tetas Bulungan, Jakarta Selatan. Mementaskan Bunga di Comberan. Pentas selanjutnya grup ini 10 Oktober 2011 di Gedung Societet – Taman Budaya Yogyakarta dan 13 Oktober 2011 di Gedung Sunan Ambu, STSI Bandung.

Melengkapi dua pementasan ini dan waktu yang berjarak amat dekat, adalah Wedus Gembel, 9 Oktober 2011 di lapangan terbuka kampung Kober, Kampung Melayu Jakarta Timur, yang tak lain adalah tempat komunitas Teater Kubur. Wedus Gembel adalah karya kolaborasi dan lintas seni Snuff Puppet dari Australia dengan seniman teater dan visual Yogyakarta. Pentas di kampung Kober adalah kota keempat yang dijelajah setelah sebelumnya sukses gelaran di Yogyakarta, Slawi-Tegal serta Indramayu.

Bagaimana dengan jumlah penonton ketiga pementasan ini? Boleh dikata tumpah ruah. informasi dari ticketing Teater Koma, seperti juga kebiasaan yang terjadi pada pementasan-pementasan sebelumnya, harga tiket yang berkisar Rp 50 ribu hingga Rp 200 ribu, sold out. Dua pementasan lainnya, tidak menetapkan tiket alias gratis.

Tercatat pula, pada Desember 2011 yang akan datang, dimulainya pesta teater Jakarta yaitu Festival Teater Jakarta (FTJ) yang ke 39, sebuah festival teater yang kesinambungannya tanpa putus. Tentu jika digabung dengan pentas-pentas lain di sejumlah kota di luar Jakarta, satu hal yang menggembirakan adalah memperlihatkan betapa gelaran teater Indonesia memang memiliki gairah yang tak kunjung surut. Ini sekaligus dapat menandakan bahwa teater kota besar yaitu teater yang hidup dan berinteraksi dengan masyarakat urban, telah melekat dan menjadi bagian integral upacara kehidupan masyarakatnya.

Jika demikian jadinya, bagaimana mungkin teater akan surut? Rasanya seirama jaman yang tak henti bergerak, dinamisme teater akan terus menyalak. Tokoh-tokoh peletak dasar teater modern Indonesia, antara lain Rendra, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Arifin C.Noer (semuanya telah berpulang) dan Putu Wijaya akan pasti selalu disebut. Karena dari kerja kreatif mereka itulah sesungguhnya terdapat tali-temali teater modern hari ini mendapatkan penjelasannya.

“Tokoh-tokoh itu menyelam dan tenggelam sebagai bentuk pencarian yang kemudian membuat mereka terampil dalam bidangnya dan menghasilkan karya yang penuh dengan kedalaman”, tukas Irwan Jamal-Teater Cassanova Bandung kepada Dendi Madiya dari Dramakala. Hal ini juga diakui Dindon WS dari Teater Kubur Jakarta, Iswadi Pratama-Teater Satu Lampung, Tya Setiawati-Teater Sakata Padangpanjang. Mereka menegaskan, spirit teater dari tokoh-tokoh itu, begitu rupa mempengaruhi pengucapan-pengucapan estetik teaternya. Sumbangan tak ternilai dari tokoh-tokoh itu adalah militansi, kerja keras, intensitas dan dedikasi mereka yang telah menempa mereka bahwa teater sebagai sebuah jalan hidup.

“Saya mengartikan, berteater para tokoh itu sudah seperti ibadah”, ujar Dindon WS. Tidak Putus

Tetapi menurut Iswadi Pratama, generasi teater saat ini justru belum semuanya mampu membangun komunitas teaternya sebagaimana tokoh-tokoh itu. Faktor

ekonomi, kata Iswadi adalah satu di antara yang melatarbelakangi hal ini. Sementara Tya mencatat, amat disayangkan tidak ada orang yang mencatat pencapaian-pencapaian artistik yang tokoh-tokoh itu lahirkan. Nyaris tak ada literatur yang bagus sebaik literatur tentang pencapaian metode akting pada Stanislavsky. Ironis. Ironis lain barangkali apa yang diamati Dindon. Ia melihat, anak-anak teater sekarang mungkin tidak tahu sosok mereka. Padahal

kalau pun mereka tidak pernah ketemu, alangkah baiknya minimal mereka membaca literaturnya. Tapi mereka juga tidak menyentuh itu. Sehingga untuk membaca Kapai-Kapai (Arifin C.Noer),

Aduh (Putu Wijaya), Suku Naga (Rendra), anak-anak teater sekarang agak kesulitan. Berat. Seperti sesuatu yang asing.

Pelaku teater sekarang harus mengenal secara lebih seksama kiprah para peletak dasar teater modern itu. Teater Kubur, Teater Satu, Teater Cassanova dan Sakata Padangpanjang, terbukti banyak menyerap spirit

dari kehidupan tokoh itu, dan hasilnya siapa pun tahu bahwa keempat grup ini tahan banting dan terus menerus menciptakan karya kreatif. Teater Satu dan Sakata terbukti eksis di kotanya masing-masing. Teater Cassanova di Bandung dan Teater Kubur di Jakarta pun begitu.

Bekerja kreatif menciptakan karya adalah rangkaian yang tidak putus pada keempat grup teater itu. Memperoleh spirit hidup demikian, mereka akui sebagai bentuk studi dan pengkajian atas kerja dan kreativitas tokoh-tokoh itu.

Tentu mereka tidak meniru model yang pernah dilakukan para tokoh teater modern itu. Secara persis mereka tahu tidak mungkin melakukan peniruan, sebab tindakan demikian hanya akan sia-sia. Kerja keras dan militansi para tokoh itu yang kemudian merangsang kreativitas.

Kerja kreatif Teater Kubur, misalnya dilakukan dengan latihan yang kontinyu. Proses latihan yang tidak dipicu semata demi suatu pementasan. Proses kerja seperti inilah yang telah merangsang mereka melangkah menciptakan suatu karya artistik.

Proses kreatif yang relative sama juga dilakukan oleh grup lainnya. Pada produksinya sebagai pemenang hibah seni Yayasan Kelola, Bunga di Comberan, cara kerja Tya dimulai dengan riset terlebih dahulu. Ia mengumpulkan data-data dari buku, koran, internet, segala hal terkait soal pembantu rumah tangga (PRT). Bahan-bahan itu kemudian dituliskan menjadi naskah. Seiring ini, latihan dimulai. Kepada Dedies Putra yang mewawancarai di tengah proses latihan, Tya mengatakan dirinya mendapatkan suatu spirit. Bahwa salah satu bentuk survivalitas yang harus dimiliki pelaku teater adalah bekerja sama dengan individu atau institusi lain di luar teater. Demikianlah. Untuk produksi Bunga di Comberan, Tya bekerja sama dengan beberapa LSM yang konsen pada isu perempuan, khususnya dalam soal PRT.

Teater Satu Lampung relatif sama. Iswadi menyebutkan, ia dan kawan-kawan grup biasanya setiap produksi tidak kurang selalu berproses minimal 3 sampai

4 bulan. Prosesnya relatif sama dengan teman-teman dari grup lain. Yaitu diawali dengan diskusi, lalu observasi. Yang paling besar mendapat perhatian di kelompoknya adalah studi pemeranan. “Itu yang paling banyak menyita waktu, dan paling banyak mendapat perhatian,” Iswadi memberitahu proses kreatif grupnya.

Sedangkan Irwan Jamal mengembalikan seluruh wacana yang ada pada dirinya ke titik nol manakala awal memasuki proses kerja kreatif. “Ketika memulai proses kreatif saya berangkat dari sikap bebas dan membebaskan diri saya. Saya selalu berubah-ubah cara dalam memulai proses kreatif. Untuk menciptakan karya baru, diawali lebih dulu titik ke nol, back to zero . Saya berangkat dari kosong sampai menjadi isi”, katanya.

Dari latihan yang ketat dan nyaris tanpa henti pula, mereka mendapatkan suatu cakrawala lain di lintas sosial politik Indonesia saat ini. Pengaruh eksternal yaitu lingkungan sosial yang terasa sesak ikut memberi spirit kerja kreatif. Teater Kubur melihat bahwa persoalan penting pasca Orde Baru adalah dimensinya yang mengglobal dan ini berdampak pada persoalan-persoalan lokal.

Sementara Iswadi mempertegas dengan menyatakan bahwa pekerja teater sekarang penting menciptakan satu visi yang kuat dalam menekuni teater. Yaitu visi bukan dalam pengertian formalitas. Tetapi visi yang kemudian menjadi laku dari seluruh kelompoknya masing-masing. Ini penting ditemukan. Kalau tidak, maka sikap berteater akan seperti gelembung sabun. Muncul, rame, terus bubar.

Irwan Jamal menandaskan, teater adalah cara menjawab apa yang ia pertanyakan dalam kehidupan. Setiap karya yang ia buat, baik saat menjadi aktor, menjadi sutradara atau menulis naskah, semua adalah sebab-akibat dari apa yang dipikirkan dan hayati. “Peristiwa yang melingkupi dalam jaman saya hidup memiliki porsi yang besar dampaknya bagi terciptanya karya-karya saya. Setiap karya yang saya kerjakan saya tujukan untuk jaman ini”, ujarnya.

Teater memang semacam laboratorium kehidupan untuk siapa saja yang meniati hidupnya agar tidak mandek. Sangat banyak tantangan. Banyak pula aral. Namun sungguh tak sedikit kegembiraan menyertai. Langit di luar, langit di dalam. Bersatu dalam jiwa. Menurut Rendra dalam salah satu bait sajaknya.* (AB/DM/DP)

Tya Setyawati

Irwan Jamal

dramakala

Iswadi Pratama

Dindon W.S.

Padepokan Bengkel Teater Rendra

Padepokan Bengkel Teater Rendra

Page 4: Dramakala 5

4 Edisi 5 - Oktober 2011 KABAR

KHASANAH

dramakala

dramakala

Oleh :Agus R. SarjonoRealitas Teater Realis

Catatan Kecil Untuk Teater Eksperimental

P ada dasarnya realisme lahir saat meredupnya feodalisme dan

menyingsingnya fajar industri. Kisah-kisah para raja dan bangsawan dianggap tak lagi dapat mewadahi kebutuhan zaman yang dalam kehidupan sehari-hari makin tidak melibatkan dan dilibati kaum bangsawan. Di tengah kehidupan yang tak melibatkan kaum bangsawan itu, menghadirkan cerita-cerita dan mementaskan lakon-lakon tentang para raja dan bangsawan dengan epos dan tragedinya dianggap tidak realistis karena tidak bertopang pada realita. Realisme pun lahir, dan tokoh-tokoh baru –yakni orang biasa– mulai mengisi

halaman novel dan panggung teater. Tragedi Oedyphus Sang Raja atau tragedi Raja Lear tidak lagi dianggap mewakili kondisi nyata, maka kisah tragedi pun mulai mengangkat orang biasa sebagaimana ditunjukkan oleh Matinya Pedagang Keliling Arthur Miller. Tentu pergeseran antara babad yang berisi kisah raja-raja ke realisme yang berisi kisah orang biasa tidak berjalan dalam semacam lompatan. Anton Chekov bisa dianggap sebagai jembatan, karena dia berkisah mengenai para bangsawan sekaligus mengenai orang biasa dalam cara dan nada yang sama. Chekov kemudian dikenal sebagai

salah seorang raksasa dalam khasanah realisme.

Realisme sendiri mau tidak mau bertopang pada basis modernitas yang mulai tumbuh di belahan Eropa saat itu, yang kemudian meluas ke Amerika Serikat. Sebagaimana watak para tokoh mesti bertanggung jawab pada disiplin ilmu psikologi, panggung-panggung teater realis pun kerap menghendaki bangun arsitektur yang terinci dan dapat dipertanggungjawabkan --secara hukum ilmu arsitektur-- ketaatannya dalam mengacu pada realitas. Pintu dalam panggung realis yang bergetar hebat

karena di banting sang pemain, pastilah membuyarkan imaji penonton akan realitas di panggung yang mengacu pada realitas di luar panggung. Sementara pintu yang bergetar hebat itu, boleh jadi justru disengaja dalam konsep pemanggungan teater epik Brecht yang ingin jarak ilusif antara panggung dan realitas yang demikian menyatu –menjadi, jika kita hendak meminjam istilah Stanislavski– dipatahkan agar terbuka jarak antara realitas panggung dengan realitas sehari-hari lewat efek pengasingan.

Sebagaimana ludruk dan wayang lahir dari sebuah sistem budaya dan kondisi sosial kesejarahan tertentu, realisme pun lahir dari sebuah sistem budaya dan kondisi sosial kesejarahan tertentu. Maka ketika para tokoh teater Indonesia mencoba memperkenalkan dan memasukkan realisme dalam khasanah seni panggung Indonesia, pada dasarnya mereka tengah memperkenalkan dan mencoba mempromosikan suatu cara pandang baru atas realitas dan kehidupan. Untuk mudahnya, sebut saja mereka tengah memperkenalkan modernitas ke tengah khalayak Indonesia.

Ketika Sutan Takdir Alisyahbana (STA) dengan gigih memperkenalkan dan mempromosikan modernitas barat ke dalam budaya Indonesia, tidaklah mengherankan jika Sanoesi Pane yang menolak modernitas barat dan condong pada uniomistyca Timur justru lebih banyak melahirkan naskah-naskah drama. Jika ditilik naskah-naskah drama yang dilahirkan Sanoesi Pane –yakni Airlangga, Kertajaya dan Sandyakala ning Majapahit, misalnya– maka tokoh-tokoh kaum terdidik model Belanda yang bermunculan dalam novel-novel S.T.A

Tubuh Ireng Dalam PerawatanBERITA UTAMA

Ireng Sutarno, pemeran Pak Bandi pada Bunga di Comberan (BdC), karya sutradara Tya Setiawati

adalah tipikal pemain yang berani mengambil risiko. Ini ia buktikan pada pentas yang ketiga BdC di STSI Bandung, 13 Oktober 2011. Ia bersikukuh tetap tampil pada babak awal BdC, padahal bersamaan itu serangan darah tinggi tengah menjalari tubuhnya. Ia sempat mengutarakan kondisi ini pada salah seorang temannya bermain, karena serangan darah tinggi telah membuat jari tangan dan kaki ia rasakan kesemutan dan perlahan membuatnya kaku. Ia bermain dengan kondisi tubuh demikian. Di saat jelang berakhir, tubuh Ireng tak kuasa menyangga. Sempat goyah hendak jatuh. Teman bermainnya langsung merangkul dengan cepat membawanya ke tepi panggung. Di tepi panggung sedikit meronta Ireng ingin melanjutkan permainannya. Ia minta diambilkan tongkat. Ia bermaksud berdiri. Ternyata sudah tak kuasa. Di saat itulah Ireng dilarikan ke rumah sakit terdekat. Rumah sakit memutuskan ia harus dirawat di ruang ICU, sementara pementasan terus berlangsung hingga selesai tanpa kehadirannya. Kini pemain dari grup teater Aquila-Bulungan dan sanggar anak Bulungan, ini tengah menjalani perawatan, di ruang yang sama di paviliun Kartika lantai IV, RSPAD Gatot Subroto Jakarta dengan nama Sutarno. Pindah dari rumah sakit di Bandung, tempatnya awal dirawat.

Yuki-Onna “Tears of Snow”Teater Enjuku, Sutradara Enjuku TeamJumat, 28 Oktober 2011, Pkl 20:00 WIB @ Gedung Kesenian Jakarta

Rumah BonekaInstitut Ungu dan Pentas IndonesiaSutradara: Wawan SofwanNaskah & Adaptasi: Faiza MardzoekiJumat, 28 Oktober 2011, Pkl 20:00 WIB @ Gedung Kesenian Jakarta

Indonesian Dramatic Reading FestivalKekasihku Meraih Hujan Dari Jendela Kamar (Ari Pahala Hutabarat)oleh Alex Komang dan Komunitas DarminPerempuan Dari Masa Lalu (Roland Schimmelpfennig)oleh Teater KamiMinggu, 23 Oktober @ Warung Darmin Jl. Duren Tiga No. 7E Jakarta Selatan

Leungit (Imas Sobariah) oleh Teater KamiLakon Spanyol (Yasmina Reza) oleh Alex Komang dan Komunitas DarminSenin, 24 Oktober @ Sanggar Teater Populer, Jl. Kebon Pala I no.295, Tanah Abang Jakarta Pusat

Festival Teater Pelajar Terbuka X 2011Pertunjukan beberapa group teater28 Oktober - 10 November 2011, Pkl 09.00 - 21.00 WIB @ Gelanggang Remaja Jakarta Barat

Liga Monolog Indonesia #1Kompetisi dan Pertemuan Aktor-aktor Muda Teater Se-Indonesia7 - 10 November 2011 @ BandungInformasi lanjutan melalui Facebook Liga Monolog

Pertunjukkan : Teater Aruk Gugat

Page 5: Dramakala 5

5Edisi 5 - Oktober 2011KHASANAHdramakala

hendak dilawan dengan menghadirkan tokoh-tokoh para bangsawan dan raja-raja dari sejarah kejayaan Nusantara yang telah silam. Pilihan STA pada novel dan Sanoesi Pane pada drama bukan terjadi secara kebetulan. Menghadirkan raja-raja dalam novel di sebuah Nusantara yang tengah bergerak meninggalkan raja-raja dan kaum feodalnya yang impoten, jelas bukan sebuah cara yang simpatik dan bahkan bisa dipastikan akan gagal. Sementara menghadirkan raja-raja ke atas panggung merupakan sebuah peluang yang masih sangat mungkin, apalagi jika diingat bahwa ketoprak, ludruk dan wayang –semua adalah dunia raja-raja dan kaum feodal– masih hidup segar dan diminati sebagian besar publik Indonesia (bahkan sampai sekarang ini). Untuk selanjutnya kita melihat perpisahan yang cukup signifikan antara dunia sastra dengan dunia teater.

Sastra modern Indonesia lahir dengan memutuskan hubungan dengan hamparan tradisi lokal Nusantara, sementara teater moden Indonesia hanya pada masa-masa ATNI saja boleh dibilang melakukan pemutusan hubungan karya (PHK) dengan hamparan seni pertunjukkan tradisi lokal Nusantara. Namun, tidak butuh waktu lama, teater kembali mengakarkan diri, berinteraksi, atau bahkan memeluk tradisi lokal Nusantara meski keduanya –sastra dan teater– tetap membangun hubungan dengan dunia luar alias tradisi mancanegara, khususnya barat.

Upaya sungguh-sungguh untuk menghadirkan teater realis dilakukan oleh Usmar Ismail, D. Djajakusumah, dan Asrul Sani yang kemudian bahkan mendirikan sekolah untuk itu, yakni ATNI. Baik buku Persiapan Seorang Aktor (An Actor Prepares) karya Stanislavsky maupun Enam Pelajaran Teater (Six Lessons of Dramatic Art) karya Richard Boleslavsky yang merupakan buku teks akting dalam disiplin teater realis, adalah hasil terjemahan Asrul Sani, seorang pemuka ATNI. Bahkan ATNI pun melahirkan tokoh-tokoh seperti Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Tatiek Malyati dan sebagainya, yang dikenal

sebagai pemuka dan “pejuang gigih” teater realis. Utuy Tatang Sontani sebelum dan terutama pada masa-masa itu menulis naskah-naskah drama yang kurang lebih realis dengan tokoh-tokoh yang dalam realitas tengah mengisi zaman itu, yakni kaum revolusioner –pelaku revolusi, korban revolusi, maupun para penghianat revolusi. Beberapa kelompok teater kemudian hadir dengan panji-panji realisme, yang paling terkenal nampaknya Teater Populer pimpinan Teguh Karya sang jebolan ATNI.

Tapi, realisme tidak pernah menjadi dominan dalam jagat teater Indonesia karena pada dasarnya masyarakat Indonesia tidak memandang dunia dari cara pandang yang melahirkan realisme, yakni modernitas. Meski hampir seluruh jurusan teater di berbagai perguruan tinggi seni mengajarkan realisme sebagai disiplin dasar dalam teater, tetap saja realisme tidak pernah menjadi dominan di Indonesia, termasuk di kalangan perguruan tinggi seni yang memiliki jurusan-jurusan teater tersebut. Metode Stanislavski –juga Bolelawski– tentu menjadi pelajaran dasar dalam berbagai perguruan tinggi tersebut, selain sedikit banyak menjadi kitab kuning berbagai kelompok teater terkemuka Indonesia. Namun, begitu metode dan konsep teater Brecht diperkenalkan, segera saja konsep teater Brechtian mendominasi dengan cepatnya perteateran Indonesia, melebihi konsep-konsep para pemikir kubu realis. Agak mudah menemukan kaitan konsep teater Brecht dengan berbagai teater rakyat Nusantara, dibanding mencari kaitan teater tradisi Nusantara dengan konsep Stanislavski. Bahkan ketika konsep-konsep teater Antonin Artaud mulai dikenal di Indonesia, agak mudah pula konsep-konsep tersebut diadopsi dan dijalani karena konsep-konsep Artaud bisa dicari kaitannya dengan cara berteater dalam berbagai tradisi Nusantara.

Apakah teater realisme di Indonesia telah mati?

Tidak mudah menjawabnya secara pasti. Tak banyak perlawanan dan iritasi yang ditimbulkan oleh konsep teater

realis yang posisinya di Indonesia memang sudah berat itu mengalami pukulan telak akibat dirampatkannya realisme dengan sosialisme menjadi realisme sosialis.

Sekali lagi, apakah teater realis di Indonesia akan mati?

Kondisi sosial ekonomi, perubahan zaman, dan sebagainya akan mempengaruhi sebuah genre teater. Namun, pada kenyataannya semua itu tidak mampu mematikan atau menghidupkan. Yang mampu mematikan dan menghidupkan suatu genre teater tidak lain tidak bukan adalah insan teater itu sendiri. Panji-panji suatu genre teater menjadi tegak berkibar atau layu, kerap justru disebabkan oleh para pendukungnya.

Ketika Teater Populer, STB, dan Teater Lembaga, tengah berjaya, realisme tetap berkibar panji-panjinya. Sementara bersama dengan makin longgarnya kaitan STB dengan realisme dan bersama perginya Teguh Karya meninggalkan Teater Populer untuk selama-lamanya, panji-panji realisme dalam teater pun mulai kuyu dan tak lagi berkibar. Hal ini makin parah setelah Wahyu Sihombing meninggalkan kita untuk selama-lamanya.

Namun, hal yang sama pun terjadi. Konsep teater Brecht yang diusung panji-panjinya oleh Teater Kecil Arifin C. Noer –tentu dengan ramuan rahasia dari dapur budaya Cirebon hasil racikan Arifin C. Noer sendiri– pernah berkibar namun kini mulai layu seiring dengan wafatnya Arifin C. Noer dan Teater Kecil tak lagi memiliki tokoh

yang cukup berwibawa untuk mengibarkan panji-panji itu kembali. Spirit Brechtian sekarang masih hidup karena Teater Koma N. Riantiarno masih mengibarkan panjinya tinggi-tinggi, meski konsep Brecht di sana sudah diramu dengan berbagai unsur teater lainnya, khususnya teater rakyat Cirebon dan teater Stamboel di masa pra-pergerakan.

Hal yang sama terjadi pada konsep teater yang diusung oleh Bengkel Teater Rendra. Pengaruh Rendra dalam perteateran Indonesia sangatlah besar dan luas, namun bersama makin jarangnya Bengkel Teater berpentas makin reduplah pengaruhnya pada dunia teater. Kitapun masih ingat bagaimana genre teater yang diusung Budi S. Otong –dan Afrizal Malna– lewat Teater SAE pernah demikian mewabah di berbagai pelosok Indonesia. (Bersambung ke edisi keenam).*

Agus R. Sarjono, Penyair, esais, penulis lakon. Mantan Ketua Bidang Program DKJ (2003-2006), Dosen Teater STSI Bandung, Redaktur ”Jurnal Sajak” dan Pemimpin Redaksi ”Jurnal Kritik”.

Pertunjukkan : Teater Hamlet Mesin

Padepokan Bengkel Teater Rendra

Brecht dan Artaud, misalnya, dibanding perlawanan dan iritasi yang ditimbulkan Stanislavski dan teater realis terhadap insan teater Indonesia. Dengan mudah dapat kita temukan kritik dan cemoohan terhadap konsep teater realis dibanding kritik dan cemoohan atas konsep-konsep lainnya. Hal ini mudah dimengerti. Brecht, Artaud, bahkan Peter Brook, dapat dicarikan kaitan konseptualnya dengan teater tradisi dan cara pandang tradisi Nusantara atas hidup dan kehidupan, tapi tidak dengan teater realis.

Ada suatu masa realisme menjadi arus yang lumayan besar dalam seni di Indonesia manakala ia digandeng oleh ideologi komunis dalam sebuah konsep “realisme sosialis” yang dirumuskan oleh Zdanov di Sovyet. Tapi, untuk urusan ini, Brecht yang kiri dan komunis pun menunjukkan keengganan bahkan kekhawatiran ketika mendengar Zdanov diminta merumuskan konsep teater yang sosialis. Arus realis yang lumayan besar itu segera terhenti menyusul peristiwa G30S dan dilarangnya PKI di Indonesia. Teater

Page 6: Dramakala 5

6 Edisi 5 - Oktober 2011 SEBELUM PERTUNJUKAN dramakala

DI LUAR PANGGUNG dramakala

Workshop For “Wedhus Gembel” Art PerformanceKolaborasi Seniman Indonesia - Australia

Awal pengembangan kreatif “Wedhus Gembel” antara

seniman Yogyakarta dengan Snuff Puppet dimulai pada tahun 2009 di Padepokan Seni Bagong Kusudiardjo. Wedhus Gembel adalah sebuah karya kolaborasi lintas seni yang merupakan karya visual dan pertunjukan teater yang memaparkan ketegangan antara mitologi, tradisi dan kehidupan masa kini. Berkisah tentang siklus kehidupan, kekuatan alam yang dahsyat, dan sebuah kisah tentang dualisme keindahan sekaligus bencana. Secara harafiah dalam bahasa Jawa, Wedhus Gembel berarti seekor domba, sekaligus pula berarti awan panas yang meluncur dari letusan gunung berapi. Hal yang bertentangan, antara kepolosan dan bencana yang mengerikan.

Wedhus Gembel bercerita tentang sepasang suami istri yang sudah lama meninggalkan tradisi, dan tidak peduli pada lingkungannya. Lalu mereka ingin memiliki keturunan dengan cara memberi persembahan kepada gunung yang dianggap sakral. Gunung pun mengabulkan permohonan itu. Lahirlah sesosok bayi yang buruk rupa. Upaya bayi itu tidak berhasil untuk bisa hidup ditengah masyarakat yang mencemooh, bahkan menolaknya. Maka, bayi yang polos itu marah dan menghancurkan keharmonisan desa. Semar muncul untuk mengatasi masalah. Dan Semar mengajari bahwa ketulusan dan kasih sayang merupakan

kunci untuk menyudahi angkara murka, agar hidup dapat berlanjut dalam siklus yang harmonis.

Tema “tradisi dan kehidupan masa kini” sebagai sub-tema dari “Wedhus Gembel” menjadi ruang yang terbuka, untuk dapat diisi dengan respon kreatif dari budaya lokal oleh seniman dikota yang disinggahi. Hal inilah yang menyebabkan pertunjukan “Wedhus Gembel” selalu melakukan workshop pada setiap penyelenggaraannya, untuk mengajak dan memberi rangsangan kreatif kepada seniman lokal, agar terlibat berkolaborasi. Suatu langkah universalisasi “Wedhus Gembel” untuk menyebarkan kesadaran menjaga kehidupan yang harmonis dengan alam.

Penyelenggaraan workshop “Wedhus Gembel” di Jakarta yang difasilitasi Teater Kubur dilaksanakan di Aula Kelurahan Rawa Bunga, dan dilingkungan pekuburan umum kampung melayu – Jakarta Timur, pada 8 – 9 Oktober 2011. Workshop melibatkan sanggar seni dan beberapa teater kampus, seperti Sanggar Matahari, Teater Sapu Lidi, Teater Camus dan Teater Hijau 51. Seniman-seniman muda berbagai displin seni dari Yogyakarta menularkan pengalaman mereka. Dibimbing pembinaan dan penyutradaraan Simeon Moran, selaku Executive Director of Snuff Puppet, menyusun kembali Wedhus Gembel.

Materi workshop meliputi olah tubuh, presentasi Snuff Puppet dan Komposisi

Wedhus Gembel yang terselenggara terdahulu di Yogyakarta, Sleman, Slawi Tegal, Desa Tambi Indramayu. Workshop dan pertunjukan Wedhus Gembel di Jakarta adalah kota terakhir yang dikunjungi dari rangkaian tour yang dilakukan. Seluruh peserta diminta menceritakan apa yang berkesan mereka alami dan pikirkan tentang kota Jakarta. Dan, tema-tema tentang sampah, rutinitas, traffic, dangdutan, hyper-emosi dan lain-lain pun bermunculan. Lalu dieksplorasi secara ketubuhan dan pengadeganan.

Tiba-tiba, saat latihan akan berakhir dihari yang pertama, Simeon Moran menutup seluruh jendela aula, dan meminta seluruh peserta berhenti merokok dan diam. Lalu lampu ruangan dimatikan. Dalam remang-remang ruang, Ia merangsang imajinasi para peserta untuk membayangkan ketakutan dan merasakannya. Ekspresi-ekspresi berserakan dilantai, sampai klimaks dan habis, lalu diam. Jendela-jendela kembali dibuka setelah lampu ruang dinyalakan.

Esok harinya, workshop dilaksanakan dihalaman mushola disamping pekuburan, tempat pertunjukan “Wedhus Gembel” akan digelar. Terbuka untuk umum dan gratis. Tontonan seni visual dan pertunjukan teater ditengah-tengah antara nisan-nisan. Tampak gunung berwarna hijau sudah didirikan, dan 4 – 5 jam lagi pementasan akan menjadi kenyataan. “Sayang, saya tidak menyaksikan bule-bule australi itu memulung sampah dikuburan” Sampah itu

menjadi sudah mozaik, suatu visualisasi adegan baru dari tema baru yang dihasilkan dalam workshop.

Sex dan Kematian adalah filosofi yang melandasi tema-tema Snuff Puppet, yang digawangi Simeon Moran dan Andi Freer, seorang penari dan Artistic Director of Snuff Puppet. Dan para seniman muda dari beragam disiplin seni, seperti, pedalangan, fotografi, visual art, teater, penari dan lain-lain yang ikut menyusun Wedhus Gembel adalah Gemailla Gea Geriantina, Jamaluddin Latief, Maryanto, Puthut Buchori, Stephane Hisler, Wisnu HP, Yennu Ariendra, Anton Fajri, Catur Kuncoro, Octo Cornelius, Siti Fauziah, Tita Dian Wulansari, Samsul, Rifqi Mansur Maya dan Galuh Asti Wulandari selaku Production Manager.

Program ini dapat terselenggara berkat kerjasama Padepokan Seni Bagong Kusudiardjo, Komunitas Wayang Suket, Taman Bacaan Dongeng Suket, Teater Kardus, Sanggar Mulya Bhakti, Jogja Arts Festival, Jogja Street Performing Arts dan Teater Kubur Jakarta. Dan dukungan The Australian Government through the Australia International Cultural Council dan the Australia Indonesia Institute of the Department of Foreign Affairs and Trade. Semoga berkelanjutan dan terus inovatif menyebar kesadaran hidup yang baik.* (DP)

Rumah BonekaProblema Domestik Universal

Rumah Boneka adalah sebuah pertunjukan teater tentang keluarga

kelas menengah di Jakarta. Pementasan yang dipersembahkan oleh Institut Ungu dan Pentas Indonesia ini mengisahkan sepasang suami istri yang bersusah-payah mempertanyakan kembali nilai-nilai keluarga, perkawinan dan masyarakat yang selama ini menjadi keyakinan.

Pertunjukan teater yang akan berlangsung di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), pada tanggal 30 Nopember sampai dengan 4 Desember 2011 ini merupakan sebuah pentas berdasarkan lakon A Doll’s House, karya klasik Henrik Ibsen, penulis drama realis paling terkenal asal Norwegia. Naskah Ibsen tersebut diterjemahkan dan diadaptasi oleh Faiza Mardzoeki ke dalam situasi Jakarta saat ini. Sebelumnya, Faiza juga melakukan adaptasi terhadap novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer menjadi lakon pertunjukan teater yang bertajuk Nyai Ontosoroh.

Rumah Boneka menceritakan problema rumah tangga yang bisa terjadi dimana saja. “Masalah domestik berlaku di semua negara,“ ujar Wawan Sofwan, selaku sutradara, pada kesempatan

bincang-bincang dengan Dramakala sebelum latihan. “A Doll’s House dianggap sebagai sebuah naskah yang kuat dalam hal mengangkat persoalan hak asasi manusia, masalah perempuan, dan isu-isu keluarga.”

“Saya melihatnya sebagai persoalan kemanusiaan. Dimana seorang istri yang diperlakukan seperti boneka oleh suaminya, suatu saat akan mempertanyakan statusnya itu melalui pemberontakan. Dan naskah ini dimana-mana dianggap telah mewakili perlawanan kaum perempuan,” jelas Wawan.

Dalam pentas ini, Wawan berkeinginan untuk menghadirkan potongan-potongan peristiwa dalam rumah. Cerita yang meruncing menuju konflik akan banyak tersaji di ruang tamu, ruang tengah, hingga ruang keluarga dan ruang makan. Sutradara asal Bandung ini kerap menghadirkan peristiwa-peristiwa dalam ruang tanpa dinding dalam pertunjukan-pertunjukan garapannya. Ruang cukup dijelaskan oleh benda-benda yang menjadi penanda dari ruang tersebut. Hal ini diistilahkan sebagai realisme simbolis.

“Konsekuensi dari adaptasi adalah

terjadinya perubahan-perubahan yang cukup berarti,” lanjut Wawan. “Adaptasi harus dilakukan dengan cermat. Tidak hanya memindahkan cerita, tapi harus dipertimbangkan kesesuaian kultur cerita.” Dalam Rumah Boneka ini, tidak hanya nama-nama tokoh yang berubah, tetapi juga pernak-pernik yang berkaitan dengan konflik dalam cerita, misalnya profesi tokoh istri dan penyakit yang diderita sang suami sampai usaha penyembuhan ke Singapura.

Wawan menuturkan bahwa pemain-pemain yang terlibat dalam pertunjukan ini, kebanyakan merupakan aktor-aktor yang pernah berpentas dalam lakon Nyai Ontosoroh (2006), seperti Teuku Rifnu Wikana, Ayez Kassar, Willem Bevers, dan Ayu Diah Pasha. Nyai Ontosoroh disutradarai juga oleh Wawan.

“Fungsi teater juga adalah sebagai kontrol sosial,” tegas Wawan. “Dalam teater, tidak melulu kita bicara tentang seni pertunjukan semata. Ada baiknya kita kembali ke hal-hal yang mendasar melalui teater. Saya merasa tidak bisa turun ke jalan. Oleh karena itu,

saya memilih teater untuk menyuarakan keadilan. Teater bisa menjadi pembuka keasadaran masyarakat tentang kondisi yang tengah terjadi”.* (DM)

Page 7: Dramakala 5

7Edisi 5 - Oktober 2011dramakala SESUDAH PERTUNJUKAN

IKATAMURProblema Domestik Universal

DI LUAR PANGGUNG

Untuk melanjutkan jalannya roda keorganisasian, Ikatan Teater Jakarta Timur (IKATAMUR) menyelenggarakan Musyawarah Besar pada tanggal 9 Oktober 2011. Adapun agenda yang digelar antara lain penyempurnaan AD/ART IKATAMUR. Kegiatan yang berlangsung di Gedung Serba Guna Oplet Robet, Pinang Ranti ini dihadiri oleh delegasi dari sekitar 31 kelompok teater yang ada di Jakarta Timur, diantaranya Teater Mode, Teater Pangkeng, Teater Popcorn, Teater Polos, Teater Sarung, Sanggar Mas, Teater Timoer Jauh, Teater Jerit, Teater Narimo, Sanggar Teater Biru, Teater Pondok Cipta, Teater Lawang Temu, Teater Akasia, Sanggar Amanat, Teater Tukang, Teater Piranti, Sandiwara Pisau Dapur, Teater Omponk. Tak ketinggalan teater-teater kampus turut pula menyemarakkan kegiatan ini, seperti Teater Trompah Universitas Islam Jakarta dan Teater Semut Universitas Dharma Persada. Sementara dari kalangan teater sekolah turut hadir Teater Al-Kautsar dan Teater Kenur. Beberapa tokoh teater Jakarta Timur ikut menyuarakan pendapat mereka, seperti Dorman Borisman dan Diding Boneng. Acara diwarnai perdebatan, guyonan juga hujan deras dengan tetap mengedepankan semboyan ‘bersama dalam berkarya’. Pertanyaan-pertanyaan diajukan kepada para calon ketua mulai dari visi-misi hingga pencarian dana untuk pembiayaan program. Zubier Mustaqim dari Teater Pangkeng akhirnya terpilih sebagai ketua baru IKATAMUR periode 2011-2014.* (DM)

Bunga Di ComberanKisah Tiga Pembantu Rumah Tangga di Tiga Zaman

Menuntut Rasa Keadilan

Di suatu desa, Sulastri (Meyke Vierna) bersuamikan lelaki

tak bekerja yang suka selingkuh dan berjudi. Sulastri bekerja, suaminya yang menghabiskan hasilnya. Sampai suatu ketika, Sulastri dipukuli karena bertanya soal wanita simpanannya. Sakit hati dan merasa dipermalukan memaksa Sulastri pergi ke Jakarta, untuk membuktikan bahwa ia bisa sendiri menghidupi anaknya. Tiba di Jakarta, Ia datangi Mijem (Ira Gallis AS) teman sekampung dulu yang berjualan pisang goreng di pinggiran kota. Sulastri bertemu Kang Mingun (Harrys Syaus), makelar PRT (Pekerja Rumah Tangga) yang suka korup dan over-spekulatif. Akhirnya Sulastri menjadi PRT di rumah keluarga kaya di daerah Menteng. Hal yang jadi derita tiada habis mendera Sulastri. Derita dari budaya “uang yang utama” dan stiqma PRT adalah budak. Maka, majikanlah penguasa, Sulastri angkat kaki segera.

Dahulu kala, rakyat harus menghamba pada raja dan keluarganya atau bangsawan pada struktur hirarki yang sakral. Mereka adalah orang-orang pilihan yang berlaku turun temurun. Sampai saat negeri dijajah raja atau bangsawan takluk pada orang asing, kuasa kolonial itu mengeksploitasi penghambaan tersebut jadi harga jual-beli ekonomi dan politik terselubung. Demikianlah nasib Kasiyem (Dea Malyda), saat “ngenger” pada keluarga bangsawan. Kasiyem “nuruti” simboknya (Laila Uliel El Na’ma) yang lama mengabdi di keluarga itu. Kasiyem jadi sogokan untuk Tuan Max oleh Ndoro Putri (Tia Setyawati), agar suaminya (Hari Prasetyo) yang

bangsawan itu dapat peningkatan jabatan.Kasiyem menepis tangan Tuan Max

yang menjawilnya, lalu pergi meninggalkan Tuan Max begitu saja. Kasiyem pulang ke tempat simboknya mengabdi semula. Kasiyem dimarahi habis-habisan oleh Ndoro Putri karena sikapnya pada Tuan Max itu. “Dasar anak gak tahu diri ! Mau ditingkatkan martabatnya, kok malah ngeyel. Dasar Ndeso ! Goblog !” ujar Ndoro Putri sambil menampar kepala Kasiyem. Tapi, Ndoro Kakung yang selalu membelanya, malah melamar mau menikahi secara diam-diam, dan akan membelikan Kasiyem rumah yang bagus diluar kota. Kasiyem menolak, Ndoro Kakung murka. Kasiyem dan Simbok dipecat. Dibalik pemecatan itu, Ndoro Kakung menjebak Kasiyem, seolah mencuri perhiasan Ndoro Putri. Maka, Kasiyem ditangkap dan masuk penjara.

Dikisah yang lain, PRT dihamili anak majikannya. Saat pemerkosaan itu terjadi, Maryani (Ribka Maulina Salibia) sempat memukul kepala anak majikan itu. Lalu Maryani lari menyelamatkan diri, pulang kampung meninggalkan tempatnya bekerja tanpa menerima gaji. Atas nasehat Narsi (Lidya Ammy), Maryani tidak menggugurkan kandungan, dan menceritakan semuanya pada Bapak (Ireng Sutarno). Mereka mengadu ke perusahaan penyalur menuntut keadilan. Kembali mereka berhadapan dengan sikap yang tidak dihargai, bahkan dipermainkan. Kemudian tuntutan itu malah berbalik dengan pengaduan anak majikan itu ke polisi, bahwa ia telah dianiaya oleh Maryani. Sudah jatuh tertimpa tangga, Maryani tidak

mau kalah. Dengan kandungan makin membesar, Maryani terus berjuang jadi demonstran.

Bunga di Comberan adalah kisah 3 PRT di 3 zaman, mengandung alur besar cerita seperti tersebut diatas. Alur besar itu tidak berhubungan satu dengan yang lainnya. Tiap alur besar yang utuh terbagi menjadi plot-plot yang tidak diurutkan dalam rangkaian waktu yang langsung, tapi tidak membuatnya terpisah. Hal itu menunjukkan potensi penulisan naskah (Edi Suisno) dan penyutradaraan (Tia Setyawati) yang patut dibanggakan, dari Teater Sakata – Padangpanjang – Sumatera Barat, sebagai pemenang Hibah Seni Kelola tahun 2011, Teater untuk Pemberdayaan yang bekerjasama dengan Theatre Embassy, Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga

dan CNV International. Set ruang ditandai dengan

aksentuasi pemain berdasar skeneri yang blur, dengan properti utama ruangan itu, hand-prop. atau simbol, yang in-out oleh black-man. Semua peristiwa dilatari kain putih bernuansa bluis dan dijaga 7 batang bambu 5-6 meteran yang ditegakkan di kanan tengah panggung. Hanya ruang Kantor perusahaan penyalur yang diberi sketsel untuk latar belakang sebagai dinding beton. Tata musik dan lampu yang cukup imajinatif, lugas dan dialektik, mampu memberi nuansa menjahit adegan. Pertunjukan selama 2 hari pada 6, 7 Okt. 2011 di Teater Sudio TIM Jakarta ini ramai dikunjungi penonton. Para pemain dan crew didukung oleh Teater Tetas dan beberapa grup teater dari Jakarta. Pertunjukan digelar juga di Bandung (10/10) dan Yogyakarta (13/10). Congratulations!* (DP)

Pertunjukkan : Teater Bunga di Comberan

Pertunjukkan : Teater Bunga di Comberan

Page 8: Dramakala 5

8 Edisi 5 - Oktober 2011 MATA KALA

Teater Indonesia Yang Bergerak

Oleh :Harris Priadie Bah

Teater Modern Indonesia pernah mengalami masa-masa subur dalam

capaian pewujudan bentuk artistik dan estetik pada sekitaran tahun 70 sesampai tahun 80an akhir dengan tokoh-tokohnya seperti WS Rendra, Arifin C. Noer, Teguh Karya, Wahyu Sihombing, Suyatna Anirun, Putu Wijaya, Wisran Hadi, dan Nano Riantiarno - untuk menyebut beberapa nama dari sejumlah nama yang menyerahkan diri, waktu, atensi dan kreatifitasnya bagi kehidupan teater Indonesia. Keterkenalan para tokoh-tokoh dalam dunia teater tersebut pada masanya memang sangat dimungkinkan juga oleh dukungan media pengabaran yang mengambil peran penyuburan yang cukup penting dengan ikut menyirami perkembangannya melalui kuasa pengabaran yang dimilikinya. Keberadaan persona-persona yang tersebutkan di atas telah memantabkan kehadiran teater di Indonesia sebagai sesuatu yang layak diapresiasi dengan tinggi. Lewat kerja artistik dan estetik para persona individu tersebut, teater Indonesia telah memiliki kekhasan dan keunikannya sendiri dalam forum-forum pemanggungan teater dunia, seberapa pun belum terukur besar kecilnya forum yang telah bisa dijelajahi itu dan seberapa pun relatifnya fakta kesejatian terhadap capaian pewujudan bentuk artistik dan estetik teater termaksudkan di atas itu bila mau coba ditelisik persebandingannya dengan bentuk bentuk yang boleh jadi menyama (identik)

dengan barat, katakanlah begitu, namun upaya eksplorasi teater dari para persona yang telah menokoh tersebut memang tetap patut diberi tempat terhormat. Para persona yang berdedikasi besar terhadap kehidupan teater di Indonesia itu telah berhasil meninggalkan warisan tak kurang berharganya bagi pekerja teater dari generasi berikutnya. Beberapa persona yang telah menokoh itu memang sudah b e r p u l a n g lebih dahulu ke panggungnya yang abadi dan kini menjelma kenangan bagi setiap ingatan yang rindu kata dan gerak eksploratif dari tubuh- tubuh legenda itu yang begitu penuh napsu menafs i rkan tema dan manusia di atas k e h a n g a t a n p a n g g u n g t e a t e r I n d o n e s i a . M e n g i n g a t mereka adalah seperti mengenang kesetiaan serta hari hari penuh keringat dan cinta dalam berkarya.

Sesampai kini, teater Indonesia memang masih bersitetap menghadir dan mewujud dalam panggung-panggung pertunjukan yang ada, beberapa begitu sangat masyuk dalam pergumulannya dengan pemutakhiran media panggungnya, beberapa bersikukuh dengan rezim kuasa kata-kata, ada juga yang menjadi fundamentalis tulen dalam rezim

ketubuhan, sementara tidak kurang sedikit pula yang menampak spektakuler (apalagi bila disebandingkan dengan panggung-panggung pertunjukan terdahulu dari para tokoh tersebut) baik dalam perkara hitungan jumlah anggaran biaya yang dikeluarkan yang konon dalam bilangan angka milyaran rupiah, pendukung pentas yang lebih dari lima puluhan aktor hingga kemampuan menejerial dalam upaya menyedot para

p e n g h a d i r untuk datang menonton yang merata di atas ribuan kepala itu. Namun dari segi mutu p e r t u n j u k a n tentu saja memang masih terbuka celah lebar untuk diperbincang-d e b a t k a n , bersebab itulah tulisan ini tidak berkehendak untuk masuk k e d a l a m n y a yang mana m e m a n g t e r s a d a r i

betul oleh penulis akan berpotensi kian menghablur dalam pewacanaan tak berkesudahan. Sebagai gambaran gerak kerja dalam dinamika teater terbicarakan hari ini, rasanya cukuplah selesai sesampai penyebutan kecenderungannya saja.

Dari panggung teater modern Indonesia hari ini, deretan nama persona individu berikut ini turut menjumlah hitungan kekayaan teater Indonesia kita: Dindon WS, Boedi S. Otong (kini berumah di Swiss), Malhamang Zamzam, Rahman

Sabur, Benny Yohanes, Wawan Sofwan, Iman Soleh, Irwan Jamal, Yudi Ahmad Tajudin, Joko Bibit Santoso, Tya Setiawati, Yusril, Iswadi Pratama, Shinta Febriyani, Asia Ramli Prapanca, Meimura, Nanoq Da Kansas, Cok Sawitri, Yondik Tanto dan beberapa nama pekerja teater muda lain yang menyebar di banyak kota di Indonesia. Di tengah dominasi kuasa materi dan budaya kosmetik dalam kehidupan modern hari ini, para persona teater ini masih juga terus suntuk menggali kemungkinan-kemungkinan bentuk dan tema bagi pemanggungannya, bagi kehidupan teater Indonesia.

Sebagai pengakhir pembacaan: mencermati teater Indonesia hari ini, seperti berkunjung ke sebuah pasar layan sendiri yang menyediakan pilihan kebutuhan dalam keberagamannya: ada makanan yang mengandung cuma penyedap rasa, melulu penyedap rasa tanpa gizi sama sekali, tetapi juga tidak sedikit yang bergizi namun tidak nyaman di tenggorokan, dan selebihnya kurang pas di lidah karena sangat berselera barat, Fastfood, Junkfood. Anda suka yang mana? Apapun selera anda, kunjungi saja panggung mereka bersebab mereka ada memang untuk anda.*

PUSTAKA dramakala

dramakala

Mempertimbangkan TradisiTeater Tanpa Masa SilamArifin C Noer

Penerbit Dewan Kesenian Jakarta (DKJ)Jakarta

RendraPenerbit PT Gramedia

Jakarta

“Tradisi menurut Rendra adalah suatu kesadaran kolektif, yaitu kesadaran suatu masyarakat tentang dirinya. Akan tetapi dalam kesadaran kebu-dayaan, tradisi tak diperlukan sebagai benda mati, melainkan sesuatu yang hidup dan bertumbuh terus mengikuti perkembangan kebutuhan dari orang-orang yang hidup di dalamnya.” Demikianlalah kutipan dari buku Mempertimbangkan Tradisi milik Rendra.*

Arifin C. Noer, hingga akhir hayatnya lebih dikenal sebagai sutradara film. Tapi sebenarnya ia adalah pelaku teater dan tak pernah melupakan pent-ingnya teater. Sebagai seni modern, teater di Indonesia baginya tidak memiliki masa silam yang jelas. Karena itu, teater (di) Indonesia harus terus memungkinkan dan merumuskan dirinya. Baginya, teater (di) Indo-nesia bukanlah teater barat yang berbahasa Indonesia. Arifin adalah salah seorang dari pemikir yang merumuskan kemungkinan Indonesia bagi teater, sebagaimana Rendra yang menyadarkan banyak orang akan ke-mungkinan teater bagi Indonesia. Buku ini adalah sekumpulan esai yang ditulis Arifin. Isinya selain menyangkut soal teater, juga tentang film, organ-isasi pertunjukan, proses kreatif, kultur penonton, dan lain-lainnya. Buku ini merupakan sebuah dokumen berharga mengenai pemikiran seorang pelaku teater dan film Indonesia modern.*

BERITA DUKA

Keluarga besar IDEAL Dramakala mengucapkan turut berduka cita atas telah berpulangnya Fredie Arsi Siregar, pimpinan dan sutradara Teater Matahari (lahir 20 Juli 1944, wafat 16 Oktober 2011). Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah SWT.