draft kerja praktek
DESCRIPTION
Draft Kerja Praktek di PT Suzuki Indomobil MotorTRANSCRIPT
QUALITY CONTROL PADA PRODUK … PADA PLASTIC
INJECTION PRODUKSI PT SUZUKI INDOMOBIL MOTOR
UNIT TAMBUN I
3.1 Pendahuluan
Masalah yang menjadi perhatian dalam pembuatan laporan kerja praktek
adalah masalah pengendalian kualitas pada PT Suzuki Indomobil Motor. Berikut
dijelaskan hal-hal yang menelatarbelakangi penelitian, perumusan masalah, tujuan
penelitian, dan batasan masalah.
3.1.1 Latar Belakang
Pengaruh era globalisasi yang terjadi menyebabkan persaingan bisnis
menjadi semakin ketat. Pola ekonomi berubah dari pola ekonomi pengendalian pasar
menjadi pola ekonomi berdasarkan kekuatan pasar dimana permintaan konsumen
lebih berperan dalam pasar. Oleh karena itu, perusahaan harus fokus pada kepuasan
konsumen dengan meningkatkan kualitas produk sehingga mampu bertahan dalam
persaingan. Kualitas produk merupakan salah satu unsur utama dalam pemasaran
yang dapat meningkatkan volume penjualan dan memperluas pangsa pasar
perusahaan. Hal tersebut disebabkan oleh ketertarikan konsumen untuk memilih
produk dengan kualitas yang lebih baik. Proses produksi yang dilakukan dapat
menjadi peluang dihasilkan produk yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan
oleh perusahaan. Produk yang tidak sesuai dengan standar tersebut dapat dianggap
sebagai produk cacat yang tidak dapat langsung disalurkan ke pasar atau konsumen
tetapi harus diperbaiki terlebih dahulu. Perbaikan tersebut menimbulkan biaya baru
yang menyebabkan meningkatnya ongkos produksi sehingga dapat meningkatkan
harga jual produk, sedangkan pada zaman sekarang ini masyarakat lebih tertarik pada
produk yang lebih murah dipasaran. Perbaikan kualitas produksi dengan menekan
jumlah produk cacat merupakan salah satu langkah penting untuk mencapai tujuan
perusahaan, karena biaya tersembunyi yang muncul dari adanya produk cacat
tersebut memiliki dampak yang cukup besar pada keuangan perusahaan.
PT Suzuki Indomobil Motor sangat mengutamakan masalah kualitas ini. PT
Suzuki Indomobil Motor ini memproduksi motor dan mobil, dimana dalam
memproduksi produk setiap bulannya terdapat produk cacat. Hal ini tentunya
menyebabkan kerugian yang bagi perusahaan. Selain itu, hal ini juga merupakan
masalah yang harus diselesaikan dan ditemukan penyebabnya untuk dicarikan
penyelesaiannya. Perusahaan harus tetap melakukan perbaikan secara terus-menerus
agar kualitas produknya semakin meningkat. Salah satu cara perbaikan tersebut
adalah dengan menekan jumlah produk cacat dengan memperbaiki kualitas
produksinya. Alternatif dalam pengendalian kualitas adalah merancang atau
mendesain perbaikan berdasarkan Metode Six Sigma.
Berbagai jenis metode dikembangkan dan diterapkan oleh masyarakat
industri untuk menghasilkan produk dengan kualitas yang lebih baik. Metode Six
Sigma merupakan suatu metode pengendalian dan peningkatan kualitas yang
diterapkan oleh perusahaan Motorola sejak tahun 1986 dan merupakan terobosan
baru dalam bidang manajemen kualitas. Banyak ahli manajemen kualitas
menyatakan bahwa Metode Six Sigma dapat dikembangkan dan diterima secara luas
oleh dunia industri. Metode Six Sigma mampu melakukan peningkatan kualitas
sampai ke tingkat kegagalan nol (zero defect).
Six Sigma dapat mengidentifikasi masalah dalam proses produksi dan
menguraikan cacat yang membebani dalam hal waktu, uang, pelanggan dan peluang.
Six sigma dapat digunakan untuk menemukan karakteristik-karakteristik yang
penting untuk pelanggan, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
karakterisitik dan mengurangi variasi pada faktor-faktor kunci tersebut. Perbaikan
kualitas produksi merupakan salah satu langkah penting untuk mencapai tujuan
perusahaan. Biaya yang timbul akibat dari adanya produk cacat tersebut akan
menyebabkan terjadinya peningkatan pada ongkos produksi. Oleh karena itu,
penelitian mengenai Six Sigma sebagai sistem saran pada PT Suzuki Indomobil
Motor perlu dikaji dalam rangka menciptakan perbaikan yang terus menerus
(continuous improvement).
2
3.1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dilakukannya penelitian ini maka dapat
dirumuskan permasalahannya adalah bagaimana analisis pengendalian kualitas pada PT
Suzuki Indomobil Motor dengan menggunakan Metode Six Sigma.
3.1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan dari
penelitian ini dikategorikan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.
3.1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengendalian
kualitas pada komponen …
3.1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui faktor penyebab timbulnya produk cacat berdasarkan tahapan
Six Sigma yaitu define, measure, dan analyze.
2. Memberikan rekomendasi perbaikan dalam pengendalian kualitas terkait
dengan analisis dan evaluasi yang diberikan terhadap produk cacat yang
merupakan tahapan improve dari metode six sigma.
3.1.4 Batasan Masalah
Batasan masalah pada penulisan laporan kerja praktek di PT Suzuki
Indomobil Motor ini adalah sebagai berikut :
1. Data yang dikumpulkan merupakan data produksi dan produk cacat untuk
periode - , standar produk bebas cacat (SPRI) perusahaan, dan karakteristik
kualitas produk.
2. Metode pengendalian kualitas yang digunakan adalah Metode Six Sigma
3
3.2 Tinjauan Pustaka
Six Sigma adalah suatu framework atau sistem yang komperhensif dan
fleksibel untuk melakukan proses perbaikan yang berkesinambungan. Six Sigma
secara unik dikendalikan oleh pemahaman yang kuat terhadap kebutuhan pelanggan.
3.2.1 Lima Metode Program Peningkatan kualitas Six Sigma
DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control) merupakan proses
untuk peningkatan kualitas secara terus-menerus menuju target Six Sigma. DMAIC
dilakukan secara sistematik, berdasarkan ilmu pengetahuan dan fakta (systematic,
scientific and fact based). Proses closed-loop ini (DMAIC) menghilangkan langkah-
langkah proses yang tidak produktif, sering berfokus pada pemikiran-pemikiran baru,
dan menerapkan teknologi untuk peningkatan kualitas menuju target Six Sigma.
3.2.1.1 Define (D)
Define merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan
kualitas Six Sigma. Pada tahap ini kita perlu mendefinisikan beberapa hal yang
terkait dengan (Gaspersz, 2002):
a. Kriteria pemilihan proyek Six Sigma.
b. Peran dan tanggung jawab dari orang-orang yang akan terlibat dalam proyek
Six Sigma.
c. Kebutuhan pelatihan untuk orang-orang yang terlibat dalam proyek Six
Sigma.
d. Proses-proses kunci dalam proyek Six Sigma beserta pelanggannya.
e. Kebutuhan spesifik dari pelanggan.
f. Pernyataan tujuan proyek Six Sigma.
3.2.1.2 Measure (M)
Pengukuran merupakan langkah operasional kedua dalam program
peningkatan kualitas Six Sigma.
4
Terdapat tiga hal pokok yang harus dilakukan dalam tahap pengukuran yaitu
(Gaspersz, 2002):
a. Memilih atau menentukan karakteristik kualitas (CTQ) kunci yang
berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik dari pelanggan.
b. Mengembangkan suatu rencana pengumpulan data melalui pengukuran yang
dapat dilakukan pada tingkat proses, output atau outcome.
c. Mengukur kinerja sekarang (current performance) pada tingkat proses, output
atau outcome untuk ditetapkan sebagai baseline kinerja (performance
baseline) pada awal proyek Six Sigma.
3.2.1.2.1 Menetapkan Karakteristik Kualitas (CTQ) Kunci
Karakteristik kualitas (Critical-To-Quality/CTQ) kunci yang ditetapkan
hendaknya berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik dari pelanggan, yang
diturunkan secara langsung dari persyaratan-persyaratan output dan pelayanan.
Bagaimanapun, sebelum melakukan pengukuran terhadap setiap
karakteristik kualitas (CTQ), maka kita perlu mengevaluasi sistem pengukuran yang
ada agar menjamin efektivitas sepanjang waktu. Organisasi kelas dunia yang
menetapkan Six Sigma biasanya menggunakan karakteristik berikut untuk
mengevaluasi sistem pengukuran kinerja mereka (Gaspersz, 2002):
1. Biaya yang dilakukan untuk pengukuran hendaknya tidak lebih besar
daripada manfaat yang diterima.
2. pengukuran harus dimulai pada permulaan proyek Six Sigma. Berbagai
masalah yang berkaitan dengan kualitas beserta kesempatan-kesempatan
untuk meningkatkannya harus dirumuskan secara jelas.
3. Pengukuran harus sederhana serta memunculkan data yang mudah untuk
digunakan, mudah difahami, dan mudah melaporkannya.
4. Pengukuran harus dilakukan pada sistem secara keseluruhan, yang menjadi
ruang lingkup dari proyek Six Sigma.
5. Karakteristik kualitas yang dalam proyek Six Sigma disebut sebagai (CTQ)
yang diukur hendaknya telah difahami secara jelas terutama mengenai
keterkaitan CTQ itu dan sasaran proyek Six Sigma.
5
6. Pengukuran hendaknya melibatkan semua individu yang berada dalam proses
yang terlibat dalam proyek Six Sigma.
7. Pengukuran harus diterima dan dipercaya sebagai sahih (valid) oleh mereka
yang akan menggunakannya. Hal ini berarti data sebagai hasil pengukuran
harus akurat.
8. Umpan–balik harus diberikan pada waktu yang tepat kepada operator dan
manajer, agar kinerja dapat disesuaikan untuk menuju sasaran dari proyek
Six Sigma.
9. Pengukuran harus mengandung hal-hal yang bermakna serta cukup terperinci
agar dapat digunakan dan dipahami oleh mereka yang terlibat dan
perkepentungan dengan proyek Six Sigma.
10. Pengukuran harus berfokus pada tindakan korektif dan peningkatan, bukan
sekedar pada pemantauan (monitoring) atau pengendalian.
Karakteristik-karakteristik kualitas yang kemudian merupakan basis dari
instrument riset. Karakteristik-karakteristik kualitas yang sesuai dalam pengukuran
kualitas akan berbeda untuk setiap perusahaan, tetapi pada umumnya karakteristik
yang dipertimbangkan dalam pengukuran kualitas adalah, sebagai berikut (Gaspersz,
2002):
1. Kualitas produk, yang mencakup :
a. Kinerja (performance), berkaitan dengan aspek fungsional dari produk
itu.
b. Features, berkaitan dengan pilihan-pilihan dan pengembangannya.
c. Keandalan (reliability), berkaitan dengan tingkat kegagalan dalam
penggunaan produk itu.
d. Serviceability, berkaitan dengan kemudahan dan ongkos perbaikan.
e. Konformansi (conformance), berkaitan dengan tingkat kesesuaian produk
terhadap spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan
keinginan pelanggan.
f. Durability, berkaitan dengan daya tahan atau masa pakai dari produk itu.
g. Estetika (aesthetics), berkaitan dengan disain dan pembungkusan atau
kemasan dari produk itu.
6
h. Kualitas yang dirasakan (perceived quality), bersifat subyektif, berkaitan
dengan perasaan pelanggan dalam mengkonsumsi produk itu seperti:
meningkatkan harga diri, moral dan lain-lain.
2. Dukungan purna-jual terutama yang berkaitan dengan waktu penyerahan dan
bantuan yang diberikan, mencakup beberapa hal berikut:
a. Kecepatan penyerahan, berkaitan dengan lamanya waktu antara waktu
pelanggan memesan produk dan waktu penyerahan produk itu.
b. Konsistensi, berkaitan dengan kemampuan memenuhi jadwal yang
dijanjikan.
c. Tingkat pemenuhan pesanan, berkaitan dengan kelengkapan dari pesanan-
pesanan yang dikirim.
d. Informasi, berkaitan dengan status pesanan.
e. Tanggapan dalam keadaan darurat, berkaitan dengan kemampuan
menangani permintaan-permintaan nonstandard yang bersifat tiba-tiba.
f. Kebijakan pengembalian, berkaitan dengan prosedur menangani barang-
barang rusak yang dikembalikan pelanggan.
3. Interaksi antara karyawan (pekerja) dan pelanggan, mencakup:
a. Ketepatan waktu, berkaitan dengan kecepatan memberikan tanggapan
terhadap keperluan-keperluan pelanggan.
b. Penampilan karyawan, berkaitan dengan kebersihan dan kecocokan dalam
berpakaian.
c. Kesopanan dan tanggapan terhadap keluhan-keluhan, berkaitan dengan
bantuan yang diberikan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang
diajukan pelanggan.
Karekteristik kualitas kunci harus secara jelas mengendalikan dan
meningkatkan bisnis dan harus ditinjau ulang secara teratur serta diterapkan secara
benar. Karakteristik kualitas kunci harus mewakili perkiraan kepuasan pelanggan dan
kinerja proses operasional. Semua karakteristik kualitas kunci, termasuk indikator-
indikator finansial, harus dipresentasikan melalui grafik kecendrungan (trend charts)
dengan pembanding terhadap industri yang memimpin (loading industries) di pasar.
7
3.2.1.2.2 Mengembangkan Rencana Pengumpulan Data
Tahap berikut setelah penetapan atau pemilihan karakteristik kualitas
kunci dalam proyek Six Sigma adalah menetapkan rencana untuk
pengumpulan data. Pada dasarnya pengukuran karakteristik kualitas dapat
dilakukan pada tiga tingkat, yaitu: pada tingkat proses (process level), tingkat
output (output level), dan tingkat outcome (outcome level)(Gaspersz, 2000).
Pengukuran pada tingkat output adalah mengukur karakteristik kualitas
output yang dihasilkan dari suatu proses dibandingkan terhadap spesifikasi
karakteristik kualitas yang diinginkan oleh pelanggan. Beberapa contoh pengukuran
pada tingkat output adalah banyaknya unit produk yang tidak memenuhi spesifikasi
tertentu yang ditetapkan (banyak produk cacat), diameter dari produk yang
dihasilkan, nilai mahasiswa ketika menempuh suatu ujian, dan lain-lain.
3.2.1.2.3 Rencana Pengukuran pada Tingkat Output
Pengukuran pada tingkat proses dan/atau output merupakan pengukuran
yang dilakukan dalam organisasi bisnis terhadap kinerja dari karakteristik proses
proses kunci dan/atau karakteristik kualitas kunci dari output (barang dan/atau jasa),
disebut juga sebagai pengukuran internal. Berkaitan dengan pengukuran
karakteristik kualitas balk pada tingkat proses maupun output, maka kita perlu
membedakan apakah data yang diukur itu merupakan data variabel atau data atribut.
3.2.1.2.4 Pengukuran Baseline Kinerja (Performance Baseline)
Sebelum suatu proyek Six Sigma dimulai, selayaknya harus diketahui
tingkat kinerja yang sekarang (current Performance) atau dalam terminologi Six
Sigma disebut sebagai baseline kinerja (Performance Baseline). Setelah mengetahui
baseline kinerja, maka kemajuan peningkatan-peningkatan yang dicapai setelah
memulai proyek Six Sigma dapat diukur sepanjang masa berlangsung proyek Six
Sigma itu. Baseline kinerja dalam proyek Six Sigma biasanya ditetapkan
menggunakan satuan pengukuran DPMO (defect per million opportunities) dan / atau
tingkat kapabilitas sigma (sigma level). Sesuai dengan konsep pengukuran yang biasa
8
diterapkan pada tingkat proses, output, dan outcome, maka baseline kinerja juga
dapat ditetapkan pada tingkat proses, output, dan outcome (Gaspersz, 2002).
Pengukuran Baseline Kinerja Atribut pada Tingkat Output
Pengukuran baseline kinerja pada tingkat output dilakukan secara
langsung pada produk akhir (barang dan/atau jasa) yang akan diserahkan kepada
pelanggan. Pengukuran dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana output akhir
dari proses itu dapat mernenuhi kebutuhan spesifik pelanggan, sebelum produk itu
diserahkan kepada pelanggan. Informasi yang diperoleh dapat dijadikan pedoman
dasar untuk melakukan pengendalian dan peningkatan kualitas dari karakteristik
output yang diukur itu. Hasil pengukuran pada tingkat output dapat berupa data
variabel atau data atribut, yang akan ditentukan kinerjanya menggunakan satuan
pengukuran DPMO (defects per million opportunities) dan Kapabilitas Sigma (Nilai
Sigma). Proses pengukuran untuk data variabel maupun data atribut pada prinsipnya
adalah sama. Untuk memudahkan pemahaman, maka akan diberikan beberapa
contoh kasus tentang pengukuran baseline kinerja pada tingkat output (Gaspersz,
2002).
Seringkali kita membutuhkan pengukuran baseline kinerja atribut
karakteristik kualitas pada tingkat output (barang dan/atau jasa), karena beberapa
alasan berikut (Gaspersz, 2002):
a. Situasi-situasi yang berkaitan dengan data atribut ada dalam proses teknis dan
administratif, sehingga pengukuran baseline kinerja atribut menjadi berguna
dalam banyak penerapan. Kesulitan paling nyata dalam pengukuran kinerja
atribut kualitas adalah mengembangkan definisi operasional secara tepat
tentang apa itu ketidaksesuaian, kegagalan dan kecacatan, sehingga suatu
produk (barang dan /atau jasa) yang merupakan output dari suatu proses perlu
diperhatikan, dikendalikan dan ditingkatkan kinerjanya.
b. Data atribut telah tersedia dalam banyak situasi termasuk dalam aktivitas
inspeksi material, proses perbaikan/peningkatan, atau inspeksi akhir. Dalam
kaitan ini, data yang telah tersedia ini hanya membutuhkan sedikit usaha
untuk mengkonversinya ke dalam DPMO dan Kapabilitas Sigma untuk data
atribut itu.
9
c. Apabila data baru harus dikumpulkan, maka informasi atribut pada umumnya
mudah diperoleh dan tidak mahal, serta tidak membutuhkan ketrampilan
khusus untuk mengumpulkan data atribut itu.
d. Kebanyakan data yang dikumpulkan untuk pelaporan manajemen adalah
dalam bentuk atribut dan akan menjadi lebih bermanfaat apabila dilakukan
analisis untuk data atribut itu.
3.2.1.2.5 Pengendalian Proses Statistik Dengan Peta Kontrol Atribut
Kata atribut dalam pengendalian kualitas menunjukkan suatu
karakteristik kualitas yang sesuai terhadap spesifikasi atau tidak sesuai terhadap
spesifikasi. Ada dua tipe atribut, yaitu (Besterfield,1994):
1. Pengukuran yang tidak mungkin, contoh; menggambarkan inspeksi item berupa
warna, bagian-bagian yang hilang, dan kerusakan.
2. Pengukuran yang dapat dibuat tetapi tidak dapat dibuat karena waktu, biaya dan
kebutuhan. Dengan kata lain, ketika diameter sebuah lubang dapat diukur
dengan mikrometer dalam, mungkin lebih teliti menggunakan gage “go-no-go”
dan tentukan apakah sesuai atau tidak sesuai dengan spesifikasi.
Peta kontrol atribut secara garis besar dikelompokkan atas dua jenis,
yaitu :
1. Peta untuk unit-unit yang tidak sesuai (Non Conforming Chart)
Peta jenis ini didasarkan atas distribusi binomial
P(d )= n!d ! (n−d )
Pd0 qd
n−d
...(3.1)
Dimana :
P(d) = Probabilitas untuk d unit yang tak sesuai
n = Banyaknya unit dalam sampel
d = Banyaknya unit yang tidak sesuai dalam sampel
P0 = Proporsi (fraksi) yang tidak sesuai dalam populasi
q0 = Proporsi (fraksi) yang sesuai (1-P0) dalam populasi
10
Yang termasuk dalam kelompok peta kontrol ini adalah :
a. Peta p
Menunjukkan proporsi tidak sesuai dalam tiap subgrup. Peta ini dapat
digunakan untuk ukuran subgrup yang tetap maupun ukuran subgrup yang
bervariasi. Persamaan yang digunakan adalah :
p=∑ np
∑ n ...(3.2)
UCLi = p̄+ 3√ p̄ (1− p̄ )n i ...(3.3)
LCLi = p̄− 3√ p̄ (1− p̄ )ni ...(3.4)
b. Peta np
Menunjukkan banyaknya item yang tidak sesuai. Peta ini hanya digunakan
jika ukuran subgrup konstan, karena jika ukuran subgrupnya bervariasi
maka garis sentralnya dan batas kontrol akan bervariasi pula, sehingga peta
ini tidak akan berarti.
Kegunaan peta p dan np ini antara lain adalah :
a. Menentukan rata-rata tingkat kualitas.
b. Membawa ke pusat perhatian manajemen terhadap perubahan rata-rata
proses (proporsi).
c. Memperbaiki kualitas produk, karena penggunaan peta kontrol p dapat
memotivasi manajemen personalia untuk mengeluarkan ide mengenai
perbaikan kualitas.
d. Mengevaluasi performansi kualitas dari manajemen personalia dan
operasional.
e. Memberikan saran untuk menggunakan peta kontrol X dan R.
f. Menentukan kriteria penerimaan produk sebelum diberikan ke konsumen.
11
3.2.1.3 Analyze (A)
Merupakan langkah operasional ketiga dalam program peningkatan kualitas
Six Sigma. Pada tahap ini kita perlu melakukan beberapa hal berikut: (1)
Menentukan stabilitas (stability) dan kapabilitas/kemampuan (capability) dari
proses, (2) Menetapkan target-target kinerja dari karakteristik kualitas kunci (CTQ)
yang akan ditingkatkan dalam proyek Six Sigma, (3) Mengidentifikasi sumber-
sumber dan akar penyebab kecacatan atau kegagalan (Gaspersz, 2002).
3.2.1.3.1 Analisis Kapabilitas Proses Untuk Data Atribut
Data atribut (disebut juga data diskrit atau data kualitatif) sering berbentuk
kategori atau klasifikasi seperti: baik atau jelek, sukses atau gagal, hasil bebas cacat
langsung (first-past yield) atau dikerjakan ulang (reworked), dan lain lain.
Selanjutnya, analisis untuk data atribut harus dilakukan menggunakan diagram
pareto untuk mengetahui CTQ potensial apa yang paling besar atau paling tinggi
menimbulkan kegagalan.
3.2.1.3.2 Mengidentifikasi Sumber-sumber dan Akar Penyebab Masalah Kualitas
Tiga metode umum yang sering digunakan untuk mengetahui akar penyebab
dari masalah adalah Brainstorming, Bertanya beberapa kali (Why-why), dan
Diagram Sebab-Akibat (cause-effect diagram).
1) Brainstorming
Brainstorming membantu membangkitkan ide-ide alternatif dan persepsi
dalam suatu tim kerjasama (teamwork) yang bersifat terbuka dan bebas
(tidak malu-malu). Brainstorming dapat digunakan berkaitan dengan hal-hal
berikut:
a. Menentukan penyebab yang mungkin dari masalah-masalah dalam proses
dan/atau solusi terhadap masalah-masalah itu.
b. Memutuskan masalah apa (atau kesempatan peningkatan apa) yang perlu
diselesaikan.
c. Anggota tim merasa bebas untuk berbicara dan menyumbangkan ide-ide
kreatif mereka.
12
d. Menginginkan untuk menjaring sejumlah besar persepsi alternatif.
e. Kreatifitas merupakan outcome yang diinginkan.
f. Fasilitator dapat secara efektif mengelola tim kerjasama itu.
Untuk melaksanakan brainstorming, dapat mengikuti langkah-langkah
berikut:
a. Menyatakan pernyataan masalah secara jelas.
b. Semua anggota dari kelompok harus berfikir dan membuat catatan-
catatan.
c. Setiap ide atau respon yang diberikan anggota kelompok tidak boleh
dikritik atau diberi komentar.
d. Setiap anggota kelompok menyiapkan suatu rangking dari ide-ide atau
respon yang diterima itu.
e. Rangking individual terhadap ide-ide atau respon itu diperbandingkan.
f. Memprioritaskan untuk memilih ide-ide terbaik dari berbagai ide atau
respon yang dikemukakan itu.
2) Bertanya Mengapa Beberapa Kali (Why-why)
Konsep bertanya mengapa beberapa kali dapat digunakan untuk
menemukan akar penyebab dari suatu masalah yang berkaitan dengan
kualitas dari suatu proses.Bertanya beberapa kali akan mengarahkan kita
untuk sampai pada akar penyebab masalah, sehingga tindakan korektif yang
sesuai pada akar penyebab masalah yang ditemukan itu akan menghilangkan
masalah.
3) Diagram Sebab-Akibat
Selanjutnya akar-akar penyebab dari masalah yang ditemukan melalui
bertanya “mengapa” beberapa kali itu dimasukkan ke dalam diagram sebab
akibat (lihat Gambar 2.3) yang telah mengkategorikan sumber-sumber
penyebab berdasarkan prinsip 7M, yaitu:
a. Manpower (tenaga kerja): berkaitan dengan kekurangan dalam
pengetahuan (tidak terlatih, tidak berpengalaman), kekurangan dalam
ketrampilan dasar yang berkaitan dengan mental dan fisik, kelelahan,
stress, ketidakpedulian, dan lain lain.
13
b. Machines (mesin-mesin) dan peralatan : berkaitan dengan itdak adanya
sistem perawatan preventif terhadap mesin-mesin produksi, termasuk
fasilitas dan peralatan lain, tidak sesuai dengan spesifikasi tugas, tidak
kalibrasi, terlalu complicated, terlalu panas, dan lain lain.
c. Methods (metode-metode kerja): berkaitan dengan tidak ada prosedur
dan metode kerja yang benar, tidak jelas, tidak diketahui, tidak
terstandarisasi, tidak cocok, dan lain lain.
d. Materials (bahan baku): berkaitan dengan ketiadaan spesifikasi kualitas
dari bahan baku yang digunakan, ketidaksesuaian dengan spesifikasi
kualitas bahan baku yang ditetapkan, kurang efektifnya penanganan
bahan baku, dan lain lain.
e. Media: berkaitan dengan tempat dan waktu kerja yang tidak
memperhatikan aspek-aspek kebersihan, kesehatan dan keselamatan
kerja, dan lingkungan kerja yang kondusif, kekurangan dalam lampu
penerangan, ventilasi yang buruk , kebisingan yang berlebihan, dan lain
lain.
f. Motivation (motivasi): berkaitan dengan ketiadaan sikap kerja yang
benar dan profesional (tidak kreatif, bersikap reaktif, tak mampu
bekerjasama dalam tim, dll).
g. Money (keuangan): berkaitan dengan ketiadaan dukungan finansial
(keuangan) yang mantap guna memperlancar proyek peningkatan
kualitas Six Sigma yang akan diterapkan.
Gambar 3.1 Diagram Sebab-Akibat Berdasarkan Kategori SumberPenyebab dari Masalah Kualitas (Gaspersz, 2002)
14
3.2.1.4 Improve (I)
Setelah sumber-sumber dan akar penyebab dari masalah kualitas
teridentifikasi, maka perlu dilakukan penerapan rencana tindakan (action plan) untuk
melaksanakan peningkatan kualitas Six Sigma.
3.2.1.4.1 Menetapkan Suatu Rencana Tindakan (Action Plan) untuk Melaksanakan
Peningkatan Kualitas Six Sigma
Pada dasarnya rencana-rencana tindakan (action plan) akan
mendeskripsikan tentang alokasi sumber-sumber daya serta prioritas dan/atau
alternatif yang dilakukan dalam implementasi dari rencana itu. Bentuk-bentuk
pengawasan dan usaha-usaha untuk mempelajari melalui pengumpulan data dan
analisis ketika implementasi dari suatu rencana, juga harus direncanakan pada tahap
ini (Gaspersz, 2002).
Pengembangan rencana tindakan merupakan salah satu aktivitas yang
penting dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang berati bahwa dalam
tahap ini tim peningkatan kualitas Six Sigma harus memutuskan apa yang harus
dicapai (berkaitan dengan target yang ditetapkan), alasan kegunaan (mengapa)
rencana tindakan itu harus dilakukan, dimana rencana tindakan itu akan diterapkan
atau dilakukan, kapan rencana tindakan itu akan dilakukan, dan siapa penanggung
jawabnya, serta berapa besar biaya untuk melaksanakan rencana tindakan itu serta
manfaat positif yang diterima dari implementasi rencana tindakan itu (Gaspersz,
2002).
3.2.1.4.2 Mode Kegagalan dan Analisis Akibat (Failure Mode and Effect Analysis /
FMEA)
FMEA merupakan suatu prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi
dan menilai resiko yang berhubungan dengan sumber potensial kegagalan yang
terjadi pada produk atau proses (Gaspersz,2002). Dengan mengidentifikasikan
resiko, sumber daya dapat dialokasikan untuk mengurangi atau menghilangkan
kegagalan (failure). Mode kegagalan adalah segala sesuatu yang menyebabkan
15
terjadinya kegagalan pada produk atau proses yang menyebabkan produk berada
diluar batas spesifikasi yang telah ditetapkan atau sesuatu yang menyebabkan
perubahan-perubahan dalam produk dan proses yang menyebabkan terganggunya
fungsi dari produk dan proses tersebut (Gaspersz, 2002). Dengan menghilangkan
mode kegagalan, maka FMEA akan meningkatkan keandalan dari produk dan
pelayanan sehingga meningkatkan kepuasan pelanggan yang menggunakan produk
dan pelayanan tersebut. FMEA dapat diterapkan dalam berbagai bidang, baik
manufaktur maupun jasa, juga pada semua jenis produk.
Dalam penelitian ini digunakan FMEA untuk proses, sebab dalam industri,
proses yang ada sangat berpengaruh sekali terhadap produk yang dihasilkan,
sehingga dibutuhkan usaha yang preventif untuk mengendalikan proses yang ada.
FMEA proses ini menguji kecendrungan kegagalan semua tahap proses dari suatu
produk. Pada tipe ini pengujian tidak diarahkan pada kecendrungan kegagalan
peralatan yang digunakan dalam proses, tetapi lebih diarahkan pada hal-hal yang
secara langsung mempengaruhi kualitas, kekuatan dan pada tahap akhir suatu
produk. Beberapa manfaat dari penggunaan FMEA untuk proses adalah sebagai
berikut :
1. Membantu dalam menentukan rancangan terbaik yang memungkinkan dan
pilihan-pilihan perbaikan dalam menyediakan keandalan yang tinggi dan
kemampuan produksi potensial.
2. Membantu dalam menentukan mode-mode kegagalan yang mungkin terjadi
dan akibatnya pada keandalan dan kemampuan produksi suatu produk.
3. Menyediakan catatan dokumen yang baik yang merupakan suatu perbaikan
dari penerapan suatu tindakan korektif.
4. Menyediakan informasi yang berguna untuk meningkatkan program
percobaan dan kriteria pengawasan in line.
5. Menyediakan informasi masa lalu yang berguna dalam menganalisis
kegagalan potensial produk selama proses produksi.
6. Menyediakan ide-ide baru untuk peningkatan pada rancangan atau proses
yang sama.
16
Langkah-langkah dalam membuat FMEA adalah (Gaspersz, 2002):
1. Identifikasi mode kegagalan potensial (potential failure mode).
Mode kegagalan potensial adalah bentuk kegagalan dari produk, jasa atau
proses yang menyimpang dari spesifikasi yang disebabkan oleh perubahan-
perubahan dalam variabel-variabel yang mempengaruhi produk, jasa atau
proses tersebut
2. Identifikasi penyebab potensial (potential effect) dari tiap kegagalan dan
hitung severity.
Penyebab potensial adalah dampak yang akan ditimbulkan bila mode
kegagalan tidak dicegah. Severity adalah seberapa signifikan dampak yang
ditimbulkan oleh penyebab potensial baik internal maupun eksternal.
3. Identifikasi Cause dan hitung Occurance.
Cause adalah kekurangan (deficiency) yang mengakibatkan kegagalan
(failure). Occurance adalah seberapa sering Cause tersebut muncul.
4. Hitung kemampuan untuk mendeteksi (detection) tiap mode kegagalan.
5. Hitung nilai RPN (Risk Priority Number) dengan mengalikan ketiga angka
yang ada, yaitu Severity, Occurance, dan Detection.
Dimana Sev : Severity
Occ: Occurance
Det : Detection
RPN adalah perhitungan numerik dari resiko relatif dari suatu kegagalan.
RPN digunakan untuk memberikan prioritas pada item mana yang
membutuhkan tindakan perbaikan segera.
6. Identifikasi cara untuk menghilangkan resiko yang ditandai dengan tingginya
nilai RPN. Melalui penyusunan RPN dari yang terbesar sampai yang terkecil,
maka kita akan mampu menentukan mode kegagalan mana yang paling kritis
sehingga perlu mendahulukan tindakan korektif pada mode kegagalan itu.
7. Lakukan tindakan untuk mengurangi resiko.
17
RPN = Sev x Occ x Det
3.2.1.5 Control (C)
Merupakan tahap operasional terakhir dalam proyek peningkatan kualitas Six
Sigma. Pada tahap ini hasil-hasil peningkatan kualitas didokumentasikan dan
disebarluaskan, praktek-praktek terbaik yang sukses dalam meningkatkan proses
distandardisasikan dan disebarluaskan, prosedur-prosedur didokumentasikan dan
dijadikan pedoman kerja standar, serta kepemilikan atau tanggung jawab ditransfer
dari tim Six Sigma kepada pemilik atau penanggung jawab proses, yang berarti
proyek Six Sigma berakhir pada tahap ini.
Selanjutnya, proyek-proyek Six Sigma pada area lain dalam proses atau
organisasi bisnis ditetapkan sebagai proyek-proyek baru yang harus mengikuti siklus
DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, and Control). Melalui cara ini, maka
akan terjadi peningkatan integrasi, institusionalisasi, pembelajaran, dan sharing atau
transfer pengetahuan-pengetahuan baru dalam organisasi Six Sigma itu.
Tujuan institusionalisasi adalah mentransformasi bagaimana praktek bisnis
itu dilakukan mengikuti prinsip-prinsip Six Sigma. Dengan kata lain tujuan
institusionalisasi adalah mengintegrasikan Six Sigma kedalam cara-cara praktek
bisnis yang dikelola sehari-hari. Six Sigma tidak hanya berfokus pada penyelesaian
proyek, tetapi juga menawarkan bagaimana kumpulan dari hasil-hasil proyek itu
mempengaruhi tingkat kinerja yang lebih besar, proses tingkat tinggi yang
berlangsung dari hari ke hari.
Tujuan dari standardisasi adalah menstandardisasikan sistem kualitas Six
Sigma yang telah terbukti menjadi terbaik dalam bisnis kelas dunia. Hasil-hasil yang
memuaskan dari proyek peningkatan kualitas Six Sigma harus distandardisasikan,
dan selanjutnya dilakukan peningkatan kualitas secara terus-menerus pada jenis
masalah yang lain melalui proyek-proyek Six Sigma yang lain mengikuti konsep
DMAIC. Dengan demikian sasaran proyek Six Sigma yang telah dicapai harus
dipromosikan keseluruh organisasi melalui manajemen dan sponsor yang kemudian
menstandardisasikan metode-metode Six Sigma yang telah memberikan hasil-hasil
optimum tersebut.
18
Standardisasi dimaksudkan untuk mencegah masalah yang sama atau
praktek-praktek lama terulang kembali. Terdapat dua alasan melakukan
standardisasi, yaitu (Gaspersz, 2002):
1. Apabila tindakan peningkatan kualitas atau solusi masalah itu tidak
distandardisasikan, terdapat kemungkinan bahwa setelah periode waktu
tertentu, manajemen dan karyawan akan kembali menggunakan cara-cara
kerja lama sehingga memunculkan kembali masalah yang sudah pernah
diselesaikan itu.
2. Apabila tindakan peningkatan kualitas atau solusi masalah itu tidak
distandardisasikan dan didokumentasikan, maka terdapat kemungkinan
bahwa setelah periode waktu tertentu apabila terjadi pergantian manajemen
dan karyawan, orang-orang baru akan akan menggunakan cara kerja yang
memunculkan kembali masalah yang sudah pernah diselesaikan oleh
manajemen dan karyawan terdahulu itu.
Pendekatan pengendalian proses Six Sigma dari Motorola (Motorola
Company’s Six Sigma Process Control) mengijinkan adanya pergeseran nilai rata –
rata (mean) dari proses industri sebesar ± 1,5σ, sehingga akan menghasilkan tingkat
ketidaksesuaian sebesar 3,4 per sejuta kesempatan (3,4 DPMO = Defect Per Million
Opportunities), artinya setiap satu juta kesempatan akan terdapat kemungkinan 3,4
ketidaksesuaian (Anang, 2006). Konsep ini berbeda dengan “True 6 – Sigma
Process” yang secara teori statistika dihitung berdasarkan distribusi normal terpusat
(normal distribution centered) akan menghasilkan tingkat ketidaksesuaian sebesar
0,002 DPMO.
Tabel 3.1 Perbedaan Konsep True 6-Sigma Process dan Motorola’s 6-Sigma
Process
True 6-Sigma Process(Normal
Distribustion Centered)
Spec Limit Percent DPMO
± 1 SIGMA 68,27 317300
± 2 SIGMA 95,45 45500
19
± 3 SIGMA 99,73 2700
± 4 SIGMA 99,9937 63
± 5 SIGMA 99,999943 0,57
± 6 SIGMA 99,999999 0,002
Motorola Company's 6-Sigma
Process(Normal Distribution Shifted
1,5σ
Spec Limit Percent DPMO
± 1 SIGMA 30,23 697700
Spec Limit Percent DPMO
± 2 SIGMA 69,13 308700
± 3 SIGMA 93,32 66810
± 4 SIGMA 99,379 6210
± 5 SIGMA 99,9767 233
± 6 SIGMA 99,99966 3,4
(Sumber : Anang, 2006)
Tabel 3.2 Manfaat dari Pencapaian Beberapa Tingkat Sigma
COPQ (cost of poor quality)
Tingkat Pencapaian
Sigma
DPMO COPQ
(cost of poor quality)
1-sigma
2-sigma
3-sigma
4-sigma
5-sigma
6-sigma
691.462 (sangat tidak kompetitif)
308.538 (rata-rata industri Indonesia)
66.807
6.210 (rata-rata industri USA)
233
3,4 (industri kelas dunia)
Tidak dapat dihitung
Tidak dapat dihitung
25-40% dari penjualan
15-25% dari penjualan
5-15% dari penjualan
< 1% dari penjualan
Setiap peningkatan atau pergeseran 1-sigma akan memberikan peningkatan
keuntungan sekitar 10% dari penjualan.
(Sumber: Gaspersz, 2002)
20