draft kerja praktek

33
QUALITY CONTROL PADA PRODUK … PADA PLASTIC INJECTION PRODUKSI PT SUZUKI INDOMOBIL MOTOR UNIT TAMBUN I 3.1 Pendahuluan Masalah yang menjadi perhatian dalam pembuatan laporan kerja praktek adalah masalah pengendalian kualitas pada PT Suzuki Indomobil Motor. Berikut dijelaskan hal-hal yang menelatarbelakangi penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan batasan masalah. 3.1.1 Latar Belakang Pengaruh era globalisasi yang terjadi menyebabkan persaingan bisnis menjadi semakin ketat. Pola ekonomi berubah dari pola ekonomi pengendalian pasar menjadi pola ekonomi berdasarkan kekuatan pasar dimana permintaan konsumen lebih berperan dalam pasar. Oleh karena itu, perusahaan harus fokus pada kepuasan konsumen dengan meningkatkan kualitas produk sehingga mampu bertahan dalam persaingan. Kualitas produk merupakan salah satu unsur utama dalam pemasaran yang dapat meningkatkan volume penjualan dan memperluas pangsa pasar perusahaan. Hal tersebut disebabkan oleh ketertarikan konsumen untuk memilih produk dengan kualitas yang lebih baik. Proses produksi yang dilakukan dapat menjadi peluang dihasilkan

Upload: eraeraera29

Post on 16-Jan-2016

50 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Draft Kerja Praktek di PT Suzuki Indomobil Motor

TRANSCRIPT

Page 1: Draft Kerja Praktek

QUALITY CONTROL PADA PRODUK … PADA PLASTIC

INJECTION PRODUKSI PT SUZUKI INDOMOBIL MOTOR

UNIT TAMBUN I

3.1 Pendahuluan

Masalah yang menjadi perhatian dalam pembuatan laporan kerja praktek

adalah masalah pengendalian kualitas pada PT Suzuki Indomobil Motor. Berikut

dijelaskan hal-hal yang menelatarbelakangi penelitian, perumusan masalah, tujuan

penelitian, dan batasan masalah.

3.1.1 Latar Belakang

Pengaruh era globalisasi yang terjadi menyebabkan persaingan bisnis

menjadi semakin ketat. Pola ekonomi berubah dari pola ekonomi pengendalian pasar

menjadi pola ekonomi berdasarkan kekuatan pasar dimana permintaan konsumen

lebih berperan dalam pasar. Oleh karena itu, perusahaan harus fokus pada kepuasan

konsumen dengan meningkatkan kualitas produk sehingga mampu bertahan dalam

persaingan. Kualitas produk merupakan salah satu unsur utama dalam pemasaran

yang dapat meningkatkan volume penjualan dan memperluas pangsa pasar

perusahaan. Hal tersebut disebabkan oleh ketertarikan konsumen untuk memilih

produk dengan kualitas yang lebih baik. Proses produksi yang dilakukan dapat

menjadi peluang dihasilkan produk yang tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan

oleh perusahaan. Produk yang tidak sesuai dengan standar tersebut dapat dianggap

sebagai produk cacat yang tidak dapat langsung disalurkan ke pasar atau konsumen

tetapi harus diperbaiki terlebih dahulu. Perbaikan tersebut menimbulkan biaya baru

yang menyebabkan meningkatnya ongkos produksi sehingga dapat meningkatkan

harga jual produk, sedangkan pada zaman sekarang ini masyarakat lebih tertarik pada

produk yang lebih murah dipasaran. Perbaikan kualitas produksi dengan menekan

jumlah produk cacat merupakan salah satu langkah penting untuk mencapai tujuan

perusahaan, karena biaya tersembunyi yang muncul dari adanya produk cacat

tersebut memiliki dampak yang cukup besar pada keuangan perusahaan.

Page 2: Draft Kerja Praktek

PT Suzuki Indomobil Motor sangat mengutamakan masalah kualitas ini. PT

Suzuki Indomobil Motor ini memproduksi motor dan mobil, dimana dalam

memproduksi produk setiap bulannya terdapat produk cacat. Hal ini tentunya

menyebabkan kerugian yang bagi perusahaan. Selain itu, hal ini juga merupakan

masalah yang harus diselesaikan dan ditemukan penyebabnya untuk dicarikan

penyelesaiannya. Perusahaan harus tetap melakukan perbaikan secara terus-menerus

agar kualitas produknya semakin meningkat. Salah satu cara perbaikan tersebut

adalah dengan menekan jumlah produk cacat dengan memperbaiki kualitas

produksinya. Alternatif dalam pengendalian kualitas adalah merancang atau

mendesain perbaikan berdasarkan Metode Six Sigma.

Berbagai jenis metode dikembangkan dan diterapkan oleh masyarakat

industri untuk menghasilkan produk dengan kualitas yang lebih baik. Metode Six

Sigma merupakan suatu metode pengendalian dan peningkatan kualitas yang

diterapkan oleh perusahaan Motorola sejak tahun 1986 dan merupakan terobosan

baru dalam bidang manajemen kualitas. Banyak ahli manajemen kualitas

menyatakan bahwa Metode Six Sigma dapat dikembangkan dan diterima secara luas

oleh dunia industri. Metode Six Sigma mampu melakukan peningkatan kualitas

sampai ke tingkat kegagalan nol (zero defect).

Six Sigma dapat mengidentifikasi masalah dalam proses produksi dan

menguraikan cacat yang membebani dalam hal waktu, uang, pelanggan dan peluang.

Six sigma dapat digunakan untuk menemukan karakteristik-karakteristik yang

penting untuk pelanggan, mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi

karakterisitik dan mengurangi variasi pada faktor-faktor kunci tersebut. Perbaikan

kualitas produksi merupakan salah satu langkah penting untuk mencapai tujuan

perusahaan. Biaya yang timbul akibat dari adanya produk cacat tersebut akan

menyebabkan terjadinya peningkatan pada ongkos produksi. Oleh karena itu,

penelitian mengenai Six Sigma sebagai sistem saran pada PT Suzuki Indomobil

Motor perlu dikaji dalam rangka menciptakan perbaikan yang terus menerus

(continuous improvement).

2

Page 3: Draft Kerja Praktek

3.1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dilakukannya penelitian ini maka dapat

dirumuskan permasalahannya adalah bagaimana analisis pengendalian kualitas pada PT

Suzuki Indomobil Motor dengan menggunakan Metode Six Sigma.

3.1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan dari

penelitian ini dikategorikan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus.

3.1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis pengendalian

kualitas pada komponen …

3.1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui faktor penyebab timbulnya produk cacat berdasarkan tahapan

Six Sigma yaitu define, measure, dan analyze.

2. Memberikan rekomendasi perbaikan dalam pengendalian kualitas terkait

dengan analisis dan evaluasi yang diberikan terhadap produk cacat yang

merupakan tahapan improve dari metode six sigma.

3.1.4 Batasan Masalah

Batasan masalah pada penulisan laporan kerja praktek di PT Suzuki

Indomobil Motor ini adalah sebagai berikut :

1. Data yang dikumpulkan merupakan data produksi dan produk cacat untuk

periode - , standar produk bebas cacat (SPRI) perusahaan, dan karakteristik

kualitas produk.

2. Metode pengendalian kualitas yang digunakan adalah Metode Six Sigma

3

Page 4: Draft Kerja Praktek

3.2 Tinjauan Pustaka

Six Sigma adalah suatu framework atau sistem yang komperhensif dan

fleksibel untuk melakukan proses perbaikan yang berkesinambungan. Six Sigma

secara unik dikendalikan oleh pemahaman yang kuat terhadap kebutuhan pelanggan.

3.2.1 Lima Metode Program Peningkatan kualitas Six Sigma

DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, Control) merupakan proses

untuk peningkatan kualitas secara terus-menerus menuju target Six Sigma. DMAIC

dilakukan secara sistematik, berdasarkan ilmu pengetahuan dan fakta (systematic,

scientific and fact based). Proses closed-loop ini (DMAIC) menghilangkan langkah-

langkah proses yang tidak produktif, sering berfokus pada pemikiran-pemikiran baru,

dan menerapkan teknologi untuk peningkatan kualitas menuju target Six Sigma.

3.2.1.1 Define (D)

Define merupakan langkah operasional pertama dalam program peningkatan

kualitas Six Sigma. Pada tahap ini kita perlu mendefinisikan beberapa hal yang

terkait dengan (Gaspersz, 2002):

a. Kriteria pemilihan proyek Six Sigma.

b. Peran dan tanggung jawab dari orang-orang yang akan terlibat dalam proyek

Six Sigma.

c. Kebutuhan pelatihan untuk orang-orang yang terlibat dalam proyek Six

Sigma.

d. Proses-proses kunci dalam proyek Six Sigma beserta pelanggannya.

e. Kebutuhan spesifik dari pelanggan.

f. Pernyataan tujuan proyek Six Sigma.

3.2.1.2 Measure (M)

Pengukuran merupakan langkah operasional kedua dalam program

peningkatan kualitas Six Sigma.

4

Page 5: Draft Kerja Praktek

Terdapat tiga hal pokok yang harus dilakukan dalam tahap pengukuran yaitu

(Gaspersz, 2002):

a. Memilih atau menentukan karakteristik kualitas (CTQ) kunci yang

berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik dari pelanggan.

b. Mengembangkan suatu rencana pengumpulan data melalui pengukuran yang

dapat dilakukan pada tingkat proses, output atau outcome.

c. Mengukur kinerja sekarang (current performance) pada tingkat proses, output

atau outcome untuk ditetapkan sebagai baseline kinerja (performance

baseline) pada awal proyek Six Sigma.

3.2.1.2.1 Menetapkan Karakteristik Kualitas (CTQ) Kunci

Karakteristik kualitas (Critical-To-Quality/CTQ) kunci yang ditetapkan

hendaknya berhubungan langsung dengan kebutuhan spesifik dari pelanggan, yang

diturunkan secara langsung dari persyaratan-persyaratan output dan pelayanan.

Bagaimanapun, sebelum melakukan pengukuran terhadap setiap

karakteristik kualitas (CTQ), maka kita perlu mengevaluasi sistem pengukuran yang

ada agar menjamin efektivitas sepanjang waktu. Organisasi kelas dunia yang

menetapkan Six Sigma biasanya menggunakan karakteristik berikut untuk

mengevaluasi sistem pengukuran kinerja mereka (Gaspersz, 2002):

1. Biaya yang dilakukan untuk pengukuran hendaknya tidak lebih besar

daripada manfaat yang diterima.

2. pengukuran harus dimulai pada permulaan proyek Six Sigma. Berbagai

masalah yang berkaitan dengan kualitas beserta kesempatan-kesempatan

untuk meningkatkannya harus dirumuskan secara jelas.

3. Pengukuran harus sederhana serta memunculkan data yang mudah untuk

digunakan, mudah difahami, dan mudah melaporkannya.

4. Pengukuran harus dilakukan pada sistem secara keseluruhan, yang menjadi

ruang lingkup dari proyek Six Sigma.

5. Karakteristik kualitas yang dalam proyek Six Sigma disebut sebagai (CTQ)

yang diukur hendaknya telah difahami secara jelas terutama mengenai

keterkaitan CTQ itu dan sasaran proyek Six Sigma.

5

Page 6: Draft Kerja Praktek

6. Pengukuran hendaknya melibatkan semua individu yang berada dalam proses

yang terlibat dalam proyek Six Sigma.

7. Pengukuran harus diterima dan dipercaya sebagai sahih (valid) oleh mereka

yang akan menggunakannya. Hal ini berarti data sebagai hasil pengukuran

harus akurat.

8. Umpan–balik harus diberikan pada waktu yang tepat kepada operator dan

manajer, agar kinerja dapat disesuaikan untuk menuju sasaran dari proyek

Six Sigma.

9. Pengukuran harus mengandung hal-hal yang bermakna serta cukup terperinci

agar dapat digunakan dan dipahami oleh mereka yang terlibat dan

perkepentungan dengan proyek Six Sigma.

10. Pengukuran harus berfokus pada tindakan korektif dan peningkatan, bukan

sekedar pada pemantauan (monitoring) atau pengendalian.

Karakteristik-karakteristik kualitas yang kemudian merupakan basis dari

instrument riset. Karakteristik-karakteristik kualitas yang sesuai dalam pengukuran

kualitas akan berbeda untuk setiap perusahaan, tetapi pada umumnya karakteristik

yang dipertimbangkan dalam pengukuran kualitas adalah, sebagai berikut (Gaspersz,

2002):

1. Kualitas produk, yang mencakup :

a. Kinerja (performance), berkaitan dengan aspek fungsional dari produk

itu.

b. Features, berkaitan dengan pilihan-pilihan dan pengembangannya.

c. Keandalan (reliability), berkaitan dengan tingkat kegagalan dalam

penggunaan produk itu.

d. Serviceability, berkaitan dengan kemudahan dan ongkos perbaikan.

e. Konformansi (conformance), berkaitan dengan tingkat kesesuaian produk

terhadap spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan

keinginan pelanggan.

f. Durability, berkaitan dengan daya tahan atau masa pakai dari produk itu.

g. Estetika (aesthetics), berkaitan dengan disain dan pembungkusan atau

kemasan dari produk itu.

6

Page 7: Draft Kerja Praktek

h. Kualitas yang dirasakan (perceived quality), bersifat subyektif, berkaitan

dengan perasaan pelanggan dalam mengkonsumsi produk itu seperti:

meningkatkan harga diri, moral dan lain-lain.

2. Dukungan purna-jual terutama yang berkaitan dengan waktu penyerahan dan

bantuan yang diberikan, mencakup beberapa hal berikut:

a. Kecepatan penyerahan, berkaitan dengan lamanya waktu antara waktu

pelanggan memesan produk dan waktu penyerahan produk itu.

b. Konsistensi, berkaitan dengan kemampuan memenuhi jadwal yang

dijanjikan.

c. Tingkat pemenuhan pesanan, berkaitan dengan kelengkapan dari pesanan-

pesanan yang dikirim.

d. Informasi, berkaitan dengan status pesanan.

e. Tanggapan dalam keadaan darurat, berkaitan dengan kemampuan

menangani permintaan-permintaan nonstandard yang bersifat tiba-tiba.

f. Kebijakan pengembalian, berkaitan dengan prosedur menangani barang-

barang rusak yang dikembalikan pelanggan.

3. Interaksi antara karyawan (pekerja) dan pelanggan, mencakup:

a. Ketepatan waktu, berkaitan dengan kecepatan memberikan tanggapan

terhadap keperluan-keperluan pelanggan.

b. Penampilan karyawan, berkaitan dengan kebersihan dan kecocokan dalam

berpakaian.

c. Kesopanan dan tanggapan terhadap keluhan-keluhan, berkaitan dengan

bantuan yang diberikan dalam menyelesaikan masalah-masalah yang

diajukan pelanggan.

Karekteristik kualitas kunci harus secara jelas mengendalikan dan

meningkatkan bisnis dan harus ditinjau ulang secara teratur serta diterapkan secara

benar. Karakteristik kualitas kunci harus mewakili perkiraan kepuasan pelanggan dan

kinerja proses operasional. Semua karakteristik kualitas kunci, termasuk indikator-

indikator finansial, harus dipresentasikan melalui grafik kecendrungan (trend charts)

dengan pembanding terhadap industri yang memimpin (loading industries) di pasar.

7

Page 8: Draft Kerja Praktek

3.2.1.2.2 Mengembangkan Rencana Pengumpulan Data

Tahap berikut setelah penetapan atau pemilihan karakteristik kualitas

kunci dalam proyek Six Sigma adalah menetapkan rencana untuk

pengumpulan data. Pada dasarnya pengukuran karakteristik kualitas dapat

dilakukan pada tiga tingkat, yaitu: pada tingkat proses (process level), tingkat

output (output level), dan tingkat outcome (outcome level)(Gaspersz, 2000).

Pengukuran pada tingkat output adalah mengukur karakteristik kualitas

output yang dihasilkan dari suatu proses dibandingkan terhadap spesifikasi

karakteristik kualitas yang diinginkan oleh pelanggan. Beberapa contoh pengukuran

pada tingkat output adalah banyaknya unit produk yang tidak memenuhi spesifikasi

tertentu yang ditetapkan (banyak produk cacat), diameter dari produk yang

dihasilkan, nilai mahasiswa ketika menempuh suatu ujian, dan lain-lain.

3.2.1.2.3 Rencana Pengukuran pada Tingkat Output

Pengukuran pada tingkat proses dan/atau output merupakan pengukuran

yang dilakukan dalam organisasi bisnis terhadap kinerja dari karakteristik proses

proses kunci dan/atau karakteristik kualitas kunci dari output (barang dan/atau jasa),

disebut juga sebagai pengukuran internal. Berkaitan dengan pengukuran

karakteristik kualitas balk pada tingkat proses maupun output, maka kita perlu

membedakan apakah data yang diukur itu merupakan data variabel atau data atribut.

3.2.1.2.4 Pengukuran Baseline Kinerja (Performance Baseline)

Sebelum suatu proyek Six Sigma dimulai, selayaknya harus diketahui

tingkat kinerja yang sekarang (current Performance) atau dalam terminologi Six

Sigma disebut sebagai baseline kinerja (Performance Baseline). Setelah mengetahui

baseline kinerja, maka kemajuan peningkatan-peningkatan yang dicapai setelah

memulai proyek Six Sigma dapat diukur sepanjang masa berlangsung proyek Six

Sigma itu. Baseline kinerja dalam proyek Six Sigma biasanya ditetapkan

menggunakan satuan pengukuran DPMO (defect per million opportunities) dan / atau

tingkat kapabilitas sigma (sigma level). Sesuai dengan konsep pengukuran yang biasa

8

Page 9: Draft Kerja Praktek

diterapkan pada tingkat proses, output, dan outcome, maka baseline kinerja juga

dapat ditetapkan pada tingkat proses, output, dan outcome (Gaspersz, 2002).

Pengukuran Baseline Kinerja Atribut pada Tingkat Output

Pengukuran baseline kinerja pada tingkat output dilakukan secara

langsung pada produk akhir (barang dan/atau jasa) yang akan diserahkan kepada

pelanggan. Pengukuran dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana output akhir

dari proses itu dapat mernenuhi kebutuhan spesifik pelanggan, sebelum produk itu

diserahkan kepada pelanggan. Informasi yang diperoleh dapat dijadikan pedoman

dasar untuk melakukan pengendalian dan peningkatan kualitas dari karakteristik

output yang diukur itu. Hasil pengukuran pada tingkat output dapat berupa data

variabel atau data atribut, yang akan ditentukan kinerjanya menggunakan satuan

pengukuran DPMO (defects per million opportunities) dan Kapabilitas Sigma (Nilai

Sigma). Proses pengukuran untuk data variabel maupun data atribut pada prinsipnya

adalah sama. Untuk memudahkan pemahaman, maka akan diberikan beberapa

contoh kasus tentang pengukuran baseline kinerja pada tingkat output (Gaspersz,

2002).

Seringkali kita membutuhkan pengukuran baseline kinerja atribut

karakteristik kualitas pada tingkat output (barang dan/atau jasa), karena beberapa

alasan berikut (Gaspersz, 2002):

a. Situasi-situasi yang berkaitan dengan data atribut ada dalam proses teknis dan

administratif, sehingga pengukuran baseline kinerja atribut menjadi berguna

dalam banyak penerapan. Kesulitan paling nyata dalam pengukuran kinerja

atribut kualitas adalah mengembangkan definisi operasional secara tepat

tentang apa itu ketidaksesuaian, kegagalan dan kecacatan, sehingga suatu

produk (barang dan /atau jasa) yang merupakan output dari suatu proses perlu

diperhatikan, dikendalikan dan ditingkatkan kinerjanya.

b. Data atribut telah tersedia dalam banyak situasi termasuk dalam aktivitas

inspeksi material, proses perbaikan/peningkatan, atau inspeksi akhir. Dalam

kaitan ini, data yang telah tersedia ini hanya membutuhkan sedikit usaha

untuk mengkonversinya ke dalam DPMO dan Kapabilitas Sigma untuk data

atribut itu.

9

Page 10: Draft Kerja Praktek

c. Apabila data baru harus dikumpulkan, maka informasi atribut pada umumnya

mudah diperoleh dan tidak mahal, serta tidak membutuhkan ketrampilan

khusus untuk mengumpulkan data atribut itu.

d. Kebanyakan data yang dikumpulkan untuk pelaporan manajemen adalah

dalam bentuk atribut dan akan menjadi lebih bermanfaat apabila dilakukan

analisis untuk data atribut itu.

3.2.1.2.5 Pengendalian Proses Statistik Dengan Peta Kontrol Atribut

Kata atribut dalam pengendalian kualitas menunjukkan suatu

karakteristik kualitas yang sesuai terhadap spesifikasi atau tidak sesuai terhadap

spesifikasi. Ada dua tipe atribut, yaitu (Besterfield,1994):

1. Pengukuran yang tidak mungkin, contoh; menggambarkan inspeksi item berupa

warna, bagian-bagian yang hilang, dan kerusakan.

2. Pengukuran yang dapat dibuat tetapi tidak dapat dibuat karena waktu, biaya dan

kebutuhan. Dengan kata lain, ketika diameter sebuah lubang dapat diukur

dengan mikrometer dalam, mungkin lebih teliti menggunakan gage “go-no-go”

dan tentukan apakah sesuai atau tidak sesuai dengan spesifikasi.

Peta kontrol atribut secara garis besar dikelompokkan atas dua jenis,

yaitu :

1. Peta untuk unit-unit yang tidak sesuai (Non Conforming Chart)

Peta jenis ini didasarkan atas distribusi binomial

P(d )= n!d ! (n−d )

Pd0 qd

n−d

...(3.1)

Dimana :

P(d) = Probabilitas untuk d unit yang tak sesuai

n = Banyaknya unit dalam sampel

d = Banyaknya unit yang tidak sesuai dalam sampel

P0 = Proporsi (fraksi) yang tidak sesuai dalam populasi

q0 = Proporsi (fraksi) yang sesuai (1-P0) dalam populasi

10

Page 11: Draft Kerja Praktek

Yang termasuk dalam kelompok peta kontrol ini adalah :

a. Peta p

Menunjukkan proporsi tidak sesuai dalam tiap subgrup. Peta ini dapat

digunakan untuk ukuran subgrup yang tetap maupun ukuran subgrup yang

bervariasi. Persamaan yang digunakan adalah :

p=∑ np

∑ n ...(3.2)

UCLi = p̄+ 3√ p̄ (1− p̄ )n i ...(3.3)

LCLi = p̄− 3√ p̄ (1− p̄ )ni ...(3.4)

b. Peta np

Menunjukkan banyaknya item yang tidak sesuai. Peta ini hanya digunakan

jika ukuran subgrup konstan, karena jika ukuran subgrupnya bervariasi

maka garis sentralnya dan batas kontrol akan bervariasi pula, sehingga peta

ini tidak akan berarti.

Kegunaan peta p dan np ini antara lain adalah :

a. Menentukan rata-rata tingkat kualitas.

b. Membawa ke pusat perhatian manajemen terhadap perubahan rata-rata

proses (proporsi).

c. Memperbaiki kualitas produk, karena penggunaan peta kontrol p dapat

memotivasi manajemen personalia untuk mengeluarkan ide mengenai

perbaikan kualitas.

d. Mengevaluasi performansi kualitas dari manajemen personalia dan

operasional.

e. Memberikan saran untuk menggunakan peta kontrol X dan R.

f. Menentukan kriteria penerimaan produk sebelum diberikan ke konsumen.

11

Page 12: Draft Kerja Praktek

3.2.1.3 Analyze (A)

Merupakan langkah operasional ketiga dalam program peningkatan kualitas

Six Sigma. Pada tahap ini kita perlu melakukan beberapa hal berikut: (1)

Menentukan stabilitas (stability) dan kapabilitas/kemampuan (capability) dari

proses, (2) Menetapkan target-target kinerja dari karakteristik kualitas kunci (CTQ)

yang akan ditingkatkan dalam proyek Six Sigma, (3) Mengidentifikasi sumber-

sumber dan akar penyebab kecacatan atau kegagalan (Gaspersz, 2002).

3.2.1.3.1 Analisis Kapabilitas Proses Untuk Data Atribut

Data atribut (disebut juga data diskrit atau data kualitatif) sering berbentuk

kategori atau klasifikasi seperti: baik atau jelek, sukses atau gagal, hasil bebas cacat

langsung (first-past yield) atau dikerjakan ulang (reworked), dan lain lain.

Selanjutnya, analisis untuk data atribut harus dilakukan menggunakan diagram

pareto untuk mengetahui CTQ potensial apa yang paling besar atau paling tinggi

menimbulkan kegagalan.

3.2.1.3.2 Mengidentifikasi Sumber-sumber dan Akar Penyebab Masalah Kualitas

Tiga metode umum yang sering digunakan untuk mengetahui akar penyebab

dari masalah adalah Brainstorming, Bertanya beberapa kali (Why-why), dan

Diagram Sebab-Akibat (cause-effect diagram).

1) Brainstorming

Brainstorming membantu membangkitkan ide-ide alternatif dan persepsi

dalam suatu tim kerjasama (teamwork) yang bersifat terbuka dan bebas

(tidak malu-malu). Brainstorming dapat digunakan berkaitan dengan hal-hal

berikut:

a. Menentukan penyebab yang mungkin dari masalah-masalah dalam proses

dan/atau solusi terhadap masalah-masalah itu.

b. Memutuskan masalah apa (atau kesempatan peningkatan apa) yang perlu

diselesaikan.

c. Anggota tim merasa bebas untuk berbicara dan menyumbangkan ide-ide

kreatif mereka.

12

Page 13: Draft Kerja Praktek

d. Menginginkan untuk menjaring sejumlah besar persepsi alternatif.

e. Kreatifitas merupakan outcome yang diinginkan.

f. Fasilitator dapat secara efektif mengelola tim kerjasama itu.

Untuk melaksanakan brainstorming, dapat mengikuti langkah-langkah

berikut:

a. Menyatakan pernyataan masalah secara jelas.

b. Semua anggota dari kelompok harus berfikir dan membuat catatan-

catatan.

c. Setiap ide atau respon yang diberikan anggota kelompok tidak boleh

dikritik atau diberi komentar.

d. Setiap anggota kelompok menyiapkan suatu rangking dari ide-ide atau

respon yang diterima itu.

e. Rangking individual terhadap ide-ide atau respon itu diperbandingkan.

f. Memprioritaskan untuk memilih ide-ide terbaik dari berbagai ide atau

respon yang dikemukakan itu.

2) Bertanya Mengapa Beberapa Kali (Why-why)

Konsep bertanya mengapa beberapa kali dapat digunakan untuk

menemukan akar penyebab dari suatu masalah yang berkaitan dengan

kualitas dari suatu proses.Bertanya beberapa kali akan mengarahkan kita

untuk sampai pada akar penyebab masalah, sehingga tindakan korektif yang

sesuai pada akar penyebab masalah yang ditemukan itu akan menghilangkan

masalah.

3) Diagram Sebab-Akibat

Selanjutnya akar-akar penyebab dari masalah yang ditemukan melalui

bertanya “mengapa” beberapa kali itu dimasukkan ke dalam diagram sebab

akibat (lihat Gambar 2.3) yang telah mengkategorikan sumber-sumber

penyebab berdasarkan prinsip 7M, yaitu:

a. Manpower (tenaga kerja): berkaitan dengan kekurangan dalam

pengetahuan (tidak terlatih, tidak berpengalaman), kekurangan dalam

ketrampilan dasar yang berkaitan dengan mental dan fisik, kelelahan,

stress, ketidakpedulian, dan lain lain.

13

Page 14: Draft Kerja Praktek

b. Machines (mesin-mesin) dan peralatan : berkaitan dengan itdak adanya

sistem perawatan preventif terhadap mesin-mesin produksi, termasuk

fasilitas dan peralatan lain, tidak sesuai dengan spesifikasi tugas, tidak

kalibrasi, terlalu complicated, terlalu panas, dan lain lain.

c. Methods (metode-metode kerja): berkaitan dengan tidak ada prosedur

dan metode kerja yang benar, tidak jelas, tidak diketahui, tidak

terstandarisasi, tidak cocok, dan lain lain.

d. Materials (bahan baku): berkaitan dengan ketiadaan spesifikasi kualitas

dari bahan baku yang digunakan, ketidaksesuaian dengan spesifikasi

kualitas bahan baku yang ditetapkan, kurang efektifnya penanganan

bahan baku, dan lain lain.

e. Media: berkaitan dengan tempat dan waktu kerja yang tidak

memperhatikan aspek-aspek kebersihan, kesehatan dan keselamatan

kerja, dan lingkungan kerja yang kondusif, kekurangan dalam lampu

penerangan, ventilasi yang buruk , kebisingan yang berlebihan, dan lain

lain.

f. Motivation (motivasi): berkaitan dengan ketiadaan sikap kerja yang

benar dan profesional (tidak kreatif, bersikap reaktif, tak mampu

bekerjasama dalam tim, dll).

g. Money (keuangan): berkaitan dengan ketiadaan dukungan finansial

(keuangan) yang mantap guna memperlancar proyek peningkatan

kualitas Six Sigma yang akan diterapkan.

Gambar 3.1 Diagram Sebab-Akibat Berdasarkan Kategori SumberPenyebab dari Masalah Kualitas (Gaspersz, 2002)

14

Page 15: Draft Kerja Praktek

3.2.1.4 Improve (I)

Setelah sumber-sumber dan akar penyebab dari masalah kualitas

teridentifikasi, maka perlu dilakukan penerapan rencana tindakan (action plan) untuk

melaksanakan peningkatan kualitas Six Sigma.

3.2.1.4.1 Menetapkan Suatu Rencana Tindakan (Action Plan) untuk Melaksanakan

Peningkatan Kualitas Six Sigma

Pada dasarnya rencana-rencana tindakan (action plan) akan

mendeskripsikan tentang alokasi sumber-sumber daya serta prioritas dan/atau

alternatif yang dilakukan dalam implementasi dari rencana itu. Bentuk-bentuk

pengawasan dan usaha-usaha untuk mempelajari melalui pengumpulan data dan

analisis ketika implementasi dari suatu rencana, juga harus direncanakan pada tahap

ini (Gaspersz, 2002).

Pengembangan rencana tindakan merupakan salah satu aktivitas yang

penting dalam program peningkatan kualitas Six Sigma, yang berati bahwa dalam

tahap ini tim peningkatan kualitas Six Sigma harus memutuskan apa yang harus

dicapai (berkaitan dengan target yang ditetapkan), alasan kegunaan (mengapa)

rencana tindakan itu harus dilakukan, dimana rencana tindakan itu akan diterapkan

atau dilakukan, kapan rencana tindakan itu akan dilakukan, dan siapa penanggung

jawabnya, serta berapa besar biaya untuk melaksanakan rencana tindakan itu serta

manfaat positif yang diterima dari implementasi rencana tindakan itu (Gaspersz,

2002).

3.2.1.4.2 Mode Kegagalan dan Analisis Akibat (Failure Mode and Effect Analysis /

FMEA)

FMEA merupakan suatu prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi

dan menilai resiko yang berhubungan dengan sumber potensial kegagalan yang

terjadi pada produk atau proses (Gaspersz,2002). Dengan mengidentifikasikan

resiko, sumber daya dapat dialokasikan untuk mengurangi atau menghilangkan

kegagalan (failure). Mode kegagalan adalah segala sesuatu yang menyebabkan

15

Page 16: Draft Kerja Praktek

terjadinya kegagalan pada produk atau proses yang menyebabkan produk berada

diluar batas spesifikasi yang telah ditetapkan atau sesuatu yang menyebabkan

perubahan-perubahan dalam produk dan proses yang menyebabkan terganggunya

fungsi dari produk dan proses tersebut (Gaspersz, 2002). Dengan menghilangkan

mode kegagalan, maka FMEA akan meningkatkan keandalan dari produk dan

pelayanan sehingga meningkatkan kepuasan pelanggan yang menggunakan produk

dan pelayanan tersebut. FMEA dapat diterapkan dalam berbagai bidang, baik

manufaktur maupun jasa, juga pada semua jenis produk.

Dalam penelitian ini digunakan FMEA untuk proses, sebab dalam industri,

proses yang ada sangat berpengaruh sekali terhadap produk yang dihasilkan,

sehingga dibutuhkan usaha yang preventif untuk mengendalikan proses yang ada.

FMEA proses ini menguji kecendrungan kegagalan semua tahap proses dari suatu

produk. Pada tipe ini pengujian tidak diarahkan pada kecendrungan kegagalan

peralatan yang digunakan dalam proses, tetapi lebih diarahkan pada hal-hal yang

secara langsung mempengaruhi kualitas, kekuatan dan pada tahap akhir suatu

produk. Beberapa manfaat dari penggunaan FMEA untuk proses adalah sebagai

berikut :

1. Membantu dalam menentukan rancangan terbaik yang memungkinkan dan

pilihan-pilihan perbaikan dalam menyediakan keandalan yang tinggi dan

kemampuan produksi potensial.

2. Membantu dalam menentukan mode-mode kegagalan yang mungkin terjadi

dan akibatnya pada keandalan dan kemampuan produksi suatu produk.

3. Menyediakan catatan dokumen yang baik yang merupakan suatu perbaikan

dari penerapan suatu tindakan korektif.

4. Menyediakan informasi yang berguna untuk meningkatkan program

percobaan dan kriteria pengawasan in line.

5. Menyediakan informasi masa lalu yang berguna dalam menganalisis

kegagalan potensial produk selama proses produksi.

6. Menyediakan ide-ide baru untuk peningkatan pada rancangan atau proses

yang sama.

16

Page 17: Draft Kerja Praktek

Langkah-langkah dalam membuat FMEA adalah (Gaspersz, 2002):

1. Identifikasi mode kegagalan potensial (potential failure mode).

Mode kegagalan potensial adalah bentuk kegagalan dari produk, jasa atau

proses yang menyimpang dari spesifikasi yang disebabkan oleh perubahan-

perubahan dalam variabel-variabel yang mempengaruhi produk, jasa atau

proses tersebut

2. Identifikasi penyebab potensial (potential effect) dari tiap kegagalan dan

hitung severity.

Penyebab potensial adalah dampak yang akan ditimbulkan bila mode

kegagalan tidak dicegah. Severity adalah seberapa signifikan dampak yang

ditimbulkan oleh penyebab potensial baik internal maupun eksternal.

3. Identifikasi Cause dan hitung Occurance.

Cause adalah kekurangan (deficiency) yang mengakibatkan kegagalan

(failure). Occurance adalah seberapa sering Cause tersebut muncul.

4. Hitung kemampuan untuk mendeteksi (detection) tiap mode kegagalan.

5. Hitung nilai RPN (Risk Priority Number) dengan mengalikan ketiga angka

yang ada, yaitu Severity, Occurance, dan Detection.

Dimana Sev : Severity

Occ: Occurance

Det : Detection

RPN adalah perhitungan numerik dari resiko relatif dari suatu kegagalan.

RPN digunakan untuk memberikan prioritas pada item mana yang

membutuhkan tindakan perbaikan segera.

6. Identifikasi cara untuk menghilangkan resiko yang ditandai dengan tingginya

nilai RPN. Melalui penyusunan RPN dari yang terbesar sampai yang terkecil,

maka kita akan mampu menentukan mode kegagalan mana yang paling kritis

sehingga perlu mendahulukan tindakan korektif pada mode kegagalan itu.

7. Lakukan tindakan untuk mengurangi resiko.

17

RPN = Sev x Occ x Det

Page 18: Draft Kerja Praktek

3.2.1.5 Control (C)

Merupakan tahap operasional terakhir dalam proyek peningkatan kualitas Six

Sigma. Pada tahap ini hasil-hasil peningkatan kualitas didokumentasikan dan

disebarluaskan, praktek-praktek terbaik yang sukses dalam meningkatkan proses

distandardisasikan dan disebarluaskan, prosedur-prosedur didokumentasikan dan

dijadikan pedoman kerja standar, serta kepemilikan atau tanggung jawab ditransfer

dari tim Six Sigma kepada pemilik atau penanggung jawab proses, yang berarti

proyek Six Sigma berakhir pada tahap ini.

Selanjutnya, proyek-proyek Six Sigma pada area lain dalam proses atau

organisasi bisnis ditetapkan sebagai proyek-proyek baru yang harus mengikuti siklus

DMAIC (Define, Measure, Analyze, Improve, and Control). Melalui cara ini, maka

akan terjadi peningkatan integrasi, institusionalisasi, pembelajaran, dan sharing atau

transfer pengetahuan-pengetahuan baru dalam organisasi Six Sigma itu.

Tujuan institusionalisasi adalah mentransformasi bagaimana praktek bisnis

itu dilakukan mengikuti prinsip-prinsip Six Sigma. Dengan kata lain tujuan

institusionalisasi adalah mengintegrasikan Six Sigma kedalam cara-cara praktek

bisnis yang dikelola sehari-hari. Six Sigma tidak hanya berfokus pada penyelesaian

proyek, tetapi juga menawarkan bagaimana kumpulan dari hasil-hasil proyek itu

mempengaruhi tingkat kinerja yang lebih besar, proses tingkat tinggi yang

berlangsung dari hari ke hari.

Tujuan dari standardisasi adalah menstandardisasikan sistem kualitas Six

Sigma yang telah terbukti menjadi terbaik dalam bisnis kelas dunia. Hasil-hasil yang

memuaskan dari proyek peningkatan kualitas Six Sigma harus distandardisasikan,

dan selanjutnya dilakukan peningkatan kualitas secara terus-menerus pada jenis

masalah yang lain melalui proyek-proyek Six Sigma yang lain mengikuti konsep

DMAIC. Dengan demikian sasaran proyek Six Sigma yang telah dicapai harus

dipromosikan keseluruh organisasi melalui manajemen dan sponsor yang kemudian

menstandardisasikan metode-metode Six Sigma yang telah memberikan hasil-hasil

optimum tersebut.

18

Page 19: Draft Kerja Praktek

Standardisasi dimaksudkan untuk mencegah masalah yang sama atau

praktek-praktek lama terulang kembali. Terdapat dua alasan melakukan

standardisasi, yaitu (Gaspersz, 2002):

1. Apabila tindakan peningkatan kualitas atau solusi masalah itu tidak

distandardisasikan, terdapat kemungkinan bahwa setelah periode waktu

tertentu, manajemen dan karyawan akan kembali menggunakan cara-cara

kerja lama sehingga memunculkan kembali masalah yang sudah pernah

diselesaikan itu.

2. Apabila tindakan peningkatan kualitas atau solusi masalah itu tidak

distandardisasikan dan didokumentasikan, maka terdapat kemungkinan

bahwa setelah periode waktu tertentu apabila terjadi pergantian manajemen

dan karyawan, orang-orang baru akan akan menggunakan cara kerja yang

memunculkan kembali masalah yang sudah pernah diselesaikan oleh

manajemen dan karyawan terdahulu itu.

Pendekatan pengendalian proses Six Sigma dari Motorola (Motorola

Company’s Six Sigma Process Control) mengijinkan adanya pergeseran nilai rata –

rata (mean) dari proses industri sebesar ± 1,5σ, sehingga akan menghasilkan tingkat

ketidaksesuaian sebesar 3,4 per sejuta kesempatan (3,4 DPMO = Defect Per Million

Opportunities), artinya setiap satu juta kesempatan akan terdapat kemungkinan 3,4

ketidaksesuaian (Anang, 2006). Konsep ini berbeda dengan “True 6 – Sigma

Process” yang secara teori statistika dihitung berdasarkan distribusi normal terpusat

(normal distribution centered) akan menghasilkan tingkat ketidaksesuaian sebesar

0,002 DPMO.

Tabel 3.1 Perbedaan Konsep True 6-Sigma Process dan Motorola’s 6-Sigma

Process

True 6-Sigma Process(Normal

Distribustion Centered)

Spec Limit Percent DPMO

± 1 SIGMA 68,27 317300

± 2 SIGMA 95,45 45500

19

Page 20: Draft Kerja Praktek

± 3 SIGMA 99,73 2700

± 4 SIGMA 99,9937 63

± 5 SIGMA 99,999943 0,57

± 6 SIGMA 99,999999 0,002

Motorola Company's 6-Sigma

Process(Normal Distribution Shifted

1,5σ

Spec Limit Percent DPMO

± 1 SIGMA 30,23 697700

Spec Limit Percent DPMO

± 2 SIGMA 69,13 308700

± 3 SIGMA 93,32 66810

± 4 SIGMA 99,379 6210

± 5 SIGMA 99,9767 233

± 6 SIGMA 99,99966 3,4

(Sumber : Anang, 2006)

Tabel 3.2 Manfaat dari Pencapaian Beberapa Tingkat Sigma

COPQ (cost of poor quality)

Tingkat Pencapaian

Sigma

DPMO COPQ

(cost of poor quality)

1-sigma

2-sigma

3-sigma

4-sigma

5-sigma

6-sigma

691.462 (sangat tidak kompetitif)

308.538 (rata-rata industri Indonesia)

66.807

6.210 (rata-rata industri USA)

233

3,4 (industri kelas dunia)

Tidak dapat dihitung

Tidak dapat dihitung

25-40% dari penjualan

15-25% dari penjualan

5-15% dari penjualan

< 1% dari penjualan

Setiap peningkatan atau pergeseran 1-sigma akan memberikan peningkatan

keuntungan sekitar 10% dari penjualan.

(Sumber: Gaspersz, 2002)

20