Download - Implantasii Ket
Implantasi embrio dan invasi trofoblas merupakan kunci dari keberhasilan kehamilan.
Kehamilan ektopik adalah adanya implantasi yang terjadi diluar kavum uterus. Perkembangan
dari kehamilan ektopik merupakan terbesar morbiditas dan mortalitas ibu pada trisemester 1.
Normalnya embrio akan berimplantasi pada endometrium pada daerah fundus uterus. Pada saat
berimplantasi, daerah endometrium akan mengekspresikan faktor molekuler yang akan mengatur
hubungan feto-maternal dan inisiasi sel-sel stroma endometrium. Faktor mmolekuler yang
berperan disini adalah sitokin dan faktor pertumbuhan
Pada kasus kehamilan ektopik, embrio berimplanstasi selain di endometrium dan sering kali
berimplantasi pada ampula tuba fallopi. Presentasi kejadian kehamilan ektopik pada negara maju
yang disertai dengan pendarahan pada trisemester 1 yaitu 1-2% dari seluruh kehamilan (Refaat,
2014).
Etiologi dari kehamilan ektopik disebabkan oleh kegagalan dari transport tuba, serta diduga
merupakan kegagalan dari interaksi antara endometrium, tuba fallopi dan embrio (Refaat, 2014).
Pemeriksaan penunjang untuk kehamilan ektopik yaitu pemeriksaan hCG kuantitatif yang
dikombinasi dengan ultrasound transvaginal. Selain itu dapat pula dinilai dari kadar aktivin dan
aktivin binding protein, follistatin yang dihasilkan oleh saluran genitalia wanita. Aktivin
merupakan faktor pertumbuhan β yang didapat diisolasi oleh cairan folikuler yang dihasilkan
oleh seluruh organ sistem reproduksi wanita yang berfungsi seperti faktor parakrin dan autokrin
sebagai regulasi terhadap fungsi reproduksi (Refaat, 2014).
Tindakan laparoskopi baru dilakukan apabila status hemodinamik pasien stabil, serum hCG
≤3000 IU/L, janin <4 cm dan tidak ditemukan adanya aktivitas jantung janin (Refaat, 2014).
Aktivin bekerja dengan cara menempel pada kompleks reseptor transmembran serin dan reseptor
threonine kinase. Aktivin akan mengordinasi sintesis dari follistatin yang merupakan regulator
bioaktivitas dari aktivin. Aktivin merupakan faktor potensial untuk interaksi maternal-embrio
yang nantinya akan meregulasi proliferasi sel, differensiasi sel dan apoptosis, serta berperan
dalam remodeling jaringan, embriogenesis dan organogenesis. Aktivin A memiliki efek relaksasi
pada tuba fallopi dengan cara dapat menginduksi Nitrit oxide yang akan menginhibisi peristaltic
tuba serta menurunkan ekspresi oksitosin dan Tromboxan A2 yang menginduksi akumulasi dari
Ca2+ intraseluler (Refaat, 2014).
Aktivin memiliki 2 reseptor, yaitu reseptor tipe I dan tipe II, serta 2 subunit, yaitu subunit βA
dan βB yang terlokalisisasi pada tuba fallopi, endometrium dan placenta. reseptor tipe I pada
subunit βA berperan dalam perkembangan embrio dan aktivitas dari subunit βA dan βB tinggi
pada endometrium wanita yang tidak hamil. Pada endometrium, aktivin A terlokalisasi pada
epitel endometrium dan kadarnya meningkat pada saat fase sekretori. Aktivin A ini nantinya
akan menyebabkan pencucian endometrium yang akan berkolerasi dengan siklus menstruasi dan
penipisan endometrium. Pada saat hamil, ormalnya kadar serum aktivin A menurun yang
merupakan suatu indikasi adanya invasi dari trofoblast (Refaat, 2014).
Beberapa penelitian terkait dengan ekspresi aktivin menyebutkan bahwa kehamilan ektopik
terkait dengan reseptor tipe II aktivin dan follistatin. Pada tuba fallopi terjadi peningkatan dari
subunit βA, reseptor tipe II A dan II B, serta follistatin. Pada penelitian tersebut juga disebutkan
bahwa terjadi peningkatan ekspresi dari molekul-molekul tersebut pada pasien yang memiliki
antibody terhadap Chlamydia trachomatis. Hal tersebut membuktikan bahwa aktivitas aktrivin
dan follistatin pada epithelium tuba memiliki peran penting pada pathogenesis kehamilan ektopik
namun tidak dapat menjelaskan tentang abnormalitas dari letak implantasi (Refaat, 2014).
Level serum dari aktivin A dan follistatin meningkat signifikan pada saat hamil yang
mengindikasikan adanya hubungan fetoplacenta. Level serum dari aktivin A menurun pada
nonviable trophoblast, sehingga kadar aktivin A dapat dijadikan marker untuk diagnosis
kehamilan ektopik, meskipun hingga saat ini masih diperdebatkan (Refaat, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Florio (2007) dalam Refaat (2014) didapatkan hasil serum aktivin
A memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Sedangkan penelitian yang dilakukan
oleh Daponte (2013) dalam Refaat (2014) yang mengukur sensitivitas dan spesifisitas dari
follistatin, didapatkan hasil serum follistatin dan rasio aktivin A/follistatin memiliki performans
yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan serum aktivin A dalam menegakkan diagnosis
kehamilan ektopik. Penelitian lain menyebutkan bahwa serum aktivin A tidak memiliki
sensitivitas maupun spesifisitas dalam menegakkan diagnosis kehamilan ektopik bila
dibandingkan dengan β hCG.