BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) adalah salah satu penyakit yang telah lama dikenal dan
sampai saat ini masih menjadi penyebab utama kematian di dunia. WHO
menjadikan TB sebagai kasus emergensi dunia pada tahun 1993. Tuberkulosis
paru (TB paru) merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium Tuberkulosis. Kuman Tuberkulosis dapat masuk ke dalam tubuh
manusia melalui udara pernafasan ke dalam paru-paru, kemudian menyebar dari
paru ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran
nafas (bronchus), atau langsung ke persendian dan tulang (osteomielitis TB ) ,
kulit ( skrofuloderma ), ginjal, otak ( meningitis TB ), usus dan jaringan
sekitarnya, mata (konjungtivitis fliktenularis) ,telinga,mulut,gigi, dan lainnya.
Epidemiologi kasus TB di dunia
Pada tahun 2011 estimasi insiden kasus TB dunia adalah 8.7 juta ( antara 8.3
juta –9.0 juta ) . Hampir sama dengan 125 kasus per 100.000 populasi. Dari 8.7
juta insiden, estimasi 0,5 juta adalah anak – anak. Dari 8.7 juta insiden, estimasi
2,9 juta adalah wanita ( antara 2,6-3,6 juta ). Persentase kejadian kasus TB dunia
tahun 2011 : Asia (59%) , Afrika (26 %) , Timur Tengah (7.7) , Eropa (4.3%) ,
dan Amerika (3%).
Berdasarkan Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2007 menyatakan
jumlah penderita Tuberkulosis di Indonesia sekitar 528 ribu atau berada di posisi
tiga di dunia setelah India dan Cina. Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat
peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar
429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun
2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (sumber WHO
Global Tuberculosis Control 2010).
Negara dengan insiden TB terbanyak di dunia pada tahun 2011 adalah India (2.0
juta –2.5 juta ), China (0.9 juta –1.1 juta ), Afrika Selatan (0.4 juta –0.6 juta ),
Indonesia (0.4 juta –0.5 juta ) and Pakistan (0.3 juta –0.5 juta ).
Gambar ??. Peta Tuberculosis Dunia Tahun 2011
Berdasarkan data di atas maka Indonesia merupakan salah satu negara dengan
estimasi kasus baru TB sekitar 150-299 kasus per 100.000 populasi penduduk
pada tahun 2011.
Tabel ??
Angka Prevalensi, Insidensi dan Kematian, Indonesia, 1990 dan 2009
Berdasarkan tabel ?? tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2009 prevalensi
semua tipe TB sebesar 244 per 100.000 penduduk atau sekitar 565.614 kasus
semua tipe TB, insidensi semua tipe TB sebesar 228 per 100.000 penduduk atau
sekitar 528.063 kasus semua tipe TB, Insidensi kasus baru TB BTA Positif
sebesar 102 per 100.000 penduduk atau sekitar 236.029 kasus baru TB Paru BTA
Positif sedangkan kematian TB 39 per 100.000 penduduk atau 250 orang per hari.
Data TB Indonesia 2011 ada pada lampiran.
Angka penjaringan suspek
Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya di antara 100.000 penduduk pada
suatu wilayah tertentu dalam satu tahun. Angka penjaringan suspek ini digunakan
untuk mengetahui upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan
memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan).
Tabel
Keterangan :
( ) : terjadi penurunan dibandingkan dengan tahun 2009 triwulan 1
Berdasarkan tabel angka penjaringan suspek per provinsi tahun 2008-2010
(triwulan 1) tersebut menggambarkan bahwa terdapat 14 provinsi yang
mengalami peningkatan angka penjaringan suspek, yaitu Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam, Sumatera Utara, Jambi, Bangka Belitung, Bengkulu, Banten, Jawa
Barat, Kalimantan Selatan, Sulawresi Utara, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Nusa
Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat. Peningkatan angka
penjaringan suspek mempunyai range 8-123 per 100.000 penduduk. Provinsi
dengan peningkatan angka penjaringan suspek terendah adalah Provinsi Maluku
(123 per 100.000 penduduk) dan tertinggi adalah Provinsi Sumatera Utara (8 per
100.000 penduduk).
Proporsi pasien TB Paru BTA positif diantara suspek yang diperiksa
Adalah prosentase pasien BTA positif yang ditemukan di antara seluruh suspek
yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan
sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek. Proporsi
pasien TB Paru BTA positif di antara suspek pada tahun 2010 ini masih dalam
range target yang diharapkan (target 5 -15%). Bila angka ini terlalu kecil (< 5%)
kemungkinan disebabkan antara lain; penjaringan suspek terlalu longgar, banyak
orang yang tidak memenuhi kriteria suspek, atau ada masalah dalam pemeriksaan
laboratorium (negatif palsu). Sedangkan bila angka ini terlalu besar (> 15%)
kemungkinan disebabkan antara lain ; penjaringan terlalu ketat atau ada masalah
dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu).
Berdasarkan grafik proporsi pasien TB Paru BTA positif diantara suspek yang
diperiksa per provinsi menunjukkan terdapat 29 provinsi dengan angka sebesar 5-
15%, (terendah Provinsi Bengkulu sebesar 7,8% dan tertinggi Provinsi Papua
sebesar 14,6%), sedangkan provinsi dengan angka > 15% sebanyak 3 provinsi
yaitu Maluku Utara, Kepulauan Riau dan DKI Jakarta. Sedangkan Provinsi
Sulawesi Barat data suspek tidak terlaporkan
Grafik 1
Proporsi pasien TB Paru BTA positif diantara seluruh pasien TB Paru
Adalah prosentase pasien Tuberkulosis paru BTA positif diantara semua pasien
Tuberkulosis paru tercatat. Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan
pasien Tuberkulosis yang menular diantara seluruh pasien Tuberkulosis paru yang
diobati. Angka ini sebaiknya jangan kurang dari 65%. Bila angka ini jauh lebih
rendah, itu berarti mutu diagnosis rendah, dan kurang memberikan prioritas untuk
menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif).
Berdasarkan grafik tersebut di atas proporsi pasien TB Paru BTA Positif diantara
seluruh pasien TB per provinsi tahun 2009 menunjukkan terdapat 18 provinsi
dengan angka sebesar > 65% yaitu Provinsi Sulawesi Tenggara ,Sulawesi Utara,
Gorontalo, Bengkulu, Jambi, Sumatera Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan, Bangka Belitung, Nagroe Aceh Darussalam, Kalimantan Barat,
Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Riau, Maluku Utara, Kalimantan Selatan dan
Maluku.
Grafik 2
Proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB
Adalah prosentase pasien TB anak (<15 tahun) diantara seluruh pasien TB
tercatat. Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan
dalam mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 15%. Bila angka ini terlalu
besar dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis.
Grafik 3
Berdasarkan grafik proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB per
provinsi tersebut diatas, proporsi pasien TB anak diantara seluruh pasien TB per
provinsi pada tahun 2010 triwulan 1 yang berkisar pada angka 15% adalah
Provinsi DKI Jakarta. Untuk provinsi dengan angka < 15% sebanyak 30 provinsi
dengan angka terendah pada Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 1,1% dan tertinggi
pada Provinsi Jawa Tengah sebesar 13,5%. dan provinsi dengan angka > 15%
sebanyak 2 provinsi yaitu Provinsi Papua dan Jawa Barat.
TB dan HIV/ AIDS
Munculnya pandemic HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB.
Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan resiko kejadian TB secara signifikan.
Pada saat yang sama kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB
(multidrug resistence = MDR) semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak
berhasil disembuhkan,keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan
terjadinya epidemic yang sulit ditangani. (pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis ,depkes.Jakarta 2006).
Agar tujuan penanggulangan TB dapat tercapai ditetapkan program jangka
panjang yaitu dengan menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit TB
dengan cara memutuskan mata rantai penularan, sehingga penyakit TB tidak lagi
menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Sedangkan tujuan
penyembuhan jangka pendek adalah dengan menyembuhkan minimal 85%
penderita TB paru BTA +,tercapainya cakupan 70% dari semua penderita TB
yang diperkirakan dan mencegah terjadinya resistensi obat TB di masyarakat.
Oleh karena itu Departemen Kesehatan membuat suatu pedoman Nasional
Penanggulan TB paru yang didalamnya tertuang kebijakan WHO yaitu dengan
stategi yang direkomendasikan Directly Observed Treatment Shourtcours (DOTS)
yang meliputi atas 5 komponen yaitu:
1)Komitmen politis dari para pengambil keputusan,termasuk dukungan dan :
2)diagnosis TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis :
3)pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO) :
4)Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin:
5)Pencatatan pelapoan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi
program penanggulangan TB.
TB di Puskesmas Sekupang
Di wilayah kerja Sekupang yang berpenduduk 126.008 jiwa, pada tahun 2011.
Ditemukan 25 kasus BTA positif dan 19 kasus BTA negative rontgen positif.
Angka tersebut masih kurang dari target yang ditetapkan oleh dinas kesehatan
kota Batam. (program P2M TB paru,pkm sekupang,2011).
DATA PENDERITA TB DI PUSKESMAS SEKUPANG
Tabel ??
JUMLAH PENDERITA TB BTA POSITIF TAHUN 2006 – 2012
DI PUSKESMAS SEKUPANG
JUMLAH PENDERITA TB BTA POSITIF
NO KELURAHAN 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
1 Sei Harapan 6 2 2 3 8 3 4
2 Tg Riau 3 1 2 4 5 2 8
3 Tg Pinggir 0 1 4 4 0 1 0
4 Patam Lestari 1 0 6 2 6 4 5
5 Tiban Indah 2 1 2 3 2 2 2
6 Tiban Lama 3 3 7 3 5 7 9
7 Tiban Baru 2 1 1 3 3 4 2
8 Luar Wilayah
(kecamatan Batuajiaji)
5 6 0 0 0 0 0
JUMLAH 22 15 24 22 29 23 30
Tabel 4.
JUMLAH PENDERITA TB PARU BTA NEGATIF RONTGEN POSITIF
TAHUN 2006 – 2012 DI PUSKESMAS SEKUPANG
JUMLAH PENDERITA TB BTA NEGATIF RONTGEN
POSITIF
NO KELURAHAN 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
1 Sei Harapan 4 4 7 6 7 2 9
2 Tg Riau 0 5 4 5 5 4 5
3 Tg Pinggir 0 2 3 0 1 0 0
4 Patam Lestari 2 3 3 4 6 4 6
5 Tiban Indah 2 0 5 0 2 2 2
6 Tiban Lama 4 0 6 6 5 6 2
7 Tiban Baru 1 5 9 7 5 1 4
8 Luar
Wilayah(kec
batu aji)
9 1 0 0 0 0 0
JUMLAH 22 20 37 28 31 19 28
Tabel 5.
KASUS TB BTA +, KONVERSI, KESEMBUHAN,PENGOBATAN
LENGKAP PUSKESMAS SEKUPANG TAHUN 2006 – 2012
Keterangan
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
1 BTA positif 28 15 24 22 29 23 30
2 Konversi 15 11 18 19 27 21 18
3 Sembuh 11 10 14 19 27 21 9
4 Pengobatan Lengkap 1 21 38 35 30 21 15
Riskesda (2008:105) prevalensi TB paru cenderung meningkat sesuai
bertambahnya usia dan prevalensi tertinggi pada usia lebih dari 65 tahun.
Prevalensi TB Paru 20% lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan dan tiga
kali lebih di pedesaan dibandingkan perkotaan dan empat kali lebih tinggi pada
pendidikan rendah dibandingkan di pendidikan tinggi. Dalam Gerdunas-TBC,
(2002c: 3)
Penularan TBC akan lebih mudah terjadi jika terdapat dalam situasi hunian padat
(overcrowding) , sosial ekonomi yang tidak menguntungkan (social deprivation),
lingkungan pekerjaan dan perilaku hidup tidak sehat dalam masyarakat. Depkes
RI, (2008: 5). Yang beresiko tertular TBC Paru diantaranya orang-orang yang
kontak fisik secara dekat dengan penderita, orang-orang tua, anak-anak, orang-
orang bertaraf hidup rendah dan memiliki akses rendah terhadap fasilitas
kesehatan serta orang-orang yang sedang sakit dan turun daya tahan kekebalan
tubuhnya. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita
TB adalah daya tahan tubuh yang rendah diantaranya karena gizi buruk atau
HIV/AIDS. Resiko penularan setiap tahun di Indonesia dianggap cukup tinggi dan
bervariasi ( Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI ) antara 1-3% dan 50
persennya dengan BTA positif.
Adanya kontak dengan BTA positif dapat menjadi sumber penularan yang
berbahaya karena berdasarkan penelitian akan menularkan sekitar 65% orang di
sekitarnya (Depkes IDAI, 2008: 12). Kasus seperti ini sangat infeksius dan dapat
menularkan penyakit melalui batuk, bersin dan percakapan, juga peralatan yang
terkontaminasi kuman TBC. Semakin sering dan lama kontak, makin besar pula
kemungkinan terjadi penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang
disebut kontak erat, adalah orangtuanya, orang serumah atau orang yang sering
berkunjung.
Bakteri ini sangat lambat pertumbuhannya, mereka memecah diri setiap 16-20
jam. Matinya juga sangat lambat, perlu waktu sedikitnya 6 bulan bagi obat-obatan
yang ada untuk membunuh seluruh bakteri. Dengan pengobatan TBC yang lama
dan perlu adanya ketelatenan dari penderita untuk tetap teratur mengkonsumsi
obat yang diberikan (Obat Anti Tuberkulosis/OAT). Kuman TBC hanya dapat
dibasmi dengan obat-obatan (program DOTS yang memerlukan Pengawas Minum
Obat/PMO untuk mengawasi/mengingatkan penderita minum obat) yang disertai
makan makanan bergizi serta pola hidup sehat. Sehingga selama terapi perlu
adanya pemahaman bahwa masih ada kemungkinan terjadi penularan pada orang
disekitarnya/khususnya keluarga jika tidak dilakukan tindakan pencegahan
penularannya baik oleh penderita maupun orang disekitarnya khususnya keluarga
untuk mendukung terlaksananya program terapi. Depkes (2008: 3)
Sekitar 75% Pasien TB adalah kelompok usia paling produktif secara ekonomis
(15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata
waktu kerjanya 3-4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan
tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika dia meninggal akibat TB, maka
akan kehilangan pendapatan sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis,
TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan
dikucilkan oleh masyarakat. Depkes (2008: v) Kerugian yang diakibatkan sangat
besar, bukan hanya aspek kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial maupun
ekonomi. Dengan demikian TB merupakan ancaman terhadap cita-cita
pembangunan meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Karenanya
perang terhadap TB berarti pula perang terhadap kemiskinan, ketidakproduktifan
dan kelemahan akibat TB.
I.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan Latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini adalah perlunya diketahui, hubungan pengetahuan,
lingkungan fisik rumah dan pelayanan kesehatan dengan penularan penyakit TB
Paru di wilayah kerja Puskesmas Sekupang Kelurahan Tanjung Riau tahun 2012 –
2013.
Dari rumusan masalah diatas timbul pernyataan,” Apakah ada hubungan
pengetahuan, lingkungan fisik rumah (kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan
rumah), dan pelayanan kesehatan (adanya penyuluhan, sikap pelayanan kesehatan,
lokasi sarana kesehatan) dengan penularan penyakit TB Paru di wilayah kerja
Puskesmas Sekupang Kelurahan Tanjung Riau tahun 2012 – 2013 ? ”.
I.3 Tujuan Penelitian
I.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran
pengaruh pengetahuan, lingkungan fisik rumah (kepadatan hunian, ventilasi,
pencahayaan rumah), dan pelayanan kesehatan (adanya penyuluhan, sikap
pelayanan kesehatan, lokasi sarana kesehatan) dengan penularan penyakit TB
Paru di wilayah kerja Puskesmas Sekupang Kelurahan Tanjung Riau tahun 2012 –
2013
I.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan masyarakat Kelurahan
Tanjung Riau terhadap penularan penyakit TB Paru di wilayah kerja Puskesmas
Sekupang Kelurahan Tanjung Riau tahun 2012 – 2013
b. Untuk mengetahui hubungan antara kepadatan hunian masyarakat
Kelurahan Tanjung Riau dengan penularan TB Paru di wilayah kerja Puskesmas
Sekupang Kelurahan Tanjung Riau tahun 2012 – 2013
c. Untuk mengetahui hubungan antara ventilasi rumah masyarakat
Kelurahan Tanjung Riau dengan penularan TB Paru di wilayah kerja Puskesmas
Sekupang Kelurahan Tanjung Riau tahun 2012 – 2013
d. Untuk mengetahui hubungan antara pencahayaan rumah masyarakat
Kelurahan Tanjung Riau dengan penularan TB Paru di wilayah kerja Puskesmas
Sekupang Kelurahan Tanjung Riau tahun 2012 – 2013
e. Untuk mengetahui hubungan antara adanya penyuluhan kesehatan
kepada masyarakat di Kelurahan Tanjung Riau dengan penularan TB Paru di
wilayah kerja Puskesmas Sekupang Kelurahan Tanjung Riau tahun 2012 – 2013
f. Untuk mengetahui hubungan antara sikap pelayanan kesehatan terhadap
masyarakat Kelurahan Tanjung Riau dengan penularan TB Paru di wilayah kerja
Puskesmas Sekupang Kelurahan Tanjung Riau tahun 2012 – 2013
g. Untuk mengetahui hubungan antara lokasi sarana kesehatan
(Puskesmas Sekupang) dengan penularan TB Paru di wilayah kerja Puskesmas
Sekupang Kelurahan Tanjung Riau tahun 2012 – 2013
I.4. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Bagi Pengelolaan Program TB Paru (Dinkes.Kota Batam)
Merupakan masukan dan sumbangan pemikiran mengenai pola pengelolaan
penyakit TB Paru yang berhubungan dengan pengetahuan, lingkungan fisik rumah
(kepadatan hunian, ventilasi, pencahayaan rumah), dan pelayanan kesehatan
(penyuluhan, sikap pelayanan kesehatan, lokasi sarana kesehatan) yang dilakukan
petugas pengelola program P2M (Penanggulangan Penyakit Menular) Kota
Batam, sehingga digunakan sebagai pedoman untuk menetapkan program
kegiatan yang lebih strategis dan operasional dalam rangka pencegahan penularan
penyakit TB Paru.
2. Manfaat Bagi Pengelola P2M Puskesmas Sekupang
Untuk sebagai masukan dan sumbangan pemikiran TB Paru dengan
memperhatikan kondisi fisik rumah seperti luas ventilasi, pencahayaan dan
kepadatan hunian serta pelayanan kesehatan (penyuluhan, sikap pelayanan
kesehatan, lokasi sarana kesehatan) sehingga tercapai hasil yang maksimal dalam
pemberantasan penyakit menular.
3. Manfaat Bagi Peneliti
a. Untuk menambah pengetahuan dan lebih memahami pengelolaan
pemberantasan penyakit menular yang dilakukan oleh petugas Puskesmas dalam
menurunkan angka kejadian TB Paru di Wilayah kerja Puskesmas Sekupang Kota
Batam khususnya Kelurahan Tanjung Riau.
b. Menambah pengalaman dalam melakukan penelitian khususnya tentang
penyakit TB Paru yang dihubungkan dengan sanitasi lingkungan fisik rumah
seperti luas ventilasi, pencahayaan , kepadatan hunian serta pelayanan kesehatan
(penyuluhan, sikap pelayanan kesehatan, lokasi sarana kesehatan)
4. .Manfaat Bagi Masyarakat
Menambah informasi dan pengetahuan bagi masyarakat tentang penularan
penyakit TB Paru dan pencegahannya agar tidak terjadi penularan secara meluas
di masyarakat.
5. Manfaat Bagi Pemerintah
Memberikan masukan bagi pemerintah khususnya Puskesmas Sekupang
dalam melakukan upaya promotif, preventif dan kuratif kepada penderita TB Paru
secara efisien.
6. Manfaat Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai masukan data dan sumbangan pemikiran perkembangan
pengetahuan untuk peneliti selanjutnya.
I.5. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini selama 2 bulan yaitu pada bulan Maret s/d April
2013, bertempat di wilayah Tanjung Riau bagian Puskesmas Sekupang Kota
Batam. Mengingat keterbatasan yang ada pada peneliti mengakibatkan tidak
semua faktor yang mempengaruhi penularan TB Paru yang diteliti, Penulis hanya
memfokuskan kepada pengetahuan, lingkungan fisik rumah, dan pelayanan
kesehatan sebagai berikut :
Pengetahuan
Kepadatan hunian
Luas ventilasi
Pencahayaan rumah
Penyuluhan penyakit
Sikap pelayanan kesehatan
Lokasi sarana kesehatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 TUBERKULOSIS
II.1.1 Pengertian
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium Tuberculosa yang bersifat tahan asam, (Depkes, 2011 : 1).
II.1.2 Etiologi
Penyebab terjadinya penyakit TB Paru adalah basil tuberkulosis yang
termasuk dalam genus Mycobacterium, suatu anggota dari famili
Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium
tuberculosa menyebabkan sejumlah penyakit berat pada manusia dan penyebab
terjadinya infeksi tersering. Masih terdapat Mycobacterium patogen lainnya,
misalnya Mycobakterium leprae, Mycobakterium paratuberculosis dan
Mycobacterium yang dianggap sebagai Mycobakterium non tuberculosa atau tidak
dapat dikelasifikasikan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian TB Paru, (Dipkes RI, 2007: 7),
diantaranya adalah:
b. Faktor ekonomi, keadaan sosial yang rendah pada umumnya berkaitan erat
dengan berbagai masalah kesahatan karena ketidakmampuan dalam
mengatasi masalah kesehatan. Masalah kemiskinan akan sangat
mengurangi kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan gizi,
pemukiman dan lingkungan sehat, jelas semua ini akan mudah
menumbuhkan penyakit TB Paru.
c. Status gizi, ini merupakan faktor yang penting dalam timbulnya penyakit
TB Paru. Berdasarkan hasil penelitian kejadian TB Paru menunjukkan
bahwa penyakit yang bergizi normal ditemukan kasus lebih kecil daripada
status gizi kurang dan buruk.
d. Status pendidikan, dari latar belakang pendidikan mempengaruhi
penyebaran penyakit menular khususnya TB Paru. Berdasarkan hasil
penelitian mengatakan semakin rendah latar belakang pendidikan
kencenderungan terjadi kasus TB Paru, hal ini faktor terpenting dari
kejadian TB Paru.
Sedangkan menurut Departemen RI, (2008 : 6) TB Paru dapat dipengaruhi oleh:
a. Status sosial ekonomi
b. Kepadatan penduduk
c. Status gizi
d. Pendidikan
e. Pengetahuan
f. Jarak tempuh dengan pusat pelayanan kesehatan
g. Keteraturan berobat
II.1.3 Cara Penularan
Sumber penularan adalah pasien Tuberculosis Basil tahan asam TB BTA
positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman keudara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan 3000
percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana perciakan
dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah
percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan
dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya
penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
oleh parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut. Faktor yang memungkainkan seseorang terpajan kuman
Tuberculosis ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya
memghirup udara tersebut (Depkes RI, 2011 : 1).
II.1.4 Resiko Penularan
Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB Paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan resiko penularan
lebih besar dari pasien dengan TB Paru dengan BTA negatif. Resiko penularan
setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI)
yaitu proporsi penduduk yang beresiko terinfeksi TB Paru selama satu tahun.
ARTI sebesar 1 % berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi
setiap tahun. Infeksi TB Paru dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberculin
negatif menjadi positif (Depkes RI, 2011: 1).
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Dengan
ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap
tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif. Faktor yang
mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan
tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler
(celluler immunity) dan merupakan faktor resiko paling kuat bagi yang terinfeksi
TB untuk menjadi sakit TB (TB aktif). Bila jumlah orang terinfeksi HIV
meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan
TB di masyarakat akan meningkat pula.
Faktor resiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada gambar berikut:
II.1.5 Gejala(Depkes RI, 2008 :13)
a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling
sering dikeluhkan. Biasanya batuk ringan sehingga dianggap batuk biasa
atau akibat rokok. Proses yang paling ringan ini menyebabkan sekret akan
terkumpul pada waktu penderita tidur dan dikeluarkan saat penderita
bangun pagi hari.
b. Dahak
Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit,
kemudian berubah menjadi purulen/kuning atau kuning hijau sampai
purulen dan kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi
perlunakan.
c. Batuk Darah
Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak-
bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah
sangat banyak.
d. Nyeri Dada
Nyeri dada pada tuberculosis paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan.
Bila nyeri bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis luas (nyeri
dikeluhkan di daerah aksila, diujung skapula atau ditempat-tempat lain).
e. Wheezing
Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang
disebabkan oleh sekret, bronkostenosis, peradangan, jaringan granula,
ulserasi dan lain-lain (pada TB Paru lanjut).
f. Dispneu
Dipneu merupakan late symptom dari proses lanjut TB Paru akibat
adanya retriksi dan obstruksi saluran pernapasan serta loss of vascular
bed/thrombosis yang dapat mengakibatkan gangguan difusi, hipertensi
pulmonal dan korpulmonal. (Depkes RI, 2008 :13)
II.1.6 Tatalaksana
a. Penemuan kasus TB
Penemuan kasus bertujuan untuk mendapatkan kasus TB melalui
serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap suspek TB,
pemeriksaan fisik dan laboratories, menetukan diagnosis dan
menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB, sehingga dapat
dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya
kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan
suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.
Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar
akan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga
kesehatan yang kompeten yang mampu melakukan pemeriksaan
terhadap gejala dan keluahan tersebut.
Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan
tatalaksana pasien TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular,
sacara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat
TB, penularan TB dimasyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan
pencegahan penularan TB yang paling efektis di masyarakat.
Strategi Penemuan
Penemuan pasien TB, secara umum dilakukan secara pasif
dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di
fasilitas pelayanan kesehatan, didukung dengan penyuluhan
secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat,
untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.
Pelibatan semua layanan dimaksudkan untuk mempercepat
penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan. Penemuan
secara aktif pada masyarakat umum, dinilai tidak kost efektif.
Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap
a. Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB
seperti pada pasien dengan HIV (orang dengan HIV/AIDS)
b. Kelompok yang rentan tertular TB seperti dirumah tahanan,
mereka yang hidup didaerah yang kumuh, serta keluarga atau
kontak pasien TB, terutama mereka yang dengan TB BTA
positif
c. Pemeriksaan terhadap anak dibawah lima tahun pada
keluarga TB harus dilakukan untuk menentukan tindak lanjut
apakah diperlukan pengobatan TB atau pengobatan
pencegahan.
d. Kontak dengan pasien TB resisten obat
Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi kasus dengan
gejala dan tanda yang sama dengan gejala TB, seperti
pendekatan praktis menuju kesehatan paru (PAL = practical
approach to lung health) manajemen terpadu balita sakit (MTBS)
akan memebantu meningkatkan penemuan kasus TB di layanan
kesehatan, mengurangi terjadinya “misopportunity” kasus TB
dan sekaligus dapat meningktkan mutu layanan.
Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang
memiliki gejala:
o Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak
selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti
dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise,
berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan.
o Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula
pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis,
bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di indonesia saat ini masih
tinggi, maka setiap orang yang datang ke Fasyankes
dengan gejalatersebut diatas, dianggap sebagai
seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu
dialakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung.
o Suspek TB MDR adalah semua orang yang
mempunyai gejala TB dengan salah satu atau lebih
kreteria suspek dibawah ini:
1. Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2
(kasus kronik)
2. Pasien TB tidak konversi pada pengobatan
ketegori 2
3. Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di
fasyenkes non DOTS.
4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1
5. Pasien TB tidak konversi setelah pemberian
sisipan
6. Pasien TB kambuh
7. Pasien TB yang kembali berobat setelah
lalai/default
8. Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien
TB MDR
9. ODHA dengan gejala TB-HIV
Pmeriksaan Dahak
a. Pemeriksaan dahak mikroskopis
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, meneilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegak diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 3 speismen dahak yang dikumpulkan dalam 2 hari
kunjungan yang berurutan berupa sewaktu-pagi-sewaktu (SPS).
o S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang
berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa
pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
o P (pagi): dahak dikumpulkan dirumah pada pagi hari kedua,
segera setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan
sendiri kepada petugas di Fasyenkes.
o S (sewaktu):dahak dikumpulkan di Fasyenkes pada hari kedua,
saat menyerahkan dahak pagi.
Pengambilan 3 spesimen dahak masih diutamakan dibanding dengan 2
spesimen dahak mengingat masih belum optimalnya fungsi sistem dan
hasil jaminan mutu ekternal pemeriksaan laboratorium.
b. Pemeriksaan biakan
Peran biakan dan identifikasi M. Tuberkulosis pada pengendalian TB
adalah untuk menegakkan diagnosis TB pada pasien tertentu, yaitu:
- Pasien TB ektra paru
- Pasien TB anak
- Pasien TB BTA negatif
Pemeriksaan tersebut dilakukan jika keadaan memungkinkan dan
tersedia laboratoriumyang telah memenuhi standar yang ditetapkan.
c. Uji kepekaan obat TB
Uji kepekaan obat TB bertujuan untuk resistensi M. Tuberkulosis
terhadap OAT. Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan
dilaboratorium yang tersertifikasi dan lulus pemantapan mutu atau
Quality Assurance (QA). Pemeriksaan tersebut ditujukan untuk
diagnosis pasien TB memenuhi kreteria suspek TB-MDR.
II.1.7 Diagnosis
a. Diagnosis TB Paru
1. Semua suspek TB Paru diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari,
yaitu sewaktu pagi sewaktu (SPS).
2. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB Paru. Pada program TB Paru nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikorskopik merupakan
diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto thoraks, biakan dan uji
kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang
sesuai dengan indikasinya.
3. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB Paru hanya berdasarkan
pemeririksaan foto thoraks saja. Foto thoraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB Paru, sehingga sering terjadi over
diagnosis.
b. Diagnosis TB Ektra Paru
1. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada miningitis TB, nyeri dada pada TB pleural (pleuritis),
pembesaran kelenjar limfe superfisial pada limfadinitis TB dan
deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-
lainnya.
2. Dignosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan
atau histopalologis yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena.
c. Diagnosis TB pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA)
Pada ADHA, diagnosis TB Paru dan TB Ektra paru ditegakkan sebagai
berikut:
1. TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak
positif.
2. TB Paru BTA negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan
gambaran klinis dan radiologis mendukung TB atau BTA negatif
dengan hasil kultur TB positif.
3. TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriologis dan atau histopatologis yang diambil dari jaringan tubuh
yang terkena.
Keterangan:
Pada keadaan tertentu dengan pertimbangan medis spesialistik, alur diagnostik ini dapat digunakan secara fleksibel: pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan bersama dengan foto thoraks dan pemeriksaan lain yang diperlukan.
Suspek TB Paru: seseorang dengan batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih desertai dengan atau tanpa gejala lain.
Antibiotik non OAT: antibiotik spektrum luas yang tidak memiliki
efek anti TB (jangan gunakan fluorokuinolon)
c. Diagnosis TB pada anak
Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi midiagnosis baik
overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak batuk bukan
merupakan gejala utama. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit maka
diagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan menggunakan sistem skoring.
IDAI telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak dengan
menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala
atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan
oleh program nasional pengendalian tuberkulosis untuk diagnosis TB anak.
Sistem skor gejala dan pemeriksaan penunjang TB.
Catatan :
- Diagnosis sistem skoring ditegakkan oleh dokter
- Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab
batuk kronik lainnya seperti asma, sinusitis, dan lain-lain.
- Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit),
pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.
- Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).
- Foto thoraks bukan diagnostik utama TB anak
- Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7
hari setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem
skoring TB anak.
- Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (maksimal 14)
- Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk
evakuasi lebih lanjut.
Perlu Perhatian khusus jika ditemukan salah satu keadaan di
bawah ini:
1. Tanda bahaya:
Kejang, kaku kuduk
Penurunan kesadaran
Kegawatan lain, misalnya sesak napas
2. Foto thoraks menunjukkan gambaran millier, kavitas, efusi
pleura
3. Gibbus, koksitis
Setelah melakukan ananesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,
maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan jumlah skor
yang lebih atau sama dengan 6 (≥6), harus ditatalaksana sebagai pasien TB
dan mendapat OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari 6 tetapi
secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan
diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, funduskopi, CT-
Scan, dan lain-lainya.
d. Diagnosis TB MDR
Diagnosis TB MDR dipastikan berdasarkan pemeriksaan biakan dan uji
kepekaan M. Tuberkulosis. Semua suspek TB MDR diperiksa dahaknya dua
kali, salah satu diantaranya harus dahak pagi hari. Uji kepekaan M.
Tuberkulosis harus dilakukan di laboratorium yang telah tersertifikasi untuk
uji kepekaan.
Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka suspek TB MDR akan tetap
meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman pengendalian TB Nasianal.
(Depkes RI, 2011: 18).
Pemeriksaan Foto Toraks
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun
pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan
indikasi sebagai berikut:
1. Hanya satu dari tiga (3) spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada
kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung
diagnosis TB paru BTA positif.
2. Ketiga (3) spesimen dahak hasilnya negatif setelah tiga (3) spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak
ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
3. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis
eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang
mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkietasis atau
aspergiloma).
II.1.8 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu ‘’definisi
kasus’’ yang meliputi empat hal yaitu:
d. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ektra paru
e. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif
atau BTA negatif
f. Riwayat pengobatan TB sebelumnya, pasien abru atau sudah pernah
diobati.
g. Status HIV pasien
Tingakat keparahan penyakit: ringan atau berat. Saat ini sudah tidak
dimasukkan dalam penentuan definisi kasus. (Depkes RI, 2011: 19)
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena
Dibagi menjadi dua yaitu:
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan parenkim paru, tidak termasuk pleura dan kelenjar
pada hilus.
Tuberkulosis Ekstra Paru adalah tuberkulosis yang menyerang
organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak,
selaput jantung, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, alat kelamin dan lain-lain.
Pasien TB Paru dan TB ektraparu diklasifiksikan sebagai TB
Paru
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis,
Berdasarkan klasifikasi ini TB paru dibagi menjadi dua yaitu:
Tuberkulosis BTA positif
a. sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA positif.
b. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks
dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c. 1 dari spesimen dahak hasilnya BTA positif dan biakan kuman
TB positif
d. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3
spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya
BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT.
Tuberkulosis paru BTA negatif
Khusus bagi penderita yang tidak memenuhi definisi pada
TB paru BTA positif . Kriteria diagnositik TB paru BTA negatif
harus meliputi:
a. paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
negatif
b. foto toraks abnormal menunjukkan gambaran
tuberkulosis
c. tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non
OAT
d. ditentukan oleh dokter untuk di beri pengobatan
c. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi
menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:
Kasus Baru
adalah pasien yang belum pernah di obati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif.
Kasus yang sebelumnya diobati
o Kambuh (relaps), adalah pasien tuberkulosis yang
sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, di
diagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
o Pengobatan setelah putus berobat (default) adalah pasien
yang telah beobat dan putus berobat dua (2) bulan atau
lebih dengan BTA positif.
o Gagal (failure), adalah pasien yang hasil pemeriksaan
dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada
bulan kelima (5) atau lebih selama pengobatan.
Pindahan (transfer In), adalah pasien yang di pindahkan dari UPK
yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
TB MDR atau Multi Drug Resisten Tuberculosis (MDR- TB)
adalah TB resisten obat terhadap minimal 2 (dua) obat anti TB
yang paling Poten yaitu INH (isoniazid) dan Rifamfisin secara
bersama – sama atau disertai resisten terhadap obat anti TB lini
pertama lainnya seperti ethambutol, Streptomicin, dan
pirazinamide.
TB XDR atau TB Extensively (Extremely) Drug Resisten
adalah TB MDR di tambah dengan resistensi terhadap :
Quinolone dan salah satu OAT Injeksi lini kedua ( misalnya :
kanamycine).
Berdasarkan WHO global report 2011 tercatat bahwa
Indonesia sebagai no-9 dari 27 negara “high burden MDR TB
countries” dengan, perkiraan insidensi TB MDR: 6.100/th.
(Depkes RI. 2008:19).
Kasus lain, adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di
atas, seperti:
o Tidak diketahui riwayat pengobatan
sebelumnya
o Pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil
pengobatan.
o Kembali diobati dengan BTA negatif ( Depkes
RI. 2011: 21).
II.1.9 Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman OAT (Obat Anti Tuberkulosis). (Depkes RI, 2008:
20).
Kebijakan Penanggulangan TB di Indonesia
1. Penanggulangan TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas
desentralisasi dengan Kabupaten/Kota sebagai titik berat manajemen
program dalam kerangka otonomi yang meliputi : persencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber
daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana)
2. Penaggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS
3. Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap
program penanggulangan TB
4. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap
peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan
pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya MDR-TB.
5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka penanggulangan TB
dilaksanakan oleh seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), meliputi
Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah dan swasta. Rumah Sakit Paru
(RSP), Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru (BP4), Klinik Pengobatan
lain serta Dokter Parktek Swasta (DPS).
6. Penanggulang TB dilaksanakan melalui promosi, penggaalangan
kerjasama dan kemitraan dengan progrm terkait, sektor pemerintah, non
pemerintah dan swasta dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional
Penanggulangan TB (Gerdunas TB).
7. Peningkatan kemampuan laboratorium di berbagai tingkat pelayanan
ditujukan untuk peningkatan mutu pelayanan dan jejaring.
8. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB diberikan
kepada pasien secara cuma cuma dan dijamin ketersediaannya.
9. Ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten dalam jumlah yang
memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.
10. Penanggulangan TB diprioritaskan kepada kelompok miskin dan
kelompok rentan terhadap TB.
11. Penanggulangan TB harus berkolaborasi dengan penanggulangan HIV.
12. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
13. Memperhatikan komitmen Internasional yang termuat dalm MDGs.
Pengobatan Tuberkulosis diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
Tahap awal (intensif)
1. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
2. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
3. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
Tahap lanjutan
1. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama
2. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Kategori -1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien baru TB paru BTA positif.
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru
Tabel Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori -1
Tabel Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1
Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tabel Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2
Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan.
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan aquabidest sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml.
(1 ml = 250 mg).
Kategori -3 (2HRZ/4H3R3)
Indikasi :
- kasus baru BTA sputum (-), rontgen (+) sakit ringan,
- kasus kerusakan ringan pada TB ekstrapulmonar [TB kelenjar limfe,
pleuritis eksudatif unilateral, TB kulit, TB tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjar adrenal
Kategori – IV (INH seumur hidup)
Indikasi :
o kasus TB kronik (BTA sputum tetap positif,setelah pengobatan
ulang).
OAT sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori
1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Dosis KDT untuk Sisipan
Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru
tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada
OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko
resistensi pada OAT lapis kedua.
Pengobatan TB pada anak
Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat.
Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk
menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata
walaupun gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT
tetep dihentikan.
Kategori Anak (2RHZ/4RH)
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif
maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
Dosis OAT kombipak pada anak
Jenis Obat BB ˂ 10 kg BB 10-19 kg BB 20-32 kg
Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg
Dosi KDT pada anak
Berat Badan (kg) 2 bulan tiap hari RHZ 4 bulan tiap hari RH
(75/50/150) (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Keterangan:
bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk kerumah sakit
anak dengan berat badan BB 15-19 kg dapat diberi 3 tablet
anak dengan BB > 33 kg, dirujuk kerumah sakit
obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
OAT KDT dapat diberikan dengan cara : telan secara utuh atau digerus
sesaat sebelum diminum.
Pengobatan pencegahan (profilaksis) tuberkulosis untuk anak
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan
penderita TB positif, perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan sistem skoring.
Bila hasil evaluasi dengan sistem skoring didapat skor ˂ 5, kepada anak tersebut
diberikan isoniazid (INH) dengan dosis 5-10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila
anak tersebut belum pernah mendapatkan imunisasi BCG, imunisasi BCG
dilakukan setelah pengobatan selesai.
Pengobatan tuberkulosis dengan infeksi HIV/AIDS
Tatalaksana pengobatan TB pada ODHA adalah sama seperti pasien TB lainnya.
Pada prinsipnya pengobatan TB diberikan segera, sedangkan pengobatan ARV
dimulai berdasarkan stadium klinis HIV atau hasil CD4. Penting diperhatikan dari
pengobatan TB pada ODHA adalah apakah pasien tersebut sedang dalam
pengobatan ARV atau tidak.
Bila pasien tidak dalam pengobatan ARV, segera mulai pengobatan TB.
Pemberian ARV dilakukan dengan prinsip.
Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk mulai
pengobatan ARV bila CD4 ˂ 350/mm3 tapi harus dimulai sebelum CD4
turun dibawah 200/mm3.
Semua ODHA stadium 3 yang hamil atau menderita TB denga CD4 ˂
350/mm3 harus dimulai pengobatan ARV.
Pilihan panduan pengobatan ARV pada ODHA dengan TB
Obat ARV lini
pertama/lini kedua
Panduan pengobatan ARV
pada waktu TB
didiagnosis
Pilihan obat ARV
Lini pertama 2 NRTI+EFV Teruskan dengan 2 NRTI+EFV
2 NRTI+ NVP * Ganti dengan 2 NRTI+EFV atau
ganti dengan 2 NRTI+LPV/r
Lini kedua 2 NRTI+PI Ganti ke atau teruskan (bila
sementara menggunakan) panduan
menggunkan LPV/r
Pengobatan Tuberkulosis Resistensi Obat
Secara umum, prinsip pengobatan TB resisten obat, khususnya TB dengan MDR
adalah sebagai berikut:
Pengobatan menggunakan minimal 4 macam obat OAT yang masih efektif
Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resisten
silang (cross-resistence)
Membatasi penggunaan obat tidak aman
Gunakan obat dari golongan/kelompok 1-5 secara hirarki sesuai
potensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada
pertimbangan khusus dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan sesuai dengan
kondisi program.
Panduan pengobatan ini diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap awal dan
tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama
minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konvrsi biakan.
Lama pengobatan minimal 18 bulan setelah konversi biakan dikatakan
konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak
pemeriksaan 30 hari.
Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
menganut prinsif DOT = Directly/Daily Observed Treatment , dengan
PMO diutamkan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan.
Efek samping obat OAT dan penatalaksanaanya
Semua pasien yang berobat TB sebaiknya diberitahu tentang adanya efek samping
obat anti Tuberkulosis yang diminum. Hal ini penting untuk dilakukan agar tidak
terjadi salah paham yang menimbulkan putus berobat. Ada beberapa efek samping
dari obat TB yaitu tuli, gangguan keseimbangan dan gangguan hati (hepatitis)
akibat streptomisin. Ikterus tanpa penyebab lain, bingung dan muntah-muntah
merupakan akibat hampr semua dari OAT sedangkan gatal dan kemerahan dikulit
akibat semua jenis OAT, Etambutol sendri dapat mengganggu fungsi penglihatan
(Depkes RI 2008).
Efek samping terbanyak adalah Rifampisin. Rifampisin dapat menyebabkan
penderita TB tidak ada nafsu makan, mual, muntah, sakit perut dan hepatitis.
Selain itu juga rifampisin menyebabkan warna kemerahan pada air seni serta yang
terparah menyebabkan penderita shok. (Depkes RI, 2008).
Efek samping ringan OAT
Efek samping berat OAT
Pengobatan TB Pada Keadaan Khusus
1. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatanTB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman
untuk kehamilan,kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai
pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus
barier placenta. Keadaan ini dapatmengakibatkan terjadinya gangguan
pendengaran dan keseimbangan yang menetappada bayi yang akan
dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa
keberhasilanpengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran
dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari
kemungkinan tertular TB.
2. Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatanpada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui.
Seorang ibu menyusuiyang menderita TB harus mendapat paduan OAT
secara adekuat. Pemberian OATyang tepat merupakan cara terbaik untuk
mencegah penularan kuman TB kepadabayinya.Ibu dan bayi tidak perlu
dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatanpencegahan
dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan beratbadannya.
3. Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan
KB, susuk KB),sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi
tersebut. Seorang pasien TBsebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-
hormonal, atau kontrasepsi yangmengandung estrogen dosis tinggi (50
mcg).
4. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS
Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS
adalah samaseperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS
sama efektifnya denganpasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS.Prinsip
pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan
TB.Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis
HIV sesuai denganstandar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus
memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan
Keamanan Universal) Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan
secara terintegrasi dalam satu sarana pelayanankesehatan untuk menjaga
kepatuhan pengobatan secara teratur.Pasien TB yang berisiko tinggi
terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT(Voluntary
Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).
5. Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis
ikterik, ditundasampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada
keadaan dimanapengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan
streptomisin (S) dan Etambutol (E)maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya
menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin(R) dan Isoniasid (H)
selama 6 bulan.
6. Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelumpengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3
kali OAT tidakdiberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus
dihentikan. Kalau peningkatannyakurang dari 3 kali, pengobatan dapat
dilaksanakan atau diteruskan denganpengawasan ketat. Pasien dengan
kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak bolehdigunakan. Paduan OAT yang
dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.
7. Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi
melalui empedu dandapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak
toksik. OAT jenis ini dapatdiberikan dengan dosis standar pada pasien-
pasien dengan gangguan ginjal.Streptomisin dan Etambutol diekskresi
melalui ginjal, oleh karena itu hindaripenggunaannya pada pasien dengan
gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauanfaal ginjal tersedia,
Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosisyang sesuai
faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan
gagalginjal adalah 2HRZ/4HR.
8. Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi
efektifitas obatoral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti
diabetes perlu ditingkatkan.Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula
darah, setelah selesai pengobatan TB,dilanjutkan dengan anti diabetes oral.
Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadikomplikasi retinopathy
diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberianetambutol, karena
dapat memperberat kelainan tersebut.
9. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang
membahayakan jiwapasien seperti:
Meningitis TB
TB milier dengan atau tanpa meningitis
TB dengan Pleuritis eksudativa
TB dengan Perikarditis konstriktiva
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari,
kemudianditurunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan
jenis penyakit dankemajuan pengobatan.
10. Indikasi operasi
Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:
1) Untuk TB paru:
Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan
cara konservatif.
Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang
tidak dapat diatasisecara konservatif.
Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.
2) Untuk TB ekstra paru:
Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB
tulang yang disertaikelainan neurologik.
II.I.10 Pengawas Minum Obat (PMO).
Kunci utama keberhasilan pengobatan TB adalah keyakinan bahwa
penderita TB meminum semua obatnya sesuai dengan yang ditetapkan dan
tidak lalai atau putus berobat. Hal tersebut bisa dipastikan bila ada orang
yang mengawasi atau memantau penderita TB pada saat minum obat.
Sesuai dengan nama strategi DOTS (Directly Observed Treatment
Shortcourse) yang artinya pemberian obat dilakukan secara jangka pendek
di bawah pengawasan langsung yaitu oleh seorang pengawas minum obat
(PMO).
Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah seseorang yang dipercaya
untuk mengawasi penderita TB Paru menelan obat sesuai ketentuannya.
(Depkes, 2001)
Yang menjadi Pengawas Minum Obat (PMO) :
Pada pasien yang dirawat di RS yang bertindak sebagai PMO
berasal dari petugas kesehatan. Pada pasien rawat jalan, yang bertindak
sebagai PMO bisa berasal keluarganya yang tinggal serumah dengan
penderita TB seperti: suami/istri, orang tua, anak, saudara dan lain-lain.
Apabila penderita TB tinggal sendirian, yang menjadi kader PMO dapat
berasal dari saudara, tetangga, tetangga, ketua RT, tokoh masyarakat dan
tokoh agama.
a. Persyaratan PMO
1. Seseorang yang dikenal, dipercaya, dan disetujui, baik oleh petugas
kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati
oleh pasien.
2. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
3. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
4. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama
dengan pasien
b. Siapa yang bisa jadi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa,
perawat, pekarya, sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak
ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari
kader kesehatan, guru, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota
keluarga.
c. Tugas PMO:
1. Mengetahui tanda-tanda tersangka TB.
2. Memberikan penyuluhan kepada penderita untuk minum obat
secara teratur sampai selesai pengobatan.
3. Menjelaskan kepada penderita TB:
Mengapa harus diawasi? Supaya terjamin kesembuhannya
dan jika terjadi efek samping dapat segera diatasi.
Mengapa tidak boleh lupa minum obat? Supaya di dalam
darah selalu ada obat pembunuh kuman dan untuk
menghidari kuman kebal obat.
4. Membantu mengantar penderita untuk periksa ulang dahak
pada: akhir bulan ke-2, akhir bulan ke-5 dan akhir pengobatan.
5. Mewakili penderita mengambil obat bila penderita berhalangan
6. Merujuk penderita ke puskesmas/BKPM bila timbul efek
samping minum obat anti TB
7. Mengetahui bahwa obat anti TB boleh diminum oleh ibu hamil
kecuali yang lewat suntik.
d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan
kepada pasien dan keluarganya:
1) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau
kutukan
2) TB dapat disembuhan dengan berobat teratur
3) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan
cara pencegahannya
4) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan
lanjutan)
5) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
6) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya
segera meminta pertolongan ke unit pelayanan kesehatan.
II.1.11 Masalah Tuberkulosis
Diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium Tuberkulosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB
baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia, terjadi pada negara-negara
berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada
kematian kerena kehamilan, persalinan, dan nifas.
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara
ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan
kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada
kehilangan pendapatan tahunan rumah tangga sekitar 20-30%. Jika ia meninggal
akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain
merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara
sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. Pada tahun 1990-an, situasi TB
didunia semakin memburuk, jumlah kasus TB meningkat dan banyak yang tidak
berhasil disembuhkan, terutama pada negara yang dikelompokkan dalam 22
negara dengan masalah TB besar (high burden countries). Menyikapi hal tersebut,
pada tahun 1993, WHO mencanangkan TB sebagai kedaruratan dunia (global
emergency). (Depkes RI, 2011:3).
Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB antara lain adalah:
Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara-
negara yang sedang berkembang.
Kegagalan program TB selama ini. Hal ini diakibatkan oleh:
o Tidak memadainnya komitmen politik dan pendanaan
o Tidak memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh
masyarakat, penemuan kasus/diagnois yang tidak sadar, obat tidak
terjamin penyediannya, tidak dilakukan pemantauan, pencatatan, dan
pelaporan yang setandar dan sebagainya).
o Tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan panduan obat
yang tidak setandar, gagal menyembuhkan kasus yang telah
didiagnosis)
o Salah persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG.
o Infrastruktur kesehatan yang buruk pada negara-negara yang
mengalami krisis ekonomi atau pergolakan masyarakat.
Perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan
perubahan struktur umur kependudukan.
Dampak pandemi HIV
Dampak HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Koinfeksi dengan HIV
akan meningkatkan resiko kejadia TB secara signifikan. Pada saat yang sama,
resistensi ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistance = MDR)
semakin menjadi masalah akibat kasus yang tidak berhasil disembuhkan. Keadaan
tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya pandemi TB yang sulit
ditangani.
II.1.12 Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pengembangan sumber daya manusia dalam program TB bertujuan untuk
menyediakan tenaga pelaksana program yang memiliki ketrampila, pengetahuan
dan sikap (dengan kata lain kopetensi) yang diperlukan dalam pelaksanaan
program TB, dengan jumlah yang memadai pada tempat yang sesuai dan pada
waktu yang tepat sehingga mampu menunjang tercapainya tujuan program TB
nasianal. Didalam bab ini istilah pengembangan SDM merujuk kepada pengertian
yang lebih luas, tidak hanya yang berkaitan dengan pelatihan tetapi keseluruhan
manajemen pelatihan dan kegiatan lain yang diperlukan untuk mencapai tujuan
jangga panjang pengembangan SDM yaitu tersedianya tenaga yang kompeten dan
profesional dalam penanggulangan TB. Tiga hal pokok yang sangat penting dalam
pengembangan sumber daya manusia yaitu standar ketenagaan program, pelatihan
dan supevisi. (Depkes RI, 2011:50).
1. Standar Ketenagaan
Ketenagaan dalam program penanggulangan TB memiliki standar-standar
yang menyangkut kebutuhan minimal (jumlah dan jenis tenaga) untuk
terselenggaranya program TB
Fasilitas pelayanan kesehatan
1) Puskesmas
o Puskesmas rujukan mikroskopis dan puskesmas pelaksana
mandiri: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih
terdiri satu dokter, 1 perawat atau petugas TB, dan 1 tenaga
laboratorium.
o Puskesmas satelit: kebutuhan minimal tenaga pelaksana
terlatih, terdiri dari 1 dokter dan 1 perawat/petugas TB.
o Puskesmas pembantu: kebutuhan minimal tenaga pelaksana
terlatih terdiri dari 1 perawat/petugas TB.
2) Rumah Sakit Umum Pemerintah
o RS kelas A: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih
teridiri dari 6 dokter, 3 perawat/petugas TB, 1 tenaga
laboratorium.
o RS kelas B: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih
terdiri dari 6 dokter, 3 perawat/petugas TB, 1 tenaga
laboratorium.
o RS kelas C: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih
terdiri dari 4 dokter, 2 perawat/petugas TB, 1 tenaga
laboratorium.
o RS kelas D: kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih
terdiri dari 2 dokter, 2 perawat/petugas TB, 1 tenaga
laboratorium
3) RS Swasta menyesuaikan
4) Dokter Praktek Swasta, minimal telah dilatih.
2. Pelatihan
Pelatihan merupakan salah satu upaya peningkatan pengetahuan, sikap,
dan keterampilan petugas dalam rangka meningkatkan mutu dan tenaga
petugas.
Konsep pelatihan
Konsep pelatihan dalam program TB, teridiri dari:
a. Pendidikan/pelatihan sebelum bertugas (pre service training)
Dengan memsaukkan materi program penanggulangn tuberkulosis
strateg DOTS dalam pembelajaran/kurikulum institusi pendidikan
tenaga kesehatan. (fakultas kedokteran, fakultas keperawatan, fakultas
kesehatan masyarakat, fakultas farmasi dan lain-lain).
b. Pelatihan dalam tugas (in service training)
Dapat berupa aspek klinis maupun aspek manajemen program
1) Pelatihan dasar program TB (initial training in basic DOTS
implementation)
a. Pelatihan penuh, seluruh materi diberikan
b. Pelatihan ulangan (retraining), yaitu pelatihan formal
yang dilakukan terhadap peserta yang telah mengikuti
pelatihan sebelumnya tetapi masih ditemukan banyak
masalah dalam kinerjanya, dan tidak cukup hanya
dilakukan melalui supervisi. Materi yang diberikan
disesuaikan dengan inkompetensi yang ditemukan,
tidak seluruh materi diberikan seperti pada pelatihan
penuh.
c. Pelatihan penyegaran, yaitu pelatihan formal yang
dialkukan terhadap peserta yang telah mengikuti
pelatihan sebelumnya minimal 5 tahun atau ada up-date
materi seperti pelatihan manajemen OAT, pelatihan
advokasi, pelatihan TB-HIV, pelatihan DOTS plus,
surveilans.
d. On the job training (pelatihan ditempat tugas/refresher):
telah mengikuti pelatihan sebelumnya tetapi masih
ditemukan masalah dalam kinerjanya, dan cukup diatasi
hanya dengan dilakukan supervisi.
2. Pelatihan lanjutan (continued training/advanced training):
pelatihan lebih tinggi. Materi berbeda dengan pelatihan dasar.
Pengembangan Pelatihan
Secara umum ada 3 tahap pengembangan pelatihan
sebagaimana tergambar pada Bagan berikut:
Materi pelatihan dan metode pembelajaran
Materi yang akan dipelajari dalam pelatihan harus disesuaikan dengan
kebutuhan program dan tugas peserta latih. Metode pembelajaran harus
mampu melibatkan partisipasi aktif peserta dan mampu membangkitkan
motivasi peserta. Baik materi pelatihan maupun metode pembelajaran
tersebut dapat dikemas dalam bentuk modul.
Evaluasi Pelatihan
Evaluasi harus dilakukan secara sistematis dalam setiap pelatihan dengan
tujuan untuk:
o mengetahui apakah tujuan pelatihan telah tercapai atau tidak;
o mengetahui mutu pelatihan yang dilaksanakan; dan
o meningkatkan mutu pelatihan yang akan datang.
Demikian pentingnya evaluasi pelatihan maka pelaksanaannya harus
terintegrasi dengan proses pelatihan.
Jenis evaluasi dapat dilihat pada Bagan 5 berikut :
Evaluasi Paska Pelatihan
Evaluasi paska pelatihan adalah kegiatan yang sistematis untuk
meningkatkan kinerja petugas dan mengetahui tingkat pengetahuan,
keterampilan, sikap dan motivasi petugas dalam bekerja.
II.1.13 Advokasi, Komunikasi, dan Mobilisasi Sosial (AKMS) dalam
Penanggulangan TB
Advokasi, Komunikasi, dan Mobilisasi Sosial (AKMS) TB merupakan
suatu kerangka kerja terpadu untuk mempengaruhi dan mengubah kebijakan
publik, perilaku dan memberdayakan masyarakat dalam pelaksanaan
penanggulangan TB yang dirancang secara sistematis dan dinamis. Kegiatan
AKMS harus memperhatikan aspek kesehatan lingkungan dan perilaku sebagai
bagian dari upaya pencegahan TB disamping penemuan dan penyembuhan pasien.
a. Advokasi
Advokasi merupakan tindakan untuk mendukung upaya masyarakat
mendapatkan berbagai sumberdaya atau perubahan kebijakan publik.
Advokasi dilakukan secara sistimatis untuk mempengaruhi pimpinan,
pembuat/penentu kebijakan dan keputusan, dalam penyelenggaraan
penanggulangan TB. Pendekatan kepada para pimpinan ini dapat
dilakukan dengan cara bertatap muka langsung (audiensi), konsultasi,
memberikan laporan, pertemuan/rapat kerja, lokakarya dan sebagainya
sesuai dengan situasi dankondisi masing-masing unit.Dalam konteks
global, advokasi TB diartikan sebagai tindakan intervensi terkoordinasi
yang diarahkan untuk menempatkan penanggulangan TB sebagai prioritas
dalam agenda politik, untuk menjamin komitmen internasional dan
nasional serta menggerakkan sumberdaya yang diperlukan. Pada konteks
dalam negeri, advokasi merupakan upaya luas agar pemerintah memiliki
komitmen kebijakan yang kuat dalam penanggulangan TB. Dalam
melakukan advokasi perlu dipersiapkan data atau informasi yang cukup
serta bahan-bahan pendukung lainnya yang sesuai agar dapat meyakinkan
mereka dalam memberikan dukungan.
Langkah yang perlu dipersiapkan untuk merencanakan kegiatan advokasi:
Analisa situasi
Memilih strategi yang tepat (advokator, pelaksana, metode
dsb)
Mengembangkan bahan-bahan yang perlu disajikan kepada
sasaran, dan
Mobilisasi sumber dana
b. Komunikasi
Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan (informasi) atau
gagasan (ide) yang disampaikan secara lisan dan atau tertulis dari sumber
pesan kepada penerima pesan melalui media dengan harapan adanya
pengaruh timbal balik. Dalam penanggulangan TB, komunikasi diarahkan
untuk mendorong lingkungan berkreasi melalui pembuatan strategi dan
pemberdayaan. Seluruh kegiatan komunikasi disebarluaskan lewat media
dan berbagai saluran. Dalam proses komunikasi perlu memperhatikan :
a. Sumber pesan (komunikator)
b. Pesan
c. penerima pesan
d. umpan balik
c. Mobilisasi sosial
Mobilisasi sosial adalah proses penggerakan masyarakat secara aktif
melalui konsensus dan komitmen diantara pengambil kebijakan untuk
penanggulangan TB. Penggerakan masyarakat dilaksanakan di tingkat
paling bawah (grass root) dan secara luas berhubungan dengan mobilisasi
dan aksi sosial masyarakat. Mobilisasi sosial berarti melibatkan semua
unsur masyarakat, sehingga memungkinkan masyarakat untuk melakukan
kegiatan secara kolektif dengan mengumpulkan sumber daya dan
membangun solidaritas untuk mengatasi masalah bersama, dengan kata
lain masyarakat menjadi berdaya.
Beberapa prinsip dalam mobilisasi sosial
Memahami kemampuan lembaga yang ada di masyarakat (analisis
kemampuan lembaga dan hambatan)
Bersandar pada pemahaman dalam konteks sosial dan budaya
termasuk situasi politik dan ekonomi masayarakat setempat
Memperhatikan permintaan masyarakat
Mengembangkan kemampuan-kemampuan masyarakat untuk
berpartisipasi
Memerlukan banyak sumber daya dalam organisasi penggerak
Berdasar rencana rasional dalam rumusan tujuan, sasaran, pesan,
indikator dan umpan balik mobilisasi
Memerlukan pengulangan secara periodik
Menggunakan individu atau organisasi yang terkenal/dihormati
sebagai penggerak, yang berasal dari elemen kemasyarakatan,
memiliki inisiatif, solidaritas dan kerjasama antar kelompok atau
organisasi masyarakat, serta keterpaduaan antara elemen
pemerintah dengan non pemerintah.
1. Bentuk-bentuk Mobilisasi Sosial
Kampanye, digunakan dalam rangka mensosialisasikan isu strategis yang
telah dikembangkan kepada berbagai sasaran (masyarakat, organisasi
profesi, lintas sektor, lintas program, dunia usaha, LSM,dll) dengan tujuan
menumbuhkan kesadaran dan rasa memiliki serta terpanggil untuk terlibat
sesuai dengan perannya dalam penanggulangan isu tersebut.
Penyuluhan kelompok, digunakan untuk meningkatkan pengetahuan dan
sikap kelompok masyarakat melalui berbagai metoda dan media
penyuluhan.
Diskusi kelompok (DK), digunakan untuk meningkatkan pengetahuan,
ketrampilan dan sikap kelompok masyarakat untuk menanggulangi
masalah TB melalui diskusi
kelompok.
Kunjungan rumah, digunakan untuk meningkatkan pengetahuan,
ketrampilan dannsikap agar keluarga mau berubah perilakunya
sehubungan dengan TB.
Konseling, digunakan untuk membantu menggali alternatif pemecahan
masalah TB dalam suatu keluarga.
2. Langkah-langkah Mobilisasi Sosial
Memberikan pelatihan/orientasi kepada kelompok pelopor (kelompok
yang paling mudah menerima isu yang sedang diadvokasi)
Mengkonsolidasikan mereka yang telah mengikuti pelatihan/orientasi
menjadi kelompok-kelompok pendukung/kader
Mengembangkan koalisi diantara kelompok-kelompok maupun
pribadi-pribadi pendukung.
Mengembangkan jaringan informasi diantara anggota koalisi agar
selalu mengetahui dan merasa terlibat dengan isu yang diadvokasikan
Melaksanakan kegiatan yang bersifat masal dengan melibatkan
sebanyak mungkin anggota koalisi.
Mendayagunakan media massa untuk mengekspose kegiatan koalisi
dan sebagai jaringan informasi.
Mendayagunakan berbagai media massa untuk membangun
kebersamaan dalam mengatasi masalah/isu (masalah bersama). Hal ini
cukup efektif bila dilakukan dengan menggunakan TV, filler/spot,
radio spot, billboard dan spanduk.
Salah satu tujuan mobilisasi sosial adalah pemberdayaan masyarakat atau dalam
kata lain masyarakat menjadi berdaya dalam penanggulangan TB.
Beberapa prinsip pemberdayaan masyarakat:
a. Menumbuh kembangkan potensi masyarakat, potensi masyarakat yang
dimaksud dapat berupa:
o Community leaders : Para pemimpin baik formal maupun informal.
o Community organizations : Organisasi/ lembaga kelompok
o Community fund : Dana yang ada di masyarakat
o Community material : Sarana masyarakat
o Community knowledge : Pengetahuan masyarakat
o Community technology : Teknologi tepat guna termasuk cara
berinteraksi masyarakat setempat sesuai budayanya.
o Community decision making : Pengambilan keputusan oleh
masyarakat.
b. Kontribusi masyarakat dalam penanggulangan TB
Pemberdayaan masyarakat, berprinsip meningkatkan kontribusi masyarakat
dalam penanggulangan TB, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara
kuantitatif berarti semakin banyak keluarga/masyarakat yang berkiprah dalam
penanggulangan TB. Secara kualitatif berarti keluarga/masyarakat bukan
hanya memanfaatkan tetapi ikut berkiprah melakukan penyuluhan, ikut
menjadi PMO, Kader TB dan sebagainya.
c. Mengembangkan gotong royong
d. Bekerja bersama-sama masyarakat
e. KIE berbasis individu, keluarga, masyarakat, dan ormas lainnya kemitraan
antara Pemerintah, LSM, Ormas, dan berbagai kelompok masyarakat lainnya
akan memudahkan kerja sama di lapangan, sehingga potensi dapat
dimanfaatkan secara optimal.
Kerangka Pola Pikir dan Strategi AKMS dalam program penanggulangan TB
dapat dilihat pada Bagan di bawah ini:
II.2 Konsep Pengetahuan
Pengetahuan merupakan proses kognitif dari seseorang atau individu untuk
memberi arti terhadap lingkungan, sehingga masing-masing individu akan
memberi arti sendiri-sendiri terhadap stimuli yang diterimanya meskipun stimuli
itu sama. Pengetahuan merupakan aspek pokok untuk mengubah perilaku
seseorang yang disengaja (Nurhidayati, 2005)
Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil
penggunaan panca inderanya, yang berbeda sekali dengan kepercayaan (believe),
takhayul (superstitions) dan penerangan-penerangan yang keliru (Soekamto,
2002).
Pengetahuan berasal dari kata “tahu” dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengideraan terhadap sesuatu obyek tertentu, pengideraan terjadi
melalui panca indra manusia. Tetapi sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh dari atau melalui mata dan telinga, (Noto atmodjo,2003)
Roger (1974) yang dikutip oleh noto atmodjo (2003) mengemukakan
bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru dalam diri seseorang akan terjadi
proses yang berturut-turut yaitu :
1. awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.
2. Interest, yaitu orang tertarik pada stimulus.
3. Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi
dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.
4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru.
5. Adaption, subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan
kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Komponen pengetahuan (Noto atmodjo,2003)
1) Tahu (know)
Pengetahuan berkenan dengan bahan yang dipelajari sebelumnya
disebut juga istilah recal (mengingat lagi) namun apa yang yang telah
diketahui hanya sekedar informasi yang diingat saja. Oleh sebab itu ini
merupakan tongkat pengetahuan yang rendah.
2) Pemahaman (comprehension)
Adalah kemampuan mengetahui arti sesuatu bahan yang tekah dipakai
dipelajari seperti menafsirkan. Menjelaskan dan meringkas tentang
sesuatu kemampuan. Ini lebih tinggi dari pengetahuan.
3) Penerapan (application)
Adalah kemampuan menggunakan suatu bahan yang telah dipelajari
dalam sesuatu yang baru atau konkrit.
4) Analisa (analysis)
Adalah suatu komponen untuk menjabarkan materi atau suatu bahan
obyek kedalam komponen-komponen tetapi masih didalam stuktur
organisasi tersebut dan masih ada kaitannya sama lain.
5) Sintesa (synthesis)
Kemampuan untuk menghimpun bagian dalam keseluruhan seperti
merugikan tema rencana atau melihat hubungan abstrak dan sebagian
fakta
6) Evaluasi (evaluation)
Adalah berkenan dengan kemampuan menggunakan pengetahuan
untuk membantu penelitian terhadap sesuatu berdasarkan maksud atau
kriteria tertentu.
II.3 Lingkungan
Lingkungan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta
(Neolaka;2008;25) adalah berasal dari kata lingkung yaitu sekeliling, sekitar.
Lingkungan adalah bulatan yang melingkupi atau melingkari, sekalian yang
terlingkung disuatu daerah sekitarnya.
Menurut ensiklopedia Umum (1977) lingkungan adalah alam sekitar
termasuk orang-orangnya dalam hidup pergaulan yang mempengaruhi manusia
sebagai anggota masyarakat dalam kehidupan dan kebudayaannya.
Dalam Ensiklopedia Indonesia(1983) lingkungan adalah segala sesuatu
yang ada diluar suatu organisme meliputi :
1. Lingkungan mati (abiotik) yaitu lingkungan diluar suatu organisme yang
terdiri atas benda atau faktor alam yang tidak hidup, seperti bahan kimia,
suhu, cahaya, gravitasi, atmosfir dan lainnya.
2. Lingkungan hidup (biotik) yaitu lingkungan diluar suatu organisme yang
terdiri atas
Unsur-unsur lingkungan adalah sebagai berikut :
a. Lingkungan fisik
Lingkungan fisik adalah segala sesuaatu yang berada disekitar manusia
yang bersifat tidak bernyawa, misalnya air, tanah, kelembaban udara,
suhu, angin, rumah, dan benda mati lainnya.
b. Lingkungan biologis
Lingkungan biologis adalah segala sesuatu yang bersifat hidup, seperti
tumbuh-tumbuhan, hewan, termasuk mikroorganisme.
c. Lingkungan sosial
Lingkungan sosial adalah segala sesuatu tindakan yang mengatur
kehidupan manusia dan usaha-usahanya untuk mempertahankan
kehidupan, seperti pendidikan pada setiap indiidu, rasa tanggung jawab,
pengetahuan keluarga, jenis pekerjaan jumlah penghuni dan keadaan
ekonomi.
d. Lingkungan rumah
Lingkungan rumah adalah segala sesuatu yang berada didalam rumah.
Lingkungan rumah terdiri dari lingkungan fisik yaitu ventilasi, suhu,
kelembaban, lantai, dinding serta lingkungan sosial yaitu kepadatan
penghuni. Lingkungan rumah menurut WHO adalah suatu struktur fisik
dimana orang menggunakannya untuk tempat berlindung. Lingkungan dari
faktor tersebut juga semua fasilitas dan pelayanana yang diperlukan.
Perlengapan yang perlu untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan
sosial yang baik untuk kelaurga dan individu.
Lingkungan rumah yang sehat dapat diartikan sebagai lingkungan yang
dapat memberikan tempat untuk berlindung atau bernaung dan tempat
untuk beristirahat serta dapat menumbuhkan kehidupan yang sempurna
baik fisik, psikologis maupun sosial ( lubis 1989). Menurut APHA
(american public health assisiation), lingkungan rumah yang sehat harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Memenuhi kebutuhan fisiologis
1) Suhu ruangan, yaitu dalam pembuatan rumah harus diusahakan
agar kontruksinya harus sedemikian rupa sehingga suhu ruangan
tidak berubah banyak dan agar kelembababan udara dapat dijaga
jangan sampai terlalu tinggi dan terlalu rendah. Untuk ini harus
diusahakan agar perbedaaan suhu antara dinding, lantai, atap dan
permukanaan jendela tidak terlalu banyak.
2) Harus cukup mendapatkan pencahayaan yang baik siang maupun
malam, suhu ruangan harus mendapatkan penerangan pagi dan
siang hari yng cukup yaitu jika luas ventlasi minimal 10 % dari
jumlah luas lantai.
3) Ruangan harus segar dan tidak berbau, untuk ini diperlukan
ventilasi yang cukup untuk proses pergantian udara.
4) Harus cukup mempunyai isolasi suara sehingga tenang dan tidak
terganggu oleh suara-suara yang berasal dari dalam ataupun luar
ruangan.
5) Harus ada variasi ruangan, misalnya ruangan untuk anak-anak
bermain, ruang makan, ruang tidur dll.
6) Jumlah kamar tidur dan pengaturannya disesuaikan dengan umur
dan jenis kelaminnya. Ukuran ruang tidur anak yang kurang dari
lima tahun minimal 4,5 m3, artinya dalam satu ruangan anak yang
berumur lima tahun kebawah diberi kebebasan menggunakan
volume ruangan 4,5 m3 (1,5 x 1 x 3 m3 ) dan diatas lima tahun
menggunakan ruangan 9 m3 (3 x 1 x 3 m3 ).
b. Perlindungan terhadap penularan penyakit.
1) Harus ada sumber air yang memenuhi syarat, baik secara kuaitas
maupun secara kualitas, sehingga selain kebutuhan untuk makan
dan minum terpenuhi, juga cukup ketersediaaan air untuk
memelihara kebersihan rumah, pakainan dan penghuninya.
2) Harus ada tempat menyimpan sampah dan WC yang baik dan
memenuhi syarat, juga air pembuangan harus bisa dialirkan dengan
baik.
3) Pembuangna kotoran dan limbah harus memenuhi syarat
kesehatan, yaitu harus dapat mencegah agar limbah tidak meresap
dan mengkontaminasi sumber air bersih.
4) Tempat memasak dan tempat makan harus bebas dari pencemaran
dan gangguan binatang serangga dan debu.
5) Harus ada pencegahan agar vektor penyakit tidak bisa hidup dan
berkembang biak dan di dalam rumah, jadi rumah dalam
kontruksinya harus rat proof, fly fight, mosquito fight.
6) Harus ada ruangan udara (air space) yang cukup.
7) Luas kamar tidur minimal 8,5 m3 perorang dan tinggi langit-langit
minimal 2,65 meter.
II.4 Syarat Rumah Sehat
Rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan terkait erat dengan
penyakit berbasis lingkungan, dimana kecenderungannya semakin meningkat
akhir-akhir ini. Dari sisi epidemiologis, telah terjadi pula transisi yang cukup
cepat terhadap beberapa penyakit menular, seperti penyakit SARS (Severe Acute
Respiratory Syndrome), Flu Burung, Leptospirosis. Demikian pula dengan
penyakit demam berdarah, keracunan makanan dan diare yang mulai mewabah
kembali di beberapa daerah di Tanah Air dan bahkan sampai menyebabkan
kematian.
Penyakit-penyakit berbasis lingkungan masih merupakan penyebab utama
kematian di Indonesia. Bahkan pada kelompok bayi dan balita, penyakit- penyakit
berbasis lingkungan menyumbangkan lebih 80% dari penyakit yang diderita oleh
bayi dan balita. Keadaan tersebut mengindikasikan masih rendahnya cakupan dan
kualitas intervensi kesehatan lingkungan (Data Susenas 2001)
Munculnya kembali beberapa penyakit menular sebagai akibat dari semakin
besarnya tekanan bahaya kesehatan lingkungan yang berkaitan dengan cakupan
air bersih dan jamban keluarga yang masih rendah, perumahan yang tidak sehat,
pencemaran makanan oleh mikroba, telur cacing dan bahan kimia, penanganan
sampah dan limbah yang belum memenuhi syarat kesehatan, vektor penyakit
yang tidak terkendali (nyamuk, lalat, kecoa, ginjal, tikus dan lain-lain), pemaparan
akibat kerja (penggunaan pestisida di bidang pertanian, industri kecil dan sektor
informal lainnya), bencana alam, serta perilaku masyarakat yang belum
mendukung ke arah pola hidup bersih dan sehat.
Para ahli kesehatan masyarakat sangat sepakat dengan kesimpulan Bloom yang
mengatakan bahwa kontribusi terbesar terhadap terciptanya peningkatan derajat
kesehatan seseorang berasal dari kualitas kesehatan lingkungan dibandingkan
faktor yang lain. Bahkan, lebih jauh menurut hasil penelitian para ahli, ada
korelasi yang sangat bermakna antara kualitas kesehatan lingkungan dengan
kejadian penyakit menular maupun penurunan produktivitas kerja. Pendapat ini
menunjukkan bahwa demikian pentingnya peranan kesehatan lingkungan bagi
manusia atau kualitas sumber daya manusia.
Rumah sehat merupakan salah satu sarana untuk mencapai derajat kesehatan yang
optimum. Untuk memperoleh rumah yang sehat ditentukan oleh tersedianya
sarana sanitasi perumahan. Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat
yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap struktur fisik dimana orang
menggunakannya untuk tempat tinggal berlindung yang mempengaruhi derajat
kesehatan manusia. Rumah juga merupakan salah satu bangunan tempat tinggal
yang harus memenuhi kriteria kenyamanan, keamanan dan kesehatan guna
mendukung penghuninya agar dapat bekerja dengan produktif.
A. Intrumen Penilaian Rumah Sehat
Dalam menentukan kriteria dan pembobotan instruman penilaian rumah sehat
ini digunakan metode Professional Adjustment, dengan tetap mengacu pada
beberapa teori yang ada seperti Derajat Kesehatannya Blum. Namun pada
dasarnya pemberian bobot ini tetap mengacu pada asumsi dasar berupa tingkat
signifikansi suatu Komponen pada besar kecilnya peran dalam menimbulkan
masalah sanitasi serta kemungkinan peluang intervensi perbaikan sebagai
tindak lanjut pengawasan. Instrument tersebut juga sesuai dengan Pedoman
Teknis Penilaian Rumah Sehat (Depkes RI, Tahun 2007).
Penentuan nilai-nilai pada setiap parameter ditentukan sesuai jumlah kriteria
yang ada, dengan range sesuai blangko SSD1.
Pembobotan terhadap kelompok komponen rumah, kelompok sarana sanitasi,
dan kelompok perilaku didasarkan pada teori Blum, yang diinterpetasikan
terhadap:
1. Lingkungan (45%)
2. Perilaku (35%)
3. Pelayanan Kesehatan (15%)
4. Keturunan (5%)
Dalam hal rumah sehat , prosentase pelayanan kesehatan dan keturunan
diabaikan, sedangkan untuk penilaian lingkungan dan perilaku ditentukan
sebagai berikut :
1. Bobot komponen rumah (25/80 x 100%) : 31
2. Bobot sarana sanitasi (20/80 x 100%) : 25
3. Bobot perilaku (35/80 x 100%) : 44
Penentuan kriteria rumah berdasarkan pada hasil penilaian rumah yang
merupakan hasil perkalian antara nilai dengan bobot, dengan kriteria sebagai
berikut :
1. Memenuhi Syarat : 80 – 100% dari total skor
2. Tidak memenuhi syarat : < 80% dari total skor
B. Kriteria Rumah Sehat
Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, disamping
kebutuhan sandang dan pangan. Rumah berfungsi sebagai tempat tinggal
serta digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup
lainnya. Rumah juga merupakan tempat berkumpulnya anggota keluarga
untuk menghabiskan sebagian besar waktunya. Bahkan bayi, anak-anak,
orang tua, dan orang sakit menghabiskan hampir seluruh waktunya di
rumah.
Pengertian Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
1992, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau
hunian dan sarana pembinaan keluarga. Sedangkan yang dimaksud dengan
Sehat menurut World Health Organization (WHO) “Sehat adalah suatu
keadaan yang sempurna baik fisik, mental, maupun Sosial Budaya, bukan
hanya keadaan yang bebas dari penyakit dan kelemahan (kecacatan)”.
Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Rumah
Sehat sebagai tempat berlindung atau bernaung dan tempat untuk
beristirahat sehingga menumbuhkan kehidupan yang sempurna baik fisik,
rohani maupun sosial budaya.
Persyaratan
Secara umum rumah dikatakan sehat apabila memenuhi kriteria sebagai
berikut : (Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat, Depkes RI, 2007)
1. Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain privacy yang cukup,
komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan penghuni
rumah, adanya ruangan khusus untuk istirahat (ruang tidur), bagi
masing-maing penghuni.
2. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar
penghuni rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja
dan limbah rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus,
kepadatan hunian yang tidak berlebihan, cukup sinar matahari
pagi, terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran,
disamping pencahayaan dan penghawaan yang cukup.
3. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik
yang timbul karena pengaruh luar dan dalam rumah, antara lain
persyaratan garis sempadan jalan, konstruksi bangunan rumah,
bahaya kebakaran dan kecelakaan di dalam rumah.
Rumah yang sehat harus dapat mencegah atau mengurangi resiko
kecelakaan seperti terjatuh, keracunan dan kebakaran (Winslow dan
APHA). Beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam kaitan dengan hal
tersebut antara lain :
a. Membuat konstruksi rumah yang kokoh dan kuat.
b. Bahan rumah terbuat dari bahan tahan api.
c. Pertukaran udara dalam rumah baik sehingga terhindar dari bahaya
racun dan gas.
d. Lantai terbuat dari bahan yang tidak licin sehingga bahaya jatuh
dan kecelakaan mekanis dapat dihindari.
e. Memenuhi kebutuhan fisiologis antara lain pencahayaan,
penghawaan dan ruang gerak yang cukup, terhindar dari
kebisingan yang mengganggu.
Beberapa aspek yang berkaitan dengan rumah sehat dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a. Ventilasi
Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam dan
pengeluaran udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah
maupun mekanis. Tersedianya udara segar dalam rumah atau ruangan
amat dibutuhkan manusia, sehingga apabila suatu ruangan tidak
mempunyai sistem ventilasi yang baik dan over crowded maka akan
menimbulkan keadaan yang dapat merugikan kesehatan (Gunawan et
al., 1982).
Rumah yang memenuhi syarat ventilasi baik akan mempertahankan
kelembaban yang sesuai dengan temperatur kelembaban udara (Azwar,
1990). Standart luas ventilasi rumah, menurut Kepmenkes RI No. 829
tahun 1999, adalah minimal 10% luas lantai. Menurut Frinck (1993)
setiap ruang yang dipakai sebagai ruang kediaman sekurang-kurangnya
terdapat satu jendela lubang ventilasi yang langsung berhubungan
dengan udara luar bebas rintangan dengan luas 10% luas lantai. Ruangan
yang ventilasinya kurang baik a kan membahayakan kesehatan khususnya
saluran pernapasan. Terdapatnya bakteri di udara disebabkan adanya
debu dan uap air. Jumlah bakteri udara akan bertambah jika penghuni
ada yang menderita penyakit saluran pernapasan, seperti TBC, Influenza,
dan ISPA. Dalam pengertiaqn ventilasi ini dari aspek fungsi juga tercakup
jendela. Luas ventilasi atau jendela adalah luas lubang untuk proses
penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor baik secara alami
atau mekanis. Ventilasi atau jendela mempunyai peran dalam rumah untuk
mengganti udara ruangan yang sudah terpakai. Fungsi utama ventilasi dan
jendela antara lain (Subbin P2P&PL Dinkes Propinsi Jawa Timur).
a) Sebagai lubang masuk dan keluar angin sekaligus sebagai lubang
pertukaran udara atau lubang ventilasi yang tidak tetap (sering
berupa jendela atau pintu).
b) Sebagai lubang masuknya cahaya dari luar (sinar matahari).
Agar udara dalam ruangan segar persyaratan teknis ventilasi dan jendela
ini sebagai berikut :
1. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai
ruangan dan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka
dan ditutup) minimum 5% luas lantai, dengan tinggi lubang
ventilasi minimal 80 cm dari langit- langit.
2. Tinggi jendela yang dapat dibuka dan ditutup minimal 80
cm dari lantai dan jarak dari langit-langit sampai jendela
minimal 30 cm.
3. Udara yang masuk harud udara yang bersih, tidak dicemari
oleh asap pembakaran sampah, knaolpot kendaraan, debu
dan lain-lain.
4. Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan
menempatkan lubang hawa berhadapan antara dua dinding
ruangan.Aliran udara ini diusahakan tidak terhalang oleh
barang-barang seperti almari, dinding, sekat-sekat, dan lain-
lain.
5. Kelembaban udara dijaga antara 40% s/d 70%.
Untuk memperoleh ventilasi yang baik dapat dilaksanakan dengan cara :
1. Ventilasi alamiah, merupakan ventilasi yang terjadi secara alamiah,
dimana udara masuk kedalam ruangan melalui jendela, pintu, atau
lubang angin yang sengaja dibuat.
2. Ventilasi Mekanik, merupakan ventilasi buatan dengan
menggunakan :
(a) AC (Air Conditioner), yang berfungsi untuk menyedot udara
dalam ruang kenudian disaring dan dialirkan kembali dalam
ruangan.
(b) Fan (Baling-baling) yang menghasilkan udara yang dialirkan
ke depan.
(c) Exhauser, merupakan baling-baling penyedot udara dari dalam
dan luar ruangan untuk proses pergantian udara yang sudah
dipakai.
b. Pencahayaan
Penerangan ada dua macam, yaitu penerangan alami dan
buatan. Penerangan alami sangat penting dalam menerangi rumah
untuk mengurangi kelembaban. Penerangan alami diperoleh dengan
masuknya sinar matahari ke dalam ruangan melalui jendela, celah
maupun bagian lain dari rumah yang terbuka, selain berguna untuk
penerangan sinar ini juga mengurangi kelembaban ruangan, mengusir
nyamuk atau serangga lainnya dan membunuh kuman penyebab
penyakit tertentu, misalnya untuk membunuh bakteri adalah cahaya
pada panjang gelombang 4000 A sinar ultra violet (Azwar, 1990).
Penyakit atau gangguan saluran pernapasan dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan yang buruk. Lingkungan yang buruk tersebut dapat berupa
kondisi fisik perumahan yang tidak mempunyai syarat sepertiventilasi,
kepadatan penghuni, penerangan dan pencemaran udara dalam rumah.
Lingkungan perumahan sangat berpengaruh terhadap terjadinya ISPA
(Ranuh,1997).
Cahaya matahari disamping berguna untuk menerangi ruangan,
mengusir serangga (nyamuk) dan tikus, juga dapat membunuh
beberapa penyakit menular misalnya TBC, cacar, influenza, penyakit
kulit atau mata, terutama matahari langsung. Selain itu sinar matahari
yang menga ndung sinar ultra violet baik untuk pertumbuhan tulang
anak - anak (Suyono, 1985). Rumah sebagai tempat tinggal yang
memenuhi syarat kesehatan dan kenyamanan dipengaruhi oleh 3 (tiga)
aspek, yaitu pencahayaan, penghawaan, serta suhu udara dan kelembaban
dalam ruangan. Aspek-aspek tersebut merupakan dasar atau kaidah
perencanaan rumah sehat dan nyaman. Pencahayaan matahari sebagai
potensi terbesar yang dapat digunakan sebagai pencahayaan alami pada
siang hari. Pencahayaan yang dimaksud adalah penggunaan terang langit,
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Cuaca dalam keadaan cerah dan tidak berawan
2. Ruangan kegiatan mendapatkan cukup banyak cahaya
3. Ruang kegiatan mendapatkan distribusi cahaya secara
merata
Kualitas pencahayaan alami siang hari yang masuk ke dalam ruangan
ditentukan oleh:
a. Kegiatan yang membutuhkan daya penglihatan (mata)
b. Lamanya waktu kegiatan yang membutuhkan daya
penglihatan (mata)
c. Tingkat atau gradasi kekasaran dan kehalusan jenis
pekerjaan
d. Lubang cahaya minimum sepersepuluh dari luas lantai
ruangan
e. Sinar matahari langsung dapat masuk ke ruangan minimum
1 (satu) jam setiap hari
f. Cahaya efektif dapat diperoleh dari jam 08.00 sampai
dengan jam 16.00.
c. Kepadatan Penghuni
Kepadatan penghuni merupakan luas lantai dalam rumah dibagi
dengan jumlah anggota keluarga penghuni tersebut, kebutuhan ruangan
untuk tempat tinggal tergantung pada kondisi keluarga yang bersangkuta.
Menurut Kepmenkes RI (1999) luas ruangan tidur minimal 8 m2 dan
tidak dianjurkan lebih dari 2 orang. Bangunan yang sempit dan tidak
sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya
oksigen dalam ruangan sehingga daya tahan tubuh penghuninya
menurun, kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernafasan seperti
ISPA. Ruangan yang sempit akan membuat nafas sesak dan mudah
tertular penyakit oleh anggota keluarga yang lain.
Kepadatan hunian rumah akan meningkatkan suhu ruangan yang
disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang akan meningkatkan
kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut.Dengan demikian,
semakin banyak jumlah penghuni rumah maka semakin cepat udara
ruangan mengalami pencemaran gas atau bakteri. Dengan banyaknya
penghuni, maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti
oleh peningkatan CO 2 ruangan dan dampak dari peningkatan CO2
ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam rumah.
Kebutuhan ruang per orang dihitung berdasarkan aktivitas dasar manusia
di dalam rumah. Aktivitas seseorang tersebut meliputi aktivitas tidur,
makan, kerja, duduk, mandi, kakus, cuci dan masak serta ruang gerak
lainnya. Dari hasil kajian, kebutuhan ruang per orang adalah 9 m2 dengan
perhitungan ketinggian rata-rata langit-langit adalah 2.80 m. (Luas
bangunan 3.5 m2 per orang).
II.5. Kerangka Teori
Menurut hasil penelitian bersama antara depkes dengan UNICEF (united
childern’s fund) tahun 1993, bahwa penyakit saluran pernafasan dan TB paru
dapat dicegah apabila sanitasi suatu rumah terpenuhi antara lain ventilasi udara,
pencahayaan, tidak lembab, padat huni, kamar lebih dari satu dan asap dapur tidak
masuk kekamar tidur, sperti kerangka teori berikut :
Kerangka teori pencegahan penyakit TB paru
Kepadatan rumah
Ventilasi udara rumah
Pencahayaan /
penerangan rumah
Penularan Penyakit
TB paru
Kelembaban
Kamar
Pengetahuan
Sumber : Penelitian bersama Depkes dengan UNICEF
Menurut (enjtang 1999 : 18 ), berhasil atau tidak hasilnya pemberantasan TB paru
tergantung pada keadaan sosial masyarakat, kesadaran berobat penderita,
pengetahuan penderita, keluarga dan masyarakat.
II.6 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori dan tinjauan kepustakaan yang ada maka
disusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut :
Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Pengetahuan
Kepadatan Hunian
Luas Ventilasi Kejadian Penyakit TB paru
Pencahayaan Rumah
Pelayanan kesehatan
II.7 Hipotesis
Hipotesis nol ( H0) adalah hipotesis yang digunakan untuk pengukuran statistik
dan interpretasi hasil statistik (nursalam. 2003 : 58-59).
a. Tidak ada hubungan antara pengetahan dengan kejadian penyakit TB paru.
b. Tidak ada hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian penyakit TB paru.
c. Tidak ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit TB
paru..
d. Tidak ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian penyakit TB paru.
e. Tidak ada hubungan antara pelayanan kesehatan dengan kejadian penyakit
TB paru.
Hipotesis Alternatif (Ha) adalah hipotesis alternatif ysng digunkan untuk
pengukuran statistik dan intepretsi hasil statistik, (nursalam, 2003 :59)
a. Ada hubungan antara pengetahan dengan kejadian penyakit TB paru.
b. Ada hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian penyakit TB paru.
c. Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit TB paru..
d. Ada hubungan antara pencahayaan dengan kejadian penyakit TB paru.
e. Ada hubungan antara pelayanan kesehatan dengan kejadian penyakit TB
paru.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
III.1 Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian analitik dengan pendekatan
cross sectional untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan lingkungan fisik
rumah dengan penularan penyakit TB Paru di wilayah kerja puskesmas Sekupang
Kota Batam Kelurahan Tanjung Riau, dimana antara variable dependent dan
variable independent diamati pada waktu yang bersamaan.
III.2 lokasi dan Waktu Penelitian
III.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota
Batam Kelurahan Tanjung Riau.
III.2.2. Waktu penelitian
Waktu penelitian ini dimulai dengan pengusulan judul penelitian ,
penelusuran daftar pustaka, persiapan proposal penelitian, perancangan kuisioner,
konsultasi dengan pembimbing, pelaksanaan penelitian, analisa data penelitian
serta penyusunan laporan akhir penelitian. Penelitian ini dilaksanakan selama 2
bualan, yaitu dimulai dari bulan Februari akhir sampai dengan bulan April 2013 di
wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan Tanjung Riau.
III.3. Populasi dan Subjek Penelitian
III.3.1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang dieliti
(Notoatmojo, 2010) Sebagai populasi dalam penelitian ini adalah semua warga di
kelurahan Tanjung Riau, Sekupang.
III.3.2. Sampel
Sampel penelitian adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili
seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010).
3.4. Besar Sampel
Untuk menentukan ukuran sampel dari populasi digunakan rumus
sebagaimana dikemukakan (Lemeshow, et al, 1997) sebagai berikut:
n= Z 2 1-a/2 p.q
d2
Dimana :
n= ukuran sampel yang diperlukan
p= perkiraan proporsi : jumlah penderita TB Paru (+)
Jumlah Penduduk
q= 1-p
d= tingkat akurasi= 0,05
Z2 1-a/2= statistic Z pada distribusi normal standar, pada tingkat kemaknaan a.
III.5. Teknik Sampel
Pengambilan penentuan sampel menggunakan systematic random
sampling dengan acuan rumah penderita. Dari rumah penderita diambil tiga orang
responden masing - masing dari rumah depan samping dan belakang.
III.6. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian
ditarik kesimpulannya. (Sugiyono, 2011: 38)
Sedangkan, definisi operasional adalah penentuan construct sehingga menjadi
variabel yang dapat diukur. Definisi operasional menjelaskan cara tertentu dapat
digunakan oleh peneliti dalam mengoperasionalisasikan construct, sehingga
memungkinkan bagi peneliti yang lain untuk melakukan replikasi pengukuran
dengan cara yang sama atau mengembangkan cara pengukuran construct yang
lebih baik. (Umi Narimawati , 2011:31)
III.6.1. Variabel Bebas (Independent Variable)
Variabel bebas (Independent Variable) adalah Variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel
terikat (Variable dependent). Sugiyono (2009:59)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pengetahuan, kepadatan hunian,luas
ventilasi, dan pencahayaan rumah, Penyuluhan Kesehatan, Sikap Pelayanan
Kesehatan, dan Lokasi Kesehatan penderita TB paru.
III.6.2. Variabel Terikat (Dependent Variable)
Variabel terikat (dependent variable) merupakan variabel yang dipengaruhi atau
yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. (Sugiyono,2009:59)
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian penularan penyakit TB paru.
III.6.3. Definisi Operasional
N
o
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
Variabel
dependent
1 Kejadian
penyakit TB
paru
Terjadinya
penularan penyakit
TB paru pada
orang sekitar
Observasi
dan
pemeriksaan
klinis
Check list
dan
mikroskop
Dengan
pemeriksaan
dahak
Ordinal
dengan penderita
TB paru , baik anak
anak maupun
dewasa yang
disebabkan
mycobacterium
tuberculosa yang
menyerang paru
dengan gejala
batuk >2 minggu
dan BTA positif
dengan
pemeriksaan
laboratorium
laboratorium binokuler BTA (+)=0
BTA (-)=1
Variabel
independent
2 Pengeta-
huan
Pengetahuan
adalah beberapa hal
yang diketahui
penderita sekitar
TB paru
Observasi
dan
wawancara
Check list
dan
kuisioner
> 50%
baik=1
≤ 50%
buruk=0
Ordinal
3 Kepadatan
hunian
Jumlah penghuni
dalam satu rumah
yang melebihi
kapasitas yaitu 2x4
meter untuk dihuni
2 orang
Observasi,
kuisioner dan
wawancara
Check list
dan
meteran
Luas rumah <
45 m2 untuk
>5 orang =
padat = (0)
Luas rumah >
45 m2 untuk
≤5 orang =
tidak padat =
Ordinal
(1)
4 Luas
ventilasi
Tempat
mengalirnya udara
sebanyak
banyaknya menurut
perhitungan
keadaan ruangan
minimal 10% luas
lantai
Observasi
dan
pengukuran
Check list
dan roll
meter
10% dari luas
lantai=baik=
(1)
<10%=buruk
=(0)
Ordinal
5 Pencahayaa
n rumah
Masuknya cahaya
yang dapat berasal
dari cahaya alami
dan buatan seperti
matahari dan lampu
ke dalam ruangan
yang ada di rumah
dengan merata
Observasi,
pengukuran
serta
kuisioner
Check list
dan lux
meter
Cahaya
matahari
masuk &
menyebar
merata di
dalam
rumah=baik.
=(1)
Cahaya
matahari
tidak masuk
& tidak
menyebar
merata atau
masuk tapi
tidak
menyebar
merata di
dalam rumah
=buruk=(0)
Ordinal
6 Penyuluhan
Kesehatan
Adanya pemberian
informasi
mengenai penyakit
TB yang dapat
menambah
wawasan
masyarakat
terhadap penyakit
TB Paru
kuisioner Check list Masyarakat
pernah
mendapat
penyuluhan=
baik=1
Masyarakat
tidak pernah
mendapat
penyuluhan
=buruk=0
Ordinal
7 Sikap
Pelayanan
Kesehatan
Tanggapan petugas
pelayanan
kesehatan terhadap
keluhan yang
disampaikan pasien
dan tindak
lanjutnya
kuisioner Check list Ramah,
menanggapi
keluhan dan
kemajuan
pasien,
memberikan
penjelasan
tentang
penyakit,
mengingat-
kan untuk
periksa ulang
dan
mengambil
obat= baik=1
Tidak
Ramah,
menanggapi
keluhan dan
Ordinal
kemajuan
pasien,
memberikan
penjelasan
tentang
penyakit,
mengingat-
kan untuk
periksa ulang
dan
mengambil
obat =
buruk=0
8 Lokasi
Kesehatan
Terjangkau atau
tidaknya sarana
pelayanan
kesehatan terhadap
lokasi rumah
pasien
kuisioner Check list Terjangkau =
baik=1
Tidak
terjangkau =
buruk=0
Ordinal
III.7. Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan pada subjek dan proses
pengumpulan karakteristik yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam,
2003:18)
Pengumpulan data terdiri dari :
III.7.1. Data Primer
Merupakan data yang didapat langsung melalui observasi dan wawancara
dengan responden menggunakan kuisioner atau juga melalui pengkuran langsung
kepada suatu objek yang diteliti dengan alat ukur yang sesuai.
III.7.2. Data Sekunder
Data tentang keteraturan pasien berobat dengan melihat daftar kunjungan
pasien dalam pengambilan obat setiap kali obat habis. Selanjutnya beberapa
tambahan data yang dapat diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Batam dan
Puskesmas Sekupang Kota Batam.
III.8. Pengolahan Data
Data yang sudah dikumpulkan, kemudian diolah dengan menggunakan
bantuan perangkat lunak computer serta dianalisis, pengolahan data yang
mencakup antara lain kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
Editing
Adalah menyeleksi data yang telah didapat dari hasil wawancara untuk
mendapatkan data yang akurat
Koding
Adalah melakukan pengkodean adat agar tidak terjadi kekeliruan dalam
melakukan tabulasi data.
Tabulasi Data
Adalah penyusunan data sedemikian rupa sehingga memudahkan dalam
penjumlahan data dan disajikan dalam bentuk tulisan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
IV.1. Gambaran Umum Puskesmas Sekupang
IV.1.1. Letak Puskesmas Sekupang
Puskesmas Sekupang terletak di wilayah Kelurahan Sei Harapan
Kecamatan Sekupang Kota Batam, mempunyai wilayah kerja yaitu kecamatan
Sekupang dengan 7 kelurahan yaitu : Sungai Harapan, Tanjung Riau, Tanjung
Pinggir, Tiban Indah, Tiban Lama, Patam Lestari dan Tiban Baru. Wilayah kerja
Puskesmas Sekupang berbatasan dengan :
Bagian Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Belakang Padang
Bagian Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Sagulung
Bagian Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Batam Kota
Bagian Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Batu Aji
Luas wilayah Kerja Puskesmas Sekupang
No. KELURAHAN LUAS WILAYAH
1. Sungai Harapan 7,0 km2
2. Tanjung Riau 16,0 km2
3. Tanjung Pinggir 10,0 km2
4. Tiban Indah 10,0 km2
5. Tiban Lama 10,0 km2
6. Patam Lestari 10,0 km2
7. Tiban Baru 10,0 km2
Jumlah 93,0 km2
Sumber : kecamatan Sekupang dan Batuaji
Untuk mewujudkan Visi Puskesmas pada tahun 2011, dan Misi yang telah
ditetapkan yang dilakukan menggunakan pendekatan Sistem Manajemen
Kesehatan Terpadu terdiri dari fungsi-fungsi pokok yaitu :
Fungsi manajemen umum melalui konsep pengelolaan yang efektif dan
efisien
Fungsi sistem infoormasi melalui analisis kependudukan, resiko
lingkungan, resiko perilaku sistem surveilans, sistem informasi geografis,
sistem jaringan komunikasi.
Fungsi perencanaan melalui perencanaan program kesehatan terpadu
(P2KT)
Fungsi intervensi program kesehatan melalui pemasaran sosial, kemitraan
dan pemberdayaan masyarakat.
Fungsi audit melalui audit khusus dan audit kesehatan masyarakat untuk
menilai keberhasilan keselurah program kesehatan.
Untuk mewujudkan hal tersebut di atas Puskesmas akan ditempuh strategi sebagai
berikut :
o Menggerakan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup bersih dan
lingkungan yang sehat
o Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang
berkualitas
o Meningkatkan Sistem Surveilans, Monitoring, dan Informasi Kesehatan
o Melaksanakan Upaya Kesehatan masyarakat dan perorangan
o Meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya kesehatan
o Meningkatkan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan dalam
upaya penyelenggaraan sistem kesehatan daerah (SKD). Selain itu juga
melaksanakan dan memberikan pelayanan rujukan upaya kesehatan.
o Kerjasama horizontal : meningkatkan kerjasama antar pemegang program
dilingkungan Puskesmas.
o Kerjasama vertikal : meningkatkan kerjasama dengan pemerintah kota,
provinsi dan pusat.
o Kerjasama dengan masyarakat dan swasta : meningkatkan kerjasama
dengan masyarakat dan pihak swasta dengan prinsip saling
menguntungkan semua pihak.
o Menyiapkan Sumber dys Manusia (tenaga kesehatan yang berkualitas)
untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
o Meningkatkan Pembiayaan Kesehatan
Untuk tercapainya tujuan dan sasaran menuju terwujudnya Visi Puskesmas, maka
peran Puskesmas dalam penyelengaraan pembangunan kesehatan di kota Batam
dilaksanakan berdasarkan pada kebijakan sebagai berikut :
Peningkatan Promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat
Peningkatan Kualitas Kesehatan Lingkungan.
Peningkatan Kualitas Pelayanan kesehatan oleh Puskesmas beserta
jajarannya.
Peningkatan pembinaan dan pengawasan obat, makanan, bahan
berbahaya dan perbekalan kesehatan.
Peningkatan pencegahan dan pengendalian penyakit menular dan tidak
menular
Pengembangan Sumber Daya Kesehatan
Pengembangan manajemen dan regulasi bidang kesehatan di era
desentralisasi dan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, peran
Pemerintah Daerah sangat penting dan menentukan dalam pencapaian
tujuan pembangunan kesehatan.
Sesuai dengan Sistem kesehatan Nasional, Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama mempunyai 3 fungsi sebagai berikuut :
Pusat Penggerak Pembangunan Berwawasan Kesehatan.
Pusat Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga
Pusat Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama
Salah satu faktor penting dalam melaksanakan pelayanan kesehatan adalah adanya
tenaga kesehatan yang cukup meningkatkan pelayan kesehatan. Perlu peningkatan
SDM tenaga kesehatan baik dari segi kuantitas dan kualitas yang ditempatkan
pada sarana dan prasarana dalam rangka menunjang kelancaran pelayanan
tersebut jumlah tenaga kesehatan di Puskesmas Sekupang.
IV.1.2. Struktur Organisasi, Tugas Pokok dan Fungsi Puskesmas Serta
Struktur Organisasi Puskesmas Sekupang Kota Batam.
Struktur Organisasi dan Tata Kerja Puskesmas diatur didalam Keputusan Menteri
Dalam Negeri no.23 tahun 1994 yang tercantum dalam buku Pedoman Kerja
Puskesmas Jilid 1, Departemen Kesehatan RI th 1999. Berdasarkan pedoman
inilah dibentuk Struktur Organisasi (SOT) Puskesmas sebagaimana bagan
dibawah ini :
Struktur Organisasi dan Tata kerja (SOT) Puskesmas Sekupang, Kota Batam
Keterangan :
Kepala Puskesmas
Bagian Tata Usaha :
Bagian Umum
Bagian Kepegawaian
Bagian Perlengkapan/barang
Bagian Keuangan
SP2TP
Unit Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit ,ttd :
Upaya Imunisasi
Surveilans Penyakit
P2 DHF
P2 Malaria
P2 TB
P2 ISPA
P2 Diare
P2 IMS
Unit Peningkatan dan Kesehatan Keluarga,ttd :
Upaya kesehatan ibu dan anak
Upaya peningkatan anak pra sekolah
Upaya kesehatan kb
Upaya peningkatan gizi
Upaya kesehatan usia lanjut
Upaya kesehatan kerja
Upaya kesehatan reproduksi remaja
Unit pemulihan kesehatan dan rujukan
Upaya pelayanan dan pengobatan
Upaya pelayanan kesehatan gigi dan mulut
Upaya pelayanan rujukan
Unit kesehatan lingkungan, PKM dan PSM :
Uapay kesehatan lingkungan
Upaya penyuluhan kesehatan masyarakat
Upaya peran serta masyarakat termasuk batra dan posyandu
Upaya kesehatan sekolah
Upaya kesehatan olah raga
Upaya pelayanan perawatan kesehatan masyarakat
Unit perawatan :
Upaya pelayanan rawat inap
Unit penunjang :
Laboratorium
Apotik
Gudang obat
Unit pelaksana khusus :
Upaya kesehatan mata
Upaya kesehatan jiwa
Upaya kesehatan untuk keluarga miskin / JPS-BK
Upaya pelayanan fungsional :
Puskesmas pembantu/pustu
Polindes/bidan desa
IV.1.3. Geografi
Puskesmas sekupang merupakan salah satu wilayah di kota batam povinsi
kepulauan riau, terletak antara 0,55o-1,55o lintang utara, 45o-104,10o bujur
timur, sebelah utara berbatasan dengan belakang padang, sebelah selatan
berbatasan dengan wilayah kecamatan sagulung, sebelah barat berbatasan dengan
kecamatan batu aji dan sebelah timur berbatsan dengan kecamatan batam kota.
Faktor geografi ini mencakup aspek keadaan alam dan sumber daya alam (SDA)
yang dapat berpengaruh besar terhadap pembangunan kesehatan. Pengaruh ini
dapat bersifat menunjang dan dapat pula bersifat menghambat.
Tersedianya SDA merupakan faktor yang menunjang kesehatan baik langsung
maupun tidak langsung. Keadaan geografi yang tidak menguntungkan antara lain
keadaan pemukiman penduduk yang berpencar-pencar dan terpencil serta
pemukiman yang padat merupakan kendala dalam pembangunan kesehatan yaitu
upaya peningkatan perluasan dan pemerataan kesempatan untuk hidup sehat.
SDA baik yang terkandung didaratan, disunga,maupun dilaut (jika ada)
merupakan potensi ekonomi yang besar. Hal ini berarti bahwa pengelolaan SDA
secara efisiensi akan meningkatkan pendapatan pemerintah daerah dan secara
tidak langsung akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan
pendapatan daerah dan kesejahteraan masyarakat jelas akan memberi dampak
positif terhadap penyediaan dana dan fasilitas kesehatan sehingga pengembangan
kesehatan dapat terlaksana sesuai harapan.
Rencana umum tata ruang (RUTR) kota batam yang berwawasanramah
lingkungan harus dijadikan pedoman perencanaan terpadu pembangunan, agar
tatanan lingkungan hidup dan pemanfaat SDA, sumber daya mabusia (SDM) dan
sumber daya buatan(SDB) dapat dilakukan secara tepat guna,berdaya guna serta
berhasil guna secara berkelanjutan.
IV.1.4. Demografi
Berdasarkan undang-undang kesehatan diperuntukan bagi seluruh masyarakat
indonesia dan salah satu tujannya adalah meningkatkan derajat kesehatan yang
setinggi tingginya. Dengan demikian penduduk baik sebagai perorangan maupun
sebagai kelompok masyarakat merupakan sasaran kegiatan pembangunan
kesehatan. Oleh karena itu aspek aspek kependudukan,dinamika penduduk dan
masalah yang ditemui dalam masyarakat akan sangat mempengaruhi kesehatan.
Tabel
Keadaan kependudukan
No. Kelurahan Laki-laki Perempuan jumlah
1. Tiban indah 6416 6085 12501
2. Patam lestari 9585 8742 18327
3. Tiban baru 11306 10830 22136
4. Tiban lama 12130 11131 23261
5. Sungai harapan 8783 8753 17536
6. Tanjung pinggir 7117 6072 13289
7. Tanjung riau 6960 6015 12975
Jumlah 62297 57628 119925
Sumber : profil kecamatan sekupang tahun 2009
IV.2 Gambaran Umum Kelurahan Tanjung Riau
DATA GEOGRAFI
» Luas wilayah : 36123 km²
» Batas wilayah
- Utara : Kel Sei Harapan.
- Timur : Kec Batu Aji
- Selatan : Kel Tg Uncang
- Barat : Kec Blakang Padang
» Topografi Wilayah
-Pebukitan : 3
- Daratan :
- Pulau : 3( P.Seloko, P.seraya, P.Janda Berias)
- Rawa : mangrove/bakau
- Hutan lindung : 738 ha
- Jumlah RT : 78 RT
- Jumlah RW : 17 RW
- Perumahan :
DATA PEKERJAAN MASYARAKAT
» Pegawai Pemerintah : 533
» Pegawai Swasta : 3812
» Nelayan : 310
» wiraswasta bueuh dll :1225
DATA TINGKAT PENDIDIKAN MASYARAKAT
Tingkat pendidikan Laki-laki Perempuan Jumla
h
Usia 1-4 th s/d 18 tahun yg sedang sekolah 1280 1616 2896
Usia 18 s/d 56 th tidak pernah sekolah 85 108 198
Usia 18 s/d 56 th pernah SD tp tak tamat 105 120 225
Usia 12 s/d 56 th pernah SMP tp tdk tamat 168 200 368
Usia 18 s/d 56 th pernah SMA tp tdk tamat 140 159 299
Tamat SD 640 626 1266
Tamat SMP 496 596 1025
Tamat SMA 1369 1793 3162
Tamat D1 6 10 16
Tamat D2 54 70 124
Tamat D3 169 126 295
Tamat S1 97 162 259
Tamat S2 1 - 1
Jumlah 4796 5791 10587
DATA PENDUDUK
» Jumlah penduduk : 17.069
» Jumlah KK : 5130
» Jumlah Jiwa dalam keluarga
- Laki- laki : 5677
- Perempuan : 6825
JUMLAH PENDUDUK MENURUT USIA
Usia jumlah
<1 87
1 s/d 4 tahun 1029
5 s/d 9 tahun 1839
10 s/d 14 tahun 1356
15 s/d 19 tahun 1060
20 s/d 24 tahun 1539
25 s/d 29 tahun 2373
30 s/d 34 tahun 2499
35 s/d 39 tahun 1915
40 s/d 44 tahun 1358
45 s/d 49 tahun 829
50 s/d 54 tahun 493
55 s/d 59 tahun 287
60 s/d 64 tahun 191
65 s/d 69 tahun 94
70 s/d 74 tahun 74
>74 tahun 46
Jumlah 17069
JUMLAH PENDUDUK MENURUT RW
RW JUMLAH KEPALA KELUARGA JUMLAH
PENDUDUK
1 523 1510
2 299 954
3 329 765
4 344 871
5 225 783
6 387 1363
7 326 1019
8 265 482
9 71 253
10 267 930
11 282 753
12 180 620
13 548 2015
14 274 1024
15 323 1036
16 227 709
JUMLAH 4870 15087
» Jumlah KK pemegang JAMKESMAS : 642 kk
» Jumlah jiwa pemegang kartu JAMKESMAS : 2577 jiwa
JUMLAH BANGUNAN
» Kantor Pemerintah : 5
» Sekolah
TK : 4
PAUD : 1
SD : 2
SLTP : 2
SLTA : 1
» Tempat Ibadah
Mesjid : 8
Mushola : 12
Gereja : 2
» Tempat-tempat Umum
Gedung Serba Guna : 1
Posyandu : 9
Pasar Inpres : 1
JUMLAH SARANA KESEHATAN
» PUSTU : 1
» POSKESDES : 1
Praktek Bidan Mandiri : 5
DATA KESLING
» Rumah Sehat :Permanen : 2182
Semi Permanen : 1205
Non Permanen : 678
» Sumber Air Bersih
- Sumur
- Waduk ( PAM ) : 4256 kk
- Air Hujan :2
- Sumur Gali : 523
» MCK
- Leher Angsa : 4356
- Cemplong : 470
» Pembuangan Sampah
- Sembarang : ke laut
- Di baker : Ya
- TPS : 4
DATA UKBM
» Posyandu : 9
- Tg. Riau
- Kp. Baru
- Kp. Bukit
- Kp. Ponjen
- S. Temiang
- P. Seraya
- Laguna
- Graha Mas
- Galaksi
» Posyandu USILA : 2
DATA KELEMBAGAAN MASYARAKAT
LPM, LKMD,LPM
IV. 3 Hasil Analisis Univariat
Tujuan dari analisis univariat adalah untuk menjelaskan atau mendeskripsikan tiap
variabel yang akan diteliti.
Dari hasil analisis univariat penelitian tentang hubungan pengetahuan,lingkungan
faktor fisik rumah dan pelayanan kesehatan dengan kejadian penyakit TB Paru di
wilayah kerja puskesmas sekupang kota batam tahun 2013 dapatkan sebagai
berikut :
IV.2.1. Distribusi frekuensi jenis kelamin kejadian penyakit TB Paru di
wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan Tanjung
Riau.tahun 2013.
Dari hasil seluruh variabel penelitian terhadap distribusi berdasarkan jenis
kelamin responden didapatkan hasil seperti tabel sebagai berikut :
Tabel
Distribusi frekuensi jenis kelamin kelamin kejadian penyakit TB Paru di
wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan Tanjung Riau.
tahun 2013.
No. Jenis kelamin Jumlah %
1. Laki-laki 19 52,78 %
2. Perempuan 17 47,22 %
Jumlah 36 100
Berdasarkan tabel 4.2 terlihat, bahwa dari 36 sampel yang ada sebagian besar
respondennya adalah berjenis kelamin laki-laki yaitu terdapat sebanyak 19
(52,78%) responden, sedangkan berjenis kelamin perempuan adalah sebanyak 17
(47,22 %) Responden.
IV.2.2. Distribusi frekuensi menurut golongan umur kejadian penyakit TB
Paru di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan Tanjung
Riau. tahun 2013.
Dari hasil seluruh variabel pengamatan terhadap distribusi terhadap kelompok
umur responden didapatkan hasil seperti tabel sebagai berikut ;
Tabel
Distribusi frekuensi menurut golongan umur kejadian penyakit TB Paru di
wilayah kerja puskesmas sekupang kota batam tahun 2013.
No. Golongan umur Jumlah %
1. 18th-25th 5 13,8 %
2. 26th-35th 11 30,55%
3. 36th-45th 21 58,3%
4. 45 th ke atas 9 25%
Jumlah 36 100%
Berdasarkan tabel 4.3 terlihat bahwa dari 36 responden mayoritas golongan umur
responden di wilayah kerja puskesmas sekupang kota batam tahun 2013 dijumpai
untuk 18-25 tahun terdapat sebanyak 5 (13,8 %) responden, umur 26-35 tahun
sebanyak 11 (30,55%) responden, umur 36-45 tahun sebanyak 21 (58,3%)
responden dan umur 45 tahun keatas terdapat sebanyak 9 (25 %) responden.
IV.2.3. Distribusi Frekuensi menurut Tingkat pendidikan kejadian penyakit
TB Paru di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan
Tanjung Riau.tahun 2013.
Dari hasil variabel pengamatan terhadap distribusi berdasarkan tingkat pendidikan
responden didapatkan hasil seperti tabel berikut :
Tabel
Distribusi Frekuensi menurut Tingkat pendidikan kejadian penyakit TB
Paru di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan Tanjung
Riau. tahun 2013.
No. TINGKAT PENDIDIKAN JUMLAH %
1
2
3
4
5
Tidak Sekolah
SD
SMP
SMA
S 1
5
17
8
5
1
13,9 %
47,22%
22.22%
13,9%
2,7%
JUMLAH 36 100
Berdasarkan tabel 4.4 terlihat bahwa sebagian besar tingkat pendidikan
masyarakat yang menjadi responden dari 36 responden pada penelitian ini adalah
untuk Tidak sekolah 5 (13,9% ) SD 17 ( 47,22% ) responden, SMP 8 (22.22% )
responden, SMA 5 ( 13,9% ) responden, dan S1 1 (2,7 %) responden.
IV.2.4. Distribusi Frekuensi menurut pekerjaan kejadian penyakit TB Paru
di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan Tanjung
Riau.tahun 2013.
Dari hasil seluruh variabel pengamatan terhadap distribusi berdasarkan mata
pencaharian responden didapatkan hasil seperi tabel sebagai berikut :
Tabel
Distribusi Frekuensi menurut pekerjaan kejadian penyakit TB Paru di
wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan Tanjung
Riau.tahun 2013
No. MATA PENCAHARIAN JUMLAH %
1
2
3
4
5
PEGAWAI NEGRI / SWASTA
NELAYAN
WIRASWASTA
BURUH
LAINNYA
1
9
6
3
17
2,7
25
16,7
8,33
47,22
JUMLAH 36 100
Berdasar tabel 4.5 terlihat, bahwa pekerjaan responden pada penelitian ini adalah
sebagai pegawai negri / swasta sebanyak 1 (2,7 %) responden, nelayan sebanyak
9 (25 %) responden, wiraswasta sebanyak 6 ( 16,7 %) responden, dan buruh
terdapat sebanyak 3 (8,33%) responden. lainnya terdapat sebanyak 17 ( 47,22 %)
responden.
IV.2.5. Distribusi Frekuensi menurut pengetahuan kejadian penyakit TB
Paru di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan Tanjung
Riau.tahun 2013
Dari hasil seluruh variabel pengamatan terhadap distribusi pengetahuan
penularan responden didapatkan hasil seperi tabel sebagai berikut :
Tabel
Distribusi Frekuensi menurut pengetahuan kejadian penyakit TB Paru di
wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan Tanjung
Riau.tahun 2013
No. Pengetahuan Jumlah %
1
2
Baik
Buruk
15
21
41,57 %
58,33 %
Jumlah 36 100
Berdasarkan tabel ?? terlihat bahwa sebagian besar pelayanan kesehatan di
wilayah kerja puskesmas sekupang kota batam tahun 2013 dari 36 responden
adalah pengetahuan yang baik 15 ( 41,57 %) responden, dan pengetahuan yang
buruk terdapat sebanyak 21(58,33 %) responden.
IV.2.6. Distribusi Frekuensi menurut kepadatan hunian rumah kejadian
penyakit TB Paru di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam
Kelurahan Tanjung Riau.tahun 2013
Dari hasil seluruh variabel pengamatan terhadap distribusi kepadatan hunian
rumah responden didapatkan hasil seperi tabel sebagai berikut :
Tabel
Distribusi Frekuensi menurut kepadatan hunian kejadian penyakit TB Paru
di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan Tanjung
Riau.tahun 2013
No. Kepadatan hunian Jumlah %
1
2
Tidak padat
Padat
13
23
36,11 %
63,89 %
Jumlah 36 100
Berdasarkan tabel 4.2.6 terlihat bahwa sebagian besar kepadatan hunian rumah di
wilayah kerja puskesmas sekupang kota batam tahun 2013 dari 36 responden
adalah frekuensi tidak padat sebanyak 13 ( 36,11 %) rumah, dan frekuensi
padat terdapat sebanyak 23 (63,89 %) rumah.
IV.2.7. Distribusi Frekuensi menurut luas ventilasi rumah kejadian penyakit
TB Paru di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan
Tanjung Riau.tahun 2013
Dari hasil seluruh variabel pengamatan terhadap distribusi keadaan ventilasi
rumah responden didapatkan hasil seperi tabel sebagai berikut :
Tabel
Distribusi Frekuensi menurut luas ventilasi rumah kejadian penyakit TB
Paru di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan Tanjung
Riau.tahun 2013
No. Ventilasi Jumlah %
1
2
Baik
Buruk
26
10
72.22 %
27,78 %
Jumlah 36 100
Berdasarkan hasil analisa tabel 4.8 terlihat, bahwa luas ventilasi rumah
masyarakat diwilayah kerja puskesmas sekupang kota batam dari 36 responden
adalah dengan frekwensi luas ventilasi baik terdapat sebanyak 26 (72.22 %)
rumah, dan frekuensi luas ventilasi buruk sebanyak 10 (27,78 %) rumah.
IV.2.8. Distribusi Frekuensi menurut pencahayaan rumah kejadian penyakit
TB di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan Tanjung
Riau.tahun 2013
Dari hasil seluruh variabel pengamatan terhadap distribusi keadaan pencahayaan
di rumah responden didapatkan hasil seperi tabel sebagai berikut :
Tabel
Distribusi Frekuensi menurut pencahayaan di kejadian penyakit TB Paru di
wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan Tanjung
Riau.tahun 2013
No. Pencahayaan Jumlah %
1
2
Baik
Buruk
35
1
97,22 %
2,78%
Jumlah 36 100
Berdasrkan hasil analisa tabel 4.9 terlihat, bahwa sebagian besar pencahayaan
rumah masyarakat diwilayah kerja puskesmas sekupang kota batam tahun 2013
dari 36 responden adalah pencahayaan frekwensi baik terdapat sebanyak 35
( 97,22 %) rumah, dan frekwensi pencahayaan yang buruk terdapat sebanyak 1 (
2,78%) rumah.
IV.2.9.Distribusi Frekuensi menurut pelayanan kesehatan kejadian penyakit TB
Paru di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan Tanjung
Riau.tahun 2013
Tabel ??
Dari hasil seluruh variabel pengamatan terhadap distribusi keadaan pelayanan
ksehatan terhadap responden didapatkan hasil seperi tabel sebagai berikut :
Distribusi Frekuensi penyuluhan tentang TB Paru terhadap kejadian penyakit TB
Paru di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan Tanjung
Riau.tahun 2013
No. Pengetahuan Jumlah %
1
2
Ada
Tidak ada
22
14
61,11%
38,89%
Jumlah 36 100
Berdasarkan tabel 4.9 terlihat bahwa sebagian besaryang mendapatkan
penyuluhan kesehatan di wilayah kerja puskesmas sekupang kota batam tahun
2013 dari 36 responden adalah mendapatkan penyuluhan 22 (61,11 %) responden,
dan tidak mendapatkan penyuluhan terdapat sebanyak 14(38,89 %) responden.
Tabel ??
Distribusi Frekuensi menurut sikap pelayanan kesehatan tehadap kejadian
penyakit TB Paru di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam
Kelurahan Tanjung Riau.tahun 2013
No. Pengetahuan Jumlah %
1
2
Baik
Buruk
36
0
100%
0 %
Jumlah 36 100
Berdasarkan tabel 4.9 terlihat bahwa sebagian besar sikap pelayanan kesehatan di
wilayah kerja puskesmas sekupang kota batam tahun 2013 dari 36 responden
adalah sikap pelayanan kesehatan yang baik 36 ( 100 %) responden, dan sikap
pelayanan yang buruk terdapat sebanyak 0(0 %) responden.
Tabel
Distribusi Frekuensi menurut Terjangkaunnya pelayanan kesehatan
terhadap kejadian penyakit TB Paru di wilayah kerja puskesmas Sekupang
Kota Batam Kelurahan Tanjung Riau.tahun 2013
No. Pengetahuan Jumlah %
1
2
Terjangkau
Tidak Terjangkau
27
9
75 %
25%
Jumlah 36 100
Berdasarkan tabel 4.9 terlihat bahwa sebagian besar Terjangkaunya pelayanan
kesehatan di wilayah kerja puskesmas sekupang kota batam tahun 2013 dari 36
responden adalah Terjaangkau 27 (75 %) responden, dan Tidak terjangkau
terdapat sebanyak 9 (58,33 %) responden.
IV.3 Hasil analisis Bivariat
Dari hasil analisis bivariat penelitian pada hubungan pengetahuan dan lingkungan
faktor fisik rumah dengan penularan penyakit TB paru diewilayah kerja
puskemas sekupang kota batam tahun 2013.
Untuk mengetahui adda tidaknya hubungan yang bermakna antara variabel bebas
dengan penularan penyakit TB paru, maka dilakukan analisis (tabel 2x2 ) pada
semja variabel bebas yang diteliti. Uji statistik yang digunakan adalah Chi-square
dan sidapatkan hasik seperti dibawah ini :
IV.3.1. Hubungan pengetahuan dengan Kejadian penyakit TB paru
Adapun hasil analisa hubungan pengetahuan dengan penularan dengan penularan
penyakit TB paru seperti di bawah ini :
Tabel
Hasil analisis hubungan pengetahuan dengan Kejadian penyakit TB paru di
wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan Tanjung
Riau.tahun 2013
Pengetahuan Kejadian
Tb paru
Total OR
95 %
P
Value
Sehat Sakit
N % N %
Baik
Buruk
Total
Berdasarkan hasil uji statistik pada tabel 4.10 terlihat bahwa ada sebanyak ( %)
dari ....rumah dengan pengetahuan yang baik resiko tertular TB paru, sedangkan
pengetahuan yang buruk terdapat sebanyak ( %) dari......rumah yang resiko
tertular TB paru. Hasil statstik diperoleh p-value =......, maka dapat disimpulkan
ada perbedaan proporsi penularan TB paru antara pengetahuan buruk dengan
pengetahuan baik ( ada hubungan signifikan antara pengetahuan dengan penularan
TB paru). Dari hasil analisis diperoleh pula OR=......, artinya pengetahuan
masyarakat yang buruk mempunyai resiko ...... kali tertular penyakit TB paru
dibandingkan dengan masyarakat yang mempunyai pengetahuan yang baik.
IV.3.2 Hubungan kepadatan hunian rumah dengan Kejadian penyakit TB
paru
Adapun hasil analisis hubngan antara kepadatan hunian rumah dengan penularan
penyakit TB paru seperti tabel dibawah ini :
Tabel
Hasil analisis hubungan kepadatan hunian rumah dengan Kejadian penyakit
TB paru di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan
Tanjung Riau.tahun 2013
Kepadatan
Hunian
Kejadian
Tb paru
Total OR
95 %
P
Value
Sehat Sakit
N % N %
Tidak
Padat
Padat
Total
Berdasarkan hasil uji statistik pada tabel 4.11. terlihat bahwa hubungan antara
kepadatan hunian dengan penularan penyakit TB paru diperoleh ada sebanyak ..
( %) dari .....rumah dengan kepadatan hunian yang tidak padat resiko tertular TB
paru, sedangkan kepadatan hunian yang padat ada...( %) dari .....rumah dengan
kepadatan hunian yang padat tertular Tb paru. Hasil statistik diperoleh P-value
=...... , maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi penularan penyakit TB
paru antara kepadatan hunian yang pada dengan hunian yang tidak padat (ada
hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan penularan penyakit TB
paru. Dari hasil analsis diperoleh pula OR =....., artinya rumah dengan kepadatan
hunian yang padat mempunyai resio ......kali penularan penyakit Tb paru
dibandingkan dengan kepadatan hunian yang tidak padat.
IV.3.3 Hubungan luas Ventilasi rumah dengan Kejadian penyakit TB paru
Adapun hasil analisa hubungan antara luas ventilasi dengan penularan penyakit
TB paru seperti tabel dibawah ini :
Tabel
Hasil anallisa hubungan luas ventilasi rumah dengan Kejadian penyakit TB
paru di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan Tanjung
Riau.tahun 2013
Ventilasi Kejadian
Tb paru
Total OR
95 %
P
Value
Sehat Sakit
N % N % N %
Baik
Buruk
Total
Berdasarkan hasil uji statistik pada tabel 4.12 terlihat bahwa, hubungan antara
luas ventilasi dengan penularan TB paru diperoleh bahwa ada sebanyak ( )
dari ... rumah ventlasi yang baik resiko tertular TB paru, sedangkan antara luas
ventilasi yang buruk ada sebanyak ( %) dari rumah dengan resiko tertular TB
paru. Hasil statistik yang diperoleh nilai p-value = , maka dapat disimpulkan
ada perbedaan proporsi penularan Tb paru antara luas ventilasi yang buruk dengan
luas ventilasi yang baik ( ada hubungan signifikan antara luas ventilasi dengan
penularan Tb paru ). Dari hasil analisa diperoleh pula OR = ,artinya rumah
dengan luas ventilasi yang buruk mempunyai resiko kali tertular penyakit TB paru
dibandingkan dengan luas ventilasi yang baik.
IV.3.4. Hubungan pencahayaan rumah dengan Kejadian penyakit TB paru
Adapun hasil analisa hubungan antara pencahayaan rumah dengan Kejadian
penyakit TB paru seperti tabel dibawah ini :
Tabel
Hasil analisa hubungan antara pencahayaan rumah dengan Kejadian
penyakit TB paru di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam
Kelurahan Tanjung Riau.tahun 2013.
Pencahayaan Kejadian
Tb paru
Total OR
95 %
P
Value
Sehat Sakit
N % N % N %
Baik
Buruk
Total
Hasil analisa diperoleh pula OR= , artinya rumah dengan pencahayaan rumah
yang buruk mempunyai resiko kali tertular penyakit Tb paru dibandingkan
dengan rumah yang pencahayaan baik.
IV.3.5. Hubungan penyuluhan dengan Kejadian penyakit TB paru
Adapun hasil analisa hubungan penyuluhan kesehatan dengan penularan penyakit
TB paru seperti di bawah ini :
Tabel
Hasil analisis hubungan penyuluhan kesehatan dengan Kejadian penyakit
TB paru di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam Kelurahan
Tanjung Riau.tahun 2013
Penyuluhan Kejadian
Tb paru
Total OR
95 %
P
Value
Tidak Ya
N % N %
Ada
Tidak ada
Total
Berdasarkan hasil uji statistik pada tabel 4.14 terlihat bahwa ada sebanyak ( %)
dari ....rumah dengan penyuluhan kesehatan yang baik resiko tertular TB paru,
sedangkan penyuluhan kesehatan yang buruk terdapat sebanyak ( %)
dari......rumah yang resiko tertular TB paru. Hasil statistik diperoleh p-value =......,
maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi kejadian TB paru antara
penyuluhan kesehatan buruk dengan penyuluhan kesehatan baik ( ada hubungan
signifikan antara penyuluhan kesehatan dengan kejadian TB paru). Dari hasil
analisis diperoleh pula OR=......, artinya penyuluhan kesehatan terhadap
masyarakat yang buruk mempunyai resiko ...... kali tertular penyakit TB paru
dibandingkan dengan masyarakat yang mendapatkan penyuluhan kesehatan yang
baik.
IV.3.6. Hubungan Sikap pelayanan kesehatan dengan Kejadian penyakit TB
paru
Adapun hasil analisa hubungan sikap pelayanan kesehatan dengan penularan
penyakit TB paru seperti di bawah ini :
Tabel
Hasil analisis hubungan Sikap pelayanan kesehatan dengan Kejadian
penyakit TB paru di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota Batam
Kelurahan Tanjung Riau.tahun 2013
Sikap Kejadian
Tb paru
Total OR
95 %
P
Value
Tidak Ya
N % N %
Baik
Buruk
Total
Berdasarkan hasil uji statistik pada tabel 4.14 terlihat bahwa ada sbanyak ( %)
dari ....rumah dengan sikap pelayanan kesehatan yang baik resiko tertular TB
paru, sedangkan sikap pelayanan kesehatan yang buruk terdapat sebanyak ( %)
dari......rumah yang resiko tertular TB paru. Hasil statstik diperoleh p-value =......,
maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi kejadian TB paru antara sikap
pelayanan kesehatan buruk dengan sikap pelayanan kesehatan baik ( ada
hubungan signifikan antara sikap pelayanan kesehatan dengan kejadian TB paru).
Dari hasil analisis diperoleh pula OR=......, artinya sikap pelayanan kesehatan
terhadap masyarakat yang buruk mempunyai resiko ...... kali tertular penyakit TB
paru dibandingkan dengan masyarakat yang mendapatkan sikap pelayanan
kesehatan yang baik.
IV.3.7. Hubungan Terjangkaunya sarana pelayanan kesehatan dengan
Kejadian penyakit TB paru
Adapun hasil analisa hubungan terjangkaunya sarana pelayanan kesehatan dengan
penularan penyakit TB paru seperti di bawah ini :
Tabel
Hasil analisis hubungan Terjangkaunya sarana pelayanan kesehatan dengan
Kejadian penyakit TB paru di wilayah kerja puskesmas Sekupang Kota
Batam Kelurahan Tanjung Riau.tahun 2013
Sarana Kejadian
Tb paru
Total OR
95 %
P
Value
Tidak Ya
N % N %
Terjangkau
Tidak
terjangkau
Total
Berdasarkan hasil uji statistik pada tabel 4.14 terlihat bahwa ada sbanyak ( %)
dari ....rumah dengan terjangkau pelayanan kesehatan resiko tertular TB paru,
sedangkan tidak terjangkau pelayanan kesehatan yang buruk terdapat sebanyak (
%) dari......rumah yang resiko tertular TB paru. Hasil statstik diperoleh p-value
=......, maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi kejadian TB paru antara
tidak terjangkau pelayanan kesehatan dengan terjangkau pelayanan kesehatan
( ada hubungan signifikan antara terjangkau pelayanan kesehatan dengan kejadian
TB paru). Dari hasil analisis diperoleh pula OR=......, artinya sikap tidak
terjangkau pelayanan kesehatan terhadap masyarakat mempunyai resiko ...... kali
tertular penyakit TB paru dibandingkan dengan masyarakat yang mendapatkan
sikap pelayanan kesehatan yang baik.
BAB V
PEMBAHASAN
V.1. Analisa Univariat
V.1.1. Karakteristik Responden
Penelitiaan mengenai hubungan pengetahuan dan lingkungan faktor fisik rumah
dengan kejadian penyakit TB paru diwilayah kerja puskesmas sekupang kota
batam tahun 2012 dari … rumah yang diambil sebagai responden,mayoritas
responden adalah berjenis laki-laki yaitu sebanyak …(%) responden,untuk
kelompok umur yang terbanyak pada umur tahun sebanyak …. Responden,untuk
tingkat pendidikan SMP…reponden ,sedangkan perkerjaan pada umumnya adalah
swasta terdapat ,,,,responden
Penelitian mengenai hubungan pengetahuan dan lingkungan factor fisik
rumah dengan penularan penyakit TB paru diwilayah kerja puskesmas sekupang
kota batam than 2013 dari ….rumah yang diambil sebagai responden ,bahwa
sebagian besar pengetahuannya buruk terdapat sebanyak …..responden,kepadatan
hunian yang tidak padat terdapat terdapat sebanyak….. rumah,untuk keadaan luas
ventilasi baik terdapat sebanyak …..rumah,sedangkan untuk keadaan pencahayaan
yang buruk terdapat sebanyak …. Rumah dan yang mendapatkan pelayanan
kesehatan yang baik sebanyak.....
V.2. Analisa Bivariat
V.2.1.Hubungan Pengetahuan Dengan Kejadian Penyakit TB
Secara analisis statistic menunjukan dari … responden yang diteliti,bahwa
pengetahuan yang buruk terdapat sebanyak …. Dari….rumah yang resiko tertular
TB paru,sedangkan pengetahuan yang baik ….. responden
Hasil stastistik diperoleh p-value =…….,maka dapat disimpulkan ada
perbedaan proporsi penularan TB paru antara pengetahuan yang buruk dengan
pengetahuan baik.dari hasil analsis diperoleh pula OR =….,artinya pengetahuan
masyarakat yang buruk mempunyai resiko…..kali tertular penyakit TB paru
dibandingkan dengan masyarakat yang mempuntyai pengetahuan yang baik.Hal
ini menunjukan bahwa adanya hubungan yang sgnifikan antara pengetahuan
dengan penularan TB
Hasil analisa ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Usman ,SKM,M.kes
2006 dikelurahan rumbai pecan baru yaitu ditemukan hubungan yang bermakna
antara pengetahuan dengan penularan penyakit TB paru.
Hasil analisa ini sesuai dengan teori dari notoatmodjo ,200 yang
mengatakan pengetahuan sangat berpotensi terhadap penyakit TB paru
menyebabkan banyak penderita TB paru tidak sembuh
V.2.2 Hubungan Kepadatan Hunian Rumah dengan Kejadian Penyakit TB
Dari …responden yang diteliti dapat ditemukan,bahwa kepadatan hunian yang
padat ada …… dari…..rumah dengan kepadatan hunian yang padat tertular TB
Paru,sedangkan hunian tidak padat terdapat sebanyak …..rumah.
Hasil stastistik diperoleh p-value =…….,maka dapat disimpulkan ada
perbedaan proporsi penularan penyakit TB paru antara kepadatan hunian yang
padat dengan hunian yang tidak padat.dari hasil analisis diperoleh pula OR
=….,artinya rumah dengan kepadatan hunian yang padat mempunyai resiko …..
kali penularan penyakit TB paru dibandingakn dengan kepadatan hunian yang
tidak padat.hal ini menunjukan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara
kepadatan hunian dengan penularan TB paru.
Hasil analisa ini sesuai dengan teori notoatmodjo ,2003 yaitu luasnya
rumah sesuaikan dengan jumlah penghuninya karena kurangnya komsumsi
oksigen akan mempermudah proses penularan penakit.
Hal ini juga berkaitan dengan teori atmosukarti dari litbang kesehatan
(2000),didapatkan data bahwa : 1) rumah tangga yang penderita mempunyai
kebiasaan tidur dengan bal;ita mempunyai resiko terkena TB 2,8 kali disbanding
dengan yang tisur terpisah , 2 ) tingakat penularan TB di lingkungan keluarga
penderita cukup tinggi,dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan
kepada 2-3 orang didalam rumahnya 3) besar resiko terjadinya penularan untik
tangga dengan penderita lebih dari 1 orang adalah 4 kali dibandingkan rumah
tangga dengan hanya 1 orang penserita TB.
V.2.3. Hubungan Luas Ventilasi Dengan Kejadian Penyakit TB
Dari …responden yang diteliti dapat ditemukan,bahwa luas ventilasi yang
buruk ada sebanyak ….. dari …rumah dengan resiko tertular TB paru,sedangkan
luas ventilasi baik terdapat sebanyak …..rumah.
Hasil statistic yang diperoleh nilai p-value = …,maka dapat disimpulkan
ada perbedaan proporsi penularan TB paru anatara luas ventilasi yang buruk
dengan luas ventilasi yang baik.dari hasil analisa diperoleh pula OR =….,artinya
rumah dengan luas ventilasi yang buruk mempunyai resiko …. Kali tertular
penyakit TB paru dibandingkan dengan luas ventilasi yang baik.hal ini
menunjukan bahwa adannya hubungan yang signifikan antara luas ventilasi
dengan penularan TB paru
Hasil analisa ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
soedjaji,2005 terhadap pondok pesantren di kabupaten lamongan jawa timur yaitu
ditemukan adannya hubungan yang bermakna antara luas ventilasi dengan
penularan penyakit TB paru.
Hasil analisa ini sesuai dengan teori notoatmodjo 2007,tentang persyaratan
kesehatan perumahan menjelaskan bahwa luas penghawaan atau ventilasi alamiah
yang permanen minimal 10 % dari luas lantai.jika tidak ada system pertukaran
udara,konraminasi akan tetap berada disekitar sumber dan didaerah sekitar
pernafasan dengan konsentrasi yang tinggi
V.2.3. Hubungan Pencahayaan Rumah Dengan Kejadian Penyakit TB paru
Dari …responden yang diteliti dapat ditemukan,bahwa Pencahayaan
Rumah yang buruk ada sebanyak ….. dari …rumah dengan resiko tertular TB
paru,sedangkan Pencahayaan Rumah baik terdapat sebanyak …..rumah.
Hasil statistik yang diperoleh nilai p-value = …,maka dapat disimpulkan
ada perbedaan proporsi penularan TB paru antara Pencahayaan Rumah yang
buruk dengan Pencahayaan Rumah yang baik.dari hasil analisa diperoleh pula OR
=….,artinya rumah dengan Pencahayaan Rumah yang buruk mempunyai resiko
…. Kali tertular penyakit TB paru dibandingkan dengan Pencahayaan Rumah
yang baik.hal ini menunjukan bahwa adannya hubungan yang signifikan antara
Pencahayaan Rumah dengan penularan TB paru.
Hal ini sesuai dengan teori depkes RI,2002 bahwa kuman TB paru cepat
mati dengan sinar matahari lansung.keberadaan sinar matahari ini peneliti kaitkan
dengan rumah sehat.
Hasil analisa ini sesuai dengan teori notoatmodjo 1997 bahwa kurangnya
cahaya yang masuk kedalam ruangan rumah,terutama cahaya matahari disamping
kurang nyaman,juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan
berkembangbiaknya bibit-bibit penyakit.cahaya matahari sangat penting,karena
dapat membunuh bakteri-bakteri pathogen didalam rumah,misalnya basil TB
Paru.
V.2.1.Hubungan Pelayanan kesehatan Dengan Kejadian Penyakit TB
Secara analisis statistic menunjukan dari … responden yang diteliti,bahwa
pelayanan kesehatan yang buruk terdapat sebanyak …. Dari….rumah yang resiko
tertular TB paru,sedangkn mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik …..
responden
Hasil stastistik diperoleh p-value =…….,maka dapat disimpulkan ada
perbedaan proporsi penularan TB paru antara pelayanan kesehatan yang buruk
dengan pelayanan kesehatan baik.dari hasil analasis diperoleh pula OR
=….,artinya pelayanan kesehatan masyarakat yang buruk mempunyai
resiko…..kali tertular penyakit TB paru dibandingkan dengan masyarakat yang
mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.Hal ini menunjukan bahwa adanya
hubungan yang signifikan antara pelayanan dengan kejadian TB paru.
BAB VI
PENUTUP
VI.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan hubungan pengetahuan dan
lingkungan factor fisik rumah dengan kejadian penyakit TB paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Sekupang Kota Batam tahun 2013 dari …. Responden yang
diteliti ,maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.pengetahuan masyarakat penderita Tb Paru di wilayah kerja puskesmas
sekupang kota batam tahun 2013 dari … response pengetahuan yang baik
…..responden ,dan pengetahuannya yang buruk terdapat sebanyak …
responden.hal ini menunjukan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara
pengetahuan dengan penularan TB paru.
2.kepadatan hunian rumah masyarakat penderita di wilayah kerja puskesmas
sekupang kota batam tahun 2013 dari …responden adalah tidak padat terdapat
sebanyak ….rumah ,dan padatterdapat sebanyak ….rumah.hal ini menunjukan
bahwa adanya hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan
penularan TB paru.
3.Luas ventilasi rumah masyarakat di wilayah kerja puskesmas sekupang kota
batam dari ….responden adalah dengan luas ventilasi baik terdapat sebanyak
…..rumah , dan luas ventilasi buruk sebanyak ….rumah. Hal ini menunjukan
bahwa adannya hubungan yang signifikan antara luas ventilasi dengan penularan
TB paru.
4.pelayanan kesehatan yang buruk terdapat sebanyak …. Dari….rumah yang
resiko tertular TB paru,sedangkn mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik
….. responden
4.pencahayaanrumah responden di wilayah kerja puskesmas sekupang kota batam
tahun 2013 dari …responden adalah pencahayaan baik terdapat sebanya
….rumah.
5.Hubungan antara pengetahuan dengan penelaran TB Paru diperoleh bahwa ada
sebanyak ….dari rumah dengan pengetahuan yang baik resiko tertular TB
Paru,sedangkan pengetahuan yang buruk terdapat sebanyak …dari …rumah yang
resiko tertular TB paru. Hasil stastistik diperoleh p-value =…….,maka dapat
disimpulkan ada perbedaan proporsi penularan TB paru antara pengetahuan yang
buruk dengan pengetahuan baik.dari hasil analsis diperoleh pula OR =….,artinya
pengetahuan masyarakat yang buruk mempunyai resiko…..kali tertular penyakit
TB paru dibandingkan dengan masyarakat yang mempuntyai pengetahuan yang
baik.
6. Hubungan Kepadatan Hunian Rumah dengan Penularan Penyakit TB Paru
diperoleh bahwa ada sebanyak ….dari …rumah dengan kepadatan hunian yang
tidak padat resiko tertular TB paru.sedangkan kepadatan hunian yang padat ada …
dari ….rumah dengan kepadatan hunian yang padat tertular TB paru. Hasil
stastistik diperoleh p-value =…….,maka dapat disimpulkan ada perbedaan
proporsi penularan penyakit TB paru antara kepadatan hunian yang padat dengan
hunian yang tidak padat.dari hasil analisis diperoleh pula OR =….,artinya rumah
dengan kepadatan hunian yang padat mempunyai resiko ….. kali penularan
penyakit TB paru dibandingkan dengan kepadatan hunian yang tidak padat.
7. Hubungan luas ventilasi dengan Penularan Penyakit TB Paru diperoleh bahwa
ada sebanyak ….dari …rumah dengan luas ventilasi yang baik resiko tertular TB
paru.sedangkan luas ventilasi buruk ada … dari ….rumah dengan resiko tertular
TB paru. Hasil statistic yang diperoleh nilai p-value = …,maka dapat disimpulkan
ada perbedaan proporsi penularan TB paru anatara luas ventilasi yang buruk
dengan luas ventilasi yang baik.dari hasil analisa diperoleh pula OR =….,artinya
rumah dengan luas ventilasi yang buruk mempunyai resiko …. Kali tertular
penyakit TB paru dibandingkan dengan luas ventilasi yang baik.
8. Hubungan Pencahayaan Rumah Dengan penularan Penyakit TB paru diperoleh
bahwa ada sebanyak ….dari …rumah dengan Pencahayaan Rumah yang baik
resiko tertular TB paru.sedangkan Pencahayaan Rumah buruk ada … dari
….rumah dengan resiko tertular TB paru. Hasil statistik yang diperoleh nilai p-
value = …,maka dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi penularan TB paru
antara Pencahayaan Rumah yang buruk dengan Pencahayaan Rumah yang
baik.dari hasil analisa diperoleh pula OR =….,artinya rumah dengan Pencahayaan
Rumah yang buruk mempunyai resiko …. Kali tertular penyakit TB paru
dibandingkan dengan Pencahayaan Rumah yang baik.
VI.2. Saran
1. Bagi Puskesmas
Dari seuruh institusi dapat menjalin kerjasama dengan masyarakat dan pemerintah
desa dalam usaha menurunkan jumlah kasus penularan penyakit TB paru dan
meningkatkan derajat kesehatan di lingkungan tersebut,seperti melakukan
penyuluhan,penjaringan yang berkala dan pemantauan keadaan fisik lingkungan
rumah.
2.Bagi institusi Pendidikan
Insitusi pendidikan diharapkan memperbanyak literature bacaan khusus mengenai
penyakit penularan Tb paru dan ilmu kesehatan lainnya mengingat sulitnya
peneliti dalam mencari sumber yang berkaitan dengan penyakit Tb
paru ??????????????????????????????????????
3.Bagi Masyarakat
Dengan adannya peneliti ini diharapkan masyarakat dilingkungan tersebut agar
dapat mengajak serta keluarga peduli terhadap kesehatan lingkungan fisik rumah
seperti jumlah anggota keluarga dalam satu rumah ,bagaimana ventilasinnya dan
tetap terus masuk dalam rumah serta mencari informasi kepada petugas kesehatan
tentang penularan penyakit TB paru.
Memberikan respon positif terhadap upaya pemerintah dalam memberantas
penyakit TB paru,serta segera memeriksakan diri kepusat pelayanan kesehatan
terdekat bila sakit.