referat full konsul 3
TRANSCRIPT
REFERAT
ETIKOLEGAL DONOR ORGANDARI PENDONOR HIDUP
PEMBIMBING:
dr. H. Nurtjahjo, Sp.F, SH
Oleh :
DM UNEJ KELOMPOK IV
1. Rika Ainun Tikha 072011101048
2. Rizka Arifani 072011101050
3. Rizqi Daniar 072011101054
4. Wilis Nurkumala072011101056
5. Ida Bagus M. 072011101062
6. Mirandasari 072011101063
DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGALFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD DR. SOETOMO SURABAYA
2012
PENGESAHAN
Referat berjudul Etikolegal Donor Organ dari Pendonor Hidup telah
disetujui dan disahkan oleh Departemen/Instalasi Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal – RSUD dr. Soetomo pada:
Hari :
Tanggal :
Tempat : Departemen/Instalasi Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD dr. Soetomo
Penyusun : DM UNEJ KELOMPOK IV
(Periode 30 Juli – 9 September 2012)
1. Rika Ainun Tikha 072011101048
2. Rizka Arifani 072011101050
3. Rizqi Daniar 072011101054
4. Wilis Nurkumala 072011101056
5. Ida Bagus M. 072011101062
6. Mirandasari 072011101063
Surabaya, 2012 Pembimbing Koordinator Pendidikan
dr. H. Nurtjahjo Sp.F, S.H drg. Wieke Lutviandari, DFMNIP. NIP.19600913 198711 2 001
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME atas segala rahmat
dan kemudahan, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas referat dengan judul
“ETIKOLEGAL DONOR ORGAN DARI PENDONOR HIDUP”, sebagai salah
satu tugas akademis dalam kepaniteraan klinik di laboratorium Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal RSUD dr. Soetomo Surabaya.
Dalam rangka selesainya referat ini, kami mengucapkan terima kasih
kepada :
1. dr. H. Hoediyanto, Sp.F (K), Ketua SMF Kedokteran Forensik dan
Medikolegal RSUD dr. Soetomo Surabaya.
2. Dr. dr. Ahmad Yudianto, Sp.F, SH, M.Kes, Kepala Instalasi Kedokteran
Forensik dan Medikolegal RSUD dr. Soetomo Surabaya.
3. dr. Wieke Lutviandari DFM, Koordinator Pendidikan S1 Kedokteran
Forensik dan Medikolegal di Departemen IKFM – FKUA / RSUD dr.
Soetomo Surabaya
4. dr. H. Nurtjahjo, Sp.F, SH, Pembimbing referat kami.
5. Dokter - Dokter PPDS di Laboratorium IKFM – FKUA/ RSUD dr.
Soetomo Surabaya.
6. Rekan – Rekan Dokter Muda di Laboratorium IKFM – FKUA/ RSUD dr.
Soetomo Surabaya.
Kami menyadari bahwa penulisan referat ini masih belum sempurna, maka
kami mengharapkan segala kritik dan saran yang dapat pembaca berikan.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................2
1.3 Tujuan .................................................................................................................3
1.4 Manfaat ................................................................................................................3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2.1 Etikolegal Kedokteran ........................................................................................4
2.2 Donor Organ .......................................................................................................6
2.2.1 Definisi Donor Organ ........................................................................................6
2.2.2 Sejarah Transplantasi..........................................................................................7
2.2.3 Perkembangan Donor Organ di Indonesia.......................................................10
2.2.4 Syarat-Syarat Donor Organ...............................................................................12
2.2.5 Tata Cara Donor ..............................................................................................16
2.2.6 Contoh Kasus Donor Organ .............................................................................18
2.3 Pembahasan Etikolegal Donor Organ ............................................................20
2.3.1 Dasar Etik Kedokteran terkait Donor Organ ...................................................20
2.3.2 Dasar Hukum terkait Donor Organ ................................................................20
2.3.3 Pandangan Agama terkait Donor Organ .........................................................22
BAB III. PENUTUP ...............................................................................................26
3.1 Kesimpulan .......................................................................................................26
3.2 Saran ...................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................27
LAMPIRAN .............................................................................................................29
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan perorangan ditujukan untuk meningkatkan
kesadaran, kenyamanan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam
rangka mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur
kesejahteraan umum sebagaimana yang diamanatkan di dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UU RI Nomor
29 Tahun 2004).
Dokter sebagai salah satu komponen pemberi pelayanan kesehatan kepada
masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung
dengan mutu pelayanan. Selain itu seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran, banyak ditemukan inovasi baru demi
meningkatkan derajat kesehatan pasien, salah satunya adalah metode pengobatan
yang semakin beragam. Salah satu dari sekian banyak metode pengobatan terkini
adalah dengan donor organ (KODEKI, 2002).
Donor organ menjadi penting seiring dengan berkembangnya variasi jenis
penyakit, jumlah pasien, dan permintaan donor organ yang semakin lama semakin
meningkat (Huml, 2009). Di Indonesia, keterbatasan donor menjadi salah satu
penyebab transplantasi sulit dilakukan. Jumlah donor di Indonesia masih sangat
kecil, hanya 15 donor ginjal per tahunnya, dibandingkan dengan 2.000 kasus baru
penyakit ginjal kronik tahap akhir per tahunnya. Timpangnya jumlah permintaan
organ tubuh dibandingkan dengan jumlah pasien inilah yang kemudian
menyuburkan praktek illegal jual-beli organ tubuh manusia (Wijaya, 2010). Minat
orang menjual organ tubuhnya demi mendapatkan uang semakin meningkat dan
terbuka. Salah satu organ yang paling sering diperjualbelikan adalah ginjal.
Penawaran organ dilakukan melalui surat elektronik (e-mail), surat tertulis ke
pihak Rumah Sakit (RS), surat pembaca di media cetak, serta mendatangi
organisasi kesehatan yang menaungi pasien dengan penyakit tertentu (Gayatri,
2007).
Hal ini membutuhkan perhatian khusus utamanya dari penyedia layanan
kesehatan, dalam hal ini institusi kesehatan maupun paramedis, untuk tetap
memberikan standar pelayanan yang tertinggi kepada pasien. Harus terdapat
sinergi yang baik pula antara aturan, pelaku kesehatan (dokter), dan pasien untuk
menyukseskan proses donor organ. Oleh karena itu untuk menjaga agar dalam
pelaksanaanya proses donor ogan bisa bejalan dengan baik dibutuhkan sebuah
aturan, yang berlandaskan ideologi di negara masing masing. Di Indonesia setidak
nya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan yakni nilai etik (KODEKI dan
LSDI), nilai hukum (UU kesehatan, UU praktek kedokteran, PP, dan KUH
pidana/ perdata), dan kajian keagamaan yang akan menjaga pelaksanaan praktek
kedokteran khususnya dalam hal donor organ (Gayatri,2007).
Diperlukan kesadaran dan pemahaman dari dokter dan pasien untuk
menaati persyaratan serta melaksanakan prosedur pendonoran organ dengan baik.
Terutama sebagai seorang dokter, juga harus lebih memperhatikan masalah
etikolegal donor organ di Indonesia, sebab saat ini masalah etikolegal pada
praktek-praktek pelayanan kesehatan sedang banyak disoroti oleh masyarakat.
Kerjasama dan hubungan yang baik antara dokter dan pasien sangat dibutuhkan
untuk memperkecil celah terjadinya pelanggaran etik maupun hukum, sehingga
tujuan peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat pun dapat tercapai (Wijaya,
2010).
1.2 Rumusan Massalah
Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang dapat dirumuskan
adalah sebagai berikut:
Bagaimanakah aspek etikolegal pada donor organ yang berasal dari orang hidup?
2
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui segala sesuatu tentang aspek etikolegal donor organ
yang berasal dari orang hidup
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui definisi, tata cara, perkembangan dan kasus donasi
organ dari orang hidup.
2. Untuk mengetahui dasar etik kedokteran dan dasar hukum donasi
organ dari orang hidup
3. Untuk membahas kasus donasi organ dari orang hidup dari sudut
pandang etik, hukum, dan agama.
4. Untuk mengetahui peran profesi kedokteran dalam kasus-kasus donasi
organ.
1.4 Manfaat
1. Sebagai sarana untuk mengembangkan kemampuan penulisan karya
ilmiah.
2. Sebagai sarana menambah wawasan khususnya tentang donasi organ
dari orang hidup.
3. Sebagai wacana untuk membuka wawasan para dokter muda
mengenai donasi organ dari orang hidup.
4. Sebagai referensi penulisan karya ilmiah serupa dan koleksi
kepustakaan materi donasi organ, khususnya yang berasal dari orang
hidup.
5. Sebagai sarana referensi bagi pihak-pihak yang membutuhkan
informasi tentang donasi organ, khususnya yang berasal dari orang
hidup.
6. Sebagai media promosi kepada masyarakat untuk menjadi pendonor
organ.
3
4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Etikolegal Kedokteran
Istilah etik berasal dari kata ethos yang menyangkut norma kesopanan/
kesusilaan. Istilah ini muncul dari Aristoteles (seorang filsuf Yunani): ethos
yang berarti adat budi pekerti. Turunan kata Ethos dikenal dengan istilah Etik.
Menurut Banning (1949) istilah Etik menyangkut kelakuan / perbuatan manusia
untuk menimbang baik dan buruknya sesuatu. Dalam kode etik kedokteran 1980
(Suprapti Samil) mengatakan bahwa istilah etik terbentuk dari dua perkataan
yaitu “mores of a community” dan “ethos of the people” (kesopanan suatu
masyarakat dan akhlak manusia). Menurut istilah Latin, mores adalah adat-
istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, sedangkan “ethica” berarti kesusilaan.
Hal ini mencerminkan hakekat perilaku seorang dokter yang harus selalu
mengacu pada adat istiadat masyarakat berakhlak serta kesusilaan/kesopanan,
dan bermoral dalam kehidupan dan tugasnya.
Menurut Martin (1993), etika didefinisikan sebagai “the discpline which can
act as the performance index or reference for our control system”. Dengan
demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan
mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya
yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian
dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja
dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan
akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan
yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode
etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self
control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk
kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri.
Selanjutnya, karena kelompok profesional merupakan kelompok yang
berkeahlian dan berkemahiran yang diperoleh melalui proses pendidikan dan
pelatihan yang berkualitas dan berstandar tinggi yang dalam menerapkan semua
keahlian dan kemahirannya yang tinggi itu hanya dapat dikontrol dan dinilai dari
4
5
dalam oleh rekan sejawat, sesama profesi sendiri. Kehadiran organisasi profesi
dengan perangkat “built-in mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini
jelas akan diperlukan untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan
disisi lain melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun
penyalah-gunaan keahlian (Wignjosoebroto, 1999).
Menurut UU No. 29/2004 tentang praktik kedokteran menjelaskan tentang
profesi kedokteran sebagai “Pekerjaan Kedokteran yang dilaksanakan berdasarkan
suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang,
dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat” berdasarkan definisi tersebut
terlihat bahwa kedokteran memenuhi semua kriteria diatas sehingga secara
otomatis mempunyai etik tersendiri yang kemudian dibakukan dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia (KODEKI). Dalam melaksanakan fungsinya, seorang
dokter selalu berpedoman pada sumpah dokter yang diucapkan saat mengucapkan
sumpah jabatan profesi. Tidak hanya itu, pelaksanaan profesi kedokteran juga
terkait oleh hukum, yaitu diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku pada
suatu negara yang ditempatinya.
Indonesia adalah negara hukum, dimana segala pelaksanaan kegiatan,
termasuk pelaksanaan praktek profesi kedokteran, telah diatur dalam aturan
perundang-undangan. Sehingga, setiap warga negara Indonesia dalam hal ini
termasuk dokter juga dibatasi oleh hukum. Mulai dari Pancasila, Undang-undang
dasar 1945, Peraturan pemerintah, dan permenkes adalah koridor hukum yang
menjaga profesi kedokteran agar tetap berjalan dengan baik namun tidak
menyimpang dari aturan yang berlaku.
Pada hakekatnya etika dan hukum beranjak dari dasar yang sama yaitu
moral yang terdapat dalam bangsa kita, yaitu moral berakar pada Pancasila. Suatu
pelanggaran hukum oleh dokter pasti merupakan perbuatan yang tidak etis, sebab
menurut pandangan etik seseorang harus mematuhi hukum yang berlaku. Tetapi,
pelanggaran etik tidak selalu merupakan pelanggaran hukum. Walaupun terlihat
antara hukum dan etik mempunyai batasan sendiri-sendiri namun sebenarnya
antara etik dan hukum terjadi suatu tumpang-tindih. Hukum tidak terlepas dari
etik dan sebaliknya etik membutuhkan hukum untuk memperkuat kedudukannya
5
6
dengan meminta bantuan hukum dalam hal sanksinya. Dalam hal sanksi etik
berbeda dengan hukum, dalam etik sanksi hanya berupa pengucilan atau bersifat
moral-psikologis, dan tindakan korektif seperti teguran dan bimbingan.
Sedangkan pada hukum sanksi bisa berupa pidana atau perdata, atau bersifat fisik
atau material.
Istilah etikolegal kedokteran dapat diartikan sebagai cara pandang terhadap
suatu pelaksanaan praktek kedokteran dari sudut etik dan hukum yang berlaku.
2.2 Donor organ
2.2.1 Definisi Donor Organ
Donor organ adalah sebuah proses pemberian organ sehat dan atau
jaringan dari satu orang ke orang lainnya melalui sebuah proses yang disebut
transplantasi. Donor organ bertujuan untuk menggantikan organ yang sudah tidak
bisa bekerja lagi dengan optimal (Bioethics, 2009). Menurut South Carolina
AHEC Emergency & Disaster Medicine Summit tahun 2008, macam organ tubuh
yang dapat didonasikan antara lain jantung, paru-paru, hati, ginjal, pankreas, dan
usus halus. Sedangkan jaringan tubuh yang dapat didonasikan antara lain
kornea/sklera, katup jantung, perikardium, tulang panjang, jaringan konektif, kulit
dan darah.
Donor organ dan jaringan untuk transplantasi bisa didapatkan pada donor
hidup ataupun donor mati. Donor hidup adalah donor anggota tubuh manusia bagi
siapa saja yang membutuhkan pada saat pendonor masih hidup. Donor mati
adalah ketika seseorang dinyatakan telah didiagnosis meninggal dan keluarganya
mau mendonorkan organ orang tersebut untuk kepentingan kemanusiaan (Truog,
2005).
Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan alat
dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh sendiri atau tubuh orang
lain dalam rangka pengobatan untuk menggantikan alat dan atau jaringan tubuh
yang tidak berfungsi dengan baik. Kini telah dikenal beberapa jenis transplantasi
atau pencangkokan, baik berupa sel, jaringan maupun organ tubuh yaitu sebagai
berikut (Huml, 2009):
6
7
A. Transplantasi Autologus Yaitu perpindahan dari satu tempat ketempat lain
dalam tubuh itu sendiri, yang dikumpulkan sebelum pemberian kemoterapi,
B. Transplantasi Alogenik Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain
yang sama spesiesnya,baik dengan hubungan keluarga atau tanpa hubungan
keluarga,
C. Transplantasi Singenik Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain
yang identik,misalnya pada kembar identik,
D. Transplantasi Xenograft Yaitu perpindahan dari satu tubuh ketubuh lain
yang tidak sama spesiesnya.
2.2.2 Sejarah Transplantasi
Sejarah transplantasi dimulai tahun 600 SM di India, Susruta telah
melakukan transplantasi kulit transplantasi kulit dari seorang laki-laki untuk
membantu merenovasi hidung laki-laki lain. Semantara jaman Renaissance,
seorang ahli bedah dari Itali bernama Gaspare Tagliacozzi juga telah melakukan
hal yang sama. Diduga John Hunter (1728 – 1793) adalah pioneer bedah
eksperimental, termasuk bedah transplantasi. John Hunter mampu membuat
kriteria teknik bedah untuk menghasilkan suatu jaringan transplantasi yang
tumbuh di tempat baru. Akan tetapi sistim golongan darah dan sistim
histokompatibilitas yang erat hubungannya dengan reaksi terhadap transplantasi
belum ditemukan. Pada abad ke-20, Wiener dan Landsteiner menyokong
perkembangan transplantasi dengan menemukan golongan darah sistem ABO
dan sistem Rhesus. Eksperimen transplantasi paling penting dilakukan pada oleh
ahli bedah dari Perancis, Alexis Carrel. Dia mulai bereksperimen dengan
transplantasi pembuluh darah arteri dan vena. Usaha ini membuatnya berhasil
meraih hadial Nobel pada tahun 1912. Carrel juga orang pertama yang
mengidentifikasi masalah penolakan (rejection) transplantasi, dilema yang
menghadang banyak ilmuwan dan dokter. Melakukan eksperimen pada anjing,
Carrel mempelajari tubuh resipien yang paling sering menolak materi organ donor
(Huml, 2009). Perkembangan ilmu kekebalan tubuh makin berperan
dalam keberhasilan tindakan transplantasi.
7
8
a. Sejarah Transplantasi Ginjal
Ginjal buatan (mesin dialisis) ditemukan oleh Willem Kolff saat perang
dunia kedua dengan mesin pertama yang diuji coba pada tahun 1943. Karena rasa
kemanusiaan yang besar Kolff menolak mematenkan temuannya. Kolff dilahirkan
di Belanda namun pindah ke Amerika Serikat pada tahun 1950 dan setelah itu
mengerjakan pengembangan jantung manusia buatan di rumah barunya di
Cleveland Clinic Foundation.
Eksperimen awal transplantasi ginjal dimulai di Prancis pada tahun 1909,
dengan ginjal manusia yang sakit digantikan oleh ginjal hewan. Tidak ada yang
bertahan hidup. Sebelum kecocokan jaringan dan golongan darah, dan system
kekebalan manusia dipahami sepenuhnya, seluruh transplantasi ginjal manusia ke
manusia selalu gagal. Para peneliti mulai sadar bahwa tubuh akan menolak
apapun yang dianggapnya bukan miliknya, dan mereka mencari cara untuk
mencegah penolakan itu.
Tahun 1947, Charles Hufnagel, seorang dokter bedah muda yang bekerja
di Boston, dalam sebuah upaya terakhir untuk menyelamatkan nyawa seorang
pasien, mentransplantasikan ginjal seorang pasien yang sudah meninggal ke
dalam lengan bawah seorang perempuan muda yang ginjalnya sendiri sudah
begitu parah sehingga hanya punya beberapa jam untuk hidup. Ginjal tersebut
mulai berfungsi begitu terhubung ke aliran darah perempuan itu. Meskipun mati
setelah beberapa hari, organ yang dicangkokkan itu memberikan ruang bernapas
yang cukup bagi ginjal perempuan itu untuk memulihkan diri, dan perempuan itu
sembuh total.
Transplantasi ginjal pertama yang sukses dilakukan oleh Dr Josseph
Murray pada 23 desember 1954 di rumah sakit Peter Bent Brigham di Boston. Dia
mengambil salah satu ginjal Ronald Herrick dan mencangkokkannya ke ginjal
saudara kembar identiknya, Richard, sehingga Richard bisa hidup delapan tahun
lagi. Ronald masih hidup hingga saat ini (2007), begitu juga Dr Murray yang
dianugerahi penghargaan nobel fisiologi atau kedokteran pada tahun 1990.
Di Indonesia, transplantasi ginjal pertama kali dilakukan di RSCM tanggal
11 November 1977, yang dipimpin oleh Prof. Otta dari Tokyo dengan ginjal
8
9
donor berasal dari adik pasien. DR. Dr. David Manuputty, SpB, SpU(K)
mengungkapkan Prof. Otta membantu cangkok ginjal pada 2 pasien pertama di
RSCM. Operasi ketiga sepenuhnya dilakukan oleh dokter dari Indonesia. Pasien
ketiga yang menerima transplantasi ginjal adalah seorang dokter yang bernama
Anom pada tahun 1978. Hingga saat ini dr. Anom masih hidup dan merupakan
pasien terlama yang mengalami cangkok ginjal. Tingkat keberhasilan operasi
ginjal lebih tinggi bila donor berasal dari seseorang yang memiliki pertalian darah
(related donor), tingkat keberhasilannya mencapai 90% (Sukarsih, 2009). Hal ini
membuktikan bahwa transplantasi ginjal merupakan terapi yang terbaik yang bisa
dilakukan untuk mengatasi gagal ginjal, sehingga tingkat penawaran maupun
permintaan organ ini menjadi paling tinggi (Wijaya, 2010).
b. Sejarah Transplantasi Organ Lain
Organ utama lain yang sering ditransplantasikan adalah paru-paru yang
dilakukan pertama kali pada tahun 1962 oleh James Hardy, dari Mississippi, AS.
Paru-paru diambil dari donor yang sudah meninggal dan dicangkokkan ke tubuh
pasien yang menderita kanker paru-paru. Resipien atau penerima donor bertahan
hidup selama 18 hari sebelum akhirnya gagal ginjal. Seorang dokter Colorado
juga berusaha melakukan transplantasi hati pada tahun yang sama, tapi harus
menunggu sampai 1967 untuk mencapai keberhasilan. Transplantasi jantung
pertama dilakukan pada tahun 1967 oleh Christian Barnard di Afrika Selatan,
namun penerima donor juga meninggal 18 hari kemudian.
Rasio keberhasilan transplantasi moderen dapat dikaitkan dengan
cyclosporine, salah satu obat imunosupresan. Dirancang untuk mengurangi sistem
kekebalan tubuh, cyclosporine membantu tubuh beradaptasi dengan jaringan baru
hasil transplantasi. Pada tahun 1980, FDA (BPPOM Amerika), menyetujui
penggunaan obat yang dinamakan Viaspan untuk membantu orang dengan
transplantasi hati agar dapat hidup lebih lama. Pada tahun 1992, transplantasi dari
baboon ke manusia berhasil dilakukan. FDA sedang menguji obat yang
dinamakan Cylex, yang dapat mengurangi infeksi pada pasien pasca operasi
(Homer, 2007).
9
10
Perkembangan teknologi kedokteran terus meningkat searah dengan
perkembangan teknik transplantasi. Ilmu transplantasi modern makin berkembang
dengan ditemukannya metode-metode pencangkokan, seperti :
a) Pencangkokkan arteria mammaria interna di dalam operasi lintas koroner
olah Dr.George E. Green.
b) Pencangkokan jantung, dari jantungkera kepada manusia oleh dr. Cristian
Benhard, walaupun resipiennya kemudian meninggal dalam waktu 18 hari
c) Pencakokkan sel – sel substansia nigra dari bayi yang meninggal ke
penderita Parkinson oleh Dr. Andreas Bjornklund.
d) Pencangkokan hati, ginjal, sumsum tulang, dan pancreas.
2.2.5 Perkembangan Donor Organ
Data World Health Organitation 2005 menyebutkan jumlah tranplantasi
organ di dunia mencapai 66000 untuk ginjal, 21000 untuk hati, dan 6000 untuk
jantung. Seiring dengan semakin tingkat keberhasilan transplantasi organ, saat ini
terjadi ketidaksesuaian antara jumlah pendonor dan jumlah pasien yang
membutuhkan donor organ.
Berdasarkan data yang didapat dari Emergency and disaster medicine
Summit pada tahun 2008 di Amerika Serikat setiap tahunnya lebih dari 99.000
warga masuk dalam antrian donor organ dan 18 orang setiap hari meninggal
karena terlambat dalam menemukan donor organ yang sesuai (Geraghty, 2008).
Di Amerika Serikat, jumlah pendonor hidup terbatas pada angka 85 donor di
tahun 2004 dan 79 donor di tahun 2005.
10
11
Menurut United Network for Organ Sharing, 2012, disebutkan lebih dari
114.000 pasien membutuhkan transplantasi organ. Terdapat tambahan 1 orang
baru yang membutuhkan transplantasi setiap 10 menit. Berdasar data Organ
Procurement and Transplantation Network, jumlah penerima donor yang berada
dalam daftar tunggu 112.706 pasien, yang meliputi ginjal 90.564 pasien, hati
16.067, dan hati 3.113 pasien.
Perkembangan transplantasi terpesat terjadi di China. Pada tahun 1999
tercatat hanya 24 transplantasi hati, namun tahun 2000 jumlahnya mencapai 78.
Sedangkan tahun 2003 angkanya bertambah hingga 356. Jumlah tersebut semakin
meningkat pada tahun 2004 yaitu 507 kali transplantasi. Tidak hanya hati, jumlah
transplantasi keseluruhan organ di China memang meningkat sangat drastis.
Setidaknya telah terjadi tiga kali lipat melebihi Amerika Serikat.
Jumlah donor di Indonesia masih sangat kecil, yaitu hanya 15 donor ginjal
per tahunnya, dibandingkan dengan 2.000 kasus baru penyakit ginjal kronik
stadium akhir per tahunnya. Sedangkan berdasarkan data dari The Triennial
Conference of The Asian Society of Transplantion (CAST) tahun 2005, bahwa
dari kebutuhan 73.000 ginjal di negara berkembang hanya terpenuhi 36%.
Sedangkan kebutuhan negara dunia ketiga akan 350.000 ginjal hanya terpenuhi
sebanyak 1,6 % (Wijaya, 2010)
11
12
Timpangnya jumlah permintaan organ tubuh dibandingkan dengan jumlah
pendonor menyuburkan praktek ilegal jual-beli organ tubuh manusia
(Rachmawati, 2008). Seperti yang diungkapkan oleh Voluntary Health
Association of India, ada sekitar 2000 bangsa India menjual ginjalnya di setiap
tahun.
Pendonor hidup yang memberikan organnya pada resipien yang spesifik
tidak melanggar hukum selama tidak ada pembayaran untuk organ tersebut.
Namun karena donor hidup ini biasanya sering melanggar etik dan prakteknya
terkadang ilegal maka pusat kesehatan dan pelayanan administrasi menunjuk
secara langsung UNOS (United Network for Organ Sharing) untuk
mengembangkan panduan untuk alokasi organ dari donor hidup (Truog, 2005).
Untuk mengatasi permasalahan diatas sebagai contoh di Amerika serikat
terdapat undang-undang transplantasi, asuransi, dan pemberian insentif berupa
sebuah penghargaan terhadap pendonor yang dengan sukarela mendonorkan
organnya. Undang –undang transplantasi akan melindungi hak dan privasi dari
seorang pendonor, sedangkan pemberian asuransi akan menjamin kesehatan dan
financial pendonor pasca donor organ. Dari terobosan terobosan diatas secara
tidak langsung hal ini akan meningkatkan minat seseorang untuk mendonorkan
organnya (Geraghty, 2008).
2.2.4 Syarat-syarat Donor Organ
A. Donor Hidup
Syarat utama dari donor hidup adalah pendonoran tersebut tidak
mengakibatkan kematian bagi si pendonor. Organ dan atau jaringan yang dapat
diambil dari donor hidup antara lain ginjal, hati, kulit, sumsum tulang dan darah
(transfusi darah). Adapun persyaratan secara umum untuk menjadi pendonor
hidup di Indonesia antara lain :
a) Tanpa paksaan (volunteerism)
b) Dalam keadaan sehat
c) Organ yang akan didonorkan berfungsi dengan baik
12
13
d) Golongan darah A, B, O sama dengan pasien
e) Test darah silang negatif
f) Indentifikasi Human Leucocyte Antigen (HLA) kelas satu dan dua.
g) Umur 21-65 tahun
h) Tidak mengidap hipertensi, penyakit diabetes, kanker, penyakit jantung,
atau penyakit autoimun.
i) Tidak menderita hepatitis B,C, ataupun HIV.
Karena melibatkan hak orang lain maka sudah tentu diperlukan izin
(consent) dari yang bersangkutan agar dokter dapat mengambil organ atau
jaringan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan orang lain yang memerlukannya
(resipien). Izin tersebut harus diberikan secara bebas tanpa unsure paksaan
(force), tipu daya (fraud) atau menciptakan ketakutan (fear) sesudah yang
bersangkutan diberikan informasi secukupnya dan telah memahami sepenuhnya.
Izin seperti itu lebih dikenal dengan Informed consent. Dari pendonor hidup
diperlukan informed consent yang diberikan di atas kertas bermaterai dengan
disaksikan oleh 2 orang saksi (pasal 13 PP No. 18 tahun 1981). Adapun yang
disebut saksi dalam KUHAP adalah orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri. Namun, tidak
ada yang menyebutkan mengenai persyaratan khusus bagi orang yang boleh
menjadi saksi, khususnya yang menjadi saksi dalam informed consent donor
organ dan atau jaringan.
Sebelum memberikan izin (menandatangani informed consent), calon
pendonor hidup harus diberitahu lebih dahulu mengenai sifat operasi, akibat, serta
resikonya. Dokter harus yakin benar bahwa calon pendonor telah menyadari
sepenuhnya arti dari pemberitahuan tadi. Oleh sebab itu pendonor hidup haruslah
orang yang sudah berhak melakukan perbuatan hukum, yaitu sudah cukup umur
dan sehat akalnya. Berdasarkan hukum perdata yang berlaku disini, cukup umur
adalah apabila telah mencapai umur 21 tahun atau sudah pernah menikah. Dengan
kata lain, orang yang belum cukup umur dengan sendirinya tidak dapat
13
14
memberikan izin (informed consent) dan sekaligus tidak dapat menjadi pendonor
hidup.
Organ dan atau jaringan yang dapat disumbangkan oleh pendonor hidup,
tidak disebutkan dalam PP No. 18 tahun 1981. Namun, beberapa negara
membatasi hanya pada organ ginjal saja. Pertimbangannya bahwa ginjal
merupakan organ yang sangat vital, yang bagi penderita gagal ginjal stadium akhir
akan sangat berguna bagi penyelamatan jiwa. Organ yang tidak mempuyai fungsi
sebagai penyelamat jiwa resipien tidak dibenarkan diambil dari pendonor hidup,
meskipun orang yang bersangkutan bersedia. Kornea mata misalnya, tidak boleh
dari donor hidup sebab kornea dianggap bukan merupakan organ penting bagi
penyelamat jiwa. Disamping itu kornea tidak termasuk jaringan yang dapat pulih
kembali setelah diambil.
B. Donor Mati (Jenazah)
Pada donor mati (jenazah), organ dan atau jaringan diambil dari pendonor
yang telah meninggal. Definisi meninggal adalah telah terjadi kematian batang
otak. Organ dan atau jaringan yang dapat diambil dari jenazah adalah jantung,
hati, ginjal, kornea, pancreas, paru-paru dan sel otak. Pada donor mati (jenazah),
kewenangan dokter melakukan pengambilan organ dan atau jaringan dari
tubuhnya untuk kepentingan transplantasi diperoleh melalui 2 sistem yaitu :
1. Sistem persetujuan
Sistem ini sering disebut “opting in system” atau “contracting in system”, di
mana dokter baru boleh melakukan operasi pengambilan jika ada izin dari yang
bersangkutan sewaktu masih hidup. Biasanya izin tersebut ditulis di atas kartu
yang selalu berada dikantongnya sehingga dapat segera diketahaui oleh orang
yang menemukan kematiannya.
2. Sistem tidak berkeberatan
Sistem ini sering disebutkan “opting out system” atau “contracting out
system”. Dengan sistem ini dokter dapat mengambil organ atau jaringan dari
tubuhnya kecuali apabila ada keberatan dari yang bersangkutan sewaktu masih
hidup.
14
15
Berdasarkan peraturan pemerintah No.18 tahun 1981, sistem yang dianut
disini adalah sistem perrsetujuan yang berlaku di Inggris, Belanda dan Amerika.
Sedangkan yang berlaku di Prancis adalah sistem tidak berkeberatan.
Secara umum persyaratan untuk menjadi pendonor jenazah di Indonesia ialah:
a) Izin tertulis dari donor sendiri atau keluarga
b) Usia antara 10-60 tahun
c) Tidak menderita penyakit infeksi atau keganasan
d) Organ yang akan didonorkan berfungsi dengan baik
e) Mati barang otak.
Penentuan kematian erat kaitannya dengan transplantasi organ. yang
menggunakan donor mati atau donor jenazah. Pada transplantasi dengan donor
mati, organ harus diambil pada saat donor sudah mati agar tidak menimbulkan
persoalan-persoalan seperti misalnya tuduhan dari keluarga jenazah bahwa tim
dokter pelaksana transplantasi berusaha mempercepat kematian keluarganya demi
mengejar organ yang ditransplantasikan. Secara tradisional seseorang dikatakan
mati jika berhentinya fungsi jantung dan paru secara permanent atau ireversibel.
Namun perlu dimengerti bahwa organ yang diambil pada saat jantung sudah
berhenti berdenyut mempunyai kesempatan hidup lebih kecil pada tubuh resipien
dibandingkan dengan organ yang diambil saat jantung masih berdenyut. Oleh
sebab itu jantung perlu dipertahankan tetap berdenyut agar proses oksigenasi tetap
berlangsung. Seiring dengan kemajuan ilmu kedokteran, hal ini tidak lagi menjadi
masalah. Namun sebagai akibatnya timbul masalah baru yaitu penentuan kematian
yang tidak lagi dapat menggunakan kriteria diagnosis yang lazim yaitu
berhentinya denyut jantung dan respirasi secara permanen.
Pada tahun 1974 Harvard Medical School merevisi kriteria diagnosis
kematian yang sudah pernah dibuat pada tahun 1968 yang kesemuanya masih
bertolak pada konsep “brain death is death”. Namun ternyata Bram Death itu
sendiri sebenarnya merupakan proses bertingkat sebagai akibat dari resistensi
yang berbeda-beda dan bagian-bagian otak terhadap kekurangan oksigen. Dari
semua bagian otak, diketahui bahwa batang otak (brain stem) yang mengatur
fungsi pernafasan memiliki resistensi yang paling baik terhadap kurangnya
15
16
oksigenasi. Oleh karena itu saat ini konsep kematian telah bergeser dari “brain
death is death” menjadi “brain stem death is death”. Diagnosis dari kematian
batang otak menjadi penentu keberhasilan dari transplantasi organ. Diagnosis dini
dari organ pasien donor penting untuk keberhasilan dari transplantasiorgan. Untuk
diagnosis klinis didapatkan dari tanda-tanda apneu, hilangnya reflex batang otak,
dan koma. Untuk di Indonesia sendiri, pada tahun 1988 IDI telah mengeluarkan
fatwa tentang criteria mati dimana seseorang dikatakan telah meninggal jika telah
terjadi kematian batang otak.
Mengenai dokter yang boleh menentukan kematian donor di berbagai
negara memiliki peraturan yang berbeda. Di Indonesia terdapat syarat bahwa
kematian ditentukan oleh dua dokter yang berbeda yang kesemuanya tidak ada
sangkut pautnya dengan dokter yang melakukan transplantasi. Hal ini sesuai
dengan deklarasi Sidney tahun l968 dan deklarasi Venice tahun 1983 tentang
Kriteria mati dan Penyakit Terminal yang Dikaitkan Dengan Transplantasi Organ.
2.2.3 Tata Cara Donor
Tahapan klinis dari proses transplantasi, berlaku untuk donor hidup
maupun donor mati, adalah sebagai berikut (Gayatri, 2007):
1. Tahapan pra transplantasi, yaitu pemeriksaan donor dan resipien. Donor
sebagai pihak pemberi organ diperiksa terlebih dahulu, kemudian resipien
sebagai penerima organ. Upaya medis transplantasi organ tubuh lebih
mudah dilakukan apabila donor dan resipien mempunyai hubungan
keluarga (ada pertalian darah).
2. Tahap pelaksanaan transplantasi yang dilakukan oleh tim medis.
3. Tahap pasca transplantasi, yaitu tahapan pemeriksaan lebih lanjut setelah
transplantasi untuk mencegah terjadinya rejeksi (penolakan tubuh) dengan
melakukan pemberian obat dan kontrol.
Untuk dapat dilakukan eksplantasi organ tubuh baik terhadap donor hidup
maupun donor jenazah diperlukan adanya persetujuan terlebih dahulu. Hal ini
berarti tidak boleh dilakukan suatu pengambilan organ tubuh tanpa adanya izin
16
17
yang jelas/nyata yang diberikan oleh pendonor. Berdasarkan PP Nomor 18 Tahun
1981, persetujuan pasien dalam upaya medis transplantasi organ tubuh,
persetujuan yang diberikan oleh seorang donor jenazah adalah ketika ia masih
hidup baik dengan maupun tanpa sepengetahuan keluarga terdekatnya atau adanya
persetujuan dari keluarga terdekatnya jika selama hidupnya donor tidak pernah
membuat persetujuan, menjadi suatu hal yang penting karena meskipun tubuh itu
sudah tidak bernyawa lagi, namun dalam hal ini kita masih harus tetap
menghormati hak integritas dari donor yang telah mati atas jasad yang
ditinggalkan.
Proses donor di RSUD dr Soetomo, calon pendonor dibagi menjadi dua:
1. Pendonor hidup
2. Pendonor mati (cadaver)
Untuk pendonor hidup, pertama kali orang tersebut mengajukan diri untuk
menjadi donor jaringan di bank jaringan RSUD dr. Soetomo. Calon pendonor
tersebut akan mendapatkan formulir (surat) pernyataan untuk menjadi calon donor
jaringan tubuh. Calon pendonor diharuskan untuk mengisi surat tersebut yang
kemudian ditanda tangani di atas materai senilai enam ribu rupiah disertai dengan
pas foto 2x3. Formulir ini juga harus ditanda tangani oleh dua orang saksi yaitu
saksi I berasal dari keluarga terdekat (suami, istri, paman, dll), dan saksi II berasal
dari pihak rumah sakit (dapat dokter, perawat, dll). Setelah mengisi surat
pernyataan untuk menjadi calon donor jaringan, calon pendonor ini akan melewati
serangkaian tes kesehatan, berupa tes HIV, VDRL (sifilis), HBV (hepatitis B).
Jika hasil tes ini menyatakan bahwa calon pendonor bersih dari infeksi penyakit di
atas, maka calon pendonor diterima dan didata di bank jaringan RSUD dr.
Soetomo. Bank jaringan akan melalukan pengambilan jaringan dari calon
pendonor yang bersangkutan jika calon tersebut dinyatakan telah meninggal
bukan pada saat pendonor masih hidup (Protap bank jaringan RSUD dr.Soetomo).
Untuk pendonor mati (kadaver), umumnya diambil pada jenazah mr. X yang
setelah di tes terhadap HIV, VDRL dan HBV negatif. Pengambilan jaringan
dilakukan di ruang otopsi RSUD dr. Soetomo dan pengambilan didasarkan pada
kebutuhan jaringan yang masih kurang di bank jaringan. Setelah jaringan diambil,
17
18
jaringan disimpan di freezer dengan suhu -830C untuk menghancurkan antigen
jaringan, sehingga reaksi rejection (penolakan) dari sistem imun penerima donor
dapat diminimalisir. Jaringan disimpan kurang lebih selama enam bulan, dimana
setiap tiga bulannya akan dilakukan tes terhadap HIV, HBV dan VDRL lagi. Jika
pada tiga bulan kedua, hasil tes tetap negatif maka jaringan ini telah siap untuk
digunakan (Protap bank jaringan RSUD dr.Soetomo).
2.2.6 Contoh Kasus Donor Organ
Dua warga negara Indonesia (WNI) diadili di Singapura karena menjual
ginjalnya kepada warga negara tersebut. Kasus penjualan organ tubuh ini
merupakan yang pertama kalinya di Singapura. Kedua WNI yang menjual
ginjalnya itu adalah Toni (27) dan Sulaiman Damanik (26). Kasus ini bermula
ketika Toni menjual ginjalnya kepada WNI bernama Juliana Soh. Dia mengaku
sebagai anak angkat Juliana sejak berumur 10 tahun sehingga transplantasi ginjal
diperbolehkan. Setelah transplantasi di Singapura sukses pada Maret 2008, Toni
mudik ke Medan. Sekitar Rp186 juta mengalir ke rekeningnya. Pada Mei 2008,
Toni balik lagi ke Singapura. Kali ini dia membawa Sulaiman Damanik.
Rencananya Sulaiman akan menjual ginjalnya pada orang kaya setempat yaitu
Tang Wee Sung senilai Rp150 juta. Sulaiman juga mengaku masih punya
hubungan famili dengan Tang agar operasi ini berjalan mulus. Namun sebelum
operasi transplantasi digelar, Toni dan Sulaiman telah dicokok polisi setempat.
Di pengadilan, kedua terdakwa itu mengakui telah berbohong pada
komite etik Singapura dengan menyatakan bahwa mereka adalah kerabat
penerima ginjal dan mereka mendonorkan organ tubuh itu, alias tidak ada jual
beli. Ancaman hukuman yang dijatuhkan pada keduanya adalah 12 bulan penjara
atau denda hingga 10 ribu dolar Singapura. Menteri Kesehatan Singapura Khaw
Boon Wan menyatakan jual beli organ tubuh dilarang di Singapura untuk
menghindari eksploitasi pada orang miskin dan berpotensi melahirkan risiko
medis. "Jual beli organ manusia sering melibatkan eksploitasi atas orang-orang
miskin dan para donor yang tidak mampu memperoleh informasi dalam
mengambil keputusan dan berpotensi mengalami risiko medis (Harnowo,2012).
18
19
Sebuah pengakuan oleh Jehuda Hiss, seorang mantan kepala institut
forensik Abu Kabir di Israel. Hiss mengaku para pekerja di institutnya panen
kulit, kornea, hati, dan tulang yang mereka peroleh dari rakyat sendiri, warga
Palestina, serta pekerja asing. Semua itu diperoleh tanpa izin si pemilik organ
alias secara ilegal. “Kami menggunakannya untuk kepentingan transplantasi dan
memenuhi kebutuhan masyarakat,” ujar Hiss, seperti dilansir Al Jazeera, Kamis
(24/12). Wawancara itu sebenarnya dilakukan pada 2000 silam. Namun baru bisa
dirilis saat ini karena kondisinya sudah kondusif untuk dibicarakan. Sementara
bagian kulit, lanjut Hiss, diserahkan kepada bank kulit yang didirikan oleh militer
Zionis itu. Kulit itu memang biasanya digunakan untuk kepentingan militer, misal
untuk serdadu yang mengalami luka bakar. Menurut Hiss, praktik ini berhenti
total pada tahun 2000.
Senada dengan Hiss, militer Israel juga mengatakan aktivitas ini telah
mereka hentikan sepuluh tahun lalu. Depkes Negeri Yahudi itu menyatakan, saat
penggunaan organ ilegal marak, tidak ada hukum yang mengatur mengenai
transplantasi organ tubuh. Namun demikian, mereka berani menyatakan institut
Abu Kabir bekerja sesuai etika dan hukum Yahudi. Pewawancara Hiss adalah
dosen antropologi di University of California-Berkeley, Nancy Scheper-Hughes.
Ia sengaja mempublikasikan wawancara ini setelah tudingan sebuah suratkabar
Swedia bahwa aktivitas transplantasi organ ini memang nyata bahkan ada pasar
gelap khusus perdagangan organ tubuh manusia. Surat kabar Aftonbladet memuat
berita itu pada Agustus lalu. Mereka menuding militer Israel berada di balik
aktivitas perdagangan organ ilegal ini. Sumber organ adalah warga Palestina yang
mereka culik dan bunuh. Pihak Israel tentu saja menyangkal tudingan ini dan
menyebabkan hubungan kedua pihak tegang karena media Swedia tak mau
meminta maaf. “Serdadu Israel menculik pemuda Palestina dari Tepi Barat dan
Jalur Gaza. Lalu mengembalikan mereka ke keluarga masing-masing setelah
mengambil organnya untuk dijual ke pasar gelap,” demikian kutipan artikel
bertajuk ‘They Plunder the Organs of Our Sons’ itu (Hutapea, 2009).
Di Bandung, Terkait keinginan seorang gadis asal Jakarta, Kania (20),
nama samaran, yang akan menjual ginjalnya, dinyatakan Direktur Medik dan
19
20
Keperawatan RSHS Rizal Chaidir usia Kania belum cukup untuk menjadi donor.
"Untuk jadi pendonor organ, usia yang paling pas adalah 30 tahun," ujar pria yang
akrab dipanggil Deis ini saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (19/10/2009). Jika
umurnya 20 tahun, ujar Deis, belum pas karena jaringannya belum matang. RSHS
sendiri, imbuh Deis, tidak mentolerir adanya jual beli organ tubuh baik ginjal, hati
dan lainnya. Kanis, gadis berusia 20 tahun ini berencana menjual ginjalnya dan
memasang iklan di internet. Ginjalnya dia jual dengan harga Rp 600 juta. Menurut
pengakuan gadis asal Jakarta tersebut, dia menjual ginjal untuk menutupi utang
ayahnya yang bangkrut sekaligus biaya adiknya yang sebentar lagi masuk
perguruan tinggi (Yulianti,2009).
2.3 Pembahasan Etikolegal Donor Organ
Untuk menjaga agar dalam pelaksanaanya proses donor ogan bisa bejalan
dengan baik dibutuhkan sebuah aturan, yang berlandaskan ideologi di negara
masing masing. Di Indonesia setidak nya terdapat tiga hal yang harus diperhatikan
yakni nilai etik (KODEKI dan LSDI), nilai hukum (UU kesehatan, UU praktek
kedokteran, PP, dan KUH pidana/ perdata), dan kajian keagamaan yang akan
menjaga pelaksanaan praktek kedokteran khususnya dalam hal donor organ
(Gayatri,2007).
2.3.1 Dasar – Dasar Etik Kedokteran terkait Donor Organ
Dari segi etik kedokteran, tindakan transplantasi terkait dengan donor
organ ini wajib dilakukan jika terdapat indikasi. Hal ini berlandaskan pada
beberapa pasal dalam KODEKI yaitu KODEKI pasal 2 dan 7d tentang profesi
kedokteran.
2.3.2 Dasar – Dasar Hukum terkait Donor Organ
Dalam aturan hukum yang berlaku di Indonesia, mengenai transplantasi
dan donor organ ini telah mendapat pengaturannya antara lain melalui :
20
21
a. PP No. 18 Tahun 1981 tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat
anatomis serta transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia,
antara lain:
1.) Bab 1 Ketentuan umum Pasal 1
2.) Bab VI Pengambilan alat dan atau jaringan tubuh manusia korban
kecelakaan Pasal 14
3.) Bab VII donor pasal 15 dan 16
4.) Bab VIII perbuatan yang dilarang pasal 17, 18, dan 19
5.) Bab IX ketentuan pidana pasal 20
b. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, meliputi:
1.) Bab VI upaya kesehatan
- Bagian Kelima penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan Pasal 64, 65, 66, dan 67
- Bagian Kesebelas pelayanan darah pasal 86, 87, 88, dan 90
- Bagian Ketigabelas penanggulangan gangguan penglihatan dan
pendengaran pasal 95
- Bagian Kedelapan belas bedah mayat pasal 123
2.) Bab XX ketentuan pidana
- pasal 192 tentang perjualbelian organ atau jaringan tubuh
- pasal 195 tentang perjualbelian darah
- Pasal 201
c. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
1.) Bab VII penyelenggaraan praktik kedokteran Bagian ketiga
pemberian pelayanan pasal 45
Menurut aturan-aturan tersebut di atas, pada dasarnya donor organ harus
dilakukan dengan sukarela untuk kemanusiaan tanpa mengharapkan imbalan
dalam bentuk apapun. Namun, adapula peraturan yang dapat mengecualikan hal
ini, yaitu :
21
22
a. Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor: M.04-Hn.02.01 Tahun 2000 tentang Remisi
Tambahan Bagi Narapidana Dan Anak Pidana pasal 1, 3, dan 5.
Di Indonesia, dalam peraturan-peraturan yang berlaku saat ini, tidak ada satu
pasal pun yang dapat menjelaskan secara detail mengenai tindak pidana
perdagangan organ tubuh manusia sehingga menyebabkan kesulitan dalam
menindak kasus-kasus penyalahgunaan organ dan atau jaringan tubuh, terutama
praktek perdagangan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang terjadi.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Murdhani (2009),
penegakan hukum terhadap tindak pidana perdagangan organ tubuh belum sesuai
dengan yang diharapkan karena baik di dalam KUHP, UU. No.36 tahun 2009
tentang Kesehatan maupun di dalam RKUHP tahun 2004, tidak ada satu pasal pun
yang formulasi isi pasalnya memberikan karakteristik mengenai tindakan apa saja
yang dikategorikan sebagai praktek jual-beli organ tubuh manusia. Di KUHP
sendiri yang tidak mengatur mengenai tindak pidana perdagangan organ tubuh
manusia, pelaku dapat dikenakan Pasal 359 KUHP, Pasal 360 ayat (1) KUHP, dan
Pasal 362 KUHP. Di dalam UU. No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pelaku
tindak pidana perdagangan organ tubuh dapat dikenai Pasal 64, Pasal 65, dan
Pasal 192. RKUHP tahun 2004 yang belum disahkan sampai sekarang pelaku
tindak pidana perdagangan organ tubuh dapat dikenai Pasal 394 RKUHP tentang
transplantasi organ tubuh.
2.3.3 Pandangan Agama terkait Donor Organ
a.) Pandangan menurut agama Islam
Menurut Fatwa Muasyirah oleh Dr. Yusuf qardhawi, disebutkan
1. “... dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang
dikaruniakan-Nya kepadamu ..." (an-Nur: 33)
Dengan penjelasan bahwa di dalam Alquran tidak disebutkan secara
tertulis bahwa seseorang boleh mendermakan tubuhnya, tapi yang tersurat
dalam An-nur : 33 bahwa Seorang islam boleh mendermakan sesuatu
22
23
apabila itu adalah miliknya, termasuk tubuhnya. kebolehannya itu bersifat
muqayyad (bersyarat). Maka seseorang tidak boleh mendermakan sebagian
organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan dharar (bahaya,
kemelaratan, dan kesengsaraan) bagi dirinya.
Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seseorang mendermakan organ
tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati, jantung,
karena dia tidak mungkin dapat hidup tanpa adanya organ tersebut; dan
tidak diperkenankan menghilangkan dharar dari orang lain dengan
menimbulkan dharar pada dirinya.
Artinya Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan
Islam menganggap semua kebaikan (al-ma'ruf) sebagai sedekah. Maka
mendermakan sebagian organ tubuh karena Allah Ta’ala termasuk kebaikan
(sedekah). Bahkan tidak diragukan lagi, hal ini termasuk jenis sedekah yang
paling tinggi dan paling utama, karena tubuh (anggota tubuh) itu lebih
utama daripada harta, sedangkan seseorang mungkin saja menggunakan
seluruh harta kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian
anggota tubuhnya.
2. "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain ..." (atTaubah: 71)
3. "... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya
lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam
kitab Allah ..." (al-Anfal: 75)
b.) Pandangan menurut agama Katolik
Menurut romo William P. Saunders, disebutkan:
1. Dalam ensiklik “Evangelium Vitae” (= Injil Kehidupan), Bapa Suci
Yohanes Paulus II menyatakan, “… ada kepahlawanan harian, yang terdiri
dari amal perbuatan berbagi sesuatu, besar atau kecil, yang menggalang
kebudayaan hidup yang otentik. Teladan amal perbuatan yang secara khas
layak dipuji seperti itu ialah pendermaan organ-organ, yang dilaksanakan
melalui cara yang dari sudut etika dapat diterima, dengan maksud
23
24
menawarkan kemungkinan kesehatan dan bahkan hidup sendiri kepada
orang sakit, yang kadang sudah tidak mempunyai harapan lain lagi” (No.
86).
2. Katekismus Gereja Katolik: “Transplantasi sesuai dengan hukum susila
dan malahan dapat berjasa sekali, kalau bahaya dan resiko fisik dan psikis,
yang dipikul pemberi, sesuai dengan kegunaan yang diharapkan pada
penerima. Transplantasi organ tubuh tidak dapat diterima secara moral,
kalau pemberi atau yang bertanggung jawab untuk dia tidak memberikan
persetujuan dengan penuh kesadaran” (No. 2296)
c.) Pandangan menurut agama Hindu, disebutkan :
Tidak ada dasar hukum agama yang melarang seorang hindu untuk
nmendonorkan organ dan atau jaringannya. Mereka mempercayai bahwa
kehidupan setelah mati itu ada dan hal inilah yang mendasari dibolehkannya
donor organ. Didalam 10 niyamas pada Daan (poin ke3). Segala sesuatu yang
menjunjung tinggi dharma (kebaikan sesama manusia) dianjurkan dalam hindu.
d.) Pandangan menurut agama Budha, disebutkan :
Dalam Sutra of Golden Light chapter 18 menunjukan bahwa Budha
memberikan tubuhnya untuk menyelamatkan seekor harimau betina. Bagi
penganut agama Budha mendonorkan organ adalah perbuatan yang sangat positif
(Nanny, 2011).
Profesi dokter merupakan profesi yang sangat rentan akan terjadinya
pelanggaran etik maupun hukum. Terkait dengan penyelenggaraan kegiatan donor
organ dan atau jaringan tubuh, terkait pula dengan pelaksanaan transplantasi organ
dan atau jaringan tersebut, seorang dokter yang kurang atau bahkan tidak begitu
paham mengenai etik dan hukum yang mengatur kedua hal ini, secara tidak
sengaja dapat terjerumus ke dalam praktek-praktek yang menyimpang. Namun,
dapat pula terjadi, dimana seorang dokter yang sebenarnya telah mengetahui etika
24
25
dan hukum ini secara sengaja melakukan praktek donor organ maupun
transplantasi yang bertentangan dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan.
Sebagai contoh, seorang dokter yang telah melakukan suatu operasi transplantasi
(dan mungkin bersama dengan pendonornya) menerima imbalan dari resipien atas
jasa yang telah dilakukannya. Atau seorang dokter yang mungkin menjadi bandar
organ dan atau jaringan tubuh dimana dokter tersebut memberikan tawaran
kepada para pasiennya yang bersedia mendonorkan organ dan atau tubuhnya akan
diberikan imbalan yang cukup menggiurkan.
Menurut Soebaryo, organ tubuh yang dapat disumbangkan seseorang yang
masih hidup adalah sebelah ginjal, satu paru-paru, sebagian hati serta sebelah
kornea mata. Kendati memungkinkan seseorang menyumbangkan keempat organ
tubuhnya diatas sekaligus, namun hal itu jelas akan menurunkan kualitas hidup.
Oleh karena itu, secara etika, dokter akan menolak melakukan tindakan
pengangkatan pada lebih dari satu organ.
25
26
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pelaksanaan donor organ di Indonesia telah diatur dalam KODEKI, lafal
sumpah dokter, dan PP No.18 tahun 1981, UU No.36 tahun 2009 tentang
kesehatan, dan UU No. 29 tahun 2009 tentang praktek kedokteran.
2. Tidak ada satu pasal pun yang dapat menjelaskan secara detail mengenai
praktek perdagangan organ tubuh manusia sehingga menyebabkan kesulitan
dalam menindak kasus-kasus perdagangan organ tubuh manusia yang terjadi.
3.2 Saran
Saran yang dapat diberikan penulis adalah faktor-faktor yang menjadi
kendala didalam hukum pidana yaitu rumusan pasal-pasal yang bisa diterapkan
terhadap pelaku tindak pidana perdagangan organ tubuh manusia jangan terlalu
universal, perlu adanya pengaturan secara khusus dalam undang-undang
khususnya untuk Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
harus ada batasan pengertian, hakikat, dan ruang lingkup tindak pidana
perdagangan organ tubuh manusia sehingga tidak menjadi bias di dalam
penerapannya. Terhadap kebijakan transplantasi organ tubuh manusia kedepannya
dapat lebih diperjelas lagi yaitu dengan adanya suatu undang-undang khusus
mengenai transplantasi organ yang formulasi pasalnya telah mengikuti standar
internasional sehingga dapat menjaring semua perbuatan yang dikategorikan
dalam tindak pidana perdagangan organ tubuh manusia.
26
27
DAFTAR PUSTAKA
Douglas W, Hanto. 2007. Ethical Challenges Posed by the Solicitation of Deceased and Living Organ Donors. England : BMJ.
IDI, 2002. Kode etik kedokteran Indonesia (S.K. P.B. IDI No:221/PB/A.4/04/2002. Jakarta.
Geraghty, 2008. Emergency & disaster medicine summit. South Carolina: AHEC.
Knoepffler, N. 2008. Organ donation as an ethical imperative. University of Jena.
Santos, MD. 2002. Ethical incentives not payment for organ donation. N Engl J Med, 346 (25)
Truog, R. 2005. The Ethics of Organ Donation by Living Donors. England : BMJ.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.1981.PP Republik Indonesia Nomor 18 tahun 1991tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia.
Persi. 2003. Pusat data & Informasi-Perhimpunan rumah sakit seluruh Indonesia:
Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.04-Hn.02.01 Tahun 2000 tentang Remisi Tambahan Bagi Narapidana Dan Anak Pidana.
Komalawati. V, 1989. Hukum dan Etika Dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta. hlm 120.
Huml, Anne. 2009. Organ Transplantation.
Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen) Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Gayatri, Aprilia. Sekilas tentang Donor Organ dari Sudut Pandang Hukum Pidana.
Homer,T. 2007.The Book Of Origins.http://oketips.com/8380/tips-kesehatan-sejarah-perkembangan-transplantasi-organ/
28
http://mirfat-rm.blogspot.com/2012/06/transplantasi-organ-tubuh-manusia.html
Wijaya, AM. 2010. Terapi Pengganti Ginjal atau Renal Replacement Terapy (RRT). http://www.infodokterku.com/index.php?option=com_content&view=article&id=68:terapi-pengganti-ginjal-atau-renal-replacement-therapy-rrt&catid=29:penyakit-tidak-menular&Itemid=18
Rachmawati, Evy. 2008. Waspadai Komplikasi pada Donor Hati. http://nasional.kompas.com/read/2008/09/11/15081237/Waspadai.Komplikasi.Pada.Donor.Hati.
Harnowo, PA.2012. Perdagangan Ogan Tubuh Ilegal, dari Kemiskinan Hingga Terpidana Mati. http://news.detik.com/read/2012/04/23/162030/1899428/10/perdagangan-organ-tubuh-ilegal-dari-kemiskinan-hingga-terpidana-mati
Hutapea,RU.2009.Israel Akui Ambil Organ Tubuh Warga Palestina Tanpa Izin. http://news.detik.com/read/2009/12/21/162520/1263781/10/israel-akui-ambil-organ-tubuh-warga-palestina-tanpa-izin?nd771108bcj
Yulianti TE.2009.Donor Organ Paling Pas Umur 30 Tahun. http://bandung.detik.com/read/2009/10/19/153757/1224283/486/donor-organ-paling-pas-umur-30-tahun
Nanny. 2011. Transplantasi organ dipandang dari kode etika, agama dan segi hokum di Indonesia.http://nanny-lintangamma.blogspot.com/2011/11/transplantasi-organ-di-pandang-dari.html