15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Dividen
Dividen adalah laba bersih perusahaan sebagai keuntungan atas investasi dan
risiko yang telah ditanamkan ke dalam perusahaan yang diberikan kepada pemegang
saham. Pemegang saham pada umumnya menginginkan tingkat pembagian dividen
yang tinggi, karena hal ini sebagai realisasi untuk mencapai kesejahteraannya (Shah
et al., 2011). Dividen merupakan laba yang dapat disalurkan atau dibagikan setiap
kuartalan, setengah tahunan ataupun sekali dalam setahun tergantung dari kebijakan
yang diterapkan dewan direksi perusahaan.
Penentuan jumlah dividen dan yang berhak menerima dilakukan dalam
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) oleh perusahaan (Badu, 2013). Menurut
Saeed et al., (2014), dividen adalah sebagian laba perusahaan yang secara rata pada
pemegang saham, yaitu sesuai persentase kepemilikan saham pada perusahaan.
Tabari dan Shirazi (2015), dividen merupakan dana yang didistribusikan perusahaan
pada pemegang saham yang merupakan cara lama dan paling umum.
Besarnya proporsi kepemilikan saham di dalam perusahaan dapat
mempengarugi jumlah dividen yang akan diterima oleh pemegang saham (Hakeem
dan Bambale, 2016). Semakin banyak lembar saham yang dimiliki, maka pemegang
saham berpotensi dapat menerima jumlah dividen yang lebih besar. Pada umumnya
16
pemegang saham menginginkan pembagian dividen yang tinggi, karena hal ini
sebagi realisasi untuk mencapai kesejahteraannya.
Black (1976) menyatakan bahwa pembagian dividen akan menimbulkan
keputusan yang sulit bagi pihak manajemen perusahaan yang merupakan tujuan para
pemegang saham, yaitu penentuan besarnya yang tepat dalam pembagian dividen.
Pihak investor dan kreditor menganggap keputusan dividen sebagai teka-teki yang
sulit untuk dijelaskan dan akan terus menimbulkan pertanyaan.
2.1.1.1 Bentuk-bentuk Dividen
Kieso et al., (2014), terdapat beberapa jenis bentuk dividen yang diberikan
perusahaan kepada pemegang saham, yaitu sebagai berikut :
1. Cash dividend
Cash dividend adalah pembagian dividen berupa pembayaran uang secara tunai
(cash). Cash dividend merupakan bentuk pembagian dividen yang paling umum
dilakukan oleh perusahaan. Besar kecilnya dividen yang diterima oleh pemegang
saham berdasarkan harga per lembar saham dan jumlah saham yang dimiliki.
2. Share dividend
Share dividend adalah pembagian dividen yang diberikan dalam bentuk lembar
saham perusahaan sebagai pengganti uang tunai (cash). Pembagian dividen ini
dapat meningkatkan jumlah saham yang beredar. Pemegang saham tidak perlu
mengeluarkan biaya kembali untuk memperoleh saham ini. Share dividend akan
meningkatkan jumlah saham yang beredar, namun tidak merubah proporsi
kepemilikan sehingga hal ini berdampak pada pengurangan book value per
lembar saham.
17
3. Property dividend
Property dividend adalah pembagian dividen dalam bentuk aktiva perusahaan
selain uang tunai (cash). Aktiva ini dapat berupa surat-surat berharga, barang
dagangan, real estate, ataupun investasi dalam bentuk lain yang telah disiapkan
oleh dewan direksi. Pada saat akan mengumumkan adanya pembagian property
dividen, perusahaan perlu menilai ulang terlebih dahulu nilai wajar dari suatu
aktiva yang akan didistribusikan kepada pemegang saham. Perusahaan menilai
adanya gain atau loss melalui selisih nilai wajar (fair falue) dan nilai yang
tercatat (book value).
4. Liquidating dividend
Liquidating dividend adalah pembagian dividen kepada pemegang saham yang
bersumber dari pengembalian investasi yang ditanamkan oleh pemegang saham,
sehingga dividen ini akan mengurangi modal internal. Dividen ini bukan berasal
dari laba perusahaan dan laba yang ditahan (retained earning). Untuk melihat
sumber dividen yang diberikan bersumber dari laba perusahaan atau likuidasi
perusahaan, pemegang saham dapat melihat dari cek dividen yang diberikan
oleh perusahaan.
2.1.1.2 Mekanisme Pembayaran Dividen
Dalam pembayaran dividen (Ross et al., 2015) menjelaskan beberapa
mekanisme yang dapat dilakukan oleh perusahaan, adalah sebagai berikut :
1. Date of declaration
18
Date of declaration adalah tanggal pengumuman adanya pembagian dividen.
Dewan direksi telah menyetujui keputusan bahwa perusahaan akan membagikan
dividen kepada pemegang saham.
Misalnya pada 15 Januari adalah tanggal pengumuman (declaration date),
dewan direksi meneluarkan pengumuman rencana akan membayar dividen
misalnya $ 1 per lembar tanggal 16 Februari kepada semua pemegang saham
yang tercatat per tanggal 30 Januari.
2. Date of record
Date of record adalah tanggal pencatatan daftar para pemegang saham terkini
yang akan mendapatkan dividen melalui persetujuan dewan direksi.
Misalnya tanggal 30 Januari, perusahaan mempersiapkan daftar catatan
pemegang saham yang diyakini sebagai pemegang saham per tanggal tersebut,
artinya dividen tidak akan dibayat kepada individu yang memberitahukan
pembelian-pembelian mereka setelah tanggal 30 Januari.
3. Ex-dividend date
Ex-dividend date adalah tanggal perusahaan memutuskan untuk membatasi hak
pemegang saham untuk memperoleh dividen. Pemegang saham yang memiliki
saham sebelum ex-dividend date akan memperoleh dividen, sedangkan
pemegang saham yang memiliki saham pada saat dan setelah ex-dividend date
tidak memiliki hak atas dividen. Waktu antara date of declaration dan ex-
dividend date merupakan harga pasar yang melekat pada saham. Secara teoritis
ex-dividend date merupakan tanggal setelah date of record. Akan tetapi bursa
efek umumnya mempercepat dua sampai empat hari untuk memberikan waktu
pengalihan saham. Prosedur pada tanggal pencatatan akan menimbulkan
19
ketidakadilan, misalnya perdagangan saham terjadi tanggal 29 Januari. Pihak
broker yang efisien dapat segera menyampaikan kepemilikan saham pembeli
tepat pada tanggal 30 Januari. Tetapi jika ditangani broker yang tidak efisien,
maka pemberitahuan kepemilikan saham kepada perusahaan baru dapat
disampaikan tanggal 2 Februari. Untuk menghindari hal ini maka semua investor
telah menetapkan perjanjian untuk menerima dividen jika mereka melakukan
pembelian saham 3 hari kerja sebelum pencatatan. Hari kedua sebelum tanggal
pencatatan yaitu tanggal 28 Januari disebut ex-dividend date. Jika membeli
tanggal 28 januari atau sesudahnya maka pihak pemilik sebelumnya yang berhak
memperoleh dividen.
4. Date of payment
Date of payment adalah tanggal pembayaran dividen kepada pemegang saham
yang tercatat pada waktu date of record. Perusahaan melakukan pembayaran cek
kepada pemegang saham pada tanggal 16 Februari.
2.1.1.3 Kebijakan Dividen
Kebijakan dividen merupakan kebijakan dari eksekutif perusahaan untuk
memutuskan membayar dividen atau ukuran dan pola pembayaran dividen yang
didistribusikan kepada pemegang saham (Lease et al., 2000). Mui dan Mustapha
(2016), kebijakan dividen merupakan keputusan manajemen perusahaan dalam
menentukan proporsi laba yang akan diberikan kepada pemegang saham dan
seberapa besar laba yang akan dipertahankan (retained earnings) untuk pembiayaan
investasi di masa depan. Laba yang diperoleh perusahaan tidak seluruhnya
dibagikan kepada pemegang saham, karena laba juga dibutuhkan untuk memenuhi
20
kelangsungan hidup perusahaan. Manajer perusahaan menyisihkan sebagian laba
untuk dipertahankan sebagai pertimbangan adanya kemungkinan investasi baru yang
dapat meningkatkan laba di masa depan (Griffin, 2010). Sehingga perusahaan perlu
membuat kebijakan dividen yang terbaik demi kesejahteraan pemegang saham dan
keberlangsungan kegiatan operasi perusahaan.
Menurut Gul et al., (2012), kebijakan dividen digambarkan sebagai suatu
kebijakan perusahaan yang memutuskan jumlah dividen yang akan dibayar ke
pemegang saham. Hashemijoo et al., (2012), kebijakan dividen mengacu pada
kebijakan perusahaan yang menentukan jumlah pembayaran dividen dan laba
ditahan untuk menginvestasikan kembali ke dalam proyek-proyek baru. Kebijakan
ini terkait dengan membagi penghasilan perusahaan antara pembayaran kepada
pemegang saham dan reinvestasi dalam peluang baru.
Myers dan Majluf (1984), kebijakan dividen dapat membantu pemegang
saham dalam memperoleh berbagai informasi tentang kinerja manajemen
perusahaan dalam mengelola keuangannya. Informasi dapat berupa jumlah besar
kecilnya persentase dividen yang dibagikan. Informasi tersebut dapat memudahkan
pemegang saham untuk menilai manakah perusahaan yang mampu mengelola
sumber modal secara optimal atas dana yang telah mereka investasikan.
2.1.1.4 Teori Kebijakan Dividen
Beberapa teori yang dapat digunakan untuk membuat kebijakan dividen
yang optimal untuk suatu perusahaan (Aqel, 2016), yaitu :
1. Bird In Hand Theory
21
Gordon (1959) mengembangkan bird in hand theory dan menyatakan
bahwa pemegang saham lebih memilih dividen saat ini untuk memungkinkan
laba masa depan karena investor tidak suka ketidakpastian yang berkaitan
dengan dividen masa depan. Investor lebih menyukai menerima dividen
daripada capital gain karena dividen lebih pasti dari pada capital gain.
Kebanyakan investor lebih menyukai pembayaran dividen saat ini daripada
menundanya untuk direalisasikan dalam bentuk capital gain. Dengan demikian,
investor akan bersedia membayar harga yang lebih tinggi untuk saham
perusahaan yang membayar dividen langsung. Jika perusahaan tidak membayar
dividen, tingkat ketidakpastian akan meningkat dan ini akan menyebabkan harga
saham yang lebih rendah dan meminimalkan kekayaan pemegang saham (Aqel,
2016). Beberapa penelitian mendukung teori Gordon dan menyimpulkan bahwa
investor lebih memilih dividen saat ini untuk memaksimalkan kekayaan mereka
dengan memaksimalkan harga saham dari perusahaan (Walter dan Gordon,
1963).
2. Irrelevant Dividend Theory
Miller dan Modigliani (M&M) (1961) adalah yang pertama
memperkenalkan nilai relevansi dividen dan berpendapat bahwa dividen dapat
menyampaikan informasi tentang laba masa depan perusahaan. Keputusan
kebijakan dividen perusahaan tidak memiliki pengaruh terhadap harga saham
perusahaan atau nilai perusahaan. Nilai perusahaan ditentukan oleh pendapatan
yang dihasilkan oleh aset dan risiko bisnis. M&M berpendapat bahwa, nilai
perusahaan hanya ditentukan oleh kemampuan perusahaan untuk menghasilkan
pendapatan dan risiko bisnis, sedangkan bagaimana cara membagi arus
22
pendapatan menjadi dividen dan laba ditahan tidak mempengaruhi nilai
perusahaan.
3. Free Cash Flow Theory
Jensen (1986) menyimpulkan bahwa free cash flow menyampaikan
informasi ke pasar keuangan. Jensen berpendapat bahwa jika perusahaan
memiliki arus kas bebas, lebih baik untuk membayar dividen kepada para
pemegang saham untuk memaksimalkan kekayaan mereka. Perusahaan dengan
free cash flow berlebih akan memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan
perusahaan lain, karena mereka dapat memperoleh keuntungan atas berbagai
kesempatan yang mungkin tidak dapat diperoleh perusahaan lain.
4. Tax preference theory
Black (1976) menunjukkan bahwa perusahaan membayar dividen untuk
menghargai para pemegang saham yang mengambil tingkat risiko tertentu ketika
berinvestasi di perusahaan. Black juga menambahkan bahwa dalam tingkat pajak
tinggi investor yang paling mungkin untuk memegang saham dividen rendah,
sementara di tingkat pajak yang rendah investor cenderung memiliki saham
dengan yield dividen yang tinggi. Menurut Aqel (2016), teori ini menyatakan
bahwa investor lebih memilih capital gain atas dividen saat ini karena alasan
pajak terkait. Teori ini menunjukkan bahwa dividen akan dikenakan pemotongan
pajak lebih tinggi dari capital gain. Teori ini lebih jauh berpendapat bahwa
dividen dikenakan pajak secara langsung, sementara pajak capital gain tidak
tercapai sebelum saham dijual. Oleh karena itu, alasan yang berhubungan
dengan pajak, investor lebih memilih mempertahankan keuntungan perusahaan
atas pembagian dividen tunai. Keuntungan dari pengolahan capital gain, dapat
23
menyebabkan investor untuk mendukung dividen payout rendah, sebagai lawan
dari pembayaran tinggi.
5. Signaling Theory
Ross et al., (2012) menyatakan bahwa teori ini menjelaskan dividen
merupakan penyebab berkurangnya kesenjangan informasi (information
asymmetry) antara pemegang saham yang memberikan informasi penting
tentang tujuan dan prospek usaha masa depan perusahaan dan manajemen yang
bertindak sebagai agen. Kesenjangan informasi menunjukkan bahwa adanya
aliran informasi yang tidak seimbang antara manajemen perusahaan dengan
pemegang saham yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan antara
manajemen dan pemegang saham. Bhattacharya (1979) menyatakan bahwa
pentingnya dividen menyebabkan perusahaan tidak mau melakukan
pengurangan atau pemotongan dalam keputusan pembayaran dividen yang
disebabkan adanya efek sinyal. Perusahaan yang melakukan pengurangan atau
pemotongan dividen memberikan sinyal buruk pada investor yang menandakan
bahwa perusahaan sedang mengalami masalah keuangan sehingga hal tersebut
memberikan sinyal bagi investor untuk mempertimbangkan dana yang akan
diinvestasikannya.
6. Life Cycle Theory
DeAngelo et al., (2006) bahwa teori ini menyatakan dividen pada
dasarnya mengacu pada pola siklus hidup (life cycle) yaitu tahap pertumbuhan
(growth) dan tahap dewasa (mature) suatu perusahaan. Pada tahap growth,
perusahaan mengambil keputusan untuk tidak membayar dividen karena
keuntungan yang diperoleh perusahaan masih belum mencukupi yang
24
disebabkan peluang investasi yang tinggi namun tidak didukung dengan
ketersediaan dana. Keuntungan akan ditahan sebagai retained earnings. Tahap
mature, perusahaan mengambil keputusan untuk membayar dividen kepada
pemegang saham karena pada masa ini perusahaan sedang mengalami
keuntungan yang tinggi.
Berdasarkan beberapa penelitian terdahulu terdapat 2 (dua) proksi yang
dapat digunakan untuk mengukur kebijakan dividen (dividend policy), yaitu
dividend payout ratio (DPR) dan dividend yield (DYD)
a. Penelitian yang menggunakan DPR sebagai proksi dari dividend policy adalah
Rozeff (1982), D’Souza dan Saxena (1999), Saxena (1999), Amidu dan Abor
(2006), Li dan Zhao (2008), Al-Kuwari (2009), Al-Najjar dan Hussainey (2009),
Valipour, Rostami dan Salehi (2009), Kouki dan Guizani (2009), Thanatawee
(2011), Harada dan Nguyen (2011), Guizani dan Kouki (2012), Basiddiq dan
Hussainey (2012), Al-Kuwari (2012), Al-Gharaibeh, Zurigat dan Al-Harahsheh
(2013), Sahar dan Mayahi (2014), Jozwiak (2015), Aqel 2016, Mui dan Mustapa
(2016), Yusof dan Ismail (2016) dan Khan dan Ahmad (2017)
b. Penelitian yang menggunakan DYD sebagai proksi dari dividend policy adalah
Al-Malkawi (2007), Okpara (2010), Thanatawee (2011), Setiawan dan Phua
(2013).
Penelitian ini menggunakan dividend payout ratio dan dividend yield sebagai
proksi dividend policy, yaitu dengan rumus :
25
Dividend Payout Ratio dan Dividend Yield yang merupakan proksi dari
Dividend Policy memiliki makna yang berbeda. Dividend Payout Ratio
menggambarkan seberapa besar laba bersih perusahaan yang digunakan untuk
membayar dividen ke investor. Semakin tinggi tingkat Dividend Payout Ratio, maka
mengindikasikan bahwa perusahaan memberikan proporsi dividen yang lebih besar
atas laba bersih yang diperolehnya (Khan dan Shamim, 2017). Dividend Yield
menunjukkan seberapa besar income return yang akan didapatkan investor atas
sejumlah uang yang diinvestasikan. Investor akan menggunakan rasio Dividend
Yield ini terlebih dahulu sebelum membuat keputusan investasinya yang dianggap
sebagai ROI (Return On Investment) bagi pendapatan investor yang tidak tertarik
pada capital gain suatu saham. Rasio ini sangat penting bagi investor yang
mengutamakan investasi jangka panjang dan return yang konsisten setiap tahunnya
(Thanatawee, 2011).
2.1.2 Teori Entrenchment
Masalah keagenen memiliki dua sisi yang diungkapkan oleh Gilson dan
Gordon (2003), yaitu masalah keagenan klasik antara prinsipal dengan agen
(pemegang saham dan manajer) dan masalah keagenan atara pemegang saham
pengendali dan pemegang saham non pengendali. Munculnya masalah keagenan
antara prinsipal dengan agen karena adanya pemisahan kepemilikan dan kontrol,
sedangkan pemisahan hak kontrol dan hak aliran kas yang merupakan penyebab
masalah keagenan antara pemegang saham pengendali dan pemegang saham non
pengendali.
26
Vitalonga dan Amit (2006) menyatakan masalah keagenan mempunyai
prinsipal adalah pemegang saham non pengendali dan agennya yaitu pemegang
saham pengendali. Pemegang saham sebagai agen karena pemegang saham
pengendali dapat merupakan bagian dari manajer dan mengelola langsung
perusahaan. Pemegang saham non pengendali sebagai prinsipal yang tidak dapat
mengelola perusahaan karena kepemilikan sahamnya kurang dan hanya membeli
saham perusahaan di bursa. Masalah keagenan ini timbul karena adanya insentif dan
kemampuan pemegang saham pengendali untuk mendapatkan manfaat privat.
Manfaat privat ini yang mendorong pemegang saham pengendali untuk
mempertahankan control perusahaan. Manfaat privat atas kontrol lebih besar apabila
kepemilikan perusahaan terkonsentrasi.
Siregar (2006) mengatakan bahwa peningkatan masalah keagenan antara
pemegang saham pengendali dengan pemegang saham non pengendali terjadi
apabila pemegang saham pengendali terlibat dalam manajemen. Keterlibatan
pemegang saham pengendali dalam manajemen dapat meningkatkan kontrol
pemegang saham dalam pengambilan keputusan penting walaupun tidak terkait
dengan kepemilikan saham. Keterlibatan dalam manajemen pemegang saham
pengendali bukan lagi sekedar dapat memonitor manajemen melainkan sudah
menjadi bagian dari manajemen itu sendiri.
Fan dan Wong (2002), Yeh (2005) dan Sanjaya (2010) bahwa hak kontrol
yang kuat dari pemegang saham pengendali memiliki kecenderungan yang lebih
tinggi untuk mendapatkan kepentingan pribadi dengan mengontrol perusahaan
dibandingkan dengan pemegang saham non pengendali yang menyiratkan efek
entrenchment. Entrenchment adalah tindakan pemegang saham pengendali yang
27
terlindung oleh hak kendali (hak kontrol), sehingga terlibat dalam penyalahgunaan
kekuasaan (pengambilalihan).
Tindakan dan kekuatan manajer perusahaan berkaitan erat dengan
managerial entrenchment. Hal ini terjadi ketika manajer memperoleh begitu banyak
kekuatan yang digunakan untuk mengejar kepentingan mereka sendiri daripada
kepentingan pemegang saham (Weisbach, 1988). Entrenchment merupakan manajer
yang gagal untuk didisiplinkan, bahkan dengan mekanisme tata kelola perusahaan
dan kontrol penuh, termasuk pemantauan oleh dewan, perlakuan terhadap
pemberhentian atau pengambilalihan dan saham atau insentif kinerja berbasis
kompensasi (Berger et al., 1997). Perusahaan dengan dewan direksi lemah dan
peraturan anti pengambil keputusan yang kuat, managerial entrenchment
kemungkinan besar akan terjadi. Dengan probabilitas rendah dipecat karena
kinerjanya buruk, manajer pada umumnya dapat mempengaruhi perusahaan untuk
menjamin pekerjaannya dengan gaji yang menarik (Morck et al., 1988), menikmati
perquisites dengan mengorbankan pemegang saham (Bertrand dan Mullainathan,
2003) dan bahkan menghentikan pembayaran dividen tanpa memicu tanggapan
pemegang saham (Wang, 2011).
2.1.3 Struktur Kepemilikan
La Porta et al., (1999), melakukan penelitian struktur kepemilikan dengan
konsep kepemilikan ultimat pada 691 perusahaan publik di 27 negara dari benua
Asia, Eropa, Amerika dan Australia yang dianggap pesat ekonominya ditemukan
76% perusahaan publik dikendalikan oleh pemilik ultimat dengan pisah batas hak
kontrol 10%. Claessens et al., (2000) meneliti struktur kepemilikan ultimat yang
28
dilakukan pada 2.980 perusahaan publik di 9 negara Asia termasuk 178 perusahaan
publik di Indonesia ditemukan bahwa pada pisah batas hak kontrol 10% sebanyak
93% perusahaan publik Asia dikendalikan oleh pemegang saham pengendali. Pada
penelitian struktur kepemilikan ultimat yang dilakukan oleh Faccio dan Lang (2002)
pada 5.232 perusahaan publik di 13 negara Eropa bahwa pada pisah batas hak
kontrol 20% terdapat sebanyak 77% jumlah perusahaan dengan kepemilikan
terkonsentrasi.
2.1.3.1 Struktur Kepemilikan Immediat
Kepemilikan immediat adalah kepemilikan langsung pada perusahaan publik
yang ditunjukkan berupa persentase kepemilikan saham dinamakan kepemilikan
immediat. Kepemilikan immediat digambarkan dari jumlah saham yang dimiliki
seseorang atas nama dirinya pada perusahaan publik. Klasifikasi kepemilikan
tersebar atau terkonsentrasi ditentukan berdasarkan persentase saham yang dimiliki
oleh pemegang saham. Kepemilikan immediat sebuah perusahaan publik dapat
diidentifikasi melalui informasi dalam laporan keuangan.
Kepemilikan immediat memiliki beberapa kelemahan, yaitu pertama,
kepemilikan immediat tidak mengkaji kemungkinan adanya rantai kepemilikan pada
perusahaan publik sehingga tidak bisa digunakan untuk menganalisis rantai
kepemilikan. Tidak dapat ditemukan siapa sesungguhnya pemegang saham
pengendali pada perusahaan publik dengan kepemilikan immediat. Sebagai contoh,
A tidak memiliki saham pada PT. X yang terdaftar atas nama dirinya, tetapi A dapat
mengendalikan PT. X. A dapat mengendalikan PT. X yang dimiliki oleh PT. Y
karena A pemegang saham PT. Y. Kelemahan kedua, kepemilikan ultimat tidak
29
dapat diidentifikasi dengan kepemilikan immediat. Pemilik ultimat pada PT. X
sebenarnya adalah A. A tidak memiliki saham atas nama dirinya yang terdaftar
dalam kepemilikan saham PT. X sehingga tidak berhasil mengidentifikasi A.
Kelemahan ketiga, kepemilikan immediat tidak dapat digunakan untuk
mengkaji adanya pemisahan kepemilikan dan kontrol oleh pemegang saham.
Sebagai contoh, apabila seseorang yang terdaftar sebagai pemegang saham PT. X
atas nama dirinya sebesar 4%, maka kepemilikan dan kontrol pemegang saham pada
PT. X tersebut sebesar 4%. Keempat, mekanisme peningkatan kontrol pemegang
saham terhadap sebuah perusahaan publik tidak dapat diidentifikasi dengan
kepemilikan immediat. Seperti contoh sebelumnya bahwa A tidak memiliki saham
langsung PT. X. Setelah ditelusuri melalui rantai kepemilikan ternyata dapat
diketahui bahwa A sebenarnya dapat mengendalikan PT. X melalui PT. Y karena A
sebagai pemegang saham PT. Y.
2.1.3.2 Struktur Kepemilikan Ultimat
Kepemilikan langsung dan tidak langsung pada perusahaan publik
dinamakan kepemilikan ultimat. Persentase saham yang dimiliki pemegang saham
atas nama dirinya menggambarkan kepemilikan langsung pada perusahaan.
Kepemilikan tidak langsung terhadap sebuah perusahaan publik dapat diketahui
melalui rantai kepemilikan. Kepemilikan perusahaan publik dengan konsep
kepemilikan ultimat diklasifikasi menjadi dua, yaitu kepemilikan luas (widely held)
dan kepemilikan ultimat. Perusahaan dapat dikategorikan termasuk dalam
kepemilikan luas atau ultimat tergantung pada pisah batas (cut off) hak kontrol yang
digunakan oleh peneliti.
30
La Porta et al., (1999) dengan menggunakan pisah batas hak kontrol 10%
menemukan bahwa secara luas perusahaan publik dimiliki oleh masyarakat hanya
24%, sisanya 76% dikendalikan oleh pemilik ultimat. Jumlah perusahaan publik
dengan kepemilikan luas dengan pisah batas hak kontrol 20% sebanyak 36% dan
64% oleh konsentrasi kepemilikan. Penelitian yang dilakukan di Asia oleh
Claessens et al., (2000) ditemukan pada pisah batas hak kontrol 10%, masyarakat
hanya memiliki secara luas sebesar 7% perusahaan publik dan 93% dikendalikan
oleh pemegang saham pengendali. Jumlah perusahaan dengan kepemilikan luas
menjadi 23% dan konsentrasi kepemilikan 77% dengan pisah batas hak kontrol
20%. Penelitian juga dilakukan di Eropa oleh Faccio dan Lang (2002) yang
menemukan bahwa hanya 37% perusahaan publik yang dimiliki luas oleh
masyarakat dan sisanya 63% dikendalikan oleh pemilik ultimat.
2.1.3.3 Hak aliran Kas dan Hak Kontrol
2.1.3.3.1 Hak Aliran Kas
Hak aliran kas adalah klaim keuangan terhadap perusahaan yang dilakukan
oleh pemegang saham (La Porta et al., 1999). Hak aliran kas terdiri dari hak aliran
kas langsung (direct cash flow right) dan hak aliran kas tidak langsung (indirect
cash flow right). Hak aliran kas langsung adalah persentase saham pemegang saham
pengendali yang dimiliki pada perusahaan publik atas nama dirinya sendiri. Hak
aliran kas tidak langsung adalah penjumlahan hasil perkalian persentase saham
dalam setiap rantai kepemilikan (La Porta et al., 1999). Klaim pemegang saham
pengendali terhadap dividen secara tidak langsung melalui mekanisme kontrol
terhadap perusahaan ditunjukkan oleh hak aliran kas tidak langsung.
31
B memiliki saham pada PT. X, PT. Y dan PT. Z masing masing 5%, 30%
dan 40% yang merupakan perusahaan publik. PT. Y dan PT. Z memiliki saham PT.
X masing-masing 10% dan 20%. B memiliki saham pada PT. X dengan tiga jalur
kepemilikan. Pertama, kepemilikan langsung dan dua rantai kepemilikan. Rantai
kepemilikan pertama adalah melalui PT. Y dan rantai kepemilikan kedua melalui
PT. Z. Seperti pada Tabel 2.1, besarnya hak aliran kas B pada PT. X, PT. Y dan PT.
Z masing-masing 16%, 30% dan 40%.
Gambar 2.1
Contoh Struktur Kepemilikan untuk
Perhitungan Hak Aliran Kas dan Hak Kontrol
Claessens et al. (2000) menemukan bahwa dengan pisah batas hak kontrol
20% rata-rata hak aliran kas pemegang saham pengendali perusahaan publik Asia
adalah 16%. Hak aliran kas tertinggi yang dimiliki pemegang saham pengendali
adalah Thailand dan Indonesia masing-masing sebesar 33% dan 26%. Faccio dan
Lang (2002) menemukan bahwa pemegang saham pengendali perusahaan publik di
PT X
B
PT Y PT Z
10% 20%
40% 30%
5%
32
Eropa pada pisah batas hak kontrol 20% adalah 35% dan yang tertinggi terdapat di
Jerman 49% dan Austria 47%.
Tabel 2.1
Perhitungan Hak Aliran Kas
Keterangan Hak Aliran
Kas Langsung
Hak Aliran Kas
Tidak Langsung
Total
Hak Aliran Kas
Hak Aliran Kas B di PT. X 5% 30% x 10% = 3%
40% x 20% = 8 %
16%
Hak Aliran Kas B di PT. Y 30% 0 30%
Hak Aliran Kas B di PT. Z 40% 0 40%
2.1.3.3.2 Hak Kontrol
Hak kontrol adalah hak suara untuk ikut serta dalam menentukan kebijakan
penting perusahaan (La Porta et al, 1999). Ada dua jenis hak kontrol, yaitu hak
kontrol langsung (direct control right) dan hak kontrol tidak langsung (indirect
control right). Hak kontrol langsung adalah persentase saham yang dimiliki oleh
pemegang saham pengendali atas nama dirinya pada sebuah perusahaan.
Berdasarkan pengertian ini artinya bahwa hak kontrol lansung sama dengan hak
aliran kas lansung. Hak kontrol tidak langsung adalah penjumlahan atas hasil
kontrol minimum dalam setiap rantai kepemilikan atau merupakan penjumlahan
paling lemah (weakest link) dalam setiap rantai kepemilikan.
Tabel 2.2
Perhitungan Hak Kontrol
Keterangan Hak Kontrol
Langsung
Hak Kontrol
Tidak langsung
Total
Hak Kontrol
Hak Kontrol B di PT. X 5% Minimum (30%,10%) = 10%
Minimum (40%,20%) = 20%
35%
Hak Kontrol B di PT. Y 30% 30%
Hak Kontrol B di PT. Z 40% 40%
33
Kontrol pada PT. X, PT. Y dan PT. Z dimiliki oleh B. Kontrol B pada PT. X
selain kontrol langsung juga kontrol tidak langsung melalui dua rantai kepemilikan,
yaitu melalui PT. Y dan PT. Z. B memiliki kontrol pada PT. X, PT. Y dan PT. Z
masing-masing sebesar 35%, 30% dan 40%.
Pisah batas hak kontrol 20% ditemukan oleh Claessens et al (2000) bahwa
rata-rata hak kontrol pemegang saham pengendali perusahaan publik Asia adalah
20%. Hak kontrol pemegang saham pengendali terbesar di Thailand 35% dan
Indonesia 34%. Pemegang saham pengendali dengan rata-rata hak kontrol pada
perusahaan publik di Eropa sebesar 39% dengan pisah batas hak kontrol 20%
(Faccio dan lang, 2002). Hak kontrol terbesar ditemukan di Jerman 55% dan Austria
54%.
2.1.3.4 Cash Flow Right Leverage
Cash flow right leverage adalah deviasi antara hak aliran kas dengan hak
kontrol. Semakin tinggi peningkatan kontrol pemegang saham pengendali melebihi
hak aliran kasnya dapat dilihat dari semakin besarnya deviasi hak aliran kas dan hak
kontrol yang dilakukan oleh pemegang saham pengendali melalui berbagai
mekanisme seperti kepemilikan piramida, lintas kepemilikan dan saham hal suara
yang berbeda. Selain itu juga dapat meningkat melalui keterlibatan dalam
manajemen serta tidak adanya pemegang saham pengendali lain dalam perusahaan.
Besarnya cash flow right leverage B atas PT. X, PT. Y, PT. Z tampak
seperti pada Tabel 2.3. Pada PT. Y dan PT. Z B tidak memiliki cash flow right
leverage karena kepemilikan B atas kedua perusahaan tersebut adalah kepemilikan
langsung. Cash flow right leverage yang cukup besar dimiliki B pada PT. X yaitu
34
19%. Walaupun saham langsung pada PT. X yang dimiliki B sebesar 5%, tetapi B
dapat mengendalikan PT. X dengan hak kontrol 35% yang jauh melebihi 5%.
Tabel 2.3
Perhitungan Cash Flow Right Leverage
Keterangan Hak Kontrol Hak Aliran Kas Cash Flow Right Leverage
Hak Kontrol B di PT. X 35% 16% 19%
Hak Kontrol B di PT. Y 30% 30% 0%
Hak Kontrol B di PT. Z 40% 40% 0%
Pada pisah batas 20%, rata-rata cash flow right leverage pemegang saham
pengendali di perusahaan publik Asia adalah 4%, terbesar di Indonesia (8%) dan
Singapura (7%) yang ditemukan oleh Claessens et al. (2000). Hal ini ditemukan juga
oleh Faccio dan Lang (2002) bahwa rata-rata cash flow right leverage pemegang
saham pengendali terbesar perusahaan publik Eropa adalah 4% pada pisah batas hak
kontrol 20% dan cash flow right leverage yang terbesar terdapat di Swiss (12%) dan
Itali (10%). Semakin besar insentif dan kemampuan pemegang saham pengendali
untuk mempengaruhi kebijakan perusahaan ditunjukkan dengan semakin besarnya
cash flow right leverage.
2.1.3.5 Struktur Kepemilikan Piramida
Claessens et al. (2000) kepemilikan piramida adalah kepemilikan secara
tidak langsung terhadap suatu perusahaan melalui perusahaan lain. Pengertian ini
pada konteks kepemilikan perusahaan publik menunjukkan bahwa kepemilikan
priramida pada suatu perusahaan publik melalui perusahaan lain, baik perusahaan
publik maupun perusahaan nonpublik. Ada dua hal yang harus dipenuhi agar
kepemilikan dapat dikategorikan sebagai kepemilikan piramida, yaitu pemegang
saham pengendali atau ultimat pada pisah batas hak kontrol yang ditentukan dan
35
perusahaan lain dalam kepemilikan tersebut antara pemegang saham pengendali
dengan perusahaan publik yang dikendalikan.
PT. X pada Gambar 2.2 adalah perusahaan publik yang dimiliki PT. Y dan
perusahaan publik adalah sebesar 40%. Pemegang saham PT. Y adalah Keluarga A
sebesar 30% dan PT. X sebesar 4% yang merupakan kepemilikan langsung.
Keluarga A tidak dapat dikategorikan sebagai pemegang saham pengendali PT. X
apabila menggunakan konsep kepemilikan immediat pada pisah batas 5% karena
kepemilikan keluarga tersebut hanya 4% yang ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Keluarga A dengan konsep kepemilikan ultimat adalah pemegang saham pengendali
pada PT. X pada pisah batas 30% melalui kepemilikan piramida.
Gambar 2.2 Gambar 2.3
Kepemilikan Piramida Bukan Kepemilikan Piramida
Hak aliran kas Keluarga A pada PT. X adalah sebesar 16% yang berasal dari
4% hak aliran kas langsung dan 12% (30% x 40%) hak aliran kas tidak langsung
melalui kepemilikan piramida. Keluarga A memiliki hak kontrol pada PT. X adalah
PT Y Perusahaan Publik
PT.X
Keluarga A
AAAa A
40%
30%
Perusahaan Publik
4%
PT X
PT Y
Keluarga A
\aAAAAAA
aaaaaaaaaaa
AaaaaAAA
SAAAAA
40%
100%
4%
Perusahaan Publik
Perusahaan Non
Publik
36
sebesar 34% yang berasal dari 4% hak kontrol langsung dan 30% (minimum 30%,
40%) hak kontrol tidak langsung melalui piramida. Kesimpulannya adalah
Keluarga A merupakan pemegang saham pengendali PT. X melalui kepemilikan
piramida untuk pisah batas 30%. Keluarga A dengan melakukan kepemilikan
piramida memisahkan hak aliran kas dan hak kontrol dengan cash flow right
leverage sebesar 18% (34% - 16%). Keluarga A juga pemegang saham pengendali
pada PT. Y pada pisah batas 30%, tetapi tidak melalui kepemilikan piramida tetapi
kepemilikan langsung. Hak aliran kas dan hak kontrol Keluarga A pada PT. Y
adalah sama yaitu 30% dan merupakan kepemilikan langsung.
Gambar 2.3 terlihat tidak terdapat kepemilikan piramida Keluarga A pada
PT. X karena struktur kepemilikan piramida Keluarga A pada PT. X tidak terpenuhi.
PT. Y sepenuhnya dimiliki oleh Keluarga A. Hak aliran kas dan hak kontrol
Keluarga A di PT. X adalah masing-masing 44% (40% + 4%) melalui kepemilikan
langsung.
Mekanisme peningkatan hak kontrol yang paling lazim dilakukan di negara
berkembang dan negara perlindungan hukum terhadap investor lemah adalah
struktur kepemilikan piramida. 26% perusahaan publik memiliki kepemilikan
piramida dengan pisah batas hak kontrol 20% dan yang paling tinggi di Belgia
(79%), Israel (53%0 dan Swedia (53%), (La Porta et al., 1999). Pisah batas hak
kontrol yang sama ditemukan oleh Claessens et al. (2000) bahwa kepemilikan
piramida terdapat 39% perusahaan publik Asia terutama di Indonesia (67%) dan
Singapura (55%). Kepemilikan piramida terdapat pada 19% perusahaan publik di
Eropa dan yang paling tinggi ditemukan di Norwegia (34%) dan Belgia (25%) oleh
Faccio dan Lang (2002).
37
2.1.3.6 Lintas Kepemilikan
Lintas kepemilikan adalah kepemilikan pemegang saham pengendali
terhadap dua atau lebih perusahaan yang saling memiliki satu dengan lainnya.
Syarat suatu kepemilikan diklasifikasikan sebagai lintas kepemilikan adalah
melibatkan dua atau lebih perusahaan dan saling memiliki. Gambar 2.4 merupakan
contoh lintas kepemilikan PT. Y yang memiliki saham PT. X sebesar 40% dan
sebaliknya PT. X memiliki saham PT. Y sebesar 15% yang kedua merupakan
perusahaan publik.
Hak aliran kas Keluarga A di PT. X sebesar 16% yang dapat dilihat pada
Gambar 2.4 yang berasal dari 4% hak aliran kas langsung dan 12% (30% x 40%)
hak aliran kas tidak langsung melalui lintas kepemilikan. Keluarga A memiliki hak
kontrol pada PT. X sebesar 34% berasal dari 4% hak kontrol langsung dan 30%
(minimum 30%, 405) hak kontrol tidak langsung melalui lintas kepemilikan, maka
terjadi peningkatan hak kontrol Keluarga A di PT. X dengan dengan cash flow right
leverage sebesar 18% (34% - 16%).
Gambar 2.4
Lintas Kepemilikan
PT X
PT Y
Keluarg A
40% 15%
30%
4%
Perusahaan Publik
Perusahaan Publik
38
Keluarga A memiliki hak aliran kas langsung pada PT. Y sebesar 30% dan
hak aliran kas tidak langsung melalui lintas kepemilikan sebesar 0,6% (4% x 15%),
maka Keluarga A jumlah hak aliran kas pada PT. Y adalah sebesar 30,6%. Hak
kontrol Keluarga A pada PT. Y sebesar 34% yang berasal dari 30% hak kontrol
langsung dan 4% (minimum 4%, 15%) hak kontrol tidak langsung melalui lintas
kepemilikan, sehingga terdapat peningkatan hak kontrol Keluarga A pada PT. Y
dengan cash flow right leverage 3,4% (34% - 30,6%).
La Porta et al. (1999) menyatakan bahwa pada pisah batas hak kontrol 20%
sebanyak 3% kepemilikan perusahaan publik adalah lintas kepemilikan. Paling
tinggi lintas kepemilikan terjadi di Jerman (20%) dan Austria (15%). Pada pisah
batas hak kontrol yang sama sebanyak 10% kepemilikan perusahaan publik Asia.
Lintas kepemilikan di Asia paling banyak ditemukan di Singapura dan Malaysia
masing-masing sebanyak 16% dan 15% (Claessens et al, 2000). Perusahaan publik
di Eropa sebanyak 1% melalui lintas kepemilikan dan paling banyak ditemukan di
Jerman sebanyak 3% dan Norwegia sebanyak 2% (Faccio dan Lang, 2012).
2.1.3.7 Saham dengan Hak Suara Berbeda
Saham dengan hak suara berbeda adalah dua kategori saham atau lebih yang
dikeluarkan oleh sebuah perusahaan yang masing-masing memiliki nilai nominal
sama tetapi dengan hak suara berbeda (Yurtoglu, 2003). Sebagai contoh, P. X
memiliki dua jenis saham, yaitu saham A dan saham B dengan masing-masing nilai
nominal Rp 1.000. Setiap lembar saham A memiliki suara sebesar 1 dan setiap
lembar saham B memiliki suara sebesar 1,5. Dengan demikian dua investor yang
memiliki persentase yang sama dalam kepemilikan saham PT. X tetapi memiliki
39
saham jenis yang berbeda akan memiliki hak kontrol yang lebih besar jika memiliki
jenis saham B. La Porta et al (1999), Claessens et al ( 2000) serta Faccio dan lang
(2012) menyatakan bahwa saham dengan hak suara yang berbeda dapat digunakan
sebagai mekanisme peningkatan kontrol, tetapi tidak dijelaskan seberapa besar
peningkatan kontrol pemegang saham pengendali yang disebabkan oleh saham
dengan hak suara yang berbeda.
2.1.4 Agency Conflict
Jensen dan Meckling (1976) pertama kali yang menemukan teori ini yang
mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak untuk melakukan
beberapa layanan jasa untuk kepentingan mereka termasuk mendelegasikan
wewenang pengambilan keputusan antara satu orang atau lebih (principals)
mengikat orang lainnya (agent). Agent tidak selalu bertindak sesuai dengan
kepentingan principals. Masalah konflik yang timbul karena perbedaaan
kepentingan antara principals dan agent dinamakan agency conflict. Diasumsikan
bahwa hanya saham dan obligasi yang dapat diajukan klaim, sehingga dilakukan
penelusuran kepentingan insentif masing-masing pihak, yaitu para manajer
perusahaan (agent), pemegang saham dan kreditur (principals).
Agency conflict sangat potensial terjadi pada perusahaan besar karena
proporsi kepemilikan perusahaan oleh manajer relatif kecil. Kenyataannya tidak
jarang tindakan manajer bukannya memaksimumkan kekayaan pemegang saham
melainkan memperbesar skala perusahaan dengan cara ekspansi atau membeli
perusahaan lain. Semakin besarnya skala perusahaan maka akan meningkatkan
keamanan posisi manajer dari ancaman pengambilalihan perusahaan lain
40
(perusahaan lain akan kesulitan untuk melakukan takeover) dan untuk meningkatkan
power, status maupun gaji manajer. Berbeda dengan perusahaan perorangan dimana
pemilik maupun manajer adalah sama sehingga pemilik atau manajer akan
memaksimalkan kemakmuran dengan meminimalkan pengeluaran yang tidak
diperlukan. Agency conflict timbul jika pemilik kemudian menjual sebagian saham
kepada investor.
Agency conflict ini dapat menimbulkan efek entrenchment dan efek
alignment (Roger et al., 2007). Entrenchment adalah tindakan pemegang saham
pengendali yang dilindungi oleh hak kontrolnya untuk melakukan ekspropriasi.
Ekspropriasi adalah suatu proses penggunaan hak kontrol atau kendali seseorang
untuk memaksimalkan kesejahteraan sendiri dengan distribusi kekayaan dari pihak
lain. Tingginya konsentrasi hak suara pemegang saham pengendali berhubungan
dengan tingginya ekpropriasi terhadap pemegang saham minoritas dan rendahnya
kinerja dan nilai perusahaan.
Dengan perlindungan hukum yang lemah dan kontrol yang tinggi, pemegang
saham pengendali seringkali melakukan aktivitas untuk meningkatkan keuntungan
privat dengan mengorbankan pemegang saham minoritas. Apabila pemegang saham
pengendali memiliki hak kontrol melebihi hak aliran kas, maka semakin besar
agency conflict. Pemegang saham pengendali memperoleh manfaat atas tidak
ekspropriasi, sedangkan dampak keuangan yang disebabkan pembayaran dividen
atau peningkatan nilai perusahaan proporsional dengan hak aliran kas.
Pada penelitian ini digunakan collaterallizable asset sebagai proksi dari
agency conflict, yaitu dengan rumus :
41
Collaterallizable asset merupakan besarnya aktiva yang dijaminkan oleh
debitur untuk menjamin pinjamannya. Titman dan Wessels (1988), perusahaan yang
mempunyai collateralizable asset yang tinggi memiliki agency conflict yang kecil
antara manajer dengan pihak kreditur, sehingga menurunkan agency cost.
Collateralizable asset yang tinggi membuat kreditur lebih terjamin dan kreditur
tidak perlu melakukan pembatasan yang ketat terhadap kebijakan dividen
perusahaan, sehingga perusahaan bisa membayarkan dividen lebih besar. Sebaliknya
semakin rendah collateralizable asset yang dimiliki perusahaan akan meningkatkan
agency conflict antara pemegang saham dengan kreditur. Agency conflict yang
meningkat akan menaikkan agency cost, sehingga kreditur akan menghalangi
perusahaan untuk membayar dividen dalam jumlah yang besar kepada pemegang
saham karena khawatir piutang tidak dibayar (Mollah et al., 2007).
2.1.5 Asymmetric Information
Asymmetric information merupakan suatu keadaan dimana manajer
memiliki akses informasi atas prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak
luar perusahaan. Agency Theory mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara
manajer (agen) dengan pemilik (prinsipal). Menurut Jensen dan Meckling (1976)
bahwa jika kedua kelompok (agen dan prinsipal) tersebut adalah orang-orang yang
berupaya memaksimalkan utilitasnya, maka terdapat alasan yang kuat untuk
meyakini bahwa agen tidak akan selalu bertindak yang terbaik untuk kepentingan
prinsipal. Prinsipal dapat membatasinya dengan menetapkan insentif yang tepat bagi
agen dan melakukan monitor yang didesain untuk membatasi aktivitas agen yang
menyimpang. Laporan keuangan merupakan sarana pengkomunikasian informasi
42
keuangan kepada pihak-pihak di luar korporasi. Laporan keuangan memiliki
kelemahan tertentu, sekalipun pembuatan laporan keuangan diatur oleh suatu
standar yang telah ditetapkan, namun perlu disadari bahwa laporan keuangan
mengandung banyak asumsi, penilaian, serta pemilihan metode perhitungan yang
dapat digunakan oleh pembuatnya.
Adanya pemilihan kebijakan akuntansi dalam standar yang dapat digunakan
tersebut membuat manajemen memiliki cukup keleluasaan untuk memanipulasi
laporan keuangan tersebut. Pilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih
oleh manajemen untuk tujuan tertentu dikenal dengan sebutan manajemen laba.
Informasi asimetri dapat diantisipasi dengan melakukan pengungkapan informasi
yang lebih berkualitas.
Menurut Scott (2000) terdapat 2 (dua) jenis asymmetri information adalah
sebagai berikut :
1. Adverse Selection
Adverse selection adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak
atau lebih yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha,
atau transaksi usaha potensial memiliki informasi lebih atas pihak-pihak lain.
Adverse selection terjadi karena beberapa orang seperti manajer perusahaan dan
para pihak dalam (insiders) lainnya lebih mengetahui kondisi kini dan prospek
ke depan suatu perusahaan daripada para investor luar.
2. Moral Hazard
Moral hazard adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak
yang melangsungkan atau akan melangsungkan suatu transaksi usaha atau
transaksi usaha potensial dapat mengamati tindakan-tindakan mereka dalam
43
penyelesaian transaksi-transaksi mereka sedangkan pihak-pihak lainnya tidak.
Moral hazard dapat terjadi karena adanya pemisahan pemilikan dengan
pengendalian yang merupakan karakteristik kebanyakan perusahaan besar.
Dalam penelitian-penelitian terdahulu terdapat 4 (empat) proksi dari
asymmetri information, yaitu share turnover, financial analyst, spread, earning
forecast error dan earning forecast dispersion.
a. Penelitian yang menggunakan share turnover sebagai proksi dari asymmetri
information adalah Al-Malkawi (2007)
b. Penelitian yang menggunakan financial analyst sebagai proksi dari asymmetri
information adalah Basiddiq dan Hussainey (2012)
c. Penelitian yang menggunakan spread sebagai proksi dari asymmetri information
adalah Sahar dan Mayahi (2014)
d. Penelitian yang menggunakan earning forecast error sebagai proksi dari
asymmetri information adalah Li dan Zhao (2008) dan Valipour, Rostami dan
Salehi (2009) dan Oktara (2016)
e. Penelitian yang menggunakan earning forecast dispersion sebagai proksi dari
asymmetri information adalah Li dan Zhao (2008) dan Valipour, Rostami dan
Salehi (2009)
Penelitian ini menggunakan spread sebagai proksi dari asymmetri
information dengan rumus :
Spread merupakan selisih antara bid price atau harga beli tertinggi dengan
ask price atau harga jual terendah. Spread juga merupakan fungsi dari biaya
44
transaksi, yaitu biaya untuk membeli atau menjual suatu surat berharga yang terdiri
dari komisi, ongkos, biaya pelaksanaan dan biaya peluang yang mempengaruhi
keputusan investor untuk menahan suatu saham. Biaya transaksi merupakan
komponen dari biaya investasi. Saham yang memiliki spread yang tinggi
merefleksikan biaya transaksi yang tinggi yang berakibat investor akan menyimpan
sahamnya lebih lama atau sebaliknya. Spread juga merupakan informasi bagi
investor mengenai naik turunnya harga saham suatu perusahaan yang nantinya akan
mencerminkan seberapa besar dividen yang akan dibagikan kepada pemegang
saham perusahaan (Sahar dan Mayahi, 2014)
2.1.6 Investment opportunity
Investment opportunity adalah peluang perusahaan dalam menciptakan
investasi baru untuk dapat meningkatkan kembali perolehan keuntungan di masa
yang akan datang (Mui dan Mustapha, 2016). Menurut Al-Kuwari (2009),
perusahaan lebih memprioritaskan penggunakan modal internal dalam membiayai
kegiatan investasinya untuk menghindari penggunaan modal eksternal yang relatif
lebih mahal, sehingga perusahaan harus mengurangi proporsi dividen yang akan
diberikan. Amidu dan Abor (2006) menemukan hubungan negatif investment
opportunity dan kebijakan dividen. Serupa dengan penelitian Kaddumi dan Al-kilani
(2015), yang menunjukkan bahwa semakin tinggi investment opportunity
menyebabkan perusahaan membutuhkan sumber pendanaan yang lebih besar,
sehingga perusahaan memutuskan untuk mengurangi dividen yang akan diberikan.
Penelitian-penelitian terdahulu mengenai investment opportunity dapat dengan 3
(tiga) proksi, yaitu market to book value, growth in sales dan asset growth.
45
a. Penelitian yang menggunakan market to book ratio sebagai proksi dari
investment opportunities adalah Rozeff (1982), D’Souza dan Saxena (1999),
Amidu dan Abor (2006), Al-Malkawi (2007) Li dan Zhao (2008), Al-Najjar dan
Hussainey (2009), Valipour, Rostami dan Salehi (2009), Kouki dan Guizani
(2009), Harada dan Nguyen (2011), Thanatawee (2011), Basiddiq dan
Hussainey (2012), Setiawan dan Phua (2013), Gharaibeh, Zurigat dan Al-
Harahsheh (2013), Mui dan Mustapha (2016) dan Khan dan Ahmad (2017)
b. Penelitian yang menggunakan growth in sales sebagai proksi dari investment
opportunities adalah Amidu dan Abor (2006), Al- Malkawai (2007), Al-Kuwari
(2009), Guizani dan Kouki (2012), Aqel (2016), Al-Kuwari (2012), Yusof dan
Ismail (2016)
c. Penelitian yang menggunakan asset growth sebagai proksi dari investment
opportunities adalah Li dan Zhao (2008) danThanatawee (2011)
Penelitian ini menggunakan market to book ratio sebagai proksi dari
investment opportunites dengan rumus :
Market To Book Ratio merupakan perbandingan atau rasio antara market
value per lembar saham dengan book value per lembar saham. Rasio ini dapat
mengetahui seberapa besar harga saham yang ada di pasar dibandingkan dengan
nilai buku sahamnya yang mencerminkan kemampuan investasi yang dimiliki oleh
perusahaan. Market To Book Ratio merupakan tolak ukur untuk menentukan
seberapa jauh perusahaan dalam memilih peluang investasi. Kesempatan investasi
sendiri merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan perusahaan untuk memperoleh
keuntungan atas pendanaan aset. Market To Book Ratio mencerminkan seberapa
46
besar pasar menilai perusahaan dapat memanfaatkan modalnya dalam menjalankan
usaha untuk memenuhi tujuan perusahaan. Semakin besar perusahaan dapat
mengelola modalnya dengan baik, maka kesempatan perusahaan untuk bertumbuh
akan semakin tinggi dan dapat menarik investor untuk memberi dananya ke dalam
perusahaan yang dapat mempengaruhi pembagian dividen (Amidu dan Abor, 2014).
2.1.7 Profitability
Profitability adalah penilaian dari kinerja perusahaan dalam menghasilkan
laba (Badu, 2013). Profitability merupakan salah satu faktor utama yang menjadi
landasan dalam kebijakan dividen. Menurut Al-Malkawi (2007), dalam membuat
kebijakan dividen, hal yang pertama akan dianalisa dan dipertimbangkan adalah
perolehan laba perusahaan. Laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada
pemegang saham dalam bentuk dividen, hal ini sebagai komitmen manajemen
perusahaan untuk memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham (Yusof dan
Ismail (2014). Perusahaan akan menambah tingkat jumlah dividen sebanding
dengan peningkatan laba yang diperolehnya (Imran, 2011). Apabila perusahaan
memperoleh laba yang relatif stabil umumnya akan memberikan dividen lebih tinggi
(Khan dan Ahmad, 2017). Menurut Naceur, Goaied dan Belanes (2006) perusahaan
dengan profitability tinggi menghasilkan arus kas bebas lebih besar, sehingga dapat
memberikan tingkat dividen relatif tinggi. Menurut Mehta (2012), ada berbagai cara
untuk mengukur tingkat profitability perusahaan, yaitu salah satunya dengan
menggunakan return on equity (ROE) dengan melakukan perbandingan earning
available for common stock terhadap total common stock equity. Dalam penelitian,
Amidu dan Abor (2006) menemukan hubungan yang positif signifikan profitability
47
terhadap kebijakan dividen. Hal ini sejalan dengan penelitian Afza dan Mirza (2010)
yang menjelaskan bahwa pertumbuhan perolehan laba juga dapat meningkatkan
pembayaran dividen oleh perusahaan. Hasil penelitian-penelitian terdahulu
menunjukkan terdapat 3 (tiga) proksi dari profitability, yaitu : return on equity
(ROE), return on assets (ROA) dan earning per share (EPS).
a. Penelitian yang menggunakan ROE sebagai proksi profitability adalah Al-
Kuwari (2009), Valipour, Rostami dan Salehi (2009), Harada dan Nguyen
(2011), Al-Kuwari (2012), Basiddiq dan Hussainey (2012), Jozwiak (2015), Mui
dan Mustapha (2016) dan Khan dan Ahmad (2017)
b. Penelitian yang menggunakan ROA sebagai proksi profitability adalah Amidu
dan Abor (2006), Li dan Zhao (2008), Al-Najjar dan Hussainey (2009), Guizani
dan Kouki (2012), Harada dan Nguyen (2011), Thanatawee (2011), Setiawan
dan Phua (2013)
c. Penelitian yang menggunakan EPS sebagai proksi profitability adalah Al-
Malkawi (2007), Sahar dan Mayahi (2014), Yusof dan Ismail (2016) dan Aqel
(2016).
ROE yang dipilih dalam penelitian ini sebagai proksi dari profitability yang
dihitung dengan rumus :
Manajer perusahaan berusaha memanfaatkan seluruh sumber daya yang
dimiliki perusahaan secara efektif dan efisien untuk menghasilkan laba secara
maksimal. Tingkat laba menjadi salah satu pertimbangan perusahaan dalam
membuat kebijakan dividen. Return On Equity digunakan sebagai alat ukur
48
profitabilitas karena ROE merupakan indikator yang tepat untuk mengukur suatu
keberhasilan bisnis dengan memperkaya pemegang saham serta (Al-Kuwari, 2009).
Laba yang diperoleh dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen
sebagai komitmen manajemen perusahaan dalam memaksimalkan kesejahteraan
pemegang saham (Yusof dan Ismail, 2016). Pemegang saham berharap perusahaan
yang dapat menciptakan tingkat laba tinggi juga dapat memberikan jumlah dividen
lebih besar untuk menghindari kelebihan dana yang tersedia bagi manajemen
perusahaan, sehingga kebijakan dividen dapat mengurangi agency cost (Mui dan
Mustapha, 2016).
2.1.8 Leverage
Menurut Al-Najjar dan Hussainey (2009), leverage adalah rasio yang dapat
mengukur seberapa besar perusahaan dibiayai dengan modal eksternal, yaitu utang.
Leverage merupakan rasio yang menunjukkan proporsi ekuitas dan hutang yang
digunakan untuk pembiayaan perusahaan, selain itu DER juga dikenal sebagai
resiko perusahaan (Gill, Biger dan Tibrewala, 2010). Leverage menjadi salah satu
faktor yang dipertimbangkan dalam kebijakan dividen. Menurut Patra et al., (2012)
perusahaan yang menggunakan pendanaan melalui leverage memiliki kewajiban
untuk membayar hutang beserta bunganya sehingga laba yang tersedia untuk
pemegang saham pun berkurang. Menurut Alzomaia dan Alkhadiri (2013),
perusahaan dengan tingkat penggunaan leverage yang rendah memiliki kemampuan
membayarkan dividen lebih besar. Penggunaan hutang dapat menjadi salah satu cara
menurunkan agency cost. Dalam teori keagenan, menurut Mui dan Mustapha
(2016), dividen dan leverage dapat digunakan untuk mengendalikan agency cost.
49
Hal ini ini karena pembiayaan dengan leverage dan pembagian dividen sama-sama
dapat mengurangi kas yang berada dalam penguasaan manajemen perusahaan (Al-
Najjar dan Husssainey, 2009). Jozwiak (2014), terdapat pengaruh negatif signifikan
leverage terhadap kebijakan dividen. Sedangkan dalam penelitian Labhane dan
Mahakud (2016), mereka menemukan hubungan negatif signifikan leverage
terhadap kebijakan dividen, karena perusahaan akan memiliki dividend payout ratio
rendah jika tingkat leverage tinggi. Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan
terdapat 2 (dua) proksi dari leverage yaitu debt ratio (DR) dan debt equity ratio
(DER) atau gearing ratio.
a. Penelitian yang menggunakan DR sebagai proksi dari leverage adalah Harada
dan Nguyen (2011), Jozwiak (2015) dan Yusof dan Ismail (2016).
b. Penelitian yang menggunakan DER sebagai proksi dari leverage adalah Al-
Malkawai (2007), Kouki dan Guizani (2009), Al-Najjar dan Hussainey (2009),
Al-Kuwari (2012), Bassidiq dan Hussainey (2012), Al-Gharaibeh, Zurigat dan
Al-Harahsheh (2013), Sahar dan Mayahi (2014), Aqel (2016) dan Mui dan
Mustapha (2016).
Penelitian ini menggunakan DER sebagai proksi dari leverage dengan
rumus :
Leverage diproksikan dengan Debt Equity Ratio (DER) menunjukkan
proporsi penggunaan hutang untuk membiayai investasi perusahaan. Semakin tinggi
leverage, maka akan semakin tinggi risiko yang dihadapi oleh perusahaan dan
semakin tinggi pula tingkat pengembalian yang diharapkan. DER yang tinggi
50
menunjukkan tingkat leverage yang tinggi, maka tingkat hutang dan beban bunga
semakin tinggi. Perusahaan akan lebih memfokuskan untuk membayar hutang dan
menjadikannya laba ditahan sehingga mengurangi besarnya dividen (Jozwiak,
2015).
2.2 Posisi Penelitian
Penelitian ini fokus pada teori entrechment dalam penentuan dividen, maka
hasil penelitian terdahulu yang disajikan merupakan penelitian yang berkaitan
dengan hal tersebut, baik penelitian yang dilakukan pada Bursa Efek Indonesia
maupun pada pasar modal di negara-negara lainnya. Ringkasan penelitian terdahulu
selengkapnya disajikan pada Tabel 2.4 di bawah ini :
51
Tabel 2.4
Ringkasan Hasil Penelitian Terdahulu
No. Peneliti/Tahun Fokus dan Variabel Yang Diteliti Hasil
1. Rozeff (1982)
Judul :
Growth, Beta, and Agency
Cost as Determinants of
Dividend Payout Ratios
Faktor-faktor yang mempengaruhi Dividend
Payout Ratio
Variabel-variabel independen yang digunakan :
1. Past Growth Rate of Sales
2. Future Growth Rate of Sales
3. Beta Coefficient
4. Insider ownership
5. Jumlah kepemilikan pihak luar
Past growth rate of sales, future growth rate of
sales, beta dan insider ownership berhubungan
negatif dengan kebijakan dividen sedangkan
jumlah kepemilikan pihak luar berpengaruh
positif dengan kebijakan dividen
2. Saxena (1999)
Judul :
Determinants of Dividend
Payout Policy : Regulated
Versus Unregulated Firms
Faktor-faktor yang mempengaruhi Dividend
Payout Policy
Variabel-variabel independen yang digunakan :
1. Past Growth Rate
2. Future Growth Rate
3. Systematic Beta
4. Jumlah pemegang saham biasa
5. Persentase saham biasa yang dimiliki pihak
insider
6. Investment Opportunity Set
Variabel yang mempengaruhi kebijakan dividen
pada perusahaan regulated dan unregulated tidak
sama
3. D’Souza dan Saxena
(1999)
Judul :
Agency Cost, Market Risk,
Investment Opportunities
and Dividend Policy – An
Kondisi keuangan perusahaan mempengaruhi
dividen
Variabel-variabel independen yang digunakan :
1. Institutional holdings
2. Beta Value
3. Growth Rate
Terdapat pengaruh negatif antara institutional
holdings dan beta value terhadap kebijakan
dividen sedangkan investment opportunities baik
yang diproksikan dengan growth rate dan market
to book value tidak berpengaruh terhadap
kebijakan dividen
52
No. Peneliti/Tahun Fokus dan Variabel Yang Diteliti Hasil
International Perspective 4. Market to Book Value
4. Amidu dan Abor (2006)
Judul :
Determinants of Dividend
Payout Ratios in Ghana
Faktor-faktor yang mempengaruhi Dividend
Payout Ratio
Variabel-variabel independen yang digunakan :
1. Profitability
2. Risk
3. Cash
4. Tax
5. Institutional Holdings
6. Investment Opportunities (growth in sales,
market to book value)
Intitutional ownership dan risk tidak
berpengaruh terhadap dividend payout ratio.
Profitability, cash, tax berpengaruh positif
dengan dividend payout ratio, sedangkan
investment opportunity yang diproksikan dengan
growth in sales dan market to book value
berpengaruh negatif terhadap dividend payout
ratio
5. Al-Malkawi (2007)
Judul :
Determinants of Corporate
dividend Policy in Jordan :
An Application of the Tobit
Model
Faktor-faktor yang mempengaruhi Dividend Policy
Variabel-variabel independen yang digunakan :
1. Agency Cost (STOCK, INSD)
2. Ownership Structure (FAML, STATE, INST,
MULT)
3. Signaling (TURN)
4. Investment Opportunities (MBR, AGE,
AGESQ)
5. Size (MCAP)
6. Finacial Leverage (DER)
7. Profitability (EPS)
8. Taxes (DTAX)
Varibel kontrol yang digunakan adalah Non
Financial
Investment opportunities (AGE), size (MCAP)
dan profitability (EPS) berpengaruh positif
dengan kebijakan dividen, sedangkan agency
cost (INSD), ownership structure (STATE),
financial leverage (DER) dan Taxes (DTAX)
berpengaruh negatif dengan kebijakan dividen.
Variabel lain agency cost (STOCK), ownership
structure (FAML, INST, MULT), signaling
(TURN) dan investment opportunity (MBR,
AGESQ) dan NOFIN tidak berpengaruh dengan
kebijakan dividen.
6. Li dan Zhao (2008)
Judul :
Pengaruh information asymmetry terhadap
kebijakan dividen
Firm size dan profitability berpengaruh positif
terhadap kebijakan dividen, sedangkan earning
53
No. Peneliti/Tahun Fokus dan Variabel Yang Diteliti Hasil
Asymmetric Information
and Dividend Policy
Variabel-variabel independen yang digunakan :
1. Earning forecast errors
2. Earning forecast dispersion
Variabel-variabel kontrol yang digunakan adalah :
1. Firm Size
2. Growth Potential (M/B ratio dan Asset
Growth)
3. Profitability
4. Firm Risk
forecast errors, earning forecast dispersion, firm
risk, growth potential (M/B ratio, asset growth)
berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen.
7.
Al-Kuwari (2009)
Judul :
Determinants of Dividend
Policy in Emerging Stock
Exchanges : The Case of
GCG Countries
Faktor-faktor yang mempengaruhi Dividend Policy
Variabel-variabel independen yang digunakan :
1. Government Ownership
2. Free Cash Flow
3. Firm Size
4. Growth Rate
5. Firm Leverage
6. Business Risk
7. Firm Profitability
Government Ownership, firm size dan firm
profitability berpengaruh positif terhadap
kebijakan dividen, sedangkan firm leverage
berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen.
Free cash flow, growth rate dan business risk
tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen
8. Al-Najjar dan Hussainey
(2009)
Judul :
The Association between
Dividend Payout and
Outside Directorship
Sejauh mana outside directorships dan dividend
payout dalam mengurangi agency conflict
Variabel-variabel independen yang digunakan :
1. Outside Directors on Boards
2. Profitability
3. Liquidity
4. Assets Structure
5. Business Risk
6. Firm Size
1. Model Regresi Tobit : outside director, assets
structure, business risk, insider ownership
berpengaruh negatif terhadap kebijakan
dividen, sedangkan firm size berpengaruh
positif terhadap kebijakan dividen.
Profitability, liquidity, growth opportunities,
debt level tidak berpengaruh terhadap
kebijakan dividen.
2. Model Regresi Logistik : outside director,
54
No. Peneliti/Tahun Fokus dan Variabel Yang Diteliti Hasil
7. Growth Opportunities
8. Debt Level
9. Insider ownership
assets structure, business risk, berpengaruh
negatif terhadap kebijakan dividen, sedangkan
profitability, firm size, berpengaruh positif
terhadap kebijakan dividen. Liquidity, growth
opportunities, debt level, insider ownership
tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen.
9. Valipor, Rostami dan
Salehi (2009)
Judul :
Asymmetic Information
and Dividend Policy in
Emerging Markets :
Empirical Evidences from
Iran
Pengaruh informasi asimetri terhadap kebijakan
dividen
Variabel independen yang digunakan informasi
asimetri
Variabel-variabel kontrol yang digunakan :
1. Book Equity to Market Equity ratio
2. Firm Size
3. Profitability
Informasi asimetri berpengaruh negatif terhadap
kebijakan dividen., sedangkan profitability
berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen.
Book equity to market equity ratio dan firm size
tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen.
10. Kouki dan Guizani (2009)
Judul :
Ownership Structure and
Dividend Policy : Evidence
from the Tunisian Stock
Market
Pengaruh shareholder ownership identity terhadap
kebijakan dividen
Variabel-variabel independen yang digunakan :
1. Free Cash Flow
2. Future Growth Opportunities
3. Size
4. Leverage
5. Concentrated Ownership
6. Institutional Ownership
7. State Ownership
Institutional ownership, state ownership
berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen,
sedangkan concentrated ownership, free cash
flow dan future growth opportunities berpengaruh
positif terhadap kebijakan dividen. Size dan
leverage tidak berpengaruh terhadap kebijakan
dividen.
11. Okpara (2010)
Judul :
Asymmetric Information
Pengaruh informasi asimetri terhadap kebijakan
dividen
Variabel independen yang digunakan information
Information asymmetry, market size, turnover
ratio, current ratio, earning dan last year
dividend berpengaruh positif terhadap kebijakan
55
No. Peneliti/Tahun Fokus dan Variabel Yang Diteliti Hasil
and Dividend Policyin
Emerging Markets :
Empirical Evidence from
Nigeria
asymmetry (earning forecast error)
Variabel-variabel kontrol yang digunakan :
1. Liquidity
2. Market Size
3. Turnover Ratio
4. Current ratio
5. Earning
6. Last Year Dividend
dividen, sedangkan liquidity berpengaruh negatif
terhadap kebijakan dividen.
12. Harada dan Nguyen (2011)
Judul :
Ownership Concentration
and Dividend Policy in
Japan
Pengaruh konsentrasi kepemilikan terhadap
kebijakan dividen
Variabel independen yang digunakan concentrated
ownership
Variabel-variabel kontrol yang digunakan :
1. Firm Size
2. Profitability (ROA, DLOSS)
3. Growth Opportunities
4. Financial Leverage
5. Firm Risk
Concentrated ownership berpengaruh negatif
terhadap kebijakan dividen, sedangkan firm size,
ROA dan growth opportunities berpengaruh
positif terhadap kebijakan dividen. DLOSS,
financial leverage dan firm risk tidak
berpengaruh terhadap kebijakan dividen.
13. Thanatawee (2011)
Judul :
Life-Cycle Theory and
Free Cash Flow
Hypothesis : Evidence from
Dividend Policy in
Thailand
Faktor-faktor yang mempengaruhi Dividend Policy
(DPR, YLD)
Variabel-variabel independen yang digunakan :
1. Lyfe Cycle (RE/TE)
2. Free Cash Flow
3. Profitability (ROA)
4. Firm Size
5. Growth Opportunities (AGR,MTB)
6. Financial Leverage
1. Dividend Policy (DPR) : free cash flow, lyfe
cycle, firm size dan leverage berpengaruh
positif terhadap kebijakan dividen, sedangkan
growth opportunities (MTB) berpengaruh
negatif terhadap kebijakan dividen.
Profitability dan growth opportunities (AGR)
tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen
2. Dividend Policy (YLD) : semua variabel
yang digunakan dalam penelitian ini
56
No. Peneliti/Tahun Fokus dan Variabel Yang Diteliti Hasil
berpengaruh positif terhadap kebijakan
dividen.
14. Guizani dan Kouki (2012)
Judul :
Ownership-Control
Discrepancy and Dividend
Policy : Evidence from the
Tunisia
Pengaruh ownership control discrepancy terhadap
kebijakan dividen
Variabel-variabel independen yang digunakan :
1. Dispcrepancy between ownersership and
control (OWCONT)
2. Free Cash Flow
3. Growth
4. Cost of Debt
5. Profitability
Dispcrepancy between ownership and control,
free cash flow, growth dan profitability
berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen,
sedangkan cost of debt berpengaruh negatif
terhadap kebijakan dividen.
15. Bassidiq dan Hussainey
(2012)
Judul :
Does Asymmetic
Information Drive UK
Dividends Propensity?
Pengaruh asymmetry information terhadap
kebijakan dividen
Variabel independen yang digunakan asymmetric
information
Variabel-variabel kontrol yang digunakan :
1. Profitability
2. Liquidity
3. Growth Opportunities
4. Firm Size
5. Asset Structure
6. Debt Level
Profitability, growth opportunities dan firm size
berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen,
sedangkan asymmetric information berpengaruh
negatif terhadap kebijakan dividen. Liquidity dan
asset structure tidak berpengaruh terhadap
kebijakan dividen
16. Al-Kuwari (2012)
Judul :
Are Large Shareholders
Conducting Influential
Monitoring in Emerging
Pengaruh large shareholders terhadap kebijakan
dividen.
Variabel-variabel independen yang digunakan :
1. Large Shareholders (GOV, INST, OLSH)
2. Free Cash Flow
Large shareholders (GOV), growth rate dan
profitability berpengaruh positif terhadap
kebijakan dividen, sedangkan leverage
berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen.
Large shareholders (INST, OLSH), free cash
57
No. Peneliti/Tahun Fokus dan Variabel Yang Diteliti Hasil
Markets? An Investigation
into the Impact of large
Shareholders on Dividend
Decisions : The Case of
Kuwait
3. Firm Size
4. Growth Rate
5. Leverage
6. Business Risk
7. Profitability
flow, firm size, business risk tidak berpengaruh
terhadap kebijakan dividen.
17. Setiawan dan Phua (2013)
Judul :
Corporate Governance and
Dividend Policy in
Indonesia
Pengaruh corporate governance terhadap
kebijakan dividen
Variabel-variabel independen yang digunakan :
1. Corporate governance
2. Firm Size
3. Firm Profitability
4. Firm Growth
Corporate governance berpengaruh negatif
terhadap kebijakan dividen, sedangkan firm
profitability dan firm growth berpengaruh positif
terhadap kebijakan dividen. Firm size tidak
berpengaruh terhadap kebijakan dividen.
18. Al-Gharaibeh, Zurigat dan
Al-Harahsheh (2013)
Judul :
The Effect of Ownership
Structure on Dividends
Policy in Jordanian
Companies
Pengaruh ownership structure terhadap kebijakan
dividen
Variabel-variabel independen yang digunakan :
1. Institutional Ownership
2. Managerial Ownership
Variabel kontrol yang digunakan :
1. Firm Size
2. Free Cash flow
3. Future Growth Opportunities
4. Leverage
1. Model Full Adjustment : institutional
ownership, firm size, free cash flow dan
future growth opportunities berpengaruh
positif terhadap kebijakan dividen, sedangkan
managerial ownership dan leverage
berpengaruh negatif terhadap kebijakan
dividen
2. Model Partial Adjustment : institutional
ownership, firm size dan free cash flow
berpengaruh positif terhadap kebijakan
dividen, sedangkan managerial ownership,
future growth opportunities dan leverage
berpengaruh negatif terhadap kebijakan
dividen
19. Sahar dan Mayahi (2014) Pengaruh asymmetry information terhadap Asymmetry information dan firm size
58
No. Peneliti/Tahun Fokus dan Variabel Yang Diteliti Hasil
Judul :
Asymmetric information
and Dividend Payout
Policy : Evidence from
Iran Stock Exchange
kebijakan dividen
Variabel independen yang digunakan asymmetric
information
Variabel-variabel kontrol yang digunakan :
1. Firm Size
2. Leverage
3. Profitability (EPS)
berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen,
sedangkan leverage berpengaruh positif terhadap
kebijakan dividen. Earning tidak berpengaruh
terhadap kebijakan dividen.
20. Jozwiak (2015)
Judul :
Determinants of Dividend
Policy : Evidence from
Polish Listed Companies
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan
dividen
Variabel-variabel independen yang digunakan :
1. Leverage
2. Liquidity
3. Profitability
4. Size
5. Risk
Leverage dan profitability berpengaruh negatif
terhadap kebijakan dividen. Liquidity, size dan
risk tidak berpengaruh terhadap kebijakan
dividen
21. Aqel (2016)
Judul :
An Empirical Investigation
of Corporate Dividend
Payout Policy in an
Emerging market :
Evidence from Palestine
Securities Exchange
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan
dividen
Variabel-variabel independen yang digunakan :
1. Firm Size
2. Profitability
3. Risk
4. Leverage
5. Liquidity
6. Growth Opportunities
Risk, growth opportunities dan profitability
berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen,
sedangkan liquidity berpengaruh negatif terhadap
kebijakan dividen. Firm size dan leverage tidak
berpengaruh terhadap kebijakan dividen
22. Mui dan Mustapha (2016)
Judul :
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan
dividen
Liquidity, investment opportunities dan firm size
berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen.
59
No. Peneliti/Tahun Fokus dan Variabel Yang Diteliti Hasil
Determinants of Dividend
Payout Ratio : Evidence
from Malaysian Public
Listed Firms
Variabel-variabel independen yang digunakan :
1. Liquidity
2. Investment Opportunities
3. Profitability
4. Leverage
5. Firm Size
Profitability, dan leverage tidak berpengaruh
terhadap kebijakan dividen
23. Yusof dan Ismail (2016)
Judul :
Determinants of Dividend
Policy of public Listed
Companies in Malaysia
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan
dividen
Variabel-variabel independen yang digunakan :
1. Earnings
2. Lagged Dividend
3. Cash Flow
4. Free Cash Flow
5. Debt
6. Firm Size
7. Growth
8. Investment
9. Risk
10. Larges Shareholders
Earnings, firm size dan investment berpengaruh
positif terhadap kebijakan dividen, sedangkan
debt dan larges shareholders berpengaruh negatif
terhadap kebijakan dividen. Lagged dividend,
cash flow, free cash flow, growth dan risk tidak
berpengaruh terhadap kebijakan dividen
24. Khan dan Ahmad (2017)
Judul :
Determinants of Dividend
Payout : An Empirical
study of Pharmaceutical
Companies of Pakistan
Stock Exchange
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan
dividen
Variabel-variabel independen yang digunakan :
1. Profitability
2. Growth Opportunities
3. Risk
4. Liquidity
5. Firm Size
Profitability, growth opportunities dan audit type
berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen,
sedangkan liquidity berpengaruh negatif terhadap
kebijakan dividen. Risk, firm size, leverage dan
taxation tidak berpengaruh terhadap kebijakan
dividen
60
No. Peneliti/Tahun Fokus dan Variabel Yang Diteliti Hasil
6. Leverage
7. Taxation
8. Audit Type
61
Berdasarkan Tabel 2.4 dapat dilihat bahwa perbedaan penelitian ini dengan
penelitian terdahulu terletak pada :
1. Variabel independen yang digunakan cash flow right leverage sebagai proksi
atas struktur kepemilikan ultimat, collateralizable asset sebagai proksi atas
konflik keagenan dan spread sebagai proksi atas asimetri informasi Penelitian
ini menggunakan variabel kontrol investment opportunities, profitability dan
leverage
2. Periode waktu analisis dan jenis perusahaan manufaktur yang digunakan adalah
tahun 2008-2016 dan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
2.3 Kerangka Pemikiran
Isu yang dimunculkan dalam penelitian ini adalah struktur kepemilikan
ultimat, teori keagenan dan informasi asimetri. Penelitian dilakukan pada
perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama tahun 2008-2016 dengan
memunculkan pertanyaan penelitiannya yaitu pengaruh struktur kepemilikan
ultimat, konflik keagenan dan asimetri informasi terhadap penentuan dividen.
2.4 Hipotesis
a. Pengaruh Ultimate Ownership Terhadap Dividend Policy
Struktur kepemilikan ultimat yang mempertimbangkan baik kepemilikan
langsung maupun rantai kepemilikan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
pemilik ultimat, hak aliran kas dan hak kontrol serta mekanisme pemisahan hak
aliran kas dan hak kontrol. Kepemilikan perusahaan publik dengan kepemilikan
ultimat dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu kepemilikan tersebar dan
62
kepemilikan terkonsentrasi. Dengan konsep kepemilikan ultimat, konsentrasi
kepemilikan dan diklasifikasi menjadi konsentrasi hak aliran kas dan konsentrasi
hak kontrol. Konsentrasi hak aliran kas dan konsentrasi hak kontrol memiliki
implikasi yang berbeda dalam penentuan dividen. Tingkat managerial entrenchment
sangat mempengaruhi kebijakan dividen. Semakin tinggi entrenched managers
membayar dividen yang lebih baik (Wang (2006); Siregar (2006); Zakaria (2014)).
Insider ownership (MSO) yang terbagi atas tiga bagian, yaitu pertama, kurang dari
25% memiliki pengaruh negatif terhadap kebijakan dividen yang membuktikan
agency theory hypothesis, kedua antara 25%-50% memiliki pengaruh positif
signifikan terhadap kebijakan dividen yang mendukung managerial entrenchment
hypothesis dan hal yang sama terjadi pada yang ketiga yaitu di atas 50% yang
menimbulkan terjadinya ekspropriasi hak minoritas (Farinha (2002); Fareed dan
Hasan (2017).
b. Pengaruh Agency Conflict terhadap Dividend Policy
Titman dan Wessels (1988), perusahaan dengan collateralizable asset yang
lebih banyak akan memiliki agency conflict yang lebih kecil antara kreditur dengan
pemegang saham, karena aset berfungsi sebagai jaminan atas hutang.
Collateralizable asset yang merupakan proksi dari agency conflict yang berfungsi
memperkecil konflik antara kreditur dengan pemegang saham dan dihipotesiskan
terdapat pengaruh negatif antara agency conflict terhadap dividend policy karena
jika perusahaan dengan collateralizable asset yang lebih banyak akan memiliki
agency conflict yang lebih rendah antara kreditur dengan pemegang saham yang
mengarah pada peningkatan pembayaran dividen (Mollah, et al (2007).
63
c. Pengaruh Asymmetric Information Terhadap Dividend Policy
Myers dan Majluf (1984), pihak perusahaan mungkin akan melakukan
kebijakan underinvestment bila terjadi asymmetri information antara pihak
manajemen dengan pihak investor eksternal. Kebijakan ini diambil karena adanya
kekhawatiran persepsi negatif berupa penurunan nilai bagi perusahaan
mengeluarkan surat berharga baru (new issue of capital) sebagai sumber
pembiayaan. Semakin tinggi tingkat asimetri informasi, semakin tinggi
kemungkinan perusahaan melakukan underinvestment. Pihak perusahaan dapat
mengurangi underinvestment dengan meningkatkan jumlah slack melalui retensi
(retention) sehingga dividen menjadi lebih rendah. Dengan demikian, semakin
tinggi tingkat asymmetri information maka semakin rendah dividen dalam
mengendalikan underinvestment (Healey et al. (1999); Leuz dan Varrecchia (2000);
Deshmukh (2005)).
d. Pengaruh Investment Opportunity Terhadap Dividend Policy
Investment opportunity adalah peluang perusahaan dalam menciptakan
investasi baru untuk dapat meningkatkan kembali perolehan laba di masa depan
(Mui dan Mustapha, 2016). Mui dan Mustapha (2016) menjelaskan bahwa
investment opportunity memiliki pengaruh positif signifikan terhadap dividend
payout ratio. Patra et al., (2012) menemukan hubungan negatif investment
opportunities terhadap kebijakan dividen. Amidu dan Abor (2006) menemukan
hubungan negatif investment opportunity dan kebijakan dividen. Serupa dengan
penelitian Kaddumi dan Al-kilani (2015) yang menunjukan bahwa, semakin tinggi
tingkat investment opportunity menyebabkan perusahaan membutuhkan sumber
64
pendanaan yang lebih besar, sehingga perusahaan memutuskan untuk mengurangi
dividen yang akan diberikan.
e. Pengaruh Profitability Terhadap Dividend Policy
Profitability adalah penilaian dari kinerja perusahaan dalam menghasilkan
laba (Badu, 2013). Aivazian, Booth dan Cleary (2003) menyatakan bahwa
profitability dan dividend payout ratio memiliki hubungan positif. Hubungan positif
signifikan profitability terhadap dividend payout ratio (Zameer, Rasool, Iqbal dan
Arshad, 2013). Menurut Nuhu (2014) profitability memiliki hubungan positif
terdahap dividend payout ratio. Dalam penelitian Aqel (2016) menyatakan bahwa
profitabilitas dan rasio pembayaran kebijakan dividen memiliki hubungan positif.
Penelitian sebelumnya yang mengatakan profitabilitas menjadi indikator utama dari
dividend payout ratio perusahaan yang menyatakan hubungan positif antara
profitabilitas dan rasio pembayaran dividen (Al-Kuwari, 2009).
f. Pengaruh Leverage Terhadap Dividend Policy
Leverage adalah hasil dari penggunaan biaya tetap aktiva atau dana yang
diperuntukkan untuk memperbesar tingkat pengembalian kepada pemilik
perusahaan (Gitman dan Zutter, 2015). Jozwiak (2014) menyatakan bahwa leverage
memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap dividend payout ratio. Kouki
dan Guizani (2009) leverage memiliki hubungan negatif terhadap pembayaran
dividen. Patra et al., (2012) menemukan hubungan negatif leverage terhadap
kebijakan dividen.
65
Berdasarkan kerangka pemikiran, maka dapat dibuat persamaan fungsi
umum (general function equation) sebagai berikut :
1. DPR = f (CFRL, COLLAS, SPD, MTBR, ROE, DER)
2. DYD = f (CFRL, COLLAS, SPD, MTBR, ROE, DER)
dimana :
DPR = Dividend Payout Ratio
DYD = Dividend Yield
CFR = Cash Flow Right Leverage
COLLAS = Collaterallizable Asset
SPD = Spread
MTBR = Market To Book Ratio
ROE = Return On Equity
DER = Debt To Equty Ratio
Berdasarkan persamaan yang dikemukakan tersebut, maka dapat dibuat
paradigma/model penelitian yang ada pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5
Paradigma Penelitian
Variabel Variabel
Independen Dependen
Ultimate Ownership
Agency Conflict
Asymmetri Information
Investment Opportunies
Profitabiity
Leverage
Dividend Policy
(-)
(+)
(+)
(+)
(+)
(-)
66
2.4 Hipotesis
Model 1
H1a: Ultimate ownership berpengaruh negatif terhadap penentuan dividen
H1b: Agency conflict berpengaruh positif terhadap penentuan dividen
H1c: Asymmetric information berpengaruh positif terhadap penentuan dividen
H1d: Investment Opportunity berpengaruh positif terhadap penentuan dividen
H1e: Profitability berpengaruh positif terhadap penentuan dividen
H1f: Leverage berpengaruh negatif terhadap penentuan dividen
Model 2
H2a: Ultimate ownership berpengaruh negatif terhadap penentuan dividen
H2b: Agency conflict berpengaruh positif terhadap penentuan dividen
H2c: Asymmetric information berpengaruh positif terhadap penentuan dividen
H2d: Investment Opportunity berpengaruh positif terhadap penentuan dividen
H2e: Profitability berpengaruh positif terhadap penentuan dividen
H2f: Leverage berpengaruh negatif terhadap penentuan dividen