bab ii kajian pustaka, kerangka pemikiran dan...

73
21 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Grand, Middle dan Applied Theory Teori diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat makro, meso dan mikro (Neuman, 2002). Teori tingkat makro memberikan penjelasan pada ruang, waktu dan jumlah secara agregat, teori tingkat meso menghubungkan teori tingkat makro dan mikro sedangkan teori mikro memberikan penjelasan pada ruang, waktu dan jumlah yang lebih terbatas. Penelitian ini menggunakan terminologi grand, middle dan applied theory untuk menggantikan teori makro, meso dan mikro. Rangkaian grand, middle dan applied theory yang digunakan dalam penelitian ini adalah microfinance, Islamic Microfinance, intermediasi LKMS (Intermediasi Finansial, sosial dan spiritual), Modal Sosial Islam dan keberlanjutan LKMS. Isu utama penelitian ini adalah keberlanjutan layanan LKMS bagi orang miskin, sehingga grand theory yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Microfinance (Microcredit Summit, 1997 dan Ledgerwood, 2000) yang diyakini menjadi salah satu instrumen keuangan penting mengurangi tingkat kemiskinan global dengan menyediakan layanan finansial dan non-finansial yang layak dan memberdayakan bagi orang miskin. Middle Theory penelitian ini adalah Islamic Microfinance (Ahmed, 2002; Karim., et. al, 2008; Khan, 2008; Masyita & Ahmed 2012) yang merupakan

Upload: dangtu

Post on 10-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

21

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Grand, Middle dan Applied Theory

Teori diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan, yaitu tingkat makro, meso

dan mikro (Neuman, 2002). Teori tingkat makro memberikan penjelasan pada

ruang, waktu dan jumlah secara agregat, teori tingkat meso menghubungkan teori

tingkat makro dan mikro sedangkan teori mikro memberikan penjelasan pada

ruang, waktu dan jumlah yang lebih terbatas.

Penelitian ini menggunakan terminologi grand, middle dan applied theory

untuk menggantikan teori makro, meso dan mikro. Rangkaian grand, middle dan

applied theory yang digunakan dalam penelitian ini adalah microfinance, Islamic

Microfinance, intermediasi LKMS (Intermediasi Finansial, sosial dan spiritual),

Modal Sosial Islam dan keberlanjutan LKMS.

Isu utama penelitian ini adalah keberlanjutan layanan LKMS bagi orang

miskin, sehingga grand theory yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

Microfinance (Microcredit Summit, 1997 dan Ledgerwood, 2000) yang diyakini

menjadi salah satu instrumen keuangan penting mengurangi tingkat kemiskinan

global dengan menyediakan layanan finansial dan non-finansial yang layak dan

memberdayakan bagi orang miskin.

Middle Theory penelitian ini adalah Islamic Microfinance (Ahmed, 2002;

Karim., et. al, 2008; Khan, 2008; Masyita & Ahmed 2012) yang merupakan

22

penggabungan dari dua sektor yang tumbuh cepat yaitu keuangan mikro

(microfinance) dan keuangan Islam (Islamic Finance). Islamic microfinance

memiliki mekanisme dan fitur-fitur keuangan yang mampu menjawab

kekhawatiran dan kritikan para ahli LKM atas tersingkirnya orang paling miskin

dari layanan LKM serta kecenderungan LKM menjadi semakin komersial

sehingga meninggalkan spirit awalnya untuk mengurangi kemiskinan global.

Islamic microfinance juga menggunakan pendekatan yang lebih mengakomodir

fitrah manusia yaitu pendekatan holistik (holistic approach) dimana filosofi dan

semua aktivitasnya tidak hanya diarahkan untuk mencapai tujuan duniawi semata

(materialis/finansial dan sosial) sebagaimana misi microfinance selama ini, tapi

tujuan yang berorientasi pada keseimbangan hidup (falah) yaitu tujuan duniawi

dan tujuan akhirat (spiritual) yang selama ini umumnya diabaikan oleh

microfinance.

Selanjutnya Intermediasi Finansial, Intermediasi Sosial dan Intermediasi

Spiritual serta Modal Sosial Islam menjadi applied theory dalam penelitian ini

karena menjadi aktivitas yang dapat diimplementasikan oleh LKMS untuk

bergerak mencapai keberlanjutan layanan LKMS bagi orang miskin.

Rangkaian Grand, Midle dan Applied theory disajikan pada Gambar 2.1.

2.1.2. Keuangan Mikro

Keuangan Mikro menjadi konsensus universal sebagai instrumen yang dianggap

efektif untuk menanggulangi kemiskinan di dunia melalui penyediaan akses

keuangan kepada orang miskin (Microcredit Summit, 1997 dan Ledgerwood,

2000). Untuk itu, LKM memiliki dua misi yang disebut double bottom line atau

23

dual mission (Brau & Woller, 2004; Ledgerwood, 2000; Markowski, 2002) yaitu

Intermediasi Finansial (financial intermediation) dan Intermediasi Sosial (social

intermediation). Sehubungan dengan kedua misinya, maka keberlanjutan LKM

diukur melalui melalui financial sustainability dan outreach (CGAP, 1997).

Sumber : Pengembangan Konsep Teoritis

Gambar 2.1 Grand Theory, Middle Range Theory dan Applied Theory

Keuangan Mikro Syariah

(Ahmed, 2002; Karim et. al, 2008;

Khan, 2008; Masyita & Ahmed 2012)

Keuangan Mikro (Ledgerwood, 2000; Micro Credit

Summit, 1997)

Grand Theory

Middle Range

Theory

Intermediasi LKM/LKMS Brau dan Woller, (2004);

Ledgerwood, (2000);

Markowski (2002)

Intermediasi Finansial Ledgerwood (2000);

Obaidullah (2008); Rahman,

(2007);

Intermediasi Sosial Hasyemi dan Roosenberg,

(2008) ; Ledgerwood (2000)

Intermediasi Spiritual

Masyita et.al (2014) Mardhatilla & Rulindo (2008) Waspodo, (2008) Wediawati & Setiawati, (2016)

Modal Sosial Islam Chapra, (2008); Farooqi (2006); Khaleequzzaman, (2007); Malik, (2014) Rofiq & Asyhabuddin, (2005)

Kinerja LKM Kuppusamy, Saleh dan Samudharam, 2010) Navajas (2000); Quayes, (2012); Roosenberg (2009);

Keberlanjutan LKMS Kuppusamy, Saleh dan Samudharam, 2010); Navajas (2000); Quayes, (2012); Roosenberg (2009);

Applied Theory

24

Keuangan mikro dalam perkembangannya, pada tahun 1990-an mengalami

perpecahan ideologi (microfinance schism) yang memunculkan perbedaan

pemikiran dan menimbulkan perdebatan diantara para pendukungnya, yaitu antara

kelompok institutionalist (first camp), kelompok welfarist (second camp) dan

kelompok ketiga (third camp) (Bahnot dan Bapat, 2015; Fernando, 2004;

Murdoch, 2000; Robinson, 2001). Perpecahan ideologi ini terjadi sehubungan

dengan munculnya gejala semakin tersingkirnya orang paling miskin (extrem

poor) dari layanan LKM yang dibuktikan oleh sejumlah kajian empiris

(Armendariz & Szafarz, 2011; Copestake, 2007; Cinca & Nieto, 2014; Hermes,

Lensink, & Meesters, 2011; Mersland & Strøm, 2010)

Perdebatan diantara ketiga kelompok ini terkait pada tiga hal, yaitu : target

layanan, format kelembagaan dan dampak LKM terhadap pengurangan

kemiskinan. Perdebatan pertama mengenai target layanan terkait apakah golongan

termiskin (poorest) yang tidak punya penghasilan rutin dan usaha juga masuk

sebagai target layanan LKM selain economically active poor. Kelompok Welfarist

sangat menekankan pentingnya jangkauan pelayanan kepada orang miskin

(outreach) sehingga untuk mengentaskan kemiskinan maka the poorest mesti

mendapatkan layanan keuangan mikro. Kelompok Welfarist beranggapan bahwa

kecilnya permintaan terhadap pelayanan keuangan mikro bukan karena tidak ada

permintaan, tapi lebih disebabkan karena ketidaksesuaian antara bentuk layanan

yang tersedia dengan karakteristik golongan termiskin (Kalpana, 2005). Sehingga

bentuk layanan LKM lah yang harus disesuaikan dengan kebutuhan golongan

termiskin ini (Kalpana 2005; Matin. et al, 2002). Kelompok welfarist memberikan

25

penekanan pada perubahan paradigma keuangan mikro dari fokus pada aspek

promosi atau dukungan terhadap usaha ekonomi ke arah layanan keuangan mikro

yang bersifat perlindungan melalui program tabungan, pinjaman darurat, atau

asuransi mikro.

Sebaliknya kelompok institutionalis beranggapan bahwa target layananan

LKM adalah orang miskin yang mempunyai kegiatan produktif (economically

active poor) dan bukan the poorest (Segrado, 2005). Pandangan ini didasarkan

pada kondisi the poorest, yang umumnya tidak mempunyai pekerjaan dan

pendapatan tetap. Jika diberi pinjaman golongan ini hanya akan terjebak dalam

jebakan hutang (debt trap) (Fruman dan Goldberg, 1997; Segrado, 2005). Bagi

kelompok institutionalist, The poorest lebih membutuhkan subsidi langsung

berupa bantuan pangan, sarana kesehatan, pendidikan dan bukan kredit mikro

Selain itu, mahalnya biaya untuk menjangkau golongan termiskin tidak sebanding

dengan besarnya jumlah kredit dan tabungan mereka sehingga tidak akan mampu

menjamin perkembangan dan keberlanjutan LKM (Robinson, 2001).

Kelompok ketiga (third camp) berpandangan bahwa the poorest dapat

dijangkau oleh layanan LKM secara berkelanjutan. Kelompok ini

mempertimbangkan bahwa hambatan utama untuk menjangkau orang paling

miskin adalah kekurangan dukungan dari komunitas donor dan ketidak-layakan

dana untuk memperluas operasional kredit LKM sehingga untuk menghapus

hambatan tersebut, dilakukan model-model inovasi untuk menghantarkan layanan

keuangan bagi orang miskin secara berkelanjutan (Fernando, 2004).

26

Perdebatan kedua diantara kelompok pemikiran adalah pada format

kelembagaan LKM, apakah berorientasi sosial (mission drive) atau profit (profit

driven). Perdebatan ini terjadi sehubungan dengan adanya pergeseran misi

(mission drift) dimana LKM menjauh dari misi semula untuk pengentasan

kemiskinan dan lebih mengejar tujuan keuangan. (Armendariz & Szafarz, 2011;

Copestake, 2007; Cinca & Nieto, 2014; Epstein & Yuthas, 2011). Hal ini

membuat LKM pada tingkat yang paling ekstrem tidak memberikan sama sekali

pinjaman kepada orang-orang miskin, atau ketika LKM berbasis individual

bertumbuh menjadi besar, LKM tersebut berfokus melayani klien kaya.

Sejumlah studi empiris tentang mission drift berhasil membuktikan adanya

kesenjangan (trade-off) antara outreach dan financial sustainability sebagaimana

disajikan pada tabel berikut:

Tabel 2.1 Studi Empiris terkait Trade-off LKM

Peneliti dan tahun Data dan Periode Hasil Penelitian

Olivares-Polanco,

(2005)

28 LKM di Amerika Latin,

1999-2001

Mengkonfirmasi adanya trade-off

Makame and Murinde,

(2006)

33 LKM di Negara Afrika

Timur

Bukti kuat terjadi trade-off antara

outreach dengan sustainability

Qayyum and Ahmad,

(2006)

19 LKM di negara Asia

selatan

Trade-off antara efisiensi dan

outreach

Cull et al, (2007) 124 LKM di 49 negara di

dunia

Ada bukti trade-off antara efisiensi

dengan outreach

Hermes, Lensink, dan

Meesters, (2011)

435 LKM (Afrika, Asia

Pasifik Timur, EECA,

Amerika latin, Karibia dan

Asia Selatan, 1997-2007

Outreach berhubungan negatif

dengan efisiensi LKM

Sumber : Survei Literatur

Namun sejumlah penelitian (Adhikary dan Papachristou, 2014; Louis,

Seret, dan Baesens, 2013; Mersland dan Strøm, 2010) membantah temuan ini dan

mendukung pemikiran third camp, bahwa LKM tetap dapat melayani orang

27

miskin dan tetap dapat mencapai keberlanjutan keuangan pada saat bersamaan.

Cinca & Nieto (2014) secara empiris menunjukkan bahwa hal tersebut bisa

dicapai melalui penerapan suku bunga rendah dengan strategi perputaran yang

tinggi (high turnover strategy) dan bukan strategi berbasis margin (margin-based

strategy). Penerapan bisnis berbasis perputaran (turnover-based business)

dilakukan dengan melayani sebanyak mungkin klien, mengurangi biaya

operasional serta meningkatkan efisiensi dan penerapan teknologi.

Manos dan Yaron (2009) mengakomodir research gap dengan

menyimpulkan bahwa trade-off mungkin ada dalam jangka pendek, namun dalam

jangka panjang outreach dan financial sustainability bisa ditingkatkan sebagai

hasil dari skala ekonomis dan inovasi. Demikian pula (Epstein dan Yuthas, 2011)

menyatakan bahwa trade-off merupakan keniscayaan sebagai hasil dari realitas

ekonomi, sehinggga LKM semakin komersial. Namun pemahaman mengenai hal

ini dapat membantu LKM kembali ke misi awalnya

Perdebatan ketiga diantara kelompok pemikiran terkait dampak nyata

LKM dalam penanggulangan kemiskinan (El-Komi dan Croson, 2013). Salah

satu perdebatan panjang terjadi antara dua kelompok ilmuwan yaitu (1999; 2011a;

2011b; 2014a; 2014b) dan Pitt dan Khandker (1998; 2012) versus Roodman dan .

urdoch (2009; 2011; 2014) yang menemukan hasil yang berbeda pada basis data

yang sama.

Sejumlah studi juga menemukan dampak yang berbeda sehingga semakin

mempertajam perdebatan ini. LKM berdampak positif terhadap peningkatan

kualitas hidup (Fernando, 2004), pendapatan rumah tangga (UNICEF, 1997;

28

Wright, 2000), pengeluaran perkapita, dan kekayaan rumah tangga (Khandker dan

Shahid, 2001) serta pendidikan anak dan kemajuan bisnis (Rokhman, 2013).

Namun beberapa studi (Hulme, 2000; Navajas et al, 2000; Zeller et al, 2006)

menunjukkan sebaliknya, bahwa LKM belum mampu secara utuh menjangkau

golongan termiskin, bahkan Van Rooyen, Stewart dan de Wet, (2012)

menemukan dampak negatif LKM terhadap kehidupan orang miskin.

Gambar 2.1 Theory Gap dan Research Gap Keuangan Mikro

29

29

2.1.3. Keuangan Mikro Syariah

Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) merupakan salah satu

instrumen keuangan penting dalam dunia Islam untuk pengentasan kemiskinan

(Ahmed, 2002; Masyita, 2005). Hal ini dapat dilihat dari definisi/konsep yang

dikembangkan oleh para ahli keuangan mikro syariah, dimana golongan paling

miskin (the poorest) atau dalam Ajaran Islam disebut sebagai fakir miskin

menjadi salah satu basis layanan utama LKMS.

Tabel 2.2 Definisi LKMS Menurut Para Ahli

Nama Penulis Definisi / Konsep Basis Layanan

(Abdul Rahim

Rahman, 2007)

Tujuan utama keuangan mikro adalah

mengurangi kemiskinan dan

memberdayakan masyarakat miskin

sejalan dengan prinsip Islam tentang

keadilan

Orang miskin

(the poor)

(Wilson, 2007)

Penyediaan jasa keuangan bagi mereka

yang sangat miskin untuk memiliki akses

ke bank

Orang sangat miskin

(the poorest)

(Obaidullah & Khan,

2008)

Penyediaan jasa keuangan kepada orang-

orang miskin dan golongan ekonomi

berpenghasilan rendah yang dikecualikan

(exclude) dari sistem keuangan formal.

Orang miskin dan

berpenghasilan

rendah (Poor People

Low Income People)

(Ascarya, 2012) Salah satu pendekatan Islam untuk

memberantas kemiskinan, sehingga target

utama adalah orang miskin dan paling

miskin (financial exclusion)

Miskin dan paling

miskin

(The poor and the

poorest )

Sumber : Survei Literatur

LKMS mengintegrasikan prinsip sosial Islam yang peduli dengan

golongan termiskin dengan kekuatan keuangan mikro menyediakan askes dan

layanan keuangan bagi golongan tersebut. Sebagai LKM yang berlandaskan pada

prinsip syariah, maka LKMS memiliki tujuan syariah (maqasid syariah) yaitu

mencapai keseimbangan antara aspek material (duniawi) dengan aspek spiritual

(akhirat) sebagaimana perintah Alquran (Usmani, 2002). Penekanan pada satu

aspek saja tidak sesuai dengan perintah keadilan dalam Alquran (Q.S Al-Baqarah

30

30

[2]: 201; Q.S. An-nisa [4]: 29). Proses pencapaian keseimbangan tersebut

senantiasa harus berjalan dalam kerangka syariah (Ayub, 2007).

Tabel 2.3 Perbedaan antara LKM dan LKMS

Kategori LKM LKMS

Liabilitas

(Sumber pendanaan)

Dana eksternal/Donor

Tabungan klien

Dana eksternal, Tabungan klien,

dana karitas Islam

Asset

(Model pembiayaan)

Hutang (sistem bunga) Instrumen keuangan Islam (bagi

hasil)

Pembiayaan bagi orang

miskin

Satu kategori yaitu

Economically active poor

Dua kategori :

1. The poorest

2. Economically active poor

Target pemberdayaan Orang miskin dan perempuan Orang miskin & keluarga miskin

Penyelesaian Masalah

(default)

Tekanan kelompok Jaminan kelompok/pasangan,

etika Islam

Insentif Karyawan Uang (moneter) Moneter dan Agama

Program pengembangan

sosial

Perilaku, etika dan

pengembangan sosial sekuler

(Non-Islami)

Agama (termasuk perilaku, etika

dan sosial)

Sumber : Ahmed (2002); Obaidullah (2008)

Sistem Syariah menjadi pembeda fundamental antara LKM dan LKMS

tidak hanya pada praktek bisnisnya saja tetapi juga pada nilai-nilai Islam yang

melandasi keseluruhan strategi dan tujuannya. Nilai nilai Islam ini tidak hanya

diwujudkan untuk mencapai kehalalan dalam semua transaksi (Sharia

compliance), akan tetapi lebih luas dari pada itu, yakni peran serta LKMS dalam

masyarakat sebagai manifestasi dari nilai-nilai Islam dan komitmen terhadap isu

ketimpangan distribusi pendapatan, pengentasan kemiskinan dan keadilan sosial

(Antonio dan Nugraha, 2012).

a. Sumber pendanaan

Sumber dana LKM yang berasal dari donor (multilateral ataupun nasional)

terbatas dan dapat terhenti sewaktu-waktu donor menarik dananya, sedangkan

sumber dana LKMS yang berasal dari dana karitas Islam berupa zakat, infaq,

31

31

sedekah dan wakaf (ziswaf) dari masyarakat muslim tak terbatas dan

berkelanjutan sebagai implementasi dari ajaran Islam untuk mendistribusikan

kekayaan kepada orang miskin sesuai perintah Allah dalam QS Attaubah ayat 10.

b. Model pembiayaan

Model penyaluran dana LKM menganut sistem bunga yang diharamkan,

sementara LKMS menganut sistem bagi hasil yang mempertimbangkan tingkat

return dan risk sehinggga lebih adil mengingat kondisi masa depan yang penuh

ketidak-pastian (uncertainty).

c. Pembiayaan bagi orang miskin

Baik LKM maupun LKMS secara normatif berpihak terhadap orang

miskin. Namun kecenderungan menunjukkan bahwa LKM lebih berfokus pada

orang miskin yang memiliki kegiatan produktif (economically active poor),

sementara orang paling miskin (the poorest) dilayani melalui program hibah

(Robinson, 2001). LKMS dapat mengakomodir keduanya melalui akad komersial

(tijaroh) bagi economically active poor dan akad sosial (tabarru)bagi golongan

termiskin melalui dana ZIS dan pinjaman kebajikan (qard-hasan) (Kaleem dan

Ahmed, 2009; Kauffman dan Riggins, 2012; Ismail, 2013).

d. Target Pemberdayaan

Target pemberdayaan LKM adalah perempuan karena didasari kenyataan

bahwa perempuan paling banyak terpapar kemiskinan. Namun hal ini sering

menjadi pemicu konflik rumah tangga karena perempuan terjebak masuk

perangkap hutang yang tak dipakainya karena para suami membujuk wanita

untuk menggunakan pinjaman yang diperoleh untuk keperluan lain, atau saat

32

32

perempuan berdaya dengan pinjaman yang diperolehnya, mereka berubah menjadi

“kepala keluarga”. Sebaliknya, target pemberdayaan LKMS adalah keluarga

(bukan perempuan semata). Pelibatan pasangan (suami) dalam kontrak bersama

membagi beban tanggung jawab dan menghindari timbulnya konflik keluarga.

e. Penyelesaian masalah

LKM menggunakan tekanan kelompok untuk mengatasi default,

sementara LKMS memiliki pendekatan berbeda. Semangat persaudaraan dan

saling membantu diciptakan oleh ajaran Islam sehingga jalan musyawarah

(tasamuh) dipakai untuk penyelesaian tunggakan. Selanjutnya, doktrin Islam tidak

membayar kembali utang sebagai dosa juga memotivasi para anggota untuk

membayar iuran mereka.

f. Insentif karyawan

LKM berorientasi profit, sehingga motivasi pekerjanya adalah imbalan

moneter. Sementara LKMS mempekerjakan orang orang yang mempunyai

pemahaman bahwa pekerjaan sebagai bagian dari ibadah mereka kepada Tuhan.

Sehingga mencari nafkah selaras dengan aktivitas ibadah membantu orang

miskin.

g. Program pengembangan sosial

Program pengembangan sosial di LKM diarahkan untuk pengembangan

kualitas hidup orang miskin yang sifatnya lebih keduniawian (sekuler) seperti

peningkatan keahlian, peningkatan pendapataan dan aset, meningkatnya

pengeluaran rumah tangga dan lain lain. Sementara program pengembangan sosial

LKMS diarahkan untuk mengembangkan kualitas hidup orang miskin melalui

33

33

keseimbangan aspek duniawi dan aspek religius/spiritual (falah), yaitu mengejar

hasil sesuai dengan ajaran Islam sehingga terbentuk perilaku luhur seperti

pengusaha yang jujur, mengedepankan persaudaraan, adil dan selalu ingin

menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Perbedaan LKM dengan LKMS yang telah diuraikan menunjukkan bahwa

LKMS memiliki perbedaan dan keunggulan baik dalam fitur Intermediasi

Finansial maupun dalam fitur Intermediasi Sosialnya. LKMS dapat menjangkau

golongan termiskin (depth outreach) dalam layanannya dan tetap mencapai

financial sustainability. Dengan demikian, LKMS menjadi salah satu model LKM

yang mendukung pemikiran Third camp, yaitu LKM yang mengakomodir orang

miskin seluas-luasnya dengan layanan keuangan mikro yang layak dan

memberdayakan tidak hanya dari aspek finansial dan sosial namun juga dari aspek

spiritual.

Sejumlah studi membuktikan bahwa LKMS memberikan dampak positif

dalam hal pengentasan kemiskian, peningkatan pendapatan rumah tangga

(Hadisumarto dan Ismail, 2010), pendidikan anak, dan perkembangan bisnis

(Rokhman, 2013), peningkatan penjualan, pengeluaran bisnis, laba bersih,

pengeluaran rumah tangga dan pekerjaan dan pengembangan volume produk

(Riwajanti, 2014) serta menciptakan kesempatan kerja (Mohamed & Ahmed,

2015). Namun, berbagai studi empiris menunjukkan bahwa LKMS dengan segala

keunggulan yang dimilikinya belum mampu menunjukkan kinerja optimal bila

dibandingkan dengan LKM, baik dari sisi outreach maupun financial

sustainability (Abdelkader dan Salem, 2013; Masyita, 2012).

34

34

Manajemen LKMS dalam pelaksanaannya harus menjaga pelaksanaan

prinsip dan praktek syariah secara benar. Karena kepatuhan terhadap syariah

inilah yang menjadi faktor pembeda antara LKM dengan LKMS. Lembaga

keuangan mikro syariah tidak hanya harus sesuai dengan syariat di semua produk,

proses dan kegiatan mereka, tetapi mereka juga harus dianggap demikian oleh

klien mereka (Obaidullah, 2008; Obaidullah dan Khan 2008). Untuk tujuan

holistik pengentasan kemiskinan dan efektivitas pembiayaan diperlukan program

terpadu tidak hanya melalui penyediaan pembiayaan dalam sistem berbasis bebas

bunga, tetapi juga penyediaan layanan lainnya yaitu pengembangan spiritual

(spiritual development) terutama melalui internalisasi nilai-nilai moral Islam

dalam kesadaran seorang pengusaha (klien LKMS) (Hadisumarto & Ismail,

2010); Masyita et.al 2014; (Adnan & Ajija, 2015). Pendekatan spiritual ini

(spiritual approach) mesti dilaksanakan secara simultan dengan pendekatan lain

seperti pendekatan finansial (financial approach) dan pendekatan sosial (social

approach) (Sanrego dan Antonio, 2013), juga dengan pendekatan manajerial dan

teknologi (Masyita et al., 2014)

Aspek spiritual penting untuk menjaga pelaksanaan LKMS secara benar

sehingga tidak sekedar hanya teori kosong semata, dan ini dapat dilakukan

melalui pendidikan spiritual/syariah (Waspodo, 2008; Ascarya, 2012; Wediawati

dan Setiawati, 2016), Praktek keagaamaan (Astha dan De Selva, 2013), pelatihan

spiritual/syariah (Mardhatillah dan Rulindo, 2008; Masyita., et al, 2014;

Riwajanti, 2014; Wediawati dan Setiawati, 2016), keteladanan syariah

35

35

(Wediawati dan Setiawati, 2016) serta ketaatan syariah (Obaidullah dan Khan,

2008; Obaidullah, 2008; Wediawati dan Setiawati, 2016)

Gambar 2.2 Pemetaan Literatur Keuangan Mikro Syariah

2.1.4. Tantangan Keuangan Mikro Syariah di Indonesia

Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Indonesia dalam

perkembangannya menghadapi berbagai tantangan dari berbagai aspek

sebagaimana dirangkum pada Tabel 2.4.

36

36

Tabel 2.4 Tantangan LKMS di Indonesia

Aspek Jenis tantangan Sumber

Regulasi dan

Kelambagaan

Aturan LKMS belum terintegrasi dalam sistem

keuangan formal /Arsitektur Perbankan Indonesia

(API)

Absindo Jawa Barat, (2014)

Peran Lembaga APEX belum optimal dalam hal

koordinasi maupun pengawasan

Seibel dan Agung, (2005)

Absindo Jawa Barat (2014)

1) SOP kelembagaan belum standar.

2) Belum ada lembaga pelatihan untuk

mengakomodir kegiatan pengembangan

sumber daya Insani LKMS

3) Belum ada lembaga penilai kesehatan BMT

Absindo Jawa Barat, (2014);

Sharia Economic Outlook

(2014); (Sakti, 2013)

Perubahan Aturan LKMS dari Koperasi Jasa

Keuangan Syariah (KJKS) (Kepmenkop UKM

RI No 91/Kep/M.KUKM/IX/2004) menjadi

Koperasi Simpan Pinjam pembiayaan syariah

(KSPPS) sesuai dengan Peraturan Menteri No 16

/Per/M.KUKM/IX/2015

Kepmenkop No 91/

Kep/M.KUKM/IX/2004

Permen No 16

/Per/M.KUKM/IX/2015

Persaingan 1) Persaingan dengan Perbankan syariah yang

juga memasuki sektor pembiayaan bagi UKM

(KUR); 2) Rentenir; 3) LKM konvensional Lain

Ketua BMT Baitul

Muttaqin, (indepth

interview, Nov 2016)

Masyarakat 1) Literasi Keuangan syariah masih rendah

2) Stigma negatif LKMS sama LKM

OJK (2013); Antonio dan

Nugraha, (2012)

Tekhnologi LKMS belum dapat mengakomodir

Perkembangan tekhnologi dan menerapkan

tekhnologi informasi dalam kegiatan

operasionalnya

Ketua BMT Rabbani

(Wawancara mendalam,,

November, 2016)

Sumber daya

Insani /

Manajerial

Kapasitas SDI LKMS dalam aspek manajerial

Keterbatasan SDI yang profesional, memahami

ekonomi syariah dan memiliki spirit berjihad

Absindo Jawa Barat, 2014

Ketua BMT Rabbani,

(Wawancara mendalam,,

November, 2016)

Keuangan Keterbatasan akses terhadap sumber dana pihak

ketiga, tingginya pembiayaan bermasalah

Absindo Jawa Barat, 2014

Sharia Economic Outlook

(2014)

Sosial Social performance masih rendah, sehubungan

dengan adanya social performance task force

(sptf) suatu upaya untuk membuat layanan

keuangan aman dan lebih bernilai bagi klien.

Website resmi social

performance task force

(http://sptf.info/about-

us/what-we-do)

Spiritual Aspek spiritual belum terintegrasi dalam

Aktivitas LKMS

Ketua KSPPS Silih Aping,

(Wawancara

mendalam,Nov, 2016)

Hasil FGD (2016)

Sumber : Survei literatur dan wawancara mendalam (2016)

37

37

LKMS hanya akan dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap

rakyat miskin manakala pelayanan keuangaan mikro yang diberikannya dapat

berlanjut (Navajas et al, 2000; Ahlin dan Jiang, 2008).

Untuk mencapai keberlanjutan, LKMS harus dapat menghadapi berbagai

Tantangan dengan memupuk kapasitas internal dengan melalui optimalisasi peran

lembaga APEX, pengembangan sumber daya insani (SDI) dan dukungan dari

berbagai pihak terutama perbankan syariah (dalam hal sistem dan permodalan),

OJK (regulasi), MUI dan IKADI (dukungan pendakwah) untuk meningkatkan

literasi keuangan syariah masyarakat Indonesia terkait stigma negatif yang

melekat pada LKMS.

2.1.5. Variabel Penelitian

2.1.5.1 Intermediasi Finansial

Intermediasi Finansial (IF) merupakan salah satu misi utama LKM.

Konsep Intermediasi Finansial dari para ahli LKM disajikan pada Tabel 2.5

38

38

Tabel 2.5 Ringkasan Konsep Intermediasi Finansial

Peneliti/

Tahun

Konsep Dimensi

Tb Pin As Tr Js Pm

(Ledgerwood,

2000)

Aktivitas keuangan mikro untuk mentransfer

modal atau kas dari pihak yang mempunyai

dana berlebih kepada pihak kekurangan pada

waktu bersamaan berupa penyediaan produk

dan jasa keuangan seperti tabungan,

pembiayaan, asuransi dan transfer keuangan

bagi masyarakat miskin

√ √ √ √

(Robinson,

2001)

Penyediaan pinjaman, tabungan dan Jasa

layanan keuangan dasar lainnya kepada orang

miskin dan kelompok berpenghasilan rendah

√ √ √

(Christen,

Timothy R.

Lyman, dan

Rosenberg,

2003)

Penyediaan layanan perbankan kepada

masyarakat berpenghasilan rendah khususnya

orang miskin dan orang sangat miskin.

Layanan juga termasuk tabungan dan layanan

transfer

√ √ √

(ADB, 2004) Layanan keuangan yang meliputi tabungan,

pinjaman, layanan pembayaran, transfer

keuangan dan asuransi bagi masyarakat

miskin dan rumah tangga berpenghasilan

rendah serta usaha mereka

√ √ √ √ √

(Obaidullah,

2008)

Penyediaan produk dan jasa seperti kredit

mikro (micro-credit), tabungan mikro (micro-

savings), penyertaan modal mikro (micro-

equity), layanan transfer keuangan (micro-

transfers) dan asuransi (micro-insurance

dengan cara yang berkelanjutan kepada orang

miskin, orang yang terpinggirkan dan / atau

masyarakat berpenghasilan rendah yang

dikecualikan dari sistem keuangan formal.

√ √ √ √ √

(Kaleem dan

Ahmed, 2009)

Penyediaan jasa keuangan seperti tabungan,

pinjaman, jasa pembayaran, dan sebagainya

untuk masyarakat berpenghasilan rendah dan

kurang mampu seperti pengrajin, petani,

pemilik dan pengusaha kecil

√ √ √

(Abdul

Rahman,

2007)

Aktivitas penyediaan produk dan jasa

keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah

meliputi skema tabungan (dana titipan

(wadiah) dan kerja sama (deposito

mudarabah), skema pembiayaan melalui

mudarabah/musharakah dan skema jual beli

(murabaha), transfer keuangan melalui zakat

infaq sedekah (ZIS) serta asuransi mikro

melalui konsep takaful.

√ √ √ √

Penelitian ini

√ √ √ √ √

Sumber: Survey literatur (data diolah, 2016)

Keterangan:

Tab = Tabungan Mikro; Pin = Pinjaman/Pembiayaan; AsM = Asuransi Mikro; Tr = Transfer

Keuangan; JP = Jasa Pembayaran; Pm = penyertaan modal Mikro

39

39

Berdasarkan konsep Intermediasi Finansial yang disajikan pada Tabel 2.5.

maka konstruk Intermediasi Finansial yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan konsep Ledgerwood (2000), Obaidullah (2008) dan Abdul Rahman

(2007) karena sesuai dengan tujuan LKMS dan tujuan penelitian ini yaitu

keberlanjutan LKMS melalui pemberdayaan orang miskin berlandaskan Syariah

Islam. Sehingga konstruk Intermediasi Finansial dalam penelitian ini adalah

aktivitas layanan keuangan mikro berbasis syariah yang ditujukan bagi orang

miskin, berpenghasilan rendah dan kelompok produktif meliputi aktivitas

tabungan mikro, pembiayaan mikro, dan layanan keuangan lainnya seperti

layanan pembayaran, transfer keuangan serta asuransi mikro dengan cara yang

layak, memberdayakan dan berkelanjutan.

Dimensi penyertaan modal mikro (micro-equity) dari Obaidullah (2008),

direduksi dari konstruk karena sudah termasuk ke dalam dimensi pembiayaan

mikro. Penyertaan modal mikro merupakan bagian dari dimensi pembiayaan

LKMS, yaitu dana yang disalurkan kepada klien/anggota dalam bentuk

pembiayaan dengan akad kerja sama (syirkah) baik akad mudharabah maupun

musharaka.

2.1.5.2. Intermediasi Sosial

Intermediasi Sosial merupakan fungsi utama LKM selain Intermediasi

Finansial. Fungsi ini memungkinkan LKM melayani the poorest dengan desain

layanan yang disesuaikan dengan karakteristik kehidupan masyarakat miskin.

Intermediasi Sosial berbeda dari jenis pelayanan kesejahteraan sosial lainnya

karena menawarkan mekanisme yang memungkinkan penerima (orang miskin)

40

40

dapat menjadi klien LKM yang kemudian siap mengakses layanan

keuangan formal (Dusuki, 2008). Intermediasi Finansial mempersiapkan orang

miskin membina hubungan bisnis jangka panjang melalui pembentukan kelompok

dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan terkait (literasi keuangan, ide

bisnis, manajemen usaha, akumulasi aset) (Kamukama dan Natamba, 2013b).

Intermediasi Sosial mampu menciptakan sikap baru (new attitudes), persepsi diri

(self-perception), sistem dan lembaga baru, yang pada gilirannya

mempromosikan kemandirian dan kepercayaan diri klien (Goldberg, 1998)

Salah satu pengalaman terbaik (best practices) penerapan Intermediasi

Sosial kepada the poorest adalah graduation model dari Hashemi dan Rosenberg

(2006) serta Hashemi dan Umaira (2011) melalui 10 pilot project pada tahun 2006

dan terus direplikasi hingga saat ini ke berbagai negara. Tahapan graduation

model dapat dilihat pada gambar berikut:

Sumber : (Hashemi dan Rosenberg, 2006)

Gambar 2.3 Tahapan Graduation Model LKM

Model ini menggabungkan lifelihood protection berupa bantuan dana

untuk kehidupan sehari-hari (survival) bersamaan dengan pemberian pekerjaan

41

41

yang menghasilkan dengan lifelihood promotion program berupa pelatihan yang

relevan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat miskin

serta penyediaan lapangan pekerjaan.

Inovasi berikutnya adalah model terintegrasi (integrated approcah)

Ledgerwood (2008) dimana LKM mengintegrasikan dual mission dengan layanan

layanan sosial lainnya.

Gambar 2.4 Integrated Approach

Sejumlah peneliti Islam mengajukan inovasi Intermediasi Sosial di LKMS

berdasarkan best practices kegiatan pengentasan kemiskinan. Obaidullah (2008)

mengajukan dual approach, yaitu penggunaan dana filantropi terintegrasi dengan

produk/jasa keuangan mikro. Kaleem dan Ahmad (2009) menyebut model ini

sebagai LKM berbasis karitas (charity based MFI). Model ini mengintegrasikan

wakaf tunai (cash waqf) (Masyita, 2012); zakat (Khaleequzzaman, 2007);

maupun kombinasi keduanya yaitu zakat dan waqaf (Hassan, 2010; Abdul

Rahman & Dean, 2013; Masyita, 2006) kedalam aktivitas LKMS.

Sumber: Ledgerwood (2008)

42

42

Tabel 2.6 Konsep Intermediasi Sosial

Peneliti/

Tahun

Konsep Dimensi KP Pm KM PLK PG TI KD KK

Bennet dan

Goldberg,

Hunte

(1996)

Proses investasi pengembangan sumber daya

manusia bertujuan meningkatkan kepercayaan

diri (self confidence) kelompok masyarakat

miskin, sebagai persiapan bagi mereka untuk

menggunakan Intermediasi Finansial formal.

Goldberg

(1998)

Proses membangun sumber daya manusia dan

modal institusional sehingga dapat

meningkatkan kemandirian (self reliance)

kelompok marjinal dan untuk mempersiapkan

(empowerment) mereka terlibat dalam

Intermediasi Finansial formal.

√ √

Nelson,

(1999)

Orang miskin membutuhkan "Intermediasi

Sosial" untuk mengembangkan kepercayaan

diri (self-confidence) dan meningkatkan

keterampilan manajemen (management skils)

√ √

Ledgerwood

(2000)

Intermediasi Sosial seperti pembentukan

kelompok, pengembangan kepercayaan diri,

pelatihan literasi dan kemampuan manajemen

keuangan di antara anggota kelompok

√ √ √ √

(Hashemi

dan

Rosenberg,

2006)

Proses meningkatkan kemampuan masyarakat

miskin sehingga siap menggunakan layanan

keuangan formal melalui : 1) penciptaan

ketahanan terhadap kerentanan (JPS) 2)

penciptaan akumulasi aset dan pengalaman

(pelatihan, tabungan dan pinjaman mikro)

√ √ √

Dusuki,

(2008)

Aktivitas pembentukan kapasitas masyarakat

miskin berupa pengetahuan, bakat, rasa

percaya diri dan teknologi informasi

√ √ √

Kalyango,

(2009)

Intermediasi Sosial meliputi pemberdayaan

ikatan sosial, pembangunan kepercayaan diri

(confidence building) dan pengetahuan literasi

keuangan serta kemampuan manajemen

(management capabilities enhancement)

diantara anggota kelompok LKM.

√ √ √ √

Penelitian

ini

√ √ √ √ √ √ √ √

Sumber : Survey Literatur (Data Diolah, 2016)

Keterangan: KP = kepercayaan diri; Pm = Pemberdayaan; KM = Keahlian Manajemen; PLK =

Pengetahuan/Literasi Keuangan; PG = Pembentukan Grup; TI = Tekhnologi Informasi; KD =

Kemandirian; KK = Ketahanan Kerentanan.

43

43

Konstruk Intermediasi Sosial dalam penelitian ini didasarkan pada konsep

para ahli yang disajikan pada Tabel 2.6 yaitu segala aktivitas yang ditujukan

untuk mempersiapkan orang miskin melalui aktivitas penyebaran pengetahuan,

peningkatan kepercayaan diri, dan pemberdayaan secara terencana dan sistematis

sehingga siap mengakses layanan keuangan mikro formal. Konstruk Intermediasi

Sosial ini dapat mengakomodir segala aktivitas yang dibutuhkan bagi orang

miskin untuk meningkatkan kapasitas mereka sehingga akhirnya siap

memanfaatkan transaksi keuangan di LKM formal.

Dimensi ketahanan terhadap kerentanan (KK) dari Hasyemi dan

Rosenberg (2006) direduksi karena merupakan indikator dari variabel lain dalam

penelitian ini yaitu Modal Sosial Islam. Dimensi KK direduksi dari Intermediasi

Sosial karena pemberian bantuan langsung ke orang miskin tanpa disertai

pemberian pengetahuan terlebih dahulu merupakan kegiatan yang tidak

memberdayakan dan dapat menimbulkan kerusakan moral (moral hazard).

2.1.5.3. Intermediasi Spiritual

Sebagai lembaga keuangan (financial institution) sekaligus lembaga

dakwah (religious institution), LKMS menjalankan dual mission (Intermediasi

Finansial dan sosial) dan juga mengemban misi spiritual yang merupakan

manifestasi dari nilai-nilai Islam yang melandasi keseluruhan strategi dan

tujuannya. Melalui misi ini LKMS memastikan bahwa segala aktivitas

dipraktekkan secara benar (kaffah) sesuai dengan prinsip Syariah (Wediawati &

Setiawati, 2016). Namun demikian, berdasarkan kajian literatur yang dilakukan,

konsep Intermediasi Spiritual masih sangat terbatas sejalan dengan penelitian

44

44

yang juga masih terbatas. Kajian empiris yang membahas aspek spiritual dalam

LKMS masih sangat sulit ditemukan. Hal ini antara lain disebabkan oleh: 1)

Muslim Schollar mendiskusikan spiritualitas lebih sebagai ritual atau aktivitas

berbasis ibadah, 2) kebanyakan literatur menggunakan bahasa selain Inggris

seperti Arab, Indonesia, Malaysia atau Persia (Mardhatillah dan Rulindo, 2008).

Beberapa studi yang berhasil ditemukan mengungkap peran agama

(religion) ataupun keimanan (faith) dalam LKM (Allen, 2006; Hoda dan Gupta,

2015; Khan dan Phillips, 2012). Namun studi ini hanya membahas agama (faith)

sebagai aspek tunggal. Hadisumarto dan Ismail (2010), Mardhatillah dan Rulindo

(2008) dan Masyita (2014) dalam penelitiannya merekomendasikan pentingnya

pengembangan aspek spiritual di LKMS sebagai upaya untuk meningkatkan

efektivitas pembiayaan LKMS. Untuk itu, Sanrego (2013) menyarankan

pendekatan holistik dimana intermediasi spiritual dilaksanakan bersamaan dengan

intermediasi finansial dan sosial.

Salah satu studi yang mengeksplorasi dan membangun konstruk

Intermediasi Spiritual adalah studi kualitatif Wediawati dan Setiawati (2016).

studi ini dilakukan terhadap 12 LKMS/BMT di dua kota yaitu Kota Jambi dan

Kota Kendari dan mengungkap bahwa LKMS telah melaksanakan Intermediasi

Spiritual, namun belum terencana dan belum sistematis serta belum menjadi

bagian utuh dari misi LKM sebagaimana dual mission.

Pengembangan spiritual meliputi diseminasi prinsip-prinsip syariah sesuai

dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad S.A.W. (Beekun dan Badawi,

2005), yaitu prinsip yang mengutamakan: 1) taawun : prinsip kemitraan; 2)

45

45

maslahah : prinsip kemanfaatan; 3) Adl dan Ridho : prinsip keadilan; 4) tawazun

: prinsip keseimbangan; dan 5) rahmatan lilalamin : prinsip keuniversalan. Juga

mendiseminasikan larangan Syariah: 1) riba : penambahan pendapatan secara

tidak sah; 2) maisir : transaksi yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan; 3)

gharar : transaksi yang objeknya tidak jelas; 4) haram : transaksi yang objeknya

dilarang, 5) Zalim : transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lain dan

6) Ikhtikar : praktek penimbunan (Ahmed, 2002, Obaidullah, 2008). Prinsip-

prinsip ini mencegah kehancuran struktural lembaga keuangan mikro karena

menekankan pada faktor-faktor etika, moral dan sosial untuk mempromosikan

kesetaraan dan keadilan untuk kemakmuran masyarakat (Alhuda CIBE, 2013).

Pengembangan spiritual lainnya adalah mendiseminasikan sifat-sifat

keteladanan Nabi Muhammad S.A.W serta etika bisnis Islam untuk dapat

dipahami dan dipraktekkan baik oleh pengurus maupun oleh anggota/klien LKMS

dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam bertransaksi (muamalah). Sifat sifat

keteladanan (nubuwah) tersebut adalah: 1) kejujuran (sidiq), 2) dapat dipercaya

(amanah), 3) komunikatif (tabligh), 4) serta profesional (fathonah).

Beberapa penelitian menyarankan bahwa kebutuhan untuk mendidik

masyarakat muslim tentang prinsip dan praktek keuangan Islam merupakan

langkah untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat

tentang literasi keuangan Syariah (Waspodo, 2008), terutama tentang istilah-

istilah Islam yang banyak digunakan oleh produk LKMS (Riwajanti, 2014). Hal

ini dapat dilakukan melalui internalisasi nilai-nilai moral Islam dalam kesadaran

seorang pengusaha muslim (Hadisumarto dan Ismail, 2010).

46

46

Lebih lanjut menurut Obaidullah dan Khan (2008) bahwa kegiatan

pendidikan dan pelatihan LKMS merupakan kebutuhan mendesak dan menjadi

tantangan besar bagi sektor keuangan mikro Syariah karena kurangnya tenaga

kerja terlatih dan menjadi kendala utama untuk pertumbuhan, ekspansi dan

konsolidasi LKMS

Studi eksperimen yang dilakukan oleh Masyita et. al (2014) terhadap 162

orang klien dari 13 lembaga keuangan Islam membuktikan bahwa spiritual

treatment bersama dengan managerial dan technology treatments memberikan

hasil yang signifikan terhadap perubahan perilaku dan kinerja bisnis klien.

Demikian pula studi yang dilakukan oleh Mardhatilah dan Rulindo (2008)

terhadap pengusaha Muslim di Malaysia menemukan bahwa pelatihan spiritual

(ESQ training) berhubungan positif dengan kinerja bisnis. Studi Hadisumarto dan

Ismail (2010) juga menungkap bahwa spiritual development di LKMS dapat

meningkatkan efektivitas pembiayaan LKMS, menghilangkan stigma negatif

LKMS di masyarakat dan meningkatkan akses masyarakat ke LKMS.

Istilah spiritual digunakan dalam studi ini agar jenis intermediasi ini dapat

dipergunakan secara universal pada berbagai LKM berbasis keimanan (faith

based microfinance) seperti LKM agama Islam, Kristen, Yahudi, Hindu maupun

Budha. Dalam studi ini, istilah spiritual lebih berorientasi pada agama Islam

sesuai dengan objek penelitian ini.

Berdasarkan Tabel 2.7. maka konstruk Intermediasi Spiritual yang

dipergunakan dalam penelitian ini adalah penggabungan konsep Masyita et al

(2014), Obaidullah dan Khan (2008); Waspodo (2008) dan Wediawati dan

47

47

Setiawati (2016) yaitu segala aktivitas yang dilakukan oleh LKMS untuk

meningkatkan nilai dan makna kehidupan klien LKM menuju kesadaran dan

komitmen untuk memenuhi kewajiban mereka kepada Allah dan manusia yaitu

melalui kegiatan keteladanan syariah (exampelary of sharia), ketaatan syariah

(sharia compliance), pendidikan syariah (spiritual education) dan pelatihan

syariah (spiritual training).

Konsep keempat peneliti digunakan dalam penelitian ini, karena

mengakomodir konsep dakwah (tarbiyah) dalam ajaran Islam yaitu dakwah

personal melalui keteladanan syariah (perkataan dan perbuatan Islami) dan

dakwah organisasi yang meliputi pendidikan, pelatihan dan ketaatan syariah.

Dengan demikian, dimensi Intermediasi Spiritual adalah:

1. Keteladanan Syariah

Keteladanan Syariah merupakan aktivitas yang dilakukan oleh semua

individu/stakeholders LKMS dalam dua aktivitas utama yaitu berupa

keteladanan dalam hal perkataan yang baik (thoyyibah) serta keteladanan

perilaku (Wediawati dan Setiawati, 2016). Aqidah Islam yang tertanam di

dalam jiwa seorang muslim, akan mewarnai ucapan dan tingkah laku yang

Islami dan menjadi pembentuk kepribadian Islam. Kepribadian Islam adalah

unsur utama kekuatan personal Islam.

2. Ketaatan Syariah

Ketaatan Syariah merupakan aktivitas LKMS yang dilaksanakan sesuai dengan

prinsip Syariah (shariah compliance). Aktivitas ketaatan ini akan terpenuhi

manakala LKMS memiliki:

48

48

Tabel 2.7 Penelitian Pengembangan Spiritual di LKM/LKMS

Peneliti/

Tahun

Konsep Dimensi

PdR PlR KpS KtS

Waspodo,

(2008)

Pendidikan mengenai prinsip dan praktek

keuangan Syariah merupakan langkah untuk

meningkatkan pengetahuan muslim sehingga taat

pada ajaran dan prinsip Islam

Hadisumarto.

W and Ismail.

A. G, (2010);

Adnan dan

Ajija, (2015)

Pengembangan spiritual melalui internalisasi

nilai-nilai moral Islam dalam kesadaran seorang

pengusaha muslim

Ascarya (2012) Pendidikan agama sebagaimana layanan

pendidikan, kesehatan, pemberdayaan,

perencanaan keuangan dan layanan sosial lainnya

sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan

Usaha mikro

Riwajanti

(2014)

Pelatihan agama untuk lebih intens

mensosialisasikan produk LKMS ke masyarakat

luas, mendidik pelanggan untuk meningkatkan

pemahaman pada istilah Islam yang digunakan

LKMS

Mardhatillah

dan Rulindo,

(2008)

Pelatihan spiritual menggunakan spiritualitas

Islam untuk meningkatkan kemampuan,

kepemimpinan dan kinerja hidup mereka melalui

Emotional Spiritual Quotient (ESQ) yaitu Ihsan,

Iman dan Islam

Obaidullah,

(2008);

Obaidullah dan

Khan (2008)

Manajemen LKMS dalam pelaksanaannya harus

menjaga LKMS harus sesuai dengan syariat di

semua produk, proses dan kegiatan mereka

sehingga dianggap demikian oleh klien

Masyita et al

(2014)

Spiritual treatment merupakan upaya untuk

meningkatkan nilai dan makna kehidupan klien

LKM menuju kesadaran atas kompetensi dan

komitmen untuk memenuhi kewajiban mereka

kepada Allah dan manusia

√ √

Wediawati dan

Setiawati,

(2016)

Intermediasi Spiritual adalah aktivitas untuk

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

masyarakat mengenai prinsip dan praktek

keuangan Syariah melalui keteladanan,

kepatuhan, pendidikan dan pelatihan Syariah

√ √ √ √

Penelitian ini √ √ √ √

Sumber : survei Literatur (Data diolah, 2016)

Keterangan: PdR = Pendidikan religi; PlR = Pelatihan religi; KpS = Kepatuhan Syariah; KtS =

Keteladanan Syariah

49

49

1. Pengelola yang memahami konsep Syariah dan konsep transaksi yang

sesuai dengan hukum Islam (fiqh muamalah).

2. Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi sesuai dengan tugas dan

tanggung-jawabnya sesuai dengan ketentuan (fatwa) Dewan Syariah

Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)

3. Audit Syariah secara berkala sebagai mekanisme kontrol atas

ketidaksesuaian aktivitas/pelanggaran yang dilakukan LKMS terhadap

prinsip Syariah sehingga dapat segera diluruskan.

4. Aktivitas operasional LKMS sesuai dengan Pedoman Akad Syariah.

(Obaidullah, 2008; Obaidullah & Khan, 2008; Wediawati dan Setiawati,

2016; Pedoman Akad Syariah (PAS) BMT)

3. Pendidikan Syariah

Pendidikan Syariah merupakan aktivitas LKMS untuk menyebarkan

pengetahuan mengenai hukum Islam baik ibadah maupun muamalah kepada

stakeholder LKMS. Target penyebaran pengetahuan dibagi dua klasifikasi

untuk memudahkan LKMS merancang materi pendidikan syariah, yaitu: a)

pendidikan spiritual eksternal kepada masyarakat umum (pemerintah,

masyarakat dan swasta); b) Pendidikan spiritual internal untuk meningkatkan

dan menjaga aspek ruhiyah yaitu kepada anggota/klien dan kepada pengurus

(Ascarya, 2012, Waspodo, 2008; Wediawati dan Setiawati, 2016)

4. Pelatihan Syariah

Pelatihan Syariah merupakan aktivitas yang dilakukan oleh LKMS untuk

meningkatkan keterampilan stakeholders dalam mengimplementasikan konsep

50

50

Syariah yang didasarkan pada Iman, Islam dan Ihsan dalam dua aktivitas utama

yaitu aktivitas ibadah dan muamalah (Mardhatillah dan Rulindo, 2008;

Wediawati & Setiawati 2016). Kedua hal ini merupakan kesatuan yang tidak

terpisahkan. Karena praktek seorang muslim bermuamalah sangat ditentukan

oleh kualitas ketakwaannya (ibadah). Ibadah yang khusyu‟ menghasilkan

pribadi yang taat dalam bermuamalah.

Gambar 2.5 Pemetaan Literatur Intermediasi Spiritual

51

51

2.1.5.4 Modal Sosial Islam

Konsep/definisi tentang Modal Sosial Islam (Islamic social capital) belum

baku sejalan dengan terbatasnya kajian baik konseptual maupun empiris. Oleh

karena itu, untuk membangun konstruk Modal Sosial Islam, dilakukan

penelusuran mulai dari munculnya konsep modal sosial pertama kali hingga

perkembangannya saat ini dan kemudian memeriksa penelitian konseptual

maupun empiris yang mengkaji modal sosial berdasar nilai-nilai Islam.

Istilah modal sosial pertama kali digunakan oleh Lyda J. Hanifan pada tahun

1916 namun istilah ini sempat menghilang selama setengah abad, sebelum

muncul kembali pada tahun 1950 oleh tim sosiolog Kanada Seeley, Sim dan

Loosely (1956), Jane Jacobs (1961), dan ekonom Glenn Loury (1977). Meski

menggunakan istilah Modal sosial, namun tak satu pun dari para penulis ini yang

mengutip karya Hanifan,

Formulasi konsep modal sosial mulai dibangun melalui penelitian Pierre

Bourdieu, seorang sosiolog Perancis (1983; 1986). Namun karena tulisan

Bourdieu yaitu Le Capital Social: Notes Provisoires diterbitkan dalam publikasi

berbahasa perancis, sehingga tidak banyak ilmuwan sosial (khususnya sosiologi

dan ekonomi) yang menaruh perhatian. Konsep Modal sosial mulai mengemuka

menjadi topik penting yang mempertemukan antar disiplin ilmu (sosiologi,

antropologi, ekonomi) setelah James Coleman (1988) mempublikasikan artikelnya

dalam Jurnal American Journal of Sociology yang berjudul Social Capital in the

Creation of Human Capital (1988).

52

52

Berbeda dengan modal ekonomi (economic capital) dan modal manusia

(human capital) yang lebih dahulu populer, modal sosial baru eksis bila ia

berinteraksi dengan struktur sosial. Sifat ini jelas berbeda dengan dua modal

sebelumnya, yakni modal ekonomi dan manusia. Dengan modal ekonomi yang

dimiliki, seseorang/perusahaan bisa melakukan kegiatan (ekonomi) tanpa harus

terpengaruh dengan struktur sosial, demikian pula halnya dengan modal manusia.

Dengan demikian, modal sosial dapat produktif mencapai tujuan hanya jika

keberadaannya eksis.

Topik modal sosial semakin meluas melalui karya Robert Putnam (1993,

1996) dengan pendekatan kemasyarakatan (society’s perspective) melalui tesis

provokatif mengenai kemerosotan modal sosial di Amerika Serikat di akhir abad

kedua puluh dan melalui penelitian panjang Fukuyama (1992; 1995; 1999; 2001;

2002). Meski masih ambigu karena belum ada kesepakatan di antara para ekonom

mengenai dimensi modal sosial, namun konsep modal sosial sudah banyak

diterapkan untuk menjelaskan berbagai fenomena sosial baik pada aspek makro

seperti kinerja perekonomian (Annen, 2003; Nahapiet & Ghoshal, 1998),

kesejahteraan dan kemiskinan (Grootaert, 1999) dan konteks bernegara

(Fukuyama, 1995; 2001) serta pada aspek mikro seperti kinerja organisasi

(Felicio, Couto dan Caiado, 2004) dan efisiensi serta efektivitas LKM (Dowla,

2006; Kamukama dan Natamba, 2013, Pradesh, 2012 dan Van Bastelaer 2000).

Diantara sekian banyak konsep modal sosial, konsep Putnam (1993) banyak

menginspirasi kajian modal sosial saat ini, meskipun mendapat banyak kritik,

diantaranya: 1) Putnam mengabaikan muatan modal sosial (tujuan dan ideologi)

53

53

(Haris, 2001), sehingga modal sosial itu bisa positif dan sebaliknya bisa negatif;

2) Putnam meminggirkan konteks relasi yang ada dalam masyarakat sehingga

dapat menyebabkan ketimpangan relasi. Ketimpangan dapat terjadi jika asosiasi-

asosiasi lokal didominasi oleh kelompok elit lokal untuk menguatkan kepentingan

mereka. Maka, modal sosial bisa tampak mekar, tapi muatannya sedang

mengkerut; 3) instrumen Putnam tidak memperhatikan variasi dari intensitas

kontak yang dimiliki anggota terhadap asosiasi yang lain. Fukuyama (1995) dan

Scrivens & Smith (2013) membuktikan bahwa intensitas hubungan anggota

dengan asosiasi di luar kelompoknya dapat menjadi variabel yang kuat

mempengaruhi modal sosial dalam masyarakat; 4) pandangan Putnam bahwa

sebuah masyarakat keagamaan tidak bisa menjadi masyarakat sipil, atau dengan

kata lain bahwa agama tidak mungkin menjadi modal sosial.

Candland, (2000) dan Furbey et al., (2006) membuktikan sebaliknya,

bahwa agama (faith/religious) bisa menjadi sumber modal sosial bahkan modal

sosial itu sendiri. Studi Candland terhadap empat organisasi keagamaan di Asia

yaitu Nahdlatul Ulama di Indonesia, Jamaati Islami di Pakistan, Lanka Jathika

Sarvodaya Shramadana Sangamaya di Srilanka) dan Santi Asok di Thailand

menemukan bahwa komunitas beriman tidak perlu berulang kali harus

berinteraksi secara langsung untuk dapat membangun rasa saling percaya satu

sama lain. Studi Furbey et al. menguatkan temuan Candland bahwa ajaran tiga

agama monotheis Ibrahim (Yahudi, Kristen dan Islam) selain mengikat

pemeluknya dalam satu ideologi untuk menyembah satu Tuhan (bonding), juga

54

54

membangun hubungan ke pemeluk agama lainnya (bridging dan linking social

caital) sebagaimana klasifikasi modal sosial Woolcock (1998).

Tabel 2.8 Ringkasan Penelitian Modal Sosial

Peneliti/Institusi Konsep/definisi Dimensi

Bourdieu, (1986)

Bourdieu dan

Wacquant (1992)

dalam Susen dan

Turner (2013)

Jumlah sumber daya baik aktual ataupun

virtual (tersirat) yang berkembang pada

seorang individu/kelompok karena

kemampuan untuk memiliki suatu jaringan

yang dapat bertahan lama dalam hubungan

yang telah diinstitusikan berdasarkan

pengetahuan dan pengenalan timbal balik

Sumber daya aktual dan

virtual

Jaringan (networks)

Hubungan

(relationship)

Timbal balik

(reciprocity)

Coleman, (1990) Modal sosial melekat pada struktur

hubungan antar dan diantara orang

Struktur Hubungan

(structure of relation)

Putnam (1993) Fitur organisasi sosial, seperti

kepercayaan, norma, dan jaringan yang

dapat meningkatkan efisiensi masyarakat

dengan memfasilitasi tindakan

terkoordinasi"

Kepercayaan (Trust)

Norma

Jaringan

Tindakan terkoordinir

Tujuan bersama

Fukuyama (1995;

2001)

Seperangkat nilai-nilai resmi atau norma

menyebar di antara anggota kelompok

yang memungkinkan kerja sama

berdasarkan kejujuran membuat saling

percaya di akhir.

Nilai informal (informal

values)

Norma (norm):

Kerjasama

Nahapiet dan

Ghoshal (1998)

Modal sosial organisasional merupakan

sekumpulan sumber daya yang ada dan

sumber daya potensial yang dihasilkan

dari jaringan relasional yang dimiliki

individu ataupun unit sosial, sebagai dasar

kepercayaan dan kerja sama antar anggota

organisasi yang mengarahkan kepada

hubungan sosial yang baik dan perbaikan

kinerja organisasi.

Dimensi Struktural

Ikatan jaringan

dan organisasi

Sepadan

Dimensi Relasional

Kepercayaan,

norma, kewajiban

Dimensi Kognitif

Kode dan bahasa

dan narasi bersama

(World Bank, 1998)

dalam (Razmi,

Salimifar, &

Bazzazan, 2013)

Lembaga, hubungan, pandangan dan nilai-

nilai dalam masyarakat tertentu yang

mengatur tindakan dan reaksi antara

orang-orang dan memiliki peran dalam

pembangunan ekonomi dan sosial.

Institution

Relationships

Views

Values

Norms

(Cohen dan Prusak ,

2001)

Modal hubungan aktif dalam masyarakat,

yang terikat oleh kepercayaan, saling-

pengertian dan nilai nilai bersama yang

mengikat anggota kelompok untuk

membuat kemungkinan kerja sama secara

efisien dan efektif.

Trust

Mutual-Understanding

Shared Value

Cooperation

Sumber : Survei Literatur

55

55

Berdasarkan Tabel 2.8. dapat dijelaskan bahwa modal sosial dibentuk oleh

dimensi kognitif berupa nilai-nilai yang dipahami dan dianut bersama, dimensi

relasional berupa relasi antar individu serta dimensi struktural berupa jaringan dan

institusi yang terbentuk sebagai akibat adanya relasi antar individu.

Tabel 2.9 Penelitian terkait Nilai Moral dalam Ajaran Islam

Peneliti/Institusi Konsep / Definisi Dimensi

(Rofik &

Asyhabuddin,

2005)

Nilai-nilai Dasar Islam yang mampu

menggerakkan kaum muslim untuk

berjuang bersama menyelesaikan

problem mereka dan memenuhi

kebutuhan mereka.

Sistem keyakinan normatif

yang sama (ummah

wahidah

Persaudaraan) (ukhuwah)

Tolong menolong

(ta’awun)

Berbuat kebaikan (Ihsan)

Kepemimpinan

(Farooqi, 2006)

Modal Sosial Islam ditandai oleh nilai-

nilai moral dalam produksi dan jaringan

yang menawarkan kesempatan untuk

interaksi yang inovatif antara

seperangkat agen hingga ke etika Islam.

Nilai Nilai Moral Islam

Interaksi inovatif

Etika Islam

(Khaleequzzaman,

2007)

Modal sosial yang didasarkan nilai-nilai

Islam yang dibangun di atas perintah

Syariah untuk melayani populasi Muslim

secara efektif dan menjamin

keberlanjutan program keuangan mikro

yang didukung oleh keunggulan dalam

kualitas dan komitmen staf LKM dan

klien mereka.

Prinsip kesatuan

Hubungan/relasi

Motivasi program (fardu al

kafayah, falah, adl, Ihsan,

dan ta'awun).

Berbagi risiko (kafalah,

takaful)

Bantuan fakir miskin (ZIS)

Ibn Khaldun

dalam Dusuki,

2008

Solidaritas sosial (Asabiyah) yang

selaras dengan persaudaraan

(brotherhood) dan saling kerja sama

(ta`awun) dalam Islam. Asabiyah

mengikat kelompok dan mendorong

saling bekerjasama untuk mencapai

tujuan bersama

Bahasa

Norma

Kepercayaan,

Budaya

Kode perilaku

Solidaritas

Timbal balik

Chapra (2008) Solidaritas sosial dan persaudaraan untuk

mencapai falah (kesejahteraan dalam

kehidupan didunia dan di akhirat)

sebagai salah satu cara untuk mencapai

tujuan akhir ajaran Islam, yang

merupakan Rahmatan lil Alamin

Solidaritas sosial

Persaudaraan

(brotherhood)

(Malik, 2014a;

2014b)

Modal sosial Islahi/Ihsani adalah

hubungan horizontal antar individu

dalam konsep ukhuwah (solidaritas

universal) ditentukan oleh hubungan

vertikal antara individu dan Tuhan

(ketauhidan) untuk mencapai

keseimbangan tujuan (falah)

Norma wahidah/Tauhid

Kepercayaan (Amanah)

Solidaritas (Ukhuwah)

- Takaaful

- Tafaahum

- Islah

- Tarbiyah

Sumber : Survei Literatur, 2016

56

56

Konsep Modal Sosial Islam sebagaimana disajikan pada Tabel 2.9 secara

garis besar dapat diklasifikasikan dalam dimensi yang sama dengan modal sosial

(konvensional), namun demikian, terdapat tiga perbedaan fundamental, pertama

dalam filosofi ideologi dimana Modal Sosial Islam didasarkan pada nilai

ketauhidan (Unity of God) dan norma-norma Islam lainnya yang mengandung

nilai-nilai mulia sebagai perekat pertama umat Islam, dan bahwa segala hal

ditujukan sebagai pengabdian pada Allah SWT semata (ibadah). Sementara modal

sosial (konvensional) didasarkan pada norma-norma yang tumbuh dalam satu

kelompok. Norma ini bisa baik bisa pula sebaliknya. Perbedaan kedua, Modal

Sosial Islam bersifat universal karena berdasarkan aqidah dan syariat Islam.

Modal sosial (konvensional) bersifat temporer (terbatas pada waktu dan tempat),

yaitu ikatan selain ikatan aqidah misalnya ikatan keturunan (orang tua-anak),

perkawinan, nasionalisme, kesukuan, kebangsaan, atau kepentingan pribadi.

Perbedaan ketiga pada tujuan yang ingin dicapai, dimana Modal Sosial

Islam menekankan pada keseimbangan tujuan (falah), bahwa tindakan bersama

dalam modal sosial Islam tidak hanya ditujukan untuk mencapai tujuan duniawi

semata (profit/kesejahteraan) namun pada saat bersamaan juga berorientasi pada

tujuan akhirat yaitu keberkahan dan Ridho Allah SWT. Sementara modal sosial

berorientasi pada tindakan bersama untuk mencapai tujuan atau kepentingan

kelompok.

Penelitian-penelitian terdahulu sebagaimana diringkas pada Tabel 2.9

merujuk modal sosial Islam kepada pada konsepsi Islam Ukhuwah Islamiyah yang

menyatakan bahwa setiap muslim dengan muslim lainnya pada hakikatnya

57

57

bersaudara sebagaimana dinyatakan dalam ayat Al-Qur‟an maupun hadits

Rasulullah SAW, diantaranya:

“Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara. Karena itu,

damaikanlah kedua saudara kalian, dan bertakwalah kalian kepada Allah

supaya kalian mendapatkan rahmat.” (QS Al-Hujurat :10).

“Sesungguhnya Mu‟min yang satu dengan Mu‟min yang lainnya bagaikan

sebuah bangunan yang bagian-bagiannya saling menguatkan.” (Muttafaq

Alaih).

Kata “ukhuwah” atau turunannya kerap sekali digandengkan dengan kata

Iman, Islam, takwa atau orang beriman. Hal ini mengindikasikan bahwa ukhuwah

merupakan salah satu parameter utama keimanan dan keIslaman seseorang.

Dalam Ajaran Islam, selain konsep persaudaraan sesama Islam (Ukhuwah

Islamiyah), dimana seseorang merasa saling bersaudara satu sama lain karena

memeluk agama Islam, juga terdapat terdapat konsep persaudaraan sebangsa

(ukhuwah wathaniyah) dan konsep persaudaran sesama manusia (ukhuwah

basyariyah). Konsep ukhuwah ini sebagaimana konsep Qawmi ('umat-Ku'), yang

melibatkan hubungan persaudaraan antara muslim dengan orang lain dengan rasa

hormat, terlepas dari keyakinan mereka sehingga menjembatani (bridging) dan

menghubungkan (lingking) umat Islam dengan umat lainnya.

Modal Sosial Islam berimplikasi bagi LKMS dalam hal keseimbangan

tujuan sebagaimana dinyatakan Chapra (2008) bahwa persaudaraan merupakan

persyaratan untuk mencapai tujuan akhir dari semua ajaran Islam yaitu

kesejahteraan dalam kehidupan dunia dan akhirat (falah.)

Berdasarkan Tabel 2.9 dapat dibangun konstruk Modal Sosial Islam

sebagai Ikatan persaudaraan yang didasari oleh akidah Islam, Iman dan takwa

58

58

(Ukhuwah Islamiyah) yang merekatkan Umat Islam dalam satu kesatuan untuk

bergerak mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan finansial, kesejahteraan

sosial (pemerataan) dan kesejahteraan spiritual/keberkahan (ziyadah) bagi institusi

dan anggota melalui norma-norma Islam, amanah, ta’awun dan jaringan.

Dimensi dari konstruk Modal Sosial Islam yang dipergunakan dalam

penelitian ini adalah :

1. Norma-norma Islam

Nilai-nilai Islam yang menjadi aturan dan pedoman bagi LKMS dan seluruh

stakeholder dalam berucap dan bertingkah laku untuk mencapai tujuan bersama

yaitu kesejahteraan duniawi dan akhirat (falah). Setiap transaksi didasarkan saling

ikhlas dan ditujukan semata-mata untuk mencapai Ridho Allah SWT. Norma-

norma Islam yang dominan dibangun dan diterapkan di LKMS adalah:

a. Norma ketauhidan (norma wahidah)

Norma ini bersumber dari Al-Qur‟an

“Dan Tuhan kamu adalah Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Dia,

Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang (QS Al-Baqarah [2]: 163)

b. Norma Kejujuran (sidiq)

Kejujuran dalam segala hal termasuk saat bertransasksi di LKMS sesuai

dengan perintah Allah dalam Al-Quran:

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah

kamu bersama orang-orang yang benar”(QS At-Taubah [9]: 119)

Serta sesuai dengan Hadist Rasulullah SAW:

“Jika engkau miliki empat hal, engkau tidak akan rugi dalam urusan dunia:

menjaga amanah, jujur dalam berkata, berakhlak baik, dan menjaga harga diri

dalam (usaha, bekerja) mencari makan.” (HR Ahmad)

59

59

c. Norma menepati janji

Menepati janji sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur‟an:

“ Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan

janjinya (QS Al Mu‟minun [23]; 8)

“Wahai orang yang beriman, penuhilah janji-janji.. (QS Al-Ma‟idah [5]; 1)

Serta sesuai dengan hadis Rasulullah SAW:

“Siapa saja yang berhutang sedang ia sengaja untuk tidak membayar,

maka ia akan bertemu dengan Allah SWT sebagai pencuri” (HR. Ibnu

Hayat dan Baihaqi)

“Akan diampuni orang syahid semua dosanya, kecuali hutangnya” (HR.

Muslim)

2. Tolong menolong (ta’awun)

Perilaku saling menolong diantara sesama (anggota dan LKMS) tanpa

mengharapkan imbalan seketika dan tanpa batas waktu tertentu dalam nuansa

itsar (semangat untuk membantu dan mementingkan kepentingan orang lain) yang

didasari oleh ketakwaan. Tolong menolong ini didasarkan oleh:

a. Al-Qur‟an

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan

jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan

bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.

(Q.S. al-Maidah [5] : 2)

b. Hadist Rasulullah SAW:

"Barang siapa yang melapangkan kesulitan dunia seorang mu'min, maka Allah

akan melapangkan baginya kesulitan hari akhirat. Barang siapa yang menutupi

aib seorang mu'min maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat. Dan

Allah senantiasa menolong seorang hamba, selama hamba tersebut menolong

saudaranya” (HR. Muslim dan Turmudzi).

60

60

Berdasarkan penelitian Wediawati dan Setiawati (2016) bentuk-bentuk

ta’awun di LKMS dibagi ke dalam empat aktivitas yaitu :

a. Taawun-Musibah yaitu tolong menolong antar pengurus dengan anggota pada

saat terjadi musibah (sakit/kematian/bencana dan lain lain )

b. Taawun-ZIS yaitu penyaluran zakat, infak dan sedekah kepada delapan pihak

(ashnaf) sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur‟an (QS At-taubah [9] : 60)

terutama kepada fakir miskin (dhuafa)

c. Taawun-Qard Hasan yaitu penyaluran pinjaman kebajikan (benevolent loan)

atas dasar tolong menolong (taawun) kepada fakir miskin/orang yang

membutuhkan dan dikembalikan sesuai dengan besarnya pinjaman yang

diberikan dengan mempertimbangkan kemampuan peminjam.

d. Taawun-Sosial yaitu aktivitas penyisihan dana sosial dari laba bersih LKMS

setiap tahunnya yang dilakukan oleh LKMS untuk aktivitas sosial.

3. Kepercayaan (Amanah)

Kepercayaan adalah keyakinan seorang muslim terhadap saudara muslim

lainnya yang didasari oleh perasaan bahwa apapun yang diamanahkan akan

dilakukan sebagaimana yang diharapkan karena akan dimintai pertanggung-

jawaban oleh Allah kelak di hari akhir. Keyakinan ini menimbulkan perasaan

aman (perceived safety) ketika berinteraksi dengan sesama muslim. Kepercayaan

ini didasari oleh:

1) Al-Qur‟an

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan

Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan

kepadamu, sedangkan kamu mengetahui”. (QS al-Anfal [8]: 27).

61

61

2) Al-Hadist

“Tidak ada iman bagi yang tidak amanah (tidak jujur dan tak bisa

dipercaya), dan tidak ada dien (agama) bagi yang tidak menepati janji”. (HR

Baihaqi).

Bentuk kepercayaan yang dibangun dan dikembangkan oleh LKMS adalah:

a. Amanah-kolateral adalah kolateral sosial sebagai pengganti jaminan

pembiayaan bagi orang miskin

b. Amanah -wadiah adalah kepercayaan dalam bentuk menerima titipan dana dari

anggota (wadiah)

c. Amanah-syirkah adalah kepercayaan untuk bekerja sama dengan anggota (akad

syirkah) baik dalam bentuk akad mudharabah maupun akad musharakah

d. Amanah-wakalah adalah kepercayaan mewakilkan pembelian produk kepada

anggota pada akad murabaha (wakalah)

5. Jaringan (Networking)

Jaringan adalah relasi yang terbentuk antara LKMS dengan LKMS lainnya

melalui asosiasi/perkumpulan yang relevan, dengan pemerintah/swasta/institusi

penyedia tehnical assistance (LSM/IPTA) dan lembaga keuangan syariah baik

Bank Umum Syariah/Bank perkreditan syariah (BUS/BPRS) atas dasar Islam,

Iman dan Taqwa.

Relasi yang terbentuk antara LKMS dengan para pihak tersebut

merupakan relasi kemitraan yaitu untuk mencapai tujuan dengan cara sharing

resource, sehingga jaringan memiliki kedekatan dengan pengertian ukhuwah yang

artinya persaudaraan sebagai lawan dari khushuwah atau permusuhan dan juga

makna membangun silaturahmi sebagaimana ayat Al-Qur‟an berikut ini :

62

62

''bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu

saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) silaturahim. Sesungguhnya

Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An-Nisa [4] : 1)

”Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah

(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap

Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS Al-Hujurat [49] ; 10)

Dan sebagaimana Al-Hadist:

“Barangsiapa ingin dilapangkan baginya rezekinya dan dipanjangkan

untuknya umurnya hendaknya ia melakukan silaturahim.” (Muttafaq „Alaih).

Berikut pemetaan literatur untuk membangun konstruk Modal Sosial Islam

dalam penelitian ini:

Gambar 2.6 Pemetaan Literatur Modal Sosial Islam

63

63

2.1.5.5. Keberlanjutan Lembaga Keuangan Mikro Syariah

Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya bahwa pertentangan antara

kelompok welfarist dan kaum institutionists berlanjut hingga ke penilaian kinerja.

Kaum welfarist cenderung menekankan pengentasan kemiskinan dengan

menempatkan bobot yang relatif lebih besar pada kedalaman jangkauan (depth

outreach) bukannya pada luasnya jangkauan (breadth outreach) dan mengukur

keberhasilan kelembagaan sesuai dengan metrik sosial (Brau dan Woller, 2004).

Sebaliknya, kaum institutionists menekankan keberlanjutan institusi melalui

keberlanjutan keuangan (financial sustainability), karena LKM berkelanjutan

membantu memperluas jangkauan kepada orang miskin (Gakhar & Meetu, 2013).

Meski berbeda pada siapa target dan bagaimana cara mencapai tujuan,

pada akhirnya kedua kelompok pemikiran sepakat memaksimalkan dampak sosial

LKM (Louis, Seret, dan Baesens, 2013) dan penyediaan layanan keuangan mikro

kepada orang miskin harus dilakukan secara berkelanjutan (CGAP, 2004; Navajas

et. al, 2000).

Dampak positif LKM hanya dapat dipertahankan jika LKM mencapai

tingkat kinerja keuangan yang tinggi pada satu sisi, dan pada sisi lain menjangkau

orang miskin seluas-luasnya. Ini berarti bahwa manfaat dari LKM hanya dapat

terwujud jika orang miskin terus menjadi klien LKM (Ahlin dan Jiang, 2008).

Dengan kata lain, kinerja keuangan maupun kinerja sosial merupakan dua tujuan

yang mesti dicapai secara bersamaan (Rosenberg, 2006).

Hollis dan Sweetman (1998) dalam Bahnot dan Bapat (2015), menyoroti

pentingnya peningkatan keberlanjutan LKM ini sebagai konsekuensi dari

64

64

meningkatnya ketergantungan pada subsidi pemerintah/investor yang tidak

menjamin skala ekonomi LKM dalam jangka panjang. Keberlanjutan layanan

keuangan mikro telah didefinisikan secara umum sebagai suatu hal yang

permanen (Navajas et al., 2000). Rhyne (1998) dalam Robinson (2001 hal.22)

menyatakan bahwa keberlanjutan bukanlah tujuan itu sendiri melainkan sarana

akhir untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.

Keberlanjutan didefinisikan sebagai kemampuan LKM untuk menjalankan

kredit mikro dan aktivitas operasi lainnya sebagai lembaga keuangan yang layak

(Cull et al, 2007; Navajas et al, 2000). Dapat pula diartikan sebagai kemampuan

LKM untuk beroperasi dalam jangka panjang sehingga memberikan dampak besar

pada orang miskin (Quayes, 2012). Dengan demikian, konstruk keberlanjutan

LKMS pada penelitian ini adalah kemampuan LKMS untuk beroperasi pada

jangka panjang sehingga memberi dampak perubahan pada kehidupan orang

miskin yang diukur dengan kinerja keuangan (financial sustainability) dan kinerja

sosial (outreach).

2.1.5.5.1. Kinerja Finansial

Sejumlah penelitian empiris yang menggunakan ukuran kinerja finansial

(financial sustainability) disajikan pada Tabel 2.10 berikut:

Tabel 2.10 Penelitian Empiris tentang Kinerja Keuangan

No Peneliti/

Tahun/ Judul

Variabel Metode

1 (Rosenberg,

2009)

Loan repayment/portfolio quality (Portofolio at

Risk), Financial sustainability (profitability):

ROA & ROE

Efficiency:

Operating expense ratio (OER)

Cost per client (or loan)

Data Envelopment

Analysis (DEA)

(Pendekatan

Produksi)

65

65

Penggunaan Rasio keuangan (ROA,ROE sebagai proksi kinerja LKM

Penelitian menggunakan pendekatan Intermediasi

2 Mersland and

Strøm (2010)

Financial efficiency

Average loan

Average profit

Average cost

Portofolio at Risk (PAR) 30 days

MFI age Assets

Panel data estimation

with instrumen

(Pendekatan

Produksi)

Perbedaan: penelitian Mersland and Strøm (2010) menggunakan pendekatan produksi

sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan Intermediasi

3 Kuppusamy,

Saleh and

Samudharam,

(2010)

Islamic Financial Ratios:

Islamic Investment Ratio

Islamic Income Ratio

Profit Sharing Ratio

Conventional Ratios:

ROA, ROE, Profit Margin Ratio

Rasio Keuangan

Persamaan: penggunaan Rasio keuangan (ROA,ROE dan Profit sharing ratio) sebagai

proksi kinerja keuangan

Perbedaan: penelitian Kuppusamy, Saleh and Samudharam, (2010) hanya menggunakan

raasio keuangan sementara penelitian ini juga menggunakan kinerja sosial sebagai proksi

dari keberlanjutan LKM

3 Quayes (2012)

Financial efficiency

Operational sustainability

Gross loan 65ogistik65o Total equity

Debt to equity ratio

Total expense ratio

Financially self-sufficient

OLS, logistik

regression,

Persamaan: penggunaan Rasio keuangan (ROA,ROE dan Profit sharing ratio sebagai proksi

kinerja keuangan

Perbedaan: penelitian Quayes (2012) menggunakan alat analisis OLS dan logistik

regression sedangkan penelitian ini menggunakan alat analisis Partial Least Square (PLS)

4 Sanfeliu,

Royo, &

Clemente,

(2013)

PTA : Portfolio to assets

ROE : Return on equity

FEA : Financial expense/total assets

PEA : Personnel expense/ total assets

PR90: Portfolio risk>90 days (value of loans

outstanding*/gross loan portfolio)

LL : Loan loss rate ((write-offs – value of

loans recovered)/average gross loan

portfolio)

RC: Risk coverage (impairment loss/average

assets)

Multi

criterion Metho-

dology

(Pendekatan

Produksi)

Persamaan: penggunaan Rasio keuangan (ROE) sebagai proksi kinerja keuangan

Perbedaan: penelitian Sanfeliu, Royo, & Clemente, (2013) menggunakan pendekatan

produksi sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan Intermediasi

5 Abdelkader

dan Salem,

(2013)

Total aset

Amount employee

Operating Expense

Financial Revenue

Non-parametric DEA

(Pendekatan

Produksi)

66

66

Perbedaan: penelitian Abdelkader dan Salem, (2013) menggunakan pendekatan produksi

sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan Intermediasi

6 Wijesiri, M.,

Viganò, L., &

Meoli, M.

(2015).

Financial Efficiency

Total assets

Financial revenue

Data Envelopment

Analysis

(pendekatan

Produksi)

Perbedaan: penelitian Wijesiri, M., Viganò, L., &

Meoli, M. (2015) menggunakan pendekatan produksi sedangkan penelitian ini

menggunakan pendekatan Intermediasi

7 Ashraf,

Hassan, dan

Hippler,

(2014)

Financial Performance (Y)

ROA, ROE

The real yield on gross portfolio [RYLD]

Operational self-sufficiency [OSS]).

Control Variabel

Age MFI, Asset MFI

Regresion Analysis

Persamaan: penggunaan Rasio keuangan (ROA, ROE) sebagai proksi kinerja LKM

Perbedaan: penelitian Ashraf, Hassan, dan Hippler, (2014) menggunakan alat analisis

regresi sedangkan penelitian ini menggunakan alat analisis Partial Least Square (PLS)

8 Rahman dan

Mazlan (2014)

Overall Financial Performance (CGAP, 2003)

ROA, ROE

Operational Self-Sufficiency

Multiple regression

analysis

Persamaan: penggunaan Rasio keuangan (ROA, ROE) sebagai proksi kinerja LKM

Perbedaan: penelitian Rahman dan Mazlan (2014) alat analisis regresi sedangkan penelitian

ini menggunakan alat analisis Partial Least Square (PLS)

9 Piot-lepetit

dan

Nzongang,

(2014)

Financial Performance

Sustainability/profitability

ROE & ROA

Financial self-sufficiency ratio

Data Envelopment

Analysis

(Pendekatan

Produksi) Financial management

Yield on gross loan community

Funding expense ratio

Portfolio quality

Provision expense ratio

Write-off ratio

Efficiency/productivity

Operational self-sufficiency

Operating expenses ratio

Cost per client

Persamaan: penggunaan ROA dan ROE sebagai proksi kinerja finansial LKM

Perbedaan : penelitian Piot-lepetit dan Nzongang (2014) menggunakan pendekatan produksi

sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan intermediasi Bahnot &

Bapat (2015) Operational self-sufficiency,

(OSS) ratio

Gross loan portfolio (GLP)

Portfolio at risk (PAR)

Return on assets (ROA)

Debt to equity ratio (D_E)

Deposits (DP)

Multiple

Linear

Regression

Analysis

Bahnot & Bapat

(2015)

Persamaan: penggunaan ROA sebagai proksi kinerja finansial LKM

Perbedaan: penelitian Bahnot & Bapat (2015) menggunakan alat analisis multiple regresi,

sedangkan penelitian ini menggunakan alat analisis Partial least square (PLS)

Sumber : Survei literatur

67

67

Berdasarkan Tabel 2.10 dapat dilihat bahwa penelitian-penelitian

sebelumnya, umumnya menggunakan pendekatan produksi yang berfokus pada

output LKM, sementara penelitian ini menggunakan pendekatan intermediasi

yang fokus pada input (aktivitas intermediasi) dan jarang digunakan dalam

penelitian-penelitian sebelumnya.

Berdasarkan penelitian sebelumnya, maka kinerja finansial dalam

penelitian ini merujuk pada kemampuan LKMS menghasilkan keuntungan atas

aset dan ekuitas yang dipergunakan. Sehingga ukuran yang dipergunakan adalah

conventional ratios menggunakan ROA dan ROE (Rosenberg, 2009). Karena

LKMS merupakan lembaga berbasis syariah, maka kinerja lembaga keuangan

syariah juga diakomodir menggunakan Islamic financial ratio menggunakan

profit sharing ratio (PSR) (Kuppusamy, Saleh dan Samudharam, 2010)

Tabel 2.11 Pengukuran Kinerja Keuangan LKMS

Proksi Rumus Penilaian hasil pengukuran

ROA

Semakin besar ROA, semakin

baik kinerja finansial

ROE

Semakin besar ROE, semakin

baik kinerja finansial

PSR

Semakin besar PSR, semakin baik

kinerja finansial

2.1.5.5.2. Kinerja Sosial

Kinerja sosial LKM adalah interpretasi yang efektif dari pelaksanaan misi

sosial LKM yaitu melayani orang miskin secara berkelanjutan. Ukuran kinerja ini

merupakan konsep multidimensi sebagaimana dinyatakan Meyer (2002), karena

tidak hanya berfokus pada penyediaan layanan keuangan kepada orang miskin,

68

68

namun juga pada dampaknya terhadap kualitas kehidupan orang miskin dan

perempuan yang cenderung dikecualikan dari layanan keuangan formal (financial

exclusion).

Ukuran kinerja sosial memastikan bahwa segala hambatan bagi orang

miskin untuk terlibat dalam LKM seperti ketiadaan jaminan, budaya patriaki yang

menghambat wanita dalam berpartisipasi serta masalah kedalaman kemiskinan

(depth of poverty) dimana kelompok termiskin dari yang miskin (the poorest)

berada pada barisan terbelakang sebagaimana long tail theory (Cinca & Nieto,

2014) dapat diantisipasi dan diatasi oleh LKM.

Untuk membangun konstruk kinerja sosial yang relevan dengan penelitian

ini, maka dirangkum pengukuran kinerja sosial yang selama ini dikembangkan

oleh berbagai ahli LKM pada Tabel 2.12.

Tabel 2.12 Pengukuran Kinerja Sosial LKM

Nama/Institusi Konsep Dimensi

Navajas, S., et al.,

2000.

.

Membangun framework teoritis nilai sosial

LKM dalam hal 5 ukuran yaitu yaitu

kedalaman jangkauan, nilai bagi pengguna,

biaya bagi pengguna Keluasan jangkauan,

panjangnya jangkauan dan ruang lingkup

output

Depth of outreach

worth to users

cost to users

breadth of outreach

length of outreach

scope of its output

CERISE Tool

(Zeller 2003).

Instrumen CERISE menilai kinerja sosial

lembaga dengan mengevaluasi niat dan

tindakan mereka

Outreach to the poor

Adaptation of products and

services for target clients

Improvement in social and

political capital

Corporate Social Respondibility

FINCA’s Client

Assessment Tool

(2003)

FINCA‟s10 Client Assessment Tool

(FCAT) adalah alat yang komprehensif

yang mencakup informasi demografi,

informasi kredit, pengeluaran rumah

tangga, akumulasi aset, metrik sosial metrik

bisnis, kepuasan klien dan pertanyaan

wawancara keluar.

Demografic information

Loan Information

Household expenditure

Asset accumulation

Social metrics (health, housing,

and education)

Business metrics, and client

satisfaction

Exit interview questions.

69

69

Social

Performance

Assesment (SPA)

Tool

(Woller 2006)

Instrumen SPA merupakan scorecard

dengan seperangkat indikator dengan enam

dimensi outreach:

Breadth of outreach

Depth of outreach

Length of outreach assesses

Scope of outreach

Cost of outreach

Worth of outreach to clients and

the community

SOCIAL ACCION

Tool

Mengevaluasi keberhasilan LKM dalam

memenuhi misi sosialnya dan kontribusinya

terhadap tujuan sosial. Alat ini menawarkan

penilaian sosial yang komprehensif

Outreach

Client service

Information Transparency

Association with the Community

Labor climate.

M-CRIL‟s Social

Rating

Instrumen untuk menilai LKM mencapai

misi sosialnya mencakup sistem organisasi

dan hasil, indikator level klien.

Achievement of Social Goals

Outreach (depth and breadth)

Financial services variety,

appropriateness, and trans-

parency ;Outcomes and impact

Sumber : Diadopsi dari Hashemi dan Rosenberg (2006) dan Navajas et. al. (2000)

Hampir semua penelitian empiris yang mengkaji kinerja LKM/LKMS

menggunakan ukuran kinerja sosial sebagaimana disajikan pada Tabel 2.13.

Tabel 2.13 Penelitian Empiris Kinerja Sosial LKM

Peneliti dan

tahun

Variabel Penelitian Pendekatan/Alat

Analisis

Bahnot & Bapat,

(2015)

Outreach factors

Breadth of outreach (Number of active

Borrower/NAB)

Depth of outreach (the average loan size per

borrower/APLB)

Multiple regresion

analysis

Persamaan : penggunaan NAB sebagai Proksi kinerja sosial LKM

Perbedaan : penelitian Bahnot dan Bapat (2015) menggunakan alat analisis multiple regresion

analysis sementara penelitian ini mengunakan PLS

Rosenberg/CGAP

(2009) Breadth Outreach (The number of clients or

accounts that are active at a given point in

time/NAB)

Depth Outreach (Average Loan per borrower)

Data Envelopment

Analysis

(Pendekatan produksi)

Penggunaan breadth dan depth outreach sebagai proksi kinerja Sosial LKM

Penelitian Rosenberg (2009) menggunakan pendekatan produksi sementara penelitian ini

menggunakan pendekatan Intermediasi

Sanfeliu et al.,

(2013)

O : Offices (number of branches)

P : Personnel (number of employees)

CPB : Cost per Borrower (operating

expense/average number of active

borrowers)

LPLO: Loans per loan officer (number of loans

outstanding/number of loan officers)

Multicriterion

Methodology

70

70

PA : Personnel allocation Ratio (Loan

officers/Personnel

Penggunaan Cost per Borrower sebagai proksi kinerja Sosial LKM

Penelitian sanfeliu et. al (2013) menggunakan multicriterion methodology, sementara

penelitian ini menggunakan pendekatan Intermediasi menggunakan pendekatan Intermediasi

Mersland &

Strøm (2010)

Breadth outreach

Number of borrowers& Women borrowers

Depth outreach (Average loan per borrower)

Panel data estimation

(Pendekatan Produksi)

Persamaan: Penggunaan breadth outreach (number of borrower) dan depth outreach sebagai

proksi kinerja Sosial LKM

Perbedaan: Penelitian Mersland & Strom menggunakan pendekatan produksi sementara

penelitian ini menggunakan pendekatan Intermediasi

Hermes, Lensink,

dan

Meesters, (2011)

Outreach

Average loan balance per borrower (APLB)

% loans below US$300

% woman borrowers

Average savings balance per saver (US$)

% clients in bottom half of the population

Mean

Stochastic Frontier

Analysis (SFA)

(Battese and Coelli

(1995)

(Pendekatan Produksi)

Persamaan: penggunaan APLB sebagai proksi kinerja Sosial LKM

Perbedaan: penelitian Hermes, Lensink, dan Meesters, (2011) menggunakan SFA

(pendekatan produksi) sementara penelitian ini menggunakan Intermediasi

Quayes (2012):

Breadth outreach

Number of borrowers & Women borrowers

Cost of outreach (Cost per borrower (CPB)

Depth outreach

(Average loan per borrower) (ALPB)

Length outreach (Years in operation (LYO)

OLS, logistic

regression,

Persamaan : penggunaan NAB, CPB dan APLB sebagai proksi kinerja Sosial LKM

Perbedaan : penelitian quayes (2012) menggunakan alat analisis OLS, Logistic regression,

sementara penelitian ini menggunakan Partial Least Square (PLS)

Abdelkader &

Salem (2013)

Social performance :

Number of active borrowers (NAB)

Number of female borrowers

Non-parametric DEA

(Pendekatan Produksi)

Persamaan: penggunaan NAB sebagai proksi kinerja Sosial LKM

Perbedaan: Penelitian Abdel Kader & Salem (2013) menggunakan pendekatan produksi

sementara penelitian ini menggunakan pendekatan Intermediasi

Piot-lepetit dan

Nzongang,

(2014)

Social Performance (Outreach)

Worth of outreach

Length of outreach

Breadth of outreach

Depth of outreach

Cost of Outreach

A multi-DEA approach

(Pendekatan produksi)

Persamaan: penggunaan breadth dan depth outreach sebagai proksi kinerja Sosial LKM

Perbedaan: Penelitian Piot-lepetit dan Nzongang (2014) menggunakan pendekatan produksi

sementara penelitian ini menggunakan pendekatan Intermediasi

71

71

Wijesiri, M.,

Viganò, L., dan

Meoli, M. (2015).

Social efficiency (outreach)

Number of credit officers

Total number of female borrowers

Cost per borrower (CPB)

Data Envelopment

Analysis/DEA

(Pendekatan produksi)

Persamaan: penggunaan CPB sebagai proksi kinerja Sosial LKM

Perbedaan: Penelitian Wijesiri, M., Viganò, L., dan

Meoli, M. (2015) menggunakan pendekatan produksi sementara penelitian ini menggunakan

pendekatan Intermediasi

Ashraf, Hassan,

& Hippler (2014)

Outreach Measures (X)

the number of depositors, (NOD)

the number of deposit accounts (NDA)

the number of active borrowers (NAB)

Regresion Analysis

Persamaan: penggunaan NAB sebagai proksi kinerja Sosial LKM

Perbedaan: penelitian Ashraf, Hassan, & Hippler (2014) menggunakan alat analisis regresi

sementara penelitian ini menggunakan Partial Least Square (PLS)

Sumber : Survei literatur

Tabel 2.13. memperlihatkan bahwa sebagian peneliti menggunakan ukuran

Navajas (2000) maupun SPA tool secara utuh (Piot-lepetit dan Nzongang, 2014),

sementara peneliti lainnya seperti Abdelkader dan Salem, (2013); Bahnot dan

Bapat (2015); Hermes, Lensink, dan Meesters (2011); Quayes (2012), Wijesiri,

M., Viganò, L., dan Meoli, M. (2015) menggunakan sebagian dari dimensi yang

telah dikembangkan.

Berdasarkan pengukuran kinerja dan penelitian empiris yang telah

disajikan pada Tabel 2.12 dan 2.13. maka konstruk kinerja sosial penelitian ini

didasarkan pada kinerja sosial Navajas (2000) dan pengukuran empiris Quayes

(2012) yang lebih cocok dipergunakan untuk lembaga keuangan yang fokus

memberdayakan orang miskin dan sesuai dengan tujuan penelitian yaitu

keberlanjutan pelayanan LKMS terhadap orang miskin dengan menggunakan dua

dimensi pengukuran yaitu :

72

72

1) Kuantitas kredit mikro yaitu luasnya jangkauan pelayanan LKM kepada

orang miskin (breadth outreach) dengan proksi rata-rata jumlah klien aktif

(number of active borrower/NAB).

2) Kualitas kredit mikro yaitu kedalaman jangkauan LKM (depth outreach)

kepada orang paling miskin dengan proksi rata-rata jumlah pembiayaan per

peminjam (average loan size per borrower/ALPB). Semakin kecil jumlah

pembiayaan berarti semakin jauh jangkauan LKMS melayani orang miskin.

Namun, mempertimbangkan efektivitas kegunaan pembiayaan (loan) maka

diberikan batasan jumlah pembiayaan yang dianggap layak bagi orang miskin

untuk menjalankan usahanya. Sehingga konsep yang dipergunakan adalah

semakin besar jumlah pembiayaan (pada jumlah tertentu) yang diberikan

maka semakin baik kinerja sosial.

3) Biaya jangkauan (cost of outreach) yaitu biaya yang dikenakan kepada klien

dengan ukuran rata-rata biaya penjangkauan per peminjam (cost per

borrower/ CPB).

4) Rentang kendali jangkauan (scope of outreach) yaitu jumlah peminjam yang

dilayani oleh staf LKM dengan ukuran jumlah staf LKM yang melayani

aktivitas Intermediasi Finansial (number loan Officer/NLO)

5) Lama/panjang jangkauan (length of outreach) yaitu lamanya suatu LKM

beroperasi dengan ukuran length of years operation (LYO).

Ukuran tingkat keaktifan perempuan (women borrower) dari quayes

(2012) dieliminir karena menyesuaikan dengan konsep LKMS yang menghindari

73

73

terjadi moral hazard dalam keluarga, sehingga pemberdayaan lebih difokuskan ke

rumah tangga miskin daripada perempuan miskin.

Ukuran kinerja sosial yang dipergunakan dalam penelitian ini disajikan

pada Tabel 2.14.

Tabel 2.14 Pengukuran Kinerja Sosial LKMS \

Proksi Rumus Penilaian Hasil Pengukuran

NAB

Semakin besar NAB, semakin luas

jangkauan LKMS (kinerja sosial

naik)

NLO Number Loan Officer Semakin tinggi rentang kendali staf

LKM semakin naik kinerja sosial

ALPB

Semakin besar jumlah pembiayaan

yang diberikan, semakin baik

pemberdayaan kepada orang

miskin, semakin naik kinerja sosial

CPB

Semakin kecil CPB artinya

semakin murah biaya layanan

kredit mikro maka akan semakin

jauh jangkauan layanan kepada

orang miskin

LOY Length Years operation Semakin lama beroperasi semakin

jauh jangkauan layanan LKM

2.2 Posisi Penelitian (State of The Art)

Berdasarkan kajian terhadap penelitian-penelitian sebelumnya yang

dilakukan untuk membangun konstruk penelitian ini, maka dapat dinyatakan

bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian penelitian sebelumnya baik dari

variabel penelitian, metode, unit analisis, model penelitian serta pendekatannya.

Secara spesifik posisi penelitian dibandingkan dengan penelitian terdahulu

dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Kebaruan dalam hal variabel penelitian (intermediasi spiritual). Penelitian ini

memperdalam konsep intermediasi spiritual Wediawati dan Setiawati (2016)

74

74

yang belum pernah dibahas/ digunakan dalam penelitian-penelitian

sebelumnya. Dengan demikian, penelitian ini, dengan adanya intermediasi

spiritual, memperbaiki konsep misi LKMS yang dipergunakan selama ini yaitu

dari dual mission (misi finansial dan sosial) yang mangabaikan aspek spiritual

menjadi triple mission (misi finansial, sosial dan spiritual) yang lebih

mencerminkan jati diri LKMS sebagai lembaga keuangan maupun sebagai

lembaga dakwah.

Tabel 2.15 Posisi Penelitian dan Pengembangan Konsep Intermediasi LKM

Konsep Awal Pengembangan Konsep

Literature

review

1) Double bottom line

(Ledgerwood, 2000; hal. 1)

(Brau dan Woller; 2004)

2) Dual mission

(Markowski, 2002.

hal.117)

3) Minimalis Approach

(ledgewoord, 2008)

Holisctic Approach didasarkan pada

pemikiran dan rekomendasi:

Kajian Konseptul :

1) Sharia compliance (Obaidullah, 2008;

Obaidullah dan Khan 2008)

2) Religious Education (Waspodo, (2008)

dan Ascarya, (2012))

3) Religious training (Riwajanti, (2014))

4) Spiritual approach (Sanrego, 2013)

5) Spiritual Development

(Hadisumarto & Ismail, 2010; Adnan &

Ajija, 2015)

Kajian Empiris

6) Spiritual Training (Mardhatillah dan

Rulindo, (2008)

7) Spiritual Treatment (Masyita dkk, 2014)

8) Spiritual Intermediation (Wediawati

dan Setiawati, (2016)

Posisi

Penelitian Ini

Penelitian empiris pertama yang menggunakan konstruk Intermediasi

Spiritual dalam model penelitian sehingga memperbaiki konsep dual

mission LKMS menjadi triple mission LKMS.

2. Kebaruan dalam hal variabel penelitian (Modal Sosial Islam). Penelitian ini

membangun konstruk Modal Sosial Islam yang belum pernah dibahas/

digunakan dalam penelitian empiris sebelumnya dan menggunakannya dalam

model penelitian sebagai variabel intervening.

75

75

Tabel 2.16 Posisi Penelitian dan Pengembangan Konsep Modal Sosial Islam

Konsep Awal Pengembangan Konsep

Literature

review

Konsep Modal sosial

1) Fitur organisasi sosial (Putnam,

1993)

2) Bonding, lingking, bridging

social capital (Woolcock. 1998)

3) Organizational Social capital

(Nahapiet & Ghoshal, 1998)

Modal Sosial Islam, dikembangkan dari

pemikiran:

Kajian konseptual:

1) Ashobiyah : (brotherhood and

taawun) Ibn Khaldun dalam Dusuki,

2008

2) Islamic Moral Values

Rofik dan Asyhabuddin, (2005)

Khaleequzzaman, (2007)

3) Islamic Social Capital

(Farooqi, 2006)

4) Solidaritas sosial dan brotherhood

(Chapra, 2008)

5) Ihsani social capital (Malik, 2014)

Kajian Empiris

6) Faith based social capital

(Candland, 2000); (Furbey et al.,

2006)

Posisi

Penelitian Ini

Penelitian empiris pertama yang membangun konstruk modal sosial Islam dan

menggunakan sebagai variabel intervening dalam model penelitian. Modal

Sosial Islam lebih sesuai untuk dikembangkan dan dikuatkan oleh lembaga

keuangan mikro berbasis syariah yang menjadi objek penelitian ini.

3. Kebaruan dalam hal model penelitian. Berbeda dengan penelitian-penelitian

sebelumnya yang menggunakan pendekatan produksi sebagaimana disajikan

pada Tabel 2.12 dan Tabel 2.13. Penelitian ini menggunakan aktivitas

intermediasi yang komprehensif meliputi intermediasi finansial. sosial dan

spiritual serta modal sosial Islam untuk memprediksi keberlanjutan LKMS

dimana variabel ini belum pernah dipergunakan dalam model penelitian

sebelumnya. Penelitian sebelumnya umumnya membahas dual mission

(finansial dan sosial) atau aspek spiritual sebagai aspek tunggal untuk

memprediksi keberlanjutan LKMS. Akomodasi aspek spiritual bersama dengan

aspek finansial dan sosial dalam model penelitian lebih mencerminkan jatidiri

76

76

LKMS sehingga tak hanya sebagai lembaga keuangan berbasis syariah namun

juga sebagai lembaga dakwah.

4.

Tabel 2.17 Posisi Penelitian dan Pengembangan Model Penelitian

Konsep Awal Pengembangan Konsep

Literature

review

1) Integrated Approach (Ledgerwood,

1999)

2) Islamic Charity Based Model

(Hassan, 2010; Kaleem dan Ahmad,

2009; Khaleequzzaman 2007; Masyita,

2012; Rahman dan Dean, (2013)

3) Modal Sosial Islam memediasi

hubungan antara Intermediasi Sosial

sebagai variabel bebas dan akses

keuangan LKM sebagai variabel terikat

(Kamukama & Natamba, 2013a) dan

2013b)

4) Holistic Approach (Sanrego & Antonio,

2013)

5) Spiritual Development (Hadisumarto &

Ismal, 2010)

Pendekatan holistik (Holistic

Approach)

Modal Sosial Islam memediasi

hubungan antara intermediasi

LKMS (keuangan, sosial dan

spiritual) sebagai variabel bebas

dengan keberlanjutan LKMS

sebagai variabel terikat

Posisi

Penelitian

Ini

Penelitian ini memperluas penelitian (Kamukama dan Natamba, 2013a dan

2013b) dengan menambah dua variabel bebas yaitu Intermediasi Finansial

dan spiritual.

Penelitian ini mengembangkan konsep Holistic Approach (Sanrego &

antonio, 2013) dengan memasukkan Modal Sosial Islam sebagai variabel

intervening kedalam model penelitian

Penelitian ini memperdalam Spiritual Development (Hadisumarto & Ismail,

2010) dengan menambah dimensi keteladanan syariah dan pelatihan syariah.

5. Penelitian empiris pertama yang menggunakan objek penelitian Koperasi

Syariah/BMT berbasis Masjid, sesuai dengan variabel penelitian yang

menggunakan Modal Sosial Islam. Kopsyah/BMT berbasis mesjid ini

diinisiasi dan difasilitasi oleh MUI Kota Bandung sejak tahun 2007. Dasar

pendirian adalah kejamaahan umat di sekitar mesjid (bonding social capital)

untuk mencapai tujuan menjaga aqidah umat dari masalah riba (memerangi

rentenir) serta memakmurkan jemaah mesjid dengan menggerakkan potensi

dana filantropi Islam (kas mesjid) menjadi sumber dana produktif.

77

77

Tabel 2.18 Posisi Penelitian terhadap Penelitian Terdahulu

dengan Objek LKM/LKMS

Objek Penelitian Perbedaan Objek

Penelitian

Literature

review

1) BMT, BTM, BPRS di Indonesia

(Seibel, 2005)

2) LKMS BMT di Jawa tengah

(Hadisumarto. W and Ismail. A. G,

(2010); Rokhman, (2013); Minako

Sakai (2010))

3) BMT, BPRS, BRI dan BPR (Masyita

dan Ahmed (2011); Masyita (2012))

4) Program Ikhtiar, Bogor

(Sanrego dan Antonio, 2013)

5) BMT di Jawa Timur

(Riwajanti, (2014); (Adnan dan Ajija,

2015)), BMT di Cirebon (Subaki,

Baehaqie, dan Zamzany, 2011)

Koperasi syariah/BMT

berbasis Mesjid (Mesjid

based Microfinance) yang

dinisiasi dan difasilitasi

pembentukannya oleh

Majelis Ulama Indonesia

(MUI) Kota Bandung

Posisi

Penelitian

Ini

Penelitian pertama yang menggunakan objek penelitian Koperasi

syariah/BMT berbasis mesjid yang belum pernah dikaji oleh penelitian

sebelumnya.

Hal-hal yang telah dikemukakan di atas menunjukkan bahwa penelitian ini

belum pernah dilakukan sebelumnya dan berbeda dengan penelitian sebelumnya,

sehingga penulis menyatakan bahwa penelitian ini memiliki nilai orisinalitas yang

tinggi.

2.3. Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran menjelaskan hubungan masing-masing variabel

penelitian berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu.

2.3.1. Hubungan antara Intermediasi Finansial dengan Modal Sosial Islam

Studi yang mengkaji hubungan antara Intermediasi Finansial dengan Modal

Sosial Islam masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan karena studi yang

menggunakan pendekatan intermediasi sangat sedikit dibanding pendekatan

produksi, selain juga karena perhatian para ahli LKM dominan lebih terfokus

78

78

kepada modal fisik (aset dan kelembagaan) dan modal manusia (human capital)

daripada modal sosial (social capital). Sehingga untuk mengungkap hubungan

diantara keduanya, maka penelusuran dilakukan terhadap studi yang melibatkan

modal sosial sebagai isu penelitian baik di LKM maupun di LKMS.

Studi kualitatif Kanak & Iiguni (2007) menemukan bahwa program-

program keuangan mikro dapat membentuk modal sosial dan efektifitasnya

sebagian besar tergantung pada strategi pembangunan modal sosial yang

direncanakan dengan baik dan pelaksanaan aktualnya di tingkat akar rumput. Hal

ini sejalan dengan studi kualitatif Sanyal (2015) terhadap 400 orang perempuan

dari 59 orang klien LKM di Bengal Barat, India yang menemukan bahwa

Interaksi yang sering di antara para peminjam perempuan dalam kelompok

keuangan mikro mengubah kualitas hubungan di antara perempuan dan

mendorong tindakan partisipasi dan tindakan bersama untuk mengatasi persoalan

bersama yang muncul seperti membantu perempuan yang mengalami kekerasan

dalam rumah tangga, kampanye anti minuman keras dan tindakan bersama untuk

mengadakan barang-barang kebutuhan rumah tangga.

Program kredit menumbuhkan empati, menanamkan kepercayaan dan kepedulian

diantara para peminjamnya, dimana sebelumnya perasaan ini tidak muncul meski

mereka tinggal dalam lokasi yang berdekatan (Sanyal, 2015).

Segala aktivitas Intermediasi Finansial yang dilakukan oleh LKMS berupa

tabungan, pembiayaan, layanan pembayaran, transfer keuangan dan asuransi

mikro kepada orang miskin akan membangun kedekatan hubungan (social ties)

sebagai akibat dari intensitas transaksi yang dilakukan. Pada fitur pembiayaan,

79

79

semakin mudah persyaratan, semakin kecil jumlah pinjaman yang diperkenankan

oleh LKMS serta semakin cepat pencairan dana pinjaman, maka akan semakin

memungkinkan bagi orang miskin untuk menjadi klien LKM dan pinjaman

tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan keuangannya. Demikian

pula dengan fitur asuransi mikro, akan sangat membantu klien dalam memitigasi

risiko pembiayaan mereka.

Semakin layak dan berkualitas Intermediasi Finansial yang dilakukan oleh

LKMS kepada orang miskin, maka akan semakin terbangun hubungan imbal balik

(reciprocity/ta’awun), kepercayaan (trust/amanah) dan koneksitas jaringan

(Networks/sliaturhim) yang merupakan proksi dari Modal Sosial Islam antara

LKMS dengan klien/anggotanya.

Berdasarkan penelitian konseptual, empiris dan argumentasi yang telah

diuraikan, maka dapat dibuat proposisi penelitian ini:

Proposisi 1: Semakin baik pelaksanaan Intermediasi Finansial maka

semakin kuat Modal Sosial Islam di LKMS

Proposisi ini disajikan secara skematis melalui diagram model konseptual

sebagaimana Gambar 2.7:

Sumber : Pengembangan Konsep Teoritis

Gambar 2.7 Hubungan Intermediasi Finansial dengan Modal Sosial Islam

Intermediasi

Finansial

Modal Sosial

Islam

80

80

2.3.2. Hubungan antara Intermediasi Sosial dengan Modal Sosial Islam

Salah satu perkembangan paling penting dalam menggali hubungan antara

Intermediasi Sosial dengan peningkatan akses layanan keuangan mikro terhadap

orang miskin adalah munculnya modal sosial sebagai komponen penting untuk

meningkatkan akses keuangan bagi orang miskin (Kamukama dan Natamba,

2013). Meskipun sepengetahuan penulis kajian teoritis maupun empiris mengenai

Intermediasi Sosial dikaitkan dengan Modal Sosial Islam dalam LKM/LKMS,

masih sangat sulit ditemukan.

Bennet (1997) menyatakan bahwa aktivitas Intermediasi Sosial akan menciptakan

modal sosial sebagai dukungan untuk kesinambungan Intermediasi Finansial bagi

orang miskin, kelompok atau individu yang tidak beruntung. Hal ini sejalan

dengan observasi yang dilakukan oleh Tang (1998) dan Collier (1998) dan juga

sejalan dengan penelitian empiris Kamukama dan Natamba, (2013a dan 2013b)

terhadap 78 LKM di Uganda yang membuktikan bahwa modal sosial merupakan

variabel mediator antara Intermediasi Sosial dengan akses ke LKM.

Dusuki (2008) mengamati bahwa Interaksi antara LKM dengan orang miskin

calon anggota/klien LKM melalui berbagai aktivitas Intermediasi Sosial

menciptakan sistem pendukung yang membangun kedekatan hubungan, ikatan

sosial dan kepercayaan masyarakat miskin terhadap LKM sebagaimana

dinyatakan oleh Morgan and Hunt (1994) bahwa kepercayaan akan muncul

manakala satu pihak merasa nyaman di dalam suatu hubungan yang dilandasi

kejujuran dan integritas dan ini menjadi dasar fundamental bagi hubungan bisnis

jangka panjang.

81

81

Woolcock (1998) mencatat bahwa Grameen bank berhasil membangun

kepercayaan klien dan reputasi sebagai bank yang peduli kepada orang miskin dan

kesejahteraan mereka melalui upaya-upaya yang konstan dan teratur dari waktu ke

waktu dengan terlebih dahulu menunjukkan kepedulian dan kepercayaan kepada

kliennya. Bahkan Yunus (1999) menyatakan bahwa kehidupan bankir muda

pedesaan lebih menuntut dan intens daripada seorang dokter ruang gawat darurat.

Bornstein (1996) melaporkan bahwa bangunan kepercayaan terjadi selama

bencana alam seperti banjir dan badai yang merupakan kejadian biasa di

Bangladesh. Staf Grameen Bank membantu menyelamatkan dengan datang

memakai kano untuk membawakan klien makanan dan air yang diperlukan,

sementara klien terdampar selama beberapa hari di atap rumah. Intermediasi

Sosial pada gilirannya akan meningkatkan partisipasi kelompok (proksi modal

sosial) dan meningkatkan akses ke LKM (Kalyango, 2009).

Berdasarkan kajian teoritis dan penelitian empiris yang telah diuraikan,

maka dapat dibuat proposisi penelitian ini :

Proposisi 2 : Semakin baik pelaksanaan Intermediasi Sosial maka semakin

kuat terbangun Modal Sosial Islam di LKMS.

Proposisi ini disajikan secara skematis melalui diagram model konseptual:

Sumber : Pengembangan Konsep Teoritis

Gambar 2.8 Hubungan Intermediasi Sosial dengan Modal Sosial

Intermediasi

Sosial

Modal Sosial

Islam

82

82

2.3.3. Hubungan antara Intermediasi Spiritual dengan Modal Sosial Islam

Sepengetahuan penulis, studi konseptual ataupun empiris yang mengkaji

hubungan Intermediasi Spiritual dengan Modal Sosial Islam masih sangat

terbatas. Oleh karena itu, untuk mengungkap hubungan ini, terlebih dahulu

ditelusuri dari konsepsi Islam baik dari Alqur‟an maupun Al-hadist untuk

kemudian ditelusuri secara empiris.

Dalam ajaran Islam, Intermediasi Spiritual merupakan langkah awal

membangun Modal Sosial Islam (Ukhuwah Islamiyah), dimana Ukhuwah

Islamiyah merupakan dasar lahirnya rasa persamaan atas dasar ideologi (aqidah)

untuk bergerak bersama mencapai tujuan syariah yaitu kesejahteraan dan

keberkahan dunia dan akhirat (maqasid syariah). Tahapan terbentuknya Modal

Sosial Islam menurut Al-Banna (2000) digambarkan sebagai berikut:

Sumber : Diadopsi dari Al-Banna (2000); Halim Mahmud (2000)

Gambar 2.9 Tahapan Ukhuwah Islamiyah

Tingkatan paling dasar dari Ukhuwah Islamiyah adalah ta’aruf, yaitu

saling mengenal sesama manusia sebagai wujud nyata ketaatan kepada perintah

Allah SWT sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Hujurat [49]; 13)

Ta’aruf

Saling Mengenal

Tafahum

Saling Memahami

Ta’awun

Saling Menolong

Takaful

Saling

Menanggung

Intermediasi

Spiritual

Ukhuwah Islamiyah

Modal Sosial Islam

83

83

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-

laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan

bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang

yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling

bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi

Maha Mengenal”.

Dalam konteks organisasi, ta’aruf ini adalah aktivitas saling mengenal

antara LKMS dengan stakeholder terutama klien/anggota yang menjadi basis

layanan LKMS. Perkenalan meliputi perkenalan secara fisik (jasadiyah) yaitu

mengenai kelembagaan, struktur organisasi dan sumber daya insani LKMS,

perkenalan pemikiran (fikriyah) yaitu mengenai filosofi, konsep dan aturan

(manhaj) LKMS serta perkenalan kejiwaan (nafsiyah) yaitu mengenai aspek

ruhiyah LKMS meliputi konsep ideologi (ibadah) dan muamalah.

Intermediasi Spiritual (ta’aruf) merupakan aktivitas untuk mengenalkan

LKMS kepada masyarakat umum. Setelah perkenalan, masyarakat yang mau

memahami akan berinteraksi/ dengan LKMS. Sebaliknya LKMS menyediakan

layanan finansial dan non finasial (bagi masyarakat) sebagai bentuk pemahaman

terhadap kebutuhan masyarakat. Pada tahap ini sudah tumbuh kondisi saling

memahami (tafahum). Kondisi saling memahami lebih lanjut akan menciptakan

upaya saling mempercayai (amanah) dan tolong menolong dalam ketakwaan

(ta’awun) sebagaimana firman Allah SWT dalam (QS Al-Maidah [5]; 2)

“...dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.

Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat

siksa-Nya”.

Sebagaimana ta’aruf, aktivitas ta’awun juga dibagi menjadi tiga tahapan

yaitu ta’awun hati diwujudkan dalam bentuk empati dan saling mendoakan,

84

84

ta’awun fikri diwujudkan dengan memberi saran dan sumbangan pemikiran;

ta’awun amali dalam bentuk bantuan dan pertolongan secara materi, dan lain

sebagainya.

Lebih lanjut, tolong menolong dalam ketakwaan menumbuhkan semangat

mementingkan orang lain lebih dari diri sendiri (saudara sesama muslim) (itsar)

dan ini merupakan tingkatan tertinggi dari ukhuwah Islamiyah. Pada level ini akan

tumbuh rasa saling menanggung (takaful) diantara sesama muslim (anggota

organisasi). Dalam rangka menggapai ridho Allah (mardhatillah) seorang muslim

bersedia berkorban mendahulukan kepentingan orang lain di atas dirinya sendiri

sebagaimana hadist Muhammad SAW :

“Tidak beriman seseorang diantaramu hingga kamu mencintainya seperti

kamu mencintai dirimu sendiri”. (HR. Bukhari-Muslim).

Suatu organisasi yang dapat membangun tahapan-tahapan ukhuwah

Islamiyah akan dapat mencapai kesatuan kesatuan gerak dalam barisan yang rapi,

kokoh dan terstruktur atas asar kesaman ideologi untuk mencapai tujuan yang

sama yaitu tujuan syariah (maqasid syariah) yaitu kesejahteraan dan keberkahan

dunia dan akhirat.

Secara empiris, Sanrego (2013) mengungkap bahwa norma atau ajaran

agama merupakan sumber penting dari menciptakan modal sosial. Demikian pula

Candland, (2000) dan Furbey et al., (2006), menemukan bahwa agama

merupakan sumber modal sosial bahkan modal sosial itu sendiri.

Waspodo (2008) mengungkap bahwa pendidikan syariah (proksi

intermediasi spiritual) dapat mengembangkan bonding social capital (modal

85

85

sosial mengikat) dan bridging social capital (modal sosial menjembatani) diantara

klien dengan LKM dan antar LKM dengan lembaga diluar LKM. Hal ini sejalan

dengan temuan empiris (Dariah, 2012) bahwa program pelatihan bagi anggota,

mendengar keluhan tentang layanan, serta sosialisasi ekonomi Islam dapat

menumbuhkan modal sosial antara anggota dengan LKMS.

Berdasarkan kajian konseptual dan teoritis maka dapat dibuat proposisi

penelitian ini:

Proposisi 3: Semakin baik pelaksanaan Intermediasi Spiritual semakin

kuat terbangun Modal Sosial Islam di LKMS

Proposisi ini disajikan secara skematis melalui diagram model konseptual

sebagaimana Gambar 2.10:

Sumber: Pengembangan Konsep Teoritis

Gambar 2.10 Hubungan Intermediasi Spiritual dengan Modal Sosial Islam

2.3.4. Hubungan Modal Sosial Islam dengan Keberlanjutan LKMS

Studi mengenai Modal Sosial Islam dikaitkan dengan kinerja atau

keberlanjutan LKMS masih sangat sulit ditemukan. Sejak awal kemunculannya,

para ahli keuangan mikro sudah menekankan pentingnya peranan modal sosial

untuk mencapai keberlanjutan LKM. Ledgerwood (1999) mengungkap bahwa

LKM yang berhasil membangun modal sosial dalam bentuk ikatan yang kuat

Intermediasi

Spiritual

Modal Sosial

Islam

86

86

dengan kliennya akan mampu mengambil keuntungan melalui biaya pemasaran

dan biaya operasional yang rendah, sehingga memungkinkan LKM menikmati

skala ekonomi dalam industri. Hal ini diperkuat oleh Van Bastelaer (2000) bahwa

modal sosial berupa hubungan dekat antara peminjam dengan staf LKM menjadi

salah satu penentu utama dari keberhasilan program pemberian kredit di banyak

negara sedang berkembang.

Modal sosial, baik sebagai variabel independen (Akram dan Routray,

2013) maupun sebagai variabel intervening (Kamukama dan Natamba, 2013b)

juga terbukti berpengaruh terhadap tingkat akses masyarakat ke LKM. Modal

sosial juga terbukti dapat menghapus hambatan/kendala bagi orang miskin

(asymetric information, adverse selection, moral hazard dan kurangnya kolateral)

untuk berhubungan dengan LKM sehingga kemudian dapat meningkatkan kinerja

LKM.

Studi Dusuki (2008) membuktikan bahwa modal sosial yang terbangun

dari pinjaman berbasis kelompok terbukti merupakan alat yang efektif sebagai

pengganti aset dalam hal tidak adanya kolateral sehingga mampu mengurangi

biaya transaksi dan menurunkan eksposur terhadap berbagai risiko keuangan

sehubungan dengan pemberian kredit kepada masyarakat miskin pedesaan.

Demikian pula hasil sejumlah penelitian (Dowla, 2006; Rathore, 2015)

mengungkap bahwa modal sosial dalam bentuk group lending model dan Joint

liability (GLM) di Grameen Bank Bangladesh melalui mekanisme seleksi rekan

(peer selection), pemantauan rekan (peer monitoring) dan tekanan teman sebaya

(peer pressure) berfungsi sebagai social collateral dan menjadi pengganti jaminan

87

87

fisik/aset yang tidak dimiliki oleh orang miskin. Mekanisme ini terbukti berhasil

mengatasi kegagalan informasional dan kegagalan pembayaran kredit oleh klien

miskin.

Lebih lanjut, penelitian Feigenberg, Field, dan Pande (2009) di Kalkuta

India menunjukkan bahwa intensitas pertemuan kelompok menjadi mekanisme

yang efektif untuk memantau tindakan satu sama lain (reciprocal). Demikian

pula dengan penelitian empiris Postelnicu dan Hermes (2016) yang menemukan

bahwa keuangan mikro lebih berhasil dalam pencapaian tujuan keuangan dan

tujuan sosial dalam masyarakat yang kondusif dalam mengembangkan modal

sosial.

Penelitian Mirakhor dan Hamid (2009) juga menemukan bahwa modal

sosial menjadi sarana untuk mitigasi risiko. Bahwa kontrak menjadi sulit untuk

dilakukan dalam hal tidak adanya kepercayaan. Kepercayaan bisa memitigasi

biaya monitoring dan biaya akibat munculnya sengketa dan selanjutnya

mempromosikan lancarnya aliran informasi. Modal sosial mengurangi biaya

ketidakpastian dan biaya transkasi (uncertainty and transaction costs) dengan

memfasilitasi kerja sama dan tindakan bersama (cooperation and collective Action

untuk mencapai tujuan bersama.

Studi Wibisana terhadap BPR (1998) menunjukkan Modal Sosial Islam

dalam bentuk penyediaan pinjaman kebajikan (qardhul hasan) berpengaruh

terhadap kinerja keuangan LKM di Indonesia. Demikian pula, Studi kasus Dariah

(2012) di Sumedang Jawa Barat membuktikan bahwa Modal Sosial Islam dalam

bentuk qard hasan dan penyaluran ZIS (proksi dari dimensi ta’awun) bersamaan

88

88

dengan rescheduling dan restructurisasi hutang klien dapat mengatasi masalah

keuangan BMT. Lebih lanjut, studi Khaleequzzaman (2007) mengungkap bahwa

modal sosial yang didasarkan pada nilai-nilai Islam dan dibangun di atas perintah

syariah menjamin keberlanjutan program keuangan mikro melalui komitmen staf

LKM untuk melayani klien mereka.

Berdasarkan kajian teoritas dan empiris yang telah dijelaskan, maka dapat

dibuat proposisi penelitian ini:

Proposisi 4: Semakin kuat terbangun Modal Sosial Islam, semakin tercapai

Keberlanjutan LKMS

Proposisi ini disajikan secara skematis melalui diagram model konseptual:

Gambar 2.11 Hubungan Modal Sosial dengan Keberlanjutan LKMS

2.3.5. Hubungan Antara Intermediasi Finansial/Sosial dengan

Keberlanjutan LKMS

Hubungan aktivitas Intermediasi dengan Keberlanjutan LKMS dapat

diungkap dari teori mission drift dan trade-off LKM, bahwa keberlanjutan LKMS

sangat ditentukan oleh pelaksanaan dual mission LKMS (CGAP, 1997).

Sejumlah penelitian menemukan hubungan positif antara dual mission LKM

dengan keberlanjutan, dimana LKM dapat tetap setia dan fokus pada misi awal

Modal Sosial

Islam

Keberlanjutan

LKMS

89

89

pengentasan kemiskinan untuk mencapai keberlanjutan (Adhikary &

Papachristou, 2014; Louis, Seret, dan Baesens, 2013; Mersland dan Strøm, 2010).

CGAP (1997) menentukan bahwa Keberlanjutan LKM dapat dicapai

manakala LKMS mampu melaksanakan fungsi intermediasinya secara utuh (non-

mission drift).

Berdasarkan kajian teoritis maka dapat dibuat proposisi penelitian ini:

Proposisi 5: Semakin baik Intermediasi Finansial semakin tercapai Keberlanjutan

LKMS

Proposisi 6: Semakin baik Intermediasi Sosial semakin tercapai Keberlanjutan

LKMS

Proposisi ini disajikan secara skematis melalui diagram model konseptual

sebagaimana Gambar 2.12 dan gambar 2.13

Gambar 2.12 Hubungan Intermediasi Finansial dengan Keberlanjutan LKMS

Gambar 2.13 Hubungan Intermediasi Sosial dengan Keberlanjutan LKMS

Intermediasi

Finansial

Keberlanjutan

LKMS

Intermediasi

Sosial

Keberlanjutan

LKMS

90

90

2.3.6. Hubungan Intermediasi Spiritual dengan Keberlanjutan LKMS

Studi yang mengungkap hubungan antara Intermediasi Spiritual dengan

keberlanjutan LKMS masih sangat terbatas. Namun demikian, hubungan ini dapat

ditelusuri melalui sejumlah studi yang mengkaji baik spiritual, keimanan (faith)

ataupun agama (religion) di LKMS.

Khan dan Phillips (2012) menemukan bahwa keimanan memotivasi

peminjam untuk membayar pinjaman sehingga mendorong tingkat pembayaran

(repayment rate) klien. Allen (2006) menemukan bahwa LKM berbasis

keyakinan, bila dibandingkan dengan LKM konvensional, memberikan layanan

keuangan yang lebih baik kepada orang miskin (poorest). Demikian pula

Mersland, D‟Espallier & Supphellen (2013) menemukan bahwa LKM kristen

memberikan biaya pinjaman yang lebih murah (funding cost) sehinggga

mendorong tingkat pengembalian pinjaman yang sama efektifnya dengan LKM

konvensional.

Studi lain yang membuktikan adanya hubungan positif antara perlakuan

spiritual dengan kinerja LKM yang merupakan proksi dari keberlanjutan

LKM/LKMS adalah studi empiris Mardhatilah dan Rulindo (2008) terhadap

pengusaha Muslim di Malaysia yang menemukan efek positif pelatihan spiritual

(ESQ training) terhadap kinerja bisnis peserta training.

Studi empiris lain yang mengeksplorasi peran spiritualitas di

LKMS/LKMS adalah studi eksperimen yang dilakukan oleh Masyita et. al

(2014) terhadap 162 orang klien dari 13 LKM/LKMS di Indonesia. Hasil studi ini

membuktikan bahwa spiritual treatment bersama dengan managerial dan

91

91

technology treatments memberikan hasil yang signifikan terhadap perubahan

perilaku dan kinerja bisnis klien.

Berdasarkan kajian teoritis maka dapat dibuat proposisi penelitian ini:

Proposisi 7 : Semakin baik Intermediasi Spiritual semakin tercapai Keberlanjutan

Gambar 2.14 Hubungan Intermediasi Spiritual dengan Keberlanjutan LKMS

Berdasarkan proposisi-proposisi yang telah dibuat, maka dapat dibangun

paradigma penelitian ini sebagai berikut:

Gambar 2.15 Paradigma Penelitian

2.4. Hipotesis

Berdasarkan paradigma penelitian, maka diajukan beberapa hipotesis

penelitian sebagai dasar mengembangkan model empiris penelitian ini:

Intermediasi

Spiritual

Keberlanjutan

LKMS

2

5

6

7

1

3

4 Intermediasi

Spiritual

Intermediasi

Sosial

Modal Sosial

Islam

Keberlanjutan

LKMS

Intermediasi

Finansial

92

92

1. Intermediasi Finansial berpengaruh positif terhadap Modal Sosial Islam.

2. Intermediasi Sosial berpengaruh positif terhadap Modal Sosial Islam.

3. Intermediasi Spiritual berpengaruh positif terhadap Modal Sosial Islam.

4. Modal Sosial Islam berpengaruh positif terhadap Keberlanjutan LKMS.

5. Intermediasi Finansial berpengaruh positif terhadap Keberlanjutan LKMS

baik secara langsung maupun dimediasi oleh Modal Sosial Islam

6. Intermediasi Sosial berpengaruh positif terhadap Keberlanjutan LKMS baik

secara langsung maupun dimediasi oleh Modal Sosial Islam

7. Intermediasi Spiritual berpengaruh positif terhadap Keberlanjutan LKMS

baik secara langsung maupun dimediasi oleh Modal Sosial Islam

Agar konsistensi antara variabel penelitian, rumusan masalah, tujuan

penelitian dan hipotesis penelitian terbangun, maka keterkaitan antar item

tersebut dirangkum sebagaimana disajikan pada Tabel 2.1

93

93

Tabel 2.19 Keterkaitan antara Variabel Penelitian, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian dan Hipotesis penelitian

Isu

Penelitian

Rumusan Masalah Tujuan Penelitian

Proposisi -Proposisi Hipotesis Penelitian

Modal Sosial

Islam

Apakah terdapat pengaruh

Intermediasi Finansial,

Intermediasi Sosial,

Intermediasi Spiritual

terhadap Modal Sosial

Islam LKMS di Kota

Bandung?

Menganalisis dan memperoleh

bukti empiris pengaruh Intermediasi

Finansial, Intermediasi Sosial,

Intermediasi Spiritual terhadap

Modal Sosial Islam LKMS di Kota

Bandung?

1 Semakin baik pelaksanaan Intermediasi

Finansial di LKMS maka semakin kuat

terbangun Modal Sosial Islam

H1 Intermediasi Finansial

berpengaruh positif terhadap

Modal Sosial Islam

2 Semakin baik pelaksanaan Intermediasi

Sosial di LKMS maka semakin kuat

terbangun Modal Sosial Islam

H2 Intermediasi Sosial berpengaruh

positif terhadap Modal Sosial

Islam

3 Semakin baik pelaksanaan Intermediasi

Spiritual di LKMS maka semakin kuat

terbangun Modal Sosial Islam

H3 Intermediasi Spiritual

berpengaruh positif terhadap

Modal Sosial Islam

Keberlanjutan

LKMS

Apakah terdapat pengaruh

Modal Sosial Islam

terhadap Keberlanjutan

LKMS

Menguji pengaruh Modal Sosial

Islam terhadap Keberlanjutan

LKMS di Kota Bandung?

4 Semakin kuat terbangun Modal Sosial

Islam, maka akan semakin tercapai

keberlanjutan LKMS

H4 Modal Sosial Islam

berpengaruh positif terhadap

Keberlanjutan LKMS

Keberlanjutan

LKMS

Apakah terdapat pengaruh

Intermediasi Finansial,

sosial dan spiritual

terhadap Keberlanjutan

LKMS dalam melayani

orang miskin di Kota

Bandung?

Menganalisis dan memperoleh

bukti empiris pengaruh Intermediasi

Finansial, sosial dan spiritual

terhadap Keberlanjutan LKMS

dalam melayani orang miskin di

Kota Bandung?

5 Semakin terlaksana Intermediasi

Finansial akan semakin tercapai

keberlanjutan LKMS

H5a Intermediasi Finansial

berpengaruh positif terhadap

Keberlanjutan LKMS

6 Semakin terlaksana Intermediasi Spiritual

akan semakin tercapai keberlanjutan

LKMS

H6a Intermediasi Spiritual

berpengaruh positif terhadap

Keberlanjutan LKMS

7 Semakin terlaksana Intermediasi Sosial

akan semakin tercapai keberlanjutan

LKMS

H7a Intermediasi Sosial

berpengaruh positif terhadap

Keberlanjutan LKMS

Modal sosial

Islam

Apakah Modal Sosial

Islam memediasi

pengaruh antara

Intermediasi Finansial,

Sosial dan Spiritual

terhadap Keberlanjutan

LKMS di Kota Bandung?

Menganalisis dan memperoleh

bukti empiris mediasi

Modal Sosial Islam terhadap

pengaruh antara Intermediasi

Finansial, Intermediasi Sosial dan

Intermediasi Spiritual

LKMS di Kota Bandung?

H5b Modal Sosial Islam memediasi

pengaruh antara :

1. Intermediasi finansial ke

keberlanjutan LKMS

2. Intermediasi Sosial ke

Keberlanjutan LKMS

3. Intermediasi Spiritual ke

Keberlanjutan LKMS

H6b

H7b