bab ii kajian pustaka, kerangka pemikiran dan...

64
18 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS KERJA 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penelitian Terdahulu Penelitian ini akan melihat beberapa hasil penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan topik kajian menyangkut perencanaan, pengembangan, dan kebijakan pariwisata, yang penulis pilih untuk menambah pemahaman dan perbandingan serta referensi. Pembahasan yang berkaitan dengan topik kepariwisataan yang dihubungkan dengan administrasi publik dan dipelajari penulis untuk penelitian ini adalah : Acep Hidayat, (2003) disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran berjudul: Implementasi Kebijakan Pariwisata Dalam Perspektif General Agreement on Trade in Services (GATS) Suatu Studi di Kota Bandung. Penelitian ini melihat bahwa pembangunan pariwisata di masa lalu terlalu berpihak kepada sebagian kecil stakeholder pariwisata, konglomerasi, dan pemodal besar. Sejalan dengan era reformasi dan otonomi daerah, stakeholder pariwisata khususnya masyarakat sekitar objek dan daya tarik wisata pariwisata belum merasakan dampak pembangunan pariwisata saat ini berpihak pada mereka. Dengan demikian masalah penelitian ini adalah bahwa sebagian besar aspirasi stakeholder pariwisata belum terwujud sedangkan penerapan perdagangan dan sudah dimulai secara bertahap, yang berarti bahwa persaingan bisnis pariwisata dengan nomenklatur Tourism and Travel Related Services menjadi

Upload: hadang

Post on 02-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

18

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS KERJA

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian ini akan melihat beberapa hasil penelitian terdahulu yang

dianggap relevan dengan topik kajian menyangkut perencanaan, pengembangan,

dan kebijakan pariwisata, yang penulis pilih untuk menambah pemahaman dan

perbandingan serta referensi. Pembahasan yang berkaitan dengan topik

kepariwisataan yang dihubungkan dengan administrasi publik dan dipelajari

penulis untuk penelitian ini adalah :

Acep Hidayat, (2003) disertasi Program Pascasarjana Universitas

Padjadjaran berjudul: Implementasi Kebijakan Pariwisata Dalam Perspektif

General Agreement on Trade in Services (GATS) Suatu Studi di Kota Bandung.

Penelitian ini melihat bahwa pembangunan pariwisata di masa lalu terlalu

berpihak kepada sebagian kecil stakeholder pariwisata, konglomerasi, dan

pemodal besar. Sejalan dengan era reformasi dan otonomi daerah, stakeholder

pariwisata khususnya masyarakat sekitar objek dan daya tarik wisata pariwisata

belum merasakan dampak pembangunan pariwisata saat ini berpihak pada

mereka. Dengan demikian masalah penelitian ini adalah bahwa sebagian besar

aspirasi stakeholder pariwisata belum terwujud sedangkan penerapan perdagangan

dan sudah dimulai secara bertahap, yang berarti bahwa persaingan bisnis

pariwisata dengan nomenklatur Tourism and Travel Related Services menjadi

19

lebih berat.

Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

Data diperoleh dari informan, yang dimulai dengan informan awal, dan data yang

tidak bisa diberikan oleh informan awal terus dikejar melalui informan kedua dan

bergulir seterusnya sampai data yang diperlukan mencukupi. Perolehan data

dilakukan melalui wawancara informal dan tidak terstruktur dengan

menggunakan pedoman wawancara sebagai pegangan. Untuk data yang

memerlukan cross check, dilakukan triangulasi sumber data dari perajin sepatu

Cibaduyut, pengusaha restoran , dan pejabat pariwisata di tingkat provinsi.

Penelitian ini menyoroti sebagian stakeholders dari kalangan pengusaha,

asosiasi profesi pariwisata, dan masyarakat sekitar objek dan daya tarik wisata,

yang merupakan pihak yang diperintah sebagai konsumer “implementasi

kebijakan pariwisata”. Outcome dari hal itu akan bergantung pada keberdayaan

konsumer merupakan hal baru yang memperkaya teori kebijakan publik

khususnya dan kaibernologi pada umumnya.

Hasil penelitian menunjukan bahwa, implementasi kebijakan pariwisata

belum mampu mewujudkan aspirasi stakeholders pariwisata karena sebagian

yang terkena dampak (pihak yang diperintah) tidak dilibatkan dalam pembuatan

berbagai program bersama, pembuatan peraturan daerah, dan belum berjalannya

pembinaan serta tidak jelasnya program pengembangan pariwisata. Pemahaman

tentang GATS, khususnya Tourism and Travel Related Services (TTRS) masih

lemah dan belum sama di kalangan stakeholder pariwisata. Hal itu bisa menjadi

salah satu penghambat dalam mencapai tujuan pembangunan pariwisata.

20

Apabila dikaitkan dengan penelitian yang akan dilakukan maka penelitian

ini sama-sama melihat kebijakan di bidang kepariwisataan dan implementasinya

di daerah. Perbedaannya terletak pada penggunaan pendekatan teori dimana Acep

Hidayat menggunakan teori Edward III, sedangkan peneliti akan melihatnya

dengan pendekatan teori dari bagaimana koordinasi antar sektor melalui

organisasi atau instansi pemerintah di tingkat provinsi. Perbedaan lainnya adalah

kajian kebijakan yang dilakukan adalah hanya pada aspek GAT saja, sementara

peneliti akan melihatnya dari konsep kebijakan pembangunan pariwisatanya.

Hermana (2006) melakukan penelitian dengan judul: “Pengaruh

Perencanaan stratejik kepariwisataan sebagai salah satu determinan manajemen

publik terhadap pengembangan kepariwisataan Provinsi Banten”. Disertasi

Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran ini mengkaji mengenai

penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan Indonesia yang dituntut untuk

mampu mengadaptasi diri terhadap perkembangan lingkungan, baik pada skala

nasional, regional, dan internasional yang menyangkut bidang politik, ekonomi,

dan sosial budaya, hankam maupun iptek. Untuk itu keberhasilan pembangunan

kepariwisataan Indonesia ditentukan tiga hal, yaitu: keberhasilan dalam

pemasaran, keberhasilan dalam pengembangan produk, serta keberhasilan dalam

menciptakan sumber daya manusia pariwisata yang berkualitas.

Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan kuantitatif

di provinsi Banten dengan obyek penelitian yaitu aparatur Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata melalui analisis jalur. Hasil penelitian terdapat nilai epsilon 31,7546%

hal ini menunjukkan masih banyak faktor lain di luar perencanaan stratejik yang

21

berpengaruh terhadap pengembangan kepariwisataan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perencanaan stratejik kepariwisataan

memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pengembangan kepariwisataan di

Provinsi Banten, meskipun masih belum optimal. Demikian pula faktor harapan

utama kepentingan pihak dalam dan harapan utama kepentingan pihak luar

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pengembangan kepaiwisataan.

Sedangkan faktor pangkalan data dan koordinasi memberikan pengaruh yang

tidak signifikan terhadap pengembangan kepariwisataan, hal ini diartikan sebagai

tantangan bagi pengambil kebijakan guna perbaikan dikemudian hari. Selanjutnya

sebagai temuan baru tentunya harus disadari karena menyangkut berbagai hal,

seperti: sumber daya manusia yang menguasai bidang kepariwisataan masih

sangat jarang sehingga daya dukungnya menjadi lemah, aspek lain yaitu

penggunaan teknologi yang masih kurang hal ini harus menjadi bahan

pertimbangan pengambil kebijakan, meskipun memerlukan biaya yang sangat

mahal, dan mungkin juga karena lingkungan kerja masih baru, karena Provinsi

Banten sebagai provinsi yang masih muda di Indonesia. Perencanaan stratejik

dalam pengembangan kepariwisataan dicapai dengan mengindentifikasi dan

merumuskan berbagai kepentingan untuk mengembangkan kepariwisataan.

Jika Hermana menggali bagaimana sisi perencanaan dalam mencoba

menghasilkan sebuah kebijakan pariwisata yang lebih baik, maka peneliti juga

akan mencoba melihat tidak saja dari sisi perencanaan saja namun juga bagaimana

perencanaan yang ada dilaksanakan dalam bentuk interaksi yang terjadi antar

sektor dalam mendukung pembangunan pariwisata.

22

Iyus Wiyadi (2006) Disertasi pascasarjana Universitas Padjadjaran

berjudul : Strategi Public Relations Dalam Membentuk Persepsi, Sikap dan

Preferensi Wisatawan Mancanegara Serta Pengaruhnya Terhadap Pemosisian

Industri Pariwisata Nasional. Penelitian bertujuan mengetahui (1) pengaruh

strategi public relations industri pariwisata nasional untuk masing-masing

terhadap persepsi, sikap dan preferensi wisatawan mancanegara terhadap produk

pariwisata di indonesia; (2) pengaruh persepsi, sikap dan preferensi terhadap

pemosisian industri pariwisata nasional; (3) prospek industri pariwisata nasional.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan cross

sectional, dengan menggunakan metode analisis structural equation model

(SEM). Adapun ynag menjadi unit analisis adalah wisatawan yang berasal dari 11

negara tourist genarating countries yang berkunjung ke -5 wilayah tujuan wisata

utama di Indonesia yaitu : Sumatera Utara, Sumatera Barat, DI Yogyakarta, Bali

dan Sulawesi Selatan. Sedangkan unit observasi dilakukan terhadap wisatawan

mancanegara dengan sampel 210 wisatawan (Amerika Serikat, Jerman, Inggris,

Belanda, Perancis, Jepang, Rep. Korea, Australia, Malaysia, Singapura dan

Taiwan).

Hasil penelitian menunjukan: (1) pengaruh strategi public relations untuk

masing-masing variabelnya terhadap, persepsi, sikap dan preferensi atas produk

wisata nasional adalah signifikan.; (2) secara parsial pengaruh persepsi, sikap dan

preferensi atas produk wisataterhadap pemosisian industri pariwisata nasional

adalah sebesar 50,39%, 10,50%, dan 9,34%. Sedangkan secara simultan pengaruh

persepsi, sikap dan preferensi atas produk pariwisata nasional sebesar 70,17% dan

23

29,83% dipengaruhi oleh faktor lain; (3) prospek industri pariwisata nasional

menghadapi peluang yang cukup besar, yaitu dengan adanya kecenderungan

peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mulai tahun 2006 sampai dengan 2009.

Kecenderungan ini akan semakin meningkat jika disertai dengan penerapan

upaya-upaya komunikasi, khususnya strategi public relations yang dirumuskan

secara sistimatis dan terpadu. Dengan demikian diharapkan dapat memulihkan

impresi atau citra wisatawan mancanegara terhadap industri pariwisata nasional

sebagai penyedia produk atau objek wisata yang berbasis atraksi atau daya tarik

alam, warisan budaya leluhur atau nenek moyang , event, serta atraksi komersial.

Dikaitkan dengan penelitian yang akan dilakukan maka, apa yang telah

diteliti oleh Iyus Wiryadi lebih melihat hanya pada aspek pemasaran pariwisata

yang merupakan salah satu dimensi dari pembangunan pariwisata yang akan

menjadi kajian peneliti.

2.1.2. Konsep Kerjasama dan Koordinasi

Secara teoritik istilah kerjasama telah cukup lama dikenal dan

dikonsepsikan sebagai suatu sumber dari efisiensi dan kualitas pelayanan.

Menurut Warsono (2009:113) “ Sifat kerjasama seringkali ditafsirkan sebagai

bersifat sukarela, tetapi bukan semaunya, karena kerjasama memiliki tujuan dan

target tertentu yang harus dicapai oleh para pihak yang bekerjasama”.

Kerjasama juga telah dikenal sebagai cara yang tepat untuk mengambil

manfaat dari ekonomi skala (econonic scales). Dalam literatur disebutkan bahwa

kerjasama memiliki derajat yang berbeda. Mulai dari koordinasi dan kooperasi,

sampai kepada derajat yang paling tinggi yaitu collaboration atau kolaborasi

24

(Warsono, 2009: 113, dan Shergold, 2008:20). Karena itu menurut Keban

(2007:26)

Para ahli pada dasarnya menyetujui bahwa perbedaan di antara istilah

kerjasama tadi terletak pada kedalaman interaksi, integrasi, komitmen dan

kompleksitas. Secara umum dalam bahasa Indonesia ketiga jenis hal tadi

masih sering dipergunakan secara bergantian, dan belum memperlihatkan

kedalamannya, dimana cooperation terletak pada tingkatan terendah dan

collaboration pada tingkatan yang paling tinggi. Dan secara umum di

Indonesia masih dikenal istilah kerjasama dari pada kolaborasi .

Kerjasama dibutuhkan karena adanya keterbatasan masing-masing

organisasi atau instansi yang secara formal memang sudah diatur sesuai dengan

ketentuan yang ada sebagai bagian dari pelaksanaan tugas pokok dan fungsi yang

melekat pada suatu organisasi. Akan tetapi beberapa persoalan yang berkembang

dalam suatu wilayah atau daerah terkadang memerlukan kerjasama antar

organisasi karena adanya lintas kepentingan apakah dalam bentuk lokasi suatu

kawasan atau masyarakat yang menjadi lokus dan fokus dari organisasi

pemerintah.

2.1.2.1. Pengertian Kerjasama

Pada hakikatnya kerjasama dapat dimaknai sebagai adanya dua pihak atau

lebih yang berinteraksi secara dinamis untuk mencapai suatu tujuan bersama.

Dalam pengertian ini maka terkandung tiga unsur pokok yang melekat pada suatu

kerangka kerjasama, yaitu unsur dua pihak atau lebih, unsur interaksi, dan unsur

tujuan bersama. apabila satu dari ketiga unsur dimaksud tidak termuat dalam

objek yang dikaji maka dapat dianggap bahwa objek tersebut tidak terdapat

kerjasama (Ramses dan Bowo, 2007).

25

Selanjutnya oleh Ramses dan Bowo (2007) dijelaskan pula bahwa unsur

dua pihak atau lebih, selalu menggambarkan dua himpunan dari kepentingan-

kepentingan yang satu sama lain saling mempengaruhi, sehingga interaksi untuk

mewujudkan tujuan bersama penting untuk dilakukan. Jika hubungan atau

interaksi itu tidak ditujukan pada terpenuhinya kepentingan masing-masing

pihak, maka hubungan itu bukanlah hubungan kerjasama. Suatu interaksi

meskipun bersifat dinamis tidak selalu berarti kerjasama. Suatu interaksi yang

ditujukan untuk memenuhi kepentingan salah satu pihak, dan pada saat yang

bersamaan merugikan pihak-pihak lain, juga bukan suatu kerjasama. Kerjasama

selalu menempatkan posisi yang seimbang, serasi, dan selaras.

Rendal dan Yablonsky (2006 dalam Warsono, 2008:112-115) juga

mengemukakan bahwa kerjasama hanya dapat berhasil apabila:

1. Dimulai dengan membangun suatu dasar yang kuat untuk bekerjasama.

Hal ini dapat diwujudkan dengan:

(1) bersikap inclusif. Kerjasama biasanya diinisiasi oleh beberapa orang

kunci atau kelompok. Namun adalah sangat penting melibatkan semua

pihak yang berkepentingan (stakeholders) atau pemangku kepentingan.

Keterlibatan ini akan mendorong semangat untuk berkomitmen

mensukseskan kerjasama tersebut karena pihak yang terlibat merasa turut

mengikuti rencana kerja tersebut. Sebaliknya sikap eksklusif yaitu hanya

melibatkan orang atau kelompok tertentu saja akan mendatangkan

resistensi karena ada rasa saling curiga dan tidak saling percaya. Kata

pendeknya, program kerjasama akan menjadi baik dan sukses apabila

diikutsertakan atau dilibatkan sejak awal. (2) libatkan elite yang

dipilih rakyat (elected officals). Perlu diperhatikan untuk melibatkan wakil

rakyat atau pejabat yang dipilih rakyat sejak awal karena posisi mereka

sangat menentukan. Mereka dapat mempengaruhi keputusan khususnya

keputusan tentang pembiayaan atau anggaran kerja sama. Program kerja

sama dapat dibatalkan oleh mereka, bila mereka tidak dilibatkan sejak

awal. (3) libatkan pegawai pelaksana. Pegawai yang diberi wewenang dan

tanggung jawab untuk menanganinya harus dilibatkan sejak awal karena

merekalah yang akan menangani dan menjaga kelangsungan kerjsama itu.

Sikap, kepentingan dan bahkan persepsi mereka tentang kerjasama harus

diperhatikan dan dijaga dukungannya.

26

2. Senantiasa menjaga semangat kerjasama (maintain a cooperative spirit).

Hal ini dapat diwujudkan dengan sikap yang selalu provokativ, fleksibel,

dan sabar, serta selalu berfikir dalam konteks regional yang luas dan tidak

sempit pada daerahnya sendiri. Semangat kerjasama ini harus diturunkan

dari generasi kegenerasi agar kepentingan bersama tingkat regional tetap

dibela dan terrpelihara.

3. Bekerja dengan hati-hati (prosceed with care) karena melibatkan berbagai

pihak dari daerah lain dalam suatu kerjasama maka setiap langkah

kegiatan yang diambil harus dengan hati-hati seperti melakukan studi atau

penelitian lapangan, memilih program yang realistis, memberi perintah

sampai secara rinci, menjaga hubungan yang tidak sehat seperti memupuk

hubungan tidak formal secara berlebihan sehingga membuat kerjasama

menjadi tidak terkontrol dan tidak efektif.

4. Alokasikan biaya secara adil (allocated costs fairly) kerjasama itu sendiri

memang bebas biaya, tetapi program kerjasama membawa implikasi biaya,

bahkan tidak sedikit. Tetapi karna dipikul bersama, maka mestinya biaya

yang dikeluarkan jauh lebih murah ketimbang ditanggung sendiri-sendiri

oleh masing-masing daerah. Kalau hal ini tidak terjadi, rasa keadilan mulai

terusik, dan resistansi terhadap kerjsama akan muncul. Prinsip win-win

solution harus dipegang dipegang teguh untuk menyelenggarakan

kerjasama ini. Masing-masing daerah harus mengambil manfaat dengan

mengorbankan daerah yang lain. Tentu resiko harus ditanggung bersama

apabila terjadi kegagalan.

5. Tangani persoalan yang dihadapi secara serius. Memang program

kerjasama bersifat sukarela tetapi tidak berarti tidak perlu serius

menangani program tersebut. Banyak pembelajaran yang dapat dipetik

dari program tersebut. Karena itu harus dirumuskan bidang-bidang

tanggung jawab setiap pihak secara jelas agar masing-masing tidak merasa

terusik tanggung jawabnya dan secara serius menangani persoalan yang

dihadapi dalam program kerjasama.

Dengan demikian kerjasama bukanlah sesuatu yang mudah atau datang

begitu saja dan dapat bekerja secara otomatis dengan sendirinya. Kerjasama

merupakan upaya yang dilakukan oleh beberapa aktor untuk melakukan

penyesuaian dan perubahan, agar bisa memperoleh hasil yang optimal. Apa yang

penting dalam kerjasama adalah perlunya tindakan bersama yang dilakukan secara

sadar untuk mencapai tujuan yang sama.

Pratikno (2007:94) menyatakan terdapat beberapa hal yang perlu

27

diperhatikan dalam melakukan kerjasama agar dapat dilakukan secara efektif.

Guna menjamin berlangsungnya suatu kerjasama maka:

1. Harus ada hasil yang lebih besar yang hanya bisa diperoleh melalui

kerjasama.

2. Masing-masing pihak harus belajar memiliki visi dan tujuan yang

sama.

3. harus ada pihak yang rela menjadi inisiator kerjasama.

4. Harus tersedia jaringan yang menghubungkan pihak-pihak yang

memiliki sumber daya.

5. Harus terdapat pengaturan yang fair mengenai kontribusi masing-

masing pihak.

Kerjasama hanya akan berhasil apabila hasil yang diharapkan oleh para

pihak atau yang disebut oleh Pratikno (2007:92) sebagai expected gain dari

kerjasama. Harapan yang akan diperoleh tersebut selayaknya lebih berharga dari

pada hasil yang diperoleh jika para pihak bekerja secara sendirian. Namun yang

harus diperhatikan adalah expected gains merupakan sesuatu yang relatif.

Expected gains tersebut akan sangat tergantung pada paradigma berfikir yang

dianut atau visi yang dimiliki oleh para pihak yang melakukan kerjasama. Oleh

karena itu jika pihak-pihak yang bekerjasama telah memiliki visi yang sama

tentang kerjasama, maka gains yang mereka harapkan akan diperoleh juga akan

sama, atau paling tidak selaras. Dengan demikian secara rasional pun akan mudah

untuk mengajak bekerjasama. Di sini kepentingan masing-masing pihak perlu

mendapatkan perhatian lebih karena kepentingan inilah yang akan menjadi dasar

yang menuntun kerjasama dilakukan dengan tanpa adanya tekanan.

Kerjasama juga akan lebih mudah dilakukan jika para pelaku kerjasama

memiliki pemahaman dan visi yang sama tentang tujuan mereka dalam jangka

panjang. Pemahaman mengenai tujuan jangka panjang ini menjadi bagian yang

28

cukup penting karena tidak jarang pihak-pihak yang bekerjasama kemudian lebih

terpikat dalam kepentingan-kepentingan sesaat atau kepentingan-kepentingan

jangka pendek yang kemudian mengganggu jalannya kerjasama dalam jangka

panjang. Dengan demikian menurut Pratikno (2007:92):

perlu pula dilakukan semacam pemetaan mengenai apa yang akan dicapai

dalam jangka panjang, siapa saja yang terlibat dan manfaat apa yang

diperoleh para pihak, serta bagaimana pelaksanaan kerjasama yang akan

dilakukan. Melalui kesepakatan akan apa yang menjadi hak dan kewajiban

para pihak maka akan dapat digambarkan manfaat yang diperoleh serta

kontribusi apa yang mesti disumbangkan oleh masing-masing pihak yang

bekerjasama.

Dalam kerjasama juga seringkali dibutuhkan adanya satu pihak yang

mengajukan inisiatif untuk bekerjasama. Apabila usulan kerjasama dimaksud

ditanggapi oleh para pihak yang dianggap terkait kepentingannya dalam

kerjasama maka barulah terjadi suatu proses negosiasi dalam mewujudkan

kerjasama. Keberadaan inisiator kerjasama ini menurut Pratikno (2007:93) cukup

penting karena tidak jarang keberhasilan atau kegagalan dari suatu kerjasama

ditentukan oleh keberhasilan atau performa inisiator.

Hal lainnya yang diperlukan dalam menjamin keberhasilan kerjasama

ialah adanya jaringan yang menghubungkan para pihak yang menjalin kerjasama.

Karena masing-masing pihak memiliki kemampuan dan sumberdaya yang tidak

selalu sama maka diperlukan sebuah jaringan yang mampu merangkai berbagai

kepentingan yang ada di dalamnya untuk menjadikannya sebagai modal dalam

bekerjasama.

Terakhir, kebutuhan yang juga terdapat dalam kerjasama agar dapat

berlangsung baik adalah adanya mekanisme pengawasan dan penyelesaian

29

sengketa yang disepakati di antara pihak-pihak sebagai bagian dari upaya

mencegah gagalnya jalinan kerjsama apabila terdapat hal-hal yang terjadi serta

kurang sesuai dengan apa yang diharapkan semula.

2.1.2.2. Pengertian Koordinasi

Koordinasi merupakan salah satu hal penting dalam administrasi dan

manajemen dalam upaya untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Kerjasama

antar individu dalam organisasi yang merupakan salah satu persyaratan dalam

menjalankan roda organisasi akan dapat berjalan dengan baik apabila terjadi suatu

koordinasi yang efektif. Dengan demikian koordinasi merupakan salah satu hal

yang ikut menentukan keberhasilan suatu organisasi.

Istilah koordinasi menurut Westra (1983:54) dalam Rosyadi, 2009:23) jika

dilihat dari segi etimologi merupakan serapan dari bahasa asing yang terdiri dari

kata “cum” yang berarti berbeda-beda, dan kata “ordinate’ yang berarti

penyusunan atau penempatan sesuatu pada yang seharusnya atau semestinya.

Dengan mengutip Westra, Rosyadi (2009:23) menjelaskan bahwa adanya

koordinasi adalah karena adanya unit-unit kerja yang masing-masing menjalankan

tugas, fungsi dan tanggungjawab yang merupakan konsekuensi dari adanya

penerapan prinsip spesialisasi di dalam suatu organisasi. Adanya perbedaan-

perbedaan bidang tugas atau pekerjaan tersebut membutuhkan koordinasi agar

masing-masing dapat melaksanakan tugas yang telah ada dengan satu tujuan

bersama.

Apabila pekerjaan yang cukup kompleks dalam suatu organisasi dilakukan

30

tanpa adanya koordinasi, maka masing-masing bidang, unit,dan tugas tertentu

akan berjalan ke arah yang tidak bertemu pada suatu tujuan yang sama. Sebagai

sebuah perumpamaan maka dapat pula dikatakan bahwa adanya koordinasi bisa

diibaratkan dengan jari-jari payung yang mempertemukan masing-masing ujung

jari-jari payung pada suatu titik yang sama.

Koordinasi juga diartikan sebagai “is the unification, integration,

synchronization of the effort of group member so as to provide unity of action in

the persuit of common goals”1. Menurut definisi dari aspek ini maka koordinasi

dapat dipandang sebagai hal yang tidak dapat dipisahkan karena merupakan inti

dari manajemen dan akan selalu ada serta melekat pada setiap unsur manajemen

mulai dari perencanaan, pengorganisasisan, staffing, pengarahan, sampai kepada

pengawasan. Demikian pula apa yang dikemukakan oleh Siagian (1976:111) yang

menganggap bahwa koordinasi adalah kata atau istilah lain dari integrasi dan

sinkronisasi. Karena itu apabila seluruh aktifitas organisasi sudah diintegrasikan

dan disinkronisasikan, maka itulah yang dikatakan sebagai koordinasi. Sinkronisai

menurut Syafrudin (1993:78) adalah “Penyesuaian dari segala arah dan kegiatan

dengan rencana induk, sehingga ruang waktu dan urusan pekerjaan dapat

diselaraskan secara serasi dan berdaya guna dan berhasil guna”.

Stoner dan Wankel (1986: 263) menyatakan bahwa koordinasi “ is the

process of integrating the objectives and activities of the separate units

(departement of functional are as) of an organization in order to achieve

organizational goals efficiently”.

1 www.managementstudyguide diunduh 08/09/2012

31

Menurut Alexander (1995:4) kemungkinan ahli yang pertama mendalami

tentang koordinasi adalah Charles Lindblom yang mendifinisikan koordinasi

sebagai hubungan yang sistimatik di antara keputusan-keputusan.

“Coordinated decisions, according to this view, are ones where either

mutual adjusmant between actors or a more deliberate interaction

produced positives outcomes to the participants and avoided negative

consequences”.

Dapat ditafsirkan bahwa Keputusan-keputusan untuk berkoordinasi

menurut pandangan ini adalah salah satu upaya saling menyesuaikan antar pelaku

atau interaksi yang lebih leluasa untuk menghasilkan sesuatu yang positif kepada

semua pihak dan menghindari akibat-akibat yang negatif.

Koordinasi merupakan penyelarasan secara teratur atau penyusunan

kembali kegiatan-kegiatan yang saling bergantung dari individu-individu untuk

mencapai tujuan bersama. Mengkoordinasikan adalah mengupayakan pengeluaran

seimbang dengan sumber keuangan, perlengkapan dan alat-alat dengan kebutuhan

produksi dan seterusnya. Secara singkat koordinasi dapat dikatakan sebagai

(Widiatmoko:2012:18) : menyesuaikan hal-hal dan tindakan-tindakan

perbandingannya yang tepat dan menyesuaikan antara alat dengan tujuan.

Selanjutnya Ndraha mengartikan koordinasi sebagai (2011:290); “kegiatan

yang dilakukan oleh berbagai pihak yang sederajat (equal in rank or order, of the

same rank or order, not subordinat) untuk saling memberi informasi dan mengatur

bersama (menyepakati) hal tertentu, sehingga di satu sisi proses pelaksanaan tugas

dan keberhasilan pihak yang satu tidak mengganggu proses pelaksanaan tugas dan

keberhasilan pihak lain, sementara di sisi lain langsung, atau tidak langsung

32

mendukung pihak lain”.

Sugandha (1991:26) menyatakan bahwa secara teoritis koordinasi dapat

digolongkan ke dalam beberapa jenis sesuai dengan ruang lingkup dan arah

jalur-jalurnya, yang terbagai dalam:

a. Menurut lingkupnya terdiri dari :

1) Koordinasi intern yaitu koordinasi antar pejabat atau antar unit di

dalam suatu organisasi.

2) Koordinasi ekstern yaitu koordinasi antar pejabat dari berbagai

organisasi atau antar organisasi.

b. Menurut arahnya :

1) Koordinasi horizontal yaitu koordinasi antar pejabat atau antar unit

yang mempunyai hirarki yang sama dalam suatu organisasi antar

organisasi yang setingkat.

2) Koordinasi vertikal yaitu koordinasi antara pejabat-pejabat dan

unit-unit tingkat bawah oleh pejabat atasannya atau unit tingkat

atasnya langsung, juga cabang-cabang dari suatu organisasi oleh

organisasi induknya.

3) Koordinasi diagonal yaitu koordinasi antar pejabat atau unit yang

berbeda fungsi dan berbeda tingkatan hirarkinya.

4) Koordinasi fungsional adalah koordinasi antar pejabat, antar unit

atau antar organisasi yang didasarkan atas kesamaan fungsi atau

karena koordinatornya mempunyai fungsi tertentu.

c. Menurut Peraturan Pemerintah RI. No. 6 Tahun 1888.

1) Koordinasi fungsional, antar dua atau lebih instansi yang

mempunyai program yang berkaitan erat.

2) Koordinasi instansional terhadap beberapa instansi yang menangani

satu urusan tertentu yang bersangkutan.

3) Koordinasi teritorial terhadap dua atau lebih wilayah dengan

program tertentu.

Menurut Tosi dan Carroll (1982;499) terdapat dua jenis koordinasi yaitu

koordiansi vertikal dan koordinasi horizontal. Kedua macam koordinasi ini

diperlukan dalam organisasi. Koordinasi vertikal menunjukan pengembangan

hubungan-hubungan yang efektif dan disatupadukan di antara kegiatan-kegiatan

pada tingkat-tingkat organisasi yang berlainan. Sedangkan koordinasi horizontal

adalah pengembangan hubungan-hubungan yang lancar di antara individu-

33

individu atau kelompok-kelompok pada tingkat yang sama.

Agar koordinsi berlangsung secara efektif menurut Stoner dan Freeman

(1994:503) kuncinya adalah terletak pada komunikasi. Semakin besar

ketidakpastian akan tugas-tugas yang harus dikomunikasikan, akan semakin besar

pula kebutuhan akan informasi. Karena itu maka koordinasi dapat pula pada

derajat tertentu dipandang sebagai tugas pengolahan informasi yang sangat

penting. Pendekatan koordinasi yang efektif menurut Stoner dan Freeman

(1994:503) adalah: Penggunaan teknik – teknik dasar manajemen; peningkatan

potensi koordinasi; pengurangan kebutuhan akan koordinasi.

Penggunaan teknik-teknik dasar manajemen merupakan rantai komando

organisasi yang menspesifikasikan hubungan antara para anggotanya serta unit-

unitnya, karenanya memudahkan arus informasi dan kerja di antara unit-unit.

Menambah potensi koordinasi adalah kondisi yang jika organisasi semakin

besar kesalingtergantungannya semakin besar atau fungsi dan ukurannya semakin

luas, maka dibutuhkan informasi yang lebih besar bagi organisasi untuk mencapai

sasarannya. Karena itu potensi koordinasi harus ditingkatkan, melalui dua cara:

1) Sistim informasi vertikal.

Pengiriman data ke atas dan ke bawah jenjang organisasi. Komunikasi

dapat terjadi di luar atau di dalam saluran komando yang ada. Sistim

Informasi Manajemen (SIM) untuk tiap bagian seperti pemasaran,

keuangan, produksi dan juga data base yang mengumpulkan

informasi dari banyak bagian , untuk meningkatkan informasi yang

tersedia bagi perencanaan, koordinasi dan pengendalian.

34

2) Sistim informasi lateral.

Hubungan lateral mengabaikan hubungan komando yang ada,

kemungkinan pertukaran informasi dan keputusan-keputusan diambil

pada jenjang dimana informasi yang dibutuhkan benar-benar ada.

Hubungan seperti ini dalam contoh yang sederhana seperti kontak

langsung di antara individu yang harus menghadapi situasi atau

permasalahan yang sama.

Mengurangi kebutuhan koordinasi adalah, jika metode koordinasi tidak

efektif, maka dapat digunakan metode pengurangan kebutuhan koordinasi yang

ketat. Jay Gilbraith (dalam Freeman, 1994:503) mengemukakan dua cara untuk

mengurangi kebutuhan koordiansi, yaitu penciptaan sumber daya tambahan, dan

penciptaan unit-unit mandiri.

Menurut Winardi (1990:397) apabila dicermati dengan seksama maka:

Koordinasi dapat juga dikatakan sebagai aktifitas-aktifitas individu dan

kelompok dikaitkan satu sama lain untuk kerangka pencapaian tujuan

bersama. Di dalamnya terdapat komunikasi antara komponen-komponen

organisatoris dan memungkinkan mereka memahami aktifitas-aktiitas

mereka satu sama lain, dan membantu mereka untuk bekerjasama dengan

baik dalam arus kerja yang umum.

Diungkapkan pula oleh Winardi (1990: 397) bahwa dalam konteks

koordinasi terdapat dua dimensi yang harus dilaksanakan, yaitu koordinasi

vertikal dan horizontal. Koordinasi vertikal bersifat mengkoordinasi aktifitas-

aktifitas para individu dan kelompok ke atas dan ke bawah pada hirarki otoritas.

Terdapat empat elemen yang melekat pada koordinasi vertikal yaitu: (1) Rantai

komando (chain of command); (2) Rentang pengawasan ( span of control); (3)

35

Pendelegasian (delegation); (4) Sentralisasi-desentralisasi ( centralization –

decentralization).

Koordinasi horizontal merupakan proses mengkoordinasikan aktifitas-

aktifitas para individu dan kelompok melintas melalui organisasi yang

bersangkutan yang bekerja pada atau dekat dengan tingkat yang sama dalam

hirarki yang ada. Bentuk koordinasi horizontal ini adalah departementasi matriks.

Alat yang digunakan untuk membantu koordinasi horizontal yang efektif adalah

melalui pembentukan hubungan lateral yang efektif, termasuk di dalamnya

pembentukan tim-tim fungsional silang, satuan tugas (task force) dan personal

penghubung (liaison personal).

Pendekatan yang dipergunakan dalam mempelajari koordinasi juga dapat

dilihat dengan memahami gejala koordinasi. Menurut Ndraha (2011:290) terdapat

dua pendekatan terhadap koordinasi:

Pertama, pendekatan politik, normatif atau birokratik. Pendekatan ini

yang dianut oleh pemerintah Indonesia sampai sekarang. Menurut

pendekatan politik, koordinator ditetapkan terlebih dahulu atau ditetapkan

bersama-sama dengan unit-unit kerja lain. Kegiatan koordinator itulah

yang disebut koordinasi. Kata kuncinya adalah koordinator

mengkoordinasikan. Kedua, pendekatan manajemen atau empirik.

Menurut pendekatan ini koordinasi merupakan pendekatan kebutuhan

setiap orang atau institusi. Koordinasi dulu baru koordinator. Kebutuhan

akan koordinasi mendorong setiap orang atau kelompok untuk

berkoordinasi satu dengan yang lain. Kata kuncinya adalah berkoordinasi.

Dalam hal ini setiap pihak dapat berkoordinasi satu dengan yang lain

dengan atau tanpa (melalui) koordinator. Jadi koordinasi bisa terjadi tanpa

koordinator. Kuncinya adalah kemauan (will) dan tekad untuk senantiasa

mengutamakan kepentingan keseluruhan ketimbang kepentingan

kelompok atau bagian. McFarland, seraya mengutip Alvin Brown,

menyebut gejala ini sebagai “Self coordination”.

Merujuk pada pendekatan pertama maka koordinator yang melakukan

tugas pengkoordinasian adalah dalam upaya untuk mencapai koordinasi.

36

Koordinator menurut Alexander (1995:65) adalah :

“ an individual whose formal function is to coordinate the activities of

organizational units or an interorganizational system with respec to given

task, issue, objective, program or project”.

Menurut Alexander (1995:65), Mintzberg menyamakan tugas-tugas

koordinator sebagai “integrating manager”. Dengan mengutip pendapat Sayles

(1976:10), Mintzberg (1979:165) menyatakan bahawa tugas Intregrating

Manager adalah : “ to integrate the activites of organizational units whose major

goals and loyalties are not normally consistent with the goals of the overall

system”.

Dengan demikian maka tugas yang seharusnya dimainkan oleh seorang

koordinator dalam menjalankan fungsinya yaitu melakukan pengkoordinasian.

Jika mengacu pada strategi koordinasi berdasarkan dimensi waktu yang meliputi

koordinasi antisipatif dan koordinasi adaptif ( Alexander, 1995:36) maka tugas

pengkoordinasian tersebut dilakukan melalui kegiatan-kegiatan antara lain:

pengkoordinasian perencanaan; pengkoordinasian pelaksanaan; dan

pengkoordinasian pengendalian.

Berdasarkan pada aturan yang ada berupa Undang-undang (Nomor 25

tahun 2004) tentang Sistem Perencanaan Pembangunan dan Peraturan Pemerintah

Tentang tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan

(Nomor 39 Tahun 2006), maka yang bertugas sebagai koordinator dalam

pelaksanaan tugas dan fungsi perencanaan dalam suatu daerah adalah Kepala

Badan Perencanaan Pembangunan daerah atau Bappeda, seperti yang dinyatakan

dalam (pasal 1 ayat 16). Sedangkan Kepala Satuan Perangkat daerah (SKPD)

37

bertanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi tertentu di daerah

(pasal 1 ayat 17).

Dengan demikian maka koordinator untuk setiap pelaksanaan tahapan

pembangunan di daerah berbeda-beda. Untuk tahapan perencanaan di tingkat

daerah (provinsi) yang menjadi koordinator adalah Kepala Bappeda, sedangkan

dalam menjalankan pelaksanaan di bidang kepariwisataan adalah kepala SKPD

atau kepala Badan/ Dinas terkait, dalam hal ini kepala Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata. Sedangkan di bidang pengendalian yang menjadi koordinator di

tingkat daerah berupa sinkronisasi dan keterkaitan antar sektor pembangunan

adalah Kepala Bappeda, sedangkan yang khusus di bidang kepariwisataan adalah

kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.

Apabila mengacu pada Undang-undang Kepariwisataan (Nomor 10 tahun

2009) maka terdapat pengaturan khusus mengenai koordinasi ini dalam satu bab

yaitu (Bab IX). Dalam (pasal 33) dinyatakan bahwa:

(1) Dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan kepariwisataan

Pemerintah melakukan koordinasi strategis lintas sektor pada tataran

kebijakan, program, dan kegiatan kepariwisataan.

(2) Koordinasi strategis lintas sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi:

a. bidang pelayanan kepabeanan, keimigrasian, dan karantina;

b. bidang keamanan dan ketertiban;

c. bidang prasarana umum yang mencakupi jalan, air bersih, listrik,

telekomunikasi, dan kesehatan lingkungan;

d. bidang transportasi darat, laut, dan udara; dan

e. bidang promosi pariwisata dan kerja sama luar negeri.

Sedangkan dalam (pasal 34) dinyatakan bahwa:

Koordinasi strategis lintas sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33

ayat (1) dipimpin oleh Presiden atau Wakil Presiden.

Jika mengacu pada bunyi pasal 33 dan 34, dimana ketentuan

38

pelaksanaan kedua pasal tersebut masih menunggu Peraturan Presiden sesuai

dengan bunyi pada (pasal 35) maka dapat dianalogikan bahwa untuk tingkat

daerah dalam hal koordinasi strategis lintas sektor di tingkat provinsi dipimpin

oleh Gubernur atau Wakil Gubernur.

2.1.2.3. Koordinasi Antar Organisasi

Hubungan kerjasama dan koordinasi yang tercipta antar organisasi yang

terjadi berkembang sejalan dengan perubahan yang terus terjadi yang disesuaikan

dengan kondisi dan perkembangan zaman seperti yang digambarkan Limerick dan

Cunnington.

Menurut Limerick dan Cunnington (1993 dalam Keban , 2004:119) di

dalam teori organisasi terdapat beberapa pola atau “blueprint” yang berkembang

yang dimulai dari paradigma klasik (first blueprint), paradigma human (second

blueprint), paradigma sistem (third blueprint) dan paradigma kolaborasi (forth

blueprint).

Pada blueprint pertama dirancang suatu organisasi yang berorientasi pada

efisiensi tinggi dengan mengajukan sistim otoritas dan kendali yang sangat

hirarkis dengan rentang yang sangat sempit (Limerick dan Cunnington (1993,

dalam Keban, 2004:119-122).

Dalam aliran ini prinsip-prinsip spesialisasi, sentralisasi, dan formalitas

sangat ditekankan. Namun demikian aliran yang dimotori oleh nama-nama

seperti Adam smith, Hendry Fayol, L. Gullick dan kawan-kawan ini

dikritik karena memperlakukan anggota organisasi bukan sebagai manusia

(kurang manusiawi) tetapi sebagai mesin. Organisasi hanya dilihat dalam

proses mekanistik dimana kreativitas, inisiatif dan partisipasi anggota

organisasi tidak dihargai sama sekali. Manajer yang dibutuhkan disini

adalah manajer yang dianggap tahu segalanya, tegas dan berani

39

menerapkan sanksi termasuk ancaman dan bersifat otoriter.

Blue print kedua menurut Limerick dan Cunnington (1993) dalam

Keban (2004:124-126), teori organisasi mengalami pergeseran pandangan

tentang manusia, dimana manusia telah dilihat sebagai mahluk sosial yang

dapat membentuk sendiri kelompok-kelompok informal sesuai dengan

keinginannya, dan ingin bekerja pada kondisi kerja yang menyenangkan.

Dengan begitu peranan kelompok informal, kebutuhan sosial, dan kondisi

lingkungan kerja menjadi faktor penting dalam bekerja, bahkan lebih

penting dari manajeman itu sendiri. Aliran ini dikembangkan oleh E Mayo,

dan Rensis Likert. Sedangkan manajer yang dibutuhkan disini adalah

manajer yang bersifat demokratis dan supportif.

Blue print ketiga dalam perkembangan teori organisasi dimana,

organisasi lebih dilihat sebagai suatu sistem yang didalamnya diasumsikan

terdapat unsur-unsur yang (1) saling ketergantungan (interdependency)

dengan lingkungan yaitu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan;

(2) keterbukaan (openess), yang memberi reaksi kepada segala sesuatu

yang datang dari lingkungan; (3) keseluruhan (holisme) dimana organisasi

menjadi bagian dari keseluruhan lingkungan; (4) sifat rasionalis dan

objektif dan; (5) kelompok kerja yang kohesif. Aliran ini menekankan

persoalan dan pendekatan pada adanya dua sistim organisasi, yaitu

mechanistic system dan organic system. Pendekatan pertama lebih melihat

struktur organisasi yang formal dan cenderung hirarkis, kendali yang

sangat terpusat dan penekanan berlebihan pada spesialisasi karena ingin

efisien. Disini organisasi dilihat sebagai sesuatu yang tertutup terhadap

lingkungannya (closed system). Sedangkan pada pendekatan yang kedua

yaitu bersifat organis lebih menitik beratkan pada orang dan bukan tugas,

mencoba mengurangi peranan hirarki, memiliki struktur kelompok yang

lebih fleksibel, dan selalu mengutamakan nilai dan norma yang disetujui

bersama, serta menekankan kontrol diri dan saling menyesuaikan diri.

Teori ini dikembangkan dengan “contingency” dimana organisasi terdiri

atas subsistem-subsistem yang bersifat mekanik atau organik tergantung

kepada lingkungan yang dihadapi dan mempengaruhinya. Pendukung

aliran ini adalah Johnson, Kast, Rosenweig, Lawrence dan Lorch.

Blue print keempat atau paradigma baru mencoba mengarahkan

perhatiannya kepada realitas dan kebutuhan pada akhir dekade abad

keduapuluh. Melalui karya K.E.Weick dan J.D.Orton di tahun 1990an

tentang “loosely coupled organizations” dimana organisasi-organisasi

hendaknya membentuk di dalamnya pasangan-pasangan unit kerja (loose

coupling within organization) dan membentuk pasangan kerja dengan

organisasi lain (loose coupling between organizations) yang responsif

antara satu dengan yang lain, dan saling kolaboratif. Dengan demikian

losse coupling baik di dalam maupun antara organisasi merupakan pusat

perhatian utama paradigma ini. Tema sentral yang dikembangkan disini

adalah pembenahan hubungan di dalam organisasi dan pengembangan

network dengan organisasi lain. Di samping itu di dalam paradigma ini

suatu organisasi dituntut memiliki individu-individu yang kolaboratif.

40

Mereka bekerjasama dengan orang atau pihak lain berdasarkan atas prinsip

kebebasan atau kemerdekaan. Mereka ingin berfungsi sebagai mitra pihak-

pihak lain. Dengan demikian dalam bingkai baru tersebut ditekankan sifat

saling tergantung yang “self managed” dan “voluntary” (bersifat sukarela).

Selanjutnya terdapat lima alasan penting mengapa pengaturan kerjasama

antar organisasi atau interorganizational networking menjadi berkembang dengan

pesat bahkan sudah mencapai kepada konsep kerjasama tertinggi yaitu kolaborasi

sebagaimana yang dijelaskan oleh O’Toole (dalam Agranoff dan McGuire,

(2003:24).

First, policies dealing with ambitious or complex issues are likely to

require such structures of execution. This is a problem change thesis,

which assert that the types of problems or issues society seeks to adress

collectively are increasingly wicked, or “problems with no solution, only

temporary and inferfect resulutions”....For most of the problems that

emerged in the first part of the twentieth century, a bureaucratic

organization was ideal – the problem was easily defined, goal were clear,

and objectives were measurable. The metaphor of the wicked problem

stands in contrast to traditional bureaucratic policymaking and

implementation. For wicked problems, agreement is forged by jointly

steering courses of action and delivering policy outputs that are consistent

with the multyplicity of societal interests. Other more conventional modes

of organizing, like collaboration, have emerged to do just that.

Second, ...limitations established on the reach of direct governmental

intervention encourage rather than dampen network based solutions. In a

sense, collaborative structures may be required to achieve result in

particular problem areas when public preference is simultaneously for

more government involvement. When the public demands action on certain

public issues, multiple players are drawn together to fulfill that demand

because it only be done through collaboration. Third, political imperatives

elicit networking beyond what might be necessitated by policy objectives;

administrators often must balance technical needs for clear and

concentrative program authority with political demands for inclutions and

broader influence.

Fourth, as information has accumulated regarding secondorder

program effects, efforts have been made to institutionalize the connections,

such as through interorganizational task forces and planning bodies. Fifth,

layers of mandates, including crosscutting regulations and crossover

sanctions, provide additional pressure for managing networks.

41

Kelima hal tersebut dapat dimaknai sebagai :Pertama, berkembangnya

permasalahan yang dihadapi oleh organisasi yang semula sederhana menjadi

semakin kompleks dan akan kesulitan jika diselesaikan dengan pendekatan

birokratis seperti yang selama ini dilakukan. Jika di paruh pertama abad ke-20

organisasi birokrasi sangat ideal digunakan untuk menyelesaikan persoalan-

persoalan yang lebih mudah didefinisikan, tujuan yang jelas dan ukuran capaian

yang terukur, maka saat ini mengalami perkembangan yang lebih rumit dan sulit

yang sering digambarkan dengan problem yang tidak ada jalan keluarnya. Dalam

kondisi seperti ini maka pendekatan non konvensional dalam organisasi seperti

kerjasama dan kolaborasi menjadi salah satu cara untuk melaksanakannya. Kedua,

keterbatasan keberadaan pemerintah dalam menangani secara langsung persoalan

yang ada. Melalui keberadaan struktur yang bersifat kolaborasi maka tindakan-

tindakan pemerintah akan lebih dirasakan walaupun keterlibatannya secara

langsung lebih sedikit. Ketika permintaan-permintaan masyarakat dalam

menangani isu-isu publik berkembang, maka akan ada lebih banyak pihak yang

dapat dilibatkan dan itu hanya mungkin dilakukan melalui kolaborasi. Ketiga,

desakan politik menimbulkan jaringan di samping apa yang seharusnya

dipaksakan oleh tujuan kebijakan: administrator seringkali harus mengimbangi

kebutuhan-kebutuhan teknis untuk berkonsentrasi dan menyelesaikan program

dengan permintaan-permintaan politis yang lebih besar dan berpengaruh.

Keempat, adanya informasi yang terkait dengan capaian program dimana

diperkirakan akan melibatkan lebih banyak pihak sehingga menyebabkan

perlunya pelembagaan hubungan-hubungan tersebut, seperti pembentukan

42

kelompok kerja atau lembaga-lembaga perencanaan. Kelima, tingkatan-tingkatan

mandat termasuk peraturan-peraturan yang saling bertentangan atau sanksi yang

saling berseberangan menyebabkan timbulnya tekanan baru bagi jaringan yang

sedang dibangun.

Di samping kelima hal tersebut ditambahkan pula oleh Agranoff dan

McGuire (2003:25) dalam konteks kerjasama yang menitikberatkan pada

kolaborasi adalah berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai faktor utama dalam

produksi sosial ekonomi, ketika tanah, tenaga kerja dan modal menjadi faktor

kedua. Ilmu pengetahuan yang berkembang menjadi semakin terspesialisasi

sangat menantang bagi perkembangan organisasi. Perkembangan tersebut

menjadikan perlunya cara-cara pandang yang baru dalam organisasi guna

memecahkan masalah, mengidentifakasi masalah serta melakukan strategi

pemasaran yang meletakan peran sumberdaya manusia menjadi semakin penting.

Dalam hubungan ini maka pekerja-pekerja dalam suatu organisasi memerlukan

jaringan interorganisasi yang sering terhubung dengan jaringan global yang akan

memberikan tantangan utama untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang

semakin produktif ke dalam tugas sehari-hari.

Menurut Agranoff dan McGuire (2003:25), kebutuhan untuk melakukan

kerjasama juga dimungkinkan tercipta, karena adanya ketergantungan dari para

pelaku yang melaksanakan kerjasama disebabkan adanya perbedaan bentuk, dan

tingkatan teknologi yang dimiliki atau dikuasai serta sumberdaya yang diperlukan

untuk menyelesaikan pekerjaan. Ketergantungan tersebut kemudian mendorong

berbagai pihak untuk melakukan intensitas komunikasi di antara organisasi, yang

43

kemudian membentuk kerjasama dan kegiatan dalam kebersamaan itu. Semakin

tinggi ketergantungan berbagai pihak, baik secara vertikal dan horizontal, maka

akan semakin tinggi pula kebutuhan untuk melakukan koordinasi dan kolaborasi.

Di dalam kepustakaan kebijakan dan manajemen publik sudah dikenal

pula adanya istilah policy network dan intergorvernmental management (Agranoff

(1996) dan Hale (2003), dalam Keban, 2007: 27). Istilah tersebut dipergunakan

dalam rangka merujuk kepada gambaran betapa jaringan kebijakan publik dan

manajemen publik sangat diperlukan pada tingkat pemerintahan daerah untuk

menangani berbagai masalah yang tidak dapat ditangani sendiri oleh organisasi-

organisasi yang ada.

Networking merupakan format kelembagaan jejaring yang terdiri dari

beberapa unit organisasi yang menjalin hubungan dengan pola yang relatif

fleksibel. Robert Agranoff (2003) dalam Warsono, (2009:115) membagi beberapa

jenis intergorvernmental networks sesuai dengan derajat networksnya: (1)

information networks, yaitu jenis jaringan kerjasama yang paling ringan

derajatnya. Pada jenis ini beberapa daerah/organisasi dapat membuat forum yang

berfungsi sebagai pertukaran kebijakan dan program, teknologi dan solusi atas

masalah-masalah bersama; (2) development network, yakni kaitan antar

daerah/organisasi terlibat lebih kuat, karena selain pertukaran informasi juga

dibarengi dengan pendidikan dan pelayanan yang secara langsung dapat

meningkatkan kapasitas informasi daerah/organisasi untuk mengatasi masalah

masing-masing; (3) outreach network, adanya penyusunan program dan strategi

untuk masing-masing daerah/organisasi yang diadopsi dan dilaksanakan oleh

44

daerah/organisasi lainnya, serta; (4) action network, yang merupakan bentuk dari

intergorvenrmental yang paling solid. Dalam bentuk seperti ini daerah/organisasi

yang menjadi anggota secara bersama-sama menyusun program aksi bersama

sesuai proposal dan kemampuan masing-masing.

Upaya untuk secara terus menerus meningkatkan outcome dan kinerja

organisasi dalam melaksanakan tugasnya antara lain dengan mengembangkan

pola hubungan antar organisasi baik secara internal maupun eksternal. Shergold

(2008:20) menggambarkan bahwa pola hubungan antar organisasi mengalami

peningkatan mulai dari koordinasi sampai kepada kolaborasi. “Certainly, the

coordinating mechanisms are changing- so are the modes of achieving outcomes.

At the risk of gross simplification. I disern move from command through

coordination and cooperation to collaboration”.

Hal dimaksud dapat dilihat pada tabel 2.1. berikut:

Tabel 2.1. Proses Transformasi

Komando Proses Sentralisasi Pengendalian-dengan kejelasan alur

Kewenangan Hirarkis

Koordinasi Proses pengambilan keputusan kolektif- diterapkan

pada peran serta kelembagaan

Kerjasama Proses berbagi pemikiran dan sumberdaya – tujuan

saling menguntungkan

Kolaborasi Proses berbagi penciptaan – penghubung antara

kelembagaan yang mandiri

Sumber : Shergold (2008;20)

Dalam kaitannya dengan pembangunan pariwisata di Kepulauan Bangka

45

Belitung yang melibatkan berbagai organisasi, baik publik (dinas/instansi),

organisasi swasta, maupun organisasi masyarakat diperlukan koordinasi yang

baik guna mengelola hubungan-hubungan dari berbagai sektor dan stakeholder

terkait. Hubungan koordinasi antar organisasi yang terlibat dalam pembangunan

pariwisata ini menentukan keberhasilan pengembangan pariwisata karena

banyaknya kepentingan lintas sektor dan organisasi yang perlu diarahkan ke

dalam satu tujuan yang sama. Karena itu tanpa adanya koordinasi akan sulit

mewujudkan sinergitas dalam upaya pembangunan pariwisata.

Kalau dicermati lebih dalam maka dapat dikatakan bahwa koordinasi pada

prinsipnya merupakan upaya dalam menyatupadukan kewenangan dan

kemampuan yang ada untuk melakukan keselarasan tindakan dalam mencapai

tujuan bersama. Koordinasi seperti ini sangat diperlukan dalam sebuah organisasi

karena biasanya organisasi berjalan sendiri-sendiri dan kurang menyesuaikan

gerak langkahnya dengan bagian-bagian lain dari organisasi atau organisasi yang

lain sebagai konsekuensi dari adanya pembagian tugas dalam suatu organisasi

dalam mencapai tujuannya.

Mekanisme koordinasi menghendaki semua fihak yang terlibat dalam

posisi memiliki kepentingan yang sama, jika masih ada bagian yang menganggap

atau merasakan koordinasi merupakan suatu keterpaksaan karena kuatnya tuntutan

tugas dan pekerjaan atau mendasarinya pada perintah belaka, maka pelaksanaan

koordinasi yang muncul hanya akan bersifat formal saja. Dengan kondisi ini maka

koordinasi yang tercipta hanyalah koordinasi pola hubungan atasan bawahan atau

yang lebih dikenal dengan koordinasi vertikal. Koordinasi seperti ini akan

46

mengalami kesulitan untuk dikembangkan dalam pola pembangunan pariwisata

yang lebih menuntut hubungan antar sektor yang bersifat lebih horizontal

karenanya lebih memerlukan munculnya koordinasi bukanlah sebagai kewajiban

namun sebagai kebutuhan organisasi untuk mencapai tujuannya. Guna lebih

melihat gambaran koordinasi horizontal ini maka penelitian mencoba melihat

hubungan antar organisasi di tingkat pemerintah provinsi Kepulauan Bangka

Belitung.

Salah satu teori yang dikembangkan dalam kaitannya dengan hubungan

antar organisasi ini adalah jaringan multi sektor (multisectoral network ) yang

dikemukakan oleh Ebers (1997) dalam Herranz, (2010:11-16). Konsep ini

dikembangkan Ebers bagi kerangka kerja formasi jaringan organisasi yang

didasarkannya pada studi lapangan di bidang ekonomi, sosiologi, studi organisasi,

sistem informasi dan strategi bisnis. Menurut Ebers, yang mengidentifikasi tiga

proses penting dalam memahami pengembangan jaringan, yaitu: pertukaran

sumber daya (resource exchange), harapan bersama (mutual expectation), dan

proses informasi (information process). Menurut konsep Ebers, pengembangan

jaringan terjadi melalui tiga proses tadi dalam kaitan dengan hubungan kerja

jaringan antar organisasi. Dia mencoba mengkonseptualkan elemen-elemen dari

pendekatan strategis dalam koordinasi jaringan. Tiga hal yang menjadi karakter

proses inter-organizational dari formasi jaringan tersebut adalah : aliran

sumberdaya, aliran informasi, dan aliran harapan bersama. Ebers menyatakan

bahwa pertukaran sumber daya dan informasi merupakan konsep yang

dipergunakan dalam teori organisasi (seperti ketergantungan sumberdaya) untuk

47

menganalisa dan melakukan klasifikasi masalah dalam koordinasi dan mencari

jalan keluarnya.

Ketergantungan sumberdaya melalui jaringan ternyata memberikan

keuntungan yang kompetitif bagi perusahaan karena mereka mendapatkan akses

bagi kemampuan dan sumberdaya yang diinginkan yang akan menambah

kepemilikan mereka; dengan cara ini perusahaan dapat mengembangkan

kemampuan, memperoleh pasar, mengelola resiko, atau meningkatkan skala

ekonominya. Intermediasi informasional melalui jaringan akan dapat mengurangi

biaya-biaya komunikasi, ketidakpastian, dan membantu koordinasi bagi anggota-

anggota jaringan. Ebers juga menyatakan bahwa harapan bersama adalah sesuatu

yang khas dalam dimensi yang ketiga ini karena hubungan antar manusia yang

saling mengharapkan seperti adanya peluang, kepercayaan dan keadilan adalah

hal yang menjanjikan dalam literatur jaringan inter-organizational. Aliran-aliran

harapan bersama ini mempengaruhi para pelaku untuk melihat adanya peluang

dalam resiko kerjasama dan membentuk jaringan kerjasama antar organisasi.

Ebers juga menambahkan ada dua faktor kepemerintahan (governance) yang

membedakan pembuatan tingkat kelembagaan dalam hubungannya dengan

bentuk jaringan yaitu: distribusi hak-hak kepemilikan (distribution of property

rights) dan mekanisme-mekanisme koordinasi (coordination mechanisms).

Guna mengembangkan lebih lanjut konsep yang dikemukakan oleh Ebers,

Herranz (2008) dalam Herranz, (2010:16), mengkombinasikannya dengan

kerangka kerja bagi strategi koordinasi untuk jaringan multisektor.

Konsep Herranz diambil dari argumentasinya tentang perbedaan antara

48

pemerintah, organisasi nir laba, dan organisasi swasta yang juga sebenarnya

merupakan representasi dari tiga mekanisme dasar koordinasi organisasi yaitu:

hirarki (birokrasi), klan (keluarga) dan pasar (bisnis). Menurutnya batas-batas

antar sektor itu semakin kabur terutama dalam jaringan publik yang multisektor.

Wujud nyata dari mekanisme koordinasi menurut Herranz ( 2010:20)

adalah merupakan proses strategi koordinasi birokrasi, kewirausahaan,

dan kemasyarakatan dalam jaringan-jaringan multisektor yang terdiri dari

organisasi-organisasi publik, non profit, dan organisasi swasta. Karena itu

menurutnya, pendekatan strategi jaringan koordinasi berada pada

sepanjang garis mulai dari kutub manajerial aktif ke pasif. Apabila di

bagian awalnya, orientasi birokratisnya sangat kuat dalam proses

hubungan-hubungan antar organisasi, maka selanjutnya akan tercipta suatu

strategi orientasi kewirausahaan. Sedangkan di bagian akhir akan tercipta

orientasi strategi kekeluargaan yang menekankan perhatian pada rasa

saling percaya yang mendasari proses hubungan-hubungan antar

organisasi.

Teori mengenai efektivitas koordinasi antar organisasi dikembangkan oleh

Alter dan Hage (1993) dalam Alexander, (1995:40), yang melakukan kajian

terhadap 15 jaringan lokal dalam organisasi-organisasi yang melayani masyarakat.

Mereka mengevaluasi efektivitas jaringan-jaringan, serta menghubungkannya

dengan berbagai strategi koordinasi adminstrasi dan integrasi tugas-tugas.

Menurut Alter dan Hage, (1993) koordinasi administratif dipengaruhi oleh

metode-metode impersonal yang terdiri dari: aturan-aturan dan standar prosudur

operasional (standard operating procedures), pemantauan personal dan

komunikasi, atau interaksi kelompok.

Berdasarkan analisis tersebut mereka menyatakan bahwa koordinasi yang

efektif dalam konteks koordinasi antar organisasi adalah: bagaimana hubungan

antara strategi koordinasi yang dipilih dan bentuk jaringan antar organisasi yang

49

terjadi (Alexander, 1995:40).

Secara umum strategi menurut Rangkuti (1997:3) dapat diartikan sebagai

respon secara terus menerus maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman

eksternal, serta kekuatan dan kelemahan internal yang dapat mempengaruhi

organisasi. Strategi juga diartikan Quinn (1980) sebagai “is a pattern or plan

that integrates an organization’s major goals, policies and action sequences into a

cohesive whole” (dalam Tribe, 1997:11).

Menurut Alexander (1994:276) “Coordination strategies are processes or

forms of organizational behavior, and often (though not always) they are more

general and abstract than the specific coordination tools many of them apply “.

Strategi koordinasi tersebut menurut Alexander, (1995:36) sebagai “A whole

range of behaviors and relationships, from relatively general and abstract (eg.,

cooperation) to quite concrete and specific (eg., contracting)”. Dengan demikian

maka semua perilaku dan hubungan, dari yang umum dan yang abstrak

(contohnya kerjasama) sampai ke yang kongkrit dan spesifik (kontrak) disebut

sebagai strategi koordinasi antar organisasi atau Interorganizational Organization

Coordination (IOC). Aspek penting dalam strategi koordinasi ini adalah

berdasarkan dimensi waktu menurut Alexander (1995:36) yaitu:

meliputi anticipatory coordination atau koordinasi antisipatif dan

adaptive coordination atau koordinasi adaptif. Koordinasi antisipatif

berarti koordinasi berdasarkan perencanaan. Sedangkan koordinasi adaptif

adalah koordinasi yang didasarkan pada pelaksanaan, pemantauan, umpan

balik dan pengendalian.

Dimensi lainnya yang membedakan dengan kelompok-kelompok lainnya

dalam strategi koordinasi adalah “medium” yang dipergunakan, atau bagaimana

50

strategi mewujudkan keinginan integrasi antar organisasi (Alexander, 1995:36).

Strategi-strategi koordinasi dimaksud adalah (Alexander, 1995:36-37):

Strategi Cultural, merupakan strategi yang pelaksanaannya tergantung

kepada kesesuaian antara tujuan-tujuan dari organisasi dengan pengaturan

organisasi, atau merupakan penyesuaian tindakan yang dilakukan untuk

mencapai tujuan organisasi. Strategi ini dilakukan dengan menggunakan

pengaruh (influence), hubungan masyarakat (Public Relation), dan

Cooptasi. Contoh strategi ini adalah dengan mengamankan dukungan

koordinasi antar organisasi dengan melakukan pelaksanaan nilai-nilai

profesional yang telah ditetapkan, serta dengan penegasan mengenai

adanya harapan dan norma-norma yang berlengsung di antara anggota

jaringan organisasi. Strategi ini juga dilakukan dengan menciptakan

sebuah kerangka kerja hirarki yang diamanatkan berdasarkan pengakuan

organisasi dari pihak yang berwenang (cooptasi).

Strategi Communicative, adalah tindakan-tindakan yang tergantung

kepada kesadaran bersama dari kepentingan-kepentingan yang saling

tergantung dan kepentingan umum. Contoh dari strategi ini adalah

negosiasi, yaitu membuat daftar dan menyelesaikan permintaan-

permintaan yang bertentangan dari para anggota dalam suatu kegiatan.

Kata kunci dalam strategi ini : pertukaran informasi, negosiasi, net

working.

Strategi Functional, didasarkan pada pertukaran yang bersifat resiprokal

atau hubungan kekuatan antara anggota-anggota dari sistem

anterorganisasi. Contohnya, misalnya pembentukan koalisi antara

organisasi yang kuat dengan yang kurang kuat untuk meningkatkan

kepentingan mereka dalam mengkoordinasikan sistem. Atau sebuah

organisasi inti dapat mencoba mengeluarkan beberapa rivalnya yang

potensial menjadi kuat dari sebuah pengaturan tindakan yang prospektif,

supaya semuanya dapat lebih bisa ditangani. Kata kunci strategi ini adalah:

pembentukan koalisi, inklusi atau eksklusi, reposisioning atau posesioning.

Strategi Cooperative adalah strategi yang melibatkan interaksi sukarela,

ternasuk di dalamnya adalah kolaborasi yang bisa saja disebutkan dalam

berbagai cara. Demikian pula dengan kooptasi yang merupakan sebuah

strategi koordinasi yang populer, ia dapat menggunakan patronasi

(perjajanjian bersama pembelian barang atau jasa, atau kesepakatan

pembelian barang dan jasa), dan keanggotaan pada sebuah badan

konsultan infornal untuk membantu mengeneralisir kerangka pikir yang

mendukung. Kata kunci strategi ini: tawar menawar, pertukaran

sumberdaya, dan patronase

Strategi Control bertujuan untuk mengkoordinasikan perilaku-perilaku

51

orgnisasi dengan membiaskan keputusan-keputusan mereka untuk

menghasilkan tindakan yang kalau tidak dibuat seperti itu maka tidak akan

terjadi. Tentu saja ada wilayah abu-abu antara strategi cooperative dan

control. Wilayah itu tergantung pada pengaruh strategi (beberapa bentuk

persuasi) yang menunjukan ancaman ataupun insentif potensial tetapi tidak

aktual. Strategi-strategi control dapat menimbulkan sanksi berdasarkan

cara menjalankan kekuatan atau ancaman untuk menyembunyikan

sumberdaya-sumberdaya yang dibutuhkan secara kritis. Strategi ini

disebut sebagai strategi finansial.

Strategi Structural adalah “posisi struktural”. Termasuk dalam hal ini

mendifinisikan kembali legitimasi kelompok-kelompok yang ditandai

dengan fungsi organisasi, atau perubahan domain organisasi, kepada

permintaan-permintaan baru, atau menciptakan unit baru atau struktur dari

hubungan -hubungan. Strategi struktural lainnya ialah melakukan

reorganisasi dan menggeser level pengendalian. Terakhir, adalah merger

yang dikenal juga sebagai strategi koordinasi dalam menyelesaikan

persoalan yang berlainan.

Strategi koordinasi antar organisasi disebut juga oleh Alter dan Hage

(1993) sebagai metode-metode koordinasi (Alexander, 1995:40). Sedangkan

Alexander sendiri menyatakan bahwa efektivitas koordinasi antar organisasi juga

berkaitan erat dengan karakter struktur jaringan dan tugas-tugas dari struktur

koordinasi antar organisasi yang terdiri dari: pertukaran informasi, koordinasi

operasional, koordinasi manejerial atau koordinasi adminstratif, dan koordinasi

antisipatori.

Alexander (1995:318) Pertukaran informasi merupakan suatu pelaksanaan

koordinasi melalui penyesuaian bersama. Dimana ini adalah tugas utama dari

berbagai struktur-struktur IOC informal yang ada dan dilaksanakan dengan baik.

Sedangkan Koordinasi operasional secara esensial adalah koordinasi

adaptif antara organisasi-organisasi yang terlibat dalam pelaksanaan tugas-tugas

bersama yang belum dilakukan (Alexander, 1995:319-320).

52

Koordinasi manajerial atau administratif merupakan kegiatan-kegiatan

yang diperlihatkan di antara organisasi-organisasi sebagai urutan tertinggi dari

pada koordinasi operasional atau pengintegrasian tugas-tugas (Alexander,

1995:322).

Pure anticipatory coordination refers to coordination by plan: agreeing on

mutual goals and objectives, developing common policies and plans for

their realization, and designing or transforming institutions into the forms

needed to turn projects into reality. Anticipatory coordination, then, occurs

at hte level of policy making, planning, and the institutional design of

prospective lower – level IOC structures. (Alexander, 1995:323).

Selanjutnya dalam mengelola jaringan, seorang manajer jaringan bukanlah

aktor yang sentral atau direktur, melainkan lebih berfungsi sebagai mediator dan

stimulator. Karena itu menurut Pratikno (2008:13) diperlukan strategi-strategi

streering jaringan yang dalam bahasa Kickert, Klijn dan Koppenjam (1999)

dikelompokkan dalam dua jenis yaitu game management yang memfokuskan pada

manajemen relasi antar aktor, dan network structuring yang memfokuskan pada

rekontitusi terhadap struktur dominasi, legitimasi dan signifikansi.

Games management (GM) didefinisikan sebagai “on going, sequential

chain of (strategic) actions between different players (actors), governed by the

player’s perceptions and by existing formal and informal rules, which develop

around issues or decisions in which the actors ae intersted” (Klijn dan Teisman,

1999:101). Tujuan terpenting dari games management ini adalah untuk

menyatukan persepsi para aktor dan menyelesaikan persoalan-persoalan

hubungan organisasional antar pelaku jaringan.

Menurut Pratikno (2008:13-14) dengan mengutip Klijn dan Koppenjam

(2000:141) bahwa strategi-strategi yang dikembangkan dalam games menagement

53

mengasumsikan struktur dan konstelasi dalam jaringan relatif given. Karenanya

para aktor yang memainkan dan mengembangkan strategi permainannya dalam

struktur yang ada yang berupa tata aturan formal dan informal, komposisi pelaku,

dan distribusi sumberdaya yang telah ada.

Network structuring (NS) memfokuskan pada upaya mengubah struktur

jaringan. Asumsi yang dibangun adalah bahwa karakteristik kelembagaan jaringan

akan mempengaruhi dan bahkan menentukan peluang-peluang bagi kerjasama

antar aktor (Klijn dan Koppenjam 2000) dalam Pratikno, 2008:14). Dengan

demikian maka strategi-strategi dalam Nerwork structuring ditujukan untuk

mengubah karekteristik kelembagaan jaringan. Hal ini berbeda dengan GM yang

mengembangkan strategi-strategi dalam level pembangunan interaksi antar aktor,

strategi-strategi dalam NS dimaksudkan untuk membuka ruang dan memfasilitasi

berlangsungnya proses-proses kerjasama untuk berjejaring. Kedua bentuk

tersebut diilustrasikan sebagai berikut.

54

Tabel 2.2. Strategi Manajemen Jaringan dalam Logika Strukturasi

Level /Sarana Persepsi/

Interpretasi

Aktor/Fasilitas Institusi/Norma

Strategi

Game

Management

Convenanting:

Mengekploirasi

persamaan dan

perbedaan per-

sepsi antar aktor,

dan menjajagi

untuk menselaras-

kan tujuan ber-

sama

Selective (de)

Activation:

Memobilisasi ke-

kuatan aktor yang

miskin sumber

daya dan men-

demobilisasi peran

aktor yang men-

dominasi sumber

daya

Arranging:

Membangun,

menjaga, dan me-

ngubah format

relasi jangka

pendek yang bisa

menolong inter-

aksi dalam ke-

lompok

Network

Structuring

Reframing:

Mengubah per-

sepsi para aktor

dalam jaringan

yang akan meng-

kerangkai aktor

dalam menentukan

nilai apa yang

dikedepankan

Network (de)

Activation:

Melibatkan aktor-

aktor baru atau

mengubah posisi

dari aktor yang

ada; memobilisasi

koalisi-koalisi

baru

Reconstitualism:

Mengubah kebi-

jakan aturan dan

sumber daya

dalam jaringan se-

cara fundamental

Sumber: Klijn dan Teisman (1999) dalam Pratikno (2008:14)

Agar koordinasi dapat berlangsung dengan baik dalam organisasi maka

diperlukan adanya mekanisme koordinasi, menurut Mintzberg (1997:3-7)

terdapat lima mekanisme koordinasi yang penerapannya disesuaikan dengan

situasi dan kondisi yang sedang berlangsung dalam organisasi. Kelima mekanisme

koordinasi tersebut adalah:

1. Penyesuaian bersama (mutual adjustment).

Penyesuaian bersama dapat mencapai koordinasi kerja dengan proses

komunikasi informal yang sederhana. Dalam penyesuian bersama,

kontrol pekerjaan terletak di tangan pekerja. Oleh karenanya mutual

adjustment hanya dapat diimplementasikan pada organisasi dengan skala

kegiatan yang kecil dan sederhana. Namun demikian dalam kondisi-

kondisi tertentu, seperti pada situasi organisasi yang kompleks dengan

skala kegiatan yang lebih besar pun, penyesuaian bersama dapat mencapai

koordinasi kerja. Oleh karena itu mekanisme ini cocok digunakan pada

lingkungan dinamis dan kompleks.

55

2. Pengawasan langsung (direct supervision).

Mekanisme pengawasan langsung digunakan pada organisasi besar.

Mekanisme ini mencapai koordinasi dengan cara mengangkat seseorang

untuk bertanggung jawab atas hasil pekerjaan beberapa pekerja,

memberikan perintah dan mengawasi kegiatan mereka. Mekanisme ini

dapat diterapkan pada lingkungan yang sederhana dan dinamis.

3. Standarisasi proses pekerjaan (standardization of work processes).

Standarisasi ini dapat dilakukan apabila isi pekerjaan bersifat spesifik atau

telah diprogram sebelumnya. Dalam kondisi kerja seperti ini, para pekerja

tidak memerlukan pengawasan langsung maupun komunikasi informal,

karena semuanya tergantung dari desain pekerjaan itu sendiri. Standarisasi

proses digunakan pada lingkungan sederhana dan statis.

4. Standarisasi hasil kerja (standardization of work outputs).

Kinerja distandarisasi ketika terdapat hasil kerja. Dengan standarisasi

kinerja, proses diantara pelaksanaan kegiatan sudah ditentukan terlebih

dahulu. Standarisasi hasil digunakan pada lingkungan sederhana dan statis.

5. Standarisasi keterampilan (standardization of worker skills).

Keterampilan dan pengetahuan distandarkan melalui pelatihan sebelum

memasuki organisasi untuk menghasilkan kerja yang baik. Secara umum,

individu diberi pelatihan sebelum dia bergabung dengan sebuah

organisasi.

Pendapat Alter dan Hage secara umum, yang menurut Alexander

(1995:40), ide mengenai adanya hubungan antara strategi koordinasi dengan

bentuk jaringan antar organisasi masih bersifat sugestif, karena hasil penelitian

Alter dan Hage tersebut hanya meliputi jaringan antar organisasi yang spesifik

saja dan pada organisasi-organisasi yang bergerak di sektor yang sama.

Untuk mengatasi kelemahan apa yang dikemukakan oleh Alter dan Hage

tersebut, Alexander (1995:329-333) mengemukakan tentang, adanya enam unsur

karakter jaringan yang harus diperhatikan dalam melihat jaringan koordinasi antar

organisasi, yaitu:

Interdependence: terdapat empat kemungkinan karakter interdependence

(saling ketergantungan) dalam jaringan antar organisasi yaitu: (1) bersifat

sequential; (2) bersifat reciprocal; (3) bersifat pooled (symbiotic and/or

56

commensal); (4) kombinasi dari 2 dan 3 atau 1dan 3.

Size: kondisi dari jaringan antar organisasi adalah kombinasi dari dua

karakter: jumlah anggota organisasi dan jmulah dari anggota organisasi-organsasi.

Ini terdiri dari kombinasi yang dapat menjadi lima macam bentuk besaran

organisasi mulai dari yang terbesar sampai terkecil.

Structure: tingkatan struktur dari jaringan antar organsisi menggambarkan

dua ketergantungan karakter yang ada. Pertama adalah sentralisasi itu sendiri:

bahwa tingkat anggota organisasi-organisasi terkelompok di sekitar pusat atau

lingkungan inti. Hal yang lainnya adalah jaringan-jaringan yang terhubung:

Intensitas dan hubungan antara anggota organisasi. Intensitas hubungan ini

menggambarkan “Isi” dari aliran-aliran melalui jalur-jalur ; termasuk di dalamnya

jaringan kerja (dari pelanggan, kertas kerja yang berhubungan dengan pelayanan,

dan barang-barang atau produk dalam proses atau jaringan produksi), aliran-aliran

komunikasi (perintah-perintah, pemantauan, informasi) dam aliran-aliran

sumberdaya (uang, personil, tenaga ahli). Disini terdapat dua karakter yang

tergabung dan saling melengkapi, yaitu sentralisasi (Centrality) dan

keterhubungan (Connectedness).

Complexity: dalam jaringan antar organisasi kompleksitas juga

berhubungan dengan dua hal. Pertama adalah tingkat heterogenitas: variasi dari

sektor-sektor (seperti produk, teknologi atau tujuannya) dari para anggota

organisasi. Kedua adalah tingkat perbedaan: tingkat kedalaman yang anggota-

anggota organisasi berfungsi khusus, dan tingkatannya mulai dari yang terbatas

sampai kepada yang terluas, fungsi spesifik, atau tersedia dalam pelayanan yang

57

berbeda atau terlihat dalam berbagai tugas-tugas.

Semakin heterogen jaringan maka akan semakin berbeda-beda pula

keanggotaannya. Organisasi-organisasi akan menutup domain yang luas dari

fungsi atau tugas yang lebih mirip dengan yang ditemukan pada jaringan yang

homogen. Tingkatan kompleksitas terlihat dari tingginya heterogenitas dan

perbedaan sampai kepada yang paling rendah

Autonomy: di dalam jaringan antar organisasi autonomy diartikan sebagai

tingkatan yang memisahkan secara khusus dengan lingkungan organisasinya. Hal

ini menggambarkan dua hal. Pertama adalah tingkat keterbukaan jaringan: jumlah

dan intensitas anggota jaringan yang terkait dengan lingkungan organisasinya,

dibandingkan dengan keterkaitan dengan hubungan sesama mereka. Kondisi

tersebut memberikan indikasi pada tingkat apakah jaringan bersifat terbuka atau

tertutup dan bagaimana tingkat perbedaan sistem antar organisasi. Kedua,

ketergantungan: untuk apa tingkatan ketergantungan antar organisasi terhadap

lingkungannya dalam sumberdaya yang terbatas.

Teori pertukaran yang menerapkan validasi, menyarankan adanya dua

karakter yang positif tergabung. Jaringan yang lebih otonom adalah organisasi -

organisasi yang sedikit terhubung dan ketergantungannya dengan lingkungannya,

sedangkan yang sedikit otonominya akan lebih interaktif terhadap lingkungannya

karena mereka sangat membutuhkan sumberdaya yang disediakan oleh

lingkungan.

Mission: tujuan, misi atau tugas adalah merupakan alasan mengapa suatu

organisasi terlibat di dalam jaringan organisasi, ini merupakan suatu variabel

58

penting. Beberapa karakter dapat menggambarkan misi jaringan-jaringan, dari

yang paling utama: yang paling penting, jangka panjang, mendasar, skala besar,

kepada yang rendah : skala kecil, jangka pendek, dengan berfokus pada akibat

yang relatif sempit.

Dimensi pertama mengenai skala tugas: mengindikasikan jangka waktu,

intensivitas, dan isi ( atau skala dan tingkatan akibat) apa yang dilakukan jaringan

antar organisasi untuk memproduksi, membuat atau melakukannya. Hal lainnya

adalah kompleksitas tugas dimana terdapat kombinasi pengembangan teknologi

dan spesialisasi, pengetahuan yang mutakhir, sebagaimana terlihat dalam tingkat

ketidakpastian, tentang tujuan organisasi, misi, dan lingkungan.

Melalui pencermatan terhadap enam karakter jaringan tersebut tadi maka

akan tergambar dengan lebih jelas bagaimana pengembangan jaringan antar

organisasi yang terjadi di dalam hubungan koordinasi antar organisasi yang

terlibat dalam suatu kegiatan.

Sebagaimana telah disampaikan bahwa hal lain yang mempengaruhi

efektifitas koordinasi adalah strategi koordinasi. Karena itu konsep strategi

koordinasi yang akan dipergunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan

dimensi waktu (Time Dimension) yang terdiri dari anticipative dan adaptive.”

Anticipative coordination is coordinating by plan, adaptive coordination takes

place in real time, and is based on monitoring, feedback and control” (March and

Simon, 1958:158-169, dalam Alexander, 1994:36). Dengan demikian koordinasi

antisipasi akan dilihat pada bagaimana perencanaan dilakukan, sedangkan

koordinasi adaptif dilakukan dengan melihatnya pada kegiatan pelaksanaan,

59

pemantauan, umpan balik dan pengendalian. Teori tentang efektifitas koordinasi

antar organisasi dalam penelitian ini juga akan melihat dalam struktur tugas IOC

yang bagaimana yang terjadi dalam koordinasi antar organisasi di Bangka

Belitung yang dikaitkan pula dengan strategi manajemen jaringan dalam logika

strukturasi.

2.1.3. Konsep Pariwisata

Dalam Undang-undang (Nomor 10 tahun 2009) tentang Kepariwisataan

dinyatakan bahwa: Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh

seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat-tempat tertentu

untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya

tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara (pasal 1 angka 1).

Wisatawan menurut Undang-undang ( Nomor 10 tahun 2009) adalah

orang-orang yang melakukan wisata (pasal 1 angka 2). Jadi menurut pengertian

pada pasal ini dapat ditafsirkan bahwa, semua orang yang melakukan perjalanan

wisata dinamakan wisatawan seperti apa yang dikemukakan Soekadijo (2000:10)

bahwa perjalanan itu bukan untuk menetap dan tidak untuk mencari nafkah

ditempat yang dikunjunginya. Dengan demikian pengertian wisata mengandung

unsur bahwa perjalanan bersifat sementara dan perjalanan itu seluruhnya atau

sebagian bertujuan untuk menikmati daya tarik wisata.

Unsur yang terpenting dalam kegiatan wisata merujuk pendapat Soekadijo

(2000:10) adalah tidak bertujuan mencari nafkah, tetapi apabila di sela-sela

kegiatan mencari nafkah itu juga secara khusus dilakukan kegiatan wisata,

60

bagian dari kegiatan tersebut dapat dianggap sebagai kegiatan wisata.

Pariwisata adalah keseluruhan kegiatan wisata dan didukung berbagai

fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah

dan pemerintah daerah Pasal 1 angka 3).

Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan

pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yangmuncul sebagai

wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan

masyarakat setempat, sesama wisatawan, pemerintah, pemerintah daerah, dan

pengusaha (pasal 1 angka 4). Dengan demikian maka pariwisata dapat

disimpulkan meliputi berbagai kegiatan yang termasuk dalam (Fandeli:2002:17)

(1) semua kegiatan yang berhubungan dengan wisata, (2) Pengusahaan

daya tarik wisata seperti: kawasan wisata, taman rekreasi, kawasan

peninggalan sejarah, museum, waduk, pagelaran seni budaya, tata

kehidupan masyarakat atau yang bersifat alamiah: keindahan alam, gunung

berapi, danau, pantai, (3) Pengusahaan jasa dan sarana pariwisata yaitu:

usaha jasa pariwisata (biro perjalanan wisata, agen perjalanan wisata,

pramuwisata, konvensi, perjalanan insentif dan pameran, impresariat,

konsultan pariwisata, informasi pariwisata), usaha sarana pariwisata yang

terdiri dari : akomodasi, rumah makan, bar, angkutan wisata.

Kata pariwisata menurut Soekadijo (2000:1), konon pertama kali

dipergunakan oleh mendiang Presiden Soekarno dalam suatu percakapan untuk

padanan kata atau istilah yang di dalam bahasa Inggris tourism. Karenanya perlu

dirujuk beberapa pengertian kata tourism atau pariwisata tersebut digunakan

dalam literatur. Menurut Warpani dan Warpani (2007:5) kata pariwisata baru

populer pada tahun 1958. Sebelumnya digunakan kata turisme yang merupakan

serapan dari bahasa Belanda “tourisme”. Sejak 1958 tersebut kata pariwisata

resmi digunakan sebagai padanan kata tourisme (Bld) atau tourism (Ing).

61

Menurut Elliot (1997:20)

Tourism can be difined in more tahn one way depending upon the basis of

the study, such as geography, sociology, psychology, or economics. For

example, it can be defined as an industry or aseries of industrial sectors

such as hotels, restourants, and transport all loosely grouped together

which provided services for tourist. It can also be defined as an experience

of relaxation and pleasure. For the host communities it can be viewed as

pleasurable and profitable, or as a troublesome nuisance.....

Istilah pariwisata yang dikemukakan oleh Elliot itu dapat dimaknai bahwa

pariwisata bisa didifinisikan ke dalam lebih dari satu cara yang tergantung dari

bidang ilmu yang mendasarinya seperti geografi, sosiologi, psikologi atau

ekonomi. Sebagai contoh menurutnya, istilah pariwisata dapat digunakan sebagai

industri atau serangkaian kegiatan sektor industri seperti perhotelan, usaha

restoran dan transportasi serta usaha lainnya yang berhubungan dengan

penyediaan jasa layanan kepariwisataan. Pariwisata, menurut Elliot dapat pula

diartikan sebagai pengalaman dari para wisatawan yang menikmati pemandangan,

dan pengalaman dalam melakukan liburan atau bersantai. Bagi masyarakat yang

dikunjungi, pariwisata juga dapat diartikan sebagai sebuah keramahtamahan dan

usaha yang mendatangkan keuntungan.

Beberapa ahli juga mengemukakan pengertian pariwisata, antara lain

Spillane (1987 :11) yang mengemukakan bahwa pariwisata adalah perjalanan dari

suatu tempat ke tempat lain, bersifat sementara dilakukan secara perorangan

maupun kelompok, sebagai usaha untuk mencari keseimbangan atau keserasian

dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya juga

alam dan ilmu.

Sementara itu Tonge dan Myott mendifinisikan pariwisata (1993:1)

62

sebagai:

tourism is the temporary short- term movement of people to destinations

outsides the places where they normally live and work, together with their

activities and experiences during these trips which include pleasure,

entertainment, culture, business, conferences, visiting friends and

relations, adventure, challenge and self –development, or combination of

these reasons.

Pada bagian lain Mathieson and Wall (dalam Gunn, 2004:5) mendefinisikan

pariwisata adalah :

“Tourism is the temporary movement of people to destinations outside

their normal places of work and residence, the activities undertaken durin

their stay in those destinations, and the facilities creadted to carter to their

needs”.

Dengan demikian dapat didefinisikan bahwa pariwisata merupakan

pergerakan penduduk ke suatu daerah tujuan untuk sementara waktu dengan

meninggalkan tempat tinggal dan pekerjaan mereka untuk melakukan aktivitas di

daerah tujuan yang menyediakan fasilitas yang mereka butuhkan. Dari definisi –

definisi ini kemudian dapat dirumuskan bahwa, pariwisata merupakan gabungan

gejala dan hubungan yang timbul dari interaksi wisatawan, pemerintah dan

swasta, tuan rumah serta masyarakat tuan rumah dalam proses menarik dan

melayani wisatawan sehingga menghasilkan benefit yang saling menguntungkan.

Selanjutnya untuk dapat melihat bagaimana kinerja pembangunan

pariwisata maka diperlukan pemahaman akan apa yang menjadi tujuan dari

pembangunan atau pengembangan pariwisata itu sendiri sehingga terlihat juga

bagaimana pengaruh kegiatan-kegiatan pariwisata yang telah terjadi. Mill dan

Morrison mengusulkan tentang empat tujuan dari pembangunan pariwisata yaitu

(1985:248):

63

Pertama, secara ekonomi, mengoptimalkan sumbangan sektor pariwisata

dalam kegiatan perekonomian kesempatan kerja, peningkatan ekonomi

daerah dan memperkuat neraca pembayaran internasional.

Kedua, bagi konsumen, adalah agar manfaat pariwisata dapat diterima oleh

semua pihak, termasuk wisatawan dan masyarakat setempat.

Ketiga, dari sisi sumber daya alam dan lingkungan, pariwisata hendaklah

dapat melindungi dan melestarikan seni dan budaya, kebiasaan hidup,

sejarah dan situs serta adanya keserasian dengan kebijakan pemerintah

terkait pembangunan secara umum.

Keempat, kegiatan-kegiatan pemerintah, berhubungan dengan bagaimana

menyerasikan peran pemerintah dalam pariwisata terutama dalam

kebutuhan masyarakat, dan mengambil kepeloporan dalam hal

perlindungan lingkungan serta pemanfaatan sumber daya alam secara

bijaksana.

Seorang ahli pariwisata lainnya, Gunn (2002:14) menyatakan bahwa selain

melihat dampaknya di bidang ekonomi perlu pula dilihat bidang-bidang lainnya

yang terkena pengaruh dari pembangunan pariwisata. Menurutnya, keseluruhan

aspek pembangunan pariwisata diarahkan untuk pencapaian visi dalam

pengembangan pariwisata yang lebih baik dengan tujuan yang terdiri dari empat

hal yaitu :

(1) meningkatkan kepuasan wisatawan;

(2) mengembangkan ekonomi dan keberhasilan usaha;

(3) penggunaan sumber daya yang berkelanjutan; dan

(4) integrasi masyarakat dan kawasan.

2.1.3.1.1 Jenis Pariwisata

Seorang yang melakukan perjalanan wisata dapat disebabkan oleh

beberapa hal, atau seseorang mengadakan perjalanan wisata karena didorong oleh

berbagai motif yang tercermin dalam berbagai macam jenis pariwisata.

Pengetahuan serta pemahaman terhadap berbagai motif wisatawan ini perlu

dipelajari karena akan sangat berkaitan dengan fasilitas yang perlu diantisipasi

64

dan disiapkan bagi wisatawan serta bagaimana bentuk dan cara program-program

promosinya. Spillane (1987:21) membedakan jenis pariwisata, yaitu:

1. Pariwisata menikmati perjalanan (pleasure tourism).

Bentuk pariwisata ini dilakukan oleh orang-orang yang meninggalkan

tempat tinggalnya untuk berlibur, untuk mencari udara segar yang baru,

untuk memenuhi kehendak ingin tahunya, untuk mengendorkan

ketegangan sarafnya, untuk melihat sesuatu yang baru, untuk menikmati

keindahan alam, untuk mengetahui hikayat rakyat setempat, untuk

mendapatkan ketenangan dan kedamaian di daerah luar, untuk menikmati

hiburan di kota-kota besar, atau untuk ikut serta dalam keramaian pusat-

pusat pariwisata.

2. Pariwisata rekreasi (recreation tourism).

Jenis pariwisata ini dilakukan oleh orang-orang yang menghendaki

pemanfaatan hari-hari liburnya untuk beristirahat, untuk memulihkan

kembali kesegaran jasmani dan rohaninya, yang ingin menyegarkan

kondisi yang dialami dari keletihan dan kelelahannya.

3. Pariwisata kebudayaan (cultural tourism).

Jenis ini ditandai adanya rangkaian motivasi, seperti keinginan mengetahui

lebih jauh dan belajar di pusat-pusat pengajaran dan riset, untuk

mempelajari adat istiadat, kelembagaan, dan cara hidup rakyat negeri lain,

untuk mengunjungi monumen bersejarah, peninggalan masa lalu atau

sebaliknya. Penemuan-penemuan besar masa kini, pusat-pusat kesenian,

pusat-pusat keagamaan, atau juga untuk ikut serta dalam festival-festival

seni musik, teater rakyat, dan lain-lain.

4. Pariwisata olah raga (sport tourisnm).

Jenis ini dibagi dua kategori: (i) big sport events, yaitu peristiwa-peristiwa

olah raga besar seperti olimpic games, kejuaraan ski dunia, kejuaraan

sepak bola dunia, dan lain-lain yang menarik perhatian. Tidak hanya

atlitnya saja, tetapi juga ribuan penonton dan penggemarnya, (ii) sporting

tourisnm of the practitioners, yaitu dimana peristiwa olah raga bagi

mereka yang ingin berlatih dan mempraktekkan sendiri, seperti pendakian

gunung, berburu, memancing, arung jeram dan lain-lain. Negara/daerah

yang memiliki fasilitas atau tempat olah raga ini tentu dapat menarik

sejumlah penggemarnya.

5. Pariwisata untuk usaha dagang (business tourism).

Menurut beberapa ahli, perjalanan usaha ini adalah bentuk profesional

travel atau perjalanan karena ada kaitannya dengan pekerjaan atau jabatan.

Dalam istilah business tourism tersirat tidak hanya profesional trips yang

dilakukan kaum pengusaha atau industrialis. Tetapi juga mencakup semua

kunjungan ke pameran, kunjungan ke instalasi teknis yang bahkan menarik

orang-orang di luar profesi ini.

6. Pariwisata berkonvensi (convention tourism).

Peranan jenis pariwisata ini makin lama makin penting. Banyak negara

yang menyadari besarnya potensi ekonomi dari jenis pariwisata ini

65

sehingga mereka saling berlomba untuk menyiapkan dan mendirikan

bangunan-bangunan yang dilengkapi dengan fasilitas khusus.

Sementara itu ada pula pengelompokan wisatawan yang dilakukan dengan

berdasarkan kepada perilakunya seperti yang dikemukakan oleh Cohen

Swarbrooke dan Horner (1998:86, dalam Ismayanti, 2010:34-35) yang

mengidentifikasi empat kelompok wisatawan yaitu:

1. Wisatawan massal kelompok atau Organised Mass Tourist, dengan

karakteristik seperti:

a. Hanya mau membeli paket wisata ke daerah tujuan wisata terkenal

atau popular. Mereka memilih destinasi yang sudah berkembang dan

dipromosikan melalui media massa.

b. Memilih bepergian dengan rombongan atau kelompok dan dikelola

oleh pemimpin perjalanan serta didampingi pemandu wisata.

c. Melakukan perjalanan pergi dan pulang melalui jalan atau jalur

yang sama.

d. Memilih jadwal perjalanan yang tetap dan sedapat mungkin tidak

terjadi perubahan acara selama mereka berwisata.

2. Wisatawan Massal Individu atau Individual Mass Tourist, yang

karekteristiknya antara lain:

a. Membeli paket wisata yang memberikan kebebasan berwisata,

misalnya paket terbang-kemudi, yaitu paket wisata yang manakala

wisatawan melakukan perjalanan dengan pesawat komersial dan

mengemudian kendaraan sewaan sendiri.

b. Kreatif merancang paket wisata sesuai dengan selera dan emmbuat

keputusan perjalanan sendiri.

c. Mirip dengan wisatawan massal kelompok, ia cenderung memiliki

daerah tujuan wisata yang sudah dikenal, namun mereka juga masih

mau mencoba mendatangi daerah-daerah tujuan baru selama daerah

itu bukan merupakan daerah asing.

d. Bergantung pada ketersediaan fasilitas dan pelayanan yang

ditawarkan oleh usaha wisata.

e. Masih berada dalam lingkungan gelembung. Hal ini yang membuat

wisatwan dalam kelompok ini memiliki pengalaman wisata yang

terbatas.

3. Penjelajah atau explorer.

Bagi wisatawan dalam kelompok ini, ia akan selalu membuat

perencanaan perjalanan sendiri. Jika kesulitan, ia tidak ragu bertanya

kepada biro perjalanan dan sumber informasi lain. Kelompok ini juga

senang melakukan sosialisasi dengan masyarkat setempat, namun

tetap mengedepankan kenyamanan serta keamanan, walaupun tingkat

pelayanan yang mereka harapkan tidaklah harus mewah dan ekslusif.

66

4. Petualang atau Drifter.

Wisatawan jenis ini selalu mencoba dapat dilingkungan asing dan

baru. Malahan ia akan merasa senang jika dianggap sebagai bagian

dari masyarakat setempat. Wisatawan jenis ini tidak merencanakan

perjalanannya dalam artian tidak memesan kamar hotel, tiket pesawat

terbang, tetapi dengan langsung mendatangi hotel serta bandara guna

mendapatkannya. Bagi kelompok ini akan sangat senang mengunjungi

tempat-tempat yang jauh, serta menyenangi kenikmatan menginap di

rumah penduduk ketimbang di hotel serta makan di warung dari pada

di restoran.

2.1.3.2. Sistem Pariwisata

Pengertian sistem menurut hakekatnya oleh Jordan (1981, dalam Leiper,

1990:21) dinyatakan sebagai :

“We call a thing a system when we wish to express the fact that the thing is

percieved/concieved as consisting of a set of elements, of parts, that are

connected to each other by at least one distinguishing principle”.

Sementara itu Bertanffy (1972, dalam Leiper, 1990:21) mendifinisikan sistem

sebagai : “ A system may be defined as a set of elements standing in interrelation

among themselves and with the environtment”.

Cara berfikir sistem dalam pariwisata dapat diartikan adalah melihat

pariwisata sebagai suatu aktivitas yang kompleks, yang dapat dipandang sebagai

suatu sistem besar, yang mempunyai berbagai komponen, seperti ekonomi,

ekologi, sosial, politik, budaya dan seterusnya. Dengan melihat pariwisata sebagai

sebuah sistem maka analisis tentang berbagai aspek pariwisata tidak dapat

dilepaskan dan memiliki keterhubungan dengan subsistem yang lain seperti

politik, ekonomi, sosial, budaya dan seterusnya, dalam hubungan yang memiliki

saling ketergantungan dan keterhubungan (Pitana dan Diarta, 2009:56-57).

Dengan demikian adanya perubahan pada salah satu sub sistem akan berikibat

67

pada subsistem yang lain sebagaimana yang dinyatakan oleh Mill dan Morrison

(1985:xix) bahwa pariwisata adalah sistem dari berbagai elemen yang tersusun

seperti sarang laba-laba: “ Like spider’s web-touch one part of it and

reverberations will be felt thoughout”. Selanjutnya menurut Mill dan Morrison,

sistem pariwisata terdiri dari empat bagian yaitu: pasar; perjalanan; destinasi; dan

pemasaran.

Menurut Leiper (1990:22-23) elemen-elemen dari sebuah sistem

pariwisata yang sederhana menyangkut sebuah daerah atau negara asal wisatawan,

sebuah daerah atau negara tujuan wisata, dan sebuah tempat transit, serta sebuah

generator yang membalik proses tersebut sebagaimana yang terlihat pada

gambar.2.1. Terlihat ada lima elemen pokok yaitu traveler-genarating region,

departing traveler, transit route region, tourist destination region, dan returning

traveler. Namun demikian inti dari kelima elemen tadi sebenarnya hanya

menyangkut tiga hal pokok saja yaitu elemen wisatawan, tiga elemen georagrafis

(gabungan dari travel generator, transit route, dan tourist destination) dan elemen

industri pariwisata).

Gambar.2.1. Model Sederhana Sistem Pariwisata Leiper

(Pitana, 2009:58)

68

Sistem kepariwisataan dapat pula digambarkan sebagai keterkaitan antara

faktor permintaan dan faktor penawaran (WTO, 1994:5). Faktor permintaan

terdiri dari pasar wisata internasional, pasar wisata dalam negeri, dan masyarakat

pengguna atraksi wisata, pelayanan dan fasilitas. Sedangkan faktor penawaran

terdiri dari atraksi dan dan kegiatan, akomodasi, fasilitas dan pelayanan lainnya,

transportasi, infrastruktur lainnya, elemen-elemen kelembagaan.

FAKTOR PERMINTAAN FAKTOR PENAWARAN

- Pasar pariwisata internasional

- Pasar pariwisata domestik

- Masyarakat pengguna atraksi

pariwisata

- Atraksi dan kegiatan

- Akomodasi

- Fasilitas dan pelayanan pariwisata

- Transportasi

- Infrastruktur

- Elemen kelembagaan

Gambar.2.2. Sistim Pariwisata (WTO, 1994:5)

Menurut WTO , (1994:6) Efektifitas pembangunan, operasionalisasi dan

manajemen pariwisata memerlukan beberapa unsur-unsur kelembagaan seperti:

Struktur organisasi, terutama dinas pariwisata, dan asosiasi sektor

swasta yang terkait seperti asosiasi hotel.

Peraturan dan produk hukum yang terkait dengan kepariwisataan, seperti persyaratan standar dan perizinan bagi hotel dan biro perjalanan

wisata.

Program pendidikan dan pelatihan, dan lembaga pelatihan untuk menyiapkan tenaga-tenaga yang bekerja efektif di bidang pariwisata.

Ketersediaan dana sebagai modal untuk mengembangkan atraksi

wisata, fasilitas layanan dan infrastruktur, serta mekanisme untuk

menarik investasi.

Strategi pemasaran dan program promosi untuk menginformasikan tentang negara atau daerah yang akan dikunjungi , serta fasilitas

informasi dan layanan yang ada di tempat wisata.

Fasilitas perjalanan dan imigrasi , bea cukai, dan fasilitas serta pelayanan di pintu masuk dan pintu keluar wisatawan.

Menurut Inskeep (1991:38-39) dalam kegiatan pariwisata unsur-unsur

69

yang dapat dikembangkan berupa :

(1) Atraksi dan aktivitas wisata yaitu meliputi alam, sosial, budaya dan

kenampakan khusus di suatu wilayah yang dapat menarik wisatawan

untuk berkunjung;

(2) Akomodasi, berupa hotel dan fasilitas akomodasi lainnya

berhubungan dengan pelayanan menginap selama dalam perjalanan;

(3) Fasilitas dan pelayanan lainnya, termasuk di dalamnya agen

perjalanan, biro perjalanan, restoran dan tempat pelayanan makan

lain; toko cinderamata, bank, pusat informasi, salon, fasilitas

kesehatan, keamanan, polisi, dan pemadam kebakaran;

(4) Transportasi merupakan akses masuknya ke suatu negara , region atau

daerah. Transportasi lokal menjadi sistem penghubung antara objek

wisata dengan objek yang lainnya, antar kawasan wisata dan antara

daerah asal dengan daerah tujuan;

(5) Infrastruktur lainnya, pemasok air bersih, listrik, pembuangan limbah,

telepon, radio;

(6) Kelembagaan, diperlukan untuk mengembangkan, mengelola,

memasarkan dan mempromosikan program, aturan-aturan, struktur

organisasi, sistem kontrol dan kebijakan investasi.

Gambar 2.3.

Komponen Inti Pengembangan Pariwisata (Inskeep, 1991:39)

Selain komponen supply factor yang sangat mempengaruhi

pengembangan suatu kawasan wisata, Gunn (2002:59-68), mengemukakan bahwa

70

inti dari sistem kepariwisataan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal.

Perencanaan pariwisata tidak semata-mata hanya terkait pada inti fungsi sistem

pariwisata saja tetapi ada banyak faktor luar yang sangat besar pengaruhnya

terhadap pengembangan pariwisata.

Faktor-faktor luar yang sangat berperan bagi keberhasilan pengembangan

pariwisata adalah : (1) Sumberdaya Alam; (2) Sumber Daya Budaya; (3)

Kewiraswastaan; (4) Pendanaan; (5) Tenaga Kerja; (6) Kompetisi; (7)

Masyarakat; (8) Kebijakan Pemerintah Daerah dan; (9) Organisasi dan

Kepemimpinan.

Gambar 2.4. Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan Suatu

Kawasan Wisata, (Gunn, 2002:59)

Menurut Mill (2000:26), Tachjan (2005:127), terdapat empat dimensi

utama pariwisata yaitu: atraksi, fasilitas, transportasi, dan keramahtamahan.

Atraksi menurut Mill, merupakan sumber-sumber alam, budaya, etnisitas,

Organization Leadership

Leadership

Finance Labor Entrepreneurship

Comunity

Comptetition

Function Tourism

System

Cultural resources Resources

Natural Resources Governmental Policy

71

dan hiburan, sedangkan menurut Spillane (1994:64) atraksi merupakan keindahan

alam, iklim atau cuaca, kebudayaan, sejarah, ethnicity-sifat kesukuan, dan

accesibility-kemampuan atau kemudahan berjalan di tempat tertentu. Menurut

Yoeti (2008:102) atraksi wisata berbeda dengan objek wisata. Jika atraksi wisata

merupakan sesuatu yang dapat dilihat atau disaksikan melalui suatu pertunjukan

(shows) yang khusus diselenggarakan untuk para wisatawan. Sedangkan objek

wisata (tourist objects), adalah objek yang wisata dapat dinikmati oleh wisatawan

tanpa membayar. Selain itu atraksi harus dipersiapkan terlebih dahulu untuk

menyaksikannya, sedangkan objek wisata dapat dinikmati tanpa harus

dipersiapkan terlebih dahulu seperti, danau, pantai, gunung, sungai, monumen dan

lain-lain.

Inskeep (1991:77-90) membuat klasifikasi atraksi menjadi beberapa

katagori yaitu:

1. Natural attractions, yang didasari pada kondisi keadaan lingkungan

alam seperti: iklim, seindahan alam, pantai dan kawasan maritim, flora dan

fauna, kondisi lingkungan yang spesial seperti puncak gunung, formasi

geologi, gua, air panas, taman konservasi, dan pariwisata kesehatan.

2. Cultural attractions, didasarkan pada aktifitas manusia seperti: situs

arkeologi, sejarah dan kebudayaan, bentuk-bentuk kebudayaan yang

bersifat khusus, kesenian dan kerajinan tangan, aktifitas ekonomi yang

menarik, kawasan pedesaan yang menarik, museum dan fasilitas

kebudayaan, festival kebudayaan, keramahtamahan.

3. Special Types of attractions, merupakan atraksi yang dikreasi atau

diciptakan khusus, seperti taman hiburan, taman bermain, sirkus, pusat

perbelanjaan, rapat-rapat, konferensi dan konfensi, kegiatan-kegiatan

khusus seperti perlombaan dan pertandingan olahraga, pameran dan

pertunjukan, pagelaran, perjudian kasino, hiburan, rekreasi dan olahraga.

Fasilitas, merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris, facility

yang bermula dari bahasa Latin yaitu facilitas asal kata facilis. Dari kata facilitas

diturunkan ke dalam kata easiness yang berarti kemudahan, sedangkan dari kata

72

facilis diturunkan kata easy yang berarti mudah. Dengan demikian fasilitas dapat

diartikan sebagai mudah atau kemudahan (Tachjan: 2005:128). Dengan demikian

fasilitas adalah merupakan kemudahan-kemudahan atau hal-hal yang dapat

mempermudah, yang dapat dinikmati atau dipergunakan oleh pengunjung atau

wisatawan di suatu destinasi wisata yang dapat (Spillane,1994:69, Mill, 2000:30)

berupa:

1. Sistem pengairan

2. Jaringan komunikasi

3. Fasilitas kesehatan

4. Terminal-terminal angkutan

5. Sumber energi dan listrik

6. Sistem pembuangan limbah dan air

7. Jalan-jalan raya

8. Sistem keamanan

Transportasi, kegiatan pariwisata pada umumnya adalah melakukan

kegiatan di luar rutinitasnya sehari-hari, karenanya melakukan sebuah perjalanan

merupakan bagian yang hampir tidak terpisahkan dari kegiatan pariwisata. Dalam

melakukan perjalanan ke tempat-tempat tersebut diperlukan moda angkutan yang

aman nyaman. Kebutuhan akan adanya transportasi dalam pariwisata tersebut

menyebabkan timbulnya hubungan yang sangat penting antara kedua hal ini

(Tachjan, 2005:131). Peningkatan fasilitas pariwisata merangsang pariwisata itu

sendiri, sementara itu ekspansi pariwisata meningkatkan kebutuhan akan

transportasi yang lebih baik. Dikenal adanya tiga macam transportasi yang lazim

digunakan dalam menunjang kegiatan para wisatawan yaitu transportasi udara,

transportasi laut, dan transportasi darat.

Keramahtamahan, salah satu hal yang penting dalam sebuah destinasi

73

pariwisata adalah keramahtamahan yang dirasakan oleh wisatawan ketika

mengunjungi suatu tempat, mulai dari petugas di tempat –tempat publik, para

karyawan, dan penduduk yang dijumpai selama mereka berwisata. Citra

pengunjung terhadap keramahtamahan penduduk merupakan salah satu faktor

penting dalam pengambilan keputausan untuk kembali berkunjung ke tempat yang

sama (Hoffman dan Low dalam Tachjan, 2005:131). Hal tersebut juga dapat

dilihat dari keramahtamahan masyarakat Bali yang dikagumi oleh para wisatawan

asing, yang menjadi salah satu alasan kenapa orang mengunjungi Bali.

Keramahtamahan masyarakat Bali berdasarkan penelitian diakui oleh 65,11%

wisman (Pitana dan Gayatri, 2005:77).

2.1.3.3. Rencana Induk Pembangunan Pariwisata

Pembangunan pariwisata dalam suatu kawasan biasanya mengalami empat

tahapan (Fandeli, 2001:170). Tahap pertama yang merupakan awal dari

pengembangan ditandai dengan tumbuhnya jumlah wisatawan, tetapi kurang

signifikan. Di tahap kedua, jumlah wisatawan meningkat tajam. Perkembangan

jumlah wisatawan ini kemudian melambat atau boleh dikatakan berhenti pada

tahap ketiga. Pertumbuhan yang melambat ini seirang dengan terjadinya

kerusakan sumberdaya alam alam dan lingkungan hidup. Terjadinya jumlah

wisatawan yang menurun karena mulai terjadinya kejenuhan pasar wisata akibat

ketidakpuasan wisatawan terhadap pelayanan dan kualitas destinasi. Hal ini

bersamaan dengan mulai terjadinya kerusakan sumberdaya alam. Kondisi seperti

ini disebut dengan daya dukung lingkungan pariwisata telah terlampaui. Pada saat

74

ini yang disebut dengan tahap keempat, maka upaya pembinaan pariwisata sangat

diperlukan.

Agar pembangunan pariwisata dilakukan sesuai dengan daya dukung yang

ada termasuk di dalamnya aspek kesiapan masyarakat di destinasi wisata, serta di

sisi yang lain menjadikannya sebagai daerah yang memiliki daya tarik sehingga

menjadi destinasi wisata yang berkualitas, maka perencanaan pengembangan

pariwisata perlu dilakukan dengan dengan lebih seksama.

Di dalam melaksanakan perencanaan pengembangan pariwisata dapat

dilaksanakan secara bertahap mulai dari perencanaan makro ke skala mikro.

Secara berurutan perencanaan yang prosesnya top down planning akan lebih

sempurna bila dikombinasikan dengan perencanaan dari bawah (bottom up

planning).

Pembangunan kepariwisataan di Indonesia seperti yang termuat dalam

Undang-undang tentang Kepariwisataan( Nomor 10 tahun 2009), dilakukan

dengan berdasarkan asas manfaat; kekeluargaan; adil dan merata; keseimbangan;

kemandirian; kelestarian; partisipatif; berkelanjutan; demokratis; kesetaraan dan

kesatuan. Dalam (pasal 6) Undang-undang Kepariwisataan itu dinyatakan bahwa

“Pembangunan kepariwisataan.... diwujudkan melalui pelaksanaan rencana

pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan,

dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata”.

Pembangunan kepariwisataan tersebut dilakukan dengan berdasarkan

rencana induk pembangunan kepariwisataan yang terdiri dari rencana induk

pembangunan kepariwisataan nasional, rencana induk kepariwisataan provinsi

75

dan rencana induk kepariwisataan kabupaten/kota. Rencana induk pembangunan

kepariwisataan nasional dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) maka

rencana induk kepariwisataan provinsi dan kabupaten/kota dengan Peraturan

daerah (Perda).

2.2. Kerangka Pemikiran

Dalam upaya melakukan pengembangan pariwisata pemerintah memiliki

peranan sentral yang antara lain diwujudkan dalam bentuk meningkatkan

bergeraknya sektor dan kegiatan yang dapat mendukung serta menciptakan

suasana yang kondusif bagi berjalannya industri kepariwisataan di suatu daerah

atau kawasan pariwisata.

Langkah awal dalam menuju kondisi tersebut dapat dilakukan dengan

meletakan dasar bagi rencana pengembangan seperti apa yang akan dilakukan

yang biasanya tertuang dalam cetak biru atau master plan rencana kepariwisataan

yang ditetapkan dalam peraturan perundangan mulai dari bentuk undang-undang

sampai kepada Keputusan Kepala Daerah.

Pilihan untuk mendorong berkembangnya kepariwisataan dapat timbul

karena diyakini akan adanya kemanfaatan dari berkembangnya pariwisata. Secara

teoritis maka dapat dilihat bahwa manfaat dan dampak pembangunan pariwisata

yang ditinjau setidaknya dari empat sudut pandang yang meliputi manfaat

ekonomi, manfaat sosial budaya, manfaat dalam berbangsa dan bernegara, serta

manfaat bagi lingkungan (Sedarmayanti, 2005:6-7). Menurutnya dari segi

ekonomi (kesejahteraan) antara lain dapat dilihat dalam penerimaan devisa,

76

kesempatan berusaha, terbukanya lapangan kerja, meningkatnya pendapatan

masyarakat dan pemerintah, serta mendorong pembangunan daerah. Dari segi

sosial budaya manfaat yang didapat adalah pelestarian adat istiadat, meningkatkan

kecerdasan masyarakat, meningkatkan kesehatan dan kesegaran jasmani ataupun

rohani, dan mengurangi konflik sosial. Manfaat dalam berbangsa dan bernegara

antara lain mempererat persatuan dan kesatuan, menumbuhkan rasa memiliki,

keinginan untuk memelihara dan mempertahankan negara yang berujung pada

rasa cinta pada tanah air, serta memelihara hubungan baik internasional dalam hal

pengembangan pariwisata. Sedangkan manfaat bagi lingkungan dimana

wisatawan biasanya mencari kondisi dan tempat yang tenang, bersih dan nyaman

maka pengembangan pariwisata juga dapat menjadi salah satu cara dalam

melestarikan lingkungan.

Sementara itu menurut Yoeti (2008, 77-78) terdapat tiga alasan mengapa

dikembangkannya pariwisata pada suatu daerah baik secara lokal, regional

maupun internasional. Pertama, yang disebutnya sebagai alasan utama sangat erat

kaitannya dengan pembangunan perekonomian daerah atau negara tersebut.

Alasan kedua menurutnya ialah, pengembangan pariwisata lebih banyak bersifat

non ekonomis, seperti memelihara adat istiadat, bangunan-bangunan kuno,

kesenian daerah serta membuat suasana yang nyaman, bersih dan aman. Terakhir

atau yang ketiga, adalah untuk menghilangkan kepicikan berfikir, dan

mengurangi salah pengertian.

Sedangkan menurut Vorlaufer (1996, dalam Damanik, 2010:2) juga ada

tiga alasan utama Kebijakan pembangunan pariwisata dilakukan oleh pemerintah

77

maupun pemerintah daerah antara lain; pertama, karena adanya keyakinan bahwa

pembangunan pariwisata mampu meningkatkan devisa, kesempatan kerja; kedua,

meredistribusi pendapatan, menyeimbangkan pembangunan inter-regional; ketiga,

menciptakan diversifikasi aktivitas ekonomi dan kelembagaan baru.

Berdasarkan berbagai kajian yang dilakukan para ahli dapat disimpulkan

bahwa sumbangan pariwisata yang secara signifikan pada perkembangan ekonomi

suatu negara atau daerah tampak dalam tiga bentuk utama yaitu: perluasan

kesempatan kerja, peningkatan pendapatan (devisa), dan pemerataan

pembangunan antar wilayah. Besaran dampak tersebut bergantung kepada tingkat

perkembangan pariwisata. (de Kadt, 1997; Mathieson dan Wall,1982; Luebben,

1995; Max, 2004: dalam Damanik dkk, 2005:18).

Sektor pariwisata juga terbukti telah memberikan sumbangannya sebagai

katup pengaman di saat krisis terjadi sekaligus memberikan dampak ganda

(multiplier effect) yang cukup besar pada pertumbuhan sektor-sektor lain.

Perkembangan inipun dapat menghidupkan banyak usaha kecil sektor informal

yang terkait dengan kegiatan wisata, antara lain asongan, warung jasa pemandu

wisata dan sebagainya (Ardika dalam Damanik dkk, 2005:36).

Pengaturan yang menyangkut arahan dan kebijakan mengenai

bagaimana melakukan pembangunan pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka

Belitung termasuk di dalamnya termuat dalam Rencana Induk Perencanaan

Pariwisata Daerah (RIPPDA) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2007-2013

dan Surat Keputusan Gubernur (Nomor: 188.44/299/III/2008, tanggal 28 Mei

2008), tentang Pembentukan Tim Percepatan Persiapan Visit Babel Archi 2010.

78

Untuk menjalankan dan melaksanakan berbagai kebijakan di bidang

kepariwisataan tersebut khususnya menyangkut pariwisata di tingkat daerah

dilakukan dengan pemahaman bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah( Nomor

38 tahun 2007), pemerintah daerah juga mempunyai bagian urusan yang harus

dilaksanakan, baik oleh pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota. Dengan

dasar ini maka di Kepulauan Bangka Belitung telah diambil langkah-langkah

penting dalam mendorong percepatan pembangunan di bidang pariwisata.

Perkembangan pariwisata juga berkaitan erat dengan perkembangan

pembangunan pada umumnya (Sukarsa, 1999:59) bahwa daerah yang berkembang

pariwisatanya juga akan mengembangkan berbagai atraksi, serta berbagai fasilitas

dan layanan yang diadakan untuk merespon kebutuhan pasar. Daerah atau resort

pariwisata juga akan menuju suatu siklus evolusi yang sama dengan siklus hidup

sebuah produk.

Sementara itu di sisi yang lain, keberhasilan dalam menjalankan sebuah

kebijakan publik berupa pembangunan di bidang pariwisata di suatu daerah akan

sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh bagaimana kerjasama dan koordinasi

antar organisasi terkait yang berhubungan dengan sektor pariwisata di daerah.

Penelitian ini akan memfokuskan pada bagaimana hubungan antar

organisasi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dikaitkan konsep koordinasi

organisasi dengan pengembangan pariwisata daerah.

Selanjutnya, gambaran pemikiran yang akan dipergunakan dalam

penelitian ini adalah ; dari aspek hubungan antar organisasi yang ikut menangani

kepariwisataan seperti yang digambarkan dalam Rencana Induk Pengembangan

79

Pariwisata Daerah (RIPPDA) yang akan dilihat dalam dimensi karakter jaringan

dan strategi koordinasi antar organisasi.

Alter dan Hage (1993, dalam Alexander, 1995:40) menyatakan bahwa

koordinasi yang efektif adalah masalah hubungan antara analisis strategi (metode

yang dipilih), dan jenis jaringan antar organisasi yang terlibat. Karena itu maka

penelitian ini melihat koodinasi dalam pembangunan pariwisata di Kepulauan

Bangka Belitung melalui bagaimana aspek strategi koordinasi yang dilakukan

berdasarkan dimensi waktu, serta dalam kondisi atau karakter jaringan antar

organisasi yang bagaimana pula hal tersebut berlangsung. Koordinasi

berdasarkan dimensi waktu terdiri dari Anticipatory Coordination atau koordinasi

antisipatif yaitu koordinasi berdasarkan pada perencanaan, sedangkan Adaptive

Coordination atau koordinasi adaptif adalah didasarkan pada pelaksanaan,

pemantauan, umpan balik, dan pengendalian (Alexander,1995:36, 44 dan 323).

Pendekatan koordinasi berdasarkan dimensi waktu ini juga akan dilihat dengan

strategi manajemen jaringan dalam logika strukturasi seperti yang dikemukakan

Klijn dan Teisman (1999:106 dalam Pratikno, 2008:14).

80

Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian

KOORDINASI PEMBANGUNAN PARIWISATA

ORGANISASI MASYARAKAT

DAERAH PARI-

WISATA UNGGUL

(Sumber: Diolah dari Alexander, 1995:36:40:44:323,

Klijn dan Teisman (1999:106 dalam Pratikno, 2008:14)

KARAKTER JARINGAN

ANTAR ORGANISASI

-Interdepandence -Size

-Structure -Complexity -Autonomy

-Mission ORGANISASI SWASTA

STRATEGI KOORDINASI

(Dimensi Waktu)

- Koordinasi Perencanaan - Koordinasi

Pelaksanaan, Pemantauan,

umpan balik & Pengendalian

SKPD

STRATEGI MANAJEMEN JARINGAN

81

2.3. Hipotesis Kerja

Koordinasi antar organisasi dalam pembangunan pariwisata daerah

meliputi strategi koordinasi berdasarkan dimensi waktu dan karakter jaringan

antar organisasi, serta strategi manajemen jaringan.