Download - Asuhan Keperawatan Steven Jhonson
ASUHAN KEPERAWATAN
SINDROM STEVEN JHONSON
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Sistem Imunologi
Disusun Oleh :
SUJANA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ( STIKes ) CIREBON
PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN
CIREBON
2012
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah dengan judul ″ Asuhan Keperawatan Sindrom Steven Jhonson ″ ini di susun
untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah ″ Sistem Imunologi” Program Studi S1
Keperawatan STIKes Cirebon.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaikanya tugas makalah ini tepat pada waktunya,
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan penulisan dimasa
yang akan datang.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermamfaat bagi kita semua, terutama
mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan STIKes Cirebon, khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi pembaca.
Cirebon, Januari 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................1
BAB II TINJAUAN TEORITIS.........................................................................2
2.1. Definisi............................................................................................2
2.2. Etiologi............................................................................................2
2.3. Epidemiologi...................................................................................2
2.4. Patofisiologi....................................................................................4
2.5. Manifestasi Klinis..........................................................................6
2.6. Penegakan Diagnosis.....................................................................6
2.7. Diagnosis Banding..........................................................................8
2.8. Penatalaksanaan............................................................................9
2.9. Prognosis.........................................................................................10
2.10. Komplikasi......................................................................................11
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN...............................................12
3.1. Pengkajian......................................................................................12
3.2. Pathway..........................................................................................12
3.3. Diagnosa Keperawatan.................................................................13
3.4. Focus Intervensi............................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom Steven Johnson dan Nekrolisi Epidermal Toksis (NET) ialah reaksi
mukokutan akut yang ditandai dengan nekrosis dan pengelupasan epidermis luas dan
menyebabkan kematian. Makula eritem, terutama pada badan dan tungkai atas berkembang
progesif menjadi lepuh flaksid dengan akibat pengelupasan epidermis, karena kesamaan
dalam temuan klinis dan histopatologis, etiologi obat dan mekanisme terjadinya penyakit,
Sindrom Steven Johnson dan NET mewakili keparahan varian dari proses klasik yang
berbeda hanya dalam persentasi luas permukaan tubuh yang terlibat, maka kedua penyakit
dikelompokan sebagai nekrolisis epidermal (NE).
Nekrolisis epidermal diklasifikasikan dalam 3 kelompok berdasarkan luas permukaan
tubuh total dimana epidermis mengalami epidermolisis, yaitu :
1. SSJ luas permukaan tubuh yang terkena < 10 %
2. SSJ / NET Overlap luas permukaan tubuh yang terkena 10 – 30 %
3. NET luas permukaan tubuh yang terkena > 30 %
Steven Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai
kompleks imun yang merupakan bentuk yang berat dari eritema multiformis. SJS dikenal
pula sebagai eritem multiformis mayor. SJS umumnya melibatkan kulit dan membran
mukosa. Ketika bentuk minor terjadi, keterlibatan yang signifikan dari mulut, hidung, mata,
vagina, uretra, saluran pencernaan, dan membran mukosa saluran pernafasan bawah dapat
berkembang menjadi suatu penyakit. Keterlibatan saluran pencernaan dan saluran pernafasan
dapat berlanjut menjadi nekrosis. SJS merupakan penyakit sistemik serius yang sangat
potensial menjadi penyakit yang sangat berat dan bahkan menjadi sebuah kematian. (Athuf
Thaha, 2010)
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Definisi
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di
orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada
kulit berupa eritema, vesikel/bula dapat disertai purpura. (Djuanda,1993)
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat yang terdiri dari erupsi
kulit, kelainan dimukosa dan konjungtifitis. (Junadi,1982)
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula,
dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk. (Mansjoer, 2000)
2.2 Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang dapat dianggap
sebagai penyebab adalah:
1. Alergi obat secara sistemik
a. Penisilline dan semisentetiknya
b. Sthreptomicine
c. Sulfonamida
d. Tetrasiklin
e. Anti piretik atau analgesik
f. Klorpromazin
g. Karbamazepin
h. Kirin Antipirin
i. Tegretol
2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur dan parasit)
3. Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)
4. Makanan
2.3 Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan
IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk
mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi
neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada
organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan
sehingga terjadi reaksi radang. (Djuanda, 2000)
Reaksi Hipersensitif tipe III :
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap
didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan
tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing
dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat
tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi
kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut. Neutrofil tertarik ke
daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan
enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.
(Corwin, 2000)
Reaksi Hipersensitif Tipe IV :
2
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau
sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan.
Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam
sampai 27 jam untuk terbentuknya.
2.4 Manifestasi Klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan umumnya bervariasi
dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat soporous
sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi,
malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri dari eritema, vesikel dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu dapat juga terjadi purpura.
Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian
disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung dan anus
jarang (masing-masing 8% dan 4%).
Kelainan berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga menjadi erosi
dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Juga dalam terbentuk pseudomembran. Dibibir
kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan dimukosas dapat juga terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas
dan esopfagus. Stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar tidak dapat menelan.
Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yang tersering ialah
konjungtifitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan,
ulkus korena, iritis dan iridosiklitis.
Gambar 1. Manifestasi Klinis Steven-Johnson Syndrome
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka
penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
Histopatologi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi
sel darah merah, degenerasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal dan spongiosis
dan edema intrasel di epidermis.
Imunologi : Dijumpai deposit IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial
serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.
2.6 Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 %
diantara seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah,
gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena
gangguan lakrimasi.
2.7 Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan
prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi
menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan
tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan
4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson
berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah
masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama
mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg.
Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet
kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis
20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat
tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit
(K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia
diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia.
Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi
protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis
25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat
menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi,
berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x
80 mg.
3. Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien
sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran
dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan
Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan
transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus
yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula
ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
4. Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi
di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
2.8 Prognosis
Steven Johnsons Syndrome dengan prosentase < 10% permukaan tubuh terlibat
memiliki angka kematian sekitar 5%. Resiko kematian bisa diperkirakan dengan
menggunakan skala Scorten, yaitu skala untuk menentukan keparahan (prognosis) penyakit
kulit berlepuh dengan menggunakan sejumlah faktor prognostic yang dijumlahkan.
Tabel 2.1 Skala Scorten
Faktor Prognostik Nilai Skor / Mortaliti Rate
Usia > 40 tahun 1
0-1 = 3,2 %
2 = 12,1 %
3 = 35,3 %
4 = 58,3 %
>5 = 90 %
Hate Rate > 120 x/menit 1
Kanker / Keganasan Hematologis 1
BSA / Luas Permukaan Tubuh yang terkena > 10 % 1
Kadar Ureum Serum > 10 mM atau BUN > 27 mg/dl 1
Kadar Glukosa Serum > 14 mM ( < 250 mg/dl ) 1
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
3.1.1 Data Subyektif
Klien mengeluh nyeri tenggorokan, sulit menelan, nyeri kepala, malaese,
demam.
3.1.2 Data Obyektif
Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi
yang luas, sering didapatkan purpura.
Krusta hitam dan tebal pada bibir atau selaput lendir, stomatitis dan
pseudomembran di faring
Konjungtivitis, perdarahan sembefalon, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.
3.1.3 Data Penunjang
Laboratorium : leukositosis atau esosinefilia
Histopatologi : infiltrat sel mononuklear, oedema dan ekstravasasi sel darah
merah, degenerasi lapisan basalis, nekrosis sel epidermal, spongiosis dan
edema intrasel di epidermis.
Imunologi : deposis IgM dan C3 serta terdapat komplek imun yang
mengandung IgG, IgM, IgA.
3.2 Pathway (Corwin, Elizabeth. J. 2001)
Alergi obat2an, infeksi mikroorganisme,
neoplasma dan faktor endokrin, faktor fisik dan makanan
Reaksi alergi tipe III
Terbentuknya kompleks antigen dan antibodi
Terpangkap dalam jaringan kapiler
Mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast
Kerusakan jaringan kapiler/organ
Akumulasi neutrofil
Reaksi alergi tipe IV
Sel tak aktif, kontak kembali dengan antigen
Melepas limfosit dan sitotoksin
Reaksi radang
Kelainan kulit dan eritema :
Inflamasi dermal dan epidermal
Gangguan integritas kulit
Nyeri
Kelainan selaput lendir dari
orifisium :
Kesulitan menelan
Intake in adequat
Kelemahan fisik
Kelainan pada mata :
Gg persepsi sensori : Penglihatan
Konjungtivitis
8
3.3 Diagnosa Keperawatan
3.3.1 Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
3.3.2 Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
3.3.3 Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit
3.3.4 Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
3.3.5 Gg.Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtivitis
3.4 Fokus Intervensi
3.4.1 Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal dan epidermal
Kriteria hasil : menunjukkan kulit dan jaringan kulit yang utuh
Intervensi:
a. Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi dan sensori serta perubahan
lainnya yang terjadi.
Rasional : menentukan garis dasar dimana perubahan pada status dapat
dibandingkan dan melakukan intervensi yang tepat
b. Gunakan pakaian tipis dan alat tenun yang lembut
Rasional : menurunkan iritasi garis jahitan dan tekanan dari baju,
membiarkan insisi terbuka terhadap udara meningkat proses penyembuhan
dan menurunkan resiko infeksi
c. Jaga kebersihan alat tenun
Kelainan pada mata :
Gg persepsi sensori : Penglihatan
Konjungtivitis
Rasional : untuk mencegah infeksi
d. Kolaborasi dengan tim medis
Rasional : untuk mencegah infeksi lebih lanjut
3.4.2 Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan
Kriteria hasil : menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan
Intervensi :
a.Kaji kebiasaan makanan yang disukai/tidak disukai
Rasional : memberikan pasien/orang terdekat rasa kontrol, meningkatkan
partisipasi dalam perawatan dan dapat memperbaiki pemasukan
b. Berikan makanan dalam porsi sedikit tapi sering
Rasional : membantu mencegah distensi gaster/ketidak nyamanan
c. Hidangkan makanan dalam keadaan hangat
Rasional : meningkatkan nafsu makan
d. Kerjasama dengan ahli gizi
Rasional : kalori protein dan vitamin untuk memenuhi peningkatan
kebutuhan metabolik, mempertahankan berat badan dan mendorong
regenerasi jaringan.
3.4.3 Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit
Kriteria hasil :
Melaporkan nyeri berkurang
Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks
Intervensi :
a. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi dan intensitasnya
Rasional : nyeri hampir selalu ada pada beberapa derajat beratnya
keterlibatan jaringan
b. Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yang sakit
Rasional : meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot dan kelelahan
umum
c. Pantau TTV
Rasional : metode IV sering digunakan pada awal untuk memaksimalkan
efek obat
d. Berikan analgetik sesuai indikasi
Rasional : menghilangkan rasa nyeri
3.4.4 Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
Kriteria hasil : klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas
Intervensi :
a.Kaji respon individu terhadap aktivitas
Rasional : mengetahui tingkat kemampuan individu dalam pemenuhan
aktivitas sehari-hari.
b. Bantu klien dalam memenuhi aktivitas sehari-hari dengan tingkat
keterbatasan yang dimiliki klien
Rasional : energi yang dikeluarkan lebih optimal
c.Jelaskan pentingnya pembatasan energi
Rasional : energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh
d. Libatkan keluarga dalam pemenuhan aktivitas klien
Rasional : klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga
3.4.5 Gg.Persepsi sensori: kurang penglihatan b.d konjungtivitis
Kriteria hasil :
Kooperatif dalam tindakan
Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen
Intervensi :
a. Kaji dan catat ketajaman pengelihatan
Rasional : Menetukan kemampuan visual
b. Kaji deskripsi fungsional apa yang dapat dilihat/tidak.
Rasional : Memberikan keakuratan thd pengelihatan dan perawatan.
c. Sesuaikan lingkungan dengan kemampuan pengelihatan:
Rasional : Meningkatkan self care dan mengurangi ketergantungan.
d. Orientasikan thd lingkungan.
Letakan alat-alat yang sering dipakai dalam jangkuan pengelihatan klien.
Berikan pencahayaan yang cukup.
Letakan alat-alat ditempat yang tetap.
Berikan bahan-bahan bacaan dengan tulisan yang besar.
Hindari pencahayaan yang menyilaukan.
Gunakan jam yang ada bunyinya.
e. Kaji jumlah dan tipe rangsangan yang dapat diterima klien.
Rasional : Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan pengelihatan
menurun.
DAFTAR PUSTAKA
1. Corwin, Elizabeth. J. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC, 2001.
2. Athuf Thaha. Saint dan Fakta : Sindrom Steven Johnson Penyakit Yang Mengerikan.
www.scrib.com, 2010.
3. Doenges. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta : EGC, 2000.
4. Hamzah, Mochtar. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 4. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI, 2005.
5. Price dan Wilson. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta :
EGC, 1991.
6. FKUI. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 2. Jakarta : Media Aesculapius, 2000.