doc-1
DESCRIPTION
teknikTRANSCRIPT
PENGARUH PEMAKAIAN KACAMATA LAS TERHADAP
KETAJAMAN PENGLIHATAN PADA PEKERJA LAS KARBIT
DI WILAYAH PINGGIR JALAN D. I. PANJAITAN KOTA SEMARANG
SKRIPSI
Diajukan dalam rangka penyelesaian studi Strata 1
Untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh
Nama : Kartika Nur Wijayanti
NIM : 6450401016
Jurusan : Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas : Ilmu Keolahragaan
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2005
SARI
Kartika Nur Wijayanti. 2005. Pengaruh Pemakaian Kacamata Las terhadap
Ketajaman Penglihatan pada Pekerja Las Karbit di Wilayah Pinggir Jalan D. I.
Panjaitan Kota Semarang.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh pemakaian
kacamata las terhadap ketajaman penglihatan pada pekerja las karbit di wilayah
pinggir Jalan D. I. Panjaitan Kota Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh pemakaian kacamata las terhadap ketajaman penglihatan
pada pekerja las karbit di wilayah pinggir Jalan D. I. Panjaitan Kota Semarang.
Desain penelitian menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi
penelitian berjumlah 25 orang. Teknik yang digunakan dalam pengambilan
sampel adalah non random sampling dengan teknik total sampling sehingga
sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi yaitu 25 orang pekerja las
karbit di wilayah pinggir Jalan D. I. Panjaitan Kota Semarang. Teknik
pengambilan data dilakukan dengan menggunakan angket dan pemeriksaan
ketajaman penglihatan menggunakan Optotype Snellen.
Dari uji statistik, didapatkan t hitung adalah 5,975 dan t tabel untuk tingkat
signifikansi 5% adalah 2,069. Oleh karena t hitung > t tabel (5,976 > 2,069) maka Ho
ditolak. Hal ini berarti koefisien regresi signifikan, atau pemakaian kacamata las
berpengaruh secara signifikan terhadap ketajaman penglihatan. Dari perhitungan
uji F didapatkan angka signifikansi 0,000. Oleh karena probabilitas 0,000 jauh
lebih kecil dari 0,05, maka model regresi dapat dipakai untuk memprediksi
ketajaman penglihatan. Hal ini berarti bahwa naik turunnya ketajaman penglihatan
karena pemakaian kacamata las dapat diprediksikan melalui persamaan regresi.
Adapun persamaan regresi pemakaian kacamata las terhadap ketajaman
penglihatan adalah Y = 8,416 + 0,685 X. Angka R Square yang didapat dalam
perhitungan adalah sebesar 0,608, yang berarti 60,8% ketajaman penglihatan
dipengaruhi oleh variabel pemakaian kacamata las.
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan yaitu ada pengaruh
yang signifikan antara pemakaian kacamata las terhadap ketajaman penglihatan.
Saran yang diberikan oleh peneliti yaitu pemeriksaan ketajaman penglihatan
sebaiknya dilakukan sebelum pekerja las karbit beraktivitas atau sebelum bekerja
karena kondisi mata dalam keadaan beristirahat atau tidak berakomodasi saat
melihat suatu obyek. Selain itu, untuk peneliti berikutnya yang menggunakan
variabel yang berbeda, hendaknya sampel diperbanyak.
Kata Kunci: Kacamata las, ketajaman penglihatan, las karbit
PENGESAHAN
Telah dipertahankan di hadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu
Keolahragaan Universitas Negeri Semarang
Pada hari :
Tanggal :
Panitia Ujian
Ketua Panitia, Sekretaris,
NIP. NIP.
Dewan Penguji,
1.
NIP
2.
NIP
3.
NIP
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO:
1) Penyakit itu bukanlah sesuatu yang memang sudah seharusnya merupakan
bagian dari hidup manusia, mereka yang sakit dan menderita dapat
menyembuhkan diri sendiri asal mereka mau mengadopsi cara hidup yang
berdasarkan prinsip yang alamiah dan kebiasaan hidup sehat (Warmbrand, Max,
1985:1).
2) Menurut Qur’an Surat Al Ash ayat 2-3:
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.”
(Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an, 1990:1099).
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
1) Ayahanda dan Ibunda tercinta, hanya inilah yang bisa saya persembahkan
sebagai tanda kasih dan sayang ananda.
2) Kakak-kakak yang saya sayangi: Mbak Yuni, Mbak Upik, dan Mas Okky.
3) Keponakan-keponakan yang saya cintai: Dik Lily, Dik Fitra, dan Dik Rafa.
4) Almamater FIK UNNES.
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena limpahan rahmat-Nya dan berkat
bimbingan bapak dan ibu dosen, sehingga skripsi dengan judul “ Pengaruh
Pemakaian Kacamata Las terhadap Ketajaman Penglihatan pada Pekerja Las
Karbit Di Wilayah Pinggir Jalan D. I. Panjaitan Kota Semarang” dapat
diselesaikan tepat waktu.
Skripsi ini disusun untuk melengkapi persyaratan kelulusan program studi
Ilmu Kesehatan Masyarakat S1, Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri
Semarang.
Perlu disadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak dapat selesai tanpa bantuan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati disampaikan terima
kasih kepada:
1) Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan, Bapak Drs. Sutardji, MS, atas
masukannya.
2) Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Ibu dr. Oktia Woro K. H, M. Kes
atas masukannya.
3) Pembimbing I, Drs. Herry Koesyanto, MS, atas bimbingan, pengarahan, dan
masukan dalam penyusunan skripsi ini.
4) Pembimbing II, dr. Yuni Wijayanti, atas bimbingan, pengarahan, dan
masukan dalam penyusunan skripsi ini.
5) Bapak dan Ibu dosen Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat atas ilmunya
selama bangku kuliah.
6) Dokter Hiperkes, dr. Diah Wahyuni, atas bantuannya dalam pelaksanaan
penelitian.
7) Maya, Tri, Naning, Ida, Ita, Dewi, Annisa atas bantuan dan dukungan selama
penelitian.
8) Teman-teman KKN Purwogondo, atas pengertiannya selama pelaksanaan
penelitian.
9) Teman-teman IKM Angkatan 2001, atas dukungan dan bantuannya dalam
pelaksanaan penelitian.
10) Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas bantuan
dalam pelaksanaan penelitian ini.
Skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik selalu
diharapkan demi sempurnanya skripsi ini. Semoga amal baik dari semua pihak
mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT, dan semoga skripsi ini
bermanfaat bagi semua pihak.
Semarang, Agustus 2005
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................. i
ABSTRAK................................................................................ ii
PENGESAHAN........................................................................ iii
MOTO DAN PERSEMBAHAN.............................................. iv
KATA PENGANTAR.............................................................. v
DAFTAR ISI............................................................................. vii
DAFTAR TABEL..................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN............................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Alasan Pemilihan Judul.................................................. 1
1.2 Permasalahan.................................................................. 4
1.3 Tujuan Penelitian............................................................ 5
1.4 Penegasan Istilah............................................................ 5
1.5 Manfaat Penelitian.......................................................... 5
BAB II LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori................................................................ 6
2.1.1 Las Karbit........................................................................ 6
2.1.1.1 Definisi Las Karbit.......................................................... 6
2.1.1.2 Perlengkapan dan Alat yang Digunakan ......................... 6
2.1.1.3 Proses Pengelasan pada Las Karbit.................................. 9
2.1.1.4 Cedera Radiasi.................................................................. 10
2.1.1.5 Alat Pelindung Diri pada Bengkel Las.............................. 15
2.1.2 Ketajaman Penglihatan...................................................... 20
2.1.2.1 Definisi Ketajaman Penglihatan........................................ 20
2.1.2.2 Anatomi dan Faal Mata..................................................... 20
2.1.2.3 Fungsi Refraksi Mata......................................................... 24
2.1.2.4 Penyebab Gangguan Ketajaman Penglihatan......... 25
2.1.2.5 Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan ................................. 35
2.1.3 Pengaruh Pemakaian Kacamata Las terhadap
Ketajaman Penglihatan........................................................ 43
2.2 Kerangka Berfikir................................................................ 45
2.3 Hipotesis.............................................................................. 45
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Populasi Penelitian............................................................... 46
3.2 Sampel Penelitian................................................................. 46
3.3 Variabel Penelitian............................................................... 46
3.4 Rancangan Penelitian........................................................... 47
3.5 Instrumen Penelitian............................................................. 47
3.6 Prosedur Penelitian............................................................... 52
3.7 Teknik Pengambilan Data..................................................... 52
3.8 Faktor yang Mempengaruhi Penelitian................................. 54
3.9 Analisis Data.......................................................................... 54
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian...................................................................... 57
4.3 Pembahasan............................................................................ 62
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan................................................................................. 67
5.2 Saran....................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA......................................................................... 68
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Prevalensi Penyakit Mata di Indonesia........................................ 3
2. Waktu Pemajanan Radiasi Sinar Ultraviolet yang
Diperkenankan.............................................................................. 15
3. Kriteria untuk Penggunaan Gogel (JIS T8141-1970)................... 18
4. Data Penggolongan Ketajaman Penglihatan
dalam Desimal............................................................................... 37
5. Data Penggolongan Ketajaman Penglihatan.................................. 37
6. Tajam Penglihatan Normal............................................................. 40
7. Tajam Penglihatan Hampir Normal................................................ 40
8. Tajam Penglihatan Low Vision Sedang.......................................... 41
9. Tajam Penglihatan Low Vision Berat............................................. 41
10. Tajam Penglihatan Low Vision Nyata............................................. 41
11. Matrik Variabel Penelitian............................................................... 48
12. Kategori Penilaian Jawaban Kuesioner........................................... 49
13. Hasil Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan Pekerja
Las Karbit Di Jalan D.I. Panjaitan Kota Semarang........................ 57
14. Analisis Validitas dan Reliabilitas Instrumen................................. 76
15. Data Penelitian Variabel Pemakaian Kacamata Las (X)................. 77
16. Data Penelitian Variabel Ketajaman Penglihatan (Y)..................... 78
17. Penggolongan Ketajaman Penglihatan Normal............................... 85
18. Penggolongan Ketajaman Penglihatan Hampir Normal.................. 85
19. Penggolongan Ketajaman Penglihatan Low Vision Sedang....... 86
20. Penggolongan Ketajaman Penglihatan Low Vision Berat.......... 86
21. Hasil Pengukuran Ketajaman Penglihatan Pekerja Las
di Jalan Mayjen Soetoyo Semarang............................................ 87
22. Hasil Pengukuran Ketajaman Penglihatan Pekerja Las
di Wilayah Pinggir Jalan D. I. Panjaitan Semarang..................... 88
23. Daftar Anggota Sampel................................................................ 89
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Kacamata Las (Gogel)................................................................. 17
2. Kerangka Berfikir........................................................................ 45
3. Grafik Distribusi Frekuensi Ketajaman Penglihatan................... 58
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Kuesioner............................................................................. 70
2. Analisis Validitas dan Reliabilitas Instrumen..................... 76
3. Data Penelitian Variabel Pemakaian Kacamata Las........... 77
4. Data Penelitian Variabel Ketajaman Penglihatan................ 78
5. Tabel Distribusi Frekuensi................................................... 79
6. Uji Normalitas Sebaran Data................................................ 81
7. Uji Homogenitas Varians...................................................... 83
8. Regresi Linier Sederhana...................................................... 84
9. Penggolongan Ketajaman Penglihatan.................................. 85
10 Hasil Pengukuran Ketajaman Penglihatan Pekerja Las
di Jalan Mayjen Soetoyo Semarang...................................... 87
11 Hasil Pengukuran Ketajaman Penglihatan Pekerja Las
di Wilayah Pinggir Jalan D. I. Panjaitan Semarang............... 88
12 Daftar Anggota Sampel.......................................................... 89
13 Dokumentasi........................................................................... 90
14 Surat Keterangan..................................................................... 92
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Alasan Pemilihan Judul
Perkembangan pembangunan yang semakin maju dewasa ini berdampak
pada semakin majunya industri las asetilin atau yang disebut dengan las karbit.
Industri las karbit yang berada di sepanjang jalan D. I. Panjaitan termasuk industri
sektor informal. Industri sektor informal adalah sektor kegiatan ekonomi marginal
atau kecil-kecilan. Ciri-ciri kegiatan ekonomi marginal yang dikategorikan ke
dalam sektor informal antara lain sebagai berikut:
1) Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun
penerimaan.
2) Pada umumnya tidak tersentuh oleh peraturan dan ketentuan yang ditetapkan
oleh pemerintah.
3) Modal, peralatan, dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan
diusahakan atas dasar hitungan harian.
4) Pada umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan terpisah
dari tempat tinggal.
5) Tidak mempunyai keterikatan dengan usaha lain yang besar.
6) Pada umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang
berpendapatan rendah.
7) Tidak membutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus, sehingga secara luwes
dapat menyerap tenaga kerja dengan bermacam-macam tingkat pendidikan.
8) Umumnya tiap-tiap satuan usaha memperkerjakan tenaga dari lingkungan
keluarga, kenalan, atau berasal dari daerah yang sama (Direktorat Bina Peran
Serta Masyarakat, 1990:4).
Timbulnya sektor informal ini adalah akibat dari meluapnya atau
membengkaknya angkatan kerja di satu pihak, dan menyempitnya lapangan kerja
di pihak yang lain. Berdasarkan hasil Susenas Statistik Sosial dan Kependudukan
Jawa Tengah tahun 2002, pekerja sektor informal di Jawa Tengah sebesar 42,5%
dari seluruh angkatan kerja di Jawa Tengah. Adapun jumlah pekerja yang bekerja
pada sektor informal di Kota Semarang adalah sebesar 180.010 jiwa atau 29,3%
dari seluruh angkatan kerja di Kota Semarang. Peranan sektor informal di negara
Indonesia cukup besar, karena mampu menyerap tenaga kerja yang tidak
tertampung pada sektor formal. Akan tetapi, kelompok masyarakat pekerja sektor
informal masih belum memperoleh perhatian dalam hal kesehatan kerjanya.
Selama ini mereka hanya memperoleh pelayanan kesehatan secara umum, namun
belum dikaitkan dengan pekerjaannya.
Pada umumnya fasilitas pelayanan keselamatan dan kesehatan kerja lebih
banyak dinikmati oleh tenaga kerja yang bekerja pada industri berskala besar
(jumlah pekerja lebih dari 500 orang). Pada industri berskala kecil dan menengah,
fasilitas pelayanan keselamatan dan kesehatan kerja masih bersifat parsial dan
mungkin tidak ada sama sekali.
Pada industri las, kondisi lingkungan kerja yang berpotensi menimbulkan
dampak terhadap pekerja salah satunya yaitu berupa sinar yang ditimbulkan pada
proses pengelasan. Sinar tersebut meliputi sinar tampak, sinar infra merah dan
sinar ultra violet. Keluhan kelelahan pada mata, seolah-olah mata terisi oleh pasir,
penglihatan kabur dan mata terasa sakit yang dirasakan pekerja menunjukkan
bahwa pada proses pengelasan terdapat sinar yang membahayakan mata. Ketidak
rutinan pekerja las dalam memakai kacamata las mengakibatkan mata pekerja las
terpapar secara langsung oleh sinar tampak, sinar inframerah serta sinar ultra
violet. Akibat dari pemajanan secara langsung oleh sinar-sinar yang bersifat
radiasi tersebut dapat mengakibatkan gangguan pada ketajaman penglihatan
pekerja las.
Menurut survei Departemen Kesehatan Republik Indonesia yang dilaporkan
tahun 1996, prevalensi penyakit mata utama di Indonesia dapat dilihat pada tabel
1 berikut ini
Tabel 1
Prevalensi Penyakit Mata di Indonesia
No Penyakit Mata Prosentase (%)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kelainan refraksi
Pterigium
Katarak
Konjungtivitis
Parut kornea
Glaukoma
Retinopati
Strasbismus
24,72%
8,79%
7,40%
1,74%
0,34%
0,40%
0,17%
0,12%
(Survey Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 1996).
Dari data prevalensi penyakit mata di Indonesia tersebut dapat dilihat bahwa
kelainan refraksi, katarak dan konjungtivitis yang merupakan faktor-faktor
penyebab gangguan ketajaman penglihatan pada pekerja las karbit karena sinar
yang dihasilkan selama proses pengelasan, menduduki urutan tertinggi yaitu pada
peringkat pertama, ketiga dan keempat di Indonesia.
Dari hasil penelitian ketajaman penglihatan oleh Bambang Trisnowiyanto
tahun 2002 terhadap pekerja pengelasan listrik di Pasar Semanggi Surakarta
didapatkan hasil sebesar 23,08% responden yang diteliti mengalami gangguan
ketajaman penglihatan ringan dan 30% responden mengalami konjungtivitis.
Memperhatikan uraian di atas, maka judul yang diambil dalam penelitian
oleh penulis adalah “Pengaruh Pemakaian Kacamata Las terhadap Ketajaman
Penglihatan pada Pekerja Las Karbit di Wilayah Pinggir Jalan D. I. Panjaitan Kota
Semarang”. Judul tersebut diambil karena selama ini penelitian hanya dilakukan
terhadap pekerja las listrik. Penulis ingin mengetahui apakah sinar yang dihasilkan
oleh las karbit juga berbahaya terhadap ketajaman penglihatan dengan
berlandaskan pada teori serta penelitian sebelumnya.
1.2 Permasalahan
Permasalahan yang ingin diajukan dalam penelitian ini adalah:
Adakah pengaruh pemakaian kacamata las terhadap ketajaman penglihatan pada
pekerja las karbit di wilayah pinggir Jalan D. I. Panjaitan Kota Semarang?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemakaian kacamata las
terhadap ketajaman penglihatan pada pekerja las karbit di wilayah pinggir Jalan
D. I. Panjaitan Kota Semarang.
1.4 Penegasan Istilah
1.4.1 Kacamata Las
Yang dimaksud dengan kacamata las dalam penelitian ini adalah pelindung
mata berupa gogel yang digunakan pada saat mengelas, untuk melindungi mata
dari radiasi sinar ultra violet, sinar tampak dan sinar inframerah. Gogel tersebut
harus mampu menurunkan kekuatan pancaran cahaya tampak dan harus dapat
menyerap atau melindungi mata dari pancaran sinar ultra violet dan inframerah
(Harsono Wiryosumarto, 2000:378).
1.4.2 Ketajaman Penglihatan
Ketajaman penglihatan (visus) adalah nilai kebalikan sudut (dalam menit)
terkecil di mana sebuah benda masih kelihatan dan dapat dibedakan (J. F. Gabriel,
1995:154)
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti
Memperdalam dan mengembangkan pengetahuan di bidang kesehatan dan
keselamatan kerja, khususnya mengenai manfaat pemakaian kacamata las bagi
pekerja las karbit.
1.5.2 Bagi Masyarakat
Masyarakat dapat mengetahui informasi mengenai manfaat penggunaan kacamata
las bagi pekerja las karbit.
1.5.3 Bagi FIK
Untuk jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, khususnya peminatan K3, penelitian
ini diharapkan dapat menambah referensi pengetahuan tentang manfaat
pemakaian kacamata las bagi pekerja las karbit.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Las Karbit
2.1.1.1 Definisi Las Karbit
Pengelasan atau dalam bahasa Inggris “Welding” adalah salah satu teknik
penyambungan logam dengan cara mencairkan sebagian logam induk dan logam
pengisi dengan atau tanpa tekanan dan dengan atau tanpa logam tambahan dan
menghasilkan sambungan yang kontinu (Hery Sonawan dan Rochim Suratman,
2004:1).
Menurut Maman Suratman (2001:12), las asetilin (las karbit) adalah cara
pengelasan dengan menggunakan nyala api yang didapat dari pembakaran gas
asetilin dan oksigen (zat asam).
2.1.1.2 Perlengkapan dan Alat-Alat yang Digunakan
2.1.1.2.1 Botol Gas Asetilin
Botol asetilin terbuat dari baja berisi gas asetilin yang telah dimampatkan dengan
volume 40 liter dan tekanan hingga 15 bar. Dalam botol ini terdapat bahan berpori
seperti kapas, sutra tiruan atau asbes yang berfungsi sebagai penyerap asetor
(Maman Suratman, 2001:18).
2.1.1.2.2 Generator Asetilin
Gas asetilin dapat dibuat secara sederhana dengan cara mencampur karbit
(calcium carbite) ditambah air, dengan rumus kimia CaC2 + 2H2O → C2H2 +
Ca(OH)2 + kalor. Pencampuran ini dilakukan dalam sebuah tabung yang disebut
generator asetilin. Bagian-bagian dari generator asetilin ini adalah ruang karbit
dan dapur gas (retor), ruang air, ruang gas asetilin, kunci (katup) air, alat
pembersih (penyaring), gas, dan alat pengaman bila kelebihan tekanan gas
(Maman Suratman, 2001:19).
2.1.1.2.3 Botol Oksigen (Zat Asam)
Dalam botol oksigen yang terbuat dari baja dimampatkan gas oksigen dengan
tekanan gas sampai 151 bar. Di atas botol dipasang sebuah keran. Pada keran ini
terdapat sumbat pengaman. Bila tekanan gas di dalam botol naik karena pengaruh
panas, maka sumbat akan pecah dan gas kelebihan akan keluar. Gas oksigen yang
dapat diisikan pada botol tersebut sebanyak 74,5 m2
dengan kadar gas oksigen
murni 99,5%. Kadar oksigen pada nyala api las asetilin sangat berperan sebagai
bahan penunjang untuk penghematan, kecepatan, dan efisiensi kerja pada waktu
pengelasan (Maman Suratman, 2001:21).
2.1.1.2.4 Regulator
Regulator berfungsi mengatur tekanan isi menjadi tekanan kerja yang tetap
besarnya. Pada regulator terdapat manometer yaitu manometer tekanan isi dan
manometer tekanan kerja. Yang dimaksud dengan tekanan isi adalah tekanan gas
yang berada dalam botol. Sedangkan yang dimaksud dengan tekanan kerja adalah
tekanan yang dibutuhkan pada waktu melakukan pekerjaan las (Maman Suratman,
2001:21).
2.1.1.2.5 Pembakar (Torch)
Fungsi pembakar pada las asetilin adalah untuk mencampur oksigen dan gas
asetilin yang jumlah isinya hampir sama. Nyala api terjadi pada ujung pembakar.
Pada pembakar dapat dipasang berbagai ukuran ujung pembakar, untuk
memperoleh nyala api yang sesuai dengan tebal benda kerja yang akan dilas atau
dipotong. Pembakar berhubungan dengan dua buah selang untuk gas oksigen.
Ruang pencampur dan keran berfungsi mengatur banyaknya oksigen dan asitilin
yang digunakan (Maman Suratman, 2001:24).
2.1.1.2.6 Pembakar Pemotong (Cutting Torch)
Pembakar untuk pemotong bentuknya serupa dengan pembakar untuk mengelas
biasa, perbedaannya adalah pada pembakar pemotong terdapat pipa ketiga untuk
saluran gas oksigen, selain itu ujung pembakarnya berbeda dengan ujung
pembakar untuk mengelas. Setiap pembakar pemotong mempunyai alat pemegang
pipa penghubung dan kepala pemotong. Pada kepala pemotong dipasang mulut
pemotong. Pada mulut pemotong ini terdapat sebuah lubang kecil untuk
pemanasan pendahuluan. Panjang mulut pemotong untuk pekerjaan tertentu
berbeda dan terdapat juga ujung pemotong dengan bentuk lengkung (Maman
Suratman, 2001:25).
2.1.1.2.7 Selang Las
Selang las berfungsi untuk menyalurkan gas dari botol gas atau generator ke
pembakar. Selang ini harus tahan tekanan tinggi tetapi lemas atau tidak kaku.
Selang las oksigen biasanya berwarna hitam atau hijau. Pada ujung-ujung selang
oksigen ini terdapat mur penguat ulir kanan. Selang gas asetilin biasanya
berwarna merah yang pada ujung-ujungnya terdapat pula mur pengatur dengan
ulir kiri. Fungsi mur pengatur pada kedua ujung selang tersebut adalah untuk
mengikat regulator dan mengikat pada pembakar. Untuk menjaga kekeliruan saat
pengikatan dengan regulator dan pembakar, maka baut dan mur pengikat
dibedakan satu sama lain, begitu juga bentuk nipelnya dibuat berbeda (Maman
Suratman, 2001:27).
2.1.1.2.8 Korek Api
Korek api biasa tidak diperkenankan untuk menyalakan gas, karena tangan kita
posisinya terlalu dekat dengan ujung pembakar, sehingga sangat mudah terjilat
nyala api. Untuk menyalakan gas ini biasanya digunakan korek api las. Korek api
las yang menggunakan logam gesek ini lebih aman dipakai dan bila logam habis
dapat diganti dengan mudah (Maman Suratman, 2001:27).
2.1.1.2.9 Kawat Las
Kawat las digunakan sebagai bahan pengisi untuk kekuatan las. Jenis bahan kawat
las yang dipakai harus sesuai dengan logam yang dilas (Maman Suratman,
2001:30).
2.1.1.2.10 Fluks (Flux)
Fluks adalah bahan kimia berbentuk serbuk atom pasta dan ada juga yang
dibalutkan pada kawat las. Fluks sangat diperlukan untuk mengelas bahan-bahan
seperti paduan perak, paduan tembaga, baja, dan bahan non ferro lainnya (Maman
Suratman, 2001:32).
2.1.1.3 Proses Pengelasan pada Las Karbit
Las karbit disebut juga las asetilin. Las karbit sebagaimana juga las yang lain
berfungsi sebagai alat untuk menyambung, memotong, atau mengerjakan logam
dengan panas dengan cara mencairkan logam tersebut. Panas untuk mencairkan
logam diperoleh dari pembakaran gas karbit/asetilin. Agar gas karbit mudah
terbakar maka diberi oksigen melalui selang ke pembakar (Boentarto, 1997:9).
Teknik mengelas meliputi tiga tahapan yaitu tehnik menyalakan api las,
tehnik posisi dan tehnik mematikan api las.
2.1.1.3.1 Tehnik Menyalakan Api Las
Menyalakan api las dilakukan dengan menggunakan brander. Apabila pekerja
las karbit belum terampil, sebaiknya menggunakan batang bara api yang cukup
panjang. Jika menggunakan korek api, sebaiknya memakai korek api khusus
untuk mengelas. Sebelum ujung brander disulut, kran-kran dan tekanan kerja
harus sudah disetel sesuai dengan brander yang digunakan (Boentarto, 1997:27).
2.1.1.3.2 Tehnik Posisi Mengelas
Posisi brander terhadap benda yang dilas sangat mempengaruhi hasil
pengelasan. Bermacam-macam posisi benda kerja antara lain yaitu tegak misalnya
rangka bangunan, miring misalnya rangka atap bangunan dan sebagainya. Tidak
semua benda kerja tersebut dapat diangkat dan dirubah posisinya dengan mudah.
Banyak benda kerja yang besar dan berat seperti rangka mobil, pintu gerbang
yang sulit dirubah posisinya. Dalam hal ini pengelasan harus menyesuaikan
dengan letak benda kerja tersebut (Boentarto, 1997:30).
Teknik posisi harus diikuti dengan gerakan pembakar dan kawat las yang
benar. Ada arah gerakan yang dianjurkan untuk masing-masing benda kerja agar
hasil pengelasan baik. Arah gerakan maju atau ke kiri dianjurkan ketika mengelas
baja yang tebalnya sampai 4,5 mm atau mengelas besi tuang dan bahan-bahan non
ferro. Arah gerakan brander ke kanan atau mundur dianjurkan untuk mengelas
baja yang tebalnya 4,5 mm ke atas (Boentarto, 1997:31).
2.1.1.3.3 Tehnik Mematikan Api Las
Mematikan nyala api las tidak sama dengan mematikan api kompor atau obor.
Mematikan nyala las dilakukan dengan menutup kran gas asetilin agar nyala api
mati (Boentarto, 1997:28).
2.1.1.4 Cedera Radiasi
Selama proses pengelasan akan timbul sinar-sinar yang bersifat radiasi yang
dapat membahayakan pekerja las. Sinar-sinar tersebut meliputi sinar tampak, sinar
ultra violet, dan sinar inframerah. Radiasi adalah transmisi energi melalui emisi
berkas cahaya atau gelombang. Energi radiasi bisa terletak di rentang sinar
tampak, tetapi dapat pula lebih besar atau lebih kecil dibandingkan sinar tampak.
Radiasi energi tinggi (termasuk radiasi ultra violet) disebut radiasi ionisasi karena
memiliki kapasitas melepaskan elektron dari atom atau molekul yang
menyebabkan terjadinya ionisasi. Radiasi energi rendah disebut radiasi non
ionisasi karena tidak dapat melepaskan elektron dari atom atau molekul (Corwin,
Elizabeth J., 2000:26).
2.1.1.4.1 Efek Radiasi Pengion
Radiasi pengion dapat menyebabkan kematian sel baik secara langsung
dengan merusak membran sel dan menyebakan pembengkakan intrasel sehingga
terjadi lisis sel, atau secara tidak langsung dengan merusak ikatan antara
pasangan-pasangan basa molekul DNA. Rusaknya ikatan tersebut menyebakan
kesalahan-kesalahan pada replikasi atau transkripsi DNA. Kesalahan-kesalahan
tersebut sebagian dapat diperbaiki; apabila tidak, maka kerusakan yang terjadi
dapat menyebabkan kematian sel atau timbulnya kanker akibat hilangnya kontrol
genetik atas pembelahan sel molekul (Corwin, Elizabeth J., 2000:26).
Radiasi pengion juga dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas.
Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul dengan elektron yang tidak
memiliki pasangan. Radikal bebas mencari reaksi-reaksi dimana ia dapat
memperoleh kembali elektron pasangannya. Selama menjalankan proses tersebut,
radikal bebas dapat merusak membran sel, retikulum endoplasma, atau DNA sel-
sel yang rentan molekul (Corwin, Elizabeth J., 2000:27).
2.1.1.4.2 Efek Radiasi Nonionisasi
Radiasi nonionisasi mencakup radiasi gelombang mikro dan ultrasonografik.
Radiasi ini memiliki energi yang terlalu kecil untuk dapat memutuskan ikatan
DNA atau merusak membran sel, tetapi radiasi ini dapat meningkatkan suhu suatu
sistem, dan menyebabkan perubahan dalam fungsi-fungsi transportasi. Efek
radiasi nonionisasi pada kesehatan, sedang dalam penelitian molekul (Corwin,
Elizabeth J., 2000:27).
2.1.1.4.3 Efek Radiasi Sinar-Sinar Las Terhadap Ketajaman Penglihatan
Sinar-sinar yang dihasilkan selama proses pengelasan termasuk dalam radiasi
energi tinggi atau sering disebut radiasi ionisasi. Sinar sinar tersebut antara lain:
2.1.1.4.3.1 Sinar Tampak
Benda kerja dan bahan tambah yang mencair pada las mengeluarkan sinar
tampak. Sinar tampak yaitu merupakan sinar ionisasi yang ditimbulkan dari
radiasi. Sinar tampak memiliki panjang gelombang 400-760 nm.
Semua sinar tampak yang masuk ke mata akan diteruskan oleh lensa dan
kornea mata ke retina mata. Bila cahaya ini terlalu kuat maka akan segera menjadi
kelelahan pada mata (Ahmad Nurdin, 1999:7). Kelelahan pada mata berdampak
pada berkurangnya daya akomodasi mata. Hal ini menyebabkan pekerja dalam
melihat mencoba mendekatkan matanya terhadap obyek untuk memperbesar
ukuran benda, maka akomodasi lebih dipaksa. Keadan ini menimbulkan
penglihatan rangkap dan kabur. Selain itu, pemaksaan daya akomodasi oleh mata
juga menimbulkan sakit kepala di daerah atas mata.
2.1.1.4.3.2 Sinar Infra Merah
Sinar infra merah dan ultra violet berasal dari busur listrik. Sinar infra merah
adalah sinar yang merupakan sumber panas yang memancarkan gelombang-
gelombang elektromagnetis. Jika gelombang ini mengenai benda, maka pada
benda tersebut dilepaskan energi yang berubah menjadi panas.
Adanya sinar infra merah tidak segera terasa oleh mata, karena itu sinar ini
lebih berbahaya, sebab tidak diketahui, tidak terlihat dan tidak terasa. Pengaruh
sinar infra merah terhadap mata sama dengan pengaruh panas, yaitu akan terjadi
pembengkakan pada kelopak mata, terjadinya peyakit cornea, presbiovia yang
terlalu dini dan kerabunan (Ahmad Nurdin, 1999:7).
Lensa mata mempunyai radiosensitivitas lebih tinggi dibandingkan retina
mata. Radiasi dapat menimbulkan kerusakan sel pada lensa mata sehingga sel-sel
itu tidak mampu melakukan peremajaan. Sebagai akibatnya, lensa mata dapat
mengalami kerusakan permanen. Lensa mata yang terpapari radiasi dalam waktu
cukup lama akan berakibat pada fungsi transparasi lensa menjadi terganggu
sehingga penglihatan menjadi kabur. Penyinaran yang mengenai mata dengan
dosis 2-5 Sv dapat mengakibatkan terjadinya katarak pada lensa mata. Radiasi
lebih mudah menimbulkan katarak pada usia muda dibandingkan dengan usia tua
(Mukhlis Akadi, 2000:145).
2.1.1.4.3.3 Sinar Ultra Violet
Sinar ultra violet mempunyai panjang gelombang antara 240 nm-320 nm.
Sumber sinar ultra violet selain sinar matahari, juga dihasilkan pada kegiatan
pengelasan, lampu-lampu pijar, pengerjaan laser, dan lain-lain (A. M. Sugeng
Budiono, 2003:40).
Sinar ultra violet sebenarnya adalah pancaran yang mudah terserap, tetapi
sinar ini mempunyai pengaruh besar terhadap reaksi kimia yang terjadi di dalam
tubuh. Sinar ultra violet akan segera merusak epitel kornea. Pasien yang telah
terkena sinar ultra violet akan memberikan keluhan 4-10 jam setelah trauma.
Pasien akan merasa mata sangat sakit, mata seperti kelilipan atau kemasukan
pasir, fotofobia, blefarospasme, dan konjungtiva kemotik (Ahmad Nurdin,
1999:8).
Kornea akan menunjukkan adanya infiltrat pada permukaannya, yang kadang-
kadang disertai dengan kornea yang keruh dan uji fluorensin positif. Keratitis
terutama terdapat pada fisura palpebra. Pupil akan terlihat miosis. Tajam
penglihatan akan terganggu. Keratitis ini dapat sembuh tanpa cacat, akan tetapi
bila radiasi berjalan lama kerusakan dapat permanen sehingga akan memberikan
kekeruhan pada kornea. Keratitis dapat bersifat akibat efek kumulatif sinar ultra
violet sehingga gambaran keratitisnya menjadi berat (Sidarta Ilyas, 2004:275).
Pada mata, sinar ultra violet juga dapat mengakibatkan fotoelektrika.
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menghindari kemungkinan mata
terpapar sinar ultra violet dan menggunakan kacamata yang tidak tembus sinar
tersebut. Untuk melindungi pekerja dari pengaruh sinar ultra violet, pemerintah
telah menetapkan Nilai Ambang Batas yang dikeluarkan melalui surat Keputusan
Menteri Tenaga Kerja Nomor: Kep-51/MEN/1999, sebagai berikut:
Tabel 2
Waktu Pemajanan Radiasi Sinar Ultra Violet yang Diperkenankan
Massa pemajanan per hari Iradiasi Efektif (E eff) -W/cm2
8 jam
4 jam
2 jam
1 jam
30 menit
15 menit
8 menit
5 menit
1 menit
30 detik
10 detik
1 detik
0,5 detik
0,1 detik
0,1
0,2
0,4
0,8
1,7
3,3
5
10
50
100
300
3000
6000
30000
(A. M. Sugeng Budiono, 2003:40).
2.1.1.5 Jenis Alat Pelindung Diri Pada Bengkel Las
2.1.1.5.1 Helm Pengaman
Helm pengaman sangat penting penggunaannya, yaitu untuk menghindari:
1) Tumbukan langsung benda keras dengan kepala.
2) Kejatuhan langsung benda keras terhadap kepala.
3) Cipratan ledakan-ledakan kecil dari cairan las yang mengakibatkan terbakarnya
bagian kepala (Ahmad Nurdin, 1999:13).
Syarat-syarat dari helm pengaman yaitu:
1) Nyaman dipakai.
2) Kuat dan tahan dari benturan, panas dan goresan benda tajam.
3) Daya kalor panasnya relatif kecil.
4) Terbuat dari fibre glass (Ahmad Nurdin, 1999:13).
2.1.1.5.2 Kacamata Las (Gogel)
Pelindung mata digunakan untuk menghindari pengaruh radiasi energi seperti
sinar ultra violet, inframerah dan lain-lain yang dapat merusak mata. Pemaparan
sinar ultra violet dengan intensitas tinggi dalam waktu singkat atau pemaparan
sinar ultra violet intensitas rendah dalam waktu cukup lama akan merusak kornea
mata. Para pekerja yang kemungkinan dapat terkena bahaya dari sinar yang
menyilaukan, seperti sinar dari las potong dengan menggunakan gas dan percikan
dari las sinar yang memijar harus menggunakan pelindung mata khusus. Pekerjaan
pengelasan juga menghasilkan radiasi inframerah tergantung pada temperatur
lelah mental (Direktorat Hilir Bidang Pemasaran dan Niaga, 2002:860).
Jenis pelindung mata yang digunakan sebagai alat pelindung diri oleh pekerja
las karbit adalah kacamata las (gogel). Kacamata las (gogel) sangat penting
digunakan pada saat mengelas, untuk melindungi mata dari radiasi sinar ultra
violet, sinar tampak dan sinar inframerah. Gogel tersebut harus mampu
menurunkan kekuatan pancaran sinar tampak dan harus dapat melindungi mata
dari pancaran sinar ultra violet dan inframerah. Untuk mendapatkan kacamata las
dengan kaca gelap yang memiliki sifat tidak tembus sinar-sinar berbahaya sulit
didapatkan. Namun, biasanya kacamata las hanya dapat menahan sekian persen
dari sinar-sinar yang berbahaya, sehingga dapat dicegah bahayanya bagi mata.
Lebih banyak sinar dari suatu panjang gelombang yang dipancarkan oleh suatu
sumber bahaya, maka lebih besar pula daya absorbsi untuk sinar itu yang harus
dipunyai kacamata las. Untuk keperluan ini maka kacamata las harus mempunyai
warna tranmisi tertentu, misalnya abu-abu, coklat atau hijau. Lensa kacamata
tidak boleh terlalu gelap, karena tidak dapat melihat benda kerja dengan jelas,
tetapi juga tidak boleh terlalu terang, sebab akan menyilaukan. Bahan dari
kacamata las (gogel) dapat terbuat dari plastik yang transparan dengan lensa yang
dilapisi kobalt untuk melindungi bahaya radiasi gelombang elektromagnetik non
ionisasi dan kesilauan atau lensa yang terbuat dari kaca yang dilapisi timah hitam
untuk melindungi dari radiasi gelombang elektromagnetik dan mengion (A. M.
Sugeng Budiono, 2003:331).
Gambar 1
Kacamata Las (Gogel)
(Kenyon,W., 1984:38)
Keterangan Gambar 1
A. (i) Kaca bening : berfungsi untuk melindungi lensa berwarna
A. (ii) Lensa berwarna : berfungsi untuk membatasi cahaya yang menyilaukan
B. Badan kacamata : berfungsi untuk menghambat cetus api
C. Lubang udara : berfungsi untuk mencegah pengaburan
D. Pegangan lensa : berfungsi untuk mengganti pegangan lensa yang pecah
E. Jerat Pengatur : berfungsi untuk menyesuaikan ukuran
Dalam negara-negara tertentu sudah dilaksanakan persyaratan pelindung mata
terhadap kemampuannya menahan sinar ultra violet dan inframerah. Di Jepang
pengaturan ini terdapat dalam JIS T 8141-1970 seperti ditunjukkan dalam Tabel 3
Tabel 3
Kriteria untuk Penggunaan Gogel (JIS T8141-1970)
Nomor
Warna
Pengelasan atau Pemotongan dengan
Busur Listrik
Pengelasan atau
Pemotongan dengan Gas
1,5
1,7
2
Untuk sinar bias atau sinar samping
-
2,5
3
4
-
Untuk cahaya rendah
5
6
Untuk busur di bawah 30 Amper Untuk cahaya sedang
7
8
Untuk busur antar 30 sampai 75 Amper Untuk cahaya kuat
9
10
11
Untuk busur antara 75 sampai 200 Amper
-
12
13
Untuk busur antara 200 sampai 400 Amper -
14 Untuk busur lebih dari 400 Amper -
(Harsono Wiryosumarto, 2000:378).
Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam memilih gogel adalah:
1) Harus mempunyai daya penerus yang tepat terhadap cahaya tampak.
2) Harus mampu menahan cahaya dan sinar yang berbahaya.
3) Harus mempunyai sifat-sifat yang tidak melelahkan mata.
4) Harus tahan lama dan mempunyai sifat yang tidak mudah berubah.
5) Harus memberikan rasa nyaman kepada pemakai (Harsono Wiryosumarto,
2000:378).
Dalam tahun-tahun terakhir ini pembuatan kacamata las telah mengalami
kemajuan, karena menggunakan bahan buatan. Gagang kacamata las terbuat dari
bahan yang tidak begitu keras, sehingga pada saat kacamata dipakai sepanjang
hari dan berkeringat, tidak membuat sakit pada kulit muka. Karena lubang hawa
yang kecil pada gagangnya dan karena kaca mukanya bukan penghantar panas
yang baik, maka kacamata itu tidak akan menjadi buram karena penglihatan.
Bagian bundar dari kacamata dihubungkan dengan sebuah kawat baja, yang
berfungsi untuk mengikat kaca. Karena sifat lengkung dari kawat baja tersebut,
maka kacamata nyaman dipakai. Selain itu, pada bagian dalam kaca yang sudah
kuat tersebut masih bisa dilapisi dengan sebuah pelat bening dari mika atau celon.
Mika dan celon ini mencegah kaca menjadi buram.
2.1.1.5.3 Pelindung Muka
Pelindung muka dipakai untuk melindungi seluruh muka terhadap kebakaran
kulit sebagai akibat dari cahaya busur, percikan dan lain-lainnya, yang tidak dapat
dilindungi dengan hanya memakai pelindung mata saja. Bentuk dari pelindung
muka bermacam-macam, dapat berbentuk helm las (helmet welding) dan kedok
las (handshield welding).
Kedok las yang dipegang dengan tangan, digunakan pada waktu mengelas di
bawah tangan, vertikal maupun horizontal. Helm las dipakai pada kepala sehingga
kedua tangan bisa bebas. Alat ini digunakan terutama pada waktu mengelas posisi
di atas kepala. Kedok las dan helm las dilengkapi dengan kaca penyaring (filter)
yang harus dipakai selama proses pengelasan. Tujuan dari filter ini adalah untuk
menghilangkan dan menyaring sinar infra merah dan ultra violet. Filter dilapisi
oleh kaca bening atau kaca plastik yang ditempatkan di sebelah luar dan dalam,
fungsinya untuk melindungi filter dari percikan-percikan las (Ahmad Nurdin,
1999:15).
2.1.1.5.4 Kacamata Bening (Safety Spectacles)
Kacamata bening dipakai pada waktu membersihkan terak, karena terak sangat
rapuh dan keras pada waktu dingin (Ahmad Nurdin, 1999:16).
2.1.1.5.5 Pelindung Telinga (Hearing Protection)
Alat pelindung telinga digunakan untuk melindungi telinga dari kebisingan pada
waktu menggerinda, meluruskan benda kerja, persiapan pengelasan dan lain
sebagainya (Ahmad Nurdin, 1999:17).
2.1.1.5.6 Alat Pelindung Hidung (Respirator)
Alat pelindung hidung digunakan untuk menjaga asap dan debu agar tidak
langsung masuk ke hidung (Ahmad Nurdin, 1999:18).
2.1.1.5.7 Pakaian Kerja
Pakaian kerja pada waktu mengelas berfungsi untuk melindungi anggota badan
dari bahaya-bahaya waktu mengelas. Syarat-syarat pakaian kerja yaitu:
1) Bahan pakaian kerja harus terbuat dari kain katun atau kulit, karena katun dan
kulit akan tidak cepat bereaksi bila bersentuhan dengan panas.
2) Menghindari pakaian kerja yang terbuat dari bahan polyester atau bahan yang
mengandung sintetis, karena bahan tersebut akan cepat bereaksi dan mudah
menempel pada kulit badan apabila kena loncatan bunga api.
3) Pakaian kerja tidak terlalu longgar dan tidak terlalu sempit, karena kalau
terlalu longgar akan menambah ruang gerak anggota badan, terlalu sempit akan
mengurangi gerak anggota badan.
4) Hindarkan celana dari lipatan bagian bawah, hal ini dapat menimbulkan
tersangkut dengan benda lain atau kemasukan bunga api (Ahmad Nurdin,
1999:19).
2.1.1.5.8 Pelindung Dada (Apron)
Bagian dalam dada merupakan bagian yang sangat peka terhadap pengaruh panas
dan sinar yang tajam. Sinar dari las listrik termasuk sinar yang sangat tajam.
Untuk melindungi bagian dalam dada tersebut digunakan pelindung dada.
Pelindung dada dipakai setelah baju las (Boentarto, 1997:85).
2.1.1.5.9 Sarung Tangan
Pekerjaan mengelas selalu berhadapan dengan benda-benda panas dan arus listrik.
Untuk melindungi jari-jari tangan dari benda panas dan sengatan listrik, maka
tukang las harus memakai sarung tangan yang tahan panas dan bersifat isolasi.
Sarung tangan harus lemas sehingga tidak mengganggu pekerjaan jari-jari tangan.
Sarung tangan dibuat dari kulit atau asbes lunak untuk memudahkan memegang
pemegang elektroda. Waktu mengelas harus selalu memakai sepasang sarung
tangan (Boentarto, 1997:86).
2.1.1.5.10 Sepatu Kerja
Fungsi dari sepatu kerja yaitu untuk melindungi kaki dari beram-beram tajam,
kejatuhan benda-benda tajam dan percikan cairan logam serta goresan-goresan
benda-benda tajam. Syarat-syarat dari sepatu kerja yaitu kuat dan tahan api, tinggi
dengan penutup ujung sepatu dari baja, dan bahan dari kulit (Ahmad Nurdin,
1999:21).
2.1.2 Ketajaman Penglihatan
2.1.2.1 Definisi Ketajaman Penglihatan
Ketajaman penglihatan (visus) adalah nilai kebalikan sudut (dalam menit)
terkecil di mana sebuah benda masih kelihatan dan dapat dibedakan (Gabriel, J.
F., 1995:154). Menurut Edi S. Affandi (2005:298), tajam penglihatan adalah
kemampuan untuk membedakan antara dua titik yang berbeda pada jarak tertentu.
2.1.2.2 Anatomi dan Faal Mata
Mata adalah indera penglihatan. Mata dibentuk untuk menerima rangsangan
berkas-berkas cahaya pada retina, lalu dengan perantaraan serabut-serabut nervus
optikus, mengalihkan rangsangan ini ke pusat penglihatan pada otak, untuk
ditafsirkan. Adapun anatomi organ penglihatan dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian, yaitu:
2.1.2.2.1 Adneksa Mata
Merupakan jaringan pendukung mata yang terdiri dari:
2.1.2.2.1.1 Kelopak Mata
Kelopak mata berfungsi melindungi mata dan berkedip serta untuk melicinkan
dan membasahi mata.
2.1.2.2.1.2 Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran tipis yang melapisi dan melindungi bola mata
bagian luar.
2.1.2.2.1.3 Sistem Saluran Air Mata (Lakrimal)
Menghasilkan cairan air mata, dimana terletak pada pinggir luar dari alis mata.
2.1.2.2.1.4 Rongga Orbita
Merupakan rongga tempat bola mata yang dilindungi oleh tulang-tulang yang
kokoh.
2.1.2.2.1.5 Otot-Otot Bola Mata
Masing-masing bola mata mempunyai 6 (enam) buah otot yang berfungsi
menggerakkan kedua bola mata secara terkoordinasi pada saat melirik (Perdami,
2005:1).
2.1.2.2.2 Bola Mata
Jika diurut mulai dari yang paling depan sampai bagian belakang, bola mata
terdiri dari:
2.1.2.2.2.1 Kornea
Kornea disebut juga selaput bening mata, jika mengalami kekeruhan akan sangat
mengganggu penglihatan. Kornea bekerja sebagai jendela bening yang melindungi
struktur halus yang berada di belakangnya, serta membantu memfokuskan
bayangan pada retina. Kornea tidak mengandung pembuluh darah (Pearce,
Evelyn, 1999:318).
2.1.2.2.2.2 Sklera
Yaitu lapisan berwarna putih di bawah konjungtiva serta merupakan bagian
dengan konsistensi yang relatif lebih keras untuk membentuk bola mata (Perdami,
2005:1).
2.1.2.2.2.3 Bilik Mata Depan
Suatu rongga yang berisi cairan yang memudahkan iris untuk bergerak (Perdami,
2005:1).
2.1.2.2.2.4 Uvea
Terdiri dari 3 bagian yaitu iris, badan siliar dan koroid. Iris adalah lapisan yang
dapat bergerak untuk mengatur banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata.
Badan siliar berfungsi menghasilkan cairan yang mengisi bilik mata, sedangkan
koroid merupakan lapisan yang banyak mengandung pembuluh darah untuk
memberi nutrisi pada bagian mata (Perdami, 2005:1).
2.1.2.2.2.5 Pupil
Merupakan suatu lubang tempat cahaya masuk ke dalam mata, dimana lebarnya
diatur oleh gerakan iris (Perdami, 2005:1). Bila cahaya lemah iris akan
berkontraksi dan pupil membesar sehingga cahaya yang masuk lebih banyak.
Sedangkan bila cahaya kuat iris akan berelaksasi dan pupil mengecil sehingga
cahaya yang masuk tidak berlebihan.
2.1.2.2.2.6 Lensa
Lensa adalah suatu struktur biologis yang tidak umum. Transparan dan cekung,
dengan kecekungan terbesar berada pada sisi depan (Seeley, Rod R., 2000:514).
Lensa adalah organ fokus utama, yang membiaskan berkas-berkas cahaya yang
terpantul dari benda-benda yang dilihat, menjadi bayangan yang jelas pada retina.
Lensa berada dalam sebuah kapsul elastik yang dikaitkan pada korpus siliare
khoroid oleh ligamentum suspensorium. Dengan mempergunakan otot siliare,
permukaan anterior lensa dapat lebih atau agak kurang dicembungkan, guna
memfokuskan benda-benda dekat atau jauh. Hal ini disebut akomodasi visuil
(Pearce, Evelyn, 1999:318).
2.1.2.2.2.7 Badan Kaca (Vitreus)
Bagian terbesar yang mengisi bola mata, disebut juga sebagai badan kaca karena
konsistensinya yang berupa gel dan bening dapat meneruskan cahaya yang masuk
sampai ke retina (Perdami, 2005:2).
2.1.2.2.2.8 Retina
Merupakan reseptor yang peka terhadap cahaya. Retina adalah mekanisme
persyarafan untuk penglihatan. Retina memuat ujung-ujung nervus optikus. Bila
sebuah bayangan tertangkap (tertangkap oleh mata) maka berkas-berkas cahaya
benda yang dilihat, menembus kornea, aqueus humor, lensa dan badan vitreus
guna merangsang ujung-ujung saraf dalam retina. Rangsangan yang diterima
retina bergerak melalui traktus optikus menuju daerah visuil dalam otak, untuk
ditafsirkan. Kedua daerah visuil menerima berita dari kedua mata, sehingga
menimbulkan lukisan dan bentuk (Pearce, Evelyn, 1999:319).
2.1.2.2.2.9 Papil Saraf Optik
Berfungsi meneruskan rangsangan cahaya yang diterima dari retina menuju
bagian otak yang terletak pada bagian belakang kepala (korteks oksipital)
(Perdami, 2005:2).
Bagian mata yang sangat penting dalam memfokuskan bayangan pada retina
adalah kornea, aqueus humor, lensa dan badan vitreus. Seperti yang selalu terjadi
dalam menafsirkan semua perasaan yang datang dari luar, maka sejumlah stasiun
penghubung bertugas untuk mengirimkan perasaan, dalam hal ini penglihatan.
Sebagian stasiun penghubung ini berada dalam retina. Sebelah dalam tepi retina,
terdapat lapisan-lapisan batang dan kerucut yang merupakan sel-sel penglihat
khusus yang peka terhadap cahaya. Sela-sela berupa lingkaran yang terdapat di
antaranya, disebut granula. Ujung proximal batang-batang dan kerucut-kerucut itu
membentuk sinapsis (penghubung) pertama dengan lapisan bipoler dalam retina.
Proses kedua yang dilakukan sel-sel itu adalah membentuk sinapsis kedua dengan
sel-sel ganglion besar, juga dalam retina. Axon-axon sel-sel ini merupakan
serabut-serabut dalam nervus optikus. Serabut-serabut saraf ini bergerak ke
belakang, mula-mula mencapai pusat yang lebih rendah dalam badan-badan
khusus talamus, lantas akhirnya mencapai pusat visuil khusus dalam lobus
oksipitalis otak, di mana penglihatan ditafsirkan (Pearce, Evelyn, 1999:320).
2.1.2.3 Fungsi Refraksi Mata
Lensa memegang peranan penting dalam pembiasan (refraksi) cahaya.
Refraksi adalah pembiasan cahaya apabila cahaya memasuki media yang berbeda
kerapatannya (densitasnya) dengan arah miring. Pada saat berkas cahaya datang
dari udara melewati bangunan yang bening pada mata yang disebut media
refrakta, maka cahaya tadi akan dibengkokkan (dibelokkan). Media refrakta
meliputi kornea, lensa, dan badan kaca. Lensa adalah bagian yang penting dalam
proses ini karena lensa membelokkan cahaya agar cahaya tadi dapat difokuskan
(dipusatkan ) di retina. Dari retina cahaya diubah ke dalam impuls cahaya yang
dihantarkan melewati nervus optikus ke pusat penglihatan di lobus oksipitalis otak
(Darling, Vera H. dan Thorpe, Margaret T., 1996:38).
Apabila lensa berada dengan jarak fokus yang sama, maka bayangan akan
kabur apabila objek didekatkan ke mata. Untuk dapat melihat objek yang
didekatkan mata dengan jelas harus terjadi perubahan kecembungan lensa untuk
dapat mengubah jarak fokus (jarak titik api). Proses ini disebut akomodasi.
Akomodasi dimungkinkan karena adanya zonula atau ligamentum suspensorium
lentis yang mengelilingi lensa, yang dikendalikan oleh muskulus siliaris. Apabila
muskulus siliaris berkontraksi, ligamentum suspensorium mengalami relaksasi
(mengendor) dan menambah kelengkungan lensa. Kejadian ini diiringi dengan
konvergensi mata dan konstriksi pupil untuk memungkinkan cahaya melewati
bagian sentral lensa. Pada mata normal dimungkinkan untuk melihat objek
sedekat 25 cm (Darling, Vera H. dan Thorpe, Margaret T., 1996:38).
2.1.2.4 Faktor Penyebab Gangguan Ketajaman Penglihatan
Ketajaman penglihatan seseorang dapat berkurang. Hal ini disebabkan antara
lain oleh faktor-faktor sebagai berikut:
2.1.2.4.1 Kuat Penerangan atau Pencahayaan
Mata manusia sensitif terhadap kekuatan pencahayaan, mulai dari beberapa
lux di dalam ruangan gelap hingga 100.000 lux di tengah terik matahari. Kekuatan
pencahayaan ini aneka ragam yaitu berkisar 2000-100.000 di tempat terbuka
sepanjang siang dan 50-500 lux pada malam hari dengan pencahayaan buatan.
Penambahan kekuatan cahaya berarti menambah daya, tetapi kelelahan relatif
bertambah pula. Kelelahan ini diantaranya akan mempertinggi kecelakaan.
Namun meskipun pencahayaan cukup, harus dilihat pula aspek kualitas
pencahayaan, antara lain faktor letak sumber cahaya. Sinar yang salah arah dan
pencahayaan yang sangat kuat menyebabkan kilauan pada obyek. Kilauan ini
dapat menimbulkan kerusakan mata. Begitu juga penyebaran cahaya di dalam
ruangan harus merata supaya mata tidak perlu lagi menyesuaikan terhadap
berbagai kontras silau, sebab keanekaragaman kontras silau menyebabkan
kelelahan mata. Sedangkan kelelahan mata dapat menyebabkan:
1) Irritasi, mata berair dan kelopak mata berwarna merah (konjungtivitis)
2) Penglihatan rangkap
3) Sakit kepala
4) Ketajaman penglihatan merosot, begitu pula kepekaan terhadap perbedaan
(contrast sensitivity) dan kecepatan pandangan
5) Kekuatan menyesuaikan (accomodation) dan konvergensi menurun
(Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat, 1990:40).
2.1.2.4.2 Waktu Papar
Pemaparan terus menerus misalnya pada pekerja sektor perindustrian yang jam
kerjanya melebihi 40 jam/minggu dapat menimbulkan berbagai penyakit akibat
kerja. Yang dimaksud dengan jam kerja adalah jam waktu bekerja termasuk waktu
istirahat (Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat, 1990:101). Meskipun terjadi
keanekaragaman jam kerja, umumnya pekerja informal bekerja lebih dari 7
jam/hari. Hal ini menimbulkan adannya beban tambahan pada pekerja yang pada
akhirnya menyebabkan kelelahan.mental dan kelelahan mata.
2.1.2.4.3 Umur
Ketajaman penglihatan berkurang menurut bertambahnya usia. Pada tenaga
kerja berusia lebih dari 40 tahun, visus jarang ditemukan 6/6, melainkan
berkurang. Maka dari itu, kontras dan ukuran benda perlu lebih besar untuk
melihat dengan ketajaman yang sama (Suma’mur P. K., 1996:95).
Makin banyak umur, lensa bertambah besar dan lebih pipih, berwarna
kekuningan dan menjadi lebih keras. Hal ini mengakibatkan lensa kehilangan
kekenyalannya, dan karena itu, kapasitasnya untuk melengkung juga berkurang.
Akibatnya, titik-titik dekat menjauhi mata, sedang titik jauh pada umumnya tetap
saja.
2.1.2.4.4 Kelainan Refraksi
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, benda kaca, dan panjangnya bola mata.
Pada orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya
bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda selalu melalui media
penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut
sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di
retinanya pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat
jauh (Sidarta Ilyas, 2004:72).
Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti Pungtum Proksimum
merupakan titik terdekat dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas.
Pungtum Remotum adalah titik terjauh dimana seseorang masih dapat melihat
dengan jelas, titik ini merupakan titik dalam ruang yang berhubungan dengan
retina atau foveola bila mata istirahat. Pada emetropia, pungtum remotum terletak
di depan mata (Sidarta Ilyas, 2004:72).
Secara klinik kelainan refraksi adalah akibat kerusakan ada akomodasi visuil,
entah itu sebagai akibat perubahan biji mata, maupun kelainan pada lensa.
Kelainan refraksi yang sering dihadapi sehari-hari adalah miopia, hipermetropia,
presbiopia, dan astigmatisma.
2.1.2.4.4.1 Miopia
Pada miopia panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau
kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat (Sidarta Ilyas, 2004:76). Pasien
dengan miopia akan menyatakan melihat jelas bila dekat, sedangkan melihat jauh
kabur atau disebut pasien adalah rabun jauh. Pasien dengan miopia akan
memberikan keluhan sakit kepala, sering disertai dengan juling dan celah kelopak
yang sempit. Seseorang miopia mempunyai kebiasaan mengeryitkan matanya
untuk mencegah aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang
kecil) (Sidarta Ilyas, 2004:77).
Miopia tampak bersifat genetika, tetapi pengalaman penglihatan abnormal
seperti kerja dekat berlebihan dapat mempercepat perkembangannya. Cacat ini
dapat dikoreksi dengan kacamata lensa bikonkaf (lensa cekung), yang membuat
sinar cahaya sejajar berdivergensi sedikit sebelum ia mengenai mata (Ganong, W.
F., 2002:150).
2.1.2.4.4.2 Hipermetropia
Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan
pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik
fokusnya terletak di belakang retina. Pada hipermetropia sinar sejajar difokuskan
di belakang makula lutea (Sidarta Ilyas, 2004:78).
Gejala yang ditemukan pada hipermetropia adalah penglihatan dekat dan jauh
kabur, sakit kepala, silau, dan kadang-kadang rasa juling atau lihat ganda. Pasien
hipermetropia sering disebut sebagai pasien rabun dekat. Pasien dengan
hipermetropia apapun penyebabnya akan mengeluh matanya lelah dan sakit
karena terus menerus harus berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan
bayangan yang terletak di belakang makula agar terletak di daerah makula lutea.
Keadaan ini disebut astenopia akomodatif. Akibat terus menerus berakomodasi,
maka bola mata bersama-sama melakukan konvergensi dan mata akan sering
terlihat mempunyai kedudukan estropia atau juling ke dalam (Sidarta Ilyas,
2004:79).
Pada hipermetropia, akomodasi dipertahankan bahkan sewaktu memandang
objek jauh, sebagian dapat mengkompensasi cacat ini, tetapi usaha otot yang lama
melelahkan serta bisa menyebabkan nyeri kepala dan pengaburan penglihatan.
Cacat ini dapat dikoreksi dengan menggunakan kacamata lensa cembung, yang
membantu kekuatan refraksi mata dalam memperpendek jarak fokus (Ganong, W.
F., 2002:150).
2.1.2.4.4.3 Presbiopia
Presbiopia adalah gangguan akomodasi pada usia lanjut yang dapat terjadi
akibat kelemahan otot akomodasi dan lensa mata tidak kenyal atau berkurang
elastisitasnya akibat sklerosis lensa. Akibat gangguan akomodasi ini maka pada
pasien berusia lebih dari 40 tahun, akan memberikan keluhan setelah membaca
yaitu berupa mata lelah, berair, dan sering terasa pedas (Sidarta Ilyas, 2004:74).
Kehilangan akomodasi cukup menyulitkan individu untuk membaca dan
melakukan pekerjaan dekat. Keadaan ini dapat dikoreksi dengan memakai
kacamata lensa cembung (Ganong, W. F., 2002:149).
2.1.2.4.4.4 Astigmatisma
Kelainan refraksi karena kelengkungan kornea yang tidak teratur disebut
astigmatisma. Pada penderita astigmatisma, sistem optik yang astigmatismatik
menimbulkan perbesaran atas satu objek dalam berbagai arah yang berbeda. Satu
titik cahaya yang coba difokuskan, akan terlihat sebagai satu garis kabur yang
panjang. Mata yang astigmatisma memiliki kornea yang bulat telur, bukannya
seperti kornea biasa yang bulat sferik. Kornea yang bulat telur memiliki lengkung
(meridian) yang tidak sama akan memfokus satu titik cahaya atau satu objek pada
dua tempat, jauh dan dekat. Lensa yang digunakan untuk mengatasi astigmatisma
adalah lensa silinder. Tetapi pada umumnya, di samping lensa silinder ini, orang
yang astigmatisma membutuhkan juga lensa sferik plus atau minus yang dipasang
sesuai dengan porosnya (Youngson, Robert, 1995:17).
2.1.2.4.4.5 Katarak
Katarak merupakan salah satu faktor penyebab gangguan ketajaman penglihatan.
2.1.2.4.4.5.1 Pengertian
Katarak adalah penurunan progresif kejernihan lensa. Lensa menjadi keruh, atau
berwarna putih abu-abu, dan ketajaman penglihatan berkurang (Corwin, Elizabeth
J., 2000:219).
2.1.2.4.4.5.2 Penyebab Katarak
Katarak dapat timbul pada usia berapa saja setelah trauma lensa, infeksi mata,
atau akibat pejanan radiasi atau obat tertentu. Janin yang terpajan virus rubela
dapat mengalami katarak. Para pengidap diabetes melitus kronik sering
mengalami katarak, yang kemungkinan besar disebabkan oleh gangguan aliran
darah ke mata dan perubahan penanganan dan metabolisme glukosa (Corwin,
Elizabeth J., 2000:219).
2.1.2.4.4.5.3 Klasifikasi Katarak
Berdasarkan usia, katarak dapat diklasifikasikan dalam:
1) Katarak kongenital, katarak yang sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun.
Bila katarak ditemukan pada anak-anak biasanya hal ini disebabkan kelainan
bawaan atau dapat juga disebabkan infeksi virus dan rubela pada ibu yang sedang
hamil muda (Sidarta Ilyas, 1997:8).
2) Katarak juvenil, katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun. Termasuk dalam
katarak juvenil yaitu adalah katarak traumatik, yaitu katarak yang terjadi karena
cedera pada mata seperti pukulan keras, tembus, menyayat, panas tinggi atau
bahan kimia yang mengakibatkan kerusakan pada lensa. Selain katarak traumatik,
yang termasuk dari katarak juvenil adalah katarak komplikata. Katarak
komplikata adalah katarak yang terjadi karena infeksi dan penyakit tertentu
seperti diabetes melitus yang dapat menyebabkan lensa menjadi keruh (Sidarta
Ilyas, 1997:8).
3) Katarak senil, adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada usia lanjut,
yaitu usia di atas 50 tahun (Sidarta Ilyas, 2004:201).
2.1.2.4.4.5.4 Gambaran Klinis
Penyakit katarak ditandai oleh warna putih pada lensa kristalin. Lensa
kristalin adalah lensa yang letaknya di belakang iris yang berfungsi memfokus
objek yang dilihat. Lensa kristalin tersusun dari serat-serat protein yang halus dan
transparan yang dipadatkan menjadi alat optik yang canggih, dimana struktur
kimia protein tersebut dengan mudah sekali dapat diubah.
Selain disebabkan oleh luka tusuk, pukulan keras atas mata dan berbagai
racun kimiawi, katarak juga dapat disebabkan oleh pemajanan terhadap berbagai
gelombang sinar. Hal ini menyebabkan terjadinya koagulasi yaitu pemanasan
intern pada lensa kristalin yang yang ditimbulkan oleh tranmisi radar jarak pendek
yang memancarkan gelombang mikro yang sangat kuat pada lensa kristalin.
Protein dalam lensa kristalin yang mengalami koagulasi secara fisik tidak lagi
transparan mengakibatkan cahaya tidak dapat lewat lensa dengan bebas yang pada
gilirannya mengakibatkan gangguan penglihatan (Youngson, Robert, 1995:67).
2.1.2.4.4.5.5 Gejala
Lensa mata terletak di bagian depan di dalam bola mata, lensa akan
memusatkan sinar pada selaput jala (retina) yang terletak di bagian belakang bola
mata. Sinar melalui lensa akan menghasilkan bayangan yang tajam pada retina.
Tergantung pada besar dan letak kekeruhan pada lensa, pasien dapat atau sama
sekali tidak sadar bahwa telah terjadi katarak pada matanya. Pada permulaan
katarak akan memerlukan penggantian kacamata yang lebih sering. Bila katarak
menjadi lebih memburuk maka kacamata yang tebal sekalipun tidak akan
menolong penglihatan (Sidarta Ilyas, 1997:11).
Bila katarak terjadi pada bagian tepi lensa maka tajam penglihatan tidak akan
mengalami perubahan, akan tetapi bila letak kekeruhan di tengah lensa maka
penglihatan tidak akan menjadi jernih. Bila telah terbentuk katarak yang menutupi
pupil telah sedemikian keruh dan tidak bening akan dapat mengganggu
penyaluran sinar masuk selaput jala lebih nyata. Katarak akan menghalangi sinar
masuk ke dalam, sehingga terjadi penurunan tajam penglihatan. Membaca
menjadi sukar dan bila mengendarai kendaraan terutama di waktu malam hari
penglihatan akan silau terhadap sinar yang datang (Sidarta Ilyas, 1997:11).
Penglihatan untuk membaca dirasakan silau bila penerangan terlalu kuat,
sehingga sering merasa senang membaca di tempat dengan penerangan kurang.
Pasien perlahan-lahan akan mengeluh penglihatannya seperti terhalang tabir.
Tabir asap ini makin lama makin tebal. Bila katarak berkembang maka
penglihatan akan seperti berasap, berkabut, malahan hanya seperti melihat sinar di
belakang kabut yang tebal (Sidarta Ilyas, 1997:11)
2.1.2.4.4.6 Konjungtivitis
Salah satu penyebab gangguan ketajaman penglihatan adalah konjungtivitis yang
terjadi pada konjungtiva.
2.1.2.4.4.6.1 Pengertian
Konjungtivitis adalah peradangan konjungtiva akibat suatu proses infeksi atau
respons energi (Corwin, Elizabeth J., 2000:217).
2.1.2.4.4.6.2 Penyebab Konjungtivitis
Konjungtivitis dapat disebabkan bakteri seperti konjungtivitis gonokok, virus,
klamidia, alergi toksik, dan molluscum contagiosum (Sidarta Ilyas, 2004:121).
Selain itu, konjungtivitis dapat terjadi karena konjungtiva terpajan jenis perusak
seperti debu, aerosol dan gas toksik yang mengiritasi serta berbagai jenis radiasi
(Youngson, Robert, 1995:35).
2.1.2.4.4.6.3 Klasifikasi Konjungtivitis
Berdasarkan penyebabnya, konjungtivitis dibagi menjadi 3 yaitu:
1) Konjungtivitis akibat infeksi bakteri seperti konjungtivitis gonore yang
disebabkan kuman gonokok, konjungtivitis angular yang disebabkan basil
Moraxella axenfeld, dan konjungtivitis mukopurulen yang disebabkan oleh
Staphylococcus.
2) Konjungtivitis virus seperti konjutivitis demam faringokonjungtiva yang
disebabkan adenovirus tipe 3 dan 7, keratokonjungtivitis epidemi yang disebabkan
adenovirus 8 dan 19 serta konjungtivitis herpetik yang merupakan manifestasi
primer herpes dan terdapat pada anak-anak yang mendapat infeksi dari pembawa
virus.
3) Konjungtivitis alergi seperti konjungtivitis flikten karena alergi
(hipersensitivitas tipe IV) terhadap tuberkuloprotein, serta konjungtivitis
iatrogenik terjadi karena pengobatan yang diberikan dokter.
2.1.2.4.4.6.4 Gambaran Klinis
Konjungtiva merupakan organ yang secara efektif memberikan perlindungan
atas bagian dalam sistem mata terhadap dunia luar. Konjungtiva mampu
memperbaiki diri dengan cepat setelah terkena substansi-substansi yang merusak
atau merugikan mata, seperti kuman, abu, benda-benda alergik, erosol gas toksik
yang mengiritasi dan berbagai jenis radiasi. Namun demikian, jika pengaruh
substansi-substansi tersebut berjalan terlalu lama, konjungtiva akhirnya akan
rusak secara permanen (Youngson, Robert, 1995:35).
Sinar ultra violet dengan gelombang khusus dapat merusak kulit dan kornea.
Kerusakan permanen pada jaringan dapat terjadi. Kerusakan pada konjungtiva
terdiri dari pelebaran pembuluh darah, penebalan membran, dan benjolan-
benjolan berlemak di samping kornea. Penderita mengalami rasa tidak enak,
iritatif secara terus menerus serta rasa ada pasir di matanya (Youngson, Robert,
1995:36).
2.1.2.4.4.6.5 Gejala
Konjungtivitis berawal dari rasa gatal di mata dan warna merah yang biasanya
terjadi di pojok mata. Pada bulu mata mungkin ditemukan lendir yang sudah
mengering, juga pada sudut mata. Kadang-kadang di bawah kelopak mata
ditemukan benang-benang lendir. Dalam waktu tidak terlalu lama, seluruh
konjungtiva menjadi merah (Youngson, Robert, 1995:36).
2.1.2.5 Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan
Tidak semua orang mempunyai ketajaman penglihatan yang sama. Ketajaman
penglihatan ini dalam istilah kedokteran disebut visus. Ketajaman penglihatan
(visus) dipergunakan untuk menentukan penggunaan kacamata. Visus penderita
bukan saja memberi pengertian tentang optiknya (kaca mata) tetapi mempunyai
arti yang lebih luas yaitu memberi keterangan tentang baik buruknya fungsi mata
keseluruhan (Gabriel, J. F., 1995:154).
Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan pemeriksaan fungsi mata.
Gangguan penglihatan memerlukan pemeriksaan untuk mengetahui sebab
kelainan mata yang mengakibatkan turunnya tajam penglihatan. Tajam
penglihatan perlu dicatat pada setiap mata yang memberikan keluhan mata.
(Sidarta Ilyas, 2004:64).
Pemeriksaan ketajaman penglihatan dapat dilakukan dengan menggunakan
Optotype Snellen, kartu Cincin Landolt, kartu uji E, dan kartu uji
Sheridan/Gardiner.
2.1.2.5.1 Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan dengan Optotype Snellen
Optotype Snellen terdiri atas sederetan huruf dengan ukuran yang berbeda dan
bertingkat serta disusun dalam baris mendatar. Huruf yang teratas adalah yang
besar, makin ke bawah makin kecil.
Penderita membaca Optotype Snellen dari jarak 6 m, karena pada jarak ini
mata akan melihat benda dalam keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi.
Pembacaan mula-mula dilakukan oleh mata kanan dengan terlebih dahulu
menutup mata kiri. Lalu dilakukan secara bergantian.
Tajam penglihatan dinyatakan dalam pecahan. Pembilang menunjukkan jarak
pasien dengan kartu, sedangkan penyebut adalah jarak pasien yang
penglihatannya masih normal bisa membaca baris yang sama pada kartu. Dengan
demikian dapat ditulis rumus:
V = D
d
(Gabriel, J.F., 1995:154).
Keterangan:
V = ketajaman penglihatan (visus)
d = jarak yang dilihat oleh penderita
D = jarak yang dapat dilihat oleh mata normal
Pada tabel di bawah ini terlihat tajam penglihatan yang dinyatakan dalam
sistem desimal, Snellen dalam meter dan kaki.
Tabel 4
Data Penggolongan Ketajaman Penglihatan dalam Desimal
Snellen 6 m 20 kaki Sistem desimal
6/6
5/6
6/9
5/9
6/12
5/12
6/18
6/60
20/20
20/25
20/30
15/25
20/40
20/50
20/70
20/200
1.0
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.1
(Sidarta Ilyas, 2004:68).
Tabel 5
Data Penggolongan Ketajaman Penglihatan
Snellen (kaki) Snellen (meter) % Efisiensi % Hilang Sentral
20/16
20/20
20/25
20/30
20/40
20/50
20/64
20/80
20/100
20/125
20/160
20/200
20/300
20/400
20/800
6/5
6/6
6/7.5
6/9
6/12
6/15
6/20
6/24
6/30
6/38
6/48
6/60
6/90
6/120
6/240
100
100
95
90
85
75
65
60
50
40
30
20
15
10
5
0
0
5
10
15
25
35
40
50
60
70
80
85
90
95
(Sidarta Ilyas, 2004:68).
Persentase efisiensi penglihatan dua mata dapat dihitung dengan rumus:
(3 x % tajam penglihatan mata terbaik) + % efisiensi mata terburuk : 4
= % efisiensi penglihatan binokular (Sidarta Ilyas. 2004: 69).
Dengan Optotype Snellen dapat ditentukan tajam penglihatan atau
kemampuan melihat seseorang, seperti:
1) Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak 6
meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 6 meter.
2) Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan angka
30, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30.
3) Bila pasien hanya dapat membaca huruf pada baris yang menunjukkan angka
50, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50.
4) Bila tajam penglihatan adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada jarak 6
meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter.
5) Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen maka
dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada jarak
60 meter.
6) Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang
diperlihatkan pada jarak 3 meter, maka dinyatakan tajam 3/60. Dengan pengujian
ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai sampai 1/60, yang berarti hanya dapat
menghitung jari pada jarak 1 meter.
7) Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan pasien
yang lebih buruk daripada 1/60. Orang normal dapat melihat gerakan atau
lambaian tangan pada jarak 1 meter, berarti tajam penglihatannya adalah 1/300.
8) Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak dapat
melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam penglihatan 1/~.
Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak berhingga.
9) Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka dikatakan
penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta total (Sidarta Ilyas, 2004:67).
Tajam penglihatan dan penglihatan kurang dibagi dalam tujuh kategori.
Adapun penggolongannya adalah sebagai berikut:
1) Penglihatan normal
Pada keadaan ini penglihatan mata adalah normal dan sehat.
2) Penglihatan hampir normal
Tidak menimbulkan masalah yang gawat, akan tetapi perlu diketahui
penyebabnya. Mungkin suatu penyakit masih dapat diperbaiki.
3) Low vision sedang
Dengan kacamata kuat atau kaca pembesar masih dapat membaca dengan cepat.
4) Low vision berat
Masih mungkin orientasi dan mobilitas umum akan tetapi mendapat kesukaran
pada lalu lintas dan melihat nomor mobil. Untuk membaca diperlukan lensa
pembesar kuat. Membaca menjadi lambat.
5) Low vision nyata
Bertambahnya masalah orientasi dan mobilisasi. Diperlukan tongkat putih untuk
mengenal lingkungan. Hanya minat yang kuat masih mungkin membaca dengan
kaca pembesar; umumnya memerlukan Braille, radio, pustaka kaset.
6) Hampir buta
Penglihatan kurang dari 4 kaki untuk menghitung jari. Penglihatan tidak
bermanfaat, kecuali pada keadaan tertentu. Harus mempergunakan alat nonvisual.
7) Buta total
Tidak mengenal rangsangan sinar sama sekali. Seluruhnya tergantung pada alat
indera lainnya atau tidak mata (Sidarta Ilyas, 2004:71).
Di bawah ini ditunjukkan tabel penggolongan keadaan tajam penglihatan normal,
tajam penglihatan kurang (low vision) dan tajam penglihatan dalam keadaan buta.
Tabel 6
Tajam Penglihatan Normal
Sistem Desimal
Snellen
Jarak 6 meter
Snellen
Jarak 20 kaki
Efisiensi
Penglihatan
2.0
1.33
1.0
0.8
6/3
6/5
6/6
6/7.5
20/10
20/15
20/20
20/25
100%
100%
95%
(Sidarta Ilyas, 2004:70).
Tabel 7
Tajam Penglihatan Hampir Normal
Sistem Desimal Snellen
Jarak 6 meter
Snellen
Jarak 20 kaki
Efisiensi
Penglihatan
0.7
0.6
0.5
0.4
0.33
0.285
6/9
5/9
6/12
6/15
6/18
6/21
20/30
15/25
20/40
20/50
20/60
20/70
90%
85%
75%
(Sidarta Ilyas, 2004:70).
Tabel 8
Tajam Penglihatan Low Vision Sedang
Sistem Desimal Snellen
Jarak 6 meter
Snellen
Jarak 20 kaki
Efisiensi
Penglihatan
0.25
0.2
6/24
6/30
6/38
20/80
20/100
20/125
60%
50%
40%
(Sidarta Ilyas, 2004:71).
Tabel 9
Tajam Penglihatan Low Vision Berat
Sistem Desimal Snellen
Jarak 6 meter
Snellen
Jarak 20 kaki
Efisiensi
Penglihatan
0.1
0.066
0.05
6/60
6/90
6/120
20/200
20/300
20/400
20%
15%
10%
(Sidarta Ilyas. 2004:71).
Tabel 10
Tajam Penglihatan Low Vision Nyata
Sistem Desimal Snellen
Jarak 6 meter
Snellen
Jarak 20 kaki
Efisiensi
Penglihatan
0.025 6/240 20/800 5%
(Sidarta Ilyas, 2004:71).
2.1.2.5.2 Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan dengan Kartu Cincin Landolt
Penggunaan Optotype Snellen kwalitasnya kadang-kadang meragukan oleh
karena huruf yang sama besarnya mempunyai derajat kesukaran yang berbeda,
demikian pula huruf dengan ukuran berbeda kadang-kadang tidak sama
bentuknya. Untuk menghindari kelemahan-kelemahan itu telah diciptakan kartu
Cincin Landolt. Kartu ini mempunyai sejumlah cincin berlubang, diatur berderet
yang sama besar, dengan lubang yang arahnya ke atas, ke bawah, ke kiri dan ke
kanan. Dari atas ke bawah cincin itu diatur agar lubangnya mengecil secara
berangsur-angsur.
Pada pemeriksaan ketajaman penglihatan dengan kartu cincin Landolt,
penderita disuruh menunjukkan deretan cincin tersebut hingga cincin terkecil
tanpa salah. Angka visus ini didapat dengan menghitung sudut di mana cincin
Landolt itu diamati. Misalnya penderita menunjukkan cincin Landolt tanpa salah
pada 0,8 mm jarak 4 m (Gabriel, J.F., 1995:155).
2.1.2.5.3 Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan dengan Kartu Uji E
Pasien yang mengunjungi klinik mata umunya akan menghapal jenis uji dan
mungkin dapat terjadi pencatatan palsu. Kebanyakan jenis uji dibuat sedemikian
rupa sehingga kartu dapat diubah. Untuk anak-anak yang belum dapat membaca
atau pasien yang buta huruf, maka ada berbagai kartu standard. Salah satunya
yaitu kartu uji E. Pengukuran dilakukan dengan memberikan pola E yang terbuat
dari kayu pada pasien untuk dipegang dan diarahkan dengan arah yang sama
dengan huruf E pada kartu (Darling, Vera H. dan Thorpe, Margaret T., 1996:13).
2.1.2.5.4 Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan dengan Kartu Uji
Sheridan/Gardiner
Selain kartu uji E, untuk memeriksa ketajaman penglihatan bagi anak-anak
yang belum dapat membaca atau pasien yang buta huruf dapat juga digunakan
Kartu Uji Sheridan/Gardiner. Pada uji Sheridan/Gardiner, pasien diperlihatkan
huruf-huruf yang makin ke bawah makin kecil dan diminta mengidentifikasi
huruf-huruf tadi dengan menunjuk huruf yang sama yang ia pegang dengan
tangan. Dalam melakukan uji visus pada anak kecil adalah perlu bantuan
(idealnya ibu si anak) untuk berdiri atau duduk di belakang anak dan mengamati
apakah anak dapat mengidentifikasi objek atau huruf dengan benar (Darling, Vera
H. dan Thorpe, Margaret T., 1996:14).
2.1.3 Pengaruh Pemakaian Kacamata Las Terhadap Ketajaman Penglihatan
Sinar yang ditimbulkan pada waktu mengelas bila langsung mengenai mata
tanpa menggunakan kacamata las sangat berbahaya. Sinar-sinar yang
membahayakan tersebut adalah sinar tampak, sinar inframerah dan sinar ultra
violet (Ahmad Nurdin, 1999:7).
Semua sinar tampak yang masuk ke mata akan diteruskan oleh lensa dan
kornea mata ke retina mata. Bila cahaya ini terlalu kuat maka akan segera menjadi
kelelahan pada mata (Ahmad Nurdin, 1999:7). Kelelahan pada mata berdampak
pada berkurangnya daya akomodasi mata. Hal ini menyebabkan pekerja dalam
melihat mencoba mendekatkan matanya terhadap obyek untuk memperbesar
ukuran benda, maka akomodasi lebih dipaksa. Keadan ini menimbulkan
penglihatan rangkap dan kabur.
Pengaruh sinar infra merah terhadap mata sama dengan pengaruh panas, yaitu
akan terjadi pembengkakan pada kelopak mata, terjadinya peyakit cornea,
presbiovia yang terlalu dini dan kerabunan (Ahmad Nurdin, 1999:7). Radiasi
dapat menimbulkan kerusakan sel pada lensa mata sehingga sel-sel itu tidak
mampu melakukan peremajaan. Sebagai akibatnya, lensa mata dapat mengalami
kerusakan permanen. Lensa mata yang terpapari radiasi dalam waktu cukup lama
akan berakibat pada fungsi transparasi lensa menjadi terganggu sehingga
penglihatan menjadi kabur. Penyinaran yang mengenai mata dengan dosis 2-5 Sv
dapat mengakibatkan terjadinya katarak pada lensa mata. Radiasi lebih mudah
menimbulkan katarak pada usia muda dibandingkan dengan usia tua (Mukhlis
Akadi, 2000:145).
Sinar ultra violet akan segera merusak epitel kornea. Pasien yang telah
terkena sinar ultra violet akan memberikan keluhan 4-10 jam setelah trauma.
Pasien akan merasa mata sangat sakit, mata seperti kelilipan atau kemasukan
pasir, fotofobia, blefarospasme, dan konjungtiva kemotik (Ahmad Nurdin,
1999:8). Kornea akan menunjukkan adanya infiltrat pada permukaannya, yang
kadang-kadang disertai dengan kornea yang keruh dan uji fluorensin positif.
Keratitis terutama terdapat pada fisura palpebra. Pupil akan terlihat miosis. Tajam
penglihatan akan terganggu. Keratitis ini dapat sembuh tanpa cacat, akan tetapi
bila radiasi berjalan lama kerusakan dapat permanen sehingga akan memberikan
kekeruhan pada kornea (Sidarta Ilyas, 2004:275).
Akibat dari sinar-sinar tersebut tidak akan lama apabila pekerja las telah
memenuhi persyaratan bekerja, yaitu dengan menggunakan kacamata pelindung
yang ditentukan. Oleh karena itu, kacamata las sangat penting digunakan pada
saat mengelas karena dapat melindungi mata dari radiasi ultra violet, sinar tampak
dan sinar inframerah (Maman Suratman, 2001:20). Dengan menggunakan
kacamata las, maka mata pekerja las akan terhindar dari paparan langsung sinar
tampak, sinar inframerah, serta sinar ultra violet yang berbahaya bagi mata karena
pemaparan langsung sinar-sinar tersebut ke mata dapat mengakibatkan gangguan
ketajaman penglihatan pada mata.
2.2 Kerangka Berfikir
Gambar 2
Kerangka Berfikir
2.3 Hipotesis
Menurut Sugiyono (82:2002), hipotesis adalah jawaban sementara terhadap
rumusan masalah penelitian. Berdasarkan kerangka berfikir di atas, maka dalam
penelitian ini hipotesis alternatifnya adalah ada pengaruh antara pemakaian
kacamata las terhadap ketajaman penglihatan pada pekerja las karbit di wilayah
pinggir Jalan D. I. Panjaitan Kota Semarang.
Proses Pengelasan
- ketidakrutinan
pemakaian kacamata
las
- Sinar tampak
- Sinar inframerah
- Sinar ultra violet
Faktor internal Faktor eksternal
Gangguan ketajaman penglihatan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Populasi Penelitian
Menurut Sugiyono (2002:55) populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas; obyek/subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Adapun dalam penelitian ini populasinya adalah pekerja las karbit
di wilayah pinggir Jalan D. I. Panjaitan Kota Semarang yang berjumlah 25 orang.
3.2 Sampel Penelitian
Menurut Sugiyono (2002:56) sampel adalah sebagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Dalam penelitian ini teknik yang
digunakan dalam pengambilan sampel adalah non random sampling dengan
teknik total sampling. Total sampling adalah teknik penentuan sampel bila semua
anggota populasi digunakan sebagai sampel. Hal ini sering dilakukan bila jumlah
populasi relatif kecil, kurang dari 30 orang (Sugiyono, 2002:61). Adapun jumlah
sampel dalam penelitian ini adalah 25 orang pekerja las karbit yang berada di
wilayah pinggir Jalan D. I. Panjaitan.
3.3 Variabel Penelitian
Menurut Sugiyono (2002:3), pengertian dari variabel bebas adalah merupakan
variabel yang menjadi sebab timbulnya atau berubahnya variabel dependen
(variabel terikat). Jadi variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi.
Sedangkan pengertian dari variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi
atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini
Variabel bebas : pemakaian kacamata las
Variabel terikat : ketajaman penglihatan
3.4 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survey, dengan pendekatan cross
sectional dimana data yang menyangkut variabel bebas atau resiko dan variabel
terikat atau variabel akibat yang terjadi pada objek penelitian diukur atau
dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan (Soekidjo Notoatmojo, 2002:26).
3.5 Instrumen Penelitian
3.5.1 Optotype Snellen
Pemeriksaan ketajaman penglihatan dengan menggunakan Optotype Snellen
bertujuan untuk mengetahui ketajaman penglihatan pada pekerja las karbit.
Adapun penilaian persentase efisiensi penglihatan dua mata dapat dihitung dengan
rumus:
(3 x % tajam penglihatan mata terbaik) + % efisiensi mata terburuk : 4
= % efisiensi penglihatan binokular (Sidarta Ilyas. 2004: 69).
Hasil % efisiensi penglihatan pekerja las karbit dibandingkan sesuai dengan
lampiran 9 tabel penggolongan ketajaman penglihatan menurut Sidarta Ilyas.
3.5.2 Kuesioner
Dalam pengambilan data pada penelitian ini digunakan kuesioner sebagai
instrumen penelitian. Dalam rangka mempermudah penyusunan kuesioner sebagai
instrumen maka perlu dibuat kerangka pengembangan instrumen penelitian.
Kerangka pengembangan tersebut dapat dilihat dalam bentuk matrik sebagai
berikut
Tabel 11
Matrik Variabel Penelitian
Variabel
Penelitian Indikator
No. Item
Instrumen Keterangan
Pemakaian
kacamata
Las
1) Sinar dari proses pengelasan
2) Rutinitas pemakaian kacamata las
3) Standar kacamata las
4) Manfaat kacamata las
5) Efek pemakaian kacamata las
terhadap pekerjaan
6) Pemakaian APD lain
1,2
3,4
5,6,7,8
9,10,11,12
13,14
15
Jumlah =
15 item
Ketajaman
penglihatan
1) Efek sinar ultraviolet terhadap
mata
2) Efek sinar inframerah terhadap
mata
3) Efek cahaya tampak terhadap mata
4) Fungsi refraksi mata
16,17,18,19
20,21
22,23,24,25
26,27,28,29,30
Jumlah =
15 item
Penilaian kuesioner dengan menggunakan skala Likert yang dipakai untuk
mengukur tingkat kesepakatan seseorang terhadap sejumlah pertanyaan berkaitan
dengan suatu konsep tertentu dengan membuat rentangan jawaban skor 1 sampai 4
untuk tiap pertanyaan dengan kategori tertentu. Dapat juga pertanyaan-pertanyaan
yang dipakai dibedakan dalam pernyataan positif dan penyataan negatif.
Berdasarkan aturan Skala Likert yang dikemukakan di atas, maka kategori
jawaban dapat disusun sebagai berikut:
Tabel 12
Kategori Penilaian Jawaban Kuesioner
Alternatif Jawaban Positif (+) Negatif (-)
Selalu
Sering
Jarang
Tidak pernah
4
3
2
1
1
2
3
4
Untuk memperoleh instrumen yang ampuh untuk mengukur seluruh aspek
dalam angket, maka dilakukan uji instrumen terlebih dahulu. Uji instrumen
tersebut meliputi uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas dan reliabilitas
dilakukan terlebih dahulu melalui studi pendahuluan terhadap pekerja las di
wilayah pinggir Jalan Mayjen Soetoyo sebelum kuesioner dibagikan kepada
sampel. Adapun hasil terlampir.
3.5.2.1 Uji Validitas Item Soal
Untuk menentukan valid tidaknya item yang dipergunakan sebagai
pendukung angket, digunakan teknik korelasi antara skor item dengan skor total
variabel. Rumus yang digunakan adalah rumus Product Moment
rxy ( )( )
∑ ∑ ∑ ∑∑ ∑∑
−−
−=
})(}{)({ 2222YiYinXiXin
YiXiXiYiN
(Sugiyono, 2002:213)
Keterangan:
rxy = koefisien korelasi tiap item
n = jumlah peserta tes
∑Xi = jumlah skor item
∑Yi = jumlah skor total
∑XiYi = jumlah perkalian skor item dan skor total
∑Xi2 = jumlah kuadrat skor item
∑Yi2 = jumlah kuadrat skor total
Kemudian hasil rxy dikonsultasikan dengan r tabel Product Moment dengan α = 5%
jika r hitung > rα(n) maka alat ukur dinyatakan valid.
Perhitungan validitas item soal dapat dilihat pada lampiran 1. Setelah
dilakukan korelasi skor total dengan skor item tiap nomor soal, rxy didapatkan.
Kemudian dikonsultasikan dengan r tabel yang didapat dari tabel r product moment
dengan α = 5%, N = 4 diperoleh r (0,05; 4) = 0,950.
Untuk selanjutnya hasil tes dari 34 item soal didapat 30 item soal yang valid,
yaitu soal nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 17,18, 19, 20, 21, 22,
23, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, dan 34.
Contoh perhitungan item soal nomor 1:
Dari tabel diketahui :
∑X = 9 ∑Y = 332 ∑XY = 784
∑X2 = 21 ∑Y
2 = 29426 N = 4
rxy
∑ ∑ ∑ ∑∑ ∑ ∑
−−
−=
})(}{)({ 2222YYNXXN
YXXYN
r xy = ( ) ( )( )
( ) ( ) } ( ) ( ){ }{ 2233229426.4.921.4
332.9784.4
−−
−
= 0,988
Karena r xy = 0,988 > r 0,05 (4) = 0,95 maka item soal nomor 1 valid.
3.5.2.2 Uji Reliabilias Instrumen
Uji reliabilitas instrumen dalam penelitian ini menggunakan teknik Alfa,
karena skor yang diperoleh dari responden merupakan data yang berupa interval.
Rumus koefisien reliabilitas Alfa Cronbach:
−
−=
∑2
2
11 St
Si
k
kri
(Sugiyono, 2002:282)
Keterangan:
ri = realibilitas instrumen
k = mean kuadrat antara subyek
Σsi 2
= mean kuadrat kesalahan
st2
= varians total
Rumus untuk varians total dan varians item:
st2 =
( )2
22
n
Xt
n
Xt ∑∑−
si2 = 2
n
JKs
n
JKi−
(Sugiyono, 2002:283)
Keterangan:
JKi
= varian
JKs = nilai item
X = rata-rata nilai item
n = jumlah sampel
Penentuan reliabilitas dilakukan dengan membandingkan harga koefisien r
Alfa dengan r tabel. Apabila r hitung lebih besar daripada r tabel, maka instrumen
tersebut dinyatakan reliable.
Perhitungan reliabilitas instrumen dapat dilihat pada lampiran 1. Dari hasil
perhitungan reliabilitas instrumen diperoleh r hitung = 0,983471. Berdasarkan harga
kritik r tabel, diperoleh harga r tabel untuk jumlah kasus 4 dengan signifikansi 5 %
sebesar 0,95. Dengan demikian r hitung lebih besar dari r tabel, sehingga dapat
dikatakan bahwa instrumen reliabel.
3.6 Prosedur Penelitian
Langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti dalam melaksanakan
penelitian adalah sebagai berikut:
1) Penyusunan proposal penelitian.
2) Pengajuan proposal penelitian ke Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing
II.
3) Pengesahan proposal penelitian dan pemberian surat ijin penelitian dari Jurusan
Ilmu Kesehatan Masyarakat.
4) Menghubungi Hiperkes guna peminjaman Optotype Snellen dan tenaga dokter
dari Hiperkes untuk mengukur ketajaman penglihatan pada pekerja las karbit.
5) Uji instrumen pada tanggal 18 Mei 2005 terhadap pekerja las karbit di wilayah
pinggir Jalan Mayjen Soetoyo.
6) Pengolahan validitas dan reliabilitas angket yang diujicobakan terhadap pekerja
las karbit di wilayah pinggir Jalan Mayjen Soetoyo.
7) Setelah angket valid dan reliabel, pada tanggal 23 Mei 2005 angket dibagikan
kepada sampel yaitu kepada 25 orang pekerja las di wilayah pinggir Jalan D. I.
Panjaitan guna diisi dan dilakukan pengukuran ketajaman penglihatan.
8) Penyusunan skripsi dan pengolahan data penelitian.
3.7 Teknik Pengambilan Data
3.7.1 Angket
Menurut Soekidjo Notoatmodjo (2002:112) yang dimaksud dengan angket
adalah suatu cara pengumpulan data atau suatu penelitian mengenai suatu masalah
yang umumnya banyak menyangkut kepentingan umum atau orang banyak.
Angket ini dilakukan dengan mengedarkan suatu daftar pertanyaan yang berupa
formulir-formulir, diajukan secara tertulis kepada sejumlah subyek untuk
mendapatkan tanggapan, informasi, jawaban dan sebagainya.
Data yang dikumpulkan berdasarkan persepsi yang diperoleh dari jawaban
responden. Dalam penelitian ini angket diberikan secara langsung kepada
responden yang menjadi subyek penelitian. Dilihat dari bentuk item pertanyaan
maka angket ini termasuk angket tertutup, karena angket tersebut menghendaki
jawaban pendek yang telah disediakan pada angket tersebut.
Alasan dalam menggunakan metode angket karena metode angket
mempunyai beberapa kelebihan yaitu:
1) Dalam waktu singkat dapat diperoleh data yang banyak.
2) Menghemat tenaga dan biaya.
3) Responden dapat memilih waktu senggang untuk mengisinya, sehingga tidak
terlalu terganggu bila dibandingkan dengan wawancara.
4) Secara psikhologis responden tidak merasa terpaksa, dan dapat menjawab lebih
terbuka (Soekidjo Notoatmojo, 2002:115).
Cara pemberian dan pengumpulan angket yaitu dengan cara:
1) Meminta ijin kepada para pekerja las karbit di wilayah pinggir Jalan D. I.
Panjaitan dengan membawa surat keterangan penelitian dari Universitas.
2) Sebelum angket diberikan pada sampel, angket diujicobakan terlebih dahulu
pada responden yaitu pekerja las karbit di wilayah pinggir Jalan Mayjen Sutoyo
Semarang.
3) Setelah angket valid dan reliabel baru diadakan penelitian.
4) Memberikan angket kepada sampel yaitu seluruh populasi pekerja las karbit di
wilayah pinggir Jalan D. I. Panjaitan yang berjumlah 25 orang.
5) Pekerja sampel diberi waktu selama 30 menit untuk mengisi angket.
6) Setelah 30 menit angket dikumpulkan
3.7.2 Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan
Pemeriksaan ketajaman penglihatan dilakukan pada pagi hari sebelum pekerja
melakukan aktivitas pekerjaannya sehari-hari dimana sebelumnya diberikan
penjelasan kepada pekerja las mengenai tujuan dilakukannya pemeriksaan
penglihatan tersebut. Pemeriksaan ketajaman penglihatan dilakukan pada tempat
kerja dengan cara sebagai berikut:
1) Pemeriksaan dilakukan dalam jarak 6 meter.
2) Pemeriksaan dilakukan pada kedua mata secara bergantian.
3) Mata yang tidak diperiksa ditutup.
4) Responden diminta untuk membaca sampai baris terkecil yang masih dapat
dibaca.
5) Mencatat hasil dalam lembar data.
3.8 Faktor yang Mempengaruhi Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian terdapat faktor-faktor yang berpengaruh.
Faktor tersebut yaitu waktu pemeriksaan ketajaman penglihatan. Waktu
pemeriksaan ketajaman penglihatan dilakukan pada pagi hari sebelum pekerja las
melakukan aktivitas atau bekerja. Pemeriksaan ketajaman penglihatan dilakukan
pada pagi hari sebelum pekerja las karbit memulai aktivitas karena pada saat itu
kondisi mata pada pekerja las karbit apabila melihat suatu obyek, mata dalam
keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi.
3.9 Analisis Data
3.9.1 Uji Prasarat
Sebelum dilakukan uji analisis statistik, data yang akan dianalisis setidaknya
berdistribusi normal dan homogen. Oleh karena itu data yang terkumpul harus
diuji normalitas dan homogenitasnya. Jika data yang dianalisis berdistribusi
normal dan homogen, maka statistik yang digunakan adalah statistik parametris
(Sugiyono, 2002:114).
3.9.1.1 Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah sampel berasal dari
populasi yang berdistribusi normal. Langkah awal untuk menganalisis data adalah
menguji kenormalan distribusi sampel. Uji Normalitas data dilakukan dengan
menggunakan program komputer. Sebaran data berdistribusi normal jika nilai
probabilitas signifikansi > 0,05.
3.9.1.2 Uji Homogenitas
Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah hubungan antar
variabelnya homogen. Uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan program
komputer dimana kedua kelompok data mempunyai varian yang sama (homogen)
jika probabilitas signifikansi > 0,05.
3.9.2 Analisis Statistik
Analisis yang digunakan Regresi Linier Sederhana. Teknik statistik regresi
digunakan oleh peneliti bila peneliti bermaksud melakukan prediksi seberapa jauh
nilai variabel dependen bila nilai variabel independen dirubah. Dikatakan regresi
linier sederhana bila variabel bebas atau variabel independen sebagai prediktor
jumlahnya hanya satu.
Persamaan umum regresi linier sederhana adalah
Ŷ = a + bX
(Sugiyono, 2002:244)
Dimana:
Ŷ = subyek dalam variabel dependen yang diprediksikan.
a = harga bila X = 0 (harga konstan)
b = angka arah atau koefisien regresi, yang menunjukkan angka peningkatan
ataupun penurunan variabel dependen yang didasarkan pada variabel
independen. Bila b (+) maka naik, dan bila (-) maka terjadi penurunan.
X = subyek pada variabel independen yang mempunyai nilai tertentu
Berdasarkan uji statistik, dilakukan pengambilan keputusan berdasarkan hipotesis.
Ho = tidak ada pengaruh antara pemakaian kacamata las terhadap ketajaman
penglihatan
Ha = ada pengaruh antara pemakaian kacamata las terhadap ketajaman
penglihatan
Jika statistik t hitung < statistik t tabel, maka Ho diterima.
Jika statistik t hitung > statistik t tabel, maka Ho ditolak.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Hasil Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan
Berdasarkan hasil pemeriksaan dengan menggunakan Optotype Snellen yang
dilakukan terhadap 25 pekerja las karbit di Jalan D. I. Panjaitan Kota Semarang
didapatkan bahwa 5 orang (20%) pekerja las karbit yang memiliki ketajaman
penglihatan normal, 14 orang pekerja las karbit (56%) yang memiliki tajam
penglihatan hampir normal dan 6 orang pekerja las karbit (24%) yang memiliki
ketajaman penglihatan low vision sedang. Adapun dari seluruh pekerja las karbit
tidak ada (0%) yang memiliki tajam penglihatan low vision berat.
Tabel 13
Hasil Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan Pekerja Las Karbit
di Wilayah Pinggir Jalan D. I. Panjaitan Kota Semarang
No Ketajaman Penglihatan Frekuensi Prosentase (dalam %)
1. Normal 5 20%
2. Hampir normal 14 56%
3. Low vision sedang 6 24%
4. Low vision berat 0 0%
Jumlah 25 100%
(Hasil pengukuran ketajaman penglihatan selengkapnya dalam lampiran 10).
0%
20%
40%
60%
Ketajaman Penglihatan
Distribusi Frekuensi Ketajaman
Penglihatan
normal
hampir normal
low vision sedang
low vision berat
Gambar 3
Distribusi Frekuensi Ketajaman Penglihatan
Pekerja Las Karbit di Wilayah Pinggir Jalan D. I. Panjaitan
4.1.2 Uji Prasarat
4.1.2.1 Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui bahwa sebaran data pada sampel
yang dihasilkan dari penelitian benar-benar berasal dari populasi yang bersifat
normal. Uji normalitas sebaran data pada penelitian ini menggunakan rasio
Skewness dan Kolmogorov-Smirnov yang dihitung melalui bantuan komputer.
Pengambilan keputusan berdasarkan pada aturan :
1) Jika rasio skewness dengan standar error bernilai antara –2 sampai dengan 2,
maka data dinyatakan berdistribusi normal.
2) Jika rasio skewness dengan standar error bernilai kurang dari –2 atau lebih dari
2, maka data dinyatakan tidak berdistribusi normal.
3) Jika probabilitas signifikansi dari statistik K-S lebih besar dari 0,05, maka data
dinyatakan berdistribusi normal.
4) Jika probabilitas signifikansi dari statistik K-S lebih kecil dari 0,05, maka data
dinyatakan tidak berdistribusi normal.
Dari hasil perhitungan diperoleh :
157.0464.0
073.0==essRasioSkewn
Karena rasio skewness berada di antara –2 sampai dengan 2, maka sebaran data
berdistribusi normal Nilai probabilitas signifikansi K-S sebesar 0,131 > 0,05
sehingga sebaran data berdistribusi normal. (hasil perhitungan dapat lampiran 6).
4.1.2.2 Uji Homogenitas
Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah hubungan antar variabel
bersifat homogen. Uji homogenitas pada penelitian ini menggunakan statistic
Levene yang dihitung melalui bantuan komputer. Pengambilan keputusan
berdasarkan pada aturan :
1) Jika probabilitas signifikansi lebih besar dari 0,05, maka varian kedua
kelompok data adalah sama.
2) Jika probabilitas signifikansi lebih kecil dari 0,05, maka varians kedua
kelompok data berbeda.
Dari hasil perhitungan statistic Levene, diperoleh harga statistik sebesar 0,698
dengan probabilitas signifikansinya sebesar 0,721. Karena probabilitas
signifikansinya lebih besar dari 0,05 maka kedua kelompok data mempunyai
varians yang sama (homogen) ( perhitungan pada lampiran 7).
4.1.3 Uji Hipotesis
4.1.3.1 Uji F
Uji F digunakan untuk menguji apakah model regresi dapat dipakai untuk
memprediksi ketajaman penglihatan (Y). Uji F pada penelitian ini menggunakan
ANOVA yang dihitung melalui bantuan komputer. Pengambilan keputusan pada
Uji F berdasarkan pada aturan :
1) Jika probabilitas signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka model regresi dapat
dipakai untuk memprediksi ketajaman penglihatan.
2) Jika probabilitas signifikansi lebih besar dari 0,05 maka model regresi tidak
dapat dipakai untuk memprediksi ketajaman penglihatan.
Dari Uji F ANOVA atau F test, didapat F hitung adalah 35,709 dengan angka
signifikansi 0,000. Oleh karena probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05,
maka model regresi dapat dipakai untuk memprediksi ketajaman penglihatan.
4.1.3.2 Regresi Linier Sederhana
Berdasarkan perhitungan dari tabel regresi linier sederhana pada lampiran 8,
didapatkan persamaan regresi sebagai berikut:
Y = 8,416 + 0,685 X
Dari persamaan regresi linier sederhana tersebut diatas, menunjukkan bahwa:
1) Konstanta sebesar 8,416 menyatakan bahwa jika koefisien variabel pemakaian
kacamata las (X) dianggap nol maka nilai variabel ketajaman penglihatan (Y)
sebesar 8,416.
2) Koefisien regresi sebesar 0,685 menyatakan bahwa setiap penambahan (karena
tanda +) koefisien variabel pemakaian kacamata las (X) sebesar 1, maka akan
terjadi penambahan nilai variabel ketajaman penglihatan (Y) sebesar 0,685.
4.1.3.3 Hipotesis
Ho = koefisien regresi tidak signifikan.
Ha = koefisien regresi signifikan.
Pengambilan keputusan:
4.1.3.3.1 Dengan Membandingkan Statistik Hitung dengan Statistik Tabel
Jika statistik t hitung < statistik t tabel, maka Ho diterima.
Jika statistik t hitung > statistik t tabel, maka Ho ditolak.
1) Statistik t hitung
Dari tabel output pada lampiran 12 terlihat bahwa t hitung adalah 5,976.
2) Statistik t tabel
Tingkat signifikansi (α) = 5%
df (derajat kebebasan) = jumlah data – 2 atau 25 – 2 = 23
uji dilakukan dua sisi
untuk t tabel dua sisi, didapat angka 2,069
Keputusan:
Oleh karena statistik t hitung > statistik t tabel (5,976 > 2,069) maka Ho ditolak.
4.1.3.3.2 Berdasarkan probabilitas
Jika probabilitas > 0,05, maka Ho diterima
Jika probabilitas < 0,05, maka Ho ditolak
Keputusan:
Terlihat bahwa pada kolom sig/significance adalah 0,000 atau probabilitas jauh di
bawah 0,05. Maka Ho ditolak, atau koefisien regresi signifikan, atau pemakaian
kacamata las (X) benar-benar berpengaruh secara signifikan terhadap ketajaman
penglihatan (Y).
4.1.3.4 R Square
Angka R Square adalah 0,608 (adalah pengkuadratan dari koefisien korelasi, atau
0,780 x 0,780 = 0,608). R Square dapat disebut koefisien determinasi, yang dalam
hal ini berarti 60,8% ketajaman penglihatan dapat dijelaskan atau dipengaruhi
oleh variabel pemakaian kacamata las.
4.2 Pembahasan
Berdasarkan penelitian didapatkan hasil bahwa ada pengaruh yang signifikan
antara pemakaian kacamata las terhadap ketajaman penglihatan pada pekerja las
karbit di wilayah pinggir Jalan D. I. Panjaitan Kota Semarang. Adanya pengaruh
yang signifikan ini didapatkan dari hasil penelitian berupa pemeriksaan ketajaman
penglihatan pekerja las karbit dan melalui data sekunder berupa angket.
Dari uji statistik, didapatkan t hitung adalah 5,975 dan t tabel untuk tingkat
signifikansi 5% adalah 2,069. Oleh karena t hitung > t tabel (5,976 > 2,069) maka Ho
ditolak. Hal ini berarti koefisien regresi signifikan, atau pemakaian kacamata las
(X) benar-benar berpengaruh secara signifikan terhadap ketajaman penglihatan.
Berdasarkan hasil perhitungan dari uji F didapatkan angka signifikansi 0,000.
Oleh karena probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05, maka model regresi
dapat dipakai untuk memprediksi ketajaman penglihatan. Hal ini berarti bahwa
naik turunnya ketajaman penglihatan karena pemakaian kacamata las dapat
diprediksikan melalui persamaan regresi. Adapun persamaan regresi pemakaian
kacamata las terhadap ketajaman penglihatan adalah sebagai berikut:
Y = 8,416 + 0,685 X
Dari persamaan regresi linier sederhana tersebut diatas, menunjukkan bahwa :
1) Konstanta sebesar 8,416 menyatakan bahwa jika koefisien variabel pemakaian
kacamata las (X) dianggap nol maka nilai variabel ketajaman penglihatan (Y)
sebesar 8,416.
2) Koefisien regresi sebesar 0,685 menyatakan bahwa setiap penambahan (karena
tanda +) koefisien variabel pemakaian kacamata las (X) sebesar 1, maka akan
terjadi penambahan nilai variabel ketajaman penglihatan (Y) sebesar 0,685.
Berdasarkan hasil data penelitian, pemakaian kacamata las memiliki pengaruh
sebesar 60,8% terhadap ketajaman penglihatan pada pekerja las karbit di Jalan
D. I. Panjaitan Kota Semarang.
Proses pengelasan dalam las karbit menghasilkan sinar-sinar yang bersifat
radiasi dan berbahaya bagi pekerja yang terpajan, khususnya pada indera
penglihatan yaitu mata. Sinar sinar tersebut antara lain yaitu sinar tampak, sinar
inframerah dan sinar ultra violet.
Semua sinar tampak yang masuk ke mata akan diteruskan oleh lensa dan
kornea mata ke retina mata. Bila cahaya ini terlalu kuat maka akan segera menjadi
kelelahan pada mata (Ahmad Nurdin, 1999:7). Kelelahan pada mata berdampak
pada berkurangnya daya akomodasi mata. Hal ini menyebabkan pekerja dalam
melihat mencoba mendekatkan matanya terhadap obyek untuk memperbesar
ukuran benda, maka akomodasi lebih dipaksa. Keadan ini menimbulkan
penglihatan rangkap dan kabur.
Pengaruh sinar infra merah terhadap mata sama dengan pengaruh panas, yaitu
akan terjadi pembengkakan pada kelopak mata, terjadinya peyakit cornea,
presbiovia yang terlalu dini dan kerabunan (Ahmad Nurdin, 1999:7). Radiasi
dapat menimbulkan kerusakan sel pada lensa mata sehingga sel-sel itu tidak
mampu melakukan peremajaan. Sebagai akibatnya, lensa mata dapat mengalami
kerusakan permanen. Lensa mata yang terpapari radiasi dalam waktu cukup lama
akan berakibat pada fungsi transparasi lensa menjadi terganggu sehingga
penglihatan menjadi kabur. Penyinaran yang mengenai mata dengan dosis 2-5 Sv
dapat mengakibatkan terjadinya katarak pada lensa mata. Radiasi lebih mudah
menimbulkan katarak pada usia muda dibandingkan dengan usia tua (Mukhlis
Akadi, 2000:145).
Sinar ultra violet akan segera merusak epitel kornea. Pasien yang telah
terkena sinar ultra violet akan memberikan keluhan 4-10 jam setelah trauma.
Pasien akan merasa mata sangat sakit, mata seperti kelilipan atau kemasukan
pasir, fotofobia, blefarospasme, dan konjungtiva kemotik (Ahmad Nurdin,
1999:8). Kornea akan menunjukkan adanya infiltrat pada permukaannya, yang
kadang-kadang disertai dengan kornea yang keruh dan uji fluorensin positif.
Keratitis terutama terdapat pada fisura palpebra. Pupil akan terlihat miosis. Tajam
penglihatan akan terganggu. Keratitis ini dapat sembuh tanpa cacat, akan tetapi
bila radiasi berjalan lama kerusakan dapat permanen sehingga akan memberikan
kekeruhan pada kornea (Sidarta Ilyas, 2004:275).
Ketiga sinar yang dihasilkan selama proses pengelasan las karbit tersebut
menyebabkan kelainan pada mata yang merupakan faktor-faktor penyebab
gangguan pada ketajaman penglihatan. Pemakaian kacamata las (gogel) adalah
alternatif terakhir untuk melindungi pekerja las karbit dari paparan sinar tampak,
sinar ultra violet dan sinar inframerah sehingga pekerja las karbit dapat terhindar
dari gangguan ketajaman penglihatan yang disebabkan oleh sinar-sinar yang
bersifat radiasi tersebut. Kacamata las harus mampu menurunkan kekuatan
pancaran sinar tampak dan harus dapat melindungi mata dari pancaran sinar ultra
violet dan inframerah. Lebih banyak sinar dari suatu panjang gelombang yang
dipancarkan oleh suatu sumber bahaya, maka lebih besar pula daya absorbsi untuk
sinar itu yang harus dipunyai kacamata las. Untuk keperluan ini maka kacamata
las harus mempunyai warna tranmisi tertentu, misalnya abu-abu, coklat atau hijau.
Bahan dari kacamata las (gogel) dapat terbuat dari plastik yang transparan dengan
lensa yang dilapisi kobalt untuk melindungi bahaya radiasi gelombang
elektromagnetik non ionisasi dan kesilauan atau lensa yang terbuat dari kaca yang
dilapisi timah hitam untuk melindungi dari radiasi gelombang elektromagnetik
dan mengion (A. M. Sugeng Budiono, 2003:331).
Ketidak rutinan pekerja las dalam memakai kacamata las mengakibatkan
pemajanan sinar tampak, sinar ultra violet, dan sinar inframerah langsung ke mata.
Akibat dari pemajanan secara langsung oleh sinar-sinar yang bersifat radiasi
tersebut, maka sebagian pekerja las yang diperiksa ketajaman penglihatannya
dengan Optotype Snellen mengalami gangguan ketajaman penglihatan.
Melalui hasil pemeriksaan dengan menggunakan Optotype Snellen yang
dilakukan terhadap 25 pekerja las karbit di Jalan D. I. Panjaitan Kota Semarang
didapatkan bahwa 5 orang (20%) pekerja las karbit yang memiliki ketajaman
penglihatan normal, 14 orang pekerja las karbit (56%) yang memiliki tajam
penglihatan hampir normal dan 6 orang pekerja las karbit (24%) yang memiliki
ketajaman penglihatan low vision sedang. Adapun dari seluruh pekerja las karbit
tidak ada (0%) yang memiliki tajam penglihatan low vision berat. Bila
dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Bambang
Trisnowiyanto terhadap pekerja las listrik di Pasar Semanggi Surakarta dimana
23,08% sampel mengalami gangguan ketajaman penglihatan, maka sampel yang
diteliti oleh peneliti saat ini yaitu pekerja las karbit di wilayah pinggir Jalan D. I.
Panjaitan Kota Semarang lebih banyak yang mengalami gangguan ketajaman
penglihatan, yaitu sebesar 80%. Pekerja las karbit banyak yang mengalami
gangguan ketajaman penglihatan karena hampir sebagian pekerja las karbit tidak
memakai kacamata las secara rutin. Selain itu, kacamata las yang dipakai oleh
pekerja las karbit belum sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah.
Hal ini dapat dilihat dari hasil kuesioner yang dibagikan kepada para pekerja las
karbit. Ketidaktahuan mereka tentang bahaya yang ditimbulkan oleh sinar-sinar
yang dihasilkan selama proses pengelasan terhadap mata, membuat para pekerja
las karbit merasa tidak perlu lagi memakai kacamata las untuk melindungi mata
mereka.
Dalam melaksanakan penelitian, peneliti mengalami beberapa hambatan.
Salah satu hambatan tersebut adalah kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh
pekerja las karbit di Jalan D. I. Panjaitan tentang kesehatan dan keselamatan kerja
khususnya mengenai manfaat pemakaian kacamata las Kurangnya pengetahuan
para pekerja las karbit di Jalan D. I. Panjaitan mengenai bahaya sinar–sinar las
dan manfaat pemakaian kacamata las menyebabkan pekerja las karbit di wilayah
pinggir Jalan D. I. Panjaitan Kota Semarang kurang memberikan respon terhadap
penelitian yang dilakukan oleh peneliti.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap pekerja las karbit di wilayah
pinggir Jalan D. I. Panjaitan Kota Semarang, ada pengaruh yang signifikan antara
pemakaian kacamata las terhadap ketajaman penglihatan. Besarnya pengaruh
variabel pemakaian kacamata las terhadap variabel ketajaman penglihatan adalah
sebesar 60,8%.
5.2 Saran
1) Bagi pekerja las karbit, agar tidak mengalami gangguan ketajaman penglihatan
sebaiknya rutin memakai kacamata las sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh
pemerintah.
2) Bagi penelitian selanjutnya dengan menggunakan variabel bebas yang berbeda,
agar mendapatkan hasil penelitian yang valid sebaiknya dalam pemeriksaan
ketajaman penglihatan sebaiknya dilakukan pada pagi hari sebelum pekerja las
karbit melakukan aktivitas atau sebelum memulai pekerjaan. Karena pada saat itu
kondisi mata pekerja las karbit dalam keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi
saat melihat suatu obyek.
3) Bagi peneliti berikut yang akan melakukan penelitian yang sama dengan
variabel bebas yang berbeda, sebaiknya sampel diperbanyak.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Nurdin. 1999. Peralatan Las Busur Manual. Bandung: Angkasa
A. M. Sugeng Budiono. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan KK. Semarang Badan
Penerbit Universitas Diponegoro
Bambang Trisnowiyanto. 2002. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan
Ketajaman Penglihatan Pekerja Las Listrik di Pasar Besi Tua Semanggi
Surakarta. Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro
Semarang
Boentarto. 1997. Mengelas Karbit. Solo: Aneka
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Terjemahan Brahm U.
Pendit. Jakarta: EGC
Darling, Vera H., dan Thorpe, Margaret R. 1996. Perawatan Mata. Terjamahan
Hartono. Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica
Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat. 1990. Upaya Kesehatan Kerja Sektor
Informal di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Direktorat Hilir Bidang Pemasaran dan Niaga. 2002. Buku Panduan Keselamatan,
Kesehatan Kerja dan Lingkungan Kerja. Jakarta: Pertamina
Edi S. Affandi. 2005. Sindrom Penglihatan Komputer. Majalah Kedokteran
Indonesia. No. 03/Vol. 55/Februari 2005. Halm. 298
.
Gabriel, J. F. 1995. Fisika Kedokteran. Jakarta: EGC
Ganong, W. F. 2002. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Terjemahan Petrus
Andrianto. Jakarta: EGC
Harsono Wiryosumarto. 2000. Teknologi Pengelasan Logam. Jakarta: Pradnya
Paramita
Herry Sonawan dan Rochim Suratman. 2004. Pengantar untuk Memahami Proses
Pengelasan Logam. Bandung: ALFA BETA
Kenyon, W. 1984. Dasar-Dasar Pengelasan. Jakarta: Erlangga
Maman Suratman. 2001. Teknik Mengelas Asetilin, Brazing, dan Las Busur
Listrik. Bandung: Pustaka Grafika
Mukhlis Akadi. 2000. Dasar-Dasar Proteksi Radiasi. Rineka Cipta: Jakarta
Pearce, Evelyn. 1999. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Terjemahan Sri
Yuliani Handoyo. Jakarta: Gramedia
Perdami. 2005. Anatomi dan Faal Mata. http//www. indonet. id
Seeley, Rod R. 2000. Anatomy and Physiology. North America: Phoenix College
Sidarta Ilyas. 1997. Katarak (Lensa Mata Keruh). Jakarta: Balai Penerbit FKUI
. 2004. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Soekidjo Notoatmodjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:
RINEKA CIPTA
Sugiyono. 2002. Statistik untuk Penelitian. Bandung: ALFABETA
Suma’mur P. K. 1996. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Gunung
Agung
Warmbrad, Max. 1985. Hidup Bebas dari Rasa Sakit dan Derita. Bandung: Pionir
Jaya
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al Qur’an. 1990. Al Qur’an dan
Terjemahannya. Semarang: Toha Putra
Youngson, Robert. 1995. Penyakit Mata. Terjemahan Illias E. Jakarta: Arcan