disusun oleh : iin solihin -...
TRANSCRIPT
1
MATHLA’UL ANWAR DALAM KONSTELASI POLITIK
NASIONAL PASCA ORDE BARU
Disusun Oleh :
IIN SOLIHIN
NIM: 105033201130
Program Studi Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
1430 H / 2010 M
2
3
4
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 01 Desember 2010
Iin Solihin
iii
5
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN............................................................................. iii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iv
ABSTRAK ....................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii
Bab 1 : Pendahuluan
A. Latar belakang ................................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................. 6
C. Tinjauan Pustaka.............................................................................. 6
D. Tujuan Penelitian............................................................................. 7
E. Metode Penelitian ............................................................................ 8
F.Sistematika Penulisan ....................................................................... 10
Bab II: Sekilas Tentang Mathla’ul Anwar
A. Sekilas Berdirinya Mathla’ul Anwar............................................... 12
B. Sifat-Sifat Tujuan Mathla’ul Anwar................................................ 16
C. Pengertian Khittah Mathla’ul Anwar .............................................. 19
1. Fungsi dan Tugas Organisasi Mathla’ul Anwar.............................. 19
2. Landasan Operasional Organisasi Mathla’ul Anwar ...................... 20
D. Tokoh-Tokoh Pendiri Mathla’ul Anwar.......................................... 24
iv
6
Bab III: Mathla’ul Anwar Dan Partisipasi Politik
A. Pengertian Dan Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik .............................. 29
B. Langkah-Langkah Perjuangan Mathla’ul Anwar................................. 35
1. Bidang Politik................................................................................... 35
2. Bidang Pendidikan ........................................................................... 41
C. Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar ...................................................... 48
1. Di Era Orde Lama ........................................................................... 48
2. Di Era Orde Baru............................................................................. 52
Bab IV: Mathla’ul Anwar Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru
A. Realitas Politik Mathla’ul Anwar Pasca Orde Baru........................ 65
B. Hubungan Mathla’ul Anwar Dengan Partai Politik ........................ 74
C. Partisipasi Mathla’ul Anwar Dalam Politik Pasca Orde Baru......... 80
D. Masa Depan Mathla’ul Anwar, Antara Peluang dan Tantangan..... 87
Bab V: Penutup
A. Kesimpulan...................................................................................... 91
B. Saran ................................................................................................ 92
C. Dafatar Pustaka................................................................................ 94
Lampiran
v
7
ABSTRAK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS ILMU POLITIK DAN ILMU SOSIAL PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
Iin Solihin, 97 halaman, 56 Daftar Pustaka, 105033201130 Mathla’ul Anwar Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru
Skripsi ini memfokuskan perhatian pada partisipasi politik organisasi Mathla’ul Anwar (MA 1916) dalam konstelasi politik nasional pasca Orde Baru sebagai salahsatu organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang kultural (pendidikan, dakwah dan sosial). Pemilihan MA pada kajian ini karena ia dianggap sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Provinsi Banten dan terbesar ketiga di Indonesia setelah NU (1926) dan Muhammadiyah (1912). Sebagai organisasi gerakan kultural diawal pendiriannya pada perjalanannya dalam rangka mengisi setelah kemerdekaan untuk membangun permasalahn keumatan, kenegaraan dan kebangsaan mengalami degradasi dari awal sebagai gerakan dalam bidang kultural menuju gerakan politis yang terbawa oleh arus euphoria masa Orde Baru (Orba) yang melakukan strategi hegemoni kekuasaannya dengan memberlakukan Asas Pancasila sebagai satu-satunya Asas untuk seluruh organisasi. Kemudian, pada perkembangannya menyebabkan perpecahan dinternal organisasi MA dengan hilangnya independensi dan puncaknya mengadopsi sistem komando dibawah Orde Baru dan Golkar dengan menjadi onderbouw dari partai politik yang dinilai telah keluar dari Khitthah (1916) organisasi MA.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan melakukan survei untuk mendapatkan data primer, yaitu dengan jalan interview atau wawancara secara langsung dan mendalam, dengan pendekatan penelitian kualitatif dan pengumpulan dokumen lainnya (library research) untuk mendapatkan data skunder, yakni mengadakan studi kepustakaan melalui penelitian terhadap buku-buku, majalah dan lain sebagainya yang ada relevansinya dengan pembahasan tema penelitian.
Skripsi ini berkesimpulan; Pertama, MA merupakan organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang kultural dan bukan sebagai organisasi politik. Karena itu, partisipasi politiknya dalam konstelasi politik nasional dimasa Orde Baru telah menyimpang dari tujuan awalnya sebagai gerakan kultural yang berdampak buruk terhadap eksistensi organisasi. Kedua, organisasi MA di masa reformasi telah kehilangan daya tariknya dalam merespon permasalahan keumatan, kenegaraan dan kebangsaan. Selain itu, terjadinya demoralisasi para elit keagamaan yang terjebak dalam pragmatisme politik yang menyebabkan adanya dualisme antara kepentingan kultural dan kepentingan politis.
vi
8
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan salah satu kewajiban
akademik yang merupakan prasyarat dalam rangka meraih gelar Sarjana Sosial di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ucapan terimakasih tak lupa penulis haturkan kepada berbagai pihak yang
ikut memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi “Mathla’ul Anwar
Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru”. Adapun ucapan
terimaksasih penulis haturkan sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta..
2. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayarullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Hendro Prasetyo, MA selaku Wakil Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayarullah Jakarta.
4. Ibu Dra. Wiwi Sajaroh, MA dan M. Zaki Mubarak M.Si selaku Ketua
dan Sekretaris Prodi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Dr. Sirojuddin Ali, MA selaku Dosen Pembimbing atas
dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan bimbingan
selama proses penulisan skripsi.
vii
9
6. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Ilmu Politik yang
telah sangat banyak memberikan sumbangan ilmiah selama penulis
menempuh proses perkuliahan.
7. Seluruh jajaran, staff dan petugas di Perpustakaan Utama dan
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA)
Cikaliung, Menes Pandeglang Banten.
8. Ucapan terimakasih dengan segala kerendahan hati tak lupa penulis
ucapkan kepada kedua orang tua H. Sanusi, Hj. Saiyah yang telah
melahirkan, membimbing sehingga penulis bisa menduduki bangku
perguruan tinggi. Kepada kakak dan teteh, Arniah, Salmah, Sukron
Ma’mun, Suherman.
9. Ucapan terimakasih penulis kepada mamang Drs. Sonhaji Ujaji yang
telah memberikan inspirasi penulis untuk mengkaji terhadap organisasi
Mathla’ul Anwar (MA), Herdi Sahrasad yang telah memberikan
motivasi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skrispi.
10. Ucapan terimakasih kepada para narasumber yang telah banyak
memberikan informasi dan masukan dalam proses penelitian skripsi,
Dr. Asep Saepudin Jahar,Mhd, Mohammad Zen, MA, Ali Nurdin, MA,
Drs. Herman Fauzi, Mohammad Idjen, Drs. H.A. Shihabuddin, MM,
KH. Sadeli Karim, Lc, KH. Abdul Wahid Sahari, MA, Drs, Anang
Ainul Yaqin, H. Lili Nahriri, MA, Aas Syatibi, SH.
viii
10
11. Kepada seluruh teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Cabang Ciputat, Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Jakarta, Dewan
Pimpinan Pusat Himpunan Ikatan Mahasiswa Mathla’ul Anwar (DPP
HIMMA), Lingkar Studi Islam dan Kebudayaan (LSIK) Ciputat, koran
online Rimanews.com, koran online Bantenpress.com, Forum Kajian
Benoa Air Nusantara Jakarta, Forum Studi Jala Sutra Jakarta, Forum
Kajian INCA Ciputat.
12. Ucapan terimakasih dan penghargaan secara tulus tak lupa penulis
sampaikan kepada teman-teman sepermainan dan seperjuangan di
Cipuat. Umar Hamdani, Teteh Bety, Duha Hediyansyah, Fahrurazzi,
Ahyanuddin, Syahid, Mohammad Asrori Mulky, Mulyani, Ucu,
Fikriyah, Zaenab, Melly, Guruh Tajul Arsy, TB. Hamid, Andi
Rahman, Iyan Sopyan Hamid, Sukardi, Buluk, Asep. Serta seseorang
yang saat ini belum bisa disebutkan.
ix
11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Deliar Noer, sejarah munculnya berbagai organisasi masyarakat
(ormas) di Indonesia adalah sebagai respon terhadap kondisi yang telah menjadi
atmosfir di belantara bumi Nusantara. Kondisi bangsa yang memprihatinkan di
tengah tekanan kaum imprealis, dengan sendirinya memunculkan jiwa patriotisme
dan semangat memperjuangkan hak dan martabat kaum pribumi. Guliran
semangat kejuangan ini, pada akhirnya melahirkan gerakan modernisasi di
kalangan bangsa Indonesia.1
Ormas-ormas keagamaan seperti Mathla’ul Anwar (kemudian disingkat
MA), merupakan cerminan suatu gerakan modernisasi Islam untuk menumbuhkan
semangat kejuangan dan mempercepat proses pencerahan pemikiran di kalangan
umat, agar memiliki kepekaan dan keluasan wawasan sehingga kondisi bangsa
tidak direlakan untuk dieksploitasi oleh kaum imprealis.
Semangat awal ormas-ormas yang ada di Indonesia yang dikategorikan
sebagai gerakan modernisasi, setelah bergulirnya kemerdekaan dalam rangka
mengisi dan membangun bangsa mengalami degradasi, dari orientasi awal pada
gerakan kultur menuju gerakan politis. Sebagaimana fenomena yang terjadi pada
MA sebagai organisasi masyarakat terbesar ketiga di Indonesia setelah NU dan
Muhammadiyah.
1 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indoneseia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1995),
h. 121
1
12
Pada perjalananya, MA terbawa arus euphoria Orde Baru (Orba) yang
melakukan strategi hegemoni kekuasaannya atas segala bentuk institusi yang ada
di Indonesia. Strategi hegemoni ini terlihat ketika Rezim Orba memaksakan
kepada seluruh institusi yang ada untuk menerima Asas Tunggal Pancasila.
Institusi apapun yang tidak menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal secara
sepihak oleh Rezim Orba dibubarkan dan dikucilkan dari tata dinamika konstelasi
kehidupan nasional pada saat itu. MA pada masa Orba, tidak saja menerima Asas
Tunggal tersebut, akan tetapi lebih jauh membuat statemen bahwa secara politis
aspirasi warga MA diberikan dukungannya kepada Golkar sebagai partai Orba
yang berkuasa. Dengan memulai gerakan politiknya pasca Muktamar XIV tahun
1985 di Jakarta, dengan jargonnya yang berani menerima Pancasila sebagai Asas
organisasi dan menyatakan berafiliasi dengan partai politik.2
Menurut Didin Nurul Rosidin, bahwa keputusan Muktamar XIV (1985)
merupakan keputusan paling menghebohkan dalam sejarah MA terkait dengan
penerimaan Asas Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi yang sesuai
dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang organisasi
kemasyarakatan yang berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas baik dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kebijakan politik organisasi
ini berdampak terjadinya perpecahan di internal sebagai akibat dari keputusan
menjadi onderbouw dari partai politik telah keluar dari Khitthah (1916)
2 Syibli Sarjaya, dkk., Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar (Jakarta: PB Mathla’ul
Anwar, 1996), h. 56-57
2
13
organisasi.3 Bagaimanapun Mathla’ul Anwar merupakan organisasi masyarakat
terbesar di Provinsi Banten. Sebagai sebuah organisasi yang independent
(mandiri) dan pada awalnya tidak berafiliasi politik praktis. Tentunya karena
adanya intervensi dan intimidasi oleh pemerintah Orde Baru dan militer terhadap
organisasi masyarakat (ormas) telah menghilangkan kemandirian organisasi dan
menodai demokrasi dengan kata lain, MA telah mengadopsi budaya politik
internal Partai Golkar yang menggunakan sistem komando (top-down) dengan
menggunakan strategi merekrut beberapa tokoh MA menjadi pengurus dan kader
di Partai Golkar.
Dengan adanya pergeseran orientasi MA dari murni gerakan kultural ke
arah gerakan politik, maka konsentrasi MA tidak lagi diarahkan semata untuk
kepentingan rekonstruksi gerakan kultural ummat, akan tetapi gerakan-gerakan
yang digulirkan terbingkai oleh kepentingan politik. Pada peta percaturan politik
Orde Baru (Orba), hampir tidak ada ormas yang berani melakukan alienasi
terhadap partai yang berkuasa pada waktu itu, yaitu Partai Golkar. Dengan adanya
format politik yang diciptakan oleh Golkar, maka ormas manapun yang rela
menjadi subordinasi partai Golkar akan terjamin kelangsungan (sustainability)
dan kemudahan untuk mencari akses dalam rangka menjalankan aktivitas
organisasinya.
MA pada awal berdirinya merupakan kelompok pengajian lokal di Menes,
Kabupaten Pandeglang, Provinsi Jawa Barat (kini Provinsi Banten) dan pada
perkembangan dan gerakannya di manifestasikan pada reformasi sosial religius,
3 Didin Nurul Rosidin, Quo Vadis Mathla’ul Anwar, Makalah disampaikan pada Rakernas Mathla’ul Anwar di Batam, 7-9 Juli 2007. Selanjutnya lihat. M. Irsjad Djuwaeli, Sejarah dan Khitthah Mathla’ul Anwar (Jakarta: Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, 1996), h. 28
3
14
pendidikan, dakwah dan budaya, dengan melakukan pembaharuan (modernisasi)
dan pemurnian (furifikasi) ajaran agama Islam. Gerakan Ormas MA sebagai
gerakan kultural, yang mana kondisi ummat yang diinginkan adalah ummat yang
melakukan pembaharuan di bidang kultur kehidupan. Semangat pembaharuan di
bidang kultur, pada gilirannya membuahkan sebuah tatanan kehidupan penguatan
masyarakat sipil (civil society). Kuatnya masyarakat sipil, secara langsung
mempengaruhi tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
sehingga masyarakat bangsa dapat keluar dari belenggu penjajahan kaum
imprealis, maupun kekuasaan sebuah rezim yang tidak memihak terhadap
kepentingan rakyat.
Perkembangan sebuah organisasi masyarakat seperti MA pada dasarnya
tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakat itu sendiri.
Sebab, ormas dibentuk dan kiprahnya ditengah masyarakat. Maju mundurnya
sebuah ormas sangat tergantung pada dukungan masyarakat. Jika dukungan
masyarakat kuat, maka majulah ia. Sebaliknya, sulit bagi ormas untuk
berkembang tanpa dukungan yang mantap dari masyarakat. Karena itu,
memprediksi keadaaan sebuah ormas dimasa mendatang pada dasarnya adalah
memprediksi dan menganalisa kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi
pada masyarakat masa depan.4
Munculnya euphoria reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru
(1998), berimplikasi terhadap perubahan paradigma berbagai institusi atau ormas
di Indonesia seperti Mathla’ul Anwar (MA) sebagai salah satu “pendukung” rezim
4 M. Irsjad Djuwaeli, Membawa Mathla’ul Anwar Ke Abad XXI (Jakarta: PB Mathla’ul
Anwar, 1996), h. 1
4
15
Orde Baru dengan mengubah cara pandang terhadap tatanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dengan mendukung pemberantasan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Selanjutnya, terjadinya perpindahan Rezim Orba ke Rezim Reformasi
eksistensi Orba dihujat dan diinjak-injak, maka secara tidak langsung keberadaan
ormas-ormas yang merupakan subordinasi dari rezim Orba (termasuk di dalamnya
MA) akan terkena dampak langsung kebencian, gunjingan dan dikucilkan
sehingga pada akhirnya bukan tidak mungkin ditinggalkan. Maka euphoria
reformasi diikuti oleh berbagai institusi-institusi, ormas-ormas ke-Islaman baik
formal maupun non formal untuk melakukan perubahan paradigma baru terhadap
perjalanan organisasinya yang lebih baik ke depan. Hal ini dilakukan bukan hanya
sebagai strategi “cuci tangan” terhadap dosa-dosa Orde Baru, tetapi sebagai
evaluatif dari ormas MA demi kemajuan dalam menghadapi tantangan institusi
agar tetap sejalan dengan asas perjuangan.
Perubahan paradigma MA, dengan berbenah dan menata diri agar tidak
ketinggalan gerbong reformasi, MA melakukan perubahan-perubahan yang
responsif terhadap permasalahan bangsa dengan mengarah pada substansi
didirikannya organisasi ini, agar tidak menyalahi Khitthah (1916) awalnya.
Dengan adanya perubahan iklim politik secara nasional, maka, MA melakukan
evaluasi terhadap partisipasi politik Mathla’ul Anwar (MA) di tengah kancah
konstelasi politik nasional, akan menjadi sesuatu yang signifikan.
5
16
Berdasarkan latar belakang inilah penulis ingin mengadakan penelitian
tentang permasalahan-permasalahan di atas dengan judul: “Mathla’ul Anwar
Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru”.
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan permasalahan dalam skripsi ini tidak melebar, maka
permasalahannya dibatasi pada peran dan bentuk partisipasi politik MA dalam
politik praktis yang tekait dengan dukungan terhadap salah satu kekuatan politik
tertentu. Dan untuk memudahkan mengidentifikasi persoalan, maka penelitian
difokuskan pada bentuk-bentuk peran politik yang telah dilakukan MA dalam
kurun waktu pasca Orde Baru (1998).
Untuk itu, maka muncul beberapa pertanyaan yang cukup fundamental
sebagai rumusan masalah menyangkut eksistensi MA, yaitu;
1. Bagaimana bentuk kontribusi politik MA dalam politik praktis?
2. Apakah peran politik yang telah dilakukan oleh MA itu sejalan dengan
Khitthah MA?
3. Bagaimana bentuk partisipasi politik MA dalam konstelasi kehidupan
nasional?
C. Tinjauan Pustaka
Sebelum penulis berniat untuk menyusun skripsi yang berjudul “Mathla’ul
Anwar Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru”, penulis telah
melakukan tinjauan pustaka sebagai upaya preventif agar penulisan karya ilmiah
6
17
ini tidak sia-sia karena satu kelalaian sederhana. Dikarenakan sudah ada materi
yang dibahas sehingga judul yang diajukan harus benar-benar selektif dan
korektif.
Hasil penelusuran penulis, dan sejauh yang penulis ketahui ada dua orang
yang sudah lebih dulu membahas mengenai Mathla’ul Anwar, yaitu:
Pertama. Aas Syatibi dengan judul skripsinya: Partisipasi Politik Mathla’ul
Anwar di Indonesia. Pada Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Jinayah Siyasah
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, lulus tahun 2006. Di
dalamnya membahas secara deskriptif tentang partisipasi politik Mathla’ul Anwar
dalam Pemilu di Indonesia.
Kedua. Didin Nurul Rosidin dengan judul disertasinya: Dari Kampung Ke
Kota Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar Dari Tahun 1916-1998. Disertasi
pada Leiden University (tidak di publikasikan) lulus tahun 2007. Di dalamnya
membahas terhadap peran dan kontribusi Mathla’ul Anwar baik Dakwah,
Pendidikan dan Sosial (ekonomi) di Indonesia
Berdasarkan hal itu, Penulis melihat belum ada yang membahas secara
spesifik tentang peran Mathla’ul Anwar dalam konstelasi politik nasional pasca
Orde Baru. Untuk menambah khazanah, referensi atau pun literatur merupakan
salah satu alasan penulis kenapa pembahasan tema ini perlu dikaji.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk;
1. Mendapatkan informasi terhadap peran poltik MA dalam politik praktis.
7
18
2. Mengetahui bentuk dan kontribusi partisipasi politik MA dalam konstelasi
politik nasional pasca Orde Baru (1998).
3. Bagaimana semestinya peran politik MA dalam politik praktis ke depan
yang sesuai dengan kondisi dan situasi bangsa.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tiga instumen
pengumpulan data:
1. Wawancara
Wawancara adalah suatu kegiatan komunikasi langsung dengan tujuan
mendapatkan informasi. Selain itu, wawancara untuk mendapatkan gambaran
yang menyeluruh dan memperoleh informasi yang penting. Menurut Denzin,
wawancara dilakukan dengan tatap muka dimana seseorang memperoleh
informasi dari yang lain.5
Penelitian dilakukan pada lokasi tertentu yang bersentuhan langsung
dengan mayoritas komunitas MA. Sampai saat ini pusat MA terletak di Menes
Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Di Menes inilah para tokoh dan putra-
putri pendiri MA dan bahkan sebagian orang yang mengabdi kepada perjalanan
MA masih dapat dijadikan kunci informasi untuk menggali secara mendalam
tentang permasalahan terhadap peran politik MA pasca Orde Baru (1998), tidak
menyentuh aspek-aspek lainnya yang dilakukan oleh MA dalam menjalankan visi
dan misinya. Dalam hal ini peneliti akan melibatkan beberapa komponen
5 James A. Black dan Dean J. Champion, Metodologi Dan Masalah Penelitian Sosial
(Bandung: PT Refika Aditama, 2001, Cet: 3), h. 306
8
19
masyarakat MA yaitu: tokoh MA terutama sebagai pendiri organisasi, pengurus
MA, pengurus perguruan MA dan orang-orang yang memiliki perhatian terhadap
organisasi ini.
2. Observasi
Observasi dalam suatu penelitian berarti pengamatan yang dilakukan
secara langsung terhadap gejala yang terjadi dengan objek yang diteliti. Teknik ini
memungkinkan peneliti melakukan penarikan kesimpulan terhadap makna dan
sudut pandang responden, kejadian, peristiwa atau proses yang diamati. Lewat
teknik ini peneliti akan melihat sendiri pemahaman yang tidak terucapkan,
langsung dan sudut pandang narasumber atau responden yang mungkin tidak
didapati dari wawancara.6
3. Penelitian Kepustakaan
Penelitian kepustakaan (Library research), yaitu penelitian dengan
menelaah buku-buku, dokumen-dokumen, majalah, surat kabar, artikel yang
relevan dan bahan-bahan lainya yang terkait dengan MA.
Adapun analisi data dalam penelitian ini, menggunakan analisis data
berkelanjutan, artinya data dimulai dengan penetapan masalah, pengumpulan data
dan setelah data terkumpul. Menurut Mills dan Huberman, tahap analisis data
seperti ini secara umum dimulai sejak pengumpulan data, reduksi data, penyajian
data dan pengambilan kesimpulan.7 Metode ini dilakukan untuk mengetahui
kekurangan data yang harus dikumpulkan dan mentode mana yang harus dipakai.
Sedangkan teknik pengambilan dalam penelitian ini menggunakan teknik
6 A. Chaedar Alweilah, Pokoknya Kualitatif, Dasar-Dasar Merancang dan Melaksanakan Penelitian (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002), h. 155
7 Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Soaial Agama (Bandung: Rosda, 2002), h. 192
9
20
sampling dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informan atau responden
yang dianggap mengetahui informasi
Kemudian dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku
“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)”, CeQDa, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan Skripsi ini terdiri dari lima bab dan masing-masing terbagi ke
dalam sub-sub yang tersusun secara sistematis. Adapun bab-bab tersebut tersusun
sebagai berikut:
Bab Pendahulun: Bab ini menjelaskan tentang kerangka pembahasan dan
gambaran isi skripsi ini secara keseluruhan. Bab ini terdiri dari penjelasan latar
belakang masalah, batasan rumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II: Sekilas tentang Mathla’ul Anwar, bab ini akan menjelaskan
terhadap sejarah berdirinya Mathla’ul Anwar tahun 1916 di Menes, Kabupaten
Pandeglang sebagai salah satu organisasi masyarakat (Ormas) terbesar di Provinsi
Banten dan untuk tingkat nasional terbesar ketiga setelah NU (1926) dan
Muhammadiyah (1912). Selanjutnya akan di bahas tentang sifat-sifat tujuan dan
pengertian Khittah Mathala’ul Anwar, berikut dengan penjelasan terhadap fungsi
dan tugas organisasi Mathla’ul Anwar, landasan operasional organisasi Mathla’ul
Anwar dan terakhir akan perkenalkan tokoh-tokoh pendiri Mathla’ul Anwar serta
peranannya dalam membangun sebuah organisasi mayarakat.
10
21
Bab III: Partisipasi Mathla’ul Anwar dalam ranah politik, bab ini akan
menjelaskan tentang pengertian dan bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai
salah satu aspek demokrasi dan dilajutkan dengan membahas langkah-langkah
perjuangan Mathla’ul Anwar baik dibidang pendidikan maupun dalam ranah
politik yang dimaksudkan berupa kegiatan baik individu maupun kelompok.
Terakhir tentang partisipasi politik Mathla’ul Anwar di Era Orde Lama dan Orde
Baru.
Bab IV: Bab ini merupkan isi substansi penelitian yang telah didapatkan
dari penelitian pustaka dan lapangan. Dengan mengulas seputar realitas politik
Mathl’ul Anwar terhadap konstalasi politik nasional pasca Orde Baru, dan
hubungan MA dan partai politik, terakhir menelusuri sejauhmana partisipasi
Mathla’ul Anwar dalam politik nasional pasca Orde Baru sebagai evaluatif
terhadap perjalanan organisasi.
Bab V: Bab ini merupakan kesimpulan dari penelitian ini, yang berisi
komentar penulis dalam bentuk analisa kritis, komentar, masukan dan harapan
terhadap bahasan yang telah dikupas dari penulisan skripsi ini.
11
22
BAB II
SEKILAS TENTANG MATHLA’UL ANWAR
A. Sekilas Berdirinya Mathla’ul Anwar Tahun 1916 Di Menes
Mathla’ul Anwar (MA) merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan
(ormas) terbesar ketiga setelah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang
masih eksis hingga kini, MA secara kuantitas sudah tersebar di 26 pengurus
wilayah dan 215 pengurus daerah.di Indonesia.8 Kelahiran MA, seperti juga
ormas-ormas lain pada awal abad ke-20, telah menandai perjuangan kebangkitan
nasional. Karena itu, semangat pendidikan, dakwah dan sosial yang dibangun
pada periode tersebut menekankan semangat pembebasan atau rasa kemerdekaan,
yang saat itu dibawah penindasan kolonialisasi Belanda dengan segala dampak
politiknya.
Organisasi kemasyarakatan (Ormas) atau keagamaan Mathla’ul Anwar
(bahasa Arab, yang artinya tempat munculnya cahaya) sejak didirikannya pada
tahun 1334 H atau 10 Juli tahun 1916 oleh sepuluh tokoh ulama lokal diantaranya
adalah Kiyai Moh Tb Soleh, Kiyai Moh Yasin (1860-1937), Kiyai Tegal, Kiyai
Mas Abdurrahman bin Mas Jamal (1868-1943), KH Abdul Mu’ti, KH Soleman
Cibinglu, KH Daud, KH Rusydi, E. Danawi, KH Mustaghfiri di Menes-
Pandeglang bagian selatan Banten.9
Tujuan didirikannya MA adalah membebaskan umat dari segala bentuk
penindasan, kebodohan dan kemiskinan. Pada abad ke-19, kondisi masyarakat
8 Wawancara Pribadi dengan Ketua PBMA KH. Ahmad Sadeli Karim. Menes, 7 Agustus 2010.
9 M. Irsjad Djuwaeli, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 10
12
23
Banten Selatan dan khususnya Menes-Ujung Kulon merupakan masyarakat
dengan tingkat buta huruf yang cukup tinggi. Dimana masyarakat Banten
khususnya dari segi pendidikan dan sosial (ekonomi) memang sangat
memprihatinkan, sekolah–sekolah yang dibangun oleh penjajah Belanda tidak
disiapkan untuk pribumi, hanya golongan tertentu yang bisa masuk disekolah
tersebut (politik etis Belanda).10 Selain itu, rendahnya tingkat pengetahuan
masyarakat (Menes-Ujung Kulon) terhadap pendidikan juga ajaran Islam, salah
satunya disebabkan proses Islamisasi yang dilakukan di zaman Kesultanan Banten
Selatan belum terbukti dalam mengamalkan ajaran agama Islam secara benar,
karena proses dakwah tidak berlangsung secara gencar, konsep pengembangan
Islam pada zaman Kerajaan atau Kesultanan Banten hanya gencar dilakukan ke
daerah-daerah yang menyetorkan upeti (pajak).11 Karena itu Kesultanan atau
Kerajaan justeru lebih tertarik dalam memperluas kekuasaan teritorialnya dengan
cara menundukan kerajaan-kerajaan yang belum masuk Islam dibandingkan
dengan upaya mengintensifkan dakwahnya.12
Hal itu terbukti, dengan masih rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat
Menes terhadap ajaran agama Islam yang menyebabkan adanya penyimpangan-
penyimpangan akidah seperti adanya TBC (takhayul, bid’ah dan khurafat) dan
percaya kepada benda-benda keramat (animisme) lainnya yang diyakini akan
10 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984,
Cet I ), h. 157 11 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen, Ciputat, 17 Mei 2010. 12 Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad
XX, (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 63, 69
13
24
mendatangkan hal yang dianggap positif bagi masyarakat Menes terhadap segala
macam kejahatan dan kenaasan.13
Kemudian, kondisi masyarakat di daerah Menes diperparah dengan situasi
penuh kekacauan dan kerusuhan, dimana para jawara14 atau bandit sosial15 yang
mempunyai ilmu-ilmu hitam pada saat itu telah menguasai daerah Menes
seringkali membuat kekacauan, kemaksiatan, perjudian, pelacuran, pencurian,
perampokan dan menindas masyarakat dan akhirnya mematikan kehidupan ruh
keagamaan.16
Atas keprihatinan tersebut, para ulama atau kyai meresponnya dengan
mengadakan musyawarah yang bertempat di Kampung Kananga-Menes,
dipimpin oleh KH. Entol Mohammad Yasin dan KH. Tb. Mohammad Soleh serta
ulama-ulama lainnya di sekitar Menes. Akhirnya musyawarah tersebut mengambil
keputusan untuk mendirikan pendidikan formal yaitu berbentuk madrasah sebagai
bentuk perjuangan untuk membawa umat keluar dari keterpurukan.
Pendirian madrasah atau pendidikan formal selain untuk memberikan
kesempatan belajar bagi masyarakat Menes, juga karena gagalnya sistem
pendidikan Islam lama (pesantren) untuk menarik minat anak muda sebagai
generasi penerus untuk masuk pesantren. Sehingga, pesantren tidak mampu untuk
“mencetak” calon-calon pemimpin umat yang sadar akan tantangan zaman. Faktor
13 Wawancara Pribadi dengan Asep Saepudin Jahar, Ciputat, 17 Mei 2010. 14 Jawara menurut orang Banten adalah istilah orang-orang yang mempunyai ilmu
kesaktian. 15 Bandit sosial Istilah lain Jawara, yaitu suatu golongan sosial yang terdiri dari orang-
orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan seringkali melakukan tindakan kriminal. Lihat. Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, Cet I), h. 83. Selanjutnya lihat. Mohammad Hudaeri, ed., Tasbih dan Golok Kedudukan, Peran dan Jaringan Kiyai dan Jawara di Banten (Serang: Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2007), h. 13
16 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006), h. 25
14
25
lainnya adalah intensifnya gerakan pemerintah kolonial Belanda dalam
mendirikan sekolah-sekolah rakyat di pedesaan dengan materi umum sebagai
objek pelajarannya yang dinilai oleh para Kiyai Menes akan menghilangkan
syariat Islam. Kedua faktor inilah yang diantaranya memainkan peranan penting
dalam proses penerimaan sistem pendidikan madrasah oleh para Kiyai.17
Namun, rencana pendirian madrasah terhambat oleh ketidaktahuan dan
keterbatasan keilmuan para ulama dalam mengelola sistem pendidikan modern
(kurikulum madrasah). Kemudian, KH. Entol Mohammad Yasin dan ulama
lainnya berinisiatif mengundang seorang pemuda bernama KH. Mas Abdurahman
yang sedang menuntut ilmu di Mekkah selama 10 tahun pada seorang guru besar
yang berasal dari Banten Syeh Mohammad Nawawi Al-Bantani. Tujuan
diundangnya KH. Mas Abdurrahman untuk merumuskan dan mengelola sistem
pendidikan modern (madarasah) yang akan dibangun di Menes.
Pada tahun 1910 M, KH. Mas Abdurahman (42 tahun) datang di Menes,
kemudian segera bergabung dengan para ulama lainnya untuk membantu
mengintensifkan kembali gerakan dakwahnya dengan membentuk pengajian-
pengajian diberbagai tempat di Banten. Kemudian pada perkembangannya mereka
mendirikan lembaga pendidikan yang kemudian diberi nama Mathla’ul Anwar
(tempat terbitnya cahaya) yang berdiri pada tanggal 09 Agustus 1916/10 Syawal
17 Didin Nurul Rosidin, Quo Vadis Mathla’ul Anwar, Makalah disampaikan pada
Rakernas Mathla’ul Anwar di Batam, 7-9 Juli 2007, h. 2-3. Menurut Karel A. Steenbrink bahwa, faktor pertumbuhan gerakan Islam di Indonesia melalui pendirian madrasah, pertama, faktor keinginan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah, kedua, semangat nasionalisme melawan penguasa kolonial Belanda, ketiga, untuk memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik, keempat, faktor untuk melakukan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 2001), h. 196
15
26
1334 H tahun 1916 M. Lembaga pendidikan MA untuk sementara beroperasi di
sebuah rumah KH. Mustahgfiri di Menes yang dijadikan tempat belajar dan
mengajar. 18
Setelah beberapa bulan madrasah dioperasikannya, situasi kehidupan
masyarakatpun mulai pulih dari kekacauan, dan masyarakat merespon sangat baik
dengan banyaknya para orang tua mengirim anak-anaknya sekolah di madrasah.
Kemudian, untuk mendukung kemajuan lembaga pendidikan MA, Ki Demang
Entol Djasudin seorang tokoh priyayi desa Menes menghibahkan tanahnya untuk
membangun gedung dengan biaya atau dana diperoleh dari bantuan swadaya
masyarakat dan donasi. Sehingga pada akhirnya, gedung pertama madrasah tahun
1920 terbangun berukuran seluas 1000 m2 (20 m x 50 m) yang dilengkapi dengan
fasilitas seperti papan tulis, meja, kursi dan lain sebagainya, walaupun siswa-
siswinya saat itu tidak menggunakan seragam khusus, karena mereka masih
menggunakan sarung, tetapi tidak mengurangi atau menggangu proses
pendidikan. Gedung madrasah inilah kemudian menjadi pusat kegiatan pendidikan
Islam dengan nama Mathla’ul Anwar Pusat mulai dari TK sampai Madrasah
Aliyah yang terletak di Jl. Raya Labuan-Menes, Pandeglang Banten.
B. Sifat-Sifat Tujuan MA
Organisasi MA ini bersifat keagamaan, independen, berakidah Islam
menurut ahlussunah waljamah, dan berasaskan Pancasila. Tujuan MA adalah:
18 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar
(Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 8
16
27
1. Terwujudnya masyarakat Indonesia yang Pancasilais, bertakwa kepada
Allah SWT, sehat jasmani dan rohani, berilmu pengetahuan, cakap dan
terampil, serta berkepribadian Indonesia
2. Menumbuhkan nilai-nilai ajaran Islam pada lembaga-lembaga
pendidikan, pengajaran dan kebudayaan
3. Membentuk keluarga dan masyarakat yang bahagia dan sejahtera. Untuk
mencapai tujuan tersebut, MA melakukan usaha-usaha
4. Mendirikan, membina, dan mengelola lembaga-lembaga pendidikan dan
pengajaran serta melaksanakan dakwah
5. Mendidik, memupuk, dan menyalurkan bakat para pelajar, mahasiswa, dan
pemuda agar dapat menjadi insan yang mandiri dan terampil
6. Membina dan menyantuni anak-anak yatim piatu, fakir miskin, orang-orang
jompo, dan orang cacat
7. Membentuk, menjaga kesehatan dan kesejahteraan masyarakat
8. Mengadakan penelitian dan pengembangan terhadap ilmu-ilmu pengetahuan
9. Membangun kerja sama dengan badan-badan, lembaga-lembaga dan
organisasi kemasyarakatan yang sejenis
10. Mengadakan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam
dan perundang-perundangan yang berlaku. Organisasi MA meliputi bidang
organisasi/kaderisasi, bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan,
bidang ekonomi/keuangan, bidang sosial/kesejahteraan, bidang
penerangan/dakwah, bidang pemuda, olah raga dan kesenian, bidang
17
28
pembinaan muslimah, bidang pembinaan hukum dan pembelaan, serta bidang
hubungan luar negeri.
Struktur organisasi MA terdiri atas: pengurus tingkat pusat, tingkat wilayah,
tingkat daerah, tingkat cabang, tingkat ranting serta badan-badan otonom. Organisasi
tingkat pusat terdiri atas:
1. Dewan Pembina, yang meliputi ketua, wakil ketua, sekretaris, .wakil
sekretaris dan beberapa orang anggota
2. Majelis Fatwa, yang meliputi ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris,
dan 45 anggota (ulama pusat dan daerah)
3. Pengurus Besar, yang terdiri atas ketua umum, ketua-ketua, sekretaris
jenderal, wakil-wakil sekretaris, bendahara umum, bendahara-bendahara, dan
ketua-ketua departemen serta biro. Sedangkan keuangan organisasi diperoleh
dari iuran anggota, sumbangan yang tidak mengikat, zakat, infak, sedekah,
wakaf, dan hadiah; dan usaha-usaha yang sah dan halal. Untuk lancarnya
kegiatan pada masing-masing tingkat kepengurusan, biaya yang dipergunakan
diambil dari kas masing-masing yang diperoleh dari bantuan-bantuan dan
kerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintah, swasta, perorangan, dan
usaha-usaha lain yang dibenarkan oleh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga (AD/ART).19
19 Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1994, Cet: 2),
h. 204-205
18
29
C. Pengertian dan Khittah Mathla’ul Anwar
Pengertian yang dapat ditarik dari Khittah Mathla’ul Anwar merupakan
petunjuk atau pegangan yang dijadikan oleh organisasi Mathla’ul Anwar dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai sebuah organisasi Islam yang bergerak
dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial.20
1. Fungsi dan Tugas Organisasi Mathla’ul Anwar
a. Bidang Pendidikan
MA memiliki tujuan untuk mencetak generasi Muslim yang menyadari
akan tanggung jawabnya sebagai khalifah Allah di muka bumi untuk membangun
masyarakat, bangsa dan negaranya dalam rangka ibadah kepada Allah SWT.
Karenanya Mathla’ul Anwar mendidik putra putrinya dengan:
1) Menanamkan dan memantapkan aqidah Islamiyah yang disyariatkan yang
benar
2) Membiasakan ibadah-ibadah yang disyariatkan
3) Membekali pengetahuan ke-Islaman serta berbagai disiplin ilmu dan skill yang
berguna sesuai dengan tuntutan zaman
4) Menanamkan kesadaran agar dapat hidup mandiri membangun lingkungan
dan masyarakat serta membentengi diri dan lingkungannya dari pengaruh
budaya negatif (yang bertentangan dengan ajaran Islam)
b. Bidang Dakwah
Mathla’ul Anwar sebagai organisasi Islam menjalankan tugasnya dalam
bidang dakwah yang menjalankan “amar ma’ruf nahi mungkar” dengan
20 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 8
53
19
30
memperhatikan kondisi dan sasaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan
dakwah itu sendiri.
c. Bidang Sosial
Mathla’ul Anwar sebagai organisasi Islam yang bergerak dalam bidang
sosial dengan berbagai usaha dan cara yang Islami agar masyarakat terhindar dari
kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan.
2. Landasan Opersional Organisasi Mathla’ul Anwar
a. Memahami Kandungan ayat-ayat al Qur’an dan Hadits sebagai berikut:
1) Dalam bidang pendidikan
Mathla’ul Anwar sebagai organisasi Islam mempunyai kewajiban untuk
mendidik dan mencerdaskan kehidupan keumatan, kebangsaan dan kenegaran.
Æìsùötƒ ª!$# t⎦⎪ Ï% ©!$# (#θ ãΖtΒ#u™ öΝä3ΖÏΒ t⎦⎪ Ï% ©!$#uρ (#θ è?ρ é& zΟù= Ïè ø9$# ;M≈y_ u‘ yŠ 4 ª!$#uρ $ yϑ Î/ tβθè= yϑ ÷è s? ×Î7yz ∩⊇⊇∪
Artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS: Almujadalah: 11)
$ tΒ uρ šχ% x. tβθ ãΖÏΒ ÷σßϑ ø9$# (#ρ ãÏΨ uŠÏ9 Zπ ©ù!$ Ÿ2 4 Ÿω öθ n= sù txtΡ ⎯ÏΒ Èe≅ ä. 7π s% öÏù öΝåκ÷]ÏiΒ ×πxÍ← !$ sÛ (#θ ßγ ¤)xtG uŠÏj9 ’ Îû Ç⎯ƒ Ïe$! $#
(#ρ â‘ É‹ΨãŠÏ9uρ óΟßγ tΒ öθ s% #sŒÎ) (#þθãè y_ u‘ öΝÍκö s9Î) óΟßγ ¯= yè s9 šχρ â‘ x‹øt s† ∩⊇⊄⊄∪
Artinya: “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (QS: Attaubah: 122)
2) Dalam bidang dakwah
20
31
Organisasi Mathla’ul Anwar mempunyai tugas dan kewajiban untuk mendidik
umat sebagai dakwah “amar ma’ruf nahi mungkar” yang sesuai dengan tujuan
berdirinya MA untuk membangun kehidupan umat Islam.
⎯ä3tFø9uρ öΝä3ΨÏiΒ ×π ¨Βé& tβθ ããô‰tƒ ’ n< Î) Îösƒ ø: $# tβρããΒ ù'tƒ uρ Å∃ρ ã÷è pRùQ$$ Î/ tβ öθ yγ ÷Ζtƒ uρ Ç⎯tã Ìs3Ψ ßϑ ø9$# 4 y7 Íׯ≈ s9'ρ é&uρ ãΝèδ
šχθ ßs Î=øßϑ ø9$# ∩⊇⊃⊆∪
Artinya: “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Mereka adalah orang-orang yang beruntung”. (QS: Ali Imran: 104)
3) Dalam bidang sosial
a) Taat kepada para pemimpin yang beriman setelah taat kepada Allah dan
Rasulnya
Mathla’ul Anwar memiliki tujuan untuk mendidik dan membimbing umat
untuk mematuhi perintah dan menjauhi larangan Allah SWT, Nabi dan Rasul,
serta para pemimpin.
$ pκš‰ r'̄≈ tƒ t⎦⎪ Ï% ©!$# (#þθãΨ tΒ#u™ (#θ ãè‹ÏÛr& ©!$# (#θãè‹ÏÛr&uρ tΑθ ß™ §9$# ’Í< 'ρ é&uρ Íö∆ F{$# óΟä3ΖÏΒ ( β Î* sù ÷Λä⎢ ôãt“≈ uΖs? ’ Îû &™ó© x« çνρ –Šãsù
’ n< Î) «!$# ÉΑθ ß™ §9$#uρ β Î) ÷Λä⎢Ψä. tβθ ãΖÏΒ ÷σè? «!$$ Î/ ÏΘöθ u‹ø9$#uρ ÌÅz Fψ$# 4 y7 Ï9≡sŒ ×öyz ß⎯|¡ôm r&uρ ¸ξƒÍρ ù's? ∩∈®∪
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul (Nya)
dan Ulul Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an dan) dan RasulNya (As Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. (QS: An-Nisa: 59)
b) Bersatu dan berpegang teguh kepada Wahyu Allah
21
32
Mathla’ul Anwar memiliki kewajiban untuk menciptakan dan menjaga
kesatuan serta persatuan kehidupan keumatan, kebangsaan, kenegaraan.
(#θßϑÅÁ tGôã $# uρ È≅ ö7 pt ¿2 «!$# $Yè‹ Ïϑy_ Ÿωuρ (#θè%§x s? 4 ∩⊇⊃⊂∪
Artinya: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama)
Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. (QS: Ali Imran: 103) c) Tidak hidup bergolong-golongan dan memilah-milah dinul Islam
Mathla’ul Anwar sebagai organisasi keagamaan memiliki kewajiban untuk
menjaga persatuan dan kesatuan kehidupan umat Islam.
Ÿω uρ (#θçΡθ ä3s? š∅ ÏΒ t⎦⎫Å2 Îô³ßϑ ø9$# z⎯ÏΒ š⎥⎪ Ï%©!$# (#θ è% §sù öΝßγ uΖƒ ÏŠ (#θ çΡ% Ÿ2 uρ $Yè u‹Ï© ( ‘≅ ä. ¥> ÷“ Ïm $ yϑ Î/
öΝÍκö‰ y‰s9 tβθãm Ìsù ∩⊂⊄∪
Artinya: “Janganlah kamu menjadi orang-orang yang musyrikin, yaitu
orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. (QS: Ar-Rum: 31-32)
d) Tolong menolong dalam kebajikan dan takwa Mathla’ul Anwar memiliki tujuan untuk mecerdaskan dan mensejahterakan
kehidupan umat Islam.
(#θ çΡuρ$ yè s?uρ ’n?tã ÎhÉ9 ø9$# 3“ uθ ø)−G9$#uρ ( Ÿω uρ (#θ çΡuρ$ yè s? ’n?tã ÉΟøO M}$# Èβ≡uρ ô‰ãèø9$#uρ 4 (#θ à)¨?$#uρ ©!$# ( ¨βÎ) ©!$# ߉ƒ ωx©
É>$ s)Ïèø9$# ∩⊄∪
Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan
dan takwalan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran’. (QS: Al-Maidah: 2)
e) Usaha bertahkim dengan syari’at Islam
22
33
34
35
1891. Setelah selesai pendidikan pesantren, dia kembali ke kampungnya, dan
kemudian menikahi seorang gadis bernama Sofrah. Dari pernikahan pertamanya
dia dikarunia delapan orang anak yang terdiri atas satu anak perempuan dan tujuh
anak laki-laki. Kemudian menikah lagi untuk kedua kalinya (berpoligami) dengan
Artafiah dari Kampung Baru (Menes). Dari isteri keduanya dikarunia lima anak
yakni tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan.21
Tahun 1902, Tb. Mohammad Soleh menunaikan ibadah haji ke Makkah
dan sepulang dari sana, kemudian tahun1906 dia mendirikan pesantren di
Kananga-Menes. Di tahun pertama, ia telah mempunyai 25 santri yang berasal
dari penduduk sekitar. Jumlah santri bertambah dua kali lipat, dan pada akhirnya
menjadi pondok pesantren terbesar di antara pesantren-pesantren di Pandeglang.
Kiyai sepuh Kananga-Menes Tb. Mohammad Soleh berpulang kerahmatullah
sebelum menyaksikan cita-cita besarnya terwujud mendirikan lembaga pendidikan
MA yang diresmikan pada tanggal 09 Agustus tahun 1916 M.
a. KH. Mohammad Entol Yasin
KH. Mohammad Entol Yasin bin Demang Darwis lahir tahun 1860 di
Simanying-Menes, Yasin merupakan salah satu keluarga ningrat yang cukup kaya,
ayahnya Demang Darwis menjabat sebagai kepala Desa di Menes. Pendidikan
dasar tentang agama, Yasin memperoleh dari beberapa orang guru agama yang
diundang langsung kerumahnya. Selain itu, dia melanjutkan pendidikan agama di
dua pesantren, yakni di Karamulya dan Soreang tahun 1875-1884. Sedangkan
pendidikan formal atau umum pada sekolah Pemerintahan Belanda di Menes.
21 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul
Anwar dari Tahun 1916-1998,” (Disertasi Leiden University: Fakulty of Humanity, 2007), h.18-19
25
36
Yasin selain dikenal sebagai intelektual juga aktivis Sarekat Dagang Islam
(SDI)22 yang cukup terkenal dimasyarakat karena kedermawanannya, karena telah
membantu penderitaan rakyat, sehingga dengan kebaikannya itu masyarakat
menyebutnya dengan kiayi. Ketika pada umur 17 tahun, ia bahkan membiayai
pendidikan dan memberikan pakaian untuk fakir miskin sebanyak 20 anak di
Tegalwangi. Kemudian pada umur 24 tahun, ia mampu mengubah prilaku para
Jawara yang terkenal sebagai pembuat onar di Menes menjadi orang baik, yaitu
dengan cara memberikan mereka sebidang tanah untuk tempat tinggal. Dengan
latar pendidikan agama dan formal, Yasin telah memberikan kontribusi yang
cukup besar baik diawal maupun setelah pendirian organisasi Mathla’ul Anwar.
Mohammad Entol Yasin wafat sekitar tahun 1937-1938 pada usia 77 tahun.
b. KH. Mas Abdurrahman
Tokoh terakhir adalah KH. Mas Abdurrahman bin Mas Jamal lahir sekitar
tahun 1875-1882 di Kampung Janaka dekat kaki gunung Haseupan. Ayahnya
(Mas Jamal) merupakan keturunan dua tokoh legendaris muslim lokal yang
pertama masuk Islam di Banten yaitu Ki Jong dan Ki Jon. Karena garis
keturunannya itu Abdurrahman bergelar Mas pada namanya. Seperti umumnya
guru agama Islam lainnya di Banten, Mas Abdurrahman memperoleh pendidikan
Islam dibawah bimbingan Mas Jamal. Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikan
pesantren di Kiyai Shohib Kadu Pinang. Kemudian, ia selanjutnya meneruskan
kembali di pesantren Kiyai Ma’mun untuk memperdalam ilmu seni baca Al-
22 Keterlibatan Yasin di SDI memilih dunia pendidikan sebagai strategi untuk
membangun masyarakat. Sedangkan Samanhudi memilih peningkatan ekonomi. Lihat, M. Irsjad Djuwaeli, Membawa Mathla’ul Anwar Ke Abad XXI (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 15-16
26
37
Qur’an (qiro’a). Kemudian, ia berangkat ke ke Jawa Tengah sekitar tahun 1927
untuk memperdalam ilmu tentang al-Qur’an di pesantren Kiyai Afif di Sarang,
Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Sedangkan pendidikan sufi dan
tarekat dia dapat Kiyai Tb. Bachri.
Tahun 1930, ayahnya (Mas Jamal) berpulang kerahmatullah ketika
melaksanakan ibadah Haji di Makkah. Dua tahun setelah Mas Jamal berpulang
kerahmatullah, Abdurrahman berangkat ke Makkah untuk mengenang ayahnya
dan meneruskan pendidikan tentang beragam ilmu ke-Islaman. Ketika di Makkah
itulah, Abdurrahman berkenalan dengan beberapa tokoh agama Islam, seperti
tokoh pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan dan Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim
Asy’ari.
Kemudian tahun 1930, Abdurrahman kembali ke Menes dan menikahi
Enong salah satu anak perempuan Tb. Sholeh. Namun pernikahannya yang
pertama tidak berjalan lama karena isterinya berpulang kerahatullah ketika ia
melaksanakan ibadah Haji. Kemudian menikah kembali dengan tiga istri
(berpoligami) yakni, Menot Aminah, Ijot Khodijah dan Enjoh. Dari ketiga istrinya
ia dikaruniai lima belas orang anak.
Diantara para pendiri Mathla’ul Anwar, Abdurrahman merupakan tokoh
yang berpengaruh dalam merumuskan konsep pendidikan madrasah dan
memanjukan organisasi Mathla’ul Anwar (MA) selama hidupnya. Buah
pikirannya itu ditulisnya dalam beberapa karya tulis seperti, Kitab Al-Jawa’is Fi
’Ahkam Al-Jana’iz, melalui Kitab-Kitab yang berisi tentang etika dan tatacara
mengurusi jenazah, Ilm al Tajwid, yakni kitab yang mempelajari tentang aturan
27
38
baca Qur’an, Al-Takhfifi, metode mudah belajar bahasa Arab, Nahwu Al
Jamaliyyah, kitab yang mempelajari tentang tata bahasa Arab, seperti Al-
Ajrumiyya yang tersebar luas dipergunakan sebagai rujukan dasar tata bahasa
Arab di Indonesia, Miftah Bab Alsalam, kitab tentang hukum Islam, dan Fi Arkan
Al Iman Wal Islam, yaitu kitab tentang Tauhid. Kitab-Kitab tersebut ditulis dalam
menggunakan bahasa Jawi dan pengantarnnya bahasa Sunda. Kecuali Al Jawa’iz
Fi Ahkam Al Jana’iz, dan buku-buku itu dipersiapkan sebagai rujukan utama
pelajaran agama Islam di madrasah-madrasah Mathla’ul Anwar. Abdurrahman
berpulang kerahmatullah pada usia 68 tahun pada tahun 1943.
Selain tiga tokoh-tokoh diatas, beberapa ulama lain yang terlibat dan
berjasa dalam pendirian Mathla’ul Anwar diantaranya adalah, K. Tegal, KH.
Abdul Mu’ti, Soleman Cibinglu, KH. Daud, KH, Rusydi, E, Danawi dan terakhir
KH. Mustghfiri.23
23 Ada beberapa catatan perbedaan dalam jumlah orang yang terlibat dalam pendirian
MA. Secara umum ada yang mengatakan bahwa jumlah pendiri MA berjumlah 10 orang nama yang disebutkan, sedangkan nama Tb. Tirtawinata dan Kiyai Muhammad Nur tidak dicantumkan sehingga berjumlah 12 orang. Lihat. Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,” h. 158
28
39
BAB III
PARTISIPASI MATHLA’UL ANWAR DALAM RANAH POLITIK
A. Pengertian Partisipasi Politik
Ditengah-tengah masyarakat modern seluruh komponen masyarakat ikut
terlibat dalam proses politik yang merupakan salah satu aspek penting dalam
demokrasi. Partisipasi politik berasal dari dua kata, yaitu partisipasi dan politik.
Menurut bahasa partisipasi adalah pengambilan bagian (didalamnya) atau peran
serta bergabung.24Secara umum, partisipasi politik dapat dikatakan sebagai
penentuan sikap seseorang atau kelompok dalam kegiatan untuk pencapaian
tujuan organisasi, serta berperan dalam setiap pertanggungjawaban bersama dalam
kehidupan politik.
Menurut Miriam Budiarjo, partisipasi politik sebagai kegiatan yang
berkaitan dengan proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan juga turut
serta dalam pembentukan kebijakan umum. Secara riil bentuk-bentuk kegiatan ini
mencakup kegiatan memilih pada pemilihan umum, menjadi anggota partai
politik, duduk di lembaga politik, berkampanye, menghadiri kelompok diskusi
yang membahas persoalan politik dan sebagainya.25
Senada dengan Miriam Budiarjo, Michael Rush dan Philif Althoff,
menyatakan bahwa partisipasi politik adalah usaha warga negara secara
terorganisir dalam proses pemilihan para pemimpin dan mempengaruhi jalannya
24 Pius A. Partanto dan Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola,
1994), h. 572 25 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
Cet: 27, 2005), h. 161
29
40
kebijakan umum. Hal tersebut sebagaimana menurut Rafael Raga Maran dalam
Pengantar Sosiologi Politik bahwa yang dilakukan berdasarkan kesadaran akan
tanggung jawab terhadap kehidupan bersama sebagai warga negara.26
Sementara Harbert McClosky dalam International Encyclopedia of the
Sosial Sciences seperti yang dikutip oleh Miriam Budiarjo, menyatakan:
“Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela masyarakat untuk terlibat
dalam setiap pengambilan kebijakan seperti dalam proses pemilihan penguasa,
baik secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan
umum”. Sedangkan menurut Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Handbook
of Political Science, menyatakan: “Partisipasi politik adalah keterlibatan langsung
seseorang atau pribadi warga negara dalam setiap kegiatan untuk tujuan
mempengaruhi dan menyeseleksi pejabat-pejabat Negara dalam memutuskan
setiap kebijakan”.
Menurut Samuel Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choise:
political Participation in Developing Countries, menyatakan: “Partisipasi politik
adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang
dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi
bisa bersifat individu atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau
sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau Ilegal, efektif atau tidak
efektif”.27 Sedangkan Samuel Huntington dan Joan M. Nelson dalam Partisipasi
26 Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet: I
2001), h. 147 27 Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik (Jakarta: Yayasasn Obor Indonesia,
1998), h. 2-3
30
41
Politik di Negara Berkembang membagi partisipasi masyarakat kedalam berbagai
bentuk28
1. Elektoral activity, adalah segala bentuk kegiatan yang dilakukan melalui
kampanye salah satu partai politik dalam pemilu dan memberikan suara
serta ikut mengawasi berlangsungnya proses pemilu.
2. Lobbying, yaitu aktivitas seseorang atau kelompok dalam melakukan
pendekatan pada pejabat pemerintah atau elit politik untuk tujuan
mempengaruhi dan mendukung terhadap kegiatan mereka.
3. Organizational Activity, adalah partisipasi warga negara dalam berbagai
kegiatan organisasi politik dan sosial dengan menduduki sebuah jabatan
sebagai pemimpin, anggota maupu simpatisan.
4. Contacting, yaitu kegiatan warga negara dalam mempengaruhi elit politik
dengan cara mendatangi dan menghubungi lewat telepon kepada pejabat
pemerintah maupun elit politik lainnya.
5. Violence, adalah sebuah usaha yang dilakukan melalui cara-cara kekerasan
atau intimidasi dan pengrusakan dalam proses mempengaruhi elit politik.
Dari beberapa definisi diatas, partisipasi politik dapat disimpulkan sebagai
bentuk sikap dan keterlibatan setiap individu dalam situasi dan kondisi
organisasinya, kemudian mendorong individu tersebut untuk berperan serta dalam
pencapaian tujuan organisasi serta ambil bagian dalam setiap tanggung jawab
bersama.29 Hal tersebut dilakukan berdasarkan kesadaran terhadap bentuk
tanggung jawab dalam kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu
28 Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 8
29 Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia (Surabaya: SIC, 2002), h. 127
31
42
negara. Bagaimanapun, keputusan politik yang diambil oleh pemerintah
menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat berhak untuk ikut
serta dalam mempengaruhi setiap keputusan politik. Karena keterlibatan warga
negara dalam keputusan politik akan menentukan baik buruknya setiap keputusan
untuk kehidupan individu maupun masyarakat itu sendiri.30
B. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Sebagaimana di tulis di atas bahwa partisipasi politik adalah kegiatan
warga negara dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksaan kebijakan
umum maupun ikut serta dalam menentukan pemimpin pemerintahan. Kegiatan
tersebut seperti antara lain, mengajukan tuntutan, kritikan, koreksi, melaksanakan
kebijakan umum dengan cara melaksanakan atau menentang. Kemudian untuk
merealisasikan berbagai bentuk-bentuk partisipasi politik, maka masyarakat dan
negara memanifestasikan bentuk partisipasi politik melalui pembentukan sebuah
organisasi masyarakat (ormas), kelompok kepentingan, partai politik, lembaga
perwakilan rakyat baik tingkat pusat maupun daerah.
Selanjutnya Jeffry M. Paige, membagi partisipasi politik menjadi empat
tipe yaitu, partisipasi politik aktif, fasif, apatis dan militan.31 Partisipasi politik
aktif adalah apabila tingkat kesadaran politik dan kepercayaan politiknya tinggi.
Masyarakat dengan tingkat partisipasi aktif bisa mempengaruhi penentuan
pejabat publik dan kebijakan yang dikeluarkannya. Mereka bisa
30 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia, Cet: 3, 1999), h. 140-
141 31 Jeffry M. Paige, Political Orientation and Riot Participation, dalam American
Sosiological, Review, Oktober, 1991, h. 810-820
32
43
berpartisipasi dalam pembuatan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pada
setiap kebijakan publik. Pola partisipasi seperti ini tumbuh dengan baik
dalam Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi, tingkat
kehidupan ekonomi cukup, akses informasi bisa diperoleh dengan cepat.
Biasanya pola ini berkembang dengan baik pada masyarakat perkotaan.
Partisipasi politik pasif adalah partisipasi dengan tingkat kesadaran politik
rendah dan pada saat yang bersamaan tingkat kepercayaan politik tinggi. Pola
partisipasi seperti ini mendominasi pada masyarakat yang tingkat pendidikan
renadah, tingkat ekonomi yang serba kekurangan, dan akses informasi yang sulit.
Biasanya pola partisipasi model ini berkembang di masyarakat pedesaan. Dalam
menentukan pilihan politik dan sikap terhadap setiap kebijakan yang
berkaitan dengan hajat bersama, masyarakat mempercayakan kepada tokoh
masyarakat atau kepala desa. Masyarakat menganggap dirinya tidak punya
kemampuanapapun dalam menentukan kepentingan bersama. Mereka
sepenuhnya percaya pada orang yang memiliki kharisma dan ketokohan, seperti
:kiyai dan jawara, serta pada orang yang memiliki kekuasaan struktural, seperti
kepala desa, camat, bupati dan lainnya. Partisipasi politik apatis (masa bodoh) adalah
partisipasi politik dengan tingkat kesadaran dan kepercayaan politik yang rendah.
Pola partisipasi seperti ini terjadi pada masyarakat yang tidak menyadari
terhadap hak dan kewajibannya untuk melakukan penilaian pada kebijakan
pemerintah. Walaupun mereka sadar, tetapi mereka lebih memilih diam dan
mengabaikan dengan masalah-masalah yang menyakut kepentingan publik.
Sedangkan partisipasi politik militan adalah pola partisipasi politik dengan tingkat
33
44
kesadaran politik tinggi dan pada saat yang bersamaan tingkat kepercayaan politik
yang rendah. Partisipasi politik militan ini biasanya terjadi pada masyarakat dengan
melakukan seperti demonstrasi dan aksi-aksi menentang kebijakan publik dengan
cara merusak fasilitas umum, menganggu keamanan, melakukan kerusuhan atau
kekacauan.
Sedangkan Wasburn, membagi bentuk partisipasi politik kedalam dua
kategori yakni konvesional dan nonkonvesional. Partisipasi konvesional sebagai
bentuk yang sudah umum dilakukan pada negara-negara maju. Sedangkan di
negara-negara berkembang cenderung menggunakan partisipasi yang berbeda
karena tidak berjalannya sistem politik. Sehingga, menyebabkan Inputnya sulit
berkembang dikompensasikan kedalam bentuk-bentuk kegiatan partisipasi yang
tidak biasa dilakukan di negara-negara dengan sistem politik yang bekerja dengan
baik.
Gambar 1.32 Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Konvesional Nonkonvesional Pemberian Suara (voting, Pemilu) Pengajuan Petisi Diskusi Politik Berdemonstrasi Kegiatan Kampanye Mogok Bergabung dengan Partai Politik Tindakan Kekerasan Politik Terhadap
Harta Benda (Perusakan, pemboman, penjarahan, pembakaran)
Membentuk dan/atau berbagung dalam Kelompok Kepentingan
Tindakan Kekerasan Politik terhadap Manusia (penculikan, pembunuhan, terror)
Komunikasi Individual/Kelompok dengan Pejabat Politik dan Birokrasi
Perang Gerilya dan revolusi
Kudeta
32 Toto Pribadi dkk,. Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Universitas Terbuka, Cet: 1,
2006), h. 36
34
45
B. Langkah-Langkah Perjuangan Mathla’ul Anwar
1. Bidang Politik
Sebelum penulis membahas tentang peran atau partisipasi
politik MA, terlebih dahulu akan dibahas tentang hubungan antara
Islam dan politik di Indonesia. Keterlibatan Islam dalam politik, telah
dimulai ketika adanya penjajahan kolonialisme Barat yang hegemonik secara
politik, militer, ekonomi, dan budaya. Islam dijadikan sebagai kekuatan politik
oleh para pemimpin-pemimpin Muslim Nusantara dalam menghadapi penjajah
Portugis dan Belanda pada abad ke-13 dan 14 Masehi.33
Dalam konteks ini, Islam berfungsi sebagai lambang pemersatu dan
sekaligus sebagai ideologi politik, sehingga menimbulkan kekuatan luar biasa
yang memiliki kekayaan doktrinal dan pengalaman politik yang direkonstruksi
menjadi keyakinan politik seperti gerakan Sabilillah, Perang Jihad,
Pemberontakan Petani Banten Tahun 1888 dan sebagainya. Maka dibawah
pimpinan orang-orang Islam memperoleh kekuatan untuk melawan penjajahan
Belanda. Fenomena distingsi "Islam politik" dan "Islam kultural" mencapai
puncaknya ketika pada masa pasca runtuhnya kesultanan Banten oleh
kolonialisme Belanda pada tahun 1813 oleh Gubernur Herman William
Daendels.34
Menurut Irsyad Djuwaeli, MA sebagai salah satu organisasi
keagamaan yang memiliki kepentingan untuk memajukan bangsa dan
33 Pramono U. Tanthowi, Kebangkitan Politik Kaum Santri, Islam dan Demokrasi di
Indonesia, 1990-2000 (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005), h. 16 34 M. Irsjad Djuwaeli, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar (Jakarta: PB Mathla’ul
Anwar, 1996), h. 15
35
46
organisasinya, berusaha mencoba masuk ke wilayah kebijakan dan politik.
Selanjutnya menyatakan diri secara teoritis ada dua peluang atau pintu masuk
bagi MA untuk menentukan arah perkembangannya di masyarakat. Pertama,
adalah pada tingkat kultural (pendidikan, dakwah dan sosial). Tingkat ini
secara formal dilakukan oleh MA sejak kelahirannya tahun 1916, namun
secara out put yang dihasilkan perlu dievaluasi. Kedua, adalah pada tingkat
struktural, dimana MA dapat berperan dengan turut berpartisipasi dalam
setiap pengambilan keputusan dan kebijakan, sehingga MA akan menjadi
penentu kecenderungan (trend maker) masyarakat.35
Keterlibatan MA dalam politik cenderung untuk menggabungkan diri
dengan kekuatan politik yang ada. Hampir bersamaan dengan pendirian MA, para
pendirinya seperti KH. Entol Yasin dan KH. Mas Abdurrahman telah menjadi
tokoh utama Sarekat Islam (SI)36 di wilayah Banten. Dalam fatwanya, KH. Mas
Abdurrahman memberikan dukungan kepada SI sebagai salah satu wujud dari
ibadah ke Allah SWT.37
Pada tanggal 01 September 1926, terjadi pemberontakan rakyat Menes
dan Labuan melawan pemerintahan kolonial Belanda. Keterlibatan tokoh-
tokoh MA seperti K. Abdulhadi Bangko dan Khusen Cisaat dalam peristiwa
pemberontakan melawan Pemerintah kolonial Belanda, menyebabkan mereka
35 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 4 36 Sarekat Islam (SI) bermula dari sebuah organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI), yang
didirikan oleh Samanhudi di Solo pada tahun 1911 pada perkembangnya menjadi organisasi politik nasional pertama di Indonesia sebagai satu-satunya kekuatan pemersatu bagi seluruh elemen bangsa dalam membawa aspirasi ke-Islaman dan kebangsaan. Lihat. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Trasformasi Pemikiran dan praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998, cet: 1), h. 63. Selanjutnya lihat. Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 63.
37 Didin Nurul Rosidin, Quo Vadis Mathla’ul Anwar, h. 5
36
47
(K. Abdulhadi Bangko dan Khusen Cisaat) ditangkap dan kemudian dibuang
ke Boven Digul, Tanah Merah dan Irian.38 Sedangkan KH. Tb. Mohammad
Soleh (tahun 1916) diterbunuh dalam peristiwa pemberontakan tersebut untuk
memperjuangkan terhadap adanya ketidakadilan dalam bidang ekonomi, politik
dan lain sebagainya.39
MA dinilai menjadi salah satu organisasi yang dianggap berbahaya
oleh Pemerintah kolonial Belanda semakin dicurigai perkembangannya,
terlebih KH. Mas Abdurrahman dan KH. Entol Yasin sebagai tokoh MA dan
pengurus SDI atau Sarekat Islam (SI) bagian Banten untuk memperjuangkan
umat Islam melawan kolonial Belanda. Kemudian KH. Entol Yasin dan tokoh
MA lainnya pasca peristiwa tanggal 01 September tahun 1926 menyebabkan
mereka selalu diawasi oleh PID (Polisi Rahasia Kolonial Belanda) dalam
setiap aktivitasnya dalam membangun MA. Kemudian, akibat adanya
perpecahan di tubuh SI40 pada tahun 1921 dan berdirinya Partai Komunis
38 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar
(Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 11 39 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 68. Menurut
Chalwani Michrob dan A. Mudjahid Chudari, bahwa karakter para ulama di Banten dikenal berwatak keras dan suka memberontak, bahkan banyak dari para ulama-ulamanya menilai kepemimpinan dalam Sarekat Islam (SI) kurang berani dan tegas dalam melakukan pemberontakan melawan Belanda, hal tersebut dimanfaatkan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan cara infiltrasi keanggotaan ganda untuk mengajak para ulama bergabung dengan PKI, sehingga banyak tokoh-tokoh agama seperti K. Abdulhadi Bangko dan Khusen Cisaat (tokoh MA) di Banten disamping sebagai anggota SI juga menjadi pengurus PKI. M. Irsjad Djuwaeli, Membawa Mathla’ul Anwar Ke Abad XXI (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 18
40 Konflik diinternal SI terjadi pada kongres Luar Biasa Central Sarekat Islam pada tanggal 6-10 Oktober tahun 1921 di Surabaya. Akibat peristiwa tersebut Sarekat Islam pecah menjadi 2 aliran, yaitu: Sarekat Islam Merah (SI Merah) yang dipimpin Semaoen yang berasaskan sosial-komunis dan berpusat di Semarang dan Sarekat Islam Putih (SI Putih) yang dipimpin Agus Salim, Cokroaminoto dan Abdoel Moeis yang berasaskan kebangsaan dan keagamaan dan berpusat di Yogyakarta. Peristiwa tersebut terjadi akibat pengaruh dari paham sosialis revolusioner yang di bawa H.J.F.M. Sneevliet, seorang sosialis Belanda yang datang ke Indonesia pada tahun 1913. Kemudian pada tahun 1914 Sneevliet bersama rekan-rekannya yaitu J..A. Bransteder, H.W. Dekker dan P. Bergsma mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) di
37
48
Indonesia (PKI) tahun 1924 menjadi semakin tidak kondusif terhadap aktifitas
politik, sehingga mendorong Kyai Entol Yasin dan Kyai Mas Abdurrahman untuk
mengalihkan aktifitas politiknya pada NU.
Pengawasan yang menimbulkan kecurigaan pemerintah kolonial
Belanda yang ketat di Menes dan Labuan, menyebabkan para tokoh MA
menjadi kendala untuk melakukan pembinaan keagamaan di masyarakat. Di
bawah pengawasan pemerintah kolonial Belanda, tokoh-tokoh MA melakukan
aktivitasnya secara sembunyi-sembunyi dalam melakukan pembinaan
kehidupan masyarakat disekitar daerah Menes. Kemudian, untuk membantu
mengintensifkan perjuangannya dalam pembinaan umat, para tokoh MA
dibantu oleh para kader-kader dan lulusan atau alumni madrasah MA Pusat
(Menes) yang dikirim ke berbagai daerah seperti Kabupaten Lebak, Serang,
Bogor, Karawang dan Karesidenan Lampung.
Tahun 1926, KH. Mas Abdurrahman dan KH. Entol Yasin menghadiri
sebuah rapat akbar NU di Jawa Tengah, dengan tujuan untuk bekerja sama
dalam melakukan pembinaan kehidupan masyarakat. Selanjutnya, pada tahun
1936 akhirnya MA mengadakan musyawarah terbatas sebagai bentuk
komitmen dan evaluasi dalam perjuangan dengan membentuk konsulat-
konsulat MA yang membawahi kepengurusan di tingkat Kabupaten dan di
tingkat Kecamatan. Para konsulat dan sub konsulat tersebut mengadakan
kongres (Muktamar) MA ke-I tahun 1937 di Menes, pertemuan tersebut
sebagai evaluasi tahunan bagi setiap pengurus mulai dari tingkat bawah
Surabaya. Lihat Dewi Yuliati,. Semaoen: Pers Bumiputera dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang. (Semarang: Bendera, 2000), h. 6-7
38
49
sampai atas yang dihadiri oleh setiap utusan cabang, yang kemudian
dilanjutkan dengan pemilihan ketua umum terpilih adalah KH. Entol Yasin
dan wakil ketua adalah KH. Abdul Muthi’, sedangkan ketua bidang
pendidikan adalah KH. Mas Abdurrahman.
Pada tahun 1938 ketua umum KH. Entol Yasin berpulang
kerahmatullah, yang seharusnya tahun tersebut diadakan Muktamar MA ke-II
di Menes, kemudian jabatan ketua umum dijabat oleh wakil ketua umum yaitu
KH. Abdul Muthi’. Selanjutnya tahun 1939 MA dapat melaksanakan
Muktamar ke-III di Menes dengan agenda salah satunya adalah pemilihan
ketua umum yang berhasil memilih dan menetapkan KH. Uwes Abu Bakar
sebagai ketua umum Pengurus Besar Mathlaul Anwar (PBMA).41
Kemudian, muktamar dengan berjalannya waktu, diadakan setiap tahun
umumnya tidak banyak yang dibicarakan dan dihasilkan. Terlebih dihadapkan
pada situasi yang cukup sulit, sehingga diawal kepemimpinan KH. Uwes Abu
Bakar tidak banyak pula hasil yang diperoleh. Tahun 1940 dan 1941 MA
mengadakan Muktamar ke-1V dan V di Menes dengan terpilih kembali KH. Uwes
Abu Bakar menjadi ketua umum untuk periode berikutnya.
Tahun 1942, dengan meletusnya perang di Asia Timur dan masuknya
Jepang untuk menghadapi Belanda dan menduduki Indonesia. MA pada saat itu
berkonsentrasi untuk melakukan konsolidasi terhadap pengembangan dan
penguatan solidaritas umat Islam. Setelah itu para tokoh MA berpartisipasi
membuat barisan kesiapsiagaan dan aktif melakukan berbagai forum pertemuan
41 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 12
39
50
untuk mempercepat terciptanya kemerdekaan bangsa Indonesia. Kesibukan tokoh-
tokoh MA diberbagai kegiatan sosial dan politik menyebabkan tidak bisa
melaksanakan Muktamar ke-IV di Menes pada waktunya. Baru tahun 1943,
dibawah kekuasaan Jepang, MA dapat melaksanakan Muktamar ke-VI di Menes.
Bagaimanapun, saat itu MA merupakan satu-satunya organisasi keagamaan yang
mampu melaksanakan Muktamar di bawah kontrol dan kekuasaan dan
pendudukan Jepang.
KH. Mas Abdurrahman termasuk salah satu tokoh organisasi keagamaan
yang cukup tegas menentang para pegawai pemerintah Jepang yang berusaha
memaksakan memberi hormat Sei kierei kepada Kaisar Tenno Heika dalam
berbagai persitiwa publik maupun ditempat kerja pada pagi hari.42 Hal senada
juga datang dari pendiri NU yakni KH. Hasjim Asy’ari yang menentang upacara
penghormatan kepada Kaisar, sehingga menyebabkannya ditangkap dan dipenjara
selama empat bulan.43
Kemudian, MA sebelum di jaman pemerintahan Jepang bersama-sama
organisasi lainnya bergabung dalam pembentukan MIAI (Masjlis Islam A’la
Indonesia) sebagai wadah untuk memobilisasi kaum muslim pada tahun 1935.44
Kemudian, MIAI pada kongres umat Islam Indonesia dirubah lagi menjadi
menjadi Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) secara resmi berdiri pada
42 Banyak tokoh ulama yang menentang dipenjarakan dan mati terbunuh. KH. Mas
Abdurrahman sedang sakit parah dan tidak tampil dipublik diwaktu dilakukan operasi penangkapan oleh pemerintah Jepang. Lihat: M. Irsjad Djuwaeli, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 16
43 Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim, Pencarian dan Pergulatan PERSIS di Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957) (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, Cet: 1, 2004), h. 108-109. Selanjutnya lihat. Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti), h. 25
44 M. Irsjad Djuwaeli, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 16
40
51
tanggal 07-08 November tahun 1945 di Madrasah Muallimin Muhammadiyah
Yogyakarta sebagai satu-satunya partai politik Islam. Selain itu, Masyumi
merupakan wadah untuk memobilisasi organisasi-organisasi muslim dan
bertujuan untuk memperkuat persatuan semua organisasi Islam dalam membantu
Dai Nippon untuk kepentingan Asia Timur Raya
2. Bidang Pendidikan
Mathla’ul Anwar (MA) sejak pertama kali didirikan tahun 1916
memfokuskan gerakannya dalam bidang pendidikan Islam yang diwujudkan
melalui madrasah berpusat di Menes, dengan maksud untuk membentuk manusia
muslim yang berakhlak mulia serta menjalankan syariat Islam. Namun, pada
perkembangannya menjadi organisasi sosial kemasyarakatan yang tidak hanya
terbatas menyelenggarakan pendidikan formal, tetapi juga pendidikan nonformal
baik dakwah maupun sosial.45
Adanya kesadaran terhadap pentingnya mobilisasi umat untuk terbebas
dari keterpurukan akibat kolonialisme, maka para pendiri MA yang merupakan
Kiyai lokal Menes telah sepakat untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana
untuk mencapai tujuan tersebut. Sistem madrasah yang berbasis kelas sebagai
alternatif terbaik bagi lembaga pendidikan yang akan dibangun. Model pendidikan
modern merupakan hal yang baru bagi komunitas Muslim Nusantara. Hal ini
mengingat model tersebut baru diperkenalkan pada dekade kedua abad ke-20
45 Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, Cet: 2, 1994),
h. 204
41
52
ketika sekolah/madrasah sejenis didirikan di beberapa tempat seperti sekolah
Adabiyah di Padang serta Manba’ul Ulum di Solo.46
Aplikasi model pendidikan Islam ini merupakan terobosan sekaligus
keberanian yang luar biasa karena masyarakat Muslim saat itu telah lama
diyakinkan bahwa model-model seperti pangajian di musholla, langgar, surau dan
pesantren47 merupakan model pendidikan yang paling sesuai dengan ajaran
agama Islam. Terkait dengan MA, tentunya patut dicatat secara khusus, yang
justru pengelola model pendidikan lama tersebut. Hal ini tidak lepas dari sikap
terbuka mereka akan gagasan-gagasan baru yang lebih tepat seperti terlihat dari
pernyataan salah seorang tokoh pendiri, KH. Muhammad Sholeh menyatakan
bahwa, dirinya bukan hanya tidak mampu mengelola lembaga pendidikan tersebut
tetapi juga tidak mengenalnya dengan baik. Oleh karena itu, lembaga ini harus
diserahkan kepada seseorang (Mas Abdurrahman) yang mengetahui dan mampu
mengelola lembaga pendidikan baru tersebut.
Menurut Zamakhsyari Dhofier, bahwa pesantren pada perkembangannya
dari sistem tradisional ke sistem modern, maka proses transformasi pendidikan
pesantren menjadi tiga pola: pertama, pola tradisional, kedua, pola transisional,
ketiga, pola modern. Trasformasi ini terjadi karena ada di antara pesantren
46Didin Nurul Rosidin, Quo Vadis Mathla’ul Anwar, Makalah disampaikan pada
Rakernas Mathla’ul Anwar di Batam, 7-9 Juli 2007, h. 2-3. Selanjutnya lihat. M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern !912- 2008 (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, Cet: II, 2009), h. 366-367
47 Pesantren berasal dari kata santri yang diawali dengan kata pe dan diakhiri kata an, yang berarti tempat tinggal para santri. Pengertian ini menggambarkan bahwa, pesantren dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar menyediakan asrama untuk tempat tinggal para santrinya. Namun bukan berarti setiap lembaga pendidikan yang menyediakan asrama bagi peserta didiknya dapat dikategorikan sebagai pesantren. Lihat. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta: LP3S, 1985), h. 14
42
53
tradisional yang cenderung mengadaptasi sistem modern, sementara yang lainnya
tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional.48
Tekad untuk melakukan perubahan pada umat lewat modernisasi sistem
pendidikan Islam pada MA selanjutnya disebarkan pula ke wilayah lain di luar
Menes bahkan di seluruh daerah Banten. Para aktifis dan tokoh pendidikan MA di
Menes bekerjasama dengan warga lokal atau migran asal Banten mendirikan
madrasah-madrasah modern sekaligus menjadikannya sebagai cabang madrasah
pusat MA. Hanya dalam jangka 20 tahun, MA telah memiliki lebih dari 40
madrasah cabang yang tersebar di wilayah Banten, Bogor dan Lampung. Seperti
halnya Hayatul Qulub di Majalengka, gerakan pembaharuan pendidikan ini
memfokuskan pada masyarakat dan wilayah pendesaan sehingga gerakan ini
termasuk pada kategori gerakan berbasis desa. Tujuan MA terhadap gerakan
berbasis desa pada dasarnya untuk memberikan akses atau kesempatan yang
sebanyak-banyaknya bagi seluruh warga negara untuk mengenyam pendidikan.
Sehingga dengan demikian, MA membuka sekolah-sekolah dan madrasah-
madrasah formal maupun informal.49
Tahun 1929, MA telah berhasil mendirikan sekolah khusus wanita yang
dipimpin oleh Ny. Hj. Zaenab (Putri sulung KH. Mohammad Entol Yasin).
Tentunya adanya madrasah khusus wanita MA membuktikan komitmennya
bahwa pendidikan sangat penting. Sebagai pelajaran tambahan bagi para guru
wanita dan pria, maka pada setiap hari kamis dilangsungkan studi umum di masjid
Soreang Menes dibawah bimbingan KH. Mas Abdurrahman.
48Abuddin Nata, ed., Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 2001), h. 129-130
49 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen, Ciputat, 17 Mei 2010.
43
54
Kemudian tahun 1951 madrasah MA mengalami kemajuan dan
perkembangan yang signifikan. Karena secara kuantitas, madrasah MA tercatat
sebanyak 100 unit yang tersebar didaerah Banten, Lampung, Palembang, Bogor
dan Karawang. Pada tanggal 17 Juli tahun 1951, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dengan surat keputusan nomor: 17737/CV memutuskan bahwa
Madrasah Mathla’ul Anwar (MA) mendapat pengakuan kesamaan derajat
terhadap ijasahnya. Kemudian tanggal 28 Maret tahun 1959 Kementerian
Kehakiman Republik Indonesia dengan surat keputusan nomor; JA.5/6/15
menyatakan MA sebagai organisasi yang berbadan hukum yang diakui oleh
Negara Republik Indonesia.50
Selanjutnya, semangat modernisasi sistem pendidikan MA bertambah
dengan memasukkan kurikulum umum dengan diperkenalkannya beberapa materi
pelajaran seperti ilmu bumi, ilmu ukur dan lain-lain sejak kendali pendidikan MA
masih ditangan kiyai Mas Abdurrahman. Usaha ini oleh KH. Uwes Abu Bakar
kemudian dipertahankan pada saat menerima aturan pemerintah Indonesia yang
menetapkan jenjang sekolah/madrasah menjadi SD (enam tahun), MTs (tiga
tahun), Madrasah Aliyah (tiga tahun) dan perguruan tinggi. Kiyai Uwes juga
menerima aturan untuk memasukkan materi-materi umum lainnya termasuk
bahasa Inggris dalam kurikulum madrasah. Bahkan, kiyai Uwes berinisiatif untuk
mendirikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang pertama di wilayah
50 Selain MA, ada sepuluh organisasi lainnya yang mendapat pengakuan yang sama
antara lain; Ma’arif Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, darul Ulum Majalengka (sekarang PUI), Daru Dakwah Islamiyah Sulawesi, Darunnajah NTB, Al-Ittihadyah Sumatera, Al-Wasliah Sumatera Utara, Al-Hidayah Kalimantan dan Thawalib Sumatera Barat. Lihat. Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006), h. 51
44
55
Pandeglang dimana sebagian besar materi pengajarannya justru materi-materi
umum sebelum kemudian sekolah ini berubah menjadi Pendidikan Guru Agama
Pertama (PGAP). Ketika Departemen Agama (sekarang Kemenag) meluncurkan
program Madrasah Wajib Belajar (MWB) untuk mengintensifikasi pengajaran
materi umum pada siswa madrasah, MA termasuk organisasi yang paling
mendukung dengan menyediakan seluruh madrasahnya sebagai tempat aplikasi
program tersebut.51
Kewajiban untuk mengadopsi kurikulum umum yang ditetapkan
pemerintah terhadap MA, justru menimbulkan keprihatinan di kalangan beberapa
pendidik MA tentang hilangnya kekhasan karakter pendidikan MA. Pengadopsian
mata pelajaran tersebut sebagai hasil dari kebijakan pemerintah yang baru di
bidang pendidikan terhadap sekolah yang harus memberikan mata pelajaran yang
bersifat umum. Padahal tidak semua pelajaran yang bersifat sekuler itu baru, MA
sebelumnya juga mempelajari Bahasa Indonesia, aritmetika, sejarah dunia,
geografi, pelajaran menulis huruf latin, IPA, tetapi sebagai bahasa pengantarnya
menggunakan bahasa Arab.
Salah satu pelajaran yang paling kontroversial adalah mata pelajaran
Bahasa Inggris yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, sedangkan
mata pelajaran Bahasa Arab adalah bahasa Islam. Selain Bahasa Inggris tidak
dianggap tidak cocok juga sebagai salah satu bentuk penjajahan terhadap agama
Islam. Bahkan untuk menunjukan ketidaksetujuannya setiap kali waktunya
51 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul
Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 60
45
56
pelajaran Bahasa Inggris para siswa dan guru MA melakukan pemboikotan (walk
out) dari kelas masing-masing.
Kemudian tahun 1956 MA mengadakan kongres ke-X di Menes dan
menyepakati untuk mengajukan pernyataan yang meminta pemerintah untuk
mengkaji kembali kebijakan tentang mata pelajaran agama sebagai pelajaran
pilihan atau utama. Respon pemerintah yang lambat dalam merevisi kebijakan
tentang pelajaran agama disekolah MA, selanjutnya sebagai wujud nyatanya
dengan pendirian SMPI (Sekolah Menengah Pertama Islam).
Tahun 1961 MA memiliki 3000 madrasah yang terdaftar di Departemen
Agama. Secara kuantitas organisasi pendidikan Islam yang bergabung dengan
MA, seperti, YPI Banten, Nurul Falah di Petir Serang, Yayasan Ihsaniyah Tegal,
Yayasan Al-Iman Di Kebumen atau YPI Jawa Tengah dan Nurul Islam di Palu
Sulawesi Utara menjadi cukup banyak. Perkembangan selanjutnya, pada tahun
1963 ketua umum MA mendapat undangan menjadi tamu kehormatan menghadiri
Muktamar Rabithah Alam Islami. Pertemuan ini menyatakan MA menjadi salah
satu organisasi Islam di Indonesia yang mendapat kehormatan dan memperoleh
bantuan material untuk pengembangan organisasinya. Kemudian pada saat yang
sama di Mekkah pula berhasil mendirikan perwakilannya, yang dipimpin oleh
KH. Abdul Jalil Al-Mugaddasy. Sementara itu perwakilan MA di Jeddah
dipimpin oleh Syeh Abdul Malik.
Pada perkembangan selanjutnya, bila dilihat pendidikan MA dengan
pendidikan lainnya tidak ada perbedaan yang sigifikan yang menjadi ciri khas
MA. Padahal pendidikan madrasah MA sebelumnya telah dikenal dan banyak
46
57
mencetak ulama-ulama atau intelektual Islam dengan menggunakan metode
khusus pelajaran agama. Tetapi, pengadopsian kurikulum pemerintah disatu sisi
menurunkan mutu pendidikan madrasah MA sebagai pencetak ulama.
Terjadinya perpecahan di internal MA berakibat terhadap pendirian
madrasah-madrasah sempalan atau pecahan seperti Maslahul Anwar yang
didirikan oleh Kyai Junaedi, putra Kyai Yasin, di Kaduhauk yang terpisah dari
struktur madrasah MA. Kemunculan madrasah ini merupakan titik mula
munculnya madrasah-madrasah baru baik itu di pusat MA (Menes) maupun di
beberapa wilayah/cabang tertentu seperti Al-Ma’arif sebelum kemudian berubah
menjadi Ahlussunnah Wal Jama’ah pada akhir tahun 1970-an, Anwarul Hidayah,
Malnu, Malinu dan Nurul Amal.52
Kemunculan madrasah-madrasah baru tersebut merupakan akibat dari
adanya perbedaan persepsi dan kepentingan berbagai kelompok elit MA.
Misalnya, pendirian madrasah Al-Ma’arif yang diprakarsai oleh KH. Abdul Latif,
KH. Asrori dan KH. Hamdani merupakan akibat dari perbedaan orientasi politik
antara apakah harus mempertahankan ikatan politik dengan Partai NU atau
Masyumi. Selain karena perbedaan afiliasi politik, penolakan para Kyai senior
terhadap upaya modernisasi sekolah dengan memasukkan materi-materi umum,
khususnya Bahasa Inggris, mendorong para Kyai (tradisionalis) dan pengikutnya
kelua dari madrasah MA. Suatu hal yang menarik dari peristiwa ini adalah
bagaimana madrasah tidak hanya berfungsi sebagai tempat menimba ilmu
pengetahuan dari guru ke murid tetapi juga menjadi salah satu simbol identitas
52 Wawancara Pribadi dengan Asep Saepudin Jahar, Ciputat, 17 Mei 2010.
47
58
politik sekaligus alat memobilisasi masa pengikut. Hal yang tidak jauh berbeda
ketika pada tahun 1980-an dan 1990-an ketika muncul lagi madrasah-madrasah
baru seperti al-Ishlah, Al-Jannah dan lain-lain.53
Hingga tahun 1985, lembaga pendidikan yang didirikan oleh MA,
memiliki 4.706 unit Madrasah Ibtidaiah, 737 buah Madrasah Tsanawiyah, 311 buah
Madrasah Aliyah, dan 771 unit pondok pesantren. Jumlah siswa diseluruh lembaga
pendidikan tersebut di atas tercatat sebanyak 344.614 orang. 54 Kemudian tahun
2010, MA memiliki sekitar 6000 madrasah yang terdiri dari TK, Tsanawiyah/SMPI,
Aliyah/SMA diseluruh Indonesia. Disamping itu, MA memiliki satu Perguruan Tinggi
yakni Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA) yang berada diatas tanah seluas 7 Ha,
dilengkapi dengan asrama dan pondok pesantren. Peresmiannya dilakukan oleh wakil
Presiden RI Tri Sutrisno tahun 1993 bertempat di Cikaliung Menes Pandeglang-
Banten. Sebagai lembaga penujang dibuat Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum
(LKBH), Lembaga Pengembangan Koperasi dan Lembaga Bimbingan Haji dan
Umroh 55
C. Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar
1. Era Orde Lama
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, dan Masyumi
selain memiliki anggota perorangan juga organisasi diantaranya Muhammadiyah,
NU, Perserikatan Ummat Islam, PUSA (Persatuan Ummat Islam, 1949-1953), Al-
53 Wawancara Pribadi dengan KH. Wahid Sahari, Menes, 07 Agustus 2010. 54 Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 205 55 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen.
48
59
Jamiyatul Washliyah, Al-Ittihadiyah (Sumatera Utara-1947), Persis (Persatuan
Islam, Bandung-1948), Al-Irsyad (Jakarta-1950)56 dan Matha’ul Anwar (MA).57
Tahun 1945-1950, MA beserta segenap anggota ikut serta dalam
perjuangan melawan Belanda yang berusaha untuk menjajah kembali negara dan
bangsa Indonesia. Keterlibatan MA secara organisasi maupun anggota yang ikut
berjuang dalam mengangkat senjata menjadi anggota Hizbullah dan anggota
badan kelaskaran-kelaskaran lainnya. Juga masuk dalam struktural pemerintahan
menjadi Asisten Wedana (camat) seperti KE. Ismail (Sekretaris Pengurus Besar
Mathla’ul Anwar pertama periode 1936-1939) kemudian diangkat menjadi
Wedana Menes dan KH. A. Shidiq (Asisten Wedana Menes). Disamping itu,
beberapa Pemuda MA yang gugur dalam perang kemerdekaan sebagai pahlawan
bangsa antara lain Kiyai Abeh Habri (Putra KH. Mas Abdurrahman).58
Kemudian pada masa pemerintahan Orde Lama, partisipasi MA dalam
kancah politik terlihat misalnya pada tahun 1950 dimana Ketua Umum atau
Pengurus Besar MA (PB MA) KH. Uwes Abu Bakar menjadi anggota fraksi
Masyumi. Keterlibatan MA dengan Masyumi telah memposisikannya sebagai
organisasi Islam dalam konstituante untuk memperjuangkan Islam sebagai
falsafah ideologi negara Indonesia setelah kemerdekaan. Partisipasi politik MA
secara struktural ini diambil sebagai strategi untuk menentukan arah kebijakan
yang menyangkut kepentingan ummat.
56 Pramono U. Tanthowi, Kebangkitan Politik Kaum Santri, Islam dan Demokrasi di
Indonesia, 1990-2000, h. 41-42 57 M. Irsyad Djuwaeli, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 17 58 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Idjen, Menes, 03 Agustus 2010.
49
60
Perdebatan dalam merumuskan dasar negara antara kelompok Islamis
dan kelompok nasionalis sekuler dalam BPUPKI yang dibentuk tanggal 09 April
tahun 1945 merupakan realisasi dari pemerintahan Jepang untuk memberikan
kemerdekaan Indonesia yang diumumkan oleh Perdana Menteri Koiso pada 09
September 1944. Anggota BPUPKI sebelumnya berjumlah 62 orang kemudian
bertambah enam orang menjadi 68, yang terdiri dari 15 mewakili dari kelompok
Islam politik59 dan kelompok nasionalis sekuler60 secara tegas menolak Islam
sebagai dasar negara.61
Menurut Ali Nurdin, bahwa keterlibatan MA dalam politik praktis hanya
bersifat situasional, secara organisasi adalah independen dan non-afiliasi. Hal itu
dipertegas dalam AD/ART MA.62 Pernyataan independensi MA ini tertuang
dalam keputusan-keputusan Muktamar ke-VII, VIII tahun 1951-1952 di Bogor,
dan Muktamar IX tahun 1953 di Bandung dan Muktamar X tahun 1956 dan XI
tahun 1966 di Menes.63
Kemudian, Pemilihan Umum (pemilu) tahun 1955 KH. Uwes Abu Bakar
terpilih menjadi anggota DPR RI yang sebelumnya sebagai anggota DPRD
Provinsi Jawa Barat dan DPRD Kabupaten Pandeglang, bersama kiyai Muslim
Abdurrahman. Selain itu, KH. Uwes Abu Bakar juga pernah ditawari menjadi
59 Perwakilan dari kalangan Islam politik terdiri dari: KH. Ahmad Sanusi dan KH. Abdul
Halim (PUI), K. Bagus Hadikusumo, KH. Mas Masjkur dan Ambdul Kahar Muzakar (Muhammadiyah), KH. A. Wahid Hasjim, KH. Masjkur (NU), Sukiman Wirjisanjojo (PII sebelum perang), Abi Kusno Cokrosojoso (PSII), Agus Salim (Penyadar senelum perang).
60 Perwakilan nasionalis sekuler dalam BPUPKI terdiri dari Dr. Radjiman, Soekarno, M. Hatta. Prof. Soepomo, Muhammad Yamin, Wongsonegoro, Santono, RP Suroso, Dr. Buntaran Martoatmojo.
61 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 41-42. 62 Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin, Ciputat, 20 Mei 2010. 63 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 72
50
61
Menteri Agama pada masa Orde Lama, namun ditolaknya dengan alasan ingin
konsentrasi terhadap pengembangan dan kemajuan MA.64
Partisipasi politik MA melalui partai politik pernah mengalami
kevakuman. Hingga awal tahun 1950 Masyumi masih merupakan kekuatan yang
dominan di parlemen ketika Presiden Soekarno menunjuk formatur kabinet dari
Masyumi sebanyak dua kali berturut-turut. Salah satu peristiwa penyerahan
formartur kepada Sukiman tanpa meminta pesetujuan Natsir sebagai ketua
eksekutif Masyumi. Tindakan Sukiman tetap melaksanakan tugas sebagai
formatur tanpa persetujuan eksekutif partai Masyumi tersebut dianggap sebagai
tindakan pelanggaran terhadap partai. Peristiwa ini menunjukkan bahwa dalam
tubuh Masyumi sendiri terjadi perebutan pengaruh politis Muhammadiyah dan
Nahdhatul Ulama yang kemudian dimanfaatkan oleh Presidien Soekarno.
Selanjutnya, Presiden Soekarno pada akhir tahun 1960 menerbitkan Keppres
Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan Masyumi
dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun pelaksanaan pembubaran itu harus
dilakukan sendiri oleh Masyumi dan PSI. Jika dalam tempoh seratus hari kedua
partai itu tidak membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai
terlarang. Keputusan tersebut kemudian sebagai salah satu pemicu terjadinya
peritiwa pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI dan Permesta di Sumatera
Barat dan Sulawesi Utara akibat terjadinya dominasi kekuasaan antara Jawa
(Jakarta) dan non Jawa.65
64 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 70 65 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 21
51
62
Kedekatan politik MA ke Masyumi semakin kental manakala beberapa
tokoh MA menjadi pendukung sikap oposisi Masyumi terhadap beberapa
kebijakan Sukarno. Tidak heran jika setelah Masyumi untuk membubarkan diri
pada tahun 1960, MA mendapat tekanan dari kelompok pro-Sukarno. Akibatnya,
MA mengubah simbolnya dengan tujuan untuk menjelaskan tidak adanya
hubungan yang khusus MA dengan Masyumi. Tidak cukup dengan itu, MA
kemudian bergabung dengan pembentukan Dewan Dakwah Islam Indonesia
(DDII)66 dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar)67 yang
bertujuan untuk merespon terjadinya peristiwa Gestapu (Gerakan Tiga puluh
September) yang kemudian Sekber menjadi Partai Golkar.68
2. Era Orde Baru
Mathla’ul Anwar (MA) seperti halnya organisasi muslim lainnya dibawah
Orde Baru, mengalami perubahan yang hebat, baik dari dimensi internal maupun
pengaruh langsung atau tidak langsung kebijakan Orde Baru. Berdasarkan fakta
ini, perjalanan MA dapat dibagi kepada dua periode yang penting. Pertama, untuk
20 tahun pertama pemerintahan Orde Baru ditandai oleh tumbuhnya kekuatan MA
penentang melawan pemerintah. Kepemimpinan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar
(PBMA) dibawah KH. Uwes Abu Bakar ayng dilanjutkan oleh Nafirin Hadi yang
radikal secara rutin menentang kebijakan Orde Baru-Soeharto.69 Kedua, ditahun-
66 DDII adalah organisasi keagamaan independen yang berdiri tahun 1967 di Jakarta,
fokus gerakannya adalah dakwah Islam yang telah berjasa mencetak dan mengirim para da’i keseluruh pelosok Indonesia. Lihat. R. William Liddle, Islam, Politik dan Modernisasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Cet: 1, 1997), h. 105
67 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen. 68 Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru Ditengah
Pusaran Demokrasi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet: 1, 2002), h. 252 69 Reaksi menentang kebijakan Orde Baru seperti, pernyataan kelompok muslim radikal
sebagai Islam phobia, politik Islam secara umum memburuk oleh intervensi militer, menolak
52
63
tahun terakhir pemerintahan Soeharto, MA mengadopsi pendekatan politik yang
lebih akomodatif setelah pemimpin PBMA yang secara politis lebih pragmatis dan
moderat mengambil alih kekuasaan kepemimpinan pengurus besar organisasi.
Mengawali pemerintahan Orde Baru, sesuai dengan rencana pada bulan
September tahun 1966, MA dapat melaksanakan Muktamar ke-XI dan Perayaan
Ulang Tahun ke-50 di Menes, MA pada waktu itu satu-satunya organisasi yang
bisa melaksanakan Muktamar dalam situasi politik yang tidak kondusif baik
ekonomi maupun politik. Muktamar MA kali ini tidak dihadiri oleh sejumlah
Dewan Pengurus Daerah (DPD) karena situasi ekonomi dan komunikasi yang
kurang, menyebabkan peserta muktamar tidak mencapai qourum sebagaimana
diatur dalam AD/ART dan akhirnya disepakati dan diputuskan sebagai Muktamar
Luar Biasa (MLB).70
Hasil Muktamar menghasilkan beberapa keputusan yang menjadi
fenomena baru yang kemudian menjadi arah penentu dinamika perkembangan
MA dimasa depan. Para muktamirin secara mayoritas menyetujui untuk
menambahkan dua lembaga baru, Dewan Pelindung dan Dewan Penasehat. Posisi
Dewan Pelindung dipegang oleh Adam Malik (Menteri Luar Negeri) dan Dewan
Penasehat oleh BM Diah (Menteri Penerangan) dan Baharsan ditunjuk sebagai
anggota Dewan Pelindung.
Lembaga penunjang lainnya seperti, Majlis Fatwa Wattabligh, Majlis
Pendidikan, Bagian Keorganisasian, dan terakhir Bagian Kepanduan (Pramuka).
merehabilitasi Masyumi, penolakan terhadap undang-undang pernikahan tahun 1973 dan penyatuan sistem pendidikan nasional dengan mengharuskan penggunaan satu kurikulum dan lainnya sebagainya.
70 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 31-32
53
64
Sedangkan M. Nur Atmadibrata dan tokoh-tokoh terpelajar MA (Banten) sebagai
Anggota Dewan Penasehat, masuknya tokoh politik “bukan MA” dalam struktur
organisasi MA disatu sisi dinilai sebagai strategi organisasi untuk mendapat akses
dalam pencarian dana operasional, sedangkan sisi lain disebut sebagai “periode
bulan madu” dalam membangun hubungan mutual antara pemerintah dan MA
yang berjuang bersama dalam meruntuhkan pemerintahan Seokarno dan melawan
kekuatan komunis.71
MA sebagai organisasi masyarakat (ormas) diawal pemerintahan Orde
Baru berpartisipasi untuk menciptakan kesejahteraan dan kemajuan bangsa
Indonesia. Sikap MA terhadap Orde Baru kemudian lebih akrab atau akomodatif
dengan harapan Ode Baru dapat menyetujui untuk bisa merehabilitasi Masyumi
yang akhirnya ditolak oleh Soeharto. Para tokoh MA dan organisasi keagamaan
lainnya membentuk Badan Koordinasi Amal Muslimin Indonesia (BKAMI).
Tahun 1967, tokoh MA dan sejumlah bekas pemimpin Masyumi atau ormas
keagamaan lainnya bergabung mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi)
sebagai wadah aspirasi ormas-ormas Islam seperti ; Muhammadiyah, Persis, PUI,
Al-Jamiatul Washliyah, Mathla’ul Anwar dan lain sebagainya.
Hubungan antara Parmusi dan MA mendorong Ketua Umum KH. Uwes
Abu Bakar dan tokoh-tokoh lainnya secara otomatis tarikan politiknya terbawa
dalam organisasi. Bahkan ketika itu, ketua umum menginstruksikan semua Dewan
Pengurus baik ditingkat provinsi maupun daerah pengurus MA untuk mendukung
dan mendirikan Dewan-Dewan Parmusi lokal diwilayah masing-masing. Dalam
71 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul
Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 77
54
65
waktu singkat, perkembangan cabang-cabang Parmusi diberbagai wilayah meluas,
dan kemudian MA menjadi bagian dari Parmusi.72
Kebijakan KH. Uwes Abu Bakar dalam membawa organisasi MA kedalam
afiliasi politik Parmusi dinilai telah menyalahi Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga (AD/ART) serta menghianati Khittah MA (sebagaimana dibahas
sebelumnya diatas) adalah organisasi yang independen non afiliasi politik.
Kebijakan KH. Uwes Abu Bakar terhadap organisasi menimbulkan reaksi
perlawanan seperti Komari Saleh SG yang menjabat sekretaris PBMA dan
koordinator Jawa Tengah bersama pengurus dan warga MA diberbagai provinsi
dan daerah untuk menuntut kembali ditariknya instruksi afiliasi politiknya di
Parmusi. Kemudian untuk menjaga kemaslahatan (kebaikan) organisasi MA, KH.
Uwes Abu Bakar menginstruksikan untuk kedua kalinya keseluruh pengurus MA
tidak harus mendukung Parmusi diatas kepentingan organisasi. Selanjutnya,
warga MA dibebaskan pilihan politiknya yang mereka kehendaki, dan KH. Uwes
Abu Bakar meminta maaf atas kekhilafannya baik secara tertulis maupun lisan
diseluruh pengurus MA. Dengan keputusan tersebut, MA memutuskan
hubungannya dengan Parmusi.73 Tahun 1973, Partai Parmusi kemudian
digabungkan atau difusikan oleh Presiden Soeharto menjadi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) sebagai wadah aspirasi politik Islam.74 Yang kemudian pada
perjalanannya MA pada kepemimpinan ketua umum Nafsirin Hadi dan tokoh-
72 Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin. 73 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul
Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 77. Selanjutnya lihat. Syibli Sarjaya dkk, Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 34
74 Musa Kazhim dan Alfian Hamzah, Lima Partai Islam Dalam Timbangan, Analis dan Prospek (Bandung: Pustaka Hidayah, Cet: 1, 1999), h. 96
55
66
tokoh lainya di Menes seperti Moh. Idjen dan KH. Abdul Wahid Sahari
memperlihatkan kecenderungan politiknya di partai PPP.75
Pada bulan September tahun 1973, KH. Uwes Abu Bakar berpulang
kerahmatullah secara mendadak. Selanjutnya, MA pada perkembangannya
memiliki orientasi politik MA yang baru dan semakin radikal. Sifat pluralistik
MA, akhirnya hilang setelah diganti oleh dua pemimpin yang terkenal sangat
radikal, yakni Muslim Abdurrahman yang pernah dipenjara beberapa bulan pada
masa Soekarno karena kedekatannya dengan pemipin DI/TII, dan Nafsirin Hadi.
Setelah tidak ada pemimpin MA yang moderat yakni KH. Uwes Abu Bakar, untuk
mengisi posisi Ketua Umum Pengurus Besar MA, selanjutnya dilaksanakan Rapat
Kerja Luar Biasa di Bandung. Pada kesempatan tersebut, memilih dan
menetapkan Muslim Abdurrahman sebagai ketua umum yang sebelumnya
menjabat ketua satu, di Perguruan Madrasah MA Pusat (Menes) pada kongres
1966 di Menes, kepemimpinannya bertahan selama setahun karena meninggal
dunia.
Kemudian, Nafsirin Hadi menggantikan posisi Muslim Abdurrahman
sebagai ketua umum. Menurut Didin Nurul Rosidin, bahwa Nafsirin Hadi dikenal
sebagai figur yang kuat mendukung menerapkan hukum Islam dan menolak
mengamalkan ideologi Pancasila, menurutnya, tidak saja dilarang oleh agama
tetapi membicarakannya juga haram.76
Tahun 1975, MA melaksanakan Muktamar ke-XII di Asrama Haji
Cempaka Putih Jakarta Pusat yang dibuka langsung oleh Menteri Agama RI, Prof.
75 Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin. 76 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul
Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 84-86
56
67
Dr. Mukti Ali. Hasil Muktamar Nafsirin Hadi terpilih sebagai ketua umum
PBMA. Terpilihnya Nafsirin Hadi sebagai tokoh penentang ideologi Pancasila
menghasilkan keputusan yang paradoks. Pertama, masuknya Pancasila menjadi
salah satu ideologi MA dalam AD/ART. Kedua, kuatnya intervensi pemerintah
dan militer dalam mengontrol MA. Ketiga, adanya pengrekrutan tokoh-tokoh MA
seperti M. Irsyad Djuwaeli dan yang lainnya menjadi pegawai pemerintah,
sedangkan Entol Burhani dan KH. Uyeh Balukiya merupakan aktor utama
dibelakang inklusi Pancasila sebagai dasar idelogi organisasi. Keempat, adalah
dorongan kuat dari BM Diah yang memiliki posisi sebagai anggota Dewan
Pengawas MA pertama yang diangkat pada kongres tahun1966.77
Keputusan tersebut diatas, menimbulkan reaksi kekecewaan para peserta
Muktamar yang kontra (tidak setuju) dengan melakukan walk out (keluar) dan
hanya meninggalkan sedikit peserta yang tersisa. Muktamar MA ke-XII selesai
tanpa mengadakan resepsi penutupan. Disamping itu, peserta Muktamar
menyepakati dihilangkannya badan-badan otonom dan bagian-bagian susunan
pengurus hasil Muktamar ke-XI dan hanya bidang Majlis Fatwa yang tersisa.
Sedangkan untuk para ketua terpilih menetapkan M. Irsyad Djuwaeli sebagai
Sekretaris Umum, Moh. Rifa’I Sekretaris 1, Moh. Idjen Sekretaris II, dan E.
Lukman Hakim Sekretaris III. Untuk jabatan bendahara ditetapkan BM. Diah
yang waktu itu dinyatakan sebagai pembantu penyandang dana untuk kegiatan
kesekretariatan. Damanhuri, M. Nahid Abdurrahman dan Hasan Muslihat sebagai
pembantu.
77 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul
Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 84
57
68
Suksesi penerimaan Pancasila yang dimasukan kedalam AD/ART MA
diikuti oleh perekrutan secara paksa wakil-wakil pemerintahan dalam
kepengurusan pusat MA. BM Diah yang berperan aktif dalam memaksa peserta
kongres untuk menerima beberapa orang seperti Yahya Nasution dan H.
Burhanuddin yang keduannya orang-orang pemerintah atau Golkar. Inklusifisasi
Pancasila kedalam AR/ART MA tidak dapat memperlemah para anggota MA.
Pertama, posisi tertinggi MA dipegang oleh orang-orang (Muslim Abdurrahman
dan Nafsirin Hadi) radikal sebagaimana diterangkan diatas. Kedua, tumbuhnya
radikalisme pandangan politik MA dengan datangnya guru-guru muda MA (tahun
1950-1960-an) yang merupakan para aktivis seperti, Boman Rukmantara, Saleh
As’ad (HMI), Abdul Salam Panji Gumilang (al-Zaitun) (GPI) dan Hudri Halim
(PII) mereka seringkali memobilisasi siswa dan pemuda MA menentang
kebijakan-kebijakan Orde Baru sebagai “poros utama anti Orde Baru, Golkar dan
Pancasila” di Menes.
Kemudian, sikap oposisi para pemimpin MA terhadap Orde Baru
berdampak luar biasa pada eksistensi dan marginalisasi organisasi oleh
pemerintah, termasuk kegagalan untuk menyelenggarakan Muktamar ke-XIII di
Lampung tahun 1980. Hal tersebut terjadi karena. Pertama, kurangnya komunikasi
antara pengurus MA di Provinsi dan Daerah. Kedua, banyaknya pengurus PBMA
yang berpulang kerahmatullah, seperti KH. A. Syahroni (ketua I), KH. M. Kholid
(ketua IV), KH. Damanhuri (anggota) dan H. Yahya Nasution (ketua III) yang
mengundurkan diri dari kepengurusan. Ketiga, adanya perbedaan pemahaman
keagamaan dan politik (Islam dan negara) di elit pengurus PBMA, sehingga
58
69
menyebabkan pemerintah Orde Baru tidak memberikan izin penyelenggaraan
Muktamar di Lampung. Kecuali, MA bersedia bergabung bersama Golkar dengan
imbalan akan diberikan dana sebesar Rp. 250 Juta, namun dana yang dijanjikan
pemerintah ditolak.78
Hal tersebut, menimbulkan konflik diinternal MA yang puncaknya terjadi
pemecatan M. Irsyad Djuawaeli sebagai Sekretaris Umum PBMA dan mengalami
pergantian sekjen sampai tiga kali antara lain oleh H. Nur Sanusi (Lampung) dan
H. Abdul Sahari (Menes). Karena dicopot dari posisinya di organisasi, M. Irsyad
Djuwaeli79 memobilisasi massa pendukung dari tingkat daerah dan provinsi akar
rumput (bawah) untuk menentang kepemimpinan ketua umum Nafsirin Hadi.
M. Irsyad Djuweli, yang mendapat dukungan penguasa Orde Baru untuk
melakukan “kudeta” gaya kepemimpinan radikal Nafsirin Hadi dari posisi ketua
umum PBMA. Hal tersebut selain menjadi alasan kelompok “oposisi” juga
kegagalan Nafsirin Hadi untuk melaksanakan Muktamar ke-XIII di Lampung dan
perbedaan orientasi politik PPP (Nafsirin Hadi, Moh. Idjen, H. Nur Sanusi, H.
Dhoifun Kepuh) dan Golkar (M. Irsyad Djuwaeli, Uyeh Balukiya, KH. Entol
Burhani, Imron Syuaidi), menyebabkan organisasi mengalami keadaan yang tidak
menentu (statis). Untuk menghidupkan kembali organisasi tokoh-tokoh MA yang
terdiri dari M. Irsyad Djuwaeli, KH. A. Syadli, M. Nahid Abdurrahman, H. Mubin
78 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 75 79 M. Irsyad Djuwaeli, telah aktif di Golkar sejak tahun 1970-an dan meminta dukungan
pemerintah Orde Baru dan tokoh-tokoh militer dibawah bendera GUPII seperti mantan Jenderal Alamsyah Ratu Prawiranegara (mantan Menteri Agama tahun 1978-1983) dan mantan Jenderal Ibnu Hartomo (adik Ibu Tien Soeharto) untuk melakukan “kudeta” kepemimpinan Nafsirin Hadi. Lihat. Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 87. Selanjutnya Lihat Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 36-37
59
70
Arshudin, H. Chowasi Mandala dan H. Aim, mereka menemui ketua umum untuk
segera dilaksanakannya Muktamar ke-XIII, namun usulan tersebut kemudian
ditolak oleh ketua umum.
Kemudian, dibentuklah panitia yang terdiri dari M. Irsyad Djuwaeli cs
untuk mempersiapkan pelaksanaan Muktamar ke-XIII di Menes, tanpa restu dari
ketua umum Nafsirin Hadi.80 Tahun 1980, Muktamar ke-XIII berhasil
dilaksanakan di Menes dengan menetapkan KH. Entol Burhani sebagai ketua
umum baru menggantikan Nafsirin Hadi dan kembali naiknya M. Irsyad Djuwaeli
sebagai sekretaris umum. Kuatnya intervensi Orde Baru dan Militer menyebabkan
ketua umum Nafsirin Hadi dan tokoh-tokoh anti pemerintah Orde Baru tidak bisa
mengikuti acara Muktamar. 81
Tahun 1985, Muktamar MA ke-XIV di Jakarta, menetapkan M. Irsyad
Djuwaeli sebagai ketua umum terpilih menggantikan KH. Entol Burhani.
Keputusan Muktamar memutuskan untuk menerima Pancasila sebagai salah satu
asas selain Islam yang dituangkan kedalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga (AD/ART). Keputusan tersebut menimbulkan perpecahan di internal MA
antara yang menerima dan menolak yang puncaknya terjadi pemecatan pengurus
PBMA seperti Moh. Idjen, KH, Abdul Wahid Sahari yang kemudian mendirikan
80 Sebelum Muktamar, Nafsirin Hadi telah memberikan surat keputusan kepada Entol
Burhani atas nama ketua umum dengan mandat khusus untuk mengambil langkah-langkah penting dalam persiapan Muktamar, surat itu salah satunya berisi penolakannya atas pelantikan kembali M. Irsyad Djuwaeli sebagai Sekretaris Umum PBMA dan penunjukan Muhammad Amin sebagai ketua kedua. Namun, surat tersebut diabaikan oleh M. Irsyad Djuwaeli cs. Lihat. Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 108
81 Penjagaan ketat yang dilakukan oleh militer di sekitar acara Muktamar ke-XIII di Menes menyebakan beberapa tokoh-tokoh MA yang di cap “pembangkang” pemerintah dicekal dan di asingkan kemudian dipecat, walaupun mereka sudah berada disekitar Menes. Tetapi, tidak diperbolehkan memasuki atau mengikuti acara Muktamar sebagaimana yang dialami oleh Nafsirin Hadi (ketua umum). Wawancara Pribadi dengan Mohammad Idjen.
60
71
madrasah al-Islah yang dikelola secara independen dan keluar dari struktur
Perguruan MA-Pusat.82
Menurut Syibli Sarjaya, keputusan Muktamar XIV (1985) merupakan
keputusan paling berani dan kontroversial dalam sejarah perjalanan MA. Pertama,
penerimaan Asas Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi UU Keormasan
No. 81 tahun 1985.83Kedua, MA secara tegas mendeklarasikan Soeharto sebagai
”Bapak Pembangunan”.84 Ketiga, secara deklaratif mendeklarasikan dukungannya
untuk mendukung Golkar dalam pemilihan umum tahu 1987.85 Keempat,
perekrutan tokoh-tokoh Golkar seperti, Alamsyah Ratu Prawiranegara (Menteri
Agama tahun 1978-1983), Ibnu Hartomo dan Moes Joenoes menjadi Dewan
Pembina, dalam struktur kepengurusan PBMA yang secara eksklusif lebih
diutamakan adalah orang yang berkedudukan pegawai pemerintahan atau pejabat
seperti, Adam Malik dan BM. Diah yang posisi sebelumnya berada ditangan kiyai
dan tokoh “asli” MA.
Secara makro, dinamika perjalanan organisasi pada perkembangannya dan
penyebarannya menggunakan fasilitas Partai Golkar di seluruh daerah-daerah di
Indonesia. M. Irsyad Djuwaeli sebagai salah satu tokoh Partai Golkar
menginstruksikan berbagai pengurus Partai Golkar diberbagai daerah dan provinsi
untuk mendirikan cabang-cabang madrasah MA dan pengurus MA. Pertama, MA
memanfaatkan pengaruh Alamsyah Ratu Prawiranegara dalam menarik
82 Wawancara Pribadi dengan KH. Abdul Wahid Sahari. 83 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 38 84 Gelar Bapak Pembangunan merupakan bentuk apresiasi terhadap Presiden Soeharto
atas pembangunan dalam bidang sosial budaya, ekonomi dan politik. Lihat. Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983), h. 76
85 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 111
61
72
pemimpin-pemimpin besar regional untuk mendukung pendirian cabang-
cabangnya didaerah mereka dengan diberikan bantuan keuangan. Kedua, MA
sebagai salah satu pendukung utama Partai Golkar, menggunakan jaringan partai
untuk mempengaruhi basis di tingkat daerah tradisionalnya untuk memperkuat
Golkar. Ketiga, adalah menggunakan jaringan Departemen Agama (sekarang
Kemenag) yang memberikan jaminan para pegawai lokal departemen tersebut
untuk membantu memperluas MA. Sedangkan untuk gedung atau kantor
sementara bergabung (MA dan Golkar) di kantor Dewan Perwakilan Daerah
Partai Golkar.86 Hal tersebut, sangat berbeda apa yang dilakukan oleh para senior
MA (Mas Abdurrahman dan KH. Entol Yasin) dalam pengembangan MA
diberbagai daerah dan provinsi dengan mengirimkan para alumni atau lulusan
madrasah MA untuk mendirikan madrasah dan cabang-cabang MA di seluruh
Indonesia.
MA pada Pemilihan Umum (pemilu) tahun 1987, sebagaimana hasil
Muktamar MA ke-XIV (1985) menyepakati untuk menyalurkan aspirasi
politiknya di Partai Golkar. Walaupun secara deklararatif tidak tertulis, tetapi MA
siap mendukung dan memenangkan Golkar. Keputusan untuk menyalurkan
aspirasi politiknya secara struktural di Partai Golkar telah memberikan
kesempatan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli dalam Pemilu 1992 menjadi anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).87
Kemudian, pada Muktamar ke-XV tahun 1996 di Jakarta, kebijakan dan
aspirasi politik MA yang diambil tidak jauh berbeda dari sebelumnya, dimana
86 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen. 87 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 78
62
73
Golkar menjadi pilihan untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Keputusan ini
diambil dipengaruhi oleh kuatnya kecenderungan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli
sebagai fungsionaris Golkar dan untuk strategi dalam mendapatkan segala fasilitas
maupun dana material, sehigga secara pragmatis tidak sulit dalam melakukan
mobilisasi massa MA untuk kepentingannya di Golkar.88 Sedangkan, bagi mereka
yang aktif di PPP dan non-politik menolak bergabung bersama Golkar kemudian
dikucilkan dan memilih untuk tidak aktif dalam organisasi MA, bahkan sebagian
dari mereka keluar dan dipecat.89
Pada pemilu tahun 1997, dukungan diberikan lewat kampanye-kampanye
yang menggiring warga MA kepada Golkar diberbagai daerah dan provinsi.
Kampanye dilakukan selain terbuka juga terselubung dalam forum-forum seperti,
pengajian, Majlis Ta’lim, pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah dan lain
sebagainya. Peristiwa tersebut, menandai kembalinya sikap politik yang mendua
di satu sisi MA menyatakan independen dari partai politik manapun tetapi di sisi
lain justru seperti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ketergantungan
Golkar.
Sejarah perjalanan MA dengan segala bentuk kemajuan dan
kemundurannya. Secara kuantitas, pada kepemimpinan M. Irsyad Djuwaeli, MA
berhasil menyebarkan pengurus di daerah dan provinsi di Indonesia. MA
sebelumnya berkembang di tiga wilayah seperti: Banten, Jawa Barat dan
Lampung. Berbagai terobosan dilakukan lewat “kendaraan Golkar” selain untuk
88 Wawancara Pribadi dengan Herman Fauzi, Menes, 14 Juni 2010 89 Diantara tokoh MA yang tidak setuju dengan kebijakan mendukung Golkar,
diantaranya KH. Abdul Wahid Sahari (Menes), Mohammad Idjen (Menes) dan tokoh-tokoh lain nya. Mereka selain melakukan penentangan dan memberikan pemahaman pada warga MA bahwa apa yang dilakukan dalam politik praktis telah menyalahi Khittah dan misi didirikannya MA.
63
74
kepentingan pribadi dan kelompok, juga telah berpengaruh terhadap keberhasilan
organisasi MA dalam pembangunan Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA),
sebagai satu-satunya milik MA di Indonesia yang berlokasi di Cikaliung Menes
tahun 1993. Lembaga-lembaga pendidikan (madrasah) yang sebelumnya
menurunkan papan nama dan aktivitasnya dapat bangkit kembali secara perlahan-
lahan, organisasi penunjang lainya mulai bangkit melakukan aktivitasnya, seperti
bangkitnya kembali organisasi pemuda melalui Generasi Muda Mathla’ul Anwar
(GEMA-MA), Muslimat Mathla’ul Anwar (MMA) dan kegiatan Majelis Fatwa.90
90 Wawancara Pribadi dengan H. A. Shihabudin, Menes, 4 Agustus 2010.
64
75
BAB IV
MATHLA’UL ANWAR DALAM KONSTELASI POLITIK
NASIONAL PASCA ORDE BARU
A. Realitas Politik Mathla’ul Anwar Pasca Orde Baru
Runtuhnya rezim Orde Baru ditandai dengan mundurnya Presiden
Soeharto pada 21 Mei 1998, yang kemudian digantikan B.J. Habibi sebagai
Presiden keempat Republik Indonesia (RI), dan selanjutnya digantikan
Abdurrahman Wahid yang terpilih sebagai Presiden dalam Sidang Umum Majlis
Permusyawaratan Rakyat (SU MPR) tanggal 20 Oktober tahun 1999. Kemudian,
proses transisi ke arah demokratisasi yang lebih otentik di Indonesia yang
sebelumnya terpenjarakan selama 32 tahun rezim Soeharto.91 Perubahan politik di
Indonesia di era reformasi khususnya kebebasan ekspresi politik yang diwujudkan
dengan adanya sistem multipartai pada pemilihan umum (pemilu) tahun 1999
langsung, secara luber jurdil (jujur, adil, bebas, dan rahasia).
Selain itu, kekuasaan negara dan ideologi Pancasila di era reformasi tidak
lagi menjadi momok yang menakutkan bagi organisasi masyarakat (ormas) dan
partai politik yang sebelumnya secara ketat dikontrol oleh Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1985 Pasal 2 tentang organisasi kemasyarakatan berasaskan
Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Proses hegemoni ideologi Pancasila tidak hanya ditempuh melaui
cara-cara legalistik, tetapi juga melalui sistem pendidikan. Penataran P4
91 Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut Hubungan Antar
Umat., ed. Idris Thaha (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, Cet: 1, 2002), h. 20
65
76
(pendidikan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) adalah program yang
disponsori negara untuk mendidik seluruh lapisan masyarakat memahami ideologi
dan interpertasi resmi negara untuk menjamin keseragaman pemahaman Pancasila
sebagai ideologi negara.
Organisasi masyarakat (ormas) atau keagamaan merupakan salah satu
bentuk pengorganisasian masyarakat sipil yang berlandaskan pada prinsip
demokrasi, kemitraan, keswadayaan, dan partisipasi publik. Selain itu, ormas
sebagai wadah dalam menyalurkan aspirasi kepedulian, kesadaran sosial dan
politik masyarakat. Ormas-ormas nonpolitik memiliki peran penting sebagai
penengah dan jembatan untuk kepentingan antara masyarakat pada satu pihak
dengan negara pada pihak lain.
Menurut Azyumardi Azra92 dan Bachtiar Effendi93 bahwa organisasi sosial
keagamaan di era reformasi seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU),
Mathla’ul Anwar (MA), al-Washliyah, Perti, Persis, Nahdlatul Wathan, Darud-
Dakwah wal-Irsyad, al-Khairat, Hidayatullah dan lain sebagainya, mengalami
penurunan dan kehilangan daya tarik terhadap peranannya dalam merespon
masalah-masalah keumatan dan kebangsaan. Jika pada masa Orde Baru,
organisasi keagamaan atau kultural dilarang terlibat dalam politik praktis justeru
sangat besar kontribusi sosialnya seperti pembangunan madrasah, pesantren,
rumah sakit dan bidang-bidang sosial yang lainnya. Selain organisasi keagamaan
mengalami penurunan dalam bidang kultural juga terjadinya demoralisasi para elit
92 Azyumardi Azra, “Islam: Politik dan Kultural,” artikel diakses pada 12 Agustus dari
http:// www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel/834-islam-politik-dan-kultural-.pdf 93 Bachtiar Effendi, “Tokoh Agama Tak Lagi Didengar,” artikel diakses pada 12 Agustus
dari http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=47286
66
77
organisasi keagamaan yang terjebak dalam kepentingan politik praktis dalam
konstelasi politik Nasional, Daerah maupun Provinsi yang menyebabkan adanya
stigmatisasi buruk terhadap eksistensi organisasi keagamaan.
Hal tersebut, sebagaimana yang terjadi secara realitas pada organisasi
Mathla’ul Anwar (MA) sebagai salah satu organisasi keagamaan atau kultural
(pendidikan, dakwah dan sosial) mengalami penurunan dalam merespon
permasalahan keumatan, kebangsaan dan kenegaraan. Terlebih, para elit MA
masih menyatakan dukungannya kepada Partai Golkar beberapa bulan setelah
lengsernya Soeharto. Karena, proses konsolidasi yang dilakukan oleh organisasi
MA terperangkap dalam skenario reformasi semu yang diperankan para elitnya.
Dimana adanya proses dualisme antara kepentingan kultural dan politik, karena
tidak ada upaya dari para elit MA untuk menarik diri dan menjaga jarak dengan
sisa-sisa kekuatan Orde Baru dan Golkar.94
Untuk menjaga independensi organisasi agar tidak terjebak pragmatisme
politik, Muktamar MA ke-XVI pada 26-30 Oktober 2001 di Bojolali, Jawa
Tengah.95 Organisasi MA menegaskan perjuangannya dalam bidang pendidikan,
dakwah dan sosial sebagai fokus gerakannya untuk meningkatkan mutu dan
94 Tahun 1998, MA mengeluarkan statemen moral untuk memaafkan dosa-dosa Soeharto
dan menghukum mereka yang menyakitinya, yang ditanda tangani M. Irsyad Djuwaeli dan Usep Fathudin (Golkar). Tahun 1999, sejumlah madrasah MA diberbagai daerah di Banten Selatan seperti Pandeglang, Ujung Jaya, dan cabang Madrasah MA di Indramayu dan Cirebon menghentikan operasinya, akibat ketua umum Irsyad Djuwaeli tidak responsif terhadap aspirasi dana pendamping biaya operasional pendidikan. Tahun 2000-2003 para elit MA mendukung pembentukan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,” (Disertasi Leiden University: T.pn., 2007), h. 152-156. Selanjutnya lihat. “Tutut, Siapa Capres Yang Bakal Kau Contreng,” artikel diakses pada 13 September 2010 dari http://www.indonesia-monitor.com/main /index.php? option=com_content &task=view&id=1494&Itemid=33
95 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 48
67
78
kualitas kehidupan bangsa dan negara dengan keputusan “untuk tidak berafiliasi
lagi dengan partai politik apapun”, dan menetapkan M. Irsyad Djuwaeli sebagai
ketua umum MA untuk ketiga kalinya periode 2001-2005.
Keputusan Muktamar tersebut, secara kelembagaan memberikan
kebebasan terhadap pilihan politik dan menumbuhkan optimisme para kader dan
warga MA khsususnya di Daerah Menes-Banten dan wilayah lainnya dalam
menyalurkan aspirasi politiknya tanpa diskriminasi dari para elit MA (tidak
seperti di era Orde Baru). Nilai-nilai keterbukaan dan independensi yang
diperjuangkan walaupun tidak seratus persen, merupakan sesuatu yang positif
bagi perkembangan dan kemajuan organisasi MA dalam medistribusikan para
kader untuk menggunakan “kendaraan” manapun sebagai alat penyalur aspirasi
politiknya yang sesuai dengan AD/ART yang menyatakan tidak boleh membawa
kepentingan pribadi dan partai politik kedalam organisasi MA, tetapi sebaliknya
untuk kepentingan organisasi MA.96
Menurut Ali Nurdin,97 perubahan paradigma organisasi MA di era
reformasi selain memberikan peluang organisasi untuk menata dan melakukan
instrospeksi diri yang sebelumnya afiliasi para elitnya terpusat di partai Golkar.
Pertama, perubahan orientasi politik MA sebelumnya mengalami ekslusivisme
politik dan stigmatisasi negatif ketika segala keburukan Orde Baru yang
disandarkan pada Golkar berdampak pada MA sendiri. Kedua, menumbuhkan
semangat dan memperkuat inklusivisme organisasi, para anggota MA diberikan
keleluasan untuk aktif dipartai politik manapun yang sesuai dengan hati
96 Wawancara Pribadi dengan Ketua PBMA KH. Ahmad Sadeli Karim. Menes, 7 Agustus 2010.
97 Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin, Ciputat, 20 Mei 2010.
68
79
nuraninya, terutama yang memperjuangkan kesejahteraan dan tegaknya keadilan.
Ketiga, menjaga eksistensi organisasi yang bergerak dalam bidang kultural.
Namun, menurut Mohammad Zen,98 walaupun organisasi MA menyatakan
independen (mandiri tanpa adanya ketergantungan) dan tidak lagi berafiliasi
dengan partai politik. Tetapi, secara realitas tidak ditunjukan oleh ketua umum M.
Irysad Djuwaeli dan tokoh-tokoh lainnya yang masih mendominasi untuk
membawa kepentingan diri dan kelompok (Golkar) di atas kepentingan organisasi
MA. Misalnya, seperti yang terjadi pada acara perayaan Hari Ulang Tahun (HUT)
MA ke-87, dan Rapat Kerja Nasional (rakernas) Pengurus Besar Mathla’ul Anwar
(PBMA) tanggal 28-30 Mei 2004 di Bandar Lampung.
Kebijakan-kebijakan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli yang dinilai terlalu
“politis” memaksakan kehendaknya dengan memutuskan dan mendeklarasikan
diri (tetapi secara organisasi tidak) secara sepihak membawa organisasi MA untuk
menyalurkan aspirasi politiknya yang kemudian menginstruksikan kepada
pengurus MA yang ada di daerah dan provinsi untuk menjadi pendukung (tim
sukses) pasangan Presiden dan Wakil Presiden H. Wiranto dan Salahuddin Wahid
pada pemilihan umum (pemilu) tahun 2004.99 Keputusan tersebut, selain
menimbulkan reaksi keras dari para pengurus MA yang berbeda partai maupun
non partai yang diakibatkan oleh sikap kepemimpinan M. Irsyad Djuwaeli yang
dinilai otoriter dan arogan, bahkan tidak segan-segan melakukan pengusiran
98 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen, Ciputat, 17 Mei 2010. 99 Kebijakan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli selain mengajurkan pilihan politiknya
untuk pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid, juga memberikan waktu orasi politik Wiranto pada acara Rekernas dan HUT MA ke-87 di Lampung. Sehingga membuat para peserta kecewa dengan sikap Ketua Umum yang dinilai hanya mementingkan karir politiknya.
69
80
peserta atau pengurus didalam forum (acara HUT dan Rakernas MA) bagi mereka
yang menolak “syahwat” politiknya.100
Hal tersebut terjadi, selain untuk kepentingan pribadi (M. Irsyad Djuwaeli)
dan kelompok, juga karena kuatnya cengkraman elit Golkar yang mempunyai
kepentingan untuk menjaga massa yang begitu besar dari MA. Langkah yang
dilakukan Golkar adalah mendekati dan mempertahankan beberapa elit di tubuh
MA untuk tetap masuk kedalam Partai Golkar. Asumsi yang dipakai adalah
dengan istilah “ekor mengikuti kepala” dimana pilihan politik individu warga
suatu organisasi keagamaan akan ditentukan atau disinyalir akan sama dengan
pilihan politik organisasi atau pemimpinnya. Sehingga asumsi yang dibangun
kemudian dapat diterima, khususnya para pemilih (Partai Golkar) yang memiliki
kedekatan emosional yang kuat dengan organisasi keagamaan dan pemimpinnya
dapat menjaga hubungan yang telah lama dibangun sejak munculnya Orde Baru
sampai pasca Orde Baru tetap terpelihara.
Hubungan historis dengan Golkar dan ikatan emosional para elit yang
masih ada dalam struktural organisasi MA yang berkiprah di dunia politik
menyebabkan konsentrasinya bercabang dua; pendidikan keagamaan dan politik
kenegaraan. Tentunya, sebagai sebuah kekuatan politik yang mapan Golkar bukan
tidak mungkin menarik dan mempertahankan massa untuk memperkuat posisi
para elit organisasi keagamaan di partai Golkar pasca runtuhnya Soeharto.
Kemudian, sistem dalam tubuh MA telah melanggengkan hubungan yang
harmonis antara elit MA dengan Partai Golkar. Sehingga menyebabkan para elit
100 Mohammad Zen, ”Diusir dari Sidang Mathla’ul Anwar,” artikel diakses pada 13 September 2010 dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/06/21/SRT/mbm.20040621 SRT92296.id.html
70
81
MA non partisan seperti akademisi dan lain sebagainya tidak dapat menembus
sistem yang telah terbentuk, hal ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar 2.101
Harmonisasi Mathla’ul Anwar dan Partai Golkar
Proses harmonisasi hubungan simbiosis mutualisme antara MA dan Partai
Golkar terjadi akibat tidak adanya ketegasan (sanksi) dari organisasi MA untuk
merealisasikan peraturan-peraturan (AD/ART) bagi para elit-elit MA yang
memiliki kepengurusan ganda, menjadi pengurus MA dan pengurus di partai
politik (Golkar). Kondisi tersebut secara tidak langsung telah melegitimasi para
elit untuk menjadi pengurus partai politik yang lebih dominan. Sementara garis
demarkasi yang terlihat di gambar tidak dapat ditembus oleh para elit non
partisan, mengingat akan terjadinya pergeseran ketika elit-elit yang tidak memiliki
afiliasi politik tidak dapat menembus garis tersebut yang akan dapat merombak
atau merubah sistem yang telah lama terbentuk antara MA dan Partai Golkar.
101 Hardi Putra Wirman, “Menakar Peran Politik Organisasi Sosial Keagamaan di
Sumatera Barat Pasca Orde Baru Studi Kasus Muhammadiyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, ” artikel diakses pada 10 September 2010 dari http://dualmode.depag.go.id/acis09/file/dokumen/ HardiPutraWirman.pdf
Harmonisasi di tubuh MA dengan Partai Golkar
Elit yang terlibat dalam partai Golkar
Elit non partisan terdiri dari para akademisi dan lain sebagainya
…Elit yang masuk dalam Partai Golkar seakan-akan tidak tersentuh oleh elit non partisan, sehingga terjadi harmonisasi di tubuh MA. Elit non partisan dan lainnya tidak dapat menyentuh sistem yang telah dibuat oleh elit partai dan elit pengurus MA. Tidak terjadinya pergeseran yang dilakukan oleh elit masa terhadap elit.
71
82
Selain itu, tidak adanya ketegasan dari organisasi MA menyebabkan
kondisi tersebut memperkuat legitimasi adanya “proses pembenaran”102 para elit
MA untuk tetap aktif di partai politik (Golkar) yang secara tidak langsung adanya
stigmatisasi buruk terhadap organisasi MA. Walaupun, aspirasi warga MA yang
non partisan menginginkan agar organisasi untuk tetap menjaga independensinya.
Namun, kondisi tersebut terkadang berbenturan dengan kuatnya kepentingan
politis para elit MA yang menjadi pengurus partai politik, justeru melegitimasi
diri dengan menyatakan yang mereka lakukan merupakan bagian dari hak asasi
dari individu-individu di organisasi MA.
Meskipun demikian, sikap oposisi dari kaum idealis atau non partisan
diberbagai daerah dan provinsi yang menuntut ketua umum M. Irsyad Djuwaeli
dan elit-elit MA (Golkar) untuk menghormati dan memberikan keleluasan
terhadap pilihan dan aspirasi politik para kader MA yang aktif diberbagai partai
politik (selain Golkar) dan organisasi lainnya. Sebagaimana kebebasan dalam
menyalurkan aspirasi politik merupakan hasil keputusan Muktamar MA ke-XVI
2001. Kuatnya aspirasi para kader untuk diberikan kebebasan menyalurkan
aspirasi politik, maka aspirasi tersebut kemudian akhirnya diberikan oleh para elit
MA untuk para kader yang aktif di partai politik dan organisasi lainnya, diberikan
keleluasan pilihan politiknya pada putaran kedua pemilu 2004 (untuk putaran
pertama warga MA disarankan memilih pasangan H. Wiranto dan Salahuddin
Wahid). Selain itu, untuk memberikan kesempatan dan keleluasan warga MA
102 Wawancara Pribadi dengan KH. Wahid Sahari, Mantan Ketua Majlis Fatwa PBMA
Menes, 07 Agustus 2010.
72
83
yang mencalonkan diri di partai politik selain Golkar untuk menjadi wakil rakyat
baik ditingkat Legislativ maupun di Eksekutiv.
Kebebasan dan keleluasan untuk menyalurkan aspirasi politik pada
akhirnya membuahkan hasil khususnya bagi para kader MA untuk mencalonkan
diri di partai manapun. Para kader MA yang mendapat kesempatan duduk di
Eksekutiv diantaranya adalah Andung Nitiharja (2004) sebagai Menteri
Perindustrian pada kabinet Indonesia Bersatu, sementara kader-kader MA yang
duduk di DPR RI adalah ketua umum organisasi Mathla’ul Anwar (MA) yakni M.
Irsyad Djuwaeli (2004), Ali Yahya dan Usep Fathuddin menjadi anggota MPR RI
(Fraksi Golkar-2004) yang ketiganya dari partai Golkar, Jajuli Juwaeni dari Partai
Keadilan Sejahtera (2004-2010). Sedangkan untuk tingkat provinsi Banten dari
PKS dan Partai Bulan Bintang (PBB) adalah KH. Sadeli Karim (2004), Mas’a
Toyib (2004), Asnin Syafiuddin dan Jaenal Abibin Suja’i (2004), Bueti Nasir,
Saris Priada Rahmat dan Babay Sujawandi dari Partai Bintang Reformasi (PBR-
2004).
Untuk tingkat Kabupaten Pandeglang dan Serang adalah HM. Acang
(2004-2010) dari Partai Golkar dan menjabat sebagai anggota DPRD, Aksan
Sukroni dari Partai Amanah Nasional (PAN-2004)), Ace Zaenal Sholihin (PKS-
2004), A. Baehaqi (PBB-2004) dan Wahyudin Wahab (PBR-2004). Sedangkan
ditingkat Kabupaten Serang terdapat tiga orang kader MA, yaitu H. Daifun dari
Partai Persatua Pembangunan (PPP-2004) dan A. Basuni dari PAN, Mohammad
73
84
Idjen (2004) anggota DPRD dari Fraksi PPP dan terakhir Ratu Tatu Chasanah
(Wakil Bupati Serang periode 2010-2015).103
Realitas orietasi politik MA sebagaimana di atas, mengalami perubahan
yang lebih akomodatif dari para elit MA untuk mentoleransi bagi anggota yang
non Golkar maupun non partai. Sehingga anggota MA di era reformasi memiliki
kebebasan dan keleluasan untuk menyalurkan aspirasi politiknya tidak hanya di
satu partai maupun organisasi kemasyarakatn lainnya. Keleluasan dan kebebasan
politik pada perkembangannya mendapat banyak keuntungan bagi organisasi MA
yang lebih terbuka dan tidak lagi adanya stigmatisasi buruk. Selain itu, adanya
kepedulian dari anggota dan warga MA untuk melakukan dan menata kembali
kehidupan organisasi yang lebih maju dalam bidang kultural. Sehingga, beberapa
anggota MA yang duduk dalam pemerintahan dapat membantu masalah
pendanaan (sumbangan anggota) dan memperluas jaringan organisasi untuk
meningkatkan kesejahteraan anggota dan pembangunan masyarakat.
B. Hubungan Mathla’ul Anwar Dengan Partai Politik
Sesuai dengan rencana, tahun 2005 MA melaksanakan Muktamar ke-XVII
dan Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) yang ke-89, di Pondok Gede Jakarta,
dengan tema ”Revitalisasi Mathla’ul Anwar melalui tiga amal: Konsolidasi
organisasi, Pendidikan, Dakwah dan Sosial (ekonomi)”. Muktamar secara resmi
dibuka oleh Wakil Presiden RI. H. Muhammad Jusuf Kalla, dan ditutup oleh
Ketua DPR RI H. R. Agung Laksono. Pada Muktamar MA ke-XVII, menetapkan
103 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Idjen, Menes, 03 Agustus 2010. Selanjutnya lihat. Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 59-60
74
85
M. Irsyad Djuwaeli sebagai Ketua Umum PBMA untuk keempat kalinya periode
2005-2010. Keputusan Muktamar MA ke-XVII, tidak menghasilkan keputusan
yang signifikan dan tidak jauh berbeda dengan hasil Muktamar tahun 2001 (ke-
XVII) yang memfokuskan gerakannya dalam bidang kultural yang bersifat
independent.
Menurut Herman Fauzi,104 terpilihnya kembali M. Irsyad Djuwaeli
menjadi ketua umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (PBMA) adalah: Pertama,
proses kaderisasi ditubuh organisasi MA pada kepemimpinan M. Irsyad Djuwaeli
selama lima belas tahun tidak berjalan dan cenderung eksklusiv (tertutup), hanya
boleh dipegang oleh orang-orang dilingkungan ”Pemerintah dan Golkar”. Kedua,
tidak adanya peraturan baik dalam AD/ART maupun Khittah MA (1916) yang
menyatakan untuk berapakali periode seorang boleh menjadi Ketua Umum.
Ketiga, sosok M. Irsyad Djuwaeli memiliki peran politik yang cukup besar
utamanya dalam menyebarkan perkembangan MA di seluruh daerah dan provinsi
di Indonesia (lihat Bab III). Selain itu, posisinya yang terhormat dan kharismatik
menyebabkan dia mampu untuk mempengaruhi dan menggerakkan aksi atau
tanggapan (kritik) emosional warga MA sesuai dengan kepentingannya. Keempat,
memiliki kekuatan baik secara finansial maupun jaringan diinternal dan eksternal
(pemerintah), sehingga cukup menjadi alasan baginya untuk tidak memberikan
peluang bagi orang lain menggantikan posisinya.
Sedangkan menurut Syihabudin,105 sebelumnya sudah ada keinginan dari
M. Irsyad Djuwaeli untuk tidak mencalonkan kembali dirinya menjadi Ketua
104 Wawancara Pribadi dengan Herman Fauzi, Menes, 14 Juni 2010 105 Wawancara Pribadi dengan H. A. Shihabudin, Menes, 4 Agustus 2010.
75
86
Umum. Pertama, adanya aspirasi dari Pengurus Daerah, Provinsi dan warga MA
untuk mencalonkan kembali dirinya sebagai Ketua Umum PBMA periode 2005-
2010, yang dinilai oleh beberapa kalangan pada kepemimpinannya cukup berhasil
dalam membangun dan mengembangkan organisasi. Kedua, sebagai strategi untuk
mencekal atau menghambat calon lain, karena sebagian dari Pengurus Daerah
(khusus Banten) MA yang mengkhawatirkan dan keberatan apabila posisi Ketua
Umum PBMA di pegang oleh dan dari kandidat lain yang mencalonkan diri
seperti AS Panji Gumilang (Ma’had Al-Zaytun), yang memiliki kekuatan yang
cukup kuat secara finansial, tetapi pemahaman keagamaan “Islam” dan
“kenegaraannya” yang dinilai berbeda dengan mayoritas warga MA sendiri.
Kemudian, untuk menghambat lolosnya Panji Gumilang menjadi Ketua Umum
adalah melawan M. Irsyad Djuwaeli yang menjabat (icumbent) Ketua Umum
PBMA memiliki massa pendukung dan berpengalaman.
Selajutnya, M. Irsyad Djuwaeli selain sebagai Ketua Umum PBMA dan
juga di DPP Partai Golkar sebagai Ketua Bidang Kerohanian, mempunyai ambisi
yang cukup kuat untuk memperbesar kekuasaan yang puncaknya pada tahun 2006,
Irsyad mencalonkan diri menjadi Calon Gubernur dengan menggandeng Mas
Achmad Daniri sebagai Wakil Gubernur dari kalangan pengusaha pada Pemilihan
Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi Banten 2006.106
Pencalonan Irsyad dalam Pilgub Banten di 2006 mendapat Rekomendasi
DPP Partai Demokrat (PD) dan DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
106Awalnya Provinsi Banten adalah bagian dari Provinsi Jawa Barat. Sejak 4 Oktober
2000, Banten berdiri sendiri menjadi provinsi. Provinsi Banten terdiri dari empat kabupaten Serang, Tangerang, Pandeglang dan Lebak dan dua kotamadya Tangerang dan Cilegon. Lihat. Aat Royhatudin, ”Keterlibatan Jawara Dalam Pembentukan Provinsi Banten,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 2
76
87
Sedangkan Partai Golkar yang justeru sebagai ”kendaraan” politik yang telah
mengantarkannya menjadi Anggota DPR RI dalam Pemilu tahun 1992 dan 2004
tidak merestui dan menonaktifkan Irsyad dari DPR RI dari Golkar. Selain itu,
keputusan hasil seleksi akhir diinternal Golkar dalam menentukan kandidat Pilgub
Banten justeru pilihannya pada Ratu Atut Chosiyah (Plt Gubernur) yang dinilai
secara politis lebih kuat baik secara finansial maupun jaringan yang sebelumnya pada
2001 menjabat sebagai Wakil Gubernur pada kepemimpinan Gubernur Djoko
Munandar (PPP).
Kemudian, setelah melalui berbagai seleksi dan verifikasi oleh KPUD,
akhirnya pada tanggal 3 Oktober 2006 sebagaimana tertuang dalam SK KPU
Banten nomor 15/Kep-KPUD/2006, KPUD menetapkan 4 pasang calon untuk
Pilgub Banten 2006.107 Pasangan M. Irsyad Djuwaeli- Achmad Daniri, walaupun
tidak didukung oleh Partai Golkar dalam momentum Pemilukada 2006, tetapi
pada dasarnya ia memiliki basis massa pendukung diakar rumput dari Pengurus
Mathla’ul Anwar (MA) Banten yang secara kuantitas paling besar konstituen dan
lembaga pendidikannya dibandingkan Daerah dan Provinsi lain sebagai modal
kekuatan politiknya.
Selain itu, Irsyad pun membentuk Laskar Muda Banten (LMB) yang
dipersiapkan sebagai salah satu mesin politiknya untuk memobilisasi massa
ditingkat bawah. Partisipasi politik atau dukungan di internal MA sendiri tidak
107 Susunan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Pilgub Banten 2006 dan Partai Pendukung dan Jumlah Kursi di DPRD. (1). Trjana Sam’un-Benyamin (PAN, 4 Kursi-PPP, 8 Kursi). (2) Ratu Atut Chosiyah-Masduki (Partai Golkar, 16 Kursi, PDIP, 10 Kursi, PBR, 5 Kursi, PBB, 3 Kursi, PDS, 2 Kursi, PKPB, 1 Kusi). (3). M. Irsyad Djuwaeli-Achmad Daniri (Partai Demokrat, 9 Kursi, PKB, 5 Kursi). Lihat. Laporan Penelitian “Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Provinsi Banten Tahun 2006 Regenerasi Sebuah Hegemoni Banten Institut,” artikel diakses pada tanggal 11 September 2010 dari http:// w ww .g oog le .co .id / se ar ch ?hl =id & cli ent=firefox-a&ie=UTF-8&q=laporan+akhir+pil kada+banten. pdf&lr=
77
88
bisa terlalu banyak diharapkan dalam memberikan suarannya untuk kemenangan
Djuwaeli di Pilgub. Terlebih, Partai Golkar sendiri sudah cukup solid dengan
dukungan untuk kemenangan pasangan Atut dan Masduki.
Posisi MA, secara formal tidak terlibat langsung dalam politik praktis
terkait dengan pencalonan M. Iryad Djuwaeli di Pilgub Banten. Tetapi secara
umum, MA mengalami kondisi sebagaimana yang terjadi dalam organisasi
Muhammadiyah dengan melakukan tidak adanya politik pemihakan atau political
disengagement dari arus ”mabuk politik dan demokrasi” yang terjadi diseluruh
masyarakat di Indonesia.108
Konsekuensi dari political disengagement adalah terjadinya penyebaran
atau pemencaran warga MA dalam berbagai partai politik (parpol) baik yang
berideologi nasionalis religius Islam (PBB, Partai Politik Islam Masyumi, PUI)
maupun nasionalis ”sekuler” (PAN, Golkar, PDI dan lain sebagainya). Sehingga,
hasilnya tidak ada satupun parpol yang dapat diidentifikasikan dengan MA (di era
Orde Baru MA identik Golkar), maka, dengan adanya penyebaran tersebut, warga
MA sebagai sebuah komunitas atau kesatuan tidak dapat memiliki peranan yang
sigifikan dalam proses politik untuk kemenangan pencalonan M. Irsyad Djuwael
dalam Pilgub Banten.
Karena, penggabungan atau penyatuan para elite MA dalam satu partai
partai politik merupakan hal yang tidak strategis dan demokratis, mengingat
banyaknya dampak yang diterima oleh organisasi MA. Pertama, partai tersebut
akan dicap sebagai partainya orang MA dan di luar MA akan menjaga jarak dan
108 Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut Hubungan Antar
Umat., h. 97
78
89
akhirnya partai tersebut tidak berkembang, karena hanya akan diisi oleh warga
MA, dan mereka tidak dapat mengembangkan sayap kepada kelompok lain.
Kedua, MA akan terkena imbas ketika beberapa tokoh yang ada di partai politik
tersebut bermasalah sehingga akan merugikan MA secara kelembagaan. Ketiga,
MA tidak mempunyai akses lagi kepada partai lain, sehingga perkembangan
organisasi hanya akan terbatas pada satu partai politik saja.109
Sehingga, kekalahan yang dialami oleh M. Irsyad Djuwaeli dalam Pilgub
Banten yang memiliki massa dari organisasi MA (Banten) yang terbesar di
Indonesia. Tetapi, dalam kenyataannya mengalami kekalahan, karena MA
merupakan organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang kultural yang
bersifat independent tidak berafiliasi dengan partai politik maupun salah satu
calon di Pilgub sekalipun itu Ketua Umum PBMA.
Secara realitas, MA sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas bahwa,
hubungan antara MA dan Partai Politik hanya bersifat personal tak langsung
dengan organisasi. Namun, Pada kasus-kasus tertentu, terdapat proses dalam
tubuh organisasi MA sendiri yang menunjukkan keterlibatan dalam pembentukan
dan dukungan partai politik yang dibidani oleh tokoh-tokoh MA. Pada kasus lain,
keterlibatan itu bersifat praktis dan hanya melibatkan tokoh-tokoh MA.110
Dari kenyataan sosiologis di atas, hubungan MA dan politik tidaklah
tunggal, melainkan menunjukkan pola yang beragam. Pola hubungan antara MA
dan politik dapat ditunjukkan dalam tiga varian yaitu pertama, hubungan yang
109 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen, Ciputat, 17 Mei 2010. 110 Wawancara Pribadi dengan Herman Fauzi, Menes, 14 Juni 2010.
79
90
bersifat formal dan langsung; kedua, hubungan yang bersifat personal dan tidak
langsung; dan ketiga, hubungan yang lebih netral dan murni.
Dinamika perjalanan MA secara politis dapat diklasifikasikan atas dua
orientasi, yaitu orientasi politis struktural dan orientasi politis kultural. Orientasi
politis struktural atau politik yang berorientasi kekuasaan dilakukan melalui alat-
alat kekuasaan dan mobilisasi massa. Dalam konteks Menes-Banten, keterlibatan
MA dalam politik praktis dapat dilihat pada indikator kemenangan beberapa tokoh
MA (Eksekutif dan Legislatif) di parpol selain Golkar. Walaupun MA dan parpol
tidak memiliki hubungan organisasi. Tetapi, MA bersifat mengayomi partai
politik manapun dan menjaga kedekatan dengan partai politik untuk berjuang
bersama-sama dalam membangun masyarakat yang bersifat horizontal, yaitu MA
melakukan strategi pengembangan amal usaha yang dikembangkan secara merata,
dan juga melalui metode dakwah baik formal maupun informal.
C. Partisipasi Mathla’ul Anwar Dalam Politik Pasca Orde Baru
Tahun 2010, MA melaksanakan Muktamar ke-XVIII dan Peringatan Hari
Ulang Tahun (HUT) ke-94 yang diselenggarakan pada tanggal 16-19 Juli di Hotel
Sol Elite Marbela Anyer Serang-Banten yang dibuka langsung oleh Menteri
Agama RI Suryadarma Ali, dengan tema "Reposisi Peran Mathla’ul Anwar dalam
Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang Unggul dan
Berakhlakul Karimah," dengan tema tersebut diharapkan akan dapat melahirkan
generasi-generasi muda yang kritis dan progresif yang mampu menjadi generasi
muda MA sebagai mercusuar yang menerangi kehidupan bangsa dan negara.
80
91
Selain itu, Muktamar MA ke-XVIII merupakan momentum untuk
melakukan penataan organisasi melalui pergantian Ketua Umum Pengurus Besar
Mathla’ul Anwar (PBMA) untuk periode 2010-2015, dan melakukan konsolidasi
antar pengurus dan ajang Silaturrahim Keluarga Besar MA dari 26 Pengurus
Wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota se-Indonesia.111
Pada Muktamar ke-XVIII, menetapkan KH. Ahmad Sadeli Karim sebagai
Ketua Umum PBMA periode 2010-2015, Muktamar MA menghasilkan beberapa
keputusan yang cukup signifikan, utamanya dalam melakukan perubahan-
perubahan yang tepat untuk menancapkan tonggak sejarah yang akan menentukan
masa depan MA kembali menjadi ormas keagamaan yang sesungguhnya yang
bermartabat dan kuat (solid). Pertama, MA menegaskan kembali sebagai
organisasi keagamaan (kultural) yang independent dan tidak menjadi underbouw
(antek) Partai Politik dan organisasi manapun. Kedua, menjalin dan membangun
jaringan (network) dengan ormas-ormas keagamaan lainya seperti NU,
Muhammadiyah dan lain sebagainya sebagai upaya untuk memperkenalkan dan
menyebarkan MA di Daerah dan Provinsi yang belum ada baik pengurus cabang
maupun lembaga pendidikan Mathla’ul Anwar seperti di Papua Barat, Gorontalo
dan Bali. Ketiga, melarang Ketua Umum PBMA merangkap dua jabatan baik di
Partai Politik Maupun organisasi lainnya. Keempat, membatasi masa jabatan
Ketua Umum PBMA paling banyak 2 (dua) periode setelah terpilih.Kelima,
111 "Muktamar Mathla’ul Anwar Jadi Momentum," Radar Bamten, 18 Juli 2010
81
92
meningkatkan gerakannya dalam pembangunan pendidikan atau madrasah
Mathla’ul Anwar yang berorientasi ke kota tidak hanya dipedesaan.112
Kemudian, independensi MA ditegaskan pula oleh M. Irsyad Djuwaeli113
bahwa, MA pasca Muktamar (2010) dan kepemimpinannya selama 20 tahun
menjadi Ketua Umum PBMA, melarang Ketua Umum PBMA kedepan adanya
dualisme antara kepentingan politik dan kultural, sedangkan untuk para anggota
dan pengurus MA tidak ada sanksi (larangan) aktif di partai politik dan organisasi
lainnya, dengan catatan tidak diperbolehkan membawa kepentingan pribadi dan
kelompok kedalam organisasi MA (tidak seperti pada era kepemimpinan M.
Irsyad Djuwaeli).
Sejarah perjalanan MA dengan segala bentuk kemajuan dan
kemundurannya, seringkali MA disuguhi "dramatisasi" elit politik dengan
berbagai manuvernya bukan untuk memperjuangkan rakyat, terutama bagi kaum
marginal, melainkan hanya mengikuti syahwat politiknya, yaitu kepentingan
pragmatis-ekonomis kekuasaan. Hal tersebut yang telah melahirkan rasa
skeptisisme dan rasa apriori bagi sebagian kalangan dimasyarakat terhadap kinerja
para politisi, sebagaimana terlihat dengan adanya fenomena penurunan tingkat
112 Peraturan untuk calon Ketua Umum PBMA periode 2010-2015 tidak merangkap
jabatan. Seperti, posisi Ahmad Sadeli Karim sebelum menjadi Ketua Umum PBMA adalah Ketua Majlis Pengurus Wilayah (MPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Banten. Kemudian, untuk mentaati aturan, akhirnya Sadeli membuat pernyatan pengunduran diri dari jabatan MPW Partai PKS baik secara tertulis maupun lisan. Wawancara Pribadi dengan Ketua Umum PBMA KH. Ahmad Sadeli Karim, Menes, 07 Agustus 2010. Selanjutnya Lihat. ”Mathla’ul Anwar Tidak Menjadi Bagian Partai Politik,” artikel diakses pada 08 Agustus 2010 dari http:// banten. antara news.com/berita/13395/mathlaul-anwar-tidak-menjadi-bagian-partai-politik
113 Jaenal Abidin, ”Irsyad Siap Berhenti Pimpin MA,” artikel diakses pada 08 Agustus 2010 dari http://mediabanten.com/berita-517-irsyad-siap-berhenti-pimpin-ma.html
82
93
partisipasi masyarakat (khususnya MA) terhadap proses demokratisasi demi
kemajuan bangsa Indonesia.114
Bagaimanapun, dewasa ini tidak dapat di pungkiri bahwa peran tokoh atau
elit keagamaan (ulama, intelektual, cendikiawan) dalam sebuah organisasi
keagamaan sangat membantu dalam menentukan pilihan politik konstituen seperti
dalam Pemilu dan lain sebagainya. Karena, seorang tokoh tersebut menjadi
panutan banyak orang atau minimal di puja karena ide-idenya dengan modal
kharisma dan kekuasaan yang dimiliki.115 Maka tak heran apabila banyak partai
politik yang memperebutkan dan mendekatinya dengan harapan memperoleh
suara dari para konstituen yang memiliki hubungan emosional dengan para elit
organisasi tersebut.
Suryadharma Ali (Menteri Agama RI) dalam sambutan pembukaan
Muktamar Mathla’ul Anwar ke-XVIII dan HUT MA ke-94 di Anyer Serang-
Banten mengatakan bahwa, keberhasilan para ulama (intelektual, cendikiawan)
pada masa terdahulu, telah mampu memberikan kontribusi riil (nyata) kepada
bangsa, negara dan umat baik dalam bidang pendidikan, dakwah dan
pemberdayaan masyarakat (sosial) tanpa mengharapkan imbalan atau pamrih.
Karena, keberhasilan para ulama tersebut bukan karena memiliki kekayaan harta
atau melimpahnya dana yang dimiliki, tetapi kesuksesannya adalah oleh jiwa
semangat idealisme dan keikhlasan dalam melakukan sesuatu. Bagaimanapun,
114 M. Irsyad Djuwaeli, Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus Besar Mathla’ul
Anwar Periode 2005-2010, Makalah disampaikan pada Acara Muktamar MA ke-XVIII dan HUT MA ke-94 di Anyer-Serang Banten, 16-19 Juli 2010, h. 1
115 Haniah Hanafi, ”Transformasi Peran Ulama Dalam Pergerakan Politik,” Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat Vol. VIII, No. 1, 2006 (Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 49
83
94
spirit keikhlasan dan tak kenal lelah itulah yang menjadikan ulama atau elit
keagamaan memiliki peran strategis di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
yang mesti diteladani dan dibangun oleh MA dewasa ini.116
Realitas yang ada menunjukan, umumnya ormas-ormas (keagamaan) di
Indonesia disinyalir telah dimanfaatkan untuk mengakomodasi kepentingan
politik para elit ormas. Kepatuhan dan ketaatan terhadap Anggaran Dasar dan
Rumah Tangga (AD/ART) sebagai pondasi organisasi sudah tidak ditaati dan
digubris oleh para elit ormas tersebut. Oleh karena itu, MA pada momentum
Muktamar (2010) ini, diharapkan dapat kembali pada tujuan (Khittah) utamanya
ketika pertama kali didirikannya (1916), MA harus kembali berfungsi sebagai
pembangun keummatan, kenegaraan dan kebangsaan serta menjadi pengawal
moral yang berdiri sendiri secara netral di atas semua golongan.117 Sedangkan
peran politik MA yang dapat diambil dan dimainkan tanpa harus terperangkap
dalam pergulatan politik praktis, yaitu ; MA dapat mengambil posisi sebagai
kekuatan politik atau “kekuatan moral” yang memainkan fungsi selaku kelompok
kepentingan atau sebagai kelompok penekan yang efektif yang berusaha
mempengaruhi kebijakan negara atau pemerintah (Pusat dan Daerah) tanpa harus
memperoleh jabatan-jabatan politik.
Sebagaimana yang ungkapan Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum Ad-Din (1933)
yang dikutip oleh Ali Rahmena bahwa, dekatnya ulama (intelektual, cendikiawan)
atau para elit kegamaan terhadap kekuasaan atau pemerintah, akan menghilangkan
daya kontrol ulama terhadap penguasa. Sehingga, hilangnya daya kontrol ulama
116 “Spirit Ulama Harus Dihidupkan,” Radar Banten, 18 Juli 2010, h. 1. 117 Iin Solihin, “Jelang Muktamar ke-18 Mathla’ul Anwar Kembali ke Khittah 1916,”
Kabar Banten, 14 Juli 2010, h. 8.
84
95
terhadap penguasa menyebabkan terjadinya demoralisasi terhadap ulama atau elit
keagamaan yang dapat merusak moral pemerintah atau penguasa yang berdampak
buruk bagi masyarakat, hal tersebut sebagaimana dewasa ini terjadi di Indonesia
dengan adanya budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).118
Dari komitmen ini, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa partisipasi
politik Mathla’ul Anwar pasca Muktamar 2010 dalam konstelasi politik baik
ditingkat Nasional, Provinsi maupun Daerah, secara kelembagaan bersifat
independent dan di atas semua golongan. Walaupun keterlibatan tokoh-tokoh MA
dalam politik praktis merupakan bukan hal yang baru, karena memang sudah
dijalani oleh tokoh-tokoh MA sejak awal berdirinya organisasi, seperti yang
dilakukan oleh KH. Entol Yasin, KH, Mas Abdurahman (1916-1920), KH. Uwes
Abu Bakar, KH. Nafsirin Hadi (1945-1970), M. Irsyad Djuwaeli (1980-2009) dan
tokoh lainnya.
Dewasa ini, beberapa tokoh MA (kecuali Ketua Umum PBMA) yang
masuk dalam partai politik dilandasi oleh beberapa pemikiran. Pertama, karena
mereka ingin menjadikan politik sebagai areal atau media dakwah yang mampu
membawa perubahan bagi partai yang mereka masuki. Kedua, mereka melihat
bahwa partai tersebut mampu mengembangkan potensi dan naluri politik yang
mereka miliki. Ketiga, masuk dalam partai politik adalah upaya untuk
memperoleh kekuasaan dan untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah,
sehingga menghasilkan pemerintahan yang kuat dan dapat mensejahterakan
masyarakat.
118 Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Mizan, Cet: II, 1996), h. 11
85
96
Secara personal orang-orang MA dituntut memainkan peran-peran politik
itu secara efektif dan produktif dan jangan sampai melakukan uzlah (keluar dari
komunitas) politik. Karena politik hendaknya dipandang secara positif dan
dijadikan media dakwah yang dimainkan secara beradab dan bermoral untuk
pencerahan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan secara universal
Sedangkan secara institutional, MA dituntut untuk merevitalisasi peran
politik sebagai kelompok kepentingan yang memainkan berbagai macam fungsi
politik tanpa harus terperangkap pada permainan riel politik atau politik praktis.
Pertama, mengenai politik dalam konteks ajaran Islam sebagai ajaran yang
menyeluruh yang menyangkut aspek aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat
dunyawiyah. Politik sebagaimana aspek-aspek kehidupan lainnya termasuk ke
dalam bagian dari ibadah dalam artian umum atau merupakan wilayah dari
mu’amalah, yang harus dijamah dan dikelola oleh MA sebagai bagian tedak
terpisahkan dari misi membentuk masyarakat utama dan mengemban pesan
rahmatan lil ‘alamin.
Kedua, politik sebagai bagian penting dari kehidupan dan merupakan
instrument dakwah. Bahwa politik sebagai bagian dari al-amr ad-dunya (urusan
dunia) merupakan komponen kehidupan yang penting dan strategis sebagaimana
bidang kehidupan lainnya, yang tidak kotor, hina dan jahat sebagaimana kesan
umum dalam pandangan yang negative tentang politik. Politik itu dapat menjadi
baik, mulia dan bersih manakala dibingkai oleh moral dan diperankan oleh orang-
orang yang juga bermoral sehingga melahirkan politik yang berkeadaban.
86
97
Ketiga, masalah implikasi dari sikap negative terhadap politik, selain
bertentangan dengan pandangan dasar keagamaan MA sebagai pembangun atau
pengawal moral keumatan, kebangsaan dan kenegaraan. Tentunya, partisipasi
politik MA akan berpengaruh dan bermanfaat untuk mempengaruhi suatu
kebijakan pemerintah baik Pusat maupun Daerah. Karena, hal tersebut jika tdak
dilakukan selain bertentangan dengan hakikat MA sendiri sebagai pengawal
moral, juga berdampak terjadi marginalisasi bagi organisasi MA dari dunia
kultural maupun struktural yang pada akhirnya tidak mustahil MA sendiri akan
menjadi korban politik kekuatan-kekuatan lain.
Keempat, menyangkut tuntutan dan pertanggungjawaban atas moralitas
politik. Bahwa jika kekuatan-kekuatan sosial-keagamaan yang memiliki misi
luhur dan didukung massa yang besar seperti MA tidak mengambil bagian dalam
proses politik nasional secara aktif, maka dunia politik pada khususnya dan nasib
bangsa pada umumnya akan merasa rugi karena tidak memperoleh sentuhan
moralitas nilai-nilai keagamaan yang dibawa oleh gerakan-gerakan keagamaan
seperti MA.
D. Masa Depan Mathla’ul Anwar, Antara Peluang dan Tantangan
1. Peluang
Sebagai organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang pendidikan,
dakwah dan sosial (ekonomi), MA telah melewati masa-masa perjuangannya yang
cukup panjang. Kini diusianya yang ke- 94 tahun, MA berjuang dan berkhidmat
kepada masyarakat dengan senantiasa menebar cahaya, berupaya secara terus
87
98
menerus dan konsisten merubah kondisi masyarakat yang diliputi kebodohan dan
keterbelakangan menjadi masyarakat maju dan cerdas yang bertakwa kepada
Allah SWT.
Ormas keagamaan baik secara teoritis-normatif maupun historis-empirik,
menempati posisi strategis dalam melakukan pemberdayaan kultural dan politik
masyarakat. Secara historis, posisi yang pernah dimainkan memiliki effektivitas
melebihi peran dan posisi yang dimainkan oleh organisasi politik formal (Partai
Politik). Karena itu, organisasi politik formal sulit memperlihatkan konsistensi
pada suatu prinsip, antara lain karena strategi politik yang dilatari oleh
kepentingan-kepentingan politik yang terkesan pragmatis.
Kekuatan-kekuatan kultural yang dimiliki oleh ormas keagamaan pada era
reformasi, tetap menawarkan peluang yang besar untuk memainkan peran penting
dalam melakukan pemberdayaan kultural dan politik masyarakat. Sekalipun ormas
keagamaan memiliki ketangguhan kultural, ini tidak berarti bahwa hanya mampu
bermain diseputar lingkar wilayah kultural, karena wibawa serta potensi kultural
yang dimilikinya tetapi diperhitungkan oleh kekuatan-kekuatan struktural
(pemerintah). Sehingga dengan demikian Ormas keagamaan memiliki kekuatan
dan potensi untuk melakukannya dengan pendekatan kultural maupun struktural
sekaligus. Dengan demikian, peran ormas keagamaan selain memperluas
perannya dalam proses menciptakan kesejahteraan keumatan, kenegaraan dan
kebangsaan, juga akan memperkuat organisasi untuk lebih maju dan dituntut
untuk mererspon setiap permasalan-permasalahan kekinian.
88
99
2. Tantangan
MA sebagai organisasi keagamaan terbesar di Banten dan terbesar ketiga
di Indonesia setelah NU (1926) dan Muhammadiyah (1912). Tetapi, MA
merupakan salah satu organisasi keagamaan yang kurang dikenal baik dikalangan
akademisi maupun dikalangan masyarakat muslim umumnya. Menurut Ali
Nurdin,119 ada tiga alasan yang menyebabkan MA kurang dikenal. Pertama, MA
sejak awal pendiriannya (1916) hingga dewasa ini memfokuskan gerakan-
gerakanya (kultural) di wilayah pedesaan atau pinggiran. Kedua, akibat kurangnya
perhatian publik (media cetak dan elekronik). Ketiga, kontribusi MA dalam
politik mempunyai pengaruh yang relatif kecil.
Hal senada juga diungakapkan oleh Herman Fauzi,120 selain MA masih
orientasinya ke pedesaan, akibatnya tak jarang warga MA tidak mendapatkan
informasi. Pertama, MA kedepan dalam gerakannya harus berorientasi kota,
karena akses untuk mendapatkannya berada diwilayah perkotaan. Sehingga hal ini
tentunya turut memandekan dunia pendidikan yang merupakan unsur penting
dalam membangun sebuah peradaban besar. Kedua, MA saat ini mengalami
degradasi menyangkut persoalan ideologi yang tidak pernah dievaluasi dalam
konteks hubungan sosial, tetapi MA lebih fokus kepada soal-soal fiqiyah. Ketiga,
pada kepemimpinan Ketua Umum. Irsyad Djuwaeli selama 20 tahun telah
menghilangkan independensi MA yang terkooptasi untuk kepentingan politik
praktis dan untuk kepentingan pribadi. Sehingga, menyebabkan warga MA
kehilangan sebagian hasrat warga MA untuk membangun dan bergabung dengan
119 Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin. 120 Wawancara Pribadi dengan Herman Fauzi.
89
100
MA lagi. Keempat. rendahnya aksebilitas terhadap pemerintah baik Pemerintah
Daerah maupun Pusat untuk menjalin kerja sama dalam program pemberdayaan
masyarakat secara luas. Kelima, tidak adanya kesinambungan komunikasi antara
pengurus ditingkat Pusat (PBMA), Daerah, Provinsi dan konstituen sebagai sarana
untuk memperkuat institution building. Maka dari itu, sudah selayaknya
organisasi MA meninjau kembali untuk meningkatkan kiprahnya disegala aspek.
90
101
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mathla’ul Anwar (MA) sebagai salah satu organisasi keagamaan yang
bergerak dalam bidang kultural (pendidikan, dakwah dan sosial) memiliki posisi
yang strategis dan khas dibandingkan dengan organisasi lain umumnya. Pertama,
bahwa secara khusus ormas keagamaan dibentuk bukan untuk mencari
keuntungan apalagi yang bersifat material financial. Kedua, organisasi sosial
keagamaan berada di luar wilayah organisasi pemerintah dan nonpolitik. Ketiga,
bahwa dalam gerakan atau kegiatannya lebih memusatkan sasarannya pada
kepentingan untuk kemajuan keumatan, kebangsaan dan kenegaraan.
Secara umum, peran ormas keagamaan dalam pemberdayaan terdapat
berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat muslim di Indonesia. Pertama,
ormas keagamaan telah memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan yang
dihadapi masyarakat muslim. Kedua, sebagai media atau menjadi “kendaraan”
untuk memobilisasi sosial untuk melakukan identifikasi keagamaan dimana umar
Islam menegaskan kerjasama sosialnya dan pandangan keagamaanya. Ketiga,
ormas keagamaan memberikan rasa aman untuk pelarian politik dan kelompok
solidaritas diluar etalase politik. Keempat, ormas keagamaan membentuk makna
yang efektif untuk mengekspresikan ide-ide dan pilihan politik mereka. Kelima,
melalui struktur organisasi yang ekstensif, network, dan hiraki mereka
memberikan pelayanan sebagai sarana latihan kepemimpinan dan untuk
91
102
melahirkan pemimpin-pemimpin muslim yang siap menghadapi tantangan
jaman.121
Maka, keterlibatan organisasi keagamaan dalam bidang politik praktis
yang diperankan baik secara organisasi maupun oleh para elit keagamaan (ormas)
selain telah menyalahi atau mengkhianati Khittah dan AD/ART sebagai pondasi
dari visi dan misi didirikannya organisasi keagaman untuk menciptakan
kesejahteraan dan mencerdaskan masyarakat secara umum yang bersifat
independent yang berdiri diatas semua golongan. Secara umum, tujuan yang ingin
dicapai oleh organisasi keagamaan adalah untuk mencapai tujuan yang bersifat
makro yang meliputi: faktor ekonomi, politik, hukum, budaya, ekologi
(lingkungan) dan faktor Sosial.
B. Saran-Saran
Dalam penghujung tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa buah
saran, yaitu:
Pertama, MA sebagai organisasi keagamaan kultural terbesar di Banten
dan ketiga di Indonesia setelah NU dan Muhammadiyah. Secara kuantitas tidak
dikenal oleh masyarakat secara umum, MA dimasa depan tidak hanya
memfokuskan gerakannya diwilayah pedesaan atau pinggiran, tetapi juga harus
diperkotaan untuk mendapatkan dan meningkatkan akses atau jaringan serta
segala informasi.
121 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul
Anwar dari Tahun 1916-1998,” (Disertasi Leiden University: T.pn., 2007), h.3-4
92
103
Kedua, MA dimasa depan tidak hanya bergerak dalam bidang kultural dan
juga sekaligus peran struktural yang terorganisir. Peran struktural, sebagai strategi
untuk berpartisipasi dalam setiap proses pengambilan kebijakan-kebijakan untuk
menjadi trend maker (penentu kecenderungan) dalam merespon terhadap
permasalahan keumatan, kenegaraan dan kebangsaan
Ketiga, MA harus lebih meningkatkan komunikasi antar Pengurus Pusat
(PBMA), Daerah, Provinsi dan konstituen untuk memperkuat institution building.
Selain itu, MA sebagai organisasi nasional, diawal pendiriannya hingga dewasa
ini, adanya primodialisme atau dominasi dari masyarakat Banten dalam perebutan
jabatan atau kursi baik posisi Ketua Umum PBMA, Dewan Pengurus Pusat dan
Dewan Majlis Fatwa. kedepan, MA seharus dapat mengayomi dan
mengedepankan integritas dan kapasitas seorang pigur atau ketokohan dari
berbagai latar belakang kedaerahan dan kesukuan.
Kelima, MA harus meningkatkan kualitas pendidikan (madrasah), dakwah
dan sosial (ekonomi) untuk mencetak generasi muda MA yang sesuai dengan
Imtak (iman dan takwa) dan iptek (informasi dan teknologi).
Demikian penutup dari skripsi ini. Semoga dapat memberikan manfaat.
Amien
93
104
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qu’ran dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2000 Azra, Azyumardi Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut Hubungan
Antarumat., ed. Idris Thaha. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2002 Alweilah, A. Chaedar Pokoknya Kualitatif, Dasar-Dasar Merancang dan
Melaksanakan Penelitian Jakarta: Pustaka Jaya, 2002 Black, James A. dan Champion, Dean J Metodologi Dan Masalah Penelitian
Sosial Bandung: PT Refika Aditama, 2001 Badudu, J.S. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996
Budiarjo, Miriam. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasasn Obor Indonesia, 1998
. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005
Dhofier, Zamakhsyari Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai
Jakarta: LP3S, 1985 Djuwaeli, M. Irsyad. Membawa Mathla’ul Anwar Ke Abad XXI. Jakarta: PB
Mathla’ul Anwar, 1996
. Sejarah dan Khitthah Mathla’ul Anwar. Jakarta: Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, 1996
Ecip, Sinansari. NU Khittah dan Godaan Politik. Bandung: Mizan, 1994
Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara, Trasformasi Pemikiran dan praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998
Federspiel, Howard M. Labirin Ideologi Muslim, Pencarian dan Pergulatan
PERSIS di Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957). Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004
Gaffar, Afan. Merangsang Partisipasi Politik Rakyat Dalam Demitologisasi
Politik Indonesia Mengusung Elitisme dalam Orde Baru. Jakarta: Cidesindo, 1998
Hudaeri, Mohammad, ed.. Tasbih dan Golok Kedudukan, Peran dan Jaringan
Kiyai dan Jawara di Banten. Serang: Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2007
94
105
Huntington, Samuel P dan Nelson, Joan. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta, 1990
Islam, Ensiklopedi. Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1994 Kartodirdjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya,
1984 Kazhim, Musa dan Hamzah, Alfian Lima Partai Islam Dalam Timbangan, Analis
dan Prospek. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999 Liddle, R. William. Islam, Politik dan Modernisasi. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1997 Maran, Rafael Raga. Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001
Nata, Abuddin. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Grasindo, 2001
Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam Di Indoneseia 1900-1942. Jakarta: LP3ES,
1995
. Islam Pancasila dan Asas Tunggal. Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983
Paige, Jeffry M. Political Orientation and Riot Participation. dalam American Sosiological, Review, Oktober, 1991
Pribadi, Toto dkk. Sistem Politik Indonesia Jakarta: Universitas Terbuka, 2006 Partanto, Pius A. dan Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola,
1994 Rahardjo, Dawam (ed.). Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1985
Rahman, Arifin. Sistem Politik Indonesia. Surabaya: SIC, 2002
Rahmena, Ali. Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung: Mizan, 1996
Saleh, Fauzan. Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2004
Suprayogo, Imam Metodologi Penelitian Soaial Agama Bandung: Rosda, 2002 Sarjaya, Syibli. dkk. Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar. Jakarta: PB Mathla’ul
Anwar, 1996
95
106
. Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar. Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia, 1999
Tanthowi, Pramono U. Kebangkitan Politik Kaum Santri, Islam dan Demokrasi di Indonesia, 1990-2000. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005
Yulianto, Arif. Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru Ditengah
Pusaran Demokrasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 Yuliati, Dewi Semaoen: Pers Bumiputera dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang. Semarang: Bendera, 2000
Artikel Koran, Makalah, Jurnal, Skripsi, Disertasi dan Websate:
Abidin, Jaenal. ”Irsyad Siap Berhenti Pimpin MA,” artikel diakses pada 08 Agustus 2010 dari http://mediabanten.com/berita-517-irsyad-siap-ber henti-pim pin -ma.html
Azra, Azyumardi. “Islam: Politik dan Kultural,” artikel diakses pada 12 Agustus
dari http:// www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel/834-islam-politik-dan-kultural-.pdf
Djuwaeli, M. Irsyad. Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus Besar Mathla’ul
Anwar Periode 2005-2010, Makalah disampaikan pada Acara Muktamar MA ke-XVIII dan HUT MA ke-94 di Anyer-Serang Banten, 16-19 Juli 2010, h. 1
Effendy, Bahtiar. “Tokoh Agama Tak Lagi Didengar,” artikel diakses pada 12
Agustus dari http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=47286 Hanafi, Haniah. ”Transformasi Peran Ulama Dalam Pergerakan Politik,”
Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat Vol. VIII, No. 1, Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006
Hasan, Amirul ”Pengaruh Media Terhadap Tingkat Partisipasi Politik Studi Kasus
Partisipasi Politik Masyarakat Ciputat Pada Pilkada Provinsi Banten Tahun 2006,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2007
Rosidin, Didin Nurul. Quo Vadis Mathla’ul Anwar, Makalah disampaikan pada
Rakernas Mathla’ul Anwar di Batam, 7-9 Juli 2007.
96
107
. “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,” Disertasi Leiden University: Fakulty of Humanity, 2007
Royhatudin, Aat. ”Keterlibatan Jawara Dalam Pembentukan Provinsi Banten,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004
Solihin, Iin. “Jelang Muktamar ke-18 Mathla’ul Anwar Kembali ke Khittah
1916,” Kabar Banten, 14 Juli 2010, h. 8. Syatibi, Aas. ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” Skripsi S1
Fakultas Syari’ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006 Wirman, Hardi Putra. “Menakar Peran Politik Organisasi Sosial Keagamaan di
Sumatera Barat Pasca Orde Baru Studi Kasus Muhammadiyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah,” artikel diakses pada 10 September 2010 dari http://dualmode.depag.go.id/acis09/file/dokumen/ Hardi Putra Wirma n.pdf
Zen, Mohammad. ”Diusir dari Sidang Mathla’ul Anwar,” artikel diakses pada 13
September 2010 dari http :// majalah .tempointeraktif .com/id/arsip /2004 /06/21/SRT/mbm.20040621 SRT92296.id.html
"Muktamar Mathla’ul Anwar Jadi Momentum," Radar Bamten, 18 Juli 2010
“Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Provinsi Banten Tahun 2006 Regenerasi
Sebuah Hegemoni Banten Institut,” artikel diakses pada tanggal 11 September 2010 dari http:// w ww .g oog le .co .id / se ar ch ?hl =id& cli ent=firefox-a&ie=UTF-8&q= laporan +akhir+pil kada + ba n t en. pdf&lr=
“Spirit Ulama Harus Dihidupkan,” Radar Banten, 18 Juli 2010, h. 1.
“Tutut, Siapa Capres Yang Bakal Kau Contreng,” artikel diakses pada 13
September 2010 dari http://www.indonesia-monitor.com/main /index.php? option=com_content &task=view&id=1494&Itemid=33
”Mathla’ul Anwar Tidak Menjadi Bagian Partai Politik,” artikel diakses pada 08
Agustus 2010 dari http:// banten. antara news.com/berita/13395/mathlaul-anwar-tidak-menjadi-bagian-partai-politik
97