konsepsi tentang panca kesadaran santri dalam...
TRANSCRIPT
KONSEPSI TENTANG PANCA KESADARAN SANTRI DALAM
MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI PERSPEKTIF
K.H. ZAINI MUN’IM
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam untuk
Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag.)
Oleh:
Solihin
NIM: 11140331000049
PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H. / 2018 M.
i
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Solihin
Tempat, Tanggal Lahir : Bondowoso, 06 Juli 1994
NIM : 11140331000049
Program Studi/ Univ. : Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Judul Skripsi : Konsepsi Panca Kesadaran Santri Dalam Mewujdkan
,,Masyarakat Madani Perspektif K.H. Zaini Mun’im
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 31 September 2018
Pengaji
Solihin
NIM 11140331000049
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Arab
ا
ب
ت
ث
ج
ح
خ
د
ذ
ر
ز
س
ش
ص
ض
Indonesia
a
b
t
ts
j
ẖ
kh
d
dz
r
z
s
sy
s
ḏ
Inggris
a
b
t
th
j
ḥ
kh
d
dh
r
z
s
sh
ṣ
ḍ
Arab
ط
ظ
ع
غ
ف
ق
ك
ل
م
ن
و
ه
ء
ي
ة
Indonesia
ṯ
ẕ
gh
f
q
k
l
m
n
w
h
y
h
Inggris
ṭ
ẓ
gh
f
q
k
l
m
n
w
h
y
h
Vokal Panjang
Arab
أ
يإ
و
Indonesia
ā
ī
ū
Inggris
ā
ī
ū
v
ABSTRAK
Solihin, 11140331000049, “Konsepsi Tentang Panca Kesadaran Santri Daalam
Mewujudkan Masyarakat Madani Perspektif K.H. Zaini Mun’im”, Fakultas
Ushuluddin Prodi Aqidah Filsafat Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2017.
Masyarakat madani merupakan masyarakat ideal yang di cita-citakan. Dalam
hal ini konsep masyarakat madani masih belum mampu untuk diwujudkan oleh
masyarakat, dikarenakan masyarakat masih belum bisa mebangkitkan semangat
kesadaran akan konsep tersebut. Konsep masyarakat madani juga terlalu berat utuk
dipahami, karena sebagian pemahaman masyarakat Indonesia masih belum mampu
untuk menangkap konsep masyarakat madani yang bercirikan 1. Egaliterianisme, 2.
Free Publicc Sphere, 3. Keadilan Sosial, 4. Toleransi dan kemajemukan, 5.
Musyawarah/Demokrasi.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan konsepsi baru tentang masyarakat
madani. Dirasa masyarakat madani harus memiliki konsepsi yang efektif dalam
mewujudkannya. Temuan penulis bahwa konsepsi panca kesadaran santri adalah hal
yang paling mendasar untuk mewujudkan masyarakat madani dikalangan santri atau
masyarakat secara umum.
Dalam penelitian ini pendekatan yang dipakai adalah pendekatan kualitatif.
Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan data tersebut
berasal dari dokumen-dokumen pesantren yang menerngkan tentang kehidupan K.H.
Zaini Mun’im, baik berupa buku, audio dan lain-lain. Untuk mendukung sumber
utama tersebut, penulis juga melakukan wawancara dengan putra K.H. Zaini Mun’im
yakni K.H. Zuhri Zaini.
Hasil yang di dapat dari penelitian yang penulis lakukan adalah penulis
menemukan bahwa konsepsi panca kesadaran santri pemikiran K.H. Zaini Mun’im
dapat mewujudkan masyarakat yang madani.
Pemikiran K.H. Zaini Mun’im tentang konsepsi panca kesadaran santri yakni:
1. Kesadaran Beragama, 2. Kesadaran Berilmu, 3. Kesadaran Bermasyarakat, 4.
Kesadaran Berbangsa dan Bernegara, 5. Kesadaran Berorganisasi. Kelima konsep
tersebut mudah dipahami dan hal ini pula merupakan kegiatan manusia disetiap
harinya.
Kata Kunci : masyarakat madani, panca kesadaran santri.
vi
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang amat sangat mendalam kepada Allah swt, atas segala
limpahan rahmat dan kuasa-Nya yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurahkan
kepada Nabi Muhammad saw beserta kepada keluarganya, sahabatnya dan para
pengikutnya yang telah menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.
Alhamdulillah, penulisan skrpisi yang berjudul “Konsepsi Panca Kesadaran santri
Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani Perspektif K.H. Zaini Mn’im”, telah dapat
penulis selesaikan. Penulisan karya Ilmiah dalam bentuk skripsi ini merupakan salah
satu syarat untuk menyelesaikan studi strata satu (1) guna memperoleh gelar Sarjana
Agama (S. Ag.) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tentunya, proses penulisan skripsi ini melibatkan banyak kalangan, untuk itu
saya merasa perlu menghanturkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan skripsi ini, terutama penulis sampaikan kepada:
1. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA (Dekan Fakultas Ushuluddin) dan segenap civitas
akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak
membantu kelancaran administrasi dan birokrasi.
2. Dra. Tien Rohmatin, MA. (Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam) terimakasih
telah menyetujui proposal skripsi, juga atas nasihat dan bantuannya. Dan Dr. Abdul
Hakim Wahid, MA, selaku Sekretaris Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam.
vii
3. Drs. Ramlan A. Gani, MA, sebagai pembimbing skripsi, terimakasih telah
meluangkan waktunya dan mengerahkan segala tenaga dan pikirannya, terimakasih
telah membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini
dengan baik.
4. Teruntuk kedua orang tua tercinta, yang tak hentihentinya memberikan doa, serta
bantuan baik moril maupun materil kepada penulis demi lancarnya studi dan
penulisan skripsi ini. Juga kepada kakak-kakak dan adik-adik yang selalu mendukung
dan menyemangati penulis.
5. Terimakasih untuk teman-teman seperjuangan Aqidah Filsafat Islam angkatan
2014.
Akhirnya, pengaji berharap agar apa yang telah ditulis dapat bermanfaat bagi
semua kalangan pada umumnya dan dapat memperluas khazanah keilmuan dan
filsafat Islam. Pengaji menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan
sebagaimana judul pada pengajian ini. Kritik dan saran yang sifatnya membangun
dan mengembangkan skripsi ini sangat diharapkan.
Ciputat, 15 Januari, 2019
Solihin
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................................ iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ iv
ABSTRAK .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................... vii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ..................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 9
E. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 9
F. Metode Penelitian ........................................................................ 11
BAB II. BIOGRAFI K.H. ZAINI MUN’IM ............................................ 13
A. Riwayat Hidup K.H. Zaini Mun’im ............................................ 13
B. Latar Belakang Pendidikan .......................................................... 14
C. Karya Tulis .................................................................................. 19
D. Pengalaman K.H. Zaini Mun’im Dalam Dunia Da’wah ............. 24
BAB III. KAJIAN TEORI TENTANG MASYARAKAT MADANI .... 28
ix
A. Pengertian Masyarakat Madani .................................................. 28
B. Pengertian Masyarakat Madani Menurut Para Tokoh ................. 34
B. 1. Masyarakat Madani Menurut Nurcholish Madjid………...34
B. 2. Masyarakat Madani Menurut Dawam Raharjo …………...38
B. 3. Masyarakat Madani Menurut Azzumardi Azra ...………...41
C. Karakteristik Masyarakat Madani ........................................... …43
D. Pengertian Filsafat Humanisme ................................................... 51
E. Humanisme Menurut Para Tokoh............................................ …52
E. 1. Humanisme Menurut Ali Syari’ati ...................................... 52
E. 2. Humanisme Menurut Abdurrahman Wahid ........................ 57
BAB IV. TEMUAN PANCA KESADARAN KESADARAN SANTRI
DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI
MENURUT K.H. ZAINI MUN’IM………………………..…60
A. Pengetian Konsepsi ..................................................................... 60
B. Konsepsi Panca Kesadaran Santri Menurut K.H. Zaini Mun’im 61
C. Konsepsi Panca Kesadaran Santri dalam Mewujudkan Masyarakat
Madani Menurut K.H. Zaini Mun’im……………………….......73
BAB V. PENUTUP ..................................................................................... 76
A. Kesimpulan ................................................................................ 85
B. Saran ........................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 87
LAMPIRAN
ABSTRAK
Solihin, 11140331000049, “Konsepsi Tentang Panca Kesadaran Santri Daalam
Mewujudkan Masyarakat Madani Perspektif K.H. Zaini Mun’im”, Fakultas
Ushuluddin Prodi Aqidah Filsafat Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
Masyarakat madani merupakan masyarakat ideal yang di cita-citakan. Dalam
hal ini konsep masyarakat madani masih belum mampu untuk diwujudkan oleh
masyarakat, dikarenakan masyarakat masih belum bisa mebangkitkan semangat
kesadaran akan konsep tersebut. Konsep masyarakat madani juga terlalu berat utuk
dipahami, karena sebagian pemahaman masyarakat Indonesia masih belum mampu
untuk menangkap konsep masyarakat madani yang bercirikan 1. Egaliterianisme, 2.
Free Publicc Sphere, 3. Keadilan Sosial, 4. Toleransi dan kemajemukan, 5.
Musyawarah/Demokrasi.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan konsepsi baru tentang masyarakat
madani. Dirasa masyarakat madani harus memiliki konsepsi yang efektif dalam
mewujudkannya. Temuan penulis bahwa konsepsi panca kesadaran santri adalah hal
yang paling mendasar untuk mewujudkan masyarakat madani dikalangan santri atau
masyarakat secara umum.
Dalam penelitian ini pendekatan yang dipakai adalah pendekatan kualitatif.
Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan data tersebut
berasal dari dokumen-dokumen pesantren yang menerngkan tentang kehidupan K.H.
Zaini Mun’im, baik berupa buku, audio dan lain-lain. Untuk mendukung sumber utama
tersebut, penulis juga melakukan wawancara dengan putra K.H. Zaini Mun’im yakni
K.H. Zuhri Zaini.
Hasil yang di dapat dari penelitian yang penulis lakukan adalah penulis
menemukan bahwa konsepsi panca kesadaran santri pemikiran K.H. Zaini Mun’im
dapat mewujudkan masyarakat yang madani.
Pemikiran K.H. Zaini Mun’im tentang konsepsi panca kesadaran santri yakni:
1. Kesadaran Beragama, 2. Kesadaran Berilmu, 3. Kesadaran Bermasyarakat, 4.
Kesadaran Berbangsa dan Bernegara, 5. Kesadaran Berorganisasi. Kelima konsep
tersebut mudah dipahami dan hal ini pula merupakan kegiatan manusia disetiap
harinya.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan yang selalu melanda bangsa manusia yakni mengenai masalah
sosial. Ketidak mampuan manusia untuk menjelaskan bagaimana seharusnya sebuah
tatanan ideal masyarakat itu berdiri, membuat manusia tidak bisa menegakkan
negara yang maju. Di Barat telah ditemukan bahwa Civil Society merupakan keluh
kesah masyarakat yang terkungkung oleh gereja dan pada akhirnya masyarakat ini
menemukan pencerahan masa depan yakni gerakan Renaisans1 yang menggembor-
gemborkan kemajuan kaum yang terkungkung dalam kegelapan itu. Dan buah hasil
dari gerakan renaisans ini adalah modernitas.
Dalam islam Arab dibagian wilayah Madinah ditemukan sebuah realitas
perubahan sosial yang sama yakni masyarakat madani. Masyarakat madani
merupakan hasil dari terjemahan Civil Society. Istilah masyarakat madani
diterjemahkan dari bahasa Arab yakni dari kata Mujtama’ al-Madanī kata ini
difamiliarkan pertama kali oleh seorang tokoh sekaligus pendiri ISTAC yang ahli
1Istilah Renaisans berasal dari bahasa Prancis yang artinya kebangkitan kembali. Terminologi
dari Renaisans ini dapat dipahami sebagai masa peralihan dari masa kegelapan menuju pencerahan
(abad pertengahan ke abad modern), Renaisans ini adalah jembatan pemisah antara Abad Pertengahan
dan Abad Modern. Middle Age merupakan massa dimana eropa mengalami massa suram. Berbagai
ide-ide kreativitas yang selalu diatur dan dihalangi oleh Gereja. Saat itu gereja sangat kuat dalam
berbagai aspek kehidupan. Agama berkuasa penuh dalam segala tindakan manusia. Lihat Budi
Hardiman, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern; Dari Machiavelli sampai
Nietzsche, (Jakarta :Erlangga, 2011), h 7.
Pemikiran manusia pada abad pertengahan mendapat doktrinasi dari gereja. Hidup seseorang selalu
dikaitkan dengan tujuan akhir (ekstologi). Kehidupan manusia pada hakekatnya sudah ditentukan oleh
Tuhan. Maka tujuan hidup manusia adalah mencari keselamatan. Pemikiran tentang ilmu pengetahuan
banyak diarahkan kepada theology.
2
dalam Sejarah dan Peradaban Islam dari Malaysia yakni Prof. Naquib al Attas.2 M.
Dawam Raharjo memiliki pendapat yang sama bahwa masyarakat madani adalah alih
bahasa dari Civil Society.3
Nurcholis Madjid pun ikut memberikan pendapat bahwa masyarakat madani
lahir dari landasan Islam yakni dari kegigihan Nabi Muhammad dalam membangun
masyarakat yang beradab.4Syafi’i Maarif berpendapat bahwa konsep masyarakat
madani bersumber dari Allah melalui Nabi Muhammad.5
Untaian term masyarakat madani tentunya memiliki sebuah acuan dalam
penegakannya atau bisa kita sebut karakteristik. Karkteristik disini adalah sebuah
tatanan nilai yang bersifat universal. Karakteristik tersebut yakni Free Public Sphere,
Demokratis, Tolerans, Pluralisme, Keadilan Sosial, dan Berkeadaban.6
Berbicara masalah masyarakat madani, Indonesia berangkat dari sebuah
fenomena dimasa lalu yakni pada masa Orde Baru (Orba). Ketika Orba masih
berkuasa banyak realita-realita yang muncul seperti halnya penindasan terhadap
rakyat mengenai hak milik tanah yang diambil oleh penguasa atas dalih
pembangunan, pembantaian para Kyai dengan tuduhan dukun santet, dan
pengungkungan pers atas kebebasannya. Hal ini merupakan sebuah fenomena atas
2 Ismail SM., Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000), h 180-181. 3 M. Dawam Raharjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial,
(Jakarta: LP3ES dan LSAF, 1999), h 133. 4 Nurcholish Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, Cet.VI 2002), h 238. 5A. Syafii Maarif, Mencari Autentisitas Dalam Kegalauan, (Yogyakarta: PSAP, 2004), h 84. 6A. Ubaidillah dkk, Demokrasi, Ham dan Masyarakat Madani (Jakarta: IAIN Jakarta Press,
2000), h147.
3
ketidak adlian para penguasa terhadap kebebasan rakyat terutama dalam
berpendapat.7
Melihat sebuah pengalaman dimasa lalu tentunya mempunyai pengaruh besar
untuk masa depan. Hari ini kita dipertemukan oleh berbagai macam masalah
kenegaraan. Hal yang sering kita jumpai pada fenomena saat ini ialah korupsi, krisis
moral, perkelahian antara umat beragama di Indonesia wilayah timur dan masih
banyak hal lain dari pada itu semua.
Makna masyarakat madani ini sampai saat ini masih kabur dikarenakan
masyarakat madani di sini adalah sebuah bayangan untuk memajukan sebuah bangsa.
Gagasan masyarakat madani tidak akan stagnan, seperti yang kita lihat dalam
kehidupan masa modern ini banyak gejolak-gejolak yang terjadi seperti halnya krisis
moral yang terjadi di berbagai belahan di dunia wabilkhusus di Indonesia. Pemikiran
atau gagasan masyarakat madani ini akan terus berkembang seriring
pengaktualisasian dan bergulirnya zaman.
Telah banyak para pemikir muslim Indonesia yang menggaungkan istilah
masyarakat madani, seperti halnya Nurcholish Madjid (Cak Nur), Dawam Raharjo,
Azzumardi Azra, dan lain sebagainya. Beliau-beliau ini memperkenalkan masyarakat
madani dengan definisi masing-masing namun pada hakekatnya memiliki tujuan yang
sama.
Mengenai hal yang berhubungan dengan kemajuan Bangsa dan Negara. Salah
satu tokoh ulama besar yang mumpuni dalam bidang ini yakni K.H. Zaini Mun’im.
7A. Ubaidillah dkk, Demokrasi, Ham dan Masyarakat Madani, h 137.
4
K.H. Zaini Mun’im adalah salah satu pejuang dalam membela kemerdekan
Indonesia.8 Selain itu beliau juga sebagai pejuang dalam mempertahankan NKRI
pada masa Belanda dan Jepang. Pada masa Jepang beliau dipercaya sebagai pimpinan
Barisan Pembela Tanah Air (PETA).9
Sebagai seorang juru dakwah, K.H. Zaini Mun’im mendirikan sebuah Pondok
Pesantren yang terkenal saat ini yakni Nurul Jadid. Pondok inilah yang menjadi
tempat berdakwahnya K.H. Zaini Mun’im dalam menyiarkan syariat islam dan
membangun sebuah bangsa dan negara.
Terbentuknya sebuah pondok pesantren sangat lekat sekali dengan sebuah visi
dan misi Kyai. Sebuah tujuan yang digagas oleh K.H. Zaini Mun’im yang tertuang
dalam pesantren Nurul Jadid ini ialah bertanggung jawab dalam bermasyarakat,
toleran dan berguna bagi agama serta bangsa dan Negara.10
K.H. Zaini Mun’im memiliki beberapa buah karya tulis yakni: 1. Taysir al
ushūl fī ilmi al ushūl, 2. Tafsīrul Qurān bil ʻmlaʻ, 3. Naẕmu syu’abil īmān, 4. Naẕmu
safīnatun najāh, 5. Problematika dakwah islamiyah.11 Semua karya K.H. Zaini
Mun’im ini dipakai untuk pembelajaran para santri Nurul Jadid dan semua kitab ini
dijadikan sebagai kitab wajib pesantren Nurul Jadid.
Pesantren merupakan salah satu pusat lembaga pendidikan di Indonesia yang
melekat di hati masyarakat. Hal ini terjadi karena pesantren memiliki komposisi-
8 Saili Aswi dkk, Riwayat Singkat Almarhumin Pondok Pesantren Nurul Jadid (Probolinggo:
Sekretariat PPNJ, 2011), h 9. 9Saili Aswi dkk, Riwayat Singkat Almarhumin Pondok Pesantren Nurul Jadid, h 10. 10 K.H. Hefniy Razaq, Profil Pondok Pesantren Nurul Jadid (Probolinggo: Humas Sekretariat
PPNJ), hlm XVIII. 11Saili Aswi dkk, Riwayat Singkat Almarhumin Pondok Pesantren Nurul Jadid, h 13.
5
komposisi tersendiri yang menjadi ciri khasnya dan tentunya berbeda dari lembaga
lainnya. Pendidikan pesantren telah terbukti memberikan kontribusi/sumbangsih
besar dalam kehidupan bangsa dan perkembangan kebudayaan masyarakat.12
Pesantren yang merupakan sebuah lembaga pendidikan memiliki fungsi ganda
(dzū wujūh)13yakni: 1. Sebagai suatu lembaga yang berfungsi untuk mempelajari
ilmu-ilmu agama maupun umum, 2. Pesantren berfungsi sebagai sebuah lembaga
pengkaderan.
Mengenai hal kepesantrenan tentunya kita akan dikenalkan dengan santri,
yang mana santri di sini sebagai elemen kedua pesantren14sesudah Kyai. Santri yang
umumnya merupakan anak-anak usia remaja, tentu santri di sini dihadapkan dengan
masa transisi antata masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Santri yang nyantri di
pondok pesantren atas dasar keinginan untuk menempa ilmu, merupakan sebuah
pilihan dari anak-anaknya. Namun ada juga santri yang secara terpaksa untuk
menempuh ilmu di pesantren dengan suruhan atau paksaan orang tua.15 Karena
dimasa transisi ini, remaja memiliki tugas yang penting yakni menempa berbagai
ilmu dan norma-norma untuk dijadikannya sebagai pedoman hidup agar berhasil
dimasa depan nantinya. Norma-norma yang dipelajari dan direalisasikan secara sadar
ini semata-mata untuk mencapai kedudukan sebagai manusia dan dalam suatu bentuk
12 Rusyidi Sulaiman dan A. Bashori Shanhaji PPNJ Antara Idealisme dan Pragmatisme
(Jember: Madania, 2004), h 17. 13 Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani (Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 2000), h 101. 14 Rusyidi Sulaiman dan A. Bashori Shanhaji PPNJ Antara Idealisme dan Pragmatisme, h 11. 15Muhammad Muzakki, “Perubahan Perilaku Santri Studi Kasus Alumni Pondok Pesantren
Salafiyah Di Desa Langkap Kecamatan Besuki Kabupaten Situbondo”, Jurnal Universitas
Muhammadiyah Ponorogo: Volume 2, Nomor 1, Juli-Desember 2016, h 2.
6
hubungan yakni Hablun Minallāh, Hablun Minannās dan Hablun Minal Ālam.
Norma inipun yang membentuk sebuah gambaran dunia yang harmonis dan
memelihara keharmonisan itu dengan nilai-nilai pribadi yang lainnya.16
Jebolan atau lulusan pesantren yang benar-benar diberikan pendidikan
keislaman selama bertahun-tahun nyatanya masih belum menjamin perilaku yang
baik. Banyak bukti yang menunjukkan perilaku santri alumni pondok pesantren
seperti halnya memakai narkoba, korupsi/ mencuri barang yang bukan haknya,
mengedepankan ego pribadi dari pada kepentingan orang lain dalam kehidupan
sehari-hari, bahkan meninggalkan kewajiban syar’iyah dan lain sebagainya, namun
ada pula yang masih mempertahankan ajaran-ajaran yang diperoleh dari pesantren
dalam masyarakat walaupun entitasnya tidak seperti dipesantren.17 Mengenai hal ini,
santripun masih belum tentu berprilaku benar apalagi masyarakat pada umumnya.
K.H. Zaini Mun’im yang terlahir sebagai seorang pendakwah islamiyah,
beliau memiliki sebuah pemikiran tentang kemajuan suatu bangsa dan kemakmuran
bagi masyarakat Indonesia. Konsep panca kesadaran santri merupakan gagasan yang
merupakan manifestasi dari kajian teoritisnya, perenungan, dan pengalaman beliau di
dunia dakwah.18 Panca kesadaran santri ini terdiri dari beberapa bagian yakni: 1.
16 Lisya Chairani & M.A. Subandi. Psikologi Santri Penghafal Al-qur’an Peranan Regulasi
Diri (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal 33-35. 17 Muhammad Muzakki “Perubahan Perilaku Santri Studi Kasus Alumni Pondok Pesantren
Salafiyah Di Desa Langkap Kecamatan Besuki Kabupaten Situbondo”, h 4-5. 18 K.H. Zaini Mun’im, Problematika Dakwah Islamiyah (Probolinggo: NJPress, 2008), cover
belakang.
7
Kesadaran Beragama, 2. Kesadaran Berilmu, 3. Kesadaran Bermasyarakat, 4.
Kesadaran Berbangsa dan Bernegara, 5. Kesadaran Berorganisasi.19
Gagasan KH. Zaini Mun’im tentang Konsep Panca Kesadaran Santri semakin
menarik untuk dikupas, karena didalamnya terdapat suatu nilai untuk mewujudkan
masyarakat yang adil, masyarakat yang beradab, masyarakat yang maju, masyarakat
yang harmonis dan lain sebagainya (Masyarakat Madani). Selain itu beliau adalah
salah satu kancah yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia, beliau
merupakan pejuang yang mempertahankan NKRI pada masa Belanda dan Jepang,
beliau diberi kepercayaan oleh masyarakat sebagai pimpinan Barisan Pembela Tanah
Air (PETA).
Dari pemaparan tersebut di atas, penulis ingin melakukan penelitian berjudul
“Konsepsi Tentang Panca Kesadaran Santri dalam Mewujudkan Masyarakat
Madani Perspektif K.H. Zaini Mun’im”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Batasan Masalah
Dari judul yang yang dipaparkan diatas Penulis membatasi permasalahan
penelitian ini pada konsep panca kesadaran santri sebagai wahana untuk mewujudkan
masyarakat madani.
Adapun beberapa masalah yang ditemukan dalam latar belakang diatas antara
lain:
19 Rusyidi Sulaiman dan A. Bashori Shanhaji PPNJ Antara Idealisme dan Pragmatisme, h 30-
31.
8
a. Melihat pengalaman dimasa lalu, pada orde baru banyak pengalaman-
pengalaman Indonesia yang menyedihkan seperti halnya penindasan yang
dilakukan oleh penguasa terhadap rakyat. Hari ini kita dipertemukan
dengan permasalahan kenegaraan yang harus diselesaikan yakni korupsi
dan hal-hal lainnya. Para penguasa melakukan penindasan secara halus
dengan mengambil dan menghambur-hamburkan uang negara. Selain itu
diwilayah bagian timur banyak perseteruan yang terjadi antara umat
beragama seperti halnya kristen dan islam di Ambon yang selalu berseteru
antara satu dengan yang lainnya. Bahkan krisis moral telah melanda
bangsa Indonesia.
b. Makna masyarakat madani masih kabur, dikarenakan Masyarakat Madani
disini merupakan sebuah bayangan saja.
c. Banyak para pemikir yang telah memberikan makna tersendiri terhadap
masyarakat madani, namu masyarakat masih kehilangan arah, yang
utamanya masyarakat madani adalah sebuah konsep untuk memajukan
sebuah bangsa ternyata masyarakat madani disini masih hanyalah
wejangan yang bersifat biasa-biasa saja tanpa arti.
Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah di atas, maka rumusan
masalah dalam skripsi ini akan difokuskan pada konsep panca kesadaran santri, yaitu
bagaimana konsep panca kesadaran santri ini untuk mewujudkan masyarakat madani
yang digagas oleh K.H. Zaini Mun’im?
9
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan konsep baru yang digagas oleh K.H.
Zaini Mun’im untuk mewujudkan masyarakat madani yakni dengan konsep panca
kesadaran santri. Adapun manfaat penelitian ini antara lain: Pertama, bagi peneliti
adalah untuk memperoleh persyaratan mendapatkan gelar sarjana strata satu dalam
bidang Ushuluddin, kedua, pengenalan tokoh baru dalam dunia sosial khususnya
dalam masyarakat madani, Selanjutnya, diharapkan memberikan kontribusi pemikiran
dan dapat dijadikan pedoman pada pengembangan keilmuan Islam. Ketiga, bagi
pembaca dapat memperdalam pengetahuan mengenai pentingnya menanamkan
konsep panca kesadaran santri dalam kesehariannya. Lebih lanjut, sebagai wahana
untuk menambah khasanah keilmuan di bidang kajian sosial melalui gagasan panca
kesadaran santri yang dikonsepkan oleh K.H. Zaini Mun’im.
D. Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa skripsi yang berhubungan dengan tema yang penulis
angkat. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Azizah Febriyani, “Konsep Masyarakat Madani Menurut Partai Keadilan
Sejahtera (PKS)”, skripsi mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
jurusan Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi
ini berisi tentang konsep masyarakat madani menurut Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), diantara konsepnya yakni membangun Indonesia yang
10
adil, sejahtera, dan bermartabat serta strategi-strategi PKS dalam
mewujudkan masyarakat madani.20
2. Patik Ahmad, “Peran Ulama dalam Mewujudkan Masyarakat Madani
Yang Kuat (orde baru-orde reformasi)”, skripsi mahasiswa UIN Syarif
Hidyatullah. Skripsi ini berisi tentang peran ulama sebagai penggerak
utama dalam penyiaran Islam di Nusantara dengan penyesuaian budaya
dan tradisi masyarakat.21
3. Abdul Rozak, “Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education :
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”, skripsi
mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berisi tentang makna-
makna Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani.22
4. Ismail Fuad, “Konsep Pendidikan Multikultural Dalam Pendidikan Islam”,
skripsi program studi Pendidikan Agama Islam fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini berisikan konsep-
konsep pendidikan dan model pendidikan sebagai sarana perwujudan
20Azizah Febriyani “Konsep Masyarakat Madani Menurut Partai Keadilan Sejahtera (PKS)”,
Skripsi, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat jurusan Pemikiran Politik
Islam) 43-54. 21 Patik, Ahmad, “Peran ulama dalam mewujudkan masyarakat madani yang kuat (orde baru-
orde reformasi)”,Skripsi (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002) 47-55. 22Abdul Rozak “Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education : Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, dan Masyarakat Madani”, Skripsi (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: program studi
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan)h 136-218.
11
Masyarakat Madani sekaligus hal-hal yang sudah tercapai dan terlaksana
dalam pendidikan Islam.23
Dari beberapa penelitian tersebut di atas, berbeda dengan penelitian
yang akan saya teliti. Penelitian ini mengangkat tema konsep panca kesadaran
Santri Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani Perspektif K.H. Zaini
Mun’im. Dengan demikian, penelitian yang diangkat oleh penulis adalah
benar-benar baru, orisinal dan berbeda dengan yang lainnya.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis terapkan terbagi dalam dua poin.
Metodologi penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kualitatif. Jadi
pendekatan yang digunakan adalah penelitian kajian pustaka (Library Research).
Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yakni primer dan sekunder.
Data primer dalam penelitian ini adalah buku karya K.H. Zaini Mun’im.
Sumber sekunder dalam penelitian ini adalah karya-karya yang membahas tentang
pemikiran K.H. Zaini Mun’im dan biografinya.
Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan teknik library research.
Langkah-langkahnya adalah dengan mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-
buku, jurnal, maupun laporan penelitian ilmiah yang terdapat di perpustakaan dan
didukung dengan beberapa wawancara di lingkungan pesantren terkait pemikiran
K.H. Zaini Mun’im mengenai Panca Kesadaran Santri.
23Ismail Fuad, “Konsep Pendidikan Multikultural Dalam Pendidikan Islam”, Skripsi (UIN
syarif Hidayatullah Jakarta: Skripsi program studi Pendidikan Agama Islam fakultas Tarbiyah dan
Keguruan) h 49-93.
12
Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif dan analitis. Deskriptif
digunakan agar mampu memahami dan memberikan gambaran yang jelas mengenai
permasalahan yang terkait dengan skripsi ini. Dalam metode deskripsi, penulis
menjelaskan judul yang diangkat dengan permasalahan yang berkaitan.
Analisa digunanakan untuk menghubungkan antara persoalan yang ada
dengan teori yang digunakan agar menemukan jawaban atas penelitian yang sedang
dilakukan.
Sistematika Penulisan
Bab pertama, Pendahuluan, merupakan landasan umum penelitian dari skripsi
ini. Bagian ini terdiri dari latarbelakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, penelitian terdahulu yang relevan, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab kedua, Biografi K.H. Zaini Mun’im. Bab ini menguraikan Riwayat hidup,
pendidikan, karya-karya K.H. Zaini Mun’im serta pengalaman beliau didunia
dakwah.
Bab ketiga, kajian tentang Masyarakat Madani dan Filsafat Humanisme
Bab keempat, kajian tentang pengertian konsep dan Konsep Panca Kesadaran
Santri Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani Perspektif K.H. Zaini Mun’im.
Bab kelima Penutup. Penulis menyimpulkan isi skripsi secara keseluruhan
sebagai penegasan jawaban atas permasalahan yang dikemukakan sebelumnya.
13
BAB II
BIOGRAFI K.H. ZAINI MUN'IM
A. Riwayat Hidup K.H. Zaini Mun’im
Zaini Mun’im dilahirkan di desa Galis kecamatan Galis, sekitar 9 km sebelah
timur kota Pamekasan Madura-Jawa Timur, pada tahun 1906. Zaini Mun’im
diklahirkan dari pasangan K.H. Abdul Mun’im dan Nyai Hamidah. K.H. Abdul
Mun’im adalah putra kiai Mudarik, dan K.H. Mudarik sendiri adalah putra ke-4 Kyai
Ismail, generasi kedua pengurus Pondok Pesantren Kembang Kuning Pamekasan.
Kyai Ismail adalah keponakan Kyai Mahalli, pendiri Pondok Pesantrn Kembang
Kuning, yang pada 619 M diangkat sebagai anak kyai Mahalli. Kakek dari Kyai
Ismail adalah keturunan (dari Kyai jalur Batu Ampar Wetan) Bendoro Saud, yang
lebih dikenal dengan Temenggung Tirtonegoro, seorang Adipati Sumenep yang juga
keturunan Pangeran Ketandus atau cucu dari Sunan Kudus.1 Sedangkan Ibu dari Zaini
Mun’im Nyai-Hamidah yang merupakan keturunan dari para raja Pamekasan melalui
jalur K.H. Bujuk Azhari (Raton Sidabulangan), penguasa keraton Pamekasan.2
Nama kecil Zaini Mun’im ialah Abdul Mughni, dan setelah menunaikan
ibadah haji lalu nama beliau berubah menjadi Zaini Mun’im. Sebagaimana lazimnya
dalam keluarga pesantren, Zaini Mun’im menjadi harapan keluarga untuk menjadi
seorang yang alim dan dapat menggantikan ayahandanya sebagai pengasuh pesantren
Galis. Oleh karena itu, dalam usia yang masih dini, Zaini Mun’im telah diajari
1 Saili Aswi dkk, Riwayat Singkat Almarhumin Pondok Pesantren Nurul Jadid, h. 2. 2 Tim, Mengenal Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, (Probolinggo: Biro
Umum, 1998), h. 17.
14
membaca Al-qur'an oleh ibundanya sendiri yang kemudian dilanjutkan dengan
belajar Al-qur'an pada ayahnya, K.H. Abdul Mun’im dan pamannya K.H. Shanhaji
yang dikenal dengan Kiai Anom, saudara sepupu Kyai Abdul Mun’im, yang dalam
aktifitas sehari-harinya membantu Kiai Abdul Mun’im, juga membantu Zaini
Mun’im dalam belajar.3
Zaini kecil ini sangat beruntung memiliki seorang ayah yang betul-betul
memperhatikan pendidikannya. Ayahnya memperhatikan Zaini dalam hal mengaji,
menghafal Al-qur'an dan mendalami ilmu-ilmu agama dasar. Pendidikan dalam
keluarganya benar-benar efektif dalam membentuk watak dan kepribadiannya untuk
dapat menghadapi kehidupan nyata. Tentunya, terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi karakter dan semangatnya dalam beragama. Di antaranya adalah
ketekunan sang ayah dan kasih-sayang serta kecintaan dari ibunya.
B. Pendidikan K.H. Zaini Mun’im
Pada tahun 1917, dalam usianya yang baru menginjak 11 tahun, Zaini masuk
sekolah Wolk School (Sekolah Rakyat)4 pada masa penjajahan Belanda. Di sekolah
ini, Zaini mengenyam pendidikan ala Belanda selama empat tahun dan berakhir
pada tahun 1921. Di sekolah ini, Zaini banyak memperoleh pengetahuan umum,
membaca dan menulis, serta bahasa dan istilah pengetahuan ala Belanda. Wawasan
dan pengetahuan yang didapatnya selama di Volk School ini menjadi pondamen
3 Abd Muqsith Ghazali, “K.H. Zaini Mun’im,” dalam Mastuki HS dan M. Isham El-Saha
(ed.), Intelektualisme Pesantren Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren
(Jakarta: Diva Pustaka, 2003), h. 210. 4 Saili Aswi dkk, Riwayat Singkat Almarhumin Pondok Pesantren Nurul Jadid, h. 2-3.
15
dasar baginya dalam membentuk kepribadian yang berwawasan luas. Catatan
sejarah menunjukkan bahwa hanya pada Volk School inilah, Zaini hanya
mengenyam pendidikan formal yang selebihnya banyak berkutat di dunia
pendidikan ala pesantren sebagai seorang santri.
Setelah keluar dari Sekolah Rakyat, pendidikan dilanjutkan di Pondok
Pesantren Pademangan Bangkalan Madura di bawah asuhan K.H. Moh. Kholil dan
K.H. Muntaha. Di pondok ini pula. Zaini dapat menghafalkan 10 juz Al-qur'an dan
Nazam Alfiyah Ibn Malik.5 Di Pademangan ini, Zaini hanya mengenyam pendidikan
selama satu tahun. Kemudian pada tahun 1922, pendidikannya dilanjutkan di
Pondok Pesantren Banyuanyar Pamekasan di bawah asuhan K.H. Abdul Hamid dan
K.H. Abdul Madjid.6 Dari kedua pengasuh ini, Zaini belajar ilmu-ilmu agama pada
tingkat menengah seperti; Tafsir, Hadith, Usul Fikih, Fikih, Tasawuf, Bahasa Arab
dan Ilmu Tajwid. Di Pondok pesantren ini pula, Zaini memperdalam ilmu tafsir,
sehingga kepiawaian dan kecerdasannya semakin nampak. Dalam beberapa hal,
Zaini telah dapat memberikan penafsiran terhadap beberapa kitab dan ayat Al-
qur'an. Hanya saja, tidak ada catatan yang dapat menjelaskan kitab tafsir apa saja
yang telah dipelajarinya sewaktu mondok di Pesantren ini.7
Pada tahun 1925, Zaini mulai merantau ke tanah Jawa dan mengenyam
5 Tim, Mengenal Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, h. 18. 6 M. Masyhur Amin dan M. Nasikh Ridwan, K.H. Zaini Mun'im Pengabdian dan Karya
Tulisnya (Yogyakarta: LKPSM, 1996), h. 25. 7 A. Rafiq Zainul Mun’im, Tafsir Surat al-Fatihah K.H. Zaini Mun’im (Yogyakarta:
Forstudia dan PP. Nurul Jadid, 2004), xxx.
16
pendidikan di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan di bawah asuhan K.H. Nawawi.8
Di Pondok ini, Zaini hanya bertahan selama satu tahun dengan memperdalam
Bahasa Arab tingkat atas. Setelah dari Pondok Pesantren Sidogiri ini, kemudian
Zaini melanjutnya pendidikannya di pondok pesantren Tebuireng Jombang, di
bawah asuhan K.H. Hasyim Asy'ari. Di samping memperdalam ilmu-ilmu agama, di
pondok ini pula, Zaini juga mempelajari ilmu-ilmu umum, seperti ilmu Falak (Ilmu
Astronomi) dan sebagainya.9
Tidak puas dengan hanya menimba ilmu di tanah air, akhirnya beberapa
tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1928, Zaini Mun'im memperdalam ilmu
agama Islam di kota Makkah. Pendidikan yang ditempuhnya selama berada di kota
suci ini ditempuhnya selama lima tahun dengan pola pendidikan yang informal dan
ala pesantren. Dalam kurun waktu yang cukup lama, Zaini telah berguru kepada
sekian intelektual Muslim Kota Makkah yang populer ketika itu. Guru-guru yang
telah membentuk kepribadiannya di sana antara lain K.H. M. Baqir yang berasal
dari Yogyakarta, Sheikh Umar Hamdani al-Magribi, Sheikh Alwi al-Maliki (Mufti
Maliki di Makkah), Sheikh Sa'id al-Yamani dan Sheikh Umar Bayunid (keduanya
adalah mufti Shafi'i di Makkah).
Di Kota Makkah ini pula, Zaini sempat mendalami ilmu Al-qur'an pada
Shaikh Yahya Sangkurat (berasal dari Malaysia). Pada Shaikh Yahya inilah, Zaini
sempat menghafal dan menguji hafalannya hingga juz ke-10. Di samping itu, Zaini
8 Saili Aswi dkk, Riwayat Singkat Almarhumin Pondok Pesantren Nurul Jadid, h. 3. 9Tim, Mengenal Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, h. 19.
17
juga mendalami ilmu Tasawuf, sehingga dia mendapatkan ijazah tariqat Sadhaliyah
dari Shaikh Syarif Muhammad bin Ghlam al-Singkiti. Ketika menetap di Kota
Makkah ini pula, Zaini mendapatkan mandat untuk menjadi pimpinan Lajnah
Masa’il bersama dengan K.H. Mannan Tanggul Jember dan K.H. Hazin Baladu
Probolinggo. Sebelum kepulangannya ke tanah air, Zaini masih sempat menetap di
Kota Madinah selama empat bulan lamanya dan mengikuti berbagai pengajian di
Masjid Nabawi (Madinah) dari be berapa ulama terkemuka saat itu, di antaranya
adalah Shaikh Ibrahim al-Barri.10
Pada tahun 1934, Zaini pulang ke negerinya, Indonesia. Selanjutnya Zaini
diminta untuk menetap di Panggung Galis dan ditunjuk sebagai pengasuh Pondok
Pesantren Panggung. Ketika mengelola pesantren tersebut, Zaini masih
menyempatkan diri untuk mengaji kitab di Pondok Pesantren Banyuanyar, tempat
di mana dia mengenyam pendidikan sebelumnya.11 Begitu pula ketika bulan
Ramadhan, Zaini Mun’im mengikuti pengajian kilatan kitab Hadith karya Imam
Bukhari dan Imam Muslim pada K.H. Hasyim Asy’ari Jombang dan kitab tasawuf
pada K.H. Hazin Siwalan Panji Sidoarjo.12 Hal ini menunjukkan integritasnya
terhadap ilmu pengetahuan agama dan semangatnya yang tinggi untuk tetap
menuntut ilmu dan mengenyam dunia pendidikan.
10 “Biografi K.H. Zaini Mun’im”, http://www.nuruljadid.net/biografi-kh-zaini-munim diakses
pada tanggal 2 september 2018. 11 “Biografi K.H. Zaini Mun’im”http://www.nuruljadid.net/biografi-kh-zaini-munim diakses
pada tanggal 2 september 2018 12 Abd Muqsith Ghazali, “K.H. Zaini Mun’im,” dalam Mastuki HS dan M. Isham El-Saha
(ed.), Intelektualisme Pesantren Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren
(Jakarta: Diva Pustaka, 2003), h. 211.
18
Ketika perjuangan kemerdekaan berkobar, Zaini Mun'im memangku jabatan
sebagai ketua pimpinan laskar Hizbullāh dan melakukan perang gerilya melawan
Belanda. Namun kekejaman penjajah dengan membumi hanguskan pulau Madura
telah mendesak penduduk Madura, khususnya Zaini Mun’im untuk melakukan
hijrah dari Madura. Maka pada tahun 1947-an, Zaini Mun'im hijrah ke tanah Jawa
menuju daerah Asembagus Situbondo dan menetap di pesantren Salafiyah
Syafi’iyah Sukorejo. Dari sini, akhirnya Zaini mencari tanah harapan yang bisa
menjadi tempat untuk menetap dan beraktualisasi diri. Maka dipilihlah desa
Karanganyar Paiton Probolinggo sebagai tanah harapannya dan mendirikan pondok
pesantren yang diasuhnya dengan nama Pondok Pesantren Nurul Jadid.
Tahun 1953, Zaini aktif di organisasi Nahdhatul Ulama (NU) dan
memangku jabatan selaku Ra'is Syuriyah NU Cabang Kraksaan.13 Pada tahun 1960
beliau terpilih sebagai wakil Ra'is Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Timur.14 Visi
dan orientasi yang ditekankan dalam mengembangkan NU adalah agar masyarakat
di kalangan bawah (warga NU khususnya) dapat terangkat kesejahteraan dan
derajatnya dan aparat pemerintahan dapat menjalankan ajaran Islam secara
konsisten dan bertanggung jawab.
Walaupun aktif dalam organisasi dan dunia politik, Zaini masih memiliki
semangat yang tinggi dalam dunia pendidikan. Hal ini terbukti dengan upayanya
merintis dunia pendidikan bagi masyarakat awam yang waktu itu diberi nama Flour
Kelas. Lembaga ini didirikan sebagai jenjang pendidikan lanjutan Madrasah Manhaj
13 Saili Aswi dkk, Riwayat Singkat Almarhumin Pondok Pesantren Nurul Jadid, h. 10
19
al-Nasī’ah al- Islāmiyah. Pada tahun 1961, lembaga ini berubah nama menjadi
Mu’allimīn. Pada tahu 1969, Madrasah Mu’allimin ini berubah menjadi Madrasah
Tsanawiyah. Tiga tahun kemudian, madrasah ini dinegerikan oleh pemerintah,
karena dinilai cukup berhasil dalam melahirkan siswa-siswa yang berprestasi dan
berkualitas. Pada tahun 1970, Zaini mendirikan SMP dan SMA Nurul Jadid.
Kemudian pada tahun 1974, Zaini mendirikan Sekolah Dasar Islam (SDI) yang dua
tahun kemudian berubah menjadi Madrasah Ibtidaiyah Nurul Mukmin. Pada tahun
1974, Zaini terdorong untuk mendirikan Lembaga Pendidikan Guru Agama Nurul
Jadid. Antusiasme Zaini di dunia pendidikan tidak hanya sampai di sini. Selain
serius melakukan pembenahan dan mengembangkan dunia pendidikan yang ada,
Zaini Juga mendirikan perguruan tinggi Institut Agama Islam Nurul Jadid (IAINJ)
yang awalnya bernama ADIPNU kemudian PTID dan PTN.14
Zaini Mun'im menetap di tanah Jawa selama kurang lebih 29 tahun sampai
akhirnya Allah Swt. memanggilnya pulang ke haribaan-Nya pada tanggal 26 Juli
1976 M, bertepatan dengan tanggal 29 Rajab1396 H. Ketika itu, usia Zaini Mun’im
menginjak 70 tahun. Dia dikebumikan di pemakaman keluarga Pondok Pesantren
Nurul Jadid. Tepatnya belakang Masjid Jami' Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton
Probolinggo Jawa Timur.
C. Karya-karya KH. Zaini Mun’im
Ketika K.H. Zaini Mun’im wafat, beliau meninggalkan khazanah yang
14 Abd Muqsith Ghazali, “K.H. Zaini Mun’im,” dalam Mastuki HS dan M. Isham El-Saha
(ed.), Intelektualisme Pesantren Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren, h.
216.
20
berharga bagi para kehidupan masyarakat, di dalam pesantren maupun diluar
lingkup pesantren. Seperti yang telah kita ketahui bahwa K.H. Zaini Mun’im
terdidik dalam pendidikan yang dominan religius, tidak dapat dinafikan akan
karyanya yang begitu religius. Ketika K.H. Zaini Mun’im masih hidup, beliau
meluangkan waktu untuk menorehkan tinta intelektualnya di atas kertas yang
kosong. Selain beliau berdakwah, beliau juga giat menulis disela-sela kegiatannya
itu.
Beberapa kitab yang telah dikarang oleh K.H. Zaini Mun’im daiantaranya
adalah:
1. Ilmu Ushul Fiqih (Taysīrul Ushūl Fi Ilmil Ushūl)
2. Tafsir Al-Qur’an (Tafsīrul Qur’ān bil ʻImlāʻ)
3. Ilmu Fiqih (Naẕhmu Safīnatun Najāẖ)
4. Ilmu Tauhid dan Akhlak (Naẕhmu Syu’abil Īmān)15
5. Problematika Dakwah Islamiyah.16
a. Taysīrul Ushūl Fi Ilmil Ushūl
Taysīrul Ushūl Fi Ilmil Ushūl Kitab ini beliau tulis sebagai upaya
memudahkan santri dalam memahami Qa’idah Ushuliyah dengan metode
cepat dan praktis. Kitab ini berisikan tentang pedoman untuk menggali dalil
syara’, yang bertitik tolak pada pengambilan dalil yang dijadikan metode
15 Rafiq Zainul Mun’im, “Tafsir Surat Al-Fatihah Dalam Naskah Tafsir Al-Qur’an Bil Al-
Imla’ Karya K.H. Zaini Mun’im Suatu Kajian Filologis” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003, h. 21. 16 Saili Aswi dkk, Riwayat Singkat Almarhumin Pondok Pesantren Nurul Jadid, h 13.
21
dalam penggalian hukum.
b. Tafsīr Al-qur'an bi al-Imlāʻ
Tafsīr Al-qur'an bi al-Imlāʻ adalah karya tafsir yang disusun oleh Zaini
Mun’im. Di kalangan santri, tafsir ini akrab dikenal dengan “Tafsīr bi al-Imlāʻ”
karena cara penyampaian tafsir ini adalah dengan menggunakan dikte (imla ), imla
di sini digunakan sebagai alat untuk memahami ajaran-ajaran Islam yang terkantung
dalam sumber-sumber pokok agama Islam yaitu Al-qur’an dan Hadist serta kitab-
kitab yang semuanya ditulis dengan bahasa Arab. Hal ini bertujuan untuk
membiasakan dan menggali bakat para santri dalam mengarang dengan
menggunakan bahasa Arab (ʻinsyaʻ) serta melatih para santri dalam menanggapi
masalah. Dari segi isi dan kandungan, karya ini merupakan penafsiran terhadap
ayat-ayat Al-qur'an dari Surat al-Fatihah secara penuh dan ayat-ayat dari surat al-
Baqarah sebanyak 183 ayat.
c. Naẕhmu Safīnatun Najāẖ
Karya Zaini Mun’im yang berjudul Safīnat al-Najāh adalah sebuah kitab
berbahasa Arab dengan model naẕam atau syair. Kitab ini merupakan kitab fiqhiyah
yang membahas persoalan-persoalan ibadah seperti layaknya kitab-kitab fiqih
lainnya. Isi dan kandungan dari kitab tersebut mengacu pada pembahasan tentang
ṯaharah (bersih-suci), sholat, puasa, zakat dan haji. Maksud dari penulisan kitab ini
ke dalam bentuk syair adalah dengan tujuan agar supaya murid dan santri yang
mempelajarinya dapat dengan mudah mempelajari dan menghafalnya. Pokok bahasan
dalam Naẕam Safīnat al-Najāẖ karya Zaini Mun’im ini secara sistematis dapat
22
diuraikan sebagai berikut: Muqaddimah. Rukun Iman. Rukun Islam. Makna tahlil.
Tanda-tanda bagi anak yang sudah baligh. Ṯaharah. Sholat. Zakat. Puasa. Haji.
Penutup yang berisi tentang nasehat-nasehat akhlaq al-karimah.
d. Naẕhmu Syu’abil Īmān
Kitab ini merupakan kitab akidah yang membahas tentang persoalan-
persoalan iman dan cabang-cabangnya. Dalam kitab ini, Zaini Mun'im
menyebutkan bahwa cabang-cabang iman ada 78 macam. Kitab ini sebenarnya
terinspirasi dan mengadopsi dari gagasan yang telah dilontarkan oleh Muhammad
Nawawi bin Umar al-Jawi dalam kitabnya yang berjudul al-Futūẖāt al-
Madaniyyah. Jumlah syair dari Naẕam Syu ab al- Īmān karya Zaini Mun’im ini
adalah 313 bait setara dengan jumlah pasukan Muhammad Rasulullah Saw dalam
perang Badar. Hal ini sebagaimana yang dipapakan oleh Zaini Mun'im sendiri
dalam bait terakhirnya yang tidak termasuk dalam hitungan bait yang 313
sebelumnya.
Adapun macam-macam iman dalam Naẕam Syu ab Īmān karya Zaini Mun’im
secara sistematis adalah sebagai berikut: Iman kepada Allah swt, Iman kepada
Malaikat, Iman kepada kitab Allah swt, Iman kepada Rasul-rasul Allah swt, Iman
terhadap takdir, Iman kepada hari akhir, Mencintai Allah swt dan Nabi Muhammad
saw, Cinta dan benci karena Allah swt, Menghormati Nabi Muhammad saw,
Menghormati syi’ar-syi’ar agama Islam, Ikhlas, Taubat, Takut dan berharap,
Syukur, Sabar, Rela dengan ketentuan Tuhan, Memenuhi janji, Wara’, Malu,
Tawakkal, Menyayangi makhluk, Rendah hati, Meninggalkan kemewahan,
23
Meninggalkan keangkuhan, ujub, iri, dengki, menyelidiki kejelekan orang, marah,
dusta, menghina, zalim, mengelabuhi orang, saling membelakangi dan saling
membenci, Mengucapkan kalimat tauhid, Membaca Al-qur'an, Belajar dan
mengajar ilmu, Doa. Zikir, Bersuci, Menutup aurat dan menutup mata, Sholat
fardhu dan sunnah, Zakat, Memerdekakan budak, Murah hati, Puasa fardu dan
sunnah, I’tikaf, Haji dan umrah, baik yang fardlu maupun yang sunnah, Tawaf, Lari
karena agama dan hijrah karena agama, Memenuhi nazar dan menjaga sumpah,
Membayar kafarat Memelihara agama dengan nikah, Menolong untuk menikahkan,
Memenuhi hak-hak keluarga, Berbakti kepada ayah dan ibu, Mendidik anak,
Silaturrahim, Menyayangi hamba sahaya, Melaksanakan perintah dengan adil,
Mematuhi penguasa, Mengikuti kelompok, Berdamai dengan sesama manusia,
Bekerja sama atas dasar kebajikan termasuk amar ma’ruf dan nahi munkar,
Membela orang yang dianiaya, Menegakkan hukuman, Berjuang dan berjaga-jaga,
Melaksanakan amanah, Memuliakan tetangga, Baik dalam melakukan transaksi,
Membelanjakan harta dengan semestinya, Menjawab salam, Mendoakan orang
bersin, Memberi pinjaman yang baik, Saling memberi hadiah, Berbudi pekerti yang
baik, Memelihara rahasia mulut dan kehormatan, Menjenguk orang sakit, Ikut
melakukan persiapan untuk mayit dan salat untuknya, Mencegah bahaya dari orang
lain, Benci kembali kepada kekufuran, Menjauhi hiburan dan saksi palsu,
Membuang rintangan dari jalan, Mencintai orang Islam sebagaimana mencintai
dirinya sendiri, Minta izin ketika akan memasuki rumah orang lain, Mengambil
pelajaran, Menolak dengan baik, Sibuk dengan pekerjaan yang berguna dan
24
meninggalkan pekerjaan yang tidak berguna.
e. Beberapa Problematika Dakwah Islamiyah
K.H. Zaini Mun'im berpendapat bahwa dakwah memiliki beberapa faktor
yang perlu diperhatikan, yaitu: pertama, faktor lapangan operasi dakwah, yaitu
manusia karena mereka merupakan makhluk Tuhan yang paling sempurna dan
mendapatklan taklīf dari-Nya. Kedua, faktor materi dakwah yang terbagi ke dalam
dua bagian, yaitu: Perbaikan yang mashrū yang mencakup aqidah, ibadah, tata
tertib kemasyarakatan dan lain sebagainya. Dan perbaikan yang ma rūf yang
mencakup segala perbuatan yang baik. Ketiga, faktor metode dakwah, yaitu harus
bijaksana.Pernyataan ini didasarkan pada ayat Al-qur'an yang berbunyi: "Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang
lebih mengetahui tentang siapa yang tersesa dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” Keempat, faktor motif dan
tujuan dakwah, yaitu mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di dunia
dan di akhirat. Rincian dari garis-garis besar dalam mewujudkan kesejahreraan dan
kebahagiaan itu adalah: Imam kepada Allah, iman kepada para Malaikat, iman
kepada kitab-kitab Allah, iman kepada rasul-rasul Allah, dan iman kepada hari
kiyamat.
Pengalaman K.H. Zaini Dalam Dunia Dakwah
25
Sebagai muballigh, K.H. zaini menerapkan dua model dakwah yakni, dakwal
bil hal dan dakwah bil maqal.17 Pertama dakwal bil hal, pada awalnya dimulai dari
beliau yang membangun pesantren di Madura, namun Belanda kembali menjajah ke
Indonesia. Dengan tekanan Belanda K.H. Zaini Mun’im lalu hijrah ke Karanganyar
Paiton Probolinggo lalu beliau mendirikan sebuah pesantren baru.18 Ketika pertama
kali beliau datang ke Dusun Tanjung Desa Karanganyar, K.H Zaini Mun’im langsung
mempelajari situasi dan kondisi perekonomian dan pertanian.
Pada awalnya Desa Karanganyar merupakan pusat pelacuran dan perjudian,
namun disisi lain beliau melihat bahwa tanah di Desa Karanganyar merupakan tanah
yang produktif, namun masyarakat masih belum menyadari hal itu. Oleh karena itu,
K.H. Zaini menjadikan tanah miliknya dari tanah tegal menjadi ladang dan sawah.
Kemudian tanah itu beliau tanami dengan jagung dan hasilnya sangat memuaskan.
Melihat hasil tanaman milik beliau, kepala desa dan masyarakat sekitar kagum.
Hingga kemudian mereka tidak menolak ketika K.H. Zaini Mun’im mengajak untuk
membuat saluran irigasi untuk pengaliran air ke ladang atau sawah.19
Lalu kemudian K.H. Zaini Mun’im mengenalkan tanaman tembakau kepada
masyarakat Karanganyar, namun warga merespon negatif kepada K.H. Zaini Mun’im
dengan menyatakan “Kenapa pak haji itu menanam tembakau? tembakau itu kan
tidak bisa dimakan.” Namun dengan semangat dan ketelatenannya beliau tetap
17 Saili Aswi dkk, Riwayat Singkat Almarhumin Pondok Pesantren Nurul Jadid, h 14. 18 Wawancara penulis dengan K.H. Zuhri Zaini di kediaman, rumah beliau, Paiton
Probolinggo, tanggal 09 Januari 2018 19 Saili Aswi dkk, Riwayat Singkat Almarhumin Pondok Pesantren Nurul Jadid, h 15.
26
menanam tembakau. Dengan berjalannya waktu beliau memberikan pemahaman
terhadap masyarakat bahwa tembakau bukan untuk dimakan, melainkan untuk
dirokok. Setelah memperoleh pemahaman dari K.H. Zaini, masyarakat lalu
berbondong-bondong untuk menanam tembakau. Kebradaan tanaman tembakau
kmudian menjadi tanaman andalan masyarakat Karanganyar.20
Kedua dakwah bil maqal, K.H. Zaini tidak mengenal tempat dan waktu dalam
menyampaikan dakwahnya. Ketika ada undangan atas beliau beliau masih
menyempatkan untuk datang walaupun beliau sedang sibuk. Dalam dakwahnya K.H.
Zaini Mun’im selalu mengajak masyarakat untuk mencintai agama dan tanah air.
Selain hal itu, beliau juga memberikan motifasi agar masyarakat selalu meningkatkan
kesejahteraan, memerangi kebodohan dan kemiskinan.
Pada tahun 1968, Indonesia mulai muncul Kristiani, beliau merespon bahwa
kegiatan dakwah harus ditingkatkan di semua limit. Memberikan bkal yang cukup
untuk para da’i dengan kemampuan teoritis maupun ilmiah. Demi meralisasikan hal
tersebut, K.H. Zaini Mun’im menyampaikan gagasannya yakni dengan meng up
grading dakwah dan pendidikan agama secara periodik. Kemudian gagasan ini
disambut positi oleh masyarakat. Berangkat dari aspirasi masyarakat beliau
melakukan konsultasi kepada beberapa ahli seperti Rektor pertama IAIN Sunan
Ampel yakni Prof. Ismail Yaqub dan beliau menyarankan agar K.H. Zaini mendirikan
Akademi Dakwah. Kemudian beliau menawarkan kedalam musyawarah kerja
pengurus NU wilayah Jawa Timur. Hingga pada akhirnya dibentuk kepanitiaan usaha
20 Buku panduan Osabar, Mondok Untuk Mengaji dan Membina Akhlakul Karimah, h 27.
27
pendidikan akademi dakwah yang sekarang dikenal Universitas Nurul Jadid.
Demikianlah kegigihan dan keseriusan bliau dalam dunia dakwah, menyiarkan dan
menyebarluaskan ajaran-ajaran agama Islam.
28
BAB III
KAJIAN TEORI TENTANG MASYARAKAT MADANI
A. Pengertian Masyarakat Madani
Masyarakat madani yang dikenal juga dengan Civil Society, keduanya
memiliki banyak definisi. Anatara Civil Society dan masyarakat madani mempunyai
kecenderungan beberapa persamaan diantaranya toleransi, kewarganegaraan, ruang
public, demokrasi dan lain sebagainya.1untuk memudahkan dalam memahami tentang
masyarakat madani dan Civil Society akan dipaparkan pengertian keduanya.
pengertian. masyarakat madani memiliki dua kata awal yakni “masyarakat”
dan “madani”, masyarakat madani merupakan kata yang diambil dari Bahasa Arab
yakni huruf sya (ش ), ra (ر), kaf (ك).2Bentukan kata yang muncul antara lain Syirk,
Syarikat, Syirkah/ Syarikah, “Shirk” memiliki arti bergaul atau
berinteraksi,3”Syarikat” merupakan kata serapan yang di adopsi oleh Indonesia yang
dalam Bahasa Indonesia menjadi Serikat4 kata serikat disini memiliki arti
pembentukan suatu kelompok, golongan, atau kumpulan. Kata “Syirkah” atau sering
juga di sebut dengan “Syarikah”5berarti al -iktilāṯ (percampuran) atau persekutuan.
1 Vita Fitriadan Sri Agustin Sutrisno wati, “civil society, konsep ummah dan masyarakat
madani” MKU-UNY, (artikel di download pada 1 Mei 2018) h. 2 2 Abu Khaer, Konsep Masayarakat Madani dalam Manifesto Perjuangan Gerindra (Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah, 2014), h.52. 3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1979), hlm. 157. 4 Sidi Gazalba, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan sosiografi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1976), h 15 5 Deny Setiawan,“Kerja Sama (Syirkah) Dalam Ekonomi Islam”, Ekonomi Pembangunan,
Volume 21, Nomor 3 September 2013), h.1
29
Syirkah memiliki istilah lain yakni musyarakah,6dalam kamus hukum diterangkan
diantaranya musyarakah memiliki arti persekutuan.7Ensiklopedi Islam Indonesia juga
menerangkan, Syirkah, Musyarakah dan Syarikah, yang merupakan kata awaldari
Bahasa Arab memiliki arti persekutuan, perkongsian dan perkumpulan.8Dalam
pengertian Syirkah ulama fiqih juga memiliki beberapa pendapat diantaranya:
Ulama Malikiyah
ف لهما معا ريكين لصاحب هي اذن فى التصر ه فى انفسهمااي أن يأذن كل واحدمن الش
ف لكل منهما رف فى مال لهمامع إبقءحق التصر .أن يتص
Artinya: “Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang
dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling
mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya,
namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf”.9
Ulama Hanabilah
جتماع فى استحقاق أوتص ف ال ر
Artinya: “Perhimpunan adalah hak (kewenangan) tau pengolahan harta
(tasharruf).”10
6 Heri Sudarsono, Bank Dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi Dan Ilustrasi,
(Yogyakarta: Ekonosia, 2003), 87. 7 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: PT. RinekaCipta, 1992), h. 285 8 Harun Nasution, (eds), Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 907 9 Moh. Fauzan Januari, Pengantar Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Bandung: Pustaka
Setia, 2013), h. 319 10 Moh. Fauzan Januari, Pengantar Hukum Islam dan Pranata Sosial, h. 319
30
Ulama Syafi’iyah
يوع ثبوت الحق فى شىءالثنين فأكثرعلى جهةالش
Artinya: “Ketetapan hak pada sesuatu yang dimiliki dua orang atau lebih dengan
cara yang masyhur (diketahui).”11
Ulama Hanafiyah
بح عبارة عن عقدبين المتشاركين فى رأس المال والر
Artinya: “Ungkapan tentang adanya transaksi (akad) antara dua orang yang
bersekutu pada pokok harta dan keuntungan.”12
Selain itu Al-qur’an juga menerangkan tentang terma masyarakat. Masyarakat
terdiri dari beberapa istilah dalam Al-qur’an di antaranya yakni ummah, qaum dan
jamā’ah. Istilah ummah disebutkan Al-qur’an sebanyak 64 kali dalam 24 surat. Al-
qur’an menjelaskan tentang ummah dengan dua cara yakni, pertama, Al-qur’an
menggunakan istilah ummah dalam suatu pengertian dengan waktu tertentu,13sebagai
11 Moh. Fauzan Januari, Pengantar Hukum Islam dan Pranata Sosial, h. 320 12 Moh. Fauzan Januari, PengantarHukum Islam dan Pranata Sosial, h. 320 13 Al-qur’an, Hud (11) : 8.
م يه ت أ م ي و ال ي أ ه بس ح ا ي ن م ول ق ي ة ل ود د ع ة م م ى أ ل اب إ ذ ع م ال ه ن ا ع ن ر خ ن أ ئ ل و
ون ئ ز ه ت س ه ي وا ب ان ا ك م م ه اق ب ح م و ه ن ا ع وف ر ص س م ي لArtinya :
Dan sungguh, jika Kami tangguhkan azab terhadap mereka sampai waktu yang ditentukan,
niscaya mereka akan berkata,”Apakah yang akan menghalanginya ?”. Ketahuilah ketika azab itu
datang kepada mereka tidaklah dapatkan dielakkan oleh mereka. Mereka dikepung oleh (azab) yang
dahulu mereka memperolok-olokkannya.
Al-qur’an, Yusuf (12) : 45.
ون ل س ر أ ه ف يل و أ ت م ب ك ئ ب ن ا أ ن ة أ م د أ ع ر ب ك اد ا و م ه ن ا م ج ي ن ذ ل ال ا ق و
Artinya :
31
contoh atau teladan,14dikaitkan dengan kata ummi,15yang kedua, Al-qur’an
menggunakan istilah ummah dalam arti persekutuan antara masyarakat agamawi dan
cabang-cabangnya. Yang kedua ini menggunakan analisis terhadap gejala-gejala
negara sebagai yang dihadapi kaum Muslim, titik permasalahan yang di tekankan di
sini mengenai istilah ummah wahidah dan ummah wasath. Kedua istilah itu
tergambar dalam periode Makkah dan Madinah sebagai acuan perubahan masyarakat
nomaden kemasyarakat yang berkeadaban.
Pertama, ummah wahidah muncul dalam konteks makkiyah, di dalamnya
terdapat dua macam karakter seperti dalam surat al-Zukruf ayat 33,16yang
Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf)
setelah beberapa waktu lamanya,: “Aku akan memberitahukan kepadamu tentang (orang yang
pandai) menakwilkan mimpi itu, maka utuslah aku (kepadanya). 14 Al-qur’an, al-Nahl (16) : 120.
ين ك ر ش م ن ال ك م م ي ل ا و يف ن ح ا لل ت ان ة ق م ان أ يم ك اه ر ب ن إ إArtinya :
Sungguh Ibrahim adalah seorang imam (yang dapat dijadikan teladan), patuh kepada Allah
dan hanif. Dan dia bukanlah termasuk orang yang musyrik (yang mempersekutukan Allah). 15 Al-qur’an, al-A’raf (7): 157
اة ر و م في الت ه د ن ا ع وب ت ك ه م ون د ج ي ي ذ ل ي ا م بي ال ول الن س ون الر ع ب ت ين ي ذ ال
ر م ح ي ات و ب ي م الط ه ل ل ح ي ر و ك ن م ن ال م ع اه ه ن ي وف و ر ع م ال م ب ه ر م أ يل ي ج ن ال و
وا ن ين مم ذ ال م ف ه ي ل ت ع ان تي ك ل ال ل غ ال م و ه صر م إ ه ن يضع ع ث و ائ ب خ م ال ه ي ل ع
ون ح ل ف م م ال ك ه ئ ول أ ه ع ل م ز ن ي أ ذ ل ور ا وا الن ع ب ات و وه ر نص و وه ر ز ع ه و ب
Artinya :
(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan injil yang ada pada mereka, yang menyuruh
mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkardan yang menghalalkan segala yang
baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, membebaskan beban-beban
dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya,
memuliakannya, menolongnya, mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-
qur’an). Mereka itulah orang-orang yang beruntung. 16 Q.S. al-Zukhruf (43) : 33.
ن ا م ف ق م س ه وت ي ب ن ل م ح الر ر ب ف ك ن ي م ا ل ن ل ع ج ل ة د اح ة و م اس أ ون الن ك ن ي ال أ و ل و
ون هر ظ ا ي ه ي ل ج ع ار ع م ة و فض
32
menunjukkan kesatuan umat manusia dalam agama yakni kepercayaan tunggal.
Namun dalam akhir periode Makkah dan Madinah kesatuan itu terpecah-pecah17yang
di sebabkan kekerasan hati dan perilaku manusia, meskipun hal itu dikehendaki oleh
Allah. Hal ini terekam dalam surat al-Mukminunayat 52-53.18
Kedua, istilah ummah wasat muncul dalam konteks Madaniyyah sebagaimana
tercantum dalam surat al-Baqarah: 143 yang berbunyi,
س ول ون الر ك ي اس و لى الن اء ع د ه وا ش ون ك ت ا ل ط س ة و م م أ اك ن ل ع ك ج لذ ك و
ع ب ت ن ي م م ل ع ن ال ل ا إ ه ي ل ت ع ن تي ك ة ال ل ب ق ا ال ن ل ع ا ج م ا و يد ه م ش ك ي ل ع
ى د ين ه ذ لى ال ال ع إ ة ير ب ك ت ل ان ن ك إ ه و ي ب ق ى ع ل ب ع ل ق ن ن ي م ول م س الر
يم ح وف ر ء ر اس ل الن ب ن للا م إ ك ان يم ضيع إ ي ل ان للا ا ك م و للاArtinya :
Artinya :
Dan sekiranya bukan karena menghindarkan manusia menjadi umat yang satu (dalam
kekafiran) pastilah sudah Kami buatkan bagi orang-orang kafir kepada (Allah) Yang Maha Pengasih
loteng-loteng rumah mereka dari perak, demikian pula tangga-tangga yang merekanaiki. 17 Situasi sosial periode Makkah ketiga sebagai periode akhir Makkah dan awal Madinah
merupakan masa kritis-transisional. Pada saat kaum Muslim harus bersatu melawan hegemoni
kekuasaan orang-orang kafir muncul gelombang perpecahan di tubuh mereka sendiri. Perpecahan ini
sangat terkait dengan sikap keberagamaan orang Islam yaitu kaum mukmin dan munafik. Quraish
Shihab membuat klasifikasi turunnya Al-qur’an menjadi tiga periode. Periode pertama berlangsung
sekitar 4-5 tahun sejak kenabian. Kemudian periode kedua berlangsung selama 8-9 tahun. Dan periode
ketiga merupakan masa pemantapan sekaligus pembukaan horizon baru dan berlangsung kurang lebih
sepuluh tahun. Selanjutnya lihat Quraish Shihab, Membumikan Al-qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung :Mizan, 2004), 34-39. 18 Pada akhir periode Makkah ini muncul komunitas-komunitas yang lebih kecil sebagaimana
terdapat dalam Surat al-Mukminun (23) : 52-53. Sebagai instrumen pelacakan data dapat dijelaskan
bahwa surat al-Mukminun termasuk dalam jajaran Makkiyah dalam periode ketiga setelah berturut-
turut kedua dan pertama.
Al-qur’an, 23 (al-Mukminun): 52-53. ون ق ات م ف ك ب ا ر ن أ و ة د اح و ة م م أ ك ت م ه أ ذ ن ه إ و
ون ح م فر ه ي د ا ل م ب ب ز ل ح ك ا ر ب م ز ه ن ي م ب ه ر م وا أ ع قط ت فArtinya :
Dan sungguh (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu. Dan Akuadalah
Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka terpecah belah dalam urusan agamanya
menjadi beberapa golongan. Setiap golongan (merasa) bangga dengan apa yang ada pada mereka.
33
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu)
kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar kami mengetahui siapa yang mengikuti
Rasul dan siapa yang berbalik kebelakang. Sungguh (pemindahan kiblat) itu sangat
beratkecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak
akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang
kepada manusia.(QS. al-Baqarah: 143)”
Lebih spesifik lagi Quraish Shihab memeberikan pengertian bahwa ummah
asal katanya dari kata amma-yaummu yang bermakna menuju, menumpu, dan
meneladani. Karenanya muncul kata umm yang berarti ibu dan imam yang berarti
pemimpin, karena keduanya menjadi teladan dan harapan anggota
masyarakat.19Dengan demikian Quraish Shihab menyimpulkan bahwa masyarakat
adalah perkumpulan berbagai individu dari sekala kecil maupun besar yang diikat
oleh adat dan hukum alam kehidupan bersama.20
Madani merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab. Dalam kamus Al-
Munawwir diterangkan bahwa kata Madani merupakan akar dari kata fi’il madi yakni
mim (م) dal (د), dan nun (ن) dari kata kerja madana (مدن) yang berarti mendiami atau
19 Lihat Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat (Bandung: Mizan, 1996), h. 325 20 Abu Khaer, Konsepsi Masayarakat Madani dalam Manifesto Perjuangan Gerindra
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2014), h.53
34
tinggal. Kata tersebut membentuk menjadi beberapa kata yakni Madaniyyah yang
berarti peradaban, Madinah berarti kota, Madin memiliki arti Singa.21
Pendapat lain menerangkan bahwa term Madani berasal dari kata masdar
yang menjadi beberapa huruf yakni dal (د), ya (ي), dan nun (ن) dari kata kerja dana
.22kata tersebut membentuk kata diantaranya adalah Din yang berarti agama.(دان)
Dalam kamus al-Munjid dijelaskan tentang kata din yang merupakan kata jama’ dari
adyān’ (al-jazā wa al-mukāfah, al-Qaḏā, al-Malik/al-mulukwa as-Sulṯan, at-Tadbīr,
al-Hisāb). Menurut Abu Hanifah kata Din diartikan sebagai keyakinan dan
perbuatan.23
Jadi masyarakat madani adalah masyarakat yang memiliki peradaban yag
mapan, peradaban yang menunjukkan masyarakatnya maju dalam segala bidang,
mulai dari segi moralitas, ekonomi, system tatanan sosial yang bagus dan lain
sebagainya. Masyarakat madani adalah masyarakat yang tersistem dan memiliki
kemajuan. Salah satu contoh yang selama ini digadang-gadang sebagai bentuk
masyarakat madani yakni masyarakat kota yang begitu maju peradabannya dan secara
ekonominya juga maju, selain itu sisi-sisi keadilan juga ada di dalamnya.
B. Masyarakat Madani Menurut para Tokoh
a. Pemikiran Nurcholish Madjid Tentang Civil Society
Istilah masyarakat madani merupakan salah satu term yang muncul dan
21 Kamus Al-Munawwir Arab- Indonesia PDF. h 1320 22 Abu khaer, Konsepsi Masyarakat Madani dalam Manifesto Perjuangan Gerindra, (Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014). h. 55 23 Abū Hanīfah, al-Fiqh al-Akbar, (Hyderabad), 10-11. Lihat Fatimah Abdullah, Konsep Islam
Sebagai Dīn: Kajian terhadap Pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islamia, No. 3 (Jakarta:
INSISTS, September-November 2004), h. 51
35
familiar di Indonesia, hal ini dikemukakan oleh kelompok Cak Nurcholish Madjid
dan beberapa tokoh ICMI. Ketika saat intelektual lainnya mendapatkan kesulitan
untuk menemukan landasan historis dan konsep masyarakat madani, cak Nurcholish
Madjid dengan mudah melacak dan menemukan landasan awal yang tepat untuk
konsep masyarakat madani yakni dengan menggunakan sosio-historis dalam
mencari makna masyarakat madani. Nurcholish Madjid menguraikan kehidupan
masyarakat Madinah pada saat kepemimpinan Nabi Muhammad saw sebagai
landasan historis dan prototype dari konsep masyarakat madani.
Kata Madinah adalah kata tempat yang diubah oleh Nabi Muhammad SAW
menjadi Yastrib. Nabi Muhammad SAW mendapatkan petunjuk dari Allah untuk
melakukan hijrah dari Mekah ke Yastrib. Yastrib merupakan kota petani dan
industri kecil.24 Akrim Dhiyauddin Umari berkata bahwa Yastrib adalah nama lama
dari Madinah Al-Munawarrah, yakni sumber kemenangan dengan tanah yang subur
dan air yang melimpah.25Ketika nabi berhasil memimpin kota Yastrib menjadi kota
yang mapan dan damai, kemudian nabi menggati nama Yastrib ini menjadi kota
Madinah.26Al-din yang umumnya diterjemahkan sebagai agama berkaitan dengan
makna al-tamaddun atau peradaban. Keduanya ini menyatu dalam pengertian al-
madinah yang arti kata asalnya adalah kota.
Lebih spesifik lagi Nurcholish Madjid menyatakan bahwa masyarakat
24 Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung : Mizan, 1995), h.100 25 Akrim Dhiyauddin Umar, Madinah Society at The Time of The Prophet: Its Characteristic
and Organization, Terjemahan, Mun’im A. Sirry, Masyarakat Madani : Tinjauan Historis Kehidupan
Zaman Nabi, (Jakarta : Gema Insani Press,1999), h. 63 26 Febriyani Azizah, “Konsep Masyarakat Madani Menurut Partai Keadilan Sejahtera” (PKS),
Sripsi S1 UIN Jakarta (Jakarta: UIN JKT, 2007), h.46
36
madani berasal dari bahasa Arab yakni “madaniyah” yang berarti peradaban tinggi,
oleh karena itu masyarakat madani adalah masyarakat yang berperadaban. Makna
lain dari kata madani memiliki arti kota, dengan demikian masyarakat madani
adalah masyarakat kota.27 Masyarakat kota di identik dengan masyarakat yang
beradab, berakhlak mutlak, dan berbudi pekerti luhur.28 Nurcholish Madjid
menyatakan bahwa masyarakat madani mengandung makna toleransi, kesediaan
pribadi-pribadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan tingkah laku
sosial.29 Nurcholish Madjid mengartikan masyarakat madani yakni masyarakat yang
berbudi luhur atau masyarakat berakhlak mulia dan masyarakat berperadaban.
Dalam bahasa Arab, kata madanī juga berarti civil, seperti kata-kata al-ahkam al-
madaniyyah (civil law) atau al-qanūn al-madanī (civil code).30
Di dalam konteks masyarakat Islam, Term masyarakat madani merujuk
kepada masyarakat secara umum, baik itu individu, keluarga, maupun Negara.
Semuanya memiliki kebudayaan, kemajuan dan kultur atau dengan kata lain yakni
berperadaban.31 Keseluruhan komponen masyarakat madani bergerak bersama-sama
dalam mewujudkan suatu masyarakat yang menegakkan nilai-nilai kebaikan
(ma’rūf) demi terbentuknya masyarakat yang beradab (tamaddūn). Salah stu model
27 Nurkholis Madjid, “Menuju Masyarakat Madani”, (Dalam Jurnal Kebudayaan dan
Peradapan, Ulumul Qur’an, No.2/1996), h.51-55 28 Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik
Nurcholish Madjid (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), h. 75. 29 Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik
Nurcholish Madjid, h. 217. 30 Jalaluddin Rakhmat, et.al., Tharikat Nurcholishy: Jejak Pemikiran dari Pembaharu Sampai
Guru Bangsa (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 371. 31 Isna, Tampaknya Dirimu Mengaktifkan Ad-blocker", https://brainly.co.id/tugas/10478038
diaksel pada tanggal 27 juli 2018.
37
masyarakat ideal yang menjadi contoh dalam sejarah Islam ialah masyarakat dan
negara Madinah. Di dalam Kehidupan masyarakat Barat dikenal dengan civil society
yakni demokrasi yang lahir setelah proses sekularisasi. Namun dalam masyarakat
Islam tidak demikian adanya, dalam masyarakat Islam, masyarakat madani (civil
society) dibentuk dengan landasan motivasi dan etos keagamaan. Maka dari itu,
agama merupakan kriteria paling utama yang ada dalam mayarakat madani
(masyarakat berperadaban) tersebut.32
Ada beberapa term yang menjadi satu kesatuan konsep ketika Nurcholish
Madjid membicarakan rumusan masyarakat madani yakni demokrasi, masyarakat
madani (civil society), dan civility (kesopanan). Menurutnya, jika demokrasi harus
punya rumah, maka rumah bagi demokrasi ialah masyarakat madani (civil society),
dimana berbagai macam perserikatan, sindikat, federasi, persatuan, partai dan
kelompok bergabung untuk menjadi perisai antara negara dan warga negara.33
Sedangkan civility merupakan kualitas etik yang dimiliki oleh masyarakat, seperti
toleransi, keterbukaan, dan kebebasan yang betanggung jawab. Nurcholish Madjid
menyatakan bahwa masyarakat madani sangat ditentukan oleh sejauh mana kualitas
civility tersebut dimiliki warganya. Civility atau etiknya mengandung makna
toleransi, yang mempunyai arti kelegowoan didalam diri untuk menerima berbagai
macam pandangan politik dan tingkah laku social.
32 Nurcholish Madjid, et.al, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon
Transpormasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani (Jakarta: Mediacita, 2000), h. 318. 33 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Cet. I (Jakarta: Paramadina,
1999), h.145.
38
Nurcholish menegaskan bahwa civil society bukan hanya sekedar campuran
berbagai bentuk asosiasi, tetapi civil society juga mengacu pada kualitas civility,
tanpa civility lingkungan hidup sosial hanya terdiri dari faksi-faksi34 dan serikat-
serikat rahasia yang saling menyerang. Civility mengandung makna toleransi,
kesediaan individu-individu untuk menerima berbagai macam pandangan politik dan
tingkah laku sosial, bersedia untuk menerima pandangan penting bahwa tidak ada
jawaban yang selalu benar atas suatu permasalahan.35
Nurcholish Madjid kemudian menjelaskan bahwa sebenarnya kata Madinah
itu mempunyai makna yang sama dengan polis atau dikenal juga dengan negara-
kota. Namun Madinah kemudian berkembang menjadi pengertian yang lebih luas,
yaitu sebuah pembauran/pergaulan bersama dalam suatu kesatuan kemasyarakatan
tertentu untuk mengembangkan kehidupan yang beradab melalui ketaatan pada
hukum dan aturan.
b. Masyarakat Madani Menurut Dawam Raharjo
Salah satu tokoh cendekiawan muslim sekaligus mantan ketua Ikatan
Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) M. Dawam Raharjo mengungkapkan
bahwasannya masyarakat madani lebih mengacu pada penciptaan peradaban. Term
al-din yang pada umumnya diartikan sebagai Agama ini berkaitan dengan term al-
34 Faksi merupakan bahasa Belanda yakni factie yang artinya adalah "bagian". Yang
dimaksud terutama adalah sebuah bagian atau kelompok politik di dalam parlemen atau di luar
parlemen. Lebih jelasnya faksi dilibatkan kedalam Pengertian politik dari faksi di parlemen berbeda
dengan fraksi politik di parlemen. Fraksi politik biasanya adalah suatu partai yang menduduki kursi di
parlemen. Misalkan fraksi Golkar menduduki 137 kursi dari 500 kursi DPR. Lihat di diakses tanggal
28 juli 2018. 35 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, h. 148.
39
tamaddun atau peradaban. Kedua kata tersebut mengacu kedalam pengertian term al-
madīnah (mufrad) atau al-maddi’in (jamak) artinya kota. Namun dalam al-Qur' an,
pengertian kota tidak hanya diwakili oleh satu kata tapi masih ada beberapa kata
lainnya, seperti Kata al-qaryah dan al-balad, juga berarti kota, walaupun keduanya
sering diartikan sebagai negeri. Tetapi, dalam perkataan negara itu terkandung
pengertian peradaban dan kebudayaan. Karena dalam perkataan negeri terdapat
pengertian tentang suatu daerah yang dihuni manusia. Di situ ada manusia, di situ
pula ada peradaban dan kebudayaan.36
Secara konseptual, Dawam Raharjo mengungkapkan bahwa term masyarakat
madani di Indonesia pertama kali dikenalkan oleh Anwar Ibrahim yang saat itu
menjabat sebagai Menteri Keuangan dan Asisten Perdana Menteri Malaysia, hal ini
dikemukakan oleh beliau didalam pidatonya dalam acara Simposium Nasional pada
Festival Istiqlal 1995. Menurut Anwar Ibrahim masyarakat madani adalah
masyarakat yang bermoral, masyarakat yang menjamin keseimbangan antara
kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat, masyarakat yang mampu
mendorong daya usaha inisiatif iindividu.37 Lebih spesifik lagi, Anwar Ibrahir
menyatakan bahwa masyarakat madani tidak bisa dipisahkan dengan term dīn dalam
konsep Madinah dan tamaddun. Masyarakat madani harus berlandaskan kepada
36 M. Dawani Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial
Oakarta: LP3ES & LASF, 1999), h. 146. 37 Abu Khaer, Konsep Masayarakat Madani dalam Manifesto Perjuangan Gerindra, h. 67.
40
masyarakat yang berilmu, yang mendorong pembangunan dan kemajuan
berlandaskan akhlak atau etika.38
Anwar Ibrahim menjelaskan masyarakat madani mempunyai ciri khas
tersendiri, yakni: kemajemukan budaya (multicultural), hubungan timbal balik
(reprocity), dan sikap saling memahami dan menghargai.39 Lebih lanjut lagi Anwar
Ibrahim menegaskan bahwa karakter masyarakat madani merupakan “guiding ideas”,
dalam melaksanakan ide-ide yang mengacu atau mendasari masyarakat madani, yaitu
prinsip moral, keadilan, keseksamaan, musyawarah dan demokrasi. Senada dengan
Anwar Ibrahim, Dawam Raharjo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses
penciptaan peradaban yang mengacu pada nilai-nilai kebijakan Bersama. Menurut
Dawam Raharjo, di dalam masyarakat madani terdapat warga negara yang bekerja
sama membangun ikatan social, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan yang
berssifat non-negara. Selanjutnya Dawam Raharjo menjelaskan dasar utama dari
masyarakat madani. Menurutnya, dasar utama masyarakat madani adalah persatuan
dan integrase sosial yang didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri
dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu
persaudaraan.40
Menurut Dawam Raharjo pengertian masyarakat madani mengacu kepada
integrasi umat atau masyarakat, gambaran itu terlihat melalui wujud NU dan
38Anwar Ibrahim, “Akhlak, Ilmu dan Etika Asas Masyarakat Madani.”
http://anwaribrahimblog.com/s=masyarakat+madani, diakses tanggal 11 Agustus 2018 39 Nurdinah Muhammad, “Masyarakat Madani Dalam Perspektif Al-Qur’an”, Al-Mu‘ashirah,
Vol. 14, No. 1, Januari 2017, h. 23-24. 40 Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, h.
302- 304.
41
Muhammadiyah. Dalam konteks ini masyarakat madani lebih mengacu pada
penciptaan peradaban yang mengacu kepada al-Dīn, al-Tamaddun atau al-madīnah
yang secara harfiah berarti kota, dengan demikian konsep masyarakat madani
mengandung tiga hal yaitu agama sebagai sumbernya, peradaban sebagai prosesnya,
dan masyarakat kota atau perkumpulan sebagai hasilnya. masyarakat madani
memiliki pengertian yang luas sesuai cita-cita Islam yaitu menciptakan masyarakat
yang etis dan progresif menuju kepada terbentuknya peradaban yang unggul 41yaitu
khaira ummah.42
c. Masyarakat Madanai Menurut Azzumardi Azra
Azzumardi Azra merupakan saah satu tokoh cendikiawan Muslim yang
member sumbangsih terhadap pemikiran masyarakat madani. Hal ini terbukti dalam
beberapa karangannya yang ia tulis salah satunya seperti Menuju Masyarakat
Madani. Mengenai masyarakat madani beliau memberikan pandangan bahwasannya
masyarakat madani merupakan instrument atau hal yang paling penting dalam
membangun sebuah peradaban, kebebasan martabat dan membina kultur sipil dalam
41 Samsinas, “Masyarakat Madani Dalam Islam”, Hunafa Vol. 3 No. 1 Maret 2006), h. 68. 42 al-khair merupakan kata yang berasal dari Bahasa arab yang memiliki beberapa arti
diantaranya: lawan dari kata al-syar, yang berarti segala bentuk keburukan dan kejahatan. Dari hal ini
berarti al-khaer disini adalah segala bentuk perbuatan yang baik. Al-khaerat (الخيرات) berarrti al-fadilah
yang bermakna keutamaan dari segala sisi yang tidak lain bermakna kebaikan. Al-khaerah yang
berkaitan dengan wanita berarti keturunan yang baik.Dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah kata (الخير)
yang asal katanya adalah (خ- ي -ر) berarti (العطف ولميل) yang berarti kecenderunga dan rasa sayang .
ayat-ayat Alqur’an yang memuat kata-kata al-khaer baik yang memakai ‘al’ maupun yang tidak, baik
dalam bentuk tunggal maupun dalam bentuk plural memiliki kesamaan arti secara umum yaitu
kebaikan dalam bidang apa saja, atau perbuatan kebajikan apa saja yang dilakukan oleh manusia. Kata
khaira disini berarti baik dan ummah sendiri memiliki arti umat. Jadi khaira ummah disini berarti
ummat terbaik. Lihat Muliyadi “Al-Khair Dalam Perspektif Dakwah” (Makasar: UIN Alauddin,
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi Jurnal Al-Khitabah, Vol. II,
No. 1, Desember 2015).
42
masyarakat secara umum.43 Dalam hal ini Azzumardi Azra senada dengan Nurcholish
Madjid bahwasannya masyarakat madani adalah masyarakat yang perberadaban. Dan
terlebih lagi Azzumardi Azra menyatakan bahwa dalam kerangka menciptakan
sebuah kehidupan yang bermutu/berkualitas dan berkeadaban, juga masyarakat
madani menghajatkan sikap-sikap toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk
menerima beragam perbedaan pandangan politik dikalangan warga Negara
Indonesia.44
Disamping itu Azzumardi Azra berpendapat bahwa masyarakat madani (Civil
Siciety) lahir bukan dari lembaga pendidikan formal, tetapi masyarakat madani pada
umumnya lahir dari lembaga non formal. Seperti halnya di Iran masyarakat madani
lahir melalui Dauroh,45 sedangkan di Indonesia melalui LSM-LSM, organisasi
profesi, majelis-majelis taklim, dan organisasi-organisasi keagamaan seperti NU dan
Muhammadiyah.46
menurut Azra,47civil society merupakan instrumen atau alat untuk membangun
sebuah peradaban, kebebasan martabat secara khusus, dan membina kultur di
mayarakat secara umum. azzumardi Azra mengartikan civil society secara luas, ia
menyatakan bahwa civil society tidak hanya terbatas pada LSM tetapi juga organisasi-
organisasi kemasyarakatan (Ormas) seperti halnya NU dan Muhammadiyah yang
43 Yadi Yuliadi “Civil Society di Indonesia Menurut Azzumardi Azra”, (UIN Jakarta: Skripsi
jurusan fakultas Ushuluddin dan Filsafat, 2007). h.12. 44 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, h.34.
45 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, (Bandung: Rosdakarya, 1999), h. ix 46 Yadi Yuliadi Civil “Society di Indonesia Menurut Azzumardi Azra”, (UIN Jakarta: Skripsi
jurusan fakultas Ushuluddin dan Filsafat, 2007). H.12. 47 Azzumardi Azra, “Civil Society and Democratization in Indonesia: Transition during
President Wahid's Rule and Beyond”, Refleksi, Vol. III, No.3, 2003. h.3
43
bertujuan untuk menata masyarakat yang lebih baik (better ordering of society) bukan
hanya sekedar paradigma klasik dalam konteks Eropa Timur yang menyenyatakan
bahwa civil society adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan
kekuasaan Negara.48
menurut Azzumardi Azzra, masyarakat madani merupakan gerakan pro-
demokrasi, karena ia juga mengacu pada pementukan masyarakat yang berkualits dan
bertamaddun (Civility).49 lebih lanjut Azza mengungkapkan bahwasannya deokrasi
dan civil society merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan. Nurcholish
madjid juga memberikan alasan untuk memperkuat Masyarakat madani tida dapat
dipisahkan dengan Demokrasi yakni seperti yang Cak Nur utarakan ada tiga term
yang menjadi satu kesatuan dalam masyarakat madani yakni, pertama: demokrasi,
kedua: masyarakat madani (civil society) dan ketiga: civility (Etik). jika demokrasi
harus punya rumah maka civil society adalah rumahnya.50. sedangkan civility
merupakan kualitas etik yang dimiliki oleh masyarakat, seperti toleransi, keterbukaan
dan kebebasan yang bertanggung jawab.
C. Karakteristik Masyarakat Madani
Mengenai perihal masyarakat madani, di dalamnya tedapat beberapa prasyarat
atau karakter yang menjadi nilai universal. Hal ini tertuang dalam masyarakat madani
48 ubaidillah, A,(et al), Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi,HAM dan Masyarakat
Madani, Jakarta :IAIN Jakarta Press, 2000. Cet. Ke-1.halaman 138 49 Raudhah Melliza "Konsep Masyarakat Madani (Civility Society) dan Pengembangan
Masyarakat Islam”, karya tulis program studi Pengembangan Islam Fakultas Dakwah-UIN Ar-Raniry
Banda Aceh. h. 2. Lihat, https://iwe01.files.wordpress.com/2016/06/konsep-masyarakat-madani.pdf 50 Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (Jakarta:Paramadina,1996).
h.145
44
dan menjadi karakter tersendiri didalamnya. Karakteristik tersebut tidak dapat
dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya dan hal ini harus menjadi satu
kesatuan yang utuh. Karakteristik tersebut ialah: 1. Egalitarianisme, 2. Free Public
Sphere, 3. Penegakan hukum dan keadilan, 4. Toleransi,51 5. Musyawarah. Ini semua
merupakan pilar tegaknya masyarakat madani sekaligus ciri khas masyarakat
madani.52
Berikut penjelasan mengenai ciri-ciri masyarakat madani:
Egaliterianisme
Cak Nur mengutarakan pendapatnya bahwa faktor yang sangat mendasar dan
dinamis dari etika sosial yang dibawa oleh Islam ialah egalitarianisme,53 hal ini
merupakan ajaran Nabi Muhammad yang dimana pada saat itu masyarakat di
madinah terdiri dari beberapa kelompok golongan dan berbeda agama. Nabi
menyatukan semua golongan itu yang hal ini kita sebut dengan egaliter. Semua
51 Abdul Rozak, Pendidikan Kewargagaan (Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani,
(Jakarta: IAIN Jakarta Press, Cet. 1., 2000), h. 147. 52 Muhammad Ihsan,”Hukum Islam dan Moralitas Dalam Masyarakat Madani”, Pemikiran
Hukum Islam, Volume 22, Nomor 1, April 2012). h. 31. 53 Egalitarianisme (berasal dari bahasa Perancis égal yang berarti "sama"), adalah
kecenderungan berpikir bahwa seseorang harus diperlakukan sama pada dimensi seperti agama,
politik, ekonomi, sosial, atau budaya. Doktrin atau pandangan yang menyatakan bahwa manusia itu
ditakdirkan sama derajat. Asas pendirian yang menganggap bahwa kelas-kelas sosial yang berbeda
mempunyai bermacam-macam anggota, dari yang sangat pandai sampai ke yang sangat bodoh dalam
proporsi yang relatif sama. Dalam pengertian doktrin Egalitas ini mempertahankan bahwa pada
hakikatnya semua orang manusia adalah sama dalam status nilai atau moral secara fundamental.
Lihat “Egalitarianisme”, https://id.wikipedia.org/wiki/Egalitarianisme, diakses pada tanggal 28
september 2018, dan “Egalitarianisme”, https://kbbi.web.id/egalitarianisme (KBBI Online) diakses
pada tanggal 28 september 2018 .
45
anggota keimanan, warna kulit, ras, maupun status sosial ekonomi (kaya dan
miskin) adalah partisipan yang sama dalam komunitas.54
Egaliter merupakan kata lain dari kesetaraan, egaliter memiliki makna sama
atau sederajat. Sedangkan egaliterian merupakan orang yang menganut atau
menyebarkan ajaran egalitarianisme. Egaliterianisme memiliki arti pandangan atau
doktrin yang menyatakan bahwa manusia itu ditakdirkan dengan derajat yang
sama.55 kesetaraan sebagai doktrin di sini adalah kondisi yang muncul dari perasaan
manusia yang menyadari adanya kesamaan ia dengan lainnya dalam beberapa hal
yang membuat adanya kesadaran persaudaraan (fraternity).
Sebagai prasyarat untuk mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah
tatanan masyarakat maka egalitarianisme merupakan salah satu sistem yang perlu
diperhatikan. Egaliterianisme ini menyangkut rasa keadilan, keberadaan, kerakyatan
dan persamaan. Lebih lanjut lagi egaliterianisme ini dapat dipahami sebagai
kesadaran terhadap hukum, dan kesadaran bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan
berada diatas hukum. Setiap konstitusi atau peraturan mengikat semua warga
masyarakat yang harus dipatuhi secara bersama. Hal ini menunjukkan bahwa semua
orang memiliki drerajat yang sama.
Free Public Sphere
Free Public Sphere adalah keberadaan ruang publik yang bebas dan
54 Nur Fazillah, “Konsep Civil Society Nurcholish Madjid Dan Relevansinya Dengan Kondisi
Masyarakat Indonesia Kontemporer”, Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 206-225) h.10. 55 Muhammad Basir “Sejarah Kelas dan Masyarakat Egaliter (Mendamaikan Ras, Patronasi,
hingga Borjuis dan Proletar),“ (Yogyakarta: Skripsi UIN Sunan Kali Jaga, BAB III, 2014), h.18.
46
terbuka, hal ini merupakan sarana dalam mengemukakan pendapat atau aspirasi
masyarakat.56 Lebih lanjut ruang publik secara teoritik bisa diartikan sebagai
wilayah dimana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap
setiap kegiatan publik.57 Artinya masyarakat diberi ruang untuk mengemukakan
pendapat baik secara lisan maupun tulisan, dialog, kritikan, dan protes terhadap
pemerintah untuk menuntut ketidaksesuaian atau kelemahan kebijakan
pemerintah. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam
menyampaikan pendapat.
Free Public Sphere merupakan media yang berfungsi untuk
menyampaikan sesuatu. Hal ini melingkupi media massa yang berfungsi dalam
memberikan informasi kepada publik, menyediakan forum debat politik,
menyalurkan opini publik,58 ruang publik yang bebas (Free Public Sphere)
sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat.
Ruang publik yang berada ditengah-tengah antara negara dan masyarakat
menjadi alat untuk menyatukan antara keduanya. Diruang publik inilah
berlangsung diskusi tentang berbagai isu kepentingan umum dan berbagai
aspirasi yang ditawarkan oleh masyarakat. Ruang publik ini pula segala
pandangan kritis dan segala keinginan masyarakat dikomunikasikan kepada
negara melalui berbagai media massa. Dengan kata lain, membangun masyarakat
56 Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan, (Bandung: Mizan
Cet. I, 1995), h. 35. 57 Abdul Rozak, Pendidikan Kewargagaan (Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, h.
147. 58 Masykur Hakim dan Tanu Widjaya, Model Masyarakat Madani,( Jakarta: Intimedia, 2003.)
h. 74.
47
madani identik dengan memperluas jangkauan suara rakyat melalui partisipasi
mereka dalam berbagai kegiatan yang terorganisasi dan karena itu memiliki
cukup kekuatan dalam melakukan transaksi atau kesepakatan dengan negara.59
Keadilan Sosial
Nurcholish Madjid menjelaskan keadilan secara rinci, dia menyebutkan bahwa
keadilan dalam Alquran dinyatakan dengan istilah- istilah adl dan qisṯ. Pengertian
adil dalam Alquran juga terkait dengan sikap seimbang dan menengahi, dalam
semangat moderniasasi dan toleransi, yang dinyatakan dengan istilah wasaṯ
(pertengahan). Dengan sikap berkeseimbangan tersebut, kesaksian dapat diberikan
dengan adil, karena dilakukan dengan pikiran tenang dan bebas dari sikap
berlebihan. Seorang saksi tidak bisa mementingkan diri sendiri, melainkan dengan
pengetahuan yang tepat mengenai suatu persoalan dan mampu menawarkan
keadilan.60
Mendalamnya makna keadilan juga terlihat dari tugas Nabi Muhammad saw
yakni menegakkan keadilan. Tugas ini sebenarnya juga merupakan tanggung jawab
bagi seluruh masyarakat dan badan-badan pemerintahan.61 Nurcholish Madjid
menjelaskan bahwa dalam penegakan hukum dan keadilan, Nabi tidak pernah
membedakan antara orang kaya dengan orang miskin, orang atas dengan orang
bawah. Nabi menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa pada zaman dahulu itu
59 Adi Suryadi Culla, Rekonstruksi Civil Society: Wacana dan Aksi Ornop Di
Indonesia,), h.xxv.
60 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. 116.
61 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi (Jakarta: Gramedia, 2008), h.
240.
48
karena jika orang atas berbuat kejahatan dibiarkan begitu saja, tetapi jika orang
bawah yang berbuat kesalahan maka akan dan pasti dihukum.62
Keadilan dimaksudkan untuk keseimbangan dan npembagian hak-hak dan
kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini
memungkinkan tidak adanya monopoli atau npemusatan suatu aspek kehidupan
kepada salah satu kelompok masyarakat. Secara esensial, masyarakat memiliki hak
yang sama dalam memperoleh kebijakan-yang ditetapkan oleh pemerintah.63
Toleransi dan kemajemukan
Tolerantia merupakan bahasa latin yang mendasari term toleransi yang
memiliki arti kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran. Secara
umum toleransi ini mengacu kepada sikap terbuka dan loapang dada. Unesco
memberikan makna toleransi sebagai sikap saling menghormati dan menghargai di
tengah-tengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi dan karakter manusia.
Toleransi merupakan hal yang harus didukung oleh keilmuan dan wawasan yang
luas, bersikap terbuka, kebebasan berpikir, beragama dan lain sebagainya. Singkat
kata toleransi merupakan sikap positif dan menghargai orang lain dalam rangka
menggunakan kebebasan HAM.64
62
Nurcholish Madjid, “Menuju Masyarakat Madani”, Ulumul Quran, No.2/VII/96, Jakarta:
LSAF-PPM, 1996, h. 51-55.
63 Abdul Rozak, Pendidikan Kewargagaan (Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, h.
149.
64 Casram, “Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat Plural”, (Bandung:
UIN Suna Gunung Djati, Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1, 2, Juli-2016), h. 2.
49
Toleransi adalah salah satu asas masyarakat madani (civil society) yang dicita-
citakan dan didambakan oleh semua orang. Toleran merupakan sikap yang
dikembangkan dalam civil society untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan
menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain. Toleransi ini memungkinkan
akan adanya kesadaran akan masing-masing individu untuk menghargai dan
menghormati pendapat serta aktifitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lain
yang berbeda.
Menurut Nurtcholis madjid, toleransi merupakan persoalan ajaran dan
kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara
pergaulan yang enak antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu
harus dipahami sebagai hikmah atau manfraat dari pelaksanaan ajaran yang benar.
Azzumardi Azrapun menyebutkan bahwa civil society lebih dari sekedar
gerakan-gerakan pro-demokrasi. Masyarakat madani juga mengacu kekehidupan
yang berkualitas dan civility. Oleh karenanya civilitas meniscayakan toleransi, yakni
kesediaan individu-individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan
sikap sisoal yang berbeda.65
Musyawarah
Musyawarah berasal dari kata bahasa Arab, yaitu syurā. Kata “syura” atau
dalam Bahasa Indonesia menjadi “Musyawarah” mengandung makna segala sesuatu
65 Abdul Rozak, Pendidikan Kewargagaan (Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani), h.
148.
50
yang diambil dikeluarkan dari yang lain (pendapat) untuk memperoleh kebaikan.66
Dengan demikian, keputusan yang diambil berdasarkan syura merupakan sesuatu
yang baik dan berguna bagi kepentingan manusia.
Dari sudut kenegaraan musyawarah merupakan suatu prinsip konstitusional
dalam monokrasi Islam yang wajib dilaksanakan dalam pemerintahan dengan tujuan
untuk mencegah lahirnya keputusan yang merugikan kepentingan umum atau
rakyat67
Menurut Nurcholish, konsep musyawarah selalu menjadi tema penting dalam
setiap pembicaraan tentang politik demokrasi, dan hal inipun tidak dapat dipisahkan
dari konsep politik Islam. Bagi Nurcholish, musyawarah yang secara kebahasaan
berarti saling memberi isyarat, yaitu isyarat tentang apa yang baik dan benar,
mempunyai kesamaan dasar dengan ajaran saling berpesan tentang kebenaran.
Musyawarah merupakan perintah Allah SWT yang langsung diberikan kepada Nabi
SAW sebagai teladan untuk umat. Musyawarah adalah suatu proses pengambilan
keputusan di dalam masyarakat yang menyangkut kepentingan bersama. Mufakat
(muwāfaqah atau muwāfaqāt) adalah terjadinya persetujuan atas suatu keputusan
yang diambil melalui musyawarah.68
Di dalam musyawarah terkandung sejumlah elemen yang dengan sendirinya
akan ditemukan berkaitan dengan proses politik, yaitu yang disebut dengan istilah
66 M. Quraisi Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h. 469. 67 Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta : Kencana, 2004), h. 83.
68 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam kehidupan
Masyarakat, Cet. III (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 8.
51
partisipasi, kebebasan, dan persamaan. Tidak mungkin sebuah musyawarah
dijalankan tanpa kehadiran dari ketiga elemen tersebut. Tidak mungkin juga
mengadakan musyawarah tanpa adanya kehadiran, baik secara langsung maupun
secara tidak langsung. Musyawarah juga tidak mungkin diwujudkan tanpa adanya
kebebasan untuk menyatakan pendapat atau (freedom of expression). Dan dalam
pengambilan keputusan dalam musyawarah dilandasi oleh kebebasan dan haruslah
di dasari oleh semangat persamaan atau equality.69
Memahami dan merhargai pendapat orang lain jika terdapat perbedaan
pendapat. Ini tidak hanya menyangkut persoalan etika dan sopan santun, tetapi lebih
dari itu adalah sikap saling menghormati dan penuh pengertian antar sesama, untuk
menciptakan mekanisme berpikir yang baik, maka dengan begitu musyawarah akan
mencapai tujuan yang sebaik-baiknya.70 Hal inilah yang menunjukkan bahwa
musyawarah merpakan salah satu karakteristik masyarakat Madani.
D. Pengertian Filsafat Humanisme
Filsafat humanisme memiliki dua term yakni “filsafat” dan “humanisme”.
Secara terminologi filsafat berasal dari bahasa Yunani yakni philo dan shopia. Philo
berarti cinta, dan shopia berarti kebijaksanaan. Menurut Harun Nasution bahwa
filsafat berasal dari kata Arab falsafah yang berasal dari bahasa Yunani, philosopia;
philos yang berarti cinta, dan shopia berarti pengetahuan, hikmah. Jadi philosopia
69
Komaruddin Hidayat, dkk. 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, Cet. I (Jakarta:
Paramadina, 1995), h. 350.
70 Nurcholish Madjid, dkk, Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman
Indonesia Masa Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 214.
52
berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Orang yang cinta
kepada pengetahuan dan kebenaran itu lazimnya disebut philosopher yang dalam
bahasa Arab disebut failasuf.71
Humanisme berasal dari bahasa Yunani yakni humanus yang akar katanya
adalah homo yang berarti manusia. Humanus berarti sifat manusiawi atau sesuai
dengan kodrat manusia. Secara terminologi humanisme berarti nilai atau martabat
dari setiap manusia dan upaya untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan alamiah
(fisik/nonfisik) secara penuh.72 Dalam kamus bahasa Indonesia kontemporer,
humanisme adalah paham yang mempunyai tujuan menumbuhkan rasa
perikemanusiaan dan bercita-cita untuk menciptakan pergaulan hidup manusia yang
lebih baik.73
Dari beberapa pengertian di atas, filsafat humanisme merupakan paham di
dalam aliran-aliran filsafat yang hendak menjunjung tinggi nilai-nilai dan martabat
manusia, dan meningkatkan segala kemampuan yang dimiliki oleh manusia untuk
mencapai hidup yang lebihh baik.
E. Humanisme Menurut Tokoh Pembaharu Islam
1. Humanisme Menurut Ali Syari’ati
Humanisme sendiri oleh Ali Syari’ati diartikan sebagai aliran filsafat yang
menyatakan bahwa tujuan pokok yang dimilikinya adalah untuk keselamatan dan
71 Poerwanto dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991), h.1. 72 A. Mangunhardjana, Isme-Isme Dari A Sampai Z (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 93. 73 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 533.
53
kesempurnaan manusia.74 Menurutnya, humanisme adalah sekumpulan nilai ilahiah
dalam diri manusia yang merupakan petunjuk agama dalam kebudayaan dan moral
manusia.75 Ali Syarri’ati mengkategorikan mnusia kepada tiga golongan yakni: 1.
Basyar, 2. Insan, 3. Rausyan Fikr.
1. Basyar
Ali Syari’ati mendefinisikan basyar sebagai makhluk yang sekedar ada, yang
artinya manusia dalam kategori ini merupakan makhluk statis, yang tidak mengalami
perubahan, sehingga memiliki definisi yang sama sepanjang zaman, terlepas dari
ruang dan waktu.76 Basyar merupakan kaum yang belum “naik kelas” dan terdidik,
namun masih dalam bentuk manusia pada umumnya yang memiliki nafsu membunuh
antara satu dengan lainnya. Bahkan, sebagian dari mereka meninggalkan rumah dan
pekerjaan dengan menghunus senjata, demi menyerang kelompok lain. Karenanya,
tugas basyar adalah berusaha menaikkan statusnya menjadi kategori insan.
2. Insan
Ali Syari’ati berpendapat bahwa insan adalah makhluk yang mempunyai
karakteristik tertentu yang dapat mencapai tingkat kemanusiaan (insaniyyat) lebih
dari sekedar makhluk hidup dengan naluri instingtif yang bersifat alamiah. Insan
berarti manusia dalam arti yang sebenarnya. Manusia yang telah berhasil melepaskan
74 Ali Syari’ati, Humanisme Antara Islam dan Madzhab Barat, terj. Afif Muhammad,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h. 39. 75 Ali Syari’ati, Humanisme Antara Islam dan Madzhab Barat, h. 119. 76 Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu
Global, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 300.
54
identitasnya dari kategori basyar, dan masuk ke level insan yang memiliki tiga ciri
karakter:
a. Kesadaran diri
Ada tiga prinsip dalam kesadaran diri yang harus terpenuhi, yaitu;
merasakan kualitas dan tabiat dirinya sendiri, merasakan kualitas dan tabiat alam
semesta, dan merasakan hubungan dirinya dengan alam semesta ini. Hanya
dengan keberadaan ciri tersebutlah, maka kesadaran diri seseorang dapat diakui
menjadi salah satu syarat sosok insan.77
b. Kemampuan untuk memilih
Kemampuan manusia untuk memilih tidak saja ditunjukkan dengan
kemampuannya melawan tabiat dan hukum yang menguasainya, tetapi juga
kemampuannya dalam melakukan pemberontakan atas kebutuhan-kebutuhan
naluri, fisik dan psikologisnya sendiri. Ia dapat memilih sesuatu yang secara
naluriah tidak dipaksakan, ataupun sesuatu yang tidak dibutuhkan oleh fisiknya.
Inilah aspek paling mulia dalam insaniyat. Manusia yang memiliki kemampuan
untuk “memberontak” atau melakukan sesuatu yang bertentangan dengan
kecenderungan alamiahnya yang termasuk insan. Orang yang dapat
mengorbankan jiwa dan raganya demi orang lain, meski diperintah naluri untuk
memeliharanya. Atau, meski sifat-sifat alaminya mendorong untuk memperoleh
77 Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu
Global, h. 304.
55
kehidupan yang megah, ia dapat memberotak, menempuh jalan asketisme dan
kesalehan.
c. Kemampuan Untuk Mencipta
Kemampuan mencipta merupakan manifestasi kekuasaan Tuhan dalam
tabiat manusia, sehingga mereka dapat membuat sesuatu hal mulai dari yang kecil
hingga yang besar. Kemampuan manusia bukan sekedar membuat alat, namun
juga barang-barang yang fungsinya lebih sekedar alat, yakni kemampuan
menciptakan yang artistik.
Kreativitas manusia akan muncul manakala semua yang ada disediakan
alam tidak mampu untuk mencukupi atau memuaskan kebutuhannya. Sehingga ia
melakukan rekayasa agar tercipta hal yang dibutuhkan. Sayriati mencontohkan
manusia ingin terbang, namun tidak memiliki sayap. Akhirnya terciptalah
pesawat terbang. Berbeda dengan ciptaan yang bersifat teknologik seperti di atas,
kemampuan mencipta lainnya adalah mencipta yang artistik. Kemampuan ini
merupakan manifestasi Tuhan dalam jiwa manusia, sehingga dalam kategori ini
definisi manusia sebagai pencipta alat teknologi tidak lagi sah, karena seni
merupakan kreatifitas manusia yang diperoleh melalui “rasa”, sesuatu yang
disebut Syariati berada di luar alam ini.
Ketiga karakter tersebut merupakan sifat Tuhan, sehingga dapat dikatakan
bahwa manusia merupakan makhluk yang mampu memanfaatkan dan
mengembangkannya dalam diri mereka, dan mampu terus menerus berubah.
Dengan keberadaan tiga karakter itulah, sosok basyar kemudian bertransformasi
56
menjadi insan. Dan sosok insan-lah yang kemudian disebut Tuhan sebagai
khalifatullah filardh. Hanya insan yang dapat memberontak dan memilih, yang
akan mampu mencapai kesadaran dan berkreasi (secara relatif).
3. Rausyan Fikr
Ali Syari’ati mendefinisakn rausyan fikr adalah manusia dengan kualitas insan,
yaitu manusia yang telah mampu melepaskan dirinya dari determinisme alam,
sejarah, masyarakat dan egoisme pribadinya. Modal utama yang dimiliki oleh insan,
sebagaimana disebutkan di atas; kesadaran diri, kebebasan memilih, dan kreatifitas,
merupakan sumber terciptanya ilmu dan teknologi.
Dengan ilmu pengetahuan yang diperolehnya, insan lepas dari belenggu alam,
sejarah dan masyarakat. Lalu dengan cinta kasih, meloloskan diri dari penjara
egoisme pribadinya. Kemampuan untuk memerdekakan diri dari belenggu
deterministik tersebut yang menyebabkan rausyan fikr memiliki kepekaan dan
ketajaman dalam menganalisa secara mendalam dan objektif situasi dan kondisi
zamannya.
Artinya, capaian derajat rausyan fikr akan berhasil hanya apabila manusia
melepaskan diri dari empat penjara yang membelenggunya; Pertama, sifat dasar
manusia. Manusia harus berusaha sendiri membangun ilmu pengetahuan, dengan
begitu dia bisa menempatkan sifat dasar manusia di bawah kendalinya. Kedua,
penjara sejarah. Manusia harus memahami tahap-tahap perkembangan sejarah dan
hukum-hukum deterministik. Ketiga, penjara masyarakat. Dilakukan dengan
memahami secara mendalam kondisi masyarakat. Keempat, ego ada dalam diri
57
manusia dan sulit untuk mengendalikannya. Pengendalian ego menurut Ali Syari’ati
hanya bisa dilakukan dengan cinta.78
2. Humanisme Menurut Abdurrahman Wahid
Gusdur berpendapat bahwa humanisme adalah manusia yang memiliki martabat
yang tinggi, khususnya di hadapan Tuhan, dan oleh karena itu manusia harus
dimulyakan. Dengan demikian, manusia akhirnya menjadi “terminal akhir” dari
segenap pemikiran dan gerakan Gus Dur, melampaui nilai-nilai apapun bahkan
formalisme Islam yang sering ia kritisi.
Pendasaran kemanusiaan dari ajaran Islam, atau penemuan ajaran kemanusiaan
di dalam Islam menjadi titik tolak keyakinan intelektual Gus Dur. Hal ini terpatri
dalam pemahamannya atas “yang paling universal” di dalam Islam. Gus Dur
memaparkan bahwa universalisme islam menampakkan diri dalam berbagai
manifestasi penting, yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran
yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqih ), keimanan (tauhid),
etika (akhlaq), dan sikap hidup, menampilkan sikap kepedulian yang sangat besar
kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan.
Salah satu ajaran dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah
lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga
masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok. Kelima jaminan dasar itu
78 Mohammad Subhi-Ibrahim, Ali Syariati; Sang Ideolog Revolusi Islam, (Jakarta: Dian
Rakyat, 2012), h. 40.
58
tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah) lama, jaminan dasar
akan:
1. Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan
hukum.
2. Keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk
berpindah agama.
3. Keselamatan keluarga dan keturunan.
4. Keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum;
5. Dan keselamatan profesi.79
Dari paparan di atas terlihat bahwa Gus Dur menemukan universalisnme Islam
di dalam ajaran kemanusiaan. Artinya, segenap nilai utama yang meliputi tauhid,
fiqih, dan akhlaq ternyata menunjukkan kepedulian mendalam atas nasib
kemanusiaan. Hal ini menarik, karena Gus Dur mengaitkan tauhid dengan
kemanusiaan, demikian dengan fiqih dan akhlaq. Bahkan di dalam fiqih, Gus Dur
kemudian menemukan praksis dari kepedulian kemanusiaan itu di dalam jaminan atas
lima hak dasar manusia 1. Hak hidup, 2. Hak beragama, 3. Hak berkeluarga, 4. Hak
79 Abdurrahman Wahid, Universitas Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam dalam
Syaiful Arif, Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2013), h. 283-284.
59
berharta, 5. Hak profesi. Dengan demikian, apa yang Gus Dur sebut sebagai
kemanusiaan terwujud di dalam jaminan atas lima hak dasar manusia tersebut.80
80 Arif, Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan, h. 284
60
BAB IV
ANALISIS DAN TEMUAN PANCA KESADARAN KESADARAN SANTRI
DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT MADANI MENURUT K.H. ZAINI
MUN’IM
A. Pengertian Konsepsi
Adapun term konsepsi dan konsep merupakan kata serapan dari bahasa Inggris
yakni concept dan conception.1 Dari kedua istilah ini dalam kamus besar bahasa
Indonesia, konsep berarti; rancangan, ide atau pengertian yang diabstrakkan dari
peristiwa konkret, gambaran mental dari objek, dan proses. Sementara konsepsi sendiri
dalam kamus bahasa Indonesia memiliki arti pengertian, pendapat (paham), rancangan
(cita-cita dan sebagainya) yang telah ada dalam pikiran.2
Dalam bahasa Inggris pemaknaan term concept dan conception tidak jauh
berbeda. Antara keduanya dibatasi sebagai general idea (ide umum), though
(pemikiran), understanding (pemahaman, pengertian).3 Pada dasarnya konsep
merupakan abstraksi dari suatu gambaran ide, menurut Kant yang dikutip oleh
Harifudin Cawidu yaitu gambaran yang bersifat umum atau abstrak tentang sesuatu.4
Fungsi dari konsep sangat beragam, akan tetapi pada umumnya konsep memiliki fungsi
1 Nanang Tahqiq, Asas-Asas Falsafah Islam, (Tanggerang Selatan: HIPIUS, 2016). h. 26. 2 “Konsepsi”, https://kbbi.web.id/ di akses pada tanggal 14 oktober 3 Nanang Tahqiq, Asas-Asas Falsafah Islam, h. 26 4 Harifudin Cawidu, Konsep Kufr Dalam al-Qur'an, Suatu Kajian Teologis Dengan Pendekatan
Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 13.
61
yaitu mempermudah seseorang dalam memahami suatu hal. Karena sifat konsep sendiri
adalah mudah dimengerti, serta mudah dipahami.
Kata konsep dan konsepsi disini merupakan kata yang sifat awalnya sama
namun dengan penambahan si dalam konsep (konsepsi) maka makna dari kata tersebut
menjadi berubah. Ringkasnya, penulis menjelaskan bahwa kata konsep dengan
konsepsi memiliki satu hubungan yang sifatnya sama namun memiliki pengertian yang
berbeda dengan proses yang berbeda pula.
Adapun konsep adalah proses abstraksi manusia terhadap benda. Memasukkan
benda sebagai bentuk gambaran ke dalam pikiran. Sedangkan konsepsi sendiri
memproses abstraksi atau gambaran dalam pikiran dan membuat suatu rancangan yang
hendak dikeluarkan ke dalam bentuk nyata dengan kata lain cita-cita.
Jadi dengan demikian ditemukan bahwa konsep dengan konsepsi berbeda.
Konsep mengambil gambaran ssedangkan konsepsi memproses dan mengeluarkan
sebagai bentuk cita-cita. dari ulasan mengenai konsep dan konsepsi di atas. Dengan
demikian maksud dari kata konsep dan konsepsi ini ingin memberikan penegasan
bahwa konsepsi lebih tepat dipakai dalam ini sebagai bentuk abstraksi nyata yang di
cita-citakan.
B. Konsepsi Panca Kesadaran Santri Menurut K.H. Zaini Mun’im
Sejarah Indonesia tidak bias dilepaskan dari peran pesantren dalam
memperjuangkan dan mengokohkan karakter bangsa. Pesantren telah ikut andil dalam
menyumbangkan jasa-jasa seperti pengembangan agama Islam dan pembangunan
karakter bangsa Indonesia. K.H. Zaini Mun’im merupakan salah satu tokoh pejuang
62
kemerdekaan di Jawa Timur. Selain itu beliau juga mendirikan pesantren sebagai
lembaga pendidikan dan pengayoman masyarakat. Dalam perjuangannya K.H. Zaini
Mun’im mendirikan sebuah pesantren sebagai salah satu wadah bagi masyarakat untuk
berhimpun.
K.H. Zaini Mun’im menuturkan bahwa pendirian Pesantren Nurul Jadid bukan
untuk mencetak para ulama, namun pendirian pesantren lebih dari pada itu melainkan
untuk mencetak dan melahirkan seorang muslim yang konsekuen. Beliau bertutur
“Seorang muslim yang konsekuen adalah di samping dia itu selalu memikirkan agama,
dia juga harus memikirkan masyarakat dan negara”, demikian pandangan K.H. Zaini
Mun’im seperti ditirukan oleh menantu beliau, almarhum K.H. Haji Hasan Abdul
Wafi.5
K.H. Zaini Mun’im adalah satu figur ulama Jawa Timur, selain beliau terkenal
dengan keulamaannya, juga terkenal dengan salah satu tokoh pejuang dalam sejarah
kemerdekaan Indonesia. Perjuangan membela negara merupakan ruang eksperimen
keislaman yang senantiasa beliau teguhkan. Beliau merupakan ulama yang tidak hanya
hanya menerjemahkan Islam dalam spektrum ubudiah saja melainkan juga dalam bela
negara ia munculkan sebagai ruang perjuangan. K.H. Zaini Mun’im memiliki ide-ide
pemikiran yang mendalam bagi kemaslahatan umat, bangsa dan negara.6 Salah satu
pemikiran furuistik beliau yakni panca kesadaran santri (Lima Kesadaran Santri).
5 Dodik Harnadi, “ KH Zaini Mun’im, Ulama Pencetus Panca Kesadaran”
https://www.timesindonesia.co.id/read/146829/20170424/224008/kh-zaini-munim-ulama-pencetus-
panca-kesadaran/ diakses 26 Agustus 2018. 6Saili Aswi dkk, Riwayat Singkat Almarhumin Pondok Pesantren Nurul Jadid, h 14.
63
a. Kesadaran Beragama
Bagi santri kesadaran beragama merupakan hal pertama yang harus diterapkan
dalam dirinya.7 Kesadaran beragama terdiri dari dua kata yakni kesadaran dan agama.
Kesadaran mempunyai arti yakin, tahu dan mengerti, jadi kesadaran berarti keadaan
tahu atau mengerti.8 Sedangkan agama sendiri memiliki arti kepercayaan terhadap
Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban.
Kesadaran beragama meliputi rasa keagamaan, ketuhanan, keimanan, sikap,
dan tingkah laku keagamaan yang terorganisasi dalam sistem mental dan kepribadian.
Agama mencakup aspek-aspek afektif, kognitif dan motorik.9 Dalam bahasa pesantren
kita kenal dengan aspek aqidah, ibadah dan akhlak.10 Antara ketiga aspek ini saling
berkaitan anata satu dengan yang lainnya dan tidak dapat dipisahkan.
Aqidah merupakan kualitas dasar yang harus dimiliki oleh seorang santri.
Aspek akidah adalah kepercayaan atau keyakinan terhadap Allah,11lebih lanjut aqidah
Islamiyah yaitu keyakinan terhadap penciptaan alam semesta yang diciptakan oleh
Allah SWT Yang Maha Esa, dan meyakini tidak ada sesuatu yang lain yang berhak
disembah kecuali Allah. Dan meyakini pula bahwa Nabi Muhammad adalah utusan
Allah sekaligus Nabi terakhir.12 Ini semua terpatri dalam dua kalimah syahadat.
7 K.H. Hefniy Razaq, Profil Pondok Pesantren Nurul Jadid, h. 24. 8 Anton M. Moeliono, dkk, Kamus besarbahasa Indonesia, (Jakarta: BalaiPustaka, Cet. III,1990) ,h.765 9 Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama (Kepribadian Muslim Pancasila), (Bandung: Sinar Baru Algen
sindo,Cet. III, 2001), h.37. 10 Buku panduan Osabar Mondok Untuk Mengaji dan Membina Akhlakul Karimah, 2017. h
65-66. 11 Buku panduan Osabar Mondok Untuk Mengaji dan Membina Akhlakul Karimah, 2017. h
65. 12 K.H. Zaini Mun’im ProblematikaDakwah Islamiyah, h. 10.
64
Mempercayai akan keesaan Allah sang pencipta alam semesta dan yang berhak
disembah, hal ini membawa perubahan yang besar terhadap manusia dari segi lahir dan
batin. Manusia yang demikian inilah yang dinamakan mukmin.13 Ia bebas dari
perbudakan makhluk yang berupa bentuk apapun terhadap dirinya. Keimanan akan
membentuk kebesaran jiwa yang selalu bersikap tawakkal dan selalu bersandar akan
kekuasaan Allah yang mutlak dan tidak terbatas didalam semua kegiatan dalam hidup.
Jika aqidah sudah kuat maka akan melahirkan keimanan, dan ketika keimanan
sudah kuat maka akan melahirkan ibadah.14 Di dalam kesadaran beragama kita kenal
ibadah sebagai aspek motorik, aspek yang berupa prilaku keagamaan yang dilakukan
seseorang dalam beragama. Aspek ibadah ini dibagi menjadi dua, pertama ibadah
mahḏah/muqayaḏah (ibadah yang wajib dilaksanakan dengan syarat dan rukun
tertentu), yang kedua yakni ghairu mahḏah/muṯlaqah (non formal atau hal-hal yang
tidak terikan oleh syarat dan rukun tertentu). Ibadah mahdilah terdiri dari dari limu
13 Mukmin/Mu’min (Arab: مؤمن) adalah istilah dalam Islam yang sering disebut-sebut dalam Al-
Qur’an. Mukmin disini memiliki arti “orang beriman” dan merupakan seorang muslim yang dapat memenuhi
seluruh kehendak Allah. Selain itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa mu’min tidak serta-merta
berarti "orang beriman" namun orang yang menyerahkan dirinya agar diatur dengan Islam. Selain itu,
mu'min juga dapat dikatakan orang yang memberikan keamanan atas Muslim.
Dalam Al-Qur'an dijelaskan:
يمان في قلوبك خل الأ ا يدأ نا ولم لمأ كنأ قولوا أسأ منوا ول راب آمنا قلأ لمأ تؤأ عأ ورسوله ل يلتأكمأ قالت الأ مأ وإنأ تطيعوا للا
مالكمأ شيأئا إن غفور رحيممنأ أعأ للا
Artinya:
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman,
tetapi katakanlah "kami telah tunduk", karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat
kepada Allah dan rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Surah Al-Hujurat [49]:14)
Ayat ini menjelaskan perbedaan antara seorang muslim dan orang beriman. Lihat “Mu’min”,
https://id.wikipedia.org/wiki/Mu%27min, diakses pada tanggal 2 Oktober 2018. 14K.H. Hefniy Razaq, Profil Pondok Pesantren Nurul Jadid, h. 25.
65
rukun, yakni syahadat, sholat, zakat, puasa, Haji.15 Sementara ibadah ghairu mahḏah
merupakan aktivitas yang sunnah atau diluar pekerjaan yang rukun, sebagaimana yang
pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW baik itu merupakan puasa ataupun
sholat.
Aspek yang ketiga dalam kesadaran beragama ini adalah akhlak. Akhlak
merupakan bentukan dari iman dan ibadah yang pada akhirnya akan membentuk
sebuah karakter yang baik. Aspek akhlak disini terbagi menjadi dua yakni akhlak budi
pekerti dan tatakrama. Akhlak budi pekerti merupakan sesuatu yang terdapat dalam
hati yang memiliki niat-niat yang bertujuan untuk kebaikan. Sedangkan adab tatakrama
adalah aktualisasi dari akhlak budi pekerti yang tampak dari sikap dan perilaku
manusia. Akhlak disini merupakan suatu aspek yang sifatnya tidak melulu hanya
menyangkut individu, melainkan sosial, seperti tata tertib kemasyarakatan, tatasusila
dalam keluarga dan lain sebagainya.16
Kesadaran beragama menjadi sorotan pertama bagi santri untuk mengokohkan
kesantriannya. Aspek-aspek kesadaran beragama terpatri dan tercangkup dalam
syahadat, yakni “aku bersaksi bahwa tiada Tuhan Selain Allah, dan aku bersaksi bahwa
Nabi Muhammad adalah utusan Allah.”17 Syahadat disini dalam artian meyakini
dengan hati menyatakan dengan lisan dan melakukan dengan amal perbuatan. Hal ini
15 K.H. Zaini Mun’im Problematika Dakwah Islamiyah, h. 11. 16 K.H. Hefniy Razaq, Profil Pondok Pesantren Nurul Jadid, h. 26. 17 “Syahadat”, https://id.wikipedia.org/wiki/Syahadat diakses tanggal 31 Agustus 2018
66
sudah terstruktur dalam tiga aspek yakni aqidah, ibadah dan akhlak, dan ketiga aspek
tersebut tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.
b. Kesadaran Berilmu
Kesadaran berilmu merupakan urutan nomor dua dalam konsep panca
kesadaran santri. Ilmu secara bahasa memiliki arti pengetahuan atau dalam bahasa
inggris dikenal dengan istilah science. Secara definitif ilmu adalah mengetahui yang
tidak diketahui atau mengetahui sesuatu yang belum diketahui. sebagai makhluk yang
diberkahi akal dan fikiran oleh Allah, manusia memiliki kewajiban untuk memakainya
dalam hal mencari sesuatu yang belum diketahui dengan kata lain mencari ilmu untuk
menjalani kehidupan.18
Menuntut ilmu adalah salah satu kewajiban bagi setiap muslim, hal ini
ditegaskan oleh perkataan Nabi yakni: “carilah ilmu pengetahuan walaupun ke negeri
Cina karena menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”19 tentunya disini bukan
hanya pengetahuan tentang ilmu agama yang penting, akan tetapi pengetahuan duniawi
juga penting. Hal ini juga tertera dalam pendapat KH. Zaini Mun’im, melalui
wawancara dengan salah satu anak dari KH. Zaini yakni KH. Zuhri Zaini. Dalam
wawancaranya ia menyatakan bahwa “Ilmu merupakan pokok hal yang penting dalam
segala hal, baik dalam beragama, kehidupan berekonomi, bermasyararakat dan
aspek-aspek kehidupan yang lain.”20
18 K.H. Hefniy Razaq, Profil Pondok Pesantren Nurul Jadid, h. 27. 19 K.H. Zaini Mun’im Problematika Dakwah Islamiyah, h. 27. 20 Wawancara penulis dengan KH. Zuhri Zaini di kediaman, rumah beliau, Paiton
Probolinggo, tanggal 09 Januari 2018.
67
Ilmu pengetahuan dibagi menjadi dua yaitu ilmu pengetahuan agama dan ilmu
pengetahuan duniawi. Istilah populernya kita kenal ilmu pengetahuan teknologi
(IPTEK) dengan iman dan taqwa (IMTAQ).21 Ilmu pengetahuan yang sifatnya umum
dan duniawi ini bersandingan erat dengan ilmu agama. Hal ini bisa kita lihat dari para
tokoh filsafat Islam yakni seperti halnya Ibnu Sina yang yang terkenal dengan ilmu
kedokterannya dengan praktek bedahnya fersi Islam dan lain sebagainya. Disanalah
kita bisa lihat bahwa ilmu pengetahuan sangatlah penting bagi kehidupan.
Kesadaran berilmu merupakan pokok penting dalam aktivitas sehari hari, hal
ini disandarkan kepada manusia agar selalu menggunakan akal dan fikirannya dalam
beraktivitas. Sebagai contoh petani dalam menanam padi menggunakan ilmu
menanam, jikalau petani menanam padi tanpa menggunakan ilmu menanam padi maka
padi yang ia tanam tidak akan hidup dan tumbuh. Inilah sebagai acuan bahwa ilmu itu
penting bagi aktivitas kehidupan sehari-hari.
Seperti dalam wawancara berikut ini:
“Dalam aktivitas sehari-hari, kita harus dasarkan dengan ilmu, jangan hanya
ikut-ikutan, sehingga tahu alasannya apa, tujuannya apa, caranya gimana supaya
mencapai tujuannya dengan baik. Sebab kalau kita ikut-ikutan dalam beragama itu
tidak baik Dalam kehidupan beragama kita”22
c. Kesadaran Bermasyarakat
21 KH.Hefniy Razaq, Profil Pondok Pesantren Nurul Jadid, h. 27. 22 Wawancara penulis dengan K.H. Zuhri Zaini di kediaman, rumah beliau, Paiton
Probolinggo, tanggal 09 Januari 2018.
68
Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri.23 Dari diri individu
pasti membutuhkan orang lain. Ibnu Khaldun pernah berkata dalam kitab al-
Muqoddimah bahwa : “Kehidupan bermasyarakat merupakan kebutuhan pokok bagi
umat manusia”.24 Artinya bahwa manusia perlu bersosial dalam hidupnya, karena
manusia secara individu tidak bisa memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Ia masih
memerlukan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Banyak penegasan ayat al-Qur’an tentang kesadaran bermasyarakat antara lain:
رمكمأ عند ٱلل ا إن أكأ كمأ شعوبا وقبائل لتعارفو ن ذكر وأنثى وجعلأن كم م أيها ٱلناس إنا خلقأن ي
عليم خبير 25 كمأ إن ٱلل أتأقى
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)26
ن نساء نأهمأ ول نساء م م عسى أن يكونوا خيأرا م ن قوأ خرأ قوم م عسى أن يكن خيأرا يا أيها الذين آمنوا ل يسأ
نأهن ول تلأمزوا أنف لئك هم الم يمان ومن لمأ يتبأ فأوأ د الأ م الأفسوق بعأ لأقاب بئأس السأ ظالمون سكمأ ول تنابزوا بالأ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari
23 Buku panduan Osabar Mondok Untuk Mengaji dan Membina Akhlakul Karimah, 2017. h
69. 24 K.H. Hefniy Razaq, Profil Pondok Pesantren Nurul Jadid, h. 31. 25 “Khalifah center”, http://khalifahcenter.com/q49.13 diakses pada tanggal 30 Agustus 2018 26 "surat Al-hujurat dan Terjemahan", http://www.quran30.net/2012/08/surat-al-hujuraat-ayat-
1-18.html diakses pada tanggal 30 Agustus 2018.
69
mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya,
boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri
dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk
panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak
bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat: 11)
حمون لعلكمأ ترأ لحوا بيأن أخويأكمأ وٱتقوا ٱلل وة فأصأ منون إخأ إنما ٱلأمؤأ
Artinya: “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat:10)27
Dalam beberapa kandungan ayat diatas lebih ditekankan aspek perdamaian dan
rasa saling memiliki antara satu dengan yang lain. Allah SWT menegaskan kepada kita
bahwa semua orang yang beriman adalah saudara atau bersaudara, hal ini juga tidak
dibedakan antara suku, ras, kulit, strata sosial,dan lain-lain. Semua kita diikat oleh
ukhuwah islamiyah.
Kesadaran bermasyarakat adalah hal yang harus dimiliki oleh setiap orang. Di
dalam kesadaran bermasyarakat tercangkup norma-norma yang mengarahkan terhadap
terwujudnya masyarakat yang harmonis, baik itu di dalam bidang mu’āmalah
(ekonomi), bidang mu’āsyarah (pergaulan), bidang adab dan akhlak, dan pembinaan
rumah tangga serta norma asusila.28 Ini semua dimaksudkan untuk menghindari krisis
27 “Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 1-10 dan Terjemahannya”,
https://ibnothman.com/quran/surat-al-hujurat-dengan-terjemahan-dan-tafsir/ diakses pada tanggal 30
Agustus 2018 28 K.H. Zaini Mun’im Problematika Dakwah Islamiyah, h. 12.
70
bermasyarakat yang ditandai dengan pelanggaran-pelanggaran seperti perjudian,
perzinaan, pelanggaran hak-hak berumah tangga, pelanggaran susila/ kehormatan
manusia dan lain sebagainya. Kesadaran bermasyarakat disini mencakup semua
elemen masyarakat dan tanpa batasan-batasan tertentu.
d. Kesadaran Berbangsa dan Bernegara
Kesadaran berbangsa dan bernegara adalah aspek yang ke empat dalam panca
kesadaran santri. Landasan awal KH. Zaini Mun’im dalam merumuskan konsep
kesadaran berbangsa dan bernegara ini beliau dasarkan dengan firman Allah yakni:
رمكمأ عند ٱلل ا إن أكأ كمأ شعوبا وقبائل لتعارفو ن ذكر وأنثى وجعلأن كم م أيها ٱلناس إنا خلقأن ي
عليم خبير 29 كمأ إن ٱلل أتأقى
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurāt: 13)30
Dari ayat diatas menerangkan bahwasannya bangsa merupakan suatu himpunan
bagi semua orang yang terdiri atas beraneka ragam budaya, ras suku-suku, agama dan
aliran kepercayaan lainnya. Masyarakat harus sadar akan berhimpun dan merajut
29 “Khalifah center”, http://khalifahcenter.com/q49.13 diakses pada tanggal 30 Agustus 2018 30 "surat Al-hujurat dan Terjemahan", http://www.quran30.net/2012/08/surat-al-hujuraat-ayat-
1-18.html diakses pada tanggal 30 Agustus 2018.
71
persatuan, hal ini juga terrumuskan dalam semboyan bangsa Indonesia yakni Bhinneka
Tunggal Ika (Berbeda-beda tapi tetap satu).31
Bangsa membutuhkan suatu wadah untuk melindungi dirinya, hal ini
dilengkapi oleh negara sebagai suatu wadah bagi bangsa. Kesadaran berbangsa ini erat
kaitannya dengan negara. Artinya, berdirinya sebuah negara tidak akan pernah
terbentuk dan diakui oleh negara lain yang apabila didalamnya tidak terdapat suatu
bangsa atau rakyat.32
Sementara itu sebaliknya bahwa kesadaran bernegara erat sekali kaitannya
dengan kesadaran berbangsa. Yang artinya bangsa membutuhkan sebuah aturan untuk
menjalani kehidupan dengan tertib. Bangsa cenderung tidak tertib jika tidak ada wadah
yang namanya negara. Negara merupakan suatu wadah yang menyiapkan lembaga
hukum untuk mengatur bangsa agar tertib berkehidupan, selain itu negara juga
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan bangsa. Dalam hal ini Negara adalah institusi
atau lembaga yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya baik itu dalam
bidang ekonomi, sosial, budaya, hukum, pendidikan, pertahanan dan keamanan.
31 Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan bangsa Indonesia yang tertulis pada
lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila. Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya
adalah “Berbeda-beda tetapi tetap satu”. Secara bahasa bhinneka berarti "beraneka ragam". Kata neka
dalam bahasa Sanskerta berarti "macam" dan menjadi pembentuk kata "aneka" dalam Bahasa Indonesia.
Kata tunggal berarti "satu". Kata ika berarti "itu". Harfiahnya Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan
"Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun beranekaragam tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia
tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan
Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa
daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan. Lihat “Bhinneka Tunggal Ika”,
https://id.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika diakses pada tanggal 30 Agustus 2018. 32 K.H. Hefniy Razaq, Profil Pondok Pesantren Nurul Jadid, h. 32.
72
Kesadaran berbangsa dan bernegara merupakan aspek paling penting dalam
panca kesadaran santri. Kesadaran berbangsa dan bernegara juga tidak bisa dipisahkan
antara satu dengan yang lainnya dan juga tidak bisa dibolak balik, karena hal ini sudah
terstruktur. Negara tidak akan pernah ada tanpa adanya bangsa terlebih dahulu, karena
negara lahir dari sebuah bangsa. Jikalau kita mengedepankan kesadaran berbangsa
maka kedaulatan negara berada ditangan bangsa atau rakyat. Dan hal ini sesuai dengan
negara Indonesia yakni Demokrasi (Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat).
e. Kesadaran Berorganisasi
Kesadaran berorganisasi merupakan penguatan kesadaran bermasyarakat.
Organisi diartikan sebagai suatu kesatuan yang merupakan wadah ataaupun sarana
untuk mencapai berbagai tujuan. Definisi lain organisasi adalah suatu sistem
perserikatan formal, bestruktur dan terkoordinasi dari sekelompok orang yang bekerja
sama dalam mencapai tujuan tertentu. Organisasi memiliki komponen-komponen
diantaranya terdapat banyak orang, tata hubungan kerja, spesialis pekerjaan atau
anggota sesuai dengan kemampuan dan spesialisasi masing-masing.
Adanya sebuah organisasi sangat penting bagi masyarakat, karena organisasi
sendiri merupakan wadah bagi masyarakat untuk mencapai sebuah tujuan. K.H. Zaini
Mun’im juga menginginkan santri harus mempunyai kesadaran berorganisasi hal ini
tertera dalam wawancara penulis dengan K.H. Zuhri Zaini selaku putra terakhir K.H.
Zaini Mun’im.
Seperti dalam wawancara berikut ini:
73
“K.H. zaini menginginkan santri itu mempunyai kesadaran berorganisasi.
Mengapa demikian? Sebab kalau kita didalam usaha apapun baik sekala kecil maupun
usaha sekala yang besar. Misalnya kita berbisnis atau mengajar, berdakwah,itu kalau
sendiri-sendiri itu tidak mampu melaksanakan usaha yang besar dan walaupun kecil-
kecil dan ketika kita menghadapi sebuah kendala kita tidak akan bisa menanggulangi
kendala itu, karena kita sendirian. Tapi kalau dengan bersama-sama tentu bersama-
sama ini ada pengaturan dan pengorganisasian, ada pembagian tugas dan ada aturan-
aturan mainnya, ini insya allah kita bisa melaksanakan usaha-usaha besar dan bisa
menghadapi tantangan-tantangan yang besar juga.”33
Wawanncara di atas menjelaskan bahwa tercapainya sebuah tujuan itu harus
terorganisir dan dilakukan secara bersama. Lebih lanjut lagi organisasi haruslah efektif
dan efesien, sebab kelemahan dalam organisasi menunjukkan lemahnya sumber daya
manusianya (SDM). Hal ini juga sesuai dengan perkataan Ali bin Abi Thalib
“kebenaran yang tidak terorganisir dengan baik akan dikalahkan dengan kebatilan
yang terorganisir.”34
B. Konsepsi Pasnca Kesadaran Santri Dalam Mewujudkan Masyarakat
Madani Menurut K.H. Zaini Mun’im
Demi mencapai tegaknya masyarakat madani, K.H. Zaini Mun’im menekankan
terlebih dahulu betapa pentingnya panca kesadaran santri. yaitu, kesadaran beragama,
kesadaran berilmu, kesadaran bermasyarakat, kesadaran berbangsa dan bernegara, dan
kesadaran berorganisasi.35 Lima kesadaran itulah yang menjadi penunjang demi
terwujudnya masyarakat madani yang selama ini dicita-citakan.
33 Wawancara penulis dengan K.H. Zuhri Zaini di kediaman, rumah beliau, Paiton
Probolinggo, tangga 9 Januari 2018 34 K.H. Hefniy Razaq, Profil Pondok Pesantren Nurul Jadid, h. 35. 35 Buku panduan Osabar Mondok Untuk Mengaji dan Membina Akhlakul Karimah, 2017. h
65.
74
Ajaran agama yang diturunkan Allah melalui Rasulullah SAW tak lain hanya
untuk kepentingan umat manusia seluruh alam. Dengan bimbingan agama, diharapkan
manusia memiliki pegangan yang pasti dan benar dalam menjalani hidup dan
membangun peradabannya. Sebab manusia tercipta untuk kepentingan agama. Agama
adalah jalan, dan bukan tujuan. Dengan bimbingan agama, manusia berjalan mendekati
Allah dan mengharapkan keridaan-Nya melalui amal baik yang berdimensi vertikal
(ritual keagamaan) dan horizontal (pengabdian masyarakat).36 Agama telah dan masih
akan terus menjadi faktor penting dalam membentuk identitas manusia sebagai sosok
individual dan kelompok. Adalah tugas kita untuk menemukan jalan bagaimana
memanfaatkan potensi positif agama guna memotivasi para penganutnya untuk
berupaya mewujudkan kedamaian, keadilan, dan toleransi dalam kehidupan
keseharian.37
Selain itu, Islam pada hakikatnya sangat memperhatikan aspek keseimbangan
dan keharmonisan. Kesadaran beragama meliputi rasa keagamaan, sikap dan tingkah
laku yang terorganisasi dalam sistem mental dan kepribadian. Agama disini mencakup
aspek-aspek kognitif dan motorik, yakni aqidah, ibadah, dan akhlak.38 Dari ketiga
aspek inilah manusia akan terbentuk dan terorganisasi dengan baik.
36 Komarudin Hidayat, The Wisdom Of Life: Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama,
(Jakarta: Kompas, 2008), hal. 3 37 Alwi Shihab, Membangun Jembatan Melalui Dialog Antar agama dalam Bernard Adeney-
Risakotta, ed., Mengelola Keragaman di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2012), hal. 169 38 Buku panduan Osabar Mondok Untuk Mengaji dan Membina Akhlakul Karimah, h 65-66.
75
Dari aspek aqidah ini manusia akan megalami perubahan dari segi lahir maupun
batin. Keimanan yang kuat akan membuat seseorang selalu pasrah terhadap Allah, dan
selalu bersandar kepadanya dalam segala hal. Lalu kemudian aspek ibadah, ibadah
disini merupakan bentuk kepercayaan terhadap Allah dengan mengikuti seluruh
ajarannya, dari ibadah ini orang akan mengalami perubahan untuk selalu taat terhadap
ajaran agama. Dan aspek yang terakhir yakni akhlak, akhlak adalah salah satu dimensi
Islam yang memusatkan perhatian pada aspek ruhani dan jasmani manusia, yang
selanjutnya dapat membuahkan perilaku-perilaku mulia, baik terhadap Tuhan maupun
sesama makhluk.
kesadaran beragama ini terorganisasi dalam dua kalimat syahadat yaitu
meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan dengan amal
perbuatan. Pada dasarnya kesadaran beragama ditujukan untuk membentuk karakter
atau kepribadian masyarakat agar sesuai dengan moralitas dan nilai-nilai yang terdapat
dalam agama Islam.39 Begitu pentingnya kesadaran beragama dalam kehidupan, hal ini
dimaksudkan untuk membuat suasana yang harmonis dalam kehidupan bermasyarakat.
Aspek akhlak bukan hanya menyangkut individu tetapi juga sosial kemasyarakatan dan
tata asusila dalam keluarga.40
Kesadaran beragama, perlu diimbangi dengan kesadaran akan keilmuan. Sebab,
kata Albert Einstein “Ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh”. Walaupun
39 Syaifullah dan Totok Suyanto “Aktualisasi Nilai-Nilai Multikultural Di Pondok Pesantren
Nurul Jadid Paiton Probolinggo”, (Surabaya: UNESA FIS, Kajian Moral dan Kewarganegaraan Volume
03 Nomor 02 Tahun 2014), hal 1068. 40 K.H. Hefniy Razaq, Profil Pondok Pesantren Nurul Jadid, h. 26
76
berbasis pesantren, KH. Zaini Mun’im tidak hanya menekankan ilmu pengetahuan
agama saja, tetapi ilmu pengetahuan umum juga ditekankan. Tidak ada dikotomi antar
keduanya. Hal ini berlandaskan hadits nabi yang berbunyi;
نأيا فعليأه باألعلأم، ومنأ أراد اآلخره فعليأه بالأعلأم، ومنأ أرادهما فعليأه بالعلأم 41منأ أراد الد
“Barang siapa yang ingin bahagia di dunia, maka ia harus berilmu, dan
barang siapa yang ingin bahagia di akhirat, maka ia harus berilmu. Dan barang siapa
yang ingin kedua-duanya, maka ia juga harus berilmu”.
Hadits di atas menjelaskan betapa pentingnya ilmu dalam kehidupan di dunia
dan akhirat. Ilmu dalam aktifitas sehari-hari dipakai untuk menopang kehidupan.
Dalam sebuah tujuan sudah dipastikan memerlukan ilmu untuk menggapainya. Tanpa
ilmu sebuah tujuan tidak akan tercapai karena ilmu sendiri merupakan alat untu menuju
tujuan itu. Contoh gambar dibawah ini menunjjukkan antara harta dan ilmu saling
berdapingan, maka pandangan kedepan akan cerah tanpa halangan. Gambar orang
pertama yang tidak mmiliki Ilmu sama sekali pandangannya suram, yang kedua, orang
yang memiliki Ilmu dan tujuan maka pandangannya cerah dan semuanya terlihat,
ketiga, orang yang memiliki ilmu tanpa mempunyai tujuan maka biasa-biasa saja.
41 “Hadis: Ingin Dapat Dunia Dan Akhirat Harus Dengan Ilmu”,
https://syukrillah.wordpress.com/2014/05/27/hadis-ingin-dapat-dunia-dan-akhirat-harus-
dengan-ilmu/ diakses tanggal 29 Agustus 2018.
Gambar 1
77
Dalam sebuah wawancara dengan salah satu anak dari K.H. Zaini yakni K.H.
Zuhri Zaini menyatakan bahwa:
“Ilmu merupakan pokok hal yang penting dalam segala hal, baik dalam beragama,
kehidupan berekonomi, bermasyararakat dan aspek-aspek kehidupan yang lain. Oleh
karena itu kita didalam beraktifitas harus didasarkan pada ilmu, jangan hanya ikut-
ikutan, sihingga tau tujuannya apa, alasannya apa, caranya gimana, bagaimana
supaya bisa mencapai tujuannya dengan baik.sebab kalau kita ikut-ikutan.
Kebanyakan kita itu kan hilang ghairoh dalam beragama itu kan ikut-ikutan atau
taklid, nah itu tidak baik selain beliau menekankan bahwa santri itu harus punya
kesadaran beragama sebagai ibadah kepada Allah juga kesadaran berilmu karena
ilmu itu sangat penting bagi kehidupan.”42
Kesadaran Bermasyarakat juga disadari sebagai komponen yang penting dalam
membangun masyarakat madani. K.H. Zaini Mun’im mengambil referensi Ibn
Khaldun sebagai salah satu rujukan dalam perumusan konsep ketiga ini. Sesuai dengan
pemahaman beliau terhadap Kitab suci Al-qur’an yakni:
Surat al-Maidah ayat 2
ان و دأ ع الأ م و ثأ لى الأ وا ع ن او ع ل ت ى و و قأ الت بر و لى الأ وا ع ن او ع ت و
Artinya: “Tolong-menolonglah atas dasar kebaikan dan taqwa, dan janganlah tolong-
menolong atas dasar dosa dan permusuhan”.( Qs. Al-Maidah ayat 2).43
42 Wawancara penulis dengan K.H. Zuhri Zaini di kediaman, rumah beliau, Paiton
Probolinggo, tangga 9 Januari 2018 43 “Al-maidah ayat 2”, https://tafsirq.com/topik/Al-Maidah+ayat+2 diakses pada tanggal 29
Agustus 2018.
78
Melalui kesadaran bermasyarakat ini, kita harus ikhlas dalam mengamalkan
ilmu yang kita miliki. Jangan hanya mengharap pemberian imbalan dengan niatan
duniawi. Sebab, dalam hadits nabi telah jelas :
ن كلهمأ الناس كلهمأ ن و األعاملوأ ن كلهمأ هلأكى إل األعاملوأ ن و األعالموأ تى إل األعالموأ موأ
ن على خطر عظيأم لصوأ ن و األمـخأ لصوأ قى إل األمـخأ 44غرأ
“Segala manusia akan binasa kecuali orang yang berilmu, dan orang yang
berilmu akan binasa kecuali orang yang mengamalkan ilmunya, dan orang yang
mengamalkan ilmunya akan binasa pula kecuali orang yang ikhlas dalam
pengamalannya”.
Dari beberapa pemaparan ayat Al-qur’an dan Hadits diatas, bahwa seseorang
tidak bisa hidup secara Individu karna antara manusia yang satu dengan yang lainnya
saling membutuhkan. Kumpulan dari beberapa orang ini dinamakan masyarakat.
Kesadaran bermasyarakat akan sosial haru ditekankan karena tidak ada orang yang bisa
memenuhi kebutuhannya sendiri, melainkan antara yang satu dengan yang lainnya
saling membutuhkan dan saling memenuhi kebutuhan tersebut. Selain itu seseorang
harus saling berkontribusi untuk membangun masyarakat yang lebih maju.
Dalam sebuah wawancara dengan salah satu anak dari K.H. Zaini yakni K.H.
Zuhri Zaini menyatakan bahwa:
“Santri harus memiliki kesdaran bermasyarakat, termasuk masyarakat berbangsa dan
bernegara, sebab bangsa dan negara ini adalah wadah masyarakat, bangsa itu ya
masyarakat besar, kumpulan masyarakat bangsa dan wadahnya adalah negara. Jadi
santri sebagai orang yang hidup dalam masyarakat dan hidup sebagai bagian dari
44“Cinta Kajian Sunnah”, https://cintakajiansunnah.wordpress.com/2014/05/30/hadits-hadits-
tentang-ilmu-yang-tidak-boleh-dijadikan-hujjah-1/ diakses pada tanggal 4 september 2018
79
bangsa dan hidup disuatu negara, dia harus punya kesadaran kepada masyarakat,
kepedulian terhadap masyarakatnya kepada bangsanya dan kepada negaranya.
Sehingga santri harus bisa berkontribusi atau punya manfaat bagi masyarakat
termasuk kepada bangsa dan bela negara menjaga keutuhan bangsa dan seterusnya”45
Dengan demikian, kesadaran akan beragama, kesadaran akan berilmu harus
berbanding lurus dengan kesadaran masyarakat melalui pengabdian-pengabdian
sebagai individu yang sadar akan kewajibannya sebagai bagian dari umat bangsa dan
agama. K.H. Zaini Mun’im sadar betul bagaimana perjuangan beliau dalam
menaklukkan penjajah di Indonesia. Demi menjaga dan mempertahankan negara
kesatuan Republik Indonesia ini, belaiu menekankan betapa pentingnya akan
kesadaran berbangsa dan bernegara. Sebab, bagaimanapun juga tanah air yang kita
pijak adalah tanah air negara Indonesia.
Kesadaran berbangsa dan bernegara ini berlandaskan kepada sabda nabi
Muhammad SAW yang berbunyi: “Mencintai negara merupakan bagian dari iman”.46
Yang artinya, seseorang yang tidak memiliki rasa cinta terhadap negaranya, maka
keimanan yang dimilikinya masih belum sempurna. Menjaga ketenangan, keadilan,
dan kedamaian di negara ini menjadi tugas kita semua sebagai bangsa dan rakyat
Indonesia. Hal ini juga tertera dalam lagu sebagai berikut:
“Lagu Subbanul Waton”
Ya lal wathon Ya lal wathon Ya lal wathon
Hubbul wathon minal iman
Wa laa takun minal hirman
Inhadu ahlal wathon
45 Wawancara penulis dengan K.H. Zuhri Zaini di kediaman, rumah beliau, Paiton
Probolinggo, tangga 9 Januari 2018 46 Buku panduan Osabar Mondok Untuk Mengaji dan Membina Akhlakul Karimah, h 70.
80
Indonesia biladi
Anta unwanul fakhoma
Kullu may ya’tika yauma
Thomihay yalqo himama
Pusaka hati wahai tanah airku
Cintaku dalam imanku
Jangan halangkan nasibmu
Bangkitlah hai bangsaku
Indonesia negeriku
Engkau panji martabatku
Siap datang mengancammu
Kan binasa di bawah durimu
Lagu di atas menerangkan tentang kecintaan kita terhadap suatu Bangsa dan
Negara. Wajib bagi kita cinta terhadap tanah air. Maka hal ini dirasa perlu karena
kesadaran berbangsa dan bernegara merupakan hal yang wajib bagi kita lakukan untuk
menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Jika semuanya memiliki kesadaran akan hal
ini, maka tidak menutup kemungkinan keadilan sosial di segala lini akan merata tanpa
ada satupun yang terdiskreditkan. Kesadaran berbangsa dan bernegara ini di
gambarkan dalam bentuk tidak akan rela melihat kedzaliman, tidak akan diam melihat
penindasan dan ketidakadilan, tidak akan ragu mengatakan yang haq itu haq dan yang
batil itu batil. Dawuh KH. Zaini Mun’im “Berdosa bagi orang yang tidak memikirkan
masalah ummat dan hanya memikirkan diri sendiri”.47
Begitu pentingnya aspek kesadaran berbangsa dan bernegara ini yang artinya
jikalau kita mengedepankan kesadaran berbangsa maka kedaulatan negara berada
47 Buku panduan Osabar Mondok Untuk Mengaji dan Membina Akhlakul Karimah, h 70.
81
ditangan bangsa atau rakyat. Dan hal ini sesuai dengan negara Indonesia yakni
Demokrasi (Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat). Kesadaran berbangsa dan
bernegara menunjukkan persatuan dan kesatuan dalam bela negara.
Untuk mencapai itu semua, maka diperlukan sebuah kerjasama yang
terorganisir demi tercapainya tujuan dan cita-cita bersama. Dengan demikian, perlu
adanya kesadaran berorganisasi bagi seseorang. Kesadaran inilah yang nantinya akan
memunculkan semagat komunal, bukan lagi semangat individual dalam mewujudkan
cita-cita yang dicita-citakan.
Kesadaran berorganisasi ini merupakan penguatan kesadaran bermasyarakat,
supaya ada keteraturan antara individu satu dengan individu lain. Sebab, menurut K.H.
Zaini Mun;im tidak mungkin menghadapi tantangan global jika hanya sendiri-sendiri
tanpa adanya organisasi. Sebab, kebaikan tanpa organisasi akan kalah dengan
kejahatan yang terorganisir. Itulah sebabnya kesadaran berorganisasi menjadi bagian
poin penting dalam mewujudkan masyarakat madani.
Organisasi merupakan wadah bagi masyarakat yang mempunyai visi dan misi
dengan tujuan bersama. Tanpa adanya organisasi sebuah tujuan besar tidak akan
terwujud. Organisasi sendiri mempunyai cara-cara yang efektif dan efesien dalam
menjalankan tujuannyya.48 Hal ini juga tertera seperti wawancara dibawah ini:
“K.H. zaini menginginkan santri itu mempunyai kesadaran berorganisasi.
Mengapa demikian? Sebab kalau kita didalam usaha apapun baik sekala kecil maupun
usaha sekala yang besar. Misalnya kita berbisnis atau mengajar, berdakwah,itu kalau
sendiri-sendiri itu tidak mampu melaksanakan usaha yang besar dan walaupun kecil-
kecil dan ketika kita menghadapi sebuah kendala kita tidak akan bisa menanggulangi
48 Rusydi Sulaiman dan A. Basori Shanhaji Antara Idealisme dan pragmatisme, h. 31.
82
kendala itu, karena kita sendirian. Tapi kalau dengan bersama-sama tentu bersama-
sama ini ada pengaturan dan pengorganisasian, ada pembagian tugas dan ada aturan-
aturan mainnya, ini insya allah kita bisa melaksanakan usaha-usaha besar dan bisa
menghadapi tantangan-tantangan yang besar juga.”49
Kelima kesadaran di atas, jika dimiliki oleh setiap individu, maka bukan tidak
mungkin masyarakat madani akan terwujud, karena pada dasarnya masyarakat madani
merupakan bentuk lain dari humanisme yang mana humanisme di sini merupakan
paham yang menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Ali Syari’atipun memberikan
pernyataan bahwa kita harus meningkatkan sisi kemanusiaan kita dari kategori basyar
menuju insan kamil. Kesadaran beragama, kesadaran berilmu, kesadaran
bermasyarakat, kesadaran berbangsa dan bernegara, kesadaran berorganisasi, kelima
hal ini saling berkesinambungan. Kesadaran beragama merupakan kesadaran paling
utama yang harus dimiliki oleh setiap orang, karena kesadaran beragama di sini
dimaksudkan untuk menjadikan setiap individu memiliki kesadaran akan dirinya
sendiri, hal ini peruntukkan untuk pengendalian dari dan di dalam kesadaran beragama
ini akan menghasilkan perilaku yang baik.
Begitupun dengan kesadaran berilmu, kesadaran berilmu ini harus dimiliki oleh
setiap individu agar dalam menjalankan sesuatunya sukses dan efisien, tanpa ilmu
pandangan manusia akan suram, oleh karena itu Ilmu sangat diperlukan untuk
menghindari taklid dalam menjalankan kehidupan. Kesadaran bermasyarakat harus
dimiliki oleh setiap manusia, dengan kesadaran bermasyarakat manusia yang hidup
49 Wawancara penulis dengan K.H. Zuhri Zaini di kediaman, rumah beliau, Paiton
Probolinggo, tanggal 9 Januari 2018
83
bersama dngan orang lain dan menyadari segala konsekuensianya. Dari kesadaran
berrmasyarakat orang akan tersadarkan bahwa semua orang hidup bersama-sama dan
saling bergotong royong dalam kehidupannya.
Kesadaran berbangsa dan bernegara merupakan aspek keempat yang harus
dimiliki oleh manusia agar masyarakat madani terwujudkan. Konsep ini merupakan
pelajaran bahwa kita harus cinta tanah air dan bela negara, kesadaran berbangsa dan
bernegara ini merupakan bentuk persatuan yakni Bhenika Tunggal Ika (Berbeda-beda
tapi tetap satu). Hal ini bertujuan untuk menciptakan persatuan. Lalu kemudian
kesadaran berorganisasi, kesadaran berorganisasi membentuk manusia menuju suatu
tujuan bersama, berbondong-bondong menuju tujuan yang satu, dengan cara ektif dan
efisien. Inilah humanisme islam yang dicita-citakan K.H. Zaini Mun’im (masyarakat
madani). Kesadaran berorganisasi juga diperuntukkan masyarakat agar dalam
menghadapi tantangan global bisa melakukannya dengan baik. KH. Zaini Mun’im Juga
pernah bilang “kalau kita berjalan sendiri-sendiri maka sebuah tujuan sulit untuk
dicapai”50 dengan berorganisasi maka masyarakat akan bisa menghadapi tantangan
zaman.
Jadi bukan tidak mungkin akan terwujudnya masyarakat madani , apabila
konsep panca kesadaran santri diterapkan di dalam diri individu orang masing-masing
sehingga merubah kualitas manusia yang awalnya basyar menjadi insan kamil.
Masyarakat madani yang dicita-citakan akan terwujud dengan kelima konsep tersebut.
50 Wawancara penulis dengan K.H. Zuhri Zaini di kediaman, rumah beliau, Paiton
Probolinggo, tanggal 9 Januari 2018
84
kelima konsep tersebut sejak pendirian pesantren Nurul jadid sudah di terapkan di
dalam pesantren sampai sekarang, dan hal ini berhasil menghasilkan kader-
kaderbangsa. Terbukti bahwa konsep panca kesadaran santri sangat bagus untuk
mewujudkan masyarakat madani.
Penerapan konsepsi panca kesadaran santri di Pondok pesantren nurul jadin
yakni dilakukan secara langsung atau praktek. Hal ini diperuntukkan agar santri bisa
memahami dan mengamalkan kelima konsepsi santri. Kekurangan dari konsepsi panca
kesadaran santri ini yang di ajarkan di dalam pesantren tidaklah diketahui oleh santri
namun santri di sini hanya diberikan pemahaman untuk melaksanakan konsepsi panca
kesadaran santri, kekurangan dari penerapannya berpusat dalam pengetahuan santri,
yang artinya bahwa di dalam pesantren tidak dikaji secara mendalam dengan
melakukan berbagai diskusi atau pengajaran secara teori. Namun pesantren hanya
mengajarkan secara praktis.
Hal yang positif dari pengajaran konsepsi panca kesadaran santri yakni santri
langsung mengamalkan dan sadar akan tanggung jawabnya, santri bisa melakukan
praktek secara langsung dan mengamalkannya. Hasil dari pengajaran secara praktis
tentang konsepsi panca kesadaran santri ini dapat ditemukan dari berbagai alumni yang
peduli antar sesama, seperti halnya gotong royong untuk memberikan bantuan terhadap
anak yatim dan korban bencana.
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsepsi panca kesadaran santri K.H. Zaini Mun’im merupakan bentuk
konsepsi yang bersifat umum yang berlaku disemua kalangan. Konsep panca
kesadaran santri ini adalah miniatur masyarakat madani. Panca kesadran santri itu
antara lain: kesadaran beragama, kesadaran berilmu, kesadaran bermasyarakat,
kesadaran berbangsa dan bernegara, kesadaran berorganisasi. Panca kesadaran santri
merupakan konsep yang harus dimiliki oleh setiap individu untuk menunjang
terbentuknya, terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
Dengan kata lain tujuan dari pemikiran K.H. Zaini Mun’im adalah mewujudkan
masyarakat madani.
Konsepsi panca kesadaran santri memiliki arti yang sangat mendasar, bahwa
kita harus sadar akan hal beragama, berilmu, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, berorganisasi. Hal ini untuk menunjang akan terwujudnya masyarakat
madani. Konsepsi ini merupakan hal yang sudah biasa dilakukan dalam kegiatan
manusia seharai-hari. Jadi konsepsi panca kesadaran santri ini mampu untuk
menunjang terwujudnya masyarakat madani.
Maka inilah perlunya panca kesadaran santri bagi masyarakat. Jika panca
kesadaran santri ini dimiliki oleh setiap individu, kesadaran beragama, kesadaran
berilmu, kesadaran bermasyarakat, kesadaran berbangsa dan bernegara, dan
86
kesadaran berorganisasi. Maka bukan hal yang mustahil untuk mewujudkan
masyarakat madani, masyarakat yang adil makmur yang diridhoi Allah SWT.
B. Saran
Seperti telah disimpulkan oleh penulis tentang konsep panca kesadaran santri
dalam mewujudkan masyarakat madani, maka sesuai dengan tujuan awal bahwa
masyarakat madani dapat diwujudkan dengan panca kesadaran santri yakni 1.
Kesadaran beragama, 2. Kesadaran berilmu, 3. Kesadaran bermasyarakat, 4.
Kesadaran berbangsa dan bernegara, 5. Kesadaran berorganisasi.
Tujuan awal KH. Zaini Mun’im merumuskan konsep panca kesadaran santri
untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan dan ke-Indonesiaan untuk para santri agar
ketika keluar berguna bagi bangsa dan negara. Dengan demikian pondok pesantren
Nurul jadid yang mencetak kader-kader bangsa, dimaksudkan untuk merubah
kehidupan masyarakat yang cenderung merosot.
Saharusnya ajaran tentang panca kesadaran santri ini yang sudah berjalan
didalam pesantren, dijadikan pedoman bagi masyarakat diluar pesantren dengan
maksud mewujudkan masyarakat madani. Karena pada dasarnya K.H. Zaini Mun’im
merumuskan konsep panca kesadaran santri untuk mewujudkan kehidupan
masyarakat yang lebih baik dengan kata lain berkehidupan seperti halnya masyarakat
madani.
87
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Fatimah, Konsep Islam Sebagai Dīn: Kajian terhadap Pemikiran Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Jakarta: INSISTS, September-November 2004.
Ahyadi, Abdul Aziz, Psikologi Agama (Kepribadian Muslim Pancasila), Bandung:
Sinar Baru Algen sindo,Cet. III, 2001.
“Al-maidah ayat 2”, https://tafsirq.com/topik/Al-Maidah+ayat+2 diakses pada tanggal
29 Agustus 2018.
Amin, M. Masyhur dan M. Nasikh Ridwan, K.H. Zaini Mun'im Pengabdian dan
Karya Tulisnya, Yogyakarta: LKPSM, 1996.
Arif, Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan, Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2013.
Aswi, Saili dkk, Riwayat Singkat Almarhumin Pondok Pesantren Nurul Jadid.
Probolinggo: Sekretariat PPNJ, 2011.
A. Ubaidillah dkk, Demokrasi, Ham dan Masyarakat Madani. Jakarta: IAIN Jakarta
Press, 2000.
A. Ubaidillah, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat
Madani, Jakarta :IAIN Jakarta Press, 2000.
Azizah, Febriyani, “Konsep Masyarakat Madani Menurut Partai Keadilan Sejahtera”,
(PKS), Skripsi S1 UIN Jakarta, 2007.
Azra, Azyumardi, Menuju Masyarakat Madani, Bandung: Rosdakarya, 1999.
Azra, Azzumardi, “Civil Society and Democratization in Indonesia: Transition during
President Wahid's Rule and Beyond”, Refleksi, Vol. III, No.3, 2003.
“Bhinneka Tunggal Ika”, https://id.wikipedia.org/wiki/Bhinneka_Tunggal_Ika
diakses pada tanggal 30 Agustus 2018
“Biografi K.H. Zaini Mun’im”, http://www.nuruljadid.net/biografi-kh-zaini-munim
diakses pada tanggal 2 september 2018.
Budiardjo Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2008.
88
Buku panduan Osabar “Mondok Untuk Mengaji dan Membina Akhlakul Karimah”.
Casram, “Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat Plural”,
Bandung: UIN Suna Gunung Djati, Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya
1, 2, Juli-2016.
Cawidu, Harifudin, Konsep Kufr Dalam al-Qur'an, Suatu Kajian Teologis Dengan
Pendekatan Tematik, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Chairani, Lisya & M.A. Subandi. Psikologi Santri Penghafal Al-qur’an Peranan
Regulasi Dirii, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
“Cinta Kajian Sunnah”, https://cintakajiansunnah.wordpress.com/2014/05/30/hadits-
hadits-tentang-ilmu-yang-tidak-boleh-dijadikan-hujjah-1/ diakses pada
tanggal 4 september 2018.
“Egalitarianisme”, https://id.wikipedia.org/wiki/Egalitarianisme, diakses pada tanggal
28 september 2018.
“Egalitarianisme”, https://kbbi.web.id/egalitarianisme (KBBI Online) diakses pada
tanggal 28 september 2018.
Fazillah, Nur, “Konsep Civil Society Nurcholish Madjid Dan Relevansinya Dengan
Kondisi Masyarakat Indonesia Kontemporer”, Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, Medan:
Pascasarjana Universitas Islam Negeri, 2017: 206-225.
Fuad, Ismail, “Konsep Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam”, Skripsi
UIN syarif Hidayatullah Jakarta: Skripsi Program Studi Pendidikan Agama
Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, 2004.
Gazalba, Sidi, Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi dan sosiografi, Jakarta: Bulan
Bintang, 1976.
Gellner, Ernest, Membangun Masyarakat Sipil: Prasyarat Menuju Kebebasan,
Bandung: Mizan Cet. I, 1995.
Ghazali, Abd Muqsith, “K.H. Zaini Mun’im,” dalam Mastuki HS dan M. Isham El-
Saha (ed.), Intelektualisme Pesantren Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran
di Era Keemasan Pesantren Jakarta: Diva Pustaka, 2003.
89
“Hadis: Ingin Dapat Dunia Dan Akhirat Harus Dengan Ilmu”,
https://syukrillah.wordpress.com/2014/05/27/hadis-ingin-dapat-dunia-dan-
akhirat-harus-dengan-ilmu/ diakses tanggal 29 Agustus 2018.
Hakim, Masykur dan Tanu Widjaya, Model Masyarakat Madani, Jakarta: Intimedia,
2003.
Hardiman, Budi, Pemikiran-Pemikiran yang Membentuk Dunia Modern; Dari
Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta :Erlangga, 2011.
Harnadi, Dodik, “ KH Zaini Mun’im, Ulama Pencetus Panca Kesadaran”
https://www.timesindonesia.co.id/read/146829/20170424/224008/kh-zaini-
munim-ulama-pencetus-panca-kesadaran/ diakses 26 Agustus 2018.
Hidayat, Komaruddin, dkk. 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, Jakarta:
Paramadina, 1995.
Hidayat, Komarudin, The Wisdom Of Life: Menjawab Kegelisahan Hidup dan
Agama, Jakarta: Kompas, 2008).
Ibrahim Anwar, “Akhlak, Ilmu dan Etika Asas Masyarakat Madani.”
http://anwaribrahimblog.com/s=masyarakat+madani, diakses tanggal 11
Agustus 2018
Ihsan, Muhammad,”Hukum Islam dan Moralitas Dalam Masyarakat Madani”, ,
Pemikiran Hukum Islam, Volume 22, Nomor 1, Riau: IAIN Sultan Syarif
Kasim, April 2012.
Ismail SM., Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.
Isna, Tampaknya Dirimu Mengaktifkan Ad-blocker",
https://brainly.co.id/tugas/10478038 diaksel pada tanggal 27 juli 2018
Januari, Moh. Fauzan, Pengantar Hukum Islam dan Pranata Sosial, Bandung:
Pustaka Setia, 2013.
Kamus Al-Munawwir Arab- Indonesia PDF
Khaer, Abu, Konsep Masayarakat Madani dalam Manifesto Perjuangan Gerindra
Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2014.
90
“Khalifah center”, http://khalifahcenter.com/q49.13 diakses pada tanggal 30 Agustus
2018.
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1979).
Kurzman, Charles, Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer tentang
Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, 2001.
Maarif, A. Syafii, Mencari Autentisitas Dalam Kegalauan. Yogyakarta: PSAP, 2004.
Madjid, Nurcholish, Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina, 2002.
Mangunhardjana, A., Isme-Isme Dari A Sampai Z , Yogyakarta: Kanisius,
1997.
Muzakki, Muhammad, “Perubahan Perilaku Santri Studi Kasus Alumni Pondok
Pesantren Salafiyah Di Desa Langkap Kecamatan Besuki Kabupaten
Situbondo”(Jurnal Universitas Muhammadiyah Ponorogo: Volume 2, Nomor
1, Juli-Desember 2016.
Mun’im, A. Rafiq Zainul, Tafsir Surat al-Fatihah K.H. Zaini Mun’im, Yogyakarta:
Forstudia dan PP. Nurul Jadid, 2004.
Mun’im, Zaini, Problematika Dakwah Islamiyah, Probolinggo: NJPress, 2008.
Muslih, Mohammad “Wacana Masyarakat Madani: Dialektika Islam dengan Problem
Kebangsaan”, Jurnal Tsaqafa Volume. 6 No. 1 , Ponorogo:Institut Studi
Islam Darussalam (ISID) GontorApril 2010.
Madjid, Nurcholish, Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta: Paramadina,
1999.
Madjid, Nurcholish, et.al, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon
Transpormasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani, Jakarta:
Mediacita, 2000.
Madjid, Nurcholihs, “Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Kebudayaan dan
Peradapan, Ulumul Qur’an, No.2/1996.
Madjid, Nurcholish, “Menuju Masyarakat Madani”, dalam Ulumul Quran,
No.2/VII/96, Jakarta: LSAF-PPM, 1996.
91
Madjid, Nurcholish, Masyarakat Religius: Membumikan Nilai-nilai Islam dalam
kehidupan Masyarakat, Jakarta: Paramadina, 2004.
Madjid, Nurcholish, dkk, Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi: Pengalaman
Indonesia Masa Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1994.
Moeliono, Anton M, dkk, Kamus besarbahasa Indonesia, Jakarta: BalaiPustaka, Cet.
III,1990.
Muhammad, Nurdinah, “Masyarakat Madani Dalam Perspektif Al-Qur’an”, Al-
Mu‘ashirah, Vol. 14, No. 1, Darussalam Banda Aceh: Jurnal Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Januari 2017.
Muhammad, Basir “Sejarah Kelas dan Masyarakat Egaliter (Mendamaikan Ras,
Patronasi, hingga Borjuis dan Proletar)”, Yogyakarta: Skripsi UIN Sunan Kali
Jaga, BAB III, 2014.
Muliyadi, “Al-Khair dalam Perspektif Dakwah”, Al-Khitabah, Vol. II, No. 1,
Makasar: UIN Alauddin, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas
Dakwah dan Komunikasi Desember 2015.
“Mu’min”, https://id.wikipedia.org/wiki/Mu%27min, diakses pada tanggal 2 Oktober
2018.
Nasution, Harun, (eds), Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992.
Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung : Mizan, 1995.
Patik, Ahmad, “Peran Ulama Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani Yang Kuat
(Orde Baru-Orde Reformasi)”, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2002.
Poerwanto, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991.
Raharjo, M. Dawam, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan
Sosial. Jakarta: LP3ES dan LSAF, 1999.
Rahardjo, M. Dawani, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan
Sosial Oakarta: LP3ES & LASF, 1999.
Rakhmat, Jalaluddin, et.al., Tharikat Nurcholishy: Jejak Pemikiran dari Pembaharu
Sampai Guru Bangsai, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
92
Razaq, Hefniy, Profil Pondok Pesantren Nurul Jadid. Probolinggo: Humas
Sekretariat PPNJ.
Rozak, Abdul, “Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education : Demokrasi, Hak
Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”, Skripsi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta: program studi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, 2003.
Samsinas, “Masyarakat Madani Dalam Islam”, Hunafa, Vol. 3 No. 1, Palu: STAIN
Datokarama, Jurusan Dakwah Maret 2006.
Setiawan, Deny,“Kerja Sama (Syirkah) Dalam Ekonomi Islam”, Ekonomi
Pembangunan, Volume 21, Nomor 3, Riau: Kampus Bina Widya Jurusan
Ilmu Ekonomi Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi
Universitas September 2013.
Shihab, Alwi, “Membangun Jembatan Melalui Dialog Antar agama dalam Bernard
Adeney-Risakotta, ed., Mengelola Keragaman di Indonesia”, Bandung:
Mizan, 2012.
Shihab, Quraish, Membumikan Al-qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Bandung :Mizan, 2004.
Shihab, Quraish, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat, Bandung: Mizan, 1996.
Sudarsono, Heri, Bank Dan Lembaga Keuangan Syari’ah: Deskripsi Dan Ilustrasi,
Yogyakarta: Ekonosia, 2003.
Sudarsono, Kamus Hukum, Jakarta: PT. RinekaCipta, 1992.
Sulaiman, Rusyidi dan A. Bashori Shanhaji, PPNJ Antara Idealisme dan
Pragmatisme. Jember: Madania, 2004.
"surat Al-hujurat dan Terjemahan", http://www.quran30.net/2012/08/surat-al-
hujuraat-ayat-1-18.html diakses pada tanggal 30 Agustus 2018.
“Syahadat”, https://id.wikipedia.org/wiki/Syahadat diakses tanggal 31 Agustus 2018.
Syaifullah dan Totok Suyanto “Aktualisasi Nilai-Nilai Multikultural Di Pondok
Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo”, Surabaya: UNESA FIS, Kajian
Moral dan Kewarganegaraan Volume 03 Nomor 02 Tahun 2014.
93
Syamsuddin, Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2000.
Syari’ati, Ali, Humanisme Antara Islam dan Madzhab Barat, terj. Afif Muhammad,
Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
“Tafsir Surat Al-Hujurat Ayat 1-10 dan Terjemahannya”,
https://ibnothman.com/quran/surat-al-hujurat-dengan-terjemahan-dan-tafsir/
diakses pada tanggal 30 Agustus 2018
Tahir Azhary, Negara Hukum, Jakarta : Kencana, 2004.
Tahqiq, Nanang, Asas-Asas Falsafah Islam, Tanggerang Selatan: HIPIUS, 2016.
Tim, Mengenal Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo, Probolinggo:
Biro Umum, 1998.
Umar, Akrim Dhiyauddin, Madinah Society at The Time of The Prophet: Its
Characteristic and Organization, Terjemahan, Mun’im A. Sirry, Masyarakat
Madani : Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi, Jakarta : Gema Insani
Press,1999.
Wati, Vita Fitriadan Sri Agustin Sutrisno, “civil society, konsep ummah dan
masyarakat madani” MKU-UNY, artikel di download pada 1 Mei 2018.
Wawancara penulis dengan K.H. Zuhri Zaini di kediaman, rumah beliau, Paiton
Probolinggo, tanggal 09 Januari 2018.
Yuliadi, Yadi, “Civil Society di Indonesia Menurut Azzumardi Azra”, UIN Jakarta:
Skripsi Jurusan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, 2007.
Zamharir, Muhammad Hari, Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik
Nurcholish Madjid, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.
Lampiran X : Lembar Pertanyaan Wawancara
Draft Pertanyaan Wawncara Dengan K.H. Zaini Mun’in
1. Bagaimana sejarah K.H. Zaini Mun’im dalam duni da’wah?
2. Bagaimana pemikiran K.H. Zaini Mun’im mengenai konsep panca kesadaran
santri?
3. Apa yang melatar belakangi K.H. Zaini Mun’im mengeluarkan konsep panca
kesadaran santri?
4. Apa tujuan K.H. Zaini Mun’im mengonsepkan panca kesadaran santri?
HASIL WAWANCARA II
Nama : K.H. Zuhri Zaini
Alamat : J. K.H. Zaini Mun’im Karanganyar Paiton Probolinggo
Jabatan : Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid
Waktu Wawancara : 09 Januaru 2018, pukul 08:00 WIB.
1. Bagaimana sejarah K.H. Zaini Mun’im dalam dunia dakwah?
Jawaban:
Beliau itu, berdakwah dengan mendirikan pesantren di Madura pada walnya.
Kemudian Belanda balik lagi menjajah Indonesia, beliau ikut memimpin
memimpin masyarakat di sana untuk melawan Belanda. Kemudian akhirnya
beliau terdesak kemudian beliau hijrah kesini (Paiton Probolinggo) dan
mendirikan pesantren lagi, sebagai pusat kegiatan dakwah beliau dan tempat
pendidikan untuk kader-kader dakwah daerah. Beliau selain mengajar mendidik
santri juga memberi pengajian-pengajian terhadap masyarakat sekitar. Dan beliau
aktif di jami’iah dan beliau juga aktif dalam melakukan pemberdayaan
masyarakat dalam bidang ekonomi juga, seperti pemberdayaan tembakau
lingkunan merintis Desa Karanganyar. Jadi beliau memang aktif dalam
kemasyarakatan dalam bernegara, dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan
bernegara beliau aktif sejak awal.
2. Bagaimana pemikiran K.H. Zaini Mun’im mengenai konsep panca kesadaran
santri?
Jawab:
Santri sebagai kader-kader umat, kader-kader bangsa itu harus mempunyai lima
kesadaran seagai bekal di dalam mengabdi kepada masyarakat, yang namanya
santri itu kan menjalani pendidikan, pengemblengan di pesantren agar nantinya
setelah pulang kemasyarakat dia bermanfaat. Kemudian serta aktif dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, beliau
menginginkan santri itu selain mempunyai kesadaran keagamaan, sudah jelas
peantren itu tujuannya untuk menanamkan pendidikan beragama, santri dan
masyarakat. Karena pesantren itu melanjutkan misi rasul dan juga kesadaran
keilmuan, bahwa ilmu itu penting dalam segala hal baik dalam beragama, dalam
kehidupan berekonomi, bermasyarakat dan aspek-aspek kehidupan yang lain.
Oleh karena itu kita di Dalam beraktivitas harus di dasarkan dengan ilmu, jangan
hanya ikut-ikutan, sehingga tahu alasannya apa, tujuannya apa, caranya gimana
supaya mencapai tujuannya dengan baik. Sebab kalau kita ikut-ikutan dalam
beragama itu tidak baik. Oleh karena itu beliau selain menekankan bahwa santri
itu harus mempunyai kesadaran beragama itu sebagai ibadah kepada Allah,
kemudian kesadaran berilmu, karena ilmu itu penting dalam kehidupan manusia
dan seterusnya. Selain itu juga memiliki kesadaran bermasyarakat, termasuk
masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab bangsa dan negara ini adalah wadah
masyarakat, bangsa itu ya masyarakat besar, kumpulan masyarakat bangsa dan
wadahnya adalah negara. Jadi santri sebagai orang yang hidup dalam masyarakat
dan hidup sebagai bagian dari bangsa dan hidup di suatu negara, dia harus punya
kesadaran kepada masyarakat, kepedulian terhadap masyarakatnya kepada
bangsanya dan kepada negaranya. Sehingga santri harus bisa berkontribusi atau
punya manfaat bagi masyarakat termasuk kepada bangsa dan bela negara menjaga
keutuhan bangsa dan seterusnya. Kemudian yang terakhir, K.H. zaini
menginginkan santri itu mempunyai kesadaran berorganisasi. Mengapa demikian?
Sebab kalau kita di dalam usaha apapun baik sekala kecil maupun usaha sekala
yang besar. Misalnya kita berbisnis atau mengajar, berdakwah, itu kalau sendiri-
sendiri itu tidak mampu melaksanakan usaha yang besar dan walaupun kecil-kecil
dan ketika kita menghadapi sebuah kendala kita tidak akan bisa menanggulangi
kendala itu, karena kita sendirian. Tapi kalau dengan bersama-sama tentu
bersama-sama ini ada pengaturan dan pengorganisasian, ada pembagian tugas dan
ada aturan-aturan mainnya, ini insya allah kita bisa melaksanakan usaha-usaha
besar dan bisa menghadapi tantangan-tantangan yang besar juga, saya kira
pesantren organisasi, NU organisasi, bahkan negara ini organisasi, jadi
seandainya tidak ada organisasi Negara tidakada organisasa NU dan pesantren
kita jalan sendiri-sendiri ya mngkin tidak akan baik seperti ini, termasuk kita juga
tidak akan bisa mengusir penjajah seandainya kita itu jalan sendiri-sendiri. Jadi
kita harus bisa kerja sama dengan orang lain dalam suatu wadah, wadah itu
namanya organisasis. Jadi beliau tidak menyukai orang yang bekerja itu sendiri-
sendiri. Jadi jalaninya itu harus bersama-sama dalam segala hal, termasuk, bukan
hanya dalam dakwah, bukan hanya dalam pendidikan dan juga di dalam usaha
bisnis. Apalagi dalam masa sekarang ini persaingan, kan begitu ketat, jadi kalau
kita jalan sendiri-sendiri kita tidak mampu, termasuk dalam bisnis, kenapa kita
tidak bisa bersaing karena kita jalaninya sendiri-sendiri. Sementara orang lain
membuat jaringan seperti Indomaret, Alfamart bersama orang lain. Itu kan berkat
organisasi mereka menjadi besar, tetapi kalau sendiri-sendiri ya tetap kecil-kecil
saja.
3. Apa yang melatar belakangi K.H. Zaini Mun’im mengeluarkan konsep panca
kesadaran santri?
Jawab:
Beliau mempunyai pengalaman baik pendidikan maupun dalam perjuangan dalam
organisasi yang sudah cukup banyak pengalamannya. Beliau juga seorang
pemikir, bukan hanya seorang pekerja. Sehingga beliau selain bekerja juga
melakukan kajian-kajian. Sehingga menemukan rumusan tentang itu (panca
kesadaran santri). Jadi hasil pemikiran dan juga perjuangan beliau.
4. Apa tujuan K.H. Zaini Mun’im mengonsepkan panca kesadaran santri?
Jawab:
Beliau mengajarkan panca kesadaran santri kepada santri itu, itu tjuannya agar
santri itu menjadi manusia yang bisa bermanfaat yang banyak selain bagi dirinya,
masyarakat, bangsanya dan negaranya.
Memang beliau mengajarkan panca kesadaran santri kepada santri, tapi santri kan
sebagai kader umat, kader bangsa, kader-kader masyarakat itu mereka akan terjun
kemasyarakat. Otomatis itu akan mempunyai imbas. Memang tujuannya santri ini
supaya banyak bermanfaat kepada masyarakat,lingkungan. Selain sukses dirinya
itu kan bersama masyarakat.