distonia servikal

Upload: alin-lin-lin

Post on 07-Oct-2015

46 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

distonia

TRANSCRIPT

Distonia Servikal : Efektivitas Program Terapi Fisik Cepat dan Standar ; Desain Penelitian dan Protokol Uji Acak Single Blind

Abstrak

Latar Belakang : Distonia servikal ditandai dengan kontraksi otot leher yang tidak disadari dan posisi kepala yang abnormal sehingga mengakibatkan gangguan aktivitas sehari-hari dan kehidupan sosial pasien. Pasien biasanya mendapat terapi injeksi toksin botulinum pada otot leher untuk mengurangi nyeri dan menigkatkan control postur kepala. Selain itu, beberapa pasien mendapat terapi fisik untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Evaluasi yang dilakukan baru-baru ini pada dystonia servikal memperlihatkan minimnya penelitian uji acak mengenai efektivitas terapi fisik.

Metode : Perbandingan efektivitas (harga) antara terapi fisik standar dengan terapi fisik regular, keduanya dengan terapi tambahan berupa injeksi toksin botulinum akan dideterminasi menggunakan pendekatan uji acak single blind dan multi center dengan 100 pasien distonia. Keluaran primer pada penelitian ini adalah penilaian ketidakmampuan fungsi sehari-hari menggunakan Toronto Western Spasmodic Torticollis Rating Scale. Sedangkan keluaran sekundernya berupa nyeri, tingkat keparahan distonia, sebarapa aktif gerakan yang dapat dilakukan, kualitas hidup, kecemasan dan depresi. Data akan dikumpulkan saat pertama dilakukan penelitian, saat 6 bulan dan satu tahun setelahnya dengan penilai yang independen dan blind. Untuk efektivitas harga, evaluasi ekonomi akan ditampilkan dengan harga per kualitas hidup dalam satu tahun.

Diskusi : Penelitian ini akan memberikan bukti baru mengenai efektivitas (harga) dari terapi fisik standar pada pasien dengan distonia servikal. Intervensi kesehatan termasuk terapi fisik dapat ditawarkan sebahai tambahan untuk pilihan terapi. Keluaran positif akan meningkatkan penggunaan program terapi fisik standar. Di Belanda, keluaran positif berakibat pada bentuk terapi fisik standar dijadikan dasar terapi untuk distonia servikal.

Latar BelakangDistonia Servikal, atau totikolis, adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan posisi abnormal kepala karena kontraksi otot leher yang tidak disadari. Postur pasien distonia servikal dapat berupa satu atau kombinasi beberapa postur : rotasi (torikolis); fleksi lateran (laterokolis); fleksi (aterokolis); ekstensi (retrokolis); dan latera. Dengan estimasi prevalensi 5.7 pasien per 100.000 orang di Eropa Barat, distonia servikal adalah gangguan yang paling banyak dialami pasien dewasa yang biasanya diatas 30 tahun. Nyeri adalah gejala yang sering dikelugkan, dengan adanya kontraksi otot dan deviasi kepala. Penurunan kemampuan diri, lemah, cemas dan depresi adalah faktor lain yang seringkali muncul.Penelitian pada distonia fokal, termasuk distonia servikal, menununjukkan adanya abnormalitas fungsi ganglia basal, fungsi sereberal, proses sensori, inhibisi motoric, neuroplastisitas dan organisasi kortikal tetapi patofisiologinya masih belum diketaui pasti. Pilihan terapi untuk distonia servikal bersifat simtomatik, tujuannya untuk mengurangi gerakan yang tidak disadari, memperbaiki posisi abnormal kepala dan mengurangi nyeri. Sekarang ini, bukti terbaik untuk pilihan terapi adalah penyuntukan otot leher dengan toksin botulinum (BTX). Efek dari BTX ini bersifat fluktuatif dari waktu ke waktu. Efek terlemah terjadi dalam 2-4 minggu setelah penyuntukan dan diikuti dengan penurunan efek dan kembalinya gejala distonia servikal. Rata-rata injeksi baru diberikan kembali dalam 12-14 minggu setelah penyuntukan sebelumnya. Beberapa pasien distonia servikal di Belanda mendapatkan tambahan terapi berupa terapi fisik (TF). Meski begitu, pengalaman pasien Belanda yang menjalani terapi fisik sangat terbatas. Disamping bukti efek terapi fisik untuk mengembalikan kemampuan melakukan kegiatan sehati-hari yang sangat terbatas.Semua penelitian yang terlah dilakukan sebelumnya membandingkan terapi BTX yang dikombinasi dengan program TF dengan hanya BTX saja. Hasilnya memperlihatkan skor yang jauh lebih baik dari segi nyeri dan disabilitas pada kelompok dengan terapi BTX dengan penambahan terapi TF. Program TF konsisten pada latihan motoric intensif (control postural, keseimbangan, kekuatan otot aksial, dan memfasilitasi gerakan yang disadari), serta teknik mobilisasi dengan tulang leher dan otot distonik. Program TF bervariasi mulai dari 40 menit per sesi setiap hari dalam 6 minggu, 75 menit persesi selama 5 hari dalam satu minggu selama 5 minggu hingga 90 menit sehari untuk 2 minggu. Meski hasil terapi ini positif, tetapi sulit untuk mengimplementasikan kesemuanya secara regular untuk penyakit kronik dengan psikoterapist dan therapist fisik. Tujuan primer penelitian ini adalah untuk mengebaluasi efektivitas dari program terapi fisik standar dalam meningkatkan kemampuan melakukan aktivitas sehar-hari pada pasien distonia servikal dibandingkan dengan terpi fisik yang biasa di berikan di Belanda pada pelatihan pribadi. Kedua program mendapat terapi tambahan berupa injeksi BTX. Hipotesisnya adalah efek dari terapi fisik akan didapatkan terutama pada periode antar injeksi saat BTX mulai turun dan gejala mulai kembali (Gambar 1). Tujuan sekunder adalah untuk mengevaluasi efek pada tingkat nyeri pasien DS, kualitas hidup, kecemasan dan depresi. Sebagai tambahan, efektivitas harga juga akan diditerminasi dengan membandingkan harga dan peralatan kesehatan pada program terapi fisik baru yang distandardisasi. Hipotesisnya adalah program terapi fisik yang distandardisasi akan memiliki efektivitas harga yang lebih baik dan lebih efektin dalam meningkatkan kemampuan dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Keluaran positif pada penelitian ini akan dibawa pada pembuatan pedoman terapi yang akan diimplementasikan melalui Dutch DystonieNet.

Metode/DesainDesain PenelitianPenelitian ini akan dilakukan dengan uji acak single blind multi senter pada 3 rumah sakit universitas di Belanda. Pasien akan didaftarkan secara acak kemudian dibagi menjadi kelompok eksperimen atau kelompok kontrol menggunakan protocol komputerisasi. Pasien di kelompok eksperimen akan diterapi oleh spesialis TF yang telah detraining untuk menjalankan program TF yang telah distandardisasi. Pasien di kelompok kontrol akan mendapatkan terapi TF regular dan mendapat perawatan sebagaimana biasanya. Semua data dikumpulkan pada saat dimulai penelitian, setelah 6 bulan dan setelah satu tahun. Sedangkan untuk mendeterminasi efek tambahan dari TF, penilaian akan dilakukan sebelum injeksi BTX diluar rumah sakit. Hal ini berimplikasi pada penilaian efek program TF pada periode saat efek BTX telah turun dan mulai munculnya gejala disonia (Gambar 1). Penilaian akan dilakukan oleh penilai independen dan blind baik terhadap therapist maupun alokasi pasien.

Subyek PenelitianPenelitian ini bertujuan untuk memasukan 100 pasien dengan DS primer dengan usia 30 tahun atau lebih, stabil pada terapi BTX untuk lebih dari satu tahun. Kriteria eksklusi antara lain bentuk distonia sekunder atau herediter, distonia pada bagian tubuh lain selain leher, dan pasien yang telah dioperasi untuk distonia.IntervensiStandardisasi, Program TFSubyek pada kelompok ini mendapat satu tahun program TF berdasarkan program TF yang telah terstandardisasi yang dikombinasi dengan injeksi BTX. Program TF akan dimulai 2 minggu setelah injeksi. Program TF ditekankan pada fungsi latihan yang diadaptasi dari situasi kehidupa sehari-hari, peregangan otot, mbilisasi pasif leher dan prinsil trainin yang relevan untuk rehabilitasi neural dan latihan motorik yang dilakukan oleh seorang therapist. Rangkuman basic teoritikal dengan fungsi untuk mobilisasi dan peregangan otot, latihan motoric, generalisasi dan transfer, feed back dan manajemen diri telah ditampilkan pada Tabel 1. TF RegulerSubyek yang secara acak ada di kelompok ini akan menerima injeksi BTX dan TD regulen sekali dalam seminggu selama 1 tahun. Perbedaan dengan TD yang terstandardisasi, intervesi yang diberikan tidak dilakukan oleh spesialis therapist. Berdasarkan data, beberapa terapis di Belanda telah memiliki sedikit pengetahun mengenai DS. Intervensi yang diberikan seperti pemijatan, peregangan dan latihan otot distonik yang digunakan. Variabel KeluaranDisabilitasDisabilitas dinilai dengan sub skala disabilitas Toronto Western Spasmodic Torticollis Rating Scale (TWSTRS) adalah keluaran primer pad apenelitian ini. Skala TWSTRS secara luas digunakan pada penelitian dan skala ini valid serta reliable untuk menilai tingkat keparahan, disabilitas dan nyeri pada distonia servikal (Kendall Tau = 0.85, p < 0.01). Bagian untuk disabilitas terdapat 6 poin skala Likert yang mengandung enam item seperti mengendarai mobil, membaca dan aktivitas ADL (maksimal 30 poin). Skor yang lebih rendah mengindikasikan disabilitas yang lebih rendah. Disabilitas juga dinilai menggunakan Functional Disability Questionnaire (FDQ). FDQ terdiri dari 27 item skala untuk menilai efek dari distonia servikal pada fungsi sehari-hari. Pertanyaan ditanyakan mengenai efek DS pada beberapa contoh kegiatan. Setiap item memiliki skala 5 poin (skor maksimal 68 poin). FDQ memiliki reabilitas yang tinggi (r=.93, P