bab ii - unud · 2017. 4. 1. · dengan cabang-cabang saraf perifernya akan menimbulkan nyeri pada...
TRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Nyeri Kepala Tipe Tegang
Nyeri kepala tipe tegang atau tension type headache (TTH) adalah nyeri
kepala yang berlangsung beberapa menit sampai beberapa hari. Nyeri kepala
bilateral menekan atau mengikat dengan intensitas ringan sampai sedang. Nyeri
tidak bertambah pada aktifitas fisik rutin, tidak didapatkan mual tapi bisa ada
fotofobia atau fonofobia (Perdossi, 2015).
Secara epidemiologi prevalensi TTH pada populasi cukup beragam. Hal ini
dikarenakan studi serta desain penelitian yang berbeda dan disesuaikan dengan
demografi tertentu. TTH lebih sering terjadi di Eropa, dengan tingkat prevalensi
mencapai 80%, dibandingkan dengan Asia, yang memiliki tingkat prevalensi TTH
terendah sekitar 20%. Perbedaan jenis kelamin pada TTH memiliki prevalensi
sedikit lebih tinggi pada wanita pada semua umur dibandingkan pria, dengan rasio
wanita : pria berkisar 2 : 1 sampai dengan 3 : 1 ( Chai dkk., 2012).
2.1.1 Etiologi Nyeri Kepala Tipe Tegang
Penyebab dari TTH masih belum diketahui secara pasti. Diduga dapat
disebabkan oleh faktor psikis danfisik. Secara psikis, TTH dapat timbul akibat
reaksi tubuh terhadap stres, kecemasan, depresi dan konflik emosional. Sedangkan
faktor fisik, seperti posisi kepala yang menetap dalam jangka waktu lama
mengakibatkan kontraksi otot-otot kepala dan leher, tidur yang kurang, kesalahan
9
dalam posisi tidur dan kelelahan juga dapat menyebabkan TTH. (Duran ddkk.,
2006; Midle-Busch dkk., 2011).
2.1.2 Patofisiologi Nyeri Kepala Tipe Tegang
Nyeri kepala berkaitan dengan terangsangnya susunan peka nyeri. Nyeri
kemudian timbul setelah melewati proses modulasi sebelum akhirnya
dipersepsikan sebagai rasa nyeri baik melalui mekanisme sensitisasi perifer atau
sensitisasi sentral (Fumal dkk, 2008). Rangsang nyeri kepala bisa disebabkan oleh
adanya tekanan, traksi, displacement maupun proses kimiawi dan inflamasi
terhadap nosiseptor-nosiseptor pada struktur peka nyeri di kepala. Jika struktur
peka nyeri tersebut terletak pada ataupun diatas tentorium serebeli, maka rasa
nyeri yang timbul akan terasa menjalar pada daerah didepan batas garis vertikal
yang ditarik dari kedua telinga kiri dan kanan melewati puncak kepala (daerah
frontotemporal dan parietal anterior). Rasa nyeri ini ditransmisi oleh saraf
trigeminus (Milanov dkk.,2003). Sedangkan rangsangan terhadap struktur peka
nyeri dibawah tentorium (pada fossa kranii posterior) radik servikalis bagian atas
dengan cabang-cabang saraf perifernya akan menimbulkan nyeri pada daerah
dibelakang garis tersebut, yaitu didaerah oksipital, suboksipital dan servikal
bagian atas. Rasa nyeri ini ditransmisi oleh saraf kranial IX, X dan saraf spinal C-
1, C-2, dan C-3 (Chen, 2009).
Rangsang nyeri kepala dihantarkan oleh serabut saraf C dan A delta ke kornu
dorsalis dan inti trigeminal di trigemino cervical complex (TCC), kemudian
bersinapsis dengan neuron orde kedua. Pada sinapsis ini terjadi modulasi
rangsangan dari nosiseptor primer dan mekanoreseptor yang berbahaya yang
10
dibawa melalui homosinaptik dan heterosinaptik ke sensitisasi sentral. Pada
tingkat molekuler, sinyal nyeri dari perifer menyebabkan pelepasan neuropeptida
dan neurotransmiter (substansi P dan glutamat) yang mengaktifkan reseptor pada
membran postsinap, menghasilkan aksi potensial dan mencapai puncak
plastisitasnya sehingga menurunkan ambang nyeri. tetapi pada individu yang
rentan, gangguan ini dapat memicu sinyal nyeri, yang disebabkan oleh sensitisasi
sentral. Nyeri tekan perikranium yang terus menerus yang dibawa oleh serabut
saraf C dan A beta yang bersinapsis di trigemino cervical complex (TCC),
menyebabkan terjadinya alodinia dan hiperalgesia. Intensitas, frekuensi, dan nyeri
tekan perikranium yang terus menerus pada jaringan yang sama dan terjadi
perubahan molekul pada pusat yang lebih tinggi di thalamus, sehingga terjadi
sensitisasi sentral pada neuron tersier dan terjadi perubahan pada persepsi nyeri
(Chen, 2009).
Patofisologi TTH secara pasti belum diketahui, namun beberapa penelitian
menyatakan bahwa sensitisasi perifer (nosisepsi dari jaringan miofasial
perikranium) dan sensitisasi sentral (peningkatan rangsangan pada centra lnervus
system) memegang peranan penting pada patofisiologi TTH (Ashina dkk., 2013).
Asal nyeri kepala pada TTH sejak dahulu dikaitkan dengan kontraksi otot
yang berlebihan, iskemia, dan radang pada otot-otot kepala dan leher. Sejumlah
studi menunjukkan bahwa jaringan miofasial pada pasien dengan TTH di katakan
lebih nyeri dibandingkan pada kontrol, dan nyeri tekan pada saat palpasi juga
berkaitan dengan intesitas dan frekuensi nyeri pada TTH (Ashina dkk., 2013).
11
Salah satu teori yang dominan pada patofisiologi TTH adalah adanya
inputnosiseptik dari jaringan miofasial perikranial yang akan meningkatkan
eksitabilitas jalur nyeri ke susunan saraf pusat. Ada dua faktor yang berperan pada
proses terjadinya TTH, yaitu: (1) Faktor perifer, dimana rangsang nyeri diantarkan
oleh serabut saraf dengan selubung myelin tipis (serabut saraf A delta) dan serat
tidak bermielin (serabut saraf C). Pada TTH bermacam stimuli menimbulkan
eksitasi dan sensitisasi pada nosiseptor di miofasial yang akan menyebabkan
sensitivitas nyeri. Peregangan gigi, posisi statis saat kerja, mediator kimia (asam
laktat dan piruvat), kontraksi lokal miofasial, tekanan darah yang rendah (disebut
dengan ischemic muscle contraction) dan proses inflamasi bisa menyebabkan
sensitisasi pada nosiseptor nyeri. (2) Faktor sentral, peningkatan sensitisasi
miofasial pada TTH disebabkan oleh faktor sentral yaitu sensitisasi dari neuron
orde kedua di kornu dorsalis medula spinalis atau nukleus trigemini kaudalis
(TNC). Sensitisasi supra spinal ini bersamaan dengan penurunan antinosiseptik
dari struktur supra spinal. Dari beberapa studi memperlihatkan adanya disfungsi
sistem modulasi endogen supra spinal pada chronic tension type headache
(CTTH), hal ini yang menyebabkan terjadinya sensitisasi sentral (PERDOSSI,
2015).
Timbulnya CTTH berkaitan dengan aktivasi sistem miofasial perifer
(sensitisasi perifer) dan sensititasi sentral. Proses tersebut dipengaruhi oleh
neurotransmiter dan mediator inflamasi seperti substansi-P, bradikinin, calcitonin
gene-related peptide (CGRP) serotonin dan norefineprin. Kondisi ini akan
mengakibatkan aktifnya nosiseptor perifer yang berlanjut dengan sensitisasi
12
sentral yang dapat berlanjut hingga nyeri bersifat kronis akibat dari impuls nyeri
yang terus-menerus dipersepsikan (Bendsten dkk., 2011).
Pada nyeri kepala juga terjadi proses inflamasi steril. Adanya inflamasi steril
pada nyeri kepala ditandai dengan pelepasan kaskade zat substansi dari perbagai
sel. Makrofag melepaskan sitokin Interleukin-1 (lL-1), Interleukin-6 (lL-6) dan
Tumor Necrotizing Faktor α (TNF-α) dan Nerve Growth Faktor (NGF). Mastcell
melepas metabolit histamin, serotonin, prostaglandin dan asam arakidonat dengan
kemampuan melakukan sensitisasi di terminal sel saraf (Buzzi dkk, 2003).
Terjadinya TTH juga sering dihubungan dengan kelainan stres psikopatologi,
seperti stres, ansietas dan depresi. Stres mengaktifkan nuclear faktor k-light-chain
(NFkB) yang menyebabkan teraktivasinya inducible nitric oxides ynthase (iNOS)
dan cyclooxygenase-2 (COX-2).Seperti diketahui iNOS dan COX-2 berperan
dalam proses terjadinya nyeri. Pada keadaan normal, stres mengaktivasi sistem
glucocorticoid adrenal axis, yang diketahui meningkatkan eksitasi glutaminergik
di central nervus system (CNS). Meningkatnya glutamat ini mengaktifkan
reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) dan melalui jalur second-messenger,
kemudian mengaktifkan NFkB, meningkatkan iNOS dan memproduksi
NitricOxide (NO), yang menyebabkan vasodilatasi dan perubahan oksidatif. Hal
ini dapat menyebabkan nyeri kepala yang disebabkan dilatasi pembuluh darah
intrakranial, duramater, dan struktur lainnya, dan jika terjadi terus menerus dapat
menyebabkan TTH dan berpotensi menyebabkan nyeri pada otot perikranium
dengan cara sensitisasi perifer dan sentral. Seperti terlihat pada gambar 2.1 (Chen,
2009).
13
Gambar 2.1.Patofisiologi TTH (Chen, 2009).
2.1.3 Klasifikasi dan Kriteria diagnosis Nyeri Kepala Tipe Tegang
Berdasarkan Konsensus Nasional Kelompok Studi Nyeri Kepala
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) 2013, TTH
dikelompokkan menjadi:
1. Tension type headache episodic (ETTH) yang infrequent
Nyeri kepala episodik yang infrequent berlangsung beberapa menit sampai
beberapa hari. Nyeri bilateral, rasa menekan atau mengikat dengan
14
intensitas ringan sampai sedang. Nyeri tidak bertambah pada aktivitas fisik
rutin, tidak didapatkan mual tapi bisa ada fotofobia atau fonofobia.
Kriteria Diagnostik
A. Paling tidak terdapat 10 episode serangan dengan rata-rata < 1
hari/bulan (< 12 hari/tahun), dan memenuhikriteria B-D
B. Nyeri kepala berlangsung dari 30 menit sampai 7 hari
C. Nyerikepala paling tidakterdapat 2 gejala khas:
1. Lokasi bilateral.
2. Menekan/mengikat (tidak berdenyut).
3. Intensitas ringan atau sedang.
4. Tidak diperberat oleh aktifitas rutin seperti berjalan atau
naik tangga.
D. Tidakdidapatkan:
1. Mual atau muntah (bisa anoreksia).
2. Lebih dari satu keluhan: fotofobia atau fonofobia.
E. Tidak berkaitan dengan kelainan lain.
2. Tension type headache episodic (ETTH) yang frequent
Nyeri kepala episodik yang infrequent berlangsung beberapa menit sampai
beberapa hari. Nyeri bilateral, rasa menekan atau mengikat dengan
intensitas ringan sampai sedang. Nyeri tidak bertambah pada aktivitas fisik
rutin, tidak didapatkan mual tapi bisa ada fotofobia atau fonofobia.
15
Kriteria Diagnostik
A. Paling tidak terdapat 10 episode serangan dalam 1-15 hari/bulan
selama paling tidak 3 bulan (12-180 hari/tahun) dan memenuhi
kriteria B-D.
B. Nyeri kepala berlangsung dari 30 menit sampai 7 hari.
C. Nyeri kepala paling tidak terdapat 2 gejala khas:
1. Lokasi bilateral.
2. Menekan/mengikat (tidak berdenyut).
3. Intensitas ringan atau sedang.
4. Tidak diperberat oleh aktifitas rutin seperti berjalan atau
naik tangga.
D. Tidak didapatkan:
1. Mual atau muntah (bisa anoreksia).
2. Lebih dari satu keluhan: fotofobia atau fonofobia.
E. Tidak berkaitan dengan kelainan lain.
3. Tension type headache chronis (CTTH)
Nyeri kepala yang berasal dari ETTH, dengan serangan tiap hari atau
serangan episodik nyeri kepala yang lebih sering yang berlangsung
beberapa menit sampai beberapa hari. Nyeri kepala bersifat bilateral,
menekan atau mengikat dalam kualitas dan intesitas ringan atau sedang,
dan nyeri tidak bertambah memberat denga aktivitas fisik rutin.
Kemungkinan terdapat mual, fotofobia atau fonofobia ringan.
16
Kriteria Diagnostik
A. Nyeri kepala timbul ≥ 15 hari/bulan, berlangsung> 3 bulan (≥180
hari/tahun) dan juga memenuhi kriteria B-D.
B. Nyeri kepala berlangsung beberapa jam atau terus-menerus.
C. Nyerikepala paling tidak terdapat 2 gejala khas:
1. Lokasi bilateral.
2. Menekan/mengikat (tidak berdenyut).
3. Intensitas ringan atau sedang.
4. Tidak diperberat oleh aktifitas rutin seperti berjalan atau
naik tangga.
D. Tidak didapatkan:
1. Lebih dari satu: fotofobia atau fonofobia atau mual yang
ringan.
2. Mual yang sedang atau berat, maupun muntah (bisa
anoreksia).
E. Tidak ada kaitan dengan penyakit lain.
4. Probable tension type headache
Penderita yang memenuhi satu dari kelompok-kelompok kriteria ini
mungkin juga memenuhi kriteria dari salah satu subform dari probable
migren. Dalam hal demikian semua informasi yang didapat hanya dipakai
untuk menentukan kemungkinan mana yang tepat.
17
Kriteria Diagnostik
A. Nyeri kepala dalam rata-rata > 15 hari/bulan selama > 3 bulan (>
180 hari/tahun) dan memenuhi kriteria B-D.
B. Nyeri kepala berlangsung beberapa jam atau terus-menerus.
C. Nyeri kepala paling tidak terdapat 2 gejala khas:
1. Lokasi bilateral.
2. Menekan/mengikat (tidak berdenyut).
3. Intensitas ringan atau sedang.
4. Tidak diperberat oleh aktifitas rutins eperti berjalan atau
naik tangga.
D. Tidak didapatkan:
1. Lebih dari satu: fotofobia atau fonofobia atau mual yang
ringan.
2. Mual yang sedang atau berat, maupun muntah (bisa
anoreksia).
E. Tidak berkaitan dengan kelainan lain tetapi ada atau telah ada
dalam dua bulan terakhir penggunaan obat yang berlebihan yang
memenuhi kriteria Medication overuse headache.
2.2 Magnesium
2.2.1 Fisiologi Magnesium
Magnesium merupakan kofaktor untuk lebih dari 300 enzim yang mengatur
beragam reaksi biokimia dalam tubuh (Grober dkk., 2015) dan merupakan kation
18
terbanyak kedua setelah kalsium (Dominguez dan Barbagallo, 2015). Makanan
yang dianggap mengandung banyak magnesium adalah kacang-kacangan
(almond, kacang mete, kedelai), daging merah, sayuran berdaun hijau, sereal
gandum dan makanan laut (Woolhouse dan Michelle, 2005).
Pada manusia normal, magnesium terutama di distribusikan di tulang (60%)
dan jaringan lunak (40%), seperti otot, jantung dan hati. Dalam jaringan,
intraseluler, magnesium berikatan dengan ATP (Adenosine Triposphate), ADP
(Adenosine Diposphate), protein, RNA, fosfolipid, dan sitrat. Sebanyak 2-3%
magnesium intraseluler dalam bentuk bebas atau tidak berikatan. Fraksi
magnesium yang bebas ini sangat penting untuk mengatur keseimbangan
magnesium intraseluler dan fungsi seluler. Sekitar 1% dari total magnesium yang
terdapat pada ekstrasel, terutama didarah (serum dan sel darah merah), yang
terbagi dalam tiga bagian yaitu, terikat dengan protein (19%), anion komplek
seperti sitrat, fosfat, dan bikarbonat (14%), dan terionisasi (bentuk aktif, 67%).
Keseimbangan konsentrasi magnesium didalam cairan serebrospinal (CSF) dan
konsentrasi magnesium didalam plasma diatur oleh transport aktif antara kedua
membran. Mekanisme ini menyebabkan konsentarsi magnesium intraserebral
stabil meskipun terjadi kekurangan magnesium (Szewczyk dkk., 2010).
Pada tingkat seluler, magnesium berperan dalam pertukaran ion kalsium,
natrium dan kalium transmembran pada fase depolarisasi dan repolarisasi, melalui
aktivasi enzim Ca-ATPase dan Na-ATPase. Defisiensi magnesium akan
menurunkan konsentrasi kalium dalam sel dan meningkatkan konsentrasi natrium
(Na+) dan kalsium (Ca2+) dalam sel yang menyebabkan ATP intraseluler
19
berkurang, sehingga magnesium juga dianggap sebagai stabilisator membran sel
(Szewczyk dkk., 2010).
Pada sel saraf, magnesium sangat penting untuk mengatur regulasi
eksitabilitas reseptor NMDA. Eksitabilitas reseptor NMDA sangat penting untuk
transmisi sinaptik, plastisitas saraf, dan exitotoxicity saraf. Pada potensial
membran normal (-70 mV), ion Mg2+ akan memblok reseptor NMDA, dan hanya
reseptor AMPA yang aktif dan memfasilitasi pertukaran ion. Ketika potensial
membran naik diatas -60 mV blok Mg2+terlepas dan NMDA reseptor terbuka
untuk berikatan dengang lutamat. Pelepasan glutamat dipicu oleh masuknya Ca2+
pada aksi potensial. Glutamat di presinap akan berikatan dengan dengan reseptor
AMPA dan NMDA di postsinap. Teraktivasinya reseptor NMDA oleh glutamat
akan menyebabkan masuknya ion Ca2+ dan Na+ dan mengeluarkan oin K+.
Kekurangan magnesium, menyebabkan reseptor NMDA menjadi hiperaktivitas,
sedangkan kadar kalsium intraseluler yang tinggi pada sel saraf dapat
memproduksi reactive oxygen species (ROS) dan menyebabkan kematian sel
saraf. Selain meningkatkan hipereksitabilitas sel saraf, magnesium berperan
penting pada regulasi stres oksidatif dan melepaskan neuropeptida seperti
calcitonin gene-related peptide (CGRP) dan substansi P. Calcitonin gene-related
peptide disekresikan dari sel saraf sensorik dan memiliki efek vasodilatasi.
Kekurangan magnesium meningkatkan pelepasan substansi P, yang merupakan
tachykinin neuroinflamasi, merangsang sekresi mediator inflamasi seperti IL-1, 2,
4, 5, 10, 12, dan 13 serta TNF-α. Selain itu, magnesium juga meningkatkan
aktivitas NOS melalui reseptor NMDA. Nitrat oksida (NO) memiliki beberapa
20
fungsi diotak seperti vasodilatasi, regulasi transkripsi gen, aktivitas kanal, dan
pelepasan neurotransmiter. Seperti terlihat pada gambar 2.2 (Baaij, 2015).
Gambar 2.2 Peranan magnesium dalam sel saraf (Baaij, 2015).
Magnesium juga terbukti meningkatkan aliran darah ke jaringan dengan
memodifikasi fungsi endotel melalui jalur endothelin-1 (ET-1) dan nitric oxide
(NO). Kadar magnesium yang tinggi menghambat respon kontraktil ET-1 dengan
cara menghambat produksi ET-1 dan efek hipertropik. Magnesium cenderung
meningkatkan aliran darah, dan mengurangi resistensi vaskuler di berbagai tempat
vascular. Hal ini terlihat, dimana magnesium telah terbukti menghambat
vasospasme di perdarahan subaraknoid dan juga menginduksi vasodilatasi di pre-
eklampsia. Magnesium juga dapat berperan sebagai neuroproteksi dengan
menghambat reseptor NMDA yang berhubungan dengan masuknya kalsium dan
menghambat pelepasan glutamat, dengan demikian melindungi sel terhadap stres
oksidatif dan apoptosis. Glutamat menginduksi akumulasi kalsium intraneuronal
berlebihan melalui aktivasi reseptor NMDA, dan menyebabkan apoptosis sel yang
21
menyebabkan kematian sel sebagai akibat dari peningkatan produksi senyawa
oksigen reaktif intraseluler (Korkmaz dkk., 2013).
Magnesium sangat penting pada fungsi mitokondria, sintesa ATP,
transportasi subunit elektron komplek, dan detoksifikasi oksigen. Kadar
magnesium yang rendah dapat menyebabkan berkurangnya efisiensi mitokondria
dan meningkatkan senyawa reaktif oksigen dengan konsekuensi penurunan
struktur dan fungsi protein DNA dan molekul penting lain nya. Magnesium dalam
mitokondria bertanggung jawab atas sepertiga dari jumlah magnesium seluler,
dalam bentuk ATP komplek dan komponen dalam membran dan asam nukleat.
Pada studi dengan menggunakan kultur dari sel manusia dan hewan, pada keadaan
kekurangan magnesium menunjukan adanya penurunan kapasitas dari
antioksidan, pembengkakan mitokondria, dan struktur otot (Dominguez dkk.,
2015).
Magnesium memiliki efek minor pada postjunctional dan memiliki efek
kompetisi dengan ion kalsium di daerah prejunctional. Ion magnesium dan ion
kalsium bersifat antagonis satu sama lain, konsentrasi ion magnesium yang tinggi
akan menghambat pelepasan asetilkolin, sedangkan konsentrasi ion kalsium yang
tinggi akan meningkatkan pelepasan asetilkolin. Magnesium juga memiliki efek
inhibisi pada potensial postjunctional dan menyebabkan penurunan eksitabilitas
dari serabut - serabut otot (Szewczyk dkk., 2010).
Magnesium berperan dalam mengkontrol tonus pembuluh darah dan
reaktifitas hormon endogen dan neurotransmiter, melalui hubungannya dengan
reseptor NMDA, sehingga bila kadar magnesium rendah, akan menyebabkan
22
pelepasan substansi P, yang kemudian merangsang serabut saraf sensorik,
sehingga menyebabkan nyeri kepala (Sun-Edelstein dan Mauskop, 2010).
2.2.2 Homeostasis Magnesium
Ginjal memainkan peran utama dalam homeostasis magnesium dan
pemeliharaan konsentrasi magnesium plasma. Ekskresi magnesium urin biasanya
sesuai dengan penyerapan usus (4 mmol/d atau 100 mg/hari). Dalam keadaan
normal, 80% dari total magnesium plasma di ultrafiltrable dan sekitar 84 mmol
magnesium disaring tiap hari dan 95% diserap, 2-3% dikeluarkan melalui urin.
Pada kondisi normal, sekitar 20% magnesium diserap ditubulus proksimal,
60% di direklamsi di kortikal thick ascending limb (TAL) dari lengkung Henle
dan 5-10% sisanya di distal convoluted tubule (DCT). Transportasi magnesium
dalam tubulus proksimal terjadi melalui proses pasif uni-directional tergantung
pada reabsorbsi natrium/air dan konsentrasi magnesium pada lumen. Transportasi
magnesium di TAL terjadi secara langsung berhubungan dengan reabsorbsi
natrium klorida dan tegangan positif di lumen segmen tersebut. Di dalam TAL,
sekitar 25% natrium klorida difiltrasi, diserap melalui transportasi aktif
intraseluler (sodium-klorida-kalium transfortasi) dan difusi pasif paraselluler. Hal
ini menyebabkan lumen potensial positif di TAL sehingga sebagian besar
magnesium diserap. Magnesium di TAL di reabsorbsi melalui jalur paracelluler
yang membutuhkan lumen positif potensial yang diciptakan oleh reabsorbsi NaCl
dan tight junction protein, claudin-16 / paracellin -1 (Seo dan Park, 2008).
23
2.2.3 Kadar Magnesium dalam tubuh
Jumlah total kadar magnesium didalam tubuh manusia sekitar 24 g, dimana
99% magnesium berada pada jaringan intraseluler dan 1% berada pada jaringan
ekstraseluler. Sekitar 1% dari total magnesium yang terdapat pada ekstrasel,
terutama didarah (serum dan sel darah merah), terbagi dalam tiga bagian yaitu,
terikat dengan protein (19%), anion komplek seperti sitrat, fosfat, dan bikarbonat
(14%), dan terionisasi (bentuk aktif, 67%), ratio sel darah merah dan serum
magnesium sekitar 2,8 (Szewczyk dkk., 2010).
Sampai saat ini, belum ada metode tunggal yang dianggap memuaskan yang
dapat digunakan untuk menilai kadar magnesium. Meskipun beberapa
keterbatasan, konsentrasi magnesium serum masih digunakan sebagai standar
untuk mengevaluasi status magnesium pada pasien. Untuk menilai status
magnesium secara komprehensif, diperlukan tes laboratorium dan penilaian klinis
dari gejala kekurangan magnesium (Grober dkk., 2015). Penelitian yang
dilakukan oleh Sarchielli dkk (1991) yang melibatkan 30 subjek TTH (15 pria dan
15 wanita dengan usia rata-rata 35,2 dengan standar deviasi 6,4 tahun) didapatkan
kesimpulan, kadar magnesium serium pada subjek TTH lebih rendah
dibandingkan dengan subjek kontrol (0,89 ± 0,09 vs 1,02 ± 0,09, p<0,0005).
2.2.4 Patologi Magnesium
Berbagai kondisi dan gejala dapat ditimbulkan oleh kekurangan magnesium,
seperti nyeri kepala, osteoporosis, disfungsi otot, depresi, apati, aritmia jantung,
hipertensi, aterosklerosis, stres dan proses penuaan. Kekurangan magnesium telah
24
terbukti meningkatkan sintesis eicosanoid dan pelepasan sitokin. Pelepasan
substansi P dari nosiseptor, membantu memperkuat responnosiseptif dan
inflamasi. Dalam sistem saraf, kekurangan magnesium dapat meningkatkan
konduktasi natrium, yang mengakibatkan sistem saraf menjadi hiperaktif, yang
berpengaruh pada sistem saraf perifer dan pusat.Kekurangan magnesium dapat
menyebabkan otot-otot menjadi hipereksitabilitas, yang memungkinkan menjadi
lebih responsif terhadap rangsangan yang membahayakan. Pada sistem saraf
pusat, terjadi peningkatan transmiter eksitatorik, seperti asetilkolin, dopamin,
norepinefrin, aspartat, dan glutamat dan menurunkan secara simultan
neuromediato rinhibitori seperti serotonin, gamma amino butyricacid (GABA),
taurin, dan melatonin (Seaman, 2016).
Hipermagnesemia berat atau keracunan magnesium sangat jarang terjadi pada
penyakit manusia. Kondisi seperti itu biasanya hanya terjadi pada insufisiensi
ginjal berat atau iatrogen. Namun, gejala klinis yang lebih sering diamati adalah
pada defisiensi magnesium. Tanda-tandaawal kekurangan magnesium tidak
spesifik, dapat berupa hilangnya nafsu makan, lesu, mual, muntah, kelelahan,
nyeri kepala dan kelemahan. Gejala lebih jelas dari defisiensi magnesium adalah,
timbulnya gejala peningkatan rangsangan neuromuskuler seperti tremor, spasme
karpopedal, kram otot, tetani dan kejang umum. Hipomagnesemia dapat
menyebabkan aritmia jantung termasuk atrium dan ventrikel takikardia, interval
QT yang mepanjangan dan torsadesde pointes.(Grober dkk., 2015).
Hipomagnesemia sering dikaitkan dengan kelainan elektrolit lain seperti
hipokalemia dan hipokalsemia. Kondisi yang dapat menyebabkan
25
hypomagnesemia seperti alkoholisme, diabetes yang tidak terkontrol, malabsorpsi
(misalnya, penyakit crohn, ulcerative colitis, penyaki coeliac, short bowe
lsyndrome, penyakit whipple), penyebab endokrin (misalnya, aldosteronisme,
hiperparatiroid, hipertiroid), penyakit ginjal (misalnya, gagal ginjal kronis,
dialisis, sindrom Gitelman) dan penggunaan obat-obatan. Selain itu, kekurangan
magnesium memperburuk kalium yang ditandai dengan aritmia, khususnya pada
kasus keracunan digoxin (Grober dkk., 2015).
2.3 Hubungan Kontraksi Otot dengan TTH dan Magnesium
Pada penderitaTTH, ditemukan adanya nyeri tekan pada otot bahu, leher dan
kulit kepala. Banyaknya lokasi nyeri tekan otot yang ditemukan, sering dikaitkan
dengan tingkat keparahan dan frekuensi nyeri kepala. Meskipun belum begitu
jelas, bagaimana nyeri otot dapat menyababkan nyeri kepala, pada penelitian telah
menunjukkan bahwa nyeri otot yang biasanya mendahului nyeri kepala, juga
ditemukan pada saat tidak nyeri kepala. Temuan ini menunjukkan bahwa nyeri
otot mungkin menjadi faktor penting dalam perkembangan TTH (Schabrun dan
Physio, 2013).
Nyeri otot disebabkan oleh terangsangnya nosiseptor di otot. Nosiseptor otot
merupakan ujung saraf bebas yang merespon rangsangan ekternal mekanik, termal
atau kimia, serta rangsangan langsung yang disebabkan oleh zat algogenik
endogen, seperti bradikinin, serotonin dan prostaglandin-E2 (PGE2). Dalam
keadaan normal, ambang batas untuk mengaktifkan sinyal nosiseptif tinggi
sehingga respon nyeri dalam otak hanya dipicu oleh rangsangan yang berpotensi
26
atau benar-benar merusak jaringan tubuh. Namun, zat algogenik seperti
disebutkan di atas, juga dapat bertindak sebagai agen peka nyeri yang
meningkatkan rangsangan pada nosiseptor. Akibatnya, intensitas rangsangan
rendah yang biasanya tidak dianggap menyakitkan, dapat memicu sinyal listrik
yang menghasilkan sensasi nyeri proses ini disebut dengan sensitisasi perifer.
Serat aferen nosiseptif perifer dari beberapa area yang berbeda bertemu menuju
neuron orde kedua di sumsum tulang belakang dan batang otak. Jika input dari
nosiseptor otot yang kuat dan dalam waktu lama, dapat menyebabkan perubahan
proses nyeri pada struktur yang lebih tinggi. Pasien dengan ETTH atau CTTH,
ambang batas nyeri berkurang dalam hal merespon berbagai jenis rangsangan,
seperti rangsangan tekanan, panas dan listrik dan infus intramuskular. Secara
khusus, sensitifitas ini meningkat, baik di daerah kepala dan di lokasi lain,
misalnya, pada tendo Achilles (Wiley dan Sons, 2015).
Berdasarkan perannya dalam pertukaran ion, kekurangan magnesium akan
memberikan kontribusi untuk ketegangan otot. Sebaliknya, konsetrasi yang cukup
dari magnesium akan menjaga otot-otot dalam keadaan lebih rileks, yang akan
mengurangi kemungkinan terjadinya TTH. Menurut Journal of Head and Face
Pain, (2014) magnesium juga berfungsi untuk meningkatkan fungsi trombosit dan
penurunan pelepasan atau pemblokiran transmisi kimia untuk nyeri di otak
(Burke, 2014).
Pada penelitian Altura dan Altura (2001) tujuh puluh persen (70%) pasien
dengan TTH, menunjukan adanya kekakuan dan nyeri otot. Hal ini menujukan
bahwa ada masalah dalam metabolisme dan asupan magnesium yang
27
menyebabkan pelepasan mediator nyeri, kram otot, regangan otot (dan
kerusakan), dan ketegangan otot dimana hal tersebut dapat menyebabkan TTH.
2.4 Gangguan Psikiatri dan TTH
2.4.1 Stres
Stres mental adalah kondisi yang paling sering dilaporkan sebagai faktor
pemicu dan memperberat ETTH. Secara fisiologis, stres dapat mempengaruhi
nyeri di seluruh sistem saraf pusat (SSP). Di perifer, stres melepaskan epinefrin,
yang dapat memperburuk kepekaan nosiseptor. Sebaliknya, masukan nociseptor
dari perifer dapat mengaktifkan sistem stres (Cathcart dkk., 2010).
Stres dan nyeri merupakan adaptasi dari sistem prilaku yang melibatkan
struktur limbik, medulla, cortek scingulated anterior (ACC), korteks pre-prontal,
front-medial dan front-lateral korteks, dan korteks somatosensorik. Pada individu
yang rentan secara genetik, stres kronis dapat peningkatan glutamat. Rangsangan
pada reseptor NMDA mengaktifkan NFkB, yang menyebabkan transkripsi iNOS
dan COX-2, serta enzim-enzim lainnya. Kadar NO yang tinggi menyebabkan
vasodilatasi struktur intrakranial, seperti sinus sagitalis superior, dan kerusakan
yang disebabkan oleh NO ini menyebabkan timbul nyeri karena terangsangnya
daerah nyeri seperti duramater (Chen, 2009).
Stres mempengaruhi pegolahan nyeri di hipotalamus, periaquaductalgrey
(PAG), medulla rosto ventral (RVM) dan locus coeruleus (LC)/sistem
noradrenergic (NA). Suzuki dkk(2005) membuktikan bahwa mekanisme
descending, dimana aktivitas kortiko-limbik yang disebabkan oleh stres dapat
28
meningkatkan regulasi nyeri, walaupun tanpa adanya iritasi perifer. Stoeter dkk
(2007) menunjukkan hubungan kortiko-limbik terhadap stres dan nyeri yang
diduga berhubungan dengan regulasi stres dan pengolahan sistem nyeri secara
bersama-sama, sehingga mengakibatkan persepsi nyeri di picu oleh stres
walaupun tidak ada rangasangan nyeri dari perifer. Selain itu, stres juga dapat
memicu reorganizations primer dan sekunder kortikal nociseptive, serta
memodulasi fronto-medial, dan parietal korteks. Jasmine dkk(2003) membuktikan
bahwa perubahan gamma-amino-butyric-acid (GABA) di rostal agranular insular
corteks (RAIC) dapat meningkatkan atau menurunkan ambang nyeri. Stres dapat
mengubah set point ambang nyeri dengan cara top down melalui RAIC (Carthcart,
2014). Stres kronis mengintensifkan pelepasan katekolamin (adrenalin,
noradrenalin dan dopamin) dan kortikosteroid, melalui ion magnesium intraselular
(Eby dan Eby, 2009).
Dalam berbagai teori, stres dikatakan dapat memfasilitasi atau menghambat
nyeri, melalui efek perhatian dan kewaspadaan terhadap nyeri, arousal
attribution, habituasi, nyeri yang berhubungan dengan pembelajaran, memori, dan
prilaku. Karena itu stres dapat memperberat rasa nyeri yang sudah ada melalui
faktor psikologis. Stoeter dkk(2007), pusat pengolahan nyeri dan stres dapat
meningkat pada nyeri kronis karena adanya memori yang kuat dari paparan
sebelumnya. Seperti terlihat pada gambar 2.2 (Carthcart, 2014).
29
Gambar 2.3 Hubungan stres dan nyeri kepala (Carthcart, 2014).
2.4.2 Depresi
Kekurangan magnesium mengganggu fungsi biokimia dalam tubuh manusia
terutama sistem saraf. Eby dkk (2006) menunjukkan bahwa magnesium
merupakan pengobatan terbaik untuk pasien yang menderita depresi berat, karena
aman dan tidak memiliki efek samping. Magnesium mengatur aliran ion kalsium
dalam saluran kalsium neuronal, sehingga membantu untuk mengatur neuronal
memproduksi NO. Defisiensi magnesium, menyebabkan kebutuhan magnesium
pada neuronal tidak dapat dipenuhi, sehingga menyebabkan kerusakan pada saraf
yang dapat bermanifestasi sebagai depresi (Faryadi, 2012). Pasien dengan depresi
sedang berat berisiko untuk mengalami TTH (Karakulova, 2006). Pada penderita
depresi ditemukan adanya defisit kadar serotonin dan noradrenalin. Adanya defisit
kadar serotonin mengakibatkan vasokontriksi pada pembuluh darah dan
membawanya ke ambang nyeri kepala (pain threshold) (Mumenthaler, 2004).
2.4.3 Ansietas (Kecemasan)
Seseorang yang cemas memiliki kecenderungan untuk merasa tegang dan
kesulitan untuk rileks sehingga otot menjadi terus berkontraksi. Kontraksi otot
yang terus menerus dikarenakan adanya rasa tegang mengakibatkan terganggunya
aliran darah ke otot. Gangguan aliran darah ini menyebabkan asam laktat
30
terakumulasi dan terlepasnya beberapa substansi penghasil nyeri dan dapat
menyebabkan TTH (Koji, 2002).
Kecemasan dipicu oleh respon tubuh terhadap kelelahan, stres mental atau
emosi. Studi menunjukkan bahwa banyak gangguan atau masalah kesehatan
seperti alergi, sensitivitas kimia, kecemasan dan gangguan kejiwaan, kekuatan
aorta, asma, attention deficit disorder, kalsifikasi jaringan lunak termasuk katup
jantung dan diabetes semuanya berhubungan dengan kekurangan magnesium.
Magnesium meringankan kecemasan, memperbaiki tidur dan menstabilkan
suasana hati. Individu dengan kecemasan telah ditemukan memiliki kadar
magnesium yang rendah (Faryadi, 2012). Penelitian di Indonesia yang dilakukan
oleh Farhida dkk (2015), yang meneliti hubungan antara kecemasan dengan TTH,
didapatkan nilai p = 0,003 diukur menggunakan kuesioner Depression Anxiety
Stress Scale (DASS) yang telah divalidasi dan didapatkan nilai odds ratio (OR)
7,111 (95% CI; [1,887-26,804]) dengan Rasio Prevalensi (RP) = 2,66 atau > 1
yang artinya dugaan adanya faktor risiko terhadap efek adalah benar .
2.5 Magnesium dan Nyeri Kepala Tipe Tegang
Kekurangan magnesium, sebagai dasar patogenesis nyeri kepala primer
seperti TTH, migren, dan klaster, melalui sensitisasi sentral dan perifer. Data
klinis pada pasien dengan nyeri kepala menunjukkan adanya kekurangan kadar
magnesium serum. Pada nyeri kepala, kadar magnesium dalam monosit, eritrosit,
dan trombosit, 40-50% lebih rendah dibandingkan pada orang normal
(Akarachkova dkk., 2013).
31
Kekurangan magnesium dapat merangsang peningkatan inflamsi dan/atau
stres oksidatif pada hewan percobaan. Kekurangan magnesium dapat
menyebabkan peningkatan pelepasan neuropeptida proinflamasi, substansi P, dari
neuronal, yang kemudian menghasilkan kaskade pro inflamasi / pro-oksidatif pada
beberapa jaringan dan organ. Respon inflamasi diduga disebabkan karena
peningkatan ion kalsium intraseluler sehingga terjadi pelepasan sitokin inflamasi.
Kekurangan magnesium dapat menyebabkan peradangan kronik melalui efek
masuknya ion kalsium yang menyebabkan pelepasan neuropeptida inflamasi,
sitokin, prostaglandin, dan leukotrien. Kekurangan magnesium ektraseluler dalam
jumlah kecil dapat meningkatkan kalsium intraseluler, mekanisme ini dipengaruhi
oleh NMDA reseptor. Penurunan magnesium ekstraseluler, menurunkan ambang
excitatory asam amino glutamat sehingga mengaktifkan NMDA reseptor.
Aktifnya NMDA reseptor menyebabkan kalsium masuk kedalam sel. Antagonis
NMDA mencegah hiperalgesia. Penurunan magnesium intraseluler dapat juga
ditandai tanda penurunan magnesium plasma (Nielsen, 2010).
Magnesium berperan dalam kontrol tonus pembuluh darah dan reaktifitas
hormon endogen dan neurotransmiter, melalui hubungannya dengan reseptor
NMDA. Kekurangan magnesium menyebabkan terbentuknya dan pelepasan
substasi P, yang yang merangsang serabut saraf sensorik dan menyebabkan nyeri
kepala (Sun-Edelstein dan Mauskop, 2011).
Pada sistem saraf pusat, magnesium merupakan voltage-dependent blocker
pada kanal NMDA-coupled, hal ini akan mengurangi fosforilasi NMDA reseptor
di kornudorsalis medula spinalis. Stimulasi reseptor NMDA oleh glutamat sangat
32
penting, tidak hanya untuk nyeri akut tetapi juga untuk nyeri kronis. Pelepasan
glutamat, substansi P dan CGRP di kornu dorsalis medula spinalis setelah
stimulasi nosiseptif perifer sangat penting pada nosisepsi. Magnesium
memodulasi pelepasan dari ketiga neuromediator tersebut (Nechifor, 2011).
Interaksi antara magnesium dan reseptor NMDA sangat kompleks. Reseptor
NMDA berada pada daerah sipnatik dan ekstrasinaptik pada kornu dorsal medula
spinalis dan memiliki berbagai peranan pada nosisepsi. Reseptor NMDA memiliki
peran penting dalam mekanisme sensitisasi sentral. Stimulasi serabut saraf C
menginduksi pelepasan glutamat di presinaps pada kornu dorsalismedula spinalis.
Pelepasan glutamat merangsang reseptor NMDA dan penyebabkan terangsangnya
reseptor α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolepropionic acid (AMPA) yang
menjadi dasar atau titik kunci dalam terjadinya rasa nyeri (Nechifor, 2011).