dini -referat-ppok (1).docx

41
REFERAT MEKANISME PATOFISIOLOGI PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) Oleh Windradini Rahvian Aridama, S. Ked 092011101026 Pembimbing dr. Edy Nurcahyo, Sp. P Disusun Untuk Melaksanakan Tugas Kepanitraan Klinik Madya SMF Ilmu Penyakit Dalam RSD dr Soebandi 1

Upload: sarah-perez

Post on 25-Oct-2015

76 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

refratt

TRANSCRIPT

REFERAT

MEKANISME PATOFISIOLOGI

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Oleh

Windradini Rahvian Aridama, S. Ked

092011101026

Pembimbing

dr. Edy Nurcahyo, Sp. P

Disusun Untuk Melaksanakan Tugas Kepanitraan Klinik Madya

SMF Ilmu Penyakit Dalam RSD dr Soebandi

SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSD dr. SOEBANDI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

2013

1

DAFTAR ISI

BAB 1: PENDAHULUAN........................................................................ 3

BAB 2: TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 4

2.1 Definisi ................................................................................................. 4

2.2 Faktor Resiko......................................................................................... 4

2.3 Mekanisme Patogenesis PPOK ............................................................ 5

2.3.1 Subtipe PPOK ..................................................................... 8

2.3.2 Proses Inflamasi Paru pada PPOK....................................... 10

2.3.3 Protease dan Antiprotease ................................................... 17

2.3.4 Pengaruh Oksidan dan antioksidan pada perokok

dengan PPOK...................................................................... 18

2.4 Klasifikasi PPOK ................................................................................ 18

2.5 Diagnosis PPOK ................................................................................. 19

2.6 Diagnosis Banding............................................................................... 24

2.7 Penatalaksanaan................................................................................... 26

BAB 3: KESIMPULAN...............................................................................

2

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah salah satu masalah

kesehatan umum yang diasosiasikan dengan pajanan kronis partikel gas yang

bersifat kronik (Hogg et al, 2004). PPOK merupakan penyakit yang dapat dicegah

dan ditanggulangi serta memiliki efek ekstrapulmoner yang dapat mempengaruhi

derajat berat penyakit. Komponen pulmoner PPOK ditandai dengan hambatan

aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel dan biasanya bersifat progresif,

berhubungan dengan respons inflamasi abnormal paru akibat partikel maupun gas

beracun (Global Initiative for ChronicObstructive Lung Disease, 2006). Merokok

bukan hanya menyebabkan inflamasi paru tetapi juga inflamasi sistemik,

perubahan vasomotor dan fungsi endotel, peningkatan konsentrasi beberapa faktor

pro-koagulan darah. Inflamasi telah memegang peran penting dalam patogenesis

PPOK maupun penyakit jantung yang mengakibatkan timbulnya berbagai

morbiditas kompleks lain seperti osteoporosis, anemia, dan sindrom metabolik

(Masna et al, 2011)

Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab morbiditas dan

kematian ke-4 terbesar di dunia dan WHO memperkirakan bahwa pada tahun

2020 PPOK menjadi penyebab kematian ketiga tertinggi di dunia. Angka

prevalensi, morbiditas, dan mortalitas PPOK bervariasi antar negara dan di antara

kelompok populasi, umumnya berkaitan dengan prevalensi perokok serta kondisi

polusi udara akibat pembakaran yang juga telah identifikasi sebagai faktor risiko

PPOK (Global Initiative for ChronicObstructive Lung Disease, 2006). Berbagai

manifestasi sistemik PPOK umumnya akan menurunkan kualitas hidup pasien,

meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit, dan meningkatkan mortalitas,

terutama pada pasien dengan derajat PPOK yang lebih berat (Masna et al, 2011)

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Menurut GOLD (Global Inisiative for Chronic Obstructive Lung Disease),

PPOK adalah penyakit paru yang dapat dicegah diobati dengan beberapa efek ek-

strapulmonal yang signifikan berkontribusi terhadap tingkat keparahan penderita.

Karakteristik penyakit ini ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas

yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara tersebut biasanya bersi-

fat progressif dan berhubungan dengan respon inflamasi pulmonal terhadap par-

tikel atau gas berbahaya (GOLD, 2006).

PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.

1) Bronkitis kronik

Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal

3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut,

tidak disebabkan penyakit lainnya.

2) Emfisema

Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara

distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli.

Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga

memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat

dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria

PPOK (PDPI, 2003).

2.2 Faktor Resiko

1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang

terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.

Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :

4

a) Riwayat merokok

Perokok aktif

Perokok pasif

Bekas perokok

b) Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian

jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok

dalam tahun :

Ringan : 0-200

Sedang : 200-600

Berat : >600

2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja

3. Hipereaktiviti bronkus

4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang

5. Defisiensi antitripsin α-1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

(PDPI, 2003)

2.3 Mekanisme Patogenesis PPOK

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru bersifat

progresif lambat disertai kondisi yang ditandai oleh aliran udara yang terbatas dan

sebagian besar bersifat ireversibel (Celli et al, 2004). Merokok adalah faktor

etiologi utama dalam kondisi ini, jauh lebih tinggi daripada salah satu faktor risiko

lain. Karena itu, patogenesis PPOK sangat terkait dengan efek dari asap rokok.

Terdapat hubungan antara berat-ringannya konsumsi rokok pada seorang individu

dan keterbatasan aliran udara pada PPOK namun, respon tubuh pada tiap-tiap

individu masih bervariasi.

5

Walaupun karakteristik utama PPOK adalah hambatan aliran udara namun

gambaran klinis pasien PPOK tidak selalu berkorelasi baik dengan besarnya

obstruksi di saluran napas sehingga semakin mendukung pemahaman bahwa

PPOK merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik yang juga mempengaruhi

sistem organ lain dalam tubuh. Hal tersebut disebabkan faktor risiko utama PPOK

yaitu merokok tidak hanya menimbulkan respons inflamasi paru namun juga

respons inflamasi sistemik selular dan humoral, menimbulkan stres oksidatif,

perubahan vasomotor dan fungsi endotel,serta peningkatan beberapa faktor pro-

koagulan darah. Bukti terjadinya inflamasi pada PPOK adalah peningkatan kadar

sitokin, kemokin, protein fase akut, serta sel-sel inflamasi dalam darah.

6

7

A. Subtipe PPOK

1. Bronkitis kronis

Bronkitis kronis didefinisikan sebagai peradangan pada bronkus yang

ditandai dengan batuk dan produksi sputum yang kronis. Penyakit ini

merupakan hasil dari respon imun tubuh terhadap partikel beracun

yang dihirup dalam gas dalam asap rokok. Pada bronkitis kronis

terdapat peradangan pada sel epitel saluran napas pada bronkus dan

kelenjar lendir penghasil (Hogg et al, 2004). Respon inflamasi pada

saluran nafas juga dikaitkan dengan hipersekresi mukus, penurunan

respon mucociliar cell, dan keterbatasan aliran udara. Kaitan antara

hipersekresi mukus dan keterbatasan aliran udara pada PPOK masih

belum pasti. Tampaknya hal tersebut memberikan sedikit kontribusi

pada tahap awal patogenesis PPOK. Namun, hipersekresi lendir kronis

dapat berperan pada tahap akhir dari penyakit, karena bisa terjadi

peningkatan risiko untuk terjadi eksaserbasi. Hipersekresi lendir

kronis dapat menjadi fokus acuan dari respon inflamasi dalam kelenjar

submukosa (2). Sel-sel inflamasi melepaskan protease serin yang

merangsang hipersekresi lendir (5). Oksidan yang berasal dari rokok

asap dan respon tubuh berupa produksi sel leukosit juga dapat terlibat

dalam hiperproduksi musin oleh induksi MUC5AC gen (Shao et al,

2004).

2. Emfisema

Emfisema didefinisikan sebagai pembesaran rongga udara distal, di

luar bronkiolus terminal, yang disebabkan oleh kerusakan dinding

saluran nafas.

8

Kerusakan paru pada emfisema mengurangi aliran udara pada

ekspirasi maksimal dengan mengurangi kekuatan elastisitas yang

mendorong udara keluar dari paru-paru. Centrilobular atau

centriacinar merupakan bentuk emfisema yang terjadi karena

pelebaran bronkiolus dan merupakan jenis emfisema yang paling

berhubungan erat dengan merokok. Panlobular atau panacinar

merupakan bentuk emfisema, yang biasanya berhubungan dengan

defisiensi α1-antitripsin (α1-AT) yang menyebabkan kehancuran

sebagian besar sel acinus (Kim et al, 1991). Terdapat hubungan antara

tingkat keparahan emfisema dan lamanya seorang individu merokok.

9

Sekitar 40 % perokok berat menunjukkan kerusakan paru-paru yang

mengarah pada emphysema, namun emfisema juga dapat ditemukan

pada beberapa individu yang memiliki fungsi paru-paru normal

(Hogg, 2004) .

3. Small-airways Disease

Penelitian telah menunjukkan terdapat kelainan pada saluran udara

kecil (bronkiolus) pada perokok dengan dan tanpa PPOK (10). Ada

juga hubungan antara keparahan PPOK dan tingkat oklusi lumen jalan

napas oleh eksudat lendir dari proses inflamasi. Peradangan dan

fibrosis peribronchial berperan pada obstruksi jalan napas tetap pada

saluran udara kecil pada PPOK, dan proses inflamasi berkelanjutan

juga berperan dalam mengakibatkan kehancuran alveolar pada dinding

luar saluran udara kecil. (MacNee, 2005)

B. Proses Inflamasi Paru Pada PPOK

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi

karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi,

fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos yang merupakan

penyebab utama obstruksi jalan napas.

10

Ada beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien

PPOK, yakni : peningkatan jumlah neutrofil (didalam lumen saluran nafas),

makrofag (lumen saluran nafas, dinding saluran nafas, dan parenkim),

limfosit CD 8+ (dinding saluran nafas dan parenkim) yang mana hal ini

dapat dibedakan dengan inflamasi yang terjadi pada penderita asma (Corwin

EJ, 2001).

Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia

mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan

mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas.

Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab

infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul peradangan yang

menyebabkan edema dan pembengkakan jaringan. Ventilasi, terutama

ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang

memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya

peradangan.(Antonio et all, 2007)

11

Penelitian paru atau biopsi bronchus dan induksi sputum menun-

jukkan bukti inflamasi paru pada semua perokok. Hal ini menunjukkan

bahwa terdapat peningkatan atau respon inflamasi abnormal saat

menghisap partikel atau udara, selain respon inflamasi protektif normal

pada paru yang merupakan gambaran khas PPOK dan berpotensi menye-

babkan kerusakan paru.

Kedua respon imun bawaan dan inflamasi yang di dapat terlibat

dalam inflamasi paru pada perokok dan pasien dengan PPOK. Penelitian

dimulai dengan mengelompokkan inflamasi paru pada PPOK berdasarkan

tipe, lokasi dan derajat dan hubungan keparahan penyakit. Penelitian ter-

hadap spesimen biopsi bronkhus dari pasien dengan PPOK ringan sampai

sedang menunjukkan peningkatan infiltrasi sel inflamasi pada saluran

nafas sentral bila di bandingkan dengan yang bukan perokok atau pada

perokok yang tidak menunjukkan penyakit.

Pada mukosa bronkus pasien dengan PPOK, limfosit T banyak di-

jumpai, terutama sel CD8+ dan makrofag (sel CD68+; tabel 1) diduga pen-

ingkatan limfosit T berbeda antara perokok dengan dan tanpa PPOK dan

12

terdapat hubungan antara jumlah sel T, jumlah kerusakan alveolus dan de-

rajat keparahan hambatan jalan nafas.

Perokok dengan fungsi paru normal juga menunjukkan, pen-

ingkatan jumlah sel CD 8 bila dibandingkan dengan yang bukan perokok.

Terdapat penurunan infiltrasi sel limfosit T pada spesimen biopsi bronkus

dari pasien dengan PPOK berat. Terdapat peningkatan sel CD4 pada pasien

dengan PPOK sebagai akibat perkembangan penyakit. Hal ini menunjukkan

stimulasi imunitas kronik. Hal ini mungkin karena kolonisasi bakteri dan

virus patogen pada saluran nafas bawah pada pasien dengan PPOK yang

menyebabkan timbulnya respon inflamasi.

Penelitian menunjukkan peningkatan limfosit B dan pada jaringan

limfoid bronkial pada saluran nafas kecil sebagai akibat perkembangan

penyakit. Bisa jadi bahwa asap rokok menyebabkan kerusakan sel-sel saluran

nafas, menciptakan autoantigen baru yang menyebabkan respon imun ter-

hadap inflamasi. Peranan sel T dalam patogenesis PPOK tidak begitu di-

mengerti. Sel-sel CD8 berpotensi melepaskan tumor nekrosis faktor alfa, per-

forin dan granzim, yang menyebabkan aktifasi jalur apoptosis ligan fas-fas.

Suatu hubungan ditunjukkan antara sel-sel CD8 dan apoptosis pada sel epitel

alveolus pada pasien emfisema.

Meningkatnya jumlah netrofil yang teraktifasi ditemukan pada spu-

tum pasien dengan PPOK.

Peningkatan jumlah netrofil yang kurang signifikan pada parenkim

paru mungkin berdasarkan fakta bahwa sel-sel ini melewati saluran nafas

13

nafas dan parenkim paru. Netrofil berpotensi mensekresikan proteinase

serum, mencakup elastase netrofil, katepsin G dan proteinase sebaik matriks

metaloproteinase-8 (MMP-8) dan MMP-9. protease ini menyebabkan de-

struksi alveolus dan juga berpotensi merangsang sekresi mukus. Peranan

bahwa netrofil terlibat dalam patogenesis PPOK tidak terlalu jelas. Jumlah

netrofil pada spesimen biopsi bronkus dan induksi sputum menunjukkan

keparahan penyakit dan derajat penurunan fungsi paru.

Merokok diketahui dapat meningkatkan jumlah leukosit netrofil

dalam sirkulasi dan menyebabkan akumulasi netrofil pada kapiler paru. Asap

rokok juga memberikan efek langsung perangsangan produksi granulosit pada

sum-sum tulang yang diperantarai oleh faktor koloni granulosit makrofag dan fak-

tor stimulasi koloni granulosit yang dilepaskan oleh makrofag. Hal ini mungkin

karena neutrofil diaktifasi dalam mikrosirkulasi paru untuk melepaskan spesies

oksidan dan protease yang menyebabkan efek langsung kerusakan. Saat teraku-

mulasi, neutrofil menempel pada sel endotel, dan molekul adhesi E-selektin

meningkat pada sel epitel saluran nafas pasien dengan PPOK. Neutrofil kemudian

bermigrasi ke saluran nafas dibawah kontrol faktor kemotaktik seperti leukotrien

B4, IL8 dan kemokin CXC yang berhubungan dengan onkogen alfa untuk pertum-

14

buhan dan netrofil yang diperoleh dari sel epitel atractan 78. faktor kemotaktik ini

meningkat pada saluran nafas pasien dengan PPOK.

Terdapat peningkatan 5-10 kali lipat jumlah makrofag pada saluran

nafas parenkim paru dan cairan bilasan bronko alveolus pada pasien dengan

PPOK. Jumlah makrofag pada saluran nafas berhubungan dengan beratnya PPOK.

Asap rokok mengaktifasi makrofag untuk melepaskan mediator inflamasi seperti

TNF alfa, IL8 dan kemokin CXC lain, monosit kemotaktik peptida 1, leukotrin

B4, dan oksigen reaktif. Makrofag juga mensekresi protease seperti

MMP2.MMP9 dan MMP12; katepsin K, L dan S; dan netrofil elastase dari neu-

trofil. Bila dibandingkan dengan makrofag pada perokok normal, pasien-pasien

dengan PPOK makrofag lebih teraktifasi, mensekresi lebih banyak protein infla-

masi dan mengalami aktifitas elastolitik yang lebih besar, yang diakibatkan karena

keterpaparan terhadap asap rokok. Peningkatan jumlah makrofag pada paru pasien

PPOK dan pada paru perokok merupakan akibat dari meningkatnya aktifitas

monosit dari sirkulasi sebagai akibat jawaban atas kemokin kemotaktik seperti

monosit kemotaktikpeptida 1, yang meningkat pada sputum dan BALF pada

15

pasien dengan PPOK. Kemokin CXC juga bertindak sebagai pencetus kemotaktik

terhadap monosit.

Asap rokok dapat mengganggu respon imunitas bawaan dan yang didapat

pada epitel saluran nafas dan meningkatkan respon terhadap infeksi. Banyak me-

diator inflamasi yang dijumpai pada PPOK yang dikontrol oleh faktor transkripsi

faktor nuklear (NF)-KB, yang meningkatkan makrofag alveolus pada pasien

PPOK dan pada sel-sel saluran nafas pada pasien dengan PPOK ringan sampai

sedang bila dibandingkan dengan yang bukan perokok sebagai kontrol. Pen-

ingkatan NF-KB pada sel-sel paru pada pasien dengan PPOK merupakan kunci

mekanisme molekuler terlibat proses inflamasi yang sedang berlangsung dalam

saluran nafas. Pada umumnya, dengan meningkatnya keparahan penyakit PPOK

juga dijumpai adanya peningkatan respon imunitas terhadap inflamasi. Bila

dibandingkan dengan penyakit PPOK derajat ringan atau sedang, ada suatu pen-

ingkatan ekspresi protein inflamasi seperti protein inflamasi makrofag 1α, suatu

kemokin yang terlibat dalam aktivasi sel mononuklear dan granulosit. Juga di-

jumpai peningkatan jumlah neutrofil dan makrofag pada penyakit PPOK berat dan

penurunan sel limfosit T (Sel CD3+).

Respon inflamasi pada saluran nafas perifer berperan dalam proses fibrosis

yang menunjukkan saluran nafas kecil pada pasien dengan PPOK sedang/berat.

perokok dengan fungsi paru normal menunjukkan peningkatan jumlah makrofag

dan limfosit T pada parenkim paru bila dibandingkan dengan kelompok yang

bukan perokok sebagai kontrol, tanpa perubahan jumlah sel CD4+ dan CD+. Pada

pasien dengan PPOK ringan sampai sedang, dijumpai peningkatan jumlah sel

CD8+ pada septum alveolus bila dibandingkan dengan yang bukan perokok seba-

gai kontrol, dan tidak ada perubahan jumlah neutrofil, makrofag atau sel CD4+.

C. Protease dan Antiprotease

Ketidakseimbangan protease-antiprotease, menyebabkan kerusakan

komponen jaringan ikat, terutama elastin, yang merupakan mekanisme kri-

tis dalam patogenesis emfisema pada perokok. Konsep ini berkembang

dari banyak penelitian tentang emfisema onset dini pada pasien dengan de-

16

fisiensi α1-AT. Elastin merupakan target yang penting untuk enzim-enzim

proteolitik, dan kerusakannya menyebabkan hilangnya elastisitas parenkim

paru.

Elastin merupakan komponen utama serabut elastik dan disekre-

sikan dari beberapa tipe sel sebagai suatu prekrusor, tropoelastin. Molekul

tropoelastin menjadi sejajar pada ruang ekstrasel pada mikrofibril. Karena

kerja dari Lysil Oksidase, Residu lysin pada tropoelastin berubah, yang

menyebabkan monomer tropoelastin bersilangan dan membesar, menjadi

polimer elastin yang tidak larut. Karena bersilangan, atau disebut juga den-

gan Desmossin, merupakan elastin khusus, yang digunakan sebagai

marker pada degradasi elastin. Desmossin dan Peptida elastin meningkat

pada perokok dan pasien PPOK.

Bersamaan dengan destruksi elastin, inaktivasi dari antiprotease

merupakan pusat dari hipotesis ketidakseimbangan protease-antiprotease.

Penelitian awal menunjukkan bahwa fungsi α1-AT berkurang sekitar 40%

pada perokok, bila dibandingkan dengan yang bukan perokok. “Defisiensi

fungsional α1-AT” diyakini akibat dari inaktivasi α1-AT oleh oksidan

pada asap rokok. Bagaimanapun, kebanyakan α1-AT pada perokok masih

aktif dan masih mampu memberi perlindungan melawan protease yang

meningkat. Dengan demikian, penelitian yang menilai fungsi α1-AT pada

perokok akut atau kronik tidaklah pasti. Jelas bahwa hipotesis yang meny-

atakan bahwa penyebab utama adalah ketidakseimbangan antara pen-

ingkatan elastase pada paru dan ”defisiensi fungsional” α1-AT, karena in-

aktivasinya, sebagai suatu penyederhanaan.

Sebagaimana didiskusikan di atas, terdapat bukti yang mendasar

bahwa jumlah neutrofil dan makrofag meningkat pada saluran nafas per-

okok lama. Meningkatnya elastase pada perokok karena degranulasi yang

terjadi dan melepaskan elastase. Terdapat beberapa bukti yang mendukung

teori ini, karena neutrofil yang diisolasi dari pasien emfisema menun-

jukkan elastase yang lebih besar yang menginduksi degradasi fibronektin

17

in vitro daripada yang dilakukan oleh subjek kontrol yang sesuai menurut

umur dan riwayat merokok.

D. Pengaruh Oksidan dan Antioksidan pada Perokok dengan PPOK

Asap rokok terdiri dari campuran lebih dari 4.700 bahan kimia,

termasuk radikal bebas konsentrasi tinggi dan oksidan lainnya. Sumber-

sumber oksidan reaktif dihasilkan melalui proses seluler normal pada

paru-paru, seperti yang dihasilkan oleh respirasi sel normal atau polutan

udara yang terhirup. Terdapat keseimbangan antara toksisitas oksidan dan

efek protektif intra dan ekstraseluler antioksidan sistem pertahanan yang

sangat penting bagi pemeliharaan fungsi seluler normal paru. Pergeseran

keseimbangan oksidan / antioksidan bisa memicu terjadinya stres

oksidatif.

Rokok mengandung radikal bebas dalam asap dan dalam rokok.

Penelitian In vitro telah menunjukkan bahwa leukosit alveolar dari

perokok spontan meningkatkan pelepaskan jumlah oksidan, seperti O2 dan

H2O2 , dibandingkan dengan mereka yang bukan perokok. Komponen

matriks paru (elastin dan kolagen) dapat rusak langsung oleh oksidan

dalam asap rokok ( 62 ). Selain itu, asap rokok dapat mengganggu sintesis

dan perbaikan elastin (63). Semua jaringan rentan terhadap kerusakan

oksidan. Cedera epitel dimanifestasikan sebagai peningkatan permeabilitas

epitel dan mungkin merupakan peristiwa awal yang penting setelah

terpapar rokok asap (64). Dengan demikian, asap rokok memiliki efek

merugikan pada fungsi sel epitel alveolar.

2.4 Klasifikasi PPOK

Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease

(GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat:

a) Derajat I: PPOK ringan

Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk produksi sputum).

Keterbatasan aliran udara ringan (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 > 80%

18

Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut mungkin tidak menyadari

bahwa fungsi parunya abnormal.

b) Derajat II: PPOK sedang

Semakin memburuknya hambatan aliran udara (VEP1 / KVP <

70%; 50% < VEP1 < 80%), disertai dengan adanya pemendekan

dalam bernafas. Dalam tingkat ini pasien biasanya mulai mencari

pengobatan oleh karena sesak nafas yang dialaminya.

c) Derajat III: PPOK berat

Ditandai dengan keterbatasan / hambatan aliran udara yang

semakin memburuk (VEP1 / KVP < 70%; 30% VEP1 < 50%

prediksi). Terjadi sesak nafas yang semakin memberat, penurunan

kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang berdampak

pada kualitas hidup pasien.

d) Derajat IV: PPOK sangat berat

Keterbatasan / hambatan aliran udara yang berat (VEP1 / KVP <

70%; VEP1 < 30% prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah

dengan adanya gagal nafas kronik dan gagal jantung kanan.

Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh

sebab itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin

tidak bisa diprediksi dengan VEP1. (Antonio et all, 2007)

2.5 Diagnosis

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala

ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan

tanda inflasi paru.

Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :

E. Gambaran klinis

a. Anamnesis

19

i. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala

pernapasan

ii. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

iii. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan

lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan

asap rokok dan polusi udara

iv. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak

v. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

b. Pemeriksaan Fisik

i. PPOK dini umumnya tidak ada kelainan

1. Inspeksi

Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)

Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal

sebanding)

Penggunaan otot bantu napas

Hipertropi otot bantu napas

Pelebaran sela iga

Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena

jugularis leher dan edema tungkai

Penampilan pink puffer atau blue bloater

2. Palpasi

a. Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

3. Perkusi

a. Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil,

letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah

4. Auskultasi

a. Suara napas vesikuler normal, atau melemah

b. Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau

pada ekspirasi paksa ekspirasi memanjang bunyi jantung terdengar

jauh

20

Ciri khas yang mungkin ditemui pada penderita PPOK :

1. Pink puffer

Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan

pernapasan pursed – lips breathing

2. Blue bloater

Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat

edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer

3. Pursed - lips breathing

Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan

ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh

untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan rutin

ii. Faal paru

Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)

a. Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau

VEP1/KVP ( %).

Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%

(VEP1/KVP) < 75 %

VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk

menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin

dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai

sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi

dan sore, tidak lebih dari 20%

iii. Uji bronkodilator

21

1. Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan

APE meter.

2. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 -

20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,

perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml

Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil

iv. Darah rutin

1. Hb, Ht, leukosit

v. Radiologi

1. Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit

paru lain

2. Pada emfisema terlihat gambaran :

3. Hiperinflasi

4. Hiperlusen

5. Ruang retrosternal melebar

6. Diafragma mendatar

7. Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop

appearance)

vi. Pada bronkitis kronik :

1. Normal

2. Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

a. Pemeriksaan khusus

vii. Faal paru

1. Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF),

Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat

2. DLCO menurun pada emfisema

3. Raw meningkat pada bronkitis kronik

4. Sgaw meningkat

22

5. Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

viii. Uji latih kardiopulmoner

1. Sepeda statis (ergocycle)

2. Jentera (treadmill)

3. Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

ix. Uji provokasi bronkus

1. Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil

PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan

x. Uji coba kortikosteroid

1. Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral

(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama

2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan

minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru

setelah pemberian kortikosteroid

xi. Analisis gas darah

Terutama untuk menilai :

1. Gagal napas kronik stabil

2. Gagal napas akut pada gagal napas kronik

xii. Radiologi

1. CT - Scan resolusi tinggi

2. Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema

atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos

3. Scan ventilasi perfusi

4. Mengetahui fungsi respirasi paru

xiii. Elektrokardiografi

23

1. Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal

dan hipertrofi ventrikel kanan.

2. Ekokardiografi

3. Menilai funfsi jantung kanan

xiv. Bakteriologi

Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi

diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik

yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama

eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

xv. Kadar alfa-1 antitripsin

1. Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema

pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di

Indonesia.

2.6 Diagnosis Banding

xvi. Asma

xvii. SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)

1. Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada

penderita pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.

xviii. Pneumotoraks

xix. Gagal jantung kronik

xx. Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis,

destroyed lung.

xxi. Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering

ditemukan di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan

karena terapi dan prognosisnya berbeda.

xxii. Adapun karakteristik dari Asma, PPOK, dan SOPT pada tabel 2

24

Tabel 2. Perbedaan Asma, PPOK, dan SOPT

(Sumber : PDPI,2010)

25

2.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan umum PPOK

Tujuan penatalaksanaan :

- Mengurangi gejala

- Mencegah eksaserbasi berulang

- Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

- Meningkatkan kualiti hidup penderita

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :

1. Edukasi

2. Obat – obatan

3. Terapi oksigen

4. Ventilasi mekanik

5. Nutrisi

6. Rehabilitasi

PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan

nonreversibel, sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1)

penatalaksanaan pada keadaan stabil dan (2) penatalaksanaan pada

eksaserbasi akut.

26

Tabel 3. Penatalaksanaan PPOK

(Sumber : PDPI,2003)

(Sumber : PDPI, 2003)

27

DAFTAR PUSTAKA

28