dilema klinis oleh pasien dengan halitosis psikosomatis

10
DILEMA KLINIS OLEH PASIEN DENGAN HALITOSIS PSIKOSOMATIS Pasien yang memiliki halitosis psikosomatis tidak akan pernah datang ke spesialis kejiwaan terlebih dahulu, karena mereka tidak bisa mengenali kondisi psikosomatis diri mereka sendiri. Mereka juga tidak pernah merasa ragu bahwa mereka memiliki bau mulut yang menyengat. Perlakuan orang lain, seperti menutup hidung atau mengalihkan wajah, diinterpretasikan oleh pasien ini sebagai suatu indikasi bahwa bau mulut mereka menyengat, serta perlakuan atau sikap tersebut memperkuat kepercayaan mereka akan bau mulut mereka yang tidak enak. Untuk memperjelas apakah persepsi pasien terhadap sikap individu lain disebabkan oleh delusi diri sendiri, artikel ini difokuskan pada hubungan antara sikap terhadap bau mulut dan profil kejiwaan pasien dengan halitosis psikosomatis. Apabila seorang pasien mengharapkan sikap menghindar yang sederhana dari individu lain, perkembangan dari halitosis psikosomatis berada pada jalur yang cepat, sampai pada tahap dimana hal tersebut menjadi tujuan hidup. Individu yang menyadari bau mulut sendiri tetapi tidak memiliki bau mulut memiliki kecenderungan psikosomatis laten dan tidak dewasa secara mental. Terdapat pula sebuah protokol untuk merujuk pasien ke spesialis kejiwaan. Kata kunci : halitofobia, halitosis, cabang ilmu psikosomatis kedokteran gigi, penyakit psikosomatis. RELEVANSI KLINIS : Artikel ini menjelaskan tentang diagnosis dan manajemen pasien halitosis psikosomatik di praktik dental umum. Semenjak patogenesis bau mulut telah diuraikan, ukuran perawatan sederhana untuk halitosis telah terbukti sangat efektif dalam mengontrol bau mulut. Walaupun begitu, perawatan umum untuk halitosis, seperti membersihkan lidah, kumur dengan mouthwash, serta terapi periodontal, dianggap tidak berhasil

Upload: nikita-iu

Post on 06-Aug-2015

94 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

halitosis

TRANSCRIPT

Page 1: DILEMA KLINIS OLEH PASIEN DENGAN HALITOSIS PSIKOSOMATIS

DILEMA KLINIS OLEH PASIEN DENGAN HALITOSIS PSIKOSOMATIS

Pasien yang memiliki halitosis psikosomatis tidak akan pernah datang ke spesialis kejiwaan terlebih dahulu, karena mereka tidak bisa mengenali kondisi psikosomatis diri mereka sendiri. Mereka juga tidak pernah merasa ragu bahwa mereka memiliki bau mulut yang menyengat. Perlakuan orang lain, seperti menutup hidung atau mengalihkan wajah, diinterpretasikan oleh pasien ini sebagai suatu indikasi bahwa bau mulut mereka menyengat, serta perlakuan atau sikap tersebut memperkuat kepercayaan mereka akan bau mulut mereka yang tidak enak. Untuk memperjelas apakah persepsi pasien terhadap sikap individu lain disebabkan oleh delusi diri sendiri, artikel ini difokuskan pada hubungan antara sikap terhadap bau mulut dan profil kejiwaan pasien dengan halitosis psikosomatis. Apabila seorang pasien mengharapkan sikap menghindar yang sederhana dari individu lain, perkembangan dari halitosis psikosomatis berada pada jalur yang cepat, sampai pada tahap dimana hal tersebut menjadi tujuan hidup. Individu yang menyadari bau mulut sendiri tetapi tidak memiliki bau mulut memiliki kecenderungan psikosomatis laten dan tidak dewasa secara mental. Terdapat pula sebuah protokol untuk merujuk pasien ke spesialis kejiwaan.

Kata kunci : halitofobia, halitosis, cabang ilmu psikosomatis kedokteran gigi, penyakit psikosomatis.

RELEVANSI KLINIS : Artikel ini menjelaskan tentang diagnosis dan manajemen pasien halitosis psikosomatik di praktik dental umum.

Semenjak patogenesis bau mulut telah diuraikan, ukuran perawatan sederhana untuk halitosis telah terbukti sangat efektif dalam mengontrol bau mulut. Walaupun begitu, perawatan umum untuk halitosis, seperti membersihkan lidah, kumur dengan mouthwash, serta terapi periodontal, dianggap tidak berhasil pada pasien yang secara ekstrim sensitif dan sering berdelusi tentang sikap orang lain terhadap bau mulut imajinasi mereka.

Diantara pasien dengan halitosis psikosomatis, 2 sub kelompok telah dilaporkan. (1) pasien yang memiliki “halitosis imaginer” tanpa bau mulut yang terlihat dan (2) pasien yang mengalami bau mulut dengan kecenderungan psikosomatis yang menyertainya. Pada kelompok pertama, seorang pasien tidak menerima fakta bahwa dia tidak memiliki bau mulut yang menyengat. Pada kelompok kedua, seorang pasien mungkin tidak percaya bahwa bau mulutnya telah berkurang atau sembuh setelah perawatan dan dapat terus mengeluh mengenai “halitosis” yang tidak ada lagi.

Keluhan pasien yang persisten dapat mengganggu praktisi. Pasien ini menginterpretasi sikap orang lain, seperti menutup hidung atau mengalihkan wajah, sebagai suatu indikasi bahwa nafas mereka berbau menyengat, serta perlakuan atau sikap ini meyakinkan pasien bahwa mereka memiliki bau mulut yang kuat menyengat.

Page 2: DILEMA KLINIS OLEH PASIEN DENGAN HALITOSIS PSIKOSOMATIS

Oleh karena kondisi psikosomatis ini disebabkan oleh faktor seperti fobia sosial (ketakutan yang dirasa karena berada di sekitar orang), pasien sebaiknya dirujuk ke spesialis kejiwaan. Walaupun begitu, pasien biasanya menolak untuk mengunjungi spesialis, karena mereka tidak bisa mengenali kondisinya bersifat psikologis. Mereka tidak pernah ragu bahwa mereka memiliki bau mulut yang menyengat. Pasien seperti itu dapat menjadi tidak senang dengan dokter gigi yang tidak dapat mendeteksi bau mulut mereka dan dokter gigi yang merujuk untuk evaluasi psikologis.

Walaupun terdapat banyak diskusi mengenai halitosis psikosomatis yang telah diterbitkan sejak 1974, sebuah protokol yang sukses untuk merujuk pasien ke spesialis kejiwaan belum dilaporkan. Pada artikel ini, latar belakang halitosis psikosomatis akan didiskusikan. Selain itu, terdapat pula saran untuk memfasilitasi bagaimana membuat rujukan pasien dengan halitosis psikosomatis ke spesialis.

LATAR BELAKANG DAN DIAGNOSIS HALITOSIS PSIKOSOMATIS

Self-halitosis (atau disebut halitosis imajiner) telah diketahui kira-kira 30 tahun yang lalu sebagai penyakit psikosomatis tanpa nafas yang berbau tidak sedap. Pasien memiliki baik nafas bau yang sebenarnya atau tidak memiliki nafas bau, dan disertai dengan kondisi psikologis, dapat dianggap memiliki halitosis psikosomatis. Penelitian menunjukkan bahwa halitosis dengan kondisi psikosomatis termasuk ke dalam patologi halitosis. Di tahun 1993, Rosenberg dan Leib mengenalkan istilah diagnostik halitofobia, yang sekarang diterima menjadi istilah untuk halitosis psikosomatis.

Untuk memeriksa kondisi psikologis pasien dengan halitosis, terdapat banyak jenis kuesioner psikologis yang dapat digunakan. Walaupun begitu, hasil dari kuesioner ini tidak selalu mencerminkan patologi dari suatu kondisi psikologis. Praktisi tetap kesulitan dalam membedakan pasien dengan halitosis psikosomatis dari pasien lain dengan halitosis sebenarnya. Sebuah penyelidikan sederhana, spesifik untuk halitosis psikosomatis, dipercaya memiliki pengertian yang lebih akurat untuk menilai tingkat keparahan kondisi psikologis daripada yang didapat dari tes psikologis atau kuesioner sebelumnya.

HASIL LAPORAN ANTARA PASIEN DAN PRAKTISI

Jumlah klinik bau mulut dan spesialis dalam bau mulut sedang meningkat di Amerika Utara dan negara bagian lain. Tingkat kesadaran yang meningkat terhadap bau mulut beserta terapinya telah menuntun praktisi untuk mengendalikan kondisi halitosis di tempat praktik mereka sebagaimana pula di klinik bau mulut. Semenjak jumlah kasus halitosis psikosomatis meningkat secara dramatis dalam dua dekade terakhir, timbul dugaan bahwa banyak praktisi yang berurusan dengan masalah ini tanpa sepengetahuannya. Praktisi mungkin bingung oleh keluhan pasien terhadap bau mulut imajiner. Penulis prihatin bahwa pasien seperti itu mungkin tidak ditangani dengan tepat, karena konsep tentang halitosis psikosomatis tidak diketahui oleh dokter gigi secara luas.

Page 3: DILEMA KLINIS OLEH PASIEN DENGAN HALITOSIS PSIKOSOMATIS

Telah dispakulasi bahwa banyak pasien, tidak hanya pasien dengan halitosis imajiner, memiliki kecemasan terhadap bau mulut. Perbedaan antara pasien dengan halitosis psikosomatis dan pasien dental biasa adalah bahwa pasien biasa umumnya menderita suatu bentuk kelainan organik (seperti disfungsi sendi temporomandibular), yang menjadi motivasi kunjungan ke dokter gigi. Sedangkan pasien dengan halitosis psikosomatis tidak menderita dari kelainan organik apapun. Pasien dengan halitosis psikosomatis takut akan bau mulut mereka mengganggu orang lain dan menghalangi mereka untuk berhubungan dengan orang lain.

Pada perawatan halitosis, sebagaimana perawatan dental lain, sebuah laporan yang didapat antara pasien dan praktisi dapat memiliki hasil yang sukses. Untuk mendapatkan laporan antara praktisi dan pasien, seorang praktisi harus menujukkan sikap menerima, simpatik, penuh dukungan, serta meyakinkan. Apabila seorang pasien ditangani dengan laporan yang baik, kecemasan pasien tentang bau mulut serta ketakutannya akan sikap orang lain dapat berkurang atau teratasi melalui praktik sederhana perawatan untuk mengurangi bau mulut. Bahkan apabila pasien harus dirujuk ke spesialis kejiwaan, laporan yang baik antara praktisi dan pasien dapat membantu pasien untuk menerima rujukan tersebut.

INVESTIGASI DELUSI PERSEPSI TINGKAH LAKU PASIEN TERHADAP BAU MULUT

Pasien dengan halitosis psikosomatis cukup sensitif mengenai bau mulut mereka sendiri dan mengeluh mengenai sikap orang lain terhadap bau mulut tersebut. Banyak pasien ini memiliki delusi mengenai sikap orang lain terhadap mereka. Untuk merujuk pasien yang membutuhkan perawatan psikologis, seorang praktisi harus membujuk pasien bahwa mereka salah mengerti akan persepsi bau mulut mereka serta sikap orang lain terhadap mereka. Walaupun begitu, tidak terdapat data yang tersedia yang mengindikasikan bagaimana membantu pasien ini mengerti akan delusi mereka. Oleh karena itu, kami mensurvei persepsi masyarakat dan sikap mereka terhadap bau mulut unbtuk mendapatkan data dalam membantu pasien dengan halitosis psikosomatis mengerti dengan lebih baik tentang persepsi mereka yang keliru.

Oleh karena generasi muda wanita Jepang memiliki minat lebih terhadap bau mulut daripada populasi wanita atau pria lain, serta sikap dan persepsi mereka terhadap bau mulut sejajar dengan sikap negeri barat, sukarelawan wanita beusia antara 18 sampai 26 tahun telah disurvei menggunakan kuesioner untuk menjelaskan sikap dan perlakuan mereka terhadap bau mulut (Gambar 1). Hasilnya dianalisis menggunakan program statistik, HALBAU (Takagi), dan perbandingan signifikan didapatkan menggunakan uji chi kuadrat.

Kami juga menginvestigasi sebuah hubungan antara sikap menghindar terhadap bau mulut dan kepribadian. Seratus empat sukarelawan diambil untuk studi ini. Setelah subjek berpantang makan dan minum selama 2 jam, tingkat bau mulut dianalisis menggunakan kromatografi udara. Dengan menggunakan nilai ambang objektif kandungan uap sulfur yang dilaporkan oleh Tonzetich dan Ng, bau mulut didiagnosis berdasarkan konsentrasi rata-rata

Page 4: DILEMA KLINIS OLEH PASIEN DENGAN HALITOSIS PSIKOSOMATIS

kandungan uap sulfur. Sikap dan perlakuan menghindar terhadap bau mulut diri sendiri atau orang lain kemudian dinilai menggunakan kuesioner (lihat Gambar 1). Kuesioner lain yang digunakan untuk menilai status psikosomatik dan karakter kepribadian adalah Indeks Medis Cornell dan Tes Kepribadian Yatabe-Guilford (Y-G). Analisis transaksional juga dilakukan menggunakan Egogram Universitas Tokyo (TEG) untuk memahami ego dan kepribadian setiap subjek.

Gambar 1. Pertanyaan mengenai persepsi dan sikap terhadap bau mulut. (pertanyaan mengenai kondisi gingiva, dsb dijelaskan di studi aslinya)

Gambar 2. Persepsi terhadap bau mulut

Page 5: DILEMA KLINIS OLEH PASIEN DENGAN HALITOSIS PSIKOSOMATIS

Faktor Psikologis yang Ditemukan Diantara Pasien Halitosis

Hanya sebesar 19,1% subjek yang merasa tidak enak mengenai bau mulut mereka sendiri (Gambar 2). Hasil juga menunjukkan bahwa hampir 40% subjek yang prihatin akan bau mulut mereka sendiri yang fokus dengan hanya bau mulut mereka sendiri tanpa menyadari bahwa orang lain juga memiliki bau mulut. Dengan kata lain, 40% subjek tidak objektif dalam menilai bau mulut.

Mengenai sikap menghindari terhadap bau mulut sendiri (Tabel 1), sebanyak 92% subjek menutup mulut dengan tangan, sementara 12,3% menjaga jarak dari orang lain. Dapat dicatat bahwa 7 orang subjek (1,5%) menunjukkan gejala tipikal dari fobia sosial dengan tidak ingin hadir bersama orang lain. Oleh karena itu, hubungan sosial dengan orang lain dapat terhalang karena sikap menghindar ini, serta jarak psikologis dengan orang lain dapat meningkat. Apabila hal ini benar adanya, suatu siklus fobia sosial yang buruk dapat terulang terus menerus.

Hasil tes TEG dan Y-G mengindikasikan bahwa 71 orang subjek yang prihatin hanya dengan bau mulut mereka sendiri merupakan orang yang tidak realistik, subjektif, dan tidak dewasa, tetapi mereka juga idealistik, sadar diri, moralistik, serta memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi.

Oleh karena itu, subjek yang menyadari hanya bau mulut mereka sendiri tidak mampu mengerti bahwa sikap orang lain, seperti menutup hidung, bukan merupakan respon terhadap bau mulut subjek tersebut. Karena pasien memiliki kecenderungan pribadi yang telah disebutkan di atas, mereka dapat merasa bersalah akan bau mulut mereka yang dapat mengganggu orang lain. Selanjutnya, faktor psikosomatis ditemukan di hampir setengah jumlah subjek yang sadar akan bau mulut mereka sendiri tetapi mereka tidak memiliki bau mulut yang tidak sedap (Tabel 2). Oleh karena itu, persepsi mereka akan sikap atau perlakuan orang lain terhadap nafas mereka dapat dengan mudah meningkatkan kecenderungan psikologis mereka.

Bukti penelitian menunjukkan bahwa sikap menghindar bukan merupakan respon utama terhadap keberadaan bau mulut. Yaegaki et al menemukan bahwa hanya 1,6% subjek yang sadar dengan bau mulut orang lain menutup hidung mereka dengan tangan ketika berhadapan dengan orang lain. Sebagai tambahan, mengalihkan wajah mereka ketika berhadapan dengan orang lain ditemukan sebesar 4,0%. Di tempat umum (misalnya transportasi umum), sikap menutup mulut dengan tangan karena bau mulut orang lain ditemukan sebanyak 3,6% subjek yang sadar dengan bau mulut orang lain. Sebagai respon terhadap bau mulut orang lain, sikap mengalihkan wajah ditemukan sebanyak 21,6% subjek. Walaupun 22,9% subjek menjaga jarak dari rang yang bau mulut, sikap menjaga jarak ini tidak dianggap sebagai sikap menghindar; walaupun begitu, tindakan mengambil langkah ke belakang dianggap sebagai sikap menghindar. Oleh karena itu, apabila subjek telah ditanyakan apakah mereka mengambil langkah ke belakang dari orang yang bau mulut,insidensinya akan lebih rendah daripada yang hanya menjaga jarak.

Page 6: DILEMA KLINIS OLEH PASIEN DENGAN HALITOSIS PSIKOSOMATIS

Studi ini menunjukkan bahwa sikap menghindar terhadap nafas pasien tidak biasanya berupa respon akan bau mulut pasien. Pasien dengan halitosis psikosomatis percaya bahwa bau mulut mereka menyebabkan sikap tersebut saat mereka berhadapan dengan orang lain. Hasil studi ini memberikan bukti untuk membujuk pasien percaya bahwa bau mulut mereka tidak menyebabkan individu lain untuk bersikap menghindar. Rujukan pasien seperti itu untuk alasan psikologis ke spesialis dapat lebih diterima daripada rujukan untuk halitosis imajiner.

Manajemen Pasien yang Dirujuk ke Spesialis Kejiwaan

Halitosis tidak pernah menyebabkan disfungsi organik lain seperti yang disebabkan oleg kondisi lain. Oleh karena itu, hubungan kondisi psikologis dan halitosis sangat sulit dimengerti oleh pasien. Apabila praktisi mencoba untuk meyakinkan seorang pasien untuk datang ke spesialis kejiwaan berdasarkan bau mulut imajiner, maka banyak pasien yang akan menolak, karena mereka tidak pernah ragu bahwa mereka memiliki bau mulut. Akhirnya, pasien dapat kehilangan kepercayaan dengan dokter gigi mereka.

Proses menangani seorang pasien untuk dirujuk ke spesialis di klinik kita adalah sebagai berikut :

1. Praktisi tidak perlu berargumentasi dengan pasien apakah mereka memiliki bau mulut atau tidak.

Page 7: DILEMA KLINIS OLEH PASIEN DENGAN HALITOSIS PSIKOSOMATIS

2. Praktisi harus menentukan apabila seorang pasien sadar dengan sikap atau perlakuan orang lain, nyata atau hanya persepsi saja, kepada mereka. Banyak pasien dengan halitosis psikosomatis menilai bau mulut mereka melalui sikap orang lain.

3. Praktisi harus menjelaskan bahwa sikap menghindar orang lain, yang diduga oleh pasien, tidak disebabkan oleh nafas bau. Data sebelumnya dapat diperlihatkan untuk meyakinkan hal ini. Seorang pasien harus diinformasikan bahwa sikap menghindar dapat muncul secara alami tanpa adanya alasan tertentu.

4. Seorang pasien dengan halitosis psikosomatis harus diinstruksikan tentang cara menyikat permukaan lidah dan diberikan ukuran kebersihan mulut lainnya, karena mereka percaya bahwa mereka memiliki bau mulut dan pastinya akan mencari perawatan. Untuk menjaga laporan, seorang praktisi jangan pernah menolak bahwa pasien memiliki bau mulut.

5. Setelah diberikan instruksi, seorang pasien diinformasikan juga bahwa dia jangan menilai nafas mereka berdasarkan sikap orang lain. Dia juga diinformasikan bahwa dia tidak dapat menghilangkan prasangka tersebut, bantuan psikologis diperlukan untuk menghilangkan kebiasaan ini, yang telah berkembang selama riwayat panjangnya dengan bau mulut. Bahkan, apabila pasien dapat menghilangkan kebiasaan ini, mereka akan lega dari kecemasan diri mereka.

Pada banyak kasus di klinik kami, pasien telah mampu untuk menghilangkan kebiasaan ini melalui tahapan manajemen ini sebelum membutuhkan rujukan ke spesialis.