difteri kel.5_kelas b

41
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Difteria adalah penyakit akut yang disebabkan oleh toksin dari bakteri Corynebacterium Diphteriae. Difteri merupakan penyakit yang digolongkan pada gangguan respirasi. Penyakit difteri disebabkan oleh infeksi bakteri, “yang masuk dalam tubuh melalui Kontak langsung dengan orang terinfeksi atau barang terkontaminasi. Ikut aliran sistemik dalam tubuh, terus inkubasi pada tubuh 2 sampai 4 hari, terus mengeluarkan toksin atau racun yang menyerang Tonsil, Faringeal, Laring. Difteria masih merupakan penyakit endemik dibanyak negara di dunia. Pada awal tahun 1980an terjadi peningkatkan insidensi kasus difteria pada negara bekas Uni Soviet karena kekacauan program imunisasi, dan pada tahun 1990an masih terjadi epidemi yang besar di Rusia dan Ukrania. Pada tahun 2000an epidemi difteria masih terjadi dan menjalar ke negara-negara tetangga. Indonesia sendiri masih banyak peyakit difteri yang terjadi pada anak – anak ya ng usianya antara 1 – 5 tahun. “Kota Surabaya merupakan daerah dengan kasus penderita terbanyak Difteri yang angka penderitanya tetap tinggi tiap tahunnya di Jawa Timur yaitu sebanyak 57 kasus, yang tersebar di 22 Kecamatan dari total 31 1

Upload: rifqi-fuadi

Post on 26-Nov-2015

87 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB 1PENDAHULUAN1.1. Latar BelakangDifteria adalah penyakit akut yang disebabkan oleh toksin dari bakteri Corynebacterium Diphteriae. Difteri merupakan penyakit yang digolongkan pada gangguan respirasi. Penyakit difteri disebabkan oleh infeksi bakteri, yang masuk dalam tubuh melalui Kontak langsung dengan orang terinfeksi atau barang terkontaminasi. Ikut aliran sistemik dalam tubuh, terus inkubasi pada tubuh 2 sampai 4 hari, terus mengeluarkan toksin atau racun yang menyerang Tonsil, Faringeal, Laring. Difteria masih merupakan penyakit endemik dibanyak negara di dunia. Pada awal tahun 1980an terjadi peningkatkan insidensi kasus difteria pada negara bekas Uni Soviet karena kekacauan program imunisasi, dan pada tahun 1990an masih terjadi epidemi yang besar di Rusia dan Ukrania. Pada tahun 2000an epidemi difteria masih terjadi dan menjalar ke negara-negara tetangga. Indonesia sendiri masih banyak peyakit difteri yang terjadi pada anak anak ya ng usianya antara 1 5 tahun. Kota Surabaya merupakan daerah dengan kasus penderita terbanyak Difteri yang angka penderitanya tetap tinggi tiap tahunnya di Jawa Timur yaitu sebanyak 57 kasus, yang tersebar di 22 Kecamatan dari total 31 Kecamatan yang ada. 80% kasus terjadi pada anak di bawah 10 tahun atau bayi.Menurut (Depkes, 2010) 60% penderita difteri diakibatkan karena penularan.Difteri ini akan berlanjut menimbulkan Komplikasi lain adalah Gangguan pernapasan, kerusakan otot jantung, dan nafas. yaitu kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Difteri merupakan suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring, laring, hidung dan banyak faktor yang mempengaruhi, penyakit difteri mempunyai tanda gejala sangat bervariasi, tergantung golongan umur mikroorganisme penyebab, kekebalan tubuh (immunologis). Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita. Infeksi saluran respiratorik atas atau nasofaring menyebabkan ngorok (stridor) dan penyumbatan sekret hidung berwarna kemerahan. Toksin difteri menyebabkan paralisis otot dan miokarditis yang berhubungan dengan tingginya angka kematian.Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran pernafasan ini. Gangguan pernapasan termasuk penyakit yang telah sering didengar. Namun tidak semua orang Mengetahui dan memahami sebab dan akibat dari gangguan pernapasan. Sebagai perawat, kita harus Mengetahui dan memahami tentang penyebab akibat dan asuhan yang tepat saat memberikan perawatan kepada pasien dengan gangguan pernapasan.1.2. Topik Gangguan Difteri pada anak

1.3. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah mekanisme dan proses keperawatan gangguan difteri pada anak anak ?

1.4. Tujuan 1.4.1. Tujuan Umum Menjelaskan pengertian dan mekanisme serta proses keperawatan gangguan Difteri pada anak anak 1.4.2. Tujuan Khusus1. Mengetahui dan memahami definisi dari penyakit difteri2. Mengetahui dan memahami etiologi dari penyakit difteri3. Mengetahui dan memahami patofisiologi dan Web of Caution penyakit difteri4. Mengetahui dan memahami manifestasi klinis penyakit difteri5. Mengetahui dan memahami pemeriksaan diagnostik penyakit difteri6. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan dari penyakit difteri7. Mengetahui dan memahami komplikasi dari penyakit difteri8. Mengethaui prognosis dari penyakit difteri9. Megetahui proses keperawatan dari penyakit difteri

1.4. Deskripsi Singkat MakalahMakalah Difteri ini merupakan penunjang sarana belajar untuk pembelajaran kelas keperawatan respirasi 1 dan sebagai pemenuh tugas SGD. Isi dari makalah yang kami buat adalah pada bagian pertama pendahuluan berisi latar belakang, topik, rumusan masalah, tujuan dan deskripsi singkat makalah. Bagian kedua berisi pembahasan yaitu definisi, etiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, patofisiologis, pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaa, dan prognosis. Bagian ketiga berisikan asuhan keperawatan untuk pasien anak anak yang mengalami difteri susunanya berupa pengkajian, diagnosis, intervensi, evaluasi, dan woc. Bagian ke keempat adalah penutupan yang berisi kesimpulan dan saran. Selain itu kami juga menyertakan lemabar pernyataan sebagai penunjang bahwa tugas ini merupakan hasil kerja dari kelompok. Pada sub bab terakhir kami menyertakan daftar pustaka.

BAB IIPEMBAHASAN2.1. Definisi Difteri adalah suatu infeksi akut yang mudah menular, dan yang sering diserang terutama saluran pernafasan atas, dengan tanda khas timbulnya pseudomembran (Ngastiyah,2005).

Difteri adalah infeksi akut pada saluran pernapasan bagian atas, trakea, atau keduanya. Difteri dapat menyebabkan obstruksi pada membran saluran napas bagian atas.( E.Burns,Catherine.etal,2009 ). Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheria, suatu bakteri basil gram positif berbentuk polimorf, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan sensitif terhadap panas, kering, serta sinar matahari (Menurut J.B. Suharjo B. Cahyono,2010). Difteri adalah penyakit infeksi ini disebabkan oleh Corynebacterium dyptheriae tipe gravis,milis dan intermedius, yang menular melalui percikan ludah yang tercemar (Yupi Supartini 2004). Difteri adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang menular, Dengan adanya imunisasi aktif pada masa anak-anak dini (Merensien Kapian Rosenberg, 2002).

2.2. EtiologiPenyakit difteria disebabkan oleh bakteri Corynebacterium Diphtheriae. Difteria berasal dari bahasa yunani, diphtera = leather hide = kulit yang tersembunyi. Toksik hasil transmisi dari kontak langsung dengan orang yang terinfeksi atau pembawa. keluarnya dari lesi hidung,

tenggorokan, mata dan kulit dapat bertindak sebagai wahana wabah transmisi dan yang bertalian dengan makanan telah dilaporkan. pembawa asimtomatik dapat mengirimkan organisme. periode rata-rata inkubasi dari 2 sampai 5 hari, penularan berlangsung selama 2 minggu atau kurang dalam kasus yang tidak diobati. Pengangkutan kronis dapat terjadi bahkan dengan terapi antimikroba (Widoyono,2011).2.3. KlasifikasiBerdasarkan berat ringannya penyakit difteri, maka klasifikasi penyakit difteri terdiri dari: 1. Infeksi ringan: pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fasial dengan gejala hanya nyeri menelan. 2. Infeksi sedang: pseudomembran menyebar luas sampai ke dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan pengobatan konservatif. 3. Infeksi berat: disertai gejala sumbatan jalan napas yang berat, yang hanya dapat diatasi dengan trakeostomi. Juga gejala komplikasi miokarditis,paralisis atau pun nefritis dapat menyertainya.

2.4. Manifestasi Klinis Berdasarkan tempat terjadi penyakit difteri dibedakan yang terdiri dari: 1. Difteri hidung: pilek dengan sekret bercampur darah. Gejala konstruksi ringan. 2. Difteri faring dan tonsil (fausial): terdapat radang akut tenggorok, demam sampai 38,5o C, takikardi, tampak lemah, nafas berbau, timbul pembengkakan kelenjar regional (bull neck). Membrane dapat berwarna putih, abu-abu kotor, atau abu kehijauan dengan tepi yang sedikit terangkat. Bila membran diangkat akan timbul perdarahan. Tetapi, prosedur ini dikontraindikasikan karena mempercepat penyerapan toksin. 3. Difteri laring: jenis yang terberat, terdapat afonia, sesak, stridor inspirasi, demam sampai 40o C, sangat lemah, sianosis, bull neck.4. Difteri kutaneus dan vaginal: Difteri kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau.2.5. PatofisiologiKuman berkembang biak pada saluran nafas atas, dan dapat juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul lokal dan menjalar dari faring,laring dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin.Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul mralisis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan saraf. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trakea clan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.

2.6. WOC Difteri

Corynebacterium DiphteriaeKontak langsung dengan orang yang terinfeksi atau barang-barang yang terkontaminasi

Masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan atau pernafasan

Aliran sistemik

Masa inkubasi 2-5 hari

Mengeluarkan toksin (eksotoksin)

Nasal

Laring

Tonsil/faringeal

Demam,suara serak, batuk, obstruksi saluran nafas,sianosisPeradangan mukosa hidung (flu sekret hidung serosa)

Tenggorokan sakit, demam, anoreksia, lemah membran berwarna putih atau abu-abu, linfa denitis (bulls neck),toxemia,syok septik

Bersihan jalan nafas tidak efektif dan ansietas terhadap adanya sekret

RR tidak efektif

Pemenuhan nutrisi berkurang sehingga berat badan menurun

2.7. Gejala Gejala ringan dapat berupa membrane pada rongga hidung dan gejala berat apabila obstruksi jalan nafas karena mengenai laring, saluran napas bagian atas, dan tonsil. Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya diambilsediaan (spesimen)berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk pemeriksaan laboratorium.Terdapat peradangan pada tenggorok, demam yang tidak tinggi, dan pembengkakan leher (khas difteria:bull-neck) serta terjadi pembentukan membrane (pseudomembrane) keputihan pada tenggorok atau tonsil yang mudah berdarah apabila dilepas. Peradangan dapat menyebabkan kematian dengan menyumbat saluran napas. Komplikasi dapat terjadi karena efek toksin dari kuman yang menyerang saraf menyebakan kelumpuhan dan menyerang jantung menyebabkan miokarditis. Corynebacterium dipphteria bersifat toxin-mediated disease yang membentuk membrane atau selaput pada nasofaring (pseudomembrane) dan toksin dapat menyebar ke dalam aliran darah yang bisa mengakibatkan miokarditis,neuritis,trombositopenia, dan proteinuria.2.8 Pencegahan Untuk pencegahan penaykit difteri ada beberapa cara yang dapat dilakukan, terdiri dari:a.Isolasi PenderitaPenderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan langsung menunjukkan tidak terdapat lagiCorynebacterium diphtheriae.b.Pencarian dan kemudian mengobati karier difteriaDilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita karier pernah mendapat imunisasi), maka harus diiakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata ditemukanCorynebacterium diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan tonsilektomi.c.ImunisasiPencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan tetanus) pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah dasar. Imunisasi DPT merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit difteri. Imunisasi DPT ini merupakan vaksin yang mengandung racun kuman difteri yang telah dihilangkan sifat racunnya akan tetapi masih dapat merangsang pembentukan zat anti (toksoid). Frekuensi pemberiaan imunisasi DPT adalah tiga kali, dengan maksud pemberiaan pertama zat anti terbentukmasih sangat sedikit (tahap pengenalan) terhadap vaksin dan organ-organ tubuh membuat zat anti, kedua dan ketiga terbentuk zay anti yang cukup. Waktu pemberian imunisasi DPT antar umur 2-11 bulan dengan interval empat minggu. Cara pemberiaan imunisasi DPT melalui intra muscular. Efek samping pada DPT mempunyai efek ringan dan efek berat, efek ringan seperti pembengkakkan dan nyeri pada tempat penyuntikan, demam sedangkan efek berat dapat menangis hebat kesakitan kurang lebih empat jam, kesadaran menurun, terjadi kejang, ensefalopati, dan shock.2.9 Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostik berdasarkan Laboratorium adalah: 1. Uji Shick Uji Shick adalah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Dengan liter antitoksin 0,03 ml satuan per millimeter darah cukup dapat menahan infeksi difteria. Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MLD yang diberikan interkutan mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung titer antitoksin rendah, uji Shick dapat positif; pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Shick dikatakan negatif; bila tidak didapatkan reaksi apa pun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.2. Pemeriksaan SWAP Pemerikasaaan SWAP (Hidung atau tenggorokan). Swab biasanya digunakan untuk mengambil sample mikrobiologi untuk laboratorium industri ( tangan pekerja, mesin atau ruangan ) dan laboratorium klinik (tenggorokan ).2.10 DiagnosisDitegakkan dengan ditemukannya Corynebacterium diphtheriae pada preparat langsung dengan pewarnaan biru metilenatau biru toluidin atau biakan dengan media Loeffler. Secara hati-hati periksa hidung dan tenggorokan anak, terlihat warna keabuan pada selaputnya, yang sulit dilepaskan. Kehati-hatian diperlukan untuk pemeriksaan tenggorokan karena dapat mencetuskan obstruksi total saluran napas. Pada anak dengan difteri faring,terlihat jelas bengkak pada leher (bull neck). Sesudah masa inkubasi 1-7 hari, gejala awal difteri yang terjadi mirip geja influenza yang kemudian diikuti demam tinggi. Berdasar tempat terjadinya kelainan, difteri dibagi menjadi :1. Difteri tonsiler. Pada tonsil terbentuk pseudomembran tebal berwarna putih kotor atau kelabu kekuningan, disertai sakit tenggorokan dan keluarnya cairan dari hidung penderita.2. Difteri nasofaring. Pseudomembran menyebar ke palatum, uvula, dinding laring, dan mukosa hidung. Leher tampak membesar (bullneck) akibat terjadinya pembesaran kelenjar leimfe leher. Selain itu mulut penderita berbau difteri (diphtheritic odor) yang khas. Tubuh penderita melemah disertai demam tinggi, nadi cepat, oliguri dan albuminuri. 3. Difteri laring. Penderita mengalami sumbatan jalan napas sehingga sesak napas disertai batuk batuk dengan suara parau. Jika infeksi memberat, penderita mengalami sianosis, afonia dan stridor pa da waktu menarik napas. Jika tidak dilakukan trakeotomi penderita dapat meninggal dunia.

4. Difteri toksik. Penderita mengalami komplikasi difteri berupa miokarditis dengan aritmia kardiak, heart-block. Komplikasi cranial bisa juga terjadi berupa neuropati, diplopia, gangguan bicara dan sukar menelan. Penderita juga mengalami gagal sistem sirkulasi, diathesis, hemoragik, dan tanda- tanda gangguan otak berupa konvulsi, muntah, selalu haus, apatis, dan paresis. Gagal jantung dapat juga terjadi.

A. Diagnosis Banding1. Difteri nasal: perdarahan akibat luka dalam hidung, korpus alineum, atau sifilis kongenital.2. Difteri faring dan tonsil (fausial): tonsillitis tolikularis atau lakunaris,angina Plaut Vincent, infeksi mononucleosis infeksiosa, blood dyscrasia. 3. Difteri laring: laringitis akut, laringotrakeitis, laryngitis,membranosa, benda asing pada laring.

2.8. Penatalaksanaan Dilakukan bila klinis menyokong kearah difteria tanpa menunggu hasil pemeriksaan penunjang. A. Penatalaksanaan umum/mandiri1. Saat telah timbul gejala segera pergi ke dokter.2. Perawatan yang baik3. Istirahat yang cukup di tempat tidur.4. Pemerikasaaan SWAP (Hidung atau tenggorokan)5. Isolasi penderita dengan pengawasan yang ketat agar tidak menularkan dan kemungkinan timbulnya komplikasi antara lain pemeriksaan ECG tiap minggu.B. Penatalaksanaan medisPengobatan yang dapat dipakai (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999)1. Anti Diphteri Serum (ADS) dapat diberikan sebanyak 20.000U/hari selama dua hari berturut-turut, dengan sebelumnya dilakukan uji kulit dan mata.2. Antibiotika, penicillin prokain 50.000U/kgBB/hari sampai tiga hari bebas panas. Pada penderita yang melakukan trakeostomi maka ditambahkan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari yang dibagi 4 dosis3. Kortikosteroid, diberikan untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan prednisone 2mg/kgBB/hari selama 3 minggu yang kemudian dihentikan secara berharap. 4. Antitoksin, termasuk terapi utama yang diberikan atas dasar diagnosis klinis. Antitoksin diberikan sekali dengan dosis empiris berdasarkan pada derajat toksisita, tempat dan ukuran membran, serta lama sakit (lihat Tabel: Antitoksin)noDasar dosisDosis Antitoksi U

1.Hanya tesi kulit20.000-40.000

2.Penyakit faring/laring, lamanya 48 jam20.000-40.000

3.Lesi nasofaring40.000-60.000

4.Penyakit meluas lama 72 jam 80.000-100.000

5.Pembengkakan leher difusi80.000-100.000

(Tabel: Antitoksin [Behman, 1999 : 958])5. Terapi Antimikroba, terapi ini diberikan untuk menghentikan produksi toksin, mengobati infeksi yang terlokalisasi, dan mencegah penularan organism pada kontak. Terapi yang dapat diberikan,1. Eritromisin, diberikan secara oral atau parenteral sebanyak 40-50 mg/kg/hari2. Penisilin G Kristal aqua, dapat diberikan secara intramuskuler atau intravena sebanyak 100.000-150.000 U/kg/hari yang dibagi dalam empat dosis.3. Penisilin prokain, diberikan 25.000-50.000 U/kg/hari yang dibagi dua dosis secara intramuskuler.2.9. PrognosisNelson, 2000 berpendapat kematian penderita difteri sebesar 3-5% dan sangat bergantung pada:1. Umur penderita,karena makin muda umur anak prognosis makin buruk.2. Perjalanan penyakit,karena makin lanjut makin buruk proknosisnya.3. Letak lesi difteri4. Keadaan umum penderita,misalnya prognosisnya kurang baik pada penderita gizi kurang5. Pengobatan.makin lambat pemberian antitoksin,prognoasis akan makin buruk.

BAB IIIASUHAN KEPERAWATAN DIFTERI PADA ANAK3.1. PengkajianA. ANAMNESA 1. Biodataa. Umur : biasanya terjadi pada anak anak umur 2 10 tahun dan jarang ditemukan pada bayi berumur dibawah 6 bulan dan pada orang dewasa diatas 15 tahun b. Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskinc. Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman yang rapat-rapat, higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang2. Keluhan Utama : Klien marasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia, lemah3. Riwayat Kesehatan Sekarang : Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala, anoreksia4. Riwayat Kesehatan Dahulu : Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah5. Riwayat Penyakit Keluarga : Adanya keluarga yang mengalami difteri6. Pola Fungsi Kesehatana. Pola nutrisi dan metabolism : Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksiab. Pola aktivitas : Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demamc. Pola istirahat dan tidur : Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidurd. Pola eliminasi : Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia

B. PEMERIKSAAN FISIK1. B1 Breathing (Respiratory System) : RR tak efektif (Sesak nafas), Bullneck, Pseudomembran 2. B2 Blood (Cardiovascular system): Tachicardi3. B3Brain (Nervous system) : Normal4. B4 Bladder (Genitourinary system) : Normal5. B5 Bowel (Gastrointestinal System) : anorexia, nyeri menelan, kekurangan nutrisi 6. B6Bone (Bone-Muscle-Integument) : Lemah pada lengan terkait dengan peradangan pada saraf lengan akibat toksin yang menyebar dalam darah, turgor kulit3.2. Diagnosa Keperawatan1. Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan edema laring.2. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan anoreksia3. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.4. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan orang terdekat sakit dan kurang pengetahuan terhadap kondisi anak.5. Kecemasan keluarga berhubungan dengan perubahan status kesehatan anaknya.6. Kurang pengetahuan mengenai penyebab proses,prognosis penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi.7. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret berlebih.8. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan proses penyakit.9. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

3.3 Intervensi1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan pseudomembranTujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentangOxygen theraphyselama 1 X 24 jam diharapkan pola nafas pasien kembali normal yang ditunjukan denganRespiratory status: Airway patencydengan skala 4.a. NOC: Respiratory status : Airway patency1. Frekuensi pernafasan dbn2. Irama nafas sesuai dengan yang diharapkan3. Pengeluaran sputum pada jalan nafas.4. Tidak ada suara nafas tambahan5. Bernafas mudah6. Tidak ada dyspneaSkalaSkala 1 = Tidak pernah menunjukanSkala 2 = Jarang menunjukanSkala 3 = Kadang menunjukanSkala 4 = Sering menunjukanSkala 5 = Selalu menunjukanb. NIC :Oxygen theraphy1. Bersihkan mulut hidung dan secret trakea2. Pertahankan jalan nafas yang paten3. Monitor aliran oksigen4. Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi5. Monitor adanya suara nafas tambahan2. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan anoreksiaTujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang terapi nutrisi selama 1 X 24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi yang ditunjukan dengan status nutrisi berskala 4.a. NOC : Status nutrisi1. Laporkan nutrisi adekuat2. Masukan makanan dan cairan adekuat3. Energi adekuat4. Massa tubuh normal5. Ukuran biokimia normalSkalaSkala 1 = Sangat berbahayaSkala 2 = BerbahayaSkala 3 = Sedang / tidak terlalu berbahayaSkala 4 =Sedikit berbahayaSkala 5 = Tidak berahayab. NIC : Terapi Nutrisi1. Monitor makanan/cairan yang dicerna dan hitung masukan kalori tiap hari2. Tentukan makanan kesukaan dengan mempertimbangkan budaya dan keyakinannya3. Tentukan kebutuhan pemberian makan melalui NGT4. Dorong pasien untuk memilih makanan yang lunak5. Dorong masukan makanan tinggi kalsium3. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasiTujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manajemen nyeri dan manajemen analgetik selama 1 x 24 jam didharapkan nyeri berkurang atau hilang yang ditunjukkan dengan kontrol nyeri meningkat dan skala nyeri menurun, dengan skala 4.a. NOC I : Kontrol nyeri1. Ketahui faktor penyebab nyeri2. Ketahui permulaan terjadinya nyeri-Gunakan tindakan pencegahan-Gunakan analgetik secara tepat-Laporkan gejala:Laporkan kontrol nyeri

b. NOC II : Tingkat Nyeri1. Melaporkan nyeri berkurang atau hilang2. Frekuensi nyeri berkurang-Lama nyeri berlangsung-Ekspresi wajah saat nyeriSkalaSkala 1= Tidak terasa nyeriSkala 2 = Jarang terasa nyeriSkala 3 =Kadang-kadang terasa nyeriSkala 4 = Sering terasa nyeriSkala 5 =Terus-menerus terasa nyeri

c. NIC I : Manajemen Nyeri1. Lakukan pengkajian nyeri secara menyeluruh meliputi lokasi, durasi, frekuensi, kualitas, keparahan nyari dan factor pencetus nyeri2. Observasi ketidaknyamanan non verbal3. Ajarkan untuk menggunakan teknik non farmakologi misal relaksasi, guided imageri, terapi music dan distraksi4. Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan misal suhu, lingkungan, cahaya, kegaduhan5. Kolaborasi: pemberian analgetik sesuai indikasi

d. NIC II : Manajemen analgetik1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan tingkat nyeri sebelum mengobati pasien2. Cek obat meliputi jenis, dosis dan frekuensi pemberian analgetik3. Cek mengenai riwayat alergi obat.4. Tentukan jenis analgetsik (narkotik, non-narkotik, NSAID) di samping tipe dan tingkat nyeri.5. Tentukan analgetik yang tepat, cara pemberian dan dosisnya secara tepat.6. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan setelah pemberian analgetik4. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan orang terdekat dan kurang pengetahuan terhadap kondisi anak.Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang selama 1 X24 jam diharapkan koping keluarga menjadi efektif ditunjukkan dengan koping keluarga berskala 4.a. NOC : Koping Keluarga1. Keluarga menunjukkan rasa sayang dan dukungan terhadap anak2. Tidak ada depresi3. Mampu mengelola masalah4. Orang tua tidak menunjukkan rasa maluSkalaSkala 1= Sangat berbahayaSkala 2= BerbahayaSkala 3= Sedang / tidak terlalu berbahayaSkala 4= Sedikit berbahayaSkala 5=Tidak berahaya

b. NIC : Family Support1. Dengarkan perasaan keluarga.2. Bangun hubungan kepercayaan dengan keluarga.3. Sediakan keluarga informasi tentang perkembangan pasien.4. Sertakan anggota keluarga untuk mermbuat keputusan tentang perawatan pasien.5. Gunakan mekanisme koping adaptif.6. Hargai dan dukung mekanisme koping yang adaptif yang digunakan oleh keluarga.7. Sediakan umpan balik untuk memperhatikan koping keluarga.8. Konsultasikan dengan anggota keluarga untuk menambahkan koping yang efektif.

5. Kecemasan keluarga berhubungan dengan status kesehatan anaknya.Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan mengenai teknik menurunkan cemas selama 1 X 24 jam diharapkan kecemasan keluarga berkurang ditunjukan dengan kontrol cemas berskala 4.

a. NOC : Kontrol Cemas1. Monitor intensitas cemas2. Hilangkan penyebab cemas3. Turunkan stimulus lingkungan ketika cemas4. Cari informasi untuk menurunkan cemas5. Gunakan strategi koping yang efektif6. Laporkan kepada perawat penurunan lama cemasSkala :Skala 1 = tidak pernah dilakukanSkala 2 = jarangSkala 3 = kadang-kadangSkala 4 = seringSkala 5 = selalu dilakukan

b. NIC : Menurunkan Cemas1. Ciptakan hubungan saling percaya2. Kaji tingkat kecemasan3. Anjurkan keluarga klien untuk membicarakan kecemasan dan berikan umpan balik tentang mekanisme koping yang tepat.4. Tekankan bahwa kecemasan adalah masalah yang umum terjadi pada orang tua klien yang anaknya mengalami masalah yang sama5. Ciptakan lingkungan yang tenang, tunjukkan sikap ramah tamah dan tulus dalam membantu klien.6. Anjurkan keluarga untuk menyampaikan tentang isi perasaannya.

6. Kurang pengetahuan mengenai penyebab proses,prognosis penyakit berhubungan dengan kurangnya informasi.Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang pendidikan kesehatan mengenai proses penyakit selama 1 X 24 jam diharapkan pasien dan keluarganya dapat mengerti atau lebih paham mengenai penyakitnya ditunjukkan dengan Proses openyakit berskala 4.

a. NOC : Proses Penyakit1. Kenal nama penyakit2. Dapat menjelaskan mengenai proses penyakit3. Dapat menjelaskan sebab atau faktor yang mempengaruhi4. Dapat menjelaskan tanda dan gajala penyakit5. Dapat menjelaskan akibat dari penyakit6. Dapat menjelaskan prognosis penyakitSkalaSkala 1 = Tidak mengetahuiSkala 2 = Terbatas pengetahuannyaSkala 3 = Sedikit mengetahuiSkala 4 = Banyak pengetahuannyaSkala 5 = Intensif atau mengetahuinya secara kompleks

b. NIC : Pendidikan Kesehatan1. Identifikasi faktor dalam atau luar untuk menambah / meningkatkan motivasi mengenai tingkah laku kesehatannya.2. Tentukan hubungan individu dengan latar belakang sosial budaya pada individu, keluarga atau masyarakat mengenai tingkah laku kesehatannya.3. Hindari menggunakan teknik menakut-nakuti untuk memotivasi orang mengubah tngkah laku / gaya hidup sehatnya.4. Kembangkan materi pendidikan dengan penulisan masalah yang umum terjadi pada orang tua klien yang anaknya mengalami masalah yang sama (difteri)5. Ciptakan lingkungan yang tenang, tunjukkan sikap ramah tamah dan tulus dalam membantu klien.

7. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan pseudomembran.Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang manajemen jalan nafas selama 1 x 24 jam diharapkan bersihan jalan nafas pasien efektif ditunjukkan denganAirway patencyberskala 4.

a. NOC: Airway patency1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih2. Menunjukakan jalan nafas yang paten3. Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat menghambat jalan nafas.SkalaSkala 1 = Tidak pernah menunjukanSkala 2 = Jarang menunjukanSkala 3 = Kadang menunjukanSkala 4 = Sering menunjukanSkala 5 = Selalu menunjukan

b. NIC :Air way management1. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction2. Auskultasi suara nafas3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan4. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi5. Moniror respirasi dan starus O26. Lakukan fisioterapi dada untuk mengeluarkan sekret

8. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan proses penyakit.Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang tentang pengendalian infeksi selama 1 x 24 jam diharapkan infeksi pada pasien tidak terjadi ditunjukkan dengan pasien terhindar dari infeksi dengan skala 4.

a. NOC : Pengendalian resiko1. terbebas dari gejala an tanda-tanda infeksi2. menghindari pajanan terhadap ancaman kesehatan3. mengubah gaya idup untuk mengurangi risiko4. lekosit dalam batas normal, TTV dalam batas normalSkalaSkala 1 = Tidak pernah menunjukanSkala 2 = Jarang menunjukanSkala 3 = Kadang menunjukanSkala 4 = Sering menunjukanSkala 5 = Selalu menunjukan

b. NIC : Pengendalian infeksi1. Pantau TTV dengan ketat, khususnya adanya peningkatan frekuensi jantung dan suhu serta pernafasan yang cepat dan dangkal untuk mendeteksi rupturnya apendiks.2. Observasi adanya tanda-tanda lain peritonitis ( misal hilangnya nyeri secara tiba-tiba pada saat terjadi perforasi diikuti dengan peningkatan nyeri yang menyebar dan kaku abdomen, distensi abdomen, kembung, sendawa karena akumulasi udara, pucat, menggigil, peka rangsang untuk menentukan tindakan yang tepat.3. Hindari pemberian laksatif,karena dapat merangsang motilitas usus dan meningkatkan resiko perforasi.4. Pantau jumlah SDP sebagai indikator infeksi.5. Lindungi pasien dari kontaminasi silang.

9. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang manajemen energi selama 1 X 24 jam diharapkan pasien dapat beraktivitas tanpa mengalami kelemahan ditunjukkan dengan konservasi energi berskala 4..a. NOC : Konservasi energi1. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi, dan RR2. Mampu melakukan aktivitas secara mandiri.

b. NIC : Managemen Energi1. Tirah baring pada pasien dan bantu segala aktivitas sehari-hari, atur periode istirahat dan aktivitas2. Monitor terhadap tingkat kemampuan aktivitas, hindari aktivitas yang berlebihan3. Tingkatkan aktivitas sesuai dengan toleransi4. Monitor kadar enzim serum untuk mengkaji kemampuan aktivitas5. Monitor tanda-tanda vital dan atur perubahan posisi.6. Monitor nutrisi dan sumber energi yang adekuat.

3.4 Evaluasi -Jelaskan terapi yang diberikan: dosis, efek samping-Melakukan prosedur immunisasi jika immunisasi belum lengkap sesuai dengan prosedur -Menekankan pentingnya kontrol ulang sesuai jadual -Informasikan jika terdapat tanda-tanda terjadinya kekambuhan

BAB 4PENUTUP

4.1 KesimpulanDifteri merupakan penyakit menular yang akut , spesifik dan mencolok yang menyerang pada saluran pernafasan dan disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae . Ditandai oleh pseudo membran yang melekat , berwarna abu abu dan tumbuh pada permukaan mukosa, yaitu biasanya ada dalam saluran pernafasan atas. Secara local infeksi ini dapat menimbulkan nyeri, pembengkakan dan mungkin pula sufokasi ( gejala tercekik ). Secara sistemik, toksin difteri menyerang otot jantung dan syaraf diphtheritic adj. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.Tindakan pencegahan yang paling efektif terhadap difteri adalah imunisasi aktif dengan DPT. Penatalaksanaan yang dapat diberikan dapat berupa mandiri yaitu peeriksaaan SWAP, erawatan yang baik, dan isolasi anak dengan penjagaan yang ketat. maupun medis yaitu antitoksin, ADS, antimikriba, antibiotic, dan kortikosteroid.

4.2Saran Sebaiknya vaksinasi atau imunisasi diberikan pada usia dini untuk menambah kekebalan tubuh terhadap penyakit. Sehinga seiring berjalannya waktu tidak terjadi gangguan atau penyakit yang amat serius terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Agen yang lebih disukai untuk anak-anak berusia kurang dari 6 tahun adalah toksoid difteri, yang diberikan kombinasi dengan tetanus toksoid dan antigen pertusis (DPT). Imunisasi DPT biasanya diberikan pada usia 2,4,6, dan 18 bulan, dan 4-6 tahun. Imunisasi primer pada anak-anak berusia lebih dari 6 tahun dapat dilakukan dengan mempergunakan vaksin difteri tipe dewasa dan toksoid-serap tetanus (Td)

Lembar Pernyataan

Dengan ini saya menyatakan bahwa :Saya mempunyai kopi dari makalah ini yang bisa saya reproduksi jika makalah yang dikumpulkan hilang atau rusak.

Makalah ini adalah hasil karya kami sendiri dan bukan merupakan karya orang lain kecuali yang telah dituliskan dalam referensi, serta tidak ada seorangpun yang membuatkan makalah ini untuk kami.

Jika dikemudian hari terbukti adanya ketidakjujuran akademik, kami bersedia mendapatkan sangsi sesuai peraturan yang berlaku Surabaya, 6 Mei 2013

NAMANIMTANDA TANGAN

LintangBuanasari1312111320231.

ZeinidarAuliyaunNashiroh1312111320242.

Fitria Christina131211132053.

Arista Sulistyowati1312111330364.

ElfridaKusumaPutri1312111330185.

FaniLailatulHikmah1312111330196.

AnggerPratama1312111330277.

DyahEkaWidyaningrum1312111330288.

LEMBAR PENILAIAN

FORMAT PENILAIAN MAKALAH:No.Aspek yang DinilaiBobotKriteria Penilaian

1Pendahuluan20%Menjelaskan latar belakang, topic, tujuan, dan diskripsi singkat makalah.Supervisial, tidakSangat spesifikSpesifikdan relevan

2Pembahasan60% Sesuai dengan topic Singkat, padat, lengkap Jurnal ilmiah (terutama yang peer review atau systemtic review) 80% Buku dan sumber lain (20%) WOC ringkas dan menghubungkan semua konsep

3Kesimpulan10%Menyimpulkan makalah dengan lugas.

4Daftar Pustaka10%Literatur yang digunakan terkini dan berkualitas serta extensive, sesuai dengan pedoman APA.

5Pengurangan Nilai-3%Nilai akan mendapat pengurangan jika: Tidak mengikuti aturan penulisan referensi dengan benar. Penulisan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, termasuk tanda baca.

Komentar Fasilitator:..............................................................DAFTAR PUSTAKABerham,dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume:2Jakarta : EGC. Halaman: 958.Mansjoer Arif,dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal: 430-432.Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol 2. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman:957.Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC. Halaman:40-41.Nursalam,dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk Perawat dan Bidan) Jakarta : Salemba Medika. Halaman: 150-152.Prabowo Eko Yudho Hadi. 2012.Jurnal Perilaku Ibu dalam Pencegahan Penyakit Difteri pada Anak Usia 1-5 Tahun.20.Diakses 28 April 2013,dari Google Scholar Online. Pulungan Masnun. 2012. Jurnal Distribusi Spasial dan Faktor Risiko Difteri di Kota Malang Provinsi Jawa Timur.17-18.Diakses 28 April 2013,dari Google Scholar Online. Sari Putri Meylinda,dkk. 2012.Jurnal Pengaruh Kondisi sanitasi Rumah,Status Imunisasi dan Pengetahuan Ibu Terhadap Kejadian Difteri pada Bayi di Kota Surabaya.2.Diakses 28April 2013,dari Google Scholar Online. Soedarto. 2009. Penyakit Menular di Indonesia. Jakarta:Sagung Seto. Halaman: 130-133.Suriadi&Yuliani Rita. 2010. Asuhan Keperawatan pada Anak Edisi 2. Jakarta:Sagung Seto. Halaman 87-89.Tim Adaptasi Indonesia. 2009. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak diRumah Sakit.Jakarta : World Health Organization. Halaman: 106-107.Widoyono. 2011. Penyakit Tropis Epidemiologi,Penularan,Pencegahan dan PemberantasannyaEdisi kedua.Jakarta : EGC. Halaman: 23-26.William Lippincott dan Wilkins. 2012. Kapita Selekta Penyakit Edisi 2.Jakarta : EGC. Halaman: 173-174.6