dewan redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/jurnal forum didaktik.pdf ·...

84

Upload: trankien

Post on 06-Feb-2018

236 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan
Page 2: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan
Page 3: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

i

Dewan Redaksi

“Forum Didaktik”

Penanggung Jawab

Prof. Dr. H. Cece Rakhmat, M. Pd.

Redaktur

Ade Maftuh, M. Pd.

Penyunting

Dina Ferisa, M. Pd.

Tri Agustini Solihati, M. Pd.

Asep Rizki Mukti, M. Pd.

Rudi Permadi, M. Pd.

Mitra Bestari

Prof. Dr. H. Dedi Heriadi, M. Pd.

(Universitas Siliwangi)

Dr. Dian Indihadi, M. Pd.

(Universitas Pendidikan Indonesia)

Desain Grafis

Geri Syahril Sidik, M. Pd.

Sekretariat

Fajar Nugraha, M. Pd.

Page 4: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

ii

PANDUAN PENULISAN ARTIKEL BAGI CALON PENULIS

PADA JURNAL FORUM DIDAKTIK (JFD)

Jurnal Forum Didaktik adalah jurnal ilmiah yang difungsikan untuk menyebarluaskan

hasil penelitian dan pemikiran ilmiah tentang inovasi pendidikan. Jurnal terbit dua kali dalam

setahun yaitu bulan Januari dan bulan Juli. Jurnal diperuntukan bagi para pendidik, pemerhati,

dan praktisi pendidikan yang berkonstribusi positif dalam rangka peningkatan kualitas

pendidikan di Indonesia.

Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi-kan sebagai

rujukan dan pelengkap dalam merealisasikan tugas mendidik di lembaga-lembaga pendidikan

yang ada. Agar tulisan yang dimuat dalam jurnal forum didaktik memiliki keseragaman,

disajikan petunjuk bagi para calon penulis Jurnal Forum Didaktik sebagai berikut:

1. Artikel yang dikirim belum diterbitkan pada jurnal ilmiah lain.

2. Artikel yang ditulis untuk JFD meliputi hasil telaah (hanya atas undangan) dan hasil

penelitian di bidang kependidikan. Naskah diketik dengan program Microsoft Word,

huruf Times New Roman, ukuran 12 pts, dengan spasi 1,5 panjang maksimum 30

halaman. Pengiriman naskah melalui email : [email protected]

3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Sistematika artikel hasil

penelitian adalah judul; nama penulis, abstrak disertai kata kunci; pendahuluan, metode,

hasil dan pembahasan, simpulan, serta daftar rujukan.

4. Judul artikel dalam bahasa Indonesia sebaiknya tidak lebih dari 15 kata, dan judul artikel

dalam bahasa Inggris tidak lebih dari 12 kata. Judul dicetak dengan huruf kapital di

tengah-tengah, dengan ukuran 14 poin. Judul tidak mengandung lokasi penelitian.

5. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar akademik, alamat instansi, disertai akun email

dan ditempatkan di bawah judul artikel. Berjarak 2 spasi dari judul, ukuran huruf 12.

6. Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris). Abstrak berisi

tujuan penelitian, pendekatan atau desain penelitian, hasil penelitian, dan implikasi

penelitian. Panjang masing-masing abstrak maksimum 150 kata. Berjarak 2 spasi dari

nama penulis. Ukuran huruf 10 poin, menggunakan rata kiri-dan kanan. Kata kunci terdiri

atas 3-5 kata atau gabungan kata dan merujuk pada konsep penting penelitian.

7. Bagian pendahuluan berisi latar belakang, konteks penelitian, hasil kajian pustaka, dan

tujuan penelitian. Latar belakang memuat 2-3 alasan penting, berisi teori yang digunakan

sebagai dasar menjawab rumusan masalah, dan mencantumkan 2-3 penelitian terdahulu

yang mirip. Seluruh bagian pendahuluan dipaparkan secara terintegrasi dalam bentuk

paragraf. Panjang pendahuluan 10-15% dari keseluruhan jumlah halaman artikel.

8. Bagian metode berisi paparan dalam bentuk paragraf tentang rancangan penelitian

(pendekatan dan desain penelitian). Memuat sumber data/subjek

penelitian/populasi/sampel. Mencantumkan instrumen penelitian, teknik pengumpulan

data, dan analisis data secara nyata dilakukan oleh peneliti. Panjang halaman 10-15% dari

keseluruhan jumlah halaman artikel.

9. Bagian hasil penelitian berisi paparan hasil analisis yang berkaitan dengan pertanyaan

penelitian. Setiap hasil penelitian berisi deskripsi hasil penelitian dan sesuai dengan

tujuan penelitian. Pembahasan berisi jawaban atas masalah penelitian/bagaimana tujuan

penelitian itu dicapai. Selain itu dalam pembahasan menafsirkan temuan-temuan,

mengintegrasikan temuan penelitian ke dalam kumpulan pengetahuan, dan menyusun

Page 5: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

iii

teori baru/menolak ataupun memodifikasi teori yang sudah ada. Panjang hasil dan

pembahasan penelitian 60% dari keseluruhan jumlah artikel.

10. Bagian simpulan berisi temuan penelitian berupa jawaban atas pertanyaan penelitian yang

diajukan atau berupa intisari hasil pembahasan. Simpulan disajikan dalam bentuk esai

yang komunikastif dengan kalimat variatif.

11. Daftar rujukan memuat sumber yang dirujuk dan semua sumber yang dirujuk harus

tercantum dalam daftar rujukan. Daftar rujukan berisi sumber relevan, mutahkir (10 tahun

terakhir), dan sumber primer 80%. Sumber rujukan primer yang digunakan berupa artikel

penelitian dalam jurnal atau laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi).

12. Pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama akhir, tahun). Pencantuman

sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai keterangan tentang nomor halaman

tempat asal kutipan. Contoh: (Syahril, 2017:47).

13. Daftar rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini dan diurutkan secara

alfabetis dan kronologis.

Buku:

Akbar, Sa’dun. 2013. Intrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya.

Jalongo, M.R. 2007. Early Childhood Language Arts Fourth Edition. Boston: Pearson

Education.

Artikel dalam Jurnal atau Majalah:

Nurjamin, A. 2011. Tipe Isi dan Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Buku Ajar SD.

Jurnal Ilmu Pendidikan, 20 (1):48-54.

Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian:

Syahril, G S. 2014. Analisis Proses Berpikir dalam Pemahaman Matematika Siswa

dengan Pemberian Scaffolding. Tesis. Bandung: Universitas Pendidikan Indoensia.

Makalah Seminar, Lokakarya, Penataran:

Zamzani. 2014. Eksistensi Bahasa Indonesia Dalam Pendidikan Berbasis Keragaman

Budaya. Makalah disajikan dalam Seminar Internasional Berbasis Budaya:

Sumbangan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS Universitas Negeri Jogjakarta,

Jakarta, 4−6 November.

Internet (tulisan/berita dalam koran, tanpa nama pengarang):

Republika.co.id. 2014. Aduan Bullying Tertinggi. (Online), (http://www.republika.co.id),

Rabu, 15 Oktober 2014.

14. Artikel berbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia dan istilah-

istilah yang dibakukan oleh Pusat Bahasa.

15. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewers) yang ditunjuk oleh

penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk

melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau

penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahuan secara tertulis

melalui email pengirim.

16. Segala sesuatu yang menyangkut perizinan pengutipan untuk pembuatan naskah terkait

dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konkuensi hukum yang

mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel.

Dewan Redaksi

Page 6: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

iv

PENGANTAR

Forum Didaktik adalah jurnal yang lahir dan terbentuk di bawah Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Perjuangan Tasikmalaya. Edisi perdana jurnal ini memuat tujuh karya

akademik yang bersumber dari hasil penelitian dan kajian literatur para dosen. Enam

diantaranya berasal dari dosen tetap yang berada di lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan UNPER, dan satu orang lainnya berasal dari Perguruan Tinggi negeri di wilayah

Priangan Timur. Naskah tersebut terbagi menjadi 3 gagasan utama dalam isu pendidikan,

yaitu kompetensi guru, media pembelajaran, dan model pembelajaran.

Hasil penelitian Fajar Nugraha menyajikan bahasan mengenai kompetensi guru. Sedangkan

hasil penelitian Tri Agustini Solihati, Rudi Permadi, dan Geri Syahril Sidik membahas

mengenai penggunaan dan pengembangan media pembelajaran. Topik terakhir

yaitu model pembelajaran yang dimunculkan merukan hasil penelitian Dedi

Heryadi, Asep Rizki Mukti, dan Dina Ferisa.

Redaktur

Page 7: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

v

DAFTAR ISI

Hal.

Dewan Redaksi ..................................................................................................................... i

Petunjuk Bagi Penulis .......................................................................................................... ii

Pengantar .............................................................................................................................. iv

Daftar Isi ............................................................................................................................... v

Analisis Proses Berpikir Siswa Sekolah Dasar dalam Memahami Aplikasi Operasi Hitung

Matematika dengan Pemberian Scaffolding

Geri Syahril Sidik1, Fajar Nugraha

2, Dina Ferisa3 (Universitas Perjuangan

Tasikmalaya)..........................................................................................................................

1

Menumbuhkan Karakter Akademik dalam Perkuliahan Berbasis Logika

Dedi Heryadi (Universitas Siliwangi Tasikmalaya).............................................................

8

The Effects of Short Story and Vocabulary Mastery on the Students’ Reading

Comprehension (Experiment at the Eleventh Grade of Private Islamic Senior High

School in Tasikmalaya-West Java)

Rudi Permadi (Perjuangan University of Tasikmalaya).......................................................

20

Pembelajaran Naskah Drama Melalui Bedah Naskah

Ridzky Firmansyah Fahmi (Universitas Siliwangi Tasikmalaya).........................................

32

The Analysis of Students’ Errors in Making Passive Voice

Asep Rizki Mukti, Perjuangan University of Tasikmalaya...................................................

41

English Vocabulary Teaching Through Active Learning (Classroom Action Research On

English Lesson At Grade One of SDN Banjaran Tasikmalaya)

Tri Agustini Solihati, Perjuangan University of Tasikmalaya..............................................

56

Analisis Kompetensi Menyusun Instrumen Penilaian IPS Di Sekolah Dasar (Penelitian

Deskriptif Kualitatif pada Guru Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Cipedes Kota

Tasikmalaya).

Fajar Nugraha (Universitas Perjuangan Tasikmalaya).......................................................

64

Penerapan Model Kooperatif Learning dengan Tipe Talking Stick pada Pengajaran IPS

untuk Meningkatkan Proses dan Mendapatkan Hasil Belajar Siswa di Kelas VB SDN

Karapyak 1 Kabupaten Sumedang Utara Tahun Pelajaran 2015/2016

Rana Gustian Nugraha1, Dissa Revitasari

2 (Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan

Sebelas April Sumedang).......................................................................................................

71

Page 8: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

1

ANALISIS PROSES BERPIKIR SISWA SEKOLAH DASAR

DALAM MEMAHAMI APLIKASI OPERASI HITUNG MATEMATIKA

DENGAN PEMBERIAN SCAFFOLDING

Geri Syahril Sidik1, Fajar Nugraha

2, Dina Ferisa

3

Universitas Perjuangan Tasikmalaya

[email protected], [email protected]

2, [email protected]

3

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi dari keunikan hasil jawaban siswa SD kelas IV mengenai materi

aplikasi operasi hitung. Jawaban menggambarkan kemampuan memahami operasi hitung siswa

masih rendah. Tujuan penelitian untuk memperoleh gambaran tentang proses berpikir siswa,

kesulitan dan scaffolding yang diberikan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif.

Diperoleh data berdasarkan lembar tugas yang diberikan kepada seluruh siswa untuk mengetahui

proses berpikir sebelum mendapatkan scaffolding. Dipilih enam orang siswa dengan kemampuan

matematika baik, sedang, dan rendah. Siswa yang terpilih melalui tahap wawancara klinis dan

scaffolding untuk melihat proses berpikirnya. Berdasarkan analisis data diperoleh bahwa proses

berpikir diklasifikasikan ke dalam dua jenis, yaitu proses berpikir instrumental dan relasional

instrumental. Subjek banyak kesulitan dalam merubah persoalan ke dalam kalimat matematika.

Kesulitan yang dialami subjek dapat diatasi dengan pemberian scaffolding. Dengan dasar temuan

pada penelitian ini, disarankan pada guru untuk menggunakan teknik scaffolding dalam

pembelajaran dengan memperhatikan pemahaman siswa terhadap penguasaan konsep operasi

hitung matematika.

Kata kunci: proses berpikir, operasi hitung matematika, pemberian scaffolding

THE ANALYSIS OF ELEMENTARY SCHOOL STUDENTS’

THINKING PROCESS ON COMPREHENDING MATHEMATICS

OPERATION THROUGH SCAFFOLDING

ABSTRACT

The research carried out when seeing the fourth grade elementary school students‟ unique

results answer of mathematic counting operation application topic. Those answers described their

capabilities of mathematic counting operation is still low. The purpose of the research is to achieve

the students‟ thinking process description, the difficulties, and scaffolding given. This is

descriptive qualitative research. The data obtained from the tasks given to the students to recognize

the students‟ thinking process before getting scaffolding. Six students were chosen with different

mathematic capabilities; high, middle and low. The chosen students‟ experienced clinic interview

and scaffolding to have their thinking process. The analysis data shows that the thinking process

classified into two categories, instrumental thinking process and relational instrumental thinking

process. The students got many difficulties in converting the problems into mathematic sentences,

and doing counting operation (subtraction, multiplication and division). The difficulties can be

maintained by scaffolding. With the research findings,the researchers suggests the teacher to use

scaffoldings technique in learning process by noticing the students‟ comprehension on mathematic

counting operation concepts

Key words: thinking process, mathematic counting operation, scaffolding giving

Page 9: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

2

PENDAHULUAN

Operasi hitung merupakan salah satu

materi yang dipelajari untuk

menyederhanakan dan memecahkan

permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.

Operasi hitung dalam matematika terdiri

dari operasi penjumlahan, pengurangan,

perkalian dan pembagian. Hal ini dapat

dilihat dalam silabus kurikulum 2013 untuk

tingkat Sekolah Dasar (SD) kelas tiga dalam

Kompetensi Dasar 4.1 “Menyelesaikan

masalah yang berkaitan dengan

penjumlahan, pengurangan, perkalian,

pembagian, bilangan bulat, waktu, panjang,

berat benda dan uang terkait dengan

aktivitas sehari-hari di rumah, sekolah, atau

tempat bermain dan memeriksa

kebenarannya serta menyatakan kalimat

matematikanya dan mengemukakan dengan

kalimat sendiri”.

Sejauh ini masih banyak siswa yang

mengalami kesulitan dalam

mengaplikasikan operasi hitung untuk

memecahkan persoalan dalam kehidupan.

Sidik, (2014) menyatakan bahwa “pada

umumnya subjek kesulitan dalam tahap

pemahaman soal. Subjek lemah dalam

pemahaman konsep, akibatnya subjek salah

menerjemahkan soal ke dalam model

matematika”. Kesulitan-kesulitan yang

dihadapi siswa bukan disebabkan tidak

mampu melakukan perhitungan saja

melainkan siswa tidak memahami

permasalahan.

Memahami konsep matematika

merupakan salah satu tujuan diajarkannya

matematika. Depdiknas (2006)

menyebutkan bahwa salah satu tujuan

diajarkannya matematika adalah memahami

konsep matematika, menjelaskan keterkaitan

antar konsep dan mengaplikasikan konsep

atau algoritma secara luwes, akurat, efisien,

dan tepat dalam pemecahan masalah.

Namun masih banyak siswa mengalami

kesulitan dalam memahami masalah

matematika saat belajar.

Dalam proses pembelajaran,

munculnya kesulitan untuk memahami suatu

konsep merupakan hal yang wajar. Itu

menggambarkan bahwa siswa sedang

melakukan proses berpikir. Mereka

berusaha untuk mengintegrasikan informasi

baru ke dalam struktur kognitif yang telah

dimilikinya. Marpaung (1986) mengatakan

“proses berpikir adalah proses yang dimulai

dari penemuan informasi (dari luar atau diri

siswa), pengolahan, penyimpanan dan

memanggil kembali informasi itu dari

ingatan siswa.”

Proses berpikir siswa akan terstruktur

berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh

siswa tersebut. Pengetahuan awal setiap

siswa tidaklah sama sehingga kesulitan yang

dihadapi setiap siswa pasti berbeda. Suatu

situasi mungkin merupakan masalah bagi

seseorang pada waktu tertentu, akan tetapi

belum tentu merupakan masalah baginya

pada saat yang berbeda, Sidik (2014).

Sebagai seorang guru atau orang yang

membimbing mereka belajar, sebaiknya kita

dapat mengenali dan memahami kesulitan-

kesulitan yang dihadapi oleh siswa. Karena

jika dibiarkan kesulitan tersebut tidak lagi

menjadi sebuah kewajaran, melainkan suatu

masalah yang dapat menghambat

perkembangan intelektual siswa.

Pada kenyataanya justru guru tidak

menyadari bahwa kesulitan-kesulitan yang

dihadapi siswa disebabkan oleh kurangnya

perhatian, pemahaman dan peran guru di

dalam proses pembelajaran. Selain itu, tidak

jarang bantuan atau intervensi yang

diberikan guru kurang memperhatikan letak

kesulitan siswa. Terkadang guru justru

memberikan bantuan di saat siswa mampu,

jelas hal ini akan membuat siswa merasa

terganggu sedangkan di saat siswa merasa

memerlukan bantuan justru diabaikan. Salah

satu teori yang membahas mengenai tingkat

kesulitan siswa serta konsep pemberian

bantuan adalah teori kontruktivisme

Vygotsky.

Vygotsky (dalam Sidik, 2014)

menyatakan bahwa interaksi sosial

merupakan faktor terpenting dalam

mendorong perkembangan kognitif

seseorang. Seseorang akan dapat

menyelesaikan permasalahan yang tingkat

kesulitannya lebih tinggi dari kemampuan

dasarnya setelah ia mendapat bantuan dari

Page 10: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

3

seseorang yang lebih mampu (lebih

kompeten). Vygotsky menyebut bantuan

yang demikian ini dengan dukungan

dinamis atau Scaffolding. Sebenarnya

pemberian Scaffolding oleh guru sudah

banyak dilakukan saat pembelajaran.

Namun praktik pemberian Scaffolding yang

telah dilakukan tidak terencana sehingga

tidak diperoleh suatu gambaran mengenai

pola pikir siswa ketika memperoleh

Scaffolding selama pembelajaran

berlangsung. Gambaran mengenai pola pikir

siswa ini seharusnya dicermati dan

selanjutnya dapat dipakai sebagai salah satu

bahan acuan untuk melakukan perbaikan

perencanaan maupun pelaksanaan

pembelajaran berikutnya. Berdasarkan latar

belakang tersebut, peneliti tertarik untuk

memperoleh gambaran tentang proses

berpikir, kesulitan dan scaffolding yang

diberikan kepada siswa sekolah dasar dalam

memahami aplikasi operasi hitung

matematika.

METODE

Penelitian ini mendeskripsikan

tahapan proses berpikir siswa dalam

menyelesaikan suatu masalah matematika

dengan pemberian scaffolding. Proses

berpikir siswa diamati dengan mencermati

(mengkaji) hasil kerja siswa dalam

menyelesaikan suatu masalah yang

dihadapi. Ketika siswa menemui kesulitan

dalam menyelesaikan permasalahan, guru

mengajukan pertanyaan atau pernyataan

untuk memberikan bantuan (scaffolding)

pada siswa, supaya siswa dapat melanjutkan

penyelesaian masalah yang dihadapinya.

Tindakan ini merupakan suatu upaya untuk

mengetahui proses berpikir siswa dalam

memahami aplikasi operasi hitung dengan

pemberian scaffolding.

Aktivitas ini diharapkan dapat

mengungkap pokok permasalahan mendasar

yang dialami oleh siswa ketika

menyelesaikan soal matematika yang

merupakan masalah. Selanjutnya dicermati

tahap-tahap proses berpikir siswa serta

bantuan apa saja yang diperlukan siswa

tersebut untuk sampai pada kemampuan

menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

Data yang diperoleh dalam penelitian ini

adalah data verbal, oleh karenanya

penelitian ini termasuk penelitian kualitatif

– deskriptif – eksploratif.

Untuk mengetahui proses berpikir

siswa dalam memahami operasi hitung

matematika sebelum mendapatkan bantuan

dari peneliti (sebelum pemberian

scaffolding), peneliti memberikan lembar

tugas. Lembar tugas yang digunakan dalam

penelitian ini disusun untuk mengetahui

proses berpikir siswa kelas IV di SDN

Nagarasari 1 Kota Tasikmalaya dalam

menyelesaikan masalah sederhana terkait

dengan aplikasi operasi hitung matematika.

Permasalahan mendasar yang terkait dengan

aplikasi operasi hitung matematika adalah

siswa kesulitan menerjemahkan soal cerita

ke dalam kalimat matematika dan kesulitan

mengoperasikan operasi hitung

pengurangan, perkalian dan pembagian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Berpikir Dalam Memahami

Aplikasi Operasi Hitung Matematika

Secara rinci, proses berpikir dalam

memahami aplikasi operasi hitung

matematika yang terjadi pada penelitian ini

dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Proses berpikir Instrumental

Proses berpikir instrumental ditandai

dengan jawaban subjek yang tidak relevan

dengan maksud soal. Subjek terkesan

sembarang dalam menjawab dan hanya

memperhatikan angka yang ada dalam soal.

Proses ini terjadi pada S5 dan S6 ketika

mengerjakan Q2 dan Q3.

b. Proses berpikir relasiona linstrumental

Proses berpikir relasional instrumental

ditandai dengan subjek yang mencoba

mencari makna soal menggunakan logika

berpikirnya kemudian melanjutkan

perhitungan secara algoritmik. Proses ini

dapat dikategorikan menjadi:

1) Relasional kuat, instrumental kuat

Proses berpikir ini ditandai dengan

jawaban subjek yang relevan dengan

maksud soal. Kategori ini terjadi pada S1dan

S2 ketika mengerjakan Q1 dan Q3, terjadi

pada S3, S4dan S5 ketika mengerjakan Q1.

Page 11: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

4

2) Relasional kuat, instrumental lemah

Proses berpikir ini ditandai dengan

jawaban subjek yang relevan dengan

maksud soal, namun masih salah dalam

melakukan operasi hitung. Secara konsep

sudah sesuai, namun secara teknis

pengerjaan masih lemah. Kategori ini terjadi

pada S1,S2, S3, S4 ketika mengerjakan Q2,

terjadi pada S5 dan S6 ketika mengerjakan

Q1.

3) Relasional lemah instrumental kuat

Proses berpikir ini ditandai dengan

jawaban subjek yang tidak relevan dengan

maksud soal, namun subjek dapat

melakukan perhitungan dengan baik

walaupun hasilnya tidak sesuai maksud soal.

Subjek keliru membuat model matematika

dari soal, tetapi subjek dapat melakukan

perhitungan menurut model matematika

yang dibuatnya. Secara konsep masih

lemah, namun secara teknis pengerjaan

sudah bagus.Kategori ini terjadi pada S3, S5

dan S6 ketika mengerjakan Q3.

4) Relasional lemah instrumental lemah

Proses berpikir ini ditandai dengan

jawaban subjek yang tidak relevan dengan

maksud soal dan salah dalam perhitungan,

namun dalam pengerjaan masih dalam

koridor materi yang dimaksudkan oleh soal.

Kategori ini terjadi pada S5 dan S6 ketika

mengerjakan Q2.

Berdasarkan hasil penelitian yang

telah dipaparkan, dapat diketahui bahwa

proses berpikir merupakan aktifitas kognitif

subjek dalam memahami aplikasi operasi

hitung matematika ketika menyelesaikan

masalah. Proses berpikir subjek tercermin

pada langkah-langkah kerja yang mereka

tulis dalam memahami masalah matematika

yang mereka hadapi, maupun ungkapan

verbal yang mereka kemukakan terkait

langkah-langkah kerja yang mereka

tuliskan. Hal ini sependapat dengan Herbert

(dalam Siswono, 2002:46) menyatakan

bahwa “Proses berpikir dalam belajar

matematika adalah kegiatan mental yang

ada dalam pikiran subjek. Karena itu untuk

mengetahuinya hanya dapat diamati melalui

proses cara mengerjakan tes dan hasil yang

ditulis secara terurut. Selain itu ditambah

dengan wawancara mendalam mengenai

cara kerjanya”.

Kesulitan Dalam Memahami Aplikasi

Operasi Hitung Matematika

Pada umumnya, subjek kesulitan pada

tahap merubah soal cerita ke dalam kalimat

matematika. Kesulitan tersebut terjadi

karena subjek kurang memahami bahasa,

kalimat atau konsep matematika yang ada

pada soal. Hal ini menunjukkan bahwa

subjek belum mampu menyelesaikan soal

pemahaman relasional yaitu soal yang

menunjukkan kemampuan subjek dalam

menguasai suatu konten yang dikaitkan

dengan konten yang lain kemudian

menyelesaikannya, (Skemp, 2006).

Dalam hal ini yaitu memahami

maksud soal dan menghubungkannya

dengan model matematika. Menurut

Michener (Sumarmo, 1987:24) untuk

memahami suatu objek secara mendalam

seseorang harus mengetahui: (1) objek itu

sendiri; (2) relasinya dengan objek lain

yang sejenis; (3) relasinya dengan objek lain

yang tidak sejenis; (4) relasi dual dengan

objek lainnya yang sejenis; dan (5) relasi

dengan objek dalam teori lainnya. Pendapat

lain disampaikan oleh Soekisno, (2002:3)

yang mengatakan bahwa: Soal-soal yang berkaitan dengan bilangan

tidaklah begitu menyulitkan subjek, namun

soal-soal yang menggunakan kalimat,

sangat menyulitkan bagi subjek yang

kurang memiliki kemampuan dalam

berhitung. Kesulitan-kesulitan yang

dihadapi subjek bukan disebabkan tidak

mampu melakukan perhitungan saja

melainkan subjek tidak memahami

permasalahan. Hal ini diakibatkan karena

subjek tidak terbiasa mengerjakan soal yang

kontekstual atau soal yang dikemas dalam

cerita.

Subjek berusaha menerjemahkan

secara langsung kata-kata kunci dalam soal

untuk menyelesaikan masalah yang terdapat

dalam soal. Tindakan yang dilakukan oleh

subjek akan mengarahkan kepada jawaban

yang salah. Kesalahan yang dilakukan

subjek dapat terjadi diantaranya karena

subjek kurang dapat memahami tentang apa

yang diketahui dan ditanyakan dalam soal

cerita, sehingga ketika menyusun rencana

Page 12: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

5

penyelesaian dan dilanjutkan dengan

melakukan perhitungan, subjek akan

melakukan kesalahan.

Kesulitan subjek banyak juga terjadi

pada saat melakukan operasi hitung.

kesulitan-kesulitan disebabkan karena

pemahaman konsep operasi hitung yang

dimiliki subjek sangat lemah. Banyak subjek

yang masih belum memahami maksud dari

operasi hitung dasar seperti penjumlahan,

pengurangan, perkalian atau pembagian.

Akibatnya subjek lemah dalam

mengoperasikan operasi hitung tersebut.

Kebanyakan subjek mengalami kesulitan

pada saat melakukan operasi hitung

pengurangan, perkalian dan pembagian.

Terlihat bahwa pemahaman instrumental

menurut Skemp (2006) yaitu kemampuan

subjek dalam memahami konten tertentu

secara algoritmik, belum dikuasai dengan

baik oleh subjek.

Kesulitan yang terjadi pada proses

berpikir dalam memahami aplikasi operasi

hitung matematika ini memberikan

gambaran bahwa subjek yang memiliki

pemahaman relasional lebih sedikit

mengalami kesulitan dibandingkan dengan

subjek yang hanya memiliki pemahaman

instrumental. Jawaban subjek yang berpikir

instrumental lebih mengarah kepada

jawaban sembarangan sedangkan jawaban

subjek yang berpikir relasional instrumental

cenderung ada konstruksi logis dalam

menyelesaikan persoalan.

Scaffolding Dalam Memahami Aplikasi

Operasi Hitung Matematika Kesulitan dalam berpikir subjek dapat

terungkap dan teratasi dengan pemberian

scaffolding. Scaffolding tersebut dilakukan

setelah mengetahui bentuk kesulitan yang

dialami subjek. Kegiatan scaffolding dalam

proses berpikir subjek yang diberikan

mengacu pada tingkatan Scaffolding yang

dikemukakan Anghileri (2006) adalah

sebagai berikut;

Proses Berpikir Instrumental

Scaffolding yang diberikan pada jenis

berpikir ini antara lain:

1) Meminta subjek mengulangi membaca

soal

2) Memberikan kesempatan kepada subjek

untuk memahami kalimat yang

dibacakan.

3) Memberikan analogi dengan kasus

serupa yang cenderung lebih mudah

dipahami subjek

4) Memberikan pemahaman konsep terkait

materi yang dihadapi

5) Mengajukan pertanyaan arahan hingga

subjek memahami masalah.

6) Meminta subjek melakukan refleksi

terhadap jawaban sehingga dapat

menemukan kesalahan

7) Diskusi tentang jawaban dan

memberikan pertanyaan-pertanyaan

arahan sampai subjek menyadari

kesalahannya

8) Memeriksa kembali kepahaman subjek

terhadap masalah

9) Meminta subjek menyusun kembali

rancangan jawaban dan memperbaiki

pekerjaannya.

Proses Berpikir Relasional Instrumental

1) Relasional kuat, instrumental kuat

Tidak ada scaffolding yang diberikan

peda jenis berpikir ini.

2) Relasional kuat, instrumental lemah

Scaffolding yang diberikan pada jenis

berpikir ini antara lain:

(a) Meminta subjek melakukan refleksi

terhadap jawaban sehingga dapat

menemukan kesalahan.

(b) Diskusi tentang jawaban dan

memberikan pertanyaan-pertanyaan

arahan sampai subjek menyadari

kesalahannya.

(c) Memeriksa kembali pemahaman

subjek terhadap masalah

(d) Meminta subjek menyusun kembali

rancangan jawaban dan

memperbaiki pekerjaannya

3) Relasional lemah instrumental kuat

(a) Meminta subjek mengulangi

membaca soal

(b) Peneliti memberikan kesempatan

kepada subjek untuk memahami

kalimat yang dibacakan.

(c) Memberikan analogi dengan kasus

serupa yang cenderung lebih mudah

dipahami subjek

Page 13: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

6

(d) Memberikan pemahaman konsep

terkait materi yang dihadapi

(e) Mengajukan pertanyaan arahan

hingga subjek memahami masalah.

4) Relasional lemah instrumental lemah

(a) Meminta subjek mengulangi

membaca soal

(b) Peneliti memberikan kesempatan

kepada subjek untuk memahami

kalimat yang dibacakan.

(c) Memberikan analogi dengan kasus

serupa yang cenderung lebih mudah

dipahami subjek

(d) Mengajukan pertanyaan arahan

hingga subjek memahami masalah.

(e) Meminta subjek melakukan refleksi

terhadap jawaban sehingga dapat

menemukan kesalahan

(f) Diskusi tentang jawaban dan

memberikan pertanyaan-pertanyaan

arahan sampai subjek menyadari

kesalahannya

(g) Memeriksa kembali kepahaman

subjek terhadap masalah

(h) Meminta subjek menyusun kembali

rancangan jawaban dan

memperbaiki pekerjaannya.

Dalam memahami aplikasi operasi

hitung matematika, subjek mengalami

empat tahapan, yaitu pemahaman soal,

mengubah soal ke dalam model matematika,

melakukan operasi hitung dan menarik

kesimpulan. Sejalan dengan Margaret

(2006) menyatakan ada empat dimensi

pemahaman matematik sebagai kerangka

dasar dalam memecahkan masalah, yaitu:

(a) reading/extracting allinformation from

the question (membaca/ mendapatkan semua

informasi dari pertanyaan); (b) real-life and

common sense approach to solving

problems (pendekatan kehidupan nyata dan

akal sehat untuk menjawab soal); (c)

mathematics concepts, mathematisation and

reasoning (konsep matematika,

matematisasi dan pemberian alasan); dan (d)

Standard computational skills

andcarefulness in carrying out computations

(keterampilan dan ketelitian berhitung

standar).

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian tentang proses

berpikir yang dilaksanakan di kelas IV SDN

Nagarasari 1 Kota Tasikmalaya,

disimpulkan bahwa subjek mengalami dua

jenis proses berpikir, yaitu proses berpikir

instrumental dan proses berpikir relasional

instrumental. Proses berpikir relasional

instrumental terdiri dari empat bagian, yaitu

(1) relasional kuat instrumental kuat, (2)

relasional kuat instrumental lemah, (3)

relasional lemah instrumental kuat, (4)

relasional lemah instrumental lemah.

Selain itu terdapat empat tahapan

proses berpikir dalam memahami operasi

hitung matematika yang ditemukan dalam

penelitian yaitu tahapan pemahaman soal,

mengubah soal ke dalam model matematika,

melakukan operasi hitung dan menarik

kesimpulan. Tahapan memahami soal dan

mengubah soal ke dalam model matematika

digolongkan ke dalam jenis pemahaman

relasional sedangkan tahapan melakukan

operasi hitung dan menarik kesimpulan di

golongkan ke dalam jenis pemahaman

instrumental.

Pada umumnya subjek kesulitan

dalam tahap pemahaman soal.Subjek lemah

dalam pemahaman konsep, akibatnya subjek

salah menerjemahkan soal ke dalam model

matematika. Selain itu subjek kesulitan

dalam tahap melakukan perhitungan.

Kebanyakan subjek mengalami kesulitan

pada saat melakukan operasi hitung

pengurangan, perkalian dan pembagian. Hal

itu menunjukkan bahwa kemampuan

memahami aplikasi operasi hitung

matematika subjek (pemahaman relasional

dan pemahaman instrumental) masih lemah.

Scaffolding yang diberikan berkaitan dengan

kesulitan yang dialami subjek dalam proses

berpikir diantaranya:

1. Proses Berpikir Instrumental

Scaffolding yang diberikan berupa

pemberian kesempatan kepada subjek untuk

memahami setiap kalimat dalam soal,

memberikan analogi kasus serupa yang

cenderung lebih mudah dipahami subjek,

memberikan pemahaman konsep terkait

materi yang dihadapi dan memberi

penjelasan terkait prosedur pengerjaan.

Page 14: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

7

Pemberian scaffolding cenderung lebih sulit

dan memerlukan waktu yang cukup lama.

2. Proses berpikir Relasional

Instrumental

a. Relasional kuat, instrumental kuat

Scaffolding yang diberikan berupa

pertanyaan arahan untuk mencari alternatif

lain dalam penyelesaian masalah yang

dihadapi.

b. Relasional kuat, instrumental lemah

Scaffolding yang diberikan berupa

permintaan melakukan refleksi terhadap

jawaban, pertanyaan-pertanyaan arahan

sehingga subjek dapat menemukan

kesalahan

c. Relasional lemah instrumental kuat

Scaffolding yang diberikan berupa

pemberian kesempatan kepada subjek untuk

memahami setiap kalimat dalam soal,

memberikan analogi kasus serupa yang

cenderung lebih mudah dipahami subjek.

d. Relasional lemah instrumental lemah

Scaffolding yang diberikan berupa

pemberian kesempatan kepada subjek untuk

memahami setiap kalimat dalam soal,

memberikan analogi kasus serupa yang

cenderung lebih mudah dipahami subjek,

memberikan pemahaman konsep terkait

materi yang dihadapi dan memberi

penjelasan terkait prosedur pengerjaan.

DAFTAR RUJUKAN

Anghileri, J. 2006. Scaffolding Practices

That Enhance Mathematics

Learning, Journal of Mathematics

Teacher Education, 9, 33-52.

Depdiknas. 2006. Kurikulum 2006. Jakarta:

Media Makmur Majumandiri.

Margaret, W. 2006. Modelling Mathematics

Problem Solving Item Responses

Using a Multidimensional IRT

Model: University of Melbourne,

Mathematics Education Research

Journal, 18(2), 93-113.

Marpaung, Y. 1986. Proses Berpikir Siswa

dalam Pembentukan Konsep

Algoritma Matematis. Makalah

Pidato Dies Natalies XXXI IKIP

Sanata Dharma Salatiga, 25 Oktober

1986.

Syahril, G S. 2014. Analisis Proses Berpikir

dalam Pemahaman Matematika

Siswa dengan Pemberian

Scaffolding. Tesis. Bandung:

Universitas Pendidikan Indonesia.

Siswono, Y. E. 2002. Proses Berpikir Siswa

dalam Pengajuan Soal. Jurnal

Nasional Matematika, ISSN: 0852-

7792, hlm. 44-50.

Skemp, R. 2006. Relational Understanding

and Instrumental Understanding,

Journal of Mathematics Teaching in

The Middle School, 12 (2), 88 – 95.

Soekisno B.A.R. 2002. Kemampuan

Pemahaman Matematik Matematika

Siswa Dengan Strategi Heuristik.

Tesis. Bandung: Universitas

Pendidikan Indonesia.

Sumarmo, U. 1987. Kemampuan

Pemahaman dan Penalaran

Matematika Siswa SMA dikaitkan

dengan kemampuan penalaran logik

siswa dan beberapa unsur proses

belajar mengajar. Disertasi.

Universitas Pendidikan Indonesia.

Page 15: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

8

MENUMBUHKAN KARAKTER AKADEMIK

DALAM PERKULIAHAN BERBASIS LOGIKA

Dedi Heryadi

Universitas Siliwangi Tasikmalaya

[email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji urutan perkuliahan berbasis logika, dan

mengetahui pengaruhnya terhadap tumbuhnya karakter akademik mahasiswa (ketelitian berpikir,

sikap kritis, dan tanggung jawab). Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian dan

Pengembangan, dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah observasi, wawancara

dan pengukuran (test). Pelaksanaan penelitian dilakukan pada mahasiswa semester pertama di

FKIP, Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Data dioleh secara kuantitatif dan kualitatif. Hasilnya

diketahui bahwa urutan model perkuliahan berbasis logika berpengaruh positif terhadap

tumbuhnya karakter akademik mahasiswa (ketelitian berpikir, sikap kritis, dan tanggung jawab).

Diharapkan hasil penelitian ini ditindaklanjuti dan divalidasi oleh orang-orang yang memiliki

profesi yang sama.

Kata kunci: model perkuliahan, logika, karakter akademik, ketelitian berpikir, sikap kritis,

tanggung jawab

GROWING ACADEMIC CHARACTERS

IN LOGICAL-BASED LECTURING

ABSTRACT The aim of this research are to study a logical-based lecturing order, and to recognize it‟s

impact toward the growth student accademic characters ( precision thinking, critical atitude, and

responsibility). The method used in this study is Research and Development. Besides the tecnique

of data collecting was taken by observation, interview, and examination. The research held for

student in 1st semester of 2015/2016 accademic year at Faculty of Teacher Training and Education

Siliwangi University Tasikmalaya. The data were processed quantitativeli and qualitatively. The

result know that syntax of lacturing based on the logic model have a positive impact toward

student accademic characters ( precision thinking, critcal attitude, and reponsibility). To strether

this research result the it is suggested that the research should be followed up and validated by

whom in the same profesion.

Key words : lecturing model, logic, accademic characters, precision thinking, critical attitude,

and responsibility.

PENDAHULUAN

Dalam interaksi belajar mengajar di

Universitas Siliwangi Tasikmalaya peristiwa

menyimak penjelasan dosen masih

merupakan andalan yang ditempuh

mahasiswa. Dari hasil Audit Mutu Internal

Universitas Siliwangi pada tahun 2014

diketahui bahwa rata-rata dua pertiga dari

alokasi waktu perkuliahan yang tersedia

digunakan oleh mahasiswa untuk

mendengarkan kuliah dari para dosennya.

Keadaan demikian sejalan dengan temuan

Fahinu (2013:163) bahwa proses

pembelajaran di perguruan tinggi masih

banyak penekanannya pada pembelajaran

berupa hapalan bukan penalaran, sehingga

kemampuan berpikir kritis mahasiswa tidak

berkembang.

Perkuliahan yang bersifat ekspositori

tersebut tidak berkategori jelek, jika

perkuliahan itu menghantarkan para

mahasiswa menjadi manusia yang kritis,

kreatif, mandiri, demokratis, kompetitif,

serta bertanggung jawab dalam menghadapi

pelbagai masalah kehhidupan. Perkuliahan

di perguruan tinggi tidak hanya diarahkan

Page 16: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

9

untuk menumbuhkan kemampuan

mahasiswa dalam memahami apa yang

diperoleh dari dosennya karena hal tersebut

berdampak tumbuhnya sikap konformisme

(yaitu sikap penerima dan penurut).

Pendidikan tinggi harus menghindarkan

mahasiswa dari konformisme, sebab

konformisme merupakan musuh kreativitas

yang terbesar.

Untuk membentuk model

perkuliahan yang dapat menumbuhkan sikap

kritis, kreatif, teliti, dan tanggung jawab,

para dosen perlu memiliki pijakan teoretis

(approach) yang tepat. Salah satu teori yang

dipertimbangkan sebagai pendekatan dalam

pengembangan model perkuliahan adalah

teori logika (Heryadi, 2013). Pertimbangan

ini bertolak pada hasil kajian teoretis tentang

hakikat proses perkulihan dari sudut teori

psikolinguistik dan teori logika.

Perkuliahan (khusus yang bersifat

ekspositori) merupakan proses mental

dengan berpola pada berpikir logis ketika

menangkap gagasan-gagasan yang

disampaikan dosennya. Yang dimaksud

dengan pola berpikir logis atau berlogika

dalam pernyataan tersebut adalah bernalar

secara sistematis dalam menghasilkan

keputusan-keputusan yang benar. Berlogika

dengan benar dalam proses mendengarkan

kuliah meliputi tiga tahapan, yaitu diawali

dengan tahap pemahaman konsep

(conception), kemudian tahap pembentukan

proposisi-proposisi (conceptuali-sation),

dan diakhiri dengan tahap pengambilan

keputusan (conlusion)”.

Untuk membuktikan gambaran pola

berlogika yang terjadi saat proses

mendengarkan kuliah dapat dijelaskan

dalam 3 tahap berikut ini. Tahap 1

mahasiswa mentransmisi dan mempersepsi

bunyi-bunyi ujaran, hingga ia memahami

konsep-konsep yang terkandung dalam

materi wacana perkuliahan. Tahap 2

mahasiswa mengonseptualisasi konsep-

konsep yang dipahaminya menjadi

proposisi-proposisi; kemudian ia

menggabungkan proposisi-proposisi itu

menjadi wacana baru atau mengulang

bentuk yang mengandung isi yang sama

dengan wacana perkuliahan yang

disimaknya. Tahap 3 mahasiswa

memverifikasi isi wacana perkuliahan yang

dipahaminya berdasarkan pengetahuan dan

pengalaman yang dimilikinya hingga ia

memunculkan kesimpulan sebagai respon

terhadap isi perkuliahan yang disimaknya

(Heryadi, 2013).

Pengetahuan tersebut manjadi dasar

keyakinan bahwa dalam proses

mendengarkan kuliah para mahasiswa perlu

memiliki kemampuan berlogika dengan

benar. Keyakinan tersebut memunculkan

sebuah pemikiran bahwa dalam upaya

menumbuhkan ketelitian, ketajaman

berpikir, sikap kritis, dan kejujuran

mahasiswa dalam perkuliahan dosen perlu

membiasakan mahasiswanya menerapkan

pola berlogika.

Dasar pemikiran ini menjadi pijakan

pokok dimunculkan model perkuliahan

berlandasan atau berbasis logika. Dengan

model tersebut prosedur perkuliahan

dikembangkan secara bertahap dan

bersistem dengan tujuan lebih diarahkan

pada penumbuhan dan pemantapan

kemampuan mahasiswa dalam hal: (1)

memahami konsep-konsep yang terkandung

dalam materi yang disimaknya; (2)

membentuk dan menggabungkan proposisi-

proposisi berdasarkan konsep-konsep yang

dipahaminya sehingga membentuk

pemahaman pesan yang sama dengan

pesan/isi perkuliahan yang disimaknya; dan

(3) memverifikasi pesan yang dipahaminya

dengan melalui pertimbangan-pertimbangan

yang logis sehingga menghasilkan respons

yang tepat terhadap isi perkuliahan yang

disimaknya. Gabungan dari ketiga

kemampuan tersebut diyakini dapat

membangun kemampuan memahami materi

dari kuliahnya, serta tumbuh karakter

ketelitian, kekritisan, dan kejujuran yang

baik.

Sebagai realisasi dari dasar

pemikiran di atas dicoba dikembangkan

model perkulihan berbasis logika. Untuk

menguji ketepatannya, model perkuliahan

tersebut dicoba diaplikasikan pada

mahasiswa semester pertama di FKIP

Universitas Siliwangi Tasikmalaya.

Page 17: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

10

Atas dasar pemikiran yang

dikemukakan dalam uraian di atas, maka

dirumuskanlah masalah penelitian sebagai

berikut. 1) Bagaimanakah langkah-langkah

(syntax) model perkuliahan yang dilandasi

teori logika? 2) Bagaimana dampak model

perkuliahan berbasis logika terhadap

karakter ketelitian, berpikir kritis, dan

tanggung jawab para mahasiswa?

Penerapan teori berpikir logis dalam

pengembangan model perkuliahan yang

dilaksanakan kepada mahasiswa FKIP di

lingkungan Universitas Siliwangi

Tasikmalaya, bertujuan untuk 1) mengetahui

langkah-langkah (syntax) model perkuliahan

yang dilandasi oleh teori logika, dan 2)

mengetahui dampak model perkuliahan

berbasis logika terhadap tumbuhnya

karakter akademik yang terukur dalam

perilaku ketelitian, kekritisan, dan kejujuran

berpikir para mahasiswa.

Model perkuliahan berbasis logika

merupakan model baru dalam khazanah

perkuliahan. Oleh karena itu, hasil

penelitian ini untuk pengembangan model

perkuliahan di perguruan tinggi sangat

bermanfaat sebagai pelengkap model-model

perkuliahan yang sudah ada.

Jika diamati secara seksama, model

perkuliahan yang saat ini sering digunakan

di perguruan tinggi berupa model-model

yang hanya diarahkan untuk menumbuhkan

kemampuan mahasiswa dalam memahami

materi kuliahnya. Model seperti demikian

belum menyokong tumbuhnya kebiasaan

bernalar dengan baik. Dalam perkuliahan

berbasis logika, tahapan-tahapan

perkuliahan yang dilaksanakan tidak hanya

diarahkan untuk menumbuhkan kemahiran

memahami isi kuliah yang disampaikan

dosennya melainkan juga untuk tumbuhnya

kemampuan bernalar dengan baik. Oleh

karena itu, hasil perkuliahan yang dicapai

dengan menggunakan model ini tidak

semata-mata hanya menumbuhkan

keterampilan para mahasiswa memahami

materi kuliah yang disampaikan para

dosennya, melainkan juga dapat bermanfaat

untuk menumbuhkan kebiasaan mahasiswa

dalam berpikir teliti, kritis, dan jujur atau

tanggung jawab terhadap segala hal yang

didengarnya.

Karakter Akademik Mahasiswa

Berdasarkan Kebijakan Pemerintah

Karakter merupakan sifat-sifat

kejiwaan, akhlak, tabiat, watak atau budi

pekerti yang membedakan seseorang dengan

yang lain. Karakter dapat menjadi penciri

seseorang atau sekelompok orang yang

menduduki profesi, kesukuan dan

keyakinan. Lingkungan sangat dominan

mempengaruhi karakter seseorang. Namun,

ada karakter khas yang dibentuk

berdasarkan status atau keprofesian.

Contohnya, mahasiswa sebagai sivitas

akademika di perguruan tinggi wajib

ditumbuhkan karakter yang khas sebagai

dasar menjadi manusia yang berkualitas

untuk dipersiapkan menjadi pemimpin

masyarakat yang dapat membawa kehidupan

yang semakin sejahtera. Mahasiswa harus

menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri, terampil, kompeten dan

berbudaya untuk kepentingan bangsa.

Sebagai penjabaran dari tujuan

pendidikan tinggi yang harus diwujudkan

oleh setiap lembaga perguruan tinggi,

dikembangkanlah ranah-ranah kompetensi

yang saling berkaitan antara ranah satu

dengan ranah lainnya. Ranah-ranah yang

dimaksud adalah sikap pengetahuan,

keterampilan. Sebagaimana dijelaskan di

dalam Permenristek Dikti nomor 44 tahun

2015, tentang Standar Nasional Pendidikan

Tinggi, pasal 5 ayat (1) yang diterbitkan

oleh Kementrian Riset, Teknologi, dan

Pendidikan Tinggi, bahwa standar

kompetensi lulusan merupakan keriteria

minimal tentang kualifikasi kemampuan

lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan,

dan keterampilan yang dinyatakan dalam

rumusan capaian pembelajaran lulusan.

Terkait dengan ranah sikap dan

keterampilan umum, rumusan capaian

pembelajaran sebagai karakter yang harus

dimiliki oleh mahasiswa sudah ditetapkan

oleh pemerintah yang tertera dalam

lampiran yang tidak terpisahkan dengan

Page 18: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

11

Permenristek Dikti Nomor 44 tahun 2015.

Perlu ditegaskan bahwa salah satu capaian

pembelajaran keterampilan umum yang

harus menjadi penciri karakter para

mahasiswa adalah mampu menerapkan

pemikiran logis, kritis, sistematis, dan

inovatif dalam konteks pengembangan atau

implementasi ilmu pengetahuan dan

teknologi yang memperhatikan dan

menerapkan nilai humaniora yang sesuai

dengan bidang keahliannya.

Memperhatikan peraturan menteri

tersebut sangat jelas bahwa menumbuhkan

karakter mahasiswa sebagai generasi

penerus pimpinan bangsa harus menjadi

sasaran dalam pelaksanaan pendidikan di

perguruan tinggi. Karakter-karakter yang

harus ditumbuhkan di antaranya adalah

karakter ketelitian, berpikir kritis, dan

tanggung jawab. Karakter tersebut penulis

kategorikan karakter akademik dengan

alasan kerakter tersebut menjadi penciri

orang cendikia.

Pengembangan Model Perkuliahan

Pelaksanaan perkuliahan di perguruan

tinggi sebagian besar orang masih

memandang sebagai bentuk interaksi searah

antara dosen dan mahasiswa. Model

ceramah masih menjadi andalan dosen

dalam proses perkuliahan. Kejadian seperti

ini tidak berarti salah, asalkan dosen melalui

model ceramahnya memberi kesempatan

untuk mengkreatifkan dan mengaktifkan

pikiran para mahasiswanya. Dalam

Permenristek Dikti, No 44, Tahun 2015

pasal 11 ayat 1 yang diterbitkan oleh

Kementrian Riset, Teknologi, dan

Pendidikan Tinggi, dijelaskan bahwa untuk

dapat mewujudkan Standar Kompetansi

Lulusan model perkuliahan yang

dikembangkan harus bersifat interaktif,

holistik, integratif, saintifik, kontekstual,

tematik, efektif, kolaboratif, dan berpusat

pada mahasiswa. Atas dasar penjelasan

tersebut dosen perlu mengembangkan

model-model perkuliahan yang inovatif.

Oleh karena itu, pemahaman tentang model

perkuliahan yang hanya membekali

pengetahuan dan keterampilan adalah keliru.

Model perkuliahan yang diharapkan adalah

model perkuliahan yang dapat menambah

pengetahuan, keterampilan, serta membekali

kebiasaan berpikir teliti, kritis dan jujur atau

tanggung jawab para mahasiswa.

Model perkuliahan merupakan pola

kegiatan yang dirancang dan dilaksanakan

oleh dosen berdasarkan teori pembelajaran

yang dianggap tepat untuk mencapai tujuan

perkuliahanan yang telah ditetapkan dalam

kurikulum. Tokoh pembelajaran yang cukup

terkenal pada abad XX, namun teorinya saat

ini masih sangat berpengaruh di LPTK yaitu

Joice and Weil (2009 : 1) mengemukakan,

“A model of teaching is a plan or pattern

that can be used to shape curriculum (long-

term courses of studies), to design

intructional materials, an to guide intruction

in classroom and other setting.” Menurut

beliau (Joice dan Weil) dalam

mengembangkan model pembelajaran

terdapat tiga hal yang perlu dilalui, ketiga

hal tersebut yaitu menentukan pendekatan

(orientasi model), metode (desain

pembelajaran) dan teknik (prosedur yang

dilksanakan dalam kelas).

Dalam mengembangkan model

pembelajaran pengajar harus dapat

menciptakan lingkungan yang memberikan

dampak langsung (intructional effect) dan

dampak sampingan (nurturent effect).

Dampak langsung adalah dampak yang telah

diprogramkan sebagai tujuan pembelajaran,

sedangkan dampak tidak langsung atau

dampak penyerta adalah dampak tidak

diprogramkan secara langsung dalam

rancangan pembelajaran. Contoh dampak

tidak langsung dalam pembelajaran adalah

tumbuhnya sikap kejujuran, kerja sama,

demokratis, dan kritis sebagai dampak dari

model pembelajaran yang digunakan di

kelas.

Sebagai contoh, ada penelitian yang

bertujuan menemukan cara menumbuhkan

sikap logis, kritis, analitis, konsisten dan

teliti, bertanggung jawab, responsif, dan

tidak menyerah dalam pembelajaran

matematika. Peneliti mencoba menerapkan

model pembelajaran berbasis masalah

(problem based learning) dalam

pembelajaran matematika. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa model pembelajaran

Page 19: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

12

berbasis masalah selain meningkatkan

kemampuan siswa dalam pembelajaran

matematika dapat pula menunjang

tumbuhnya sikap logis, kritis, analitis,

konsisten dan teliti, bertanggung jawab,

responsif, dan tidak menyerah dalam

pembelajaran matematika (Wijaya, 2014 :

1). Model pembelajaran berbasis masalah

merupakan salah satu model yang menuntut

berpikir yang cukup tinggi, karena bernalar

atau berlogika dalam model pembelajaran

tersebut sangat dituntut.

Diketahui pula penelitian yang

bertujuan menumbuhkan kemampuan

berpikir kritis para siswa. Untuk itu,

dilaksanakan penelitian dengan

menggunakan strategi pembelajaran

berbasis inkuiri dengan siklus 5 E

(engagement, explorasi, explanation,

elaborasi, and evaluation). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa strategi pembelajaran

berbasis inkuiri dengan siklus belajar 5 E

sangat signifikan dalam meningkatkan

keterampilan berpikir kritis dibandingkan

dengan strategi pembelajaran konvensional

(Asna, 2014:154). Jika dikaji tentang

strategi pembelajaran inkuiri dengan siklus

5E, pasti akan ditemukan bahwa setiap

tahapan dalam pembelajaran tersebut para

peserta didik sangat dituntut berlogika,

sehingga dapat berdampak pada tumbuhnya

keterampilan berpikir kritis.

Dalam menumbuhkan karakter,

selain melalui model pembelajaran dapat

pula melalui pengemangan media dan buku

pelajaran. Sebagai contoh, terdapat hasil

penelitian yang mencoba mengembangkan

media pembelajaran berbasis logika.

Hasilnya menunjukkan bahwa media

berbasis logika berdampak positif dalam

menumbuhkan kreativitas dan kecerdasan

anak (Sulchan, 2014 : 19). Kemudian, ada

hasil penelitian tentang penguatan karakter

di perguruan tinggi dengan cara

pengembangan buku ajar yang berbasis

pembelajaran kolaboratif (Diana, 2016).

Teori Logika

Istilah Logika berasal dari bahasa

Yunani „logos‟ artinya, sabda, pikiran, ilmu.

Secara etimologis logika adalah ilmu

tentang pikiran atau ilmu menalar. Logika

sering didefinisikan sebagai ilmu tentang

hukum-hukum pemikiran. Berlogika adalah

proses mental. Oleh karena itu, berlogika

dapat dipastikan merupakan suatu kegiatan

yang bertahap. Proses berlogika pada

pokoknya meliputi tiga langkah, yaitu

pembentukan pengertian, pembentukan

pendapat, dan penarikan kesimpulan (

Suryabrata, 2012 : 54) .

Pembentukan pengertian atau konsep

merupakan unsur paling mendasar dalam

berpikir. Manusia tidak dapat berpikir tanpa

didasari oleh kemampuan memahami

konsep yang hendak dipikirkan. Memahami

konsep atau pengertian menjadi isi pokok

berpikir. Seseorang dapat berpikir atau

menyusun jalan pikirannya hanya melalui

pemahaman konsep atau pengertian-

pengertian.

Setelah pengertian/konsep terbentuk

tahap berikutnya dalam berlogika adalah

pembentukan pendapat/pernyataan.

Membentuk pernyataan atau proposisi yaitu

meletakan hubungan antara dua buah atau

lebih pengertian. Hasil pengamatan terhadap

suatu objek atau kejadian secara umum tidak

terjadi hanya sekedar munculnya pengertian

melainkan terjadinya perangkaian

pengertian. Rangkaian pikiran itulah yang

membentuk pendapat atau pernyataan

tentang suatu objek atau kejadian.

Dari pernyataan-pernyataan yang

dimunculkan berdasarkan konsep-konsep

yang muncul dalam pikiran, tahap

berikutnya terjadi suatu proses nalar untuk

munculnya proposisi baru sebagai simpulan

atau respons terhadap objek/kejadian yang

diamati. Penyimpulan adalah kegiatan pikir

manusia, yang diawali dari pengetahuan

yang dimiliki dan berdasarkan pengetahuan

itu melakuan evaluasi atau pertimbangan

yang bergerak kepada pengetahuan baru. Di

dalam proses penyimpulan ini tindakan

penimbangan/judgement pemikiran yang

tepat merupakan syarat dasar untuk

Page 20: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

13

memperoleh proposisi baru sebagai

kesimpulan yang benar.

Berlogika dalam Proses Mendengarkan

Kuliah

Tujuan utama mendengarkan adalah

memahami dan merespons pesan yang

disampaikan oleh pembicara. Untuk dapat

mencapai tujuan mendengarkan, pendengar

harus beraktivitas mental yang tinggi dalam

melaksanakan tahapan-tahapan menyimak.

Menurut Heryadi (2013), “Tahapan proses

menyimak terbagi atas hearing

(mendengar), understanding (memahami

pesan), evaluating (mempertimbangkan

pesan), dan responding (memberi tanggapan

terhadap pesan yang dipahami)”.

Pada tahap hearing, pendengar

menangkap dan mengenali rangkaian bunyi-

bunyi ujar. Jika bunyi-bunyi ujar yang

didengar itu merupakan bunyi-bunyi yang

dikenal maka akan terjadilah rangkaian

bunyi membentuk kata, frase, klausa dan

kalimat. Pada tahap ini kemampuan dasar

yang harus dimiliki pendengar adalah

kemampuan linguistik yang dapat

membangun konsep-konsep (conceptus).

Pada tahap understanding terjadi

tranformasi bunyi-bunyi ujaran ke dalam

syaraf-syaraf pendengaran, kemudian

melalui proses persepsi bunyi-bunyi itu

diterjemahkan menjadi pesan-pesan

bermakna yang dipahami. Pada tahap ini

pendengar dituntut mampu mempersepsi

konsep-konsep yang terkandung dalam

unsur-unsur bahasa lisan. Untuk

memperoleh pemahaman seorang penyimak

harus menggunakan pengetahuan linguistik

untuk mengidentifikasi bunyi ujar,

kemudian dengan menggunakan strategi

linguistiknya disertai dengan kemampuan

lain (mengusai situasi, gerak-gerik tubuh,

dan lain-lain), ia dapat mengolah bunyi-

bunyi ujar yang telah membentuk konsep

menjadi rangkaian pesan yang bermakna.

Pada tahap evaluating atau

memverifikasi pesan, pendengar dituntut

untuk mampu secara intelektual

mempertimbangkan pesan yang

diperolehnya berdasarkan pengetahuan dan

pengalamannya. Pada tahap ini dalam

kognisi pendengar terjadi proses pengujian,

penelaahan dan penilikan dari berbagai segi.

Apakah pesan yang diterimanya didukung

oleh fakta-fakta atau tidak, apakah pesan itu

baik atau jelek dan sebagainya. Yang pada

akhirnya pendengar memutuskan untuk

menerima atau menolak.

Pada tahap responding, pendengar

dituntut mampu memberi respon yang

benar-benar sesuai dengan keputusan hasil

verifikasi pesan. Respons itu dapat berupa

verbal atau nonverbal. Apabila muncul

aktivitas verbal maka aktivitas berlogika

sangat dituntut pula.

Dari uraian di atas sangat tampak

bahwa aktivitas mental berlogika dalam

kuliah sangat diperlukan. Aktivitas mental

dalam memahami konsep, memahami

hubungan konsep-konsep menjadi pesan

yang dipahami, dan kemampuan

memverifikasi pesan hingga menjadi

keputusan untuk munculnya respons terjadi

dalam proses mendengarkan kuliah.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan prosedur

penelitian dan pengembangan dengan

melalui tahapan-tahapan: (1) studi

pendahuluan yang meliputi kajian teoritis

dan empiris untuk mendapatkan landasan

dalam pengembangan model pembelajaran

menyimak; (2) pembentukan model

pembelajaran menyimak; (3) uji lapangan

model yang diikuti dengan analisis dan

revisi model, (4) validasi model; dan (5)

diseminasi model.

Pada tahap studi pendahuluan

dilakukan dua kegiatan yaitu studi lapangan

dengan tujuan untuk mengenali masalah

yang ada dalam pelaksanaan perkuliahan di

Universitas Siliwangi, dan studi literatur

dalam mengkaji hakikat mendengarkan saat

proses perkuliahan dari sudut psikolinguistik

dan logika. Hasil pengkajian teoretis

diperoleh dasar pemikiran yang dijadikan

landasan dalam pengembangan model

perkuliahan pada mahasiswa FKIP

Universitas Silliwangi Tasikmalaya. Dasar

pemikiran yang diperoleh yaitu (1)

Mendengarkan adalah proses berpikir logis

dalam menangkap informasi yang didengar,

Page 21: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

14

(2) mendengarkan dalam proses perkuliahan

merupakan aktivitas berpikir logis

mahasiswa dalam menangkap informasi,

menimbang, dan memberi keputusan

tentang materi kuliah yang didengarnya.

Dasar-dasar pemikiran di atas

dijadikan pertimbangan dalam menyusun

draf model. Draf model perkuliahan yang

disusun dimulai dengan draf kasar yang

masih bersifat konseptual sehingga

memerlukan pengkajian lebih seksama dan

perinci. Dari hasil pengkajian terhadap

model konseptual dapat dihasilkan model

awal yang siap untuk diuji lapangan. Model

awal yang dapat dibentuk dapat dilihat pada

diagram 1.

Diagram 1

Model Awal Perkuliahan Berbasis Logika

Untuk memperoleh model yang siap

pakai, model awal perlu diuji lapangan

terlebbih dahulu. Uji lapangan model

dilakukan dengan melalui tujuh tahapan,

yaitu: 1) melaksanakan tes awal ketelitian,

kekritisan berpikir, dan tanggung jawab

dalam mendengarkan materi ceramah; 2)

melaksanakan proses perkuliahan dengan

melalui prosedur yang telah dirancang; 3)

melaksanakan tes akhir ketelitian, kekritisan

berpikir, dan tanggung jawab dalam

mendengarkan materi perkuliahan; 4)

melakukan analisis hasil; 5) melakukan

interpretasi; 6) meminta umpan balik; dan 7)

melakukan penyempurnaan.

Setelah melalui uji lapangan,

hasilnya dievaluasi, dianalisis, dan direvisi

sehingga diperoleh model perkuliahan

berbasis logika yang efektif.

Untuk memperoleh model

Perkuliahan berbasis Logika yang konsisten

perlu pengujian kembali melalui validasi

model. Validasi model dilakukan dengan uji

lapangan kembali kepada kelompok

mahasiswa yang memiliki tingkatan yang

sama dengan jumlah yang nomal dalam

rombongan kelas. Tahapan uji validasi

dilakukan melalui tahapan yang sama

dengan pengujian sebelumnya. Hasilnya

dianalisis dan dibahas.

Hasil dari proses validasi diperoleh

model perkuliahan berbasis logika yang siap

didesiminasikan atau dipublikasikan.

Pendesiminasian dilakukan dalam bentuk

seminar yang diikuti para dosen di

Universitas Siliwangi dan publikasi pada

jurnal penelitian yang siap menerbitkan.

Variabel dan Desain Penelitian

Penyelenggaraan perkuliahan

mencakup banyak komponen, di antaranya

adalah kurikulum, dosen, mahasiswa, model

(metode) sarana pendukung, dan evaluasi

untuk menentukan hasil yang dicapai. Di

dalam penelitian ini semua aspek

perkuliahan terlibat, namun ada dua aspek

yang menjadi fokus yaitu model perkuliahan

yang digunakan dan hasil perkuliahan yang

berupa sikap (karakter akdemik) yang dapat

terbentuk oleh model perkuliahan yang

digunakan. Oleh karena itu, variabel

ORIENTASI

MODEL

- Mendengarkan adalah proses berpikir logis dalam me-nangkap yang didengar.

- Mendengarkan perkuliahan adalah upaya berpikir logis dalam menangkap, memahami, menimbang dan memberi keputusan tentang materi kuliah yang didengar.

PENENTUAN TUJUAN PEMBELAJARAN - dapat mengenali konsep-

konsep pokok perkuliahan dengan teliti

- dapat menceritakan kembali materi perkuliahan dengan tanggung jawab

- dapat merespons materi perkuliahan dengan kritis.

PENENTUAN MATERI & ALAT EVALUASI

PROSEDUR PEMBELAJARAN

PEMBEN-TUKAN MODEL

FASE 1 Pemaham

-an konsep tahapan

berlogika dalam kuliah

FASE 2 Penerapan pemahaman tahapan berpikir logis dalam menyimak a. mendengarkan kuliah

dari dosen b. memahami konsep-

konsep penting dalam materi perkuliahan

c. membuat pernyataan – pernyataan berdasarkan konsep-konsep penting

d. menceritakan isi perkuliahan dengan tanggung jawab

e. merespon isi wacana dengan pertimbangan kritis dan tanggung jawab

FASE 3

Pembahasan hasil

penerap-an fase 2

FASE 4 Pembimbingan

FASE 5 Evaluasi Hasil

Page 22: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

15

penelitian ada dua yaitu model perkuliahan

berbasis logika sebagai variabel bebas, dan

hasil belajar yang berupa karakter akademik

sebagai variabel terikat. Desain penelitian

yang dikembangkan dalam diagram 2.

Diagram 2

Desain Penelitian

Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Data primer yang dibutuhkan adalah

karakter akademik (yaitu ketelitian,

kekritisan dan tanggung jawab) mahasiswa

sebagai dampak dari perkuliahan berbasis

logika. Selain data primer diperlukan pula

data pendukung (data skunder) seperti

informasi tentang aktivitas mahasiswa saat

proses perkuliahan berlangsung, serta

informasi tentang pendapat mahasiswa

mengenai perkuliahan yang telah

ditempuhnya. Untuk mendapatkan data

tersebut dilakukan dengan menggunakan

teknik pengukuran, pengamatan dan

wawancara.

Untuk merealisasikan teknik

pengumpulan data tentang karakter

akademik mahasiswa disiapkan instrumen

pengukuran ketelitian, kekritisan berpikir,

dan tanggung jawab mahasiswa. Cara

pengukuran ketelitian dilakukan dengan

pengukuran kemampuan membuat

ringkasan materi perkuliahan. Cara

pengukuran kekritisan berpikir dilakukan

dengan pengukuran kemampuan memberi

respons kritis terhadap keputusan yang telah

ditetapkan. Cara pengukuran sikap tanggung

jawab dilakukan dengan pengukuran

kemampuan memberi alasan atau solusi

terhadap respons kritis yang dibuatnya.

Untuk mendapatkan data pendukung

disiapkan instumen pengamatan tentang

aktivitas mahasiswa saat proses perkuliahan

berlangsung. Yang diamati meliputi

kreativitas, dan kesungguhan, mahasiswa

saat proses perkuliahan berlangsung.

Kemudian, untuk mendapatkan informasi

tambahan tentang motivasi mahasiswa

mengikuti kuliah dengan pola penerapan

logika digunakan instrumen wawancara.

Data yang terkumpul ada dua

kategori, yaitu data kualitatif dan data

kuantitatif. Yang tergolong data kualitatif

adalah uraian tahapan/langkah-langkah

pelaksanaan perkuliahan berbasis logika.

Yang termasuk data kuantitatif adalah skor

hasil pengukuran ketelitian, kekritisan

berpikir, dan tanggung jawab mahasiswa.

Berdasar pada dua jenis data primer

yang diperoleh, maka penganalisisan data

dilakukan dengan dua cara yaitu cara

kualitatif dan cara kuantitatif. Pengolahan

data dengan cara kualitatif dilakukan pada

pengkajian data tentang tahapan-tahapan

proses perkuliahan berbasis logika. Setiap

langkah perkuliahan yang dilalui dikaji dan

dipertimbangkan efektivitasnya sehingga

diperoleh langkah-langkah (syntax)

perkuliahan yang layak untuk dibakukan

dalam sebuah model perkuliahan. Data

kuantitatif dianalisis, dengan menggunakan

teknik statistika, seperti uji rata-rata dan uji

beda. Uji rata-rata digunakan untuk

mengetahui kecenderungan memusat skor

ketelitian, kekritisan berpikir, dan tanggung

jawab. Uji beda digunakan untuk

mengetahui kemajuan karakter akademik

(ketelitian, kekritisan berpikir, dan tanggung

jawab) mahasiswa dari sebelum dengan

sesudah perlakuan perkuliahan berbasis

logika.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Setelah melalui proses pembentukan

model koseptual, uji lapangan, revisi model,

dan uji validasi model diperolehlah hasil

penelitian yang berupa langkah-langkah

(sintax) perkuliahan berbasis logika yang

Teori Logika dalam men-

dengarkan

kuliah

Pelaksanaan Perkuliahan

Hasil

Toeri model

Per-kulia-

han

dosen mahasiswa

Proses perkuliahan

berbasis logika

Materi Kuliah

Sarana pendu kung

Karakter akademik : (ketelitian, kekritisan

& tanggung ja- wab)

landasan

Page 23: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

16

telah teruji kefektifannya, serta gambaran

ringkas data skor karakter akademik

(ketelitian, kekritisan berpikir, dan tanggung

jawab) mahasiswa dari hasil uji lapangan

dan hasil uji validasi.

Langkah-langkah (sintax) model

perkuliahan berbasis logika yang telah

terbukti efektif dalam menumbuhkan

karakter akademik adalah sebagai berikut. Fase pendahuluan

Memberikan orientasi tentang perkuliahan yang

akan dilaksanakan

Fase Inti

a. mendengarkan kuliah dari dosen dengan

penuh konsentrasi;

b. memahami konsep-konsep pokok materi

perkuliahan dengan teliti (terbentuk dalam

peta konsep);

c. menceritakan kembali ringkasan materi

perkuliahan dengan teliti;

d. merespon materi perkuliahan dengan

pertimbangan kritis dan bertanggung jawab;

e. membahas/mendiskusikan hasil kerja setiap

mahasiswa;

f. memberi bimbingan khusus pada mahasiswa

yang menghadapi kesulitan.

Fase Penutup

a. merefleksi hasil perkuliahan

b. pengukuran hasil

Hasil penelitian dari uji lapangan

dan validasi model perkuliahan berbasis

logika dalam menumbuhkan karakter

akademik yang meliputi gabungan dari

karakter ketelitian berpikir, sikap kritis, dan

tanggung jawab tertera pada tablel berikut.

Tabel 1 Hasil Perlakuan Model Perkuliahan

Berbasis Logika

N

o

Sebelum Perlakuan

PBL

Setelah Perlakuan

PBL

Kat

egori

Keg

iata

n

Nil

ai

Tar

af

x1 x2 x3 ẋ y1 y2 y3 ý T

signif

1.

Uji

Lap

angan

29,9

21,2

23,9

24,4

70,2

62,0

67,0

66,4

9,2

0,0

2

Uji

Val

idas

i

30,0

18,0

20,2

22,7

75,8

72,6

74,5

74,3

20,2

0,0

Pembahasan Hasil Penelitian

Dari hasil penelitian ini diperoleh

temuan-temuan yang dapat menjadi

khasanah pengetahuan dan pengalaman,

khususnya tentang pelaksanaan perkuliahan.

Temuan-temuan yang dimaksud adalah

sebagai berikut.

Teori logika sangat efektif dijadikan

landasan atau pendekatan pelaksanaan

perkuliahan di perguruan tinggi. Temuan ini

telah dibuktikan dengan terbentuknya model

Perkuliahan Berbasis Logika yang

dilaksanakan kepada mahasiswa semester

pertama FKIP Universitas Siliwangi

Tasikmalaya. Temuan ini menjadi

pendukung pandangan tentang pentingnya

kajian teori indisipliner sebagai dasar

pertimbangan dalam penetapan metode

perkuliahan. Pemahaman hakikat

mendengarkan dan hakikat proses

mendengarkan dalam perkuliahan, serta

teori logika ternyata sangat berguna sebagai

dasar pijakan (approach) dalam menetapkan

model perkuliahan di perguruan tinggi.

Dari tabel hasil perlakuan

perkuliahan berbasis logika dapat dijelaskan

bahwa model perkuliahan berbasis logika

diujicobakan dua kali yaitu uji lapangan

sebagai tahap pengujian model untuk

mencari bagian-bagian yang harus direvisi,

dan uji validasi untuk menjastifikasi

keefektifan model yang sudah direvisi. Hasil

uji lapangan pada mahasiswa kelompok

pertama dengan jumlah 30 orang diperoleh

hasil pengukuran tentang karakter akademik

(yang meliputi ketelitian berpikir, sikap

kritis, dan tanggung jawab) sebelum diberi

perlakuan memperoleh rata-rata skor 24,4

dengan kategori sangat rendah sedangkan

sesudah perlakuan memperoleh rata-rata

skor 66,4 dengan kategori cukup. Skor yang

diperoleh pada tahap uji lapangan menjadi

umpan balik untuk revisi model. Tahapan

yang direvisi dalam syntax model

Perkuliahan Berbasis Logika yaitu pada

tahap pembimbingan yang masih kurang,

sehingga dalam revisi perlu ada

penambahan aktivitas.

Setelah dilakukan revisi model

sesuai dengan hasil analisis, maka dilakukan

uji validasi model dengan melaksanakan

perlakuan perkuliahan pada mahasiswa

kelompok kedua dengan jumlah 35 orang.

Hasilnya diperoleh bahwa rata-rata karakter

Page 24: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

17

akademik (ketelitian, kekritisan, dan

tanggung jawab) sebelum diberi perlakuan

diperoleh rata-rata skor 22,7 dengan

kategori rendah. Setelah diberi perlakuan

diperoleh rata-rata skor 74,3 dengan

kategori baik.

Data tersebut dijadikan dasar bahwa

Perkuliahan berbasis logika dapat

dinyatakan efektif dalam menumbuhkan

karakter akademik mahasiswa yang meliputi

ketelitian berpikir, sikap kekritis, dan

tanggung jawab. Setelah dilakukan

pengkajian ternyata dalam model

perkuliahan berbasis logika dapat

mengkolaborasikan teori belajar kognitif,

teori belajar komunikatif, teori belajar

kooperatif, teori belajar mahasiswa aktif

(student active learning theory), dan teori

belajar behavioristik. Temuan ini

mendukung salah satu asumsi teori

pembelajaran yang menyatakan bahwa

dalam proses pembelajaran, guru/dosen

sebaiknya dapat mengkolaborasikan banyak

teori pembelajaran yang disesuaikan dengan

kebutuhan. Dengan mengkolaborasikan

teori-teori belajar tersebut dapat

membangun sebuah proses perkuliahan yang

cukup variatif, sehingga dapat membuat

para mahasiswa lebih kreatif, sungguh-

sungguh, dan tumbuh motivasi belajar

sehingga mereka terhindar dari kejenuhan.

Karena model perkuliahan berbasis

logika mengkolaborasikan model kognitif

dan koperatif, maka hasil penelitian ini

secara tidak langsung dapat memperkuat

pula beberapa hasil penelitian terdahulu

yang telah membuktikan bahwa model

pembelajaran koperatif dapat berpengaruh

positif terhadap hasil belajar perilaku. Di

antaranya hasil penelitian yang

menunjukkan bahwa model kooperatif

kelompok sindikat berpengaruh positif pada

tumbuhnya sikap terhadap lingkungan.

Model kelompok sindikat memiliki

kekuatan dalam mengembangkan sikap

bertanggung jawab, terutama dalam proses

belajar yang dilakukannya (Dewi, 2011: 75).

Selain itu, ada pula hasil penelitian tentang

dampak model koperatif numbered head dan

model koperatif jigsaw, yang

menyimpulkan bahwa kedua model tersebut

berpengaruh positif terhadap hasil belajar

afektif. Kedua model tersebut sangat

berfungsi untuk meningkatkan rasa

tanggung jawab, motivasi, mengembangkan

gagasan, dan kemampuan berkomunikasi

(Rahmawati, 2014 : 106). Model lainnya di

luar model koperatif yang telah diteliti

pengaruhnya terhadap tumbuhnya sikap

yaitu model discovery learning. Model ini

memiliki pengaruh yang sangat positif

terhadap motivasi belajar dan kemampuan

berpikir kritis (Rahmayanti, 2015:121).

Kemudian, ada pula hasil penelitian yang

menunujukkan bahwa kekritisan berpikir

mahasiswa dapat disokong oleh kompetensi

akuntansi. Jika keterampilan berpikir

mahasiswa mau ditingkatkan, maka

tingkatkanlah kompetensi akuntansinya

(Pujiastuti, 2013 :1).

Mahasiswa semester pertama FKIP

Universitas Siliwangi Tasikmalaya sangat

antusias dan bermotivasi tinggi diberi

perkuliahan berlandasan logika. Hal ini

terjadi karena mereka merasakan dan

menyadari kompetensi yang dipelajari

melalui Perkuliahan Berbasis Logika sangat

diperlukan dalam kehidupannya; kemudian

materi sajian tersusun secara sistematis; dan

didukung pula oleh sistem pelaksanaan

pembelajaran yang cukup bervariasi.

Temuan ini mendukung teori pembelajaran

bahwa dalam meningkatkan motivasi

belajar, dosen perlu menyajikan materi

pembelajaran yang diperlukan dalam

kehidupan pembelajar, serta urutan

penyajian materi pembelajaran harus

memiliki keterjalinan dengan baik.

Selain dari kajian pokok penelitian

yang dapat ditemukan, ada beberapa temuan

yang perlu diungkapkan, yaitu: (1)

Mahasiswa sangat cocok diberi perkuliahan

dengan model perkuliahan berbasis logika

adalah mahasiswa yang berkecerdasan baik

dan memiliki motivasi belajar yang tinggi;

(2) Usia dan jenis kelamin yang dimiliki

mahasiswa tampak tidak secara signifikan

mempengaruhi keberhasilannya dalam

mengikuti model perkuliahan ini. Temuan

hasil penelitian ini, khususnya yang

berkaitan dengan usia dan jenis kelamin

pembelajar tampak ada kontradiksi dengan

Page 25: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

18

pandangan para ahli psikologi, seperti

Alfred Binet, yang terkenal dengan

keahliannya dalam pengukuran intelegensi,

kemudian Piaget yang terkenal dengan

keahliannya dalam bidang pentahapan

kematangan berpikir, selalu mengaitkan

kemampuan berpikir seseorang dengan usia

yang dimilikinya. Dari hasil kajian mereka

tergambarkan bahwa bertambahnya usia

akan seiring dengan bertambahnya

kematangan berpikir. Namun dari temuan

hasil penelitian ini dengan sumber data

mahasiswa yang berusia antara 18 tahun

sampai dengan 45 tahun ternyata usia tidak

mempengaruhi karakter mereka melalui

model perkuliahan ini.

Dari hasil penelitian ini, peneliti

hanya bisa menyatakan bahwa model

perkuliahan berbasis logika cocok diberikan

kepada peserta didik di tingkat perguruan

tinggi. Untuk tingkat pendidikan menengah

masih perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut. Sebagai contoh di antaranya adalah

di lingkungan pesantren penumbuhan

karakter (kemandirian dan kedisiplinan)

ternyata lebih cocok melalui metode

pembiasaan, pemberian nasihat, metode

pahala dan sanksi, serta metode keteladanan

dari para kiyai dan ustad (Tanshzil, 2012:1).

Kemudian, di lingkungan anak prasekolah

penumbuhan tingkah laku prososial ternyata

cocok dengan menggunakan model

pembelajaran berdasarkan permainan (Chin

& zakaria, 2015).

KESIMPULAN

Melalui tahapan metode penelitian

pengembangan yang meliputi pembentukan

model konseptual, pengujicobaan model

secara empiris, dan validasi model, maka

terbentuklah model Perkuliahan Berbasis

Logika. Tahapan (syntax) perkuliahan

dengan model tersebut pada garis besarnya

adalah a) mendengarkan kuliah dengan

penuh konsetrasi dari dosen, b) memahami

konsep-konsep pokok dalam materi

perkuliahan yang dibuat dalam bentuk peta

konsep, c) menceritakan/menuliskan

ringkasan isi perkuliahan dengan teliti, d)

merespon isi perkuliahan dengan sikap kritis

dan bertanggung jawab, e)

membahas/mendiskusikan hasil kerja setiap

mahasiswa, dan f) memberi bimbingan

khusus kepada mahasiswa yang mengha-

dapi kesulitan.

Dampak yang muncul dari sistem

interaksi model perkuliahan berbasis logika

yaitu dapat tumbuh sikap-sikap positif yang

sangat dibutuhkan oleh mahasiswa dalam

menjalani kehidupan, yang meliputi:

tumbuhnya sikap ketelitian dalam

memahami konsep dan menyampaikan

kembali materi perkuliahan yang diterima

dari dosen; kritis dan tanggung jawab

dalam menanggapi dan menyimpulkan

materi perkuliahan yang dipahaminya.

Berdasarkan temuan dan simpulan

penelitian peneliti menyampaikan 4

rekomendasi sebagai berikut. Pertama,

sebaiknya para dosen dalam melaksakan

perkuliahan yang bersifat ekspositori

(ceramah) landasilah dengan teori logika

karena selain meningkatkan pemahaman isi

kuliah juga menunjang tumbuhnya karakter

akademik. Kedua, perkuliahan di perguruan

tinggi lebih cenderung bersifat ekspositori

(model ceramah satu arah) yang lebih

diarahkan untuk mencapai sasaran

tumbuhnya pengetahuan dan keterampilan

para mahasiswa. Pemahaman seperti

demikian sebaiknya sudah ditinggalkan

karena tidak sesuai dengan tuntutan

kehidupan saat ini dan masa depan. Ketiga,

dalam melaksanakan perkuliahan sudah

saatnya para dosen menciptakan model-

model perkuliahan yang dapat menciptakan

lingkungan yang dapat membentuk karakter

yang sesuai dengan tuntutan kehidupan.

Untuk dapat menciptakan model

perkuliahan yang diharapkan dosen perlu

mengkaji teori yang dapat dijadikan

landasan pengembangan perkuliahan.

Keempat, agar temuan hasil penelitian ini

menjadi pengetahuan yang bermanfaat

dalam pengembangan model perkliahan di

perguruan tinggi, agar para peneliti dan

pemerhati pembelajaran untuk

mengembangkan lebih lanjut dalam bentuk

penelitian pada sumber data yang lebih luas

dengan tingkat/jenjang pendidikan yang

berbeda.

Page 26: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

19

DAFTAR RUJUKAN

Asna, Hamdatul. 2014. Implementasi

Strategi Pembelajaran Berbasis

Inquiri dengan Siklus 5E untuk

Meningkatkan Keterampilan

Berpikir Kritis. Jurnal Penelitan

Pendidikan UPI 2 (14), hlm. 154 –

162.

Chin, Lu Chung & Efendi Zakaria. 2015.

Effect of Game-Based Learning

Activities on Childeren‟s Positive

Learning and Prosocial Behaviours.

Jurnal Pendidikan Malaysia 40 (2),

hlm 159 – 165.

Dewi, I P. 2011. Perbedaan Hasil Belajar

antara Model Pembelajaran

Kelompok Sindikat dan Model

Pembelajaran Ceramah pada

Pendidikan Lingkungan Hidup”

Tesis. Tasikmalaya: PPS Universitas

Siliwangi.

Diana, P Z. 2016. Pengembangan Buku Ajar

Bahasa Indonesia Berbasis Pembel-

ajaran Kolaboratif untuk Penguatan

Pendidikan Karakter di Perguruan

Tinggi. Disertasi. Surakarta:

Program Pasca Sarjana Universitas

Sebelas Maret.

Fahinu. 2013. Meningkatkan Kemampuan

Berpikir Kritis dan Kemandirian

Belajar Matemati-ka pada

Mahasiswa Melalui Pembelajaran

Generatif. Disertasi. Bandung : PPS

UPI

Heryadi, Dedi. 2013. Penerapan Teori

Berpikir Logis dalam Pengembangan

Menyimak Bahasa Indonesia.

Disertasi. Bandung : PPS

Universitas Pendidikan Indonesia.

Joice, Bruce, Marsha Weil, Emily Calkom.

2008. Model of Teaching. New

Jersey : Pearson/Allyn and Bacon

Publisher.

Kementrian Riset, Teknologi dan

Pendidikan Tinggi. 2016. Permen

Ristek Dikti, Nomor 44 Tahun 2015,

tentang Standar Nasional

Pendidikan Tinggi. Jakarta : Biro

Hukum Kemenristek-Dikti.

Pujiastuti. 2013. Pengaruh Kompetensi

Akuntansi terhadap Keterampilan

Berpikir Kritis Mahasiswa. Jurnal

Penelitian Pendidikan UPI. 13 (2).

hlm 1 - 7

Rahmawati, S . 2014. Perbedaan Hasil

Belajar Siswa pada Model

Pembelajaran Koperatif Tife

Numbered Head Togather dengan

Model Pembelajaran Tife Jigsaw.

Tesis. Tasikmalaya: PPS Universitas

Siliwangi.

Rahmayanti, Ai Ade. 2015. Perbedaan

Motivasi Belajar dan Kemamuan

Berpikir Kritis antara Model

Problem Based Learning dan

Discovery Learning dengan

Pendekatan Scientific. Tesis.

Tasikmalaya: PPS Universitas

Siliwangi.

Sulchan, Ali.2014. Pengembangan Media

Pembelajaran Berbasis Logika dan

Kreativitas sebagai Peningkatan

Kecerdasan Anak Usia Dini.

Tersedia pada http//p4tksb-

jogja.com/arsip/index.php? option-

Ali Sulchan- Pengembangan media

berbasis logika.

Suryabrata, Sumadi. 2012. Psikologi

Pendidikan. Jakarta : CV Rajawali.

Page 27: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

20

PENGARUH CERITA PENDEK DAN PENGUASAAN KOSAKATA

TERHADAP PEMAHAMAN MEMBACA

(EKSPERIMEN DI KELAS SEBELAS MADRASAH ALIYAH DI

TASIKMALAYA JAWABARAT)

Rudi Permadi

Universitas Perjuangan Tasikmalaya [email protected]

ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek cerita pendek terhadap pemahaman

membaca, efek penguasaan kosakata terhadap pemahaman membaca, dan efek interaksi cerita

pendek dan penguasaan kosakata terhadap pemahaman membaca. Metodologi penelitian yang

digunakan adalah eksperimen. Teknik pengumpulan data adalah tes penguasaan kosakata dan

pemahaman membaca. Teknik analisis data menggunakan Anova dua jalur. Hasil penelitian

menyimpulkan ada pengaruh signifikan cerita pendek terhadap pemahaman membaca, ada

pengaruh signifikan penguasaan kosakata terhadap pemahaman membaca dan tidak ada pengaruh

signifikan interaksi cerita pendek dan penguasaan kosakata terhadap pemahaman membaca.

Berdasarkan hasil penelitian, maka diharapkan pengajar bahasa Inggris menggunakan media

pembelajaran cerita pendek dan memotivasi siswa untuk menguasai dan selalu menambah

penguasaan kosakata dalam pembelajaran bahasa Inggris.

Kata kunci: cerita pendek, penguasaan kosakata, pemahaman membaca

THE EFFECTSOF SHORT STORY AND VOCABULARY MASTERY

ON THE STUDENTS’ READING COMPREHENSION

ABSTRACT The objectives of the research are to find the effect of using short story on the students‟ reading

comprehension, the effect of vocabulary mastery on the students‟ reading comprehension, and the

interaction effect of short story and vocabulary mastery on the students‟ reading comprehension.

The research methodology used is experiment. Data collection is obtained by testing their

vocabulary mastery and reading comprehension. Data analysis usesdescriptive statistics, normality

test, homogeneity test, and two ways ANOVA to test hypothesis testing. The research results

conclude 1) There is a significant effect of short story on the students‟ reading comprehension.

This can be drawn by the result of significance value (sig) is 0.000 and Fobserved= 239.630. Because

Sig.=0.000 < 0.05 and Fobserved= 239.630 >Ftable (2.838), then Ho is refused and H1 is accepted, 2)

There is a significant effect of vocabulary mastery on the student‟s reading comprehension. This is

proved by the result of significance value (sig) is 0.000 and Fobserved= 62.190. Because Sig.=0.000

< 0.05 and Fobserved = 62.190>Ftable (2.838), then Ho is refused and H1 is accepted, 3) There is no

significant interaction effect of short story and vocabulary jointly on the student‟s reading

comprehension. This can be seen by the results of significance value (sig) is 0.563 and Fobserved=

0.341. Because Sig.=0.563 > 0.05 and Fobserved = 0.341 <Ftable (2.838), then Ho is accepted and H1 is

refused.

Keywords: short story, vocabulary mastery, reading comprehension.

Page 28: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

21

INTRODUCTION

Reading lets one live and travel to

various places through his imagination and

become familiar with other people and

cultures. Therefore, ideas can be transmitted

from the author‟s mind to the reader‟s mind.

Reading is an active, which does not

encompass one skill but a large number of

interrelated skills, which increase

gradually.Grabe, William and L. Stoller,

Fredricka(2002:18) point out that “Reading

is also interactive in the sense that linguistic

information from the text interacts with

information activated by the reader from

long-term memory, as background

knowledge. Reading involves an active

search for information and interaction with

the text. It requires the constant constructive

involvement of the reader in what he is

doing. It requires the use of high level

mental abilities and background

knowledge.” Nowadays, reading has

become the need for many people. It is a

medium to learn about the world and other

things that we want to know. By reading,

people can enrich their knowledge and get

written messages.

When learning reading, it is found

some problems. The first, students often feel

boring around ten minutes when the process

of learning it has just begun because the

teacher uses conventional teaching. As the

fact, they had some difficulties in

comprehending the texts. They used to read

word by word, got confused with unfamiliar

words, and did not comprehend the text

messages. The second, students were still

difficult to comprehend, determine the

meaning of unfamiliar words.

The problem on the teaching and

learning process is one of the normal

obstacles. The researcher thinks that

knowledge can be reached through teaching

learning process which involves teacher and

learner. Weil, Marsha (1972:1) stated

“Teaching as a process by which teacher

and students can create a shared

environment including set of values and

beliefs (agreements about what is

important) which is turn color their view of

reality.” Based on the case above, language

learning should be done in many ways.

According to J. McCaryty, Donald

(1968:56) “ All over the country educators

are making efforts to improve learning in

the school through the use of new and

imaginative approaches that break down

lockstep routines.”

The notions above inspire the

writer to find way out on the problems of

teaching reading. This will help the students

acquire the knowledge particularly in

reading. He thinks that short story is one of

the solutions to disappear the first teaching

reading problem, the boredom.

Learning is a process to acquire

knowledge. It needs hard work and

sometimes will make students frustrated and

get bored, so that they lose their attention to

a lesson. In this case, the use of media in

teaching- learning process is needed to

attract students‟ attention and to make

teaching- learning activities more interesting

and also effective.

The usage of short story is really

needed recently. It will improve student‟s

willingness, motivation, stimulus and even

influencing strategy to the students. The

teaching and learning will attract the

students, so it will increase the student‟s

motivation in learning. In addition, the

material will be clearer. It is easy to be

understood by the students. Besides, the

method of teaching will be vary. It is not

verbal communication occur in the class, so

the student will not boring. Moreover, the

students will do more activities in the

teaching and learning process. It has the

students to observe, do, act, analyse, and

others.

Short story helps the students to

learn the four language skills; those are

listening, speaking, reading, and writing.

According to Rocha Erkaya, Odilea

(2004:1):

Some instructors may still believe

that teaching EFL encompasses focusing on

linguistic benefits only, so eventually their

students will communicate in the target

language, others who have integrated

literature in the curricula have realized that

literature adds a new dimension to the

Page 29: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

22

teaching of EFL. Short stories, for example,

help the students to learn the four language

skills (listening, speaking, reading, and

writing) more effectively because of the

motivational benefit embedded in the

stories. In addition, with short stories

instructors can teach literary, cultural, and

higher order thinking aspects.

It means that teaching by using

short story has many functions and more

effective. It helps the students to master the

four language skills (listening, speaking,

reading, and writing) easily.

The second problem of the

student‟s difficulties in learning reading is

the difficulties to comprehend, determine

the meaning of unfamiliar words. The writer

thinks that vocabulary mastery will get the

students understand easily when they do

reading. Vocabulary mastery plays a great

role in determining the success of foreign

language learning. Schmitt, Norbert

(2000:19) points out that “one of the key

elements in learning a foreign language is

mastering the L2 vocabulary. Meaning that

without having enough vocabulary, a

foreign language learner will have problems

in understanding a language and expressing

his ideas.” Besides, Notion, Paul (1990:2)

states that “learners feel that many of their

difficulties in both perceptive and

productive language use result from an

inadequate vocabulary. Students need a

productive knowledge of at least 3000 high

frequency English words in order to be able

to cope with English tasks.” It means that if

students do not have enough vocabulary,

English tasks will be frustrating as they have

to look the dictionary up in the most of time.

It is absolutely clear that learners especially

senior high students master the vocabulary.

K Baker, Scott et all. (1995:100)

states that “Most people feel that there is a

common sense relationship between

vocabulary and comprehension the

messages are composed of ideas and the

ideas are expressed in words.” Most

theorists and researchers in education have

assumed that vocabulary mastery and

reading comprehension are closely related,

and numerous studies have shown the strong

correlation between the two. There are a

number of ways how to encourage the

student‟s vocabulary development, but the

most important and effective is through

reading and comprehension. The bottom line

is that reading is still the best way for the

students to develop their vocabulary. The

secret to success is making sure the students

comprehend what they are reading. The

students think reading is simply reading

aloud the words they see on a page. This is

reading, but not necessarily on

comprehension. In order to help the

students, it is needed to be actively involved

in the students‟ reading and use their school

lessons to further challenge their vocabulary

development. By taking extra steps to help

the students build their vocabulary while

reading for school, it is important to provide

the students with the tools needed for

academic and career success. Words are the

tools for thought; the more words the

student learns, the more tools they will have

to achieve great things. By improving

students‟ vocabulary skills, their reading

comprehension will increase as well. This

studywas undertaken to explore the role of

vocabulary in readingcomprehension. There

is an assumption where a student‟s success

in grade school, high school, college and

later in his or her career is dependent almost

entirely on vocabulary.

Those notions above makes the

writer to formulate the problems, as follows:

1) Is there any effect of teaching media on

the students‟ reading comprehension at

private Islamic senior high school in

Tasikmalaya-West Java? 2. Is there any

effect of vocabulary mastery on the

students‟ reading comprehension at private

Islamic senior high school in Tasikmalaya-

West Java? 3. Is there any interaction effect

of teaching media and vocabulary mastery

on students‟ reading comprehension at

private Islamic senior high school in

Tasikmalaya-West Java?

The objectives of the research are

1) To know the effect of teaching media on

the students‟ reading comprehension at

private Islamic senior high school in

Tasikmalaya-West Java 2. To know the

Page 30: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

23

effect of vocabulary mastery on the

students‟ reading comprehension at private

Islamic senior high school in Tasikmalaya-

West Java 3. To know the interaction effect

of teaching media and vocabulary mastery

on students‟ reading comprehension at

private Islamic senior high school in

Tasikmalaya-West Java?

Short Story

The short story is a kind of

literature. It is a printed material made by

people, scholars, researcher, literary writer,

etc. Short story usually tells us about many

kinds of aspect if life, like philosophy,

history, culture, religion, and region.

The short story is a literary genre.

According to Library>Refference>Wordnet

“The short story is a literary genre of

fictional prose narrative that tends to be

more concise and to the point than longer

works of fiction such as novellas (in the

modern sense of the term) and novels.” It

means that short story is a literary genre that

is not too long.

Short story is a short fictional

prose. According to

Library>Refference>Wordnet. “Short story

is a fictional prose tale of no specified

length, but too short to be published as a

volume on its own, as novellas sometimes

and novels usually are.” It means that short

story is a short fictional prose, like novel.

Furthermore, Ghasemi, Parvin and

Hajizadeh, Rasool (2011:69) states “ the

short story is a compact literary genre in

which much is left unsaid in order for the

reader to draw implication.”

The short story is a literary that can

be valuable of the language skills

development. Ghasemi, Parvin and

Hajizadeh, Rasool (2011:69) states “ the

short story as a multi-dimensional literary

genre can be profitably used in the

acquisition of various language skills. The

short story‟s distinctive feature‟s i.e. its

brevity, modernity, and variety make it

appealing and interesting to language

learners.”

From the definitions above, the

writer concludes that short story is a

fictional prose and it can be categorized as a

literature tends to be more concise and to the

point than longer works of fiction such as

novellas (in the modern sense of the term)

and novels. The short story is really short to

be published as a volume on its own, as

novellas sometimes and novels usually are

but the short story as a multi-dimensional

literary genre can be profitably used in the

acquisition of various language skills. The

short story‟s distinctive feature‟s i.e. its

brevity, modernity, and variety make it

appealing and interesting to language

learners.

The Characteristics of Short Story

In the old time, the short story

comes from the tales. It is conveyed in the

beautiful poem form. It is made to help the

people to remember the story easily.

Library>Refference>Wordnet.states

“Short stories date back to oral

story-telling traditions which originally

produced epics such as Homer‟s Iliad and

Odyssey. Oral narratives were often told in

the form of rhyming or rhythmic verse,

often including recurring sections or, in the

case of Homer, Homeric epithets. Such

stylistic devices often acted as mnemonics

for easier recall, rendition and adaptation of

the story.” It means that the short story are

from the tales (story-telling traditions).It is

conveyed to the people by using beautiful

rhythmic poem in the old time because the

people will remember it easily.

The short story is shorter than

novel. It usually describes only one incident.

It has only one setting and plot. Moreover,

the short story has a small number of

characters, and covers a short period of

time. According to

Library>Refference>Wordnet. “Short

stories tend to be less complex than novels.

Usually short story focuses on only one

incident, has a single plot, a single setting, a

small number of characters, and covers a

short period of time.” It means that short

story tells us about one event and has only

one plot and setting. It also has only a few

characters, and happened in short period of

time.

Short story has many elements

namely theme, character, setting, plot, and

Page 31: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

24

conflict. The theme in a piece of fiction is its

controlling idea or its central insight. It is

the author's underlying meaning or main

idea that he is trying to convey. The theme

may be the author's thoughts about a topic or

view of human nature. The title of the short

story usually points to what the writer is

saying and he may use various figures of

speech to emphasize his theme, such as:

symbol, allusion, simile, metaphor,

hyperbole, or irony.

The second is character There are

two meanings for the word character: 1)

The person in a work of fiction.2) The

characteristics of a person. Persons in a

work of fiction - Antagonist and

Protagonist. Short stories use few

characters. One character is clearly central

to the story with all major events having

some importance to this character - he/she is

the protagonist. The opposer of the main

character is called the antagonist. The

Characteristics of a Person.In order for a

story to seem real to the reader its characters

must seem real. Characterization is the

information the author gives the reader

about the characters themselves.

The third is setting. The time and

location in which a story takes place is

called the setting. For some stories the

setting is very important, while for others it

is not. There are several aspects of a story's

setting to consider when examining how

setting contributes to a story (some, or all,

may be present in a story):

a) place - geographical location. Where is

the action of the story taking place? b) time

- When is the story taking place? (historical

period, time of day, year, etc) c) weather

conditions - Is it rainy, sunny, stormy, etc?

d) social conditions - What is the daily life

of the characters like? Does the story

contain local colour (writing that focuses on

the speech, dress, mannerisms, customs, etc.

of a particular place)? e) mood or

atmosphere - What feeling is created at the

beginning of the story? Is it bright and

cheerful or dark and frightening?

The plot is how the author arranges

events to develop his basic idea; It is the

sequence of events in a story or play. The

plot is a planned, logical series of events

having a beginning, middle, and end. The

short story usually has one plot so it can be

read in one sitting. There are five essential

parts of plot: Plot a) Introduction - The

beginning of the story where the characters

and the setting is revealed. b) Rising Action

- This is where the events in the story

become complicated and the conflict in the

story is revealed (events between the

introduction and climax). c) Climax - This

is the highest point of interest and the

turning point of the story. The reader

wonders what will happen next; will the

conflict be resolved or not? d) Falling

action - The events and complications begin

to resolve themselves. The reader knows

what has happened next and if the conflict

was resolved or not (events between climax

and denouement). e) Denouement - This is

the final outcome or untangling of events in

the story.

The last is conflict. It is essential to

plot. Without conflict there is no plot. It is

the opposition of forces which ties one

incident to another and makes the plot

move. Conflict is not merely limited to

open arguments, rather it is any form of

opposition that faces the main character.

Within a short story there may be only one

central struggle, or there may be one

dominant struggle with many minor ones.

There are two types of conflict:

1) External - A struggle with a force outside

one's self.2) Internal - A struggle within

one's self; a person must make some

decision, overcome pain, quiet their temper,

resist an urge, etc. There are four kinds of

conflict: 1) Man vs. Man (physical) - The

leading character struggles with his physical

strength against other men, forces of nature,

or animals. 2) Man vs. Circumstances

(classical) - The leading character struggles

against fate, or the circumstances of life

facing him/her. 3) Man vs. Society (social)

- The leading character struggles against

ideas, practices, or customs of other people.

4) Man vs. Himself/Herself (psychological)

- The leading character struggles with

himself/herself; with his/her own soul, ideas

Page 32: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

25

of right or wrong, physical limitations,

choices, etc.

From the explanations above the

writer concludes that the characteristics of

short story are focusing only on one

incident, having a single plot and setting and

having a few characters. The five important

elements of short story are theme, character,

setting, plot, and conflict.

The short story as teaching media and its

benefit in reading comprehension

In the previous, the writer

concludes that there are two kinds of short

story, those are electronic media and simple

media. The example of simple media is

short story because it is easy to make, to get,

and to use.

The researcher believes that short

story is a short story. It helps the students to

get the knowledge, concepts, and theories

through using short story. Furthermore, it

can develop the students‟ motivation in

learning something. Therefore, the writer

concludes that short story is a short story.

Short story is a short story that can

be practiced everywhere. Reading short

story is a suggested way to be done in the

classroom. Collie, Joanne and Slater,

Stephen (1995:1) states “Reading stories in

a classroom first, rather than in armchair.

Working with other people in groups gives

you a lot of advantages: it can help each

other with the difficulties, and can share

ideas, reactions, and interpretation.”

Reading comprehension, as a

fundamental language skill, requires a

complex acquisition process which can

account for the way that the learners

comprehend what they read.

Some materials such as textbook

are needed to enhance reading

comprehension, such as word analysis,

structural analysis, dictionary use, and

learning the meaning of words from the

context. Short stories could be beneficial

since literature has the quality of being

universal and short stories will allow the

teacher to deal with human problem.

Pourkalhor, Omid and Kohan,

Nasibeh (2013:1) states

The following advantages for

pedagogical advantages of short stories over

other literary texts:

1. Short stories makes the students‟

reading task easier because it is simple

and short Give learners a better view of

other people and other cultures.

2. Requires more attention and analysis

helps students to be more creative and

3. Raise cultural awareness.

4. Reduce students anxiety and helps them

feel more relax.

5. Is good for multicultural contexts

because of its universal language.

6. Offers a fictional and interesting world

The teaching and learning process

by using short story will increase the

students‟ reading comprehension. According

to Rocha Erkaya, Odilea (2004:1) “The

results of a comparison between a group of

students that read literary texts and a second

group that read non-literary texts at a

university in Hong Kong is the group who

read literary texts showed improvement in

vocabulary and reading comprehension.” It

means that the students who use literary text

is better than the students who do not use it.

Short story will improve reading

comprehension. Ghasemi, Parvin and

Hajizadeh, Rasool (2011:69) states “ Many

ESL/EFL experts agree that the content

knowledge is an important factor in the

learning process of reading comprehension.

The short story distinctive features, i.e., its

brevity, modernity, and variety make it

appealing and interesting to language

learners and a value source for the

improvement of language learning reading

comprehension. The short story can offer

learners adequate linguistic, intellectual, and

emotional involvement and enrich their

learning experience.”

Furthermore, Ghasemi, Parvin and

Hajizadeh, Rasool (2011:69) states “ A good

number of ESL/EFL experts do agree that

content knowledge is an important factor in

the learning process of reading

comprehension. A valuable source of

knowledge is, undoubtedly, literary texts,

and more appropriately and for reading

comprehension process, the short story.

Page 33: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

26

Using the short story to enhance students‟

reading proficiency has another privilege.

The short story is a compact literary genre in

which much is left unsaid in order for the

reader to draw implication. Therefore, it

makes students sensitive to the hidden and

implied meaning.

Teaching Reading by Using Short Story

Many techniques has been

implemented to teach reading, one of the is

by using short story. Pourkalhor, Omid and

Kohan, Nasibeh (2013:1) states “ Reading is

not just a single skill but a combination of

many skills and processes in which the

readers interact with printed words and texts

for content and pleasure. Through reading,

one can teach writing, speaking, vocabulary

items, grammar, spelling and other language

aspects. There are some essential goals of

reading such as enabling the students to

understand the world, growing their interest,

and finding solution to their own problems.

The use of literature as a technique for

teaching both basic language skills (i.e.

reading, writing, listening and speaking) and

language areas (i.e. vocabulary, grammar

and pronunciation) is very popular within

the field of foreign language learning and

teaching nowadays. Moreover, in translation

courses, many language teachers make their

students translate literary texts like drama,

poetry courses, and short story into their

mother language.”

Short story has valuable benefit if it

is chosen in the development in language

skills, particularly in reading

comprehension. Ghasemi, Parvin and

Hajizadeh, Rasool (2011:69-70) states “

when the short story is chosen based on the

student‟s level of English proficiency, it can

offer them adequate linguistic, intellectual,

and emotional involvement and enrich their

learning experience. The short story can

provide ESL/EFL learners with a suitable

study resource which is both delightful and

instructive to improve their English

linguistics proficiency and reading

comprehension.”

There are five main parts of short

story. They are theme, character, setting,

plot, and conflict. Five important elements

of a short story are:

1. Theme

The theme is the central idea or belief in

a short story.

2. Character

A character is a person, or sometimes

even an animal, who takes part in the action

of a short story or other literary work.

3. Setting

The setting of a short story is the time

and place in which it happens. Authors often

use descriptions of landscape, scenery,

buildings, seasons or weather to provide a

strong sense of setting.

4. Plot

A plot is a series of events and character

actions that relate to the central conflict.

5. Conflict

The conflict is a struggle between two

people or things in a short story. The main

character is usually on one side of the

central conflict.

The writer concludes that the main parts

of short story are theme, character, setting,

plot, and conflict. The writer assumes if the

students regularly read by identifying the

elements of the short story, it will influence

into their reading comprehension.

In the teaching reading process, the

teacher should get the students to read short

story first. The next, they are led to identify

the theme, character, setting, plot, and

conflict. After they succeed to label all the

elements of the short story, the teacher

should explain the function why they must

know them.

Knowing the theme of the short

story, it will help the students easy to find

out the main idea on the passages

subsequently. In addition, they can

categorize what types of main ideas

available on the text.

By labeling the characters on the

short story, the students will easy to find out

to the existing characters on the passages. In

addition, the student can be able to find out

how the character‟s physical/appearance on

the passages easily. Moreover, the student is

easy to find out what the character‟s say,

think, feel, do or does on the passages. This

Page 34: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

27

step will drive the students to decide the

supporting ideas on the passages.

The next step of teaching reading

by using short story based on the writer‟s

opinion is identifying setting on the short

story. This will assist the students easy to

naming the places available on the passages.

The next, it helps the student easy to

identify the time available on the passages.

The last, the students think easy to identify

the conditions available on the passages.

This benefit of this activity is the same as

labeling the character. It incubates the

students think easy to decide the supporting

ideas on the passages.

Comprehending the plot and the

conflict on the passages has some functions.

It will make the student understand the

genres, the generic structures in passages,

the structure and grammar on the passages,

the tenses, the moral value, the meaning,

comprehend the passages served.

The Nature of Vocabulary Mastery

Speaking of vocabulary mastery,

the first thing that should be explained is the

definitions of mastery since the primary goal

of vocabulary, which is mastery. According

to Allen, Robert (2000:856), Mastery is skill

or knowledge that makes one master of a

subject.

From the definitions stated

previously, mastery is someone‟s skill or

knowledge of a subject. Subject in this case

is vocabulary in a foreign language, which is

learnt by students. In addition, Harmer,

Jeremy (2002:13) points out that without

grammar very little can be conveyed,

without vocabulary nothing can be

conveyed. Meaning that the existence of

vocabulary cannot be separated by the

existence of a language. In other words, no

language exists without vocabulary.

In The World Book Encyclopedia

vocabulary is the total number of words in a

language, it is also the collection of words a

person knows and uses in speaking or

writing. Furthermore, Read, John (2000:11)

states “A basic assumption in vocabulary is

knowledge of words. A word is a

microcosm of human consciousness.

Vocabulary therefore has an important role

to help the students understand the meaning

of words.”

Referring to the concept of

mastery, vocabulary mastery is someone‟s

proficiency in using words and their

meaning appropriately in language. By

reading a text, learners will be accustomed

to looking the dictionary up, guessing the

words, and using the words in the context

properly. Good mastery of vocabulary helps

the learners express their ideas precisely. By

having many stocks of words, learners will

be able to comprehend the reading

materials, catch someone‟s talk, give a

response, speak fluently, and write some

kinds of topics. On the contrary, if the

learners are unfamiliar with the meaning of

the words by those who address them, they

will be unable to participate in conversation,

ask for the information or express some

ideas and thoughts.

From the previous statements, it

can be inferred that vocabulary is a

collection of words, which is collected

through language, conversation and a

dictionary used by people in verbal

communication. Vocabulary mastery is

someone‟s proficiency in using words and

meaning and English language which

frequently come up. Besides, vocabulary is

also important in language learning which

has to be mastered by students to develop

the language skills; especially in reading

that students should have adequate

vocabulary as a result they can understand

the reading materials.

Aspects of Vocabulary

According to Thornbury, Scott

(2002:3-9) “ There are some ways of

presenting a word meaning namely:

a) Word classes; the words play different

roles in a text. They fall into one of

eight different word classes such as

nouns, pronouns, verbs, adjectives,

adverb, prepositions, conjunction, and

determiner.

b) Word families; how words may share

the same base or root but take different

endings. A word family comprises the

Page 35: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

28

base word plus its inflexions and its

most common derivatives.(e.g. play,

play + er = player, re + play = replay,

play + ful = playful).

c) Collocations; how words “couple up” to

form compounds, and how they “hunt

in packs” in the shape of multi-word

units. It is seen as part of a continuum

of strength of association: a continuum

that moves from compound words

(second-hand, record player), through

multi-word units – or lexical chunks –

(bits and pieces), including idioms (out

of the blue) and phrasal verbs (do up),

to collocations of more or less fixedness

(set the record straight, set a new world

record).

d) Synonyms; Words that share a similar

meaning. Thus: old, ancient, antique,

aged, elderly are all synonyms in that

they share the common meaning of not

young/new. Synonyms are similar, but

seldom the same.

e) Antonyms; words with opposite

meanings – like old and new.

The implication of the aspects just

mentioned in presenting a word meaning,

learning the vocabulary of a second

language presents the following implications

for teaching as stated by Thornbury, Scott

(2002:30):

a) Learners need tasks and strategies to help

them organise their mental lexicon by

building networks of association the

more the better.

b) Teachers need to accept that the learning

of new words involves a period of “initial

fuzziness”.

c) Learners need to wean themselves off a

reliance on direct translation from their

mother tongue

d) Words need to be presented in their

typical contexts, so that learners can get a

feel for their meaning, their register, their

collocations, and their syntactic

environments.

e) Teaching should direct attention to the

sound of new words, particularly the way

they are stressed.

f) Learners should aim to build a threshold

vocabulary as quickly as possible.

g) Learners need to be actively involved in

the learning of words.

h) Learners multiple exposures to words and

they need to retrieve words from memory

repeatedly.

i) Learners need to make multiple decisions

about words.

j) Memory of new words can be

reinforced if they are used to express

personally relevant meanings.

k) Not all the vocabulary that the learners

need can be taught. Learners will need

plentiful exposure to talk and text as well

as training for self-directed learning.

From the explanation stated

previously, it can be seen that so many

components in mastering vocabulary

because it consists of words, which have

special features, and when someone only

knowing the content words, without

knowing the function words, and other

components of words, he or she will never

understand English sentence in a paragraph,

or in a passage. Having lack of vocabulary

will make students difficult in expressing

their ideas; they will find many difficulties

in using language skills. In enriching

student‟s vocabulary therefore the first thing

has to do before starting lesson, students are

introduced with the new vocabulary in the

context of a passage.

As a result, vocabulary mastery is

the student‟s ability in finding out the words

meaning in a sentence or paragraph, in the

content, functional words, idioms, and also

phrasal verbs. The vocabulary mastery can

be enriched by giving a test to the students

about words implementation, labeling a

word to a picture, describing someone or

something, finding the synonyms or

antonyms from the text or the passage.

RESEARCH METHODOLOGY

The method used in this research is

experiment. Short story will be implemented

in teaching and learning process in treatment

or experiment class and conventional

method used in control class.The

conventional method uses lecturing. The

Page 36: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

29

students only listens what the teacher

explained.

Variables and Design of the Research

The variables of the research consist of:

1. First Independent Variable, teaching

media (A)

2. Second Independent Variable,

Vocabulary mastery (B)

3. Dependent Variable, the students‟

reading comprehension (Y)

IndependentVariables

Dependent Variable

Diagram 1

Variables of the Research

The following is design of the

research:

Short story

Vocabulary

Mastery

Short Story

(A1)

Conventional

(A2)

High (B1) (A1B1) (A2B1)

Low (B2) (A1B2) (A2B2)

∑Total ∑A ∑B

Diagram 2

Research Design

Technique of Collecting and Analysing

Data

The primary data of the research

are test of vocabulary mastery and reading

comprehension. Both are multiple choices

test. All the questions have been examined

before for getting the validity and reliability

rules.

The research aims to analyse the

difference the score rate of the two

independent variables, therefore the he uses

the two-way ANOVA to analyse the data.

Research Findings and Discussion

Research Findings

The analysis of the students‟

reading comprehension data done by using

two-way ANOVA which the calculation

process helped by SPPSS version 20 for

windows. The following is the result of the

computation

Diagram 3

Research Findings

By seeing diagram 3, it can be

drawn the conclusion as follows:

1. There is a significant effect of short

story on the students‟ reading

comprehension

Hypothesis tested by seeing

significant coefficient. If Sig. value >

0.05 then Ho accepted and H1 is refused.

If Sig. value < 0.05 then H1 accepted

and Ho is refused

Based on the table ,the

researcher gets the result of ANOVA of

short story with sig. = 0.000 < 0.05 and

Fobserved = 239.630 >Ftable (2,838).

Therefore, there is a significant effect of

short story on the students‟ reading

comprehension

2. There is a significant effect of

vocabulary mastery on the students‟

reading comprehension

Hypothesis tested by seeing

significant coefficient. If Sig. value >

0.05 then Ho accepted and H1 is refused.

If Sig. value < 0.05 then H1 accepted

and Ho is refused

Based on the table 4.13, the

researcher gets the result of ANOVA of

vocabulary mastery with sig. = 0.000 < 0.05

and Fobserved= 62.190 >Ftable (2,838).

Therefore, there is a significant effect of

vocabulary mastery on the students‟ reading

comprehension.

3. There is not interaction effect of short story

and vocabulary mastery on the students‟

reading comprehension

Page 37: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

30

Hypothesis tested by seeing

significant coefficient. If Sig. value > 0.05

then Ho accepted and H1 is refused. If Sig.

value < 0.05 then H1 accepted and Ho is

refused

Based on the table 4.13, the

researcher gets the result of ANOVA of

short story and vocabulary mastery with sig.

= 0.563 > 0.05 and Fobserved= 0.341 <Ftable

(2,87). Therefore, there is no significant

interaction effect of short story and

vocabulary mastery on the students‟ reading

comprehension.

Discussion

There are many students who are

still difficult in reading comprehension. The

teacher has main role to must help the

students who are still difficult to understand

the material given. There so many ways to

solve the student‟s difficulties and teaching

and learning process. One of the ways is by

using the teaching media. It assists the

students to achieve the material and to

achieve the teaching objective.

Teaching media means several

things, graphic, or electronic tools that can

be used to send the messages of several

objectives of teaching to the students. In

addition, media is tool to deliver message

and can stimulate thought, feeling, and

audience willingness so it can motivate them

to become attractive in teaching and

learning process (Usman, Basyi pn and

Asnawir, 2002: 11).

A good teacher must fix the

objectives of teaching to lead a well

teaching and learning process. To achieve

that objective, the teacher must consider the

students, the available facilities, situation

and condition when the students learning the

material. In addition, teaching using media

is an extraordinary method used to achieve

the goal of learning.

Someone communication skill is

influenced by the quantity and quality of his

vocabulary mastery. The more he is rich of

vocabulary mastery, the more he can

communicate well.

Then, reading comprehension is the

process or activity of taking meaning to a

text in order to obtain meaning from the

text. An individual may be said that he is

able to comprehend the text fully when he

can recognize the words and sentences of

the text, make value judgments and based on

the reading experience.

Seeing the result of the research

which supported by statistics analysis, the

normality and homogeneity test can be

obtained. It stated that the data is normally

distributed and coming from same variance

(homogenous). Because of that reason, the

research can be continued into hypothesis

testing. The following are the hypothesis

test:

1. Hypothesis 1: There is a significant

effect of teaching media on the

students’ reading comprehension. From the hypothesis testing, it is

obtained that significance value (sig) is

0.000 and Fobserved= 239.630. Because

Sig.=0.000 < 0.05 and Fobserved= 239.630

>Ftable (2.838), then Ho is refused and H1 is

accepted. It means that there is a significant

effect between A variable (teaching media)

on Y variable (students‟ reading

comprehension). Operationally, the

students‟ reading comprehension is

measured by objective test (multiple choices

with five possible answer). Theoretically, it

can be assumed that the students‟ reading

comprehension is influenced by short story

teaching media. The students who taught by

short story took some enjoyable condition in

learning than the student who taught

conventionally. They did not feel boredom

and have fun in the class because they read

some interesting short stories from all over

the countries. It enlarged their knowledge on

the literature, culture and assist them to get

the new concept of reading comprehension

by using short story. In contrast, the students

who taught conventionally has low result in

reading comprehension because they teach

by lecturing. They feel sleep and boring.

They are not active and has no new

experience on the teaching and learning

process. From the explanation above, the

researcher concludes that there is a

significant effect of teaching media on the

students‟ reading comprehension

Page 38: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

31

2. Hypothesis 2 : There is a significant

effect of vocabulary mastery on the

students’ reading comprehension. From the hypothesis testing, it is

obtained that significance value (sig) is

0.000 and Fobserved = 62.190. Because

Sig.=0.000 < 0.05 and Fobserved =

62.190>Ftable (2.838), then Ho is refused and

H1 is accepted. It means that there is a

significant effect between B variable

(vocabulary mastery) on Y variable

(students‟ reading comprehension).

Operationally, the vocabulary mastery is

measured by objective test (multiple choices

with five possible answer). Theoretically, it

can be assumed that the more someone has

high vocabulary mastery, the more he can

get good result in learning reading. In

contradictory, if the student has low

vocabulary mastery, he may get lower result

of learning than the high one. From the

explanation above, the researcher concludes

that there is a significant effect of

vocabulary mastery on the students‟ reading

comprehension.

3. There is a significant interaction

effect of teaching media and

vocabulary on the students’ reading

comprehension. From the hypothesis testing, it is

obtained that significance value (sig) is

0.563 and Fobserved= 0.341. Because

Sig.=0.000 > 0.05 and Fobserved = 0.341

<Ftable (2.838), then Ho is accepted and H1 is

refused. It means that there is a significant

effect between A variable (teaching media)

and B variable (vocabulary mastery) on Y

variable (students‟ reading comprehension).

Operationally, the students‟ reading

comprehension is measured by objective test

(multiple choice with five possible answer).

Theoretically, it can be assumed that the

students‟ reading comprehension is not

influenced by short story teaching media

and vocabulary mastery. From the

explanation above, the researcher concludes

that there is no significant interaction effect

of teaching media and vocabulary mastery

on the students‟ reading comprehension.

CONCLUSION Based on the objective of the

research and the data analysis, the writer is

able to make conclusion as follows:

1. There is a significant effect of short

story on the students‟ reading

comprehension

2. There is a significant effect of

vocabulary mastery on the students‟

reading comprehension.

3. There is no significant interaction effect

of short story and vocabulary on the

students‟ reading comprehension.

Seeing the research findings above,

the writer suggests to the teacher of Private

Senior Islamic School to use short story as

teaching media to improve their students‟

reading comprehension. Furthermore, the

writer suggests that the teacher improve the

students‟ vocabulary mastery by various

kinds of technique to support not only

reading but also all English language skills.

Bibliographies

Allen, Robert.2000. The New Penguin

English Dictionary. London: Penguin

Books.

Collie, Joanne. and Slater, Stephen. 1995.

Short Stories for Creative Language

Classroom. Great Britain: Cambridge

University Press.

Grabe , William and L Stoller, Fredricka.2002.

Teaching and Researching Reading.

Longman: Pearson Education.

Harmer, Jeremy. 2002. How to Teach

Vocabulary. England: Longman.

J. Mc Carty, Donald. 1968. News

Perspectives on Teacher Education.

San Fransisco California: Jossey-Bass,

Inc. Publisher.

Read, John. 2000.Vocabulary Assessment.

Cambridge: Cambridge University

Press.

K Baker, Scott et al. 1995.Vocabulary

Acquisition: Curricular and

Instructional Implications for Diverse

Learners Technical Report: Eugene:

National Center to Improve the Tools

of Educators.

Notion, Paul. 1990. Teaching and Learning

Vocabulary. Boston: Heinle&Heince

Publisher.

Page 39: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

32

Schmitt, Norbert. 2000. Vocabulary in

Language Teaching. Cambridge:

Cambridge University Press.

Thornbury, Scott. 2002. How to Teach

Vocabulary. Longman: Pearson

Education Limited

Usman, Basyirudin and Asnawir. 2002.

Media Pembelajaran. Jakarta: Delia

Citra Utama.

Weil, Marsha.1972.Models of Teaching.

New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Englewood Clift.

Journals

Ghasemi, Parvin and Hajizadeh, Rasool.

2011. Teaching L2Reading

Comprehension through Short Story.

Iran: Shiraz University.

Kuswandono, Paulus. 2000. Reading as an

Active Process. Jurnal FKIP of Sanata

Dharma University, Widya Dharma.

No.1, Th. XI, October 2000.

Pourkalhor, Omid and Kohan, Nasibeh.

2013. Teaching Reading

Comprehension Through Short Stories

in Advanced Class. Iran: Department

of English Islamic Azad University.

Rocha Erkaya, Odilea. 2004. Benefits of

Using Short Story in the EFL Context.

Turkey: Eskisehir Osmangazi

University Turkey.

Internet

http://dianingpadmi.wordpress.com/eedduuc

caattiioonn/the-use-of-media-in-teaching-

learning-process/

http:library>Refference>Wordnet

Page 40: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

33

PEMBELAJARAN NASKAH DRAMA MELALUI BEDAH NASKAH

Ridzky Firmansyah Fahmi

Universitas SIliwangi Tasikmalaya

[email protected]

ABSTRAK Pembelajaran drama sebaiknya bermula dari naskah bukan langsung dari sebuah pementasan

drama. Sebuah pementasan drama bermula dari naskah drama, itu sebabnya pengenalan dan

pembahasan drama sebagai sebuah karya sastra akan membantu proses alih wahana dari bentuk

teks bacaan menjadi bentuk tuturan panggung. Dalam pembahasan mengenai naskah drama, dialog

sebagai teks utama dalam naskah menjadi hal yang penting untuk dikaji. Makna kata atau kalimat,

maksud pengarang atas bahasa yang dituangkannya dalam bentuk dialog, serta tema dapat

ditelusuri dengan mudah dan cermat melalui proses mengkaji naskah yang di kalangan praktisi

drama lebih dikenal dengan istilah bedah naskah. Bedah naskah membantu para pihak yang

terlibat (dalam rencana pementasan) menafsirkan dengan baik maksud pengarang atas naskah yang

ditulisnya.

Kata kunci: naskah drama, bedah naskah, pembelajaran drama

DRAMA LEARNING THROUGH PLAY SCRIPT REVIEW

ABSTRACT Learning drama should be started from a script rather than directly from a staging drama. A

staging drama stems from a play, which is why the introduction and discussion of the drama as a

literary work will help the transfer of a vehicle from reading text form into a form of speech stage.

In the discussion about the plays, dialogue as the main text in the script becomes important to be

studied. Meaning of words or sentences, the author's intention over language that poured in the

form of a dialogue, and themes can be traced easily and accurately through the process of

reviewing the manuscript among the practitioners of drama better known surgical text. Surgical

manuscript to help the parties involved (in the staging plan) properly interpret the author's

intention on a script he wrote.

Keyword: play script, manuscript review, drama learning

PENDAHULUAN

Pembelajaran drama selalu

diidentikkan dengan masalah praktika. Baik

di sekolah maupun di kelompok-kelompok

teater, terdapat stereotip yang sama

mengenai pembelajaran drama. Drama

hampir selalu identik dengan sebuah seni

pertunjukan lengkap dengan segala atribut

pentasnya. Jangankan di sekolah, di

kelompok-kelompok teater pun, sedikit

sekali yang mengedepankan naskah drama

sebagai titik tolak pembelajaran. Padahal,

sebuah pertunjukan drama bermula dari

sebuah teks – teks drama – teks yang berupa

karya sastra. Itu sebabnya drama tidak dapat

dipisahkan dari segi sastranya, baik berupa

teks (naskahnya) maupun berupa teks lisan

(dialog) yang diucapkan para aktor di atas

panggung.

Pembicaraan mengenai naskah

drama memang belum sebanyak

pembicaraan karya sastra lainnya seperti

puisi atau novel. Pembicaraan mengenai

naskah drama dianggap telah dapat diwakili

dengan pengalihan bentuk dari naskah

menjadi pementasan. Alhasil, pembicaraan

pun tidak berpusat pada naskah, namun pada

segi performansi, seperti properti atau gerak

aktor. Di antara penonton drama yang

mengapresiasi sebuah pementasan drama,

sedikit sekali yang benar-benar memahami

dan memaknai dialog anatartokoh sehingga

tahu betul maksud pengarang dan tahu betul

wacana atau tema yang ingin disampaikan

pengarang yang telah ditafsirkan terlebih

Page 41: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

34

dahulu oleh sutradara. Dialog aktor ialah

kunci, kunci dari makna kata, kunci dari

maksud pengarang memunculkan kata-kata

tersebut. Persoalan lingkup artistik ialah

persoalan visual yang menguatkan maksud

yang ingin disampaikan pengarang sebab

semuanya berpusat pada teks, pada naskah

drama.

Tujuan Pembelajaran Drama

Tujuan pembelajaran drama sekaitan

dengan tujuan pembelajaran sastra. BSNP

(2006:110) menetapkan tujuan pembelajaran

sastra mata pelajaran bahasa Indonesia

sebagai berikut.

a. Berkomunikasi secara efektif dan efisien

sesuai dengan etika yang berlaku, baik

secara lisan maupun tulis.

b. Menghargai dan bangga menggunakan

bahasa Indonesia sebagai bahasa

persatuan dan bahasa negara.

c. Memahami bahasa Indonesia dan

menggunakannya dengan tepat dan

kreatif untuk berbagai tujuan.

d. Menggunakan bahasa Indonesia untuk

meningkatkan kemampuan intelektual,

serta kematangan emosional dan sosial

e. Menikmati dan memanfaatkan karya

sastra untuk memperluas wawasan,

memperhalus budi pekerti, serta

meningkatkan pengetahuan dan

kemampuan berbahasa.

f. Menghargai dan membanggakan sastra

Indonesia sebagai khazanah budaya dan

intelektual manusia Indonesia.

PEMBAHASAN

Drama

Dalam buku Dramaturgi (1993: 1),

Harymawan mengatakan drama berasal dari

bahasa Yunani yakni draomai yang berarti

bertindak, berlaku, berbuat, beraksi, dan

sebagainya. Drama lebih banyak

dihubungkan dengan karya sastra, bisa juga

berarti naskah lakon. Tjahyono (1988: 186)

menyebutkan bahwa drama dapat diartikan

sebagai bentuk seni yang berusaha

mengungkapkan hal kehidupan manusia

melalui gerak atau aksi dan percakapan atau

yang lebih dikenal dengan dialog.

Brunetire dan Balthazar Verhagen

(Toni, 2006: 17) menyebutkan bahwa drama

adalah kesenian yang melukiskan sifat dan

sikap manusia dan harus melahirkan

kehendak manusia dengan action dan

perilaku. Moulton berpendapat bahwa

drama adalah hidup yang dilukiskan dengan

gerak, menyaksikan kehidupan manusia

yang diekspresikan secara langsung.

Dapat disimpulkan bahwa drama

adalah cerita konflik manusia dalam naskah

kemudian dipentaskan pemain teater di

tempat pertunjukan dan ditonton (langsung).

Drama yang dipentaskan sebagai tontonan

atau pertunjukan inilah yang biasa disebut

dengan istilah teater.

Teater berasal dari bahasa Yunani,

yaitu teatron, yang artinya sebuah tempat

pertunjukan yang kadang dapat memuat

sekitar 100.000 penonton. Peristiwa teater

tersebut berawal dari ritual keagamaan

memuja Dewa Dyonisius (Dewa

Kesuburan). Teater dapat juga diartikan

mencakup gedung, pekerja (pemain dan kru

panggung), sekaligus kegiatannya (isi –

pentas atau peristiwanya).

Menurut Akhmad (1993:29), teater

moderen merupakan bentuk teater

nontradisional yang tumbuh di kota-kota

besar sebagai hasil kreativitas bangsa

Indonesia dalam persinggungan dengan

kebudayaan Barat, lewat teaternya. Teater

moderen bertolak dari sastra tulis, sastra

Indonesia yang berbentuk lakon dan diikat

oleh konvensi dan hukum dramaturgi.

Ikun (2006:29) mengemukakan

bahwa teater sebagai seni pertunjukan sering

menempatkan bahasa sebagai salah satu

potensi ekspresinya. Berkait dengan itu,

kehadiran dan keberadaan aktor menjadi

penting ketika ia harus mengartikulasikan

bahasa itu. Ikun (2006: 39) menambahkan

bahwa Butet menandai dua fungsi bahasa

dalam seni pertunjukan yakni sebagai

penyampai informasi dan sebagai alat untuk

menyampaikan pikiran. Melalui media

bahasa, pikiran menjadi terartikulasikan.

Adapun informasi, lebih berkait pada cerita

yang disajikan: kisahnya, konfliknya.

Menurut Butet, makna yang berada di balik

cerita itu atau pikiran-pikiran yang dibawa

oleh cerita menjadi terartikulasikan oleh

adanya bahasa.

Page 42: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

35

Dari pendapat tersebut dapat

disimpulkan bahwa kekuatan drama atau

teater terletak pada bahasa – pada kata-kata

– pada dialog. Bahasa (dialog) menjadi

penyampai gagasan yang efektif dalam

drama, baik dalam konteks sebagai teks

sastra maupun dalam konteks kelisanan di

atas panggung.

Menurut Hae (2006:18) jika dalam

sastra representasi melulu bertumpu pada

bahasa, sementara pada seni lainnya, seperti

seni rupa atau film, citra visual justru hadir

setelah dipahami dan diuraikan oleh mata,

maka teater menggabungkan keduanya.

Dalam sebuah pementasan lakon kita bukan

hanya menonton serangkaian lakuan, segala

rupa, bentuk, suara, tetapi sekaligus masuk

ke dalam tindak berbahasa tertentu. Dengan

berbahasa tokoh-tokoh lakon itu bukan

hanya menghidupkan karakter masing-

masing melainkan juga melukiskan sesuatu

kepada penonton, menceritakan dan

menunjukkannya. Semua itu untuk

meyakinkan mereka bahwa dunia rekaan itu

layak dipercaya sebab ia tiruan yang paling

meyakinkan dari dunia nyata.

Atar Semi (1988: 159-161)

mengemukakan perbedaan drama dengan

jenis karya sastra lainnya.

1. Drama mempunyai tiga dimensi, yakni

dimensi sastra, gerakan, dan ujaran.

2. Drama memberi pengaruh emosional

yang lebih kuat dibandingkan dengan

karya sastra lain.

3. Bagi sebagian besar orang, menonton

drama lebih menyenangkan dan

menghasilkan pengalaman yang lebih

lama diingat dibandingkan dengan

membaca novel.

4. Drama disusun dengan suatu keterbasan.

Ia dibatasi oleh dua konvensi, yaitu:

intensitas dan konsentrasi.

5. Kekhususan drama yang amat penting

pula adalah keterbatasan pemain-pemain

secara fisik.

6. Drama memiliki keterbatasan

pemanfaatan objek material.

7. Drama dapat memiliki keterbatasan

bukan saja dari segi artistik tetapi juga

dari segi kepentasan.

8. Keterbatasan lain yang dimiliki drama

dibandingkan dengan karya sastra yang

lain adalah, bahwa drama dibatasi oleh

keterbatasan intelegensi rata-rata

penonton.

9. Drama memiliki episode dan jumlah alur

yang terbatas.

10. Naskah drama merupakan suatu

karya yang isinya melalui percakapan.

Dapat disimpulkan bahwa terdapat

hal yang membedakan antara drama dengan

karya sastra lainnya, yaitu pada segi cerita,

dialog, dan maksud pengarang. Dari segi

cerita, isinya berupa rangkaian peristiwa

yang dikaitkan secara logis dan kronologis

yang dikembangkan dengan adanya konflik.

Dalam drama, dialog menjadi elemen

bahasa yang penting dan dominan. Jika

dikaitkan dengan maksud pengarang, naskah

drama dibuat oleh pengarang dan

dimaksudkan untuk dapat dipentaskan di

atas panggung.

Drama sebagai Karya Sastra dan

Pertunjukan

Fortier (Azwar, 2002: 37)

menegaskan bahwa drama sebagai suatu

karya sastra mempunyai kekhususan

dibandingkan dengan puisi atau novel.

Kekhususan drama disebabkan karena

tujuan penulis drama tidak hanya berhenti

sampai pada tahap pembeberan peristiwa

untuk dinikmati secara imajinatif oleh para

penikmat, namun harus diteruskan dengan

kemungkinan dapat dipentaskan dalam suatu

pertunjukan. Hasanuddin (1996:2)

berpendapat bahwa selayaknya proporsi

drama ditempatkan sebagai suatu karya

yang mempunyai dua dimensi karakter,

yaitu sebagai genre sastra dan sebagai seni

lakon, peran, atau seni pertunjukan.

Meskipun drama ditulis dengan

tujuan dipentaskan, tidaklah berarti bahwa

semua karya drama yang ditulis pengarang

haruslah dipentaskan. Tanpa dipentaskan,

karya drama tetap dapat dipahami,

dimengerti, dan dinikmati. Pemahaman dan

penikmatan atas karya sastra drama tersebut

tentu lebih pada aspek cerita sebagai ciri

karya sastra, dan bukan sebagai karya seni

lakon.

Page 43: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

36

Pendekatan terhadap drama

dilakukan melalui dua cara, pertama drama

sebagai sebuah bentuk kesusastraan dan

kedua sebagai seni pertunjukan. Sebagai

bentuk kesusastraan, hanya memperhatikan

aspek tertulis saja atau yang biasa disebut

dengan lakon atau naskah. Sebagai karya

kreatif, drama didukung oleh beberapa hal,

antara lain kreativitas pengarangnya dan

realitas objektif. Selain itu, drama

mengandung unsur alur dan pengaluran,

tokoh dan penokohan, latar, konflik-konflik,

gagasan-gagasan, serta aspek gaya bahasa.

Drama sebagai seni pertunjukan

dibentuk oleh unsur-unsur yang

menyebabkan suatu pertunjukan dapat

terlaksana dan terselenggara. Menurut

Sapardi Djoko Damono (1983: 23) terdapat

tiga unsur yang merupakan suatu kesatuan

yang membuat drama dapat dipertunjukkan,

yaitu unsur naskah, unsur pementasan, dan

unsur penonton. Dalam unsur pementasan

ada bagian penting lagi, yaitu komposisi

pentas, tata busana, tata rias, pencahayaan,

tata suara, dan unsur sutradara serta pemain.

Jadi untuk membicarakan drama harus

ditentukan terlebih dahulu sudut yang akan

dibahas, unsur sastra atau pertunjukan, atau

kedua-duanya sebagai karya drama yang

terpadu.

Teks dramatik dalam drama

membahas segala sesuatu yang berhubungan

dengan teks lakon yang akan dipertunjukan.

Marco de Marinis (Azwar, 2002: 38)

mengemukakan pandangannya mengenai

hubungan yang tercipta antara teks dramatik

dan miss-en-scene, yaitu terwujudnya teks

drama menjadi pertunjukan. Ia

menambahkan bahwa masih terdapat

kecenderungan pada para ahli teori drama

untuk menempatkan teks dramatik pada

posisi yang lebih „prioritas‟ dalam

hubungannya dengan perwujudan teks

dramatik dalam pertunjukan, namun banyak

juga yang menganggap sebaliknya. Ia

melanjutkan bahwa sebetulnya para penulis

drama telah membayangkan bagaimana

naskah tertulisnya dapat diwujudkan pada

waktu penulis menuliskannya.

Teks pertunjukan membahas segala

hal yang berkaitan dengan pertunjukan.

Dalam hal ini, Marco de Marinis (Azwar,

2002: 28) mengatakan bahwa bila kita

membicarakan tentang suatu teks

pertunjukan, ini berarti pertunjukan teater

tersebut dapat dianggap sebagai teks.

Hubungan karya sastra sebagai

sebuah genre dapat dilihat pada bagan yang

dikemukakan oleh Arthur S. Nalan (1993:

49). Sebagai genre sastra, domain penelitian

meliputi drama, naskah, teater, dan

pertunjukan. Drama merupakan domain

seorang pengarang, naskah adalah domain

sutradara, teater adalah domain sumber

kreativitas sutradara, dan pertunjukan adalah

domain publik.

Kompleksitas adalah ciri dunia

teater, saling terikat dan saling

ketergantungan, satu saja terlepas dari

domainnya, tidak tepat dikatakan sebagai

ciri dunia teater (bagan 1); domain drama

memiliki hubungan keutuhan yang

diperlihatkan oleh lingkaran demi lingkaran

(bagan 2); domain teater merupakan

interaksi timbal balik dalam dua unikom

(khusus) kelompok; pertunjukan adalah

domain publik, tanpa publik, pertunjukan

tak berarti apa-apa, keduanya merupakan

pasangan abadi (bagan 3).

Saini K.M. (1993: 23-24)

mengatakan bahwa sebagai suatu genre,

sastra-lakon tidak semata-mata berbeda

secara anatomis dan fisiologis dari genre

sastra lainnya, melainkan juga secara

„ekologis‟. Sebuah karya sastra lakon tidak

semata-mata berbeda dari genre lain karena

kenyataan sebagian besar terdiri dari dialog,

Page 44: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

37

atau karena hubungan dialog dan petunjuk-

pengarang (author’s direction). Seorang

dramawan dikelilingi oleh empat pihak yang

mungkin menjadi pembacanya, yaitu (calon)

sutradara, (calon) pemeran, (calon) penata

artistik, dan sedikit pembaca biasa.

Nalan (1993: 47-48) mengemukakan

bahwa naskah adalah domain seorang

pengajar, guru, dan master. Ketiga sebutan

tersebut adalah sebuah peranan dari seorang

sutradara yang juga seorang pengajar, guru,

dan master. Naskah adalah sumber

kreativitas sutradara. Kreativitas yang

didasari “n Ach” (singkatan dari need for

Achievement, kemampuan untuk meraih

hasil dan prestasi).

Pembelajaran Naskah Drama

Dalam kondisi normal, sebuah lakon

yang dipentaskan bersumber dari seorang

penulis lakon. Ia akan melahirkan naskah-

naskah konvensional dengan segala tertib

teknisnya, tetapi mungkin pula ia

melahirkan naskah-naskah eksperimental

dengan sosok bentuk yang lebih bebas

(Anirun, 1998: 53). Naskah drama selalu

berhubungan erat dengan kisah manusia

yang tak bisa lepas dari hukum sebab dan

akibat (Riantiarno, 2003: 15).

Anirun (2002: 56) mengungkapkan

dalam mempersiapkan sebuah pertunjukan

drama, naskah lakon adalah instansi pertama

yang berperan sebelum sampai ke tangan

para sutradara dan para aktor. Naskah lakon

dapat berdiri sendiri sebagai bacaan berupa

buku cerita, tetapi ketika naskah itu akan

dimainkan, biasanya diproses kembali

dalam format yang khusus, yang digunakan

oleh para pemain dan awak produksi.

Naskah lakon merupakan penuangan dari

ide cerita ke dalam alur cerita dan susunan

lakon. Seorang penulis lakon dalam proses

berkaryanya biasanya bertolak dari tema

cerita. Tema itu disusun menjadi sebuah

cerita yang terdiri dari peristiwa-peristiwa

yang memiliki alur jelas. Dalam

penyusunannya, penulis lakon harus

berpegang pada azas kesatuan atau unity.

Aristoteles menggariskan tiga azas kesatuan

yakni kesatuan waktu, tempat, dan lakon.

Menyikapi keterkaitan naskah drama

dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya,

lebih lanjut Anirun (2002: 58)

mengungkapkan naskah lakon adalah

sumber ide-ide laku bagi seorang pemain

atau aktor. Fungsi pertama naskah lakon

adalah memberi inspirasi kepada para

seniman penafsir. Fungsi kedua adalah

memasok kata-kata yang harus diucapkan

oleh aktor. Itu sebabnya naskah lakon biasa

disebut buku kata-kata atau buku teks. Dari

teks dialog dan petunjuk laku, aktor

mendapatkan banyak petunjuk pola laku dan

tindakan-tindakan yang harus dilakukannya.

Menurut Anirun (2002: 59),

sutradara adalah pihak yang paling kritis

dalam menghadapi sebuah naskah. Dari

naskah yang baik, sutradara akan

mendapatkan rangsangan-rangsangan ke

arah terbukanya konsep-konsep teateral.

Sutradara akan mengkaji naskah secermat

mungkin, meliputi tema, titik pandang,

semangat, dan gaya atau bentuk. Tema

cerita adalah ide filosofis dari lakon. Tema

adalah dasar penentuan sosok lakon dalam

satu citra kesatuan. Titik pandang adalah

kecenderungan nilai-nilai subjektif yang

berkembang dari naskah menjadi kenyataan

atau realita di pentas. Semangat atau spirit

dikembangkan dari tema cerita menjadi

peristiwa-peristiwa yang hidup, yang

mampu mengembangkan semangat

penonton untuk terlibat dalam atmosfer

teateral tertentu. Gaya penampilan bertolak

dari tema, titik pandang dan semangat yang

dikembangkan melalui suatu perencanaan

dengan pola-pola pengadegan dan pola-pola

laku.

Anirun (2002: 59) mengungkapkan

dalam naskah lakon untuk panggung,

pengertian bingkai waktu dan tempat perlu

dijabarkan sebagai keharusan adanya

penyesuaian atau konsentrasi terhadap

keberadaan panggung sebagai sarana utama

penampilan lakon. Panggung dengan segala

kemungkinan tekniknya, tata cahaya, tata

suara, dan tata peralatan yang tersedia

adalah persinggahan terakhir dari karya

lakon yang dipentaskan. Untuk mencapai

efek optimal yaitu tercapainya peristiwa

teater yang ideal, para pemain harus

Page 45: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

38

mendapatkan sarana laku dan peristiwa yang

didapatkan dari naskah lakon, yang harus

memenuhi kebutuhan transformasi dari

bentuk ide-ide ke dalam kenyataan laku

teater.

Pembelajaran naskah drama acap

kali terlupakan sebab naskah drama baru

dianggap dapat berbicara atau berfungsi

ketika sudah mendapatkan perlakuan alih

wahana berupa sebuah pementasan. Padahal,

dialog yang diucapkan aktor di atas

panggung, semuanya bermula dari sebuah

teks sastra. Terlebih, pembelajaran drama di

sekolah tidak terlaksana sebagaimana

mestinya disebabkan guru bidang studi yang

tidak menguasai seni peran. Sesungguhnya,

guru bidang studi tidak perlu menguasai seni

peran secara mumpuni. Seorang guru bahasa

dan sastra Indonesia idealnya sudah

menguasai masalah logika kalimat. Setiap

kalimat memiliki logikanya tersendiri,

memiliki maknanya sendiri, terlebih lagi

memiliki emosinya sendiri. Setiap dialog

yang terdapat dalam naskah dibuat dari

kalimat-kalimat tokoh yang suatu saat akan

diperankan oleh seorang aktor. Setiap dialog

tersebut memiliki maknanya tersendiri

sesuai dengan maksud yang ingin

disampaikan pengarang yang diwakili oleh

tokoh yang dibuatnya. Dialog dalam naskah

drama harus dapat diucapkan atau

disampaikan dengan tepat. Untuk dapat

menyampaikan dialog/kalimat dengan

benar, otomatis seorang aktor harus

memahami makna dialog/kalimat yang

diucapkannya. Sekaitan dengan hal tersebut,

guru bahasa Indonesia sudah semestinya

menguasai mengenai makna kalimat.

Pembelajaran naskah drama dapat

dimulai dari bedah naskah sebab drama

memiliki dimensi sebagai teks dan dimensi

sebagai pertunjukan. Pembicaraan drama

sebagai sebuah teks acap kali dikaitkan pula

dengan segi performansinya sebab

kepentingan pembuatan teks drama pada

akhirnya untuk dipentaskan. Bedah naskah

dilakukan secara bersama-sama oleh guru

dan siswa agar siswa dapat memahami

dialog yang terdapat dalam naskah drama.

Bedah naskah ialah suatu kegiatan

yang berupaya mengetahui hal-hal yang

terdapat di dalam naskah. Hal tersebut di

antaranya meliputi tema, maksud pengarang,

maksud kata atau kalimat, dan kemungkinan

konsep pemanggungannya. Bedah naskah

berfungsi untuk mengetahui seluk-beluk

mengenai teks drama. Karakter tokoh,

motivasi, konflik, termasuk gerak atau

lakuan tokoh. Bedah naskah menjadi satu

peristiwa awal yang sering dilupakan oleh

banyak kelompok teater dalam

mempersiapkan pertunjukan. Terlebih lagi

dalam pengajaran drama di sekolah. Alokasi

waktu menjadi alasan mutlak dilewatkannya

proses bedah naskah padahal sebuah

pementasan bermula dari sebuah teks. Selain

persoalan alokasi waktu, persoalan guru

yang beralasan pembelajaran naskah drama

identik dengan mementaskan drama menjadi

satu permasalahan pengajaran drama di

sekolah. Bedah teks tidak melulu selalu

membutuhkan waktu yang lama, namun

dapat disiasati dengan sekali pertemuan

untuk membicarakan hal-hal menarik atau

penting yang terdapat dalam naskah,

tentunya diawali kegiatan membaca naskah

terlebih dahulu.

Untuk memulai bedah naskah,

pertama-tama dapat memunculkan persoalan

yang dialami tokoh lalu dapat beralih pada

persoalan motivasi respon tokoh atas dialog

atau motivasi tokoh yang dilatarbelakangi

peristiwa yang telah atau akan terjadi (dalam

teks). Melalui cara seperti itu, para siswa

tergerak untuk mengetahui karakter tokoh,

motivasi dialog, dan maksud pengarang.

Kegiatan membaca naskah (reading) dapat

menjadi titik awal memahami isi naskah

yang berupa dialog dan kramagung. Dalam

menyikapi naskah drama, semua siswa

mendapatkan porsi yang sama yakni sebagai

penafsir, sebagai penerjemah teks agar dapat

menafsirkan karakter tokoh dengan benar

sehingga dapat memainkan peran sesuai

dengan yang dimaksudkan pengarang.

Pembelajaran drama di sekolah

sebenarnya bermula dari drama sebagai teks

sastra, bukan drama sebagai seni

pertunjukan. Meskipun pembelajaran drama

sebagai seni pertunjukan, namun tetap

pertunjukan tersebut bermula dari sebuah

teks/naskah. Itu sebabnya, kemampuan

Page 46: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

39

menafsirkan teks dengan benar sudah

menjadi hal mutlak para calon awak pentas.

Naskah drama memiliki daya tarik yang

tidak dimiliki prosa. Jika prosa kurang bisa

diapresiasi jika dibacakan secara bergantian,

maka tidak demikian dengan naskah drama.

Beberapa siswa dapat membacakan dialog

tokoh kemudian siswa lainnya mendapat

giliran serupa. Mempelajari naskah drama

dengan cara seperti itu akan membuat siswa

merasa mempersiapkan diri untuk berpraktik

secara utuh, meskipun hanya baru pada

tingkatan membaca saja. Dalam hal ini, guru

dapat memberikan penjelasan pada bagian

kramagung yang harus menjadi perhatian

siswa sebagai calon awak pentas, dan juga

dialog yang harus diperhatikan dari segi

jeda, intonasi, tempo, dan ekspresi yang

merupakan perwujudan dari emosi, juga

makna kalimat. Melalui kegiatan bedah

naskah, siswa diajak secara bersama-sama

merumuskan karakter tokoh, latar, jalan

cerita, dan hal lainnya sebagai kristalisasi

dari kegiatan berdiskusi.

Dalam konteks pertunjukan umum

(profesional, bukan untuk kebutuhan

pembelajaran di sekolah), bedah naskah

dilakukan dengan “membongkar” naskah

secara bersama-sama. Bedah naskah diikuti

oleh sutradara, para aktor, dan para penata.

Tak jarang pula, bedah naskah diikuti oleh

tim produksi guna mendapatkan pemahaman

yang sama, terlebih untuk kebutuhan

promosi dan publikasi. Bahkan, seyogianya

bedah naskah dilakukan dengan

menghadirkan seorang dramaturg, yakni

orang yang memahami konvensi aturan

drama dan memahami naskah yang akan

dipentaskan. Seorang dramaturg bahkan

akan memberikan saran mengenai kalangan

publik yang dirasa cocok untuk

mengapresiasi pertunjukan yang sedang

dipersiapkan tersebut. Pada beberapa

kelompok teater di Indonesia, kehadiran

seorang dramaturg nyaris dirasa kurang

penting sebab fungsinya dalam hal

mengulas dan menginterpretasikan naskah

(untuk pertama kali) sudah diwakili oleh

sutradara. Itu sebabnya pada beberapa

kelompok teater di Indonesia, jarang

ditemukan keterlibatan seorang dramaturg

dalam sebuah pementasan. Beberapa

kelompok lebih memilih menghadirkan

konsultan literatur yang hanya mengulas

persoalan isi naskah tanpa mengulas

elemen-elemen lainnya dalam hal keutuhan

sebuah seni pertunjukan_pementasan.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada bagian

pembahasan, dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran naskah drama dapat dilakukan

dengan kegiatan bedah naskah. Melalui

bedah naskah, terjalin komunikasi yang

terpadu dan terarah untuk menafsirkan

dialog/kalimat. Melalui bedah naskah,

kesulitan dalam memahami dialog atau

menginterpretasikan karakter tokoh akan

dapat teratasi sebab terjadi diskusi secara

simultan selama proses latihan.

Bedah naskah dapat dilakukan untuk

kepentingan persiapan pementasan atau

bahkan tidak sama sekali. Bedah naskah

dapat dilakukan guna mengetahui

karakteristik atau maksud pengarang atas

pembuatan suatu naskah, tanpa harus

mengalihwahanakannya terlebih dahulu

menjadi sebuah pementasan. Bedah naskah

pun dapat menjadi solusi menumbuhkan

minat baca terhadap naskah drama pada

siswa di sekolah mengingat pengajaran

naskah drama di sekolah acap kali selalu

dikaitkan dengan penampilan tiap kelompok

dalam bentuk rangkaian pentas.

DAFTAR RUJUKAN

Akhmad, A. Kasim. (1993). “Bentuk dan

Pertumbuhan Teater Kita”. Teater

untuk Dilakoni: Kumpulan Tulisan

tentang Teater. Bandung: CV

Geger Sunten.

Anirun, Suyatna. (1998). Menjadi Aktor:

Pengantar kepada Seni Peran

untuk Pentas dan Sinema.

Bandung: Rekamedia

Multiprakarsa.

Anirun, Suyatna. (2002). Menjadi

Sutradara. Bandung: STSI Press.

BSNP. (2007). Standar Proses untuk Satuan

Pendidikan Dasar dan Menengah.

Jakarta: BSNP.

Hae, Zae. (2006). “Ihwal Kelisanan di Atas

Panggung”. Lebur 05. Edisi 05:

Page 47: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

40

halaman 17. Yogyakarta: Yayasan

Teater Garasi.

Harymawan, RMA. (1993). Dramaturgi.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Saini. (1993). “Teater dan Sastra Lakon

Dasawarsa 1980-1990”. Teater

untuk Dilakoni: Kumpulan Tulisan

tentang Teater. Bandung: CV

Geger Sunten.

Saini. (1983). “Teater sebagai Lembaga

Pendidikan”. Bagi Masa Depan

Teater Indonesia. Bandung: PT

Granesia Bandung.

Nalan, Arthur S. (1993). “Domain Teater”.

Teater untuk Dilakoni: Kumpulan

Tulisan tentang Teater. Bandung:

CV Geger Sunten.

Riantiarno, Nano. (2003). Menyentuh

Teater: Tanya Jawab Seputar

Teater Kita. Jakarta: MU:3 Books.

Ikun. (2006). “Interview: Landung

Simatupang”. Lebur 05. Edisi 05:

halaman 29. Yogyakarta: Yayasan

Teater Garasi.

Ikun. (2006). “Interview: Butet

Kertaredjasa”. Lebur 05. Edisi 05:

halaman 39. Yogyakarta: Yayasan

Teater Garasi.

Tjahjono, Tengsoe Liberatus. (1988). Sastra

Indonesia: Pengantar, Teori, dan

Apresiasi. Ende: Nusa Indah.

Toni. (2006). Sarkasme Remaja dalam

Pementasan Babi-babi Disko oleh

Mainteater Bandung. Skripsi.

Bandung: Universitas Pendidikan

Indonesia.

Hasanuddin. (1996). Drama dalam Karya

Dua Dimensi: Kajian Sejarah dan

Analisis. Bandung: Angkasa.

Page 48: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

41

ANALISIS KESALAHAN SISWA PADA PEMBUATAN KALIMAT

PASIF

Asep Rizki Mukti

Universitas Perjuangan Tasikmalaya

[email protected]

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kesalahan yang dibuat oleh siswa penyebab

kesulitan yang dihadapi siswa dalam membuat penelitian voice. Penelitian ini dilakukan di kelas

XI SMA Muhammadiyah Tasikmalaya. Sumber data adalah kelas XI IA2 yang terdiri dari 20

siswa dan wawancara dilakukan dengan tiga siswa untuk mengetahui kesulitan yang dialami.

Dalam pengumpulan data, penulis memberikan tes dan wawancara. Untuk menghitung data yang

diperoleh, penulis menggunakan metode deskriptif. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa

'kesalahan dalam penggunaan subjek 'adalah 31,37%, sedangkan kesalahan dalam penggunaan „to

be’ adalah 34.07%, dan sebanyak 34,56% adalah kesalahan dalam penggunaan „past participle’.

Kesalahan yang sering dilakukan oleh siswa adalah pada bentuk past tense dan kalimat tanya.

Untuk menentukan jenis kesalahan siswa, penulis melakukan analisis berdasarkan jenis kesalahan:

omission, addition, misformation, misordering, dan blends. Faktor yang menyebabkan kesalahan

antara lain: overgeneralization, simplification, developmetal error, error based communication,

induced error, error of avoidance, dan error of overpro-. Secara umum, siswa membuat kesalahan

karena siswa masih tidak mengerti bagaimana membuat kalimat pasif.

Kata kunci: Analisis kesalahan, kalimat pasif, omission, addition, misformation, misordering,

blends, overgeneralization, simplification, developmetal error, communication based error,

induced error, error of avoidance, dan error of overpro-

THE ANALYSIS OF STUDENTS’ ERRORS

IN MAKING PASSIVE VOICE

ABSTRACT The aim of this research are to find out error made by the students in making passive voice and

what the causes of students‟ difficulties in making passive voice.This research was done in class

XI SMA Muhammadiyah Tasikmalaya. The data source is a class XI IA2 consisting of 20 students

and interviews were conducted with three students to know the difficulties what they

experienced.In collecting the data, the writer provides a test and interview. To calculate the data

obtained, the writer uses descriptive method.The results shows that students' errors in using the

'subject' is 31.37%, 34.07% error in using the 'to be', and 34,56% error in using 'past participle'.

Errors often made by students are in using past tense and interogative form. To determine the type

of students‟ error , the writer analyzed based on the type of error: omission, addition,

misformation, misordering and blends. Factors causing the errors: overgeneralization,

simplification, developmetal error, error based communication, induced error, error of avoidance,

and error of overpro-. In general, students make mistakes because the students still do not

understand how to make passive voice.

Keywords : Error analysis, passive voice, omission, addition, misformation, misordering, blends,

overgeneralization, simplification, developmetal error, communication based error, induced error,

error of avoidance, dan error of overpro-

INTRODUCTION

Language is a means of

communication used by humans in the

process of interaction. It is in line with the

opinion that is cited by Priestley as quoted

by Alwasilah, A. Chaedar (1993:9),

"Language is a method of conveying our

ideas to the minds of other persons; and the

grammar of any language is a collection of

observations on the structure of it and a

system of rules for proper use of it." It

means that language is a way of delivering

our ideas to the minds of others; and

grammar of any language is a set of top

review of its structure, and usage rules

system which is perfect. Based on this

Page 49: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

42

opinion, a good and correct grammar effect

the language used in interaction.

As social human beings, humans can

not be separated from the process of

interaction. It is required a good and correct

grammar mastery of the language, so that

there will be no communication errors occur

in the process of interaction. By a good

communication, it will certainly produce a

good relationship as well. Students are

required to formulate a sentence correctly. It

is intended that the students can apply

English skills in their daily life. To be able

to speak and to write in English properly,

the students need to master in learning

English. One of them is mastering the

grammar.

The sentences in correct grammar will

be easy to understand, or misunderstanding

can be avoided. This statement is in line

with the opinion of Frank Palmer, as quoted

by Alwasilah, A. Chaedar (1993:31),

"Grammar is something that can be good or

bad, correct or incorrect. It is (bad),

incorrect grammar to say 'It's me', for

instance." It means that grammar is

something that can make sentences good or

bad, right or wrong. It is wrong when people

say 'It's me'. Grammar Mastery has a role in

communication. Writing sentences in

correct grammar will avoid

misunderstanding. One of the grammatical

discussions is the use of passive voice.

Passive voice is a sentence using the

subject or the culprit as the object of the

change in the active voice. In this case, the

perpetrator in the passive voice structure

turned into an object because of the change

from an active voice. In learning passive

voice needs comprehension to formulate the

words correctly, to place the words, and to

choose the right words in making passive

voice in English. The students have

difficulties in learning passive voice because

of the lack of knowledge, particularly in the

rule of language (Grammar) about passive

voice. It requires knowledge about the rules

of language, so that in learning process,

students can avoid errors.

Errors in passive voice is generally

caused by the lack of knowledge about the

rules of language (Grammar). This

statement is stated by Chomsky and Corder

as quoted by Tarigan, Henry Guntur and

Djago Tarigan (1995:143), "Kesalahan yang

diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan

mengenai kaidah-kaidah bahasa sebagai

faktor kompetensi merupakan

penyimpangan-penyimpangan sistematis

yang disebabkan oleh pengetahuan pelajar

yang sedang berkembang mengenai sistem

B2 (atau bahasa kedua) disebut „errors‟.” It

means that errors caused by the lack of

knowledge about the rules of language as a

competence factor is the systematic

deviations caused by the students‟

knowledge which is developing about the

system of L2 (or second language) called

'errors'. Competence factors also effect on

the students' knowledge and because of the

lack of students‟ competence so that

students often deviate and make errors in

using language, especially in making

passive voice which is called students'

errors.

Definitions of Active and Passive

Voice To be able to make passive voice, the

students have to learn how to make active

voice. According toRamlan (2001:139),

"Kalimat aktif adalah kalimat yang

subjeknya berperan sebagai pelaku actor."

It means that active voice is the sentence

that the subject takes the role as an actor.

Thepattern of active voice is that the subject

is put as the perpetrator. Activevoice is the

sentence that the subject of the sentence is

the perpetrators of an action. According

toSwan, Michael (2005:xvii), "The subject

of an active verb is usually the person or

thing that does the action, or that is

responsible for what happens.” The subject

in active voice has a role as an actor that

takes an action. In the active voice, there are

several patterns of words that have meaning

so as to form a series of sentences. The

subject in active voice takes an action in the

sentence.

There is passive voice besides active

voice in the sentence. According to

Thomson, A.J. and A. V. Martinet

(1986:263), "The passive of an active tense

is formed by putting the verb „to be‟ into the

Page 50: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

43

same tense as the active verb and adding the

past participle of the active verb.” Passive

voice from active voice is the tense whichis

formed by putting the verb „to be‟ into the

same tense as the verb and adding the past

participle of the active verb. Passive voice

uses the past participle and adding „to be‟ so

that becoming different sentences pattern

with active voice. Whereas passive voice

according toSwan, Michael (2005:xxii),"A

passive verb form is made with be + past

participle, the subject of a passive verb form

is usually the person or thing that is affected

by the action of the verb." It means that

passive participle is a verb phrase that

serves as a form of adjective in a passive

sense (ending -ed) it does not irregular.

Based on these definitions, the

researcher concludes that the passive voice

is a sentence that has verb form as subject

and the subject is affected by the action of

the verb that adds to be and past

participle.It is produced as a change in the

active voice that uses the subject as an actor.

Forms of Passive Voice

The following chart shows the passive form

of the various tenses:

Table 1.1 Various of Passive Voice Forms

From the chart above, the researcher concludes that not all of the active forms

can be changed into passive forms, they are:

Present Perfect Continuous, Past Perfect

Continuous, Future Continuous, Past Future

Continuous, Future Perfect Continuous, and

Past Future Perfect Continuous.

There are many kinds of passive

forms, According to Thomson, A.J. and A.

V. Martinet (1986:263), “The subject of the

active verb becomes the „agent‟ of the

passive verb, the agent is very often not

mentioned, when it is mentioned it is

preceded by by and placed at the end of the

clause.” They divide kinds of passive forms

into 5 forms, as follows:

1) Examples of present, past and perfect

passive tenses:

Active: We keep the butter here.

Passive: The butter is kept here

Active: They broke the window.

Passive: The window was broken.

Active: People have seen wolves in

the streets.

Passive: Wolves have been seen in the

streets.

2) The passive of continuous tenses

requires the present continuous forms of

to be, which are not otherwise much

used:

Active: They are repairing the bridge.

Passive: The bridge is being repaired.

Active: They were carrying the injured

player off the field.

Passive: The injured player was being

carried off the field.

Other continuous tenses are exceedingly

rarely used in the passive, so that the

sentences such as:

They have/had been repairing the road

and

They will/would be repairing the wood.

Are not normally put into passive.

3) Auxiliary + infinitive combinations

are made passive by using a passive

infinitive:

Active: You must/should shut these

doors.

Passive: These doors must/should be

shut.

Active: They should/ought to have told

him.

(Perfect Infinitive Active)

Passive: He should/ought to have been

told.

(Perfect Infinitive Passive)

4) Other Infinitive Combinations

Verbs of liking/loving/wanting/wishing

etc. + object + infinitive form their

passive with the passive infinitive:

Active: He wants someone to take

photographs.

Passive: He wants photographs to be

taken.

Page 51: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

44

With verbs of

command/request/advice/invitation +

indirect object + infinitive we form the

passive by using the passive form of the

main verb:

Active: He invited me to go.

Passive: I was invited to go.

But with

advise/beg/order/recommend/urge +

indirect object + infinitive + object we

can form the passive in two ways: by

making the main verb passive, as above,

or by advise etc. + that .... should +

passive infinitive:

Active: He urged the Council to reduce

the rates.

Passive: The Council was/were urged to

reduce the rates or

He urged that the rates should be

reduced.

Agree/be anxious/arrange/be

determined/determine/decide/

demand + infinitive + object are

usually expressed in the passive by

that.... should. As above:

Active: He decided to sell the house.

Passive: He decided that the house

should be sold.

5) Gerund Combinations

Advise/insist/propose/recommend/sug

gest + gerund + object are usually

expressed in the passive by that....

should. as above:

Active: He recommended using bullet-

proof glass.

Passive: He recommended that bullet-

proof glass should be used.

It/they + need + gerund can also be

expressed by it/they/ + need + passive

infinitive. Both forms are passive in

meaning.

Other gerund combinations are

expressed in the passive by the passive

gerund:

Active: I remember them taking me to

the zoo.

Passive: I remember being taken to the

zoo.

(Thomson, A.J. and A. V. Martinet

1986:263)

Based on the descriptions above, not all

of the tenses can be changed into

passive forms, and there are several

forms that have functions as passive

forms.

Definitions of Error Analysis

Error is a deviance caused by some

failures that can not be realized. According

to Corder, S.Pit as quoted by James, Carl

(1998:79), "Errors are the result of some

failures of performance."Therefore, students'

errors are the errors that are resulted from

the students‟performance. In linguistic

studies, the error is a failure in the process

of learning a languageresulted from an

incident, background, nature, and causes of

failure itself. According to Edge as quoted

by James, Carl (1998:80), "Errors are wrong

forms that the pupil could not correct even if

their wrongness were able to be pointed

out." Errors can not be realized by the

students and it can not be self-corrected.

There are differences between error and

mistake, According to James, Carl

(1998:83), “Mistakes can only be corrected

by their agent if their deviance is pointed out

to him or her.” If somebody does a mistake

then it can be corrected by self and it can be

realized, but it is different with error,

“Errors can not be self-corrected until

further relevant (to that error) input (implicit

or explicit) has been provided and require

further relevant learning to take place before

they can be self-corrected.” Error can not be

corrected by self and realized then it needs

learning to correct the error.

In an appearance and case

studies,error can be describedby a mistake

in applying the theory. According toCorder,

S. Pit (1981:36), "Errors are described by

the application of linguistic theory to the

data of erroneous utterances produced by a

learner or a group of learners." Mistake and

error can be found from the linguistic

theories used by students who may cause a

failure.

Error analysis is an analysis of errors

conducted to determine students' difficulties

in learning subject. According to Corder,

S.Pit (1981:45), “The theoretical aspect of

Page 52: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

45

error analysis is part of the methodology of

investigating the language learning

process.” In this case, error analysis has role

to find out the students‟ errors especially in

language learning process particularly in

English.

From the discussions above, it can

be concluded that the error is the deviance

due to the failures caused by thelinguistic

theory applied, and errors occur in

communication unconsciously. To find out

the students‟ errors, it uses error analysis

particularly in language learning in English.

Based on the discussions above, the

researcher concludes that the errors of

students in using passivevoice can be

analysed because it is directly related to the

function of grammarused in terms of

morphology and syntax that

haverelationship with linguistics. The

analysing of the errors can use the theory

that emphasizes on the function of linguistic

and grammar.

Subtypes of Error

There are several indicators in the

error analysis, which consists of error

subtypes. According to Dulay, Burt, and

Krashen, as quoted by James, Carl

(1998:106), there are five different subtypes

that are more complete. They are:

a. Omission

This is to be distinguished from ellipsis

(E), and from zero (Z), elements which

are allowed by the grammar (indeed are

powerful grammatical resources),

whereas omission is ungrammatical. it

tends to affect function words rather than

content words at least in the early stages.

b. Addition

This manifestation of error, Dulay, Burt,

and Krashen suggest, is the result of all-

too-faithful use of certain rules, and they

suggest there are subtypes. first,

regularization, which involves

overlooking exceptions and spreading

rules to domains where they do not

apply, for example producing the regular

buyed for bought.

c. Misformation

This is Dulay, Burt, and Krashen's third

category, and again they identify three

subtypes. they define misformation as

use of the wrong form of a structure or

morpheme, and give examples like: i

seen her yesterday.

d. Misordering

This category is relatively

uncontroversial. Part of linguistical

competence, in addition to selecting the

right order. Some languages have stricter

word-order regulation than others.

e. Blends

There is one category that complements

the Target Modification taxonomy. It is

typical of situations where there is not

just one well-defined target, but two. The

learner is undecided about which of these

two targets he has 'in mind'. In such

situations the type of error that

materializes is the blend error, sometimes

called the contamination of cross-

association or hybridization error.

Blending is exemplified in which arises

when two alternative grammatical forms

are combined to produce an

ungrammatical blend „according to

Erica's opinion.‟

Based on the subtypes of errorabove

, it can be concluded that the error is

occurred because of some indicators that can

lead to errors. Mistake usually occurs in the

placement, preparation, selection, and use of

the theory applied to make a passive voice.

Factors Influencing Error

Errors in the performanceare caused

by the failure as the effect ofthe errors,the

nature, appearance, incidence,and

educationalbackgrounds. According

toSelinker as quoted by Tarigan,

HenryGuntur and Djago Tarigan

(1995:171),

Kesalahan interlingual yaitu kesalahan

yang diperkirakan sebagai akibat kesalahan

interlingual transfer bahasa dengan yang

dikategorisasikan sebagai:

Page 53: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

46

1) Overgeneralization

Kesalahan yang disebabkan oleh

perluasan kaidah-kaidah bahasa sasaran

pada konteks-konteks yang tidak tepat.

2) Simplification

Kesalahan yang diakibatkan oleh reduksi

atau pengurangan yang berlebihan.

3) Developmental Error

Kesalahan yang mencerminkan tahap-

tahap yang terjadi dalam perkembangan

linguistik.

4) Communication Based Error

Kesalahan yang diakibatkan oleh siasat-

siasat komunikasi.

5) Induced Error

Kesalahan yang berasal dari pengurutan

dan penyajian unsur-unsur bahasa

sasaran.

6) Error of Avoidance

Kesalahan yang diakibatkan oleh

kegagalan yang menggunakan tipe-tipe

tertentu ciri-ciri bahasa sasaran karena

adanya kesukaran yang terasa.

7) Error of Overpro-

Kesalahan yang diakibatkan oleh

penggunaan ciri-ciri bahasa sasaran

yang benar tetapi dipakai terlalu sering.

It means that:

Interlingual errors are errors that expected as

a result of language transfer interlingual

errors with a categorized as follows:

1) Overgeneralization

Errors caused by the expansion rules of

the target language in contextsthatare

not appropriated.

2) Simplification

Errors caused by the reduction or

reduction of overload.

3) Developmental Error

Errors that reflect the stages that occur

in linguistic development.

4) Communication Based Error

Errors caused by the tricks of

communication.

5) Induced Error

Errors come from the sorting and

presentation of the elements of the

target language.

6) Error of Avoidance

Errors caused by failure to use certain

types of characteristics of the target

language because of the difficulties that

felt.

7) Error of Overpro-

Errors caused by the use of the

characteristics of the correct target

language which is right but used too

often.

Erros can be corrected if there is no

intention to change it and certainly have the

ability in linguistic theory used to make

passive voice and to use it properly and

well. So that the errors will not be happened

in applying language particularly in using

passive voice

RESEARCH METHODOLOGY

In this research, the researcher uses

the descriptive method to know the

difficulties faced by the students in using

passive voice. This method is used to

analyse the errors faced by the students in

using passive voice.

Technique of Collecting the Data

To get the complete data, the

researcher uses test and interview. Test is

used to find out the students‟ errors in using

passive voice. The type of test used is

subjective test. The test consists of 10

numbers about passive voice that is

converting tests. Interview is used to get the

data about students‟ difficulties more

complete in using passive voice. The

interview is done by recording interviews.

In doing interview the researcher chooses 3

students to be interviewed, they consist of 1

student who gets the highest mark, 1 student

who gets medium mark, and 1 student who

gets the lowest mark. The interview consist

of 3 questions.

Data and Source of the Data

Data in this research are obtained

from the result of the testand interview

about the difficulties faced by students in

using passive voice.In this research, the

researcherconductes a research on the

subject of the research to obtain the desired

data. In this research, the researcher takes

the students in grade XI IA2 consisting of

20 students and 3 students to be interviewed.

Page 54: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

47

This research was conducted in

August 2011 in class XI SMA

MuhammadiyahTasikmalaya.

Technique and Analysis of the Data

In this research, the researcherclassifies the

students' errors in using passive voice in two

general categories, namely in terms of the

use of„to be‟ and „past participle‟.

Furthermore, the researcher uses percentage

formulafrom Ali, Mohammad (1985:184):

P = x 100%

Where:

P :Percentage of the students‟ errors of

each category.

N :Total numbers of the students‟

errors of each category.

N : Total numbers of the students‟

errors.

Furthermore,the researcheridentifies,

analyses and classifies the responses and the

questionnaire based on the reasons of the

students‟ difficulties in usingpassivevoice.

To determine the types of students‟

errors, the researcher uses the error indicator

as follows:

1. Omission is the type of error that students

make the words disappear.

2. Addition is the type of error that students

add the words in the sentence.

3. Misformation is the type of error that

students can not select the correct words

to make the sentence.

4. Misordering is the type of error that

students can not select the right forms to

use in the right context.

5. Blends is the type of error that students

are fail to make a clear choice in

producing structure of the sentence.

Meanwhile, to find out the cause of

the students‟ errors, the researcher uses the

following indicators of error analysis:

1. Overgeneralization is factor of the error

that occurs because of the expansion of the rules of the target language that are

not appropriated.

2. Simplification is factor of the error

caused by overload reduction.

3. Developmental Error is factor of the error

that reflect the stages occur in linguistic

development.

4. Communication Based Error is factor of

the error caused by the tricks of

communication.

5. Induced Error is factor of the error comes

from arrangement and presentation of the

target language elements.

6. Error of Avoidance is factor of the error

caused by the failure to use certain types

of the characteristic of the target

language.

7. Error of Overpro- is factor of the error

caused by the use of the characteristics of

the correct target language.

To make the data easy to analyse, the

researcher makes some codes, as follows:

Table 2.1

The Coding of the Data

The uses of coding are (1) to ease the

identification of phenomenon, (2) to ease

the calculation of the frequency of existing

phenomenon, (3) to show the tendency of

collected data from the frequency of existing

code, and (4) to help in arranging categories

and subcategories. Steps of the Research

In doing this research, the researcher

takes the following steps:

1. Formulating the problem and the aim

of the research;

2. Determining the data and source of the

data;

3. Makingthe research instruments;

4. Giving tests to the sample groups;

5. Collecting test results and identifying

the mistakes made by students;

6. Giving an interview to find out the

difficulties faced by students;

7. Analysing the data of test results;

8. Analysing the result of interview;

9. Makingthe research report.

Page 55: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

48

RESEARCH FINDINGS AND

DISCUSSION

After analysing the data, the

researcher gets the result of this research, as

follows:

1. The percentage of the students‟ errors

in using „subject‟ in making passive

voice is as follows:

P = x 100%

= x 100%

= 31.37%

2. The percentage of the students‟ errors

in using „to be‟ in making passive

voice is as follows:

P = x 100%

= x 100%

= 34.07%

3. The percentage of the students‟ errors

in using „past participle‟ in making

passive voice is as follows:

P = x 100%

= x 100%

= 34.56%

Based on the research result above,

the highest error is in using „past participle‟

(34.56%), medium error is in using „to be‟

(34.07%), and the lowest error is in using

„subject‟ (31.37%). This result indicates that

the students‟ understanding in making

passive voice is still weak.

Furthermore, the researcher presents

the errors made by the students and the

factors causing the students to make error in

using passive voice are as follows:

Question number 1 We usually do the homework together.

There are 18 students who make

error in answering this number. It means

that 2 students answer it correctly.

Incorrect answer : *The homework

usually did together by we.

Correct answer : The homework is

usually done by us together.

The type of error made by the students are

omission and misformation. Omission

occurs because the students do not use „to

be‟ (is). Misformation occurs because the

students are wrong to select the correct verb

„did‟ it should be „done‟. The factors

causing the errors are simplification,

induced error, and error of avoidance.

Simplification is caused by the overload

reduction. The students do not use „to be‟

(is) in making passive voice. Induced error

is caused by the arrangement and

presentation in making sentence. The

students arrange and presentate passive

voice incorrectly. Error of avoidance is

caused by the failure and difficulty in using

certain types of the characteristics of the

target language. The students do not use „to

be‟ and they are wrong to select the word

„did‟ it should be „done‟, and they are wrong

to use the subject „we‟ it should be „us‟.

Question number 2 Did you put your shoes in the shelf?

All students make error in answering this

number.

Incorrect answer : *Did your shoes

put by you in the shelf?

Correct answer : Are your shoes put

by you in the shelf?

The type of error made by the students is

omission. Omission occurs because the

students do not use „to be‟ (are). The factors

causing the error is simplification.

Simplification is caused by overload

reduction. The students do not use „to be‟

(are) in making passive voice.

Question number 3 Where did they sell the book?

All students make error in answering this

number.

Incorrect answer : *Where did the

book sold by you?

Correct answer : Where was the book

sold by you?

The type of error made by the students is

omission. Ommision occurs because the

students do not use „to be‟ (was). The

factors causing the error is simplification.

Simplification is caused by overload

reduction. The students do not use „to be‟

(was) in making passive voice.

Page 56: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

49

Question number 4 Does she write the letter every day?

There are 19 students who make error in

answering this number. It means that there is

only one student answer it correctly.

Incorrect answer : *Does the letter is

written by her every day?

Correct answer : Is the letter written

by her every day?

The type of error made by the students is

addition. It occurs because the students add

the words „does‟. The factors causing the

errors are induced error and developmental

error. Induced error is caused by wrong

arrangement and presentation of the

sentence. The students are wrong to arrange

the sentences into passive voice.

Developmental error is caused by the steps

that occur in linguistic development. The

students add the word „does‟ that should not

be used in making passive voice.

Question number 5 They offered me a new job last week.

There are 13 students who answer this

number correctly. It means that 7 students

make error in answering it.

Incorrect answer : *A new job is

offered by them last week.

Correct answer : A new job was

offered by them last week.

The type of error made by the students is

misformation because the students are

wrong in selecting „to be‟ (is). It should be

past form (was) The factor causing the error

is overgeneralization. It is caused by the

expansion rules of the target language in

contexts that are not appropriated. The

students should make passive voice in past

form not in present form.

Question number 6 My mother always makes me a cup of tea

every morning.

There are 5 students who make error in

answering this number. It means that 15

students answer it correctly.

Incorrect answer : *My mother is

always makes me a cup of tea

every morning.

Correct answer : A cup of tea is

always made by my mother every

morning.

The type of error made by the students are

addition and misformation. Addition occurs

because the students add „to be‟ (is).

Misformation occurs because the students

are wrong to select the verb „makes‟ it

should be „made‟. The factors causing the

errors are induced error, error of avoidance,

and developmental error. Induced error is

caused by wrong arrangement and

presentation in selecting the characteristics

of target language. The students are wrong

to arrange the sentences into passive voice.

Error of avoidance is caused by the

students‟ failure to use certain types in the

target language characteristics because of

the difficulties that they feel. The students

do not change the sentences into passive

voice. Developmental error is caused by the

steps that occur in linguistic development.

The students add „to be‟ (is) that should not

be used.

Question number 7 He didn‟t borrow me a pen last week.

There is only one student who answers this

number correctly. It means that there are 19

students make error in answering it.

Incorrect answer : *A pen was didn‟t

borrow me by him last week.

Correct answer : A pen was not

borrowed by him last week.

The type of error made by the students are

addition and misformation. Addition occurs

because the students add the word „did‟.

Misformation occurs because the students

are wrong to select the verb „borrow‟ it

should be „borrowed‟. The factors causing

the errors are overgeneralization,

developmental error, and induced error.

Overgeneralization is caused by the

expansion rules of the target language in the

contexts that are not appropriated. The

students should not add the word „did‟ in

making passive voice. Developmental error

is caused by the steps that occur in linguistic

development. The students add the word

„did‟ that should not be used because there

is „to be‟ (was). Induced error is caused by

the error of arrangement and presentation of

Page 57: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

50

the target language elements. The students

are wrong to arrange the sentences into

passive voice.

Question number 8 She didn‟t bring my bag last month.

There are 18 students who make error in

answering this number. It means that there

are only 2 students answer it correctly.

Incorrect answer : *My bag was

didn‟t bring by her last month.

Correct answer : My bag was not

brought by her last month.

The type of error made by the students are

addition and misformation. Addition occurs

because the students add the word „did‟.

Misformation occurs because the students

are wrong to select the verb „bring‟ it should

be „brought‟. The factors causing the errors

are overgeneralization, developmental error,

and induced error. Overgeneralization is

caused by the expansion rules of the target

language in contexts that are not

appropriated. The students should not add

the word „did‟ in making passive voice.

Developmental error is caused by the steps

that occur in linguistic development. The

students add the word „did‟ that should not

be used because there is „to be‟ (was).

Induced error is caused by the error of

arrangement and presentation of the target

language elements. The students are wrong

to arrange the sentences into passive voice.

Question number 9 I always use a car to go to campus.

There are 11 students who answer this

number correctly. It means that there are 9

students who make error in answering it.

Incorrect answer : *I always use a car

to go to campus.

Correct answer : A car is always

used by me to go to campus.

The type of error made by the students are

omission and misformation. Omission

occurs because the students do not use „to

be‟ (is). Misformation occurs because the

students are wrong to select the verb „use‟ it

should be „used‟. The factors causing the

errors are simplification, induced error, and

error of avoidance. Simplification is caused

by overload reduction. The students do not

use „to be‟ (is) in making passive voice.

Induced error is caused by error of

arrangement and presentation of the target

language characteristics. The students are

wrong to arrange the sentences into passive

voice. Error of avoidance is caused by the

failure to use the certain types of the target

language characteristics because of the

difficulties that feels. The students do not

change the sentences into passive voice.

Question number 10 Do they buy him a bread?

All students make error in answering this

number.

Incorrect answer : *Do the bread is

bought by them?

Correct answer : is the bread bought

by them?

The type of error made by the students is

addition. Addition occurs because the

students add the word „do‟. The factors

causing the errors are developmental error

and induced error. Developmental error is

caused by the steps that occur in linguistic

development. The students should not add

the word „do‟ because there is „to be‟ (is) in

making passive voice. Induced error is

caused by error of arrangement and

presentation of the target language elements.

The students are wrong to arrange the

sentences into passive voice.

Furthermore, to find out the students‟

difficulties in using passive voice, the

researcher presents the results of interview

are as follows:

1. Apakah anda dapat memahami materi

tentang passive voice? (Do you

understand the material about passive

voice?)

R1 : Saya mengerti tapi selanjutnya saya

lupa lagi (I understand but henceforth I

forget it).

R2 : Saya cukup mengerti (I

understand).

R3 : Saya mengerti, tapi kalau sudah

terlalu lama saya lupa lagi ( I

understand, but if it takes too long, I

forget it).

2. Apakah anda menemukan kesulitan

dalam mengerjakan tes tentang passive

Page 58: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

51

voice? (Do you find difficulty in doing

the test about passive voice?)

R1 : Ada beberapa soal yang tidak bisa

dipahami. (There are some questions that

can not be understood).

R2 : Kesulitannya yaitu kurang

memahami. (The difficulty is my less

understanding).

R3 : Saya bingung dalam menggunakan

verb. (I am confuse in using the verb).

3. Apa kesulitan anda dalam menggunakan

passive voice? (What is your difficulty in

using passive voice?)

R1 : Terkadang ada beberapa kalimat

yang tidak bisa dipahami. (Sometimes

there are some sentences that can not be

understood).

R2 : Dalam penggunaan verb dan to be.

(In using verb and to be).

R3 : Dalam penggunaan rumus passive

voice. (In using the formula of passive

voice).

From the result of the interview, it

shows that most of the students still find the

difficulties in using passive voice, especially

in using „past participle‟ and „to be‟ because

they do not understand the rules of using

passive voice.

Based on the research result above,

the researcher gets the percentage of the

students‟ errors in using „subject‟ (31.37%),

the percentage of the students‟ errors in

using „to be‟ (34.07%), and the percentage

of the students‟ errors in using „past

participle‟ (34.56%). The students still find

difficulties in making passive voice

especially in using „subject‟, „to be‟, and

„past participle‟. It proves that their ability

in understanding passive voice is still weak.

From the result of interview, all

respondents state that they still find

difficulties in using „subject‟, „to be‟, and

„past participle‟ in making passive voice. It

is proven by the test result that they still

make some errors in using „subject‟, „to be‟,

and „past participle‟. In answering the test

item number 1, most of the students (18

students) answer this number incorrectly, it

means that there are only two students who

answer correctly. The question is „We

usually do the homework together‟. The

students answer „The homework usually did

together by we‟. It should be „The

homework is usually done by us together‟.

The students make error of omission and

misformation. According to Dulay, Burt,

and Krashen, as quoted by James, Carl

(1998:107), “More advanced learners tend

to be aware of their ignorance of content

words, and rather than omit one is called

omission. Misformation as use of the wrong

form of a structure or morpheme.” The

students do not use „to be‟ (is) in the

sentence and they can not select the right

verb (done) to make the correct sentence.

The factors causing the errors are

simplification, induced error, and error of

avoidance. According to Selinker as quoted

by Tarigan, HenryGuntur and Djago Tarigan

(1995:171),

Simplification : Kesalahan yang

diakibatkan oleh reduksi ataupengurangan

yang berlebihan.

Induced Error : Kesalahan yang

berasal dari pengurutan dan

penyajianunsur-unsur bahasa sasaran.

Error of Avoidance : Kesalahan yang

diakibatkan oleh kegagalan yang

menggunakan tipe-tipe tertentu ciri-ciri

bahasa sasaran karena adanya kesukaran

yang terasa.

It means that

Simplification : Errors caused by the

reduction or reduction of overload.

Induced Error : Errors come from

the sorting and presentationof the elements

of the target language.

Error of Avoidance : Errors caused by

failure to use certain types of characteristics

of the target 536455language because of the

difficulties that felt.

The students make error because the

factors caused by overload reduction. The

students do not use „to be‟ (is). The students

make error of arrangement and presentation

of the target language elements. They are

wrong to arrange the sentence into passive

voice. The students are failure in using

certain types to make sentence. They do not

Page 59: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

52

use „to be‟ (is) that should be used in

making passive voice and they are wrong to

select the verb‟did‟ it should be „done‟ and

they are wrong to use the subject „we‟ it

should be „us‟. In answering the question

number 2, all students make error. The

question is „Did you put your shoes in the

shelf?‟. The students answer „Did your

shoes put by you in the shelf?‟. It should be

„Are your shoes put by you in the shelf?‟.

The students make error of omission.

According to Tarigan, HenryGuntur and

Djago Tarigan (1995:148), “Kesalahan-

kesalahan yang bersifat penghilangan ini

ditandai oleh ketidakhadiran suatu butir

yang seharusnya ada dalam ucapan yang

baik dan benar.” It means that errors

characterized by this omission is markedby

the absenceof the item that should be in a

good and rightoral. The students do not use

„to be‟ (was) in making passive voice. The

factor causing the error is simplification

because of the overload reduction. The

students do not use „to be‟ (was) that should

be used in making passive voice. In

answering question number 3, all students

make error. The question is „Where did they

sell the book?‟. The students answer „Where

did the book sold by you?‟. It should be

„Where was the book sold by you?‟. The

students also make error of omission

because they do not use „to be‟ (was). The

factor causing the error is simplification

because of the overload reduction. The

students do not use „to be‟ (was) that should

be used in making passive voice. In

answering question number 4, there are 19

students who make error. It means that there

is only one student answer it correctly. The

question is „Does she write the letter every

day?‟. The students answer „Does the letter

is written by her every day?‟. It should be

„Is the letter written by her every day?‟. The

students make error of addition. According

to Dulay, Burt, and Krashen, as quoted by

James, Carl (1998:107),“Addition occurs

when a productive process such as affixation

is not applied.” The students add the word

„does‟ that should not be used in the

sentence. The factor causing the error is

developmental error. According to Selinker

as quoted by Tarigan, HenryGuntur and

Djago Tarigan (1995:171), “Developmental

Error adalah kesalahan yang mencerminkan

tahap-tahap yang terjadi dalam

perkembangan linguistik.” It means that

Developmental Error is the errors that

reflect the stages that occur in

linguisticdevelopment. The students make

error of omission because the factor of

developmental error that they add the word

„does‟ in the sentence. In answering

question number 5, there are 13 students

who answer this number correctly. It means

that 7 students make error in answering it.

The question is „They offered me a new job

last week‟. The students answer „A new job

is offered by them last week‟. It should be

„A new job was offered by them last week‟.

The students make error of misformation.

According to Tarigan, HenryGuntur and

Djago Tarigan (1995:154), “Kesalahan yang

berupa misformation atau salah formasi ini

ditandai oleh pemakaian bentuk morfem

atau struktur yang salah.” It means that

errors in the form ofmisformationare

characterized by the use of form or structure

of the wrong morpheme. The students are

wrong to select „to be‟, it should be „was‟

not „is‟. The factor causing the error is

overgeneralization. The students should

make passive voice in past form not in

present form. According to James, Carl

(1998:187), “This strategy leads to the

overindulgence of one member of a set of

forms and the underuse of others in the set.”

The students make passive voice in present

form it should be in past form. In answering

question number 6, there are 5 students who

make error. It means that 15 students answer

this number correctly. The question is „My

mother always makes me a cup of tea every

morning‟. The students answer „My mother

is always makes me a cup of tea every

morning‟. It should be „A cup of tea is

always made by my mother every morning‟.

The students make error of addition and

misformation because the students add „to

be‟ (is) and they are wrong to select the

word „makes‟ it should be „made‟. The

factors causing the errors are induced error,

error of avoidance, and developmental error.

Page 60: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

53

The students are fail to arrange the sentence

into passive voice and to choose the verb

„makes‟ it should be „made‟ and „to be‟ (is)

in the wrong form and they do not change

the sentence into passive voice. In

answering question number 7, there is only

one student answers it correctly. It means

that there are 19 students who make error in

answering this number. The question is „He

didn‟t borrow me a pen last week‟. The

students answer „A pen was didn‟t borrow

me by him last week‟. It should be „A pen

was not borrowed by him last week‟. The

students make error of addition and

misformation. They add the word „did‟ and

they are wrong to select the verb „borrow‟ it

should be „borrowed‟. The factors causing

the errors are overgeneralization,

developmental error, and induced error. The

students make error because of the steps in

linguistic development. They add the word

„did‟ that should not be used in making

passive voice because there is „to be‟ (was)

and they are wrong to arrange the sentence

into passive voice. In answering question

number 8, there are 18 students who make

error. It means that there are only 2 students

answer it correctly. The question is „She

didn‟t bring my bag last month‟. The

students answer „My bag was didn‟t bring

by her last month‟. It should be „My bag

was not brought by her last month‟. The

students also make error of addition and

misformation. The students add the word

„did‟ that should not be used in the sentence

and they are wrong to select the verb „bring‟

it should be „brought‟. The factors causing

the errors are overgeneralization,

developmental error, and induced error. The

students add the word „did‟ that should not

be used in making passive voice because

there is „to be‟ (was) and they are wrong to

arrange the sentence into passive voice. In

answering question number 9, there are 11

students who answer it correctly. It means

that there are 9 students make error in

answering this number. The question is ‟I

always use a car to go to campus‟. The

students answer „I always use a car to go to

campus‟. It should be „A car is always used

by me to go to campus‟. The students make

error of omission and misformation. The

students do not use „to be‟ (is) and they are

wrong to select the verb „make‟ it should be

„made‟. The factors causing the errors are

simplification, induced error, and error of

avoidance. The students do not use „to be‟

(is) and the verb „used‟ that should be used

in making passive voice and they are wrong

to arrange the sentence into passive voice

and do not change the sentence into passive

voice. In answering the question number 10,

all students make error. The question is „Do

they buy him a bread?‟. The students answer

„Do the bread is brought by them?‟. It

should be „Is the bread bought by them?‟.

The students make error of addition.

According to Tarigan, HenryGuntur and

Djago Tarigan (1995:151), “Kesalahan

penambahan ini ditandai oleh hadirnya

suatu butir atau unsur yang seharusnya

tidak muncul dalam ucapan yang baik dan

benar.” It means that the additional error is

characterized by the presence of an item or

element that should not appear in a good

andright oral. The students add the word

„do‟ that should not be used in the sentence.

The factor causing the errors are

developmental error and induced error. The

students add the word „do‟ that should not

be used in making passive voice and they

are wrong to arrange the sentence into

passive voice. Errors made by the students

can be caused by the lack of knowledge

about the language particularly passive

voice. According to Chomsky and Corder

as quoted by Tarigan, Henry Guntur and

Djago Tarigan (1995:143),”Kesalahan

diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan

mengenai kaidah-kaidah bahasa sebagai

faktor kompetensi merupakan

penyimpangan-penyimpangan sistematis

yang disebabkan oleh pengetahuan pelajar

yang sedang berkembang mengenai sistem

B2 (atau bahasa kedua).” It means that

errors caused by the lack of knowledge

about the rules of language as a competence

factor, is the systematic deviations caused

by the developing of students‟ knowledge

about the system of L2 (or second

language). Competence factors also effect

on the students‟ knowledge, and the lack of

Page 61: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

54

students‟ knowledge may cause students‟

errors, particularly in using passive voice.

The researcher concludes that the

case above belongs to the students‟ errors,

because the students still do not understand

about the language of lingusitic system that

they use, and the students can not correct

themselves in making errors. Based on the

test result, it is found that most of the

students make error in making passive voice

particularly in using past tense. In addition

their mistakes also happen in the form of

interogative sentence. Almost all students

make error in using past tense and

interogative sentence. It means that they are

still difficult to do the test of passive voice

especially in using past tense and

interogative sentence.

Furthermore, based on the

respondents‟ responses on interview, most

of the students find the difficulties in using

passive voice, especially in using „to be‟ and

„past participle‟, because they do not

understand about the rules of using it,

besides, the teacher does not give many

examples and exercises about the

appropriate use of passive voice in sentences

particularly in using past tense and

interogative sentence so that the students

feel very confuse when they are given a test

about passive voice. To solve this problem,

the teachers should give more exercises and

example in sentences in making passive

voice so that the students can understand

well.

CONCLUSION

After analysing the data, the

researcher gets the conclusion of this

research. Based on the test result, it is

concluded that the percentage of the

students‟ errors in making passive voice is

in using „subject‟ (31.37%), the percentage

of the students‟ errors in using „to be‟

(34.07%), and the percentage of the

students‟ errors in using „past participle‟

(34.56%). Thus, the highest error is in using

„past participle‟, medium error is in using

„to be‟, and the lowest error is in using

„subject‟, However, from the interview

result, the researcher gets that all

respondents state that they do not

understand the rules of using passive voice,

especially in using „past participle‟ and „to

be,‟ providing that the test result shows that

their highest error is in using „past

participle.‟ Nevertheless, this result proves

that the students still find the difficulties in

using passive voice because they are still

confuse about the appropriate use of passive

voice, especially in making passive voice

particularly in using „to be‟, and „past

participle‟ in a sentence of passive voice.

Based on the test result that the students are

still difficult to do the test of passive voice

especially in past tense particularly in

making interogative sentence. Almost all

students make error in past tense particularly

in making interogative sentence. Most of the

students make error of addition, omission,

and misformation because the factors of

overgeneralization, simplification,

developmental error, induced error, and

error of avoidance.

After doing this research, the

researcher would like to give some

suggestions and hopefully useful for all

readers, particularly for English teachers and

the students. The teachers should:encourage

the students to keep practicing to use

passive voice in making sentence, be more

creative in explaining the materials, for

example by using the suitable teaching

techniques, such as more game and suitable

teaching media such as using slide of power

point multimedia, keep improving their

teaching skill to make the teaching learning

process run well, and give more exercises to

the students to improve their ability in

learning passive voice especially in past

tense particularly in interogative sentence.

For students, they focus their mind on the

material discussed, review the materials not

only at school but also at home, be more

active in teaching learning process, improve

their structure ability, especially about

passive voice, solve their problems about

the materials by asking to the teacher or

discussing them with their friends, andkeep

practicing to use passive voice in making

sentence.

Page 62: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

55

BIBLIOGRAPHIES

Ali, Mohammad. (1985). Penelitian

Kependidikan Prosedur dan Strategi.

Bandung:Angkasa.

Alwasilah, A. Chaedar. (1993). Kaji Ulang

Kata Kerja Bahasa Inggris. Bandung:

Angkasa.

Alwasilah, A. Chaedar. (1993). Linguistik

Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.

Alwasilah, A. Chaedar. (2002). Pokoknya

Kualitatif. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Arikunto, Suharsimi. (2006). Dasar-dasar

Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi

Aksara.

Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur

Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta:PT Asdi Mahasatya.

Bagus Putrayasa, Ida. (2007). Analisis

Kalimat. Bandung: Refika Aditama.

Corder, S.Pit. (1981). Error Analysis and

Interlanguage. London: Oxford

UniversityPress.

Insani, Ruly. (2006). The Analysis of

Students’ Mistakes In Using Simple

Past TenseAt The Second Grade of

SMA Negeri 1 Cikijing Majalengka.

Tasikmalaya: Unpublished.

James, Carl. (1998). Errors in Language

Learning and Use. London: Longman.

Ramlan. (2001). Frasa, Klausa, Kalimat,

dan Sintaksis. [Online]. Tersedia:

http:zieper.multiply.com/journal/item/

38. [10 Desember 2010].

Swan, Michael. (2005). Practical English

Usage. London: Oxford University

Press.

Tarigan, Henry Guntur dan Djago Tarigan.

(1995). Pengajaran Analisis

Kesalahan Berbahasa. Bandung:

Angkasa.

Thomson, A. J. dan A. V. Martinet. (1986).

A Practical English Grammar. Oxford:

Oxford University Press.

Page 63: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

56

PENGAJARAN KOSAKATA BAHASA INGGRIS MELALUI ACTIVE

LEARNING

Tri Agustini Solihati

Universitas Perjuangan Tasikmalaya

[email protected]

ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran kosakata bahasa

Inggris dengan topik warna, makanan dan minuman, bagian tubuh, dan keluarga melalui

Pembelajaran Aktif di kelas satu (kelas 1b) dari SDN Banjaran, Tasikmalaya. Penelitian ini

dilaksanakan dengan menggunakan metode proses siklus, yaitu siklus I dan siklus II. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa siklus I terdiri dari aktivitas guru dalam pelaksanaan

Pembelajaran Aktif sebanyak 80% dan suasana kelas sebanyak 65,15%. Hasil yang dicapai oleh

siswa sebanyak 7,64 untuk rata-rata worksheet, 8.68 untuk tes formatif, dan 74% untuk hasil

pengajaran analisis kosa kata bahasa Inggris. Pada siklus II, aktivitas guru dalam pelaksanaan

Pembelajaran Aktif dalam jumlah sebanyak 90% dan suasana kelas sebanyak 89,15%. Hasil yang

dicapai oleh siswa sebanyak 8,05 untuk rata-rata worksheet, 8.86 untuk tes formatif, dan 84%

untuk hasil pengajaran analisis kosa kata bahasa Inggris. Dalam hal ini, jelas bahwa manfaat

pembelajaran aktif dalam studi kosakata bahasa Inggris akan membantu kegiatan belajar siswa

dalam menghafal bahkan menguasai kosa kata. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

media yang begitu dekat dengan kegiatan sehari-hari dan metode yang menarik siswa. Implikasi

dari hasil penelitian diharapkan Pembelajaran Aktif meningkatkan kualitas pembelajaran kosakata

bahasa Inggris di kelas satu SDN Banjaran, Tasikmalaya.

Kata kunci: kosakata, pembelajaran aktif, Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

ENGLISH VOCABULARY TEACHING THROUGH

ACTIVE LEARNING

ABSTRACT The objective of this research is to improve the quality of learning English vocabulary with the

topics of colors, food and drink, parts of the body, and family through Active Learning at grade

one (class 1b) of the SDN Banjaran, Tasikmalaya. This research is implemented by using cycle

process method, namely cycle I and cycle II. The result of this research indicated that cycle I

comprises of the teacher‟s activity in the implementation of Active Learning as much as 80% and

classroom atmosphere as much as 65.15%. The result achieved by the students as much as 7.64 for

the average of worksheet, 8.68 for the formative test, and 74% for the result of teaching English

vocabulary analyses. In cycle II, teacher‟s activity in the implementation of Active Learning in the

amount of as much as 90% and classroom atmosphere as much as 89.15%. The result achieved by

the students as much as 8.05 for the average of worksheet, 8.86 for the formative test, and 84% for

the result of teaching English vocabulary analyses. In this case, it is obvious that the utility of

Active Learning in the study of English vocabulary will help students‟ learning activity in

memorizing even mastering vocabulary. The study is carried out by using media finding in daily

activity and the method attracts students. The implication of the research result is hoped that

Active Learning improves quality of learning English vocabulary at grade one of the SDN

Banjaran, Tasikmalaya.

Keywords: vocabulary, active learning, classroom action research

Page 64: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

57

INTRODUCTION

Vocabulary is a number of words

in language (Oxford, 1995: 461). It is a list

of words or expression, which in arranged

based on alphabet by enclosing their

meaning (Salim, 1998: 242). It can be

concluded from the statement above that

vocabulary is the basis of language, because

it consists of words that is meaningful.

Vocabulary is an important skill for

speaking, writing, and reading as language

skill, which have to be mastered by all

students. However every child at elementary

school, where they go through their first

experience in studying English, finding

difficulties when facing some different

language aspects, such as style of writing,

reading, and speaking.

English subject at the

elementary school in Tasikmalaya is a part

of local curriculum. According to 1994

Curriculum, English is given for the first

time at elementary school as one of effective

lessons in local curriculum. Students of

elementary school usually have a tendency

to know something and an enthusiasm to

learn a new thing, which is related to their

surroundings. One thing that must be

remembered, that every child builds their

understanding based on experience and acts

a good imitator. Perhaps learning English

subject at elementary school will help them

to find an early description and a sense of

interest to learn more deeply in the next

level (Junior High School).

But in fact, English vocabulary

of students at grade 1 of elementary school

needs to be improved a lot. It is found from

their achievements that show lower than the

average 60 as successful standard. It is too

apprehensive, whereas English as

international language that is taught in every

year. If the problem hasn‟t been solved, it

will give at least three effects. Firstly, they

are psychology effect; students do not have

any motivation to study, they are afraid of

learning English as they consider English is

a difficult lesson. They are afraid or

unrespectable to their teachers, even at the

time they do not want to go to school any

more. The next effect is academic. Students

will find difficulties in learning English or

other materials like tenses, reading, writing,

speaking, and listening. Finally, the social

effect gives difficulties to students in

solving daily problems. For example, they

cannot mention objects pointed in English.

Mihaly Csikzantmihalyi in Flow

(1990) described the attention as mental and

emotional energy. Flowis aware condition in

which someone is lost in an activity, so he

does not feel the time passed. Flow can be

experienced easier when students experience

something called Dan Rea by term “serious-

fun”. Educator can support Serious-fun by

having a high quality target of learning

result and managing classroom activities

that occupy students. Active Learning

emphasize on serious-fun can help students

to pay attention, improve their desire to

study, and manage the atmosphere in order

Flow experience happened.

In this case, teachers need to

find strategies to encourage students in order

to proper learning habit that can lead to

successful learning. Hopkins (1993) said

“Teacher is not only demanded to master

materials and present them correctly in front

of the students but also is demanded to be

able in assessing their work”. This ability is

correlated with Classroom Action Research

(CAR) or Penelitian Tindakan Kelas (PTK).

According to Carr and Kemmis (1991),

CAR is a research which is done by teachers

in theirclassrooms through reflection with

the aim to evaluate their work as teacher in

order to leave negative learning and create

positive learning perfectly. There are four

components in doing CAR (Kemmis and

Taggar, 2006: 22). First, planning, it is an

action done to improve or attitude changing

as solution. Second, action, it is what

teachers should do as the effort in repairing,

improving or changing hoped. Third,

observation, it is an observation toward the

result or effect of some actions done by

students. Forth, reflection, it means that the

observer observe, look, and consider the

Page 65: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

58

result or action effect from some criteria.

Based on this reflection result, revising in

repairing toward first planning is done.

Students at elementary school,

especially at grade one of SDN Banjaran,

face some difficulties in reading English

language, one of the difficulties is because

English is a foreign language and the limited

time provided in teaching English, so they

can‟t recall much vocabularies. Whereas

vocabulary is good to be taught to

elementary school students, especially grade

1, to introduce them everything around them

in English. So in this research, the

researcher decides to take the single word as

an appropriate material to be absorbed by

elementary school students. As we know

that in learning English, there are four skills

which should be mastered by students such

as speaking, reading, listening, and writing

(Tarigan, 1990: 11).

That mastery of language skill

especially English language needs sufficient

vocabulary, in other word, that somebody‟s

language will determine the quality and

quantity of his or her skill. “The quality of

somebody’s language skill depends on the

quality and quantity of his or her

vocabulary. More vocabulary somebody

has, more possibly to master of language

skill” (Tarigan, 1986: 2).

According to that theory, the

writer concerns to the improving of

students‟ vocabulary with the right approach

and strategy, they are apart of comment that

will be achieved to the aim. The ways to

make the students feels happy are from the

approach and strategy that the teacher used

to applied. The teacher should motivate the

students’ interest on the subject matter, for

instance, English language (Sudjana, 1988:

39).

To solve the problem, a strategic

thing that must be done is looking for the

causes of the problem. Like an identification

problem done by researcher with another

teacher, reflection toward learning done is

caused by several problems. Some of them

are English learning is still teacher-centered

include teacher explanation, giving an

example of question, giving a task, and

assessment. From the available time, the

biggest allocation is still in teacher

activities. By this learning model, so the role

of students and students involved in

teaching learning process is in a small.

Students listen portion just to teacher‟s

explanation. Sometimes they answer and

give their opinion, but time presentation for

student‟s activities is still little. For

example, when teacher is teaching about

colors, students can memorize almost

vocabularies well. But when teacher ask

them to color a picture by certain color, they

do it incorrectly. They succeed in answer the

question is not from their comprehending

toward the object and vocabulary taught, but

through the explanation or knowledge

transfer from the teacher. Learning model

above causes impermanent comprehension.

Teacher needs to retell the material that

students have learnt if they will face the

same problem. The impermanent

comprehension they got, make them cannot

implement it in their daily life. Whereas

English will be faced as long as their

education, and is suggested to be used in

their daily activities.

Active Learning is an effort in

education and learning revolution. Although

this approach is new, actually this concept

has been improved in years, but its

implementation in our schools is new. This

fact causes the difficulties in defining Active

Learning. Gulo (2002) told that “Active

Learning adalah pendekatan pembelajaran

dengan melibatkan aktifitas siswa secara

maksimal dalam proses belajar baik

kegiatan mental intelektual, kegiatan

emosional, maupun kegiatan fisik secara

terpadu”. Conny Setiawan (1990) defines

Active Learning as “Cara belajar siswa

aktif yang mengembangkan keterampilan

memproseskan perolehan”. Learning

through Active Learning approach demands

in three components and its supporter, they

are performances of students‟, teachers‟, and

classroom. Students in Active Learning are

suggested to get learning experience

directly. For example when the teacher is

going to teach about fruits, students are

asked to bring one of their favorite fruit. So

Page 66: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

59

when they learn the word “banana” and they

know what banana is, their memory will be

survive in long time when they get it

themselves and experience it directly. By

this activity, students‟ curiosity and thinking

creativity can be improved.

So to get the best mastery in

English vocabulary, it is needed English

learning students-centered approach.

Students get learning experience that is

packed in enjoy atmosphere so it can dig the

potential up, students‟ creativity and they

are hoped can implement it daily life.

Because when they only heard in learning,

they will forget, when they see, they will

remember, and when they do, the will

understand, and those are in Active

Learning.

RESEARCH METHODOLOGY

1. The location and time of research

This research is done to the students at

grade 1 of SDN Banjaran, Kp. Banjaran

Desa Linggaraja Kecamatan Sukaraja

Kanupaten Tasikmalaya.

The research is held in semester II of

2009 / 2010 year; on March till June 2010.

2. The method and design of action

intervention

This kind of research is Action

Research which is proposed to repair

affectivity and efficiency of education

practice. Reminding this action research is

done in the class, so the method used in this

research is method of Classroom Action

Research(CAR).

The implementation of this research

based on progressive program in SDN

Banjaran by the number of English time 2

hours in a week.

Design of action intervention or

research cycleplanning uses Kemmis model

and Mc. Taggart which is include some

steps 1. Planning, 2. Action 3. Observation,

3. Reflection. So the activity in this research

through certain steps and cycle such as the

picture below:

3. The subject of research

The subject of this research is students

of grade 1 of SDN Banjaran, Tasikmalaya

consist of 25 students. Consist of 12 male

students and 13 female students. The

assistant researchers of this research are two

regular teachers of grade one, Mrs. Een

Nuraeni, S.Pd.I and Mrs. Nani Rohaeni,

S.Pd.I which do the observation when

researcher implements the learning.

4. The role and position of the

researcher in research The role of researcher in this research is

the main doer, so in pre-research she does

the reflection toward English learning

process in class, and then make an action

planning will be done in class where she

teaches.

As researcher position in this research is

main doer, she implements directly what

will be improved in the class. She feels and

does the reflection from the learning done in

order to support her to do every step of the

research. Beside that, she writes a report

which makes everything done and observes

the research closely. In doing all of these,

she is helped by school‟s head master and

teachers.

5. The steps of action intervention

Cycle 1

1. Reflection

Teacher does the reflection toward

learning done, consist of how the teacher

teach is, how the students learn is, how the

atmosphere of class is, and think the way to

repair them.

2. Action planning

Make a lesson plan by implementing

Active Learning.

Page 67: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

60

3. Action implementation

Teacher implements English

learning by using Active Learning

4. Observation

Head master and another teacher

observe and evaluate the learning which is

doing by researcher.

5. Reflection

Teacher (researcher) investigates

evaluation and observation result to decide

the next step.

Cycle 2

1. Action planning

Researcher makes improvement planning

based on reflection and observation result.

2. Action implementation

Teacher teaches based on improvement

planning I made.

3. Observation

Observing and evaluating the

improvement of implementation.

4. Reflection

Investigating evaluation and observation

result to decide the result got during the

research (in two cycles).

6. Aims of action intervention

The success aiming to every action done

in English learning by implementing Active

Learning approach is oriented to:

1. The improvement of students‟ English

vocabulary mastery.

2. The improvement of learning result. In

this case success standard is 80% get the

score up to 60 in every cycle.

7. Data and collecting data

a. Data

Data is taken from data of observing

action and research data. Data of observing

action is data that is used to control the

suitable action implementation with action

planning in this case the learning by using

Active Learning. Whereas research data of

students‟ English vocabulary mastery is data

about research variable; learning results.

The data is used for the necessity of research

data analysis to get the illustration of the

improving of students‟ English vocabulary

mastery.

b. Resource of data

Resource of data in this research

divides into two parts; assistant researcher

action data is English learning process in

grade 1 by using Active Learning and

resource of research data; the learning result

of students of grade 1.

8. The technique in collecting data and

instrument used

The collecting data done by using

implementation learning instrument includes

the observation of teacher teaches, students

study, and class atmosphere which is related

to learning implementation by Active

Learning. Beside that, the instrument used to

collect research data about students‟ English

vocabulary mastery is test instrument. The

test learning result refers to curriculum 2006

and the book used is Active English. The

test learning result is 10 multiple choice

questions.

9. The technique of validity

Triangulation is used to check data

validity. Triangulation done by resource,

compare what the researcher feels with the

assistant researcher idea. That refers to

research toward students‟ English

vocabulary mastery and try-out test to look

the students‟ learning result.

10. The analysis of data and

interpretation of analysis result

The analysis of researcher data done

by looking students involved when learning

process, teacher attitude in learning

implementation, and students‟ learning

result. By implementing Active

Learningapproachis hoped that students can

be more active in learning process. Teacher

in learning is not the only one resource of

study but can be friend and partner for

students. So students can master English

vocabulary well.

RESEARCH FINDINGS AND

DISCUSSION

Cycle I

From the result analyses of cycle I,

so the result gotten was the researcher who

was a teacher in this case was lake of open-

self and could not appear students‟ initiative

Page 68: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

61

and creativity yet. The researcher was also

lake of involving all students in group

learning, because only some students were

enthusiastic and did what had been

commanded well.

Beside that, teacher‟s tense was

looked in learning and high level of anxiety

in students‟ vocabularymastery. It was

looked from teacher‟s attitude that was

soonest in helping students; teacher was lake

of giving students opportunity to

communicate with others. So by those

attitudes gave the effect of students‟ tense

too. Learning atmosphere did not please

enough so students‟ initiative and curiosity

were not dug up well. And it was still

looked the tense and hurried in doing

learning.

In other word, the learning which

should be centered on students was still

dominated by teacher although in a small

scale. There were two things hoped in

Active Learning; learning was students

centered and students did the learning

happily. Beside that students were hoped to

do their activity alone, solve the problem,

and could reflect the activity done.

Teacher‟s role was only as motivator, gave

the clarification of material learnt.

The result of teaching-learning

process was 7.64 for worksheet average,

8.68 for formative test, and analyses of

teaching English vocabulary as 74%, those

numbers had not reach successful standard

determined by researcher, so cycle II was

needed to be able in improving teaching

English vocabulary through Active

Learning.

Cycle II

The attitude and activity of students

and teacher in learning was describing

learning process through Active Learning.

Students‟ curiosity was growing up. The

interaction and communication were looked

not only between students and teacher but

also among students. Beside that students

did learning activity happily. There were

also the harmonious among abilities; social,

emotional, and intellectual. So it would dig

students‟ potential up.

The allocation was getting centered

on students and teacher gave stimulus in

order students had motivation to activate in

learning, were sportive, and were motivated

to be able in repairing the mistake to reach

the better mastery of vocabulary. From the

activities done in four meetings in cycle II

were looked students‟ and teacher‟s activity

hoped.

The result gotten from teaching-

learning process was 8.06 for worksheet

average, 8.86 for formative test, and

researcher‟s analyses on formative test

result that described students‟ vocabulary

mastery as 84%, the whole reached the

standard hoped by researcher.

Interpretation of Analysis Result and

Discussion

According to the data gotten in

learning action of English vocabulary using

Active Learning, it showed the improvement

of students‟ vocabulary mastery. Observing

the result of action intervention done by

researcher through dividing action into cycle

I and II, its result observation described the

improvement of percentage in SDN

Banjaran students‟ vocabulary mastery with

7.9 for worksheet average, 8.67 for

formative test, 84% for observation of

teacher‟s attitude, 77.15% for observation of

classroom atmosphere, and 80% for the

observation of students‟ English vocabulary

mastery. Looking at the result gotten, it

proved that learning approach could be used

to improve elementary school students‟

English vocabulary mastery; it was looked

from score improvement, the percentage of

observation of learning action, and English

vocabulary mastery in each learning cycle.

From the explanation of cycle I and II, it

could be said that learning process in cycle I

was still influenced by teacher‟s attitude that

was lake of open-self, tense, giving the

strengthen so students‟ attitude in learning

was influenced. Learning situation was also

boring and it caused students could not

improve their activity well.

Because teacher had been trained

more in cycle II in doing learning through

Active Learning, the tense and anxiety of

Page 69: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

62

learning target were decrease. Learning

situation was more vivid. In cycle II

learning situation described the principles

and characteristics of Active Learning.

When teacher had given open-self attitude,

the width and full trust to the students, they

would more believe in their potential so they

were able to dig up and develop it. Students

could learn well, solve their problem, and

apply what they had in their daily life. The

implementation of such approach was not

separated from teacher‟s effort in

developing innovation and creativity in

making learning plan and process in using

Active Learning approach.

CONCLUSION, IMPLICATION AND

RECOMMENDATION

Conclusion

The observation result showed the

result of students‟ vocabulary mastery

through Active Learning was able to involve

the ability of social, emotional, and

intellectual in harmony so it could appear

students‟ potential, stimulate to think, and

learn in solving problem alone. Beside that,

there was a significance improvement of

students‟ ability when teacher gave the trust

and open-self in learning. Students‟ more

enjoyed the learning and followed it

enthusiastically and happily, so students‟

mastery was better.

Beside that, the good students

conditioning and choosing correct method

with the material that would be presented by

paying attention on grade one students‟

characteristics and individual differences,

would appear good communication and

interaction between students and teacher and

among students. By this condition, students

would be able to present the information

they got to others and train their bravery and

self-confidence.

Learning through Active Learning

could improve students‟ mastery because

basically children learned and worked or did

activities, because work was demand of

children statement. What children got

through working activity, searching, and

finding their selves would not be forgotten

easily. Students would be very happy if they

were given the opportunity to distribute their

working ability. By Active Learning,

students could know and develop more their

potential and capacity fully. They also had

ability in thinking regularly and critically,

and solving their daily problem. They were

more creative in digging, searching, and

developing useful information for them. It

was proved by the observation held. By

77.25% of students‟ activities, it meant that

more than a half of students did the activity

in learning and it showed the improvement

of students‟ English vocabulary mastery.

Students with good mastery could be a tutor

of their friends, so it could help the

improvement of students‟ English

vocabulary mastery. Even less when

students‟ activities in learning reached more

than 90%-100%, so the students‟ English

vocabulary mastery would improve more.

Implication

Actually Active Learning approach

was suitable with learning goal that would

be reached to the elementary school students

of grade one. Because in this age, students

wanted to move, communicate, and interact

was still big enough. By implementing

Active Learning, it gave students to be

creative in learning alone, stimulating their

thinking and they could reflect and want to

present their best. The implemented Active

Learning was suitable with elementary

school students‟ characteristics, especially at

SDN Banjaran.

Recommendation

The result gotten in observation

conclusion showed one of suitable ways to

look and know directly the weakness either

from students or teacher. Because of that,

the researcher recommends:

The educator

to use Active Learning in teaching-learning process, because it was suitable

with elementary school students‟

characteristics.

to repair their work by developing teacher‟s creativity in arranging

learning.

The head master to give teachers

motivation, support, and guidance in

Page 70: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

63

order they are able to implement Active

Learning.

The instance and government

to give the support by providing means of education and its infrastructure based

on the necessity.

The university students and readers

to follow this paper up by doing

observation to get more accurate data.

BIBLIOGRAPHIES

____________, The World Book

Encyclopedia Volume 15, USA:

Field Enterprises Educational

Corporation, 1964

___________, Oxford Learner’s Pocket

Dictionary, USA: Oxford University

Press, 1991

Allen, Virginia French, Techniques in

Teaching Vocabulary, London:

Macmillan Press, 1983 Alwasilah, A. Chaedar, Politik Bahasa dan

Pendidikan, Tasikmalaya: Rosda, 1997

Alwasilah, A. Chaedar, Pengajaran Bahasa

Komunikatif, Tasikmalaya: Rosda, 2000

Alwasilah, A. Chaedar, Perspektif

Pendidikan Bahasa Inggris di

Indonesia dalam Konteks

Persaingan Global, Tasikmalaya:

Andira, 2000

Brown, H. Douglas, Teaching by Principles,

USA: Paramount, 1994

Dewi, Ida Kusuma, dkk, Active English 1,

Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka

Mandiri, 2007

Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan

Pembeljaran, Jakarta: Rineka Cipta,

1999

Finocchiaro, Mary, Tecahing Children

Foreign Language, New York:

McGraw-Hill Book Company, 1964

Gulo W., Strategi Belajar Mengajar,

Jakarta: Grafindo, 2002

Ihsan, Fuad H, Dasar-dasar Kependidikan;

Komponen MKDK, Jakarta: Rineka

Cipta, 2003

Jarvis, Peter, The Sociology of Adults and

Continuing Education, USA: Croom

Helm Ltd, 1985

Hurlock, Elizabeth, Psikologi

Perkembangan, Jakarta: Erlangga

Kasbolah, Kasihani, Penelitian Tindakan

Kelas, Malang: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1998

Kemmis, S. & Mc. Taggart, R. (Eds), The

Action Research Reader, Victoria:

Deakin University, 1990 b

Musthafa, Bachrudin, EFL for Young

Learners, Tasikmalaya: The Writing

Team of Crest, 2002

Quirk, Randolph and Stein Gabriele,

English in Use, England: Longman,

1990

Scott, Wendy A. and Ytreberg, Lisbeth H. ,

Longman Keys to Language

Teaching; Teaching English to

Children, USA: Longman Inc, 2004

Setiawan Conny, et al, Pendekatan

Keterampilan Proses; Bagaimana

Mengaktifkan Siswa Belajar, Jakarta:

Gramedia, 1990

Silberman, Mel, Active Learning,

Yogyakarta: Yappendis, 2001

Silberman, Melvin L, Active Learning 101

Cara Belajar Siswa Aktif,

Tasikmalaya: Nusamedia, 2009

Stern, Fundamental Concepts of Language

Teaching, USA: Oxford University

Press, 1983

Sudjana, Nana, Belajar Siswa Aktif dalam

Proses Belajar Mengajar,

Tasikmalaya: Sinar Baru Algesindo,

1996

Sukandi, Ujang dkk, Belajar Aktif dan

Terpadu, Jakarta: The British

Council, 2001

Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar, Jakarta:

Logos, 1999

Tarigan, Henry Guntur, Pengajaran

Keterampilan Berbahasa,

Tasikmalaya: Angkasa, 1986

Tim Redaksi Fokusmedia, Guru dan Dosen,

Tasikmalaya: Fokusmedia, 2006

Wallace, Michael J, Teaching Vocabulary,

Britian: English Language Book

Society, 1987

Page 71: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

64

ANALISIS KOMPETENSI MENYUSUN INSTRUMEN PENILAIAN IPS

DI SEKOLAH DASAR

Fajar Nugraha

Universitas Perjuangan Tasikmalaya

[email protected]

Penelitian ini memiliki ruang lingkup kompetensi guru dalam menyusun instrumen penilaian

meliputi konsep penilaian pembelajaran IPS SD, kemampuan dalam menyusun instrumen

penilaian IPS SD, dan dinamikanya. Analisis ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif,

menggambarkan secara sitematis penemuan fakta-fakta selama penelitian. Analisis ini

menggunakan lima subjek penelitian dengan kriteria guru kelas tinggi yang telah lulus sertifikasi

guru. Penelitian ini menggunakan studi dokumentasi dan wawancara sebagai sumber data.

Sedangkan pengolahan data dilakukan dengan reduksi data, display data, dan penarikan

kesimpulan. Berdasarkan temuan penelitian, pengetahuan guru tentang penyusunan instrumen

penilaian secara umum berkategori baik. Pengelolaan pembinaan guru yang baik berbanding lurus

dengan pengetahuan serta pemahaman guru. Kemudian kemampuan guru dalam menyusun

instrumen penilaian berkategori baik. Hal ini terbukti dari dokumen-dokumen yang kami analisis

memenuhi kriteria standar penyusunan instrumen penilaian. Perlu upaya dan konsistensi dari

berbagai pihak yang berkaitan langsung dengan guru agar pengetahuan, pemahaman, dan

kemampuan guru terus menerus meningkat.

Kata kunci: analisis kompetensi, instrumen penilaian

COMPETENCY ANALYSIS ON DEVELOPING ASSESSMENT INSTRUMENTS

OF SOCIAL SCIENCE SUBJECT IN PRIMARY SCHOOL

ABSTRACT The scope of this study is teachers‟ competency on developing assessment instrument

including the concept of learning social sciece in primary school, the ability on creating its

assesment instruments, and its dinamycs. This analysis uses qualitative descriptive approach which

systematically describes the facts finding during the study. This analysis uses five criteria of the

study subjects with high-grade teacher who has passed the certification of teachers. This study uses

documentary studies and interviews as a data source. While the data processing is done through

data reduction, data display, and taking conclusion. Based on the findings, the teacher's knowledge

of preparing assessment instruments are generally categorized as adequate. Management coaching

of good teacher is in line to the knowledge and teachers‟ understanding. Then the teachers have

adequate ability in preparing assessment instrument. It is proved from the documents that meet the

criteria of the standard preparation of assessment instruments. Effort and consistency are needed

from various parties associated directly with the teacher so that the knowledge, understanding, and

the ability of teachers continuously better.

Key words: Competency Analysis, Assessment instrument

Page 72: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

65

PENDAHULUAN

Peran guru pada era otonomi sekolah

semakin penting karena kemajuan

pendidikan berada ditangan para guru. Figur

guru menjadi sorotan strategis dalam

pendidikan karena guru terkait dengan

komponen manapun dalam sistem

pendidikan. Guru juga sangat menentukan

keberhasilan peserta didik terutama dalam

kaitannya dengan proses belajar mengajar.

Hal ini menunjukkan bahwa perubahan

dan pembaharuan pendidikan tergantung

pada peran guru. Menurut Quisumbing

(Kunandar, 2007:10) “kualitas pendidikan

bersifat dinamis, saat ini pendidikan

berkualitas tapi saat mendatang bisa jadi

ketinggalan”. Oleh karena itu tuntutan atas

guru yang profesional menjadi sesuatu yang

mutlak.

Menurut Depdiknas 2001 “Kompetensi

guru merupakan seperangkat penguasaan

kemampuan yang harus ada dalam diri

guru agar dapat mewujudkan kinerja

secara tepat dan efektif”. Lebih lanjut telah

termaktub dalam permendiknas nomor 16

tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi

Akademik dan Kompetensi Guru secara

garis besar terdapat empat kompetensi guru

yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi

kepribadian, kompetensi sosial, dan

kompetensi profesional.

Peranan guru Sekolah Dasar (SD)

sebagai guru kelas harus menguasai seluruh

mata pelajaran di SD. Begitu pula salah satu

mata pelajaran khusunya mata pelajaran

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) tentu dapat

dikuasai oleh guru. Jarolimek (2003:5)

menyatakan “Social studies focuses

specifically on citizenship education which

means learning to participate in group life”.

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat

disimpulkan bahwa IPS berperan dalam

kelompok kehidupan. Menurut Depdiknas

(2003:9) “Ilmu Pengetahuan Sosial di

sekolah dasar mengkaji seperangkat

peristiwa, fakta, konsep, generalisasi yang

berkaitan dengan isu sosial serta berfungsi

untuk mengembangkan pengetahuan, nilai,

sikap, dan keterampilan siswa tentang

masyarakat, bangsa, dan Negara”.

Tujuan pembelajaran IPS sebagaimana

dimaksud Depdiknas (2006:47) sebagai

berikut :

1. Mengenal konsep-konsep yang

berkaitan dengan kehidupan masyarakat

dan lingkungannya.

2. Memiliki kemampuan dasar untuk

berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,

inkuiri, memecahkan masalah, dan

keterampilan dalam kehidupan sosial.

3. Memiliki komitmen dan kesadaran

terhadap nilai-nilai sosial dan

kemanusiaan.

4. Memiliki kemampuan berkomunikasi,

bekerjasama dan berkompetensi dalam

masyarakat yang majemuk, di tingkat

lokal, nasional, dan global.

Dengan memahami tujuan

pembelajaran IPS di SD, guru dapat

melaksanakan pembelajaran IPS di SD

secara terarah. Apabila seorang guru telah

memiliki pemahaman yang mumpuni, maka

bukan suatu hal yang sulit untuk menyusun

perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian

pembelajaran.

Penilaian pembelajaran merupakan

seperangkat proses pengolahan informasi

dalam rangka menentukan pencapaian hasil

belajar. Segendang sepenarian dengan

pernyataan Nitko (1996:32) “assessment is

a board term defined as a process for

obtaining information that is used for

making decisions about students….”. lebih

lanjut Widaningsih (2011:11)

mengemukakan “Evaluasi proses

pembelajaran dilakukan untuk mementukan

kualitas pembelajaran secara keseluruhan,

mencakup tahap perencanaan, proses

pelaksanaan, dan penilaian hasil

pembelajaran”. Dapat disimpulkan bahwa

rangkaian proses penilaian pembelajaran

terdapat pada perencanaan, pelaksanaan,

pengolahan penilaian. Maka suatu

keharusan bagi guru untuk mempersiapkan

penialain pembelajaran sejak penyusunan

perencanaan pembelajaran berupa instrumen

penilaian yang sesuai dengan prinsip dan

prosedur penialaian.

Berdasarkan hasil Uji Kompetensi

Awal (UKA) guru yang dilaksanakan secara

nasional pada tahun 2012 untuk hasil UKA

Page 73: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

66

guru SD memperoleh nilai rata-rata 36,86

dari skala nilai 100. Unifah Rosyidi selaku

Kepala Pusat Pengembangan Profesi

Pendidik Badan Pengembangan Sumber

Daya Pendidikan dan Kebudayaan dan

Penjaminan Mutu Pendidikan Kemendikbud

mengatakan bahwa “selama ini guru dibina

tanpa arah dan dasar. Akibatnya, pendidikan

dan pelatihan untuk guru yang dilakukan

oleh pemerintah menjadi kurang tepat

sasaran karena adanya ketidaksesuaian

dengan kondisi dan kebutuhan guru”

(Kompas, edisi 21 November 2012).

Selanjutnya Hadiyanti Tahun 2012 di SD

fullday school Al-Mutaqin kota Tasikmalaya

dalam penelitiannya mengemukakan “guru

di sekolah tersebut mengetahui dan

memahami langkah-langkah menyusun

instrumen penilaian. Namun dalam

pelaksanaannya sering mengabaikan tahap-

tahap penyusunan instrumen”. Berdasarkan

latar belakang tersebut, peneliti akan

menganalisis yang berkaitan dengan

kemampuan guru dalam menyusun

instrumen penilaian di kecamatan Cipedes

kota Tasikmalaya.

Rumusan masalah penelitian ini yaitu

“sejauhmanakah kompetensi guru sekolah

dasar dalam menyusun instrumen penilaian

pada mata pelajaran IPS?”. Lebih lanjut

rumusan masalah dapat diperinci sebagai

berikut :

1. Bagaimanakah pemahaman guru

terhadap instrumen penilaian?

2. Bagaimanakah kemampuan guru dalam

menyusun instrumen penilaian?

3. Bagaimanakah kesulitan guru dalam

menyusun instrumen penilaian?

Adapun tujuan penelitian yang akan dicapai

yaitu :

1. Untuk mengetahui pemahaman guru

terhadap instrumen penilaian.

2. Untuk mengetahui kemampuan guru

dalam menyusun instrumen penilaian.

3. Untuk mengetahui kesulitan guru dalam

menyusun instrumen penilaian.

Kompetensi guru merupakan

kemampuan-kemampuan yang wajib

dimiliki oleh seorang guru dalam

melaksanakan tugasnya. Slameto (2011)

mengemukakan bahwa kompetensi guru

memiliki tiga kriteria yaitu knowledge

criteria, performance criteria, dan product

criteria. Kemampuan guru tersebut terutama

berkaitan dengan pengetahuan dan

kemampuan, serta tugas yang dibebankan

kepada guru. Menurut Nitko (1996:18)

dalam buku Educational Assessment of

students menyatakan guru perlu untuk

membuat keputusan – keputusan tentang

siswanya setiap saat. Untuk itu seorang

guru profesional dituntut untuk memiliki

kemampuan dan keterampilan dalam

melaksanakan pembelajaran di kelas. Guru

yang berkompeten dalam menyusun

instrumen penilaian IPS SD yaitu memiliki

kemampuan intelektual meliputi penguasaan

konsep penilaian dan konsep IPS SD,

kemampuan menyusun dan

mengembangkan instrumen penilaian IPS

SD yang menghasilkan produk instrumen

penilaian IPS SD yang telah disusun oleh

guru.

Permendiknas Nomor 16 tahun 2007

tentang standar kualifikasi akademik dan

kompetensi guru, dijelaskan lebih spesifik

pada kompetensi pedagogik, yaitu

kompetensi menyelenggarakan penilaian

dan evaluasi proses dan hasil belajar.

Kompetensi tersebut meliputi pemahaman

prinsip penilaian, mampu menentukan

aspek-aspek penting untuk dinilai, mampu

menentukan prosedur penilaian, dan mampu

mengembangkan instrumen penilaian.

Pemahaman prinsip penilaian mutlak

dimiliki oleh guru profesional. Hal ini

sejalan dengan prinip penilaian dalam

Permendiknas nomor 66 tahun 2013 tentang

standar penilaian adalah sebagai berikut:

1. Objektif, berarti penilaian didasarkan

pada prosedur dan kriteria yang jelas,

tidak dipengaruhi subjektivitas penilai.

2. Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik

merupakan salah satu komponen yang tak

terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.

3. Ekonomis, berarti penilaian yang efisien

dan efektif dalam perencanaan,

pelaksanaan, dan pelaporannya.

4. Transparan, berarti prosedur penilaian,

kriteria penilaian, dan dasar pengambilan

keputusan dapat diakses oleh semua

pihak.

Page 74: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

67

5. Akuntabel, berarti penilaian dapat

dipertanggungjawabkan kepada pihak

internal sekolah maupun eksternal untuk

aspek teknik, prosedur, dan hasilnya.

6. Edukatif, berarti mendidik dan

memotivasi peserta didik dan guru.

Dengan memahami prinsip penilaian

guru memiliki pengetahuan dasar dalam

menentukan aspek-aspek yang akan dinilai,

dalam hal ini mata pelajaran IPS.

Kompetensi guru dalam menentukan aspek-

aspek penting untuk dinilai ini berkenaan

pula dengan kompetensi profesional guru

dalam menguasai konsep materi mata

pelajaran IPS, standar kompetensi IPS,

kompetensi dasar IPS, serta tujuan

pembelajaran IPS. Berkenaan dengan itu,

pembelajaran IPS adalah mata pelajaran

yang mengkaji seperangkat peristiwa, fakta,

konsep, generalisasi yang berkaitan dengan

isu sosial serta berfungsi untuk

mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap,

dan keterampilan siswa tentang masyarakat,

bangsa, dan Negara, (Depdiknas, 2003 : 9).

IPS di sekolah dasar merupakan

penyederhanaan dari beberapa konsep ilmu

sosial. Konsep-konsep ilmu sosial tersebut

meliputi sosiologi, antropologi, geografi,

sejarah, ekonomi, psikologi, dan politik

(Supardan, 2008 : 69 - 429).

Lebih spesifik, penyederhanaan ilmu

sosial yang terdapat di sekolah dasar yaitu

(a) sosiologi terdiri dari interaksi sosial,

kelompok sosial, gejala-gejala sosial,

organisasi sosial, struktur sosial, proses

sosial, perubahan sosial; (b) antropologi

terdiri dari perkembangan manusia,

perkembangan dan persebaran aneka ragam

kebudayaan manusia, perkembangan dan

persebaran aneka ragam bahasa; (c) geografi

terdiri dari lingkungan, tata ruang, tempat;

(d) sejarah terdiri dari sejarah keluarga,

sejarah sosial, sejarah ekonomi sejarah

kebudayaan; (e) ekonomi terdiri dari

skarsitas, produksi, konsumsi, pasar, uang,

bank, koperasi, kewirausahaan, perseroan

terbatas; (f) psikologi terdiri dari psikologi

kepribadian, psikologi perkembangan,

psikologi sosial; (g) politik terdiri dari teori

politik, lembaga politik, sejarah politik,

perwakilan politik, birokrasi politik, teori

kenegaraan, hubungan internasional.

Sapriya (2011:194-195) menyatakan

tujuan mata pelajaran IPS sebagai berikut:

1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan

dengan kehidupan masyarakat dan

lingkungannya.

2. Memiliki kemampuan dasar untuk

berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,

inkuiri, memecahkan masalah, dan

keterampilan dalam kehidupan sosial.

3. Memiliki komitmen dan kesadaran

terhadap nilai-nilai sosial dan

kemanusiaan.

4. Memiliki kemampuan berkomunikasi,

bekerjasama dan berkompetensi dalam

masyarakat yang majemuk, di tingkat

lokal, nasional, dan global.

IPS di SD tidak hanya mengenalkan

tentang pengetahuan sosial semata,

melainkan disertai dasar-dasar keterampilan

sosial. Kedua hal tersebut membentuk

kekuatan pribadi siswa yang berkompeten

dalam menghadapi kehidupan masyarakat

yang majemuk sedangkan fungsi mata

pelajaran IPS, menurut Jarolimek (1986: 9)

berpendapat bahwa: The major mission of social studies

education is to help children learn about the

social world in which they live and how it

got that way; to learn to cope with social

realities; and to develop the knowledge,

attitudes, and skills, needed to help shape

an enlightened humanity.

Artinya, bahwa misi utama pendidikan IPS

adalah untuk membantu siswa belajar

tentang masyarakat dunia di mana mereka

hidup dan memperoleh jalan, untuk belajar

menerima realitas sosial, dan untuk

mengembangkan pengetahuan, sikap dan

ketrampilan untuk membantu mengasah

pencerahan manusia.

Berdasarkan fungsi dan tujuan IPS

diatas, guru harus memiliki asumsi bahwa

siswa akan menghadapi tantangan

kehidupan masyarakat yang selalu

mengalami perubahan. Maka, IPS di SD

akan mengarah pada mempersiapkan siswa

sebagai warga negara yang memiliki

pengetahuan sosial yang dapat digunakan

Page 75: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

68

sebagai kemampuan mengatasi masalah dan

berpartisipasi dalam berbagai kegiatan

kemasyarakatan agar menjadi warga negara

yang baik.

Penilaian IPS SD bertumpu pada

aspek pengetahuan, aspek kemampuan

berpikir, aspek nilai dan sikap, serta aspek

tindakan. Keempat aspek tersebut

dijabarkan sebagai berikut :

a. Pengetahuan

Menurut Depdiknas (2003:9)

konseptual, pengetahuan mencakup fakta,

konsep, dan generalisasi. Secara umum

penilaian tentang pengetahuan IPS

hendaknya disajikan berupa peristiwa dan

hal-hal yang bersifat konkret. Ciri soal yang

menitik beratkan aspek pengetahuan

menggunakan kata tanya untuk

menyebutkan, mengidentifikasi,

menamakan, menyatakan, menentukan

lokasi, dan menceritakan suatu peristiwa.

b. Kemampuan berpikir

Dalam IPS SD, siswa harus memiliki

kemampuan berpikir kritis. Penilaian yang

menumbuhkan kemampuan berpikir kritis

siswa diharapkan memberi efek positif

terhadap kemampuan diri anak.

Implementasinya dalam penilaian IPS SD

berupa soal yang mendorong siswa untuk

berpikir kritis menggunakan pertanyaan

untuk merumuskan sebab akibat dan

pendapat.

c. Nilai dan sikap

Penilaian IPS yang memiliki unsur

nilai dan sikap menonjolkan keyakinan dan

prinsip yang telah tertanam dalam diri

siswa. Ciri soal yang mengandung unsur

nilai dan sikap menggunakan pertanyaan

untuk merumuskan pandangan.

d. Tindakan

Penilaian IPS yang memiliki aspek

tindakan meliputi kemampuan memecahkan

masalah dan kemampuan mengambil

keputusan. Kemampuan-kemampuan

tersebut merupakan tahap paling tinggi dari

akumulasi pengetahuan, kemampuan, nilai,

dan sikap dan tindakan. Oleh karena itu, ciri

soal yang memiliki aspek pemecahan

masalah dan pengambilan keputusan yaitu

soal yang merumuskan beberapa alternatif

jawaban dari permasalahan atau situasi yang

terdapat pada soal. Selain itu, soal yang

merumuskan pemilihan solusi adri beberapa

alternatif solusi yang terdapat pada soal.

BSNP telah mengeluarkan pedoman

penilaian yang dapat digunakan oleh

pendidik. Adapun prosedur yang dimaksud

meliputi penentuan tujuan penilaian,

penyusunan kisi-kisi, perumusan indikator

pencapaian, penyusunan instrumen, telaah

instrumen, pelaksanaan penilaian,

pengolahan dan penafsiran hasil penilaian,

serta pemanfaatan dan pelaporan hasil

penilaian. Untuk tercapainya perencanaan

penilaian yang baik, maka harus dilakukan

langkah-langkah seperti yang dijabarkan

oleh BNSP (2010:15) yaitu : (1) menentukan tujuan tes, (2)

menentukan kompetensi yang akan

diujikan, (3) menentukan materi yang

diujikan, (4) menetapkan penyebaran butir

soal berdasarkan kompetensi, materi, dan

bentuk penilaiannya (tes tertulis: bentuk

pilihan ganda, uraian; dan tes praktik), (5)

menyusun kisi-kisinya, (6) menulis butir

soal, (7) menelaah secara kualitatif, (8)

merakit soal menjadi perangkat tes, (9)

menyusun pedoman penskorannya

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode

deskriptif kualitatif untuk menggambarkan

sejauhmana pemahaman dan kemampuan

guru dalam menyusun instrumen penilaian

IPS SD. Penelitian ini dilakukan di wilayah

kecamatan Cipedes kota Tasikmalaya

dengan kriteria guru kelas tinggi, PNS, telah

lulus PPG, dan telah lulus sertifikasi.

Berdasarkan kriteria tersebut, didapat 5

(lima) orang guru SD yang sesuai.

Penelitian ini menggunakan teknik

pengumpulan data dengan analisis

dokumen, dan wawancara. Dokumen yang

dikumpulkan untuk mengetahui data rekam

jejak pelaksanaan penyususnan instrumen

penilaian IPS pada masa lalu. Adapun

dokumen yang dijadikan data penelitian

yaitu seperangkat instrumen penilaian

setelah pembelajaran dan Ujian Tengah

Semester (UTS). Wawancara dilakukan

untuk mengetahui lebih mendalam tentang

pemahamandan hambatan guru dalam

menyususn instrumen penilaian. Maka,

dalam penelitian ini dilakukan wawancara

secara bebas terpimpin.

Page 76: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

69

Agar dokumentasi dan hasil wawancara

dapat dianalisis, maka perlu adanya

instrumen penelitian. Dalam penelitian ini,

instrumen penelitian disusun berdasarkan

Permendiknas nomor 16 tahun 2007 tentang

standar kualifikasi akademik dan

kompetensi guru, Permendiknas nomor 20

tahun 2007 tentang standar penilaian, BNSP

tentang pedoman penilaian, dan konsep

dasar IPS di SD. Pengembangan instrumen

penelitian ini menggambarkan kompetensi

guru tentang penyusunan instrumen

penilaian. Kompetensi tersebut yaitu sub

kompetensi pedagogik yang mencakup

penyelenggaraan penilaian dan evaluasi dan

hasil belajar, dan sub kompetensi

profesional yang mencakup penguasaan

konsep materi dan pola pikir keilmuan yang

mendukung mata pelajaran IPS.

Adapun kriteria penilaian instrumen

penelitian ini menggunakan skala Likert.

Menurut Sugiyono (2012:134) “Skala Likert

digunakan untuk mengukur sikap, pendapat,

dan persepsi seseorang atau sekelompok

orang tentang fenomena”. Kemudian

Sugiono (2012:135) menyatakan “Jawaban

tiap item instrumen yang menggunakan

skala Likert mempunyai gradasi dari sangat

positif sampai sangat negatif”. Maka,

peneliti menentukan lima kategori penilaian

tiap indikator, yaitu : sangat baik (SB) untuk

keterangan item indikator yang terpenuhi

total, baik (B) untuk keterangan item

indikator yang sebagian besar terpenuhi,

cukup (C) untuk keterangan antara terpenuhi

dan tidak terpenuhi yang seimbang terhadap

item indikator, kurang (K) untuk keterangan

item indikator yang sebagian kecil

terpenuhi, dan sangat kurang (SK) untuk

keterangan item indikator yang tidak

terpenuhi total atau bukan merupakan hasil

subjek penelitian sendiri.

Dalam menganilisis data, peneliti

mengacu kepada tiga alur proses analisis

data menurut Miles and Huberman (2007:

16) “Kami anggap bahwa analisis terdiri

dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara

bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian

data, penarikan kesimpulan/verifikasi”.

Tahapan-tahapan tersebut meliputi

penelaahan data secara seksama, yaitu data

harus benar-benar hasil karya subjek

penelitian. Dengan kata lain bukan hasil

karya orang lain yang digunakan oleh subjek

penelitian. Data yang bukan hasil karya

subjek penelitian tidak dapat digunakan

untuk menganalisis kompetensi subjek

penelitian dalam menyusun istrumen

penilaian. Setelah data benar-benar sesuai

dengan kriteria tersebut, dilanjutkan dengan

diklasifikasikan berdasarkan rumusan

masalah. Kemudian penemuan-penemuan

yang diperoleh dicantumkan dalam

instrumen penelitian. Setelah penelaahan,

data ditriangulasikan berdasarkan tujuan

penelitian dan dibandingkan dengan kajian

teori dan penelitian lain yang telah disajikan

pada bab sebelumnya. Langkah terahir,

peneliti menarik kesimpulan berdasarkan

analisis data yang telah dilakukan.

HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil wawancara, hanya

satu dari lima subjek penelitian yang

memiliki pemahaman yang cukup tentang

penyusunan instrumen penilaian IPS di SD.

Kemudian, tiga dari lima subjek penelitian

memiliki pemahaman yang baik tentang

penyusunan instrumen penilaian IPS di SD.

Sedangkan satu dari lima subjek penelitian

memiliki pemahaman yang sangat baik

tentang penyusunan instrumen penilaian IPS

di SD. Secara umum, pemahaman guru

tentang penyusunan instrumen penilaian di

kecamatan Cipedes kota Tasikmalaya

memperoleh kriteria baik.

Dari hasil analisis dokumentasi

menunjukkan bahwa satu dari lima subjek

penelitian memiliki kemampuan dalam

menyusun instrumen penilaian IPS SD

dengan kriteria cukup. Empat dari lima

subjek penelitian memiliki kemampuan

dalam menyusun instrumen penilaian IPS

SD dengan kriteria baik.

Kesuliatan guru yang terungkap pada

penelitian ini diantaranya seluruh subjek

penelitian tidak melakukan analisis butir

soal. Hal ini dikarenakan memerlukan waktu

yang cukup panjang. Guru hanya

mendokumentasikan soal-soal kedalam bank

soal yang dispesifikasikan sesuai dengan

materi ajar.

Page 77: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

70

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis mengenai

kompetensi guru kelas dalam menyusun

instrumen penilaian mata pelajaran IPS

sekolah dasar di kecamatan Cipedes kota

Tasikmalaya, maka dapat disimpulkan

berdasarkan rumusan masalah yaitu

mengenai pemahaman, kemampuan, dan

kesulitan guru dalam menyusun instrumen

penilaian IPS di SD.

Pada segi pemahaman penyusunan

instrumen penilaian IPS SD di kecamatan

Cipedes kota Tasikmalaya memiliki

kecenderungan berkompeten baik. Pada

segi kemampuan menyusun instrumen

penilaian IPS SD di kecamatan Cipedes kota

Tasikmalaya memiliki kecenderungan

berkompeten baik. Kesulitan guru dalam

menyusun instrumen penilaian bertumpu

pada guru tidak melakukan analisis butir

soal. Hal ini dikarenakan memerlukan waktu

yang cukup panjang. Guru hanya

mendokumentasikan soal-soal kedalam bank

soal yang dispesifikasikan sesuai dengan

materi ajar.

DAFTAR RUJUKAN

BSNP. (2010). Panduan Penulisan Butir

Soal. [Online]. Tersedia :

http://smp3bonang.files.wordpress.com/

2010/08/panduan-penulisan-butir-

soal.pdf (3 Desember 2016)

Depdiknas. (2003). Kurikulum 2004

Pedoman Penilaian Kelas. Jakarta:

Departemen Pendidikan Nasional.

Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan. CV. Timur Putra

Mandiri.

Departemen Pendidikan Nasional. (2006).

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

untuk SD/MI. [document].

Departemen Pendidikan Nasional. (2007).

Lampiran Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun

2007 tentang Standar Penilaian

Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.

Hadiyanti, H. (2012). Studi Deskriptif

Pelaksanaan Evaluasi Pembelajaran

IPA Siswa Sekolah Dasar Al-Muttaqin

Fullday School Kota Tasikmalaya.

Skripsi Sarjana Pendidikan Guru

Sekolah Dasar UPI; Tidak Diterbitkan.

Jarolimek, J. 1993. Social Studies in

Elementary Education. New York :

Macmillan Publishing.

Kunandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta :

PT. Raja Grafindo Persada

Miles, B. Matthew dan Huberman, A. M.

(2007). Analisis Data Kualitatif. Jakarta

: UI-Press.

Nitko, Anthony J. (1996). Educational

Assessment of Students. Second Edition.

New Jersey : Englewood Cliffs.

Peraturan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan Nomor 66 Tahun 2013.

Standar Penilaian Pendidikan.

[Online]. Tersedia :

http://ahmadsudrajat.files.wordpress.co

m/2013/06/04-a-salinan-permendikbud-

no-66-th-2013-ttg-standar-

penilaian.pdf(1 November 2016)

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Nomor 16 Tahun 2007. Standar

Kualifikasi Akademik dan Kompetensi

Guru.http://jahidinjayawinata61.wordpr

ess.com/standar-kompetensi-guru-

standar-kompetensi-kepala-sekolah-

standar-kompetensi-pengawas-

permendiknas-no-12-13-16-20/ (1

Desember 2016)

Sapriya, (2011). Konsep dan Pembelajaran

Pendidikan IPS. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Slameto, (2011). Pengembangan

Kompetensi Pedagogik dan Profesional

Guru.

Jurnal.http://cerpenik.blogspot.com/201

1/11/pengembangan-kompetensi-

pedagogik-dan.html (19 Oktober 2012)

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian

Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,

Kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Supardan, D. (2008). Pengantar Ilmu Sosial.

Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Widaningsih, Dedeh. (2011). Perencanaan

Pembelajaran. Tasikmalaya, Rizqi

Press.

Page 78: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

71

PENERAPAN MODEL KOOPERATIF LEARNING DENGAN TIPE TALKING

STICK PADA PENGJARAN IPS UNTUK MENINGKATKAN PROSES DAN

MENDAPATKAN HASIL BELAJAR SISWA

Rana Gustian Nugraha1, Dissa Revitasari

2

Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan Sebelas April Sumedang

[email protected]

ABSTRAK Penelitian ini dilatar belakangi oleh rendahnya hasil belajar siswa pada pembelajaran IPS

materi Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Penjajah di kelas VB SDN Karapyak 1. Alternatif

cara untuk meningkatkan proses dan hasil belajar, guru harus menggunakan penerapan model

pembelajaran. Model yang efektif yaitu dengan penerapan model pembelajaran kooperatif talking

stick. Untuk meningkatkan proses dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS maka dilakukan

penelitian tindakan kelas yang terdiri dari dua siklus. Setiap siklus terdiri dari tahap perencanaan,

pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VB SDN Karapyak

1 tahun pelajaran 2015/2016 yang terdiri dari 38 siswa. Hasil penelitian yang diperoleh persentase

hasil belajar siswa pretest dengan persentase 0% meningkatkan pada siklus I dengan presentase

68%, dan meningkat pada siklus II dengna presentase 92%. Sedangkan untuk hasil proses belajar

siswa diperoleh presentase 29% untuk kategori baik, 63% untuk kategori cukup, dan 8% untuk

kategori kurang pada siklus I dan meningkat pada siklus II dengan presentase kategori baik 66%,

kategori cukup 34% dan 0% untuk kategori kurang. Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan bahwa, penerapan model kooperatif tipe talking stick pada mata pelajaran IPS materi

Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Penjajah mulai dari perencanaan yang tepat, pelaksanaan

yang sesuai dengan prosedur penelitian, pengamatan, dan refleksi maka dihasilkan proses dan hasil

belajar siswa meningkat dengan baik.

Kata kunci: Model Pembelajaran Kooperatif, Talking Stick

THE IMPLEMENTATION OF MODEL COOPERATIVE LEARNING

TYPE TALKING STICK IN SOCIAL SCIENCE THIS MATERIAL IS NEEDED

TO IMPROVE THE PROCESS AND OBTAIN THE RESULT

OF LEARNING STUDENTS

ABSTRACT

Based on this research by low the resultsin social science subject on Indonesian Resistance

Against The Colonialist material to increase the process and the result of learning students at VB

class SDN Karapyak 1. The Alternative ways to improve process and obtain the result of learning

students then the teacher will decide a learning model. Models are effective by applying model

learning is cooperative model type talking stick. To improve the process and the result of learning

students in the social science subject is classroom action research which consists of two cycle.

Every cycle consist of planning, acting, observing, and reflecing. The subject of this research are

students of VB class SDN Karapyak 1 year of lesson 2015/2016 consist of 38 students. As a result

of this research established the result percentage of learning students pre-cycle percentage 0%

increase at first cycle percentage 68%, and increase at second cycle is 92%. Meanwhile, as for the

result of the learning process students established percentage : 29% for high category, 63% for

middle category, and 8% for low category on first cycle and increase on second cycle percentage :

66% for high category, 34% for middle category, and 0% for low category. According on the

research results can be concluded that the implementation of model cooperative learning type

talking stick in social science subject social on Indonesian Resistance Against The Colonialist

material begin from right planning, acting with right procedure, observing, and finally reflecting of

the process and the results of learning students increased.

Key Words : Cooperative Learning, Talking Stick

Page 79: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

72

PENDAHULUAN

Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial

disusun secara sistematis, komprehensif, dan

terpadu dalam proses pembelajaran untuk

menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam

kehidupan di masyarakat. Tujuan dari Mata

Pelajaran IPS, yakni mengembangkan

potensi peserta didik agar peka terhadap

masalah sosial yang terjadi di masyarakat,

memiliki sikap mental positif, dan terampil

mengatasi masalah setiap masalah baik yang

menimpa dirinya sendiri maupun yang

menimpa masyarakat. Perkembangan

IPTEK saat ini semakin bertambah maju dan

modern. Sebagai seorang guru, kita dapat

memanfaatkan perkembangan tersebut

dalam pembelajaran. Namun, tidak semua

guru memanfaatkan itu, karena ada guru

yang masih menggunakan strategi dan

metode pembelajaran tradisional.

Akibatnya, guru menjadi malas untuk

melakukan inovasi. “Dalam pembelajaran,

inovasi sangat diperlukan” (Shoimin, 2013 :

19). “Di dunia Internasional, mutu

pendidikan Indonesia berada di peringkat

ke-69 dari 127 negara berdasarkan laporan

UNESCO EFA Global Monitoring Report

2011.Ditingkat Asia, saat ini Indonesia

masih tertinggal dari Brunei Darussalam dan

Jepang”(disdikpora.palangkaraya.go.id).

Dalam proses pembelajaran seorang

guru harus memperhatikan komponen-

komponen pembelajaran. Komponen

pembelajaran itu terdiri dari tujuan

pembelajaran, guru, siswa, model, materi,

media, sumber belajar dan evaluasi.

Pendidikan di Indonesia masih tergolong

rendah salah satu faktor pemicunya, yaitu

pembelajaran kurang dikemas sebaik dan

semenarik mungkin oleh guru sehingga belajar terkesan membosankan dan anak-

anak ingin segera kembali ke rumahnya

masing-masing atau siswa yang tidak mau

mencoba ikut serta atau terlibat ketika

proses pembelajaran sedang berlangsung di

kelas. Akhirnya, tujuan pembelajaran tidak

tercapai ketika proses dan evaluasi. Siswa

tidak merasakan proses belajar yang baik

dan tidak membuat siswa untuk berfikir

kritis serta holistik dalam memecahkan

masalah. Indonesia masih mempunyai

kekurangan terutama dalam bidang

pendidikan baik dari penyusunan RPP

(Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang

disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi

siswa, kualitas guru, sistem, sarana, dan

prasarana yang menunjang pembelajaran,

dan lain-lain.

Kegiatan belajar mengajar di kelas erat

korelasinya dengan proses atau aktivitas

siswa yang akan berdampak pada hasil

belajar siswa. Keaktifan siswa di kelas

tergantung pada penyajian guru dalam

menstimulasi anak ketika belajar. Hasil

belajar siswa adalah hasil yang dicapai

seorang siswa setelah mengalami proses

belajar dan melewati tahap evaluasi diakhir

proses pembelajaran. Biasanya hasil belajar

siswa berbentuk laporan hasil belajar

(raport). Tolok ukur keberhasilan siswa

adalah guru. Maka dari itu, guru harus

membuat RPP sebaik mungkin agar tujuan

pembelajaran tercapai.

Berdasarkan pengalaman nyata dan

hasil refleksi dari penulis, ada satu kendala

yang penulis temukan dari guru, yaitu

kurang memperhatikan RPP (Rencana

Pelaksanaan Pembelajaran). “Kualitas

pembelajaran seorang guru diawali dengan

pembuatan RPP” (Chatib, 2009 : 150).

Seharusnya model pembelajaran harus

selalu diperbaharui dan sering dimodifikasi

agar lebih bervariasi yang tak terlepas dari

kebutuhan siswa dalam proses belajar

mengajar di kelas. Dalam pembelajaran IPS

di Sekolah Dasar, penyajian model

pembelajaran seorang guru dituntut agar

bervariatif dan inovatif guna merangsang

motivasi siswa untuk belajar dan mencegah

siswa dari kejenuhan proses belajar, sehingga memberi kesegaran agar proses

belajar menjadi suatu proses yang

menyenangkan bagi siswa, dengan demikian

tujuan dari pembelajaran dapat dicapai

sesuai dengan yang diharapkan.

Berdasarkan data awal yang penulis

peroleh, bahwa belum ada siswa yang

memenuhi KKM untuk sub materi

“Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan

Page 80: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

73

Penjajah”. Nilai KKM IPS kelas V di SDN

Karapyak 1 adalah 72.

Model pembelajaran kooperatif ada

berbagai tipe diantaranya, yaitu Jigsaw,

Think Pair Share, Numbered Heads

Together, Group Investigation, Make a

match, Talking Stick, dan lain-lain. Dalam

penelitian ini, peneliti menggunakan Model

pembelajaran kooperatif tipe Talking Stick.

Menurut Shoimin (2014 : 192) “talking

stick (tongkat berbicara) adalah metode

yang digunakan penduduk Amerika untuk

mengajak semua orang berbicara atau

menyampaikan pendapat dalam suatu

forum. Model ini merupakan model

pembelajaran kelompok dengan bantuan

tongkat”.

Kelompok yang memegang tongkat

terlebih dahulu wajib menjawab pertanyaan

dari guru. Kegiatan ini diulang terus

menerus sampai semua kelompok

mendapatkan giliran untuk menjawab

pertanyaan dari guru. Langkah-langkah

talking stick (Shoimin, 2014 : 193-194) :

1) Guru menyiapkan tongkat;

2) Menyiapkan materi;

3) Siswa membaca materi pada wacana;

4) Guru meminta kepada peserta didik

untuk menutup bukunya;

5) Guru mengambil tongkat yang telah

dipersiapkan sebelumnya;

6) Guru memberikan kepada salah satu

peserta didik dan peserta didik yang

mendapat tongkat diwajibkan menjawab

pertanyaan dari guru demikian

seterusnya;

7) Guru memberikan kesimpulan;

8) Guru melakukan evaluasi;

9) Guru menutup pelajaran.

Ada beberapa kelebihan dan kelemahan

talking stick (Shoimin, 2014 : 199) : No Kelebihan Kelemahan 1 Menguji kesiapan

peserta didik dalam pembelajaran

Siswa cenderung

individu

2 Melatih peserta didik

memahami materi

dengan cepat

Materi yang diserap

kurang

3 Memacu agar peserta

didik lebih giat belajar

Guru kesulitan

melakukan pengawasan

4 Peserta didik berani

mengemukakan

pendapat

Ketenangan kelas

kurang terjaga

Tabel 1. Kelebihan dan Kelemahan Talking Stick

Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah

dikemukakan oleh peneliti, maka fokus

penelitian tersebut adalah :

1) Untuk mengetahui bagaimana proses

belajar siswa dengan menggunakan

model pembelajaran kooperatif tipe

talking stick?

2) Untuk mengetahui bagaimana hasil

belajar siswa dengan menggunakan

model pembelajaran tipe kooperatif

talking stick?

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam

penelitian ini adalah Penelitian Tindakan

Kelas (PTK), dalam bahasa Inggris PTK

disebut Classroom Action Research (CAR).

Penelitian Tindakan Kelas adalah

bagaimana sekelompok guru dapat

mengorganisasikan kondisi praktik

pembelajaran mereka, dan belajar dari

pengalaman mereka sendiri. Pada intinya,

PTK dilaksanakan untuk meningkatkan

kualitas pembelajaran. “Mereka dapat

mencobakan suatu gagasan perbaikan dalam

praktik pembelajaran mereka, dan melihat

pengaruh nyata dari upaya itu”

(Wiriaatmadja, 2005 : 13).

“Penelitian adalah suatu proses atau

suatu rangkaian langkah-langkah yang

dilakukan secara terencana dan sistematis

guna mendapatkan pemecahan

masalah/mendapatkan jawaban terhadap

pertanyaan-pertanyaan tertentu”

(Suryabrata, 1983 : 11).

Dalam KBBI tindakan adalah sesuatu

yang dilakukan; perbuatan sedangkan kelas

adalah tingkat; ruang tempat belajar. Ciri

Khas PTK adalah adanya tindakan

kolaboratif partisipan. Jadi, dapat

disimpulkan bahwa PTK merupakan suatu

bentuk penelitian yang bersifat reflektif

dengan melakukan tindakan tertentu yang

dapat memperbaiki proses pembelajaran di

kelas.

Terkait dengan PTK, peneliti

menggunakan desain Kemmis dan

Mc.Taggart yang dianggap sederhana dan

mudah dipahami. Penelitian Tindakan Kelas

termasuk dalam penelitian kualitatif.

Creswell (1998) menjabarkan bahwa

Page 81: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

74

“penelitian kualitatif adalah sebuah proses

inkuiri yang menyelidiki masalah-masalah

sosial dan kemanusiaan dengan tradisi

metodologi yang berbeda”. Menurut

Wiriaatmadja (2005) “PTK partisipan ialah

suatu penelitian tindakan kelas di mana

orang akan melaksanakan penelitian sejak

awal sampai dengan membuat hasil

penelitian yang berupa laporan”. Dalam

penelitian ini, peneliti menggunakan PTK

Partisipan artinya peneliti terlibat langsung

di dalam proses penelitian sejak awal

sampai dengan hasil penelitian berupa

laporan. Wiriaatmadja (2005) Penelitian

Tindakan Kelas mempunyai beberapa

karakteristik diantaranya:

1) Didasarkan pada masalah yang dihadapi

oleh guru dalam instruksional;

2) Adanya kolaborasi dalam

pelaksanaannya;

3) Peneliti sekaligus sebagai praktisi yang

melakukan refleksi;

4) Bertujuan untuk memperbaiki dan

meningkatkan kualitas praktik

instruksional;

5) Dilaksanakan dalam rangkaian langkah

dengan beberapa siklus;

6) Pihak yang melakukan tindakan adalah

guru sendiri.

“Berdasarkan jenis penelitian

sebagaimana dipaparkan sebelumnya,

rancangan atau desain PTK yang digunakan

adalah menggunakan desain PTK kemmis

dan Mc.Taggart yang dalam alur

penelitiannya meliputi beberapa langkah”

(Wiriaatmadja, 2005 : 66).

Langkah-langkah desain PTK kemmis

dan Mc.Taggart adalah sebagai berikut :

1. Perencanaan (plan); rencana tindakan ini

mencakup semua langkah tindakan

secara rinci. Segala keperluan PTK,

mulai dari materi atau bahan ajar,

rencana pengajaran yang mencakup

metode, teknik mengajar, instrumen,

observasi, dan evaluasi, dipersiapkan

dengan matang pada tahap perencanaan

ini.

2. Melaksanakan tindakan (act);

pelaksanaan tindakan menyangkut apa

yang dilakukan peneliti sebagai upaya

perbaikan, peningkatan atau perubahan

yang dilaksanakan berpedoman pada

rencana tindakan. Jenis yang dilakukan

pada PTK hendaknya selalu didasarkan

pada pertimbangan teoritik dan empirik.

3. Melaksanakan pengamatan (observe);

peneliti mengamati hasil atau dampak

dari tindakan yang dilakukan siswa;

kegiatan analisis, sintesis, interpretasi

terhadap semua informasi yang

diperoleh saat kegiatan tindakan (act).

4. Refleksi (reflection); Dalam kegiatan ini

peneliti mengkaji, melihat, dan

mempertimbangkan hasil-hasil atau

dampak dari tindakan.

Gambar 1

Desain Spiral Kemmis dan Mc Taggart

(Wiriaatmadja, 2005 : 66)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Upaya perbaikan pembelajaran yang

menyangkut aktivitas guru maupun siswa

dengan pembelajaran yang dilakukan

dengan memodifikasi model pembelajaran

dan memadukannya dengan media

pembelajaran audio-visual yang

menayangkan film dokumenter berdurasi

singkat terbukti sangat membantu

pencapaian tujuan pembelajaran, terbukti

data empiris dilapangan, hasil belajar siswa

dalam pelajaran IPS pada materi

“Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan

Penjajah” yang dilakukan pembelajaran

sampai pada siklus II persentase hasil

belajar meningkat 24% yang semula pada

siklus I 68% menjadi 92% pada siklus ke II

dan untuk proses belajar siswa selama

proses pembelajaran pada siklus I, yakni

29% menjadi 66% pada siklus II yang

Page 82: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

75

termasuk kategori baik. Terjadi peningkatan

37% untuk proses belajar siswa, persentase

kinerja guru juga meningkat dari persentase

81% pada siklus I menjadi 96% pada siklus

II. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

tabel berikut ini :

No.

Nama

Siswa

Nilai Keterangan

Pra

Siklus

Siklus

I

Siklus

II Naik Turun Tetap

1 S1 35 45 90 √

2 S2 35 75 90 √

3 S3 30 80 100 √

4 S4 30 85 95 √

5 S5 40 90 100 √

6 S6 50 90 85 √

7 S7 40 80 100 √

8 S8 40 85 85 √

9 S9 40 75 100 √

10 S10 45 40 65 √

11 S11 55 70 100 √

12 S12 35 70 100 √

13 S13 35 80 87,5 √

14 S14 40 80 100 √

15 S15 35 25 95 √

16 S16 55 80 95 √

17 S17 45 75 100 √

18 S18 40 80 100 √

19 S19 40 90 100 √

20 S20 30 80 95 √

21 S21 50 75 95 √

22 S22 25 50 100 √

23 S23 25 90 95 √

24 S24 40 70 60 √

25 S25 50 80 95 √

26 S26 35 85 100 √

27 S27 35 80 100 √

28 S28 45 90 100 √

29 S29 20 20 95 √

30 S30 35 80 50 √

31 S31 55 90 100 √

32 S32 45 70 80 √

33 S33. 50 80 100 √

34 S34 55 95 100 √

35 S35 Izin 45 80 √

36 S36 55 70 95 √

37 S37 30 55 95 √

38 S38 65 90 100 √

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Belajar Siswa Kelas

VB SDN Karapyak I Pra Siklus, Siklus I, dan

Siklus II

Pengolahan dan Analisis Data

Berikut ini data perkembangan

kemajuan proses dan hasil belajar siswa

melalui pengamatan langsung ke lapangan

mengenai materi “Perjuangan Bangsa

Indonesia Melawan Penjajah” di kelas VB

SDN Karapyak I Kel. Situ Kec. Sumedang

Utara Kabupaten Sumedang pada setiap

siklusnya.

T= Tuntas

BT= Belum Tuntas

B= Baik

C= Cukup

K= Kurang

Tabel 3. Perkembangan Kemajuan Hasil Belajar,

Proses Belajar, dan Kinerja Guru

MenggunakanModel Pembelajaran Kooperatif

Tipe Talking Stick

Dari tabel di atas diketahui terjadi

perubahan pencapaian target pada setiap

siklusnya, hal ini membuktikan

pembelajaran IPS menggunakan model

pembelajaran kooperatif tipe talking stick

pada kelas VB SDN Karapyak 1 Kel. Situ

Kec. Sumedang Utara Kabupaten Sumedang

berhasil dilakukan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pemaparan data dan

pembahasan mengenai Penerapan Model

Pembelajaran Kooperatif Tipe Talking Stick

Pada Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan

Sosial Pada Materi Perjuangan Bangsa

Indonesia Melawan Penjajah Untuk

Meningkatkan Proses Dan Hasil Siswa Di

Kelas VB SDN Karapyak I Kel Situ Kec.

Sumedang Utara Kab Sumedang. maka

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

Hasil proses belajar siswa siswa pada

siklus I bahwa siswa yang termasuk dalam

kategori baik (B) ada 11 orang, siswa yang

termasuk kategori cukup (C) ada 24 orang,

dan siswa yang termasuk kategori kurang

(K) ada 3 orang. Maka, persentase proses

Page 83: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan

Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017

76

belajar siswa pada siklus I yang termasuk

dalam kategori baik (B) ada 11 siswa =

29%, kategori cukup (C) ada 24 siswa =

63%, kategori kurang (K) ada 3 siswa = 8%.

Sedangkan pada siklus II bahwa siswa yang

termasuk dalam kategori baik (B) ada 25

orang, siswa yang termasuk kategori cukup

(C) ada 13 orang, dan tidak ada siswa yang

termasuk kategori kurang (K). Proses belajar

siswa terjadi peningkatan pada siklus II.

Maka, persentase proses belajar siswa pada

siklus I yang termasuk dalam kategori baik

(B) ada 25 siswa = 66%, kategori cukup (C)

ada 13 siswa = 34%, dan tidak ada siswa

yang masuk pada kategori kurang = 0%.

Nilai hasil belajar pra siklus adalah 0%

untuk siswa yang tuntas dan 100% untuk

siswa yang belum tuntas. Persentase nilai

hasil belajar siswa pada siklus I, yakni 68%

untuk siswa yang tuntas dan 32% untuk

siswa yang belum tuntas. Nilai hasil belajar

yang tertinggi pada siklus I adalah 95.

Persentase ketuntasan belajar siswa

mengalami peningkatan dari penilaian hasil

pra siklus. Sedangkan pada siklus II

persentase nilai hasil belajar siswa yang

tuntas, yakni 92% dan 8% siswa yang belum

tuntas. Nilai hasil belajar yang tertinggi

pada siklus II adalah 100. Ada 18 siswa

yang mendapatkan nilai 100 pada saat

evaluasi.

DAFTAR PUSTAKA

Chatib, M. 2011. Sekolah Manusia.

Bandung : Kaifa.

http:://disdikpora.palangkaraya.go.id/berita-

160-kualitas-pendidikan-indonesia-

ranking-69-tingkat-dunia.html (diakses

pada 22 Maret 2016)

Shoimin, A. 2014. 68 Model

Pembelajaran Inovatif Dalam

Kurikulum 2013. Yogyakarta: Ar-Ruzz

Media

Suryabrata, S. 1983. Metodologi Penelitian.

Yogyakarta : Raja Grafindo Persada.

Wiriaatmadja, R. 2005. Metode

Penelitian Tindakan Kelas. Bandung :

Rosda.

Page 84: Dewan Redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/Jurnal Forum Didaktik.pdf · Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi ... Daftar rujukan