dewan redaksi - journal.unper.ac.idjournal.unper.ac.id/uploads/jurnal forum didaktik.pdf ·...
TRANSCRIPT
i
Dewan Redaksi
“Forum Didaktik”
Penanggung Jawab
Prof. Dr. H. Cece Rakhmat, M. Pd.
Redaktur
Ade Maftuh, M. Pd.
Penyunting
Dina Ferisa, M. Pd.
Tri Agustini Solihati, M. Pd.
Asep Rizki Mukti, M. Pd.
Rudi Permadi, M. Pd.
Mitra Bestari
Prof. Dr. H. Dedi Heriadi, M. Pd.
(Universitas Siliwangi)
Dr. Dian Indihadi, M. Pd.
(Universitas Pendidikan Indonesia)
Desain Grafis
Geri Syahril Sidik, M. Pd.
Sekretariat
Fajar Nugraha, M. Pd.
ii
PANDUAN PENULISAN ARTIKEL BAGI CALON PENULIS
PADA JURNAL FORUM DIDAKTIK (JFD)
Jurnal Forum Didaktik adalah jurnal ilmiah yang difungsikan untuk menyebarluaskan
hasil penelitian dan pemikiran ilmiah tentang inovasi pendidikan. Jurnal terbit dua kali dalam
setahun yaitu bulan Januari dan bulan Juli. Jurnal diperuntukan bagi para pendidik, pemerhati,
dan praktisi pendidikan yang berkonstribusi positif dalam rangka peningkatan kualitas
pendidikan di Indonesia.
Pengelola jurnal didaktik menunggu kiriman artikel untuk di-desiminasi-kan sebagai
rujukan dan pelengkap dalam merealisasikan tugas mendidik di lembaga-lembaga pendidikan
yang ada. Agar tulisan yang dimuat dalam jurnal forum didaktik memiliki keseragaman,
disajikan petunjuk bagi para calon penulis Jurnal Forum Didaktik sebagai berikut:
1. Artikel yang dikirim belum diterbitkan pada jurnal ilmiah lain.
2. Artikel yang ditulis untuk JFD meliputi hasil telaah (hanya atas undangan) dan hasil
penelitian di bidang kependidikan. Naskah diketik dengan program Microsoft Word,
huruf Times New Roman, ukuran 12 pts, dengan spasi 1,5 panjang maksimum 30
halaman. Pengiriman naskah melalui email : [email protected]
3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Sistematika artikel hasil
penelitian adalah judul; nama penulis, abstrak disertai kata kunci; pendahuluan, metode,
hasil dan pembahasan, simpulan, serta daftar rujukan.
4. Judul artikel dalam bahasa Indonesia sebaiknya tidak lebih dari 15 kata, dan judul artikel
dalam bahasa Inggris tidak lebih dari 12 kata. Judul dicetak dengan huruf kapital di
tengah-tengah, dengan ukuran 14 poin. Judul tidak mengandung lokasi penelitian.
5. Nama penulis dicantumkan tanpa gelar akademik, alamat instansi, disertai akun email
dan ditempatkan di bawah judul artikel. Berjarak 2 spasi dari judul, ukuran huruf 12.
6. Abstrak dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa (Indonesia dan Inggris). Abstrak berisi
tujuan penelitian, pendekatan atau desain penelitian, hasil penelitian, dan implikasi
penelitian. Panjang masing-masing abstrak maksimum 150 kata. Berjarak 2 spasi dari
nama penulis. Ukuran huruf 10 poin, menggunakan rata kiri-dan kanan. Kata kunci terdiri
atas 3-5 kata atau gabungan kata dan merujuk pada konsep penting penelitian.
7. Bagian pendahuluan berisi latar belakang, konteks penelitian, hasil kajian pustaka, dan
tujuan penelitian. Latar belakang memuat 2-3 alasan penting, berisi teori yang digunakan
sebagai dasar menjawab rumusan masalah, dan mencantumkan 2-3 penelitian terdahulu
yang mirip. Seluruh bagian pendahuluan dipaparkan secara terintegrasi dalam bentuk
paragraf. Panjang pendahuluan 10-15% dari keseluruhan jumlah halaman artikel.
8. Bagian metode berisi paparan dalam bentuk paragraf tentang rancangan penelitian
(pendekatan dan desain penelitian). Memuat sumber data/subjek
penelitian/populasi/sampel. Mencantumkan instrumen penelitian, teknik pengumpulan
data, dan analisis data secara nyata dilakukan oleh peneliti. Panjang halaman 10-15% dari
keseluruhan jumlah halaman artikel.
9. Bagian hasil penelitian berisi paparan hasil analisis yang berkaitan dengan pertanyaan
penelitian. Setiap hasil penelitian berisi deskripsi hasil penelitian dan sesuai dengan
tujuan penelitian. Pembahasan berisi jawaban atas masalah penelitian/bagaimana tujuan
penelitian itu dicapai. Selain itu dalam pembahasan menafsirkan temuan-temuan,
mengintegrasikan temuan penelitian ke dalam kumpulan pengetahuan, dan menyusun
iii
teori baru/menolak ataupun memodifikasi teori yang sudah ada. Panjang hasil dan
pembahasan penelitian 60% dari keseluruhan jumlah artikel.
10. Bagian simpulan berisi temuan penelitian berupa jawaban atas pertanyaan penelitian yang
diajukan atau berupa intisari hasil pembahasan. Simpulan disajikan dalam bentuk esai
yang komunikastif dengan kalimat variatif.
11. Daftar rujukan memuat sumber yang dirujuk dan semua sumber yang dirujuk harus
tercantum dalam daftar rujukan. Daftar rujukan berisi sumber relevan, mutahkir (10 tahun
terakhir), dan sumber primer 80%. Sumber rujukan primer yang digunakan berupa artikel
penelitian dalam jurnal atau laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi).
12. Pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama akhir, tahun). Pencantuman
sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai keterangan tentang nomor halaman
tempat asal kutipan. Contoh: (Syahril, 2017:47).
13. Daftar rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini dan diurutkan secara
alfabetis dan kronologis.
Buku:
Akbar, Sa’dun. 2013. Intrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: Rosdakarya.
Jalongo, M.R. 2007. Early Childhood Language Arts Fourth Edition. Boston: Pearson
Education.
Artikel dalam Jurnal atau Majalah:
Nurjamin, A. 2011. Tipe Isi dan Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Buku Ajar SD.
Jurnal Ilmu Pendidikan, 20 (1):48-54.
Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian:
Syahril, G S. 2014. Analisis Proses Berpikir dalam Pemahaman Matematika Siswa
dengan Pemberian Scaffolding. Tesis. Bandung: Universitas Pendidikan Indoensia.
Makalah Seminar, Lokakarya, Penataran:
Zamzani. 2014. Eksistensi Bahasa Indonesia Dalam Pendidikan Berbasis Keragaman
Budaya. Makalah disajikan dalam Seminar Internasional Berbasis Budaya:
Sumbangan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS Universitas Negeri Jogjakarta,
Jakarta, 4−6 November.
Internet (tulisan/berita dalam koran, tanpa nama pengarang):
Republika.co.id. 2014. Aduan Bullying Tertinggi. (Online), (http://www.republika.co.id),
Rabu, 15 Oktober 2014.
14. Artikel berbahasa Indonesia menggunakan Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia dan istilah-
istilah yang dibakukan oleh Pusat Bahasa.
15. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewers) yang ditunjuk oleh
penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk
melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau
penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahuan secara tertulis
melalui email pengirim.
16. Segala sesuatu yang menyangkut perizinan pengutipan untuk pembuatan naskah terkait
dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konkuensi hukum yang
mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel.
Dewan Redaksi
iv
PENGANTAR
Forum Didaktik adalah jurnal yang lahir dan terbentuk di bawah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Perjuangan Tasikmalaya. Edisi perdana jurnal ini memuat tujuh karya
akademik yang bersumber dari hasil penelitian dan kajian literatur para dosen. Enam
diantaranya berasal dari dosen tetap yang berada di lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan UNPER, dan satu orang lainnya berasal dari Perguruan Tinggi negeri di wilayah
Priangan Timur. Naskah tersebut terbagi menjadi 3 gagasan utama dalam isu pendidikan,
yaitu kompetensi guru, media pembelajaran, dan model pembelajaran.
Hasil penelitian Fajar Nugraha menyajikan bahasan mengenai kompetensi guru. Sedangkan
hasil penelitian Tri Agustini Solihati, Rudi Permadi, dan Geri Syahril Sidik membahas
mengenai penggunaan dan pengembangan media pembelajaran. Topik terakhir
yaitu model pembelajaran yang dimunculkan merukan hasil penelitian Dedi
Heryadi, Asep Rizki Mukti, dan Dina Ferisa.
Redaktur
v
DAFTAR ISI
Hal.
Dewan Redaksi ..................................................................................................................... i
Petunjuk Bagi Penulis .......................................................................................................... ii
Pengantar .............................................................................................................................. iv
Daftar Isi ............................................................................................................................... v
Analisis Proses Berpikir Siswa Sekolah Dasar dalam Memahami Aplikasi Operasi Hitung
Matematika dengan Pemberian Scaffolding
Geri Syahril Sidik1, Fajar Nugraha
2, Dina Ferisa3 (Universitas Perjuangan
Tasikmalaya)..........................................................................................................................
1
Menumbuhkan Karakter Akademik dalam Perkuliahan Berbasis Logika
Dedi Heryadi (Universitas Siliwangi Tasikmalaya).............................................................
8
The Effects of Short Story and Vocabulary Mastery on the Students’ Reading
Comprehension (Experiment at the Eleventh Grade of Private Islamic Senior High
School in Tasikmalaya-West Java)
Rudi Permadi (Perjuangan University of Tasikmalaya).......................................................
20
Pembelajaran Naskah Drama Melalui Bedah Naskah
Ridzky Firmansyah Fahmi (Universitas Siliwangi Tasikmalaya).........................................
32
The Analysis of Students’ Errors in Making Passive Voice
Asep Rizki Mukti, Perjuangan University of Tasikmalaya...................................................
41
English Vocabulary Teaching Through Active Learning (Classroom Action Research On
English Lesson At Grade One of SDN Banjaran Tasikmalaya)
Tri Agustini Solihati, Perjuangan University of Tasikmalaya..............................................
56
Analisis Kompetensi Menyusun Instrumen Penilaian IPS Di Sekolah Dasar (Penelitian
Deskriptif Kualitatif pada Guru Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Cipedes Kota
Tasikmalaya).
Fajar Nugraha (Universitas Perjuangan Tasikmalaya).......................................................
64
Penerapan Model Kooperatif Learning dengan Tipe Talking Stick pada Pengajaran IPS
untuk Meningkatkan Proses dan Mendapatkan Hasil Belajar Siswa di Kelas VB SDN
Karapyak 1 Kabupaten Sumedang Utara Tahun Pelajaran 2015/2016
Rana Gustian Nugraha1, Dissa Revitasari
2 (Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan
Sebelas April Sumedang).......................................................................................................
71
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
1
ANALISIS PROSES BERPIKIR SISWA SEKOLAH DASAR
DALAM MEMAHAMI APLIKASI OPERASI HITUNG MATEMATIKA
DENGAN PEMBERIAN SCAFFOLDING
Geri Syahril Sidik1, Fajar Nugraha
2, Dina Ferisa
3
Universitas Perjuangan Tasikmalaya
[email protected], [email protected]
3
ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi dari keunikan hasil jawaban siswa SD kelas IV mengenai materi
aplikasi operasi hitung. Jawaban menggambarkan kemampuan memahami operasi hitung siswa
masih rendah. Tujuan penelitian untuk memperoleh gambaran tentang proses berpikir siswa,
kesulitan dan scaffolding yang diberikan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif.
Diperoleh data berdasarkan lembar tugas yang diberikan kepada seluruh siswa untuk mengetahui
proses berpikir sebelum mendapatkan scaffolding. Dipilih enam orang siswa dengan kemampuan
matematika baik, sedang, dan rendah. Siswa yang terpilih melalui tahap wawancara klinis dan
scaffolding untuk melihat proses berpikirnya. Berdasarkan analisis data diperoleh bahwa proses
berpikir diklasifikasikan ke dalam dua jenis, yaitu proses berpikir instrumental dan relasional
instrumental. Subjek banyak kesulitan dalam merubah persoalan ke dalam kalimat matematika.
Kesulitan yang dialami subjek dapat diatasi dengan pemberian scaffolding. Dengan dasar temuan
pada penelitian ini, disarankan pada guru untuk menggunakan teknik scaffolding dalam
pembelajaran dengan memperhatikan pemahaman siswa terhadap penguasaan konsep operasi
hitung matematika.
Kata kunci: proses berpikir, operasi hitung matematika, pemberian scaffolding
THE ANALYSIS OF ELEMENTARY SCHOOL STUDENTS’
THINKING PROCESS ON COMPREHENDING MATHEMATICS
OPERATION THROUGH SCAFFOLDING
ABSTRACT
The research carried out when seeing the fourth grade elementary school students‟ unique
results answer of mathematic counting operation application topic. Those answers described their
capabilities of mathematic counting operation is still low. The purpose of the research is to achieve
the students‟ thinking process description, the difficulties, and scaffolding given. This is
descriptive qualitative research. The data obtained from the tasks given to the students to recognize
the students‟ thinking process before getting scaffolding. Six students were chosen with different
mathematic capabilities; high, middle and low. The chosen students‟ experienced clinic interview
and scaffolding to have their thinking process. The analysis data shows that the thinking process
classified into two categories, instrumental thinking process and relational instrumental thinking
process. The students got many difficulties in converting the problems into mathematic sentences,
and doing counting operation (subtraction, multiplication and division). The difficulties can be
maintained by scaffolding. With the research findings,the researchers suggests the teacher to use
scaffoldings technique in learning process by noticing the students‟ comprehension on mathematic
counting operation concepts
Key words: thinking process, mathematic counting operation, scaffolding giving
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
2
PENDAHULUAN
Operasi hitung merupakan salah satu
materi yang dipelajari untuk
menyederhanakan dan memecahkan
permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Operasi hitung dalam matematika terdiri
dari operasi penjumlahan, pengurangan,
perkalian dan pembagian. Hal ini dapat
dilihat dalam silabus kurikulum 2013 untuk
tingkat Sekolah Dasar (SD) kelas tiga dalam
Kompetensi Dasar 4.1 “Menyelesaikan
masalah yang berkaitan dengan
penjumlahan, pengurangan, perkalian,
pembagian, bilangan bulat, waktu, panjang,
berat benda dan uang terkait dengan
aktivitas sehari-hari di rumah, sekolah, atau
tempat bermain dan memeriksa
kebenarannya serta menyatakan kalimat
matematikanya dan mengemukakan dengan
kalimat sendiri”.
Sejauh ini masih banyak siswa yang
mengalami kesulitan dalam
mengaplikasikan operasi hitung untuk
memecahkan persoalan dalam kehidupan.
Sidik, (2014) menyatakan bahwa “pada
umumnya subjek kesulitan dalam tahap
pemahaman soal. Subjek lemah dalam
pemahaman konsep, akibatnya subjek salah
menerjemahkan soal ke dalam model
matematika”. Kesulitan-kesulitan yang
dihadapi siswa bukan disebabkan tidak
mampu melakukan perhitungan saja
melainkan siswa tidak memahami
permasalahan.
Memahami konsep matematika
merupakan salah satu tujuan diajarkannya
matematika. Depdiknas (2006)
menyebutkan bahwa salah satu tujuan
diajarkannya matematika adalah memahami
konsep matematika, menjelaskan keterkaitan
antar konsep dan mengaplikasikan konsep
atau algoritma secara luwes, akurat, efisien,
dan tepat dalam pemecahan masalah.
Namun masih banyak siswa mengalami
kesulitan dalam memahami masalah
matematika saat belajar.
Dalam proses pembelajaran,
munculnya kesulitan untuk memahami suatu
konsep merupakan hal yang wajar. Itu
menggambarkan bahwa siswa sedang
melakukan proses berpikir. Mereka
berusaha untuk mengintegrasikan informasi
baru ke dalam struktur kognitif yang telah
dimilikinya. Marpaung (1986) mengatakan
“proses berpikir adalah proses yang dimulai
dari penemuan informasi (dari luar atau diri
siswa), pengolahan, penyimpanan dan
memanggil kembali informasi itu dari
ingatan siswa.”
Proses berpikir siswa akan terstruktur
berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh
siswa tersebut. Pengetahuan awal setiap
siswa tidaklah sama sehingga kesulitan yang
dihadapi setiap siswa pasti berbeda. Suatu
situasi mungkin merupakan masalah bagi
seseorang pada waktu tertentu, akan tetapi
belum tentu merupakan masalah baginya
pada saat yang berbeda, Sidik (2014).
Sebagai seorang guru atau orang yang
membimbing mereka belajar, sebaiknya kita
dapat mengenali dan memahami kesulitan-
kesulitan yang dihadapi oleh siswa. Karena
jika dibiarkan kesulitan tersebut tidak lagi
menjadi sebuah kewajaran, melainkan suatu
masalah yang dapat menghambat
perkembangan intelektual siswa.
Pada kenyataanya justru guru tidak
menyadari bahwa kesulitan-kesulitan yang
dihadapi siswa disebabkan oleh kurangnya
perhatian, pemahaman dan peran guru di
dalam proses pembelajaran. Selain itu, tidak
jarang bantuan atau intervensi yang
diberikan guru kurang memperhatikan letak
kesulitan siswa. Terkadang guru justru
memberikan bantuan di saat siswa mampu,
jelas hal ini akan membuat siswa merasa
terganggu sedangkan di saat siswa merasa
memerlukan bantuan justru diabaikan. Salah
satu teori yang membahas mengenai tingkat
kesulitan siswa serta konsep pemberian
bantuan adalah teori kontruktivisme
Vygotsky.
Vygotsky (dalam Sidik, 2014)
menyatakan bahwa interaksi sosial
merupakan faktor terpenting dalam
mendorong perkembangan kognitif
seseorang. Seseorang akan dapat
menyelesaikan permasalahan yang tingkat
kesulitannya lebih tinggi dari kemampuan
dasarnya setelah ia mendapat bantuan dari
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
3
seseorang yang lebih mampu (lebih
kompeten). Vygotsky menyebut bantuan
yang demikian ini dengan dukungan
dinamis atau Scaffolding. Sebenarnya
pemberian Scaffolding oleh guru sudah
banyak dilakukan saat pembelajaran.
Namun praktik pemberian Scaffolding yang
telah dilakukan tidak terencana sehingga
tidak diperoleh suatu gambaran mengenai
pola pikir siswa ketika memperoleh
Scaffolding selama pembelajaran
berlangsung. Gambaran mengenai pola pikir
siswa ini seharusnya dicermati dan
selanjutnya dapat dipakai sebagai salah satu
bahan acuan untuk melakukan perbaikan
perencanaan maupun pelaksanaan
pembelajaran berikutnya. Berdasarkan latar
belakang tersebut, peneliti tertarik untuk
memperoleh gambaran tentang proses
berpikir, kesulitan dan scaffolding yang
diberikan kepada siswa sekolah dasar dalam
memahami aplikasi operasi hitung
matematika.
METODE
Penelitian ini mendeskripsikan
tahapan proses berpikir siswa dalam
menyelesaikan suatu masalah matematika
dengan pemberian scaffolding. Proses
berpikir siswa diamati dengan mencermati
(mengkaji) hasil kerja siswa dalam
menyelesaikan suatu masalah yang
dihadapi. Ketika siswa menemui kesulitan
dalam menyelesaikan permasalahan, guru
mengajukan pertanyaan atau pernyataan
untuk memberikan bantuan (scaffolding)
pada siswa, supaya siswa dapat melanjutkan
penyelesaian masalah yang dihadapinya.
Tindakan ini merupakan suatu upaya untuk
mengetahui proses berpikir siswa dalam
memahami aplikasi operasi hitung dengan
pemberian scaffolding.
Aktivitas ini diharapkan dapat
mengungkap pokok permasalahan mendasar
yang dialami oleh siswa ketika
menyelesaikan soal matematika yang
merupakan masalah. Selanjutnya dicermati
tahap-tahap proses berpikir siswa serta
bantuan apa saja yang diperlukan siswa
tersebut untuk sampai pada kemampuan
menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini
adalah data verbal, oleh karenanya
penelitian ini termasuk penelitian kualitatif
– deskriptif – eksploratif.
Untuk mengetahui proses berpikir
siswa dalam memahami operasi hitung
matematika sebelum mendapatkan bantuan
dari peneliti (sebelum pemberian
scaffolding), peneliti memberikan lembar
tugas. Lembar tugas yang digunakan dalam
penelitian ini disusun untuk mengetahui
proses berpikir siswa kelas IV di SDN
Nagarasari 1 Kota Tasikmalaya dalam
menyelesaikan masalah sederhana terkait
dengan aplikasi operasi hitung matematika.
Permasalahan mendasar yang terkait dengan
aplikasi operasi hitung matematika adalah
siswa kesulitan menerjemahkan soal cerita
ke dalam kalimat matematika dan kesulitan
mengoperasikan operasi hitung
pengurangan, perkalian dan pembagian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Berpikir Dalam Memahami
Aplikasi Operasi Hitung Matematika
Secara rinci, proses berpikir dalam
memahami aplikasi operasi hitung
matematika yang terjadi pada penelitian ini
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Proses berpikir Instrumental
Proses berpikir instrumental ditandai
dengan jawaban subjek yang tidak relevan
dengan maksud soal. Subjek terkesan
sembarang dalam menjawab dan hanya
memperhatikan angka yang ada dalam soal.
Proses ini terjadi pada S5 dan S6 ketika
mengerjakan Q2 dan Q3.
b. Proses berpikir relasiona linstrumental
Proses berpikir relasional instrumental
ditandai dengan subjek yang mencoba
mencari makna soal menggunakan logika
berpikirnya kemudian melanjutkan
perhitungan secara algoritmik. Proses ini
dapat dikategorikan menjadi:
1) Relasional kuat, instrumental kuat
Proses berpikir ini ditandai dengan
jawaban subjek yang relevan dengan
maksud soal. Kategori ini terjadi pada S1dan
S2 ketika mengerjakan Q1 dan Q3, terjadi
pada S3, S4dan S5 ketika mengerjakan Q1.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
4
2) Relasional kuat, instrumental lemah
Proses berpikir ini ditandai dengan
jawaban subjek yang relevan dengan
maksud soal, namun masih salah dalam
melakukan operasi hitung. Secara konsep
sudah sesuai, namun secara teknis
pengerjaan masih lemah. Kategori ini terjadi
pada S1,S2, S3, S4 ketika mengerjakan Q2,
terjadi pada S5 dan S6 ketika mengerjakan
Q1.
3) Relasional lemah instrumental kuat
Proses berpikir ini ditandai dengan
jawaban subjek yang tidak relevan dengan
maksud soal, namun subjek dapat
melakukan perhitungan dengan baik
walaupun hasilnya tidak sesuai maksud soal.
Subjek keliru membuat model matematika
dari soal, tetapi subjek dapat melakukan
perhitungan menurut model matematika
yang dibuatnya. Secara konsep masih
lemah, namun secara teknis pengerjaan
sudah bagus.Kategori ini terjadi pada S3, S5
dan S6 ketika mengerjakan Q3.
4) Relasional lemah instrumental lemah
Proses berpikir ini ditandai dengan
jawaban subjek yang tidak relevan dengan
maksud soal dan salah dalam perhitungan,
namun dalam pengerjaan masih dalam
koridor materi yang dimaksudkan oleh soal.
Kategori ini terjadi pada S5 dan S6 ketika
mengerjakan Q2.
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dipaparkan, dapat diketahui bahwa
proses berpikir merupakan aktifitas kognitif
subjek dalam memahami aplikasi operasi
hitung matematika ketika menyelesaikan
masalah. Proses berpikir subjek tercermin
pada langkah-langkah kerja yang mereka
tulis dalam memahami masalah matematika
yang mereka hadapi, maupun ungkapan
verbal yang mereka kemukakan terkait
langkah-langkah kerja yang mereka
tuliskan. Hal ini sependapat dengan Herbert
(dalam Siswono, 2002:46) menyatakan
bahwa “Proses berpikir dalam belajar
matematika adalah kegiatan mental yang
ada dalam pikiran subjek. Karena itu untuk
mengetahuinya hanya dapat diamati melalui
proses cara mengerjakan tes dan hasil yang
ditulis secara terurut. Selain itu ditambah
dengan wawancara mendalam mengenai
cara kerjanya”.
Kesulitan Dalam Memahami Aplikasi
Operasi Hitung Matematika
Pada umumnya, subjek kesulitan pada
tahap merubah soal cerita ke dalam kalimat
matematika. Kesulitan tersebut terjadi
karena subjek kurang memahami bahasa,
kalimat atau konsep matematika yang ada
pada soal. Hal ini menunjukkan bahwa
subjek belum mampu menyelesaikan soal
pemahaman relasional yaitu soal yang
menunjukkan kemampuan subjek dalam
menguasai suatu konten yang dikaitkan
dengan konten yang lain kemudian
menyelesaikannya, (Skemp, 2006).
Dalam hal ini yaitu memahami
maksud soal dan menghubungkannya
dengan model matematika. Menurut
Michener (Sumarmo, 1987:24) untuk
memahami suatu objek secara mendalam
seseorang harus mengetahui: (1) objek itu
sendiri; (2) relasinya dengan objek lain
yang sejenis; (3) relasinya dengan objek lain
yang tidak sejenis; (4) relasi dual dengan
objek lainnya yang sejenis; dan (5) relasi
dengan objek dalam teori lainnya. Pendapat
lain disampaikan oleh Soekisno, (2002:3)
yang mengatakan bahwa: Soal-soal yang berkaitan dengan bilangan
tidaklah begitu menyulitkan subjek, namun
soal-soal yang menggunakan kalimat,
sangat menyulitkan bagi subjek yang
kurang memiliki kemampuan dalam
berhitung. Kesulitan-kesulitan yang
dihadapi subjek bukan disebabkan tidak
mampu melakukan perhitungan saja
melainkan subjek tidak memahami
permasalahan. Hal ini diakibatkan karena
subjek tidak terbiasa mengerjakan soal yang
kontekstual atau soal yang dikemas dalam
cerita.
Subjek berusaha menerjemahkan
secara langsung kata-kata kunci dalam soal
untuk menyelesaikan masalah yang terdapat
dalam soal. Tindakan yang dilakukan oleh
subjek akan mengarahkan kepada jawaban
yang salah. Kesalahan yang dilakukan
subjek dapat terjadi diantaranya karena
subjek kurang dapat memahami tentang apa
yang diketahui dan ditanyakan dalam soal
cerita, sehingga ketika menyusun rencana
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
5
penyelesaian dan dilanjutkan dengan
melakukan perhitungan, subjek akan
melakukan kesalahan.
Kesulitan subjek banyak juga terjadi
pada saat melakukan operasi hitung.
kesulitan-kesulitan disebabkan karena
pemahaman konsep operasi hitung yang
dimiliki subjek sangat lemah. Banyak subjek
yang masih belum memahami maksud dari
operasi hitung dasar seperti penjumlahan,
pengurangan, perkalian atau pembagian.
Akibatnya subjek lemah dalam
mengoperasikan operasi hitung tersebut.
Kebanyakan subjek mengalami kesulitan
pada saat melakukan operasi hitung
pengurangan, perkalian dan pembagian.
Terlihat bahwa pemahaman instrumental
menurut Skemp (2006) yaitu kemampuan
subjek dalam memahami konten tertentu
secara algoritmik, belum dikuasai dengan
baik oleh subjek.
Kesulitan yang terjadi pada proses
berpikir dalam memahami aplikasi operasi
hitung matematika ini memberikan
gambaran bahwa subjek yang memiliki
pemahaman relasional lebih sedikit
mengalami kesulitan dibandingkan dengan
subjek yang hanya memiliki pemahaman
instrumental. Jawaban subjek yang berpikir
instrumental lebih mengarah kepada
jawaban sembarangan sedangkan jawaban
subjek yang berpikir relasional instrumental
cenderung ada konstruksi logis dalam
menyelesaikan persoalan.
Scaffolding Dalam Memahami Aplikasi
Operasi Hitung Matematika Kesulitan dalam berpikir subjek dapat
terungkap dan teratasi dengan pemberian
scaffolding. Scaffolding tersebut dilakukan
setelah mengetahui bentuk kesulitan yang
dialami subjek. Kegiatan scaffolding dalam
proses berpikir subjek yang diberikan
mengacu pada tingkatan Scaffolding yang
dikemukakan Anghileri (2006) adalah
sebagai berikut;
Proses Berpikir Instrumental
Scaffolding yang diberikan pada jenis
berpikir ini antara lain:
1) Meminta subjek mengulangi membaca
soal
2) Memberikan kesempatan kepada subjek
untuk memahami kalimat yang
dibacakan.
3) Memberikan analogi dengan kasus
serupa yang cenderung lebih mudah
dipahami subjek
4) Memberikan pemahaman konsep terkait
materi yang dihadapi
5) Mengajukan pertanyaan arahan hingga
subjek memahami masalah.
6) Meminta subjek melakukan refleksi
terhadap jawaban sehingga dapat
menemukan kesalahan
7) Diskusi tentang jawaban dan
memberikan pertanyaan-pertanyaan
arahan sampai subjek menyadari
kesalahannya
8) Memeriksa kembali kepahaman subjek
terhadap masalah
9) Meminta subjek menyusun kembali
rancangan jawaban dan memperbaiki
pekerjaannya.
Proses Berpikir Relasional Instrumental
1) Relasional kuat, instrumental kuat
Tidak ada scaffolding yang diberikan
peda jenis berpikir ini.
2) Relasional kuat, instrumental lemah
Scaffolding yang diberikan pada jenis
berpikir ini antara lain:
(a) Meminta subjek melakukan refleksi
terhadap jawaban sehingga dapat
menemukan kesalahan.
(b) Diskusi tentang jawaban dan
memberikan pertanyaan-pertanyaan
arahan sampai subjek menyadari
kesalahannya.
(c) Memeriksa kembali pemahaman
subjek terhadap masalah
(d) Meminta subjek menyusun kembali
rancangan jawaban dan
memperbaiki pekerjaannya
3) Relasional lemah instrumental kuat
(a) Meminta subjek mengulangi
membaca soal
(b) Peneliti memberikan kesempatan
kepada subjek untuk memahami
kalimat yang dibacakan.
(c) Memberikan analogi dengan kasus
serupa yang cenderung lebih mudah
dipahami subjek
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
6
(d) Memberikan pemahaman konsep
terkait materi yang dihadapi
(e) Mengajukan pertanyaan arahan
hingga subjek memahami masalah.
4) Relasional lemah instrumental lemah
(a) Meminta subjek mengulangi
membaca soal
(b) Peneliti memberikan kesempatan
kepada subjek untuk memahami
kalimat yang dibacakan.
(c) Memberikan analogi dengan kasus
serupa yang cenderung lebih mudah
dipahami subjek
(d) Mengajukan pertanyaan arahan
hingga subjek memahami masalah.
(e) Meminta subjek melakukan refleksi
terhadap jawaban sehingga dapat
menemukan kesalahan
(f) Diskusi tentang jawaban dan
memberikan pertanyaan-pertanyaan
arahan sampai subjek menyadari
kesalahannya
(g) Memeriksa kembali kepahaman
subjek terhadap masalah
(h) Meminta subjek menyusun kembali
rancangan jawaban dan
memperbaiki pekerjaannya.
Dalam memahami aplikasi operasi
hitung matematika, subjek mengalami
empat tahapan, yaitu pemahaman soal,
mengubah soal ke dalam model matematika,
melakukan operasi hitung dan menarik
kesimpulan. Sejalan dengan Margaret
(2006) menyatakan ada empat dimensi
pemahaman matematik sebagai kerangka
dasar dalam memecahkan masalah, yaitu:
(a) reading/extracting allinformation from
the question (membaca/ mendapatkan semua
informasi dari pertanyaan); (b) real-life and
common sense approach to solving
problems (pendekatan kehidupan nyata dan
akal sehat untuk menjawab soal); (c)
mathematics concepts, mathematisation and
reasoning (konsep matematika,
matematisasi dan pemberian alasan); dan (d)
Standard computational skills
andcarefulness in carrying out computations
(keterampilan dan ketelitian berhitung
standar).
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian tentang proses
berpikir yang dilaksanakan di kelas IV SDN
Nagarasari 1 Kota Tasikmalaya,
disimpulkan bahwa subjek mengalami dua
jenis proses berpikir, yaitu proses berpikir
instrumental dan proses berpikir relasional
instrumental. Proses berpikir relasional
instrumental terdiri dari empat bagian, yaitu
(1) relasional kuat instrumental kuat, (2)
relasional kuat instrumental lemah, (3)
relasional lemah instrumental kuat, (4)
relasional lemah instrumental lemah.
Selain itu terdapat empat tahapan
proses berpikir dalam memahami operasi
hitung matematika yang ditemukan dalam
penelitian yaitu tahapan pemahaman soal,
mengubah soal ke dalam model matematika,
melakukan operasi hitung dan menarik
kesimpulan. Tahapan memahami soal dan
mengubah soal ke dalam model matematika
digolongkan ke dalam jenis pemahaman
relasional sedangkan tahapan melakukan
operasi hitung dan menarik kesimpulan di
golongkan ke dalam jenis pemahaman
instrumental.
Pada umumnya subjek kesulitan
dalam tahap pemahaman soal.Subjek lemah
dalam pemahaman konsep, akibatnya subjek
salah menerjemahkan soal ke dalam model
matematika. Selain itu subjek kesulitan
dalam tahap melakukan perhitungan.
Kebanyakan subjek mengalami kesulitan
pada saat melakukan operasi hitung
pengurangan, perkalian dan pembagian. Hal
itu menunjukkan bahwa kemampuan
memahami aplikasi operasi hitung
matematika subjek (pemahaman relasional
dan pemahaman instrumental) masih lemah.
Scaffolding yang diberikan berkaitan dengan
kesulitan yang dialami subjek dalam proses
berpikir diantaranya:
1. Proses Berpikir Instrumental
Scaffolding yang diberikan berupa
pemberian kesempatan kepada subjek untuk
memahami setiap kalimat dalam soal,
memberikan analogi kasus serupa yang
cenderung lebih mudah dipahami subjek,
memberikan pemahaman konsep terkait
materi yang dihadapi dan memberi
penjelasan terkait prosedur pengerjaan.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
7
Pemberian scaffolding cenderung lebih sulit
dan memerlukan waktu yang cukup lama.
2. Proses berpikir Relasional
Instrumental
a. Relasional kuat, instrumental kuat
Scaffolding yang diberikan berupa
pertanyaan arahan untuk mencari alternatif
lain dalam penyelesaian masalah yang
dihadapi.
b. Relasional kuat, instrumental lemah
Scaffolding yang diberikan berupa
permintaan melakukan refleksi terhadap
jawaban, pertanyaan-pertanyaan arahan
sehingga subjek dapat menemukan
kesalahan
c. Relasional lemah instrumental kuat
Scaffolding yang diberikan berupa
pemberian kesempatan kepada subjek untuk
memahami setiap kalimat dalam soal,
memberikan analogi kasus serupa yang
cenderung lebih mudah dipahami subjek.
d. Relasional lemah instrumental lemah
Scaffolding yang diberikan berupa
pemberian kesempatan kepada subjek untuk
memahami setiap kalimat dalam soal,
memberikan analogi kasus serupa yang
cenderung lebih mudah dipahami subjek,
memberikan pemahaman konsep terkait
materi yang dihadapi dan memberi
penjelasan terkait prosedur pengerjaan.
DAFTAR RUJUKAN
Anghileri, J. 2006. Scaffolding Practices
That Enhance Mathematics
Learning, Journal of Mathematics
Teacher Education, 9, 33-52.
Depdiknas. 2006. Kurikulum 2006. Jakarta:
Media Makmur Majumandiri.
Margaret, W. 2006. Modelling Mathematics
Problem Solving Item Responses
Using a Multidimensional IRT
Model: University of Melbourne,
Mathematics Education Research
Journal, 18(2), 93-113.
Marpaung, Y. 1986. Proses Berpikir Siswa
dalam Pembentukan Konsep
Algoritma Matematis. Makalah
Pidato Dies Natalies XXXI IKIP
Sanata Dharma Salatiga, 25 Oktober
1986.
Syahril, G S. 2014. Analisis Proses Berpikir
dalam Pemahaman Matematika
Siswa dengan Pemberian
Scaffolding. Tesis. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia.
Siswono, Y. E. 2002. Proses Berpikir Siswa
dalam Pengajuan Soal. Jurnal
Nasional Matematika, ISSN: 0852-
7792, hlm. 44-50.
Skemp, R. 2006. Relational Understanding
and Instrumental Understanding,
Journal of Mathematics Teaching in
The Middle School, 12 (2), 88 – 95.
Soekisno B.A.R. 2002. Kemampuan
Pemahaman Matematik Matematika
Siswa Dengan Strategi Heuristik.
Tesis. Bandung: Universitas
Pendidikan Indonesia.
Sumarmo, U. 1987. Kemampuan
Pemahaman dan Penalaran
Matematika Siswa SMA dikaitkan
dengan kemampuan penalaran logik
siswa dan beberapa unsur proses
belajar mengajar. Disertasi.
Universitas Pendidikan Indonesia.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
8
MENUMBUHKAN KARAKTER AKADEMIK
DALAM PERKULIAHAN BERBASIS LOGIKA
Dedi Heryadi
Universitas Siliwangi Tasikmalaya
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji urutan perkuliahan berbasis logika, dan
mengetahui pengaruhnya terhadap tumbuhnya karakter akademik mahasiswa (ketelitian berpikir,
sikap kritis, dan tanggung jawab). Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian dan
Pengembangan, dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah observasi, wawancara
dan pengukuran (test). Pelaksanaan penelitian dilakukan pada mahasiswa semester pertama di
FKIP, Universitas Siliwangi Tasikmalaya. Data dioleh secara kuantitatif dan kualitatif. Hasilnya
diketahui bahwa urutan model perkuliahan berbasis logika berpengaruh positif terhadap
tumbuhnya karakter akademik mahasiswa (ketelitian berpikir, sikap kritis, dan tanggung jawab).
Diharapkan hasil penelitian ini ditindaklanjuti dan divalidasi oleh orang-orang yang memiliki
profesi yang sama.
Kata kunci: model perkuliahan, logika, karakter akademik, ketelitian berpikir, sikap kritis,
tanggung jawab
GROWING ACADEMIC CHARACTERS
IN LOGICAL-BASED LECTURING
ABSTRACT The aim of this research are to study a logical-based lecturing order, and to recognize it‟s
impact toward the growth student accademic characters ( precision thinking, critical atitude, and
responsibility). The method used in this study is Research and Development. Besides the tecnique
of data collecting was taken by observation, interview, and examination. The research held for
student in 1st semester of 2015/2016 accademic year at Faculty of Teacher Training and Education
Siliwangi University Tasikmalaya. The data were processed quantitativeli and qualitatively. The
result know that syntax of lacturing based on the logic model have a positive impact toward
student accademic characters ( precision thinking, critcal attitude, and reponsibility). To strether
this research result the it is suggested that the research should be followed up and validated by
whom in the same profesion.
Key words : lecturing model, logic, accademic characters, precision thinking, critical attitude,
and responsibility.
PENDAHULUAN
Dalam interaksi belajar mengajar di
Universitas Siliwangi Tasikmalaya peristiwa
menyimak penjelasan dosen masih
merupakan andalan yang ditempuh
mahasiswa. Dari hasil Audit Mutu Internal
Universitas Siliwangi pada tahun 2014
diketahui bahwa rata-rata dua pertiga dari
alokasi waktu perkuliahan yang tersedia
digunakan oleh mahasiswa untuk
mendengarkan kuliah dari para dosennya.
Keadaan demikian sejalan dengan temuan
Fahinu (2013:163) bahwa proses
pembelajaran di perguruan tinggi masih
banyak penekanannya pada pembelajaran
berupa hapalan bukan penalaran, sehingga
kemampuan berpikir kritis mahasiswa tidak
berkembang.
Perkuliahan yang bersifat ekspositori
tersebut tidak berkategori jelek, jika
perkuliahan itu menghantarkan para
mahasiswa menjadi manusia yang kritis,
kreatif, mandiri, demokratis, kompetitif,
serta bertanggung jawab dalam menghadapi
pelbagai masalah kehhidupan. Perkuliahan
di perguruan tinggi tidak hanya diarahkan
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
9
untuk menumbuhkan kemampuan
mahasiswa dalam memahami apa yang
diperoleh dari dosennya karena hal tersebut
berdampak tumbuhnya sikap konformisme
(yaitu sikap penerima dan penurut).
Pendidikan tinggi harus menghindarkan
mahasiswa dari konformisme, sebab
konformisme merupakan musuh kreativitas
yang terbesar.
Untuk membentuk model
perkuliahan yang dapat menumbuhkan sikap
kritis, kreatif, teliti, dan tanggung jawab,
para dosen perlu memiliki pijakan teoretis
(approach) yang tepat. Salah satu teori yang
dipertimbangkan sebagai pendekatan dalam
pengembangan model perkuliahan adalah
teori logika (Heryadi, 2013). Pertimbangan
ini bertolak pada hasil kajian teoretis tentang
hakikat proses perkulihan dari sudut teori
psikolinguistik dan teori logika.
Perkuliahan (khusus yang bersifat
ekspositori) merupakan proses mental
dengan berpola pada berpikir logis ketika
menangkap gagasan-gagasan yang
disampaikan dosennya. Yang dimaksud
dengan pola berpikir logis atau berlogika
dalam pernyataan tersebut adalah bernalar
secara sistematis dalam menghasilkan
keputusan-keputusan yang benar. Berlogika
dengan benar dalam proses mendengarkan
kuliah meliputi tiga tahapan, yaitu diawali
dengan tahap pemahaman konsep
(conception), kemudian tahap pembentukan
proposisi-proposisi (conceptuali-sation),
dan diakhiri dengan tahap pengambilan
keputusan (conlusion)”.
Untuk membuktikan gambaran pola
berlogika yang terjadi saat proses
mendengarkan kuliah dapat dijelaskan
dalam 3 tahap berikut ini. Tahap 1
mahasiswa mentransmisi dan mempersepsi
bunyi-bunyi ujaran, hingga ia memahami
konsep-konsep yang terkandung dalam
materi wacana perkuliahan. Tahap 2
mahasiswa mengonseptualisasi konsep-
konsep yang dipahaminya menjadi
proposisi-proposisi; kemudian ia
menggabungkan proposisi-proposisi itu
menjadi wacana baru atau mengulang
bentuk yang mengandung isi yang sama
dengan wacana perkuliahan yang
disimaknya. Tahap 3 mahasiswa
memverifikasi isi wacana perkuliahan yang
dipahaminya berdasarkan pengetahuan dan
pengalaman yang dimilikinya hingga ia
memunculkan kesimpulan sebagai respon
terhadap isi perkuliahan yang disimaknya
(Heryadi, 2013).
Pengetahuan tersebut manjadi dasar
keyakinan bahwa dalam proses
mendengarkan kuliah para mahasiswa perlu
memiliki kemampuan berlogika dengan
benar. Keyakinan tersebut memunculkan
sebuah pemikiran bahwa dalam upaya
menumbuhkan ketelitian, ketajaman
berpikir, sikap kritis, dan kejujuran
mahasiswa dalam perkuliahan dosen perlu
membiasakan mahasiswanya menerapkan
pola berlogika.
Dasar pemikiran ini menjadi pijakan
pokok dimunculkan model perkuliahan
berlandasan atau berbasis logika. Dengan
model tersebut prosedur perkuliahan
dikembangkan secara bertahap dan
bersistem dengan tujuan lebih diarahkan
pada penumbuhan dan pemantapan
kemampuan mahasiswa dalam hal: (1)
memahami konsep-konsep yang terkandung
dalam materi yang disimaknya; (2)
membentuk dan menggabungkan proposisi-
proposisi berdasarkan konsep-konsep yang
dipahaminya sehingga membentuk
pemahaman pesan yang sama dengan
pesan/isi perkuliahan yang disimaknya; dan
(3) memverifikasi pesan yang dipahaminya
dengan melalui pertimbangan-pertimbangan
yang logis sehingga menghasilkan respons
yang tepat terhadap isi perkuliahan yang
disimaknya. Gabungan dari ketiga
kemampuan tersebut diyakini dapat
membangun kemampuan memahami materi
dari kuliahnya, serta tumbuh karakter
ketelitian, kekritisan, dan kejujuran yang
baik.
Sebagai realisasi dari dasar
pemikiran di atas dicoba dikembangkan
model perkulihan berbasis logika. Untuk
menguji ketepatannya, model perkuliahan
tersebut dicoba diaplikasikan pada
mahasiswa semester pertama di FKIP
Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
10
Atas dasar pemikiran yang
dikemukakan dalam uraian di atas, maka
dirumuskanlah masalah penelitian sebagai
berikut. 1) Bagaimanakah langkah-langkah
(syntax) model perkuliahan yang dilandasi
teori logika? 2) Bagaimana dampak model
perkuliahan berbasis logika terhadap
karakter ketelitian, berpikir kritis, dan
tanggung jawab para mahasiswa?
Penerapan teori berpikir logis dalam
pengembangan model perkuliahan yang
dilaksanakan kepada mahasiswa FKIP di
lingkungan Universitas Siliwangi
Tasikmalaya, bertujuan untuk 1) mengetahui
langkah-langkah (syntax) model perkuliahan
yang dilandasi oleh teori logika, dan 2)
mengetahui dampak model perkuliahan
berbasis logika terhadap tumbuhnya
karakter akademik yang terukur dalam
perilaku ketelitian, kekritisan, dan kejujuran
berpikir para mahasiswa.
Model perkuliahan berbasis logika
merupakan model baru dalam khazanah
perkuliahan. Oleh karena itu, hasil
penelitian ini untuk pengembangan model
perkuliahan di perguruan tinggi sangat
bermanfaat sebagai pelengkap model-model
perkuliahan yang sudah ada.
Jika diamati secara seksama, model
perkuliahan yang saat ini sering digunakan
di perguruan tinggi berupa model-model
yang hanya diarahkan untuk menumbuhkan
kemampuan mahasiswa dalam memahami
materi kuliahnya. Model seperti demikian
belum menyokong tumbuhnya kebiasaan
bernalar dengan baik. Dalam perkuliahan
berbasis logika, tahapan-tahapan
perkuliahan yang dilaksanakan tidak hanya
diarahkan untuk menumbuhkan kemahiran
memahami isi kuliah yang disampaikan
dosennya melainkan juga untuk tumbuhnya
kemampuan bernalar dengan baik. Oleh
karena itu, hasil perkuliahan yang dicapai
dengan menggunakan model ini tidak
semata-mata hanya menumbuhkan
keterampilan para mahasiswa memahami
materi kuliah yang disampaikan para
dosennya, melainkan juga dapat bermanfaat
untuk menumbuhkan kebiasaan mahasiswa
dalam berpikir teliti, kritis, dan jujur atau
tanggung jawab terhadap segala hal yang
didengarnya.
Karakter Akademik Mahasiswa
Berdasarkan Kebijakan Pemerintah
Karakter merupakan sifat-sifat
kejiwaan, akhlak, tabiat, watak atau budi
pekerti yang membedakan seseorang dengan
yang lain. Karakter dapat menjadi penciri
seseorang atau sekelompok orang yang
menduduki profesi, kesukuan dan
keyakinan. Lingkungan sangat dominan
mempengaruhi karakter seseorang. Namun,
ada karakter khas yang dibentuk
berdasarkan status atau keprofesian.
Contohnya, mahasiswa sebagai sivitas
akademika di perguruan tinggi wajib
ditumbuhkan karakter yang khas sebagai
dasar menjadi manusia yang berkualitas
untuk dipersiapkan menjadi pemimpin
masyarakat yang dapat membawa kehidupan
yang semakin sejahtera. Mahasiswa harus
menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, terampil, kompeten dan
berbudaya untuk kepentingan bangsa.
Sebagai penjabaran dari tujuan
pendidikan tinggi yang harus diwujudkan
oleh setiap lembaga perguruan tinggi,
dikembangkanlah ranah-ranah kompetensi
yang saling berkaitan antara ranah satu
dengan ranah lainnya. Ranah-ranah yang
dimaksud adalah sikap pengetahuan,
keterampilan. Sebagaimana dijelaskan di
dalam Permenristek Dikti nomor 44 tahun
2015, tentang Standar Nasional Pendidikan
Tinggi, pasal 5 ayat (1) yang diterbitkan
oleh Kementrian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi, bahwa standar
kompetensi lulusan merupakan keriteria
minimal tentang kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan,
dan keterampilan yang dinyatakan dalam
rumusan capaian pembelajaran lulusan.
Terkait dengan ranah sikap dan
keterampilan umum, rumusan capaian
pembelajaran sebagai karakter yang harus
dimiliki oleh mahasiswa sudah ditetapkan
oleh pemerintah yang tertera dalam
lampiran yang tidak terpisahkan dengan
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
11
Permenristek Dikti Nomor 44 tahun 2015.
Perlu ditegaskan bahwa salah satu capaian
pembelajaran keterampilan umum yang
harus menjadi penciri karakter para
mahasiswa adalah mampu menerapkan
pemikiran logis, kritis, sistematis, dan
inovatif dalam konteks pengembangan atau
implementasi ilmu pengetahuan dan
teknologi yang memperhatikan dan
menerapkan nilai humaniora yang sesuai
dengan bidang keahliannya.
Memperhatikan peraturan menteri
tersebut sangat jelas bahwa menumbuhkan
karakter mahasiswa sebagai generasi
penerus pimpinan bangsa harus menjadi
sasaran dalam pelaksanaan pendidikan di
perguruan tinggi. Karakter-karakter yang
harus ditumbuhkan di antaranya adalah
karakter ketelitian, berpikir kritis, dan
tanggung jawab. Karakter tersebut penulis
kategorikan karakter akademik dengan
alasan kerakter tersebut menjadi penciri
orang cendikia.
Pengembangan Model Perkuliahan
Pelaksanaan perkuliahan di perguruan
tinggi sebagian besar orang masih
memandang sebagai bentuk interaksi searah
antara dosen dan mahasiswa. Model
ceramah masih menjadi andalan dosen
dalam proses perkuliahan. Kejadian seperti
ini tidak berarti salah, asalkan dosen melalui
model ceramahnya memberi kesempatan
untuk mengkreatifkan dan mengaktifkan
pikiran para mahasiswanya. Dalam
Permenristek Dikti, No 44, Tahun 2015
pasal 11 ayat 1 yang diterbitkan oleh
Kementrian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi, dijelaskan bahwa untuk
dapat mewujudkan Standar Kompetansi
Lulusan model perkuliahan yang
dikembangkan harus bersifat interaktif,
holistik, integratif, saintifik, kontekstual,
tematik, efektif, kolaboratif, dan berpusat
pada mahasiswa. Atas dasar penjelasan
tersebut dosen perlu mengembangkan
model-model perkuliahan yang inovatif.
Oleh karena itu, pemahaman tentang model
perkuliahan yang hanya membekali
pengetahuan dan keterampilan adalah keliru.
Model perkuliahan yang diharapkan adalah
model perkuliahan yang dapat menambah
pengetahuan, keterampilan, serta membekali
kebiasaan berpikir teliti, kritis dan jujur atau
tanggung jawab para mahasiswa.
Model perkuliahan merupakan pola
kegiatan yang dirancang dan dilaksanakan
oleh dosen berdasarkan teori pembelajaran
yang dianggap tepat untuk mencapai tujuan
perkuliahanan yang telah ditetapkan dalam
kurikulum. Tokoh pembelajaran yang cukup
terkenal pada abad XX, namun teorinya saat
ini masih sangat berpengaruh di LPTK yaitu
Joice and Weil (2009 : 1) mengemukakan,
“A model of teaching is a plan or pattern
that can be used to shape curriculum (long-
term courses of studies), to design
intructional materials, an to guide intruction
in classroom and other setting.” Menurut
beliau (Joice dan Weil) dalam
mengembangkan model pembelajaran
terdapat tiga hal yang perlu dilalui, ketiga
hal tersebut yaitu menentukan pendekatan
(orientasi model), metode (desain
pembelajaran) dan teknik (prosedur yang
dilksanakan dalam kelas).
Dalam mengembangkan model
pembelajaran pengajar harus dapat
menciptakan lingkungan yang memberikan
dampak langsung (intructional effect) dan
dampak sampingan (nurturent effect).
Dampak langsung adalah dampak yang telah
diprogramkan sebagai tujuan pembelajaran,
sedangkan dampak tidak langsung atau
dampak penyerta adalah dampak tidak
diprogramkan secara langsung dalam
rancangan pembelajaran. Contoh dampak
tidak langsung dalam pembelajaran adalah
tumbuhnya sikap kejujuran, kerja sama,
demokratis, dan kritis sebagai dampak dari
model pembelajaran yang digunakan di
kelas.
Sebagai contoh, ada penelitian yang
bertujuan menemukan cara menumbuhkan
sikap logis, kritis, analitis, konsisten dan
teliti, bertanggung jawab, responsif, dan
tidak menyerah dalam pembelajaran
matematika. Peneliti mencoba menerapkan
model pembelajaran berbasis masalah
(problem based learning) dalam
pembelajaran matematika. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa model pembelajaran
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
12
berbasis masalah selain meningkatkan
kemampuan siswa dalam pembelajaran
matematika dapat pula menunjang
tumbuhnya sikap logis, kritis, analitis,
konsisten dan teliti, bertanggung jawab,
responsif, dan tidak menyerah dalam
pembelajaran matematika (Wijaya, 2014 :
1). Model pembelajaran berbasis masalah
merupakan salah satu model yang menuntut
berpikir yang cukup tinggi, karena bernalar
atau berlogika dalam model pembelajaran
tersebut sangat dituntut.
Diketahui pula penelitian yang
bertujuan menumbuhkan kemampuan
berpikir kritis para siswa. Untuk itu,
dilaksanakan penelitian dengan
menggunakan strategi pembelajaran
berbasis inkuiri dengan siklus 5 E
(engagement, explorasi, explanation,
elaborasi, and evaluation). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa strategi pembelajaran
berbasis inkuiri dengan siklus belajar 5 E
sangat signifikan dalam meningkatkan
keterampilan berpikir kritis dibandingkan
dengan strategi pembelajaran konvensional
(Asna, 2014:154). Jika dikaji tentang
strategi pembelajaran inkuiri dengan siklus
5E, pasti akan ditemukan bahwa setiap
tahapan dalam pembelajaran tersebut para
peserta didik sangat dituntut berlogika,
sehingga dapat berdampak pada tumbuhnya
keterampilan berpikir kritis.
Dalam menumbuhkan karakter,
selain melalui model pembelajaran dapat
pula melalui pengemangan media dan buku
pelajaran. Sebagai contoh, terdapat hasil
penelitian yang mencoba mengembangkan
media pembelajaran berbasis logika.
Hasilnya menunjukkan bahwa media
berbasis logika berdampak positif dalam
menumbuhkan kreativitas dan kecerdasan
anak (Sulchan, 2014 : 19). Kemudian, ada
hasil penelitian tentang penguatan karakter
di perguruan tinggi dengan cara
pengembangan buku ajar yang berbasis
pembelajaran kolaboratif (Diana, 2016).
Teori Logika
Istilah Logika berasal dari bahasa
Yunani „logos‟ artinya, sabda, pikiran, ilmu.
Secara etimologis logika adalah ilmu
tentang pikiran atau ilmu menalar. Logika
sering didefinisikan sebagai ilmu tentang
hukum-hukum pemikiran. Berlogika adalah
proses mental. Oleh karena itu, berlogika
dapat dipastikan merupakan suatu kegiatan
yang bertahap. Proses berlogika pada
pokoknya meliputi tiga langkah, yaitu
pembentukan pengertian, pembentukan
pendapat, dan penarikan kesimpulan (
Suryabrata, 2012 : 54) .
Pembentukan pengertian atau konsep
merupakan unsur paling mendasar dalam
berpikir. Manusia tidak dapat berpikir tanpa
didasari oleh kemampuan memahami
konsep yang hendak dipikirkan. Memahami
konsep atau pengertian menjadi isi pokok
berpikir. Seseorang dapat berpikir atau
menyusun jalan pikirannya hanya melalui
pemahaman konsep atau pengertian-
pengertian.
Setelah pengertian/konsep terbentuk
tahap berikutnya dalam berlogika adalah
pembentukan pendapat/pernyataan.
Membentuk pernyataan atau proposisi yaitu
meletakan hubungan antara dua buah atau
lebih pengertian. Hasil pengamatan terhadap
suatu objek atau kejadian secara umum tidak
terjadi hanya sekedar munculnya pengertian
melainkan terjadinya perangkaian
pengertian. Rangkaian pikiran itulah yang
membentuk pendapat atau pernyataan
tentang suatu objek atau kejadian.
Dari pernyataan-pernyataan yang
dimunculkan berdasarkan konsep-konsep
yang muncul dalam pikiran, tahap
berikutnya terjadi suatu proses nalar untuk
munculnya proposisi baru sebagai simpulan
atau respons terhadap objek/kejadian yang
diamati. Penyimpulan adalah kegiatan pikir
manusia, yang diawali dari pengetahuan
yang dimiliki dan berdasarkan pengetahuan
itu melakuan evaluasi atau pertimbangan
yang bergerak kepada pengetahuan baru. Di
dalam proses penyimpulan ini tindakan
penimbangan/judgement pemikiran yang
tepat merupakan syarat dasar untuk
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
13
memperoleh proposisi baru sebagai
kesimpulan yang benar.
Berlogika dalam Proses Mendengarkan
Kuliah
Tujuan utama mendengarkan adalah
memahami dan merespons pesan yang
disampaikan oleh pembicara. Untuk dapat
mencapai tujuan mendengarkan, pendengar
harus beraktivitas mental yang tinggi dalam
melaksanakan tahapan-tahapan menyimak.
Menurut Heryadi (2013), “Tahapan proses
menyimak terbagi atas hearing
(mendengar), understanding (memahami
pesan), evaluating (mempertimbangkan
pesan), dan responding (memberi tanggapan
terhadap pesan yang dipahami)”.
Pada tahap hearing, pendengar
menangkap dan mengenali rangkaian bunyi-
bunyi ujar. Jika bunyi-bunyi ujar yang
didengar itu merupakan bunyi-bunyi yang
dikenal maka akan terjadilah rangkaian
bunyi membentuk kata, frase, klausa dan
kalimat. Pada tahap ini kemampuan dasar
yang harus dimiliki pendengar adalah
kemampuan linguistik yang dapat
membangun konsep-konsep (conceptus).
Pada tahap understanding terjadi
tranformasi bunyi-bunyi ujaran ke dalam
syaraf-syaraf pendengaran, kemudian
melalui proses persepsi bunyi-bunyi itu
diterjemahkan menjadi pesan-pesan
bermakna yang dipahami. Pada tahap ini
pendengar dituntut mampu mempersepsi
konsep-konsep yang terkandung dalam
unsur-unsur bahasa lisan. Untuk
memperoleh pemahaman seorang penyimak
harus menggunakan pengetahuan linguistik
untuk mengidentifikasi bunyi ujar,
kemudian dengan menggunakan strategi
linguistiknya disertai dengan kemampuan
lain (mengusai situasi, gerak-gerik tubuh,
dan lain-lain), ia dapat mengolah bunyi-
bunyi ujar yang telah membentuk konsep
menjadi rangkaian pesan yang bermakna.
Pada tahap evaluating atau
memverifikasi pesan, pendengar dituntut
untuk mampu secara intelektual
mempertimbangkan pesan yang
diperolehnya berdasarkan pengetahuan dan
pengalamannya. Pada tahap ini dalam
kognisi pendengar terjadi proses pengujian,
penelaahan dan penilikan dari berbagai segi.
Apakah pesan yang diterimanya didukung
oleh fakta-fakta atau tidak, apakah pesan itu
baik atau jelek dan sebagainya. Yang pada
akhirnya pendengar memutuskan untuk
menerima atau menolak.
Pada tahap responding, pendengar
dituntut mampu memberi respon yang
benar-benar sesuai dengan keputusan hasil
verifikasi pesan. Respons itu dapat berupa
verbal atau nonverbal. Apabila muncul
aktivitas verbal maka aktivitas berlogika
sangat dituntut pula.
Dari uraian di atas sangat tampak
bahwa aktivitas mental berlogika dalam
kuliah sangat diperlukan. Aktivitas mental
dalam memahami konsep, memahami
hubungan konsep-konsep menjadi pesan
yang dipahami, dan kemampuan
memverifikasi pesan hingga menjadi
keputusan untuk munculnya respons terjadi
dalam proses mendengarkan kuliah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan prosedur
penelitian dan pengembangan dengan
melalui tahapan-tahapan: (1) studi
pendahuluan yang meliputi kajian teoritis
dan empiris untuk mendapatkan landasan
dalam pengembangan model pembelajaran
menyimak; (2) pembentukan model
pembelajaran menyimak; (3) uji lapangan
model yang diikuti dengan analisis dan
revisi model, (4) validasi model; dan (5)
diseminasi model.
Pada tahap studi pendahuluan
dilakukan dua kegiatan yaitu studi lapangan
dengan tujuan untuk mengenali masalah
yang ada dalam pelaksanaan perkuliahan di
Universitas Siliwangi, dan studi literatur
dalam mengkaji hakikat mendengarkan saat
proses perkuliahan dari sudut psikolinguistik
dan logika. Hasil pengkajian teoretis
diperoleh dasar pemikiran yang dijadikan
landasan dalam pengembangan model
perkuliahan pada mahasiswa FKIP
Universitas Silliwangi Tasikmalaya. Dasar
pemikiran yang diperoleh yaitu (1)
Mendengarkan adalah proses berpikir logis
dalam menangkap informasi yang didengar,
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
14
(2) mendengarkan dalam proses perkuliahan
merupakan aktivitas berpikir logis
mahasiswa dalam menangkap informasi,
menimbang, dan memberi keputusan
tentang materi kuliah yang didengarnya.
Dasar-dasar pemikiran di atas
dijadikan pertimbangan dalam menyusun
draf model. Draf model perkuliahan yang
disusun dimulai dengan draf kasar yang
masih bersifat konseptual sehingga
memerlukan pengkajian lebih seksama dan
perinci. Dari hasil pengkajian terhadap
model konseptual dapat dihasilkan model
awal yang siap untuk diuji lapangan. Model
awal yang dapat dibentuk dapat dilihat pada
diagram 1.
Diagram 1
Model Awal Perkuliahan Berbasis Logika
Untuk memperoleh model yang siap
pakai, model awal perlu diuji lapangan
terlebbih dahulu. Uji lapangan model
dilakukan dengan melalui tujuh tahapan,
yaitu: 1) melaksanakan tes awal ketelitian,
kekritisan berpikir, dan tanggung jawab
dalam mendengarkan materi ceramah; 2)
melaksanakan proses perkuliahan dengan
melalui prosedur yang telah dirancang; 3)
melaksanakan tes akhir ketelitian, kekritisan
berpikir, dan tanggung jawab dalam
mendengarkan materi perkuliahan; 4)
melakukan analisis hasil; 5) melakukan
interpretasi; 6) meminta umpan balik; dan 7)
melakukan penyempurnaan.
Setelah melalui uji lapangan,
hasilnya dievaluasi, dianalisis, dan direvisi
sehingga diperoleh model perkuliahan
berbasis logika yang efektif.
Untuk memperoleh model
Perkuliahan berbasis Logika yang konsisten
perlu pengujian kembali melalui validasi
model. Validasi model dilakukan dengan uji
lapangan kembali kepada kelompok
mahasiswa yang memiliki tingkatan yang
sama dengan jumlah yang nomal dalam
rombongan kelas. Tahapan uji validasi
dilakukan melalui tahapan yang sama
dengan pengujian sebelumnya. Hasilnya
dianalisis dan dibahas.
Hasil dari proses validasi diperoleh
model perkuliahan berbasis logika yang siap
didesiminasikan atau dipublikasikan.
Pendesiminasian dilakukan dalam bentuk
seminar yang diikuti para dosen di
Universitas Siliwangi dan publikasi pada
jurnal penelitian yang siap menerbitkan.
Variabel dan Desain Penelitian
Penyelenggaraan perkuliahan
mencakup banyak komponen, di antaranya
adalah kurikulum, dosen, mahasiswa, model
(metode) sarana pendukung, dan evaluasi
untuk menentukan hasil yang dicapai. Di
dalam penelitian ini semua aspek
perkuliahan terlibat, namun ada dua aspek
yang menjadi fokus yaitu model perkuliahan
yang digunakan dan hasil perkuliahan yang
berupa sikap (karakter akdemik) yang dapat
terbentuk oleh model perkuliahan yang
digunakan. Oleh karena itu, variabel
ORIENTASI
MODEL
- Mendengarkan adalah proses berpikir logis dalam me-nangkap yang didengar.
- Mendengarkan perkuliahan adalah upaya berpikir logis dalam menangkap, memahami, menimbang dan memberi keputusan tentang materi kuliah yang didengar.
PENENTUAN TUJUAN PEMBELAJARAN - dapat mengenali konsep-
konsep pokok perkuliahan dengan teliti
- dapat menceritakan kembali materi perkuliahan dengan tanggung jawab
- dapat merespons materi perkuliahan dengan kritis.
PENENTUAN MATERI & ALAT EVALUASI
PROSEDUR PEMBELAJARAN
PEMBEN-TUKAN MODEL
FASE 1 Pemaham
-an konsep tahapan
berlogika dalam kuliah
FASE 2 Penerapan pemahaman tahapan berpikir logis dalam menyimak a. mendengarkan kuliah
dari dosen b. memahami konsep-
konsep penting dalam materi perkuliahan
c. membuat pernyataan – pernyataan berdasarkan konsep-konsep penting
d. menceritakan isi perkuliahan dengan tanggung jawab
e. merespon isi wacana dengan pertimbangan kritis dan tanggung jawab
FASE 3
Pembahasan hasil
penerap-an fase 2
FASE 4 Pembimbingan
FASE 5 Evaluasi Hasil
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
15
penelitian ada dua yaitu model perkuliahan
berbasis logika sebagai variabel bebas, dan
hasil belajar yang berupa karakter akademik
sebagai variabel terikat. Desain penelitian
yang dikembangkan dalam diagram 2.
Diagram 2
Desain Penelitian
Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Data primer yang dibutuhkan adalah
karakter akademik (yaitu ketelitian,
kekritisan dan tanggung jawab) mahasiswa
sebagai dampak dari perkuliahan berbasis
logika. Selain data primer diperlukan pula
data pendukung (data skunder) seperti
informasi tentang aktivitas mahasiswa saat
proses perkuliahan berlangsung, serta
informasi tentang pendapat mahasiswa
mengenai perkuliahan yang telah
ditempuhnya. Untuk mendapatkan data
tersebut dilakukan dengan menggunakan
teknik pengukuran, pengamatan dan
wawancara.
Untuk merealisasikan teknik
pengumpulan data tentang karakter
akademik mahasiswa disiapkan instrumen
pengukuran ketelitian, kekritisan berpikir,
dan tanggung jawab mahasiswa. Cara
pengukuran ketelitian dilakukan dengan
pengukuran kemampuan membuat
ringkasan materi perkuliahan. Cara
pengukuran kekritisan berpikir dilakukan
dengan pengukuran kemampuan memberi
respons kritis terhadap keputusan yang telah
ditetapkan. Cara pengukuran sikap tanggung
jawab dilakukan dengan pengukuran
kemampuan memberi alasan atau solusi
terhadap respons kritis yang dibuatnya.
Untuk mendapatkan data pendukung
disiapkan instumen pengamatan tentang
aktivitas mahasiswa saat proses perkuliahan
berlangsung. Yang diamati meliputi
kreativitas, dan kesungguhan, mahasiswa
saat proses perkuliahan berlangsung.
Kemudian, untuk mendapatkan informasi
tambahan tentang motivasi mahasiswa
mengikuti kuliah dengan pola penerapan
logika digunakan instrumen wawancara.
Data yang terkumpul ada dua
kategori, yaitu data kualitatif dan data
kuantitatif. Yang tergolong data kualitatif
adalah uraian tahapan/langkah-langkah
pelaksanaan perkuliahan berbasis logika.
Yang termasuk data kuantitatif adalah skor
hasil pengukuran ketelitian, kekritisan
berpikir, dan tanggung jawab mahasiswa.
Berdasar pada dua jenis data primer
yang diperoleh, maka penganalisisan data
dilakukan dengan dua cara yaitu cara
kualitatif dan cara kuantitatif. Pengolahan
data dengan cara kualitatif dilakukan pada
pengkajian data tentang tahapan-tahapan
proses perkuliahan berbasis logika. Setiap
langkah perkuliahan yang dilalui dikaji dan
dipertimbangkan efektivitasnya sehingga
diperoleh langkah-langkah (syntax)
perkuliahan yang layak untuk dibakukan
dalam sebuah model perkuliahan. Data
kuantitatif dianalisis, dengan menggunakan
teknik statistika, seperti uji rata-rata dan uji
beda. Uji rata-rata digunakan untuk
mengetahui kecenderungan memusat skor
ketelitian, kekritisan berpikir, dan tanggung
jawab. Uji beda digunakan untuk
mengetahui kemajuan karakter akademik
(ketelitian, kekritisan berpikir, dan tanggung
jawab) mahasiswa dari sebelum dengan
sesudah perlakuan perkuliahan berbasis
logika.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Setelah melalui proses pembentukan
model koseptual, uji lapangan, revisi model,
dan uji validasi model diperolehlah hasil
penelitian yang berupa langkah-langkah
(sintax) perkuliahan berbasis logika yang
Teori Logika dalam men-
dengarkan
kuliah
Pelaksanaan Perkuliahan
Hasil
Toeri model
Per-kulia-
han
dosen mahasiswa
Proses perkuliahan
berbasis logika
Materi Kuliah
Sarana pendu kung
Karakter akademik : (ketelitian, kekritisan
& tanggung ja- wab)
landasan
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
16
telah teruji kefektifannya, serta gambaran
ringkas data skor karakter akademik
(ketelitian, kekritisan berpikir, dan tanggung
jawab) mahasiswa dari hasil uji lapangan
dan hasil uji validasi.
Langkah-langkah (sintax) model
perkuliahan berbasis logika yang telah
terbukti efektif dalam menumbuhkan
karakter akademik adalah sebagai berikut. Fase pendahuluan
Memberikan orientasi tentang perkuliahan yang
akan dilaksanakan
Fase Inti
a. mendengarkan kuliah dari dosen dengan
penuh konsentrasi;
b. memahami konsep-konsep pokok materi
perkuliahan dengan teliti (terbentuk dalam
peta konsep);
c. menceritakan kembali ringkasan materi
perkuliahan dengan teliti;
d. merespon materi perkuliahan dengan
pertimbangan kritis dan bertanggung jawab;
e. membahas/mendiskusikan hasil kerja setiap
mahasiswa;
f. memberi bimbingan khusus pada mahasiswa
yang menghadapi kesulitan.
Fase Penutup
a. merefleksi hasil perkuliahan
b. pengukuran hasil
Hasil penelitian dari uji lapangan
dan validasi model perkuliahan berbasis
logika dalam menumbuhkan karakter
akademik yang meliputi gabungan dari
karakter ketelitian berpikir, sikap kritis, dan
tanggung jawab tertera pada tablel berikut.
Tabel 1 Hasil Perlakuan Model Perkuliahan
Berbasis Logika
N
o
Sebelum Perlakuan
PBL
Setelah Perlakuan
PBL
Kat
egori
Keg
iata
n
Nil
ai
Tar
af
x1 x2 x3 ẋ y1 y2 y3 ý T
signif
1.
Uji
Lap
angan
29,9
21,2
23,9
24,4
70,2
62,0
67,0
66,4
9,2
0,0
2
Uji
Val
idas
i
30,0
18,0
20,2
22,7
75,8
72,6
74,5
74,3
20,2
0,0
Pembahasan Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian ini diperoleh
temuan-temuan yang dapat menjadi
khasanah pengetahuan dan pengalaman,
khususnya tentang pelaksanaan perkuliahan.
Temuan-temuan yang dimaksud adalah
sebagai berikut.
Teori logika sangat efektif dijadikan
landasan atau pendekatan pelaksanaan
perkuliahan di perguruan tinggi. Temuan ini
telah dibuktikan dengan terbentuknya model
Perkuliahan Berbasis Logika yang
dilaksanakan kepada mahasiswa semester
pertama FKIP Universitas Siliwangi
Tasikmalaya. Temuan ini menjadi
pendukung pandangan tentang pentingnya
kajian teori indisipliner sebagai dasar
pertimbangan dalam penetapan metode
perkuliahan. Pemahaman hakikat
mendengarkan dan hakikat proses
mendengarkan dalam perkuliahan, serta
teori logika ternyata sangat berguna sebagai
dasar pijakan (approach) dalam menetapkan
model perkuliahan di perguruan tinggi.
Dari tabel hasil perlakuan
perkuliahan berbasis logika dapat dijelaskan
bahwa model perkuliahan berbasis logika
diujicobakan dua kali yaitu uji lapangan
sebagai tahap pengujian model untuk
mencari bagian-bagian yang harus direvisi,
dan uji validasi untuk menjastifikasi
keefektifan model yang sudah direvisi. Hasil
uji lapangan pada mahasiswa kelompok
pertama dengan jumlah 30 orang diperoleh
hasil pengukuran tentang karakter akademik
(yang meliputi ketelitian berpikir, sikap
kritis, dan tanggung jawab) sebelum diberi
perlakuan memperoleh rata-rata skor 24,4
dengan kategori sangat rendah sedangkan
sesudah perlakuan memperoleh rata-rata
skor 66,4 dengan kategori cukup. Skor yang
diperoleh pada tahap uji lapangan menjadi
umpan balik untuk revisi model. Tahapan
yang direvisi dalam syntax model
Perkuliahan Berbasis Logika yaitu pada
tahap pembimbingan yang masih kurang,
sehingga dalam revisi perlu ada
penambahan aktivitas.
Setelah dilakukan revisi model
sesuai dengan hasil analisis, maka dilakukan
uji validasi model dengan melaksanakan
perlakuan perkuliahan pada mahasiswa
kelompok kedua dengan jumlah 35 orang.
Hasilnya diperoleh bahwa rata-rata karakter
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
17
akademik (ketelitian, kekritisan, dan
tanggung jawab) sebelum diberi perlakuan
diperoleh rata-rata skor 22,7 dengan
kategori rendah. Setelah diberi perlakuan
diperoleh rata-rata skor 74,3 dengan
kategori baik.
Data tersebut dijadikan dasar bahwa
Perkuliahan berbasis logika dapat
dinyatakan efektif dalam menumbuhkan
karakter akademik mahasiswa yang meliputi
ketelitian berpikir, sikap kekritis, dan
tanggung jawab. Setelah dilakukan
pengkajian ternyata dalam model
perkuliahan berbasis logika dapat
mengkolaborasikan teori belajar kognitif,
teori belajar komunikatif, teori belajar
kooperatif, teori belajar mahasiswa aktif
(student active learning theory), dan teori
belajar behavioristik. Temuan ini
mendukung salah satu asumsi teori
pembelajaran yang menyatakan bahwa
dalam proses pembelajaran, guru/dosen
sebaiknya dapat mengkolaborasikan banyak
teori pembelajaran yang disesuaikan dengan
kebutuhan. Dengan mengkolaborasikan
teori-teori belajar tersebut dapat
membangun sebuah proses perkuliahan yang
cukup variatif, sehingga dapat membuat
para mahasiswa lebih kreatif, sungguh-
sungguh, dan tumbuh motivasi belajar
sehingga mereka terhindar dari kejenuhan.
Karena model perkuliahan berbasis
logika mengkolaborasikan model kognitif
dan koperatif, maka hasil penelitian ini
secara tidak langsung dapat memperkuat
pula beberapa hasil penelitian terdahulu
yang telah membuktikan bahwa model
pembelajaran koperatif dapat berpengaruh
positif terhadap hasil belajar perilaku. Di
antaranya hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa model kooperatif
kelompok sindikat berpengaruh positif pada
tumbuhnya sikap terhadap lingkungan.
Model kelompok sindikat memiliki
kekuatan dalam mengembangkan sikap
bertanggung jawab, terutama dalam proses
belajar yang dilakukannya (Dewi, 2011: 75).
Selain itu, ada pula hasil penelitian tentang
dampak model koperatif numbered head dan
model koperatif jigsaw, yang
menyimpulkan bahwa kedua model tersebut
berpengaruh positif terhadap hasil belajar
afektif. Kedua model tersebut sangat
berfungsi untuk meningkatkan rasa
tanggung jawab, motivasi, mengembangkan
gagasan, dan kemampuan berkomunikasi
(Rahmawati, 2014 : 106). Model lainnya di
luar model koperatif yang telah diteliti
pengaruhnya terhadap tumbuhnya sikap
yaitu model discovery learning. Model ini
memiliki pengaruh yang sangat positif
terhadap motivasi belajar dan kemampuan
berpikir kritis (Rahmayanti, 2015:121).
Kemudian, ada pula hasil penelitian yang
menunujukkan bahwa kekritisan berpikir
mahasiswa dapat disokong oleh kompetensi
akuntansi. Jika keterampilan berpikir
mahasiswa mau ditingkatkan, maka
tingkatkanlah kompetensi akuntansinya
(Pujiastuti, 2013 :1).
Mahasiswa semester pertama FKIP
Universitas Siliwangi Tasikmalaya sangat
antusias dan bermotivasi tinggi diberi
perkuliahan berlandasan logika. Hal ini
terjadi karena mereka merasakan dan
menyadari kompetensi yang dipelajari
melalui Perkuliahan Berbasis Logika sangat
diperlukan dalam kehidupannya; kemudian
materi sajian tersusun secara sistematis; dan
didukung pula oleh sistem pelaksanaan
pembelajaran yang cukup bervariasi.
Temuan ini mendukung teori pembelajaran
bahwa dalam meningkatkan motivasi
belajar, dosen perlu menyajikan materi
pembelajaran yang diperlukan dalam
kehidupan pembelajar, serta urutan
penyajian materi pembelajaran harus
memiliki keterjalinan dengan baik.
Selain dari kajian pokok penelitian
yang dapat ditemukan, ada beberapa temuan
yang perlu diungkapkan, yaitu: (1)
Mahasiswa sangat cocok diberi perkuliahan
dengan model perkuliahan berbasis logika
adalah mahasiswa yang berkecerdasan baik
dan memiliki motivasi belajar yang tinggi;
(2) Usia dan jenis kelamin yang dimiliki
mahasiswa tampak tidak secara signifikan
mempengaruhi keberhasilannya dalam
mengikuti model perkuliahan ini. Temuan
hasil penelitian ini, khususnya yang
berkaitan dengan usia dan jenis kelamin
pembelajar tampak ada kontradiksi dengan
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
18
pandangan para ahli psikologi, seperti
Alfred Binet, yang terkenal dengan
keahliannya dalam pengukuran intelegensi,
kemudian Piaget yang terkenal dengan
keahliannya dalam bidang pentahapan
kematangan berpikir, selalu mengaitkan
kemampuan berpikir seseorang dengan usia
yang dimilikinya. Dari hasil kajian mereka
tergambarkan bahwa bertambahnya usia
akan seiring dengan bertambahnya
kematangan berpikir. Namun dari temuan
hasil penelitian ini dengan sumber data
mahasiswa yang berusia antara 18 tahun
sampai dengan 45 tahun ternyata usia tidak
mempengaruhi karakter mereka melalui
model perkuliahan ini.
Dari hasil penelitian ini, peneliti
hanya bisa menyatakan bahwa model
perkuliahan berbasis logika cocok diberikan
kepada peserta didik di tingkat perguruan
tinggi. Untuk tingkat pendidikan menengah
masih perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut. Sebagai contoh di antaranya adalah
di lingkungan pesantren penumbuhan
karakter (kemandirian dan kedisiplinan)
ternyata lebih cocok melalui metode
pembiasaan, pemberian nasihat, metode
pahala dan sanksi, serta metode keteladanan
dari para kiyai dan ustad (Tanshzil, 2012:1).
Kemudian, di lingkungan anak prasekolah
penumbuhan tingkah laku prososial ternyata
cocok dengan menggunakan model
pembelajaran berdasarkan permainan (Chin
& zakaria, 2015).
KESIMPULAN
Melalui tahapan metode penelitian
pengembangan yang meliputi pembentukan
model konseptual, pengujicobaan model
secara empiris, dan validasi model, maka
terbentuklah model Perkuliahan Berbasis
Logika. Tahapan (syntax) perkuliahan
dengan model tersebut pada garis besarnya
adalah a) mendengarkan kuliah dengan
penuh konsetrasi dari dosen, b) memahami
konsep-konsep pokok dalam materi
perkuliahan yang dibuat dalam bentuk peta
konsep, c) menceritakan/menuliskan
ringkasan isi perkuliahan dengan teliti, d)
merespon isi perkuliahan dengan sikap kritis
dan bertanggung jawab, e)
membahas/mendiskusikan hasil kerja setiap
mahasiswa, dan f) memberi bimbingan
khusus kepada mahasiswa yang mengha-
dapi kesulitan.
Dampak yang muncul dari sistem
interaksi model perkuliahan berbasis logika
yaitu dapat tumbuh sikap-sikap positif yang
sangat dibutuhkan oleh mahasiswa dalam
menjalani kehidupan, yang meliputi:
tumbuhnya sikap ketelitian dalam
memahami konsep dan menyampaikan
kembali materi perkuliahan yang diterima
dari dosen; kritis dan tanggung jawab
dalam menanggapi dan menyimpulkan
materi perkuliahan yang dipahaminya.
Berdasarkan temuan dan simpulan
penelitian peneliti menyampaikan 4
rekomendasi sebagai berikut. Pertama,
sebaiknya para dosen dalam melaksakan
perkuliahan yang bersifat ekspositori
(ceramah) landasilah dengan teori logika
karena selain meningkatkan pemahaman isi
kuliah juga menunjang tumbuhnya karakter
akademik. Kedua, perkuliahan di perguruan
tinggi lebih cenderung bersifat ekspositori
(model ceramah satu arah) yang lebih
diarahkan untuk mencapai sasaran
tumbuhnya pengetahuan dan keterampilan
para mahasiswa. Pemahaman seperti
demikian sebaiknya sudah ditinggalkan
karena tidak sesuai dengan tuntutan
kehidupan saat ini dan masa depan. Ketiga,
dalam melaksanakan perkuliahan sudah
saatnya para dosen menciptakan model-
model perkuliahan yang dapat menciptakan
lingkungan yang dapat membentuk karakter
yang sesuai dengan tuntutan kehidupan.
Untuk dapat menciptakan model
perkuliahan yang diharapkan dosen perlu
mengkaji teori yang dapat dijadikan
landasan pengembangan perkuliahan.
Keempat, agar temuan hasil penelitian ini
menjadi pengetahuan yang bermanfaat
dalam pengembangan model perkliahan di
perguruan tinggi, agar para peneliti dan
pemerhati pembelajaran untuk
mengembangkan lebih lanjut dalam bentuk
penelitian pada sumber data yang lebih luas
dengan tingkat/jenjang pendidikan yang
berbeda.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
19
DAFTAR RUJUKAN
Asna, Hamdatul. 2014. Implementasi
Strategi Pembelajaran Berbasis
Inquiri dengan Siklus 5E untuk
Meningkatkan Keterampilan
Berpikir Kritis. Jurnal Penelitan
Pendidikan UPI 2 (14), hlm. 154 –
162.
Chin, Lu Chung & Efendi Zakaria. 2015.
Effect of Game-Based Learning
Activities on Childeren‟s Positive
Learning and Prosocial Behaviours.
Jurnal Pendidikan Malaysia 40 (2),
hlm 159 – 165.
Dewi, I P. 2011. Perbedaan Hasil Belajar
antara Model Pembelajaran
Kelompok Sindikat dan Model
Pembelajaran Ceramah pada
Pendidikan Lingkungan Hidup”
Tesis. Tasikmalaya: PPS Universitas
Siliwangi.
Diana, P Z. 2016. Pengembangan Buku Ajar
Bahasa Indonesia Berbasis Pembel-
ajaran Kolaboratif untuk Penguatan
Pendidikan Karakter di Perguruan
Tinggi. Disertasi. Surakarta:
Program Pasca Sarjana Universitas
Sebelas Maret.
Fahinu. 2013. Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Kritis dan Kemandirian
Belajar Matemati-ka pada
Mahasiswa Melalui Pembelajaran
Generatif. Disertasi. Bandung : PPS
UPI
Heryadi, Dedi. 2013. Penerapan Teori
Berpikir Logis dalam Pengembangan
Menyimak Bahasa Indonesia.
Disertasi. Bandung : PPS
Universitas Pendidikan Indonesia.
Joice, Bruce, Marsha Weil, Emily Calkom.
2008. Model of Teaching. New
Jersey : Pearson/Allyn and Bacon
Publisher.
Kementrian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi. 2016. Permen
Ristek Dikti, Nomor 44 Tahun 2015,
tentang Standar Nasional
Pendidikan Tinggi. Jakarta : Biro
Hukum Kemenristek-Dikti.
Pujiastuti. 2013. Pengaruh Kompetensi
Akuntansi terhadap Keterampilan
Berpikir Kritis Mahasiswa. Jurnal
Penelitian Pendidikan UPI. 13 (2).
hlm 1 - 7
Rahmawati, S . 2014. Perbedaan Hasil
Belajar Siswa pada Model
Pembelajaran Koperatif Tife
Numbered Head Togather dengan
Model Pembelajaran Tife Jigsaw.
Tesis. Tasikmalaya: PPS Universitas
Siliwangi.
Rahmayanti, Ai Ade. 2015. Perbedaan
Motivasi Belajar dan Kemamuan
Berpikir Kritis antara Model
Problem Based Learning dan
Discovery Learning dengan
Pendekatan Scientific. Tesis.
Tasikmalaya: PPS Universitas
Siliwangi.
Sulchan, Ali.2014. Pengembangan Media
Pembelajaran Berbasis Logika dan
Kreativitas sebagai Peningkatan
Kecerdasan Anak Usia Dini.
Tersedia pada http//p4tksb-
jogja.com/arsip/index.php? option-
Ali Sulchan- Pengembangan media
berbasis logika.
Suryabrata, Sumadi. 2012. Psikologi
Pendidikan. Jakarta : CV Rajawali.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
20
PENGARUH CERITA PENDEK DAN PENGUASAAN KOSAKATA
TERHADAP PEMAHAMAN MEMBACA
(EKSPERIMEN DI KELAS SEBELAS MADRASAH ALIYAH DI
TASIKMALAYA JAWABARAT)
Rudi Permadi
Universitas Perjuangan Tasikmalaya [email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efek cerita pendek terhadap pemahaman
membaca, efek penguasaan kosakata terhadap pemahaman membaca, dan efek interaksi cerita
pendek dan penguasaan kosakata terhadap pemahaman membaca. Metodologi penelitian yang
digunakan adalah eksperimen. Teknik pengumpulan data adalah tes penguasaan kosakata dan
pemahaman membaca. Teknik analisis data menggunakan Anova dua jalur. Hasil penelitian
menyimpulkan ada pengaruh signifikan cerita pendek terhadap pemahaman membaca, ada
pengaruh signifikan penguasaan kosakata terhadap pemahaman membaca dan tidak ada pengaruh
signifikan interaksi cerita pendek dan penguasaan kosakata terhadap pemahaman membaca.
Berdasarkan hasil penelitian, maka diharapkan pengajar bahasa Inggris menggunakan media
pembelajaran cerita pendek dan memotivasi siswa untuk menguasai dan selalu menambah
penguasaan kosakata dalam pembelajaran bahasa Inggris.
Kata kunci: cerita pendek, penguasaan kosakata, pemahaman membaca
THE EFFECTSOF SHORT STORY AND VOCABULARY MASTERY
ON THE STUDENTS’ READING COMPREHENSION
ABSTRACT The objectives of the research are to find the effect of using short story on the students‟ reading
comprehension, the effect of vocabulary mastery on the students‟ reading comprehension, and the
interaction effect of short story and vocabulary mastery on the students‟ reading comprehension.
The research methodology used is experiment. Data collection is obtained by testing their
vocabulary mastery and reading comprehension. Data analysis usesdescriptive statistics, normality
test, homogeneity test, and two ways ANOVA to test hypothesis testing. The research results
conclude 1) There is a significant effect of short story on the students‟ reading comprehension.
This can be drawn by the result of significance value (sig) is 0.000 and Fobserved= 239.630. Because
Sig.=0.000 < 0.05 and Fobserved= 239.630 >Ftable (2.838), then Ho is refused and H1 is accepted, 2)
There is a significant effect of vocabulary mastery on the student‟s reading comprehension. This is
proved by the result of significance value (sig) is 0.000 and Fobserved= 62.190. Because Sig.=0.000
< 0.05 and Fobserved = 62.190>Ftable (2.838), then Ho is refused and H1 is accepted, 3) There is no
significant interaction effect of short story and vocabulary jointly on the student‟s reading
comprehension. This can be seen by the results of significance value (sig) is 0.563 and Fobserved=
0.341. Because Sig.=0.563 > 0.05 and Fobserved = 0.341 <Ftable (2.838), then Ho is accepted and H1 is
refused.
Keywords: short story, vocabulary mastery, reading comprehension.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
21
INTRODUCTION
Reading lets one live and travel to
various places through his imagination and
become familiar with other people and
cultures. Therefore, ideas can be transmitted
from the author‟s mind to the reader‟s mind.
Reading is an active, which does not
encompass one skill but a large number of
interrelated skills, which increase
gradually.Grabe, William and L. Stoller,
Fredricka(2002:18) point out that “Reading
is also interactive in the sense that linguistic
information from the text interacts with
information activated by the reader from
long-term memory, as background
knowledge. Reading involves an active
search for information and interaction with
the text. It requires the constant constructive
involvement of the reader in what he is
doing. It requires the use of high level
mental abilities and background
knowledge.” Nowadays, reading has
become the need for many people. It is a
medium to learn about the world and other
things that we want to know. By reading,
people can enrich their knowledge and get
written messages.
When learning reading, it is found
some problems. The first, students often feel
boring around ten minutes when the process
of learning it has just begun because the
teacher uses conventional teaching. As the
fact, they had some difficulties in
comprehending the texts. They used to read
word by word, got confused with unfamiliar
words, and did not comprehend the text
messages. The second, students were still
difficult to comprehend, determine the
meaning of unfamiliar words.
The problem on the teaching and
learning process is one of the normal
obstacles. The researcher thinks that
knowledge can be reached through teaching
learning process which involves teacher and
learner. Weil, Marsha (1972:1) stated
“Teaching as a process by which teacher
and students can create a shared
environment including set of values and
beliefs (agreements about what is
important) which is turn color their view of
reality.” Based on the case above, language
learning should be done in many ways.
According to J. McCaryty, Donald
(1968:56) “ All over the country educators
are making efforts to improve learning in
the school through the use of new and
imaginative approaches that break down
lockstep routines.”
The notions above inspire the
writer to find way out on the problems of
teaching reading. This will help the students
acquire the knowledge particularly in
reading. He thinks that short story is one of
the solutions to disappear the first teaching
reading problem, the boredom.
Learning is a process to acquire
knowledge. It needs hard work and
sometimes will make students frustrated and
get bored, so that they lose their attention to
a lesson. In this case, the use of media in
teaching- learning process is needed to
attract students‟ attention and to make
teaching- learning activities more interesting
and also effective.
The usage of short story is really
needed recently. It will improve student‟s
willingness, motivation, stimulus and even
influencing strategy to the students. The
teaching and learning will attract the
students, so it will increase the student‟s
motivation in learning. In addition, the
material will be clearer. It is easy to be
understood by the students. Besides, the
method of teaching will be vary. It is not
verbal communication occur in the class, so
the student will not boring. Moreover, the
students will do more activities in the
teaching and learning process. It has the
students to observe, do, act, analyse, and
others.
Short story helps the students to
learn the four language skills; those are
listening, speaking, reading, and writing.
According to Rocha Erkaya, Odilea
(2004:1):
Some instructors may still believe
that teaching EFL encompasses focusing on
linguistic benefits only, so eventually their
students will communicate in the target
language, others who have integrated
literature in the curricula have realized that
literature adds a new dimension to the
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
22
teaching of EFL. Short stories, for example,
help the students to learn the four language
skills (listening, speaking, reading, and
writing) more effectively because of the
motivational benefit embedded in the
stories. In addition, with short stories
instructors can teach literary, cultural, and
higher order thinking aspects.
It means that teaching by using
short story has many functions and more
effective. It helps the students to master the
four language skills (listening, speaking,
reading, and writing) easily.
The second problem of the
student‟s difficulties in learning reading is
the difficulties to comprehend, determine
the meaning of unfamiliar words. The writer
thinks that vocabulary mastery will get the
students understand easily when they do
reading. Vocabulary mastery plays a great
role in determining the success of foreign
language learning. Schmitt, Norbert
(2000:19) points out that “one of the key
elements in learning a foreign language is
mastering the L2 vocabulary. Meaning that
without having enough vocabulary, a
foreign language learner will have problems
in understanding a language and expressing
his ideas.” Besides, Notion, Paul (1990:2)
states that “learners feel that many of their
difficulties in both perceptive and
productive language use result from an
inadequate vocabulary. Students need a
productive knowledge of at least 3000 high
frequency English words in order to be able
to cope with English tasks.” It means that if
students do not have enough vocabulary,
English tasks will be frustrating as they have
to look the dictionary up in the most of time.
It is absolutely clear that learners especially
senior high students master the vocabulary.
K Baker, Scott et all. (1995:100)
states that “Most people feel that there is a
common sense relationship between
vocabulary and comprehension the
messages are composed of ideas and the
ideas are expressed in words.” Most
theorists and researchers in education have
assumed that vocabulary mastery and
reading comprehension are closely related,
and numerous studies have shown the strong
correlation between the two. There are a
number of ways how to encourage the
student‟s vocabulary development, but the
most important and effective is through
reading and comprehension. The bottom line
is that reading is still the best way for the
students to develop their vocabulary. The
secret to success is making sure the students
comprehend what they are reading. The
students think reading is simply reading
aloud the words they see on a page. This is
reading, but not necessarily on
comprehension. In order to help the
students, it is needed to be actively involved
in the students‟ reading and use their school
lessons to further challenge their vocabulary
development. By taking extra steps to help
the students build their vocabulary while
reading for school, it is important to provide
the students with the tools needed for
academic and career success. Words are the
tools for thought; the more words the
student learns, the more tools they will have
to achieve great things. By improving
students‟ vocabulary skills, their reading
comprehension will increase as well. This
studywas undertaken to explore the role of
vocabulary in readingcomprehension. There
is an assumption where a student‟s success
in grade school, high school, college and
later in his or her career is dependent almost
entirely on vocabulary.
Those notions above makes the
writer to formulate the problems, as follows:
1) Is there any effect of teaching media on
the students‟ reading comprehension at
private Islamic senior high school in
Tasikmalaya-West Java? 2. Is there any
effect of vocabulary mastery on the
students‟ reading comprehension at private
Islamic senior high school in Tasikmalaya-
West Java? 3. Is there any interaction effect
of teaching media and vocabulary mastery
on students‟ reading comprehension at
private Islamic senior high school in
Tasikmalaya-West Java?
The objectives of the research are
1) To know the effect of teaching media on
the students‟ reading comprehension at
private Islamic senior high school in
Tasikmalaya-West Java 2. To know the
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
23
effect of vocabulary mastery on the
students‟ reading comprehension at private
Islamic senior high school in Tasikmalaya-
West Java 3. To know the interaction effect
of teaching media and vocabulary mastery
on students‟ reading comprehension at
private Islamic senior high school in
Tasikmalaya-West Java?
Short Story
The short story is a kind of
literature. It is a printed material made by
people, scholars, researcher, literary writer,
etc. Short story usually tells us about many
kinds of aspect if life, like philosophy,
history, culture, religion, and region.
The short story is a literary genre.
According to Library>Refference>Wordnet
“The short story is a literary genre of
fictional prose narrative that tends to be
more concise and to the point than longer
works of fiction such as novellas (in the
modern sense of the term) and novels.” It
means that short story is a literary genre that
is not too long.
Short story is a short fictional
prose. According to
Library>Refference>Wordnet. “Short story
is a fictional prose tale of no specified
length, but too short to be published as a
volume on its own, as novellas sometimes
and novels usually are.” It means that short
story is a short fictional prose, like novel.
Furthermore, Ghasemi, Parvin and
Hajizadeh, Rasool (2011:69) states “ the
short story is a compact literary genre in
which much is left unsaid in order for the
reader to draw implication.”
The short story is a literary that can
be valuable of the language skills
development. Ghasemi, Parvin and
Hajizadeh, Rasool (2011:69) states “ the
short story as a multi-dimensional literary
genre can be profitably used in the
acquisition of various language skills. The
short story‟s distinctive feature‟s i.e. its
brevity, modernity, and variety make it
appealing and interesting to language
learners.”
From the definitions above, the
writer concludes that short story is a
fictional prose and it can be categorized as a
literature tends to be more concise and to the
point than longer works of fiction such as
novellas (in the modern sense of the term)
and novels. The short story is really short to
be published as a volume on its own, as
novellas sometimes and novels usually are
but the short story as a multi-dimensional
literary genre can be profitably used in the
acquisition of various language skills. The
short story‟s distinctive feature‟s i.e. its
brevity, modernity, and variety make it
appealing and interesting to language
learners.
The Characteristics of Short Story
In the old time, the short story
comes from the tales. It is conveyed in the
beautiful poem form. It is made to help the
people to remember the story easily.
Library>Refference>Wordnet.states
“Short stories date back to oral
story-telling traditions which originally
produced epics such as Homer‟s Iliad and
Odyssey. Oral narratives were often told in
the form of rhyming or rhythmic verse,
often including recurring sections or, in the
case of Homer, Homeric epithets. Such
stylistic devices often acted as mnemonics
for easier recall, rendition and adaptation of
the story.” It means that the short story are
from the tales (story-telling traditions).It is
conveyed to the people by using beautiful
rhythmic poem in the old time because the
people will remember it easily.
The short story is shorter than
novel. It usually describes only one incident.
It has only one setting and plot. Moreover,
the short story has a small number of
characters, and covers a short period of
time. According to
Library>Refference>Wordnet. “Short
stories tend to be less complex than novels.
Usually short story focuses on only one
incident, has a single plot, a single setting, a
small number of characters, and covers a
short period of time.” It means that short
story tells us about one event and has only
one plot and setting. It also has only a few
characters, and happened in short period of
time.
Short story has many elements
namely theme, character, setting, plot, and
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
24
conflict. The theme in a piece of fiction is its
controlling idea or its central insight. It is
the author's underlying meaning or main
idea that he is trying to convey. The theme
may be the author's thoughts about a topic or
view of human nature. The title of the short
story usually points to what the writer is
saying and he may use various figures of
speech to emphasize his theme, such as:
symbol, allusion, simile, metaphor,
hyperbole, or irony.
The second is character There are
two meanings for the word character: 1)
The person in a work of fiction.2) The
characteristics of a person. Persons in a
work of fiction - Antagonist and
Protagonist. Short stories use few
characters. One character is clearly central
to the story with all major events having
some importance to this character - he/she is
the protagonist. The opposer of the main
character is called the antagonist. The
Characteristics of a Person.In order for a
story to seem real to the reader its characters
must seem real. Characterization is the
information the author gives the reader
about the characters themselves.
The third is setting. The time and
location in which a story takes place is
called the setting. For some stories the
setting is very important, while for others it
is not. There are several aspects of a story's
setting to consider when examining how
setting contributes to a story (some, or all,
may be present in a story):
a) place - geographical location. Where is
the action of the story taking place? b) time
- When is the story taking place? (historical
period, time of day, year, etc) c) weather
conditions - Is it rainy, sunny, stormy, etc?
d) social conditions - What is the daily life
of the characters like? Does the story
contain local colour (writing that focuses on
the speech, dress, mannerisms, customs, etc.
of a particular place)? e) mood or
atmosphere - What feeling is created at the
beginning of the story? Is it bright and
cheerful or dark and frightening?
The plot is how the author arranges
events to develop his basic idea; It is the
sequence of events in a story or play. The
plot is a planned, logical series of events
having a beginning, middle, and end. The
short story usually has one plot so it can be
read in one sitting. There are five essential
parts of plot: Plot a) Introduction - The
beginning of the story where the characters
and the setting is revealed. b) Rising Action
- This is where the events in the story
become complicated and the conflict in the
story is revealed (events between the
introduction and climax). c) Climax - This
is the highest point of interest and the
turning point of the story. The reader
wonders what will happen next; will the
conflict be resolved or not? d) Falling
action - The events and complications begin
to resolve themselves. The reader knows
what has happened next and if the conflict
was resolved or not (events between climax
and denouement). e) Denouement - This is
the final outcome or untangling of events in
the story.
The last is conflict. It is essential to
plot. Without conflict there is no plot. It is
the opposition of forces which ties one
incident to another and makes the plot
move. Conflict is not merely limited to
open arguments, rather it is any form of
opposition that faces the main character.
Within a short story there may be only one
central struggle, or there may be one
dominant struggle with many minor ones.
There are two types of conflict:
1) External - A struggle with a force outside
one's self.2) Internal - A struggle within
one's self; a person must make some
decision, overcome pain, quiet their temper,
resist an urge, etc. There are four kinds of
conflict: 1) Man vs. Man (physical) - The
leading character struggles with his physical
strength against other men, forces of nature,
or animals. 2) Man vs. Circumstances
(classical) - The leading character struggles
against fate, or the circumstances of life
facing him/her. 3) Man vs. Society (social)
- The leading character struggles against
ideas, practices, or customs of other people.
4) Man vs. Himself/Herself (psychological)
- The leading character struggles with
himself/herself; with his/her own soul, ideas
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
25
of right or wrong, physical limitations,
choices, etc.
From the explanations above the
writer concludes that the characteristics of
short story are focusing only on one
incident, having a single plot and setting and
having a few characters. The five important
elements of short story are theme, character,
setting, plot, and conflict.
The short story as teaching media and its
benefit in reading comprehension
In the previous, the writer
concludes that there are two kinds of short
story, those are electronic media and simple
media. The example of simple media is
short story because it is easy to make, to get,
and to use.
The researcher believes that short
story is a short story. It helps the students to
get the knowledge, concepts, and theories
through using short story. Furthermore, it
can develop the students‟ motivation in
learning something. Therefore, the writer
concludes that short story is a short story.
Short story is a short story that can
be practiced everywhere. Reading short
story is a suggested way to be done in the
classroom. Collie, Joanne and Slater,
Stephen (1995:1) states “Reading stories in
a classroom first, rather than in armchair.
Working with other people in groups gives
you a lot of advantages: it can help each
other with the difficulties, and can share
ideas, reactions, and interpretation.”
Reading comprehension, as a
fundamental language skill, requires a
complex acquisition process which can
account for the way that the learners
comprehend what they read.
Some materials such as textbook
are needed to enhance reading
comprehension, such as word analysis,
structural analysis, dictionary use, and
learning the meaning of words from the
context. Short stories could be beneficial
since literature has the quality of being
universal and short stories will allow the
teacher to deal with human problem.
Pourkalhor, Omid and Kohan,
Nasibeh (2013:1) states
The following advantages for
pedagogical advantages of short stories over
other literary texts:
1. Short stories makes the students‟
reading task easier because it is simple
and short Give learners a better view of
other people and other cultures.
2. Requires more attention and analysis
helps students to be more creative and
3. Raise cultural awareness.
4. Reduce students anxiety and helps them
feel more relax.
5. Is good for multicultural contexts
because of its universal language.
6. Offers a fictional and interesting world
The teaching and learning process
by using short story will increase the
students‟ reading comprehension. According
to Rocha Erkaya, Odilea (2004:1) “The
results of a comparison between a group of
students that read literary texts and a second
group that read non-literary texts at a
university in Hong Kong is the group who
read literary texts showed improvement in
vocabulary and reading comprehension.” It
means that the students who use literary text
is better than the students who do not use it.
Short story will improve reading
comprehension. Ghasemi, Parvin and
Hajizadeh, Rasool (2011:69) states “ Many
ESL/EFL experts agree that the content
knowledge is an important factor in the
learning process of reading comprehension.
The short story distinctive features, i.e., its
brevity, modernity, and variety make it
appealing and interesting to language
learners and a value source for the
improvement of language learning reading
comprehension. The short story can offer
learners adequate linguistic, intellectual, and
emotional involvement and enrich their
learning experience.”
Furthermore, Ghasemi, Parvin and
Hajizadeh, Rasool (2011:69) states “ A good
number of ESL/EFL experts do agree that
content knowledge is an important factor in
the learning process of reading
comprehension. A valuable source of
knowledge is, undoubtedly, literary texts,
and more appropriately and for reading
comprehension process, the short story.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
26
Using the short story to enhance students‟
reading proficiency has another privilege.
The short story is a compact literary genre in
which much is left unsaid in order for the
reader to draw implication. Therefore, it
makes students sensitive to the hidden and
implied meaning.
Teaching Reading by Using Short Story
Many techniques has been
implemented to teach reading, one of the is
by using short story. Pourkalhor, Omid and
Kohan, Nasibeh (2013:1) states “ Reading is
not just a single skill but a combination of
many skills and processes in which the
readers interact with printed words and texts
for content and pleasure. Through reading,
one can teach writing, speaking, vocabulary
items, grammar, spelling and other language
aspects. There are some essential goals of
reading such as enabling the students to
understand the world, growing their interest,
and finding solution to their own problems.
The use of literature as a technique for
teaching both basic language skills (i.e.
reading, writing, listening and speaking) and
language areas (i.e. vocabulary, grammar
and pronunciation) is very popular within
the field of foreign language learning and
teaching nowadays. Moreover, in translation
courses, many language teachers make their
students translate literary texts like drama,
poetry courses, and short story into their
mother language.”
Short story has valuable benefit if it
is chosen in the development in language
skills, particularly in reading
comprehension. Ghasemi, Parvin and
Hajizadeh, Rasool (2011:69-70) states “
when the short story is chosen based on the
student‟s level of English proficiency, it can
offer them adequate linguistic, intellectual,
and emotional involvement and enrich their
learning experience. The short story can
provide ESL/EFL learners with a suitable
study resource which is both delightful and
instructive to improve their English
linguistics proficiency and reading
comprehension.”
There are five main parts of short
story. They are theme, character, setting,
plot, and conflict. Five important elements
of a short story are:
1. Theme
The theme is the central idea or belief in
a short story.
2. Character
A character is a person, or sometimes
even an animal, who takes part in the action
of a short story or other literary work.
3. Setting
The setting of a short story is the time
and place in which it happens. Authors often
use descriptions of landscape, scenery,
buildings, seasons or weather to provide a
strong sense of setting.
4. Plot
A plot is a series of events and character
actions that relate to the central conflict.
5. Conflict
The conflict is a struggle between two
people or things in a short story. The main
character is usually on one side of the
central conflict.
The writer concludes that the main parts
of short story are theme, character, setting,
plot, and conflict. The writer assumes if the
students regularly read by identifying the
elements of the short story, it will influence
into their reading comprehension.
In the teaching reading process, the
teacher should get the students to read short
story first. The next, they are led to identify
the theme, character, setting, plot, and
conflict. After they succeed to label all the
elements of the short story, the teacher
should explain the function why they must
know them.
Knowing the theme of the short
story, it will help the students easy to find
out the main idea on the passages
subsequently. In addition, they can
categorize what types of main ideas
available on the text.
By labeling the characters on the
short story, the students will easy to find out
to the existing characters on the passages. In
addition, the student can be able to find out
how the character‟s physical/appearance on
the passages easily. Moreover, the student is
easy to find out what the character‟s say,
think, feel, do or does on the passages. This
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
27
step will drive the students to decide the
supporting ideas on the passages.
The next step of teaching reading
by using short story based on the writer‟s
opinion is identifying setting on the short
story. This will assist the students easy to
naming the places available on the passages.
The next, it helps the student easy to
identify the time available on the passages.
The last, the students think easy to identify
the conditions available on the passages.
This benefit of this activity is the same as
labeling the character. It incubates the
students think easy to decide the supporting
ideas on the passages.
Comprehending the plot and the
conflict on the passages has some functions.
It will make the student understand the
genres, the generic structures in passages,
the structure and grammar on the passages,
the tenses, the moral value, the meaning,
comprehend the passages served.
The Nature of Vocabulary Mastery
Speaking of vocabulary mastery,
the first thing that should be explained is the
definitions of mastery since the primary goal
of vocabulary, which is mastery. According
to Allen, Robert (2000:856), Mastery is skill
or knowledge that makes one master of a
subject.
From the definitions stated
previously, mastery is someone‟s skill or
knowledge of a subject. Subject in this case
is vocabulary in a foreign language, which is
learnt by students. In addition, Harmer,
Jeremy (2002:13) points out that without
grammar very little can be conveyed,
without vocabulary nothing can be
conveyed. Meaning that the existence of
vocabulary cannot be separated by the
existence of a language. In other words, no
language exists without vocabulary.
In The World Book Encyclopedia
vocabulary is the total number of words in a
language, it is also the collection of words a
person knows and uses in speaking or
writing. Furthermore, Read, John (2000:11)
states “A basic assumption in vocabulary is
knowledge of words. A word is a
microcosm of human consciousness.
Vocabulary therefore has an important role
to help the students understand the meaning
of words.”
Referring to the concept of
mastery, vocabulary mastery is someone‟s
proficiency in using words and their
meaning appropriately in language. By
reading a text, learners will be accustomed
to looking the dictionary up, guessing the
words, and using the words in the context
properly. Good mastery of vocabulary helps
the learners express their ideas precisely. By
having many stocks of words, learners will
be able to comprehend the reading
materials, catch someone‟s talk, give a
response, speak fluently, and write some
kinds of topics. On the contrary, if the
learners are unfamiliar with the meaning of
the words by those who address them, they
will be unable to participate in conversation,
ask for the information or express some
ideas and thoughts.
From the previous statements, it
can be inferred that vocabulary is a
collection of words, which is collected
through language, conversation and a
dictionary used by people in verbal
communication. Vocabulary mastery is
someone‟s proficiency in using words and
meaning and English language which
frequently come up. Besides, vocabulary is
also important in language learning which
has to be mastered by students to develop
the language skills; especially in reading
that students should have adequate
vocabulary as a result they can understand
the reading materials.
Aspects of Vocabulary
According to Thornbury, Scott
(2002:3-9) “ There are some ways of
presenting a word meaning namely:
a) Word classes; the words play different
roles in a text. They fall into one of
eight different word classes such as
nouns, pronouns, verbs, adjectives,
adverb, prepositions, conjunction, and
determiner.
b) Word families; how words may share
the same base or root but take different
endings. A word family comprises the
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
28
base word plus its inflexions and its
most common derivatives.(e.g. play,
play + er = player, re + play = replay,
play + ful = playful).
c) Collocations; how words “couple up” to
form compounds, and how they “hunt
in packs” in the shape of multi-word
units. It is seen as part of a continuum
of strength of association: a continuum
that moves from compound words
(second-hand, record player), through
multi-word units – or lexical chunks –
(bits and pieces), including idioms (out
of the blue) and phrasal verbs (do up),
to collocations of more or less fixedness
(set the record straight, set a new world
record).
d) Synonyms; Words that share a similar
meaning. Thus: old, ancient, antique,
aged, elderly are all synonyms in that
they share the common meaning of not
young/new. Synonyms are similar, but
seldom the same.
e) Antonyms; words with opposite
meanings – like old and new.
The implication of the aspects just
mentioned in presenting a word meaning,
learning the vocabulary of a second
language presents the following implications
for teaching as stated by Thornbury, Scott
(2002:30):
a) Learners need tasks and strategies to help
them organise their mental lexicon by
building networks of association the
more the better.
b) Teachers need to accept that the learning
of new words involves a period of “initial
fuzziness”.
c) Learners need to wean themselves off a
reliance on direct translation from their
mother tongue
d) Words need to be presented in their
typical contexts, so that learners can get a
feel for their meaning, their register, their
collocations, and their syntactic
environments.
e) Teaching should direct attention to the
sound of new words, particularly the way
they are stressed.
f) Learners should aim to build a threshold
vocabulary as quickly as possible.
g) Learners need to be actively involved in
the learning of words.
h) Learners multiple exposures to words and
they need to retrieve words from memory
repeatedly.
i) Learners need to make multiple decisions
about words.
j) Memory of new words can be
reinforced if they are used to express
personally relevant meanings.
k) Not all the vocabulary that the learners
need can be taught. Learners will need
plentiful exposure to talk and text as well
as training for self-directed learning.
From the explanation stated
previously, it can be seen that so many
components in mastering vocabulary
because it consists of words, which have
special features, and when someone only
knowing the content words, without
knowing the function words, and other
components of words, he or she will never
understand English sentence in a paragraph,
or in a passage. Having lack of vocabulary
will make students difficult in expressing
their ideas; they will find many difficulties
in using language skills. In enriching
student‟s vocabulary therefore the first thing
has to do before starting lesson, students are
introduced with the new vocabulary in the
context of a passage.
As a result, vocabulary mastery is
the student‟s ability in finding out the words
meaning in a sentence or paragraph, in the
content, functional words, idioms, and also
phrasal verbs. The vocabulary mastery can
be enriched by giving a test to the students
about words implementation, labeling a
word to a picture, describing someone or
something, finding the synonyms or
antonyms from the text or the passage.
RESEARCH METHODOLOGY
The method used in this research is
experiment. Short story will be implemented
in teaching and learning process in treatment
or experiment class and conventional
method used in control class.The
conventional method uses lecturing. The
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
29
students only listens what the teacher
explained.
Variables and Design of the Research
The variables of the research consist of:
1. First Independent Variable, teaching
media (A)
2. Second Independent Variable,
Vocabulary mastery (B)
3. Dependent Variable, the students‟
reading comprehension (Y)
IndependentVariables
Dependent Variable
Diagram 1
Variables of the Research
The following is design of the
research:
Short story
Vocabulary
Mastery
Short Story
(A1)
Conventional
(A2)
High (B1) (A1B1) (A2B1)
Low (B2) (A1B2) (A2B2)
∑Total ∑A ∑B
Diagram 2
Research Design
Technique of Collecting and Analysing
Data
The primary data of the research
are test of vocabulary mastery and reading
comprehension. Both are multiple choices
test. All the questions have been examined
before for getting the validity and reliability
rules.
The research aims to analyse the
difference the score rate of the two
independent variables, therefore the he uses
the two-way ANOVA to analyse the data.
Research Findings and Discussion
Research Findings
The analysis of the students‟
reading comprehension data done by using
two-way ANOVA which the calculation
process helped by SPPSS version 20 for
windows. The following is the result of the
computation
Diagram 3
Research Findings
By seeing diagram 3, it can be
drawn the conclusion as follows:
1. There is a significant effect of short
story on the students‟ reading
comprehension
Hypothesis tested by seeing
significant coefficient. If Sig. value >
0.05 then Ho accepted and H1 is refused.
If Sig. value < 0.05 then H1 accepted
and Ho is refused
Based on the table ,the
researcher gets the result of ANOVA of
short story with sig. = 0.000 < 0.05 and
Fobserved = 239.630 >Ftable (2,838).
Therefore, there is a significant effect of
short story on the students‟ reading
comprehension
2. There is a significant effect of
vocabulary mastery on the students‟
reading comprehension
Hypothesis tested by seeing
significant coefficient. If Sig. value >
0.05 then Ho accepted and H1 is refused.
If Sig. value < 0.05 then H1 accepted
and Ho is refused
Based on the table 4.13, the
researcher gets the result of ANOVA of
vocabulary mastery with sig. = 0.000 < 0.05
and Fobserved= 62.190 >Ftable (2,838).
Therefore, there is a significant effect of
vocabulary mastery on the students‟ reading
comprehension.
3. There is not interaction effect of short story
and vocabulary mastery on the students‟
reading comprehension
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
30
Hypothesis tested by seeing
significant coefficient. If Sig. value > 0.05
then Ho accepted and H1 is refused. If Sig.
value < 0.05 then H1 accepted and Ho is
refused
Based on the table 4.13, the
researcher gets the result of ANOVA of
short story and vocabulary mastery with sig.
= 0.563 > 0.05 and Fobserved= 0.341 <Ftable
(2,87). Therefore, there is no significant
interaction effect of short story and
vocabulary mastery on the students‟ reading
comprehension.
Discussion
There are many students who are
still difficult in reading comprehension. The
teacher has main role to must help the
students who are still difficult to understand
the material given. There so many ways to
solve the student‟s difficulties and teaching
and learning process. One of the ways is by
using the teaching media. It assists the
students to achieve the material and to
achieve the teaching objective.
Teaching media means several
things, graphic, or electronic tools that can
be used to send the messages of several
objectives of teaching to the students. In
addition, media is tool to deliver message
and can stimulate thought, feeling, and
audience willingness so it can motivate them
to become attractive in teaching and
learning process (Usman, Basyi pn and
Asnawir, 2002: 11).
A good teacher must fix the
objectives of teaching to lead a well
teaching and learning process. To achieve
that objective, the teacher must consider the
students, the available facilities, situation
and condition when the students learning the
material. In addition, teaching using media
is an extraordinary method used to achieve
the goal of learning.
Someone communication skill is
influenced by the quantity and quality of his
vocabulary mastery. The more he is rich of
vocabulary mastery, the more he can
communicate well.
Then, reading comprehension is the
process or activity of taking meaning to a
text in order to obtain meaning from the
text. An individual may be said that he is
able to comprehend the text fully when he
can recognize the words and sentences of
the text, make value judgments and based on
the reading experience.
Seeing the result of the research
which supported by statistics analysis, the
normality and homogeneity test can be
obtained. It stated that the data is normally
distributed and coming from same variance
(homogenous). Because of that reason, the
research can be continued into hypothesis
testing. The following are the hypothesis
test:
1. Hypothesis 1: There is a significant
effect of teaching media on the
students’ reading comprehension. From the hypothesis testing, it is
obtained that significance value (sig) is
0.000 and Fobserved= 239.630. Because
Sig.=0.000 < 0.05 and Fobserved= 239.630
>Ftable (2.838), then Ho is refused and H1 is
accepted. It means that there is a significant
effect between A variable (teaching media)
on Y variable (students‟ reading
comprehension). Operationally, the
students‟ reading comprehension is
measured by objective test (multiple choices
with five possible answer). Theoretically, it
can be assumed that the students‟ reading
comprehension is influenced by short story
teaching media. The students who taught by
short story took some enjoyable condition in
learning than the student who taught
conventionally. They did not feel boredom
and have fun in the class because they read
some interesting short stories from all over
the countries. It enlarged their knowledge on
the literature, culture and assist them to get
the new concept of reading comprehension
by using short story. In contrast, the students
who taught conventionally has low result in
reading comprehension because they teach
by lecturing. They feel sleep and boring.
They are not active and has no new
experience on the teaching and learning
process. From the explanation above, the
researcher concludes that there is a
significant effect of teaching media on the
students‟ reading comprehension
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
31
2. Hypothesis 2 : There is a significant
effect of vocabulary mastery on the
students’ reading comprehension. From the hypothesis testing, it is
obtained that significance value (sig) is
0.000 and Fobserved = 62.190. Because
Sig.=0.000 < 0.05 and Fobserved =
62.190>Ftable (2.838), then Ho is refused and
H1 is accepted. It means that there is a
significant effect between B variable
(vocabulary mastery) on Y variable
(students‟ reading comprehension).
Operationally, the vocabulary mastery is
measured by objective test (multiple choices
with five possible answer). Theoretically, it
can be assumed that the more someone has
high vocabulary mastery, the more he can
get good result in learning reading. In
contradictory, if the student has low
vocabulary mastery, he may get lower result
of learning than the high one. From the
explanation above, the researcher concludes
that there is a significant effect of
vocabulary mastery on the students‟ reading
comprehension.
3. There is a significant interaction
effect of teaching media and
vocabulary on the students’ reading
comprehension. From the hypothesis testing, it is
obtained that significance value (sig) is
0.563 and Fobserved= 0.341. Because
Sig.=0.000 > 0.05 and Fobserved = 0.341
<Ftable (2.838), then Ho is accepted and H1 is
refused. It means that there is a significant
effect between A variable (teaching media)
and B variable (vocabulary mastery) on Y
variable (students‟ reading comprehension).
Operationally, the students‟ reading
comprehension is measured by objective test
(multiple choice with five possible answer).
Theoretically, it can be assumed that the
students‟ reading comprehension is not
influenced by short story teaching media
and vocabulary mastery. From the
explanation above, the researcher concludes
that there is no significant interaction effect
of teaching media and vocabulary mastery
on the students‟ reading comprehension.
CONCLUSION Based on the objective of the
research and the data analysis, the writer is
able to make conclusion as follows:
1. There is a significant effect of short
story on the students‟ reading
comprehension
2. There is a significant effect of
vocabulary mastery on the students‟
reading comprehension.
3. There is no significant interaction effect
of short story and vocabulary on the
students‟ reading comprehension.
Seeing the research findings above,
the writer suggests to the teacher of Private
Senior Islamic School to use short story as
teaching media to improve their students‟
reading comprehension. Furthermore, the
writer suggests that the teacher improve the
students‟ vocabulary mastery by various
kinds of technique to support not only
reading but also all English language skills.
Bibliographies
Allen, Robert.2000. The New Penguin
English Dictionary. London: Penguin
Books.
Collie, Joanne. and Slater, Stephen. 1995.
Short Stories for Creative Language
Classroom. Great Britain: Cambridge
University Press.
Grabe , William and L Stoller, Fredricka.2002.
Teaching and Researching Reading.
Longman: Pearson Education.
Harmer, Jeremy. 2002. How to Teach
Vocabulary. England: Longman.
J. Mc Carty, Donald. 1968. News
Perspectives on Teacher Education.
San Fransisco California: Jossey-Bass,
Inc. Publisher.
Read, John. 2000.Vocabulary Assessment.
Cambridge: Cambridge University
Press.
K Baker, Scott et al. 1995.Vocabulary
Acquisition: Curricular and
Instructional Implications for Diverse
Learners Technical Report: Eugene:
National Center to Improve the Tools
of Educators.
Notion, Paul. 1990. Teaching and Learning
Vocabulary. Boston: Heinle&Heince
Publisher.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
32
Schmitt, Norbert. 2000. Vocabulary in
Language Teaching. Cambridge:
Cambridge University Press.
Thornbury, Scott. 2002. How to Teach
Vocabulary. Longman: Pearson
Education Limited
Usman, Basyirudin and Asnawir. 2002.
Media Pembelajaran. Jakarta: Delia
Citra Utama.
Weil, Marsha.1972.Models of Teaching.
New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Englewood Clift.
Journals
Ghasemi, Parvin and Hajizadeh, Rasool.
2011. Teaching L2Reading
Comprehension through Short Story.
Iran: Shiraz University.
Kuswandono, Paulus. 2000. Reading as an
Active Process. Jurnal FKIP of Sanata
Dharma University, Widya Dharma.
No.1, Th. XI, October 2000.
Pourkalhor, Omid and Kohan, Nasibeh.
2013. Teaching Reading
Comprehension Through Short Stories
in Advanced Class. Iran: Department
of English Islamic Azad University.
Rocha Erkaya, Odilea. 2004. Benefits of
Using Short Story in the EFL Context.
Turkey: Eskisehir Osmangazi
University Turkey.
Internet
http://dianingpadmi.wordpress.com/eedduuc
caattiioonn/the-use-of-media-in-teaching-
learning-process/
http:library>Refference>Wordnet
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
33
PEMBELAJARAN NASKAH DRAMA MELALUI BEDAH NASKAH
Ridzky Firmansyah Fahmi
Universitas SIliwangi Tasikmalaya
ABSTRAK Pembelajaran drama sebaiknya bermula dari naskah bukan langsung dari sebuah pementasan
drama. Sebuah pementasan drama bermula dari naskah drama, itu sebabnya pengenalan dan
pembahasan drama sebagai sebuah karya sastra akan membantu proses alih wahana dari bentuk
teks bacaan menjadi bentuk tuturan panggung. Dalam pembahasan mengenai naskah drama, dialog
sebagai teks utama dalam naskah menjadi hal yang penting untuk dikaji. Makna kata atau kalimat,
maksud pengarang atas bahasa yang dituangkannya dalam bentuk dialog, serta tema dapat
ditelusuri dengan mudah dan cermat melalui proses mengkaji naskah yang di kalangan praktisi
drama lebih dikenal dengan istilah bedah naskah. Bedah naskah membantu para pihak yang
terlibat (dalam rencana pementasan) menafsirkan dengan baik maksud pengarang atas naskah yang
ditulisnya.
Kata kunci: naskah drama, bedah naskah, pembelajaran drama
DRAMA LEARNING THROUGH PLAY SCRIPT REVIEW
ABSTRACT Learning drama should be started from a script rather than directly from a staging drama. A
staging drama stems from a play, which is why the introduction and discussion of the drama as a
literary work will help the transfer of a vehicle from reading text form into a form of speech stage.
In the discussion about the plays, dialogue as the main text in the script becomes important to be
studied. Meaning of words or sentences, the author's intention over language that poured in the
form of a dialogue, and themes can be traced easily and accurately through the process of
reviewing the manuscript among the practitioners of drama better known surgical text. Surgical
manuscript to help the parties involved (in the staging plan) properly interpret the author's
intention on a script he wrote.
Keyword: play script, manuscript review, drama learning
PENDAHULUAN
Pembelajaran drama selalu
diidentikkan dengan masalah praktika. Baik
di sekolah maupun di kelompok-kelompok
teater, terdapat stereotip yang sama
mengenai pembelajaran drama. Drama
hampir selalu identik dengan sebuah seni
pertunjukan lengkap dengan segala atribut
pentasnya. Jangankan di sekolah, di
kelompok-kelompok teater pun, sedikit
sekali yang mengedepankan naskah drama
sebagai titik tolak pembelajaran. Padahal,
sebuah pertunjukan drama bermula dari
sebuah teks – teks drama – teks yang berupa
karya sastra. Itu sebabnya drama tidak dapat
dipisahkan dari segi sastranya, baik berupa
teks (naskahnya) maupun berupa teks lisan
(dialog) yang diucapkan para aktor di atas
panggung.
Pembicaraan mengenai naskah
drama memang belum sebanyak
pembicaraan karya sastra lainnya seperti
puisi atau novel. Pembicaraan mengenai
naskah drama dianggap telah dapat diwakili
dengan pengalihan bentuk dari naskah
menjadi pementasan. Alhasil, pembicaraan
pun tidak berpusat pada naskah, namun pada
segi performansi, seperti properti atau gerak
aktor. Di antara penonton drama yang
mengapresiasi sebuah pementasan drama,
sedikit sekali yang benar-benar memahami
dan memaknai dialog anatartokoh sehingga
tahu betul maksud pengarang dan tahu betul
wacana atau tema yang ingin disampaikan
pengarang yang telah ditafsirkan terlebih
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
34
dahulu oleh sutradara. Dialog aktor ialah
kunci, kunci dari makna kata, kunci dari
maksud pengarang memunculkan kata-kata
tersebut. Persoalan lingkup artistik ialah
persoalan visual yang menguatkan maksud
yang ingin disampaikan pengarang sebab
semuanya berpusat pada teks, pada naskah
drama.
Tujuan Pembelajaran Drama
Tujuan pembelajaran drama sekaitan
dengan tujuan pembelajaran sastra. BSNP
(2006:110) menetapkan tujuan pembelajaran
sastra mata pelajaran bahasa Indonesia
sebagai berikut.
a. Berkomunikasi secara efektif dan efisien
sesuai dengan etika yang berlaku, baik
secara lisan maupun tulis.
b. Menghargai dan bangga menggunakan
bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan bahasa negara.
c. Memahami bahasa Indonesia dan
menggunakannya dengan tepat dan
kreatif untuk berbagai tujuan.
d. Menggunakan bahasa Indonesia untuk
meningkatkan kemampuan intelektual,
serta kematangan emosional dan sosial
e. Menikmati dan memanfaatkan karya
sastra untuk memperluas wawasan,
memperhalus budi pekerti, serta
meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa.
f. Menghargai dan membanggakan sastra
Indonesia sebagai khazanah budaya dan
intelektual manusia Indonesia.
PEMBAHASAN
Drama
Dalam buku Dramaturgi (1993: 1),
Harymawan mengatakan drama berasal dari
bahasa Yunani yakni draomai yang berarti
bertindak, berlaku, berbuat, beraksi, dan
sebagainya. Drama lebih banyak
dihubungkan dengan karya sastra, bisa juga
berarti naskah lakon. Tjahyono (1988: 186)
menyebutkan bahwa drama dapat diartikan
sebagai bentuk seni yang berusaha
mengungkapkan hal kehidupan manusia
melalui gerak atau aksi dan percakapan atau
yang lebih dikenal dengan dialog.
Brunetire dan Balthazar Verhagen
(Toni, 2006: 17) menyebutkan bahwa drama
adalah kesenian yang melukiskan sifat dan
sikap manusia dan harus melahirkan
kehendak manusia dengan action dan
perilaku. Moulton berpendapat bahwa
drama adalah hidup yang dilukiskan dengan
gerak, menyaksikan kehidupan manusia
yang diekspresikan secara langsung.
Dapat disimpulkan bahwa drama
adalah cerita konflik manusia dalam naskah
kemudian dipentaskan pemain teater di
tempat pertunjukan dan ditonton (langsung).
Drama yang dipentaskan sebagai tontonan
atau pertunjukan inilah yang biasa disebut
dengan istilah teater.
Teater berasal dari bahasa Yunani,
yaitu teatron, yang artinya sebuah tempat
pertunjukan yang kadang dapat memuat
sekitar 100.000 penonton. Peristiwa teater
tersebut berawal dari ritual keagamaan
memuja Dewa Dyonisius (Dewa
Kesuburan). Teater dapat juga diartikan
mencakup gedung, pekerja (pemain dan kru
panggung), sekaligus kegiatannya (isi –
pentas atau peristiwanya).
Menurut Akhmad (1993:29), teater
moderen merupakan bentuk teater
nontradisional yang tumbuh di kota-kota
besar sebagai hasil kreativitas bangsa
Indonesia dalam persinggungan dengan
kebudayaan Barat, lewat teaternya. Teater
moderen bertolak dari sastra tulis, sastra
Indonesia yang berbentuk lakon dan diikat
oleh konvensi dan hukum dramaturgi.
Ikun (2006:29) mengemukakan
bahwa teater sebagai seni pertunjukan sering
menempatkan bahasa sebagai salah satu
potensi ekspresinya. Berkait dengan itu,
kehadiran dan keberadaan aktor menjadi
penting ketika ia harus mengartikulasikan
bahasa itu. Ikun (2006: 39) menambahkan
bahwa Butet menandai dua fungsi bahasa
dalam seni pertunjukan yakni sebagai
penyampai informasi dan sebagai alat untuk
menyampaikan pikiran. Melalui media
bahasa, pikiran menjadi terartikulasikan.
Adapun informasi, lebih berkait pada cerita
yang disajikan: kisahnya, konfliknya.
Menurut Butet, makna yang berada di balik
cerita itu atau pikiran-pikiran yang dibawa
oleh cerita menjadi terartikulasikan oleh
adanya bahasa.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
35
Dari pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa kekuatan drama atau
teater terletak pada bahasa – pada kata-kata
– pada dialog. Bahasa (dialog) menjadi
penyampai gagasan yang efektif dalam
drama, baik dalam konteks sebagai teks
sastra maupun dalam konteks kelisanan di
atas panggung.
Menurut Hae (2006:18) jika dalam
sastra representasi melulu bertumpu pada
bahasa, sementara pada seni lainnya, seperti
seni rupa atau film, citra visual justru hadir
setelah dipahami dan diuraikan oleh mata,
maka teater menggabungkan keduanya.
Dalam sebuah pementasan lakon kita bukan
hanya menonton serangkaian lakuan, segala
rupa, bentuk, suara, tetapi sekaligus masuk
ke dalam tindak berbahasa tertentu. Dengan
berbahasa tokoh-tokoh lakon itu bukan
hanya menghidupkan karakter masing-
masing melainkan juga melukiskan sesuatu
kepada penonton, menceritakan dan
menunjukkannya. Semua itu untuk
meyakinkan mereka bahwa dunia rekaan itu
layak dipercaya sebab ia tiruan yang paling
meyakinkan dari dunia nyata.
Atar Semi (1988: 159-161)
mengemukakan perbedaan drama dengan
jenis karya sastra lainnya.
1. Drama mempunyai tiga dimensi, yakni
dimensi sastra, gerakan, dan ujaran.
2. Drama memberi pengaruh emosional
yang lebih kuat dibandingkan dengan
karya sastra lain.
3. Bagi sebagian besar orang, menonton
drama lebih menyenangkan dan
menghasilkan pengalaman yang lebih
lama diingat dibandingkan dengan
membaca novel.
4. Drama disusun dengan suatu keterbasan.
Ia dibatasi oleh dua konvensi, yaitu:
intensitas dan konsentrasi.
5. Kekhususan drama yang amat penting
pula adalah keterbatasan pemain-pemain
secara fisik.
6. Drama memiliki keterbatasan
pemanfaatan objek material.
7. Drama dapat memiliki keterbatasan
bukan saja dari segi artistik tetapi juga
dari segi kepentasan.
8. Keterbatasan lain yang dimiliki drama
dibandingkan dengan karya sastra yang
lain adalah, bahwa drama dibatasi oleh
keterbatasan intelegensi rata-rata
penonton.
9. Drama memiliki episode dan jumlah alur
yang terbatas.
10. Naskah drama merupakan suatu
karya yang isinya melalui percakapan.
Dapat disimpulkan bahwa terdapat
hal yang membedakan antara drama dengan
karya sastra lainnya, yaitu pada segi cerita,
dialog, dan maksud pengarang. Dari segi
cerita, isinya berupa rangkaian peristiwa
yang dikaitkan secara logis dan kronologis
yang dikembangkan dengan adanya konflik.
Dalam drama, dialog menjadi elemen
bahasa yang penting dan dominan. Jika
dikaitkan dengan maksud pengarang, naskah
drama dibuat oleh pengarang dan
dimaksudkan untuk dapat dipentaskan di
atas panggung.
Drama sebagai Karya Sastra dan
Pertunjukan
Fortier (Azwar, 2002: 37)
menegaskan bahwa drama sebagai suatu
karya sastra mempunyai kekhususan
dibandingkan dengan puisi atau novel.
Kekhususan drama disebabkan karena
tujuan penulis drama tidak hanya berhenti
sampai pada tahap pembeberan peristiwa
untuk dinikmati secara imajinatif oleh para
penikmat, namun harus diteruskan dengan
kemungkinan dapat dipentaskan dalam suatu
pertunjukan. Hasanuddin (1996:2)
berpendapat bahwa selayaknya proporsi
drama ditempatkan sebagai suatu karya
yang mempunyai dua dimensi karakter,
yaitu sebagai genre sastra dan sebagai seni
lakon, peran, atau seni pertunjukan.
Meskipun drama ditulis dengan
tujuan dipentaskan, tidaklah berarti bahwa
semua karya drama yang ditulis pengarang
haruslah dipentaskan. Tanpa dipentaskan,
karya drama tetap dapat dipahami,
dimengerti, dan dinikmati. Pemahaman dan
penikmatan atas karya sastra drama tersebut
tentu lebih pada aspek cerita sebagai ciri
karya sastra, dan bukan sebagai karya seni
lakon.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
36
Pendekatan terhadap drama
dilakukan melalui dua cara, pertama drama
sebagai sebuah bentuk kesusastraan dan
kedua sebagai seni pertunjukan. Sebagai
bentuk kesusastraan, hanya memperhatikan
aspek tertulis saja atau yang biasa disebut
dengan lakon atau naskah. Sebagai karya
kreatif, drama didukung oleh beberapa hal,
antara lain kreativitas pengarangnya dan
realitas objektif. Selain itu, drama
mengandung unsur alur dan pengaluran,
tokoh dan penokohan, latar, konflik-konflik,
gagasan-gagasan, serta aspek gaya bahasa.
Drama sebagai seni pertunjukan
dibentuk oleh unsur-unsur yang
menyebabkan suatu pertunjukan dapat
terlaksana dan terselenggara. Menurut
Sapardi Djoko Damono (1983: 23) terdapat
tiga unsur yang merupakan suatu kesatuan
yang membuat drama dapat dipertunjukkan,
yaitu unsur naskah, unsur pementasan, dan
unsur penonton. Dalam unsur pementasan
ada bagian penting lagi, yaitu komposisi
pentas, tata busana, tata rias, pencahayaan,
tata suara, dan unsur sutradara serta pemain.
Jadi untuk membicarakan drama harus
ditentukan terlebih dahulu sudut yang akan
dibahas, unsur sastra atau pertunjukan, atau
kedua-duanya sebagai karya drama yang
terpadu.
Teks dramatik dalam drama
membahas segala sesuatu yang berhubungan
dengan teks lakon yang akan dipertunjukan.
Marco de Marinis (Azwar, 2002: 38)
mengemukakan pandangannya mengenai
hubungan yang tercipta antara teks dramatik
dan miss-en-scene, yaitu terwujudnya teks
drama menjadi pertunjukan. Ia
menambahkan bahwa masih terdapat
kecenderungan pada para ahli teori drama
untuk menempatkan teks dramatik pada
posisi yang lebih „prioritas‟ dalam
hubungannya dengan perwujudan teks
dramatik dalam pertunjukan, namun banyak
juga yang menganggap sebaliknya. Ia
melanjutkan bahwa sebetulnya para penulis
drama telah membayangkan bagaimana
naskah tertulisnya dapat diwujudkan pada
waktu penulis menuliskannya.
Teks pertunjukan membahas segala
hal yang berkaitan dengan pertunjukan.
Dalam hal ini, Marco de Marinis (Azwar,
2002: 28) mengatakan bahwa bila kita
membicarakan tentang suatu teks
pertunjukan, ini berarti pertunjukan teater
tersebut dapat dianggap sebagai teks.
Hubungan karya sastra sebagai
sebuah genre dapat dilihat pada bagan yang
dikemukakan oleh Arthur S. Nalan (1993:
49). Sebagai genre sastra, domain penelitian
meliputi drama, naskah, teater, dan
pertunjukan. Drama merupakan domain
seorang pengarang, naskah adalah domain
sutradara, teater adalah domain sumber
kreativitas sutradara, dan pertunjukan adalah
domain publik.
Kompleksitas adalah ciri dunia
teater, saling terikat dan saling
ketergantungan, satu saja terlepas dari
domainnya, tidak tepat dikatakan sebagai
ciri dunia teater (bagan 1); domain drama
memiliki hubungan keutuhan yang
diperlihatkan oleh lingkaran demi lingkaran
(bagan 2); domain teater merupakan
interaksi timbal balik dalam dua unikom
(khusus) kelompok; pertunjukan adalah
domain publik, tanpa publik, pertunjukan
tak berarti apa-apa, keduanya merupakan
pasangan abadi (bagan 3).
Saini K.M. (1993: 23-24)
mengatakan bahwa sebagai suatu genre,
sastra-lakon tidak semata-mata berbeda
secara anatomis dan fisiologis dari genre
sastra lainnya, melainkan juga secara
„ekologis‟. Sebuah karya sastra lakon tidak
semata-mata berbeda dari genre lain karena
kenyataan sebagian besar terdiri dari dialog,
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
37
atau karena hubungan dialog dan petunjuk-
pengarang (author’s direction). Seorang
dramawan dikelilingi oleh empat pihak yang
mungkin menjadi pembacanya, yaitu (calon)
sutradara, (calon) pemeran, (calon) penata
artistik, dan sedikit pembaca biasa.
Nalan (1993: 47-48) mengemukakan
bahwa naskah adalah domain seorang
pengajar, guru, dan master. Ketiga sebutan
tersebut adalah sebuah peranan dari seorang
sutradara yang juga seorang pengajar, guru,
dan master. Naskah adalah sumber
kreativitas sutradara. Kreativitas yang
didasari “n Ach” (singkatan dari need for
Achievement, kemampuan untuk meraih
hasil dan prestasi).
Pembelajaran Naskah Drama
Dalam kondisi normal, sebuah lakon
yang dipentaskan bersumber dari seorang
penulis lakon. Ia akan melahirkan naskah-
naskah konvensional dengan segala tertib
teknisnya, tetapi mungkin pula ia
melahirkan naskah-naskah eksperimental
dengan sosok bentuk yang lebih bebas
(Anirun, 1998: 53). Naskah drama selalu
berhubungan erat dengan kisah manusia
yang tak bisa lepas dari hukum sebab dan
akibat (Riantiarno, 2003: 15).
Anirun (2002: 56) mengungkapkan
dalam mempersiapkan sebuah pertunjukan
drama, naskah lakon adalah instansi pertama
yang berperan sebelum sampai ke tangan
para sutradara dan para aktor. Naskah lakon
dapat berdiri sendiri sebagai bacaan berupa
buku cerita, tetapi ketika naskah itu akan
dimainkan, biasanya diproses kembali
dalam format yang khusus, yang digunakan
oleh para pemain dan awak produksi.
Naskah lakon merupakan penuangan dari
ide cerita ke dalam alur cerita dan susunan
lakon. Seorang penulis lakon dalam proses
berkaryanya biasanya bertolak dari tema
cerita. Tema itu disusun menjadi sebuah
cerita yang terdiri dari peristiwa-peristiwa
yang memiliki alur jelas. Dalam
penyusunannya, penulis lakon harus
berpegang pada azas kesatuan atau unity.
Aristoteles menggariskan tiga azas kesatuan
yakni kesatuan waktu, tempat, dan lakon.
Menyikapi keterkaitan naskah drama
dan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya,
lebih lanjut Anirun (2002: 58)
mengungkapkan naskah lakon adalah
sumber ide-ide laku bagi seorang pemain
atau aktor. Fungsi pertama naskah lakon
adalah memberi inspirasi kepada para
seniman penafsir. Fungsi kedua adalah
memasok kata-kata yang harus diucapkan
oleh aktor. Itu sebabnya naskah lakon biasa
disebut buku kata-kata atau buku teks. Dari
teks dialog dan petunjuk laku, aktor
mendapatkan banyak petunjuk pola laku dan
tindakan-tindakan yang harus dilakukannya.
Menurut Anirun (2002: 59),
sutradara adalah pihak yang paling kritis
dalam menghadapi sebuah naskah. Dari
naskah yang baik, sutradara akan
mendapatkan rangsangan-rangsangan ke
arah terbukanya konsep-konsep teateral.
Sutradara akan mengkaji naskah secermat
mungkin, meliputi tema, titik pandang,
semangat, dan gaya atau bentuk. Tema
cerita adalah ide filosofis dari lakon. Tema
adalah dasar penentuan sosok lakon dalam
satu citra kesatuan. Titik pandang adalah
kecenderungan nilai-nilai subjektif yang
berkembang dari naskah menjadi kenyataan
atau realita di pentas. Semangat atau spirit
dikembangkan dari tema cerita menjadi
peristiwa-peristiwa yang hidup, yang
mampu mengembangkan semangat
penonton untuk terlibat dalam atmosfer
teateral tertentu. Gaya penampilan bertolak
dari tema, titik pandang dan semangat yang
dikembangkan melalui suatu perencanaan
dengan pola-pola pengadegan dan pola-pola
laku.
Anirun (2002: 59) mengungkapkan
dalam naskah lakon untuk panggung,
pengertian bingkai waktu dan tempat perlu
dijabarkan sebagai keharusan adanya
penyesuaian atau konsentrasi terhadap
keberadaan panggung sebagai sarana utama
penampilan lakon. Panggung dengan segala
kemungkinan tekniknya, tata cahaya, tata
suara, dan tata peralatan yang tersedia
adalah persinggahan terakhir dari karya
lakon yang dipentaskan. Untuk mencapai
efek optimal yaitu tercapainya peristiwa
teater yang ideal, para pemain harus
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
38
mendapatkan sarana laku dan peristiwa yang
didapatkan dari naskah lakon, yang harus
memenuhi kebutuhan transformasi dari
bentuk ide-ide ke dalam kenyataan laku
teater.
Pembelajaran naskah drama acap
kali terlupakan sebab naskah drama baru
dianggap dapat berbicara atau berfungsi
ketika sudah mendapatkan perlakuan alih
wahana berupa sebuah pementasan. Padahal,
dialog yang diucapkan aktor di atas
panggung, semuanya bermula dari sebuah
teks sastra. Terlebih, pembelajaran drama di
sekolah tidak terlaksana sebagaimana
mestinya disebabkan guru bidang studi yang
tidak menguasai seni peran. Sesungguhnya,
guru bidang studi tidak perlu menguasai seni
peran secara mumpuni. Seorang guru bahasa
dan sastra Indonesia idealnya sudah
menguasai masalah logika kalimat. Setiap
kalimat memiliki logikanya tersendiri,
memiliki maknanya sendiri, terlebih lagi
memiliki emosinya sendiri. Setiap dialog
yang terdapat dalam naskah dibuat dari
kalimat-kalimat tokoh yang suatu saat akan
diperankan oleh seorang aktor. Setiap dialog
tersebut memiliki maknanya tersendiri
sesuai dengan maksud yang ingin
disampaikan pengarang yang diwakili oleh
tokoh yang dibuatnya. Dialog dalam naskah
drama harus dapat diucapkan atau
disampaikan dengan tepat. Untuk dapat
menyampaikan dialog/kalimat dengan
benar, otomatis seorang aktor harus
memahami makna dialog/kalimat yang
diucapkannya. Sekaitan dengan hal tersebut,
guru bahasa Indonesia sudah semestinya
menguasai mengenai makna kalimat.
Pembelajaran naskah drama dapat
dimulai dari bedah naskah sebab drama
memiliki dimensi sebagai teks dan dimensi
sebagai pertunjukan. Pembicaraan drama
sebagai sebuah teks acap kali dikaitkan pula
dengan segi performansinya sebab
kepentingan pembuatan teks drama pada
akhirnya untuk dipentaskan. Bedah naskah
dilakukan secara bersama-sama oleh guru
dan siswa agar siswa dapat memahami
dialog yang terdapat dalam naskah drama.
Bedah naskah ialah suatu kegiatan
yang berupaya mengetahui hal-hal yang
terdapat di dalam naskah. Hal tersebut di
antaranya meliputi tema, maksud pengarang,
maksud kata atau kalimat, dan kemungkinan
konsep pemanggungannya. Bedah naskah
berfungsi untuk mengetahui seluk-beluk
mengenai teks drama. Karakter tokoh,
motivasi, konflik, termasuk gerak atau
lakuan tokoh. Bedah naskah menjadi satu
peristiwa awal yang sering dilupakan oleh
banyak kelompok teater dalam
mempersiapkan pertunjukan. Terlebih lagi
dalam pengajaran drama di sekolah. Alokasi
waktu menjadi alasan mutlak dilewatkannya
proses bedah naskah padahal sebuah
pementasan bermula dari sebuah teks. Selain
persoalan alokasi waktu, persoalan guru
yang beralasan pembelajaran naskah drama
identik dengan mementaskan drama menjadi
satu permasalahan pengajaran drama di
sekolah. Bedah teks tidak melulu selalu
membutuhkan waktu yang lama, namun
dapat disiasati dengan sekali pertemuan
untuk membicarakan hal-hal menarik atau
penting yang terdapat dalam naskah,
tentunya diawali kegiatan membaca naskah
terlebih dahulu.
Untuk memulai bedah naskah,
pertama-tama dapat memunculkan persoalan
yang dialami tokoh lalu dapat beralih pada
persoalan motivasi respon tokoh atas dialog
atau motivasi tokoh yang dilatarbelakangi
peristiwa yang telah atau akan terjadi (dalam
teks). Melalui cara seperti itu, para siswa
tergerak untuk mengetahui karakter tokoh,
motivasi dialog, dan maksud pengarang.
Kegiatan membaca naskah (reading) dapat
menjadi titik awal memahami isi naskah
yang berupa dialog dan kramagung. Dalam
menyikapi naskah drama, semua siswa
mendapatkan porsi yang sama yakni sebagai
penafsir, sebagai penerjemah teks agar dapat
menafsirkan karakter tokoh dengan benar
sehingga dapat memainkan peran sesuai
dengan yang dimaksudkan pengarang.
Pembelajaran drama di sekolah
sebenarnya bermula dari drama sebagai teks
sastra, bukan drama sebagai seni
pertunjukan. Meskipun pembelajaran drama
sebagai seni pertunjukan, namun tetap
pertunjukan tersebut bermula dari sebuah
teks/naskah. Itu sebabnya, kemampuan
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
39
menafsirkan teks dengan benar sudah
menjadi hal mutlak para calon awak pentas.
Naskah drama memiliki daya tarik yang
tidak dimiliki prosa. Jika prosa kurang bisa
diapresiasi jika dibacakan secara bergantian,
maka tidak demikian dengan naskah drama.
Beberapa siswa dapat membacakan dialog
tokoh kemudian siswa lainnya mendapat
giliran serupa. Mempelajari naskah drama
dengan cara seperti itu akan membuat siswa
merasa mempersiapkan diri untuk berpraktik
secara utuh, meskipun hanya baru pada
tingkatan membaca saja. Dalam hal ini, guru
dapat memberikan penjelasan pada bagian
kramagung yang harus menjadi perhatian
siswa sebagai calon awak pentas, dan juga
dialog yang harus diperhatikan dari segi
jeda, intonasi, tempo, dan ekspresi yang
merupakan perwujudan dari emosi, juga
makna kalimat. Melalui kegiatan bedah
naskah, siswa diajak secara bersama-sama
merumuskan karakter tokoh, latar, jalan
cerita, dan hal lainnya sebagai kristalisasi
dari kegiatan berdiskusi.
Dalam konteks pertunjukan umum
(profesional, bukan untuk kebutuhan
pembelajaran di sekolah), bedah naskah
dilakukan dengan “membongkar” naskah
secara bersama-sama. Bedah naskah diikuti
oleh sutradara, para aktor, dan para penata.
Tak jarang pula, bedah naskah diikuti oleh
tim produksi guna mendapatkan pemahaman
yang sama, terlebih untuk kebutuhan
promosi dan publikasi. Bahkan, seyogianya
bedah naskah dilakukan dengan
menghadirkan seorang dramaturg, yakni
orang yang memahami konvensi aturan
drama dan memahami naskah yang akan
dipentaskan. Seorang dramaturg bahkan
akan memberikan saran mengenai kalangan
publik yang dirasa cocok untuk
mengapresiasi pertunjukan yang sedang
dipersiapkan tersebut. Pada beberapa
kelompok teater di Indonesia, kehadiran
seorang dramaturg nyaris dirasa kurang
penting sebab fungsinya dalam hal
mengulas dan menginterpretasikan naskah
(untuk pertama kali) sudah diwakili oleh
sutradara. Itu sebabnya pada beberapa
kelompok teater di Indonesia, jarang
ditemukan keterlibatan seorang dramaturg
dalam sebuah pementasan. Beberapa
kelompok lebih memilih menghadirkan
konsultan literatur yang hanya mengulas
persoalan isi naskah tanpa mengulas
elemen-elemen lainnya dalam hal keutuhan
sebuah seni pertunjukan_pementasan.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bagian
pembahasan, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran naskah drama dapat dilakukan
dengan kegiatan bedah naskah. Melalui
bedah naskah, terjalin komunikasi yang
terpadu dan terarah untuk menafsirkan
dialog/kalimat. Melalui bedah naskah,
kesulitan dalam memahami dialog atau
menginterpretasikan karakter tokoh akan
dapat teratasi sebab terjadi diskusi secara
simultan selama proses latihan.
Bedah naskah dapat dilakukan untuk
kepentingan persiapan pementasan atau
bahkan tidak sama sekali. Bedah naskah
dapat dilakukan guna mengetahui
karakteristik atau maksud pengarang atas
pembuatan suatu naskah, tanpa harus
mengalihwahanakannya terlebih dahulu
menjadi sebuah pementasan. Bedah naskah
pun dapat menjadi solusi menumbuhkan
minat baca terhadap naskah drama pada
siswa di sekolah mengingat pengajaran
naskah drama di sekolah acap kali selalu
dikaitkan dengan penampilan tiap kelompok
dalam bentuk rangkaian pentas.
DAFTAR RUJUKAN
Akhmad, A. Kasim. (1993). “Bentuk dan
Pertumbuhan Teater Kita”. Teater
untuk Dilakoni: Kumpulan Tulisan
tentang Teater. Bandung: CV
Geger Sunten.
Anirun, Suyatna. (1998). Menjadi Aktor:
Pengantar kepada Seni Peran
untuk Pentas dan Sinema.
Bandung: Rekamedia
Multiprakarsa.
Anirun, Suyatna. (2002). Menjadi
Sutradara. Bandung: STSI Press.
BSNP. (2007). Standar Proses untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Jakarta: BSNP.
Hae, Zae. (2006). “Ihwal Kelisanan di Atas
Panggung”. Lebur 05. Edisi 05:
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
40
halaman 17. Yogyakarta: Yayasan
Teater Garasi.
Harymawan, RMA. (1993). Dramaturgi.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Saini. (1993). “Teater dan Sastra Lakon
Dasawarsa 1980-1990”. Teater
untuk Dilakoni: Kumpulan Tulisan
tentang Teater. Bandung: CV
Geger Sunten.
Saini. (1983). “Teater sebagai Lembaga
Pendidikan”. Bagi Masa Depan
Teater Indonesia. Bandung: PT
Granesia Bandung.
Nalan, Arthur S. (1993). “Domain Teater”.
Teater untuk Dilakoni: Kumpulan
Tulisan tentang Teater. Bandung:
CV Geger Sunten.
Riantiarno, Nano. (2003). Menyentuh
Teater: Tanya Jawab Seputar
Teater Kita. Jakarta: MU:3 Books.
Ikun. (2006). “Interview: Landung
Simatupang”. Lebur 05. Edisi 05:
halaman 29. Yogyakarta: Yayasan
Teater Garasi.
Ikun. (2006). “Interview: Butet
Kertaredjasa”. Lebur 05. Edisi 05:
halaman 39. Yogyakarta: Yayasan
Teater Garasi.
Tjahjono, Tengsoe Liberatus. (1988). Sastra
Indonesia: Pengantar, Teori, dan
Apresiasi. Ende: Nusa Indah.
Toni. (2006). Sarkasme Remaja dalam
Pementasan Babi-babi Disko oleh
Mainteater Bandung. Skripsi.
Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Hasanuddin. (1996). Drama dalam Karya
Dua Dimensi: Kajian Sejarah dan
Analisis. Bandung: Angkasa.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
41
ANALISIS KESALAHAN SISWA PADA PEMBUATAN KALIMAT
PASIF
Asep Rizki Mukti
Universitas Perjuangan Tasikmalaya
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kesalahan yang dibuat oleh siswa penyebab
kesulitan yang dihadapi siswa dalam membuat penelitian voice. Penelitian ini dilakukan di kelas
XI SMA Muhammadiyah Tasikmalaya. Sumber data adalah kelas XI IA2 yang terdiri dari 20
siswa dan wawancara dilakukan dengan tiga siswa untuk mengetahui kesulitan yang dialami.
Dalam pengumpulan data, penulis memberikan tes dan wawancara. Untuk menghitung data yang
diperoleh, penulis menggunakan metode deskriptif. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
'kesalahan dalam penggunaan subjek 'adalah 31,37%, sedangkan kesalahan dalam penggunaan „to
be’ adalah 34.07%, dan sebanyak 34,56% adalah kesalahan dalam penggunaan „past participle’.
Kesalahan yang sering dilakukan oleh siswa adalah pada bentuk past tense dan kalimat tanya.
Untuk menentukan jenis kesalahan siswa, penulis melakukan analisis berdasarkan jenis kesalahan:
omission, addition, misformation, misordering, dan blends. Faktor yang menyebabkan kesalahan
antara lain: overgeneralization, simplification, developmetal error, error based communication,
induced error, error of avoidance, dan error of overpro-. Secara umum, siswa membuat kesalahan
karena siswa masih tidak mengerti bagaimana membuat kalimat pasif.
Kata kunci: Analisis kesalahan, kalimat pasif, omission, addition, misformation, misordering,
blends, overgeneralization, simplification, developmetal error, communication based error,
induced error, error of avoidance, dan error of overpro-
THE ANALYSIS OF STUDENTS’ ERRORS
IN MAKING PASSIVE VOICE
ABSTRACT The aim of this research are to find out error made by the students in making passive voice and
what the causes of students‟ difficulties in making passive voice.This research was done in class
XI SMA Muhammadiyah Tasikmalaya. The data source is a class XI IA2 consisting of 20 students
and interviews were conducted with three students to know the difficulties what they
experienced.In collecting the data, the writer provides a test and interview. To calculate the data
obtained, the writer uses descriptive method.The results shows that students' errors in using the
'subject' is 31.37%, 34.07% error in using the 'to be', and 34,56% error in using 'past participle'.
Errors often made by students are in using past tense and interogative form. To determine the type
of students‟ error , the writer analyzed based on the type of error: omission, addition,
misformation, misordering and blends. Factors causing the errors: overgeneralization,
simplification, developmetal error, error based communication, induced error, error of avoidance,
and error of overpro-. In general, students make mistakes because the students still do not
understand how to make passive voice.
Keywords : Error analysis, passive voice, omission, addition, misformation, misordering, blends,
overgeneralization, simplification, developmetal error, communication based error, induced error,
error of avoidance, dan error of overpro-
INTRODUCTION
Language is a means of
communication used by humans in the
process of interaction. It is in line with the
opinion that is cited by Priestley as quoted
by Alwasilah, A. Chaedar (1993:9),
"Language is a method of conveying our
ideas to the minds of other persons; and the
grammar of any language is a collection of
observations on the structure of it and a
system of rules for proper use of it." It
means that language is a way of delivering
our ideas to the minds of others; and
grammar of any language is a set of top
review of its structure, and usage rules
system which is perfect. Based on this
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
42
opinion, a good and correct grammar effect
the language used in interaction.
As social human beings, humans can
not be separated from the process of
interaction. It is required a good and correct
grammar mastery of the language, so that
there will be no communication errors occur
in the process of interaction. By a good
communication, it will certainly produce a
good relationship as well. Students are
required to formulate a sentence correctly. It
is intended that the students can apply
English skills in their daily life. To be able
to speak and to write in English properly,
the students need to master in learning
English. One of them is mastering the
grammar.
The sentences in correct grammar will
be easy to understand, or misunderstanding
can be avoided. This statement is in line
with the opinion of Frank Palmer, as quoted
by Alwasilah, A. Chaedar (1993:31),
"Grammar is something that can be good or
bad, correct or incorrect. It is (bad),
incorrect grammar to say 'It's me', for
instance." It means that grammar is
something that can make sentences good or
bad, right or wrong. It is wrong when people
say 'It's me'. Grammar Mastery has a role in
communication. Writing sentences in
correct grammar will avoid
misunderstanding. One of the grammatical
discussions is the use of passive voice.
Passive voice is a sentence using the
subject or the culprit as the object of the
change in the active voice. In this case, the
perpetrator in the passive voice structure
turned into an object because of the change
from an active voice. In learning passive
voice needs comprehension to formulate the
words correctly, to place the words, and to
choose the right words in making passive
voice in English. The students have
difficulties in learning passive voice because
of the lack of knowledge, particularly in the
rule of language (Grammar) about passive
voice. It requires knowledge about the rules
of language, so that in learning process,
students can avoid errors.
Errors in passive voice is generally
caused by the lack of knowledge about the
rules of language (Grammar). This
statement is stated by Chomsky and Corder
as quoted by Tarigan, Henry Guntur and
Djago Tarigan (1995:143), "Kesalahan yang
diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan
mengenai kaidah-kaidah bahasa sebagai
faktor kompetensi merupakan
penyimpangan-penyimpangan sistematis
yang disebabkan oleh pengetahuan pelajar
yang sedang berkembang mengenai sistem
B2 (atau bahasa kedua) disebut „errors‟.” It
means that errors caused by the lack of
knowledge about the rules of language as a
competence factor is the systematic
deviations caused by the students‟
knowledge which is developing about the
system of L2 (or second language) called
'errors'. Competence factors also effect on
the students' knowledge and because of the
lack of students‟ competence so that
students often deviate and make errors in
using language, especially in making
passive voice which is called students'
errors.
Definitions of Active and Passive
Voice To be able to make passive voice, the
students have to learn how to make active
voice. According toRamlan (2001:139),
"Kalimat aktif adalah kalimat yang
subjeknya berperan sebagai pelaku actor."
It means that active voice is the sentence
that the subject takes the role as an actor.
Thepattern of active voice is that the subject
is put as the perpetrator. Activevoice is the
sentence that the subject of the sentence is
the perpetrators of an action. According
toSwan, Michael (2005:xvii), "The subject
of an active verb is usually the person or
thing that does the action, or that is
responsible for what happens.” The subject
in active voice has a role as an actor that
takes an action. In the active voice, there are
several patterns of words that have meaning
so as to form a series of sentences. The
subject in active voice takes an action in the
sentence.
There is passive voice besides active
voice in the sentence. According to
Thomson, A.J. and A. V. Martinet
(1986:263), "The passive of an active tense
is formed by putting the verb „to be‟ into the
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
43
same tense as the active verb and adding the
past participle of the active verb.” Passive
voice from active voice is the tense whichis
formed by putting the verb „to be‟ into the
same tense as the verb and adding the past
participle of the active verb. Passive voice
uses the past participle and adding „to be‟ so
that becoming different sentences pattern
with active voice. Whereas passive voice
according toSwan, Michael (2005:xxii),"A
passive verb form is made with be + past
participle, the subject of a passive verb form
is usually the person or thing that is affected
by the action of the verb." It means that
passive participle is a verb phrase that
serves as a form of adjective in a passive
sense (ending -ed) it does not irregular.
Based on these definitions, the
researcher concludes that the passive voice
is a sentence that has verb form as subject
and the subject is affected by the action of
the verb that adds to be and past
participle.It is produced as a change in the
active voice that uses the subject as an actor.
Forms of Passive Voice
The following chart shows the passive form
of the various tenses:
Table 1.1 Various of Passive Voice Forms
From the chart above, the researcher concludes that not all of the active forms
can be changed into passive forms, they are:
Present Perfect Continuous, Past Perfect
Continuous, Future Continuous, Past Future
Continuous, Future Perfect Continuous, and
Past Future Perfect Continuous.
There are many kinds of passive
forms, According to Thomson, A.J. and A.
V. Martinet (1986:263), “The subject of the
active verb becomes the „agent‟ of the
passive verb, the agent is very often not
mentioned, when it is mentioned it is
preceded by by and placed at the end of the
clause.” They divide kinds of passive forms
into 5 forms, as follows:
1) Examples of present, past and perfect
passive tenses:
Active: We keep the butter here.
Passive: The butter is kept here
Active: They broke the window.
Passive: The window was broken.
Active: People have seen wolves in
the streets.
Passive: Wolves have been seen in the
streets.
2) The passive of continuous tenses
requires the present continuous forms of
to be, which are not otherwise much
used:
Active: They are repairing the bridge.
Passive: The bridge is being repaired.
Active: They were carrying the injured
player off the field.
Passive: The injured player was being
carried off the field.
Other continuous tenses are exceedingly
rarely used in the passive, so that the
sentences such as:
They have/had been repairing the road
and
They will/would be repairing the wood.
Are not normally put into passive.
3) Auxiliary + infinitive combinations
are made passive by using a passive
infinitive:
Active: You must/should shut these
doors.
Passive: These doors must/should be
shut.
Active: They should/ought to have told
him.
(Perfect Infinitive Active)
Passive: He should/ought to have been
told.
(Perfect Infinitive Passive)
4) Other Infinitive Combinations
Verbs of liking/loving/wanting/wishing
etc. + object + infinitive form their
passive with the passive infinitive:
Active: He wants someone to take
photographs.
Passive: He wants photographs to be
taken.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
44
With verbs of
command/request/advice/invitation +
indirect object + infinitive we form the
passive by using the passive form of the
main verb:
Active: He invited me to go.
Passive: I was invited to go.
But with
advise/beg/order/recommend/urge +
indirect object + infinitive + object we
can form the passive in two ways: by
making the main verb passive, as above,
or by advise etc. + that .... should +
passive infinitive:
Active: He urged the Council to reduce
the rates.
Passive: The Council was/were urged to
reduce the rates or
He urged that the rates should be
reduced.
Agree/be anxious/arrange/be
determined/determine/decide/
demand + infinitive + object are
usually expressed in the passive by
that.... should. As above:
Active: He decided to sell the house.
Passive: He decided that the house
should be sold.
5) Gerund Combinations
Advise/insist/propose/recommend/sug
gest + gerund + object are usually
expressed in the passive by that....
should. as above:
Active: He recommended using bullet-
proof glass.
Passive: He recommended that bullet-
proof glass should be used.
It/they + need + gerund can also be
expressed by it/they/ + need + passive
infinitive. Both forms are passive in
meaning.
Other gerund combinations are
expressed in the passive by the passive
gerund:
Active: I remember them taking me to
the zoo.
Passive: I remember being taken to the
zoo.
(Thomson, A.J. and A. V. Martinet
1986:263)
Based on the descriptions above, not all
of the tenses can be changed into
passive forms, and there are several
forms that have functions as passive
forms.
Definitions of Error Analysis
Error is a deviance caused by some
failures that can not be realized. According
to Corder, S.Pit as quoted by James, Carl
(1998:79), "Errors are the result of some
failures of performance."Therefore, students'
errors are the errors that are resulted from
the students‟performance. In linguistic
studies, the error is a failure in the process
of learning a languageresulted from an
incident, background, nature, and causes of
failure itself. According to Edge as quoted
by James, Carl (1998:80), "Errors are wrong
forms that the pupil could not correct even if
their wrongness were able to be pointed
out." Errors can not be realized by the
students and it can not be self-corrected.
There are differences between error and
mistake, According to James, Carl
(1998:83), “Mistakes can only be corrected
by their agent if their deviance is pointed out
to him or her.” If somebody does a mistake
then it can be corrected by self and it can be
realized, but it is different with error,
“Errors can not be self-corrected until
further relevant (to that error) input (implicit
or explicit) has been provided and require
further relevant learning to take place before
they can be self-corrected.” Error can not be
corrected by self and realized then it needs
learning to correct the error.
In an appearance and case
studies,error can be describedby a mistake
in applying the theory. According toCorder,
S. Pit (1981:36), "Errors are described by
the application of linguistic theory to the
data of erroneous utterances produced by a
learner or a group of learners." Mistake and
error can be found from the linguistic
theories used by students who may cause a
failure.
Error analysis is an analysis of errors
conducted to determine students' difficulties
in learning subject. According to Corder,
S.Pit (1981:45), “The theoretical aspect of
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
45
error analysis is part of the methodology of
investigating the language learning
process.” In this case, error analysis has role
to find out the students‟ errors especially in
language learning process particularly in
English.
From the discussions above, it can
be concluded that the error is the deviance
due to the failures caused by thelinguistic
theory applied, and errors occur in
communication unconsciously. To find out
the students‟ errors, it uses error analysis
particularly in language learning in English.
Based on the discussions above, the
researcher concludes that the errors of
students in using passivevoice can be
analysed because it is directly related to the
function of grammarused in terms of
morphology and syntax that
haverelationship with linguistics. The
analysing of the errors can use the theory
that emphasizes on the function of linguistic
and grammar.
Subtypes of Error
There are several indicators in the
error analysis, which consists of error
subtypes. According to Dulay, Burt, and
Krashen, as quoted by James, Carl
(1998:106), there are five different subtypes
that are more complete. They are:
a. Omission
This is to be distinguished from ellipsis
(E), and from zero (Z), elements which
are allowed by the grammar (indeed are
powerful grammatical resources),
whereas omission is ungrammatical. it
tends to affect function words rather than
content words at least in the early stages.
b. Addition
This manifestation of error, Dulay, Burt,
and Krashen suggest, is the result of all-
too-faithful use of certain rules, and they
suggest there are subtypes. first,
regularization, which involves
overlooking exceptions and spreading
rules to domains where they do not
apply, for example producing the regular
buyed for bought.
c. Misformation
This is Dulay, Burt, and Krashen's third
category, and again they identify three
subtypes. they define misformation as
use of the wrong form of a structure or
morpheme, and give examples like: i
seen her yesterday.
d. Misordering
This category is relatively
uncontroversial. Part of linguistical
competence, in addition to selecting the
right order. Some languages have stricter
word-order regulation than others.
e. Blends
There is one category that complements
the Target Modification taxonomy. It is
typical of situations where there is not
just one well-defined target, but two. The
learner is undecided about which of these
two targets he has 'in mind'. In such
situations the type of error that
materializes is the blend error, sometimes
called the contamination of cross-
association or hybridization error.
Blending is exemplified in which arises
when two alternative grammatical forms
are combined to produce an
ungrammatical blend „according to
Erica's opinion.‟
Based on the subtypes of errorabove
, it can be concluded that the error is
occurred because of some indicators that can
lead to errors. Mistake usually occurs in the
placement, preparation, selection, and use of
the theory applied to make a passive voice.
Factors Influencing Error
Errors in the performanceare caused
by the failure as the effect ofthe errors,the
nature, appearance, incidence,and
educationalbackgrounds. According
toSelinker as quoted by Tarigan,
HenryGuntur and Djago Tarigan
(1995:171),
Kesalahan interlingual yaitu kesalahan
yang diperkirakan sebagai akibat kesalahan
interlingual transfer bahasa dengan yang
dikategorisasikan sebagai:
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
46
1) Overgeneralization
Kesalahan yang disebabkan oleh
perluasan kaidah-kaidah bahasa sasaran
pada konteks-konteks yang tidak tepat.
2) Simplification
Kesalahan yang diakibatkan oleh reduksi
atau pengurangan yang berlebihan.
3) Developmental Error
Kesalahan yang mencerminkan tahap-
tahap yang terjadi dalam perkembangan
linguistik.
4) Communication Based Error
Kesalahan yang diakibatkan oleh siasat-
siasat komunikasi.
5) Induced Error
Kesalahan yang berasal dari pengurutan
dan penyajian unsur-unsur bahasa
sasaran.
6) Error of Avoidance
Kesalahan yang diakibatkan oleh
kegagalan yang menggunakan tipe-tipe
tertentu ciri-ciri bahasa sasaran karena
adanya kesukaran yang terasa.
7) Error of Overpro-
Kesalahan yang diakibatkan oleh
penggunaan ciri-ciri bahasa sasaran
yang benar tetapi dipakai terlalu sering.
It means that:
Interlingual errors are errors that expected as
a result of language transfer interlingual
errors with a categorized as follows:
1) Overgeneralization
Errors caused by the expansion rules of
the target language in contextsthatare
not appropriated.
2) Simplification
Errors caused by the reduction or
reduction of overload.
3) Developmental Error
Errors that reflect the stages that occur
in linguistic development.
4) Communication Based Error
Errors caused by the tricks of
communication.
5) Induced Error
Errors come from the sorting and
presentation of the elements of the
target language.
6) Error of Avoidance
Errors caused by failure to use certain
types of characteristics of the target
language because of the difficulties that
felt.
7) Error of Overpro-
Errors caused by the use of the
characteristics of the correct target
language which is right but used too
often.
Erros can be corrected if there is no
intention to change it and certainly have the
ability in linguistic theory used to make
passive voice and to use it properly and
well. So that the errors will not be happened
in applying language particularly in using
passive voice
RESEARCH METHODOLOGY
In this research, the researcher uses
the descriptive method to know the
difficulties faced by the students in using
passive voice. This method is used to
analyse the errors faced by the students in
using passive voice.
Technique of Collecting the Data
To get the complete data, the
researcher uses test and interview. Test is
used to find out the students‟ errors in using
passive voice. The type of test used is
subjective test. The test consists of 10
numbers about passive voice that is
converting tests. Interview is used to get the
data about students‟ difficulties more
complete in using passive voice. The
interview is done by recording interviews.
In doing interview the researcher chooses 3
students to be interviewed, they consist of 1
student who gets the highest mark, 1 student
who gets medium mark, and 1 student who
gets the lowest mark. The interview consist
of 3 questions.
Data and Source of the Data
Data in this research are obtained
from the result of the testand interview
about the difficulties faced by students in
using passive voice.In this research, the
researcherconductes a research on the
subject of the research to obtain the desired
data. In this research, the researcher takes
the students in grade XI IA2 consisting of
20 students and 3 students to be interviewed.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
47
This research was conducted in
August 2011 in class XI SMA
MuhammadiyahTasikmalaya.
Technique and Analysis of the Data
In this research, the researcherclassifies the
students' errors in using passive voice in two
general categories, namely in terms of the
use of„to be‟ and „past participle‟.
Furthermore, the researcher uses percentage
formulafrom Ali, Mohammad (1985:184):
P = x 100%
Where:
P :Percentage of the students‟ errors of
each category.
N :Total numbers of the students‟
errors of each category.
N : Total numbers of the students‟
errors.
Furthermore,the researcheridentifies,
analyses and classifies the responses and the
questionnaire based on the reasons of the
students‟ difficulties in usingpassivevoice.
To determine the types of students‟
errors, the researcher uses the error indicator
as follows:
1. Omission is the type of error that students
make the words disappear.
2. Addition is the type of error that students
add the words in the sentence.
3. Misformation is the type of error that
students can not select the correct words
to make the sentence.
4. Misordering is the type of error that
students can not select the right forms to
use in the right context.
5. Blends is the type of error that students
are fail to make a clear choice in
producing structure of the sentence.
Meanwhile, to find out the cause of
the students‟ errors, the researcher uses the
following indicators of error analysis:
1. Overgeneralization is factor of the error
that occurs because of the expansion of the rules of the target language that are
not appropriated.
2. Simplification is factor of the error
caused by overload reduction.
3. Developmental Error is factor of the error
that reflect the stages occur in linguistic
development.
4. Communication Based Error is factor of
the error caused by the tricks of
communication.
5. Induced Error is factor of the error comes
from arrangement and presentation of the
target language elements.
6. Error of Avoidance is factor of the error
caused by the failure to use certain types
of the characteristic of the target
language.
7. Error of Overpro- is factor of the error
caused by the use of the characteristics of
the correct target language.
To make the data easy to analyse, the
researcher makes some codes, as follows:
Table 2.1
The Coding of the Data
The uses of coding are (1) to ease the
identification of phenomenon, (2) to ease
the calculation of the frequency of existing
phenomenon, (3) to show the tendency of
collected data from the frequency of existing
code, and (4) to help in arranging categories
and subcategories. Steps of the Research
In doing this research, the researcher
takes the following steps:
1. Formulating the problem and the aim
of the research;
2. Determining the data and source of the
data;
3. Makingthe research instruments;
4. Giving tests to the sample groups;
5. Collecting test results and identifying
the mistakes made by students;
6. Giving an interview to find out the
difficulties faced by students;
7. Analysing the data of test results;
8. Analysing the result of interview;
9. Makingthe research report.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
48
RESEARCH FINDINGS AND
DISCUSSION
After analysing the data, the
researcher gets the result of this research, as
follows:
1. The percentage of the students‟ errors
in using „subject‟ in making passive
voice is as follows:
P = x 100%
= x 100%
= 31.37%
2. The percentage of the students‟ errors
in using „to be‟ in making passive
voice is as follows:
P = x 100%
= x 100%
= 34.07%
3. The percentage of the students‟ errors
in using „past participle‟ in making
passive voice is as follows:
P = x 100%
= x 100%
= 34.56%
Based on the research result above,
the highest error is in using „past participle‟
(34.56%), medium error is in using „to be‟
(34.07%), and the lowest error is in using
„subject‟ (31.37%). This result indicates that
the students‟ understanding in making
passive voice is still weak.
Furthermore, the researcher presents
the errors made by the students and the
factors causing the students to make error in
using passive voice are as follows:
Question number 1 We usually do the homework together.
There are 18 students who make
error in answering this number. It means
that 2 students answer it correctly.
Incorrect answer : *The homework
usually did together by we.
Correct answer : The homework is
usually done by us together.
The type of error made by the students are
omission and misformation. Omission
occurs because the students do not use „to
be‟ (is). Misformation occurs because the
students are wrong to select the correct verb
„did‟ it should be „done‟. The factors
causing the errors are simplification,
induced error, and error of avoidance.
Simplification is caused by the overload
reduction. The students do not use „to be‟
(is) in making passive voice. Induced error
is caused by the arrangement and
presentation in making sentence. The
students arrange and presentate passive
voice incorrectly. Error of avoidance is
caused by the failure and difficulty in using
certain types of the characteristics of the
target language. The students do not use „to
be‟ and they are wrong to select the word
„did‟ it should be „done‟, and they are wrong
to use the subject „we‟ it should be „us‟.
Question number 2 Did you put your shoes in the shelf?
All students make error in answering this
number.
Incorrect answer : *Did your shoes
put by you in the shelf?
Correct answer : Are your shoes put
by you in the shelf?
The type of error made by the students is
omission. Omission occurs because the
students do not use „to be‟ (are). The factors
causing the error is simplification.
Simplification is caused by overload
reduction. The students do not use „to be‟
(are) in making passive voice.
Question number 3 Where did they sell the book?
All students make error in answering this
number.
Incorrect answer : *Where did the
book sold by you?
Correct answer : Where was the book
sold by you?
The type of error made by the students is
omission. Ommision occurs because the
students do not use „to be‟ (was). The
factors causing the error is simplification.
Simplification is caused by overload
reduction. The students do not use „to be‟
(was) in making passive voice.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
49
Question number 4 Does she write the letter every day?
There are 19 students who make error in
answering this number. It means that there is
only one student answer it correctly.
Incorrect answer : *Does the letter is
written by her every day?
Correct answer : Is the letter written
by her every day?
The type of error made by the students is
addition. It occurs because the students add
the words „does‟. The factors causing the
errors are induced error and developmental
error. Induced error is caused by wrong
arrangement and presentation of the
sentence. The students are wrong to arrange
the sentences into passive voice.
Developmental error is caused by the steps
that occur in linguistic development. The
students add the word „does‟ that should not
be used in making passive voice.
Question number 5 They offered me a new job last week.
There are 13 students who answer this
number correctly. It means that 7 students
make error in answering it.
Incorrect answer : *A new job is
offered by them last week.
Correct answer : A new job was
offered by them last week.
The type of error made by the students is
misformation because the students are
wrong in selecting „to be‟ (is). It should be
past form (was) The factor causing the error
is overgeneralization. It is caused by the
expansion rules of the target language in
contexts that are not appropriated. The
students should make passive voice in past
form not in present form.
Question number 6 My mother always makes me a cup of tea
every morning.
There are 5 students who make error in
answering this number. It means that 15
students answer it correctly.
Incorrect answer : *My mother is
always makes me a cup of tea
every morning.
Correct answer : A cup of tea is
always made by my mother every
morning.
The type of error made by the students are
addition and misformation. Addition occurs
because the students add „to be‟ (is).
Misformation occurs because the students
are wrong to select the verb „makes‟ it
should be „made‟. The factors causing the
errors are induced error, error of avoidance,
and developmental error. Induced error is
caused by wrong arrangement and
presentation in selecting the characteristics
of target language. The students are wrong
to arrange the sentences into passive voice.
Error of avoidance is caused by the
students‟ failure to use certain types in the
target language characteristics because of
the difficulties that they feel. The students
do not change the sentences into passive
voice. Developmental error is caused by the
steps that occur in linguistic development.
The students add „to be‟ (is) that should not
be used.
Question number 7 He didn‟t borrow me a pen last week.
There is only one student who answers this
number correctly. It means that there are 19
students make error in answering it.
Incorrect answer : *A pen was didn‟t
borrow me by him last week.
Correct answer : A pen was not
borrowed by him last week.
The type of error made by the students are
addition and misformation. Addition occurs
because the students add the word „did‟.
Misformation occurs because the students
are wrong to select the verb „borrow‟ it
should be „borrowed‟. The factors causing
the errors are overgeneralization,
developmental error, and induced error.
Overgeneralization is caused by the
expansion rules of the target language in the
contexts that are not appropriated. The
students should not add the word „did‟ in
making passive voice. Developmental error
is caused by the steps that occur in linguistic
development. The students add the word
„did‟ that should not be used because there
is „to be‟ (was). Induced error is caused by
the error of arrangement and presentation of
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
50
the target language elements. The students
are wrong to arrange the sentences into
passive voice.
Question number 8 She didn‟t bring my bag last month.
There are 18 students who make error in
answering this number. It means that there
are only 2 students answer it correctly.
Incorrect answer : *My bag was
didn‟t bring by her last month.
Correct answer : My bag was not
brought by her last month.
The type of error made by the students are
addition and misformation. Addition occurs
because the students add the word „did‟.
Misformation occurs because the students
are wrong to select the verb „bring‟ it should
be „brought‟. The factors causing the errors
are overgeneralization, developmental error,
and induced error. Overgeneralization is
caused by the expansion rules of the target
language in contexts that are not
appropriated. The students should not add
the word „did‟ in making passive voice.
Developmental error is caused by the steps
that occur in linguistic development. The
students add the word „did‟ that should not
be used because there is „to be‟ (was).
Induced error is caused by the error of
arrangement and presentation of the target
language elements. The students are wrong
to arrange the sentences into passive voice.
Question number 9 I always use a car to go to campus.
There are 11 students who answer this
number correctly. It means that there are 9
students who make error in answering it.
Incorrect answer : *I always use a car
to go to campus.
Correct answer : A car is always
used by me to go to campus.
The type of error made by the students are
omission and misformation. Omission
occurs because the students do not use „to
be‟ (is). Misformation occurs because the
students are wrong to select the verb „use‟ it
should be „used‟. The factors causing the
errors are simplification, induced error, and
error of avoidance. Simplification is caused
by overload reduction. The students do not
use „to be‟ (is) in making passive voice.
Induced error is caused by error of
arrangement and presentation of the target
language characteristics. The students are
wrong to arrange the sentences into passive
voice. Error of avoidance is caused by the
failure to use the certain types of the target
language characteristics because of the
difficulties that feels. The students do not
change the sentences into passive voice.
Question number 10 Do they buy him a bread?
All students make error in answering this
number.
Incorrect answer : *Do the bread is
bought by them?
Correct answer : is the bread bought
by them?
The type of error made by the students is
addition. Addition occurs because the
students add the word „do‟. The factors
causing the errors are developmental error
and induced error. Developmental error is
caused by the steps that occur in linguistic
development. The students should not add
the word „do‟ because there is „to be‟ (is) in
making passive voice. Induced error is
caused by error of arrangement and
presentation of the target language elements.
The students are wrong to arrange the
sentences into passive voice.
Furthermore, to find out the students‟
difficulties in using passive voice, the
researcher presents the results of interview
are as follows:
1. Apakah anda dapat memahami materi
tentang passive voice? (Do you
understand the material about passive
voice?)
R1 : Saya mengerti tapi selanjutnya saya
lupa lagi (I understand but henceforth I
forget it).
R2 : Saya cukup mengerti (I
understand).
R3 : Saya mengerti, tapi kalau sudah
terlalu lama saya lupa lagi ( I
understand, but if it takes too long, I
forget it).
2. Apakah anda menemukan kesulitan
dalam mengerjakan tes tentang passive
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
51
voice? (Do you find difficulty in doing
the test about passive voice?)
R1 : Ada beberapa soal yang tidak bisa
dipahami. (There are some questions that
can not be understood).
R2 : Kesulitannya yaitu kurang
memahami. (The difficulty is my less
understanding).
R3 : Saya bingung dalam menggunakan
verb. (I am confuse in using the verb).
3. Apa kesulitan anda dalam menggunakan
passive voice? (What is your difficulty in
using passive voice?)
R1 : Terkadang ada beberapa kalimat
yang tidak bisa dipahami. (Sometimes
there are some sentences that can not be
understood).
R2 : Dalam penggunaan verb dan to be.
(In using verb and to be).
R3 : Dalam penggunaan rumus passive
voice. (In using the formula of passive
voice).
From the result of the interview, it
shows that most of the students still find the
difficulties in using passive voice, especially
in using „past participle‟ and „to be‟ because
they do not understand the rules of using
passive voice.
Based on the research result above,
the researcher gets the percentage of the
students‟ errors in using „subject‟ (31.37%),
the percentage of the students‟ errors in
using „to be‟ (34.07%), and the percentage
of the students‟ errors in using „past
participle‟ (34.56%). The students still find
difficulties in making passive voice
especially in using „subject‟, „to be‟, and
„past participle‟. It proves that their ability
in understanding passive voice is still weak.
From the result of interview, all
respondents state that they still find
difficulties in using „subject‟, „to be‟, and
„past participle‟ in making passive voice. It
is proven by the test result that they still
make some errors in using „subject‟, „to be‟,
and „past participle‟. In answering the test
item number 1, most of the students (18
students) answer this number incorrectly, it
means that there are only two students who
answer correctly. The question is „We
usually do the homework together‟. The
students answer „The homework usually did
together by we‟. It should be „The
homework is usually done by us together‟.
The students make error of omission and
misformation. According to Dulay, Burt,
and Krashen, as quoted by James, Carl
(1998:107), “More advanced learners tend
to be aware of their ignorance of content
words, and rather than omit one is called
omission. Misformation as use of the wrong
form of a structure or morpheme.” The
students do not use „to be‟ (is) in the
sentence and they can not select the right
verb (done) to make the correct sentence.
The factors causing the errors are
simplification, induced error, and error of
avoidance. According to Selinker as quoted
by Tarigan, HenryGuntur and Djago Tarigan
(1995:171),
Simplification : Kesalahan yang
diakibatkan oleh reduksi ataupengurangan
yang berlebihan.
Induced Error : Kesalahan yang
berasal dari pengurutan dan
penyajianunsur-unsur bahasa sasaran.
Error of Avoidance : Kesalahan yang
diakibatkan oleh kegagalan yang
menggunakan tipe-tipe tertentu ciri-ciri
bahasa sasaran karena adanya kesukaran
yang terasa.
It means that
Simplification : Errors caused by the
reduction or reduction of overload.
Induced Error : Errors come from
the sorting and presentationof the elements
of the target language.
Error of Avoidance : Errors caused by
failure to use certain types of characteristics
of the target 536455language because of the
difficulties that felt.
The students make error because the
factors caused by overload reduction. The
students do not use „to be‟ (is). The students
make error of arrangement and presentation
of the target language elements. They are
wrong to arrange the sentence into passive
voice. The students are failure in using
certain types to make sentence. They do not
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
52
use „to be‟ (is) that should be used in
making passive voice and they are wrong to
select the verb‟did‟ it should be „done‟ and
they are wrong to use the subject „we‟ it
should be „us‟. In answering the question
number 2, all students make error. The
question is „Did you put your shoes in the
shelf?‟. The students answer „Did your
shoes put by you in the shelf?‟. It should be
„Are your shoes put by you in the shelf?‟.
The students make error of omission.
According to Tarigan, HenryGuntur and
Djago Tarigan (1995:148), “Kesalahan-
kesalahan yang bersifat penghilangan ini
ditandai oleh ketidakhadiran suatu butir
yang seharusnya ada dalam ucapan yang
baik dan benar.” It means that errors
characterized by this omission is markedby
the absenceof the item that should be in a
good and rightoral. The students do not use
„to be‟ (was) in making passive voice. The
factor causing the error is simplification
because of the overload reduction. The
students do not use „to be‟ (was) that should
be used in making passive voice. In
answering question number 3, all students
make error. The question is „Where did they
sell the book?‟. The students answer „Where
did the book sold by you?‟. It should be
„Where was the book sold by you?‟. The
students also make error of omission
because they do not use „to be‟ (was). The
factor causing the error is simplification
because of the overload reduction. The
students do not use „to be‟ (was) that should
be used in making passive voice. In
answering question number 4, there are 19
students who make error. It means that there
is only one student answer it correctly. The
question is „Does she write the letter every
day?‟. The students answer „Does the letter
is written by her every day?‟. It should be
„Is the letter written by her every day?‟. The
students make error of addition. According
to Dulay, Burt, and Krashen, as quoted by
James, Carl (1998:107),“Addition occurs
when a productive process such as affixation
is not applied.” The students add the word
„does‟ that should not be used in the
sentence. The factor causing the error is
developmental error. According to Selinker
as quoted by Tarigan, HenryGuntur and
Djago Tarigan (1995:171), “Developmental
Error adalah kesalahan yang mencerminkan
tahap-tahap yang terjadi dalam
perkembangan linguistik.” It means that
Developmental Error is the errors that
reflect the stages that occur in
linguisticdevelopment. The students make
error of omission because the factor of
developmental error that they add the word
„does‟ in the sentence. In answering
question number 5, there are 13 students
who answer this number correctly. It means
that 7 students make error in answering it.
The question is „They offered me a new job
last week‟. The students answer „A new job
is offered by them last week‟. It should be
„A new job was offered by them last week‟.
The students make error of misformation.
According to Tarigan, HenryGuntur and
Djago Tarigan (1995:154), “Kesalahan yang
berupa misformation atau salah formasi ini
ditandai oleh pemakaian bentuk morfem
atau struktur yang salah.” It means that
errors in the form ofmisformationare
characterized by the use of form or structure
of the wrong morpheme. The students are
wrong to select „to be‟, it should be „was‟
not „is‟. The factor causing the error is
overgeneralization. The students should
make passive voice in past form not in
present form. According to James, Carl
(1998:187), “This strategy leads to the
overindulgence of one member of a set of
forms and the underuse of others in the set.”
The students make passive voice in present
form it should be in past form. In answering
question number 6, there are 5 students who
make error. It means that 15 students answer
this number correctly. The question is „My
mother always makes me a cup of tea every
morning‟. The students answer „My mother
is always makes me a cup of tea every
morning‟. It should be „A cup of tea is
always made by my mother every morning‟.
The students make error of addition and
misformation because the students add „to
be‟ (is) and they are wrong to select the
word „makes‟ it should be „made‟. The
factors causing the errors are induced error,
error of avoidance, and developmental error.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
53
The students are fail to arrange the sentence
into passive voice and to choose the verb
„makes‟ it should be „made‟ and „to be‟ (is)
in the wrong form and they do not change
the sentence into passive voice. In
answering question number 7, there is only
one student answers it correctly. It means
that there are 19 students who make error in
answering this number. The question is „He
didn‟t borrow me a pen last week‟. The
students answer „A pen was didn‟t borrow
me by him last week‟. It should be „A pen
was not borrowed by him last week‟. The
students make error of addition and
misformation. They add the word „did‟ and
they are wrong to select the verb „borrow‟ it
should be „borrowed‟. The factors causing
the errors are overgeneralization,
developmental error, and induced error. The
students make error because of the steps in
linguistic development. They add the word
„did‟ that should not be used in making
passive voice because there is „to be‟ (was)
and they are wrong to arrange the sentence
into passive voice. In answering question
number 8, there are 18 students who make
error. It means that there are only 2 students
answer it correctly. The question is „She
didn‟t bring my bag last month‟. The
students answer „My bag was didn‟t bring
by her last month‟. It should be „My bag
was not brought by her last month‟. The
students also make error of addition and
misformation. The students add the word
„did‟ that should not be used in the sentence
and they are wrong to select the verb „bring‟
it should be „brought‟. The factors causing
the errors are overgeneralization,
developmental error, and induced error. The
students add the word „did‟ that should not
be used in making passive voice because
there is „to be‟ (was) and they are wrong to
arrange the sentence into passive voice. In
answering question number 9, there are 11
students who answer it correctly. It means
that there are 9 students make error in
answering this number. The question is ‟I
always use a car to go to campus‟. The
students answer „I always use a car to go to
campus‟. It should be „A car is always used
by me to go to campus‟. The students make
error of omission and misformation. The
students do not use „to be‟ (is) and they are
wrong to select the verb „make‟ it should be
„made‟. The factors causing the errors are
simplification, induced error, and error of
avoidance. The students do not use „to be‟
(is) and the verb „used‟ that should be used
in making passive voice and they are wrong
to arrange the sentence into passive voice
and do not change the sentence into passive
voice. In answering the question number 10,
all students make error. The question is „Do
they buy him a bread?‟. The students answer
„Do the bread is brought by them?‟. It
should be „Is the bread bought by them?‟.
The students make error of addition.
According to Tarigan, HenryGuntur and
Djago Tarigan (1995:151), “Kesalahan
penambahan ini ditandai oleh hadirnya
suatu butir atau unsur yang seharusnya
tidak muncul dalam ucapan yang baik dan
benar.” It means that the additional error is
characterized by the presence of an item or
element that should not appear in a good
andright oral. The students add the word
„do‟ that should not be used in the sentence.
The factor causing the errors are
developmental error and induced error. The
students add the word „do‟ that should not
be used in making passive voice and they
are wrong to arrange the sentence into
passive voice. Errors made by the students
can be caused by the lack of knowledge
about the language particularly passive
voice. According to Chomsky and Corder
as quoted by Tarigan, Henry Guntur and
Djago Tarigan (1995:143),”Kesalahan
diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan
mengenai kaidah-kaidah bahasa sebagai
faktor kompetensi merupakan
penyimpangan-penyimpangan sistematis
yang disebabkan oleh pengetahuan pelajar
yang sedang berkembang mengenai sistem
B2 (atau bahasa kedua).” It means that
errors caused by the lack of knowledge
about the rules of language as a competence
factor, is the systematic deviations caused
by the developing of students‟ knowledge
about the system of L2 (or second
language). Competence factors also effect
on the students‟ knowledge, and the lack of
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
54
students‟ knowledge may cause students‟
errors, particularly in using passive voice.
The researcher concludes that the
case above belongs to the students‟ errors,
because the students still do not understand
about the language of lingusitic system that
they use, and the students can not correct
themselves in making errors. Based on the
test result, it is found that most of the
students make error in making passive voice
particularly in using past tense. In addition
their mistakes also happen in the form of
interogative sentence. Almost all students
make error in using past tense and
interogative sentence. It means that they are
still difficult to do the test of passive voice
especially in using past tense and
interogative sentence.
Furthermore, based on the
respondents‟ responses on interview, most
of the students find the difficulties in using
passive voice, especially in using „to be‟ and
„past participle‟, because they do not
understand about the rules of using it,
besides, the teacher does not give many
examples and exercises about the
appropriate use of passive voice in sentences
particularly in using past tense and
interogative sentence so that the students
feel very confuse when they are given a test
about passive voice. To solve this problem,
the teachers should give more exercises and
example in sentences in making passive
voice so that the students can understand
well.
CONCLUSION
After analysing the data, the
researcher gets the conclusion of this
research. Based on the test result, it is
concluded that the percentage of the
students‟ errors in making passive voice is
in using „subject‟ (31.37%), the percentage
of the students‟ errors in using „to be‟
(34.07%), and the percentage of the
students‟ errors in using „past participle‟
(34.56%). Thus, the highest error is in using
„past participle‟, medium error is in using
„to be‟, and the lowest error is in using
„subject‟, However, from the interview
result, the researcher gets that all
respondents state that they do not
understand the rules of using passive voice,
especially in using „past participle‟ and „to
be,‟ providing that the test result shows that
their highest error is in using „past
participle.‟ Nevertheless, this result proves
that the students still find the difficulties in
using passive voice because they are still
confuse about the appropriate use of passive
voice, especially in making passive voice
particularly in using „to be‟, and „past
participle‟ in a sentence of passive voice.
Based on the test result that the students are
still difficult to do the test of passive voice
especially in past tense particularly in
making interogative sentence. Almost all
students make error in past tense particularly
in making interogative sentence. Most of the
students make error of addition, omission,
and misformation because the factors of
overgeneralization, simplification,
developmental error, induced error, and
error of avoidance.
After doing this research, the
researcher would like to give some
suggestions and hopefully useful for all
readers, particularly for English teachers and
the students. The teachers should:encourage
the students to keep practicing to use
passive voice in making sentence, be more
creative in explaining the materials, for
example by using the suitable teaching
techniques, such as more game and suitable
teaching media such as using slide of power
point multimedia, keep improving their
teaching skill to make the teaching learning
process run well, and give more exercises to
the students to improve their ability in
learning passive voice especially in past
tense particularly in interogative sentence.
For students, they focus their mind on the
material discussed, review the materials not
only at school but also at home, be more
active in teaching learning process, improve
their structure ability, especially about
passive voice, solve their problems about
the materials by asking to the teacher or
discussing them with their friends, andkeep
practicing to use passive voice in making
sentence.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
55
BIBLIOGRAPHIES
Ali, Mohammad. (1985). Penelitian
Kependidikan Prosedur dan Strategi.
Bandung:Angkasa.
Alwasilah, A. Chaedar. (1993). Kaji Ulang
Kata Kerja Bahasa Inggris. Bandung:
Angkasa.
Alwasilah, A. Chaedar. (1993). Linguistik
Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.
Alwasilah, A. Chaedar. (2002). Pokoknya
Kualitatif. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Arikunto, Suharsimi. (2006). Dasar-dasar
Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta:PT Asdi Mahasatya.
Bagus Putrayasa, Ida. (2007). Analisis
Kalimat. Bandung: Refika Aditama.
Corder, S.Pit. (1981). Error Analysis and
Interlanguage. London: Oxford
UniversityPress.
Insani, Ruly. (2006). The Analysis of
Students’ Mistakes In Using Simple
Past TenseAt The Second Grade of
SMA Negeri 1 Cikijing Majalengka.
Tasikmalaya: Unpublished.
James, Carl. (1998). Errors in Language
Learning and Use. London: Longman.
Ramlan. (2001). Frasa, Klausa, Kalimat,
dan Sintaksis. [Online]. Tersedia:
http:zieper.multiply.com/journal/item/
38. [10 Desember 2010].
Swan, Michael. (2005). Practical English
Usage. London: Oxford University
Press.
Tarigan, Henry Guntur dan Djago Tarigan.
(1995). Pengajaran Analisis
Kesalahan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.
Thomson, A. J. dan A. V. Martinet. (1986).
A Practical English Grammar. Oxford:
Oxford University Press.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
56
PENGAJARAN KOSAKATA BAHASA INGGRIS MELALUI ACTIVE
LEARNING
Tri Agustini Solihati
Universitas Perjuangan Tasikmalaya
ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran kosakata bahasa
Inggris dengan topik warna, makanan dan minuman, bagian tubuh, dan keluarga melalui
Pembelajaran Aktif di kelas satu (kelas 1b) dari SDN Banjaran, Tasikmalaya. Penelitian ini
dilaksanakan dengan menggunakan metode proses siklus, yaitu siklus I dan siklus II. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa siklus I terdiri dari aktivitas guru dalam pelaksanaan
Pembelajaran Aktif sebanyak 80% dan suasana kelas sebanyak 65,15%. Hasil yang dicapai oleh
siswa sebanyak 7,64 untuk rata-rata worksheet, 8.68 untuk tes formatif, dan 74% untuk hasil
pengajaran analisis kosa kata bahasa Inggris. Pada siklus II, aktivitas guru dalam pelaksanaan
Pembelajaran Aktif dalam jumlah sebanyak 90% dan suasana kelas sebanyak 89,15%. Hasil yang
dicapai oleh siswa sebanyak 8,05 untuk rata-rata worksheet, 8.86 untuk tes formatif, dan 84%
untuk hasil pengajaran analisis kosa kata bahasa Inggris. Dalam hal ini, jelas bahwa manfaat
pembelajaran aktif dalam studi kosakata bahasa Inggris akan membantu kegiatan belajar siswa
dalam menghafal bahkan menguasai kosa kata. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
media yang begitu dekat dengan kegiatan sehari-hari dan metode yang menarik siswa. Implikasi
dari hasil penelitian diharapkan Pembelajaran Aktif meningkatkan kualitas pembelajaran kosakata
bahasa Inggris di kelas satu SDN Banjaran, Tasikmalaya.
Kata kunci: kosakata, pembelajaran aktif, Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
ENGLISH VOCABULARY TEACHING THROUGH
ACTIVE LEARNING
ABSTRACT The objective of this research is to improve the quality of learning English vocabulary with the
topics of colors, food and drink, parts of the body, and family through Active Learning at grade
one (class 1b) of the SDN Banjaran, Tasikmalaya. This research is implemented by using cycle
process method, namely cycle I and cycle II. The result of this research indicated that cycle I
comprises of the teacher‟s activity in the implementation of Active Learning as much as 80% and
classroom atmosphere as much as 65.15%. The result achieved by the students as much as 7.64 for
the average of worksheet, 8.68 for the formative test, and 74% for the result of teaching English
vocabulary analyses. In cycle II, teacher‟s activity in the implementation of Active Learning in the
amount of as much as 90% and classroom atmosphere as much as 89.15%. The result achieved by
the students as much as 8.05 for the average of worksheet, 8.86 for the formative test, and 84% for
the result of teaching English vocabulary analyses. In this case, it is obvious that the utility of
Active Learning in the study of English vocabulary will help students‟ learning activity in
memorizing even mastering vocabulary. The study is carried out by using media finding in daily
activity and the method attracts students. The implication of the research result is hoped that
Active Learning improves quality of learning English vocabulary at grade one of the SDN
Banjaran, Tasikmalaya.
Keywords: vocabulary, active learning, classroom action research
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
57
INTRODUCTION
Vocabulary is a number of words
in language (Oxford, 1995: 461). It is a list
of words or expression, which in arranged
based on alphabet by enclosing their
meaning (Salim, 1998: 242). It can be
concluded from the statement above that
vocabulary is the basis of language, because
it consists of words that is meaningful.
Vocabulary is an important skill for
speaking, writing, and reading as language
skill, which have to be mastered by all
students. However every child at elementary
school, where they go through their first
experience in studying English, finding
difficulties when facing some different
language aspects, such as style of writing,
reading, and speaking.
English subject at the
elementary school in Tasikmalaya is a part
of local curriculum. According to 1994
Curriculum, English is given for the first
time at elementary school as one of effective
lessons in local curriculum. Students of
elementary school usually have a tendency
to know something and an enthusiasm to
learn a new thing, which is related to their
surroundings. One thing that must be
remembered, that every child builds their
understanding based on experience and acts
a good imitator. Perhaps learning English
subject at elementary school will help them
to find an early description and a sense of
interest to learn more deeply in the next
level (Junior High School).
But in fact, English vocabulary
of students at grade 1 of elementary school
needs to be improved a lot. It is found from
their achievements that show lower than the
average 60 as successful standard. It is too
apprehensive, whereas English as
international language that is taught in every
year. If the problem hasn‟t been solved, it
will give at least three effects. Firstly, they
are psychology effect; students do not have
any motivation to study, they are afraid of
learning English as they consider English is
a difficult lesson. They are afraid or
unrespectable to their teachers, even at the
time they do not want to go to school any
more. The next effect is academic. Students
will find difficulties in learning English or
other materials like tenses, reading, writing,
speaking, and listening. Finally, the social
effect gives difficulties to students in
solving daily problems. For example, they
cannot mention objects pointed in English.
Mihaly Csikzantmihalyi in Flow
(1990) described the attention as mental and
emotional energy. Flowis aware condition in
which someone is lost in an activity, so he
does not feel the time passed. Flow can be
experienced easier when students experience
something called Dan Rea by term “serious-
fun”. Educator can support Serious-fun by
having a high quality target of learning
result and managing classroom activities
that occupy students. Active Learning
emphasize on serious-fun can help students
to pay attention, improve their desire to
study, and manage the atmosphere in order
Flow experience happened.
In this case, teachers need to
find strategies to encourage students in order
to proper learning habit that can lead to
successful learning. Hopkins (1993) said
“Teacher is not only demanded to master
materials and present them correctly in front
of the students but also is demanded to be
able in assessing their work”. This ability is
correlated with Classroom Action Research
(CAR) or Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
According to Carr and Kemmis (1991),
CAR is a research which is done by teachers
in theirclassrooms through reflection with
the aim to evaluate their work as teacher in
order to leave negative learning and create
positive learning perfectly. There are four
components in doing CAR (Kemmis and
Taggar, 2006: 22). First, planning, it is an
action done to improve or attitude changing
as solution. Second, action, it is what
teachers should do as the effort in repairing,
improving or changing hoped. Third,
observation, it is an observation toward the
result or effect of some actions done by
students. Forth, reflection, it means that the
observer observe, look, and consider the
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
58
result or action effect from some criteria.
Based on this reflection result, revising in
repairing toward first planning is done.
Students at elementary school,
especially at grade one of SDN Banjaran,
face some difficulties in reading English
language, one of the difficulties is because
English is a foreign language and the limited
time provided in teaching English, so they
can‟t recall much vocabularies. Whereas
vocabulary is good to be taught to
elementary school students, especially grade
1, to introduce them everything around them
in English. So in this research, the
researcher decides to take the single word as
an appropriate material to be absorbed by
elementary school students. As we know
that in learning English, there are four skills
which should be mastered by students such
as speaking, reading, listening, and writing
(Tarigan, 1990: 11).
That mastery of language skill
especially English language needs sufficient
vocabulary, in other word, that somebody‟s
language will determine the quality and
quantity of his or her skill. “The quality of
somebody’s language skill depends on the
quality and quantity of his or her
vocabulary. More vocabulary somebody
has, more possibly to master of language
skill” (Tarigan, 1986: 2).
According to that theory, the
writer concerns to the improving of
students‟ vocabulary with the right approach
and strategy, they are apart of comment that
will be achieved to the aim. The ways to
make the students feels happy are from the
approach and strategy that the teacher used
to applied. The teacher should motivate the
students’ interest on the subject matter, for
instance, English language (Sudjana, 1988:
39).
To solve the problem, a strategic
thing that must be done is looking for the
causes of the problem. Like an identification
problem done by researcher with another
teacher, reflection toward learning done is
caused by several problems. Some of them
are English learning is still teacher-centered
include teacher explanation, giving an
example of question, giving a task, and
assessment. From the available time, the
biggest allocation is still in teacher
activities. By this learning model, so the role
of students and students involved in
teaching learning process is in a small.
Students listen portion just to teacher‟s
explanation. Sometimes they answer and
give their opinion, but time presentation for
student‟s activities is still little. For
example, when teacher is teaching about
colors, students can memorize almost
vocabularies well. But when teacher ask
them to color a picture by certain color, they
do it incorrectly. They succeed in answer the
question is not from their comprehending
toward the object and vocabulary taught, but
through the explanation or knowledge
transfer from the teacher. Learning model
above causes impermanent comprehension.
Teacher needs to retell the material that
students have learnt if they will face the
same problem. The impermanent
comprehension they got, make them cannot
implement it in their daily life. Whereas
English will be faced as long as their
education, and is suggested to be used in
their daily activities.
Active Learning is an effort in
education and learning revolution. Although
this approach is new, actually this concept
has been improved in years, but its
implementation in our schools is new. This
fact causes the difficulties in defining Active
Learning. Gulo (2002) told that “Active
Learning adalah pendekatan pembelajaran
dengan melibatkan aktifitas siswa secara
maksimal dalam proses belajar baik
kegiatan mental intelektual, kegiatan
emosional, maupun kegiatan fisik secara
terpadu”. Conny Setiawan (1990) defines
Active Learning as “Cara belajar siswa
aktif yang mengembangkan keterampilan
memproseskan perolehan”. Learning
through Active Learning approach demands
in three components and its supporter, they
are performances of students‟, teachers‟, and
classroom. Students in Active Learning are
suggested to get learning experience
directly. For example when the teacher is
going to teach about fruits, students are
asked to bring one of their favorite fruit. So
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
59
when they learn the word “banana” and they
know what banana is, their memory will be
survive in long time when they get it
themselves and experience it directly. By
this activity, students‟ curiosity and thinking
creativity can be improved.
So to get the best mastery in
English vocabulary, it is needed English
learning students-centered approach.
Students get learning experience that is
packed in enjoy atmosphere so it can dig the
potential up, students‟ creativity and they
are hoped can implement it daily life.
Because when they only heard in learning,
they will forget, when they see, they will
remember, and when they do, the will
understand, and those are in Active
Learning.
RESEARCH METHODOLOGY
1. The location and time of research
This research is done to the students at
grade 1 of SDN Banjaran, Kp. Banjaran
Desa Linggaraja Kecamatan Sukaraja
Kanupaten Tasikmalaya.
The research is held in semester II of
2009 / 2010 year; on March till June 2010.
2. The method and design of action
intervention
This kind of research is Action
Research which is proposed to repair
affectivity and efficiency of education
practice. Reminding this action research is
done in the class, so the method used in this
research is method of Classroom Action
Research(CAR).
The implementation of this research
based on progressive program in SDN
Banjaran by the number of English time 2
hours in a week.
Design of action intervention or
research cycleplanning uses Kemmis model
and Mc. Taggart which is include some
steps 1. Planning, 2. Action 3. Observation,
3. Reflection. So the activity in this research
through certain steps and cycle such as the
picture below:
3. The subject of research
The subject of this research is students
of grade 1 of SDN Banjaran, Tasikmalaya
consist of 25 students. Consist of 12 male
students and 13 female students. The
assistant researchers of this research are two
regular teachers of grade one, Mrs. Een
Nuraeni, S.Pd.I and Mrs. Nani Rohaeni,
S.Pd.I which do the observation when
researcher implements the learning.
4. The role and position of the
researcher in research The role of researcher in this research is
the main doer, so in pre-research she does
the reflection toward English learning
process in class, and then make an action
planning will be done in class where she
teaches.
As researcher position in this research is
main doer, she implements directly what
will be improved in the class. She feels and
does the reflection from the learning done in
order to support her to do every step of the
research. Beside that, she writes a report
which makes everything done and observes
the research closely. In doing all of these,
she is helped by school‟s head master and
teachers.
5. The steps of action intervention
Cycle 1
1. Reflection
Teacher does the reflection toward
learning done, consist of how the teacher
teach is, how the students learn is, how the
atmosphere of class is, and think the way to
repair them.
2. Action planning
Make a lesson plan by implementing
Active Learning.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
60
3. Action implementation
Teacher implements English
learning by using Active Learning
4. Observation
Head master and another teacher
observe and evaluate the learning which is
doing by researcher.
5. Reflection
Teacher (researcher) investigates
evaluation and observation result to decide
the next step.
Cycle 2
1. Action planning
Researcher makes improvement planning
based on reflection and observation result.
2. Action implementation
Teacher teaches based on improvement
planning I made.
3. Observation
Observing and evaluating the
improvement of implementation.
4. Reflection
Investigating evaluation and observation
result to decide the result got during the
research (in two cycles).
6. Aims of action intervention
The success aiming to every action done
in English learning by implementing Active
Learning approach is oriented to:
1. The improvement of students‟ English
vocabulary mastery.
2. The improvement of learning result. In
this case success standard is 80% get the
score up to 60 in every cycle.
7. Data and collecting data
a. Data
Data is taken from data of observing
action and research data. Data of observing
action is data that is used to control the
suitable action implementation with action
planning in this case the learning by using
Active Learning. Whereas research data of
students‟ English vocabulary mastery is data
about research variable; learning results.
The data is used for the necessity of research
data analysis to get the illustration of the
improving of students‟ English vocabulary
mastery.
b. Resource of data
Resource of data in this research
divides into two parts; assistant researcher
action data is English learning process in
grade 1 by using Active Learning and
resource of research data; the learning result
of students of grade 1.
8. The technique in collecting data and
instrument used
The collecting data done by using
implementation learning instrument includes
the observation of teacher teaches, students
study, and class atmosphere which is related
to learning implementation by Active
Learning. Beside that, the instrument used to
collect research data about students‟ English
vocabulary mastery is test instrument. The
test learning result refers to curriculum 2006
and the book used is Active English. The
test learning result is 10 multiple choice
questions.
9. The technique of validity
Triangulation is used to check data
validity. Triangulation done by resource,
compare what the researcher feels with the
assistant researcher idea. That refers to
research toward students‟ English
vocabulary mastery and try-out test to look
the students‟ learning result.
10. The analysis of data and
interpretation of analysis result
The analysis of researcher data done
by looking students involved when learning
process, teacher attitude in learning
implementation, and students‟ learning
result. By implementing Active
Learningapproachis hoped that students can
be more active in learning process. Teacher
in learning is not the only one resource of
study but can be friend and partner for
students. So students can master English
vocabulary well.
RESEARCH FINDINGS AND
DISCUSSION
Cycle I
From the result analyses of cycle I,
so the result gotten was the researcher who
was a teacher in this case was lake of open-
self and could not appear students‟ initiative
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
61
and creativity yet. The researcher was also
lake of involving all students in group
learning, because only some students were
enthusiastic and did what had been
commanded well.
Beside that, teacher‟s tense was
looked in learning and high level of anxiety
in students‟ vocabularymastery. It was
looked from teacher‟s attitude that was
soonest in helping students; teacher was lake
of giving students opportunity to
communicate with others. So by those
attitudes gave the effect of students‟ tense
too. Learning atmosphere did not please
enough so students‟ initiative and curiosity
were not dug up well. And it was still
looked the tense and hurried in doing
learning.
In other word, the learning which
should be centered on students was still
dominated by teacher although in a small
scale. There were two things hoped in
Active Learning; learning was students
centered and students did the learning
happily. Beside that students were hoped to
do their activity alone, solve the problem,
and could reflect the activity done.
Teacher‟s role was only as motivator, gave
the clarification of material learnt.
The result of teaching-learning
process was 7.64 for worksheet average,
8.68 for formative test, and analyses of
teaching English vocabulary as 74%, those
numbers had not reach successful standard
determined by researcher, so cycle II was
needed to be able in improving teaching
English vocabulary through Active
Learning.
Cycle II
The attitude and activity of students
and teacher in learning was describing
learning process through Active Learning.
Students‟ curiosity was growing up. The
interaction and communication were looked
not only between students and teacher but
also among students. Beside that students
did learning activity happily. There were
also the harmonious among abilities; social,
emotional, and intellectual. So it would dig
students‟ potential up.
The allocation was getting centered
on students and teacher gave stimulus in
order students had motivation to activate in
learning, were sportive, and were motivated
to be able in repairing the mistake to reach
the better mastery of vocabulary. From the
activities done in four meetings in cycle II
were looked students‟ and teacher‟s activity
hoped.
The result gotten from teaching-
learning process was 8.06 for worksheet
average, 8.86 for formative test, and
researcher‟s analyses on formative test
result that described students‟ vocabulary
mastery as 84%, the whole reached the
standard hoped by researcher.
Interpretation of Analysis Result and
Discussion
According to the data gotten in
learning action of English vocabulary using
Active Learning, it showed the improvement
of students‟ vocabulary mastery. Observing
the result of action intervention done by
researcher through dividing action into cycle
I and II, its result observation described the
improvement of percentage in SDN
Banjaran students‟ vocabulary mastery with
7.9 for worksheet average, 8.67 for
formative test, 84% for observation of
teacher‟s attitude, 77.15% for observation of
classroom atmosphere, and 80% for the
observation of students‟ English vocabulary
mastery. Looking at the result gotten, it
proved that learning approach could be used
to improve elementary school students‟
English vocabulary mastery; it was looked
from score improvement, the percentage of
observation of learning action, and English
vocabulary mastery in each learning cycle.
From the explanation of cycle I and II, it
could be said that learning process in cycle I
was still influenced by teacher‟s attitude that
was lake of open-self, tense, giving the
strengthen so students‟ attitude in learning
was influenced. Learning situation was also
boring and it caused students could not
improve their activity well.
Because teacher had been trained
more in cycle II in doing learning through
Active Learning, the tense and anxiety of
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
62
learning target were decrease. Learning
situation was more vivid. In cycle II
learning situation described the principles
and characteristics of Active Learning.
When teacher had given open-self attitude,
the width and full trust to the students, they
would more believe in their potential so they
were able to dig up and develop it. Students
could learn well, solve their problem, and
apply what they had in their daily life. The
implementation of such approach was not
separated from teacher‟s effort in
developing innovation and creativity in
making learning plan and process in using
Active Learning approach.
CONCLUSION, IMPLICATION AND
RECOMMENDATION
Conclusion
The observation result showed the
result of students‟ vocabulary mastery
through Active Learning was able to involve
the ability of social, emotional, and
intellectual in harmony so it could appear
students‟ potential, stimulate to think, and
learn in solving problem alone. Beside that,
there was a significance improvement of
students‟ ability when teacher gave the trust
and open-self in learning. Students‟ more
enjoyed the learning and followed it
enthusiastically and happily, so students‟
mastery was better.
Beside that, the good students
conditioning and choosing correct method
with the material that would be presented by
paying attention on grade one students‟
characteristics and individual differences,
would appear good communication and
interaction between students and teacher and
among students. By this condition, students
would be able to present the information
they got to others and train their bravery and
self-confidence.
Learning through Active Learning
could improve students‟ mastery because
basically children learned and worked or did
activities, because work was demand of
children statement. What children got
through working activity, searching, and
finding their selves would not be forgotten
easily. Students would be very happy if they
were given the opportunity to distribute their
working ability. By Active Learning,
students could know and develop more their
potential and capacity fully. They also had
ability in thinking regularly and critically,
and solving their daily problem. They were
more creative in digging, searching, and
developing useful information for them. It
was proved by the observation held. By
77.25% of students‟ activities, it meant that
more than a half of students did the activity
in learning and it showed the improvement
of students‟ English vocabulary mastery.
Students with good mastery could be a tutor
of their friends, so it could help the
improvement of students‟ English
vocabulary mastery. Even less when
students‟ activities in learning reached more
than 90%-100%, so the students‟ English
vocabulary mastery would improve more.
Implication
Actually Active Learning approach
was suitable with learning goal that would
be reached to the elementary school students
of grade one. Because in this age, students
wanted to move, communicate, and interact
was still big enough. By implementing
Active Learning, it gave students to be
creative in learning alone, stimulating their
thinking and they could reflect and want to
present their best. The implemented Active
Learning was suitable with elementary
school students‟ characteristics, especially at
SDN Banjaran.
Recommendation
The result gotten in observation
conclusion showed one of suitable ways to
look and know directly the weakness either
from students or teacher. Because of that,
the researcher recommends:
The educator
to use Active Learning in teaching-learning process, because it was suitable
with elementary school students‟
characteristics.
to repair their work by developing teacher‟s creativity in arranging
learning.
The head master to give teachers
motivation, support, and guidance in
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
63
order they are able to implement Active
Learning.
The instance and government
to give the support by providing means of education and its infrastructure based
on the necessity.
The university students and readers
to follow this paper up by doing
observation to get more accurate data.
BIBLIOGRAPHIES
____________, The World Book
Encyclopedia Volume 15, USA:
Field Enterprises Educational
Corporation, 1964
___________, Oxford Learner’s Pocket
Dictionary, USA: Oxford University
Press, 1991
Allen, Virginia French, Techniques in
Teaching Vocabulary, London:
Macmillan Press, 1983 Alwasilah, A. Chaedar, Politik Bahasa dan
Pendidikan, Tasikmalaya: Rosda, 1997
Alwasilah, A. Chaedar, Pengajaran Bahasa
Komunikatif, Tasikmalaya: Rosda, 2000
Alwasilah, A. Chaedar, Perspektif
Pendidikan Bahasa Inggris di
Indonesia dalam Konteks
Persaingan Global, Tasikmalaya:
Andira, 2000
Brown, H. Douglas, Teaching by Principles,
USA: Paramount, 1994
Dewi, Ida Kusuma, dkk, Active English 1,
Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri, 2007
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan
Pembeljaran, Jakarta: Rineka Cipta,
1999
Finocchiaro, Mary, Tecahing Children
Foreign Language, New York:
McGraw-Hill Book Company, 1964
Gulo W., Strategi Belajar Mengajar,
Jakarta: Grafindo, 2002
Ihsan, Fuad H, Dasar-dasar Kependidikan;
Komponen MKDK, Jakarta: Rineka
Cipta, 2003
Jarvis, Peter, The Sociology of Adults and
Continuing Education, USA: Croom
Helm Ltd, 1985
Hurlock, Elizabeth, Psikologi
Perkembangan, Jakarta: Erlangga
Kasbolah, Kasihani, Penelitian Tindakan
Kelas, Malang: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1998
Kemmis, S. & Mc. Taggart, R. (Eds), The
Action Research Reader, Victoria:
Deakin University, 1990 b
Musthafa, Bachrudin, EFL for Young
Learners, Tasikmalaya: The Writing
Team of Crest, 2002
Quirk, Randolph and Stein Gabriele,
English in Use, England: Longman,
1990
Scott, Wendy A. and Ytreberg, Lisbeth H. ,
Longman Keys to Language
Teaching; Teaching English to
Children, USA: Longman Inc, 2004
Setiawan Conny, et al, Pendekatan
Keterampilan Proses; Bagaimana
Mengaktifkan Siswa Belajar, Jakarta:
Gramedia, 1990
Silberman, Mel, Active Learning,
Yogyakarta: Yappendis, 2001
Silberman, Melvin L, Active Learning 101
Cara Belajar Siswa Aktif,
Tasikmalaya: Nusamedia, 2009
Stern, Fundamental Concepts of Language
Teaching, USA: Oxford University
Press, 1983
Sudjana, Nana, Belajar Siswa Aktif dalam
Proses Belajar Mengajar,
Tasikmalaya: Sinar Baru Algesindo,
1996
Sukandi, Ujang dkk, Belajar Aktif dan
Terpadu, Jakarta: The British
Council, 2001
Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar, Jakarta:
Logos, 1999
Tarigan, Henry Guntur, Pengajaran
Keterampilan Berbahasa,
Tasikmalaya: Angkasa, 1986
Tim Redaksi Fokusmedia, Guru dan Dosen,
Tasikmalaya: Fokusmedia, 2006
Wallace, Michael J, Teaching Vocabulary,
Britian: English Language Book
Society, 1987
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
64
ANALISIS KOMPETENSI MENYUSUN INSTRUMEN PENILAIAN IPS
DI SEKOLAH DASAR
Fajar Nugraha
Universitas Perjuangan Tasikmalaya
Penelitian ini memiliki ruang lingkup kompetensi guru dalam menyusun instrumen penilaian
meliputi konsep penilaian pembelajaran IPS SD, kemampuan dalam menyusun instrumen
penilaian IPS SD, dan dinamikanya. Analisis ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif,
menggambarkan secara sitematis penemuan fakta-fakta selama penelitian. Analisis ini
menggunakan lima subjek penelitian dengan kriteria guru kelas tinggi yang telah lulus sertifikasi
guru. Penelitian ini menggunakan studi dokumentasi dan wawancara sebagai sumber data.
Sedangkan pengolahan data dilakukan dengan reduksi data, display data, dan penarikan
kesimpulan. Berdasarkan temuan penelitian, pengetahuan guru tentang penyusunan instrumen
penilaian secara umum berkategori baik. Pengelolaan pembinaan guru yang baik berbanding lurus
dengan pengetahuan serta pemahaman guru. Kemudian kemampuan guru dalam menyusun
instrumen penilaian berkategori baik. Hal ini terbukti dari dokumen-dokumen yang kami analisis
memenuhi kriteria standar penyusunan instrumen penilaian. Perlu upaya dan konsistensi dari
berbagai pihak yang berkaitan langsung dengan guru agar pengetahuan, pemahaman, dan
kemampuan guru terus menerus meningkat.
Kata kunci: analisis kompetensi, instrumen penilaian
COMPETENCY ANALYSIS ON DEVELOPING ASSESSMENT INSTRUMENTS
OF SOCIAL SCIENCE SUBJECT IN PRIMARY SCHOOL
ABSTRACT The scope of this study is teachers‟ competency on developing assessment instrument
including the concept of learning social sciece in primary school, the ability on creating its
assesment instruments, and its dinamycs. This analysis uses qualitative descriptive approach which
systematically describes the facts finding during the study. This analysis uses five criteria of the
study subjects with high-grade teacher who has passed the certification of teachers. This study uses
documentary studies and interviews as a data source. While the data processing is done through
data reduction, data display, and taking conclusion. Based on the findings, the teacher's knowledge
of preparing assessment instruments are generally categorized as adequate. Management coaching
of good teacher is in line to the knowledge and teachers‟ understanding. Then the teachers have
adequate ability in preparing assessment instrument. It is proved from the documents that meet the
criteria of the standard preparation of assessment instruments. Effort and consistency are needed
from various parties associated directly with the teacher so that the knowledge, understanding, and
the ability of teachers continuously better.
Key words: Competency Analysis, Assessment instrument
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
65
PENDAHULUAN
Peran guru pada era otonomi sekolah
semakin penting karena kemajuan
pendidikan berada ditangan para guru. Figur
guru menjadi sorotan strategis dalam
pendidikan karena guru terkait dengan
komponen manapun dalam sistem
pendidikan. Guru juga sangat menentukan
keberhasilan peserta didik terutama dalam
kaitannya dengan proses belajar mengajar.
Hal ini menunjukkan bahwa perubahan
dan pembaharuan pendidikan tergantung
pada peran guru. Menurut Quisumbing
(Kunandar, 2007:10) “kualitas pendidikan
bersifat dinamis, saat ini pendidikan
berkualitas tapi saat mendatang bisa jadi
ketinggalan”. Oleh karena itu tuntutan atas
guru yang profesional menjadi sesuatu yang
mutlak.
Menurut Depdiknas 2001 “Kompetensi
guru merupakan seperangkat penguasaan
kemampuan yang harus ada dalam diri
guru agar dapat mewujudkan kinerja
secara tepat dan efektif”. Lebih lanjut telah
termaktub dalam permendiknas nomor 16
tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi
Akademik dan Kompetensi Guru secara
garis besar terdapat empat kompetensi guru
yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional.
Peranan guru Sekolah Dasar (SD)
sebagai guru kelas harus menguasai seluruh
mata pelajaran di SD. Begitu pula salah satu
mata pelajaran khusunya mata pelajaran
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) tentu dapat
dikuasai oleh guru. Jarolimek (2003:5)
menyatakan “Social studies focuses
specifically on citizenship education which
means learning to participate in group life”.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa IPS berperan dalam
kelompok kehidupan. Menurut Depdiknas
(2003:9) “Ilmu Pengetahuan Sosial di
sekolah dasar mengkaji seperangkat
peristiwa, fakta, konsep, generalisasi yang
berkaitan dengan isu sosial serta berfungsi
untuk mengembangkan pengetahuan, nilai,
sikap, dan keterampilan siswa tentang
masyarakat, bangsa, dan Negara”.
Tujuan pembelajaran IPS sebagaimana
dimaksud Depdiknas (2006:47) sebagai
berikut :
1. Mengenal konsep-konsep yang
berkaitan dengan kehidupan masyarakat
dan lingkungannya.
2. Memiliki kemampuan dasar untuk
berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,
inkuiri, memecahkan masalah, dan
keterampilan dalam kehidupan sosial.
3. Memiliki komitmen dan kesadaran
terhadap nilai-nilai sosial dan
kemanusiaan.
4. Memiliki kemampuan berkomunikasi,
bekerjasama dan berkompetensi dalam
masyarakat yang majemuk, di tingkat
lokal, nasional, dan global.
Dengan memahami tujuan
pembelajaran IPS di SD, guru dapat
melaksanakan pembelajaran IPS di SD
secara terarah. Apabila seorang guru telah
memiliki pemahaman yang mumpuni, maka
bukan suatu hal yang sulit untuk menyusun
perencanaan, pelaksanaan, dan penilaian
pembelajaran.
Penilaian pembelajaran merupakan
seperangkat proses pengolahan informasi
dalam rangka menentukan pencapaian hasil
belajar. Segendang sepenarian dengan
pernyataan Nitko (1996:32) “assessment is
a board term defined as a process for
obtaining information that is used for
making decisions about students….”. lebih
lanjut Widaningsih (2011:11)
mengemukakan “Evaluasi proses
pembelajaran dilakukan untuk mementukan
kualitas pembelajaran secara keseluruhan,
mencakup tahap perencanaan, proses
pelaksanaan, dan penilaian hasil
pembelajaran”. Dapat disimpulkan bahwa
rangkaian proses penilaian pembelajaran
terdapat pada perencanaan, pelaksanaan,
pengolahan penilaian. Maka suatu
keharusan bagi guru untuk mempersiapkan
penialain pembelajaran sejak penyusunan
perencanaan pembelajaran berupa instrumen
penilaian yang sesuai dengan prinsip dan
prosedur penialaian.
Berdasarkan hasil Uji Kompetensi
Awal (UKA) guru yang dilaksanakan secara
nasional pada tahun 2012 untuk hasil UKA
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
66
guru SD memperoleh nilai rata-rata 36,86
dari skala nilai 100. Unifah Rosyidi selaku
Kepala Pusat Pengembangan Profesi
Pendidik Badan Pengembangan Sumber
Daya Pendidikan dan Kebudayaan dan
Penjaminan Mutu Pendidikan Kemendikbud
mengatakan bahwa “selama ini guru dibina
tanpa arah dan dasar. Akibatnya, pendidikan
dan pelatihan untuk guru yang dilakukan
oleh pemerintah menjadi kurang tepat
sasaran karena adanya ketidaksesuaian
dengan kondisi dan kebutuhan guru”
(Kompas, edisi 21 November 2012).
Selanjutnya Hadiyanti Tahun 2012 di SD
fullday school Al-Mutaqin kota Tasikmalaya
dalam penelitiannya mengemukakan “guru
di sekolah tersebut mengetahui dan
memahami langkah-langkah menyusun
instrumen penilaian. Namun dalam
pelaksanaannya sering mengabaikan tahap-
tahap penyusunan instrumen”. Berdasarkan
latar belakang tersebut, peneliti akan
menganalisis yang berkaitan dengan
kemampuan guru dalam menyusun
instrumen penilaian di kecamatan Cipedes
kota Tasikmalaya.
Rumusan masalah penelitian ini yaitu
“sejauhmanakah kompetensi guru sekolah
dasar dalam menyusun instrumen penilaian
pada mata pelajaran IPS?”. Lebih lanjut
rumusan masalah dapat diperinci sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah pemahaman guru
terhadap instrumen penilaian?
2. Bagaimanakah kemampuan guru dalam
menyusun instrumen penilaian?
3. Bagaimanakah kesulitan guru dalam
menyusun instrumen penilaian?
Adapun tujuan penelitian yang akan dicapai
yaitu :
1. Untuk mengetahui pemahaman guru
terhadap instrumen penilaian.
2. Untuk mengetahui kemampuan guru
dalam menyusun instrumen penilaian.
3. Untuk mengetahui kesulitan guru dalam
menyusun instrumen penilaian.
Kompetensi guru merupakan
kemampuan-kemampuan yang wajib
dimiliki oleh seorang guru dalam
melaksanakan tugasnya. Slameto (2011)
mengemukakan bahwa kompetensi guru
memiliki tiga kriteria yaitu knowledge
criteria, performance criteria, dan product
criteria. Kemampuan guru tersebut terutama
berkaitan dengan pengetahuan dan
kemampuan, serta tugas yang dibebankan
kepada guru. Menurut Nitko (1996:18)
dalam buku Educational Assessment of
students menyatakan guru perlu untuk
membuat keputusan – keputusan tentang
siswanya setiap saat. Untuk itu seorang
guru profesional dituntut untuk memiliki
kemampuan dan keterampilan dalam
melaksanakan pembelajaran di kelas. Guru
yang berkompeten dalam menyusun
instrumen penilaian IPS SD yaitu memiliki
kemampuan intelektual meliputi penguasaan
konsep penilaian dan konsep IPS SD,
kemampuan menyusun dan
mengembangkan instrumen penilaian IPS
SD yang menghasilkan produk instrumen
penilaian IPS SD yang telah disusun oleh
guru.
Permendiknas Nomor 16 tahun 2007
tentang standar kualifikasi akademik dan
kompetensi guru, dijelaskan lebih spesifik
pada kompetensi pedagogik, yaitu
kompetensi menyelenggarakan penilaian
dan evaluasi proses dan hasil belajar.
Kompetensi tersebut meliputi pemahaman
prinsip penilaian, mampu menentukan
aspek-aspek penting untuk dinilai, mampu
menentukan prosedur penilaian, dan mampu
mengembangkan instrumen penilaian.
Pemahaman prinsip penilaian mutlak
dimiliki oleh guru profesional. Hal ini
sejalan dengan prinip penilaian dalam
Permendiknas nomor 66 tahun 2013 tentang
standar penilaian adalah sebagai berikut:
1. Objektif, berarti penilaian didasarkan
pada prosedur dan kriteria yang jelas,
tidak dipengaruhi subjektivitas penilai.
2. Terpadu, berarti penilaian oleh pendidik
merupakan salah satu komponen yang tak
terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
3. Ekonomis, berarti penilaian yang efisien
dan efektif dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan pelaporannya.
4. Transparan, berarti prosedur penilaian,
kriteria penilaian, dan dasar pengambilan
keputusan dapat diakses oleh semua
pihak.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
67
5. Akuntabel, berarti penilaian dapat
dipertanggungjawabkan kepada pihak
internal sekolah maupun eksternal untuk
aspek teknik, prosedur, dan hasilnya.
6. Edukatif, berarti mendidik dan
memotivasi peserta didik dan guru.
Dengan memahami prinsip penilaian
guru memiliki pengetahuan dasar dalam
menentukan aspek-aspek yang akan dinilai,
dalam hal ini mata pelajaran IPS.
Kompetensi guru dalam menentukan aspek-
aspek penting untuk dinilai ini berkenaan
pula dengan kompetensi profesional guru
dalam menguasai konsep materi mata
pelajaran IPS, standar kompetensi IPS,
kompetensi dasar IPS, serta tujuan
pembelajaran IPS. Berkenaan dengan itu,
pembelajaran IPS adalah mata pelajaran
yang mengkaji seperangkat peristiwa, fakta,
konsep, generalisasi yang berkaitan dengan
isu sosial serta berfungsi untuk
mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap,
dan keterampilan siswa tentang masyarakat,
bangsa, dan Negara, (Depdiknas, 2003 : 9).
IPS di sekolah dasar merupakan
penyederhanaan dari beberapa konsep ilmu
sosial. Konsep-konsep ilmu sosial tersebut
meliputi sosiologi, antropologi, geografi,
sejarah, ekonomi, psikologi, dan politik
(Supardan, 2008 : 69 - 429).
Lebih spesifik, penyederhanaan ilmu
sosial yang terdapat di sekolah dasar yaitu
(a) sosiologi terdiri dari interaksi sosial,
kelompok sosial, gejala-gejala sosial,
organisasi sosial, struktur sosial, proses
sosial, perubahan sosial; (b) antropologi
terdiri dari perkembangan manusia,
perkembangan dan persebaran aneka ragam
kebudayaan manusia, perkembangan dan
persebaran aneka ragam bahasa; (c) geografi
terdiri dari lingkungan, tata ruang, tempat;
(d) sejarah terdiri dari sejarah keluarga,
sejarah sosial, sejarah ekonomi sejarah
kebudayaan; (e) ekonomi terdiri dari
skarsitas, produksi, konsumsi, pasar, uang,
bank, koperasi, kewirausahaan, perseroan
terbatas; (f) psikologi terdiri dari psikologi
kepribadian, psikologi perkembangan,
psikologi sosial; (g) politik terdiri dari teori
politik, lembaga politik, sejarah politik,
perwakilan politik, birokrasi politik, teori
kenegaraan, hubungan internasional.
Sapriya (2011:194-195) menyatakan
tujuan mata pelajaran IPS sebagai berikut:
1. Mengenal konsep-konsep yang berkaitan
dengan kehidupan masyarakat dan
lingkungannya.
2. Memiliki kemampuan dasar untuk
berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,
inkuiri, memecahkan masalah, dan
keterampilan dalam kehidupan sosial.
3. Memiliki komitmen dan kesadaran
terhadap nilai-nilai sosial dan
kemanusiaan.
4. Memiliki kemampuan berkomunikasi,
bekerjasama dan berkompetensi dalam
masyarakat yang majemuk, di tingkat
lokal, nasional, dan global.
IPS di SD tidak hanya mengenalkan
tentang pengetahuan sosial semata,
melainkan disertai dasar-dasar keterampilan
sosial. Kedua hal tersebut membentuk
kekuatan pribadi siswa yang berkompeten
dalam menghadapi kehidupan masyarakat
yang majemuk sedangkan fungsi mata
pelajaran IPS, menurut Jarolimek (1986: 9)
berpendapat bahwa: The major mission of social studies
education is to help children learn about the
social world in which they live and how it
got that way; to learn to cope with social
realities; and to develop the knowledge,
attitudes, and skills, needed to help shape
an enlightened humanity.
Artinya, bahwa misi utama pendidikan IPS
adalah untuk membantu siswa belajar
tentang masyarakat dunia di mana mereka
hidup dan memperoleh jalan, untuk belajar
menerima realitas sosial, dan untuk
mengembangkan pengetahuan, sikap dan
ketrampilan untuk membantu mengasah
pencerahan manusia.
Berdasarkan fungsi dan tujuan IPS
diatas, guru harus memiliki asumsi bahwa
siswa akan menghadapi tantangan
kehidupan masyarakat yang selalu
mengalami perubahan. Maka, IPS di SD
akan mengarah pada mempersiapkan siswa
sebagai warga negara yang memiliki
pengetahuan sosial yang dapat digunakan
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
68
sebagai kemampuan mengatasi masalah dan
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan
kemasyarakatan agar menjadi warga negara
yang baik.
Penilaian IPS SD bertumpu pada
aspek pengetahuan, aspek kemampuan
berpikir, aspek nilai dan sikap, serta aspek
tindakan. Keempat aspek tersebut
dijabarkan sebagai berikut :
a. Pengetahuan
Menurut Depdiknas (2003:9)
konseptual, pengetahuan mencakup fakta,
konsep, dan generalisasi. Secara umum
penilaian tentang pengetahuan IPS
hendaknya disajikan berupa peristiwa dan
hal-hal yang bersifat konkret. Ciri soal yang
menitik beratkan aspek pengetahuan
menggunakan kata tanya untuk
menyebutkan, mengidentifikasi,
menamakan, menyatakan, menentukan
lokasi, dan menceritakan suatu peristiwa.
b. Kemampuan berpikir
Dalam IPS SD, siswa harus memiliki
kemampuan berpikir kritis. Penilaian yang
menumbuhkan kemampuan berpikir kritis
siswa diharapkan memberi efek positif
terhadap kemampuan diri anak.
Implementasinya dalam penilaian IPS SD
berupa soal yang mendorong siswa untuk
berpikir kritis menggunakan pertanyaan
untuk merumuskan sebab akibat dan
pendapat.
c. Nilai dan sikap
Penilaian IPS yang memiliki unsur
nilai dan sikap menonjolkan keyakinan dan
prinsip yang telah tertanam dalam diri
siswa. Ciri soal yang mengandung unsur
nilai dan sikap menggunakan pertanyaan
untuk merumuskan pandangan.
d. Tindakan
Penilaian IPS yang memiliki aspek
tindakan meliputi kemampuan memecahkan
masalah dan kemampuan mengambil
keputusan. Kemampuan-kemampuan
tersebut merupakan tahap paling tinggi dari
akumulasi pengetahuan, kemampuan, nilai,
dan sikap dan tindakan. Oleh karena itu, ciri
soal yang memiliki aspek pemecahan
masalah dan pengambilan keputusan yaitu
soal yang merumuskan beberapa alternatif
jawaban dari permasalahan atau situasi yang
terdapat pada soal. Selain itu, soal yang
merumuskan pemilihan solusi adri beberapa
alternatif solusi yang terdapat pada soal.
BSNP telah mengeluarkan pedoman
penilaian yang dapat digunakan oleh
pendidik. Adapun prosedur yang dimaksud
meliputi penentuan tujuan penilaian,
penyusunan kisi-kisi, perumusan indikator
pencapaian, penyusunan instrumen, telaah
instrumen, pelaksanaan penilaian,
pengolahan dan penafsiran hasil penilaian,
serta pemanfaatan dan pelaporan hasil
penilaian. Untuk tercapainya perencanaan
penilaian yang baik, maka harus dilakukan
langkah-langkah seperti yang dijabarkan
oleh BNSP (2010:15) yaitu : (1) menentukan tujuan tes, (2)
menentukan kompetensi yang akan
diujikan, (3) menentukan materi yang
diujikan, (4) menetapkan penyebaran butir
soal berdasarkan kompetensi, materi, dan
bentuk penilaiannya (tes tertulis: bentuk
pilihan ganda, uraian; dan tes praktik), (5)
menyusun kisi-kisinya, (6) menulis butir
soal, (7) menelaah secara kualitatif, (8)
merakit soal menjadi perangkat tes, (9)
menyusun pedoman penskorannya
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif kualitatif untuk menggambarkan
sejauhmana pemahaman dan kemampuan
guru dalam menyusun instrumen penilaian
IPS SD. Penelitian ini dilakukan di wilayah
kecamatan Cipedes kota Tasikmalaya
dengan kriteria guru kelas tinggi, PNS, telah
lulus PPG, dan telah lulus sertifikasi.
Berdasarkan kriteria tersebut, didapat 5
(lima) orang guru SD yang sesuai.
Penelitian ini menggunakan teknik
pengumpulan data dengan analisis
dokumen, dan wawancara. Dokumen yang
dikumpulkan untuk mengetahui data rekam
jejak pelaksanaan penyususnan instrumen
penilaian IPS pada masa lalu. Adapun
dokumen yang dijadikan data penelitian
yaitu seperangkat instrumen penilaian
setelah pembelajaran dan Ujian Tengah
Semester (UTS). Wawancara dilakukan
untuk mengetahui lebih mendalam tentang
pemahamandan hambatan guru dalam
menyususn instrumen penilaian. Maka,
dalam penelitian ini dilakukan wawancara
secara bebas terpimpin.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
69
Agar dokumentasi dan hasil wawancara
dapat dianalisis, maka perlu adanya
instrumen penelitian. Dalam penelitian ini,
instrumen penelitian disusun berdasarkan
Permendiknas nomor 16 tahun 2007 tentang
standar kualifikasi akademik dan
kompetensi guru, Permendiknas nomor 20
tahun 2007 tentang standar penilaian, BNSP
tentang pedoman penilaian, dan konsep
dasar IPS di SD. Pengembangan instrumen
penelitian ini menggambarkan kompetensi
guru tentang penyusunan instrumen
penilaian. Kompetensi tersebut yaitu sub
kompetensi pedagogik yang mencakup
penyelenggaraan penilaian dan evaluasi dan
hasil belajar, dan sub kompetensi
profesional yang mencakup penguasaan
konsep materi dan pola pikir keilmuan yang
mendukung mata pelajaran IPS.
Adapun kriteria penilaian instrumen
penelitian ini menggunakan skala Likert.
Menurut Sugiyono (2012:134) “Skala Likert
digunakan untuk mengukur sikap, pendapat,
dan persepsi seseorang atau sekelompok
orang tentang fenomena”. Kemudian
Sugiono (2012:135) menyatakan “Jawaban
tiap item instrumen yang menggunakan
skala Likert mempunyai gradasi dari sangat
positif sampai sangat negatif”. Maka,
peneliti menentukan lima kategori penilaian
tiap indikator, yaitu : sangat baik (SB) untuk
keterangan item indikator yang terpenuhi
total, baik (B) untuk keterangan item
indikator yang sebagian besar terpenuhi,
cukup (C) untuk keterangan antara terpenuhi
dan tidak terpenuhi yang seimbang terhadap
item indikator, kurang (K) untuk keterangan
item indikator yang sebagian kecil
terpenuhi, dan sangat kurang (SK) untuk
keterangan item indikator yang tidak
terpenuhi total atau bukan merupakan hasil
subjek penelitian sendiri.
Dalam menganilisis data, peneliti
mengacu kepada tiga alur proses analisis
data menurut Miles and Huberman (2007:
16) “Kami anggap bahwa analisis terdiri
dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara
bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian
data, penarikan kesimpulan/verifikasi”.
Tahapan-tahapan tersebut meliputi
penelaahan data secara seksama, yaitu data
harus benar-benar hasil karya subjek
penelitian. Dengan kata lain bukan hasil
karya orang lain yang digunakan oleh subjek
penelitian. Data yang bukan hasil karya
subjek penelitian tidak dapat digunakan
untuk menganalisis kompetensi subjek
penelitian dalam menyusun istrumen
penilaian. Setelah data benar-benar sesuai
dengan kriteria tersebut, dilanjutkan dengan
diklasifikasikan berdasarkan rumusan
masalah. Kemudian penemuan-penemuan
yang diperoleh dicantumkan dalam
instrumen penelitian. Setelah penelaahan,
data ditriangulasikan berdasarkan tujuan
penelitian dan dibandingkan dengan kajian
teori dan penelitian lain yang telah disajikan
pada bab sebelumnya. Langkah terahir,
peneliti menarik kesimpulan berdasarkan
analisis data yang telah dilakukan.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil wawancara, hanya
satu dari lima subjek penelitian yang
memiliki pemahaman yang cukup tentang
penyusunan instrumen penilaian IPS di SD.
Kemudian, tiga dari lima subjek penelitian
memiliki pemahaman yang baik tentang
penyusunan instrumen penilaian IPS di SD.
Sedangkan satu dari lima subjek penelitian
memiliki pemahaman yang sangat baik
tentang penyusunan instrumen penilaian IPS
di SD. Secara umum, pemahaman guru
tentang penyusunan instrumen penilaian di
kecamatan Cipedes kota Tasikmalaya
memperoleh kriteria baik.
Dari hasil analisis dokumentasi
menunjukkan bahwa satu dari lima subjek
penelitian memiliki kemampuan dalam
menyusun instrumen penilaian IPS SD
dengan kriteria cukup. Empat dari lima
subjek penelitian memiliki kemampuan
dalam menyusun instrumen penilaian IPS
SD dengan kriteria baik.
Kesuliatan guru yang terungkap pada
penelitian ini diantaranya seluruh subjek
penelitian tidak melakukan analisis butir
soal. Hal ini dikarenakan memerlukan waktu
yang cukup panjang. Guru hanya
mendokumentasikan soal-soal kedalam bank
soal yang dispesifikasikan sesuai dengan
materi ajar.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
70
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis mengenai
kompetensi guru kelas dalam menyusun
instrumen penilaian mata pelajaran IPS
sekolah dasar di kecamatan Cipedes kota
Tasikmalaya, maka dapat disimpulkan
berdasarkan rumusan masalah yaitu
mengenai pemahaman, kemampuan, dan
kesulitan guru dalam menyusun instrumen
penilaian IPS di SD.
Pada segi pemahaman penyusunan
instrumen penilaian IPS SD di kecamatan
Cipedes kota Tasikmalaya memiliki
kecenderungan berkompeten baik. Pada
segi kemampuan menyusun instrumen
penilaian IPS SD di kecamatan Cipedes kota
Tasikmalaya memiliki kecenderungan
berkompeten baik. Kesulitan guru dalam
menyusun instrumen penilaian bertumpu
pada guru tidak melakukan analisis butir
soal. Hal ini dikarenakan memerlukan waktu
yang cukup panjang. Guru hanya
mendokumentasikan soal-soal kedalam bank
soal yang dispesifikasikan sesuai dengan
materi ajar.
DAFTAR RUJUKAN
BSNP. (2010). Panduan Penulisan Butir
Soal. [Online]. Tersedia :
http://smp3bonang.files.wordpress.com/
2010/08/panduan-penulisan-butir-
soal.pdf (3 Desember 2016)
Depdiknas. (2003). Kurikulum 2004
Pedoman Penilaian Kelas. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan. CV. Timur Putra
Mandiri.
Departemen Pendidikan Nasional. (2006).
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
untuk SD/MI. [document].
Departemen Pendidikan Nasional. (2007).
Lampiran Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun
2007 tentang Standar Penilaian
Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
Hadiyanti, H. (2012). Studi Deskriptif
Pelaksanaan Evaluasi Pembelajaran
IPA Siswa Sekolah Dasar Al-Muttaqin
Fullday School Kota Tasikmalaya.
Skripsi Sarjana Pendidikan Guru
Sekolah Dasar UPI; Tidak Diterbitkan.
Jarolimek, J. 1993. Social Studies in
Elementary Education. New York :
Macmillan Publishing.
Kunandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada
Miles, B. Matthew dan Huberman, A. M.
(2007). Analisis Data Kualitatif. Jakarta
: UI-Press.
Nitko, Anthony J. (1996). Educational
Assessment of Students. Second Edition.
New Jersey : Englewood Cliffs.
Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 66 Tahun 2013.
Standar Penilaian Pendidikan.
[Online]. Tersedia :
http://ahmadsudrajat.files.wordpress.co
m/2013/06/04-a-salinan-permendikbud-
no-66-th-2013-ttg-standar-
penilaian.pdf(1 November 2016)
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Nomor 16 Tahun 2007. Standar
Kualifikasi Akademik dan Kompetensi
Guru.http://jahidinjayawinata61.wordpr
ess.com/standar-kompetensi-guru-
standar-kompetensi-kepala-sekolah-
standar-kompetensi-pengawas-
permendiknas-no-12-13-16-20/ (1
Desember 2016)
Sapriya, (2011). Konsep dan Pembelajaran
Pendidikan IPS. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Slameto, (2011). Pengembangan
Kompetensi Pedagogik dan Profesional
Guru.
Jurnal.http://cerpenik.blogspot.com/201
1/11/pengembangan-kompetensi-
pedagogik-dan.html (19 Oktober 2012)
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian
Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Supardan, D. (2008). Pengantar Ilmu Sosial.
Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Widaningsih, Dedeh. (2011). Perencanaan
Pembelajaran. Tasikmalaya, Rizqi
Press.
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
71
PENERAPAN MODEL KOOPERATIF LEARNING DENGAN TIPE TALKING
STICK PADA PENGJARAN IPS UNTUK MENINGKATKAN PROSES DAN
MENDAPATKAN HASIL BELAJAR SISWA
Rana Gustian Nugraha1, Dissa Revitasari
2
Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan Sebelas April Sumedang
ABSTRAK Penelitian ini dilatar belakangi oleh rendahnya hasil belajar siswa pada pembelajaran IPS
materi Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Penjajah di kelas VB SDN Karapyak 1. Alternatif
cara untuk meningkatkan proses dan hasil belajar, guru harus menggunakan penerapan model
pembelajaran. Model yang efektif yaitu dengan penerapan model pembelajaran kooperatif talking
stick. Untuk meningkatkan proses dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran IPS maka dilakukan
penelitian tindakan kelas yang terdiri dari dua siklus. Setiap siklus terdiri dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VB SDN Karapyak
1 tahun pelajaran 2015/2016 yang terdiri dari 38 siswa. Hasil penelitian yang diperoleh persentase
hasil belajar siswa pretest dengan persentase 0% meningkatkan pada siklus I dengan presentase
68%, dan meningkat pada siklus II dengna presentase 92%. Sedangkan untuk hasil proses belajar
siswa diperoleh presentase 29% untuk kategori baik, 63% untuk kategori cukup, dan 8% untuk
kategori kurang pada siklus I dan meningkat pada siklus II dengan presentase kategori baik 66%,
kategori cukup 34% dan 0% untuk kategori kurang. Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa, penerapan model kooperatif tipe talking stick pada mata pelajaran IPS materi
Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Penjajah mulai dari perencanaan yang tepat, pelaksanaan
yang sesuai dengan prosedur penelitian, pengamatan, dan refleksi maka dihasilkan proses dan hasil
belajar siswa meningkat dengan baik.
Kata kunci: Model Pembelajaran Kooperatif, Talking Stick
THE IMPLEMENTATION OF MODEL COOPERATIVE LEARNING
TYPE TALKING STICK IN SOCIAL SCIENCE THIS MATERIAL IS NEEDED
TO IMPROVE THE PROCESS AND OBTAIN THE RESULT
OF LEARNING STUDENTS
ABSTRACT
Based on this research by low the resultsin social science subject on Indonesian Resistance
Against The Colonialist material to increase the process and the result of learning students at VB
class SDN Karapyak 1. The Alternative ways to improve process and obtain the result of learning
students then the teacher will decide a learning model. Models are effective by applying model
learning is cooperative model type talking stick. To improve the process and the result of learning
students in the social science subject is classroom action research which consists of two cycle.
Every cycle consist of planning, acting, observing, and reflecing. The subject of this research are
students of VB class SDN Karapyak 1 year of lesson 2015/2016 consist of 38 students. As a result
of this research established the result percentage of learning students pre-cycle percentage 0%
increase at first cycle percentage 68%, and increase at second cycle is 92%. Meanwhile, as for the
result of the learning process students established percentage : 29% for high category, 63% for
middle category, and 8% for low category on first cycle and increase on second cycle percentage :
66% for high category, 34% for middle category, and 0% for low category. According on the
research results can be concluded that the implementation of model cooperative learning type
talking stick in social science subject social on Indonesian Resistance Against The Colonialist
material begin from right planning, acting with right procedure, observing, and finally reflecting of
the process and the results of learning students increased.
Key Words : Cooperative Learning, Talking Stick
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
72
PENDAHULUAN
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
disusun secara sistematis, komprehensif, dan
terpadu dalam proses pembelajaran untuk
menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam
kehidupan di masyarakat. Tujuan dari Mata
Pelajaran IPS, yakni mengembangkan
potensi peserta didik agar peka terhadap
masalah sosial yang terjadi di masyarakat,
memiliki sikap mental positif, dan terampil
mengatasi masalah setiap masalah baik yang
menimpa dirinya sendiri maupun yang
menimpa masyarakat. Perkembangan
IPTEK saat ini semakin bertambah maju dan
modern. Sebagai seorang guru, kita dapat
memanfaatkan perkembangan tersebut
dalam pembelajaran. Namun, tidak semua
guru memanfaatkan itu, karena ada guru
yang masih menggunakan strategi dan
metode pembelajaran tradisional.
Akibatnya, guru menjadi malas untuk
melakukan inovasi. “Dalam pembelajaran,
inovasi sangat diperlukan” (Shoimin, 2013 :
19). “Di dunia Internasional, mutu
pendidikan Indonesia berada di peringkat
ke-69 dari 127 negara berdasarkan laporan
UNESCO EFA Global Monitoring Report
2011.Ditingkat Asia, saat ini Indonesia
masih tertinggal dari Brunei Darussalam dan
Jepang”(disdikpora.palangkaraya.go.id).
Dalam proses pembelajaran seorang
guru harus memperhatikan komponen-
komponen pembelajaran. Komponen
pembelajaran itu terdiri dari tujuan
pembelajaran, guru, siswa, model, materi,
media, sumber belajar dan evaluasi.
Pendidikan di Indonesia masih tergolong
rendah salah satu faktor pemicunya, yaitu
pembelajaran kurang dikemas sebaik dan
semenarik mungkin oleh guru sehingga belajar terkesan membosankan dan anak-
anak ingin segera kembali ke rumahnya
masing-masing atau siswa yang tidak mau
mencoba ikut serta atau terlibat ketika
proses pembelajaran sedang berlangsung di
kelas. Akhirnya, tujuan pembelajaran tidak
tercapai ketika proses dan evaluasi. Siswa
tidak merasakan proses belajar yang baik
dan tidak membuat siswa untuk berfikir
kritis serta holistik dalam memecahkan
masalah. Indonesia masih mempunyai
kekurangan terutama dalam bidang
pendidikan baik dari penyusunan RPP
(Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi
siswa, kualitas guru, sistem, sarana, dan
prasarana yang menunjang pembelajaran,
dan lain-lain.
Kegiatan belajar mengajar di kelas erat
korelasinya dengan proses atau aktivitas
siswa yang akan berdampak pada hasil
belajar siswa. Keaktifan siswa di kelas
tergantung pada penyajian guru dalam
menstimulasi anak ketika belajar. Hasil
belajar siswa adalah hasil yang dicapai
seorang siswa setelah mengalami proses
belajar dan melewati tahap evaluasi diakhir
proses pembelajaran. Biasanya hasil belajar
siswa berbentuk laporan hasil belajar
(raport). Tolok ukur keberhasilan siswa
adalah guru. Maka dari itu, guru harus
membuat RPP sebaik mungkin agar tujuan
pembelajaran tercapai.
Berdasarkan pengalaman nyata dan
hasil refleksi dari penulis, ada satu kendala
yang penulis temukan dari guru, yaitu
kurang memperhatikan RPP (Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran). “Kualitas
pembelajaran seorang guru diawali dengan
pembuatan RPP” (Chatib, 2009 : 150).
Seharusnya model pembelajaran harus
selalu diperbaharui dan sering dimodifikasi
agar lebih bervariasi yang tak terlepas dari
kebutuhan siswa dalam proses belajar
mengajar di kelas. Dalam pembelajaran IPS
di Sekolah Dasar, penyajian model
pembelajaran seorang guru dituntut agar
bervariatif dan inovatif guna merangsang
motivasi siswa untuk belajar dan mencegah
siswa dari kejenuhan proses belajar, sehingga memberi kesegaran agar proses
belajar menjadi suatu proses yang
menyenangkan bagi siswa, dengan demikian
tujuan dari pembelajaran dapat dicapai
sesuai dengan yang diharapkan.
Berdasarkan data awal yang penulis
peroleh, bahwa belum ada siswa yang
memenuhi KKM untuk sub materi
“Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
73
Penjajah”. Nilai KKM IPS kelas V di SDN
Karapyak 1 adalah 72.
Model pembelajaran kooperatif ada
berbagai tipe diantaranya, yaitu Jigsaw,
Think Pair Share, Numbered Heads
Together, Group Investigation, Make a
match, Talking Stick, dan lain-lain. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan Model
pembelajaran kooperatif tipe Talking Stick.
Menurut Shoimin (2014 : 192) “talking
stick (tongkat berbicara) adalah metode
yang digunakan penduduk Amerika untuk
mengajak semua orang berbicara atau
menyampaikan pendapat dalam suatu
forum. Model ini merupakan model
pembelajaran kelompok dengan bantuan
tongkat”.
Kelompok yang memegang tongkat
terlebih dahulu wajib menjawab pertanyaan
dari guru. Kegiatan ini diulang terus
menerus sampai semua kelompok
mendapatkan giliran untuk menjawab
pertanyaan dari guru. Langkah-langkah
talking stick (Shoimin, 2014 : 193-194) :
1) Guru menyiapkan tongkat;
2) Menyiapkan materi;
3) Siswa membaca materi pada wacana;
4) Guru meminta kepada peserta didik
untuk menutup bukunya;
5) Guru mengambil tongkat yang telah
dipersiapkan sebelumnya;
6) Guru memberikan kepada salah satu
peserta didik dan peserta didik yang
mendapat tongkat diwajibkan menjawab
pertanyaan dari guru demikian
seterusnya;
7) Guru memberikan kesimpulan;
8) Guru melakukan evaluasi;
9) Guru menutup pelajaran.
Ada beberapa kelebihan dan kelemahan
talking stick (Shoimin, 2014 : 199) : No Kelebihan Kelemahan 1 Menguji kesiapan
peserta didik dalam pembelajaran
Siswa cenderung
individu
2 Melatih peserta didik
memahami materi
dengan cepat
Materi yang diserap
kurang
3 Memacu agar peserta
didik lebih giat belajar
Guru kesulitan
melakukan pengawasan
4 Peserta didik berani
mengemukakan
pendapat
Ketenangan kelas
kurang terjaga
Tabel 1. Kelebihan dan Kelemahan Talking Stick
Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah
dikemukakan oleh peneliti, maka fokus
penelitian tersebut adalah :
1) Untuk mengetahui bagaimana proses
belajar siswa dengan menggunakan
model pembelajaran kooperatif tipe
talking stick?
2) Untuk mengetahui bagaimana hasil
belajar siswa dengan menggunakan
model pembelajaran tipe kooperatif
talking stick?
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Penelitian Tindakan
Kelas (PTK), dalam bahasa Inggris PTK
disebut Classroom Action Research (CAR).
Penelitian Tindakan Kelas adalah
bagaimana sekelompok guru dapat
mengorganisasikan kondisi praktik
pembelajaran mereka, dan belajar dari
pengalaman mereka sendiri. Pada intinya,
PTK dilaksanakan untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran. “Mereka dapat
mencobakan suatu gagasan perbaikan dalam
praktik pembelajaran mereka, dan melihat
pengaruh nyata dari upaya itu”
(Wiriaatmadja, 2005 : 13).
“Penelitian adalah suatu proses atau
suatu rangkaian langkah-langkah yang
dilakukan secara terencana dan sistematis
guna mendapatkan pemecahan
masalah/mendapatkan jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan tertentu”
(Suryabrata, 1983 : 11).
Dalam KBBI tindakan adalah sesuatu
yang dilakukan; perbuatan sedangkan kelas
adalah tingkat; ruang tempat belajar. Ciri
Khas PTK adalah adanya tindakan
kolaboratif partisipan. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa PTK merupakan suatu
bentuk penelitian yang bersifat reflektif
dengan melakukan tindakan tertentu yang
dapat memperbaiki proses pembelajaran di
kelas.
Terkait dengan PTK, peneliti
menggunakan desain Kemmis dan
Mc.Taggart yang dianggap sederhana dan
mudah dipahami. Penelitian Tindakan Kelas
termasuk dalam penelitian kualitatif.
Creswell (1998) menjabarkan bahwa
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
74
“penelitian kualitatif adalah sebuah proses
inkuiri yang menyelidiki masalah-masalah
sosial dan kemanusiaan dengan tradisi
metodologi yang berbeda”. Menurut
Wiriaatmadja (2005) “PTK partisipan ialah
suatu penelitian tindakan kelas di mana
orang akan melaksanakan penelitian sejak
awal sampai dengan membuat hasil
penelitian yang berupa laporan”. Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan PTK
Partisipan artinya peneliti terlibat langsung
di dalam proses penelitian sejak awal
sampai dengan hasil penelitian berupa
laporan. Wiriaatmadja (2005) Penelitian
Tindakan Kelas mempunyai beberapa
karakteristik diantaranya:
1) Didasarkan pada masalah yang dihadapi
oleh guru dalam instruksional;
2) Adanya kolaborasi dalam
pelaksanaannya;
3) Peneliti sekaligus sebagai praktisi yang
melakukan refleksi;
4) Bertujuan untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitas praktik
instruksional;
5) Dilaksanakan dalam rangkaian langkah
dengan beberapa siklus;
6) Pihak yang melakukan tindakan adalah
guru sendiri.
“Berdasarkan jenis penelitian
sebagaimana dipaparkan sebelumnya,
rancangan atau desain PTK yang digunakan
adalah menggunakan desain PTK kemmis
dan Mc.Taggart yang dalam alur
penelitiannya meliputi beberapa langkah”
(Wiriaatmadja, 2005 : 66).
Langkah-langkah desain PTK kemmis
dan Mc.Taggart adalah sebagai berikut :
1. Perencanaan (plan); rencana tindakan ini
mencakup semua langkah tindakan
secara rinci. Segala keperluan PTK,
mulai dari materi atau bahan ajar,
rencana pengajaran yang mencakup
metode, teknik mengajar, instrumen,
observasi, dan evaluasi, dipersiapkan
dengan matang pada tahap perencanaan
ini.
2. Melaksanakan tindakan (act);
pelaksanaan tindakan menyangkut apa
yang dilakukan peneliti sebagai upaya
perbaikan, peningkatan atau perubahan
yang dilaksanakan berpedoman pada
rencana tindakan. Jenis yang dilakukan
pada PTK hendaknya selalu didasarkan
pada pertimbangan teoritik dan empirik.
3. Melaksanakan pengamatan (observe);
peneliti mengamati hasil atau dampak
dari tindakan yang dilakukan siswa;
kegiatan analisis, sintesis, interpretasi
terhadap semua informasi yang
diperoleh saat kegiatan tindakan (act).
4. Refleksi (reflection); Dalam kegiatan ini
peneliti mengkaji, melihat, dan
mempertimbangkan hasil-hasil atau
dampak dari tindakan.
Gambar 1
Desain Spiral Kemmis dan Mc Taggart
(Wiriaatmadja, 2005 : 66)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Upaya perbaikan pembelajaran yang
menyangkut aktivitas guru maupun siswa
dengan pembelajaran yang dilakukan
dengan memodifikasi model pembelajaran
dan memadukannya dengan media
pembelajaran audio-visual yang
menayangkan film dokumenter berdurasi
singkat terbukti sangat membantu
pencapaian tujuan pembelajaran, terbukti
data empiris dilapangan, hasil belajar siswa
dalam pelajaran IPS pada materi
“Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan
Penjajah” yang dilakukan pembelajaran
sampai pada siklus II persentase hasil
belajar meningkat 24% yang semula pada
siklus I 68% menjadi 92% pada siklus ke II
dan untuk proses belajar siswa selama
proses pembelajaran pada siklus I, yakni
29% menjadi 66% pada siklus II yang
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
75
termasuk kategori baik. Terjadi peningkatan
37% untuk proses belajar siswa, persentase
kinerja guru juga meningkat dari persentase
81% pada siklus I menjadi 96% pada siklus
II. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
tabel berikut ini :
No.
Nama
Siswa
Nilai Keterangan
Pra
Siklus
Siklus
I
Siklus
II Naik Turun Tetap
1 S1 35 45 90 √
2 S2 35 75 90 √
3 S3 30 80 100 √
4 S4 30 85 95 √
5 S5 40 90 100 √
6 S6 50 90 85 √
7 S7 40 80 100 √
8 S8 40 85 85 √
9 S9 40 75 100 √
10 S10 45 40 65 √
11 S11 55 70 100 √
12 S12 35 70 100 √
13 S13 35 80 87,5 √
14 S14 40 80 100 √
15 S15 35 25 95 √
16 S16 55 80 95 √
17 S17 45 75 100 √
18 S18 40 80 100 √
19 S19 40 90 100 √
20 S20 30 80 95 √
21 S21 50 75 95 √
22 S22 25 50 100 √
23 S23 25 90 95 √
24 S24 40 70 60 √
25 S25 50 80 95 √
26 S26 35 85 100 √
27 S27 35 80 100 √
28 S28 45 90 100 √
29 S29 20 20 95 √
30 S30 35 80 50 √
31 S31 55 90 100 √
32 S32 45 70 80 √
33 S33. 50 80 100 √
34 S34 55 95 100 √
35 S35 Izin 45 80 √
36 S36 55 70 95 √
37 S37 30 55 95 √
38 S38 65 90 100 √
Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Belajar Siswa Kelas
VB SDN Karapyak I Pra Siklus, Siklus I, dan
Siklus II
Pengolahan dan Analisis Data
Berikut ini data perkembangan
kemajuan proses dan hasil belajar siswa
melalui pengamatan langsung ke lapangan
mengenai materi “Perjuangan Bangsa
Indonesia Melawan Penjajah” di kelas VB
SDN Karapyak I Kel. Situ Kec. Sumedang
Utara Kabupaten Sumedang pada setiap
siklusnya.
T= Tuntas
BT= Belum Tuntas
B= Baik
C= Cukup
K= Kurang
Tabel 3. Perkembangan Kemajuan Hasil Belajar,
Proses Belajar, dan Kinerja Guru
MenggunakanModel Pembelajaran Kooperatif
Tipe Talking Stick
Dari tabel di atas diketahui terjadi
perubahan pencapaian target pada setiap
siklusnya, hal ini membuktikan
pembelajaran IPS menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe talking stick
pada kelas VB SDN Karapyak 1 Kel. Situ
Kec. Sumedang Utara Kabupaten Sumedang
berhasil dilakukan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pemaparan data dan
pembahasan mengenai Penerapan Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Talking Stick
Pada Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial Pada Materi Perjuangan Bangsa
Indonesia Melawan Penjajah Untuk
Meningkatkan Proses Dan Hasil Siswa Di
Kelas VB SDN Karapyak I Kel Situ Kec.
Sumedang Utara Kab Sumedang. maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
Hasil proses belajar siswa siswa pada
siklus I bahwa siswa yang termasuk dalam
kategori baik (B) ada 11 orang, siswa yang
termasuk kategori cukup (C) ada 24 orang,
dan siswa yang termasuk kategori kurang
(K) ada 3 orang. Maka, persentase proses
Jurnal Forum Didaktik Vol I No 1 Edisi Januari 2017
76
belajar siswa pada siklus I yang termasuk
dalam kategori baik (B) ada 11 siswa =
29%, kategori cukup (C) ada 24 siswa =
63%, kategori kurang (K) ada 3 siswa = 8%.
Sedangkan pada siklus II bahwa siswa yang
termasuk dalam kategori baik (B) ada 25
orang, siswa yang termasuk kategori cukup
(C) ada 13 orang, dan tidak ada siswa yang
termasuk kategori kurang (K). Proses belajar
siswa terjadi peningkatan pada siklus II.
Maka, persentase proses belajar siswa pada
siklus I yang termasuk dalam kategori baik
(B) ada 25 siswa = 66%, kategori cukup (C)
ada 13 siswa = 34%, dan tidak ada siswa
yang masuk pada kategori kurang = 0%.
Nilai hasil belajar pra siklus adalah 0%
untuk siswa yang tuntas dan 100% untuk
siswa yang belum tuntas. Persentase nilai
hasil belajar siswa pada siklus I, yakni 68%
untuk siswa yang tuntas dan 32% untuk
siswa yang belum tuntas. Nilai hasil belajar
yang tertinggi pada siklus I adalah 95.
Persentase ketuntasan belajar siswa
mengalami peningkatan dari penilaian hasil
pra siklus. Sedangkan pada siklus II
persentase nilai hasil belajar siswa yang
tuntas, yakni 92% dan 8% siswa yang belum
tuntas. Nilai hasil belajar yang tertinggi
pada siklus II adalah 100. Ada 18 siswa
yang mendapatkan nilai 100 pada saat
evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA
Chatib, M. 2011. Sekolah Manusia.
Bandung : Kaifa.
http:://disdikpora.palangkaraya.go.id/berita-
160-kualitas-pendidikan-indonesia-
ranking-69-tingkat-dunia.html (diakses
pada 22 Maret 2016)
Shoimin, A. 2014. 68 Model
Pembelajaran Inovatif Dalam
Kurikulum 2013. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media
Suryabrata, S. 1983. Metodologi Penelitian.
Yogyakarta : Raja Grafindo Persada.
Wiriaatmadja, R. 2005. Metode
Penelitian Tindakan Kelas. Bandung :
Rosda.