descematokel

40
LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PASIEN Nama : Tn. S Umur : 56 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Agama : Islam Bangsa : Indonesia Pekerjaan : Petani Alamat : Mamuju Tgl. Pemeriksaan : 27 April 2015 No. Registrasi : 068203 Rumah Sakit : BKMM Dr. Pemeriksa : dr MN II. ANAMNESIS Keluhan Utama : Penglihatan menurun pada mata kiri Anamnesis terpimpin : Dialami sejak 3 bulan yang lalu setelah terkena padi saat bekerja di sawah pada mata kiri, ada mata merah, tidak ada nyeri, ada air mata berlebih, ada kotoran mata berlebih, tidak ada darah ataupun cairan seperti gel yang keluar dari mata, pada minggu pertama setelah trauma pasien mengalami mata merah, kemudian minggu kedua pasien mulai menyadari munculnya bintik putih pada bola mata hitamnya 1

Upload: achmadfikry

Post on 19-Dec-2015

50 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

ergvWSDGRVERFBHFBSFCBEAGTNBAFBXbFDBDNADGNADGNADGADVNGNADNDVNGADNADBADNADGNADFBNDFNDGNGNMHMNSGDNBZDFBZDFVSFDNSFGBNFDBDAFBDFBDGBSDGB

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama

: Tn. S

Umur

: 56 tahun

Jenis Kelamin: Laki-laki

Agama

: Islam

Bangsa

: Indonesia

Pekerjaan

: Petani

Alamat

: Mamuju

Tgl. Pemeriksaan: 27 April 2015No. Registrasi: 068203Rumah Sakit: BKMMDr. Pemeriksa : dr MNII. ANAMNESIS

Keluhan Utama

: Penglihatan menurun pada mata kiriAnamnesis terpimpin:

Dialami sejak 3 bulan yang lalu setelah terkena padi saat bekerja di sawah pada mata kiri, ada mata merah, tidak ada nyeri, ada air mata berlebih, ada kotoran mata berlebih, tidak ada darah ataupun cairan seperti gel yang keluar dari mata, pada minggu pertama setelah trauma pasien mengalami mata merah, kemudian minggu kedua pasien mulai menyadari munculnya bintik putih pada bola mata hitamnya disertai penglihatan yang menurun. Pasien hanya berobat ke dukun dan tidak ada perubahan,kemudian pasien memutuskan berobat ke dokter umum diberi obat tetes (Xytrol) selama 5 hari namun tidak ada perubahan. Pasien kemudian berobat ke BKMM.Riwayat Penyakit Terdahulu

Riwayat yang sama sebelumnya pada mata kiri

Riwayat menggunakan kacamata sebelumnya tidak ada.

Riwayat trauma ada, terkena padi.

Riwayat Diabetes Melitus tidak ada.

Riwayat Hipertensi tidak ada.

Riwayat Merokok tidak ada

Riwayat Pengobatan

Riwayat pemakaian obat tetes mata dari dokter umum (Xytrol) selama 5 hari.

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit dalam keluarga tidak ada.

III. STATUS GENERALISATA

Status Umum: Sakit Sedang/Gizi Cukup/Sadar

Tanda Vital:

Tekanan darah: 120/80 mmHg

Nadi

: 84x/menit

Pernapasan: 16 x/menit

Suhu

: 36,7 oIV. FOTO KLINIS

Status Lokalis

OD OS

V. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI

A. INSPEKSI

NOPEMERIKSAANOSOD

1. PalpebraEdema (-)Edema (-)

2.Apparatus LakrimalisLakrimasi (+)Lakrimasi (-)

3.SiliaSekret (-)Sekret (-)

4.KonjungtivaHiperemis (+)Hiperemis (-)

5.Bola MataNormalNormal

6.MekanismeMuskular

Ke segala arahKesegala arah

7.KorneaKeruh Jernih

8.Bilik Mata DepanSulit dinilaiDalam batas normal

9.IrisSulit dinilaiCokelat, kripte (+)

10.PupilSulit dinilaiBulat, sentral, RC(+)

11.LensaSulit dinilaiJernih

B. PALPASI

NOPEMERIKSAANOSOD

1. Tensi OkulerTn Tn

2.Nyeri Tekan(-)(-)

3.Massa Tumor(-)(-)

4. Glandula Pre-aurikulerTidak ada pembesaranTadak ada pembesaran

C. TONOMETRI : Tidak dilakukan pemeriksaan

D. VISUS

VOS: 0

VOD: 20/60

E. CAMPUS VISUAL

: Tidak dilakukan pemeriksaan

F. COLOR SENSE

: Tidak dilakukan pemeriksaan

G. PENYINARAN OBLIK:

NOPEMERIKSAANOSOD

1.KonjungtivaHiperemis (+)Hiperemis (-)

2.KorneaKeruh di daerah sentral tampak ulkus kornea dan tampak di daerah parasentral decemetocele di arah jam 7Jernih

3.Bilik Mata DepanSulit dinilaiDalam batas normal

4.IrisSulit dinilaiCokelat, kripte (+)

5.PupilSulit dinilaiBulat, sentral, RC(+)

6.LensaSulit dinilaiJernih

H. DIAFANOSKOPI

: Tidak dilakukan pemeriksaan

I. SLIT LAMP

SLOS: Konjungtiva hiperemis (+), Injeksio konjungtiva (+), Injeksio perikorneal (+), kornea keruh di daerah sentral, tampak ulkus kornea dengan ukuran 2mm, pada daerah parasentral tampak descematokel di arah jam 7 dengan ukuran 1 mm, fluoresensi positif, BMD sulit dievaluasi, iris sulit dievaluasi, kripte sulit dievaluasi, pupil sulit dievaluasi, lensa sulit dievaluasi.

SLOD: Konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih, BMD dalam batas normal, iris cokelat, kripte (+), pupil letak sentral, lensa jernih.J. OFTALMOSKOPI

:

Tidak dilakukan pemeriksaan

K. BIOMETRI :

Tidak dilakukan pemeriksaan.

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG :

A. Laboratorium:

Tidak dilakukan pemeriksaan

VII. RESUME

Seorang laki-laki umur 56 tahun datang ke Poliklinik BKMM Makassar dengan keluhan penglihatan menurun pada mata kiri. Dialami sejak 3 bulan yang lalu setelah terkena padi saat bekerja di sawah padamata kiri namun tidak pernah berobat ke dokter hanya berobat di dukun karena pasien mengaku tidak memiliki biaya untuk pengobatan. Pada minggu pertama setelah trauma pasien mengalami mata merah, air mata berlebih, dan ada kotoran mata berlebih, minggu kedua pasien mulai menyadari munculnya bintik putih pada bola mata hitamnya disertai penglihatan yang menurun. Pasien hanya berobat ke dukun dan tidak ada perubahan,kemudian pasien memutuskan berobat ke dokter umum diberi obat tetes (Xytrol) selama 5 hari namun tidak ada perubahan. Pasien kemudian berobat ke RSWS.Dari pemeriksaan oftalmoskopi didapatkan VOD: 20/60, VOS: 0. LP (-). Pada pemeriksaan Slit Lamp didapatkan SLOS: Konjungtiva hiperemis (+), Injeksio konjungtiva (+), Injeksio perikorneal (+), kornea keruh di daerah parasentral, tampak descemetokel di arah jam 11 dengan ukuran 2,5 mm, fluoresensi positif, BMD sulit dievaluasi, iris sulit dievaluasi, kripte sulit dievaluasi, pupil sulit dievaluasi, lensa sulit dievaluasi. SLOD: Konjungtiva hiperemis (-), kornea jernih, BMD dalam batas normal, iris cokelat, kripte (+), pupil letak sentral, lensa jernih.VIII. DIAGNOSIS

OS Descemetocele IX. DIAGNOSIS BANDING

Stromal abscess

X. PENATALAKSANAAN

Rencana OS Eviserasi

Cendo LFX EDMD 4x1 gtt ODS

XI. PROGNOSIS

Quo ad vitam

: bonam

Quo ad visam

: malam

Quo ad sanationam : dubia

Quo ad cosmeticam : malam

DESCEMETOKEL

I. PENDAHULUAN

Descematokel merupakan salah satu komplikasi dari ulkus kornea. Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan strukturnya yang uniform, avaskuler dan deturgenses. Deturgenses, atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, cedera pada epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat stroma kornea yang akan menghilang bila sel-sel epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari film air mata prakornea berakibat film air mata menjadi hipertonik; proses itu dan penguapan langsung adalah faktor-faktor yang menarik air dari stroma kornea superfisial untuk mempertahankan keadaan dehidrasi.1Membran descement merupakan bagian dari lapisan kornea yang keempat setelah lapisan stroma kornea. Lapisan ini berasal dari endothelium, dan tipis pada saat bayi, kemudian berkembang sesuai perkembangan usia. Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup. Membran descement terdiri dari kolagen dan glikoprotein. Tidak seperti membran Bowman, membran descement dapat bergenerasi.1Descematokel merupakan salah satu komplikasi dari ulkus kornea. Bila ulkus kornea yang terjadi meluas hingga menembus ke membran descement maka membran descement akan keluar sehingga terlihat sebagai suatu descematokel. Descematokel yang terbentuk dapat mempertahankan integritas bolamata dalam waktu lama. Ulkus kornea yang menyebabkan terbentuknya suatu descematokel dapat menimbulkan gangguan penglihatan, dan menjadi salah satu penyebab kebutaan bagi penderita.1Perforasi kornea merupakan hasil dari berbagai kelainan yang dapat meninggalkan sekuel pada penglihatan. Descematokel dan perforasi merupakan kasus darurat mata yang membutuhkan penanganan segera. Penatalaksanaan yang harus diutamakan adalah pencegahan terhadap terjadinya perforasi kornea, karena sekali terjadinya perforasi, seringkali gangguan penglihatan terjadi.2Terminologi ulkus kornea, descematokel, dan perforasi sering kali di salah artikan. Ulkus kornea adalah adanya defek pada lapisan epithelial dengan kehilangan stroma, seringkali disertai peradangan bahkan nekrosis. Descematokel adalah sebuah lesi dimana terjadi destruksi dari epitelium dan stroma dengan hanya menyisakan membran descement dan endothelium. Karena sifat alaminya yang sangat elastis dan adanya tekanan intraocular, membrane Descement akan menonjol ke arah anterior, membentuk menyerupai kubah, bermembran transparan, yang mudah dikenali melalui pemeriksaan slit lamp. Pada stadium ini, kornea menjadi sangat rentan untuk perforasi. Istilah impending perforata memang kurang spesifik, namun seringkali digunakan pada berbagai ulserasi dengan penipisan lapisan stroma yang parah dan secara klinis dapat menjadi perforasi. Perforasi adalah kondisi dimana terdapat defek pada seluruh lapisan kornea dan adanya hubungan antara anterior chamber dan permukaan bola mata. Descematokel dengan keluarnya humour aquos secara teknis disebut perforasi, tetapi lebih sering disebut dengan pecahnya descematokel. Jadi, berdasarkan terminology tersebut, adanya jaringan non-epitelial, penipisan kornea yang parah, harusnya mendapatkan penanganan darurat yang membutuhkan intervensi khusus.2,3Gambar 1. Descematocele berukuran kecil dengan ulkus ulkus kornea besar

(Diambil dari Kepustakaan 2)II. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Kornea adalah jaringan transparan, yang ukurannya sebanding dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan ke sklera di limbus, lengkung melingkar pada persambungan ini disebut sulkus skelaris. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 mikrometer di pusatnya, diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm. Dari sumber yang lain menyebutkan nilai rata-rata kornea orang dewasa adalah 11,5 mm (10-13 mm). Kornea ukuran kecil congenital (mikro kornea memiliki diameter kurangdari 10,0 mm) atau kornea besar congenital (megalokornea memiliki diameter dari 13 hingga 15 mm), kedua kejadian ini merupakan keadaan abnormal yang selalu ditemukan.4Kornea adalah struktur vital pada mata yang bersifat sangat sensitif. Kornea menerima suplai sensoris dari nervus trigeminal optalmikus. Rangsang taktil menyebabkan reflex mata tertutup. Jika terdapat injuri atau cedera kornea (erosi, penetrasi benda asing, atau keratokunjungtivitis ultraviolet) yang mencederai bagian akhir nervus sensoris akan menyebabkan nyeri berkelanjutan dengan reflex keluarnya air mata dan penutupan mata yang involunter.4Kornea mempunyai enam lapisan yang berbeda-beda: lapisan epitel (yang berbatasan dengan epitel konjungtiva bulbaris), lapisan Bowman, stroma, duas layer, membran descement, dan lapisan endotel.1Gambar 2. Anatomi Bola Mata(Diambil dari Kepustakaan 3)

Gambar 3. Lapisan lapisan kornea(Diambil dari Kepustakaan 3)

Gambar 4. Lapisan- lapisan kornea(Diambil dari Kepustakaan 3)Kornea terdiri atas 6 lapisan, yaitu:1 1. Epitel

Merupakan tipe sel skuamosa bertingkat yang berlanjut dengan epithelium pada konjungtiva bulbar di limbus. Bagian ini terdiri dari 5-6 lapisan sel. Pada lapisan bagian terdalam (basal) membentuk sel kolumner, kemudian 2-3 lapisan sel sayap atau sel payung dan 2 lapisan superfisial merupakan sel datar.2. Membran Bowman

Lapisan ini terdiri dari bagian aseluler yang memadatkan fibril kolagen. Ketebalannya mencapai 12 mikrometer dan berikatan pada stroma kornea anterior dengan membrane basal epithelium. Lapisan ini bukan membrane elastis tapi secara singkat merupakan bagian superfisial stroma. Bagian ini sangat resisten untuk menjadi infeksi. Tapi jika bagian ini rusak maka tidak dapat bergenerasi kembali.

3. Stroma

Lapisan ini mempunyai ketebalan 0,5 mm dan merupakan bagian penting kornea (90% dari total ketebalan) terdiri dari fibril kolagen (lamella) dalam matrix hidrasi pada proteoglikan. Lamellae disusun oleh banyak lapisan, lapisan ini tidak hanya parallel diantara lapisan yang lain tapi juga berlanjut dengan lamellae sclera pada limbus. Diantara lapisan lamellae terdapat keratosit, magrofag, histiosit dan sedikit leukosit.4. Duas LayerDuas layer terletak di belakang kornea antara stroma kornea dan membran Descemet. Para ilmuwan mempercayai bahwa hidrops kornea, penonjolan kornea disebabkan karena penumpukan cairan pada pasien dengan keratokonus (deformitas kornea berbentuk kerucut), disebabkan oleh robekan pada Duas layer, dimana air yang berasal dari dalam mata masuk dan menimbulkan penumpukan.5. Membran Descement

Lapisan homogen kuat yang berikatan dengan stroma posterior. Membrane ini resisten terhadap bahan kimia, trauma, dan proses patologik. Bagaimanapun descemetocele dapat mempertahankan integritas bolamata dalam waktu lama. Membran descement terdiri dari kolagen dan glikoprotein. Tidak seperti membrane bowman, membrane descement dapat bergenerasi.6. Endotel

Terdiri dari lapisan selapis pada bagian datar sel polygonal (atau hexagonal). Kepadatan sel endothelium sekitar 3000 sel/mm2 pada dewasa muda, yang menurun seiring bertambahnya usia. Bagian ini sangat fungsional sebagai cadangan untuk endothelium. Oleh karena itu, dekompensasi kornea terjadi hanya setelah lebih dari 75% sel telah hilang. Sel endothelial berisi mekanisme pompa aktif.Enam lapisan kornea memiliki sedikit sel dan tidak terstruktur serta avaskular. Seperti lensa, skelera, dan badan vitreus, kornea adalah struktur jaringan lunak braditropik. Sumber nutrisi kornea melalui metabolism nutrisi (asam amino dan glukosa) dari 3 sumber: Difusi dari tepi kapiler kornea, difusi dari humor aquos, dan difusi dari tear film.4III. EPIDEMIOLOGI

Descemetocele merupakan salah satu dari komplikasi ulkus kornea yang mengenai lapisan kornea yang paling dalam yang merupakan penyebab morbiditas dan kebutaan di dunia. Pada beberapa penelitian insidensinya lebih banyak terkena pada laki-laki dibandingkan perempuan sekitar 64,36%. Ini dikarenakan bahwa fakta yang ada menunjukkan laki-laki lebih banyak terlibat dalam pekerjaan diluar rumah dan terpapar dengan sinar ultraviolet khususnya para petani dan nelayan, trauma dalam pekerjaan pertanian dan sebagainya.2Descemetocele dapat mengenai semua umur. Kelompok dengan prevalensi penyakit yang lebih tinggi adalah mereka dengan faktor resiko. Kelompok pertama yang berusia di bawah 30 tahun dengan trauma okuler, dan kelompok kedua yang berusia di atas 60 tahun adalah mereka yang mungkin menjalani operasi.5 IV. ETIOLOGI

Descematokel merupakan keadaan dimana terjadi perpindahan ke arah luar atau ektansia membran descement dimana stroma kornea yang berada di atasnya telah rusak akibat inflamasi. Descematokel merupakan komplikasi ulkus yang disebabkan oleh agen yang menembus kornea dengan cepat menuju membran descement yang dapat menimbulkan resistensi yang hebat, tetapi karena terdapat tekanan intraokuler, maka terjadi herniasi sebagai vesikel yang transparan yang disebut dengan descemetocele. Ini adalah tanda dari perforasi yang mengancam dan sering kali menimbulkan nyeri hebat.3,5,6Terdapat beberapa kondisi yang dapat sebagai predisposisi terjadinya inflamasi pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea (dry eyes), penggunaan lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma dan penggunaan preparat imunosupresif topical maupun sistemik. Penyebab tersering terjadinya perforasi kornea adalah infeksi, baik infeksi bakteri, jamur, atau virus yang ditemukan 24 55 % dari semua kejadian perforasi dan infeksi bakteri adalah yang tersering. Penyebab utamanya antara lain, infeksi (bakteri, jamur, virus seperti herpes simplex dan herpes zoster), inflamasi (penyakit vaskular-kolagen, rosacea, penyakit atopik, Wegeners granulomatosa, ulkus Mooren), dan trauma (zat kimia, panas, dan penetrasi). Disamping itu, penyebab lainnya seperti akibat paparan matahari dan keratopati neuropati, xerosis (idiopatik, Shogrens syndrome, Sindrom Steven Johnson, defisiensi vitamin A), degenerasi kornea (keratokonus, keratoglobus), dan pembedahan (ekstraksi katarak, LASIK, eksisi pterygium dengan mitomycin-C, operasi glaukoma) juga dapat menyebabkan ulkus dan perforasi. Semua faktor predisposisi tersebut dapat merusak jaringan epitelium kornea, dan sekali lapisan tersebut rusak dengan mudahnya pathogen masuk ke stroma dan inflamasi akan terjadi sebagai respon tubuh. Kerusakan terjadi akibat kombinasi dari invasi mikroba secara langsung ditambah dengan reaksi kemotaksis dari leukosit yang menyebabkan dilepaskannya kolagen sehingga timbulnya ulkus kornea. Keratitis virus, yang dikenal sebagai herpes simpleks (HSV) dan herpes zoster (HZV), dapat menyebabkan perforasi kornea sekunder hingga keratitis ulcerative aktif, defek epitel persisten, dan keratopati neurotropic. Infeksi jamur adalah yang paling jarang dan diketahui lambat perkembangannya namun juga dapat menyebabkan terjadinya perforasi kornea.2

Gambar 5. Ulkus keratitis herpetik yang menyebabkan terbentuknya descematokel

(Diambil dari kepustakaan 6)

Adanya peradangan seperti pada penyakit Vascular kolagen, Acne Rosasea, Wegener Granulamatosis, dan Ulkus Mooren (idiopatik) dapat menyebabkan keratitis ulseratif perifer maupun sentral dan tak jarang menyebabkan terjadinya perforasi. Penggunaan kortikosteroid topical dan OAINS dapat mengeksaserbasi dan mengawali terjadinya penipisan stroma dan perforasi spontan.2Akibat trauma, baik trauma kimia, thermal, operasi, ataupun penetrasi juga dapat menjadi penyebab perforasi kornea. Trauma kimia akibat bahan alkali menyebabkan kerusakan lapisan kornea secara langsung dan menginduksi terjadinya penipisan dan nekrosis stroma karena adanya elaborasi kolagen. Trauma thermal pada umumnya akan merusak lapisan kornea superfisial tapi dapat menyebabkan perforasi akibat panas ekstrim atau trauma mekanis, walaupun jarang terjadi. Ulkus dan perforasi kornea juga didapatkan pada kasus pasca ekstraksi katarak dengan atau tanpa implantasi lensa intraokuler, LASIK, PTK, penggunaan mitomisin-C pada eksisi pterigium, dan setelah fotokoagulasi.(2)

Xerosis dan keratopati juga menyebabkan perforasi kornea. Xerosis bisa idiopatik sehubungan dengan penyakit vascular kolagen (Sjogrens Syn.) atau SSJ sekunder, Pempigoid ocular sikatriks, atau defisiensi vitamin A.2Keratopati neurotropic paling sering terjadi akibat infeksi virus, khususnya HSV dan HZV. Menurunnya sensai kornea menyebabkan rusaknya lapisan epithelial kronis dengan proses penyembuhan yang lambat. Epiteliopati persisten membuat kornea rentan terhadap keratitis infeksius dan potensi untuk perforasi.2Degenerasi kornea seperti degenerasi Terriens marginal bersifat lambat, penipisan lapisan progresif, menuju perforasi. Gangguan korneal ektatik seperti keratokonus, keratoglobus, atau generasi pelusida marginal dapat terjadi dengan penipisan ekstrim dan ektasia. Perforasi pada kasus ini jarang terjadi, tetapi dapat timbul akibat trauma minimal khususnya pada keratoglobus dan degenarasi pelusida marginal. Ruptur dan fistula kornea setelah hidrops akut pada keratokonus juga jarang terjadi.2Penyebab ulkus kornea sering diakibatkan oleh infeksi virus herpes simpleks, infeksi bakteri, jamur atau trauma. Penyebab bakteri yang paling sering adalah Pseudomonas aeruginosa, Stapilococcus aureus, dan Stapilococcus okusepidermidis. Bakteri yang juga dapat menyebabkan ulkus kornea adalah Micobakterium leprae. Sedangkan jamur biasanya disebabkan oleh Candida albicans.7,8,9Tanda dan gejala pada mata merah unilateral (ulkus kornea) yang disebabkan oleh bakteri adalah nyeri hebat, mata berair dan potopobik serta penglihatan yang kabur. Pseudomonas sangat berbahaya karena dapat mendekstruksi ulkus kornea dengan ukuran besar secara cepat. Faktor resiko untuk ulkus yang disebabkan bakteri adalah pemakaian lensa kontak (terutama pemakaian lama dan perawatan lensa yang tidak bersih), trauma kornea dan imunosupresan. Ulkus jenis ini diperiksa melalui kerokan pewarnaan gram.7Sedangkan ulkus kornea yang disebabkan oleh jamur adalah jenis jamur yang menyebabkan pembusukan dan cedera yang berkelanjutan. Hal ini menyebabkan mata mudah terjadi kerusakan karena penekanan imunitas setelah pemakaian jangka panjang dengan steroid atau antibiotik tetesdan setelah cedera material organik.7V. PATOGENESIS

Ketika terjadi kerusakan pada epitel kornea yang terjadi oleh karena adanya suatu agent dari luar yang menyebabkan terjadinya perubahan menjadi patologi dimana proses terjadinya ulkus kornea dibagi dalam empat fase, yaitu: infiltrasi, ulserasi aktif, regresi dan pembentukan sikatrik. Fase akhir dari ulkus kornea tergantung pada agent infeksi virus, defence mechanisme manusia dan terapi yang didapatkan.3 Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh lingkungan, oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks berkedip, fungsi antimikroba film air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk beregenerasi secara cepat dan lengkap.3Epitel merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam kornea. Pada saat epitel mengalami trauma, struma yang avaskuler dan lapisan bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi dengan organisme yang bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur. Sreptokokus pneumonia adalah merupakan pathogen kornea bakterial, patogen-patogen yang lain membutuhkan inokulasi yang berat atau pada host yang immunocompromised untuk dapat menghasilkan sebuah infeksi di kornea.3Ketika pathogen telah mengivasi jaringan melalui lesi kornea superfisial, beberapa rantai kejadian tipikal akan terjadi, yaitu: Lesi pada kornea, patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi struma kornea,antibodi akan mneginfiltrasi lokasi invasi pathogen, hasilnya akan tampak gambaran opasitas pada kornea dan titik invasi pathogen akan membuka lebih luas dan memberikan gambaran infiltrasi kornea, iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus yang akan berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan), pathogen akan menginvasi seluruh kornea. Hasilnya stroma akan mengalami atropi dan melekat pada membaran descement yang relatif kuat dan akan menghasilkan descematokel yang dimana hanya membaran descement yang intak. Di sekitar sisa jaringan stroma bersifat abnormal dan opak yang menyebabkan terbentuknya cincin putih (white ring) di perifer defek. Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari membrane descement terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut ulkus kornea perforate dan merupakan indikasi bagi intervensi bedah secepatnya. Pasien akan menunjukkan gejala penurunan visus progresef dan bola mata akan menjadi lunak.6,10

A BC

D

E F

Gambar 6. Stadium pembentukan descematokel yang diawali oleh ulkus kornea. (A) Stadium infiltrasi progresif, (B) Stadium ulserasi aktif, (C) Stadium regresi, (D) Stadium Sikatrik, (E) Ulkus korne telah mengerosi stroma sepenuhnya sehingga hanya membran descemet tersisa. Bahkan walaupun tekanan intraokular yang normal akan menyebabkan membran descemet melekuk ke depan, membentuk sebuah descemetokel, (F) Pembentukan descematokel

(Diambil dari Kepustakaan 6)

Gambar 7. Desmatocele(Diambil dari Kepustakaan 3)VI. TANDA DAN GEJALA DESCEMATOCELE DAN PERFORASI KORNEA

Kebanyakan pasien dengan pecahnya descematocele atau perforasi kornea mengalami penurunan tajam penglihatan yang cepat disertai dengan sensasi nyeri. Disamping itu, gejala klinis bisa beragam. Adanya ulkus dan perforasi pada mata yang sebelumnya sehat membuat pasien lebih cepat menyadari gejala pada onset akut dibandingkan dengan adanya riwayat infeksi mata, yang telah memiliki penglihatan yang buruk dan rasa tidak nyaman sebelumnya.2Gejala nyeri mungkin saja berasal dari penyakit pada permukaan bola mata atau pada nyeri sekunder yang berasal dari iris atau spasme siliar atau hemorrhagic choroidal detachment dari dekompresi cepat pada mata. Perforasi akut juga dapat menyebabkan kehilangan aquous humour secara tiba-tiba, yang disadari pasien sebagai air mata berlebih.2

Gambar 8. Perforasi kornea dari seorang wanita 57 tahun dengan sindrom Shagren

(Diambil dari kepustakaan 6)

Tanda yang paling sering pada perforasi kornea adalah datar atau dangkalnya anterior chamber, tes Seidel positif, dan prolapse uvea. Untuk tes Seidel, digunakan strip fluoroseins steril jenuh dengan sejumlah kecil saline steril untuk menggambarkan area perforasi. Adanya pewarna dari dilusi fluorosein dibawah pemeriksaan slit lamp dengan filter biru kobalt merupakan dugaan pasti adanya perforasi. Selain itu, prolapse uvea dapat menyumbat pada daerah tepi luka menyebabkan pembentukan kembali dari anterior chamber dan membuat tes Seidel negative. Melakukan penekanan dari atas atau bawah dapat menghasilkan tanda Seidel positif, yang pada umumnya tidak akan terjadi tanpa adanya manipulasi eksternal.2Ulkus infeksius dengan jumlah material purulent dan mucus menjadi penyulit dalam mengevaluasi perforasi. Jika zona jernih sentral menjadi besar, infiltrasi, sebuah perforasi atau descematocele dapat dicurigai terjadi. Adanya pendangkalan dari anterior chamber menjadi pertanda adanya tekanan intraokuler yang tinggi dan blok pupil adalah bukti dugaan terjadinya perforasi. Adanya hipopion yang secara mendadak menjadi jernih kembali pada pemeriksaan ulang juga menjadi dugaan telah terjadi perforasi.Pada impending perforata, satu-satunya tanda ialah hasil penjalaran membrane Descement yang berasal dari dasar ulkus. Tanda ini membantu pada kasus-kasus infiltrate dan nekrotik stroma yang akan mengaburkan pandangan.2VII. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis dengan slit lamp dan kausanya ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikroskopik serta kultur.2Gambar 9. Keratitis reumatoid. A. Gambaran klinis descemetokel.

(Diambil dari keputakaan 6)

Dari anamnesis, nyeri merupakan keluhan yang paling sering akibat kornea mempunyai struktur yang sensitif. Keluhan ini diakibatkan innervasi sensori yang diakibatkan oleh ulkus. Karena kornea memiliki banyak serabut nyeri, kebanyakan lesi kornea, superfisial maupun dalam akan menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit ini akan diperhebat oleh gesekan palpebra kornea dan menetap sampai sembuh. Walaupun keluhan ini tidak selalu dirasakan; sebagai contoh, sesaat setelah herpes zoster oftalmica.1,9 Fotofobia pada penyakit kornea adalah akibat adanya kontraksi iris meradang yang sakit. Dilatasi pembuluh iris adalah fenomena refleks yang disebabkan iritasi pada ujung saraf kornea. Meskipun lakrimasi dan fotofobia umunya menyertai penyakit kornea, umunya tidak ditemukan sekret kecuali pada ulkus bakteri purulen.1 Keluhan yang lainnya adalah penurunan tajam penglihatan. Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya, lsi kornea umunya agak mengaburkan penglihatan, terutama jika letaknya di pusat. Kemudian, riwayat penyakit mata sebelumnya harus diperhatikan untuk membantu menentukan etiologi perforasi. Terdapat kata kunci dalam anamnesis pasien ulkus kornea seperti abrasi, facial cold sores dan penggunaan kontak lensa.1,2,9 Dari pemeriksaan fisis, dapat ditemukan air mata yang berlebih akibat refleks lakrimasi atau sekret yang mukopurulen pada ulkus akibat bakteri. Fluorescein harus dilakukan atau ulkus mungkin tidak terdeteksi. Gangguan visus tergantung pada lokasi dan luasnya ulkus, dan visus yang normal bukan berarti tidak terjadi ulkus.9 Untuk memilih terapi yang tepat untuk penyakit kornea, terutama ulkus supuratif, sangat memerlukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan Gram maupun Giemsa dapat mengidentifikasi organisme, khususnya bakteri. Polymerase Chain Reaction (PCR) memungkinkan dilakukannya identifikasi virus-virus herpes, acanthamoeba, dan jamur dengan cepat.1VIII. PENATALAKSANAAN

A. Non-MedikamentosaPada pasien descematokel dengan resiko tinggi perforasi sebaiknya diberitahu jika gejala-gejala perforasi timbul, diharapkan segera mencari dokter spesialis mata. Pada mata yang memiliki kornea sangat tipis, sebaiknya menggunakan pelindung mata plastik saat beraktivitas, bahkan saat tidur. Penanganan pasien juga sebaiknya dengan melarang pasien untuk berkuat dan mengurangi penggunaan obat topikal.1B. MedikamentosaTerapi yang tepat segera diberikan setelah spesimen yang dibutuhkan diambil. Terapi tidak boleh ditunda hanya karena organisme tidak teridentifikasi pada pemeriksaan mikroskopik kerokan kornea.1 Terapi kortikosteroid pada peradangan kornea masih kontroversi. Telah diketahui bahwa pada keratitis telah terjadi kerusakan jaringan baik oleh karena efek langsung enzim litik dan toksin yang dihasilkan oleh organisme pathogen serta kerusakan yang disebabkan oleh reaksi inflamasi oleh karena mikroorganisme. Reaksi inflamasi supuratif terutama banyak sel polimorfonuklear leukosit. Neutrofil mampu menyebabkan destruksi jaringan oleh metabolit radikal bebasnya maupun enzim proteolitiknya. Alasan yang masuk akal penggunaan kortikosteroid yaitu untuk mencegah destruksi jaringan yang disebabkan oleh neutrofil tersebut. Dari penelitian, dibuktikan bahwa terdapat kemajuan yang cukup pesat pada hewan dengan keratitis Pseudomonas yang diterapi Prednisolon dan perkembangan lebih lanjut dengan pengobatan flurbiprofen. Berikut adalah kriteria pemberian kortikosteroid yang direkomendasikan.11. Kortikosteroid tidak boleh diberikan pada fase awal pengobatan hingga organisme penyebab diketahui dan organisme tersebut secara in vitro sensitive terhadap antibiotik yang telah digunakan.

2. Pasien harus sanggup datang kembali untuk kontrol untuk melihat respon pengobatan.

3. Tidak ada kesulitan untuk eradikasi kuman dan tidak berkaitan dengan virulensi lain.

Disamping itu, adanya respon yang memuaskan terhadap pemberian antibiotik sangat dianjurkan sebelum memulai pemberian kortikosteroid. Kortikosteroid tetes dapat dimulai dengan dosis sedang (prednisolon asetat atau fosfat 1% setiap 4-6 jam), dan pasien harus dimonitor selama 24-48 jam setelah terapi awal. Jika pasien tidak menunjukkan efek samping, frekuensi pemberian dapat ditingkatkan dengan periode waktu yang pendek kemudian dapat di tapering sesuai dengan gejala klinik.1C. Pembedahan

1. AMNION GRAFT 10a. IndikasiTransplantasi membran amnion digunakan pada defek epitel persisten yang tidak respon terhadap pengobatan medikamentosa dan sebagai alternatif lain dari tindakan flap konjungtiva, dan tarsorafi.Transplantasi membran amnion merupakan metoda efektif untuk penatalaksanaan perforasi kornea nontraumatik dan descemetokel. Metoda ini juga bermanfaat sebagai terapi permanen atau sebagai tindakan sementara sampai inflamasi berkurang dan prosedur rekonstruksi tetap dapat dilakukan. Disamping itu, teknik ini juga bermanfaat pada negara-negara yang persediaan jaringan korneanya terbatas.b. KontraindikasiKontraindikasi transplantasi membran amnion meliputi dry eye berat dengan lagoftalmus, atau nekrosis hebat yang mengiringi iskemik. c. Teknik operasiSetelah anestesi, defek epitel dasar atau ulkus stromal dibersihkan dengan microsponge dan epitel yang melengket diangkat. Membran amnion dibuka dari kertas nitroselulosa dan ditempatkan pada permukaan defek secara overlay atau inlayInlayTeknik inlay dapat dilakukan pada ulkus stromal. Satu atau beberapa lapis membran amnion dapat dipakai, tergantung kedalaman defek stromal. Pada teknik ini, membran amnion ditempatkan secara side up ke permukaan dasar stromal dan dijahitkan interrupted dengan benang nylon 10-0 pada pinggir ulkus. Simpul dibenamkan ke stromal kornea. Teknik overlay dapat ditambahkan untuk menutupi graft membran amnion secara inlay.Overlay

Pada teknik ini, membran amnion ditempatkan secara side down menutupi seluruh kornea, limbus dan permukaan perilimbus. Graft dijahit interrupted dengan polyglactin 9-0 ke konjungtiva. Pada teknik ini lebih baik simpul tidak dibenamkan untuk menjaga air mata ke transplantasi membran amnion.

d. PostoperatifLensa kontak bandage hidrofilik dapat ditempatkan pada permukaan mata pada akhir prosedur. Alternatif lain adalah dengan tarsorafi sentral pada kasus-kasus dimana fitting lensa kontaknya tidak baik. Kombinasi antibiotik dan kortikosteroid tetes mata topikal dapat digunakan selama 4 minggu setelah operasi. Penggunaan antibiotik topikal tidak dilanjutkan setelah lensa kontak dibuka dan diyakini bahwa epitelisasi telah sempurna. Kortikosteroid topikal digunakan sampai reaksi inflamasi berkurang.

Gambar 10. Gambar skematik menunjukkan orientasi dari cangkok membran amnion pada ulkus. A. Aplikasi dari beberapa lapis membran amnion. B, jahit membran amnion pada kornea. C, Tambalan membran amnion menutupi seluruh kornea.(Dikutip dari kepustakaan 10)

2. Keratoplasti 11Transplantasi kornea (keratoplasti) diindikasikan bagi banyak kornea yang serius, misalnya jaringan parut, edem, penipisan, dan distorsi. Istilah keratoplasti penetrans berarti penggantikan kornea seutuhnya; keratoplasti lamelar berarti penggantian sebagian dari ketebalan kornea.

Donor yang lebih muda lebih disukai untuk keratoplasti penetrans dan terdapat hubungan langsung antara umur dengan kesehatan dan jumlah sel endotel. Karena sel endotel sangat cepat mati, mata hendaknya segera diambil segera setelah donor meninggal dan segera dibekukan. Mata utuh harus dimanfaatkan dalam 48 jam, dan sebaiknya dalam 48 jam. Untuk keratoplasti lamelar, kornea tersebut dapat dibekukan, didehidrasi, atau disimpan dalam lemari es selama beberapa minggu, sel endotel tidak penting untuk prosedur ini.

Gambar 11. Keratoplasti. (A) Penetrating, (B) Lamellar

(Diambil dari kepustakaan 11)

3. Eviscerasi dan Enukleasi 11Eviscerasi adalah membuang semua isi bola mata dengan tetap mempertahankan sclera, kapsula tenon, konjungtiva dan nervus optikus. Enukleasi adalah mengangkat seluruh bola mata dan sebagian nervus optikus. Konjungtiva bulbi dan kapsula tenon dipertahankan. Keuntungan Eviscerasi diantaranya:

a. Nervus optikus dan meningen tidak terganggu

b. Lebih cepat dan mudah untuk drainase abses okuler

c. Menghindari perdarahan yang berlebihan dari jaringan lunak yang inflamasi

d. Sklera tetap intak, sebagai barier terhadap proses supuratif

e. Struktur jaringan lunak orbita tidak terganggu

f. Fisiologi normal dan gerakan orbita dapat dipertahankan

g. Bola mata tetap terfiksasi oleh kapsula tenon, otot-otot ekstraokular dan septum intermuskular

h. Secara kosmetik hasilnya lebih baik, dan kelainan soket lebih lambat terjadinya.

Ada berbagai pertimbangan kenapa operator lebih memilih tindakan eviscerasi dibandingkan dengan enukleasi. Pada eviscerasi hilangnya volume orbita serta perubahan anatomi dan fisiologi dapat juga terjadi, namun dengan dipertahankannya lapisan sclera dan jaringan periorbita dapat menambah volume orbita 0,5 cc. Struktur anatomi periorbita pada eviscerasi tidak dirusak dan hubungan antar jaringankelopak mata dan otot ekstra okuler ke dinding sclera dan forniks tidak diganggu, sehingga perubahan anatomi dan fisiologi yang terjadi tidak seberat pasca enukleasi. Secara kosmetik tentu hasilnya lebih baik dan kelainan soket lebih lambat terjadinya.11IX. KOMPLIKASIKomplikasi descematokel antara lain:3,5a. Sikatrik: Penyembuhan ulkus kornea selalu akan meninggalkan sikatrikb. Glaukoma sekunder : timbul karena adanya blok dari eksudat yang fibrinous pada sudut segmen anterior (inflamatori glaukoma).c. Perforasi ulkus kornea: Descematokel sangat mudah ruptur. Tekanan tiba-tiba seperti batuk, bersin atau spasme otot orbikularis dapat membuat perforasi yang mengancam menjadi perforasi yang sebenarnya. Pada saat terjadi perforasi, nyeri berkurang dan pasien merasakan adanya cairan hangat (aqueous) yang keluar dari mata. Sekuel dari perforasi ulkus kornea, termasuk:1. Prolaps iris: muncul segera mengikuti perforasi.

2. Subluksasi atau dislokasi anterior dari lensa dapat muncul karena adanyaperegangan dan ruptur zonula secara tiba-tiba.3. Anterior capsular katarak: Terbentuk saat terjadi kontakantaralensa dan ulkus pada saat perforasi pada area pupillary.

4. Uveitis purulen, endoftalmitis, bahkan panoftalmitis yang berkembang karena penyebaran infeksi secara intraokular.5. Fistula kornea: Terbentuk saat perforasi pada area pupillary tidak diikuti oleh iris dan dibatasi oleh epithelium yang membuat jalan secara cepat. Terjadinya kebocoran aqueous secara terus menerus melalui fistula ini.

6. Endoftalmitis: Terjadi akibat agen infeksi kornea yang dapat menembus melalui descematokel yang berlubang.

X. PROGNOSISPrognosis descemetocele tergantung pada tingkat keparahan dan cepat lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan ada tidaknya komplikasi yang timbul. Descemetocele yang luas memerlukan waktu penyembuhan yang lama, karena jaringan kornea bersifat avaskular. Semakin tinggi tingkat keparahan dan lambatnya mendapat pertolongan serta timbulnya komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk. Penyembuhan yang lama mungkin juga dipengaruhi ketaatan penggunaan obat. Dalam hal ini, apabila tidak ada ketaatan penggunaan obat terjadi pada penggunaan antibiotika maka dapat menimbulkan resistensi. Selain itu pada transplantasi membrane amniotic 70-90% berhasil pada beberapa penelitian dengan rata-rata waktu penyembuhan epitelisasi 3-4 minggu. Resiko kegagalan dilaporkan pada beberapa pasien dengan keratitis neurotopik, pemphigoid sekatrik, sindrom steven Johnson dan arthritis rheumatoid.2DAFTAR PUSTAKA

1. Biswell R. Kornea. In: Vaughan D, Asbury T, Eva PR, editors. Oftalmologi umum. 17 ed. Jakarta: Widya Medika; 2000. p. 129-50

2. Rapuano, C. Marc A. Management of Corneal Perforation. In : Corneal Surgery.Availablefrom:http://www.us.elsevierhealth.com/media/us/samplechapters/9780323023153/Chapter%2037.pdf 3. Khurana A. Disease of the cornea. In: Khurana A, editor. Comprehensive ophtalmology. 4 ed. New Delhi: New Age International,. Ltd; 2007. p. 89-96

4. Lang, GK. Ophthalmology A Short Textbook. NewYork: Thieme Stuttgart. 2000. P. 118-95. Mills TJ. Corneal ulceration and ulcerative keratitis in emergency. Journal [serial on the Internet]. 2011 Date [cited December 07th 2014]: Available from: http://emedicine.medscape.com/article/798100-overview#showall6. Ming ALS, Constable IJ. Conjunctiva, sclera and cornea. Color Atlas of Ophtalmology. 3 ed: World Science; 2000. p 38-50

7. Sehu KW, Lee WR. Ophthalmic Pathology an Illustrated Guide for Clinicans. British: BMJ Books Blackwell.2006; P.158. Galloway NR, Galloway PH, Browning AC. Common Eye Disease and Their Management third edition. London: Springer. 2006; P.53-549. Khaw P, Shah P. Corneal ulceration. In: Elkington A, editor. ABC of Eyes. 4 ed. Chennai: BMJ Publishing Group,. Ltd; 2005. p. 10-1

10. Solomon A, Meller D, Prabhasawat P, et al. Amniotic Membrane Grafts for Nontraumatic Corneal Perforations, Descemetoceles, and Deep Ulcers. American Academy of Ophtalmology: USA; 2002. p 694-70111. Basic and Clinical Science Course. External Disease and Cornea part 1, Section 8. American Academy of Ophtalmology: USA; 2011-2012 p 403-55