demam tipoid-talak farmako+diagnosis

14

Click here to load reader

Upload: tembem-anggraeni-rahmatika

Post on 12-Nov-2015

28 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

tifoid pada anak

TRANSCRIPT

a. Anamnesis

Demam berkepanjangan, berlangsung antara 10-14 hari. Demam lebih dari 7 hari, biasanya mulai dengan subfebris yang makin hari makin meninggi, sehingga pada minggu ke 2 panas tinggi terus menerus terutama pada malam hari.

Demam yang terjadi biasanya khas tinggi pada sore hingga malam hari dapat mencapai 39-40oC dan cenderung turun menjelang pagi.

Gejala gastrointestinal berupa obstipasi, diare, mual, muntah, perut kembung, lidah kotor dengan tepi kemerahan, sampai hepato-splenomegali.

Pada khususnya anak balita, demam tinggi dapat menyebabkan kejang. Minggu ke 1 :

Demam step ladder (40-41C)Demam meningkat perlahan terutama sore,malam hari,nyeri kepala,pusing,nyeri otot,anoreksia,mual,muntah,obstipasi,atau diare,rasa tidak enak diperut,batuk,epistaksis

Minggu ke 2 :

Gejala terlihat lebih jelas,demam, bradikardi relative,lidah berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegaly, splenomegaly, roseola

Minggu ke 3 :

Apatis,toxaemia,delirium,disorientasi dan atau koma

b Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik penderita sangat tergantung pada keadaan pasien yang bervariasi menurut sudah sampai dimana perjalanan penyakitnya.

Keadaan Umum anak biasanya tampak lemah atau lebih rewel dari biasanya. Pada keadaan yang sudah terjadi komplikasi sangat mungkin keadaan menjadi toksik, salah satunya adalah penurunan kesadaran mulai dari delirium, stupor hingga koma.

Pada pemeriksaan kepala dan leher observasi tanda- tanda dehidrasi yang mungkin terjadi akibat diare sebagai suatu symptom yang dapat terjadi pada infeksi demam tifoid. Tanda- tanda dehidrasi dapat dinilai dari mata cekung dan bibir kering dengan rasa haus yang meningkat.

Pemeriksaan intra oral evaluasi lidah apakah didapatkan Tifoid Tongue dengan pinggir yang hiperemi sampai tremor.

Pemeriksaan Abdomen adalah yang paling penting dari pemeriksaan fisik pada demam tifoid. Meteorismus dapat terjadi karena pengaruh kuman Salmonella typhi pada intestinal atau akibat pengaruh diare yang diselingi konstipasi. Bising usus biasanya meningkat baik pada saat diare maupun saat konstipasi. Palpasi organ kemungkinan didapatkan hepato-splenomegali ringan permukaan rata dengan nyeri tekan minimal.

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Darah Lengkap : pada darah lengkap infeksi bakteri akan menunjukkan leukositosis dengan hitung jenis yang cenderung ke kiri (Diff. count shift to the Left). Namun untuk tifoid leukosit cenderung normal atau bahkan sampai leukopenia. Penyebab dari leukopenia ini belum diketahui secara jelas, tetapi diyakini akibat replikasi kuman di dalam Peyer Patch yang merupakan makrofag jaringan usus sehingga tidak mampu dideteksi oleh polimorfonuklear leukosit granul seperti Netrofil stab ataupun segmen. Makrofag jaringan merupakan Limfosit sehingga tidak jarang terjadi Limfositosis relatif, karena makrofag meningkat sedangkan lekosit PMN normal sampai menurun, hitung jenis bisa jadi Shift to Right. Namun tidak jarang ditemukan leukosit yang meningkat (leukositosis) bisa primer ataupun sekunder. Primer dari penyakit demam tifoid itu sendiri, sedangkan sekunder bisa terjadi akibat infeksi tumpangan. Pada keadaan Demam Tifoid yang sudah terjadi komplikasi berupa perdarahan usus sangat mungkin didapatkan anemia dengan tipe Hipokromik Mikrositik.2) Pemeriksaan serologis

Uji Widal : uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman Salmonella typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman Salmonella typhi dengan antibody penderita yang disebut agglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense bakteri Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin/antibodi dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: antigen O (dari tubuh kuman itu sendiri), antigen H (dari flagella kuman), antigen Vi (simpai kuman) dan antigen Paratyphi A dan B (antigen dari Salmonella Paratyphi A dan B) Uji Widal menggunakan cara klasik dengan menggunakan tabung (Tube Aglutination Test), dengan rincian sebagai berikut:

TabungIIIIIIIVV

Larutan garam fisiologis (ml)0,90,50,50,50,5

Serum pasien (ml)0,10,50,50,50,5

Suspensi antigen (ml)0,50,50,50,50,5

Titer antibodi1/101/201/401/801/160

Dengan keterangan sebagai berikut: Tabung I = solut : 0,1 ml serum pasien, solven: 0,9 larutan garam fisiologis -> 0,1 dibagi 0,9 + 0,1 = 0,1/0,1 = 1/10. Tabung II = 0,5 ml campuran larutan garam fisiologis dan serum pasien tabung I (1/10) + 0,5 ml larutan garam fisiologis tabung II = 1/20

Titer 1/10 mengandung arti dalam 1 ml serum terdapat 10 unit antibodi

Cara menentukan titer antibodi sebagai berikut:

TabungIIIIIIIVV

Titer1/101/201/401/801/160

Deretan Tabung++---

+++--

+++++

1) Keterangan: tanda (+) berarti terjadi aglutinat yaitu terjadi reaksi antigen antibodi dan yang digunakan adalah tabung aglutinat terakhir (titer 1/160)2) Uji widal dianggap positif apabila didapatkan titer 1/200 atau terjadi peningkatan sebanyak 4x

Dari keempat aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.

Pembentukan antibodi mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam atau awal minggu kedua, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula- mula timbul agglutinin O, kemudian diikuti oleh agglutinin H. pada penderita yang sudah sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H dapat menetap 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu: 1) pengobatan dini dengan antibiotic

2) gangguan pembentukan antibody/ immunocompromissed

3) pemberian kortikosteroid

4) waktu pengambilan darah

5) riwayat vaksinasi

6) Reaksi amnestik, yaitu peningkatan titer antibodi pada non infeksi tifoid atau infeksi tifoid pada masa lalu

7) faktor teknik pemeriksaan antara laboratorium,akibat aglutinasi silang dan strain salmonella yang digunakan untuk suspense antigen. Tromnositopeni juga sangat mungkin terjadi bila terjadi penekanan sumsum tulang akibat bakteremia kuman.

3) Kultur : hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut: 1) telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negative

2) volume darah yang kurang (< 5cc darah). Bila volume darah yang dibiakkan terlalu sedikit hasil biakan kuman bisa negative. Darah yang diambil sebaiknya secara bedsaide langsung dimasukkan ke media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman

3) riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lalu dapat menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi in dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif

4) saat pengambilan darah yang kurang tepat pada waktu antibodi meningkat (minggu pertama).

Oleh karena itu untuk pengambilan spesimen yang akan dikultur sebaiknya diambil waktu awal minggu kedua setelah sakit karena sensitifitasnya cukup tinggi, dikarenakan kuman hampir pasti didapatkan diseluruh organ dan jaringan tubuh.

Kultur kuman dapat diambil dari darah, urin, atau feses. Arti diagnostik yang penting didapat dari gall kultur (kultur di media biakan garam empedu) karena kemampuan hidup bakteri salmonella sangat tinggi di media ini. Spesimen lain yang mengandung arti diagnostik penting adalah biopsi sumsum tulang yang memiliki hasil positif hampir 90% kasus. Pada biakan feses yang perlu dicari adalah Fecal Monocyte sebagai respon dari usus yang mengalami reaksi dengan skuman salmonella yang bereplikasi di dalamnya. Biakan dari feses ini khususnya bermanfaat bagi carier tifoid

3) Pemeriksaan Serologi (IgM dan IgG anti Salmonella):

IgM anti salmonella atau yang dikenal dengan TUBEXR tes adalah pemeriksaan diagnostic in vitro semikuantitatif yang cepat dan mudah untuk mendeteksi infeksi Tifoid akut. Pemeriksaan ini mendeteksi antibody IgM terhadap antigen Lipo Polisakarida bakteri Salmonella typhi dengan sensitivitas dan spesifitas mencapai > 95% dan > 91%.

Prinsip pemeriksaan dengan metode Inhibition Magnetic Binding Immunoassay (IMBI). Antibodi IgM terhadap Lipopolisakarida bakteri dideteksi melalui kemampuannya untuk menghambat reaksi antara kedua tipe partikel reagen yaitu indikator mikrosfer latex yang disensitisasi dengan antibodi monoclonal anti 09 (reagen warna biru) dan mikrosfer magnetic yang disensitisasi dengan LPS Salmonella typhi (reagen warna coklat). Setelah sedimentasi partikel dengan kekuatan magnetik, konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam cairan menunjukkan daya inhibisi. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setara dengan konsentrasi IgM Salmonella typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna.

Ada 4 interpretasi hasil :

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.

Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoiPenatalaksanaan Farmakologi

a) Antibiotika1) Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.2) Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.3) Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.4) Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per Oral dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.b) Simptomatik1) Demam : Parasetamol syr 125 mg/50ml /KgBB/hari diminum 3 kali sehari bila panas2) Mual/muntah : Metoclorpramide HCL tab 0,1 mg/KgBB/hari diminum 2 kali sehari bila mual

3) Kortikosteroid : untuk toksik tifoid/syok septik 3 x 5 mg

c) Infus Nacl 20 tetes /menit

Daptar pustaka

Panitia Medik Farmasi dan Terapi RSU Dr. Soetomo. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak Edisi III. Surabaya: RSU Dr. Soetomo Surabaya.

Soedarmo, Poorwo Sumarmo S. dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Badan Peberbit IDAI.

Sudoyo, Aru W. dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.