demam berdarah

39
1 Infeksi Virus Dengue Infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus genus Flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN- I, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Keempat serotipe dengue terdapat di Indonesia, DEN-3 merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat, diikuti serotipe DEN-2. Pada saat ini jumlah kasus masih teteap tinggi rata- rata 10-25 per 100.000 pendududk, namun angka kematian telah menurun bermakna <2%. Umur terbanyak yang terkena infeksi dengue adalah kelompok umur 4-10 tahun, walaupun makin banyak kelompok umur lebih tua. Spektrum klinis infeksi dengue dapat dibagi menjadi : 1.Gejala klinis paling ringan tanpa gejala (silent dengue infection), 2.Demam dengue (DD), 3.Demam berdarah dengue (DBD), dan 4.Demamberdarah dengue disertai syok (sindrom syok dengue/DSS). Diagnosis Anamnesis

Upload: stevany-minsanita

Post on 26-Oct-2015

26 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Demam berdarah

1

Infeksi Virus Dengue

Infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang

disebabkan oleh virus genus Flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4

jenis serotipe yaitu DEN-I, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, melalui perantara

nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Keempat serotipe dengue

terdapat di Indonesia, DEN-3 merupakan serotipe dominan dan banyak

berhubungan dengan kasus berat, diikuti serotipe DEN-2.

Pada saat ini jumlah kasus masih teteap tinggi rata-rata 10-25 per

100.000 pendududk, namun angka kematian telah menurun bermakna

<2%. Umur terbanyak yang terkena infeksi dengue adalah kelompok umur

4-10 tahun, walaupun makin banyak kelompok umur lebih tua. Spektrum

klinis infeksi dengue dapat dibagi menjadi :

1. Gejala klinis paling ringan tanpa gejala (silent dengue infection),

2. Demam dengue (DD),

3. Demam berdarah dengue (DBD), dan

4. Demamberdarah dengue disertai syok (sindrom syok dengue/DSS).

Diagnosis

Anamnesis

Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadak tinggi, selama

2-7 hari

Disertai lesu, tidak mau makan, dan muntah

Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot, dan nyeri

perut

Diare kadang-kadang dapat ditemukan

Perdarahan paling sering dijumpai adalah perdarahan kulit dan

mimisan

Page 2: Demam berdarah

2

Pemeriksaan fisis

Gejala klinis DBD diawali mendadak tinggi, facial flush, muntah, nyeri

kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorokan dengan faring hiperemis,

nyeri di bawah lengkung iga kanan. Gejala penyerta tersebut lebih

mencolok pada DD dari pada DBD.

Sedangkan hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering

ditemukan pada DBD.

Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan

permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma,

hipovolemia dan syok.

Perembasan plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam

rongga pleura dan rongga peritoneal selama 24-48 jam. Fase kritis sekitar

hari ke-3 hingga ke-5 perjalanan penyakit. Pada saat ini suhu turun, yang

dapat merupakan awal penyembuhan pada infeksi ringan namun pada

DBD berat merupakan tanda awal syok. Perdarahan dapat berupa

petekie, epistaksis, melena, ataupun hematuria.

Tanda-tanda syok :

1. Anak gelisah, sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis

2. Nafas cepat, nadi teraba lembut kadang-kadang tidak teraba

3. Tekanan darah turun, tekanan nadi <10 mmHg

4. Akral dingin, capillary refill menurun

5. Diuresis menurun sampai anuria

Apabila syok tidak dapat segera diatasi, akan terjadi komplikasi berupa

asidosis metabolik dan perdarahan hebat.

Pemerikasaan penunjang

Laboratorium

Darah perifer, kadang hemoglobin, leukosit & hitung jenis, hematokrit,

trombosit. Pada apusan darah perifer juga dapat dinilai limfosit plasma

Page 3: Demam berdarah

3

biru, peningkatan 15% menunjang diagnosis DBD. Uji serologis, uji

hemaglutinasi inhibisi dilakukan saat fase akut dan konvalesens

Infeksi primer, serum akut < 1:20, serum konvalesens naik 4x atau

lebih namun tidak melebihi 1:1280

Infeksi sekunder, serum akut < 1:20, konvalesens 1:2560; atau

serum akut 1:20, konvalesens naik 4x atau lebih

Persangkaan infeksi sekunder yang baru terjadi (presumptive

secondary infection) : serum akut 1:1280, serum konvalesens dapat

lebih besar atau sama.

Pemeriksaan radiologis (urutan pemeriksaan sesuai indikasi klinis)

- Pemeriksaan foto dada, dilakukan atas indikasi :

1. Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat

kelainan radiologi pada perembesan plasma 20-40%

2. Pemantauan klinis, sebagai pedomanpemberian cairan

Kelainan radiologi, dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah hilus

kanan, hemitoraks kanan lebih radio opak dibandingkan kiri, kubah

diafragma kanan lebih tinggi dari pada kanan, dan efusi pluera.

USG : efusi pleura, ascites, kelainan (penebalan) dinding vesica felea

dan vesica urinaria.

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium

(WHO tahun 1997)

Kriteria klinis

Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-

menerus selama 2-7 hari.

Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif,

petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan melena.

Page 4: Demam berdarah

4

Pembesaran hati

Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,

hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.

Kriteria laboratorium

Trombositopenia (100.000/ml atau kurang). Hemokonsentrasi, dilihat

dari peningkatan hematokrit 20% menurut standar umur dan jenis

kelamin. Dua kriteria klinis pertama disertai trombositopenia dan

hemokonsentrasi, serta dikomfirmasi secara uji serologik hemaglutinasi.

Tata laksana

Terapi infeksi virus dengue dibagi menjadi 4 bagian :

1. Tersangka DBD

2. Demam Dengue (DD)

3. DBD derajat I dan II

4. DBD derajat III dan IV (DSS)

Lihat bagan I, 2, 3, dan 4 dalam lampiran

DBD tanpa syok (derajat I dan II)

Medikamentosa

Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan

aspirin. Diausahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan

(misalnya antasid, antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat

dalam hati. Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila

terdapat perdarahan saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan. Antibiotik

diberikan untuk DBD ensefalopati.

Suportif

Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan

permeabilitas kapiler dan perdarahan.

Page 5: Demam berdarah

5

Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan untuk mengatasi masa

peralihan dari fase demam ke fase syok disebut time of fever

differvesence dengan baik.

Cairan intravena diperlukan, apabila :

1. Anak terus-menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi,

dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya syok.

2. Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.

DBD disertai syok (Sindrom Syok Dengue, derajat III dan IV)

Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer

laktat 10-20 ml/kgbb secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit.

Apabila syok belum teratasi tetap berikan ringer laktat 20 ml/kgbb

ditambah koloid 20-30 ml/kgbb/jam, maksimal 1500 ml/hari. Pemberian

cairan 10 ml/kgbb/jam tetap diberikan 1-4 jam pasca syok. Volume cairan

diturunkan menjadi 7 ml/kgbb/jam, selanjutnya 5ml, dan 3 ml apabila

tanda vital dan diuresis baik. Jumlah urin 1 ml/kgbb/jam merupakan

indikasi bahwa sirkulasi membaik. Pada umumnya cairan tidak perlu

diberikan lagi 48 jam setelah syok teratasi. Oksigen asidosis metabolik

dan elektrolit pada DBD syok. Indikasi pemberian darah. Terdapat

perdarahan secara klinis. Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid,

syok menetap, hematokrit turun, diduga telah terjadi perdarahan, berikan

darah segar 10 ml/kgbb. Apabila kadar hematokrit tetap > 40 vol%, maka

berikan darah dalam volume kecil. Plasma segar beku dan suspensi

trombosit berguna untuk koreksi gangguan koagulapati atau koagulasi

intravaskular desiminata (KID) pada syok berat yang menimbulkan

perdarahan masif. Pemberian transfusi suspensi trombosit pada KID

harus selalu disertai plasma segar (berisi faktor koagulasi yang

diperlukan), untuk mencegah perdarahan lebih berat.

Page 6: Demam berdarah

6

DBD ensefalopati

Pada ensefalopati cenderung tarjadi edema otak dan alkalosis, maka

bila syok telah teratasi, cairan diganti dengan cairan yang tidak

mengandung HCO3 dan jumlah cairan segera dikurangi. Larutan ringer

laktat segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1.

Indikasi rawat

lihat bagan I

Pemantauan

Pemantauan selama perawatan

Tanda klinis, apakah syok telah teratasi dengan baik, adakah pembesaran

hati, tanda perdarahan saluran cerna, tanda ensefalopati, harus dimonitor

dan dievaluasi untuk menilai hasil pengobatan. Kadar hemoglobin,

hematokrit, dan trombosit tiap 6 jam, minimal tiap 12 jam. Balans cairan,

cacat jumlah cairan yang masuk, diuresus ditampung dan jumlah

perdarahan. Pada DBD syok, lakukan cross match darah untuk

persiapan transfusi darah apabila diperlukan.

Faktor risiko terjadinya komplikasi :

Ensefalopati dengue, dapat terjadi pada DBD dengan syok ataupun

tanpa syok.

Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal

ginjal akut.

Edem paru, seringkali terjadi akibat overloading cairan.

Kriteria memulangkan pasien :

Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

Nafsu makan membaik

Secara klinis tampak perbaikan

Hematokrit stabil

Page 7: Demam berdarah

7

Tiga hari setelah syok teratasi

Jumlah trombosit > 50.000/ml

Tidak dijumpai distres pernapasan

Page 8: Demam berdarah

8

Kepustakaan

Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T.Tata laksana

demam dengue/demam berdarah dengue pada anak.

Dalam:Hadinegoro SRH, Satari HI, penyunting. Demam berdarah

dengue.Edisi ke-2.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2002, h. 80-132.

Halstead, SB.Dengue fever and Dengue haemorrhagic

fever.Dalam: Beheman RE, Kliegmen RM,Jenson HB, penyunting.

Nelson textbook of pediatrics.Edisi ke-17.Philadelphia;2004,h.

1092-4.

Kanesa-Thassan N, Vaughn DW, Shope RE.Dengue and dengue

haemorrhagic fever. Dalam:Anne AG, Peter JH, Samuel LK,

penyunting.Krugman's infectious diseases of children. Edisi ke-11.

Philapdelphia;2004. h. 73-81.

Thongcharoen P,Jatanasen S.Epidemiology of dengue and dengue

haemmorhagic fever. Dalam:Monograph on dengue/dengue

haemmorhagic fever.World health Organization, SEARO, New

Delhi;1993.h. 1-8.

Tsai TF; Khan AS, McJunkin JE.Togaviridae, flaviridae, and

bunyaviridae. Dalam:Long SS, Pickering LK,Prober

CG,penyunting.Principles and practice of pediatric infectious

diseases.Edisi ke-2.Philiadelphia,PA: Elsevier Science; 2003, h.I

109-16.

Wills B. Management of dengue. Dalam: Halstead SB, penyunting.

Dengue: tropical medicine science and practice. Selton Street,

London: Imperial College Press; 2008, h. 193-217.

World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever. Diagnosis,

treatment,prevention, and control. Edisi ke-2. WHO; 1997.

Infeksi Virus Dengue

Page 9: Demam berdarah

9

Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum

manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild

undifferentiated febrile illness), demam dengue, demam berdarah dengue

(DBD) sampai demam berdarah dengue disertai syok (dengue shock

syndrome = DSS). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini

memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, dengan kasus DBD dan

DSS yang dirawat di rumah sakit sebagai puncak gunung es yang terlihat

di atas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan (silent dengue

infection dan demam dengue) merupakan dasarnya.

Epidemiologi

Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di

Filipina pada tahun 1953. pada tahun 1958 meletus epidemi penyakit

serupa di Bangkok. Setelah tahun 1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit

dalam bentuk epidemi di beberapa negara lain di Asia Tenggara, di

antaranya di Hanoi (1958), Malaysia (1962-1964), Saigon (1965) yang

disebabkan virus dengue tipe 2, dan Calcutta (1963) dengan virus dengue

tipe 2 dan chikungu berhasil diisolasi dari beberapa kasus. Di Indonesia

DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi

konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta kasus

pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut

dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemi pertama di luar

Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung,

disusul oleh Riau, Sulewesi Utara dan Bli (1973). Pada tahun 1974

epidemi dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat.

Pada tahun 1993 DBD telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia.

Pada saat ini DBD sudah endemis di banyak kota-kota besar, bahkan

sejak tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit di daerah pedesaan.

Page 10: Demam berdarah

1

Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua

setelah Thailand. Sejak tahun 1968 angka kesakitan rata-rata DBD di

Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1973), 8,65

(1983), dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu 35,19 per

100.000 penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang.

Pada saat ini DBD telah menyebarluaskan di kawasan Asia Tenggara,

Pasifik Barat dan daerah Karibia.

Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara

bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk,

kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe

virus dengue dan kondisi meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat

perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak

terjadi pada anak perempuan dari pada anak laki-laki. Pada awal

terjadinya wabah di sebuah negara, pola distribusi umur memperlihatkan

proporsi kasus terbanyak berdasarkan dari golongan anak berumur <15

tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus golongan

usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh musim terhadap

DBD tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat

antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada

bulan Januari.

Etiologi

Virus dengue termasuk group B arthropod borne virus (arbovituses) dan

sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae, yang

mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3, dan den-4. Infeksi

dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup

terdapat serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan

terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis

dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama

Page 11: Demam berdarah

1

hidupnya. Di indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak

tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat

serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe den-3

merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan

kasus berat.

Patofisiologi

Volume plasma

Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat panyakit dan

membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas

dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi,

traombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma

pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human

albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama

perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai

puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut,

nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma

melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit

pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat

kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular (ruang interstisial dan

rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan

ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun

dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium

yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus,

dan terdapatnya edema.

Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti

secara efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada

masa dini dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi

secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan dratis.

Page 12: Demam berdarah

1

Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh

darah yang bersifat destruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan

dugaan bahwa perubahan fungsional dindingn pembuluh darah agaknya

disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja secara cepat.

Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut

memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka

akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang

yang diberikan histamin atau serotonin atau dibuat keadaan

trombositopenia.

Trombositopenia

Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada

sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa

demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit

secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal

biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang

dihubungkan dengan meningkatnya megakarosit muda dalam sumsum

tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya

destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi

fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop membuktikan

bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa

dan hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui,

namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue,

komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi

sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih

lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan

proses imunologis terbukti ditemui kompleks imn dalam peredaran darah.

Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai

penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD.

Page 13: Demam berdarah

1

Sistem koagulasi dan fibrinolisis

Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa

perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin

parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan

menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X, dan fibrinogen. Pada kasus

DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation products (FDP).

Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktilan adanya penurunan

aktifitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya

aktifitas faktor VII, faktor II dan antitrombin II tidak sebanyak seperti

fibrinogen dan faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa

menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh

konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis.

Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan aktifitas a-2

plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas plasminogen.

Seluruh penelitian di atas membuktikan bahwa :

1. Pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dn

fibrinolisis.

2. Disseminated intravascular coagulation (DIC)secara potensial

dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD,

peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma

tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan

asidosis makan syok akan memperberat DIC sehingga perannya

akan mencolok. Syok dna DIC akan saling mempengaruhi

sehingga penyakit akan memasuki syok ireversibel disertai

perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya

diakhiri dengan kematian.

3. perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler,

gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia, sedangkan

perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih

Page 14: Demam berdarah

1

kompleks seperti trombositopenia, gangguan faktor pembekuan,

dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus

dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi

asidosis metabolik.

4. Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin . Pada kasus

dengan kekurangan antitrombin III, respons pemberian heparin

akan berkurang.

Sistem komplemen

Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan

kadar C3, C3 proaktivator, C4 dan C5, baik pada kasus yang disertai syok

maupun tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen

dengan derajat penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa

pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun

jalur alternatif. Hasil penelitian radioisotop mendukung pendapat bahwa

penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem

komplemen dan bukan oleh karena produksi yang menurun atau

ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilaktoksin C3a dan

C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk

melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan

peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok

hipovolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel

endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu

paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan.

Disamping itu komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi

sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon gamma, interluekin

(IL-2 dan IL-1).

Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita

DBD ialah :

Page 15: Demam berdarah

1

1. Ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam.

2. Adanya kompleks imun yang bersikulasi (circulating immune

complex), baik pada DBD derajat ringan maupun berat.

3. Adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan

derajat berat penyakit.

Respons Leukosit

Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat

peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari kedelapan.

Suvatte dan Longsaman menyebutkan sebagai transformed lymphocytes.

Dilaporkan juga bahwa pada sediaan hapus buffy coat kasus DBD

dijumpai transformed lymphocytes dalam persentase yang tinggi (20-

50%). Hal ini khas untuk DBD oleh karena proporsinya sangat berbeda

dengan infeksi virus lain (0-10%). Penelitian yang lebih mendalam

dilakukan oleh Sutaryo yang menyebutnya sebagai limfosit plasma biru

(LPB). Pemeriksaan LPB secara seri dari preparat hapus darah tepi

memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada

hari demam keenam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari

keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna

proporsi LPB pada DBD dengan demam dengue. Namun, antara hari

kedua sampai dengan hari kesembilan demam, tidak terdapat perbedaan

bermakna proprsi LPB pada DBD syok dan tanpa syok. Berdasarkan uji

diagnostik maka dipilih titik potong (cut off point) LPB 4%. Nilai titik potong

itu secara praktis mampu membantu diagnosis dini infeksi dengue dan

sejak hari ketiga demam dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi

dengue dan non-dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa

LPB merupaka campuran antara limfosit-B dan limfosit-T. Definisi LPB

ialah limfosit dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai

ukuran lebih besar atau sama dengan limfosit besar, sitoplasma lebar

Page 16: Demam berdarah

1

dengan vakuolisasi halus sampai sangat nyata, dengan daerah

perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk

bulat oval atau berbentuk ginjal. Kromosom inti kasar dan kadang-kadan

gdi dalam inti terdapat nukleoli. Pada sitoplasma tidak ada granula

azurofilik. Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk dan

tidak bertambah biru.

Patogenesis

Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan

biokimiawi DBD belum diketahui secara pasti karena kesukaran

mendapatkan model binatang percobaan yang dapat dipergunakan untuk

menimbulkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini

sebagian besar sarjana masih menganut the secondary heterologous

infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang

menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah

terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan

virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun.

The Immunological Enhancement Hypothesis

Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue dari IgG yang berfungsi

menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing-

antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe

antibodi yaitu :

1. Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat

menetralisasi tetapi memacu replikasi virus

2. Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai

daya memacu replikasi virus.

Page 17: Demam berdarah

1

Perbedaan ini berdasarkan adanya virion determinant spesificity. Antibodi

non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan

terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat

memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa

infeksi sekunder virus dengue oleh serotipe ialah meningkatnya reaksi

immunologis (the immunological enhancement hypothesis) yang

berlangsung sebagai berikut :

(a) Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel

Kupffer merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue

primer.

(b) Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun

yang melekat (sitofilik) pada sel, bertindak senagai reseptor spesifik

untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit

mononuklear. Mekanisme pertama ini diseut mekanisme aferen.

(c) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit

mononuklear yang telah terinfeksi.

(d) Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan

menyebar ke usus, hati, limpa dan sumsum tulang. Mekanisme ini

disebut mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD

dengan dan tanpa renjatan ialah jumlah sel yang terkena infeksi.

(e) Sel monosit yagn telah teraktivasi akan mengakibatkan interaksi

dengan sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat

dilepaskannya mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler

dan mengaktivasi sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut

mekanisme efektor.

Page 18: Demam berdarah

1

Aktivasi Limfosit T

Limfosit T juga memegang peran penting dalam patogenesis DBD. Akibat

rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue,

limfosit dapat mengeluarkan interferon (IFN-a dan y). Pada infeksi

sekunder oleh virus dengue (serotipe berbeda dengan infeksi pertama),

limfosit T CD4+ berproliferasi dan menghasilkan IFN-a. IFN-a selanjutnya

merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan monosit

memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4+ dan CD8+ spesifikasi virus

dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang

menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.

Hipotesis kedua patogenesis DBD mempunyai konsep dasar bahwa

keempat serotipe virus dengue mempunyai potensi patogen yang sama

dan gejala berat terjadi sebagai akibat serotipe / galur serotipe virus

dengue yang paling virulen.

Manifestasi Klinis

Demam dengue (Dengue Fever)

Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari). Awal

penyakit biasanya mendadak, disertai gejala prodromal seperti nyeri

kepala, nyeri berbagai bagian tubuh, anoreksia, rasa menggil, dan

malaise. Dijumpai trias sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota

badan, dan timbul ruam (rash). Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu

naik pertama kali, yaitu pada hari sakit ke 3-5 berlangsung 3-5 hari. Ruam

bersifat makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam terdapat di

dada, tubuh serta abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka.

Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul dengan

mendadak, disertai kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri dibelakang

bola mata, punggung, otot, sendi, dan disertai rasa menggigil. Pada

Page 19: Demam berdarah

1

beberapa penderita dapat dilihat bentuk kurva suhu yang menyerupai

pelana kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva

ini tidak ditemukan pada semua pasien sehingga tidak dapat dianggap

patognomonik.

Anoerksia dan obstipasi sering dilaporkan, disamping itu perasaan

tidak nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek

sering ditemukan. Pada stadium dini sering timbul perubahan dalam indra

pengecap. Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah fotofobia, keringat

yang bercucuran, suara serak, batuk, epistaksis, dan disuria. Demam

menghilang secara lisis, disertai keluarnya banyak keringat. Kelenjar limfa

servikal dilaporkan membesar pada 67-77% kasus. Beberapa sarjana

menyebutnya sebagai Castelani's sign, sangat patognomonik dan

merupakan patokan yang berguna untuk membuat diagnosis banding.

Manifestasi perdarahan tidak sering dijumpai. Rush pada tahun 1789

melaporkan pasien demam dengue dengan perdarahan yang kemudian

meninggal. Bentuk perdarahan lain yang dilaporkan ialah menoragi dan

menstruasi dini, abortus atau kelahiran bayi berat badan lahir rendah,

mungkin sekali akibat perdarahan uterus.

Kelainan darah tepi demam dengue ialah leukopenia selama periode

pra-demam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh

neutropenia relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan

pada masa konvalesens. Eosinofil menurun atau menghilang pada

permulaan dan pada puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser ke

kiri selama periode demam, sel plasma meningkat pada periode

memuncaknya penyakit dengan terdapatnya tro,bositopenia. Darah tepi

menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu.

Komplikasi demam dengue walaupun jarang dilaporkan ialah orkhitis

atau ovaritis, keratitis, dan retinitis. Berbagai kelainan neurologis

dilaporkan, di antaranya menurunnya kesadaran, paralisis sensorium yang

bersifat sementara, meningimus, dan ensefalopati. Diagnosis banding

Page 20: Demam berdarah

2

mencakup berbagai infeksi virus (termasuk chickungunya), bakteri dan

parasit yang memperlihatkan sindrom serupa. Menegakkan diagnosis

klinis infeksi virus dengan ringan adalah mustahil, terutama pada kasus-

kasus sporadis.

Demam berdarah dengue

Demam Berdarah Dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam

tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan

kegagalan peredaran darah (circulatory failure). Fenomena patofisiologi

utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD

ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya

volume plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Perbedaan

gejala antara DBD dengan DD tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Gejala klinis demam dengue dan demam berdarah dengue

Pada DBD terdapat perdarahan kulit, iju tourniquet positif, memar,

dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus

yang tersebar dianggota gerak, muka, aksila seringkali ditemukan pada

masa dini demam. Harus diingat juga bahwa perdarahan dapat terjadi di

setiap organ tubuh. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai,

sedangkan perdarahan saluran pencernaan habt lebih jarang lagi dan

biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatasi. Perdarahan lain,

seperti perdarahan subkonjungvita kadang-kadang ditemukan. Pada masa

konvalesens sering kali ditemukan eritema pada telapak tangan / telapak

kaki.

Page 21: Demam berdarah

2

Pada DBD syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari

keadaan umum tiba-tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat

atau setelah demam menurun, yaitu di antara hari sakit ke 3-7. hal ini

diterangkan dengan hipotesis peningkatan reaksi imunologis (the

immonological enhancement hypothesis). Pada sebagian besar kasus

ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit teraba lembab dan

dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut. Anak

tampak lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalam fase syok. Pasien

seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok. Fabie

(1966) mengemukakan bahwa nyeri perut hebat seringkali mendahului

perdarahan gastrointestinal. Nyeri di daerah retrosternal tanpa sebab yang

jelas dapat memberikan petunjuk adanya perdarahan gastrointestinal

yang hebat. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya

mempunyai prognosis buruk.

Di samping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oelh nadi lembut,

cepat, kecil sampai tidak dapat diraba. Tekanan nadi menurun menjadi 80

mmHg atau lebih rendah. Syok harus segera diobati, apabila terlambat

pasien dapat mengalami syok berat (profound shock), tekanan darah tidak

dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana syok yang tidak

adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolik, hipoksia,

perdarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk. Sebaliknya,

dengan pengobatan yang tepat (termasuk kasus syok berat) segera terjadi

masa penyembuhan dengan cepat. Pasien membaik dalam 2-3 hari.

Selera makan yang membaik merupakan petunjuk prognosis baik.

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan

hemokonsentrasi. Jumlah trombosit <100.000 / ul ditemukan antara hari

sakit ke 3-7. peningkatan kadar hematrokit merupakan bukti adanya

kebocoran plasma, walau dapat terjadi pula pada kasus derajat ringan

meskipun tidak sehebat dalam keadaan syok. Hasil laboratorium lain yang

sering ditemukan ialah hipoproteinemia, hiponatremia, kadar

Page 22: Demam berdarah

2

transaminase serum dan urea nitrogen darah meningkat. Pada beberapa

kasus ditemukan asidosis metabolik. Jumlah leukosit bervariasi antara

leukopenia dan leukositosis. Kadang-kadang ditemukan albuminuria

ringan yang bersifat sementara.

Patokan diagnosis DBD (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan

laboratorium.

Klinis

Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari :

1. Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet positif dan salah

satu bentuk perdarahan lain (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis,

perdarahan gusi), hematemesis dan atau melena.

2. Pembesaran hati.

3. Syok yang ditandai oelh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi

menurun (≤ 20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik ≤

80 mmHg) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama

pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah, dan timbul

sianosis di sekitar mulut.

Laboratorium

Trombositopenia (≤ 100.000 / ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat

dari peningkatan nilai hematokrit ≥20% dibandingkan dengan nilai

hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa konvalesen.

Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis pertama disertai

trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis membuat

diagnosis DBD. Dengan patokan ini 87% kasus tersangka DBD dapat

Page 23: Demam berdarah

2

didiagnosis dengan tepat, yang dibuktikan oleh pemeriksaan serologis dan

dapat dihindari diagnosis berlebihan.

Demam

DBD didahului oleh demam mendadak disertai gejala klinik yang tidak

spesifik seperti anoreksia, lemah, nyeri punggung, tulang, sendi dan

kepala. Demam sebagai gejala utama terdapat pada semua kasus. Lama

demam sebelum dirawat berkisar antara 2-7 hari. Alasan mengapa orang

tua membawa anaknya berobat oleh karena khawatir akan keadaan anak

yang demam, menjadi gelisah dan teraba dingin pada kaki dan tangan,

gejala-gejala ini sebenarnya mencerminkan keadaan pre-syok, atau oleh

karena demam dan manifestasi perdarahan di kulit menjadi nyata.

Manifestasi perdarahan

Uji tourniquet sebagai manifestasi perdarahan kulit paling ringan dapat

dinilai sebagai uji presumtif oleh karena uji ini positif pada hari-hari

pertama demam. Di daerah endemis DBD, uji tourniquet, merupakan

pemeriksaan penunjang presumtif bagi diagnosis DBD apabila dilakukan

pada yang menderita demam lebih dari 2 hari tanpa sebab yang jelas. Uji

tourniquet seyogyanya dilakukan sesuai dengan ketentuan WHO.

Pemeriksaan dilakukan dengan terlebih dahulu menetepkan tekanan

darah anak. Selanjutnya diberikan tekanan antara sistolik dan diastolik

pada alat pengukur yang dipasang pada lengan di atas siku, tekanan ini

diusahakan menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan

selama 5 menit, perhatikan timbulnya petekia di bagian volar lengan

bawah. Uji dinyatakan positif apabila pada satu inci persegi (2,8 x 2,8 cm)

didapat lebih dari 20 petekia (WHO, 1975). Pada DBD, uji tourniquet pada

umumnya memberikan hasil positif. Pemeriksaan ini dapat membrikan

hasil negatif atau positif lemah selama masa syok. Apabila pemeriksaan

Page 24: Demam berdarah

2

diulangi setelah syok ditanggulangi, pada umumnya aka didapat hasil

positif, bahkan positif kuat.

Pembesaran hati

Hati yang membesar pada umumnya dapat diraba pada permulaan

penyakit dan pembesaran hati ini tidak sejajar dengan berat penyakit,

nyeri tekan seringkali ditemukan tanpa disertai ikterus. Hati pada anak

berumur 4 tahun dan/ atau lebih dengan gizi baik biasanya tidak dapat

diraba. Kewaspadaan perlu ditingkatkan apabila semula hati tidak teraba

kemudian selama perawatan membesar dan/ atau pada saat masuk

rumah sakit hati sudah teraba dan selama perawatan menjadi lebih besar

dan kenyal, hal ini merupakan tanda terjadinya syok.

Syok

Manifestasi syok pada anak terdiri atas :

1. Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki,

tangan dan hidung sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini

disebabkan oleh sirkulasi yang insufisien yang menyebabkan

peninggian aktivitas simpatikus secara refleks.

2. Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun

kesadarannya menurun menjadi apatis, sopor dan koma. Hal ini

disebabkan kegagalan sirkulasi serebral.

3. Perubahan nadi, baik frekuensi maupun aplitudonya. Nadi menjadi

cepat dan lembut sampai tidak dapat diraba oleh karena kolap

sirkulasi.

4. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang.

Page 25: Demam berdarah

2

5. Tekana sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.

6. Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang

meliputi arteri renalis.

Pada kira-kira sepertiga kasus DBD setelah demam berlangsung

beberapa hari, keadaan umum pasien tiba-tiba memburuk. Hal ini terjadi

pada saat atau setelah demam menurun, yaitu di antara hari sakit ke 3-7.

Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut saat sebelum syok

timbul. Syok yang terjadi selama periode demam, biasanya mempunyai

prognosis buruk. Tatalaksana syok haru sdilakukan secara tepat, oleh

karena bila tidak pasien dapat masuk dalam syok berat (profound shock),

tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Lama syok

singkat, pasien dapat meninggal dalam waktu 12-24 jam atau

menyembuh. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan

komplikasi asidosis metabolik, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat

dengan prognosis buruk. Sebaliknya, dengan pengobatan tepat, (begitu

pula pada kasus syok berat) masa penyembuhan cepat sekali terjadi

bahkan seringkali tidak kelihatan. Pasien menyembuh dalam waktu 2-3

hari dan selera makan yang membaik merupakan petunjuk prognosis baik.

Gejala klinis lain di luar patokan yang digariskan WHO dapat dilihat pada

Tabel 2. Nyeri abdomen sering kali menonjol pada anak besar yang

menderita DSS. Ditemukannya gejala ini pada kasus DSS merupakan

canang bahaya oelh karena kemungkinan besar terjadi perdarahan

gastrointestinal. Terjadinya kering dengan hiperpireksia disertai

penurunan kesadaran pada beberapa kasus seringkali mengelabui

sehingga ditegakkan diagnosis kemungkinan ensefalitis.

Page 26: Demam berdarah

2

Diagnosis Banding

Demam pada fase akut mencakup spektrum infeksi bakteri dan virus yan

gluas. Pada hari-hari pertama diagnosis DBD sulit dibedakan dari morbili

dan idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) yang disertai demam. Pada

hari demam ke 3-4, kemungkinan diagnosis DBD akan lebih besar,

apabila gejala klinis lain seperti manifestasi perdarahan dan pembesaran

hati menjadi nyata. Kesulitan kadang-kadang dialami dalam membedakan

syok pada DBD dengan sepsis, dalam hal ini trombositopenia dan

hemokonsentrasi di samping penilaian gejala klinis lain seperti tipe dan

lama demam dapat membantu.

Ensefalopati Dengue

Dalam dua dekade terakhir, makin banyak laporan DBD yang disertai

gejala ensefalopati dikemukakan dari berbagai negara di kawasan Asia

Tenggara dan Pasifik Barat. Kecuali kejang, gejala ensefalopati lain tidak /

jarang menyertai DBD. Dari beberapa contoh kasus ensefalopati dengue

yang dilaporkan, ternyata kadang kala para dokter sangat terpukau oleh

kelainan neurologis sehingga apabila tidak waspada, diagnosis DBD /

DSS tidak terpikirkan. Data itu juga memberikan suatu keyakinan bahwa

pada DBD perlu dipikirkan diagnosis banding dengan ensefalitis virus lain.

Contoh kasus ensefalopati dengue memperlihatkan betapa bervariasinya

gejala klinis pasien DBD dan bahwa patokan klinis yang digariskan oleh

WHO (1975) tidak selalu dijumpai. Tingginya persentase ensefalopati

dengue pada golongan umur 1-4 tahun (yaitu pada golongan umur

tersering terjadinya kejang demam pertama kali) memerlukan peningkatan

kewaspadaan. Oleh karena itu di daerah endemis DBD perlu

diperhatikan :

Page 27: Demam berdarah

2

1. Pada sertiap kasus demam disertai kejang dan pasien dengan

diagnosis klinis ensefalitis perlu dicari kemungkinan adanya

manifestasi perdarahan

2. Sekitarnya pasien jatuh dalam syok kita harus waspada terhadap

kemungkinan DSS.

Tatalaksana

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi

kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas

kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan

sedangkan pasien DBD dirawat di ruangan perawatan biasa, tetapi pada

kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan insentif. Untuk dapat

merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang

terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid,

serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan

edukasi untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal

yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan

penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan

umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak

tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD / DSS terletak pada

ketrampilan pada dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase

demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.

Demam dengue

Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase pasien

dianjurkan, tirah baring, selama masih demam, berobat antipiretik atau

kompres hangat diberikan apabila diperlukan. Untuk menurunkan suhu

menjadi < 39