demam berdarah
TRANSCRIPT
1
Infeksi Virus Dengue
Infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang
disebabkan oleh virus genus Flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4
jenis serotipe yaitu DEN-I, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, melalui perantara
nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Keempat serotipe dengue
terdapat di Indonesia, DEN-3 merupakan serotipe dominan dan banyak
berhubungan dengan kasus berat, diikuti serotipe DEN-2.
Pada saat ini jumlah kasus masih teteap tinggi rata-rata 10-25 per
100.000 pendududk, namun angka kematian telah menurun bermakna
<2%. Umur terbanyak yang terkena infeksi dengue adalah kelompok umur
4-10 tahun, walaupun makin banyak kelompok umur lebih tua. Spektrum
klinis infeksi dengue dapat dibagi menjadi :
1. Gejala klinis paling ringan tanpa gejala (silent dengue infection),
2. Demam dengue (DD),
3. Demam berdarah dengue (DBD), dan
4. Demamberdarah dengue disertai syok (sindrom syok dengue/DSS).
Diagnosis
Anamnesis
Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadak tinggi, selama
2-7 hari
Disertai lesu, tidak mau makan, dan muntah
Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot, dan nyeri
perut
Diare kadang-kadang dapat ditemukan
Perdarahan paling sering dijumpai adalah perdarahan kulit dan
mimisan
2
Pemeriksaan fisis
Gejala klinis DBD diawali mendadak tinggi, facial flush, muntah, nyeri
kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorokan dengan faring hiperemis,
nyeri di bawah lengkung iga kanan. Gejala penyerta tersebut lebih
mencolok pada DD dari pada DBD.
Sedangkan hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering
ditemukan pada DBD.
Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma,
hipovolemia dan syok.
Perembasan plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam
rongga pleura dan rongga peritoneal selama 24-48 jam. Fase kritis sekitar
hari ke-3 hingga ke-5 perjalanan penyakit. Pada saat ini suhu turun, yang
dapat merupakan awal penyembuhan pada infeksi ringan namun pada
DBD berat merupakan tanda awal syok. Perdarahan dapat berupa
petekie, epistaksis, melena, ataupun hematuria.
Tanda-tanda syok :
1. Anak gelisah, sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis
2. Nafas cepat, nadi teraba lembut kadang-kadang tidak teraba
3. Tekanan darah turun, tekanan nadi <10 mmHg
4. Akral dingin, capillary refill menurun
5. Diuresis menurun sampai anuria
Apabila syok tidak dapat segera diatasi, akan terjadi komplikasi berupa
asidosis metabolik dan perdarahan hebat.
Pemerikasaan penunjang
Laboratorium
Darah perifer, kadang hemoglobin, leukosit & hitung jenis, hematokrit,
trombosit. Pada apusan darah perifer juga dapat dinilai limfosit plasma
3
biru, peningkatan 15% menunjang diagnosis DBD. Uji serologis, uji
hemaglutinasi inhibisi dilakukan saat fase akut dan konvalesens
Infeksi primer, serum akut < 1:20, serum konvalesens naik 4x atau
lebih namun tidak melebihi 1:1280
Infeksi sekunder, serum akut < 1:20, konvalesens 1:2560; atau
serum akut 1:20, konvalesens naik 4x atau lebih
Persangkaan infeksi sekunder yang baru terjadi (presumptive
secondary infection) : serum akut 1:1280, serum konvalesens dapat
lebih besar atau sama.
Pemeriksaan radiologis (urutan pemeriksaan sesuai indikasi klinis)
- Pemeriksaan foto dada, dilakukan atas indikasi :
1. Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat
kelainan radiologi pada perembesan plasma 20-40%
2. Pemantauan klinis, sebagai pedomanpemberian cairan
Kelainan radiologi, dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah hilus
kanan, hemitoraks kanan lebih radio opak dibandingkan kiri, kubah
diafragma kanan lebih tinggi dari pada kanan, dan efusi pluera.
USG : efusi pleura, ascites, kelainan (penebalan) dinding vesica felea
dan vesica urinaria.
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium
(WHO tahun 1997)
Kriteria klinis
Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-
menerus selama 2-7 hari.
Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif,
petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan melena.
4
Pembesaran hati
Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.
Kriteria laboratorium
Trombositopenia (100.000/ml atau kurang). Hemokonsentrasi, dilihat
dari peningkatan hematokrit 20% menurut standar umur dan jenis
kelamin. Dua kriteria klinis pertama disertai trombositopenia dan
hemokonsentrasi, serta dikomfirmasi secara uji serologik hemaglutinasi.
Tata laksana
Terapi infeksi virus dengue dibagi menjadi 4 bagian :
1. Tersangka DBD
2. Demam Dengue (DD)
3. DBD derajat I dan II
4. DBD derajat III dan IV (DSS)
Lihat bagan I, 2, 3, dan 4 dalam lampiran
DBD tanpa syok (derajat I dan II)
Medikamentosa
Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan
aspirin. Diausahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan
(misalnya antasid, antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat
dalam hati. Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila
terdapat perdarahan saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan. Antibiotik
diberikan untuk DBD ensefalopati.
Suportif
Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan
permeabilitas kapiler dan perdarahan.
5
Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan untuk mengatasi masa
peralihan dari fase demam ke fase syok disebut time of fever
differvesence dengan baik.
Cairan intravena diperlukan, apabila :
1. Anak terus-menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi,
dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya syok.
2. Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.
DBD disertai syok (Sindrom Syok Dengue, derajat III dan IV)
Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer
laktat 10-20 ml/kgbb secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit.
Apabila syok belum teratasi tetap berikan ringer laktat 20 ml/kgbb
ditambah koloid 20-30 ml/kgbb/jam, maksimal 1500 ml/hari. Pemberian
cairan 10 ml/kgbb/jam tetap diberikan 1-4 jam pasca syok. Volume cairan
diturunkan menjadi 7 ml/kgbb/jam, selanjutnya 5ml, dan 3 ml apabila
tanda vital dan diuresis baik. Jumlah urin 1 ml/kgbb/jam merupakan
indikasi bahwa sirkulasi membaik. Pada umumnya cairan tidak perlu
diberikan lagi 48 jam setelah syok teratasi. Oksigen asidosis metabolik
dan elektrolit pada DBD syok. Indikasi pemberian darah. Terdapat
perdarahan secara klinis. Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid,
syok menetap, hematokrit turun, diduga telah terjadi perdarahan, berikan
darah segar 10 ml/kgbb. Apabila kadar hematokrit tetap > 40 vol%, maka
berikan darah dalam volume kecil. Plasma segar beku dan suspensi
trombosit berguna untuk koreksi gangguan koagulapati atau koagulasi
intravaskular desiminata (KID) pada syok berat yang menimbulkan
perdarahan masif. Pemberian transfusi suspensi trombosit pada KID
harus selalu disertai plasma segar (berisi faktor koagulasi yang
diperlukan), untuk mencegah perdarahan lebih berat.
6
DBD ensefalopati
Pada ensefalopati cenderung tarjadi edema otak dan alkalosis, maka
bila syok telah teratasi, cairan diganti dengan cairan yang tidak
mengandung HCO3 dan jumlah cairan segera dikurangi. Larutan ringer
laktat segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1.
Indikasi rawat
lihat bagan I
Pemantauan
Pemantauan selama perawatan
Tanda klinis, apakah syok telah teratasi dengan baik, adakah pembesaran
hati, tanda perdarahan saluran cerna, tanda ensefalopati, harus dimonitor
dan dievaluasi untuk menilai hasil pengobatan. Kadar hemoglobin,
hematokrit, dan trombosit tiap 6 jam, minimal tiap 12 jam. Balans cairan,
cacat jumlah cairan yang masuk, diuresus ditampung dan jumlah
perdarahan. Pada DBD syok, lakukan cross match darah untuk
persiapan transfusi darah apabila diperlukan.
Faktor risiko terjadinya komplikasi :
Ensefalopati dengue, dapat terjadi pada DBD dengan syok ataupun
tanpa syok.
Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal
ginjal akut.
Edem paru, seringkali terjadi akibat overloading cairan.
Kriteria memulangkan pasien :
Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
Nafsu makan membaik
Secara klinis tampak perbaikan
Hematokrit stabil
7
Tiga hari setelah syok teratasi
Jumlah trombosit > 50.000/ml
Tidak dijumpai distres pernapasan
8
Kepustakaan
Hadinegoro SRH, Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T.Tata laksana
demam dengue/demam berdarah dengue pada anak.
Dalam:Hadinegoro SRH, Satari HI, penyunting. Demam berdarah
dengue.Edisi ke-2.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2002, h. 80-132.
Halstead, SB.Dengue fever and Dengue haemorrhagic
fever.Dalam: Beheman RE, Kliegmen RM,Jenson HB, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics.Edisi ke-17.Philadelphia;2004,h.
1092-4.
Kanesa-Thassan N, Vaughn DW, Shope RE.Dengue and dengue
haemorrhagic fever. Dalam:Anne AG, Peter JH, Samuel LK,
penyunting.Krugman's infectious diseases of children. Edisi ke-11.
Philapdelphia;2004. h. 73-81.
Thongcharoen P,Jatanasen S.Epidemiology of dengue and dengue
haemmorhagic fever. Dalam:Monograph on dengue/dengue
haemmorhagic fever.World health Organization, SEARO, New
Delhi;1993.h. 1-8.
Tsai TF; Khan AS, McJunkin JE.Togaviridae, flaviridae, and
bunyaviridae. Dalam:Long SS, Pickering LK,Prober
CG,penyunting.Principles and practice of pediatric infectious
diseases.Edisi ke-2.Philiadelphia,PA: Elsevier Science; 2003, h.I
109-16.
Wills B. Management of dengue. Dalam: Halstead SB, penyunting.
Dengue: tropical medicine science and practice. Selton Street,
London: Imperial College Press; 2008, h. 193-217.
World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever. Diagnosis,
treatment,prevention, and control. Edisi ke-2. WHO; 1997.
Infeksi Virus Dengue
9
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum
manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild
undifferentiated febrile illness), demam dengue, demam berdarah dengue
(DBD) sampai demam berdarah dengue disertai syok (dengue shock
syndrome = DSS). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini
memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, dengan kasus DBD dan
DSS yang dirawat di rumah sakit sebagai puncak gunung es yang terlihat
di atas permukaan laut, sedangkan kasus dengue ringan (silent dengue
infection dan demam dengue) merupakan dasarnya.
Epidemiologi
Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di
Filipina pada tahun 1953. pada tahun 1958 meletus epidemi penyakit
serupa di Bangkok. Setelah tahun 1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit
dalam bentuk epidemi di beberapa negara lain di Asia Tenggara, di
antaranya di Hanoi (1958), Malaysia (1962-1964), Saigon (1965) yang
disebabkan virus dengue tipe 2, dan Calcutta (1963) dengan virus dengue
tipe 2 dan chikungu berhasil diisolasi dari beberapa kasus. Di Indonesia
DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi
konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta kasus
pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut
dilaporkan di Bandung (1972), Yogyakarta (1972). Epidemi pertama di luar
Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung,
disusul oleh Riau, Sulewesi Utara dan Bli (1973). Pada tahun 1974
epidemi dilaporkan di Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat.
Pada tahun 1993 DBD telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia.
Pada saat ini DBD sudah endemis di banyak kota-kota besar, bahkan
sejak tahun 1975 penyakit ini telah terjangkit di daerah pedesaan.
1
Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua
setelah Thailand. Sejak tahun 1968 angka kesakitan rata-rata DBD di
Indonesia terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1973), 8,65
(1983), dan mencapai angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu 35,19 per
100.000 penduduk dengan jumlah penderita sebanyak 72.133 orang.
Pada saat ini DBD telah menyebarluaskan di kawasan Asia Tenggara,
Pasifik Barat dan daerah Karibia.
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara
bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk,
kepadatan vektor, tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe
virus dengue dan kondisi meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat
perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih banyak
terjadi pada anak perempuan dari pada anak laki-laki. Pada awal
terjadinya wabah di sebuah negara, pola distribusi umur memperlihatkan
proporsi kasus terbanyak berdasarkan dari golongan anak berumur <15
tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus golongan
usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh musim terhadap
DBD tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat
antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada
bulan Januari.
Etiologi
Virus dengue termasuk group B arthropod borne virus (arbovituses) dan
sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae, yang
mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3, dan den-4. Infeksi
dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup
terdapat serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan
terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis
dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama
1
hidupnya. Di indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan sejak
tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat
serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe den-3
merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan
kasus berat.
Patofisiologi
Volume plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat panyakit dan
membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi,
traombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma
pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human
albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama
perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai
puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut,
nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma
melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit
pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat
kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular (ruang interstisial dan
rongga serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan
ini ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun
dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan perikardium
yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus,
dan terdapatnya edema.
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti
secara efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada
masa dini dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi
secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan dratis.
1
Sedangkan pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh
darah yang bersifat destruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan
dugaan bahwa perubahan fungsional dindingn pembuluh darah agaknya
disebabkan oleh mediator farmakologis yang bekerja secara cepat.
Gambaran mikroskop elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut
memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka
akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang
yang diberikan histamin atau serotonin atau dibuat keadaan
trombositopenia.
Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada
sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa
demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit
secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal
biasanya tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan meningkatnya megakarosit muda dalam sumsum
tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya
destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah depresi
fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop membuktikan
bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem retikuloendotel, limpa
dan hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit tidak diketahui,
namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab yaitu virus dengue,
komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel dan aktivasi
sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih
lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun mungkin disebabkan
proses imunologis terbukti ditemui kompleks imn dalam peredaran darah.
Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai
penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD.
1
Sistem koagulasi dan fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa
perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin
parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan
menurun, termasuk faktor II, V, VII, VIII, X, dan fibrinogen. Pada kasus
DBD berat terjadi peningkatan fibrinogen degradation products (FDP).
Penelitian lebih lanjut faktor koagulasi membuktilan adanya penurunan
aktifitas antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya
aktifitas faktor VII, faktor II dan antitrombin II tidak sebanyak seperti
fibrinogen dan faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa
menurunnya kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh
konsumsi sistem koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis.
Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan aktifitas a-2
plasmin inhibitor dan penurunan aktifitas plasminogen.
Seluruh penelitian di atas membuktikan bahwa :
1. Pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dn
fibrinolisis.
2. Disseminated intravascular coagulation (DIC)secara potensial
dapat terjadi juga pada DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD,
peran DIC tidak menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma
tetapi apabila penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan
asidosis makan syok akan memperberat DIC sehingga perannya
akan mencolok. Syok dna DIC akan saling mempengaruhi
sehingga penyakit akan memasuki syok ireversibel disertai
perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital yang biasanya
diakhiri dengan kematian.
3. perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler,
gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia, sedangkan
perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih
1
kompleks seperti trombositopenia, gangguan faktor pembekuan,
dan kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus
dengan syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi
asidosis metabolik.
4. Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin . Pada kasus
dengan kekurangan antitrombin III, respons pemberian heparin
akan berkurang.
Sistem komplemen
Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan
kadar C3, C3 proaktivator, C4 dan C5, baik pada kasus yang disertai syok
maupun tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen
dengan derajat penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa
pada dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun
jalur alternatif. Hasil penelitian radioisotop mendukung pendapat bahwa
penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem
komplemen dan bukan oleh karena produksi yang menurun atau
ekstrapolasi komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilaktoksin C3a dan
C5a yang mempunyai kemampuan menstimulasi sel mast untuk
melepaskan histamin dan merupakan mediator kuat untuk menimbulkan
peningkatan permeabilitas kapiler, pengurangan volume plasma, dan syok
hipovolemik. Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel
endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang mengakibatkan waktu
paruh trombosit memendek, kebocoran plasma, syok dan perdarahan.
Disamping itu komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi
sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), interferon gamma, interluekin
(IL-2 dan IL-1).
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita
DBD ialah :
1
1. Ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam.
2. Adanya kompleks imun yang bersikulasi (circulating immune
complex), baik pada DBD derajat ringan maupun berat.
3. Adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan
derajat berat penyakit.
Respons Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat
peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari kedelapan.
Suvatte dan Longsaman menyebutkan sebagai transformed lymphocytes.
Dilaporkan juga bahwa pada sediaan hapus buffy coat kasus DBD
dijumpai transformed lymphocytes dalam persentase yang tinggi (20-
50%). Hal ini khas untuk DBD oleh karena proporsinya sangat berbeda
dengan infeksi virus lain (0-10%). Penelitian yang lebih mendalam
dilakukan oleh Sutaryo yang menyebutnya sebagai limfosit plasma biru
(LPB). Pemeriksaan LPB secara seri dari preparat hapus darah tepi
memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada
hari demam keenam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari
keempat sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna
proporsi LPB pada DBD dengan demam dengue. Namun, antara hari
kedua sampai dengan hari kesembilan demam, tidak terdapat perbedaan
bermakna proprsi LPB pada DBD syok dan tanpa syok. Berdasarkan uji
diagnostik maka dipilih titik potong (cut off point) LPB 4%. Nilai titik potong
itu secara praktis mampu membantu diagnosis dini infeksi dengue dan
sejak hari ketiga demam dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi
dengue dan non-dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa
LPB merupaka campuran antara limfosit-B dan limfosit-T. Definisi LPB
ialah limfosit dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai
ukuran lebih besar atau sama dengan limfosit besar, sitoplasma lebar
1
dengan vakuolisasi halus sampai sangat nyata, dengan daerah
perinuklear yang jernih. Inti terletak pada salah satu tepi sel berbentuk
bulat oval atau berbentuk ginjal. Kromosom inti kasar dan kadang-kadan
gdi dalam inti terdapat nukleoli. Pada sitoplasma tidak ada granula
azurofilik. Daerah yang berdekatan dengan eritrosit tidak melekuk dan
tidak bertambah biru.
Patogenesis
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan
biokimiawi DBD belum diketahui secara pasti karena kesukaran
mendapatkan model binatang percobaan yang dapat dipergunakan untuk
menimbulkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini
sebagian besar sarjana masih menganut the secondary heterologous
infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang
menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah
terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan
virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun.
The Immunological Enhancement Hypothesis
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue dari IgG yang berfungsi
menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing-
antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe
antibodi yaitu :
1. Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat
menetralisasi tetapi memacu replikasi virus
2. Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai
daya memacu replikasi virus.
1
Perbedaan ini berdasarkan adanya virion determinant spesificity. Antibodi
non-neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan
terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat
memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa
infeksi sekunder virus dengue oleh serotipe ialah meningkatnya reaksi
immunologis (the immunological enhancement hypothesis) yang
berlangsung sebagai berikut :
(a) Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel
Kupffer merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus dengue
primer.
(b) Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun
yang melekat (sitofilik) pada sel, bertindak senagai reseptor spesifik
untuk melekatnya virus dengue pada permukaan sel fagosit
mononuklear. Mekanisme pertama ini diseut mekanisme aferen.
(c) Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit
mononuklear yang telah terinfeksi.
(d) Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan
menyebar ke usus, hati, limpa dan sumsum tulang. Mekanisme ini
disebut mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD
dengan dan tanpa renjatan ialah jumlah sel yang terkena infeksi.
(e) Sel monosit yagn telah teraktivasi akan mengakibatkan interaksi
dengan sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat
dilepaskannya mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler
dan mengaktivasi sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut
mekanisme efektor.
1
Aktivasi Limfosit T
Limfosit T juga memegang peran penting dalam patogenesis DBD. Akibat
rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue,
limfosit dapat mengeluarkan interferon (IFN-a dan y). Pada infeksi
sekunder oleh virus dengue (serotipe berbeda dengan infeksi pertama),
limfosit T CD4+ berproliferasi dan menghasilkan IFN-a. IFN-a selanjutnya
merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan monosit
memproduksi mediator. Oleh limfosit T CD4+ dan CD8+ spesifikasi virus
dengue, monosit akan mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang
menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan.
Hipotesis kedua patogenesis DBD mempunyai konsep dasar bahwa
keempat serotipe virus dengue mempunyai potensi patogen yang sama
dan gejala berat terjadi sebagai akibat serotipe / galur serotipe virus
dengue yang paling virulen.
Manifestasi Klinis
Demam dengue (Dengue Fever)
Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari). Awal
penyakit biasanya mendadak, disertai gejala prodromal seperti nyeri
kepala, nyeri berbagai bagian tubuh, anoreksia, rasa menggil, dan
malaise. Dijumpai trias sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota
badan, dan timbul ruam (rash). Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu
naik pertama kali, yaitu pada hari sakit ke 3-5 berlangsung 3-5 hari. Ruam
bersifat makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam terdapat di
dada, tubuh serta abdomen, menyebar ke anggota gerak dan muka.
Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul dengan
mendadak, disertai kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri dibelakang
bola mata, punggung, otot, sendi, dan disertai rasa menggigil. Pada
1
beberapa penderita dapat dilihat bentuk kurva suhu yang menyerupai
pelana kuda atau bifasik, tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva
ini tidak ditemukan pada semua pasien sehingga tidak dapat dianggap
patognomonik.
Anoerksia dan obstipasi sering dilaporkan, disamping itu perasaan
tidak nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek
sering ditemukan. Pada stadium dini sering timbul perubahan dalam indra
pengecap. Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah fotofobia, keringat
yang bercucuran, suara serak, batuk, epistaksis, dan disuria. Demam
menghilang secara lisis, disertai keluarnya banyak keringat. Kelenjar limfa
servikal dilaporkan membesar pada 67-77% kasus. Beberapa sarjana
menyebutnya sebagai Castelani's sign, sangat patognomonik dan
merupakan patokan yang berguna untuk membuat diagnosis banding.
Manifestasi perdarahan tidak sering dijumpai. Rush pada tahun 1789
melaporkan pasien demam dengue dengan perdarahan yang kemudian
meninggal. Bentuk perdarahan lain yang dilaporkan ialah menoragi dan
menstruasi dini, abortus atau kelahiran bayi berat badan lahir rendah,
mungkin sekali akibat perdarahan uterus.
Kelainan darah tepi demam dengue ialah leukopenia selama periode
pra-demam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh
neutropenia relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan
pada masa konvalesens. Eosinofil menurun atau menghilang pada
permulaan dan pada puncak penyakit, hitung jenis neutrofil bergeser ke
kiri selama periode demam, sel plasma meningkat pada periode
memuncaknya penyakit dengan terdapatnya tro,bositopenia. Darah tepi
menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu.
Komplikasi demam dengue walaupun jarang dilaporkan ialah orkhitis
atau ovaritis, keratitis, dan retinitis. Berbagai kelainan neurologis
dilaporkan, di antaranya menurunnya kesadaran, paralisis sensorium yang
bersifat sementara, meningimus, dan ensefalopati. Diagnosis banding
2
mencakup berbagai infeksi virus (termasuk chickungunya), bakteri dan
parasit yang memperlihatkan sindrom serupa. Menegakkan diagnosis
klinis infeksi virus dengan ringan adalah mustahil, terutama pada kasus-
kasus sporadis.
Demam berdarah dengue
Demam Berdarah Dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam
tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan
kegagalan peredaran darah (circulatory failure). Fenomena patofisiologi
utama yang menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD
ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya
volume plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Perbedaan
gejala antara DBD dengan DD tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Gejala klinis demam dengue dan demam berdarah dengue
Pada DBD terdapat perdarahan kulit, iju tourniquet positif, memar,
dan perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus
yang tersebar dianggota gerak, muka, aksila seringkali ditemukan pada
masa dini demam. Harus diingat juga bahwa perdarahan dapat terjadi di
setiap organ tubuh. Epistaksis dan perdarahan gusi jarang dijumpai,
sedangkan perdarahan saluran pencernaan habt lebih jarang lagi dan
biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatasi. Perdarahan lain,
seperti perdarahan subkonjungvita kadang-kadang ditemukan. Pada masa
konvalesens sering kali ditemukan eritema pada telapak tangan / telapak
kaki.
2
Pada DBD syok, setelah demam berlangsung selama beberapa hari
keadaan umum tiba-tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat
atau setelah demam menurun, yaitu di antara hari sakit ke 3-7. hal ini
diterangkan dengan hipotesis peningkatan reaksi imunologis (the
immonological enhancement hypothesis). Pada sebagian besar kasus
ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit teraba lembab dan
dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut. Anak
tampak lesu, gelisah, dan secara cepat masuk dalam fase syok. Pasien
seringkali mengeluh nyeri di daerah perut sesaat sebelum syok. Fabie
(1966) mengemukakan bahwa nyeri perut hebat seringkali mendahului
perdarahan gastrointestinal. Nyeri di daerah retrosternal tanpa sebab yang
jelas dapat memberikan petunjuk adanya perdarahan gastrointestinal
yang hebat. Syok yang terjadi selama periode demam biasanya
mempunyai prognosis buruk.
Di samping kegagalan sirkulasi, syok ditandai oelh nadi lembut,
cepat, kecil sampai tidak dapat diraba. Tekanan nadi menurun menjadi 80
mmHg atau lebih rendah. Syok harus segera diobati, apabila terlambat
pasien dapat mengalami syok berat (profound shock), tekanan darah tidak
dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Tatalaksana syok yang tidak
adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolik, hipoksia,
perdarahan gastrointestinal hebat dengan prognosis buruk. Sebaliknya,
dengan pengobatan yang tepat (termasuk kasus syok berat) segera terjadi
masa penyembuhan dengan cepat. Pasien membaik dalam 2-3 hari.
Selera makan yang membaik merupakan petunjuk prognosis baik.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan trombositopenia dan
hemokonsentrasi. Jumlah trombosit <100.000 / ul ditemukan antara hari
sakit ke 3-7. peningkatan kadar hematrokit merupakan bukti adanya
kebocoran plasma, walau dapat terjadi pula pada kasus derajat ringan
meskipun tidak sehebat dalam keadaan syok. Hasil laboratorium lain yang
sering ditemukan ialah hipoproteinemia, hiponatremia, kadar
2
transaminase serum dan urea nitrogen darah meningkat. Pada beberapa
kasus ditemukan asidosis metabolik. Jumlah leukosit bervariasi antara
leukopenia dan leukositosis. Kadang-kadang ditemukan albuminuria
ringan yang bersifat sementara.
Patokan diagnosis DBD (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan
laboratorium.
Klinis
Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari :
1. Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet positif dan salah
satu bentuk perdarahan lain (petekia, purpura, ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi), hematemesis dan atau melena.
2. Pembesaran hati.
3. Syok yang ditandai oelh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi
menurun (≤ 20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik ≤
80 mmHg) disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama
pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah, dan timbul
sianosis di sekitar mulut.
Laboratorium
Trombositopenia (≤ 100.000 / ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat
dari peningkatan nilai hematokrit ≥20% dibandingkan dengan nilai
hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa konvalesen.
Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis pertama disertai
trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis membuat
diagnosis DBD. Dengan patokan ini 87% kasus tersangka DBD dapat
2
didiagnosis dengan tepat, yang dibuktikan oleh pemeriksaan serologis dan
dapat dihindari diagnosis berlebihan.
Demam
DBD didahului oleh demam mendadak disertai gejala klinik yang tidak
spesifik seperti anoreksia, lemah, nyeri punggung, tulang, sendi dan
kepala. Demam sebagai gejala utama terdapat pada semua kasus. Lama
demam sebelum dirawat berkisar antara 2-7 hari. Alasan mengapa orang
tua membawa anaknya berobat oleh karena khawatir akan keadaan anak
yang demam, menjadi gelisah dan teraba dingin pada kaki dan tangan,
gejala-gejala ini sebenarnya mencerminkan keadaan pre-syok, atau oleh
karena demam dan manifestasi perdarahan di kulit menjadi nyata.
Manifestasi perdarahan
Uji tourniquet sebagai manifestasi perdarahan kulit paling ringan dapat
dinilai sebagai uji presumtif oleh karena uji ini positif pada hari-hari
pertama demam. Di daerah endemis DBD, uji tourniquet, merupakan
pemeriksaan penunjang presumtif bagi diagnosis DBD apabila dilakukan
pada yang menderita demam lebih dari 2 hari tanpa sebab yang jelas. Uji
tourniquet seyogyanya dilakukan sesuai dengan ketentuan WHO.
Pemeriksaan dilakukan dengan terlebih dahulu menetepkan tekanan
darah anak. Selanjutnya diberikan tekanan antara sistolik dan diastolik
pada alat pengukur yang dipasang pada lengan di atas siku, tekanan ini
diusahakan menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan
selama 5 menit, perhatikan timbulnya petekia di bagian volar lengan
bawah. Uji dinyatakan positif apabila pada satu inci persegi (2,8 x 2,8 cm)
didapat lebih dari 20 petekia (WHO, 1975). Pada DBD, uji tourniquet pada
umumnya memberikan hasil positif. Pemeriksaan ini dapat membrikan
hasil negatif atau positif lemah selama masa syok. Apabila pemeriksaan
2
diulangi setelah syok ditanggulangi, pada umumnya aka didapat hasil
positif, bahkan positif kuat.
Pembesaran hati
Hati yang membesar pada umumnya dapat diraba pada permulaan
penyakit dan pembesaran hati ini tidak sejajar dengan berat penyakit,
nyeri tekan seringkali ditemukan tanpa disertai ikterus. Hati pada anak
berumur 4 tahun dan/ atau lebih dengan gizi baik biasanya tidak dapat
diraba. Kewaspadaan perlu ditingkatkan apabila semula hati tidak teraba
kemudian selama perawatan membesar dan/ atau pada saat masuk
rumah sakit hati sudah teraba dan selama perawatan menjadi lebih besar
dan kenyal, hal ini merupakan tanda terjadinya syok.
Syok
Manifestasi syok pada anak terdiri atas :
1. Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki,
tangan dan hidung sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini
disebabkan oleh sirkulasi yang insufisien yang menyebabkan
peninggian aktivitas simpatikus secara refleks.
2. Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun
kesadarannya menurun menjadi apatis, sopor dan koma. Hal ini
disebabkan kegagalan sirkulasi serebral.
3. Perubahan nadi, baik frekuensi maupun aplitudonya. Nadi menjadi
cepat dan lembut sampai tidak dapat diraba oleh karena kolap
sirkulasi.
4. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang.
2
5. Tekana sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang.
6. Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang
meliputi arteri renalis.
Pada kira-kira sepertiga kasus DBD setelah demam berlangsung
beberapa hari, keadaan umum pasien tiba-tiba memburuk. Hal ini terjadi
pada saat atau setelah demam menurun, yaitu di antara hari sakit ke 3-7.
Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut saat sebelum syok
timbul. Syok yang terjadi selama periode demam, biasanya mempunyai
prognosis buruk. Tatalaksana syok haru sdilakukan secara tepat, oleh
karena bila tidak pasien dapat masuk dalam syok berat (profound shock),
tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba. Lama syok
singkat, pasien dapat meninggal dalam waktu 12-24 jam atau
menyembuh. Tatalaksana syok yang tidak adekuat akan menimbulkan
komplikasi asidosis metabolik, hipoksia, perdarahan gastrointestinal hebat
dengan prognosis buruk. Sebaliknya, dengan pengobatan tepat, (begitu
pula pada kasus syok berat) masa penyembuhan cepat sekali terjadi
bahkan seringkali tidak kelihatan. Pasien menyembuh dalam waktu 2-3
hari dan selera makan yang membaik merupakan petunjuk prognosis baik.
Gejala klinis lain di luar patokan yang digariskan WHO dapat dilihat pada
Tabel 2. Nyeri abdomen sering kali menonjol pada anak besar yang
menderita DSS. Ditemukannya gejala ini pada kasus DSS merupakan
canang bahaya oelh karena kemungkinan besar terjadi perdarahan
gastrointestinal. Terjadinya kering dengan hiperpireksia disertai
penurunan kesadaran pada beberapa kasus seringkali mengelabui
sehingga ditegakkan diagnosis kemungkinan ensefalitis.
2
Diagnosis Banding
Demam pada fase akut mencakup spektrum infeksi bakteri dan virus yan
gluas. Pada hari-hari pertama diagnosis DBD sulit dibedakan dari morbili
dan idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP) yang disertai demam. Pada
hari demam ke 3-4, kemungkinan diagnosis DBD akan lebih besar,
apabila gejala klinis lain seperti manifestasi perdarahan dan pembesaran
hati menjadi nyata. Kesulitan kadang-kadang dialami dalam membedakan
syok pada DBD dengan sepsis, dalam hal ini trombositopenia dan
hemokonsentrasi di samping penilaian gejala klinis lain seperti tipe dan
lama demam dapat membantu.
Ensefalopati Dengue
Dalam dua dekade terakhir, makin banyak laporan DBD yang disertai
gejala ensefalopati dikemukakan dari berbagai negara di kawasan Asia
Tenggara dan Pasifik Barat. Kecuali kejang, gejala ensefalopati lain tidak /
jarang menyertai DBD. Dari beberapa contoh kasus ensefalopati dengue
yang dilaporkan, ternyata kadang kala para dokter sangat terpukau oleh
kelainan neurologis sehingga apabila tidak waspada, diagnosis DBD /
DSS tidak terpikirkan. Data itu juga memberikan suatu keyakinan bahwa
pada DBD perlu dipikirkan diagnosis banding dengan ensefalitis virus lain.
Contoh kasus ensefalopati dengue memperlihatkan betapa bervariasinya
gejala klinis pasien DBD dan bahwa patokan klinis yang digariskan oleh
WHO (1975) tidak selalu dijumpai. Tingginya persentase ensefalopati
dengue pada golongan umur 1-4 tahun (yaitu pada golongan umur
tersering terjadinya kejang demam pertama kali) memerlukan peningkatan
kewaspadaan. Oleh karena itu di daerah endemis DBD perlu
diperhatikan :
2
1. Pada sertiap kasus demam disertai kejang dan pasien dengan
diagnosis klinis ensefalitis perlu dicari kemungkinan adanya
manifestasi perdarahan
2. Sekitarnya pasien jatuh dalam syok kita harus waspada terhadap
kemungkinan DSS.
Tatalaksana
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas
kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan
sedangkan pasien DBD dirawat di ruangan perawatan biasa, tetapi pada
kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan insentif. Untuk dapat
merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang
terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid,
serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan
edukasi untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal
yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan
penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan
umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak
tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD / DSS terletak pada
ketrampilan pada dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase
demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.
Demam dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase pasien
dianjurkan, tirah baring, selama masih demam, berobat antipiretik atau
kompres hangat diberikan apabila diperlukan. Untuk menurunkan suhu
menjadi < 39