dasar teori klasifikasi batuan

25

Click here to load reader

Upload: farisyah-melladia-utami

Post on 29-Dec-2015

136 views

Category:

Documents


16 download

TRANSCRIPT

Page 1: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

BAB III

DASAR TEORI

3.1. Klasifilasi Massa Batuan

Klasifikasi massa batuan sangat berguna pada tahap studi kelayakan dan

desain awal suatu proyek tambang, dimana sangat sedikit informasi yang tersedia

tentang massa batuan dan tegangan serta karakteristik hidrogeologi massa batuan

tersebut. Namun klasifikasi massa batuan tidak dimaksudkan dan tidak dapat

menggantikan pekerjaan desain rinci, sebab untuk desain rinci diperlukan

informasi yang lebih lengkap lagi tentang tegangan insitu, sifat massa batuan dan

arah penggalian yang biasanya belum tersedia pada tahap awal proyek (Hoek, dkk,

1995). Secara sederhana klasifikasi ini digunakan sebagai sebuah check list untuk

memastikan apakah seluruh informasi penting mengenai massa batuan sudah

dimasukkan kedalam desain. Jika semua informasi ini telah tersedia, maka

klasifikasi massa batuan dapat dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi

spesifik lapangan.

Dalam menggunakan klasifikasi massa batuan, sangat direkomendasikan

untuk tidak hanya menggunakan satu metode klasifikasi saja, tetapi juga

menggunakan metode klasifikasi lainnya yang dapat digunakan sebagai

pembanding atas hasil yang diperoleh dari tiap metode.

Menurut Bieniawski (1989), tujuan dari klasifikasi massa batuan adalah:

1. Menentukan parameter yang terpenting yang mempengaruhi perilaku massa

batuan

2. Membagi formasi massa batuan yang khusus ke dalam kelompok yang

mempunyai perilaku sama, yaitu kelas massa batuan dengan berbagai kualitas

3. Memberikan dasar untuk pengertian karakteristik dari tiap kelas massa batuan

4. Menghubungkan pengalaman dari kondisi massa batuan di suatu lokasi

dengan pengalaman yang ditemui di lokasi lain

5. Memberikan data kuantitatif dan pedoman untuk rancangan rekayasa

(engineering design)

20

Page 2: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

6. Memberikan dasar umum untuk komunikasi diantara para insinyur dan

geologiwan

Sistem klasifikasi yang paling banyak dipakai pada proyek-proyek

tambang bawah tanah saat ini adalah Geomechanics Classification atau lebih

dikenal dengan Rock Mass Rating (RMR) system, dan Rock Tunneling Quality

Index (Q) system. Kedua sistem klasifikasi ini memakai parameter Rock Quality

Designation (RQD) yang diperkenalkan oleh Deere pada tahun 1964. Selain RMR

dan Q-system, menurut Palmstorm (2000) terdapat beberapa sistem klasifikasi

lainnya, seperti ditunjukkan pada Tabel 3.1

Tabel 3.1 Sistem Klasifikasi Massa Batuan ( Palmstrom, 2000)

NAME FORM AND TYPE MAIN APPLICATIONS REFERENCES

The Terzaghi Rock load Classification System

Descriptive and behaviouristic form functional type

Design steel support in tunnel Terzaghi, 1946

Lauffer’s Stand up time Classification

Descriptive form Functional type Input in tunneling design Lauffer,1958

The New Australian Tunneling Methode (NATM)

Descriptive and Behaviouristic form Tunneling Concept

For excavation and design in incompetent (overstress) ground

Rabcewicz, Muller and Pacher, 1958-64

Rock Classification for rock mechanical purposes

Descriptive form General type For input in rock mechanics Patching and

Coates, 1968

Unified Cklassification of soils and rocks

Descriptive Form General type

Based on particles and blocks for communications

Deere at al, 1969

The Rock Quality Designation

Numerical Form General type

Based on core logging, used in other classification system

Deere at al, 1967

The Size strength Classification

Numerical form Functional type

Based on rock strength and block diameter, used mainly in mine Franklin, 1975

The Rock Stucture Rating Classification

Numerical form Functional type

For design of (steel) support in tunnel

Wickham et al, 1972

The Rock Mass Rating Classification

Numerical form Functional type

For use in tunnel, mine and foundation design

Bieniawski, 1973

The Q Classification Numerical form Functional type

For Design of Support in Underground Excavation

Barton et al, 1974

The Typological Classification

Descriptive Form General type For use in communication Matula and

Holzer, 1978 The Unified Rock Classification System

Descriptive Form General type For use in communication Williamson,

1980 Basic Geotechnical Classification (BGC)

Descriptive Form General type For general use ISRM, 1981

Geological Strength Index (GSI)

Numerical form Functional type

For design of support in underground excavation Hoek, 1994

The Rock Mass Index (RMI) System

Numerical form Functional type

For general characterization, design of support, TBM progress

Palmstorm, 1995

21

Page 3: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

3.1.1. Rock Mass Rating System

Rock Mass Rating System atau juga dikenal dengan Geomechanichs

Cclassification dikembangkan oleh Bieniawski pada tahun 1972-1973. Metode ini

dikembangkan selama bertahun-tahun seiring dengan berkembangnya studi kasus

yang tersedia dan disesuaikan dengan standar dan prosedur yang berlaku secara

internasional (Bieniawski, 1979).

Metode klasifikasi RMR merupakan metode yang sederhana dalam

penggunaannya, dan parameter-parameter yang digunakan dalam metode ini dapat

diperoleh baik dari data lubang bor maupun dari pemetaan struktur bawah tanah

(Gonzalez de Vallejo, 1983; Cameron-Clark & Budavari 1981; Nakao et al.,

1983). Metode ini dapat diaplikasikan dan disesuaikan untuk situasi yang

berbeda-beda seperti tambang batubara, tambang pada batuan kuat (hard rock),

kestabilan lereng, kestabilan pondasi, dan untuk kasus terowongan.

Dalam menerapkan sistem ini, massa batuan dibagi menjadi seksi-seksi

menurut struktur geologi dan masing-masing seksi diklasifikasikan secara terpisah.

Batas-batas seksi umumnya struktur geologi mayor seperti patahan atau

perubahan jenis batuan. Perubahan signifikan dalam spasi atau karakteristik

bidang diskontinu mungkin menyebabkan jenis massa batuan yang sama dibagi

juga menjadi seksi-seksi yang berbeda.

Dalam mengklasifikasikan massa batuan berdasarkan sistem Klasifikasi

RMR, Bieniawski menggunakan lima parameter utama, yaitu

a. Uniaxial Compressive Strength (UCS) batuan

b. Rock Quality Designation (RQD)

c. Joint spacing atau spasi bidang diskontinu

d. Kondisi bidang diskontinu

e. Kondisi dari ground water

Berikut ini sekilas penjelasan mengenai kelima parameter yang dipakai

dalam sistem klasifikasi RMR

a. Uniaxial Compressive Strength (UCS)

Uniaxial Compressive Strength (UCS) adalah kekuatan dari batuan utuh

(intact rock) yang diperoleh dari hasil uji UCS. Uji UCS menggunakan mesin

22

Page 4: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

tekan untuk menekan sampel batuan dari satu arah (uniaxial). Nilai UCS

merupakan besar tekanan yang harus diberikan sehingga membuat batuan

pecah. Sedangkan point load index merupakan kekuatan batuan batuan lainnya

yang didapatkan dari uji point load. Jika UCS memberikan tekanan pada

permukaan sampel, pada uji point load, sampel ditekan pada satu titik. Untuk

sampel dengan ukuran 50 mm, Bieniawski mengusulkan hubungan antara nilai

point load strength index (Is) dengan UCS adalah UCS = 23 Is. Pada

umumnya satuan yang dipakai untuk UCS dan Is adalah MPa.

b. Rock Quality Designation (RQD)

RQD didefinisikan sebagai prosentase panjang core utuh yang lebih dari 10

cm terhadap panjang total core run. Diameter core yang dipakai dalam

pengukuran minimal 54.7 mm. Dan harus dibor dengan double-tube core

barrel. Perhitungan RQD mengabaikan mechanical fracture yaitu fracture

yang dibuat secara sengaja atau tidak selama kegiatan pengeboran atau

pengukuran (Hoek, dkk. 1995).

Menurut Deere (1967) prosedur pengukuran RQD adalah sebagai berikut:

Gambar 3.1 Prosedur pengukuran RQD (After Deere,1989)

23

Page 5: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

Jika tidak ada core yang tersedia, maka nilai RQD dapat diperkirakan dengan

menggunakan persamaan Palmstrom (1982) RQD = 115 – 3,3 Jv, dimana Jv

adalah jumlah joint per satuan volume massa batuan. Jika S adalah joint

spacing dalam suatu joint set, maka Jv dapat ditentukan dengan persamaan

∑= S1vJ . Hubungan antara Jv dan RQD dapat dilihat dari grafik berikut ini:

Gambar 3.2 Grafik hubungan RQD dan Jv (Palmstrom,1982)

Kualitas batuan dapat diklasifikasikan berdasarkan nilai RQD nya. Tabel 3.2

memperlihatkan pengelompokan kualitas batuan berdasarkan nilai RQD.

24

Page 6: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

Tabel 3.2 Hubungan RQD dan kualitas massa batuan (Deere,1967)

RQD (%) ROCK QUALITY

< 25 Very Poor

25-50 Poor

50-75 Fair

75-90 Good

90-100 Excellent

c. Joint Spacing

Spasi bidang diskontinu adalah jarak tegak lurus antara bidang-bidang

diskontinuitas yang mempunyai kesamaan arah (satu keluarga) yang berurutan

sepanjang garis pengukuran (scanline) yang dibuat sembarang.

Kramadibrata (2002) memberikan persamaan untuk menghitung spasi rata-

rata antar bidang diskontinuitas :

Gambar 3.3

Pengukuran Bidang Diskontinuiti dengan Metode Scanline (Kramadibrata, Suseno, 2002)

25

Page 7: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

(i+1)

(i,i+1) (i,i+1) θi+θ

cos2

d =J (3-3)

scos cos( ) cos cos sin sin180, 180180, 18090

n s n s n

d n d

d n d

n d

θ α α β β β βα α αα α αβ β

= − +< = +> = −= −

dengan :

d(i,i+1) = jarak sebenarnya amtara 2 kekar yang berurutan dalam satu (m)

J(i,i+1) = jarak semu antara 2 kekar yang berurutan dalam satu set (m)

θ = sudut normal

αn = arah dip dari garis normal

αd = arah dip dari kekar (dalam gambar ditunjukkan dengan αf )

αs = arah dip dari scanline

βn = dip dari garis normal

βd = dip dari kekar (dalam gambar ditunjukkan dengan βf )

βs = sudut kemiringan scanline

Persamaan Kramadibrata diatas ini akan digunakan untuk menghitung nilai

RMR pada dinding crosscut dan drift yang telah di scanline. Hal ini sedikit

banyak akan mempengaruhi penilaian RMR pada core log (hasil pemboran inti)

d. Joint Condition

Ada beberapa parameter yang digunakan oleh Bieniawski dalam

memperkirakan kondisi permukaan bidang diskontinu. Parameter tersebut

adalah sebagai berikut:

Roughness

Roughness atau kekasaran permukaan bidang diskontinu merupakan

parameter yang penting untuk menentukan kondisi bidang diskontinu.

Suatu permukaan yang kasar akan dapat mencegah terjadinya pergeseran

antara kedua permukaan bidang diskontinu.

26

Page 8: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

Tabel 3.3 Penggolongan dan pembobotan kekasaran menurut Bienawski (1976)

Kekasaran Permukaan Deskripsi Pembobotan

Sangat kasar (very rough)

Apabila diraba permukaan sangat tidak rata, membentuk

punggungan dengan sudut terhadap bidang datar mendekati

vertikal,

6

Kasar (rough)

Bergelombang, permukaan tidak rata, butiran pada permukaan

terlihat jelas, permukaan kekar terasa kasar.

5

Sedikit kasar (slightly rough)

Butiran permukaan terlihat jelas, dapat dibedakan, dan dapat

dirasakan apabila diraba 3

Halus (smooth) Permukaan rata dan terasa halus bila diraba 1

Licin berlapis (slikensided)

Permukaan terlihat mengkilap 0

Separation

Merupakan jarak antara kedua permukaan bidang diskontinu. Jarak ini

biasanya diisi oleh material lainya (filling material) atau bisa juga diisi

oleh air. Makin besar jarak ini, semakin lemah bidang diskontinu tersebut.

Continuity

Continuity merupakan kemenerusan dari sebuah bidang diskontinu, atau

juga merupakan panjang dari suatu bidang diskontinu.

Weathering

Weathering menunjukkan derajat kelapukan permukaan diskontinu.

Tabel 3.4

Tingkat pelapukan batuan (Bieniawski, 1976)

Klasifikasi Keterangan

Tidak terlapukkan

Tidak terlihat tanda-tanda pelapukan, batuan segar, butiran kristal terlihat jelas dan terang

Sedikit terlapukkan

Kekar terlihat berwarna atau kehitaman, biasanya terisi dengan lapisan tipis material pengisi. Tanda kehitaman biasanya akan nampak mulai dari permukaan sampai ke dalam batuan sejauh 20% dari spasi

27

Page 9: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

Terlapukkan

Tanda kehitaman nampak pada permukaan batuan dan sebagian material batuan terdekomposisi. Tekstur asli batuan masih utuh namun mulai menujukkan butiran batuan mulai terdekomposisi menjadi tanah.

Sangat terlapukkan

Keseluruhan batuan mengalami perubahan warna atau kehitaman. Dilihat secara penampakan menyerupai tanah namun tekstur batuan masih utuh, namun butiran batuan telah terdekomposisi menjadi tanah

.

Infilling (gouge)

Filling atau material pengisi antara dua permukaan bidang diskontinu

mempengaruhi stabilitas bidang diskontinu dipengaruhi oleh ketebalan,

konsisten atau tidaknya dan sifat material pengisi tersebut. Filling yang

lebih tebal dan memiliki sifat mengembang bila terkena air dan berbutir

sangat halus akan menyebabkan bidang diskontinu menjadi lemah.

e. Kondisi Air Tanah

Debit aliran air tanah atau tekanan air tanah akan mempengaruhi kekuatan

massa batuan. Oleh sebab itu perlu diperhitungkan dalam klasifikasi massa

batuan. Pengamatan terhadap kondisi air tanah ini dapat dilakukan dengan

3 cara yaitu

• Inflow per 10 m tunnel length : menunjukkan banyak aliran air yang

teramati setiap 10 m panjang terowongan. Semakin banyak aliran air

mengalir maka nilai yang dihasilkan untuk RMR akan semakin kecil

• Joint Water Pressure : semakin besar nilai tekanan air yang terjebak

dalam kekar (bidang diskontinu) maka nilai yang dihasilkan untuk

RMR akan semakin kecil.

• General condition : mengamati atap dan dinding terowongan secara

visual sehingga secara umum dapat dinyatakan dengan keadaaan

umum dari opermukaan seperti kering, lembab, menetes atau mengalir.

Untuk penelitian ini, cara ketiga ini yang digunakan.

28

Page 10: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

Tabel 3.5 Rock Mass Rating System

29

Page 11: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

Pada Tabel RMR tersebut ditunjukkan bahwa parameter-parameter itu

mempunyai rating tertentu. Rating yang lebih tinggi menunjukkan kondisi massa

batuan yang lebih baik. Kondisi massa batuan dievaluasi untuk setiap set bidang

diskontinu yang ada (Bieniawski,1989). Dengan menjumlahkan semua rating dari

lima parameter pada bagian A Tabel, akan diperoleh nilai RMR dasar yang belum

memperhitungkan orientasi bidang diskontinu.

Pengaruh dari orientasi bidang diskontinu selanjutnya diperhitungkan

berdasarkan bagian B Tabel. Adjusment terhadap orientasi bidang diskontinu ini

dipisahkan dalam perhitungan nilai RMR karena pengaruh dari bidang diskontinu

tersebut tergantung pada aplikasi engineering-nya, seperti terowongan, chamber,

lereng atau fondasi (Edelbro, 2003). Arah umum dari bidang diskontinu berupa

strike dan dip, akan mempengaruhi kestabilan lubang bukaan. Hal ini ditentukan

oleh sumbu dari lubang bukaan tersebut, apakah tegak lurus strike atau sejajar

strike, penggalian lubang bukaan tersebut, apakah searah dip atau berlawanan arah

dengan dip dari bidang diskontinu.

RMR dapat digunakan sebagai panduan memilih penyangga terowongan,

seperti terlihat pada tabel. Panduan ini tergantung pada beberapa faktor seperti

kedalaman lubang bukaan dari permukaan, ukuran dan bentuk terowongan serta

metode penggalian yang dipakai (Bieniawski,1989)

Sedangkan untuk menentukan kestabilan lubang bukaan dapat ditentukan

melalui stand-up time dari nilai RMR menggunakan grafik span terhadap stand-

up time pada gambar 3.4 (Bieniawski 1989). Bieniawski (1976) mengembangkan

grafik ini berdasarkan konsep dasar stand-up time yang diperkenalkan oleh

Lauffer (1958). Keakuratan dari stand-up time ini menjadi diragukan karena nilai

stand-up time sangat dipengaruhi oleh metode penggalian, ketahanan terhadap

pelapukan (durability), dan kondisi tegangan in situ yang merupakan parameter-

parameter penting yang tidak tercakup dalam metode klasifikasi RMR. Oleh

karena itu, sebaiknya grafik ini digunakan hanya untuk tujuan perbandingan

semata.

30

Page 12: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

Gambar 3.4

Grafik Hubungan Antara Span, Stand-Up Time, Dan RMR (after Bieniawski, 1989 & 1993)

Kelebihan dan kekurangan Klasifikasi RMR diberikan pada Tabel 3.4 dibawah ini:

Tabel 3.6 Kelebihan Dan Kelemahan Metode RMR Bieniawski (Swart, A. H., 2004)

Kelebihan Kelemahan

Telah dikenal dan digunakan secara luas. Sangat bergantung terhadap metode penggalian yang digunakan. Rekomendasi penyangga yang diberikan hanya berlaku untuk bentuk terowongan tapal kuda dengan span maksimum 10 m dan kedalaman maksimum 900 m.

Adanya faktor koreksi terhadap orientasi kekar.

Faktor koreksi terhadap orientasi kekar merupakan kategori yang kasar dan sulit ditentukan tanpa pengalaman yang luas. Pada kondisi terburuk, orientasi kekar tidak dipertimbangkan untuk mendapatkan pengaruh yang dominan pada perilaku massa batuan.

Adanya faktor koreksi terhadap pengaruh air tanah.

Dalam praktiknya, beberapa kondisi kekar tidak dapat digambarkan secara akurat

Kondisi kekar yang digambarkan meliputi kontinuitas, separasi, kekasaran, isian, dan alterasi kekar.

Nilai RQD ditentukan melalui persamaan yang diberikan oleh Palmström. Nilai RQD yang diberikan oleh persamaan ini bisa menghasilkan nilai yang lebih besar daripada nilai RQD yang dihitung secara aktual.

31

Page 13: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

Kelebihan Kelemahan Mudah menggabungkan parameter-parameter yang diukur yaitu RQD dan jarak antar kekar untuk menjelaskan frekuensi kekar ataupun ukuran blok.

Metode RMR memperhitungkan frekuensi kekar dua kali, yaitu melalui RQD dan jarak antar kekar. Oleh karena itu, metode ini sangat sensitif terhadap perubahan dari spasi fraktur yang ada.

Kuat tekan uniaksial digunakan untuk menentukan kekuatan batuan intak. Nilai ini dapat dengan mudah ditentukan uji point load secara langsung dilapangan.

Tidak memperhitungkan pengaruh dari tegangan terinduksi dalam perkiraan kestabilan lubang bukaan.

Metode RMR dikembangkan dari latar belakang teknik sipil yang berbeda dengan penggalian berbentuk lombong-lombong. Metode RMR sangat tidak sensitif terhadap kuat tekan batuan intak yang merupakan parameter penting dalam perilaku teknik dari massa batuan tertentu (Pells, 2000). Metode RMR tidak dapat membedakan perbedaan grade dari material batuan yang dihadapi dengan baik (Pells, 2000). Keakuratan dari nilai stand-up time yang diberikan oleh Bieniawski diragukan sejak nilai ini sangat bergantung terhadap metode penggalian yang digunakan, durability dan tegangan in situ yang merupakan parameter penting yang tidak tercakup dalam metode RMR. Oleh karena itu, grafik tersebut hanya digunakan untuk kepentingan perbandingan semata.

Parameter-parameter penting dari massa batuan dapat ditentukan dari nilai RMR.

Tidak memperhitungkan laju pada saat batuan segar melapuk ketika tersingkap ke permukaan.

3.1.2. Rock Mass Quality (Q) System

Rock Mass Quality (Q) System atau disebut juga sebagai Tunneling

Quality Index pertama kali diusulkan oleh Barton, Lien dan Lunde pada tahun

1974 di Norwegian Geotechnical Institute (NGI) sehingga disebut juga NGI

Classification System. Q-System sebagai salah satu dari klasifikasi massa batuan

dibuat berdasarkan studi kasus dilebih dari 200 kasus tunneling dan caverns.

32

Page 14: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

Q-system merupakan fungsi dari enam parameter yang dinyatakan dengan

persamaan berikut:

SRFJw

JaJr

JnRQD Q ××=

dimana,

RQD : Rock Quality Designation

Jn : Joint set number

Jr : Joint roughness number

Ja : Joint alteration number

Jw : Joint water reduction factor

SRF : Stress Reduction Factor

Dalam menjelaskan keenam parameter yang dipakai untuk menghitung Q,

Barton (1974) membagi enam parameter tersebut menjadi tiga bagian:

• RQD/Jn merepresentasikan struktur dari massa batuan, menunjukkan

ukuran blok batuan.

• Jr/Ja menunjukkan kekasaran (roughness) dan karakteristik geser dari

permukaan bidang diskontinu atau filling material dari bidang

diskontinu tersebut. Suatu bidang diskontinu dengan permukaan yang

kasar dan tidak mengalami alterasi dan mengalami kontak dengan

permukaan bidang lainnya, akan mempunyai kuat geser yang tinggi

dan menguntungkan untuk kestabilan lubang bukaan. Adanya lapisan

mineral clay pada permukaan kontak antara kedua bidang diskontinu

tersebut, akan mengurangi kuat geser secara signifikan. Selanjutnya

kontak antar permukaan bidang diskontinu yang mengalami

pergeseran juga akan mempertinggi potensi failure pada lubang

bukaan. Dengan kata lain Jr/Ja menunjukkan shear strength atau kuat

geser antar blok batuan.

• Jw/SRF terdiri dari dua parameter stress. Parameter Jw adalah ukuran

tekanan air yang dapat mempengaruhi kuat geser dari bidang

diskontinu. Sedangkan parameter SRF dapat dianggap sebagai

33

Page 15: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

parameter total stress yang dipengaruhi oleh letak dari lubang bukaan

yang dapat mereduksi kekuatan massa batuan. Secara empiris Jw/SRF

mewakili active stress yang dialami batuan.

Menurut Barton, dkk parameter Jn, Jr dan Ja memiliki peranan yang lebih

penting dibandingkan pengaruh orientasi bidang diskontinu. Oleh karena itu

dalam Q-system tidak terdapat parameter adjustment terhadap orientasi bidang

diskontinu.

Nilai Q yang didapat dihubungkan dengan kebutuhan penyanggan

terowongan dengan menetapkan dimensi ekivalen (equivalent dimension) dari

galian. Dimensi ekivalen merupakan fungsi dari ukuran dan kegunaan dari galian,

didapat dengan membagi span, diameter atau tinggi dinding galian dengan harga

yang disebut Excavation Support Ratio (ESR).

Span atau tinggi (m)

Dimensi Ekivalen =

ESR

Tabel 3.7 Nilai ESR Untuk Berbagai Lubang Bukaan

Excavation Category ESR

A Temporary mine openings 3 – 5

B Permanent mine openings, water tunnels for hydropower

(Excluding high pressure penstocks), pilot tunnels, drifts, and

headings for large excavations

1.6

C Storage rooms, water treatment plants, minor road and railway

tunnels, surge chambers, access tunnels

1.3

D Power stations, major road and railway tunnels, civil defence

chambers, portal intersections

1

E Underground nuclear power stations, railway stations, sports and

public facilities, factories

0.8

34

Page 16: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

Hutchinson dan Diederichs (1996) memperkenalkan grafik hubungan antara nilai

Q dan span maksimum untuk berbagai macam nilai ESR

Gambar 3.5 Grafik Hubungan Antara Nilai Q, Maksimum Span, Dan Nilai ESR

Barton et al. (1980) memberikan informasi tambahan terhadap panjang rockbolt,

span maksimum, dan tekanan penyangga atap untuk melengkapi rekomendasi

penyangga pada publikasi yang diterbitkan tahun 1974.

Panjang L dari rockbolt ditentukan dari lebar penggalian (B) dan dari nilai

ESR melalui persamaan: 2 + 0,15B L =

ESR

Span maksimum yang tidak disangga dapat dihitung dengan persamaan:

Span maksimum (Tidak disangga) = 2 ESR Q0,4

Grimstad dan Barton (1993) memberikan hubungan antara nilai Q dengan tekanan

penyangga atap permanen Proof melalui persamaan:

2(√Jn)Q-1/3

Proof = 3 Jr

35

Page 17: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

Rekomendasi penyangga ditentukan melalui grafik yang di berikan oleh Grimstad

dan Barton (1993) seperti yang ditunjukkan oleh gambar 3.6

Gambar 3.6 Grafik Penentuan Rekomendasi Penyangga Berdasarkan Q-System

(After Grimstad & Barton, 1993)

Kelebihan dan kelemahan dari metode Q-System diberikan pada tabel 3.8

Tabel 3.8

Kelebihan Dan Kelemahan Metode Q-System (Swart, A. H., 2004)

Kelebihan Kelemahan Telah dikenal dan digunakan secara luas. Berdasarkan persepsi dari Afrika Selatan,

metode ini hanya berlaku untuk klasifikasi massa batuan untuk terowongan semata.

Telah terbukti konsisten selama lebih dari 20 tahun dimana sistem dasarnya tidak berubah

Sulit untuk menggunakannya karena banyaknya tabel klasifikasi. Namun sistem ini sangat mudah digunakan jika sudah terbiasa menggunakannya.

Deskripsi terhadap indeks untuk setiap parameter yang berbeda sangat terinci. Dalam penerapannya, Q-System berfokus pada parameter-parameter yang seringkali dilupakan pada saat tahap penyelidikan lapangan.

Pengaruh dari arah kekar tidak dipertimbangkan. Dalam kasus lombong-lombong dengan span yang lebih besar dari terowongan, arah dari kekar sangat mempengaruhi kestabilan dari panel. Pada beberapa kasus, arah penggalian diubah karena pengaruh dari arah set kekar mayornya.

36

Page 18: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

Kelebihan Kelemahan Mempertimbangkan pengaruh dari tegangan induksi yang diakibatkan oleh penggalian terhadap kestabilan galian.

Karena adanya pertimbangan akan pengaruh tegangan terinduksi pada metode ini, maka harus dipastikan bahwa tidak ada koreksi lanjut terhadap parameter ini.

Joint roughness dan joint alteration dianalisis secara terpisah.

Meskipun memberikan deskripsi yang rinci untuk joint roughness dan isian kekar, Q-System tidak memperhitungkan kemenerusan kekar dan separasi dari kekar. Parameter-parameter ini dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap kekuatan dari kekar-kekar.

Memperhitungkan pengaruh dari air tanah Q-System mempertimbangkan kondisi dari permukaan kekar sebagai parameter penting, akibatnya massa batuan yang memiliki kekar dengan kekuatan yang rendah diklasifikasikan sebagai massa batuan yang lemah. Pada kenyataannya, permukaan kekar hanya akan mempengaruhi kekuatan massa batuan jika arah dari kekar sangat tidak menguntungkan terhadap arah penggalian. Karena Q-System tidak mempertimbangkan arah dari bidang diskontinu, maka metode ini tidak memberikan indikasi yang tepat terhadap perilaku massa batuan disekeliling tambang. Q-System memperkirakan desain penyangga untuk terowongan pada kedalaman dangkal secara non-konservatif (Pells, 2000).

Dapat memperkirakan deformability dari massa batuan dengan mengkonversikan nilai Q ke RMR.

Q-System dikembangkan dari latar belakang teknik sipil sehingga konservatif untuk kasus lombong.

3.1.3. Q System dan hubungannya dengan RMR System

Beberapa ahli telah melakukan penelitian untuk mengetahui korelasi

antara dua sistem klasifikasi RMR dan Q system. Korelasi ini dikembangkan di

lokasi yang bermacam-macam dengan karakteristik batuan yang berbeda-beda.

Oleh karena itu hasil yang didapat juga berbeda-beda.

Pada tabel 3.9 terdapat beberapa korelasi antara RMR dan Q serta ahli

yang mengusulkannya dan daerah tempat korelasi tersebut diturunkan.

37

Page 19: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

Tabel 3.9 Korelasi antara Geomechanics Classification (RMR) dengan Q Classification System (Choquet and Hadjigeorgiou,1993)

CORRELATION AUTHOR, YEAR ORIGIN COMMENTS

RMR = 13.5 log Q + 43 - New Zealand Tunnels

RMR = 9 ln Q + 44 Bieniawski, 1976 Diverse origin Tunnels

RMR = 12.5 log Q + 55.2 - Spain Tunnels

RMR = 5 ln Q + 60.8 Cameron, 1981 S. Africa Tunnels

RMR = 5.9 ln Q + 43

Rutledge & Preston,

1978

- -

RMR = 43.89 - 9.19 ln Q - Spain Mining soft rock

RMR = 10.5 ln Q + 41.8 Abad, 1984 Spain Mining soft rock

RMR = 12.11 log Q + 50.81 - Canada Mining hard rock

RMR = 5.4 ln Q + 55.2 Moreno, 1980 - -

RMR = 8.7 ln Q + 38 - Canada Tunnels, sedimentary

rock

RMR = 10 ln Q + 39 - Canada Mining hard rock

Perbandingan nilai Q system dengan klasifikasi RMR dapat diinterpretasikan

sebagai grafik seperti ditunjukkan pada gambar 3.7.

Gambar 3.7

Grafik hubungan klasifikasi RMR dan Q system (Bienawski, 1993)

38

Page 20: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

3.2. Shaft

Shaft adalah lubang bukaan utama miring atau vertikal didalam batuan

yang bertujuan untuk menyediakan jalan masuk ke berbagai level didalam

tambang bawah tanah. Shaft dapat diklasifikasikan berdasarkan :

1. Kegunaannya : Produksi, pelayanan, ventilasi, eksplorasi, jalan ke luar,

dan kombinasi dari semuanya.

2. Bentuk dan ukurannya : Kecil, medium, dan besar.

3. Penyanggannya : Penyangga sementara dan penyangga tetap.

4. Metode Penggaliannya : Metode konvensional dan metoda kontinyu.

3.2.1. Shaft berdasarkan kegunaannya

Kegunaan shaft bermacam-macam, antara lain :

1. Produksi : Pengangkutan bijih dan pengotor

2. Pelayanan : Pengangkutan personil dan material

3. Ventilasi : Keluar masuk aliran udara

4. Eksplorasi : Lokalisasi dan menetukan jumlah cadangan bijih

5. Jalan ke luar : Keselamatan kerja

6. Kombinasi dari semuanya

3.2.2. Shaft berdasarkan bentuk dan ukurannya

Bentuk utama dari shaft umumnya salah satu dari bulat, persegi, atau elips

dan ukurannya :

1. Kecil : 3 – 15 m2.

2. Medium : 15 – 200 m2

3. Besar : >200 m2.

3.2.3. Shaft berdasarkan penyangganya

Penyangga yang dipasang pada struktur shaft dapat diklasifikasikan

menjadi penyangga sementara dan penyangga tetap.

39

Page 21: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

3.2.4. Shaft berdasarkan metode penggaliannya

Ada dua macam metoda penggalian yaitu metoda kontinyu dan metoda

konvensional. Metoda konvensional adalah penggalian yang merupakan gabungan

antara kegiatan pengeboran, peledakan, dan pengangkutan yang diikuti kegiatan

penyanggaannya. Bisa digunakan untuk berbagai macam bentuk dan kemiringan.

Sedangkan metoda kontinyu adalah kegiatan penggalian secara mekanis yang

tidak mengalami interupsi. Metoda ini menggunakan prinsip rock cutting dengan

raise boring atau shaft boring machine. Metoda ini diawali dengan pembuatan

pilot hole lalu diikuti pemboran lubang besar. Semua metoda pemboran shaft

kontinyu adalah berbentuk bulat, dengan berbagai metoda variasi penyanggannya.

3.2.5. Lokasi dan kemiringan Shaft

Parameter yang mempengaruhi lokasi dan kemiringan shaft adalah sebagai

berikut :

1. Tata letak permukaan tambang

2. Lokasi, kemiringan, dan kemenerusan badan bijih

3. Jumlah level kerja

4. Lokasi fasilitas penanganan bijih dan waste

5. Sump

6. Keamanan dan stabilitas shaft pillar

7. Kelanjutan arah penambangan di masa datang

Kemiringan badan bijih adalah faktor utama yang menentukan apakah

sebuah shaft itu harus miring (incline) atau tegak. Faktor kedua adalah

karakteristik kekuatan massa batuan dan batuan utuh yang akan ditembus oleh

shaft.

Incline shaft biasanya dibuat bila sumbu terpanjang badan bijih juga

membentuk sudut terhadap garis horizontal, karena kalau memakai vertical shaft

pembuatan cross cut untuk mencapai badan bijih menjadi lebih jauh dan lebih

mahal.

40

Page 22: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

Gambar 3.8

Macam-macam Shaft

3.2. Jenis Penyangga

Jenis penyangga dapat dikelompokkan sebagai penyangga sementara dan

penyangga tetap. Penyangga sementara diaplikasikan untuk menjamin

keselamatan kerja selama kegiatan penambangan. Penyangga tetap diaplikasikan

untuk menjaga kestabilan lubang bukaan selama kurun waktu tertentu.

Jenis penyangga juga dapat dikelompokkan sebagai penyangga primer dan

penyangga sekunder. Penyangga primer dipasang sesaat setelah penggalian untuk

menjamin keselamatan kerja bagi penggalian selanjutnya. Penyangga sekunder

dipasang pada tahap yang lebih lanjut.

Berdasarkan proses pembebanan, penyangga dapat dibedakan menjadi

penyangga aktif dan penyangga pasif. Dikatakan penyangga aktif apabila

penyangga langsung mendapatkan pembebanan setelah dipasang. Sedangkan

penyangga pasif apabila penyangga tidak langsung mendapatkan pembebanan

setelah dipasang. Penyangga akan mendapatkan pembebanan setelah massa

batuan terdeformasi.

Jenis penyangga yang dijelaskan adalah penyanggaan yang digunakan

pada penelitian ini seperti baut batuan dengan pengikatan geser (friction anchored

rockbolt), beton tembak (shotcrete), dan perlengkapan penunjang.

41

Page 23: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

3.2.1. Baut Batuan dengan Pengikatan Geser (Friction Anchored Rockbolt)

Dua tipe baut batuan dengan pengikatan geser yang tersedia, yaitu split set

dan swellex. Mekanisme pengikatan split set timbul dari kekuatan geser dari

adanya pembebanan yang mendekati batas beban maksimum dari baut batuan,

saat baut batuan akan tergelincir. Sedangkan pengikatan dari swellex ditimbulkan

dari kekuatan geser pembebanan. Jenis baut batuan yang digunakan di UBPE

Pongkor PT Antam,Tbk. adalahjenis split set seperti terlihat pada gambar 3.8

Gambar 3.9

Split set (Hoek and Brown, 1980)

3.2.2. Perlengkapan Penunjang

Beberapa komponen penunjang yang digunakan bersama dengan baut

batuan adalah:

b. Face plate

Sebuah face plate dirancang untuk mendistribusikan beban pada

kepala baut secara merata di sekitar batuan sekelilingnya. Jenis dan

bentuk face plate dapat dilihat pada gambar 3.9.

c. Mes kawat (wire mesh)

Dua jenis wire mesh yang umum digunakan adalah chailink mesh dan

weld mesh. Chailink mesh kuat dan fleksibel, umunya digunakan pada

permukaan. Weld mesh terdiri atas kabel baja yang diatur dengan pola

segiempat atau bujur sangkar dan dipatri pada ttitik perpotongannya.

Weld mesh digunakan untuk memperkuat beton tembak dan lebih kaku

dari chailink mesh.

42

Page 24: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

Gambar 3.10

Face plate (Schach, 1971)

3.2.3. Beton Tembak (Shotcrete)

Beton tembak adalah salah satu jenis penyangga yang bersifat pasif. Beton

tembak dihasilkan dari dua jenis proses yaitu: beton tembak campuran kering

dimana campuran semennya kering dan air ditambahkan pada penyemprot (nozzle)

dan beton tembak campuran basah yang pada dasarnya memiliki komponen yang

sama dengan campuran kering, tetapi airnya telah dicampurkan dalam tempat

pengaduk.

Beton tembak campuran kering lebih sering digunakan karena peralatan

yang digunakan lebih ringan dan ekonomis. Namun, beton tembak campuran

basah memiliki keuntungan karena tingkat debu yang dihasilkan yang lebih

rendah, tidak membutuhkan keahlian khusus, dan peralatan yang dibutuhkan lebih

sedikit pada saat mengaplikasikan.

Campuran beton tembak harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut:

1. Shotability, yaitu kemampuan untuk melekat di atas permukaan batuan

dengan kemungkinan lepas sangat kecil.

2. Kekuatan awal (early strength) harus cukup kuat untuk menyediakan

penyanggaan dalam waktu kurang dari 24 jam.

43

Page 25: Dasar Teori Klasifikasi Batuan

3. Harus mampu mencapai kekuatan 28 hari dengan komposisi

pemercepat (accelerator) yang dibutuhkan untuk mendapatkan

kekuatan awal.

4. Durability, yaitu ketahanan terhadap pengaruh cuaca.

5. Ekonomis, yaitu biaya material yang rendah dan biaya minimum

akibat material yang lepas.

Karena beton tembak dipergunakan beberapa saat setelah penggalian,

maka diperlukan kekuatan awal sehingga mampu memberikan penyangga dengan

segera. Untuk itu pada campuran bahan untuk semen ditambahkan pemercepat

yang mengandung garam-garam larut dalam air (water soluble salts) yang

berfungsi mempercepat pengerasan.

Tipe persentase pencampuran komponen kering dengan berat:

Semen 15 – 20 %

Aggregate kasar 30 – 40 %

Aggregate halus/pasir 40 – 50 %

Accelerator 2 – 5 %

Nisbah berat air/semen untuk beton tembak campuran kering ditempatkan

pada interval 0,3 - 0,5 sedangkan untuk campuran basah pada interval 0,4 - 0,6.

Penambahan serat besi baja dengan panjang 50 mm dan diameter 0,4-0,8 mm

dapat meningkatkan kekerasan, daya tahan, tegangan geser dan flexural beton

tembak, dan untuk mengurangi formasi keretakan.

44