danganibnqayyimal-jawziyyahtentangpersetjananakgad

Upload: mahesa-muhammad-firdaus

Post on 15-Jul-2015

151 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS DALAM PERKAWINANNYA

SKRIPSI DISUSUN DAN DIAJUKAN KEPADA FAKULAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN DARI SYARAT-SYARAT MEMPEROLEH GELAR SARJANA STRATA SATU DALAM ILMU HUKUM ISLAM OLEH: MUSA ARIPIN NIM : 01350726 PEMBIMBING : PROF. DR. KHOIRUDDIN NASUTION, MA. DRS. OCKTOBERRINSYAH, M. AG

1. 2.

AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAHUIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2005

ABSTRAK PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS DALAM PERKAWINANNYA Perkawinan merupakan transaksi (akad) yang istimewa dalam Islam melebihi transaksi lainnya semisal jual beli. Oleh karenanya ketika akan melakukan perkawinan tersebut perlu pertimbangan yang matang dan pemenuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang mendukung tercapainya tujuan perkawinan. Salah satu ketentuan yang diharapkan dapat membawa kepada tercapainya tujuan perkawinan tersebut adalah adanya persetujuan atau kebebasan anak gadis dalam menentukan calon suaminya. Lebih lanjut tentang adanya persetujuan anak gadis tersebut, ternyata di kalangan fuqaha terjadi perbedaan pendapat. Hal ini diindikasikan dengan terpecah mereka kepada dua kubu. Kubu pertama menyatakan bahwa persetujuan hukumnya hanya sekedar sunat, tanpa ada persetujuan pun, perkawinan tetap sah. Sedangkan kubu lain berpendapat persetujuan adalah sesuatu yang menentukan (wajib). Artinya apabila persetujuan tidak ada, maka perkawinan batal alias tidak sah. Pada golongan pertama termasuk imam Sya>fii< yang mana pendapatnya diikuti mayoritas masyarakat Indonesia. Sedangkan di golongan kedua diikuti oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang juga merupakan salah satu tokoh besar dalam dunia Islam. Perbedaan pendapat di antara Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan mayoritas fuqaha merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dikaji. Hal tersebut memberikan kesempatan kepada penyusun untuk membuka tabir apa sesungguhnya yang menjadikan para ulama tersebut berbeda pendapat. Disamping itu, untuk menyempurnakan penelitian ini penyusun mencoba menemukan relevansi pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah tersebut dengan perundang-undang tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia. Persoalan persetujuan anak gadis dalam perkawinan termasuk dalam ranah fiqh, yang mana fiqh itu sendiri bersumber dari nash. Oleh karena itu penyusun dalam mendekati persoalan ini menggunakan pendekatan normatif induktif. Disamping itu, juga menghubungkannya teori al-Maqa>s}id asy-Syaril). Dengan harapan apa yang menjadi tujuan syariah berupa maslahah bisa dimunculkan. Berdasarkan metode yang digunakan akhirnya bisa dilihat bahwa akar dari perbedaan pendapat diantara Ibn Qayyim al-Jawziyyah dengan mayoritas fuqaha adalah karena Ibn Qayyim al-Jawziyyah menggunakan mant}u>q nas} (makna eksplisit) yang dikuatkan dengan illat as}-s}uqr dalam is|tinba>t hukumnya. Sementara mayoritas fuqaha menggunakan mafhu>m mukha>lafah (makna implisit) dalam is|tinba>t hukumnya yang dikuatkan dengan memakai illat al-bikr. Penelitian yang dilakukan penyusun juga memberikan jawaban bahwa pendapat Ibn Qayyim al-Jawziyyah tersebut sejalan dengan perundangan yang berlaku di Indonesia.

Prof. Dr. Khoiruddin Nasution Dosen Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Nota Dinas Hal : Skripsi Saudara Musa Aripin Kepada Yth. Bapak Dekan Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Di Yogyakarta

Assalamu'alikum Wr. Wb. Setelah membaca, meneliti dan mengoreksi serta menyarankan perbaikan seperlunya, maka kami berpendapat bahwa skripsi saudara: Nama N.I.M Judul : Musa Aripin : 01350726 : Pandangan Ibn Qayyim Al-Jawziyyah Tentang Persetujuan Anak Gadis dalam Perkawinannya sudah dapat diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu dalam jurusan al-Ahwl asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dengan ini kami mengharap agar skripsi saudara tersebut di atas dapat segera dimunaqasyahkan. Untuk itu kami ucapkan terima kasih. Wassalamu'alikum, Wr. Wb. Yogyakarta, 12 Syafar 1426 H 22 Maret 2005 M

Pembimbing I

Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A NIP: 150 246 195 Drs. Octoberrinsyah, M.Ag Dosen Fakultas Syari'ah

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Nota Dinas Hal : Skripsi Saudara Musa Aripin Kepada Yth. Bapak Dekan Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Di Yogyakarta

Assalamu'alikum Wr. Wb. Setelah membaca, meneliti dan mengoreksi serta menyarankan perbaikan seperlunya, maka kami berpendapat bahwa skripsi saudara: Nama N.I.M Judul : Musa Aripin : 01350726 : Pandangan Ibn Qayyim Al-Jawziyyah Tentang Persetujuan Anak Gadis dalam Perkawinannya sudah dapat diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana strata satu dalam jurusan al-Ahwl asy-Syakhsiyyah Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dengan ini kami mengharap agar skripsi saudara tersebut di atas dapat segera dimunaqasyahkan. Untuk itu kami ucapkan terima kasih. Wassalamu'alikum, Wr. Wb.

Yogyakarta, Syafar 1426 H Maret 2005 M Pembimbing II

Drs. Ocktoberrinsyah, M.Ag NIP: 150 289 435

PENGESAHAN Sripsi berjudul PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS DALAM PERKAWINANNYA Yang disusun oleh: MUSA ARIPIN NIM:01350726 Telah dimunaqasyahkan di depan sidang munaqasyah pada tanggal 05 April 2005 M/ 26 Syafar 1426 H dan dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Hukum Islam. Yogyakarta, 28 Syafar 1426 H 07 April 2005 M DEKAN FAKULTAS SYARIAH UIN SUNAN KALIJAGA Drs. H. Malik Madaniy, MA NIP: 150 182 698 Panitia Ujian Munaqasyah Ketua Sidang Drs. Abdul Halim, M.Hum NIP:150 242 804 Pembimbing I Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A NIP: 150 246 195 Penguji I Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, M.A NIP: 150 246 195 Sekretaris Sidang Drs. Abdul Halim, M.Hum NIP: 150 300 640 Pembimbing II Drs. Ocktoberrinsyah, M.Ag NIP: 150 289 435 Penguji II Drs. H. Muhyidin NIP. 150 221 269

KATA PENGANTAR

, , ., Alhamdulillah penyusun panjatkan atas kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan berkah, rahmat, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Baginda besar Nabi Muhammad SAW, untuk keluarga, para sahabat, dan seluruh umat di segala penjuru dunia, khususnya kita semua. 'An. Penyusun merasa bahwa skripsi dengan judul "PANDANGAN IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS DALAM PERKAWINANNYA ini bukan merupakan karya penyusun semata, tetapi juga merupakan hasil dari bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Penyusun juga merasa bahwa dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan, untuk itu saran dan keritikan yang membangun sangat penyusun harapkan. Selanjutnya tidak lupa penyusun haturkan banyak terima kasih kepada semua pihak atas segala bimbingan dan bantuan sehingga terselesainya skripsi ini, semoga amal baik tersebut mendapat balasan dari Allah SWT. 'Amin Ya Rabbal 'Alamin. Sebagai rasa hormat dan syukur, ucapan aterima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Amin Abdullah, selaku Rektor UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta.

2.

Bapak Drs. H. Malik Madaniy, MA, selaku Dekan Fakultas Syari'ah UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta. 3. 4. Bapak Udiyo Basuki, SH, selaku Penasehat Akademik. Bapak Prof. Dr. Khoiruddin Nasution M.A, selaku Pembimbing I yang

telah mencurahkan segenap kemampuannya dalam upaya memberikan dorongan dan bimbingan kepada penyusun. 5. Bapak Drs. Ocktoberrinsyah, M.Ag, selaku Pembimbing II yang dengan

senang hati meluangkan waktunya untuk membimbing dalam penyusunan skripsi ini. 6. Bapak Udiyo Basuki, SH, selaku pembimbing akademik yang telah

banyak memberikan pengarahan dan dukungan kepada penyusun selama kuliah 7. Bapak, Ibu, Kakak, Adik tercinta yang telah memberikan dorongan

moral demi kelancaran penyusunan skripsi ini. 8. Teman Syarif Muhammad,Oong (Fathurrahman), Sodri, Abdul Mujib,

M. Chasanuddin, Abdul Qadir Jailani, Muhammad, Mas Abun, Mas Qowim, Teman-teman etnis, Teman-teman kos Ibu Sarimo dan teman-teman lainnya yang tidak mungkin saya sebutkan semuanya dan semua pihak yang telah memberi motivasi kepada penyusun dan membantu dalam kelancaran terselaikannya skripsi ini Akhinya penyusun hanya berharap, semoga semua yang telah dilakukan menjadi amal saleh dan mendapatkan balasan dari Allah SWT. Dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi penyusun sendiri khususnya, dan para pembaca pada umumnya. 'Amin-'Amin-'Amin ya Rabbal 'Alamin.

Yogyakarta, 29 Muharram 1426 H 10 Maret 2005 M Penyusun

Musa Aripin NIM. 01350726 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i ABSTRAK ......................................................................................................ii NOTA DINAS ................................................................................................. iii PENGESAHAN .............................................................................................. v

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN .................................. viMOTTO .......................................................................................................... xi KATA PENGANTAR .................................................................................... xii PERSEMBAHAN .......................................................................................... xv DAFTAR ISI ................................................................................................... xvi

BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ...................................................................... B.Pokok Masalah .................................................................................... C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian ......................................................... D.Telaah Pustaka .................................................................................... 1 5 5 6

E.Kerangka Teoritik ................................................................................

9

F.Metode Penelitian ................................................................................ 12 G.Sistematika Pembahasan ..................................................................... 14 BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS DAN KEBEBASAN WANITA A. Dasar Hukum .......................................................................... 17 B..........................................Pandangan Ulama-Ulama Fiqh 22

BAB III : IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH DAN PERSETUJUAN ANAK GADIS A.Riwayat hidup 31 B.Paradigma Pemikiran Hukum Ibn Qayyim al-Jawziyyah ................................ 35 1. Dasar-Dasar Hukum ..................................................... 35 2. Metode Istinba>t Hukum ......................................... 43 3. Anak Gadis dan Persetujuannya Dalam Perkawinan Perspektif Ibn Qayyim al-Jawziyyah ............................................ 44 BAB IV : ANALISIS A. Analisis pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah ....................... 53

B.Relevansinya Dengan Konteks Sekarang ......................................................... 64 BAB V : KESIMPULAN A. Kesimpulan ........................................................................... 68 B. Saran ..................................................................................... 68 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 70 LAMPIRAN-LAMPIRAN: I. II. TERJEMAHAN ............................................................................................. I BIOGRAFI TOKOH ..................................................................................... IV

III.

CURRICULUM VITAE ................................................................................ VI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang MasalahAllah menjadikan perkawinan yang diatur menurut syariat Islam sebagai penghormatan dan penghargaan yang tinggi terhadap harga diri yang diberikan oleh Islam khusus untuk manusia di antara makhluk-makhluk lainnya.1 Mengenai hakikat perkawinan itu sendiri, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia Bab II pasal 2 menyebutkan sebagai berikut: perkawinan hukum Islam adalah perkawinan, yaitu akad yang sangat kuat (mis|a>qan gali) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, kemudian disebutkan dalam pasal 3, perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang saki>nah, mawaddah dan rah}mah.2 Hal ini sesuai dengan firman Allah3:

Mahmud asy-Syubbag, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, alih bahasa Bahruddin Fanani, cet. III (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), hlm. 232

1

Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Surabaya: Arkola, t.t.), hlm. 180 Ar-Ru>m (30) : 21

3

Mewujudkan kehidupan rumah tangga yang saki>nah, mawaddah dan rah}mah seperti di atas, sudah barang tentu bukanlah hal yang sederhana. Untuk mencapai hal itu Islam menawarkan aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang harus dipenuhi. Mahmud Syaltut dalam bukunya Akidah dan Syariah Islam menawarkan lima prinsip sebagai prosedur yang harus dipenuhi dalam pembinaan keluarga pada fase pranikah. Pertama saling mengenal dan memahami (at-Taa>ruf) di antara kedua mempelai. Dengan proses saling mengenal dan saling memahami ini diharapkan masing-masing mempelai mengetahui keadaan calon pasangannya. Dalam hal ini Islam mewasiatkan bahwa kriteria yang harus dipenuhi dan didahulukan dalam menentukan adalah kebaikan akhlak dan agama serta tidak semata-mata memandang keadaan fisik, harta dan keturunan. Kedua adalah al-Ikhtiba>r yaitu tahap penjajakan yang dilaksanakan dengan melakukan khit}bah. Dalam khit}bah ini calon suami diperbolehkan melihat wajah, tangan dan telapak kaki si wanita dan juga diperbolehkan berdiskusi untuk mengetahui pemikiran masing-masing. Dari pelaksanaan khit}bah ini diharapkan timbul rasa suka pada masing-masing calon mempelai. Ketiga arRi (kerelaan), disini syarit Islam tidak mencukupkan pada dua prinsip di atas semata namun juga mengaharuskan adanya kerelaan dalam arti yang sebenarnya dari kedua mempelai. Keempat Kafa>ah yaitu kesejajaran antara kedua mempelai. Ini dimaksudkan agar tidak ada kesenjangan di antara keduanya setelah mengarungi bahtera

rumah tangga. Kelima mahar atau mas kawin, dalam mahar ini syariat mengajarkan agar nilai mahar dalam batas yang wajar.4 Dari keterangan di atas jelaslah bahwa kerelaan (ar-Ri( merupakan prinsip pembinaan keluarga yang harus dipenuhi jika memang ingin terwujudnya keluarga yang harmonis dan bahagia. Konsep kerelaan atau persetujuan itu sendiri lebih lanjut harus dipisahkan, karna persetujuan itu sendiri memiliki dua subjek yang memiliki status hukum berbeda di kalangan ulama fiqh dalam hal ini yang dimaksud adalah janda atau gadis. Mazhab Sya>fii< misalnya menyebutkan bahwa kalau persetujuan dari janda maka status hukumnya adalah wajib. Lain halnya kalau persetujuan datangnya dari anak gadis menurut ulama Sya>fiifiifiinafi< berpendapat bahwa antara status hukum persetujuan antara janda dengan anak gadis sama saja, keduanya

Mahmud Syaltut, Akidah dan Syariat Islam,alih bahasa Fahruddin HS., cet.III (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 157-163. Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, alih bahasa Asad Yasin, cet. II (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), II: 467.5

4

wajib dimintai persetujuan. Lebih lanjut menurut ulama H}a>nafimah dalam kitabnya al-Mugnid al-Maa>d berpendapat bahwa orang tua wajib meminta persetujuan kepada anak gadis ketika akan menikahkannya.Hukum ini juga mewajibkan agar gadis yang sudah dewasa tidak dipaksa untuk dinikahkan, dan ia tidak boleh dinikahkan kecuali dengan persetujuannya. Inilah pendapat jumhur salaf dan mazhab H}a>nafi< serta satu riwayat dari Imam Ah}mad.8 Ibn Qayyim al-Jawziyyah Sebagaimana diketahui adalah sosok pemikir Islam yang banyak mewarnai khazanah intelektual pemikiran hukum Islam. Satu hal yang menarik adalah walaupun mazhab H}anbali< mayoritas berpendapat persetejuan anak gadis sekedar sunat atau penyempurna, tetapi beliau berani berbeda pendapat.

Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), cet. I (Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004), hlm. 797

6

Ibid., hlm. 85-92

Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Za>d al-Maa>d (Mesir: Mus{t}a>fa> al-Ba>bi< alH}alabi< wa Awla>dih,1390/ 1970), IV: 38

Melihat konteks pada masa sekarang seiring dengan perkembangan zaman, yang mana dulunya kaum wanita biasanya dipingit dirumahnya sehingga mereka cendrung berwawasan sempit dan kurang mengenal dunia luar, maka kondisi sekarang bisa dilihat bahwa kaum wanita adalah golongan yang berwawasan dan tidak sedikit dari mereka yang menjadi pakar dalam disiplin ilmu tertentu. Berangkat dari kenyataan inilah ditambah lagi bahwa mazhab yang berkembang di Indonesia adalah Sya>fiiyah Al-Muqtas}id (Analisa Fiqh Para Mujtahid), alih bahasa Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, cet. II (Jakarta: Pustaka Amani, 2002)14

Muhammad Jawad Mughniyah.,Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B dkk., cet. V (Jakarta: PT.Lentera Basritama, 2000) Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), cet. I (Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004)16

15

tuhan (ibadah), sementara pada dimensi horizontal syariah berisi aturan tentang hubungan antar manusia, yang kemudian dikenal dengan isitilah muamalah.17 Muamalah menurut Ibn Abidin terbagi menjadi lima bagian, yaitu: mua>wad}ah ma>liyah (hukum kebendaan), muna>kah}at (hukum

perkawinan), muh}asanah (hukum acara), amanah dan aryah (pinjaman), dan tirkah (harta warisan).18 Munakahat sebagai bagian dari muamalah ketika diaplikasikan diawali dengan akad. Akad adalah segala yang dilakukan oleh seseorang dengan iradahnya (kehendaknya), dan syara menetapkan kepada orang tersebut beberapa natijah hak.19 Defenisi di atas menjelaskan, suatu akad dikatakan sah apabila dilakukan dengan kerelaan (tanpa paksaan) para pihak. Syariah juga mempunyai tujuan ketika dihadirkan di tengah-tengah manusia, yaitu sebagai rahmat bagi manusia, sebagaimana ditegaskan Allah dalam beberapa ayat al-Quran, diantaranya:2021

Para ulama sepakat bahwa syariah mengandung kemaslahatan untuk manusia. Namun ulama berbeda pendapat tentang, apakah maslahah itu yang mendorong Allah untuk mendatangkan syariah?. Dalam hal ini ada dua pendapat: 1. Ulama yang berpegang pada prinsip bahwa perbuatan Allah itu tidak

terikat kepada apa dan siapa pun (yang dianut oleh ulama kalamAbd. Salam Arief. Pembaharuan Pemikiran Islam Antara Fakta dan Realita, cet. I (Yogyakarta: Lesfi, 2003), hlm. 83 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, cet. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 3 Muhammad Hasby ash- Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah, cet. IVX (Semarang: PT. Pustaka Rizi Putra, 2001), hlm. 2419 20 18 17

Al-Anbiya> (21) : 107

21

Asya>riyah). Menurut mereka, Allah berbuat sesuai dengan keinginan-Nya,22 sebagaimana firman Allah:23

2. Ulama yang berpegang pada prinsip keadilan dan kasih sayang Allah pada hambanya (yang dianut oleh ulama kalam al-Mutazilah) berpendapat bahwa memang untuk kemaslahatan umat itulah Allah mendatangkan syariah.24 Sejumlah defenisi maslahah dikemukakan oleh ulama ushul fiqh, tetapi seluruh defenisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam al-Ghaza>li< mengemukakan bahwa pada prisipnya maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syariah.25 Maslahah yang dimaksud bukanlah sekedar maslahah yang didasarkan pada pertimbangan akal dalam menilai baik buruknya sesuatu, akan tetapi lebih jauh bahwa sesungguhnya maslahah tersebut harus sejalan dengan tujuan syariah.26 dalam menentukan maslahah adalah kehendak dan tujuan syariah dan bukan kehendak manusia.27 Tujuan syariah yang harus dipelihara itu, lanjut al-Ghaza>lid (11) :107 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, hlm. 206 Dikutip oleh Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, cet. I (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, hlm. 326 Dikutip oleh Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, hlm. 114

24

25

hlm. 11426

27

melakukan perbuatan yang intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syariah di atas, maka dinamakan maslahah. Disamping itu, upaya untuk menolak segala aspek bentuk mudharat yang berkaitan dengan kelima aspek tersebut juga dinamakan maslahah.28 Wanita dalam kerangka memelihara jiwa seharusnya diberikan kekuasaan atas dirinya sendiri, misalnya bebas untuk kapan ia mau menikah, kapan mau memilih pasangan, dan kapan ia akan mempunyai anak. Hal ini sesuai dengan perumusan bahwa syariah adalah apa yang disyariatkan Allah dalam al-Quran dan Sunnah yang berupa suruhan dan larangan serta petunjuk bagi manusia untuk kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat.29 B. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library recearh), yaitu penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber tertulis dengan jalan mempelajari, menelaah dan memeriksa bahan-bahan kepustakaan yang mempunyai relevansi dengan materi pembahasan. 2. Sifat Penelitian

28

Ibid.

Asymuni A. Rahman, Reaktualisasi Hukum Islam Kearah Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, 1994), hlm. 135

29

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis30, yaitu memaparkan konsep persetujuan anak gadis menurut pandangan Ibn Qayyim untuk kemudian menilai sejauhmana relevansi pemikiran beliau dengan konteks sekarang. 3. Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan mengkaji dan menelaah berbagai buku dan sumber tertulis lainnya yang mempunyai relevansi dengan kajian ini. Adapun sumber primer penelitian ini adalah hasil karya Ibn Qayyim al-Jawziyyah yaitu Za>d al-Maa>d31. Sedangkan literatur-literartur yang termasuk kategori sumber skunder adalah kitab-kitab yang membahas tentang fikih munakahat di antaranya adalah kitab al-Umm karya ima>m asy-Sya>fiid al-Mugniyyah, , Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), oleh Khoiruddin Nasution.33 sedangkan literatur lainnya yang berkaitan dengan topik pembahasan ini dapat dijadikan sebagai penunjang dalam penelitian ini baik yang berupa buku, majalah, jurnal, artikel, dan karya ilmiah lainnya.

deskriptif analisis, yaitu suatu penelitian yang meliputi proses pengumpulan data, penyusunan, dan penjelasan atas data. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dan diinterpretasi sehingga metode ini sering disebut metode penelitian analitik. Ciri yang mendasar dari metode ini adalah bahwa ia lebih memusatkan diri pada pemecahan msalah-masalah aktual. Lihat Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik, cet. V (Bandung: Tarsito, 1994), hlm. 139-14031

30

Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Za>d al-Maa>d (Mesir: Mus{t}a>fa> al-Ba>bi< alH}alabi< wa Awla>dih,1390/ 1970) Muhammad Jawa>d al-Mugniyyah, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B, cet. V (Jakarta: PT.Lentera Basritama, 2000)32

Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami dan Istri (Hukum Perkawinan I), cet. I (Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004)

33

4. Pendekatan penelitian Pendekatan yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah pendekatan normatif34 artinya pendekatan yang berbasis pada teori-teori dan konsep-konsep hukum Islam. 5. analisis data. Dalam menganalisis data dan materi yang disajikan penyusun menggunakan analisa kualitatif dengan menggunakan cara berfikir induktif35. penyusun berusaha menganalisa pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah tentang persetujuan anak gadis untuk kemudian menghubungkannya dengan konteks sekarang. C. Sistematika Pembahasan Untuk mempermudah pembahasan skripsi ini, dan agar lebih sistematis dan konprehensif sesuai dengan yang diharapkan, maka dibuat sistematika pembahasan sebagai berikut: BAB I merupakan pendahuluan sebagai pengantar yang mengarahkan pembahasan. Bab I memuat Latar Belakang Masalah, Pokok Masalah, Tujuan Dan Kegunaan, Telaah Pustaka, Kerangka Teoritik, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.Maksud pendekatan normatif adalah studi Islam yang memandang masalah dari sudut legal/formal dan atau normatifnya. Maksud legal-formal adalah hubungannya dengan halal dan haram, boleh atau tidak. Dan sejenisnya. Sementara normatif adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam nash. Dengan demikian, pendekatan normatif mempunyai cakupan yang sangat luas. Lihat Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, cet. I (Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004), hlm. 141 Analisis induktif dalam penelitian kualitatif digunakan karena beberapa alasan. Diantaranya adalah dengan proses induktif lebih dapat menggali kenyataan-kenyataan ganda yang terdapat dalam data; analisis induktif lebih dapat membuat hubungan peneliti dengan objek menjadi lebih eksplisit; analisis lebih dapat meguraikan latar secara penuh dan dapat membuat keputusan-keputusan tentang dapat tidaknya pengalihan kepada suatu latar lainnya. Lihat Lexi J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. XVI (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002), hlm. 535 34

BAB II setelah pada bab I diketahui arah pembahasan, maka tahapan selanjutnya penulis mengenalkan lebih dekat tentang objek dari pembahasan ini. Pada bab ini memuat tentang keberadaan dan kepribadiannya-Riwayat Hidup-. Penyusun juga menggambarkan Paradigma pemikiran hukum yang lebih menekankan berpegang kepada al-Quran dan Sunnah ketika mengambil dasar hukum. BAB III mengupas secara umum tentang persetujuan anak gadis dalam proses perkawinan. Hal ini diperlukan sebagai perbandingan antara pendapat Ibn Qayyim alJawziyyah dengan ulama-ulama lain sehingga bisa dinilai pendapat siapa sesungguhnya yang paling relevan untuk saat ini. Untuk mencapai pemahaman yang utuh tentang pembahasan ini, maka pada bab ini juga diangkat tentang kebebesan wanita dalam perkawinanan. Bab ini berisi Dasar-Dasar Hukum Ulama yang menyangkut masalah pembahasan ini, dan juga Pandangan mereka seputar hal ini. BAB IV setelah diuraikan pandangan beliau tentang persetujuan anak gadis dalam perkawinan dan gambaran umum dari ulama-ulama lain tentang pembahasan ini, maka dalam bab ini penyusun melakukan Analisis Terhadap Pendapat Ibn Qayyim alJawziyyah dan Relevansinya Dengan Konteks Sekarang. BAB V sebagai penutup dari bab-bab sebelumnya yang juga tentunya berisi kesimpulan pembahasan yang dilakukan terhadap penelitian ini, saran-saran dan usul yang mungkin dapat berguna bagi pengembangan hukum Islam di masa depan.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERSETUJUAN ANAK GADIS DAN KEBEBASAN WANITA

A. Dasar hukum Secara umum bisa dikatakan bahwa ketika para ulama membahas tentang persetujuan gadis dalam perkawinan, mereka biasanya menggunakan hadis-hadis sebagai dasar hukum bagi kasus ini. Ulama terpisah menjadi dua pendapat ketika membahas kajian ini. satu pihak menyatakan bahwa persetujuan gadis dalam perkawinan hanya sekedar sunat atau penyempurna, sedangkan di pihak lain berpendapat bahwa persejuan gadis dalam pernikah adalah wajib, artinya tanpa ada persetujuan darinya perkawinan tidak sah. Berikut ini sejumlah hadis yang dijadikan pegangan bagi pendapat yang menyatakan bahwa persetujuan si gadis hanya sekedar sunnat antara lain: Hadis dari Ibn Abba>s, Nabi bersabda:36

Hadis Ibn Abba>s tersebut menjelaskan bahwa wanita ada dua golongan. Pertama janda dan kedua gadis. Kekuasaan bapak gadis selaku wali terhadap kedua golongan ini tidak sama. Permulaan hadis tersebut menegaskan bahwa janda lebih berhak terhadap dirinya daripada walinya. Mafhu>m Mukha>lafah-nya adalah bahwa bapak lebih berhak terhadap diri gadisnya.37

Ima>m an-Nawawib Istiz|an fi< an-nika>h} bi an-Nut}q wa al-Bikr bi as-Su>kut,Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis dari Sair dan Qutaibah bin Sain diceritakan Jiya>d bin SaAd36

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, cet I (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), I: 207

37

Riwayat yang menerangkan bahwa gadis diminta persetujuannya, hendaklah diartikan bahwa hukum meminta persetujuan itu adalah sunat bagi bapak sekedar membesarkan hati anak gadisnya dan wajib hukumnya bagi selain bapak.38 Hadis dari Khansa> binti Khida>m:39

Perkataan perawi hadis yang berupa sedangkan ia janda jelas suatu isyarat yang menunjukkan illat atau sebab dari penolakan (tidak diakui) rasul. Hal yang sebaliknya adalah jika ia gadis maka perkawinannya akan diterima Rasul.40 Hadis dari Ibn Abba>s, Nabi bersabda:41

Dalam hadis ini gadis yang tidak berbapak dan sudah dewasa dikatakan yatih}, Ba>b Iz}a> Zawwajahu Ibnatahu wa Hiya Ka>rihah fa Nika>huhu Mardu>d. Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis diceritakan oleh Isma>il diceritakan Ma>lik dari Abdul ar-Rah}ma>n.39 40

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, hlm. 209

Jala>l ad-Ditii bi Syarhi al-H}a>fiz Jala>l adDitir al-Fikr, 1248/1930), VI: 85, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b Istiz}a>n al-Bikr Fi< Nafsiha>, sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis diceritakan oleh Muh}ammad bin Ra>fi diceritakan oleh Abdul ar-Razza>q diceritakan oleh Muammar bin ar-Ra>syid dari S}a>lih} bin Kaisa>n 42 Ibid., hlm. 20941 43

Ibid.

Jadi, gadis yang tidak berbapak wajib diminta persetujuanya. Ini menunjukkan bahwa gadis yang berbapak tidak perlu bapak meminta persetujuannya.44 Adapun hadis yang dijadikan pegangan bagi pendapat yang menyatakan bahwa seorang bapak wajib meminta persetujuan anak gadisnya ketika akan menikahkannya adalah sebagai berikut: Hadis dari Abu> Hurairah yang diriwayatkan oleh jamaah:45

Dalam hadis Abu> Hurairah ini, terdapat pengertian yang berupa larangan Rasul untuk menikahkan gadis tanpa seizinnya, sebagaimana beliau menikahkan janda tanpa seizinnya. Secara implisit hadis tersebut menjelaskan sahnya akad nikah tergantung ada atau tidak persetujuan wanita yang akan dinikahkan. Persetujuan tersebut bila dari janda berwujud ucapan sendangkan dari gadis cukup dengan diamnya saja. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan antara gadis dengan janda adalah terletak pada cara penyampaian persetujuan itu sendiri.46 Hadis dari Ibn Abba>s:47

44

Ibid.

Ima>m an-Nawawih}, Ba>b Istiz|an fi< an-nika>h} bi anNut}q wa al-Bikr bi as-Suku>t,Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis diceritakan Ubaidillah bin Umar bin Maisarah al-Qawa>rilid bin al-H}a>ris diceritakan Hisya>m bin Yah}ya>.45

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan Masalah Perkawinan, cet I (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), hlm. 211 Abu> Da>ud, Sunan Abiud, cet. I (Beirut: Da>r al-Fikr,t.t.), II: 232, hadis nomor 2096,Kita>b an-Nib al-Bikr Yuzawwijuha> Abu>ha> wa la> Yastamiruha>. sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis diceritakan oleh Us|ma>n bin Abi< Syaibah diceritakan oleh H}usain bin Muhammad diceritakan oleh Jarim wanita yang disebutkan pada hadis sebelumnya yang memang sudah janda. Jadi, ada dua wanita dengan status yang berbeda, yang pertama janda dan yang kedua masih gadis. Akan tetapi Nabi memberikan perlakuan yang sama terhadap kedua wanita itu.49 Hadis dari Siti Ah}, Ba>b la> Yaju>zu Nika>h} al-Mukrah. Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis diceritakan oleh Muh}ammad bin Yu>suf dari Sufya>n bin Sailik bin Juraij50

49

Jala>l ad-Ditii bi Syarhi al-H}a>fiz Jala>l adDitib an-Nika>h}, Ba>b al-Bikr Yuzawwijuha> Abu>ha> wa Hiya Ka>rihah, sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis diceritakan oleh Ziya>d bin Ayyu>b diceritakan Ali< bin Gura>b diceritakan oleh Kahmas bin al-H}asan51

Perkataan fata>tun dalam hadis Siti A (para wanita) mencakup seorang wanita yang masih gadis.52

B. Pandangan Ulama-Ulama Fiqh Ada pemetaan menarik yang dibuat oleh Ibn Rusyd tentang perbedaan pendapat ulama tentang kebebasan wanita dalam memilih pasangan yang dapat dirinci sebagai berikut:53 1. Para ulama sepakat bahwa untuk wanita janda diwajibkan ada

persetujuannya.

52

Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan., hlm. 213

Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah Al-Muqtas}id (Analisa Fiqh Para Mujtahid), alih bahasa Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, cet II (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), II: 398-40453

2.

Janda yang belum balig, menurut imam Ma>lik dan imam Ha>nafifii< wali tidak boleh menikahkannya tanpa persetujuannya. 3. Mengenai gadis kecil para imam mazhab sepakat bahwa ia boleh

dinikahkan tanpa persetujuannya, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang siapa yang boleh menikahkannya tanpa persetujuannya. Menurut Sya>fii yang boleh menikahkannya tanpa persetujuannya adalah bapak dan kakeknya, sedangkan imam Ma>lik mengatakan yang boleh hanya bapaknya saja atau orang yang mendapat penyerahan dari bapak untuk melakukan akad itu jika calon suami telah ditentukan bapak, dan pendapat imam Ha>nafi< adalah setiap orang yang mempunyai hak wali terhadap si gadis boleh menikahkanya walaupun tanpa persetujuannya, akan tetapi setelah dewasa si anak gadis mempunyai hak khiya>r (memilih). 4. Ulama berbeda pendapat tentang persetujuan sendiri itu jika wanitanya

gadis dewasa. Imam Ma>lik dan imam asy-Sya>fii< berpendapat persetujuan hanya sekedar sunat, bahkan bapak sebagai wali bisa memaksa anak gadis untuk menikah dengan laki-laki pilihannya, sedangkan menurut imam Ha>nafi< harus ada persetujuan dari si gadis. Berikut diuraikan lebih lanjut pendapat empat mazhab tentang pembahasan ini. a. Mazhab Ma>likilik membedakan antara janda dengan gadis. Untuk janda harus ada persetujuan dengan tegas sebelum akad nikah. Adapun gadis dan janda yaang belum dewasa yang belum digauli oleh suaminya ada perbedaan antara bapak sebagai wali

dengan wali di luar bapak. Bapak sebagai wali menurut beliau berhak memaksa anak gadisnya dan janda yang belum dewasa (hak ijbar) untuk nikah, sedangkan wali selain bapak tidak mempunyai hak ijbar. Dengan kata lain, seorang bapak boleh menikahkan anak gadis dan janda yang belum dewasa walaupun tanpa persetujuan keduanya.54 Otoritas yang dimiliki bapak itu lanjut imam Ma>lik karena memang syara mengkhususkan demikian, atau karena kasih sayang seperti yang dimiliki seorang bapak tidak akan dimiliki oleh wali yang lain.55 Kemudian az-Zarqa>ni< menuliskan dua pandangan Iya>d tentang pembahasan ini, pertama bahwa wanita yang masih gadis, walinyalah yang lebih berhak dalam menentukan persetujuan dalam perkawinannya, kedua, sedangkan wanita janda lebih berhak dalam menentukan persetujuan dalam perkawinannya.56 Kedua pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi57

Pendapat pertama, dengan mengambil mafhu>m mukha>lafah dari hadis ini, sedangkan pendapat kedua dengan menghubungkan hadis ini dengan hadis Nabi:58

Dalam perkembangan selanjutnya, ketika membahas tentang persetujuan janda dalam perkawinannya, ulama mutaakhirilik terpecah kepadaDikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), cet I (Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004), hlm. 7055 54

Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid, hlm. 407 Ibid., hlm. 71 lihat catatan kaki no. 1

56

57

Abi I Muh}ammad bin Sawrah, Sunan at-Tirmir al-Fikr, 1408/1988), III: 407, hadis nomor 1101, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b Ma> Ja>'a illa bi Waliyyi", Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis dari Ali bin H}ujr diceritakan Syarib. Kedua, bapak tetap boleh menikahkannya walaupun perceraiannya terjadi setelah ia dewasa, ini pendapat Sahnu>n. dan ketiga, bapak tidak boleh menikahkannya tanpa persetujuannya baik perceraiannya terjadi sebelum atau sesudah ia dewasa, ini pendapat Abu>Tamma>m.59 b. Mazhab H}ana>fi

Menurut Abu H}ani menemui dan melaporkan kasus yang menimpa dirinya, yakni dia dinikahkan bapaknya kepada saudara bapaknya yang tidak ia senangi, pada saat itu Nabi balik bertanya apakah kamu diminta izin (persetujuan)? al-Khansa> menjawab saya tidak senang dengan pilihan bapak. Nabi lalu menetapkan perkawinannya sebagai perkawinan yang tidak sah, seraya bersabda/berpesan nikahlah dengan orang yang kamu senangi.61 al-Khansa> berkomentar, bisa saja aku menerima pilihan bapak,59

Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid, hlm. 402 Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm. 75

60

Lihat catatan kaki no. 461

tetapi aku ingin agar para wanita mengetahui bahwa bapak tidak berhak untuk memaksakan kehendaknya untuk menikahkan anak wanitanya dan nabi menyetujuinya. Ditambah lagi oleh al-Khansa>, nabi tidak minta keterangan apakah saya gadis atau janda, seperti dicatat sebelumnya.62 Kasus al-Khansa> ini menjadi salah satu dalil tidak adanya perbedaan antara janda dengan gadis tentang harus adanya persetujuan dari yang bersangkutan dalam perkawinan. Perbedaannya hanya terletak pada tanda persetujuan itu sendiri; kalau gadis cukup dengan diamnya saja, sementara janda harus tegas.63 Imam H}ana>fi dalam hal kebebasan wanita dalam memilih pasangan kelihatan lebih toleran Terbukti bahwa menurut beliau seorang wanita yang sudah balig dan berakal sehat boleh menikahkan dirinya baik ia masih perawan atau sudah janda. Tidak ada seorang pun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya, dengan syarat, calon suami yang dipilihnya itu sekufu dengannya dan maharnya tidak kurang dari mahal mis|il. Akan tetapi kedua syarat ini mempunyai konsekwensi hukum apabila tidak terpenuhi yaitu wali boleh menentang perkawinan itu bahkan wali bisa meminta q}}a>d}i< untuk membatalkan perkawinan itu.64 c. Mazhab asy-Sya>fiifii< membuat klasifikasi terkait dengan kebebasan wanita dan persetujuannya kepada tiga kelompok, yakni: pertama, gadis yang belum dewasa, kedua, gadis dewasa, dan ketiga, janda. Untuk gadis yang belum dewasa, batasan62

Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm. 77 Ibid.

63

Muhammad Jawa>d al-Mugniyah, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B. dkk.cet V (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2000), hlm. 34564

umurnya adalah belum lima belas tahun (15) atau belum haid, maka seorang bapak dalam hal ini menurut beliau boleh menikahkan si gadis walaupun tanpa seizinnya, dengan syarat perkawinan itu menguntungkan bagi si anak gadis. Pandangan beliau ini didasarkan pada tindakan Abu> Bakar yang menikahkan Alafah hadis yang menyatakan janda lebih berhak terhadap dirinya. Menurut imam asy- Sya>fii mafhu>m mukha>lafah hadis ini bapak lebih berhak menentukan urusan perkawinan anak gadisnya65, meskipun dianjurkan musyawarah antara bapak dengan si anak gadis, berdasarkan firman Allah:66

Dari penjelasan asy-Sya>fii, akhirnya bisa dilihat bahwa dalam kasus gadis dewasa pun hak bapak sebagai wali masih melebihi hak gadis. Kesimpulan ini didukung oleh ungkapan asy-Sya>fii sendiri yang menyatakan bahwa persetujuan gadis bukanlah suatu keharusan (( tetapi hanya sekedar pilihan ((76. Adapun perkawinan seorang janda menurut beliau harus ada persetujuan yang jelas dari yang bersangkutan. Keharusan ini didasarkan pada kasus perkawinan yang ditolak Nabi karena ia nikahkan oeh walinya dengan seorang laki-laki yang tidakHal ini didukung pernyataan ulama Sya>fiiyyah bahwa apabila bapak sebagai wali tidak perlu lagi meminta izin kepada anak gadisnya apabila telah memenuhi ketujuh syarat berikut: pertama, antara bapak dengan anak tidak ada permusuhan. Kedua, anatara si anak gadis dengan calon suaminya tidak ada permusuhan. Ketiga, calon suaminya sekufu. Keempat, calon suami sanggup memberikan mahar. Kelima, mahar yang sesuai. Keenam, mahar merupakan mata uang setempat, ketujuh mahar dibayar kontan, lihat Abdul ar-Rah}ma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala al-Maza>hib al-Arbaah (Beirut: Da>r al-Afka>r, t.t.), IV: 3565 66

Ali Imra>n (3) : 159 Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm. 84

67

disenangi ditambah lagi tanpa diminta persetujuannya terlebih dahulu.68 Dengan demikian, hadis ini menurut beliau menyatakan seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya.ketetapan ini diperkuat hadis lain.69 Dengan menyebut lebih berhak pada dirinya (( berarti untuk sempurnanya perkawinan harus dengan persetujuannya dan tidak ada orang lain yang berhak untuk mencegahnya untuk nikah.70 d. Mazhab H}anbalimah sendiri cendrung berpendapat, bapak berhak memaksa anak gadisnya baik dewasa atau belum, menikah dengan pria sekufu walaupun wanita tersebut tidak setuju.71 Menurut beliau, dasar bolehnya menikahkan gadis yang belum dewasa adalah firman Allah:72

Pada prinsipnya ayat ini berbicara tentang masa iddah seorang wanita yang belum haid atau wanita yang sudah putus haid. Logika sederhana adalah iddah muncul

Lihat catatan kaki no. 468 69

. lihat catatan kaki no. 9Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm. 85 Ibid., hlm. 88 At}-T}alaq (65) : 4

70

71

72

karena talak, dan talak muncul karena nikah.73 Dasar pendapat ini sesuai dengan hadis fili< Nabi:74

Menurut ibn Quda>mah, disamping sebagai dalil bolehnya menikahkan gadis yang belum dewasa, hadis ini juga menunjukkan tidak adanya permintaan izin dari Abu> Bakr (bapak/wali) kepada Ayah al-Mujtahid, menyimpulkan bahwa perbedaan pendapat para ulama tentang perlu tidaknya persetujuan wanita dalam perkawinannya bermuara pada illat yang dipakai oleh para ulama itu sendiri. Dalam kaitan ini ada dua illat yang dipakai ulama sebagai dasar argumennya yang masingmasing illat mempunyai konsekwensi hukum yang berbeda. Illat yang dimaksud adalah kegadisan seorang wanita dan kedewasaannya.75 Ulama yang menggunakan illat kedewasaan wanita sebagai dasar argumentasi, maka konsekwensi hukumnya adalah wanita dewasa tidak boleh dipaksa untuk menikah oleh siapa pun dan persetujuannyalah yang menentukan sah tidaknya suatu akad nikah.illat inilah yang digunakan oleh imam H}ana>fi.76

73

Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi, hlm. 89

Ima>m an-Nawawih}, Ba>b Tazwi Abu Mu'a>wiyah dari Hisya>m bin Urwah.74 75

Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid, hlm. 403 Ibid.

76

Ulama yang menggunakan illat kegadisan wanita, maka konsekwensinya adalah gadis dewasa boleh dipaksa walinya (bapak) untuk menikah. Jadi persetujuannya bukanlah sesuatu yang menentukan. Imam Sya>fii menggunakan illat ini.77 Ada yang menggunakan kedua illat tersebut sebagai satu kesatuan tanpa dipisah-pisah. Dengan kata lain, apabila illat kebelumdewasaan dan kegadisan masih melekat pada diri seorang wanita maka ia tetap bisa dipaksa untuk menikah. Menurut pendapat ini, persetujuan seorang wanita menentukan dalam perkawinannya ketika ia sudah berstatus janda dan dewasa. Illat digunakan oleh imam Ma>lik.78 BAB III IBN QAYYIM AL-JAWZIYYAH DAN PERSETUJUAN ANAK GADIS A. Riwayat Hidup Ibn Qayyim al-Jawziyyah, nama populer untuk Syams ad-Di Abdillah Muhammad bin Abi> Bakr bin Ayyub bin Saad bin Haris| az-Zari ad-Dimasyqi79. Ibn Qayyim al-Jawziyyah dilahirkan di Damaskus pada tanggal 7 Syafar 691 H. bertepatan dengan 29 Januari 1292 M. dan wafat80 pada tanggal 13 Rajab 751 H. bertepatan dengan 1350 M.8177

Ibid. Ibid. Depag. RI, Ensiklopedia Islam di Indonsia , (Jakarta: CV. Anda Utama, 1993), II: 403

78 79

mengenai tahun masehi dari tahun wafatnya terdapat perbedaan. Dalam Dairah alMaa>rif al-Isla>miyyah disebutkan tahun 1356 M. Tetapi di dalam Encyclopedia Of Islam dan dalam karya Ibn Qayyim al- Jawziyyah sendiri seperti di dalam Ilam al-Muwa>qiin dan Z|a>d alMaa>d disebutkan 1350 M.. Menurut Mukhtar Basya, tahun kelahiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah 691 H tersebut bertepatan dengan 1292 M. Sedangkan tahun wafatnya 751 H bertepatan dengan tahun 1350 M. lihat Muhammad Mukhtar Basya, at-Taufiq al-Ilhamiyyah (Mesir: at-Atmiriyyah, 134 H), hlm. 346. Dari beberapa sumber tersebut hanya dalam Dairat al-Maa>rif al-Isla>miyyah, yang menyebutkan tahun wafat Ibn Qayyim al- Jawziyyah yaitu tahun 1356 M. sedangkan dalam beberapa sumber lainnya termasuk karya beliau sendiri menyebutkan 1350 M., jadi tahun 1350 M. sebagai tahun wafat beliau lebih dapat diterima karena terdapat dalam karyanya.81

80

Bernard Lewis (ed.) Dkk., Encyclopedia Of Islam (Leiden: E.J Brill, 1973), III: 821

Ibn Qayyim al- Jawziyyah hidup dilingkungan ilmiah yang sempurna. Beliau mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk pengembangan ilmu, sehingga banyak karya intelektualnya dapat dijadikan sumber ilmu.82 Nama al-Jawziyyah83

sendiri diambil

dari satu sekolah yang dibangun oleh Muh}yy ad-Din bin H}a>fiz bin Abu> Farj Abdul ar-Rah}im yang kedua setelah gurunya tersebut.88 Ibn Qayyim al-Jawziyyah berusaha mengajak orang kembali berpegang kepada al-Quran dan as-sunnah sebagaimana ulama Salaf dan mengajak meninggalkan perbedaan pertikaian mazhab. Juga Ibn Qayyim al-Jawziyyah mengajak bebas berfikir dan memerangi taklid buta. Usaha dan ajakan itu tidak hanya dibidang Ilmu Kalam, tapi juga di bidang Fiqh dan Tasyawuf. Dalam masalah Fiqh Ibn Qayyim al-Jawziyyah sekalipun mengikuti aliran Ahmad bin H}anbal, namun juga mengeluarkan pendapat yang berbeda dengan paham Ahmad bin H}anbal. Beliau termasuk priode keenam, priode ini ditandai dengan meluasnya faham fanatik dan taklid kepada ulama-ulama mujtahid yang empat,89 tetapi Ibn Qayyim al-Jawziyyah menolak taklid dan membuka pintu ijtihad serta kebebasan berfikir.90 Pada dasarnya pemikiran-pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah bersifat pembaharuan. Tak terkecuali dalam bidang Tasawuf. Ibn Qayyim al-Jawziyyah menghendaki agar Tasawuf dikembalikan ke sumber aslinya yaitu al-Quran dan assunnah dan tanpa penyimpangan-penyimpangan. Ajaran-ajaran Tasawuf seharusnyaBeliau pernah dipenjara bersama gurunya itu pada akhir kehidupannya di sebuah benteng karena menentang acara ziarah kekuburan al-Khalil (Nabi Ibrahim A.S ). Selama dipenjara, beliau selalu membaca al-Quran dan melakukan perenungan-perenungan, justru kehidupan penjara banyak membuka cakrawala pemikirannya mengenai berbagai persoalan kehidupan. Beliau baru dikeluarkan di penjara setelah Ibn Taimiyyah meninggal dunia. Lihat Ibn Qayyim al- Jawziyyah, Kalimah Tayyibah, Alih Bahasa Kathur Suhardi, cet. III (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1999), hlm. 10788

87

Ibid.,hlm. 14

Amir Syarifudin, Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam (Padang: Angkasa Raya, 1990), hlm 29490

89

M. Khud}a>ri< Bek, Ta>rikh at-Tasyri al-Isla>mi< (Mesir: Asy-Syadah, 1454),

hlm 365

memperkuat Syariat dengan itu beroleh kesegaran dan penghayatan hakiki yang tumbuh dari kedalaman batin manusia.91 Karir Ibn Qayyim al-Jawziyyah sangat sederhana dan selalu dihalang-halangi oleh golongan oposisi, sebagaimana Neo-Hanbalisme yang dikembangkan oleh Ibn Taimiyyah juga ditentang oleh kalangan pemerintah.92 Banyak ulama yang mempunyai keutamaan pada masa hidup Ibn Qayyim alJawziyyah yang belajar kepadanya93 dan memanfaatkan karya-karyanya.94 Gelora pemikiran Ibn Qayyim al-Jawziyyah yang tegas dengan berpegang kepada al-Quran dan Sunnah Rasul, menolak taklid, menyerang bidah dan khurafat, dapat dipahami apabila kita melihat situasi dan kondisi masyarakat dimana Ibn Qayyim

M. Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, cet. I (Jakarta: PT. Raja grapindo Persada, 1996), hlm. 222 Hal ini disebabkan mazhab resmi yang berlaku dan diakui oleh pemerintah di Damaskus ketika itu adalah mazhab Sya>fiiqis dala>lah:109

107

Ibn Qayyim al- Jawziyyah, Ilam al- Muwaqqin (3) : 137 Fus}s}ilat (41) : 39

108

109

Allah menunjukkan kepada hamba-hambanya dengan sesuatu yang dapat dilihat oleh mereka dalam kehidupan nyata untuk melihat kehidupan yang lebih jelas. Hal ini merupakan qiyas (analogi) kehidupan kepada kehidupan, dan mengungkapkan sesuatu dengan yang menyetarainya.sedangkan illat(alasan)nya adalah kesempurnaan

kekuasaan dan hukum Allah, sedangkan menghidupkan bumi merupakan petunjuk (dali>l) yang menunjukkan illat. 3) Qiya>s Syabah Qiyas jenis ini tidak digunakan oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah karena Allah hanya menggunakannya dalam menceritakan orang-orang yang berbuat kebatilan dan juga al-Quran mamakainya dalam rangka penolakan atau untuk mencela seperti halnya analogi yang diambil oleh orang Musyrik. e. Istis}h}a>b Ibn Qayyim al-Jawziyyah menggunakan dasar hukum ini, walaupun ulama berbeda pendapat dalam masalah Istis}h}a>b. Beliau membaginya dalam tiga bagian, yakni:110 Istis}h}a>b Bara>ah al-As}liyyah, Istis}h}a>b as}si}fah, dan Istis}h}a>b Hukm al-Ijma> 1) Istish}a>b Bara>ah al-As}liyyah

110

Dikutip Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh , Cet. III (Jakarta: PT. LOGOS Wacana Ilmu, 2001),

II: 348

Arti lughawi al-bara>ah adalah bersih. Dalam hal ini pengertiannya adalah bersih atau bebas dari beban hukum. Dihubungkan dengan kata al-as}liyah yang secara lughawi artinya: menurut asalnya, dalam hal ini maksudnya adalah pada prinsip atau pada dasarnya, sebelum ada hal-hal yang menetapkan hukumnya. Hal ini berarti pada dasarnya seseorang bebas dari beban hukum, kecuali ada dalil atau petunjuk yang menetapkan berlakunya beban hukum atas orang tersebut.111 2) Istis}h}a>b as}-si}fah Istis}h}a>b bentuk kedua mengandung arti mengukuhkan berlakunya satu sifat yang pada sifat itu berlaku suatu ketentuan hukum, baik dalam bentuk menyuruh atau melarang, sampai sifat tersebut mengalami perubahan yang menyebabkan berubah hukum, atau sampai ditetapkan hukum pada masa berikutnya yang menyatakan hukum yang lama tidak berlaku lagi.

3) Istis}h}a>b Hukm al-Ijma> Istis}h}a>b bentuk ketiga mengandung arti mengukuhkan pemberlakuan hukum yang telah ditetapkan melalui ijma ulama, tetapi pada masa berikutnya ulama berbeda pendapat mengenai hukum tersebut karena sifat dari hukum semula telah mengalami perubahan. f. Sadd az|-Z|arib bara>ah al-as}liyyah ini,mengandung prinsip tersebut sampai ada dalil yang menetapkannya. Lihat ibid.

Beliau membagi az|-z|arid al-Maa>d yaitu:

: " 116 " ( :" ) 711 " : " : : "811 : 119 "Dari rangkaian nash di atas Ibn Qayyim al-Jawziyyah berpendapat bahwa hukum yang diambil dari sana adalah seorang gadis yang sudah dewasa tidak bolehBukha>rib an-Nika>h}, Ba>b Iz}a> Zawwajahu Ibnatahu wa Hiya Ka>rihah fa Nika>huhu Mardu>d. Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis diceritakan oleh Isma>il diceritakan Ma>lik dari Abdul ar-Rah}ma>n.116

Abu> Da>ud, Sunan Abiud, cet. I (Beirut: Da>r al-Fikr,t.t.), II: 232, hadis nomor 2096,Kita>b an-Nib al-Bikr Yuzawwijuha> Abu>ha> wa la> Yastamiruha>. sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis diceritakan oleh Us|ma>n bin Abi< Syaibah diceritakan oleh H}usain bin Muhammad diceritakan oleh Jarih}, Ba>b la Yunkih}u al-Abu> wa Gairahu al-Bikr wa la as|-S| ayyiba illa bi Rid}a>ha>. Sanad hadis ini marfu>, hadis dari Mua>z bin Fad}a>lah diceritakan oleh Hisya>m bin Yahya dari Abi< Salamah.118

Ima>m an-Nawawib Istiz|an fi< an-nika>h} bi an-Nut}q wa al-Bikr bi as-Su>kut,Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis dari Sair dan Qutaibah bin Sailik diceritakan Yah}yabin Yah}ya.119

dipaksa untuk menikah, dan ia tidak boleh dinikahkan kecuali dengan persetujuannya. Inilah pendapat jumhur Salaf dan mazhab Abu H}anafi< serta satu riwayat dari imam Ah}mad. Juga pendapat yang sesuai dengan hukum Rasulullah SAW., baik dalam bentuk perintahnya maupun larangannya, atau dalam kaidah-kaidah syariah maupun kemaslahatan umatnya.120 Beliau menuliskan dalam kitabnya bahwa pendapat yang sesuai dengan hukum Rasulullah adalah diberikannya hak memilih bagi anak gadis yang tidak ingin untuk menikah. Hadis ini diriwayatkan secara mursal bukan karena adanya illat, melainkan memang memilik status musnad dan mursal. Bila mengikuti pendapat Fuqaha : bahwa menjadikan status hadis ini merupakan ziyadah (tambahan), maka orang yang menjadikan hadis tersebut muttas}il jelas lebih didahulukan daripada yang menjadikannya berstatus mursal. ini merupakan hal yang wajar terjadi dalam tradisi Hadis. Bila menilai Hadis tersebut mursal seperti sebagaian besar ahli Hadis, memang hadis tersebut benar-benar berstatus mursal. Akan tetapi didukung Hadis shahih lain, qiyas dan kaidah-kaidah syara sebagaimana akan dijelaskan selanjutnya. Dengan

demikian, pendapat di atas dapat dirumuskan dalam kategori berikut ini:121 Pendapat yang menjelaskan bahwa persetujuan anak gadis wajib sesuai dengan perintah Nabi adalah sabda beliau:122

Pernyataan ini adalah perintah yang jelas, karena berbentuk khabar (berita) yang berfungsi memperkuat apa yang diberitakan dan menegaskannya. Hukum asalnya120

Ibn Qayyim al-Jawziyyah, IV: 3 Ibid., hlm. 3 Bukha>rib (keharusan), selama tidak ada ijma yang bertentangan dengannya.123 Pernyataan yang menjelaskan bahwa pendapat di atas sesuai dengan larangan Nabi adalah sabda beliau:124

Di dalam hadis ini terkandung perintah, larangan, sekaligus hukum kebolehan untuk memilih. Penetapan hukum ini merupakan cara yang paling tepat. Kewajiban persetujuan anak gadis sesuai dengan kaidah-kaidah syara adalah seorang gadis yang sudah dewasa dan mampu berpikir matang, sang ayah tidak diperkenankan menggunakan harta miliknya meski sedikit kecuali atas persetujuannya. Seorang ayah tidak diperkenankan memaksa anak gadisnya tersebut supaya ia mengeluarkan hartanya meski sedikit tanpa mendapat persetujuannya. Bagaimana mungkin sang ayah diperbolehkan mengeluarkan harta yang paling berharga bagi anak gadisnya tanpa melalui persetujuannya kemudian memberikannya kepada seorang lakilaki pilihannya, sementara si gadis tidak menginginkan laki-laki tersebut. Sudah pasti bahwa menggunakan seluruh harta sang gadis tanpa persetujuannya itu lebih ringan baginya daripada harus dipaksa nikah dengan seorang laki-laki yang bukan pilihannya sendiri. Pernyataan ini sekaligus menegaskan sebuah pendapat yang menyatakan bahwa bila sang gadis mensyaratkan harus sekufu' kemudian sang ayah memenuhinya, maka yang dijadikan sandaran hukum adalah persyaratan yang diajukannya, meski laki-laki tersebut tidak disukainya atau bahkan buruk budi pekertinya.125123

Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Za>d al-Maa>d, hlm. 3 Ima>m an-Nawawid al-Maa>d tentang hal ini, golongan yang berbeda pendapat dengan beliau berkata bahwa Rasulullah SAW memberikan keputusan hukum secara berbeda antara wanita janda dan gadis, sebagaimana sabda beliau:127

Sabda Nabi yang lain:128

Bila dalam kasus seorang janda, ia lebih berhak atas dirinya ketimbang walinya sendiri, sementara dalam kasus seorang gadis, sang ayah lebih berhak atas dirinya. Jika tidak

126

Ibid.

Ima>m an-Nawawih}, Ba>b Istiz|an fi< an-nika>h} bi anNut}q wa al-Bikr bi as-Su>kut,Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis diceritakan Ubaidillah bin Umar bin Maisarah al-Qawa>rilid bin al-H}a>ris diceritakan Hisya>m bin Yah}ya.127

Penulis tidak menemukan lafaz hadis yang pas dengan teks hadis ini, sementara yang ditemukan penulis adalah lihat Ima>m anNawawib Istiz|an fi< an-nika>h} bi an-Nut}q wa al-Bikr bi asSu>kut, sedangkan yang menggunakan lanjutannya menggunakan lihat Jala>l ad-Ditii< bi Syarhi al-H}a>fiz Jala>l ad-Ditir al-Fikr, 1248/1930), VI: 84, Kita>b an-Nika>h}, Ba>b Istiz}a>n al-Bikr Fi< Nafsiha>.

128

demikian, tentu tidak ada makna yang khusus bagi seorang janda. Begitu pula dalam bentuk persetujuan, Nabi membedakan antara keduanya. Bila ia seorang janda, maka bentuk persetujuannya adalah dengan jalan mengungkapkannya, sedangkan bentuk persetujuan bagi seorang gadis adalah dengan diam. Semua ini menunjukkan atas ketiadaan dipandang persetujuan dari seorang gadis, sehingga tak ada wewenang baginya bila bersama sang ayah.129 Maka jawaban yang diajukan adalah bahwa tidak ada satu dalil pun yang menunjukkan kebolehan sang gadis dinikahkan tanpa melalui persetujuannya, sementara ia sendiri sudah memasuki usia dewasa dan mampu berpikir matang. Dan pendapat lain yang menyatakan bahwa seorang ayah boleh menikahkan anak gadisnya dengan seorang laki-laki yang tidak disenanginya sekalipun, bila laki-laki itu sekufu', ditolak dengan jelas oleh hadis-hadis yang dijadikan sandaran hukum bagi pendapat ini. Tidak ada dalil yang lebih kuat dari pada hadis Nabi SAW berikut ini.130

Hadis ini dapat dipahami dengan jalan mafhu>m mukha>lafah. Pendapat yang menyatakan bahwa boleh menikahkan gadis tanpa persetujuannya biasanya menggunakan Hadis ini sebagai hujjah. Seandainya mereka mengajukan Hadis ini sebagai hujjah, maka tidak boleh mendahulukannya atas mant}u>q as}-s}arim mukha>lafah seperti disinggung di atas, dan dalam mafhu>m mukha>lafah terkandung makna yang umum. Maka yang benar, dalam mafhu>m129

Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Za>d al-Maa>d, hlm. 4

Ima>m an-Nawawih}, Ba>b Istiz|an Fi< an-Nika>h} bi anNut}q wa al-Bikr bi as-Suku>t. Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis dari Sair dan Qutaibah bin Sain diceritakan Jiya>d bin SaAd.130

mukha>lafah tidak terkandung makna umum, apabila ada dalil yang terkandung di dalamnya mengarah pada pengertian bahwa takhs}is} (mengkhususkan), yakni menegaskan hukum selain takhs}im an-Nawawib Istiz|an Fi< an-Nika>h} bi anNut}q wa al-Bikr bi as-Suku>t. Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis dari Qutaibah bin Sain diceritakan Jiya>d bin SaAd.131 132

Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Za>d al-Maa>d, hlm. 4

mengungkapkan melalui kata-kata, itu lebih kuat status hukumnya. Untuk mendukung pendapat ini Ibn Qayyim al-Jawziyyah juga mengutip pendapat Ibn H}azm, beliau berkata: Tidak sah menikahkan seorang gadis kecuali ia diam. Pendapat inilah yang sesuai dengan kenyataan zahiriyahnya.133

BAB IV ANALISIS C. Analisis pandangan Ibn Qayyim al-Jawziyyah Secara ideal-normatif, Islam sesungguhnya tidak membedakan antara pria dengan wanita, atau dengan kata lain Islam menolak segala bentuk diskriminasi yang berbau gender. Islam sebagai pembawa keselamatan dan kerahmatan bagi seluruh alam (rah}matan lilam (6) : 151 An-Nisa> (4) : 19 dan 7 ibid.

139

140

Pembelaan al-Quran terhadap wanita tersebut menjadi salah satu misi pokok yang diperjuangkan oleh Nabi Muhammad dengan agama Islam yang dibawanya. Akan tetapi bukti sejarah berkata lain, hampir sepanjang sejarah muslim, kaum wanita ditempatkan pada posisi inferior sementara laki-laki berada pada posisi superior. Padahal al-Quran menempatkan posisi wanita sejajar dengan laki-laki.141 Munculnya praktek yang inferior terhadap wanita dalam sejarah muslim, bukan tanpa alasan. Hal ini disebabkan antara lain adanya sejumlah nash terkesan mengisyatkan adanya kemungkinan itu142. Di antaranya adalah:143

Faktor lain yang menyebabkan munculnya praktek yang inferior terhadap wanita adalah pengaruh metode studi nash yang dipakai para ulama. Bisa dikatakan bahwa umumnya ulama tradisional, menggunakan pendekatan parsial dalam mengkaji alQuran dan sunnah Nabi, Yaitu menyelesaikan satu masalah dengan cara memahami salah satu atau beberapa nash secara berdiri sendiri, tanpa menghubungkan dengannya dengan nash lain yang relevan.144 Salah satu fakta yang berbicara tentang praktek yang inferior terhadap wanita adalah hak kebebasannya dalam menentukan calon suami. Wanita dewasa yang masih gadis menurut mayoritas imam mazhab tidak mempunyai kebebasan untuk memilih pasangan dan hak itu sepenuhnya menjadi otoritas bapak sebagai wali. Padahal dengan kedewasaan seorang wanita memungkin ia untuk menyampaikan apa yang ada dalam

141

Khoiruddin Nasution, Fazlurrahman, hlm. 2 Ibid., hlm. 5 An-Nisa> (4) : 11 Khoiruddin Nasution, Fazlurrahman Tentang, hlm. 9

142

143

144

hati dan pikirannya. Dan dengan kedewasaan itu pula seorang wanita memiliki kapasitas untuk melaksanakan apa yang ada dalam pikirannya.145 Pendapat mayoritas imam mazhab tersebut bila diteliti lebih jauh masih merupakan peninggalan tradisi arab pra Islam. Sejarah menuliskan bahwa sebelum kedatangan Islam, seorang bapak memiliki hak utnuk memilihkan suami bagi putrinya dan putrinya tidak berhak untuk menentang. Bahkan tradisi Arab pra Islam yang tidak menghargai hak wanita adalah tidak jarang para bapak saling menukar putri mereka untuk menikah satu sama lain. Ini dikenal dengan nikah syir dalam Islam, akan tetapi kemudian nikah dengan jenis seperti ini dibatalkan sekaligus diharamkan oleh Islam.146 Sebelum memberikan penilaian lebih jauh dalam persoalan ini, ada baiknya penulis menguraikan bagian-bagian yang menjadi ruang perdebatan para ulama dalam membahas kajian ini, agar memperoleh pemahaman yang konprehensif tentang persoalan ini. Salah satu Bagian yang menjadi perdebatan berkaitan dengan hak wanita dalam memilih pasangan adalah illat yang dijadikan sebagai dasar argumen untuk menentukan ada tidaknya hak kebebasan itu sendiri. Sebagian ulama dalam kaitan ini menjadikan kegadisan (al-bikr) sebagai illat dalam penentuan hukumnya, sementara ulama yang lain dengan menggunakan illat masa kecil (as}-s}ug}r), bahkan ada ulama yang menjadikan illat bagi kasus ini dengan menggabungkan kedua illat tersebut.147Husein Muhammad, Fiqh Perempuan Refleksi Kiyai Atas Wacana Agama Dan Gender, (Yogykarta: LKiS, 2001), hlm. 83-84146 S. M. Khamenei, Risalah Hak Asasi Wanita: Studi Komparatif antara Pandangan Islam Dan Deklarasi Universal HAM, alih bahasa Quito R. Motinggo, cet. I (Jakarta: al-Huda, 2004), hlm. 81 145

Ibn Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid Wa Niha>yah Al-Muqtas}id (Analisa Fiqh Para Mujtahid), alih bahasa Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, cet. II (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), II:147

Dalam kasus ini, ada kritikan yang disampaikan oleh Ibn Taimiyah, yang menyatakan bahwa sesungguhnya menjadikan kegadisan sebagai alasan yang mewajibkan untuk membatasi hak wnita adalah bertentangan dengan prinsip Islam, dan menjadikan hal itu sebagai illat untuk membatasi atau mengahalangi kaum wanita merupakan pembuatan illat dengan sesuatu sifat yang tidak ada pengaruhnya dalam syara.148 Beliau menambahkan bahwa illat yan benar untuk kasus ini adalah masih kecil Ibn Qayyim al-Jawziyyah sependapat dengan gurunya Ibn Taimiyyah bahwaillat yang dijadikan sebagai pijakan hukum ada tidaknya hak tersebut adalah illat usia kecil, sehingga menurut beliau gadis yang sudah dewasa mempunyai hak untuk memilih calon suaminya. Dengan kata lain tidak seorang pun yang bisa memaksanya untuk menikah. Bagian lain yang menjadi dasar perbedaan pendapat para ulama dalam kaitan ini adalah metode para ulama dalam mengis|tinba>tkan hukum pada kasus ini. Dengan metode is|tinba>t hukum yang berbeda tersebut berimplikasi kepada penetapan hukum yang berbeda pula walaupun pada dasarnya nash yang digunakan sama. Metode is|tinba>t hukum yang digunakan para ulama ada dua macam dalam hal ini yaitu mafhu>m mukha>lafah dan mantu>q nas}. Mafhu>m mukha>lafah sebagai pisau analisis digunakan oleh imam Sya>fiiliki< dan H}anbali< terhadap kasus ini, membawa mereka pada

403-404 Dikutip oleh Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, alih bahasa Asad Yasin, cet. II (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), II: 471148

pendapat bahwa persetujuan anak gadis hanya sekedar sunat dengan berdasarkan hadis149

Jika janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya, maka mafhu>m mukha>lafahnya adalah wali lebih berhak terhadap diri anak gadisnya, sehingga kemudian mereka berpendapat meminta persetujuan seorang gadis tidak diperlukan lagi. Dengan hadis yang sama pula ulama yang berpegang pada mantu>q nas} diwakili oleh imam H}a>nafi< dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yang menyatakan bahwa persetujuan anak gadis adalah wajib. Ibn Qayyim lebih lanjut mengkritik golongan yang menggunakan mafhu>m mukha>lafah terhadap kasus ini dengan mengatakan bahwa pemahaman yang muncul dari mantu>q nas} semestinya didahulukan daripada pemahaman yang menggunakan mafhu>m mukha>lafah. Sebab penetapan hukum suatu kasus tertentu belum tentu menetapkan hukum sebaliknya untuk kasus lainnya. Adalah sesuatu yang mungkin kasus lain mempunyai dasar hukum sendiri.150 Perbedaan pendapat berkenaan dengan persoalan persetujuan gadis dalam perkawinan, Ibn Qayyim al-Jawziyyah lebih lanjut memberikan analogi bahwa seorang bapak tidak memiliki hak tas}arruf terhadap harta milik anak gadisnya yang rasyim an-Nawawib Istiz|an fi< an-nika>h} bi an-Nut}q wa al-Bikr bi as-Suku>t. Sanad hadis ini marfu> muttas}il, hadis dari Sair dan Qutaibah bin Sain diceritakan Jiya>d bin saAd.149

Dikutip oleh Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), cet I (Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004), hlm. 92

150

dibolehkan mentas}arrufkan harta yang paling berharga tersebut sementara si gadis tidak setuju. Pada akhirnya persolan pada kebebasan dan persetujuan wanita dalam memilih calon suami, bermuara pada apakah perlu (wajib) atau tidak (sunnah). Ibn Qayyim al-Jawziyyah sebagai salah satu ulama besar dalam lingkungan mazhab H}anbali H}anid al-Maa>d (Mesir: Mus}t}a>fa> al-Ba>bi< alH}alabi< wa Awla>dih, 1390/1970), IV: 3152

151

tekstual (eksplisit) ada nash yang menyebutkan harus ada persetujuan dari wanita yang akan nikah. Beliau menambahkan bahwa penekanan hadis-hadis yang mengharuskan adanya persetujuan wanita yang akan nikah terdistorsi (sengaja atau tidak), untuk mendukung praktek dan pemahaman yang sangat patriarkal yang sudah mapan oleh para fuqaha. Sebab para fuqaha itu tinggal dan hidup dalam masyarakat yang patriarkal tersebut.153 Khoiruddin nasution dalam mendukung pernyataan di atas, menawarkan satu teori yang bisa dijadikan parameter untuk mengukur ada tidaknya hak kebebasan seorang wanita dalam menentukan pasangan yaitu menghubungkan nash yang berbicara tentang kebebasan dan pemaksaan wanita dalam perkawinan dengan nash yang berbicara dengan perkawinan itu sendiri (paling tidak dengan status akad nikah dan tujuan perkawinan)154 Dalam kaitan ini lebih lanjut, beliau menguraikan bahwa tujuan perkawinan ada tiga macam yang diisyaratkan oleh al-Quran, yakni pertama, untuk mengembang biakkan umat manusia (reproduksi) di bumi, sesuai dengan firman Allah:155

Kedua, pemenuhan kebutuhan seksual, firman Allah:156

Khoruddin Nasution, Mensikapi Kitab-Kitab Fikih Konvensional dalam Menjamin Hak Wanita dalam Menentukan Pasangan, asy-Syirah, No. 8, (2001), hlm. 140-141154 155

153

Ibid. 146 Asy-Syu>ra> (42) : 11 Al-Maa>rij (70) : 29-31

156

. . Ketiga untuk memperoleh ketenangan (saki (4) : 29.158 , (3) transaksi dilakukan oleh orang yang dewasa. Bisa dianalogikan bahwa untuk sahnya transaksi biasa saja harus dilakukan oleh pihak-pihak yang memenuhi syarat-syarat tersebut, bagaimana mungkin akad nikah, satu transaksi yang melebihi transaksi yang biasa dapat dilakukan dengan paksa (tanpa persetujuan si gadis) dapat dilakukan. Kedua, perkawinan dalam Islam mempunyai tujuan yang sangat mulia dan melahirkan akibat-akibat hukum yang cukup luas. Sebab akad nikah merupakan langkah awal untuk menentukan nasib para pasangan (hidup sebagai suami istiri) selama hidup di dunia. Oleh karena itu, semakin jelas bahwa157

Ar-Ru>m (30) : 21

158

mestinya akad nikah dillakukan pihak-pihak dengan penuh kesadaran dan pertimbangan matang. Tuntunan ini semakin menunjukkan,bahwa keputusan mempelai sebagai pihak-pihak yang merasakannya akibat kelak harus benar-benar mendapatkan perhatian.159 Perkawinan berkaitan langsung dengan perasaan wanita, dialah nanti yang akan merasakan manis indah maupun pahit getirnya perkawinan. Oleh karena itu persetujuan dan kebebasannya dalam menentukan calon pendampingnya adalah sesuatu yang menentukan dalam perkawinan.160 Islam mengariskan salah satu misi utamanya adalah memperjuangkan hak-hak wanita, maka pandangan yang relevan dalam persoalan ini adalah memberikan hak kepada wanita untuk memilih pasangan mereka. Ini akan menunjukkan kemerdekaan pribadi mereka yang direnggut secara sadar atau tidak oleh tradisi yang mengelilinginya.161 Berdasarkan hak-hak keIslamannya, seorang gadis dewasa dapat menolak siapa saja yang ia anggap tidak memenuhi syarat sebagai suaminya. Tidak yang dapat memaksakan perkawinan kepadanya. Maka jika dikatakan bahwa apabila ia tidak setuju dengan pernikan yang disodorkan kepadanya, maka perkawinan itu tidak sah.162 Bila diteliti lebih jauh akan kelihatan bahwa Ibn Qayyim al-Jawziyyah masih mengakui praktek ijbar terhadap gadis yang belum dewasa. Hal ini diindikasikan

159

Khoruddin Nasution, Mensikapi Kitab-Kitab Fikih, hlm. 146

Mohammmad Fauzil Adhim, Kupinang Engkau Dengan Hamdallah, cet. VII (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1999), hlm. 93161

160

S. M. Khamenei, Risalah Hak Asasi, hlm. 80 Ibid.

162

dengan ketika illat dewasa (balig) sebagai illat yang menentukan ada tidaknya kebebasan wanita dalam menentukan pasangan. Balig seperti dituliskan dalam Esiklopedia Islam di Indonesia bagi wanita adalah ketika wanita mendapat haid, atau dalam fiqh disebutkan 7 sampai 9 tahun. Dan mayoritas ulama menetapkan batas usia paling akhir adalah 15 tahun, baik untuk pria maupun wanita.163 Ibn Qayyim al-Jawziyyah, dengan kata lain masih membolehka adanya praktek perkawinan dibawah umur. Padahal kematangan umur dari pasangan sangat diperlukan untuk menjaga keutuhan sebuah rumah tangga. Berkaitan dengan perkawinan gadis dibawah umur ada pendapat menarik dari Ibn Syibrimah yang dikutip oleh Wahbah az-Zuhailisid asy-syariq

nas} yang dikuatkan dengan menggunakan illat masa kecil (as}-s}ugr), sedangkan mayoritas fuqaha berpegang kepada mafhu>m mukha>lafah yang dikuatkan dengan menggunakan illat al-bikr. 3. Dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yakni dalam

undang-undang tentang perkawinan No. 1/1974 (ps. 6 ayat (1) jo. ps. 16 ayat (1) ) KHI menetapkan bahwa salah satu syarat perkawinan adalah persetujuan calon mempelai. Hal ini menandakan bahwa perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sesuai dengan pendapat Ibn Qayyim al-Jawziyyah. B. Saran-Saran1.

Dalam

memahami

persoalan

persetujun

anak

gadis

dalam

pernikahannya hendaknya tidak dipahami secara parsial sehingga pemahaman yang muncul sesuai dengan cita-cita syariah untuk mewujudkan maslahah di tengah-tengah manusia dapat dirasakan.2.

Ada satu

tambahan menarik dari Ibn Qayyim al-Jawziyyah, yaitu

ketika memberikan kebebasan kepada anak gadis untuk menentukan calon suaminya, disamping dengan syarat dewasa beliau juga menambahkan syarat

yang dipenuhi si gadis yaitu si gadis mesti rasyi,Sunan Abiud, cet. I, 4 jilid, Beirut: Da>r al-Fikr, t.t

Hasby, ash-Shiddiqi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1981 Nawawim an-, S}ah}ifiz Jala>l ad-Ditir al-Fikr, 1248/1930 Tirmiyah al-Mujtahid Wa Niha>yah Al-Muqtas}id (Analisa Fiqh Para Mujtahid), alih bahasa Imam Ghazali Said dan Achmad Zaidun, cet. II, 3 jilid, Jakarta: Pustaka Amani, 2002 Ikhsanuddin K.M., dkk. (ed.), Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren ,Yogykarta: Yayasan Kesejahteraan Fatayat, t.t. Jawziyyah, Ibn Qayyim al-, Za>d Al-Maa>d, 4 jilid, Mesir: Mus{t}a>fa> alBa>bi< al-H}alibi< wa Awla>dih,1390/ 1970 , Ilam al-muwaqqiir alKutub al-Ilmiyyah, 1991 Jazi>ri>, Abdul ar-Rah}ma>n al-, al-Fiqh ala> al-Maza>hib al-Arbaah, 4 jilid, Beirut: Da>r al-Afka>r, t.t. Masudi, Husein, Fiqh Perempuan Refleksi Kiyai Atas Wacana Agama dan Gender, Yogykarta: LKiS, 2001

Masudi, Masdar F.,Meletakkan Maslahat Sebagai Kerangka Acuan Syariah, Ulumul Quran, Vol. 4: 3, 1995 Mughniyyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, alih bahasa Masykur A.B dkk., cet. V, Jakarta: PT.Lentera Basritama, 2000 Nasution, Khoiruddin, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), cet. I, Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004 Nasution, Khoruddin,Mensikapi Kitab-Kitab Fikih Konvensional dalam Menjamin Hak Wanita dalam Menentukan Pasangan, asy-Syirah, No. 8, 2001 Qaradhawi, Yusuf al-, Bagaimana Berinteraksi Dengan Peninggalan Ulama Salaf, alih bahasa Ahrul Tsani Fathurrahman dan Muhtadi Abdul Munim, cet. I, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003 , Fatwa-Fatwa Kontemporer, alih bahasa Asad Yasin Jakarta: Gema Insani Press Rahman, Asymuni A., Reaktualisasi Hukum Islam Kearah Fiqh Indonesia, Yogyakarta: Forum Studi Hukum Islam Fakultas Syariah IAIN Sunan Kali Jaga, 1994 Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, cet IV, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000 Shiddieqi, M. Hasby ash-, Filsafat Hukum Islam, cet. V, Jakarta: Bulan Bintang, 1993 , Pengantar Fiqh Muamalah, cet. IVX, Semarang: PT. Pustaka Rizi Putra, 2001 Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, cet. I, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002 Syaltut, Mahmud, Akidah dan Syariat Islam,alih bahasa Fahruddin Hs. cet. III, Jakarta: Bumi Aksara, 1994 Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh II, cet. II, 2 jilid, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001 , Pembaharuan Pemikiran Dalam Hukum Islam (Padang: Angkasa Raya, 1990), hlm 294 Syubbag, Mahmud asy-, Tuntunan Keluarga Bahagia Menurut Islam, alih bahasa Bahruddin Fanani, cet. III, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994 Lain-lain Bek, M. Khud}a>ri< ,Ta>rikh at-Tasyri al-Isla>mi< , Mesir: AsySyadah, 1454

Departemen Agama. RI, Ensklopedi Islam di Indonesia, 3 jilid, Jakarta: CV. Anda Utama, 1993 Gunadi, RA. dan M. Shoelhi (peny.), Khazanah Orang Besar Islam, Dari Penakluk Jerusalem Hingga Angka Nol, cet. II, Jakarta: Republika, 2003 J., Moleong, Lexi, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. XVI Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002 Jawziyyah, Ibn Qayyim al-, Hijrah Paripurna Menuju Allah Dan Rasulnya, alih bahasa Fadhli Bahri, cet. I Jakarta: Pustaka Azzam, 1999 , Kalimah Tayyibah, Alih Bahasa Kathur Suhardi, cet. III, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999 , Pesona Keindahan, alih bahasa Hadi Mulyono, cet. I, Jakarta: Pustaka Azzam, 1999 Khamenei, S. M., Risalah Hak Asasi Wanita: Studi Komparatif antara Pandangan Islam Dan Deklarasi Universal HAM, alih bahasa Quito R. Motinggo, cet. I, Jakarta: al-Huda, 2004 Lewis, Bernard (ed.) dkk., Encyclopedia Of Islam, Leiden: E.J Brill, 1973, III Mansur, M. Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, cet. I, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada, 1996 Nasution, Khoiruddin, Pengantar Studi Islam, cet. I, Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004 Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, Teknik, cet. V, Bandung: Tarsito, 1994 Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Arkola, t.t.

LAMPIRAN I

TERJEMAHAN BAB HLM I 1 FN 3 TERJEMAHAN "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir". "Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". "Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki". "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata". "Aku tidak mengetahui sesuatu yang menolaknya". "Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surgasurga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar". "Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnahsunnah Allah; karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)". "Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) -Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati; sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu". "Dari Khansa' binti Khidam bahwa bapaknya menikahkannya, sedang ia janda. Ia tidak menyetujui; karena itu, ia datang mengadu kepada Rasul, lalu Rasul menolak pernikahannya ". "Bahwa seorang gadis datang kepada Rasulullah menerangkan bahwa bapaknya telah menikahkannya sedang ia tidak setuju; maka rasulullah memberikan hak khiyar (memilih) kepadanya ".

I I II

10 10 21

18 20 20

II II

22 23

24 28

II

24

30

II

25

31

II

29

36

II

30

37

II

30

38

II II II II II II II II III III

30 31 32 33 34 35 36 36 39 42

39 42 44 47 48 50 51 52 6 15

III

42

16

III III III

45 48 49

23 31 37

"Tidak dinikahkan seorang gadis sehingga diminta izinnya. Para shahabat berkata: wahai rasullah bagaimana izinnya? Jawab rasulullah: izinnya adalah diamnya ". "Seorang gadis diminta izin tentang dirinya dan izinnya adalah diamnya ". "Seorang gadis dimintai izin". "Tidak dinikahkan seorang gadis sehingga dimintai izin" "Tidak dinikahkan seorang janda sehingga dimintai perintahnya, tidak dinikahkan seorang gadis sehingga dimintai izin ". "Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya, sementara seorang gadis bapaknya meminta izinnya ". "Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya". "Dan gadis bapaknya meminta izinya". "Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari pada walinya". "Tidak ada perintah wali terhadap janda; dan anak gadis yang tidak mempunyai bapak (yatim) dimana perintahnya dan diamnya adalah pengakuannya ". "Dari A