dampak putusan ultra petita mahkamah konstitusi terhadap sistem hukum...
TRANSCRIPT
DAMPAK PUTUSAN ULTRA PETITA MAHKAMAH KONSTITUSI
TERHADAP SISTEM HUKUM
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S. )
Fakultas Syariah
ADRA NURJANAH
NIM : SPI
PEMBIMBING :
Dr. Ruslan Abdul Gani, SH.,MH
Yudi Armansyah, M.Hum
JURUSAN HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERISULTHAN THAHA
SAIFUDDIN JAMBI
M
i
ii
iii
iv
MOTTO
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Al-Quran Surah An-Nisa ayat ).”1
1 Al-Quran Terjemah Ar-Rafi’
v
ABSTRAK
Penelitian ini menganalisis dari putusan mahkamah konstitusi tentang ultra petita
terhadap sistem hukum. Sebagai tujuan untuk mengetahui konsep dan tujuan
putusan ultra petita dalam sistem hukum, putusan-putusan ultra petita di
Mahkamah Konstitusi, serta dampak ultra petita dalam sistem hukum.
Berdasarkan data yang yang digunakan penelitian ini, maka sumber datanya
terdiri dari data sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini yaitunbuku-buku
yang berkaitan dengan penelitian. Penelitian ini menggunakan penelitian library
research dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian yang diperoleh setelah
putusan ultra petita tersebut sebagai berikut: Pertama, konsep dan tujuan putusan
ultra petita oleh mahkamah konstitusi dimana konsep yang digunakan adlah
konsep substansial. Kedua, putusan-putusan yang bersifat ultra petita dimana
salah satu putusannya adalah tentang Komisi Yudisial. Ketiga, dampak dari
putusan ultra petita adalah dimana akan terjadi ketidak seimbangan dalam hal
negatif.
Kata Kunci: Ultra Petita, Dampak Ultra Petita Sistem Hukum
vi
PERSEMBAHAN
Sujud Syukur ku persembahkan kepadaMu yang Maha Agung
yang mana telah memberikan saya kesabaran dalam mengerjakan
skripsi ini, menadahkan doa dalam syukur yang tiada kira, terimakasih
saya persembahkan karya kecil ini untuk kedua orangtua saya
(M.Usman dan Heswati Nandra), yang tidak pernah lelah dalam
mendidik dan membesarkan saya sehingga sampai saat ini, serta telah
memberikan doa yang tulus maupun memberikan dukungan terhadap
saya. Semoga kalian senantiasa selalu dalam lindunganNya, dan saya
selalu berdoa agar kalian diberikan balasan setimpal syurga firdaus dan
dijauhkan nantinya dari panas hawa api neraka. Amin amin ya
rabbal’alamin.
Untuk kakak (Ustun Nurjanah) dan adik (Bintang Miftahul
Janah) saya ucapkan terimakasih atas segala dukungan dan doa, tidak
ada yang dapat saya berikan selain ucapan terimakasih. Semoga Allah
membalas jasa kalian dengan pahala yang tak terputus.
Saya persembahkan juga untuk guru-guru serta dosen-dosen,
dimana telah memberikan saya ilmu yang bermanfaat. Dan tak lupa
untuk dosen pembimbing yang telah memberikan ilmu, serta dengan
sabar membantu saya dalam mengerjakan skripsi ini. Semoga Allah
membalas jasa kalian dengan pahala yang tak terputus.
Dan untuk orang yang saya sayangi setelah keluarga (Rajib
Garda), terimakasih karena telah banyak membantu, memberikan doa,
motivasi serta memberikan semangat hingga selesainya skripsi ini.
Semoga kebaikanmu diberikan balasan yang tak terputus dan semoga
Allah senantiasa melindungi dalam setiap langkahmu.
Dan teruntuk teman-teman seperjuangan jurusan hukum tata
negara. Terimakasih karena telah memberikan saya motivasi serta
bantuan dan semangatnya sehingga terselesainya skripsi ini. Semoga
kalian selalu dalam lindungan-Nya.
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr. WB
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan Rahmat dan HidayatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik. Adapun isi dari skripsi ini yaitu menganalisis dampak dari perkara yang
bersifat ultra petita mahkamah konstitusi dalam sistem hukum. Maka dari itu penulis
akan menganalisis dampak dari perkara yang bersifat ultra petita secara hukum.
Kemudian dalam penyelesaian skripsi adanya bantuan dari berbagai pihak,
terutama yaitu dosen pembimbing. Oleh karena itu, hal yang pantas penulis ucapkan
adalah terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu penyelesaian skripsi ini,
yaitu kepada Yang Terhormat:
. Prof. Dr. H. Suai’di Asy’ari, MA,ph.D selaku Rektor UIN Sultan Thaha
Saifuddin Jambi
. Bapak Dr. H. Hidayat, M.Pd sebagai Wakil Rektor II Bidang Administrasi
Umum, Perencanaan dan Keuangan, dan Ibu Dr. Fadhilah M.Pd. sebagai
Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama UIN Sultan
Thaha Saifuddin Jambi.
. Bapak Dr. A.A Miftah, M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah UIN STS
Jambi.
. Bapak Dr. Hermanto Harun L. Ph.D. Wakil Dekan bidang Akademik. Ibu
Dr. Rahmi Hidayati, S.Ag.,M.HI, selaku Wakil Dekan bidang
Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan. Dan Ibu Yuliatin,
viii
S.Ag.,M.HI, selaku Wakil Dekan bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama
di lingkungan Fakultas Syariah UIN STS Jambi.
. Bapak Abdul Razak, SHI.,M.IS dan Ibu Ulya Fuhaidah, S.Hum., M.Hum,
selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Syariah
UIN STS Jambi.
. Bapak Dr. Ruslan Abdul Ghani, SH., MH dan Bapak Yudi Armansyah, M.
Hum, sebagai Pembimbing I dan Pembimbing II.
. Bapak dan Ibu dosen, asisten dosen, dan seluruh karyawan/ karyawati
Fakultas Syariah UIN STS JAMBI.
. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini baik langsung
maupun tidak langsung.
Disamping itu, skripsi ini juga jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya
kepada semua pihak untuk dapat memberikan kontribusi pemikirannya demi
perbaikan skripsi ini. Semoga amal kebajikan kita semua nilai seimbang oleh
Allah SWT.
Wassalamu’alaikumWr. Wb
Jambi, September
Penulis
ADRA NURJANAH
NIM: SPI.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................................ iii
MOTTO ..................................................................................................................... v
ABSTRAK ................................................................................................................. vi
PERSEMBAHAN ....................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ............................................................................................... viii
DAFTAR ISI .............................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................
A. Latar Belakang ............................................................................
B. Rumusan Masalah .......................................................................
C. Batasan Masalah .........................................................................
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................
E. Kerangka Teori dan Konseptual .................................................
F. Tinjauan Pustaka .........................................................................
BAB II METODE PENELITIAN ..................................................................
A. Jenis Penelitian ...................................................................
B. Pendekatan Penelitian ........................................................
C. Jenis dan sumber Data ........................................................
D. Teknik Pengumpulan Data..........................................
E. Teknik Analisis Data ..........................................................
x
F. Sistematika Pembahasan ....................................................
BAB III TINJAUAN UMUM: SEKILAS TENTANG PUTUSAN
ULTRA PETITA DI INDONESIA .......................................
A. Pengertian Ultra Petita .......................................................
B. Konsep dan Tujuan dalam Putusan Ultra Petita .................
C. Penggunaan Putusan Ultra Petita dalam Sistem
Hukum....
BAB IV TINJAUAN KHUSUS: PUTUSAN ULTRA PETITA
DAN DAMPAKNYA DI INDONESIA ................................
A. Putusan-Putusan Ultra Petita di Indonesia .........................
B. Pertimbangan Hakim Memutuskan Ultra Petita ................
C. Dampak dari lahirnya Putusan Ultra Petita ........................
BAB V PENUTUP .................................................................................
A. Kesimpulan ........................................................................
B. Saran ...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
CURICULUM VITAE
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum yang demokratis dan konstitusional, yaitu
negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum dan konstitusi. Pengembangan
budaya hukum masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum
dalam kerangka supremasi hukum telah mendapat pengakuan dan jaminan dari
Negara Indonesia melalui Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun (UUD ).
Pasal yang menentukan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah negara hukum yang melaksanakan kedaulatan rakyat berdasarkan UUD
.2 Artinya, Negara Republik Indonesia meletakkan hukum pada kedudukan
yang tertinggi sekaligus sebagai prinsip dasar yang mengatur penyelenggaraan
kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.3
Suatu peraturan perundang-undangan yang dikatakan baik, belum cukup
apabila hanya memenuhi persyaratan-persyaratan filosofis atau ideologis dan
yuridis saja, secara sosiologis peraturan tadi juga harus berlaku. Yang dimaksud
dengan secara sosiologis adalah menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara fakta. Hal ini bukanlah berarti
bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus segera diganti apabila ada
gejala-gejala bahwa peraturan itu tidak hidup.
2Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi, cet.ke- , (Jakarta, PT Rineka
Cipta, ), hlm. 3 Tim Penyusun, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, cet. Ke- , (Jakarta, Sekretariat
Jendral dan Kepaniteraan MNKRI, ), hlm.
Dalam setiap perubahan konstitusi harus didasarkan pada paradigma atau
pandangan mengenai perubahan yang harus dipatuhi oleh pembuat perubahan
tersebut, yang bisa terarah dan sesuai dengan kebutuhan yang berkembang di
masyarakat. Agar nantinya dapat menghasilkan sistem yang menjamin stabilitas
pemerintahan dan memejukan kesejahteraan rakyat.4
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia hasil pemilihan
umum Tahun dalam salah satu naskah perubahan UUD , yakni Naskah
Perubahan Ketiga UUD yang disahkan dalam Sidang Tahunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun telah mengakomodir
suatu lembaga negara bernama Mahkamah Konstitusi.5
Pada mulanya memang tidak kenal adanya Mahkamah Konstitusi. Bahkan,
keberadaannya masih relatif baru. Oleh karena itu, setelah Indonesia memasuki
Era Reformasi dan Demokratisasi ini, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi
menjadi sangat luas diterima.6
Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
adalah suatu tuntutan dari adanya perubahan Undang-Undang Dasar .
Mahkamah Konstitusi bersama Mahkamah Agung adalah pemegang kekuasaan
kehakiman, Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat memberi keadilan bagi warga
Negara yang merasa hak konstitusionalnya telah dilanggar atas berlakunya suatu
Undang-Undang.
4 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi
Pres, , hal. 5 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi,...hlm. op.cit
6 Ni’Maqtul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, cet. Ke- , (Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada, ), hlm.
Mahkamah Konstitusi adalah badan peradilan yang berdiri sendiri terpisah
dari badan peradilan yang lain. Juga tidak merupakan badan peradilan di atas
peradilan yang lain. Dengan perkataan lain, Mahkamah Konstitusi bukan
merupakan peradilan banding bagi badan peradilan lain.7
Di dalam hukum acara, khususnya dalam hukum acara perdata terdapat
pandangan yang oleh beberapa ahli telah dianggap sebagai salah satu prinsip
hukum acara, yaitu hakim dilarang memutuskan melebihi apa yang dimohonkan
(ultra petita). Ketentuan tersebut berdasarkan Pasal ayat ( ) dan ayat ( ) HIR
(Het Herziene Indinesisch Reglement) serta Pasal ayat ( ) dan ayat ( ) RBg
(Rechtreglement Voor de Buitengewesten).
Karena adanya pandangan tersebut, pada saat Mahkamah Konstitusi
memutuskan membatalkan seluruh UU Nomor Tahun tentang Ketenaga
listrikan dan membatalkan seluruh UU Nomor Tahun tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) banyak muncul tanggapan bahwa
Mahkamah Konstitusi telah melanggar prinsip larangan ultra petita.8
Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Nomor Tahun tentang
ketenagalistrikan. UU ini dinyatakan bertentangan dengan pasal UUD ,
sehingga dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Permohonan
judicial review UU Tahun terhadap UUD yang diajukan oleh BHI,
Serikat Pekerja PLN, dan Ikatan Keluarga Pensiunan Listrik Negara (IKA PLN).
Dalam putusannya, MK menetapkan bahwa pasal , , dan UUD
telah dilanggar oleh ketentuan di dalam UU nomor Tahun . Pelanggaran
7 Sri Soemantri M, Hak Uji Material Di Indinesia, Alumi cetakan ketiga, Bandung :
, hal. 8 Tim Penyusun, Hukum Acara,.... hlm. op.cit
itu, terutama pada pasal yang menyatakan bahwa listrik merupakan komoditi yang
dapat dikompetisikan dan ditingkatkan harga jualnya dan listrik merupakan
cabang usaha yang cukup dikuasai oleh negara dalam konsep perdata.9
Mahkamah konstitusi membatalkan UU Nomor Tahun tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR). Pemohon hanya mengajukan uji
materi pasal, yaitu pasal tentang amnesti bagi pelaku pelanggaran HAM dan
pasal tentang hak korban menempuh upaya hukum. Dengan keputusan
bernomor /PUU-IV/ , maka MK menyatakan UU tersebut tidak berlaku
lagi, karena dianggap bertentangan dengan UUD . Dasar pertimbangan MK
antara lain adanya budaya dan falsafah bangsa yang menghargai HAM.10
Dasar kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi dalam putusan
Ultra Petita adalah dimana dalam rangka menegakkan keadilan substantif dan
keadilan konstitusional, UU yang diminta diuji merupakan jantungnya UU dalam
arti sebagai akibat pengujian ini maka berakibat seluruh pasal dalam UU tersebut
tidak dapat dilaksanakan, memepertimbangkan kepentingan umum yang
menghendaki hakim tidak boleh terpasung pada permohonan, dan pengujian UU
menyangkut kepentingan umum akibat hukumnya bersifat ergo omnas.
Berdasarkan Putusan Ultra Petita MK adalah putusan Mahkamah
Konstitusi yang putusannya melebihi dari yang diminta oleh pemohon dalam
pengujian Undang-Undang terhadap UUD NKRI atau perkara putusan
9https://news.detik.com/berita/ /mk-cabut-uu-komisi-kebenaran-dan-
rekonsiliasi.htm akses maret 10
https://news.detik.com/berita/ /mk-cabut-uu-komisi-kebenaran-dan-
rekonsiliasi.htm akses maret
perselisihan hasil pemilukada guna mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara
yang diajukan kepadanya.11
Sementara dalam Undang-Undang yang mengatur tentang keberadaan
Mahkamah Konstitusi maupun dalam UUD , kewenangan untuk membuat
putusan yang sifatnya Ultra Petita sangatlah tidak mendapat ruang yang cukup.12
Hal ini dapat dilihat dalam salah satu Putusan Perkara Nomor /PUU-IV/
yang menguji Undang-Undang Nomor Tahun tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsilitasi (sebuah komisi yang ditugasi untuk menemukan dan
mengungkapkan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pada masa lampau oleh
suatu pemerintahan).
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Undang-
Undang Nomor Tahun tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dengan kekuatan mengikat
dari putusan Mahkamah Konstitusi ini, selain mengikat pihak-pihak yang
berperkara, namun juga mengikat bagi semua orang dan lembaga-lembaga hukum
serta badan hukum diwilayah Republik Indonesia.
Hal inilah yang menjadi kelemahan bagi Mahkamah Konstitusi dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya, karena dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor Tahun tidak mengatur batasan apakah Mahkamah
Konstitusi boleh melakukan ultra petita.
11
Rubaie, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi, Jakarta, LaksBang PRESSindo
Yogyakarta dan Kantor Advokat, , hlm. 12
Haposan Siallagan, “Masalah Putusan Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang”,
Jurnal Mimbar Hukum, Vol. . No. , (Februari ), hlm.
Ultra petita dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi tidak jarang
menimbulkan kontrovesi dikarenakan belum adanya landasan atau dasar hukum
yang memperbolehkan Mahkamah Konstitusi untuk mengeluarkan putusan yang
bersifat ultra petita atau putusan melebihi apa yang dimohonkan.
Mengutip dari tulisan Miftakhul Huda, seorang praktisi hukum di
Surabaya tentang “Ultra Petita” dalam pengujian Undang-Undang, dimana dalam
tulisan tersebut Moh, Mahfud MD yang juga merupakan ketua Mahkamah
Konstitusi berpendapat, “sebenarnya kedua pihak yang berhadapan dalam
kontroversi itu hanya mendasarkan pandangan dan argumentasinya menurut
logika pilihannya sendiri, bukan menurut Undang-Undang. Undang-undang
tentang Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak menyebutkan apakah putusan
ultra petita itu dibolehkan atau tidak”.13
Berdasarkan uraian diatas, penulis bermaksud untuk mengkaji dampak
dari adanya putusan ultra petita Mahkamah Konstitusi terhadap sistem hukum.
Adapun alasan Mahkamah Konstitusi melakukan Ultra Petita demi terwujudnya
keadilan substantif (keadilan yang hakiki dan dirasakan oleh publik sebagai
keadilan yang sesungguhnya) merupakan hal yang patut dikaji lebih lanjut untuk
mengetahui sejauh mana relevansi konsep keadilan substantif dalam mewujudkan
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penegak dan pengawal konstitusi di
indonesia.
13
Untung Tri Kusuma, “Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Ultra Petita
Dalam Pengujian Undang-Undang Nomor Tahun Tentang Komisi Kebenaran Dan
Rekonsiliasi”, Skripsi Universitas Jambi, ( ).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis dapat
merumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut :
. Apa konsep dan tujuan Putusan Ultra Petita dalam sistem hukum di Indonesia?
. Apa saja putusan Ultra Petita yang lahir sepanjang berdirinya Mahkamah
Konstitusi?
. Bagaimana dampak putusan Ultra Petita dalam Mahkamah Konstitusi terhadap
sistem hukum di Indonesia?
C. Batasan Masalah
Sebagai dari awal proses penelitian adalah batasan terhadap permasalah
yang dikaji, karena apapun jenis penelitiannya yang menjadi titik tolak tetap
bersumber pada masalah. Tanpa masalah penelitian tidak akan pernah dilakukan.
Pembatasan masalah dilakukan dengan harapan pembahasan ini menjadi fokus
pada titik permasalahan tertentu dan tidak melebar pada permasalahan lainnya.14
Mengingat luasnya permasalahan yang akan dibahas, maka penulis
memandang perlunya batasan masalah agar tidak terjadinya kesalah pahaman
dalam pembahasan ini. Dalam pembahasan ini penulis hanya membahas mengenai
menganalisa dampak putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi terhadap sistem
Hukum dan mengetahui kasus yang terjadi putusan ultra petita pada tahun -
.
14
Sanafilah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Cet.Ke- , (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, )
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari latar belakang masalah dan pokok permasalahan
yang menjadi objek pembahasan, maka tujuan penelitian yang hendak di
capai dalam penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui konsep dan tujuan Ultra Petita dalam sistem hukum di
Indonesia.
b. Untuk mengetahui putusan Ultra Petita yang lahir sepanjang berdirinya
Mahkamah Konstitusi.
c. Untuk mengetahui dampak putusan Ultra Petita dalam Mahkamah
Konstitusi terhadap sistem hukum.
. Kegunaan Penelitian
a. Bagi penulis untuk pengetahuan dan kemampuan penulis mengenai
dampak putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi terhadap sistem
hukum.
b. Bagi penulis selanjutnya penelitian ini diharapkan mampu memberikan
masukan dan bahan pertimbangan bagi peneliti dibidang dan permasalah
yang sejenis dikembangkan lebih lanjut dimasa yang akan datang.
E. Kerangka Teori dan Konseptual
a. Kerangka Teori
Teori yang dipakai penulis dalam penelitian ini yaitu menggunakan teori
Hans Kelsen tentang hukum, salah satu teori yang penting dibidang Hukum Tata
Negara adalah teori hukum yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Hans Kelsen
menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi hanya
dapat dijamin secara efektif, jika terdapat suatu organ selain badan legislatif yang
diberikan tugas untuk menguji konstitusionalitas suatu produk hukum. Untuk itu
dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut mahkamah
konstitusi.15
Pemikiran Hans Kelsen meliputi tiga masalah utama, yaitu tentang teori
hukum, negara, dan hukum internasional. Ketiga masalah tersebut sesungguhnya
tidak dapat dipisahkan karena saling terkait dan dikembangkan secara konsisten
berdasarkan logika hukum secara formal. Friedmann mengungkapkan dasar-dasar
esensial dari pemikiran Kelsen yaitu:
a. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku,
bukan mengenai hukum yang seharusnya.
b. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.
c. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada
hubungannya dengan daya kerja norma-norma hukum.
d. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata,
mengubah isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum
dan sistem yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang
mungkin dengan hukum yang nyata.
15
http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/ /perkembangan-teori-hukum-tata-negara-dan-
penerapannya-di-indonesia.pdf
Teori yang dikembangkan oleh Kelsel sesungguhnya dihasilkan dari
analisis perbandingan sistem hukum positif yang berbeda-beda, membentuk
konsep dasar yang dapat menggambarkan suatu komunitas hukum secara utuh.
Masalah utama dalam teori hukum adalah norma hukum, elemen-elemennya.
Hubungannya, teta hukum sebagai suatu kesatuan, strukturnya, hubungan antara
tata hukum yang berbeda, dan akhirnya kesatuan hukum di dalam tata hukum
positif yang plural.
Teori kedua yang dipakai penulis yaitu teori trias politika Montesquieu,
menurut Montesquieu kekuasaan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif,
dan kekuasaan yudikatif. Dengan teori iti, Montesquieu menginginkan jaminan
bagi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang penguasa.16
Kontribusi besar gagasan yang dikenukakan oleh Montesquieue tersebut
telah mempengaruhi hampir setiap negara demokrasi. Ketiga UUD Indonesia
tidak secara eksplisit mengatakan bahwa dokrin trias politika dianut, tetapi oleh
karena ketiga Uud Indonesia menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional, dapat
disimpulkan bahwa Indonesia menganut doktrin ini dalam arti pembagian
kekuasaan . di dalam praktiknya, pembagian kekuasaan tersebut kerap mengalami
guncangan dan gejolak konstitusional dikarenakan pihak yang mendapat amanah
rakyat kerap menyalahgunakan amanah yang diberikan.
b. Kerangka Konseptual
a. Analisis
16
http://www.selasar.com/jurnal/ /benarkah-indonesia-menggunakan-teori-trias-
politika-dalam-sistem-pemerintahan
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, pengertian analisis adalah
penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya
pemecahan persoalan yang dimulai dengan dugaan akan kebenarannya serta
penjabaran sesudah dikaji sebaik-baiknya.17
Menurut para ahli Rabert J. Schrieter
pengertian analisis adalah membaca teks yang melokalisasikan berbagai tanda dan
menempatkan tanda-tanda tersebut dalam interaksi yang dinamis, dan pesan-pesan
yang disampaikan.18
b. Dampak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian dampak adalah
pengaruh kuat yang mendatangkan akibat. Pengertian yang lain adalah benturan,
pengaruh yang mendatangkan akibat baik positif maupun negatif. Pengaruh
adalah daya yang timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak
dan perbuatan orang. Pengaruh adalah sesuatu keadaan dimana ada hubungan
timbal balik atau hubungan sebab akibat antara apa yang mempengaruhi.
c. Keputusan
Menurut Ralp C Davis menyatakan bahwa keputusan ialah suatu hasil
pemecahan masalah yang dihadapinya dengan tegas. Keputusan harus menjawab
sebuah pernyataan tentang apa yang dibicarakan dalam hubunganya dengan suatu
perencanaan. Menurut James A.F.Stoner keputusan ialah suatu pemilihan diatara
alternatif-alternatif, artinya ada pilihan yang berdasarkan logika atau
17
Https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pengertian-analisis.html 18
Https://www.maxmanroe.com/vid/umum/pengertian-analisis.html
pertimbangan, maupun ada tujuan yang ingin dicapai dan keputusan itu semakin
mendekatkan pada suatu tujuan tersebut.19
d. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara baru dalam struktur
kelembagaan Negara Republik Indonesia yang dibentuk berdasarkan amanat Pasal
C jo Pasal III Aturan Peralihan Perubahan UUD . Mahkamah Konstitusi
adalah lembaga negara termasuk salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang
melakukan fungsi peradilan dalam menangani permasalahn ketatanegaraan
berdasarkan otoritas UUD .20
e. Ultra Petita
Ultra Petita adalah penjatuhan putusan oleh hakim atas suatu perkara
yang tidak dituntut atau memutuskan melebihi apa yang diminta oleh pemohon.
Ultra Petita dalam hukum formil mengandung pengertian penjatuhan putusan atas
perkara yang tidak dituntut atau meluliskan lebih dari pada yang diminta. Ultra
Petita menurut I.P.M.Ranuhandoko adalah melebihi yang diminta. Ultra Petita
sendiri banyak dipelajari di bidang hukum perdata dengan keberadaan peradilan
perdata yang lebih tua berdiri sejak ditetapkan kekuasaan kehakiman di
Indonesia.21
F. Tinjauan Pustaka
19
http://googleweblight.com/i?u-http://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-keputusan-
menurut-para-ahli-terlengkap/&hl=id-ID 20
Irp Daulay, Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Pt. Rineka Cipta, ), hlm. 21
Mauarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi RI, (Jakarta:Sinar Grafik, ),
hlm.
Penelitian yang menjelaskan masalah tentang putusan Ultra Petita di
Mahkamah Konstitusi yang sudah di amati oleh peneliti-peneliti terlebih dahulu
diantaranya sebagi berukut:
Pertama, skripsi yang disusun oleh Fadel yang berjudul “Tinjauan Yuridis
prinsip Ultra Petita Oleh Mahkamah Konstitusi sebagai upaya mewujudkan
Keadilan Substantif di Indonesia". Fadel menyimpulkan sesungguhnya putusan
Mahkamah Konstitusi memiliki peradilan tingkat pertama dan terakhir. Tidak
diadakan upaya hukum lanjutan atas putusan hakim baik upaya hukum biasa
maupun luar biasa. Putusan Mahkamah Konstitusi juga bersifat meningkat, tak
hanya para pihak (inter partes) namun seluruh warga negara Indonesia (erga
omnes). 22
Kedua, skripsi yang disusun oleh Agus Budi Santoso yang berjudul
“Tinjauan Yuridis Terhadap Larangan Mekanisme Ultra Petita Pada Putusan
Perkara Oleh Mahkamah Konstitusi”. Agus menyimpulkan bahwa dalam
Undang-Undang Nomor Tahun tentang Mahkamah Konstitusi putusan
Ultra Petita oleh Mahkamah Konstitusi belum secara eksplisit dilarang. Namun
pengatur pasal A Undang-Undang Nomor Tahun dengan jelas mengatur
bahwa Mahkamah Konstitusi dilarang mebuat keputusan yang mengandung Ultra
Petita atau putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi permohonan
pemohon.23
22
Fadel, “Tinjauan Yuridis oleh Mahkamah Konstitusi sebagai upaya Mewujudkan
Keadilan Substantif Di Indonesia” skripsi Universitas Hasanuddin Makasar ( ) 23
Agus, “Tinjauan Yuridis Terhadap Larangan Mekanisme Ultra Petita Pada Putusan
Perkara Oleh Mahkamah Konstitusi” Tesis Universitas Sebelas Maret, ( )
Ketiga, skripsi disusun oleh Abdullah Fikri yang berjudul “Putusan Ultra
Petita Mahkamah Konstitusi dalam Perspektif Fiqh Siyasah”. Abdullah
menyimpulkan bahwa putusan Utra Petita Mahkamah Konstitusi diperbolehkan
dalam Perspektif Fiqh Siyasah selama putusan tersebut mengandung
kemaslahatan umum sebagai tinjauan dari Fiqh Siyasah dan dapat diterima oleh
mayoritas masyarakat sebagai tolak ukur tercapainya kemaslahatan. 24
Sedangkan penelitian membahas tentang konsep dan tujuan Ultra petita,
putusan Ultra Petita yang lahir sepanjang berdirinya MK, dan dampak putusan
Ultra Petita dalam MK terhadap sistem Hukum. Jadi, antara penelitian terdahulu
dengan penelitian sekarang terdapat perbedaan dan persamaan. Perbedaannya
adalah di mana penelitian sebelum nya hanya membahas tinjauan yuridis terhadap
putusan Ultra Petita di MK saja sedangkan penelitian sekarang lebih membahas
tentang dampak putusan Ultra Petita MK terhadap sistem Hukum dan konsep
Ultra Petita dalam sistem hukum. Dan persamaannya adalah sama-sama
membahas tentang Putusan Ultra Petita di MK.
24
Abdullah Fikri, “Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi dalam Perspektif Fiqh
Siyasa” Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ( )
BAB II
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penyusun adalah jenis penelitian pustaka
atau library research, yaitu kegiatan pengumpulan data yang berasal dari berbagai
literatur baik dari perpustakaan maupun tempat lain.
Dilihat dari tipologi penelitian Dampak Putusan Ultra Petita Mahkamah
Konstitusi ini di golongankan dalam jenis penelitian hukum normatif, yang hanya
menelaah data sekunder dan jika dilihat dari tujuannya maka penelitian hukum
normatif menggunakan metode doktrinal normologi, yaitu bertolak dari kaidah-
kaidah sebagai ajaran yang mengkaidahi perilaku.
B. Pendekatan Penelitian
a. Pendekatan sosiologis
Pendekatan sosiologi atau empiris berfokus pada prilaku yang
berkembang dalam masyarakat, atau bekerjanya hukum dalam masyarakat.25
b. Pendekatan Yuridis
Pendekatan yuridis adalah suatu pendekatan yang digunakan dalam
suatu penelitian dimana masalah-masalah yang akan dibahas berada didalam
peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
c. Pendekatan Normatif
Pendekatan normatif adalah metode atau cara yang digunakan didalam
penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
25
Ishaq, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Albabeta, ). hlm
terhadap azas-azas hukum serta studi kasus yang dengan kata lain sering disebut
sebagai penelitian hukum kepustakaan.26
C. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan meliputi data sekunder. Adapun jenis data
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Data sekunder yaitu sumber yang tidak langsung memberikan data kepada
pengumpul data27
. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah segala data
yang tidak berasal dari sumber data primer yang dapat memberikan dan
melengkapi serta mendukung informasi terkait dengan objek penelitian baik yang
berbentuk jurnal, buku,dan tulisan maupun artikel yang berhubungan dengan
objek penelitian.
D. Teknik Pengumpulan Data
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi literatur. Metode studi
literatur adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat, menyeleksi dan
mengkategorikan bahan penelitian.28
Studi literatur adalah cara yang digunakan untuk mengumpulkan data-data
yang berhubungan dengan konsep ultra petita di Mahkamah Konstitusi. Studi
literatur biasa didapat dari berbagai sumber, jurnal, buku, internet dan lainnya.
26
Enggar Wicaksono, “Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi No. /PUU-
XIII/ Tentang Inkonstitusi Kewenangan Komisi Yudisial Dalam Melakukan Rekruitmen
Hakim Bersama Mahkamah Agung”, Dipnegoro Law Journal, Vol. , Nomor Tahun , hlm.
27
Ibit., hlm. . 28
Eka diah kartiningrum, Panduan penyusun studi literature, , hlm. .
E. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke
dalam satuan pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Adapun teknik analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisi isi (content analysis). Analisis
isi (content analysis) adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam
terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa, serta fakta
dan data-data yang menjadi isi atau materi suatu buku. Sedangkan cara berfikirnya
menggunakan cara berfikir induktif, deduktif, dan komperatif. Deduktif
maksudnya cara berfikir dari hal-hal yang umum kemudian menarik kesimpulan
yang bersifat khusus. Induktif adalah cara berfikir hal-hal yang bersifat khusus
untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum. Komperatif membandingkan
pendapat para ahli satu dengan yang lain, MK dalam putusan Ultra Petita dalam
sistem Hukum.
F. Sistemetika Pembahasan
Untuk mempermudah proses penulisan dalam penelitian ini, maka penilis
kerangka yang sistematik untuk membantu pola dasar pembahasan skripsi dalam
bentuk bab-bab yang terdiri dari:
BAB I Pendahuluan, diawali dengan latar belakang masalah berisi
penjelasan data-data yang dijadikan alasan bagi penulis dalam
memilih pembahasan ini, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II Didalam bab ini yang akan dibahas antara lain mengenai latar
belakang berdirinya Mahkamah Konstitusi, konsep dan
kewenangan Mahkamah Konstitusi, serta pengentian Ultra
Petita.
BAB III
BAB IV
Didalam bab ini, diberikan gambaran bagaimana konsep Ultra
petita oleh Mahkamah Konstitusi, dan putusan-putusan ultra
petita.
Didalam bab ini membahas gambaran pertimbangan dan
dampak Ultra Petita dalam sistem hukum.
BAB III
TEMU UMUM SEKILAS TENTANG PUTUSAN ULTRA PETITA DI
INDONESIA
A. Pengertian Putusan Ultra Petita
Putusan adalah hakikat peradilan, inti dan tujuan dari segala kegiatan atau
proses peradilan, memuat penyelesaian perkara yang sejak proses bermuka telah
membebani pihak-pihak. Dari rangkaian proses peradilan tidak satupun di luar
putusan peradilan yang dapat menentukan hak suatu pihak dan beban kewajiban
dari pihak lain, sah tidaknya suatu tindakan menurut hukum dan meletakkan
kewajiban untuk dilaksanakan oleh pihak yang diwajibkan dalam perkara.
Diantara proses peradilan hanya putusan yang menimbulkan konsekuensi krusial
kepada para pihak.29
Kata “putusan” lazim dipadankan dengan kata asing, seperti “vionis” dari
bahasa Belanda dan kata “judgement” dari bahasa Inggris. Menurut N.E. Algra et
al. “vionis” adalah: “keputusan yang diberikan oleh hakim untuk sementara
mengakhiri perkara yang dibawa kehadapannya dalam bentuk yang disyaratkan”.
“judgement” artinya adalah: “decision ofa judge or court atau keputusan hakim
atau pengadilan). Putusan menurut pengertian istilah umum adalah hasil dari
memutuskan.30
29
Nyoman Nurjaya, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi, (Yogyakarta:LaksBang
PRESSindo, ), hlm. . 30
Ibid,
Menurut Sudikno Mertokusumo,putusan hakim adalah suatu pernyataan
yang oleh hakim sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang untuk itu
diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan
suatu perkara atau masalah antar pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang
disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk
tertulis dan kemudian diucapkan oleh Hakim dipersidangan. Sebuah konsep
putusan (tertulis) tidak mempunyai kekuatan sebagai putusan sebelum diucapkan
di persidangan oleh hakim.31
Ultra Petita adalah Istilah berasal dari bahasa latin, ultra (lebih) + petita
(permohonan) yang berarti melebihi apa yang diminta atau dimohon. Hal itu
biasanya menunjuk pada putusan hakim/pengadilan yang memutus melebihi apa
yang diminta. Jadi, dalam putusan Ultra petita, hakim memutus lebih dari yang
diminta oleh para pihak. Termasuk dalam situasi dan kategori ultra petita adalah
putusan bersifat extra petita. Extra petita berasal dari bahasa latin, Extra yang
berarti diluar, dan petita berarti permohonan. Dalam hal ini yang dimaksud
dengan Extra Petita adalah hakim memberikan putusan yang berbeda dari yang
diminta oleh para pihak (Judge gives something different than requested by the
psrties).32
Putusan Ultra Petita menurut putusan I.P.M. Ranuhandoko adalah putusan
melebihi yang diminta. Menurut Andi Hamzah, Ultra Petita (bahasa latin), artinya
melebihi apa yang dituntut, di luar yang dituntut, sering dipakai hakim
memutuskan sesuatu yang tidak dituntut atau tidak didakwa. Apabila tuntutannya
31
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi Ketujuh. (Yogyakarta:
Liberty, ). Hlm. . 32
Nyoman Nurjaya, Putusan Ultra Petita..., hlm. .
dalam gugatan hanya satu disebut petitum, sedangkan apabila tuntutan dalam
gugatan lebih dari satu atau jamak disebut petita, sehingga Ultra Petita atas
gugatan yang memuat beberapa petitum disebut ultra petitum, dan putusan yang
melibihi tuntutan disebut putusan ultra petita.33
Ultra petita dalam tinjauan hukum formil mengandung arti penjatuhan
putusan atas perkara yang tidak di tuntut atau meluluskan lebih dari apa yang
dipinta. Dalam perkembangannya Ultra Petita banyak dikaitkan dengan peradilan
perdata yang mana dalam hukum acara perdata hakim dilarang memutus melebihi
dari pada yang dimohonkan. Polemik yang kemudian timbul adalah disebabkan
beberapa putusan MK menyangkut perkara pengajuan UU dinilai telah melakukan
ultra petita.
Keberadaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi sendiri didasarkan
pada Pasal B, Pasal ayat ( ) dan Pasal C ayat ( ) UUD NKRI yang
menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa
kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilu. Selain itu, Mahkamah Konstitusi Juga memiliki
kewajiban memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
oleh Presiden dan Wakil Presiden.34
Berdasarkan Pasal-Pasal tersebut diatas maka, Mahkamah Konstitusi
bersama-sama dengan Mahkamah Agung merupakan lembaga negara yang diberi
33
Nyoman Nurjaya, Putusan Ultra Petita..., hlm. . 34
Sri Handayani Retno Wardani, Pembatasan Ultra Petita Pada Mahkamah Konstitusi,
Jurnal Konstitusi, Vol. , No. (November ) hlm,
amanat oleh UUD NKRI Sebagai pelaksanaan kekuasaan kehakiman.
Mahkamah Konstitusi khususnya, seiring berjalannya waktu mendapatkan
tambahan atas berbagai kewenangan yang telah dimilikinya. Dan hal itu wajar
hingga muncul kemudian putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang melenceng
dari petitum.
Utamanya adalah putusan yang mengeluarkan hakim konstitusi dari Objek
pengawasan Komisi Yudisial, bahwa lembaga dengan kewenangan yang begitu
besar ternyata tidak diawasi. Mahkamah Konstitusi tidak mau dimasukkan sebagai
obyek pengawasan Komisi Yudisial salah satu alasannya adalah karena
Mahkamah Konstutusi berwenang memutus sengketa kewenangan antar lembaga
negara dimana Komisi Yudisial mungkin menjadi salah satu pihaknya.35
Di indonesia, keadilan merupakan hak konstitusional warga negara, hal ini
tercermin dalam ketentuan Pasal D ayat ( ) UUD NRI yang dirumuskan,
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. “Sehubungan
dengan hal ini, maka keadilan selalu berada dalam garis depan dalam setiap
perjuangan menegakkan hak-hak masyarakat maupun dalam konteks penegakan
hukum.36
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat Ultra Petita di Indonesia
tidak saja terwujud dalam putusan-putusan permohonan uji materiil Undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar tetapi juga tercermin dalam putusan-
putusan tentang perselisihan hasil pemilihan umum dan perselisihan hasil
35
Ibid, 36
Ibid,
pemilihan kepala daerah yang menjadi baguan dari kewenangan Mahkamah
Konstitusi. Hal ini dilakukan dengan merujuk pada prinsip hukum dalam dunia
kekuasaan kehakiman yang dikenal dengan dominus litis, yang menuntut hakim
untuk secara aktif mencari dan menemukan keadilan sebagai kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum da keadilan, sebagaimana diamanatkan Pasal ayat ( ) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun .37
Menurut pasal UU Mahkamah Konstitusi Korea Selatan tahun
berbunyi “Mahkamah Konstitusi memutus konstitusional tidaknya suatu undang-
undang atau suatu ketentuan dari undang-undang hanya yang dimohonkan
pengujian. Dalam hal seluruh ketentuan dalam undang-undang yang dimohonkan
pengujian dinilai tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat dari putusan
inkonstitusionalitas dapat dijatuhkan terhadap keseluruhan undang-undang
tersebut.
Senada dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi Korea Selatan,
Mahkamah Konstitusi Austria juga dapat membatalkan ketentuan UU Federal dan
UU negara bagian, baik secara sebagian-sebagian atau secara keseluruhan. Jika itu
terjadi maka suatu ayat, pasal, bagian atau keseluruhan Undang-Undang tersebut
menjadi tidak berlaku setelah diumumkan dalam berita negara atau berita daerah
pada masing-masing negara bagian. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal
ayat ( ) Konstitusi Austria , yang berbunyi “ Mahkamah Konstitusi
mengumumkan penerapan oleh pengadilan, apakah peraturan yang dikeluarkan
37
Ibid,
oleh negara federal atau negara bagian bertentangan dengan hukum dasar, secara
ex offcio pengadilan dapat membatalkan peraturan negara federal dan negara
bagian tersebut”.
Sedangkan di Jermah Mahkamah Konstitusi Jerman berwenang
membatalkan Undang-Undang negara Federal atau negara bagian karena
bertentangan dengan hukum dasar baik secara formil maupun materiil sehingga
dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, termasuk peraturan
yang dibuat oleh pemerintah federal dan negara bagian yang tidak kompetibel
dengan hukum dasar dan UU federal.38
Dari hasil beberapa putusan Mahkamah Konstitusi di atas:
. Pertimbangan filosofis dalam rangka memenuhi dan menegakkan keadilan
substantif dalam perkara perselisihan hasil pemilukada dan keadilan
konstitusional dalam pengajuan UU terhadap UUD; menjamin, melindungi
dan menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hak Konstitusional warga
negara; menegakkan prinsip-prinsip demokrasi; serta dalam rangka mengawal
nilai-nilai konstitusi sesuai spirit yang tarcantum dalam nilai-nilai dasar
pancasila.
. Pertimbangan Teoritis, bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan
dapat menemukan hukum melalui interpretasi dan konstruksi hukum, dan
menciptakan hukum dengan cara menggali, mengikuti dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
38
Rubaie, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi, Jakarta, LaksBang PRESSindo
Yogyakarta dan Kantor Advokat, , hlm. -
. Pertimbangan Yuridis, secara expresis verbis (Tersurat) tidak ada peraturan-
peraturan perundang-undangan yang melarang MK memutus secara ultra
petita, namun menurut ketentuan Pasal ayat ( ) UUD NRI juncto
Pasal ayat ( ) UU No tahun , MK memutus perkara berdasarkan
UUD NRI sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim; dan ketentuan
Pasal ayat ( ) UU No. tahun tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim
MK wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
. Perkembangan Historis bahwa dalam sejarahnya ada beberapa negara yang
menganut putusan yang bersifat ultra petita, antara lain Mahkamah Konstitusi
Korea Selatan, Austria, dan Jerman, disamping dalam perkara perdata,
pidana, dan tata usaha negara di lingkungan Mahkamah Agung (MA).39
B. Konsep dan Tujuan Dalam Putusan Ultra Petita
Dalam konsep keadilan, dewasa ini dikenal istilah bkeadilan substansi,
yang seringkali dipertentang dengan keadilan prosedural. Dalam Black’s Law
Dictionary ditemukan istilah “substansial justice” (keadilan substantif) yang
diartikan sebagai “keadilan yang dilaksanakan menurut hukum substantif, dengan
tidak melihat kesalahan-kesalahan secara prosedural”.40
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum substantif adalah bagian hukum
yang menciptakan, menentukan dan mengatur berbagai macam hak, sebagaimana
39
Ibid, 40
Bryan A. Garner, editor, Black‟s Law Dictionary, Edisi Ketujuh, Amerika: West
Group, , hlm.
sering dilawankan dengan hukum ajektif, yaitu hukum yang mengatur cara
bagaimana menegakkan hak-hak yang diatur dalam hukum substantif.41
Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu
mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan substantif
berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa
keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang
sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum.
Menurut laporan Tahun yang dikeluarkan oleh MK, disebutkan
keadilan substantif, yaitu keadilan yang hakiki dan dirasakan oleh publik sebagai
keadilan sesungguhnya, rasa keadilan yang diakui dan hidup dalam masyarakat.
42Keadilan substansif menuntukkan pada persoalan substansial dan sengketa.
Dengan kata lain, berkaitan dengan hak-hak, kekhususan, kewajiban, kekuasaan,
tanggung gugat, imunitas dan ketidakcakapan para pihak dalam suatu sengketa.
Menurut Atmadja, tolak ukur keadilan substantif tampaknya pada prinsip
“keputusann”.
Sedangkan keadilan prosedural adalan keadilan yang diekspresikan dalam
penerapan prosedur penyelesaian sengketa atau pengambilan keputusan hukum.
Tolak ukurnya ketaatan pada hukum acara. Keadilan prosedural dalam perspektif
filsafat hukum identik pertalian erat dengan doktrin atau mahzab hukum
positivisme yang melibat hukum sebagai aturan diciptakan dan diberlakukan oleh
pejabat atau lembaga mempunyai kewenangan untuk membuat hukum. Sumber
41
Rubaie, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi, Jakarta, LaksBang PRESSindo
Yogyakarta dan Kantor Advokat, , hlm. 42
MK, Mengawal Demokrasi dan Menegakkan Keadilan Substantif, Laporan Tahunan
, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, Jakarta, , hlm
dan validitas norma hukum bersumber dari kewenangan tersebut. Hukum harus
dipisahkan dari aspek non hukum, minsalnya aspek sosiologis, etis, moral dan
politik.43
Menurut konsep keadilan prosedural, sesuatu dianggap adil apabila
pelaksanaan dan putusan hakim selalu mengikuti bunyi pasal-pasal di dalam
undang-undang. Jika hakim memutus di luar ketentuan undang-undang bisa
dianggap tidak adil karena melanggar kepastian-kepastian yang sudah ditentukan
oleh UU. Yang dikatakan adil di dalam keadilan prosedural itu adalah apabila
putusan hakim diletakkan pada aturan-aturan resmi yang ada sebelumnya. Ini
diperlukan agar ada kepastian bagi orang-orang yang akan melakukan sesuatu
sehingga bisa memprediksi apa akibat yang akan timbul dari perbuatannya itu.44
Keadilan prosedural terkait erat dengan kepatutan dan transparansi dari
proses-proses pembuatan keputusan, dan konsep keadilan prosedural ini dapat
dibedakan dengan konsep keadilan distributif (keadilan dalam distribusi hak-hak
atau sumber daya), dan keadilan distributir (keadilan dalam membenahi
kesalahan-kesalahan).
Mendengarkan keterangan semua pihak sebelum membuat keputusan
merupakan salah satu langkah yang dianggap tepat untuk diambil agar suatu
proses dapat dianggap adil secara prosedural.Beberapa teori tentang keadilan
prosedural berpendirian bahwa prosedur yang adil akan membawa hasil yang adil
43
I Dewa Gede Atmadja, Filsafat Hukum, Dimensi Tematis & Historis, Setara Press,
Malang, Februari, , hlm. 44
Keadilan Prosedural, dalam www.wikipedia.org, diaskes tanggal September
pula, sekalipun syarat-syarat keadilan distributif atau keadilan korektif tidak
terpenuhi.
Disamping keadilan substantif dan keadilan prosedural, dikenal pula
keadilan konstitusional. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di berbagai
belahan dunia muncul bersamaan dengan semangat keadilan konstitusional.
Keadilan konstitusional hanya dapat dicapai jika semua produk hukum seralas dan
seirama dengan kaidah-kaidah fundamental konstitusional.45
Kaidah-kaidah
fundamental konstitusi tidak dapat dipisahkan dengan pokok-pokok pikiran yang
tergandung dalam Pembukaan UUD NKRI , yang mencakup: pertama,
bahwa negara Indonesia adalah negara yang melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia, serta mencakupi (mengatasi) segala paham
golongan dan paham perseorangan. Kedua, bahwa negara Indonesia hendak
mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; ketiga, bahwa negara
Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat (sistem demokrasi) dan kedaulatan
hukum (nomokrasis), dan keempat, bahwa negara Indonesia adalah negara yang
berketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradap.46
Menurut Jimly Asshiddqie, dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah
Konstitusi di konstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi
menegakkan keadilan konstitusional ditengah kehidupan mansyarakat. MK
bertugas mendoraong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan
45
Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di Negara, Sinar
Grafika, Jakarta, , hlm. 46
Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
Edisi Revisi, Penerbit Sekretariat Jendral dan Kepeniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta,
, hlm.
oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggung jawab. Ditengah
kelemahan sistem konstitusi yang ada, MK berperan sebagai penafsir agar spirit
konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlansungan bernegara dan
bermasyarakat.47
Konsep dari ultra petita adalah untuk melindungi kepentingan para pihak
yang dikalahkan dalam proses peradilan, sebab apabila hakim memutus melebihi
apa yang dituntut/dimohonkan tentu itu akan sangat merugikan bagi pihak yang
kalah. Apabila ditinjau dari tujuan hukum menurut gustav redbruch maka asas ini
sangat membantu untuk terwujudnya keadilan dan kepastian hukum.
Meskipun ultra petita yang memberikan batasan kepada hakim agar tidak
memutus secara sewenang-wenang dan sesuai apa yang yang dimohonkan oleh
pihak yang mengajukan tututan. Namun, disisi lain terdapat salah satu asas yang
ada di dalam hukum acara perdata yang menurut penulis asas ini memberikan
suatu kesempatan kepada hakim untuk memberikan putusan melebihi apa yang
dimohonkan atau dengan kata lain ultra petita.
Putusan yang dimaksud adalah asas Ex Aequo Et bono , seperti dijelaskan
diatas putusan ini sebenarnya adalah suatu frase yang digunakan dalam petitum
suatu gugatan yang berbunyi “kalau majelis hakim berpendapat lain, mohon
putusan yang seadil-adilnya”. Dimana klausula seperti itu memberi suatu asumsi
bahwa hakim dapat mengabulkan suatu petitum melebihi apa yang di minta
dengan alasan demi keadilan.
47
Ibid,
Keadilan substantif terfokus atau berorientasi kepada nilai-nilai
fundamental yang terkandung didalam hukum. Sehingga hal-hal yang
menitikberatkan kepada aspek prsedural akan di „nomorduakan‟. Secara teritik,
kedalilan substantif dibagi ke dalam empat bentuk keadilan, yakni kedailan
distributif, kedalian retributif, kedilan komutatif, dan keadilan korektif. Kedilan
distributif menyangkut pengaturan dasar segala sesuatu, buruk baik dalam
mengatur masyarakat. Berdsarkan keadilan ini, segala sesuatu dirancang untuk
menciptakan hubungan yang adil antara dua pihak/masyarakat. Prinsip pokok
dalam keadilan distributif adalah setiap orang harus mendapat/andil/kesempatan
yang sama untuk memperoleh keadilan.48
Sebagai contoh dalam kasus dalam putusan Mahakamah Konstitusi atas
perkara pemilihan Kepala Daerah Privinsi/Gubenur Jawa Timur Tahun ,
dengan Nomor Putusan /PHPU.D-VI/ . Putusan MK untuk melihat
bagaimana keadilan substantif berusaha ditegakan akan tetapi lazim berbenturan
dengan problematika kepastian hukum (equality) adalah putusan Mahkamah
Konstitusi tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur.
Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi kewenangan Mahkamah
Konstitusi untuk menyidangkan perkara pelanggaran pemilihan kepada daerah
tidak diatur. Namun, karena Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa mereka
menemukan bukti adanya pelanggaran pilkada, Mahkamah Konstitusi berhak
mengambil keputusan tentang pelanggaran itu sekalipun harus menabrak UU
48
Anang Zubaidy, Perspektif Keadilan Dalam Penyelesaian Sengketa Pemilukada di
Mahkamah Konstitusi, Makalah, disampaiakn pada diskusi Rutin PSHK FH UII di Yogyakarta,
september
Mahkamah Konstitusi sendiri. Sebagai justifikasi untuk kesiapan MK menabrak
undang-undang, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud, M.D. Menggunakan
argumentasi dengan kalimat, “Karena itu, kita bikin terobosan. Tidak lagi
melaksanakan undang-undang, tetapi melaksanakan UUD , yaitu menjamin
tegaknya demokrasi dan hukum”.
Tujuan dari putusan tersbut tidak lain adalah untuk mewujudkan aspek
keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Karena idealnya, putusan harus memuat
tiga unsur yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtsicherheit), dan
kemanfaatan Zwechtmassigkeit).
Dalam hal putusan untuk mewujudkan keadilan ini pula hakim mahkamah
konstitusi memiliki kewenangan ataupun peluang untuk merealisasikannya.
Karena dalam pasal sampai dengan pasal UU Mahkamah Konstitusi di
tegaskan bahwa mahkamah kosntitusi memutus perkara berdasarkan UUD
sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.
Artinya kans Mahkamah Konstitusi dalam mewujudkan nilai luhur
tersebut sangatlah besar, mengingat salah satu kewenangannya adalah memutus
perkara yang di ajukan kepadanya. Upaya melahirkan putusan yang adil tersebut
berusaha di konkretkan oleh mahkmah konstitusi melalui putusan dalam perkara
pengajuan undang-undang yang merupakan salah satu
kewenangannya berdasarkan pasal sampai pasal UU Mahkamah Konstitusi.
Dari penjelasan diatas maka penulis menyimpulkan bahwa konsep yang
digunakan dalam ultra petita adalah konsep keadilan substantif. Dimana sudah
dijelaskan bahwa konsep keadilan substantif menunjukan pada persoalan
substansial dalam suatu sengketa. Dalam contoh yang penulis tuturkan
perselisihan hasil pemilu kepala daerah jawa timur pada tahun dimana
tujuan dalam contoh tersebut adalah untuk menegakkan keadilan terhadap
pemohon dimana telah dibuktikan bahwa dalam perkara tersebut terbukti bersalah.
C. Penggunaan Putusan Ultra Petita Dalam Sistem Hukum
a. Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Hukum Perdata
Dalam sejarahnya lingkungan peradilan umum merupakan peradilan
yang diperuntukkan bagi rakyat. Hal ini dapat diketahui dengan melakukan
penelusuran sejarah peradilan yang ada di Indonesia, terutama sistem
peradilan yang dianut di Indonesia. Dalam sejarahnya sitem peradilan di
Indonesia pada prinsipnya merupakan sistem peradilan yang mengambil oper
sistem peradilan Belanda sebagai negara penjajahan dengan sitem Eropa
Kontinental.49
Azas pengambilan putusan dalam pemeriksaan gugatan perdata
adalah larangan untuk mengabulkan melebihi tuntutan dalam gugatan,
sepertinya yang ditentukan dalam Pasal ayat ( ) Herziene Indonesische
Regeling (HIR), Pasal ayat ( ) Reglment Buitenggeeisten (RBg) dan
Pasal Rv. Hakim yang mengabulkan melebihi posita maupun petitum
gugatan dianggap telah melampaui batas wewenang atau ultra vires. Oleh
karena itu setiap putusan yang mengandung ultra petitum harus dinyatakan
49
Rubaie, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi, Jakarta, LaksBang PRESSindo
Yogyakarta dan Kantor Advokat, , hlm.
cacat meskipun hal itu dilakukan hakim dengan itikat baik maupun untuk
kepentingan umum.50
Oleh karena larangan ini secara tegas ditentukan dalam undang-
undang, maka apabila hakim mengabulkan melebihi apa yang diminta dalam
gugatan maka perbuatan hakim tersebut dapat digolongkan sebagai perbuatan
yang ilegal atau telah melanggar prinsip rule of law. Prinsip ruel of law
mengajarkan bahwa semua tindakan hakim harus sesuai dengan hukum
(accordance wiyh law).
Prinsip rule of law lahir seiring dengan konsep negara hukum.
Konsep negara hukum sendiri telah mengalami berbagai perkembangan.
Penelusuran terhadap konsep negara hukum ini dapat dilakukan mulai dari
gagasan Immanuel Kant hingga gagasan Freiderich Julius Stahl. Pada
awalnya konsep negara hukum dipahami sebagai “Negara Jaga Malam”
sebagaimana diajarkan oleh Kant bahwa peran negara hanya sebagai penegak
keamanan dan ketertiban (rust en orde) bagi masyarakat.51
Gagasan Kant
tentang negara hukum belum mempermasalahkan masalah perlindungan bagi
warga masyarakat dan masalah kesejahteraan. Selanjutnya Stahl mengajarkan
mengenai syarat-syarat yang harus ada dalam sebuah negara hukum. Syarat-
syaratnya tersebut adalah:52
a. Mengakui dan melindungi hak-hak azasi manusia
50
Djoko Imbawani Atmadjaja, ultra petita dalam putusan Mahkamah Konstitusi, Vol.I,
No.I, (November ), hlm. 51
Padmo Wahjono, Negara Republik Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, , hlm. 52
Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Ind. Hill Co, Jakarta, , hlm.
b. Untuk melindunghi hak azasi tersebut maka penyelenggaraan
negara harus berdasarkan pada teori Trias Politika
c. Dalam menjalani tugasnya, pemerintah berdasarkan atas
undang-un dang (wetmatige bestuur)
d. Apabila dalam menjalankan tugasnya berdasarkan undang-
undnag pemerintah masih melanggar hak azasi (campur tangan
pemerintah dalam kehidupan pribadi seseorang), maka ada
pengadilan administrasi yang akan menyelesaikannya.
Gagasan negara hukum dalam arti rechtsstaat maupun the rule of
law sebagaimana dikemukakan di atas tujuan utamanya adalah perlindungan
tarhadap hak-hak kebebasan sipil dari warga negara, maka akibatnya adalah
peranan pemerintah hanya sedikit. Oleh karena sifatnya yang pasif dan
tunduk pada kemauan rakyat yang libeeralistik, maka negara diperkenalkan
sebagai nachtwachterstaat (negara penjaga malam). Konsep negara hukum
seperti ini biasa disebut sebagai negara hukum formal.53
Gagasan bahwa pemerintah dilarang campur tangan dalam urusan
warga baik di bidang sosial maupun dalam bidang ekonomi bergeser ke arah
gagasan baru bahwa Pemerintah harus bertanggung jawab atas kesejahteraan
rakyat. Gagasan baru ini dikenal sebagai gagasan welfare sate atau negara
hukum material dengan ciri-ciri yang berbeda dengan rumusan dalam konsep
negara hukum klasik (formal). Perumusan ciri-ciri negara hukum yang
dilakukan oleh Staht dengan munculnya gagasan ini harus ditinjau dan
53
E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Bandung: FHPM
UNPAD, , hlm.
dirumuskan kembali sesuai dengan perkembangan pemikiran dan keadaan
aktual sehingga memenuhi gambaran keluasan tugas pemerintah yang tidak
boleh lagi bersifat pasif. Hukum dalam arti formal tidak mungkin dapat
mengejar atau melampuai perkembangan kehidupan masyarakat. Kebuntuan
yang bersumber dari formalisme hukum sebagaimana diajarkan oleh teori
negara hukum kalsik ini harus dicarikan jalan keluarnya. Konsep yang
selanjutnya muncul adalah konsep kekuasaan yudisial bebas.
Mengapa hakim dilarang untuk memeberikan putusan yang melebihi
posita, dapat dipahami jika masalah ini kita tarik kebelakang sampai dengan
timbulnya sengketa. Gugatan perdata selalu bersumber dari konflik yang latar
belakangnya adalah pelanggaran terhadap kesepakatan atau karena perbedaan
penafsiran terhadap klausula perjanjian. Kesepakatan dan perjanjian adalah
lembaga hukum yang ada dalam hubungan hukum perdata atau hubungan
yang bersifat privat. Hubungan hukum dalam ranah hukum privat didasarkan
pada prinsip kesederajatan dan kebebasan para pihak.54
Konsep kesederajatan manusia mengharuskan penghormatan
terhadap sesama. Konsep ini tidak menghendaki adanya pemaksaan
kehendak, oleh karena itu setiap pemaksaan kehendak hakikatnya adalah
penindasan terhadap hak seseorang. Kesederajatan menghendaki jika
seseorang menginginkan orang lain untuk melakukan sesuatu, tidak
melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu harus berdasarkan
54
Djoko Imbawani Atmadjaja, ultra petita dalam putusan Mahkamah Konstitusi, Vol.I,
No.I, (November ), hlm.
kesukarelaan. Kesukarelaan mungkin suatu kemustahilan dalam alam
materialisme, sehingga kesukarelaan di sini harus dilihat kemauan berbuat
karena ada kompensasi terhadap apa yang harus ia lakukan. Oleh karena itu
konsep kesukarelaan dalam hubungan perdata dirumuskan secara normatif
dengan terminologi. Prinsip kesederajatan ini pula yang melahirkan prinsip
saling menghormati (pacta sunt servanda) terhadap apa yang telah disepakati.
Keadaan saling menghormati apa yang telah disepakati ini yang merupakan
kepentingan para pihak. Jika ternyata terjadi yang sebaliknya, maka telah
terjadi cidera janji (wanprestatie).55
Peristiwa ingkar janji selalu menimbulkan kerugian bagi pihak lain,
baik kerugian material maupun kerugian yang bersifat non material. Kerugian
yang diderita oleh seseorang memberikan hak kepadanya untuk menuntut
adanya ganti rugi sebagai bentuk pemulihan ketidak seimbangan tersebut.
Dalam konsep negara hukum, tuntuta atau gugatan ini harus ditujukan kepada
negara sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan pengaturan efektif
malalui mekanisme yang telah disepakati.56
Dalam perkara perdata peran hakim hanyalah sebagai pengadil atau
wasit terhadap para pihak yang bersengketa, hakim bersifat pasif dan
menunggu para pihak. Sejak pengajuan gugatan dilakukan pembuktiaan dan
pemeriksaan alat bukti dan saksi-saksi maka para pihaklah yang harus
dituntut aktif. Dalam kaitan dengan sikap hakim yang pasif ini, L.J. Van
55
Ibid, 56
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, ,
hlm.
Apeldoorn menyatakan sikap hakim perdata yang tidak berbuat apa-apa
disebabkan karena: pertama, inisiatif untuk mengadakan acara perdata adalah
perorangan bukan hakim atau badan pemerintah lainnya; kedua, para hakim
mempunyai kuasa untuk menghentikan acara yang telah dimulainya sebelum
hakim memberikan putusan (Pasal B.Rv); ketiga, luas dari pertikaian
yang diajukan pada pertimbangan hakim tergantung pada pihak-pihak.57
Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan para pihak dan
tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra
petita non cognoscitur). Selanjutnya dikatakan Apoldorn bahwa hakim hanya
menentukanya, adakah hal-hal yang diajukan dan dibuktikan oleh para pihak
itu dapat membenarkan tuntutan hukum mereka.
Hakim tidak boleh menambah sendiri hal-hal yang lain dan tidak
boleh memberikan lebih dari yang diminta. Keempat, jika salah satu pihak
membenarkan pihak lain hakim tidak perlu membuktikannya lagi; kelima,
hakim perdata tidak boleh melakukan pemeriksaan atas kebenaran sumpah
decisoir yang dilakukan.
Hakim harus menerima kebenaran formil, sedangkan hakim pidana
mencari kebenaran materil. Asas bahwa hakim pasif dalam perkara perdata
ini menurut Sudikno Mertokusumo, berkaitan dengan fungsi hakim dalam
perkara perdata dikenal dengan istilah hakim pasif, mengandung konsekuensi
asas beracara lainnya. Asas ini harus dipisahkan dengan kewajiban hakim
57
Rubaie, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi, Jakarta, LaksBang PRESSindo
Yogyakarta dan Kantor Advokat, , hlm.
aktif sesuai dengan Undang-Undang. Sengketa yang diajukan kepada hakim
untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara
bukan oleh hakim.
Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan
putusan perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang
dituntut (Pasal ayat( ) dan ayat ( ) Herziene Indonesische Regeling
(HIR), Pasal ayat ( ) dan ayat ( ) Reglment Buitenggeeisten (RBg).58
Pengujian Undang-Undang dapat berlangsung jika ada permohonan
sebagaimana dalam hukum perdata berlaku, hakim bersifat menunggu
datangnya tuntutan hak yang diajukan kepada iudex ne procedat ex officio
(lihat Pasal HIR, Rbg). Sekali perkara diajukan hakim tidak boleh
menolaknya dengan alasan karena todak ada hukumnya tau hukumnya tidak
jelas.
Larangan hakim menolak perkara dengan anggapan bahwa hakim
tahu hukumnya (ius curia). Penolakan hakim untuk mengadili perkara dengan
alasan tidak ada hukumnya akan tidak sangat sesuai dengan fungsi pengadilan
sebab kalau pengadilan menolak mengadili maka akan kemana para pencari
keadilan tersebut. Hal inilah yang juga harus menjadi pertimbangan katika
hakim menolak perkara dengan alasan hukumnya tidak ada atu hukumnya
tidak jelas.
58
Rubaie, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi, Jakarta, LaksBang PRESSindo
Yogyakarta dan Kantor Advokat, , hlm.
Sifat hubungan hukum para pihak dalam peradilan perdata lebih
menonjol pada kepentingan privat dibandingkan dengan hukum publik,
sedangkan dalam pengujian undang-undang terhada Undang-Udang dasar
mekanisme untuk menjawab apakah hakim harus menerapkan undang-undang
walaupun menurut anggapanya bertentangan atau berlawanan dengan UUD
lwbih bersifat hukum publik. Sehingga pengujian konstitusional hal yang
tidak terhindarkan maka fingsi pengujian yang dibayangkan menurut Mans
Kelsen MK sebagai a negative legislator.
Mengingat sikap hukum publik dalam hal ini hukum acara pengujian
undang-undnang maka yang dilindungi tidak hanya kepentingan pihak-pihak
yang berperkara akan tetapi yang lebih penting dilindungi adalah seluruh
rakuat Indonesia. Artinya kepentingan yang dilindungi oleh hakim lebih luas
dari pada kepentingan yang harus dilindungi dalam hukum acara perdata,
hukum pidana, maupun hukum acara peradilan administrasi negara.
Dalam perkara perdata, pidana ataupun dalam perkara tata usaha
negara kepentingan yang bersengketa hanyalah bersifar perorangan atau
kelompok prang, namun dalam acara MK obyek perkaranya adalah undang-
undang sebagai produk hukum yang ditetapkan bersama antara Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat maka apabila terdapat undang-undnag yang
dinyatakan bertentangan dengan UUD NKRI tidak dikakukan
pencabutan oleh legeslatif maka yang menjadi korban adalah seluruh rakyat
Indonesia. Oleh karena itu, hakim dituntut aktif terkait dalam pemeriksaan
permohonan pemohon.59
Di dalam hukum privat hak perorangan sangat dilindungi dan wujud
perlindungan hukum tersebut dapat dilihat dalam hal terhadap pihak yang
perkaranya telah diputus oleh pengadilan dan sudah memperoleh kekuatan
hukum tetap (inkracht van gewisde) yang mengandung sifat putusan Ultra
Petita masih dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung dengan upaya
Peninjauan Kembali (PK). Mengal hal ini dapat dilihat di dalam ketentuan
Pasal jo Pasal Undang-Undang Nomor Tahun tentang
Mahkamah Agung.
Contoh kasus perdata yang relevan adalah kasus Kedung Ombo di
Jawa Tengah, terkait dengan sengketa ganti rugi pembebasan tanah yang
dipergunakan sebagai Proyek Waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah antara
warga masyarakat dengan Gubenur Jawa Tengah. Gugatan pada awalnya
diajaukan pada Tahun di Pengadilan Negeri Semarang kemudian
berlanjut dengan upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi Semarang, dan
Kasasi di Mahkamah Agung.
Pihak Penggugat adakah warga masyarakat yang dibebaskan
tanahnya untuk pembangunan waduk Kedung Ombo, sedangkan tergugatnya
adalah Gubenur Jawa Tengah (Tergugat I) yang dianggap telah menetapkan
59
Ibid,
ganti rugi secara sepihak tanpa musyawarah dan Pimpinan Proyek Waduk
Kedung Ombo (Tergugat II).
Dalam petitum atau tuntutannya, antara lain penggugat minta
tergugat memberikan ganti rugi tanahnya sebesar Rp. . , permeter
karenah tanah milik oara penggugat sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi.
Sehubung dengan gugatan tersebut, Pengadilan Negeri Semarang dalam
putusannya No. /Pdt/G/ /PN.Smg, menyatakan menolak gugatan para
penggugat seluruhnya. Dslam upaya hukum banding, Pengadilan Tinggi
Semarang kembali menguatkan putusan sebelumnya dengan tetap menolak
gugatan.
Selanjutnya dalam tingkat kasasi Majelis hakim kasasi menjatuhkan
putusan bersifat ultra petita. Dalam putusan MSRI No. .K/Pdt/
Majelis hakim kasasi yang dipimpin oleh Z. Asikin Kusumah Atmadja, SH.,
menghukum pihak tergugat untuk membayar ganti rugi secara tanggung
renteng, berupa anara lain:
. Kerugian material untuk tanah dan bangunan Rp. . , /M ,
sedangkan untuk tanaman-tanaman sebesar Rp. . , /M .
. Kerugian yang timbul yang bersifat immaterial, yaitu sesuai dengan
petitum secara ex aequo et bono sebesar Rp. . . , ,.60
60
Ibid,
b. Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Hukum Tata Usaha Negara
Pertanyaan yang perlu diajukan adalah apakah hakim Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN) boleh atau dilarang mengeluarkan putusan bersifat
ultra petita? Secara normatif dalam berbagai peraturan perundang-undangan
terkait dengan kewenangan PTUN, sebagai mana diatur dalam Undang-
Undang Nomor Tahun Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor Tahun , dan
terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor Tahun Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor Tahun Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara secara eksplisit tidak ada satu pasal pun yang
mengatur tentang larangan atau kebolehan Hakim PTUN mengeluarkan
putusan bersifat ultra petita.
Namun demikian dalam penjelasan Undang-Undang Nomor Tahun
Tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, disebut bahwa: “Pada
Peradilan Tata Usaha Negara Hakim berperan lebih aktif dalam proses
persidangan guna memperoleh kebenaran material dan untuk itu Undang-
Undang ini mengarah pada ajaran pembuktian bebas”.61
c. Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Hukum Pidana
Dalam proses pemeriksaan perkara, surat dakwaan adalah
menduduki tempat yang penting karena surat dakwaan merupakan dasar dari
pemeriksaan perkara pidana dan juga menjadi acuan putusan yang akan
dijatuhkan oleh Majelis Hakim. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal
61
Rubaie, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi, Jakarta, LaksBang PRESSindo
Yogyakarta dan Kantor Advokat, , hlm.
ayat ( ) Undang-Undang No Tahun Tentang Hukum Pidana
(selanjutnya disebut KUHAP) yang menyebutkan bahwa: “penuntut umum
melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera
mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan”.62
Dalam penjatuhan, kebebasan hakim dibatasi oleh surat dakwaan
dari penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal ayat ( ) KHUAP
mengenai musyawarah hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan
pada surat dakwaan. Hakim yang menjatuhkan putusan di luar pasal yang
tidak didakwakan oleh jaksa penuntut umum tentu saja bertentangan dengan
Pasal ayat ( ) KUHAP.
Dalam proses pengambilan putusan oleh hakim, tidak terlepas dari
keberadaan penuntut umum karena dalam proses peradilan penuntut umum
mempunyai kewenangan untuk melakukan penuntutan, sebagaimana diatur
dalam Pasal KUHAP. Dalam Pasal ini telah jelas diatur bahwa yang
mempunyai wewenang melakukan penuntutan adalah penuntut umum. Ketika
hakim menjatuhkan putusan di luardakwaan jaksa penuntut umum maka
dapat dikatakan bahwa hakim telah mengambil alih peran dari jaksa penuntut
umum karena dianggap membuat dakwaan sendiri terhadap pasal yang tidak
didakwakan oleh jaksa penuntut umum.
Dalam pemeriksaan di persidangan, apabila perbuatan yang di
dakwakan terhadap terdakwa tidak terbukti secarah sah dan meyakinkan
sebagaimana yang tercantum dakam Pasal ayat ( ) KUHAP, maka
62
Rubaie, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi, Jakarta, LaksBang PRESSindo
Yogyakarta dan Kantor Advokat, , hlm.
seharusnya hakim menjatuhkan putusan bebas hakim harus tetap berdasarkan
surat dakwaan dari jaksa penuntut umum. Namun, apabila dari hasil
pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya terbukti secara sah dan meyakinkan maka hakim
dapat menjatuhkan putusan pemidanaan sebagaimana diatur dalam Pasal
ayat ( ) KUHAP.63
Contoh dalam perkara pidana adalah putusan dengan Nomor perkara
/Pid.Sus/TKP/ /PN.JKT.PST. terhadap putusan tersebut terdakwa Susi
alias Uci bersama dengan M.Akil Mochtar selaku hakim konstitusi
melakukan atau turut serta lakukan perbuatan yang menerima hadian atau
janji, yaitu menerima uang sebesar Rp. . . . , (satu milyar rupiah),
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadia tau janji tersebut diberikan
untuk memepengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili, yaitu hadiah atau janji tersebut diberikan oleh Tubagus Chaeri
Wardana Chasan dan Ratu Atut Chosiya kepada M.Akil Mochtar selaku
hakim MK dan selaku Ketua Panel Hakim membetalkan Keputusan Komisi
Pemilihamum (KPU) Kabupaten Lebak tentang Rekapitulasi Hasil
Penghitungan Perolehan Suara Tingkat Kabupaten pada Pemilihan Umum
Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak Tahun dan memerintahkan
KPU Kabupaten Lebak untuk melaksanakan Pemungutan Suara Ulatng
diseluruh tempat pemungutan suara di Kabupaten Lebak.64
63
Ibid, 64
Zulkarnain, Praktek Peradilan Pidana, Malang: Setara Press, , hlm. -
Atas perbuatan tersebut, terdakwa didakwa oleh jaksa penuntut
umum dengan menggunakan bentuk dakwaan kumulatif, yaitu dakwaan
kesatu dan kedua menggunakan Pasal huruf c Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor Tahun tentang Pemberantasan Tindak Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor Tahun tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor tahun tentang Pemberantasan Tindak Korupsi.
Namun dalam putusan hakim menggunakan Pasal ayat ( ) huruf a dan pasal
UU Tipikor.65
Pertimbangan hakim menjatuhkan putusan di luar pasalyang
didakakan oleh jaksa penuntut umum yaitu, dalam pemeriksaan di
persidangan pasal yang didakwakan tidak terbukti, sehingga hakim akan
menggunakan pasal yang dipandang lebih tepat diterapkan bagi perbuatan
terdakwa serta pasal yang digunakan oleh hakim tidak merugikan terdakwa
kerana ancaman pidananya lebih ringan dari pada pasal yang didakwakan
oleh jaksa penuntut umum.
65
Ibid,
BAB IV
TEMU KHUSUS PUTUSAN ULTRA PETITA DAN DAMPAK DI
INDONESIA
A. Putusan-putusan Ultra Petita di Indonesia
Putusan Mahkamah Kosntitusi dalam pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar terdiri dari tiga jenis antara lain:
) Menyatakan permohonan tidak dapat diterima, apabila Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak
memenuhi syarat
) Menyatakan permohonan dikabulkan, apabila Mahkamah Konstitusi
berpendapat bahwa permohonan beralasan. Dalam putusan tersebut MK
harus dengan jelas menyatakan:
a. Bagian mana dari undang-undang yang bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun dan me-
nyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-
undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
b. Dalam hal pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi
ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun , amar putusan me-
nyatakan permo-honan dikabulkan dan menyatakan undang-undang
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
) Menyatakan permohonan ditolak, apabila undang-undang dimaksud tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun , baik mengenai pem-bentukan maupun materinya sebagian atau
keseluruhan.
Permasalahan muncul ketika Mahkamah Kostitusi membuat amar yang
modelnya berbeda sebagai-mana amanat Pasal junto Pasal UU Mahkamah
Konstitusi. Salah satu model amar tersebut adalah putusan mengandung ultra
petita.66
Selama dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, Mahkamah
Konstitusi sudah beberapa kali membuat putusan ultra petita dalam pengujian
Undang-undang terhadap UUD NKRI , dan sengketa pemilu kada yang telah
diperiksa, diadili dan diputuskan. Putusan-putusan yang dimaksud adalah sebagai
berikut: Pertama,Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor /PHPU.D-VII/
tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Dearah Provinsi Jawa Timur
Tahun . Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor
/PHPU.DVI/ tentang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah Bengkulu Selatan Tahun . Ketiga, putusan
Mahkamah Konstitusi RI Nomor /PUU-IV/ tentang Pengujian Undang-
Undang Nomor Tahun tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Keempat, putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor /PUU-IV/ tentang
Pengujian Undang-Undang RI Nomor Tahun tentang Kekuasaan
Kehakiman. Kelima, putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor /PUU-
66
I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta: Sinar Grafika,
, hlm. .
VII/ tentang Pengujian Undang-Undang RI Nomor Tahun tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.67
Putusan tersebut kita jadikan kajian dalam pembahasan ini karena putusan
tersebut bersifat ultra petita, yakni amar putusan MK melebihi dari yang diminta
atau melampaui permohonan pemohon.
Secara lebih spesifik, mengapa putusan sengketa Perselisihan Hasil
Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun dan
Perselisihan Hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Daerah Bengkulu Selatan
Tahun dipilih sebagai objek kajian karena kedua putusan tersebut bersifat
monumental.
Mengingat kedua putusan tersebut merupakan putusan yang diambil ketika
awal mula pelimpahan perkara sengketa pemilukada dari MA dan MK dan
merupakan tonggak sejarah bagi MK, yakni memerintahkan pemungutan suara
ulang atau penghitungan suara ulang pada daerah-daerah tertentu kepada Komisi
Pemilihan Umum (KPU).
Di lain pihak, mengapa putusan MK RI Nomor /PUU-IV/ tentang
Penguji Undang-Undang RI Nomor Tahun tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi dijadikan obyek kajian, karena putusan tersebut bersifat
fenomenal. Permohonan pemohonnya meminta beberapa pasal dinyatakan
bertentangan dengan UUD NKRI , tetapi oleh hakim MK diputuskan seluruh
67
Haposan Siallagan, Masalah Putusan Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang,
Mimbar Hukum, Vol. , No. , Februari , hlm. -
pasar-pasal Undang-Undang tersebut batal atau Undang-Undang tersebut
dibatalkan secara keseluruhan.68
Sedangkan mengapa Putusan Mahkamah Konstitusi RI /PUU-IV/
tentang Komisi Yudisial Undang-Undang RI Nomor Tahun tentang
Kekuasaan Kehakiman dijadikan obyek kajian, karena putusan tersebut bersifat
kontroversial. Dalam perkara Nomor /PUU-IV/ tersebut, pemohon adalah
orang hakim MA, meminta kepada Mk untuk menyatakan tidak sah beberapa
Pasal yang terdapat Undang-Undang Nomor Tahun tentang Komisi
Yudisial (UU KY) dan Undang-Undang Nomor Tahun tentang Kekuasaan
Kehakiman (UU KK) sepanjang yang menyangkut pengawasan Hakim Agung
dan Hakim MK bertentangan dengan Pasal b dan Pasal UUD NKRI .
Akan tetapi oleh hakim MK diputus hanya hakim MA yang menjadi obyek
pengawasan Komisi Yudisial, sedangkan hakim MK diluar obyek pengawasan
Komisi Yudisial.
Lebih lanjut, mengapa putusan MK RI Nomor /PUU-VII/ tentang
Pengujian Undang-Undang RI Nomor Tahun tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, di jadikan obyek kajian, karena putusan tersebut
tidak saja melebihi permohonan pemohon (bersifat ultra petita), akan tetapi juga
menciptakan norma baru bersifat pengaturan (positive legislature).69
68
Rubaie, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi, Jakarta, LaksBang PRESSindo
Yogyakarta dan Kantor Advokat, , hlm. 69
Ibid,
Setelah mengkaji beberapa aspek dari ultra petita, maka selanjutnya
dapatlah dipahami bahwa ultra petita dapat saja menjadi putusan gegabah, bahkan
putusan Mahkamah Konstitusi pun tidak dapat selalu benar. Sehingga perlu ada
pembatasan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai ultra petita, hal ini
bertujuan untuk mencegah timbulnya kontroversi mengenai putusan Mahkamah
Konstitusi, apa lagi putusan MK yang bersifat final maka, sangat penting menjaga
keputusan MK agar tidak justru mencederai rasa keadilan. Perlu adanya
pemberlakuan standar tentang perkara yang boleh dalam ultra petita sehingga jelas
mana perkara yang boleh dan tyang tidak boleh di ultra petita.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Maruarar Sihaan, satu amar putusan
yang mengabulkan satu permohonan pengujian, akan menyatakan satu pasal, ayat
atau bagian dari undang-undang, dan bahkan undang-undang secara keseluruhan
bertentangan dengan UUD NKRI .
Konsekuensinya, Undang-Undang, pasal, ayat atau bagian dari UU yang
diuji tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Bunyi putusan demikian
mengandung arti bahwa ketentuan norma yang termuat dalam satu UU dinyatakan
batas (null and void) dan tidak berlaku lagi. Hal ini berdampak luas dan
membutuhkan mekanisme prosedural tentang bagaimana tidak lanjut untuk
pembatalan pemberlakuan suatu ketentuan tersebut dan bagaimana pula
mekanisme agar masyarakat dapat mengetahui bahwa norma tersebut tidak lagi
berlaku.70
Sehingga amat penting dalam hal menyangkut putusan-putusan terhadap
suatu mekanisme prosedur tentang bagaimana seharusnya hal itu (ultra petita)
dilakukan. Sehingga dalam proses peradilan berikutnya Mahkamah Konstitusi
tidak kemudian disebut sebagai terjebak dalam conflict of interest yang justru
berpotensi menurunkan wibawa lembaga.
B. Pertimbanagn Hakim Memutuskan Ultra Petita
Mencermati beberapa putusan Mahkamah Konstitusi, salah satunya yaitu
Putusan Pemilu Kepla Provinsi/Daerah Jawa Timur Tahun , dengan Nomor
putusan /PHPU.D-VI/ .
a. Dasar Pertimbangan Filosofis
Dasar pertimbangan filosofis ini teridentifikasi dengan
dimasukkannya permohonan subsidair yang berbunyi: “Apabila
pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya”.
Manakala pemohon mengajukan permohonan demi keadilan atau putusan
seadil-adilnya, maka secara hukum dapat dianggap pemohon mengajukan
kepada MK untuk mengabulkan hal yang tidak diminta atau melampaui
permohonan pemohon. Sebagaimana diketahui bahwa secara filosofis
tujuan hukum adalah untuk keadilan, disamping kepastian dan
kemanfaatan, oleh karena itu hukum harus benar-benar mencerminkan
70
Sri Handayani Retno Wardani, pembatasan ultra petita pada Mahkamah Konstitusi,
Jurnal Konstitusi, Vol. , No. , (November ), hlm.
tujuan filosofis tersebut, baik melalui Undang-Undang maupun Undang-
Undang.71
Keadilan merupakan istilah yang lazim dipergunakan dalam
hubungan antara rakyat dan pemerintah. Plato memukakan bahwa:
“keadilan berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan antara satu orang
dengan orang lainnya, akhirnya keadilan hanyalah suatu bentuk
kompromi. Bagi Plato keadilan adalah kebijakan yang mengandung
keselarasan dan keseimbangan yang tidak dapat diketahui atau dijelaskan
dengan argumentasi rasional. Selanjutnya Plato membagi kebijakan
sebagai berikut: a) kebijakan atau kearifan; b) keberanian atau keteguhan
hati; c) kedisiplinan serta keadilan.72
Pertimbangan keadilan didasarkan pada ketentuan Pasal ayat ( )
UUD yang dirumuskan: “Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelanggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan”, selanjutnya substansi ketentuan Pasal
ayat ( ) dan Pasal D ayat ( ) UUD tersebut dituangkan kembali
ke dalam Pasal ayat ( ) UU Nomor Tahun tentang MK yang
dirumuskan: “ MK memutuskan perkara berdasarkan UUD NKRI Tahun
sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim”. 73
Mahkamah menyatakan bahwa peradilan menurut UUD
harus menguat secara seimbang asas keadilan, asas kepastian hukum, asas
71
Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Surabaya: Bina
Ilmu, , 72
Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Rineka Cipta, , hlm. 73
Rubaie, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi, Jakarta, LaksBang PRESSindo
Yogyakarta dan Kantor Advokat, , hlm.
manfaat sehingga Mahkamah tidak dapat dipasung hanya oleh bunyi UU
melainkan juga harus menggali rasa keadilan dengan tetap berpedoman
pada makna substantif UU itu sendiri.
Dalam beberapa kesempatan, menurut Mahfud MD, terkait dengan
soal keadilan substantif banyak kalangan yang mempersoalkan bahwa
upaya mencapai keadilan substantif sulit dilakukan karena sulit diukur
atau tidak ada kriteria baku untuk menentukan apa itu keadilan substantif.
Keadilan itu bersifat relatif atau nisbi, karena tergantung
pandangan subyektif, berbeda dengan bunyi undang-undang yang isinya
menekankan unsur kepastian. Keadilan substantif akan terasa dan terlihat
dari konstruksi hukum yang dibangun oleh hakim dengan menilai satu
persatu bukti yang diajukan di persidangan untuk akhirnya sampai pada
keyakinan dalam membuat putusan.74
Masih menurut Mahfud MD, untuk menghindari kesan MK suka
dan sering melampaui ketentuan prosedural, perlu dipahami bahwa upaya
MK mewujudkan keadilan substantif sebagaimana yang digelorakan, harus
dibaca sebagai upaya Mk untuk menegakkan keadilan dengan tidak
semata-mata mengedepankan keadilan prosedural, tetapi juga keadilan
substantif. Artinya, MK tak bisa lantas seenaknya mengabaikan ketentuan
prosedural atau menerobos Undang-Undang.
Dengan menganut keadilan substantif, MK tak lantas harus keluar
semena-mena dari ketentuan isi Undang-Undang (UU). Dalam hal undang
74
Mahfud MD dalam Martitah, Mahkamah Konstitusi dari Negative Lagislature ke
Positive Legislature, Kompress, Jakarta, Juli
undang sudah mengatur secara pasri dan dirasa adil, maka hakim wajib
berpegang pada Undang-Undang tersebut. MK diperbolehkan atau
dimungkinkan membuat outusan yang keluar dari Undang-Undang hanya
jika Undang-Undang itu membebasi keyakinan MK untuk menegakkan
keadilan75
.
Di samping dasar pertimbangan keadilan, salah satu pertimbangan
yang digunakan oleh MK dalam memutuskan ultra petita adalah asas
kemanfaatan. Kemanfaatan sebagai tujuan hukum, menurut paham
utilitarian akan tercapai, yang menurut Jeremias Bentham, apabila terjadi
maksimum penggunaan barang bagi suatu komunitas sehingga akan
diperoleh suatu the greates happiness of the greatest number76
.
Keadilan hanya akan tercapai manakala keadilan itu dapat
memberikan kebahagian bagi banyak orang, dengan demikian dalam
putusan MK terkait dengan kemanfaatan ini dapat dipahami ketita MK
dalam konklusinya menyatakan bahwa: “manfaat yang dapat diperoleh
dari putusan yang demikian adalah agar pada masa-masa yang akan
datang”.
b. Dasar Pertimbangan Teoritis
Dalam mengenai alasan teoritis dikeluarkan putusan yang bersifat ultra
petita oleh MK, sehingga secara teoritis putusan ultra petita Mk memperoleh
landasab ilmiah atau memperoleh pembenaran secara teoritik.
75
Ibid, 76
Sudarso, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta: Rineka Cipta, , hlm.
Mahfud MD dalam tulisannya yang berjudul “Mahkamah Konstitusi
Dalam Bingkai Hukum Progresif dan Keadilan Substansi”, menyatakan bahwa:
pada saat suatu tatanan telah melahirkan kemapanan yang mandeq, akan selalu
melahirkan keresahan yang mereproduksi menjadi lompatan pemikiran.
Kemendekkan bhukum tidak dapat dibiarkan dan tidak akan mungkin bertahan
karena diterapkan dalam masyarakat yang senantiasa berubah. Pemaksaan cara
berhukum yang stagnan hanya akan memberikan legitimasi kepada penguasa
dengan mengesampingkan nilai dan moral yang menjadi orientasi dari hukum
itu sendiri.77
Dalam keilmuan hukum, dua pengaruh tradisi Civil Law System dan
common Law System merupakan fenomena yang tidak dapat dipungkiri lagi,
bahkan secara jujur harus diakui kedua sitem hukum ini cukup aktif dan efektif
mempengaruhi perkembangan sistem hukum bagi hambir semua negara di
dunia ini. Civil Law System merupakan tradisi huku yang dikembangkan di
kawasan negara-negara Eropa Kontinental, sedangkan Common Law System
merupakan tradisi hukum yang dikembangkan di negara-negara Angol Saxon.
Pada tradisi keilmuan hukum continental Law System, pengembangan
hukumnya dilakukan melalu tradisi pembentukan produk peraturan
perundangan formal yang dibentuk secara formal oleh badan legislatif. Tradisi
pembentukan UU demikian didasarkan asas legislatif yang mengedepankan
kepastian hukum, yang disandarkan pada hukum positif. Pada tradisi civil law
system berusaha secara maksimal semua permasalahan diatur dengan Undang-
77
Rubaie, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi, Jakarta, LaksBang PRESSindo
Yogyakarta dan Kantor Advokat, , hlm.
Undang, sehingga di awal perkembangannya hukum disejajarkan dengan
Undang-undang, keabsahan hukum disamakan dengan keabsahan Undang-
Undang (rechtmatigheid sama dengan wetmatigeheid).
Dalam kaitannya dengan tradisi civil law system ini, Bagir Manan
menyatakan, bahwa pada negara-negara yang berada dalam Sistem Eropa
Kontinental selalu berusaha untuk menyusun hukum-hukumnya dalam bentuk
tulisan, bahkan dalam suatu sistematika yang diupayakan selengkap mungkin
dalam sebuah kitab undang undang (kondifikasi)78
.
Dalam perkembanganya, tradisi continental law system yang
mengutamakan undang undang sebagai satu-satunya sumber hukum, lambat
laun juga mengakui keberadaan hukum yang hidup didalam masyarakat (the
living law), sebagaimana yang dikembangkan di common law system
dikawasan Anglo soxon system. Hal ini diungkapkan oleh Sirajuddin, dengan
alasan karena terdesak oleh kebutuhan-kebutuhan yang berkembang, sementara
penerapan hukum oleh hakim semakin jauh dari nilai-nilai keadilan, maka
yurisprudensi dipergunakan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dalam
peraturan perundang-undangan.79
Menurut paradigma positivisme, hukum positif merupakan aturan yang
tertulis di dalam sebuah undang undang atau peraturan perundangan formal
lainnya. Hukum dipahami sebagai “law as what written in the book” dan tidak
pernah dipahami sebagai sebuah gejala yang hidup di dalam masyarakat.
78
Bagir Manan, Dasar Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta: IN-HILL-Co,
, hlm. 79
Sirrajuddin, Legislatif Drafting Dalam Pembentukan Peraturan Perundangan, Malang:
Yappika, , hlm.
Hukum merupakan penetapan kaitan-kaitan logis antara kaidah-kaidah dan
antara bagian-bagian yang ada dalam hukum. 80
Hukum sebagai undang-undnag, meskipun juga tidak sedikit yang
berusaha keluar dari frame undang-undnag dalam melihat hukum, termasuk di
dalamnya the living law.
Berdasarkan paparan diatas, maka dasar pemikiran Mahkamah
Konstitusi dalam memutuskan perkara yang bersifat ultra petita sementara i ni
tentunya dapat diterima. Putusan ultra petita yang diambil oleh Mahkamah
Konstitusi, khususnya dalam sengketa pemilihan kepala daerah Provinsi Jawa
Timur semata-mata untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, kemanfaatan
dan kepastian hukum.
Secara teoritis diakui berlakunya asas bahwa pengadilan tidak boleh
menolak perkara dengan alasan hukumannya tidak atau belum mengatur,
melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya. Di samping itu, hakim hakim
wajib menggali, menemukan dan mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat. Prinsip ini tercantum di dalam Pasal ayat ( ) Undang-
Undang Nomor Tahun tentang Kekuasaan dan Kehakiman.
c. Dasar Pertimbangan Yuridis
Sebagaimana diketahui bahwa dalam ajaran trias politika, kekuasaan
negara dibagi ke dalam tiga kekuasaan yang terpisah, yaitu kekuasaan legislatif
kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudisial, dengan mekanisme checks and
balances. Tujuan pembagian kekuasaan ini dmasukkan untuk menghindarkan
80
Yulius Stone, pranata Hukum Sebagai Telaah Sosiologi, Semarang: Suryandaru
Utama, , hlm.
terjadinya penumpukan kekuasaan negara yang dapat melahirkan pemerintahan
abolutisme, yang menurut Lord Acton, power tends to corrupt, but the
absolutely power corrupts.81
Landasan yuridis wewenang kekuasaan yudisial, yang selanjutnya
disebut dengan istilah kekuasaan kehakiman, di Indonesia secara konstitusional
diatur di dalam ketentuan Pasal ayat ( ) UUD NKRI yang
merumuskan, “ kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keailan”.82
Dalam konteks menegakkan keadilan itulah, MK lebih menitik beratkan
pada tujuan menegakkan keadilan substantif dari pada keadilan prosedural
dengan alasan karena keadilan berdasatkan hukum tidak selalu terkait kepada
ketentuan-ketentual formal prosedural. Paradigma yang dianut hakim konstitusi
di MK telah sesuai dengan tugas hakim untuk selalu menggali nilai-nilai
keadilan substantif di masyarakat untuk menghadapi dan memutuskan berbagai
perkara yang diajukan kepadanya.
Disamping itu, tujuan dan fungsi dari Mk memberikan perlindungan
hak asasi manusia, sebagaimana tercantum pada Pasal D ayat ( ) UUD
yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Dengan demikian MK, sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang
merdeka, guna menegakkan keadilan dan hukum, serta menjamin hak setiap
81
Nyoman Nurjaya, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi, Jurnah Konstitusi,
Vol. , No. (Maret ), hlm. 82
Rubaie, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi, Jakarta, LaksBang PRESSindo
Yogyakarta dan Kantor Advokat, , hlm.
orang atas pengakuan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum, maka MK dalam memeriksa,
mengadili dan memutus perkara yang diajukan kepadanya, berdasarkan alat
bukti dan keyakinan hakim, dapat membuat keputusan bersifat ultra petita
sepanjam dalam petitum pemohon memohon putusan ang seadil-adilnya.
Di samping itu, berdasarkan ketentuan Pasal ayat ( ) UU No
Tahun Tentang Kekuasaan Kehakiman, diamanatkan bahwa: “hakim dan
hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Dalam rangka menjalankan
kewajiban menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat, hakim MK dapat menemukan dan
menciptakan hukum termasuk mengeluarkan putusan ultra petita.83
Bardasarkan uraian pada pembahasan di atas, diperoleh kesimpulan
bahwa untuk putusan ultra petita MK terhadap Pemilukada Jawa Timur Tahun
adalah: peratama, dikeluarkan putusan ultra petita dengan pertimbangan
telah terjadi pelanggaran serius yang bersifat sistematik, terstruktur dan massif,
yang mana
C. Dampak Dari Lahirnya Putusan Ultra Petita
Peran Mahkamah Konstitusi sendiri sangat penting, mengingat MK telah
menyatakan dirinya sebagai penjaga konstitusi melalui proses constitutional
review pada Pasal UU MK. Pernyataan ini tentunya membawa angin baru,
83
Ibid,
karena berdasarkan UU MK proses consititutional review hanya dapat dilakukan
setelah adanya perubahan III UUD .
Berbagai putusan MK telah mempengaruhi norma dan sistem hukum di
Indonesia. Meski tidak secara tegas memiliki kewenangan legislasi, akan tetapi
sesungguhnya MK memiliki kewenangan legislasi, terbukti dengan munculnya
berbagai norma hukum baru di Indonesia dari berbagai putusan MK melalui
penafsiran MK terhadap konstitusi.84
Selain itu MK juga sedang dalam perjalanan sebagai penafsir tunggal
konstitusi. Hal ini terjadi bukan merupakan keanehan, karena salah satu
wewenang yang diberikan oleh UUD adalah mengadili pengujian undang-
undang terhadap UUD. Sebagaimana diatur dalam UU tentang
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi memiliki bebrapa kewenangan
diantaranya:
. Menguji undang-undang terhadap UUD . Sebagai pelindung hak
konstitusi wargenegara, Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang untuk
melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD . Melalui proses
pengujian (uji materi) terhadap undang-undang maka Mahkamah Konstitusi
dapat menilai apakah suatu pasal atau keseluruhan undang-undang dikatakan
tidak sesuai dengan undang-undang dasar. Sehingga Mahkamah Konstitusi
dapat menyatakan bahwa suatu undang-undang tidak dapat berlaku karena
bertentangan dengan UUD .
84
Haposan Siallagan, Masalah Putusan Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-Undang,
Mimbar Hukum, Vol. , No. (Februari ), hlm.
. Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD . Dalam hal terjadi sengketa kewenangan antar
lembaga maka Mahkamah Konstitusi akan memutuskan apakah lembaga
negara tersebut memiliki wewenang terhadap apa yang diajukan pemohon.
Sebelumnya, lembaga negara yang bersengketa harus mengajukan
permohonan secara tertulis kepada Mahkamah Konstitusi. Sebelum
terbentuknya MK, sengketa antar lembaga negara diselesaikan oleh Majelis
Perwakilan Rakyat (MPR). Akan tetapi, karena pada saat itu MPR adalah
lembaga politik, maka keputusan sering beraroma politik. Oleh sebab itulah,
maka dibutuhkan satu lembaga negara yang terlepas dari segala kepentingan
politik dan dapat bekerja secara independen.
. Memutuskan pembubaran partai politik. Pembubaran terhadap partai politik
terjadi apabila ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik
yang bersangkutan dianggap bertentangan dengan UUD . Di sini
dibutuhkan peran serta MK dalam menyelesaikan persoalan partai politik.
. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Pemilihan umum
adalah sarana untuk melakukan pergantian pemimpin bangsa secara aman dan
tertib. Dengan pemilu, maka proses perpindahan jabatan penguasa akan dapat
berjalan dengan demokrasi. Pemilihan umum sangat penting dalam
menentukan arah bangsa kedepan oleh karena itulah jika terjadi sengketa para
pihak akan berusaha untuk menang. Sebelum amandemen terhadap UUD
penyelesaian sengketa pemilu dilakukan oleh pemerintah. Sengketa
pemilu akan dilaporkan kepada Panitia Pengawas Pemilu yang kemudian
akan diteruskan pada Menteri Dalam Negeri. Pada akhirnya, Presiden jugalah
yang memutuskan sengketa hasil pemilu. Saat ini hasil pemilu, termasuk
pilkada ditangani oleh Mahkamah Konstitusi agar netralis tetap terjaga.
. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa
Presiden dan Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindakan pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD .85
Kewenangan dasar MK ini yang kemudian menjadi titik permasalahan
oleh banyak ahli hukum di Indonesia dan juga DPR. Mahkamah Konstitusi
dianggap oleh beberapa kalangan telah melakukan apa yang di dalam hukum
dinamakan ultra petita. Dimana pembahasan sebelumnya kita sudah membahas
apa itu ultra petita.
Sementara dalam undang-undang yang mengatur tentang keberadaan
Mahkamah Konstitusi maupun dalam UUD , kewenangan untuk membuat
putusan yang bersifat ultra petita sangatlah tidak mendapat ruang yang cukup.
Oleh karenanya, maka sesungguhnya Mahkamah Konstitusi tidaklah berwenang
untuk membuat putusan diluar dari apa yang dimintakan oleh pemohon.86
Prinsip pemisahan kekuasaan pasca amandemen secara tegas membagi
kekuasaan lembaga negara menjadi sederajat dan saling mengendalikan
85
Ibid, 86
Hery Abduh Sasmito, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian
Undang-Undang, Jurnal Law Reform, Vol. , No. (Oktober )
berdasarkan aturan main check and balance. Mahkamah Konstitusi sebagai salah
satu lembaga negara pun turut berada dalam lingkup aturan main tersebut.
Sehingga menyangkut ultra petita, maka dalam dalam UU No Tahun
Pasal ayat ( ) menyatakan bahwa “pemohon adalah pihak yang
menganggap hak dan kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang”. Penjelasan Pasal ayat ( ) menyebutkan bahwa “yang
dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun ”.87
Penjabaran Pasal berikut penjelasannya di atas maka, dapat ditarik
kesimpulan bahwa hanya menganggap telah terjadi pelanggaran atas hak-hak
konstitusionalnya oleh pemberlakuan undang-undang yang dapat menjatuhkan
permohonan. Artinya bahwa seseorang yang dirugikan yang dapat dianggap
memiliki cukup alasan untuk menjatuhkan permohonan. Jika tidak terdapat
kerugian maka, sesungguhnya tidak ada kepentingan untuk menjatuhkan
permohonan.
Berbagai pihak memiliki pandangan yang saling bertentangan menanggapi
putusan ultra petita yang dibuat oleh MK. Pihak yang pro terhadap putusan ultra
petita berpandangan: jika bagian dari yang dimohonkan review terkait dengan
pasal-pasal lain dan menjadi jantung dari undang-undang yang harus diuji maka
pembatalan pasal-pasal terkait tidak dapat dohindari, jika pemohon
mencantumkan permohonan ex aequo et bono (memutus demi keadilan) maka
hakim memiliki kebebasan untuk menentukan amarnya.
87
Ibid
Di pihak lain, mereka yang menentang adanya putusan ultra petita di
Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa putusan ultra petita dalam pengujian
UU melanggar dokrin yang berlaku umum dan universal dalam hukum acara
(larangan ultra petita), asas non ultra petita merupakan yurisprudensi
internasional.
Putusan ultra petita juga dianggap menciderai prinsip kedaulatan rakyat
bahkan terkesan mencampuri ranah kekuasaan lain, sehingga melanggar dokrin
pemisahan kekuasaan dan check and balance. Putusan ultra petita merupakan
pelanggaran atas ranah legislatif oleh lembaga yudikatif karena mencampuru
kewenangan mengatur yang tidak di persoaalkan oleh pemohon.88
Terlebih lagi dilakukan ultra petita dianggap telah melanggar UU MK,
karena UU MK tidak mengatur diperbolehkannya membuat putusan yang
mengandung ultra petita. Dalam perspektif positivistik legalistik, format amar
putusan sebagaimana diatur dalam UU MK tidak memungkinkan adanya bentuk
amar ultra petita.
Salah satu putusan MK yang mengandung unsur ultra petita adalah dalam
Perkara Nomor /PUU/-IV/ dimana perkara ini merupakan putusan
pengujian Undang-Undang Nomor Tahun tentang Komisi Yudisial (UU
KY) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor Tahun tentang
Kekuasaan Kehakiman (UU KK) terhadap UUD . Isu utama yang utarakan
dalam putusan ini adalah ketidakjelasan mekanisme pengawasan hakim dalam UU
KY sehingga karenanya menimbulkan ketidak pastian hukum.
88
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, LP ES, Jakarta,
, hal.
Dalam Putusan ini setidaknya dapat ditemukan (dua) muatan ultra
petita. Pertama, terkait dengan dikeluarkannya perilaku hakim MK dari obyek
pengawasan KY. Kedua terkait dengan dikebirinya seluruh kewenangan KY
dalam mengawasi hakim (termasuk hakim agung dan hakim konstitusi). Hal ini
terjadi karena permohonan para pemohon lebih terkait dengan keinginan agar
hakim agung tidak dimasukkan sebagai pihak yang diawasi oleh KY, akan tetapi
MK malah menganulir semua ketentuan yang terkait dengan pengawasan KY
untuk mengawasi hakim. 89
MK dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa “Pengecualian ini
(Hakim MK) didasarkan oleh pemahaman sistematis dan penafsiran berdasarkan
“original intent” perumusan ketentuan mengenai KY dalam Pasal B UUD
memang tidak berkaitan de-ngan ketentuan mengenai MK yang diatur dalam
Pasal C UUD ”.90
Terkait dengan pembatalan seluruh kewenangan pengawasan, MK
menganggap “bahwa pelaksanaan fungsi pengawasan yang lahir dari
ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) sebagai akibat tidak adanya norma
yang jelas tentang ruang lingkup pengertian perilaku hakim dan pengawasan
teknis justisial terkait dengan batas-batas akuntabilitas dari perspektif perilaku
hakim dengan kemandirian hakim dalam melaksanakan tugas justisialnya, secara
89
Hery Abduh Sasmito, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian
Undang-Undang, Jurnal Law Reform, Vol. , No. (Oktober ), hlm. 90
Putusan Nomor /PUU-IV/ , Bagian Pertimbangan Hukum, hlm. -
kasat mata merupakan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman berupa pressure
atau tekanan yang bersifat langsung atau tidak langsung”.91
Mengenai pembatalan ketentuan pasal-pasal yang menyangkut
kewenangan pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim MK, kiranya perlu
dikemukakan salah satu pakar hukum sebagai berikut:
Menurut Denny Indrayana, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, bahwa Putusan MK pembatalan pengawasan hakim
MK oleh Komisi Yudisial akan membuat mafia peradilan semakin marak.
Lonceng kematian reformasi peradilan berdentang kencang gara-gara putusan MK
ini. Inilah kesekian kalinya MK menggunakan dalil ketidakpastian hukum untuk
membatalkan suatu undang-undang. Sayangnya, penerapan dalil itu tidak jarang
bertabrakan dengan prinsip kemanfaatan hukum dan keadilan hukum.92
Putusan UU KY jelaskan mencerminkan hakim konstitusi terjebak conflict
of interest. Mereka tidak mau dimasukkan sebagai objek pengawasan KY. Salah
satu alasannya adalah karena MK berwenang memutus sengketa kewenangan
antara lembaga negara dimana KY mungkin salah satu pihaknya. Dengan
demikian, jikalau hakim konstitusi di awasi KY, independensi mereka dalam
memutus perkara sengketa kewenangan menjadi terganggu. Argumentasi ini
menunjukkan bahwa Mk mempunyai standar ganda dalam memaknai independen
hakim.
Menurut Ismail Sunny, putusan MK dapat dibenarkan. Namun, apakah
masyarakat cupuk puas karena putusan MK justru menyebabkan tidak adanya
91
Rubaie, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi, Jakarta, LaksBang PRESSindo
Yogyakarta dan Kantor Advokat, , hlm. 92
Ibid,
kontrol terhadap kekuasaan kehakiman. Lebih lanjut, Ismail Sunny meminta
Pemerintah dan DPR segera mencari jalan keluar pasca putusan MK. Kontroversi
muncul karena ada kekecewaan atas tidak adanya lagi mekanisme pengawasan
hakim.
Saldi Isra, mengatakan bahwa dengan putusan atas perkara ini, KY
kehilangan kekuatan untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta
menjaga perilaku hakim. Putusan MK bukan saja menjadi lonceng kematian
dalam agenda memberantas mafia peradilan, tetapi menjadi bukti resistensi
korupsi terhadap pengawas eksternal.93
Terlepas pro dan kontra berkaitan dengan pembatalan putusan MK yang
memangkas fungsi pengawasan KY terhadap para hakim MK, menurut penulis
dampak yang terjadi dalam perkara tersebut adalah ketidak jujuran hakim MK
dalam memutuskan suatu undang-undang dan kemungkinan akan terjadinya
penyelewangan kekuasaan dalam suatu perkara. Dan juga dapat membuat
masyarakat tidak percaya lagi terhadap hakim MK.
Dampak selanjutnya dimana akan banyak terjadinya kejahatan dalam
peradilan. Akan adanya sistem suap menyuap, korupsi dan akan membuat
kekuasaan menjadi tempat ladang keuntungan. Sehingga sulit bagi pemerintah
untuk memberantas korupsi.
Sebagai contoh tragedi Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi pada Oktober , karena diduga menerima
suap terjadi saat hakim konstitusi tanpa pengawasan preventif oleh lembaga
93
Ibid,
eksternal yaitu KY. Oleh karena itu, kasus tersebut harus menjadi momentum
yang tepat untuk membangun kesadaran akan arti penting dan strategi perlunya
pengawasan hakim MK.94
94
Ibid,
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
. Dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan ultra
petita adalah: pertama, alasan filosofis dalam rangka menegakkan
keadilan substantif dan prinsip-prinsip kehidupan bernegara yang terdapat
dalam Uud NRI (keadilan konstitusional); kedua, alasan teoritis
berkaitan dengan kewenangan hakim untuk menggali, menemukan dan
mengikuti nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, apabila
hukumnya tidak jelas mengatur atau sudah tidak memadai (usang), dan
ketiga, adapun alasan yuridis terkait dengan ketentuan Pasal ayat ( )
UUD NRI dan Pasal ayat ( ) UU Nomor Tahun tentang
Mahkamah Konstitusi, bahwa Mk sebagai penyelenggara peradilan
bertujuan menegakkan hukum dan keadilan sesuai alat bukti dan
keyakinan hakim.
. Wewenang membuat putusan yang bersifat ultra petita bagi Mahkamah
Konstitusi dapat saja diberikan apabila terjadi kekaburan norma hukum
melalu metode penafsiran hukum, atau bilamana terjadi kekosongan
hukum melalu metode penemuan hukum. Wawanang membuat ultra petita
oleh Mahkamah Konstitusi seharusnya dibatasi oleh prinsip-prinsip negara
demokratis, prinsip-prinsip yang bebas dan tidak memihak, dan asas-asas
umum penyelenggaraan negara yang baik.
. Dampak yang bisa saja di timbulkan dalam putusan ultra petita adalah
salah satunya penyelewengan keputusan dalam memutuskan sesuatu
perkara. Dimana jika hakim tidak mempunyai pengawasan maka akan
terjadi penyuapan keputusan dalam seuatu perkara. Dampak dalam
politiknya adalah ketidak samaan dihadapan hukum, kepastian hukum dan
peradilan yang bebas dan tidak memihak dan dapat menimbulkan
perlakuan keistimewa yang bisa menyebabkan diskriminasi dan berujung
pada ketidak adilan seperti hukumanyang tidak sesuai dengan apa yang
ada di peraturan UU.
B. Saran
Dasar pertimbangan dikeluarkan putusan ultra petita oleh Mahkamah
Konstitusi karena didasari alasan filosofis berupa menggali dan menemukan
keadilan substantif secara rasional bisa diterima, namun apa hakekat dan makna
terdalam dari pengertian substantif terus menerut perlu dilakukan kajian dan
telaah secara obyektif untuk sampai bisa diuji secara obyektif pila oleh komunitas
sejawat profesi hukum dan ilmuwan hukum.
Mengingat dampak yang terjadi maka harus lebih memperkuat lagi
pertimbangan dan harus diperjelas denga bukti-bukti yang kuat agar tidak terjadi
penyelewengan yang tidak diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
- Buku
Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi, cet.ke- , Jakarta : PT
Rineka Cipta,
Tim Penyusun, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, cet. Ke- , Jakarta:
Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan NKRI,
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:
Konstitusi Pres,
Ni’Maqtul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, cet. Ke- , Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada,
Sri Soemantri M, Hak Uji Material Di Indinesia, Alumi cetakan ketiga, Bandung :
Rubaie, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi, Jakarta: LaksBang
PRESSindoYogyakarta dan Kantor Advokat,
Sanafilah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Cet.Ke- , Jakarta: Raja
Grafindo Persada,
Amiru Hadi, Metode Penelitian, Bandung: Pustaka Setia, .
Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi,Jambi: Syariah Press, .
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D, Bandung:
Alfabeta, .
Format Sanafilah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Cet.Ke- , Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persda, .
Shaq, Metode Penelitian Hukum, Cet.Ke- , Bandung: Alfabeta, .
Ishaq, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Albabeta, ). hlm
Abdi Sunarno, Ultra Petita Dalam Pengajuan Undang-Undang Oleh Mahkamah
Konstitusi, Surabaya: Indonesia,
Sunarwan Damin, Menjadi Penelitian Kualitatif, Bandung: Pustaka Setia,
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif Kuantitatif, Bandung: Alfabetu,
- Jurnal
Haposan Siallagan, “Masalah Putusan Ultra Petita Dalam Pengujian Undang-
Undang”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. . No. ,
Enggar Wicaksono, “Tinjauan Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi No. /PUU-
XIII/ Tentang Inkonstitusi Kewenangan Komisi Yudisial Dalam
Melakukan Rekruitmen Hakim Bersama Mahkamah Agung”, Dipnegoro
Law Journal, Vol. , Nomor Tahun , hlm.
Nurjaya, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi, ( Maret )
Abdul Hery Sasmito, Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi Dalam
Pengujian Undang-Undang, vol. , (Oktober )
Imbawam Atmaddja Djoko, Ultra Petita Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi,
Vol. (Novemver )
Handayani Retna, Pembatasan Ultra Petita Pada Mahkamah Konstitusi, Vol.
(November )
- Skripsi
Untung Tri Kusuma, “Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Ultra Petita
Dalam Pengujian Undang-Undang Nomor Tahun Tentang Komisi
Kebenaran Dan Rekonsiliasi”, Skripsi Universitas Jambi, .
Fadel, “Tinjauan Yuridis Prinsip Ultra Petita Oleh Mahkamah Konstitusi Sebagai
Upaya Mewujudkan Keadilan Substantif Di Indonesia: Analisis Pada
Tahun ”, Universitas Hassanudin Makasar, .
Agus, “Tinjauan Yuridis Terhadap Larangan Mekanisme Ultra Petita Pada Putusan
Perkara Oleh Mahkamah Konstitusi” Tesis Universitas Sebelas Maret,
Abdullah Fikri,“Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi Dalam Perspektif Fiqh
Siyasah” Skripsi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
.
https://news.detik.com/berita/ /mk-cabut-uu-komisi-kebenaran-dan-
rekonsiliasi.htm akses maret
https://news.detik.com/berita/ /mk-cabut-uu-komisi-kebenaran-dan
rekonsiliasi.htm akses maret
CURICULUM VITAE
A. Identitas Diri
Nama : Adra Nurjanah
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat/Tgl. Lahir : Desa Bahar Mulya, September
Nim : SPI
Alamat
. Alamat Asal : Ds. Bahar Mulya Kec. Bahar Utara, Muaro Jambi
. Alamat Sekarang : Perumahan Indo Guna Asri
No. Telp/Hp :
Nama Ayah : Muhammad Usman
Nama Ibu : Heswati Nandra
B. Riwayat Pendidikan
Pendidikan Formal
a. SD/MI, Tahun Lulusan : SD N Muaro Jambi,
b. SMP/MTS, Tahun Lulus : SMP N Muaro Jambi,
c. SMA/MA, Tahun Lulus : SMA SWASTA FERDY FERRY PUTRA
KOTA JAMBI,