ultra petita dalam putusan hakim menurut hukum...
TRANSCRIPT
i
ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT
HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM ISLAM
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh:
Ahmad Zaelani
NIM 11140430000026
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 H
ii
ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT
HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM ISLAM
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh:
Ahmad Zaelani
NIM 11140430000026
Di Bawah Bimbingan
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Alfitra, SH. M.Hum. Ainul Syamsu, SH. MH.
NIP. 197202032007011034 NIP.
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/ 2019 M
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM
MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM ISLAM “ Telah
diajukan dalam sidang manaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi
Perbandingan Mazhab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada
12 Februari 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Program Strata satu (S-1) pada Program Studi
Perbandingan Mazhab.
PANITIA UJIAN MUNAQASAH
1. Ketua : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si (.................................)
NIP. 1974121320003121002
2. Sekretaris : Hidayatulloh. MH. (.................................)
NIP. 198708302018011002
3. Pembimbing I : Dr. Alfitra, SH. M.Hum. (.................................)
NIP. 197202032007011034
4. Pembimbing II : Ainul Syamsu, SH. MH (.................................)
NUP. 9920113021
5. Penguji I : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si (.................................)
NIP. 1974121320003121002
6. Penguji II : Mara Sutan Rambe, SHI. MH (.................................)
NIDN. 2124058501
Jakarta, 12 februari 2019
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr.Ahmad Tholabi Kharlie, SH. MH.MA
NIP. 197608s072003121001
v
ABSTRAK
Ahmad Zaelani. NIM 11140430000026. ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN
HAKIM MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM ISLAM.
Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan Hukum,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1440 H/2019 M.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi faktor
diterapkannya Ultra Petita dalam putusan pidana oleh hakim dan untuk
mengetahui pandangan hukum Islam mengenai Ultra Petita. Dalam menjalankan
tugasnya hakim haruslah berlaku adil melalui sebuah putusannya karena seorang
hakim telah disumpah menurut agama dan Negara, rujukan dari seorang hakim
memutus sebuah perkara dalam hukum pidana adalah surat dakwaan jaksa
penuntut umum dan sudah seharusnya hakim memutus sebuah perkara bersumber
dari dakwaan jaksa penuntut umum dan tidak boleh memutus nmelebihi batas
ancaman maksimal pidana agar tidak melanggar asas legalitas hukum pidana.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan
metode pengumpulan studi pustaka (library research) dengan melakukan
pengkajian terhadap norma-norma hukum, buku-buku, dan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Dengan obyek putusan No.
17/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST dan putusan No. 394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam putusan Nomor
17/Pid.Sus/2014/PN/JKT.PST hakim memutus di luar dari apa yang didakwakan
jaksa penuntut umum dirasa kurang memenuhi unsur keadilan bagi terdakwa
karena terdakwa di putus oleh hakim dengan pasal yang tidak di dakwakan oleh
jaksa penuntut umum, sedangkan pada putusan Nomor 394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn
hakim memutus melebihi batas maksimal ancaman pidana pada Pasal 45 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga dalam putusan ini hakim kurang memperhatikan asas legalitas
dalam hukum pidana, serta dalam pandangan hukum Islam hakim boleh
menggunakan ijtihadnya untuk menemukan suatu kebenaran dalam sebuah
perkara yang menurut hakim keputusannya merupakan suatu kebenaran.
Kata kunci : Ultra Petita, Putusan Hakim, Hukum Pidana, Hukum Islam
Di bawah bimbingan Pembimbing I Dr. Alfitra, SH, M.Hum dan Pembimbing II
Ainul Syamsu, SH, MH
Daftar Pustaka : 1964 s.d 2016
vi
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat, hidayah, serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliah ke zaman ilmiah seperti
sekarang ini.
Selanjutnya, penulis akan menyampaikan rasa terimakasih tak terhingga
kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik
berupa moril maupun materil. Karena tanpa bantuan dan dukungannya, penulis
tidak akan menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis secara
khusus akan menyampaikan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH,MH,MA, Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, Ketua Program Studi Perbandingan
Mazhab dan bapak Hidayatulloh, MH, Sekretaris Program Studi Perbandingan
Mazhab.
3. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A, dosen penasehat akademik penulis.
4. Bapak Dr. Alfitra, SH.M.Hum dan Bapak Ainul Syamsu, SH. MH, dosen
pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu serta memberikan arahan,
saran dan ilmunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan
memberikan ilmu yang tak ternilai harganya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Adhar dan Ibunda Marfuah atas
pengorbanan dalam mendidik, mengasuh dan berjuang sampai ke titik ini dan
tak pernah lupa untuk mendoakan, memberikan arahan serta dukungan kepada
penulis. Juga kepada kakak Mega Sari dan adik Siti Fatikha yang telah
memberikan doa serta dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
vii
ini. Salam hormat dan rindu untuk mereka semoga selalu diberikan
keselamatan, kesehatan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT.
7. Fitria Heryani Silvia S.Pd teman terbaik penulis yang telah banyak
memberikan pesan dan kesan terhadap penulis. Semoga Allah SWT tetap
memberikan kesehatan kepadanya.
8. Sahabat dan teman terbaik penulis yang telah banyak membantu dalam hal
apapun selama di ciputat, ananda Reno Tri Ramadhan, Fahri Muhammad,
Murtadhi Achmad, Abdullah Mahfud, Abdul Harist, Budi Kurniawan, Ari Al
Maulana, M. Angga Yuda, Khalil Gibran, Fahmi Fajrianto, Deni Alamsyah,
Sahrul Fauzi, dan Ahmad Tio Handini S.H. Semoga Allah selalu memberikan
kesehatan dan keselamatan. Salam hormat penulis dan ucapan terimakasih
sebanyak-banyak nya yang telah banyak membantu penulis selama 4,5 tahun
berada di ciputat
Akhir kata semoga Allah SWT membalas semua kebaikan atas bantuan
yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kebaikan kalian menjadi berkah dan
amal jariyah untuk kita semua. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
penulis serta pembaca pada umumnya. Aamiin.
Jakarta, 20 Januari 2019
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ..................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv
ABSTRAK .......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 5
D. Tinjauan Review Terdahulu ......................................................... 5
E. Metode Penelitian ........................................................................ 8
F. Sistematika Penulisan .................................................................. 11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN ............. 13
A. Pengertian kekuasaan kehakiman ................................................ 13
B. Asas Kekuasaan Kehakiman Merdeka ........................................ 14
C. Kekuasaan Kehakiman dan Hukum Pidana Indonesia dan Hukum
Islam ............................................................................................ 18
BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP ULTRA PETITA ......................... 31
A. Pengertian Ultra Petita ................................................................ 31
B. Putusan Ultra Petita Hubungan dengan Asas Legalitas dalam Pasal
1 ayat (1) KUHP .......................................................................... 34
C. Putusan Ultra Petita Hubungannya dengan Asas Kepastian Hukum
dan Keadilan dalam Penjatuhan Pidana ...................................... 38
viii
BAB IV ANALISA PUTUSAN ULTRA PETITA DALAM HUKUM PIDANA
INDONESIA DAN HUKUM ISLAM..................................................44
A. Bentuk Putusan Ultra Petita pada Peradilan Pidana ................... 44
B. Pandangan Hukum Islam Mengenai Putusan Ultra Petita .......... 54
BAB V PENUTUP ................................................................................................... 60
A. Kesimpulan .................................................................................. 60
B. Saran ............................................................................................ 61
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 62
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rasulullah saw adalah hakim yang pertama, setelah Rasulullah bangkit
menyampaikan risalah, beliau pun bertindak sebagai hakim. Dengan demikian
dapatlah kita menetapkan bahwa hakim pertama dalam Islam adalah Rasulullah
sendiri.1 Karena setelah Islam datang dan Allah memerintahkan nabi Muhammad
SAW agar menyampaikan risalah, maka ia memerintahkan juga agar ia
menyelesaikan segala sengketa yang timbul.2 Dengan firman-Nya yang artinya:
“Maka demi Tuhanmu, mereka itu (hakekatnya) tidak beriman, sehingga
mereka mau menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.
(QS. An-nisaa 4:64)
Dalam menjalankan tugas nya seorang hakim yang telah disumpah menurut
agama dan Negara, keadilan adalah unsur yang harus dikedepankan oleh seorang
hakim. Karena unsur keadilan merupakan sarana terpenting untuk mencapai cita-
cita dan tujuan yang telah diatur oleh undang-undang.
Tentu produk hukum seorang hakim adalah sebuah putusan-putusan di
dalam Peradilan. Hakim merupakan wakil tuhan di dunia untuk menentukan salah
atau tidaknya perbuatan manusia di dunia. Asas kekuasaan kehakiman di
Indonesia diatur oleh undang-undang nomor 48 tahun 2009 pasal 1 berbunyi :
“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
pancasila dan undang-undang dasar Negara republik indonesia tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara hukum republik indonesia”.
1 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, PT. Alma’arif,
Yogyakarta, 1964, h.34 2 Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam, alih bahasa oleh Imron A.M,
Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1993, h.34
2
Dengan adanya jaminan Undang-Undang tersebut, sudah seharusnya hakim
menjalankan tugasnya dalam menegakkan hukum dan keadilan bebas dari segala
tekanan dari pihak mana pun juga, sehingga dapat memberikan putusan yang se
adil-adilnya.3
Hakim peradilan umum dalam proses pemeriksaan di persidangan
berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam konteks sistem peradilan pidana
pengadilan berfungsi untuk menguji keabsahan tindakan penyidikan, penuntutan
serta melakukan pengawasan terhadap terpidana yang diputus bersalah4 Ketika
hakim memutus suatu perkara, hukum dijadikan sebagai sarana sedangkan
keadilan adalah tujuannya.5
Bila melihat secara tegas dan kaku tugas seorang hakim dalam Undang-
Undang Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP) pasal 191 ayat (1): “Jika
pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka terdakwa di putus bebas”.6
Kemudian disebutkan dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP Musyawarah
hakim dalam putusan didasarkan atas dua hal yakni surat dakwaan dan segala
sesuatu yang terbukti didalam persidangan. Dalam melakukan dakwaan di dalam
persidangan sering kita menemukan Jaksa Penuntut Umum salah dalam
melakukan pasal dakwaan ataupun salah dalam mendakwa terhadap terdakwa di
pengadilan. Sehingga sering kita temukan Putusan hakim dalam peradilan pidana
di luar dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum bisa lebih tinggi atau lebih rendah dari
dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
3 Rimdan,Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi,Jakarta.,Kencana Prenada
Media Group, 2012, h.50. 4 Muhammad Ainul Syamsu,Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana,
Jakarta, kencana, 2016, h.1-2 5 Zulkarnain, Praktik Peradilan Pidana, malang, setara pres, 2013, h.4-5
6 LIhat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
3
Jika kita melihat KUHAP Pasal 191 ayat (1) secara tegas dan kaku putusan
tersebut merupakan cacat Hukum, merupakan masalah dan menjadi sebuah
perbincangan apakah Putusan Hakim seperti itu dibenarkan atau tidak..Kenyataan
tersebut kemudian melahirkan putusan Ultra Petita, dimana Hakim menjatuhkan
Putusan diluar dari apa yang telah didakwakan oleh jaksa penuntut umum, Ultra
Petita dalam hukum formil mengandung pengertian penjatuhan putusan atas
perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari pada yang diminta. Ultra
Petita menurut I.P.M. Ranuhandoko adalah melebihi yang diminta.7 Terdakwa
hanya dapat dipidana jika terbukti telah melakukan delik yang disebut dalam
dakwaan. Jika terdakwa terbukti melakukan delik tetapi tidak disebut dalam
dakwaan, maka ia tidak dapat dipidana.8
Seharusnya terdakwa dibebaskan oleh hakim, ini sejalan dengan apa yang
dikatakan pasal 191 ayat (1) Undang-Undang No. 8 tentang hukum acara Pidana
selanjutnya disebut KUHAP: “ Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil
pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa yang didakwakan kepadanya tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.
Hakim pada prinsipnya tidak dapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa
apabila perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh Jaksa Penuntut umum dalam
surat dakwaannya.9 sudah seharusnya bahwa hakim dalam memutus Putusan
harus memperhatikan Dakwaan Jaksa Penuntut umum.Seperti yang terjadi di
dalam Putusan no.17/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST hakim yang memberi
putusan di luar dari dakwaan jaksa penuntut umum dan pada Putusan Pengadilan
Tinggi Medan Nomor 394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn dimana hakim memutus
melebihi maksimal ancaman pidana. Putusan tersebut bertentangan dengan pasal
191 ayat (1) dan melanggar dari asas-asas hukum pidana. Sehingga ini ada
penyimpan terhadap Undang-Undang dan cacat Hukum.
7 I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum, cetakan kedua (Jakarta: Sinar Grafika,2000).
h.522 8 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, h.168
9 Lilik mulyadi, Hukum Acara Pidana, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2007, h.39
4
Berdasarkan uraian di atas maka penulis merasa tertarik untuk menganalisis
lebih dalam melalui sebuah karya tulis yang berbentuk skripsi dengan judul
“ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM
PIDANA INDONESIA DAN HUKUM ISLAM”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi beberapa
masalah dalam peneltian ini, di antaranya:
a. Ketentuan Hukum Pidana terkait Ultra Petita
b. Ketentuan Hukum Pidana Hakim dalam memutus perkara di luar
dakwaan Jaksa Penuntut Umum
c. Ketentuan Hakim memutus melebihi batas maksimal ancaman
Pidana
d. Penjelasan Ultra Petita dalam Hukum Pidana
e. Pandangan hukum Islam tentang Utra Petita
f. Pertimbangan Hakim memasukkan Ultra Petita pada putusan
Pidana
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini, peneliti
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih
dan terarah sesuai dengan yang diharapkan peneliti.
Di sini Peneliti akan membahas apa pertimbangan hakim
memasukkan Ultra Petita dalam putusan pidana dan bagaimana
pandangan hukum Islam mengenai Ultra Petita pada Putusan Nomor
17/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST dan Putusan Nomor
394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn.
3. Perumusan Masalah
5
Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah dan
pembatasan masalah, maka peneliti merumuskan masalah utama yang
menjadi fokus permasalahan, dapat di uraikan perumusan masalah
sebagai berikut:
a. Apa pertimbangan hakim memasukan Ultra Petita dalam
putusan pidana?
b. Bagaimana Pandangan Hukum Islam mengenai masalah
tentang Utra Petita?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian yang ingin penulis capai tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim memasukan Ultra Petita
dalam putusan pidana
b. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam mengenai masalah
ultra petita.
2. Manfaat penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sekurang-
kurangnya untuk:
a. Kegunaan teoritis, sebagai sumbangsih ilmu pengetahuan yang
diharapkan memberikan kontribusi pemikiran pada dunia akademik
dan hukum di masyarakat.
b. Kegunaan praktis, diharapkan berguna untuk menjadi acuan bagi
penerapan suatu ilmu dilapangan atau masyarakat.
D. Tinjuan review Terdahulu
Sejauh penelusuran yang sudah penulis lakukan ada beberapa
skripsi yang membahas berkaitan dengan Ultra Petitra Di antaranya:
1. Skripsi oleh Rizka Meisa, Fakultas Hukum Universitas Jember Tahun 2015;
yang berjudul “Ultra Petita Oleh Hakim dalam Penegakan Hukum
6
Pidana di Indonesia. Dengan rumusan masalah dari penelitian ini adalah
diperbolehkan atau tidak hakim membuat Putusan Ultra Petita berdasarkan
Ketentuan KUHAP dan UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan bagaimana Putusan Ultra Petita dalam sistem Peradilan
Pidana. Metode penelitiannya adalah metode penelitian yuridis normatif,
yaitu suatu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-
kaidah atau norma dalam hukum positif yang berlaku. Menggunakan
pendekatan kasus yakni: Putusan Mahkamah Agung Nomor
1626/Pid.Sus/2012, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1625
K/Pid.Sus/2012, Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.sus/2011,
Putusan Mahkamah Agung Nomor 675 K/Pid/1987, Putusan Mahkamah
Agung Nomor 818 K/Pid/1984. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa
Hakim dalam Peradilan Pidana diperbolehkan membuat Putusan Ultra
Petita hal ini didasarkan pada prinsip kebebasan hakim yang ada di dalam
pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan
Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Meskipun sesungguhnya jika dilihat dalam ketentuan KUHAP secara
legalitas ini melanggar Pasal 191 ayat (1) KUHAP namun di lain pihak
Putusan ini juga menegakan asas cepat, sederhana dan biaya ringan, selain
itu yurisprudensi dijadikan sebagai salah satu pertimbangan Hakim dalam
membuat Putusan Ultra Petita.
2. Skripsi oleh Nofrianto, Fakultas Hukum Universitas Andalas Tahun 2011;
menulis dengan judul “Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Nomor
003/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terhadap
Undang-Undang Dasar 1945”. Rumusan masalah dari penelitian ini
bagaimana pertimbangan hukum hakim Mahkamah Konstitusi dalam
memberikan Putusan pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dan Bagaimana Implikasi Hukum terhadap putusan
Mahkamah Konstitusi perkara No.003/PUU-IV/2006 dalam pengujian
7
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kesimpulan
dari penelitian ini Ultra Petita bukan hanya sekedar keinginan hakim belaka
namun lebih kepada sebuah kebutuhan hukum. Ultra Petita sebagai jawaban
hakim untuk mencari kekosongan hukum yang timbul akibat adanya
peraturan yang mengatur. Hak dasar warga Negara akan lebih terlindungi
dengan adanya putusan tersebut lantaran menjamin rasa keadilan. Pengujian
peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting karena pada
dasarnya memang tidak ada suatu peraturan perundang-undangan yang
dibuat dengan sempurna.
3. Skripsi oleh Abdullah fikri, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2012; dengan judul “Putusan
Ultra Petita Mahkamah Konstitusi Dalam Perspektif Fiqh Siyasah”.
Dengan rumusan masalah adalah bagaimana pandangan Fiqh Siyasah
terhadap putusan Ultra Petita mahkamah konstitusi. Kesimpulan dari
penelitian ini bahwa Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi,
diperbolehkan dalam perspektif Fiqh Siyasah, selama putusan tersebut
mengandung kemaslahatan umum sebagai tujuan Fiqh Siyasah dan dapat
diterima oleh mayoritas masyarakat sebagai tolok ukur tercapainya
kemaslahatan.
Berdasarkan kajian terdahulu di atas, belum ditemukan karya ilmiah
yang secara khusus membahas Ultra Petita dalam putusan hakim menurut
hukum pidana Indonesia dan hukum Islam, walaupun ada yang membahas
Ultra Petita dalam sistem peradilan pidana namun rumusan masalah dan
studi kasus berbeda dengan penelitian ini, umumnya juga para peneliti
mengkaji masalah Ultra Petita dalam ruang lingkup Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena itu, peneliti bermaksud mengisi kekosongan penelitian tentang
Putusan Ultra Petita, khususnya Ultra Petita dalam Putusan Hakim menurut
Pukum Pidana Indonesia dan Hukum Islam.
8
E. Metode Penelitian
Dalam menyusun penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan
beberapa metode, antara lain:
1. Jenis Peneltian
Dalam menghimpun bahan yang dijadikan skripsi dalam
penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian yuridis normatif
(penelitian hukum normatif) yaitu penelitian hukum yang dilakukan
dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.10
2. Pendekatan Penelitian
Terkait skripsi ini penulis menggunakan beberapa pendekatan.
Melalui pendekatan tersebut penulis akan mendapatkan informasi dan
berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari
jawabannya. Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah:
a. Pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan ini
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.11
b. Pendekatan kasus (case approach), pendekatan ini dilakukan
dengan cara melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan
dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Yang menjadi kajian
pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau
reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada
suatu putusan.12
10 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,
Jakarta, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010. h.38 11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2011, h.93 12
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2011, h.94
9
c. Pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan
konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Dengan
mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam
ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang akan
melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum,
dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.
Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun
suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang
dihadapi.13
3. Sumber Data
Sumber data adalah segala sesuatu yang menjadi sumber dan
rujukan penelitian. Adapun sumber data dalam penelitian ini peneliti
bagi ke dalam dua jenis data, yaitu:
a. Sumber primer
Data primer yaitu data yang didapat dari bahan-bahan yang
diperlukan. Dan disebut juga bahan-bahan hukum yang
mengikat.14
bersifat utama dan penting yang memunginkan untuk
mendapatkan sejumlah informasi berkaitan dengan penelitian,
yaitu:
1) Salinan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat putusan
nomor: 17/PID.SUS/TPK/2014/PN/JKT.PST.
2) Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor
394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn.
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana atau yang disebut Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2011, h.95 14
Soejono Sukanto dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: IND
HILLCO, 2001),h.13
10
4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman.
5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
b. Sumber Sekunder
Yaitu bahan hukum yang menjelaskan tentang bahan hukum
primer, yaitu data pendukung data pelengkap, adapun bahan
hukum sekunder peneliti gunakan adalah buku-buku hukum,
jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus hukum, termasuk data-data
atau dokumen-dokumen dari internet yang berkaitan dengan
pembahasan dalam penelitian ini.15
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan dan studi
pustaka (library research). Studi pustaka dilakukan guna
mengklarifikasinya dengan masalah yang dikaji. Adapun bahan
hukum, baik bahan hukum primer, maupun sekunder diuraikan dan
di hubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan pada penelitian
yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan.
5. Teknik Pengolahan Data
Cara mengolahnya dengan mengumpulkan data-data yang
diperoleh dari pendekatan yang dilakukan oleh peneliti yaitu
pendekatan perundang-undangan. Dan kemudian dianalisis untuk
mendapatkan titik terang dan jawaban terhadap permasalahan yang
dikaji.
15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2011, h.155
11
6. Teknik analisa data
Setelah melalui beberapa proses pengumpulan data yang
dilakukan dengan macam-macam metode yang dipilih, maka data
yang sudah ada akan diolah dan dianalisa agar mendapatkan hasil
yang bermanfaat dari penelitian ini. Pengolahan data yang dilakukan
dengan mengadakan studi dengan teori dan asas dalam hukum
pidana dan hukum Islam.
7. Pedoman Penulisan Skripsi
Dalam penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku
pedoman penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
F. Sistematika Penulisan
Pedoman penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah berdasarkan buku pedoman panduan penyusunan skripsi dan karya
ilmiah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2017, dan untuk menjadikan penelitian ini
menjadi penelitian yang terarah dan sistematis maka pembahasan skripsi ini
dilakukan dan ditulis melalui tiga tahap penulisan yaitu pendahuluan, isi dan
penutup. Dari bagian-bagian tersebut terdiri dari bab-bab dan di dalam bab
terdapat sub-sub bab. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Berisikan pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan (review) kajian
terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEKUSAAN KEHAKIMAN
Bab ini, akan diuraikan menjadi tiga pokok pembahasan yaitu
pembahasan terkait pengertian Kekuasaan Kehakiman, Asas
Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kekuasaan Kehakiman
dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Islam.
BAB III TINJAUAN TERHADAP ULTRA PETITA
Bab ini berisikan tentang pengertian Ultra Petita, Putusan Ultra
Petita hubungannya dengan Asas Legalitas Dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP dan Putusan Ultra Petita hubungannya dengan Asas
Kepastian Hukum dan Keadilan Dalam Penjatuhan Pidana.
BAB IV ANALISA PUTUSAN ULTRA PETITA DALAM HUKUM
PIDANA INDONESIA DAN HUKUM ISLAM
Bab ini mencoba menguraikan tentang bentuk Putusan Ultra Petita
pada Peradilan Pidana antara lain Putusan Hakim menggunakan
Pasal di luar dakwaan jaksa penuntut umum, Putusan hakim yang
melebihi batas maksimal ancaman pidana dan pandangan hukum
Islam mengenai putusan Ultra Petita.
BAB V PENUTUP
Pada bagian akhir penulisan skripsi ini terdiri dari kesimpulan
terhadap penilitian ini serta berisikan saran terhadap penelitian
yang berjudul ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM
TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT
HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM ISLAM.
13
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN
A. Pengertian Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk
mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa
sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang
yang mempunyai Kekuasaan itu.16
Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.17
Pengertian seperti tersebut merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal
24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
setelah amandemen ketiga tahun 2001, berbunyi “Kekuasaan Kehakiman
merupakan Kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan”.18
Definisi yang disebutkan di atas bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka yang di amanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 untuk menyelenggarakan peradilan agar terciptanya suatu
penegakkan hukum serta keadilan untuk masyarakat. Pengertian kekuasaan
Negara yang merdeka, dimaksudkan bahwa kekuasaan kehakiman di samping
kekuasaan pemerintah dan kekuasaan perundang-undangan mempunyai
kekuasaan yang bebas.19
Dengan kata lain bebas dari intervensi kekuasaan yang
lainnya.
16
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Penerbit Gramedia, 2001 17
Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. 18
Lihat Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 19 K Wantjik Saleh, Kekuasaan dan Keadilan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1977, h.17
14
Bebas yang dimaksud bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat
dilaksanakan dengan sebebas-bebasnya tanpa rambu-rambu pengawasan, oleh
karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk
berperkara yang baik (general principles of proper justice), dan peraturan-
peraturan yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan
di ajukannya upaya hukum.20
Jadi dalam pelaksaannya, penegakkan prinsip
kebasan dalam kekuasaan kehakiman harus tetap berada di jalur yang benar
sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 serta hukum yang berlaku. Perlu ditekankan
kembali bahwa hakim dalam kekuasaan kehakiman untuk menjalankan
tugasnyanya diberikan kekuasaan yang bebas namun tidak serta merta dalam
putusannya, hakim bebas memutus seorang terdakwa sesuai keinginannya, akan
tetapi bebas yang dimaksud tetap berada pada koridor yang telah di amanatkan
oleh pancasila, UUD 1945, serta hukum yang berlaku agar tercipta suatu keadilan
dalam putusannya.
B. Asas Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka
Landasan hukum konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah Pasal
24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen, yang menegaskan
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”21
Lebih lanjut diikuti oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman sebagai payung hukum seluruh badan peradilan di
Indonesia, pada Pasal 1 ayat (1) kembali ditegaskan:
“Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan Negara yang Merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara hukum Republik
Indonesia”22
20 Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Malang, Setara Press, 2014,
h.131 21
Lihat Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen 22 Lihat lebih lanjut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
15
Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka adalah kebebasan pengadilan yang
mengandung di dalamnya kebebasan dalam menjalankan tugas peradilannya.23
Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal.
Ia menjadi ciri pula suatu Negara hukum. The Universal Declaration of Human
Right, pada Pasal 10 mengatakan sebagai berikut.
Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an
independent and impartial tribunal in the determination of his rights and
obligation and of any criminal charge against him.
(Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya
di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak
memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya
dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya).
Sehubungan dengan itu, Pasal 8 berbunyi sebagai berikut.
Everyone has the right to an effective remedy by the competent national
tribunals for act violating the fundamental rights granted him by the
constitution or by law.
(Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim
nasional yang kuasa terhadap tindakan perkosaan hak-hak dasar, yang
diberikan kepadanya oleh Undang-Undang Dasar Negara atau Undang-
Undang).
Dapat diartikan juga bahwa Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka ialah
kewenangan seorang hakim yang diatur oleh konstitusi dalam mengadili dan
memutus perkara di dalam persidangan itu harus bebas dari pengaruh pihak
23
M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana Cepat dan Biaya Ringan Menuju Keadilan
Restoratif, Bandung, Penerbit P.T Alumni, 2012, h.132
16
manapun. Ditemukan beberapa asas-asas Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka,
di antaranya:
1. Asas Kebebasan Hakim
Asas Kebebasan Hakim di atur dalam Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 24 ayat (1), berbunyi “Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” dan diatur pula dalam
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, berbunyi
”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia, kata kebebasan
digunakan terhadap lembaga peradilan (kekuasaan kehakiman yang merdeka),
maupun terhadap hakim (kebebasan hakim) sebagai aparatur inti kekuasaan
kehakiman. Istilah kebebasan hakim sebagai suatu prinsip yang telah
ditancapkan konstitusi, ternyata dalam tataran implementasi personal maupun
sosial telah banyak menimbulkan berbagai macam penafsiran. Ketika kata
kebebasan digabungkan dengan kata hakim, yang membentuk kata majemuk
“kebebasan hakim”, maka penafsirannya bermacam-macam. Ada yang
menafsirkan bahwa kebebasan hakim merupakan kebebasan yang tidak
bersifat mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan
keadilan yang harus didasarkan (terikat kepada dasar Pancasila).24
Oleh karena
itu kebebasan hakim tidak bersifat mutlak, maka kebebasan hakim tidak boleh
terlepas dari unsur tanggung jawab. Kebebasan hakim bukanlah kebebasan
yang mutlak dan tanpa batas yang cenderung menjurus kepada kesewenang-
wenangan.25
24
Miriam Budiarto, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta, Sinar
Harapan, 1991, h.1 25
Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta, 1999, h.94
17
Dengan demikan sudah sepatutnya dalam menjalankan tugas nya
hakim haruslah bebas dari semua tekanan pihak manapun, agar tercipta
putusan hakim yang adil se adil-adilnya. Akan tetapi tentu ada batasan-batasan
kebebasan hakim dalam memutus suatu perkara dalam persidangan, dibatasi
oleh Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang.
2. Asas Peradilan Dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”
Dasar hukum asas ini adalah pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945
setelah amandemen, yang berbunyi,
(1) “Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa”. (2) “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”.26
Kemudian lebih lanjut diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009, “Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan
ketuhanan yang Maha Esa”. 27
Asas ini berlaku untuk semua lingkungan
badan peradilan.
Irah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”
sebagai kekuatan eksekutorial, dengan adanya irah tersebut maka dalam setiap
putusan atau penetapan badan peradilan mempunyai kekuatan untuk
dilaksanakan atau eksekusi. tanggung jawab hakim yang paling utama adalah
kepada Tuhan yang Maha Esa tergambar dalam irah-irah “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” bukan sekedar penghias pada setiap
putusan, namun merupakan esensi dari pertanggung jawaban hakim kepada
Tuhan karena hubungan hakim sebagai manusia dengan Tuhan bersifat sangat
pribadi dan tidak mungkin diketahui orang lain.
Proses mengadili bukan hanya berkaitan dengan penalaran dan olah
pikir secara ilmiah, namun memerlukan sentuhan perasaan dan hati nurani
26
Lihat lebih lanjut pasal 29 ayat (1)(2) Undang-Undang Dasar 1945 setelah
amandemen 27
Lihat pasal 2 ayat (1) Undang-Undang nomor 48 Tahun 2009
18
melalui proses kontemplasi yaitu pada saat menentukan keyakinan dalam
dirinya dan menentukan besaran pidana yang setimpal dengan dengan
perbuatan si terdakwa. Hati nurani akan menjadi ukuran dalam menjatuhkan
berat ringannya pidana, sehingga walaupun dalam beberapa hal hakim harus
senantiasa menghindari sifat dasar manusiawinya seperti perasaan simpati dan
sentimental, namun dia juga tidak boleh kehilangan jati dirinya sebagai
manusia yang memiliki perasaan dan hati nurani.28
3. Asas Objektifitas
Penyelesaian perkara secara objektif dilandasi oleh pasal 4 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menegaskan “Pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang” artinya, hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara yang di ajukan kepadanya haruslah objektif
dan tidak boleh memihak kepada pihak tertentu.29
Sebagai bentuk upaya untuk
mewujudkan objektifitas hakim dalam mengadili, maka didalam undang-
undang nomor 48 Tahun 2009 telah diatur bahwa pihak-pihak yang diadili
berhak ingkar atas hakim-hakim yang mengadilinya, akan tetapi haruslah
disertai dengan alasan-alasan terhadap penolakan tersebut. 30
Lebih lanjut alasan-alasan yang diajukan setidaknya menyangkut
karena terikat hubungan sedarah atau hubungan suami istri atau istri meskipun
telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, atau
panitera.31
Asas Objektifitas dalam proses persidangan di pengadilan adalah
sebuah keharusan, memperlakukan semua pihak dengan sama di depan hukum
tidak memihak terhadap para pihak yang berperkara dipengadilan. Karena
penyelesaian konflik atau sengketa akan baik dan dapat diterima oleh semua
pihak jika dilakukan secara objektif (tidak memihak).
28 Yuhenly Tasidjawa, Kajian Yuridis Tentang Kemandirian Kekuasaan Kehakiman
Dalam Rangka Penegakan Hukum (Law Enforcement, Jurnal Lex administratum, Volume.
III/No.6/Ags/2015 29
Lihat lebih lanjut Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 30
Lihat Pasa 17 Ayat (1) (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 31
Lihat Lebih Lanjut Pasal 17 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
19
C. Kekuasaan Kehakiman dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum
Islam
1. Kekuasaan Kehakiman dalam Hukum Pidana Indonesia
Kekuasaan Kehakiman dalam Hukum Pidana Indonesia, sudah
pasti membahas tentang hakim. Yang dimaksud hakim dalam hukum
pidana disebutkan oleh KUHAP pasal 1 butir 8 berbunyi ”hakim adalah
pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang
untuk mengadili”. Selain KUHAP pengertian hakim menurut Undang-
Undang Nomor 48 Tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 1 ayat (5)
disebutkan bahwa:
“Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan
hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan
peradilan tersebut”.
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, seperti
yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu bahwa:
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberentikan
sebagai hakim ditetapkan dengan Undang-Undang”.
Fungsi kekuasaan kehakiman diatur dalam pasal 1 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 yang berbunyi :
“ Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
20
keadailan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara
hukum Republik Indonesia”.
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam hal ini mengandung
arti bahwa Kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak
kekuasaan ekstra yudisial, kecuali sebagaimana yang disebut dalam
Undang Undang Dasar 1945. Kebebasan dalam pelaksanaan wewenang
yudisial sifatnya tidak mutlak, karena tugas dari seoramg hakim adalah
untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga
putusannya mencerminkan rasa keadilan untuk rakyat Indonesia. Masalah
kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah bagaimana hakim
dalam mengikuti yurisprudensi, kebebasan hakim dalam menemukan
hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum.32
Untuk menemukan
hukum, hakim dapat bercermin pada yurisprudensi dan pendapat ahli
hukum.
Menurut Muchsin bahwa: 33
“Behubungan dengan kebebasan hakim ini, perlu pula dijelaskan
mengenal posisi hakim yang tidak memihak (Impartial Judge).
Istilah tidak memihak disini tidak diartikan secara harfiah, karena
dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak kepada yang
benar”.
Menurut Andi Hamzah bahwa:34
“Dalam hal ini, hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah
dalam pertimbangan dan penilaiannya. Hakim tidak memihak
berarti juga bahwa hakim itu tidak menjalankan perintah dari
pemerintah. Bahkan jika harus demikian, menurut hukum hakim
32
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2009,
h.104 33
Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Jakarta,
STIH IBLAM, 2004, h.20 34
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Bandung, Rineka cipta, 2008, h.91
21
dapat memutuskan menghukum pemerintah, misalnya tentang
keharusan ganti kerugiaan yang tercantum dalam KUHAP”.
Tonggak utama dari pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman adalah
hakim, seorang hakim sudah sepatutnya mempunyai integritas tinggi,
jujur, dan menguasai betul hukum secara sempurna karena, profesi hakim
merupakan profesi hukum. Maka hakim adalah orang yang tahu hukum
sehingga ia tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa
yang di ajukan kepadanya. Sesuai yang diatur dalam pasal 16 ayat (1) UU
No.35 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu
perkara yang di ajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Hakim berbeda dengan pejabat lain ia harus benar-benar menguasai
hukum, bukan sekedar mengandalkan kejujuran dan kemauan baiknya.
Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa.35
“Perbedaan antara pengadilan dan instasi-instasi lain ialah bahwa
pengadilan dalam melakukan tugasnya sehari-hari selalu secara
positif dan aktif memperhatikan dan melaksanakan macam-macam
peraturan hukum yang berlaku dalam suatu Negara. Di bidang
hukum pidana hakim bertugas menerapkan apa in concreto ada
oleh seorang terdakwa dilakukan suatu perbuatan melanggar
hukum pidana. Untuk menetapkan ini oleh hakim harus dinyatakan
secara tepat Hukum Pidana yang mana telah dilanggar”.
Di dalam UUD 1945 mengenai masalah kebebasan hakim atau
masalah kebebasan peradilan telah diatur secara tersurat dalam Pasal 24
dan Pasal 25. Hal ini sudah menjadi jaminan yang cukup kuat di
Indonoesia, dengan demikian kebebasan peradilan adalah merupakan suatu
35
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung,
Refika Aditama, 2003, h.26-27
22
syarat mutlak suatu Negara hukum. Sebab suatu pengadilan yang bebas
dapat memberikan pengadilan tanpa dipengaruhi oleh pihak manapun dan
dalam bentuk apapun.
Jadi, pengadilan menjatuhkan pidana apabila pengadilan
berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Terdakwa bukan
begitu saja dapat dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, tetapi harus
didukung sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dua alat bukti yang
sah tersebut harus dapat meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa dan
tindak pidana yang dilakukannya.
Menurut Hazewinkel Suringa, dalam kerangka kebebasan hakim
untuk menentukan berat ringannya hukuman, dimana ia dapat bergerak
dalam batas-batas maksimal hukuman ataupun memilih jenis hukuman
maka dapat ditegaskan disini bahwa alasan-alasan tersebut, baik ia jadikan
landasan untuk memberatkan hukuman ataupun untuk meringankannya,
tidak merupakan arti yang essentieel lagi. 36
Dalam batas-batas tersebut hakim pidana adalah bebas dalam
mencari hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa secara tepat, suatu
kebebasan tidak berarti kebebasan yang mutlak secara tidak terbatas,
menurut Gunter Warda, seorang hakim harus mempertimbangkan sifat dan
seriusnya delik yang dilakukan, keadaan yang meliputi perbuatan-
perbuatan yang dihadapkan kepadanya, ia harus melihan kepribadiaan dari
perilaku perbuatan, dengan umurnya, tingkat pendidikannya, apakah ia
pria atau wanita, lingkungannya, sifatnya sebagai bangsa dan hal-hal
lain.37
Dalam menerapkan peraturan pidana, hakim mempunyai
kebebasan:
a. Memilih beratnya pidana yang bergerak dari minimum ke maksimum
dalam perumusan delik yang bersangkutan.
36
Oemar Seno Adji, Hukum Hakim Pidana, Jakarta, Erlangga, 1984, h.8 37
Oemar Seno Adji, Hukum Hakim Pidana, Jakarta, Erlangga, 1984, h.8
23
b. Memilih pidana pokok mana yang patut dijatuhkan, apakah pidana
mati, pidana penjara, pidana kurungan (dalam rancangan KUHP adalah
pidana tutupan) ataukah pidana denda, sesuai dengan pertimbangan
berat ringannya perbuatan yang dilakukan.
c. Sebelum hakim tiba pada pemilihan seperti pada huruf a dan b, ia
dapat memilih apakah ia menjatuhkan hanya pidana bersyarat saja,
manakala ia memandang lebih bermanfaat bagi masyarakat dan
terpidana jika ia menjatuhkan pidana bersyarat saja. 38
d. Menurut Andi Hamzah, jika hakim menjatuhkan pidana harus dalam
rangka menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum
bagi seseorang. Jadi, bukan hanya balas dendam, rutinitas pekerjaan
maupun bersifat formalitas. Memang apabila kita kembali pada tujuan
hukum acara pidana, secara sederhana adalah untuk menemukan
kebenaran materiil. Bahkan sebenarnya tujuannya lebih luas yaitu
tujuan hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran
materiil itu hanya merupakan tujuan antara. Artinya ada tujuan akhir
yaitu yang menjadi tujuan seluruh tertib hukum Indonesia, dalam hal
itu mencapai suatu masyarakat yang tertib, tentram, damai, adil, dan
sejahtera (tata tentram karta rahaja).39
2. Kekuasaan Kehakiman dalam Hukum Islam
Kekuasaan Kehakiman dalam tradisi Islam, sering dipadankan
dengan istilah Sulthah Qadhaiyah, kata Sulthah berasal dari bahasa arab
yang berarti pemerintahan, Sedangkan Qadhaiyah adalah putusan,
peradilan, atau penyelesaian perselisihan. Jadi Sultha Qadhaiyah secara
estismologi adalah kekuasaan yang berkaitan dengan kehakiman atau
peradilan, sedangkan secara terminologi Sulthatun bi ma‟na al qudrah
yaitu:
38
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke
Reformasi, Jakarta, Pradnya Paramita, 1986, h.77 39
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, 2000,
h.89
24
“Kekuasaan atas sesuatu yang kokoh dari dari bentuk perbuatan
yang dilaksanakan atau bentuk perbuatan yang ditinggalkan”.
Maksudnya yaitu, Kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin
jalannya proses perundang-undangan sejak penyusunannya sampai
pelaksanaannya serta mengadili perkara perselisihan, baik yang
menyangkut perkara perdata maupun pidana. Dalam bahasa Indonesia,
istilah ini dikenal dengan Kekuasaan Yudikatif.40
Sebagaimana diketahui bahwa, salah satu prinsip dasar dari
pemerintahan/Negara yang ditekankan dalam Islam adalah Negara
Hukum. Sebagai Negara hukum, maka tegaknya keadilan merupakan suatu
kewajiban yang harus diwujudkan di dalam kehidupan bernegara. Al-
Quran mengatur masalah ini dalam surat An-Nisa (4); 58 yang artinya:
“Sesungguhnya Allah telah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. (Qs. An-Nissa (4): 58).41
Sedangkan untuk mewujudkan hukum yang adil, tidak mungkin
dapat dicapai tanpa adanya lembaga peradilan (yudikatif) yang berfungsi
untuk melaksanakan semua ketentuan hukum secara konsekuen.
Karenanya, kehadiran lembaga yudikatif dalam sistem kenegaraan Islam
merupakan sebuah keniscayaan dan menjadi syarat mutlak yang harus
dipenuhi.
40
Rahman Ritonga, Ensiklopedia Hukum Islam, sebagai dikutip Jaenal Arifin,
Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Fajar Interpratama,
2008, h.146 41
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, Jakarta, Magfiroh Pustaka,
h.87
25
Begitu urgennya Sulthah Qadhaiyyah (lembaga yudikatif), maka
tidak heran kalau sejak awal kehadiran Negara dalam khazanah sejarah
Islam, lembaga yudikatif ini telah ada dan berfungsi, meskipun masih
dalam bentuknya yang sangat sederhana. Kecuali itu, pada awalnya
kekuasaan yudikatif tersebut hanya dipegang oleh khalifah atau orang
yang mewakilinya untuk menjalankan kekuatan tersebut. Bahkan, pada
massa Nabi Muhammad SAW, Sulthah Qadhaiyyah beserta dua lembaga
lainnya pembuat hukum dan pelaksana hukum berada di tangan Nabi
sendiri.
Sejarah perkembangan Kekuasaan Kehakiman dalam Islam bisa
dilihat dari awal munculnya peradilan pada masa Rasulullah saw sampai
dengan pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada masa Rasulullah saw adalah
hakim yang pertama, setelah Rasulullah saw bangkit menyampaikan
risalah, beliau pun bertindak sebagai hakim. Dengan demikian dapatlah
kita menetapkan bahwa hakim pertama dalam Islam adalah Rasulullah
sendiri.42
Selain sebagai hakim Rasulullah pun memegang Kekuasaan
eksekutif, legislatif, dan yudikatif oleh karenanya segala urusan
kewenangan Sulthan Qadhaiyah bertumpu pada kekuasaan.
Pada masa dinasti Umayyah Kekuasaan Kehakiman menyebutnya
lembaga pelaksana hukum (Nizam al-Qadha‟), sedangkan pada masa
dinasti Abbasiyah menyebutnya lembaga yang bertugas memberi
penerangan dan pembinaan hukum (Nizham al-Mazhalim).43
Semua
lembaga tersebut bertujuan utuk menegakkan ketertiban umum baik pada
pemerintahan maupun masyarakat umum. Walaupun berbeda dalam
penggunaan istilah untuk Kekuasaan Kehakiman, tetapi masing-masing
badan yang dibawahnya sama-sama memiliki tiga badan peradilan sebagai
pelaksana Kekuasaan Kehakiman yaitu wilayah Al-qadha, wilayah al-
hisbah, dan wilayah Al-mazhakim. Berikut wilayah pembagiannya:
42
T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Yogyakarta,
PT Alma’arif, 1964, h.10 43
Lihat Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di
Indonesia, Jakarta, Fajar Interpratama, 2008, h.170
26
e. Al-Qadha
Qadha adalah lembaga yang bertugas memberi penerangan dan
pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan, dan
masalah wakaf. Secara spesifik, salam Madkur pengertian: lembaga
yang bertugas memutuskan sengketa antara dua pihak yang bertikai
dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dengan benar
dan adil tanpa memihak kepada salah satunya, menempatkan mereka
sama dihadapan hukum Allah.44
Lembaga ini dimulai sejak masa
Rasulullah SAW kemudian di sempurnakan pasa masa sesudahnya.
Badan Al-Qadha dipimpin oleh seorang Qadhi yang bertugas membuat
fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang di gali langsung dari Al-Quran,
sunnah rasul, Ijma‟, atau berdasarkan Ijtihad. Badan ini bebas dari
pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan hukum, sekalipun
terhadap penguasa. Dalam konteks Indonesia, Qadha ini dapat
disamakan dengan badan perradilan agama dan peradilan umum.45
Namun jika dilihat dari perspektif kontemporer, fungsi lembaga Qadhi
ini bisa dikatakan mirip dengan fungsi badan yudikatif dan legislatif,
dalam fungsi yudikatif Qadhi mengurusi kasus yang membutuhkan
penyelesaian secara hukum Islam dan mengadili perkara-perkara
perdata dan perkara pidana berdasarkan hukum Islam. Dengan
demikian dalam hukum Islam hakim tidak boleh terpengaruh oleh
siapapun dalam kedudukan nya sebagai hakim kecuali terhadap
kebenaran dan keadilan semata.
f. Al-Hisbah
Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman
dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah
44
Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha Fil Al-Islam, ter. Imron AM, Peradilan
Dalam Islam, Surabaya, PT Bina Ilmu , 1993 h.65 45
Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
Jakarta, Kencana, 2008, h.166-167
27
kezaliman. Pejabatnya disebut Al-Muhtasib yang bertugas untuk
menangani masalah kriminal, mengawasi hukum, mengatur ketertiban
umum dan masalah-masalah kriminal lainnya, mereka ditunjuk oleh
khalifah untuk mengawasi di pasar-pasar dan para pedagang agar tidak
terjadi kecurangan. Seorang Muhtasib memiliki hak untuk
melaksanakan hukuman apabila terjadi pelanggaran secara langsung
tanpa menunggu proses pengadilan. Dalam konteks sekarang, fungsi
Muhtasib sama dengan polisi pasar di zaman sekarang, hanya ada
perbedaannya, polisi tidak dapat menghukum terdakwa tanpa diajukan
ke pengadilan dahulu.46
g. Al-Madzalim
Qadhi Madzalim bertugas untuk menyelesaikan suatu perkara yang
tidak dapat diputuskan oleh Qadha dan Muhtasib, dengan cara
peninjauan kembali putusan tersebut atau dengan cara menyelesaikan
perkara banding. Badan ini memiliki Mahkamah Madzalim. Sidangnya
selalu diselenggarakan di masjid dan dihadiri oleh lima unsur sebagai
anggota sidang yaitu; Para pembela dan pembantu sebagai juri, para
hakim, para fuqaha, para khatib, dan para saksi. Wilayah Al-Mudzalim
adalah wilayah atau lembaga kehakiman tingkat tinggi yang pusatnya
dipegang khalifah, sedangkan untuk daerah, jabatan ini dipegang oleh
Qadhi Madzalim. Wilayat Al-Madzalim ini juga menangani tindakan
pejabat-pejabat Negara termasuk hakim yang berbuat sewenang-
wenang terhadap rakyat. Kalau dibandingkan dengan lembaga-
lembaga kehakiman sekarang, bisa dipadankan dengan Pengadilan
Tinggi atau Mahkamah Agung, sebagai tempat bagi orang yang kalah
dan tak puas yang mengajukan perkaranya kembali. Dengan adanya
Mahkamah Agung dan ketuanya ini, kekuasaan Negara di bidang
46
Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
Jakarta, Kencana, 2008, h.168
28
pengadilan bertambah lengkap. Dibawah Mahkamah Agung ada
pengadilan tinggi dan dibawahnya ada pengadilan Negara.47
h. Al- Mahkamah Al-Asykariyyah
Lembaga ini dibentuk pada masa dinasti Abbasiyah adalah diartikan
sebagai peradilan/mahkamah militer. Hakim dilembaga ini Qadhi Al-
asykar dan Al-jund. Posisi ini sudah ada sejak sultan salahudin Yusuf
bin Ayyub. Tugasnya adalah menghadiri sidang-sidang di Dar al-Adl,
terutama ketika persidangan tersebut menyangkut tentang anggota
tentara/militer.48
Sumber Hukum Kekuasaan Kehakiman dalam Islam menurut kitab
Fiqh, landasan yang harus digunakan sebagai putusan hakim adalah nash-
nash dan hukum yang pasti (qath‟i tsubut wa „adalah) dari Al-Quran dan
sunnah dan hukum-hukum yang disepakati oleh ulama (mujma „alaih),
atau hukum yang yang telah dikenal dalam agama secara dharuri (pasti).
Apabila perkara yang diajukan ke hadapan hakim itu terdapat hukum
dalam nash (qath‟i dalalah), atau terdapat ketentuan yang disepakati oleh
ulama atauy ketentuan hukumnya telah diketahui secara dharuri oleh kaum
muslimin, kemudian hakim memutuskan dengan keputusan yang
menyalahi hal tersebut maka putusan itu batal dan berhak dibatalkan.
Jadi pedoman bagi seorang hakim dalam hukum islam untuk
memutus suatu perkara di dalam fiqh islam yaitu nash-nash yang qath‟i
dalalah dan juga qath‟i tsubut nya, baik itu di dalam Al-quran maupun
hadist dan hukum-hukum yang sudah di ijma‟ kan, atau yang mudah
diketahui dari agama. Apabila hakim memutus perkara berlawanan dengan
ketetapan-ketetapan nash yang sudah diterangkan, maka putusannya harus
di batalkan.49
47
Zakaria Syafe’I, Negara dalam Perspektif Islam Fiqih Siyasah, Jakarta, Hartomo
Media Pustaka, 2012, h.126 48
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di
Indonesia, Jakarta, Kencana, 2008, h.169 49
T.M Hasby Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang, PT.
Pustaka Rizki Putra, 2001, h.62
29
Hakim haruslah berpedoman pada Alquran, hadist serta hukum
yang telah di sepakati oleh ulama. Namun apabila perkara yang sedang
dihadapi hakim putusannya tersebut tidak terdapat baik pada Alquran,
Hadist, ataupun Al-Ijma‟ atau tidak ada di dalam nash sama sekali, maka
haruslah memperhatikan pribadi dari hakim yang memutus perkara
tersebut, karena hukum yang diberikan itu mungkin berbeda-beda
dikarenakan hakim ada yang seorang mujtahid ada pula hakim yang
Muqallid yang tidak di haruskan mengikuti suatu mazhab tertentu,
Undang-Undang tertentu, atau Muqallid itu diharuskan mengikuti sutau
mazhab tertentu.
Di samping Al-Quran dan hadist, sumber hukum yang banyak
digunakan oleh hakim kala itu adalah yurisprudensi dan preseden hukum
yang ditinggalkan oleh hakim-hakim sebelum masa Dinasti Abbasiyah.
Tidak dipungkiri hakim-hakim masa Dinasti Umayah telah memutus
berbagai persolan baik yang ada ketentuannya dalam nash maupun yang
belum. Keputusan-keputusan itu bisa jadi rujukan bagi hakim masa
abbasiyah. Hakim-hakim masa Dinasti Abbasiyah semakin
berkembangnya pemikiran hukum yang digagas oleh para Imam mazhab,
semakin memperkaya rujukan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara di sidang-sidang pengadilan yang mereka jalani. Banyak sekali
hasil pemikiran mujtahid itu baik dalam bentuk metodologi (ushul fiqh),
maupun hasil (fiqh) dapat dijadikan sebagai sumber hukum bagi peradilan.
Hakim di samping memiliki keahlian dalam memeriksa dan memutus
perkara, mereka juga fuqaha yang ahli baik dalam memeriksa dan
memutus perkara, mereka juga fuqaha yang ahli baik dalam epistimologi
hukum Islam maupun ilmu-ilmu lainnya.
Hakim memiliki kebebasan untuk melakukan interpretasi terhadap
teks yang masih „am, mutlaq, yang memerlukan penafsiran hukum.
Khalifah tidak berhak membatasi kebebasan pemikiran hakim tersebut dan
tidak ada satu Fuqaha ataupun Mujtahid yang bisa melarang seorang
hakim berijtihad atau memberi fatwa terhadap sesuatu peristiwa hukum
30
yang diajukan kepadanya kebebasan itu akhirnya memang berwujud pada
kompleksitas teks hukum yang diajukan sebagai rujukan atau dasar
putusan dalam lingkungan peradilan.50
Jika terjadi pendapat yang berbeda
tentang suatu hal, lebih baik dikembalikan kepada Allah dan Rasul, tidak
dikembalikan ke ulil amri, seperti yang disebutkan dalam firman Allah
surah An-Nisa (4) ayat 59, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisaa (4): 58).51
Abu bakar biasa merujuk kepada kitab Allah saat memutuskan
suatu hukum. Jika ketentuan hukum tidak terdapat dalam kitab Allah maka
ia akan merujuk kepada sunnah Nabi. Jika ketentuan hukum tidak
ditemukan juga maka ia akan mengundang para sahabat untuk
bermusyawarah menetapkannya. Jika diperoleh kesepakatan maka
keputusan perkara dengan kesepakatan tersebut. Umar bin Khattab pun
melakukan metode yang sama, bila tidak ditemukan suatu hukum di dalam
Al-Quran dan As-sunnah maka ia melihat apakah Abu Bakar pernah
menetapkan hukumannya. Jika sudah, maka ia mengikutinya. Namun jika
belum, ia juga akan mengundang para sahabat untuk memutus hukum
tersebut. Selain itu, dalam berijtihad Umar bin Khattab sangat
mempertimbangkan kemaslahatan umat ketimbang melihat Zahir ayat
sementara tujuan hukum tidak tercapai. Misalnya, penetapan Umar bin
Khattab mengenai tanah rampasan kepada para tentara. Jika tanah tersebut
dirampas dari pemiliknya, mereka akan kehilangan mata pencaharian yang
50
Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2001,
h.125 51
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, Jakarta, Magfiroh Pustaka,
2006 h.87
31
pada akhirnya menjadi beban Negara. Tetapi, apabila mereka yang
menggarapnya dan membayar pajak pada Negara, akan bermanfaat bagi
Negara. Selain mempertimbangkan kemaslahatan, Umar bin Khattab yang
menggunakan qiyas sebagai metode ijtihadnya.52
52
Basiq Djalil, Peradilan Islam, Amzah, Jakarta, 2012, h.140
32
BAB III
TINJAUAN UMUM TERHADAP ULTRA PETITA
A. Pengertian Ultra Petita
a. Pengertian Ultra Petita
Ultra Petita berasal dari bahasa latin, yakni Ultra yang berarti
sangat, sekali, ekstrim, berlebihan dan Petita yang berarti permohonan.53
Putusan Ultra Petita adalah suatu putusan atas perkara melebihi dari yang
dituntut atau diminta oleh jaksa penuntut umum. Ultra Petita merupakan
penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan
lebih daripada yang diminta. Ultra Petita menurut I.P.M.Ranuhandoko
adalah melebihi yang diminta.54
Ultra Petita dalam hukum formil
mengandung pengertian sebagai penjatuhan putusan atas perkara yang
tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari pada yang diminta. Ketentuan
ini berdasarkan Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat
(2) dan ayat (3) Rbg. Sedangkan Yahya Harahap mengartikan Ultra Petita
sebagai hakim yang mengabulkan tuntutan melebihi ataupun diluar dari
apa yang dituntut.55
b. Jenis Putusan Ultra Petita
Putusan merupakan akhir dari sebuah proses pemeriksaan di dalam
persidangan. Putusan pidana yang bersifat ultra petita terdiri dari beberapa
jenis, yaitu:
1). Putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana melebihi lamanya
tuntutan pidana yang diajukan oleh penuntut umum. Hakim dapat
menjatuhkan pidana melebihi tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut
53
Rosalina Devi Kusumaningrum, Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana,
Jurnal Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana, Yogyakarta, 2017 h.3 54
Rosalina Devi Kusumaningrum, Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana,
Jurnal Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana, Yogyakarta, 2017 h.3 55
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, persidangan,
penyitaan, pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, h.801
33
umum dengan memberikan hukuman maksimum sebagaimana ditentukan
oleh Undang-undang.
2). Putusan pengadilan yang menyatakan bersalah dan menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa, namun bukan berdasarkan pasal yang didakwakan oleh
penuntut umum. Terhadap jenis putusan ultra petita ini bertentangan
dengan ketentuan Pasal 182 ayat (4) KUHAP, bahwa musyawarah hakim
harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti
dalam pemeriksaan di sidang, sehingga seharusnya hakim dalam
menjatuhkan putusan berdasarkan dakwaan yang diajukan oleh jaksa
penuntut umum bukan mencari-cari Pasal yang lain yang tidak
didakwakan terhadap perbuatan terdakwa.
3). Putusan pengadilan yang menyatakan terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana atas apa yang didakwakan oleh penuntut umum dan
kemudian menjatuhkan pidana melebihi dari ancaman maksimal ataupun
dibawah ancaman minimum pasal yang didakwakan.56
c. Larangan Putusan Ultra Petita Dalam Hukum Acara Pidana
Putusan Ultra Petita dalam hukum acara pidana terdiri dari
beberapa jenis sebagaimana telah dipaparkan diatas. Ada putusan Ultra
Petita yang diperbolehkan. Terhadap putusan Ultra Petita yang tidak
diperbolehkan dalam hukum acara pidana, antara lain:
1) Putusan yang dijatuhkan oleh hakim di luar pasal yang didakwakan
oleh jaksa penuntut umum. Adanya putusan di luar pasal yang tidak
didakwakan oleh jaksa penuntut umum tentu akan menimbulkan suatu
ketidakadilan, karena terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi
pidana atas perbuatan yang tidak sama sekali didakwakan oleh jaksa
56
Rosalina Devi Kusumaningrum, Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana,
Jurnal Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana, Yogyakarta, 2017 h.3
34
penuntut umum. Selain itu, tentu akan merugikan hak terdakwa karena
tidak dapat melakukan pembelaan untuk mempertahankan hak-haknya
di persidangan. Dalam aturan hukum acara pidana Pasal 182 ayat (4)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana telah jelas diatur bahwa hakim dalam
menjatuhkan putusan harus berdasarkan pada surat dakwaan jaksa
penuntut umum. Dengan adanya putusan yang dijatuhkan oleh hakim
diluar pasal yang tidak didakwakan oleh jaksa penuntut umum tentu
telah bertentangan dengan Pasal 182 ayat (4) KUHAP.
2) Putusan pidana yang dijatuhkan oleh hakim melebihi ancaman
maksimum ataupun dibawah ancaman minimum yang dituangkan
dalam pasal undang-undang hukum pidana yang dipergunakan oleh
jaksa penuntut umum dalam dakwaannya. Meskipun hakim memiliki
kebebasan, namun kewenangan hakim dibatasi oleh peraturan
perundang-undangan. Hakim dalam melakukan pemeriksaan
dipersidangan dibatasi dengan adanya surat dakwaan dan dalam
menjatuhkan putusan pemidanaan hakim dibatasi dengan adanya
ancaman pidana minimum sampai dengan ancaman pidana maksimum
sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan tidak boleh
menjatuhkan putusan pidana melebihi ancaman pidana maksimum
maupun dibawah ancaman pidana minimum, karena dalam setiap
peraturan perundang-undangan telah diatur batas minimum dan batas
maksimum yang dapat dijatuhkan bagi terdakwa sehingga apabila
hakim menjatuhkan putusan pidana melebihi batas maksimum atau
dibawah batas minimum, maka hakim dianggap telah melampaui batas
kewenangannya.
35
B. Putusan Ultra Petita Hubungannya dengan Asas Legalitas Dalam Pasal 1
ayat (1) KUHP
Sejarah Asas legalitas (Principle of legality) biasa dikenal dalam bahasa
latin sebagai “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege” (tidak ada delik,
tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu). Adagium tersebut sebenarnya
berasal dari Von Feuerbach, sarjana hukum pidana jerman (1775-1833). Dialah
yang merumuskan dalam pepatah latin dalam bukunya yang berjudul “Lechrbuch
des peinlichen recht” (1801).57
Menurut sejarahnya di dalam hukum Romawi kuno yang memakai bahasa
latin, tidak dikenal pepatah ini, juga asas legalitas tidak dikenal. Dalam sebuah
karangan berjudul “Tijdschrift v.Strafrecht” disebutkan bahwa di zaman Romawi
itu tidak dikenal kejahatan yang dinamakan criminal extra ordinaria, artinya
kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang.58
Di antara crimina extra ordinaria ini yang sangat terkenal adalah criminal
stellionatus, yang letterlijk artinya: perbuatan jahat, durjana. Jadi tidak ditentukan
perbuatan apa yang dimaksud disitu. Sewaktu hukum Romawi kuno itu diterima
(diresipieer) di Eropa barat pada abad pertengahan (sebagaimana halnya dengan
Indonesia dalam zaman penjajahan meresipieer hukum Belanda), maka pengertian
tentang crimina extra ordinaria diterima pula oleh raja-raja yang berkuasa. Dan
dengan adanya crimina extra ordinaria ini lalu diadakan kemungkinan untuk
menggunakan hukum pidana itu secara sewenang-wenang menurut kehendaknya
dan kebutuhan raja sendiri.59
Pada puncak reaksi terhadap kekuasaan yang mutlak (absolutisme) dari
para raja-raja, yang dinamakan jaman Ancient Regine, maka di situlah timbul
pikiran tentang harus ditentukan dalam wet lebih dahulu perbuatan-perbuatan
yang dapat dipidana, agar supaya penduduk lebih dahulu bisa tahu dan tidak akan
57
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2002, h.23 58
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2002, h.23 59
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2002, h.24-25
36
melakukan perbuatan tersebut. Pertama-tama diketemukan pikiran tentang asas
legalitas oleh Montesquieu dalam bukunya ”L‟esprit des Lois” dalam bukunya
“Dus Contract Social” (1762). Asas tersebut pertama-tama mempunyai bentuk
sebagai undang-undang ialah dalam Pasal 8 “Declaration des droits de L‟homme
et du citoyen” (1789), semacam undang-undang dasar yang pertama yang
dibentuk dalam tahun pecahnya Revolusi Perancis. Bunyinya: “Tidak ada suatu
yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-
undang dan diundangkan secara sah”. Dari Declaration des droits de L‟homme eet
du citoyen, asas ini dimasukkan dalam Pasal 4 Code Penal Perancis, di bawah
pemerintahan Napoleon (1801). Dan dari sini asas ini dikenal oleh Netherland
karena penjajahan Napoleon, sehingga mendapat tempat dalam Wetboek van
Strafrecht Netherland 1881, pasal 1 dan kemudian karena adanya asas
konkordansi antara Netherland Indie dan Netherland masuklah dalam Pasal 1 WvS
Netherland Indie.60
Perumusan asas legalitas dari Von Feurbach61
dalam bahasa latin itu
dikemukakan berhubungan dengan teorinya yang dikenal dengan nama teori “vom
psychologischen zwang”, yang menganjurkan supaya dalam menentukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang
macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang
macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian ini maka orang yang
akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu diketahui pidana apa
yang dijatuhkan kepadanya nanti jika perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian
dalam batinnya, dalam psychennya, lalu diadakan tem atau tekanan untuk tidak
berbuat, dan kalau sampai melakukan perbuatan tadi, maka jika dijatuhi pidana
kepadanya bisa dipandang sebagai sudah disetujuinya sendiri. Jadi pendirian Von
Feurbach mengenai pidana ialah pendirian yang tergolong absolud (mutlak).
Sama halnya teori pembalasan (retribution).
Kata asas berasal dari bahasa arab asasun yang berarti dasar atau prinsip,
sedangkan kata “legalitas” berasal dari bahasa latin yaitu lex yang berarti undang-
60
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2002, h.25 61
Ibid, Baca juga Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan ke-dua, Semarang: Yayasan Sudarto
Fakultas Hukum UNDIP, 1990, h.25
37
undang, atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan
undang-undang. Dengan demikian arti legalitas adalah keabsahan menurut
undang-undang.62
Asas legalitas berkaitan dengan ketentuan yang menyatakan
bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang
yang mengaturnya.
Menurut Moeljatno, asas legalitas (Principle of legality) adalah asas yang
menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Dalam bahasa
latin disebut sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege. (tidak ada
delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).63
Menurutnya, dari
formulasi Asas Legalitas tersebut setidaknya dikandung tiga pengertian: 1) tidak
ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang, 2) untuk
menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, 3) aturan-
aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.64
Sedangkan Peter Mahmud
Marzuki mendefinisikannya sebagai tiada seorang pun dapat dipidana karena
melakukan suatu perbuatan jika tidak ada aturan undang-undang yang mengatur
sebelum perbuatan dilakukan.65
Kedua pengertian di atas memiliki subtansi yang
sama yaitu perbuatan seseorang pada dasarnya tidak dapat dijerat hukum apabila
tidak ada undang-undang yang mengaturnya sebelum perbuatan tersebut
dilakukan. Sementara itu, lebih tegas menurut Wirdjono Prodjodikoro, bahasa
latin Asas Legalitas yang berbunyi nullum delictum, nulla puna sine praevia lege
poenali diartikan tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang
hukum pidana terlebih dahulu.66
Para ahli hukum pidana pada dasarnya sepakat dengan adanya 3 (tiga)
makna dalam asas legalitas, yaitu: a) tidak ada perbuatan yang dilarang dan
62
Subekti dan Tjitrosudibyo, Kamus Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 1969, h.63 63
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2000. h.23 64
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2000, h.25 65
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Group,
2008, h.215 66
Wirdjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung, Refika
Aditama, 2003, h.43
38
diancam dengan pidana kalau hal itu belum dinyatakan terlebih dahulu dala suatu
undang-undang, b) untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh
digunakan analogi (qiyas), c) aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku
surut.67
Tiga makna asas legalitas tersebut mengakibatkan adanya dua implikasi,
yaitu: 1) larangan menggunakan analogi (prinsip non analogi), dan 2) keharusan
menggunakan undang-undang pidana yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan.
Artinya, dilarang memberlakukan undang-undang pidana secara retroaktif (prinsip
non-retroaktif) 68
Di Indonesia, asas legalitas diwujudkan dalam aturan hukum yaitu Pasal 1
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan: “Tiada
suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” ketentuan
tentang “aturan pidana dalam undang-undang yang telah ada” dalam Pasal 1 ayat
(1) KUHP ini memiliki pengertian bahwa harus ada empat unsur penting dalam
hukum pidana, yaitu: 1) kualifikasi perbuatan pidana, 2) undang-undang pidana
yang harus diberlakukan, 3) sumber hukum pidana, dan 4) sisitem hukum pidana.
69
Asas legalitas dipandang sebagai asas terpenting dalam hukum pidana
Indonesia, karenanya diatur dalam KUHP, sebagai babon atau induknya hukum
pidana. Pengaturan asas legalitas dalam Buku I (satu) KUHP tentang Ketentuan
Umum, membawa konsekuensi bahwa ketentuan asas legalitas itu berlaku
terhadap kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Buku II maupun pelanggaran
dalam Buku III KUHP. Demikian juga berlaku bagi semua peraturan pidana yang
diatur dalam UU diluar KUHP, kecuali UU tersebut membuat penyimpangan (lex
specialist derogate legi generali). Asas legalitas pada hakikatnya adalah tentang
ruang berlakunya hukum pidana menurut waktu dan sumber atau dasar hukum
67
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2000, h.25 68
Deni Setyo Bagus Yuherawan, Dekontruksi Asas Legalitas Hukum Pidana, Sejarah
Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, Jakarta, Setara Press, 2014,
h.5 69
Deni Setyo Bagus Yuherawan, Dekontruksi Asas Legalitas Hukum Pidana, Sejarah
Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, Jakarta, Setara Press, 2014,
h.2-3
39
(dasar legalisasi) dapat dipidanya suatu perbuatan. (jadi sebagai dasar
kriminalisasi atau landasan yuridis pemidanaan).
Pasal 1 ayat (1) dalam asas legalitas KUHP mengandung makna “tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana apabila hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang” artinya bahwa
untuk mengatakan bahwa perbuatan perbuatan tersebut dapat atau tidaknya
dikatakan tindak pidana apabila telah diatur dalam undang-undang tersebut. Asas
legalitas sendiri bertujuan untuk mewujudkan suatu kepastiaan hukum maka
setiap perbuatan yang dilarang haruslah disebutkan dengan jelas dan tegas berikut
sanksinya di dalam suatu ketentuan hukum.
C. Putusan Ultra Petita Hubungannya Dengan Asas Kepastian Hukum dan
Keadilan Dalam Penjatuhan Pidana
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tujuan dari hukum itu sangat
beragam dan berbeda-beda menurut pendapat ahli hukum. Dari pendapat yang
berbeda-beda tersebut jika kita simpulkan maka akan dapat kita klasifikasikan
adanya 3 (tiga) tujuan hukum yang selama ini berkembang, yaitu sebagai berikut:
1. Aliran etis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu
semata-mata hanya untuk mencapai keadilan.
2. Aliran utilitis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu
hanyalah untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan masyarakat.
3. Aliran normatif yuridis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan
hukum itu adalah untuk menciptakan kepastian hukum.70
Pandangan yang menganggap tujuan hukum semata-mata hanyalah
keadilan belaka, diragukan karena keadilan itu sendiri sebagai sesuatu yang
abstrak. Keadilan dapat berwujud kemauan sifatnya tetap dan terus menerus untuk
memberikan bagi setiap orang apa yang menjadi haknya, dan ada pula yang
melihat keadilan itu sebagai pembenaran bagi pelaksana hukum yang
diperlawankan dengan kesewenang-wenangan, hal ini terdapat pada aliran etis.
70
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,
Jakarta, Sinar Grafika, 2014, h.130
40
Aliran utilitis memasukkan ajaran moral praktis yang menurut
penganutnya bertujuan untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang
sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin warga masyarakat, sementara aliran
normatif/yuridis dogmatis yang pemikirannya bersumber pada positivistis yang
beranggapan bahwa hukum sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri, tidak lain
hanyalah kumpulan aturan yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan atau hukum yang tertulis saja, dan tujuan pelaksanaan hukum dalam hal
ini untuk sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum
menginginkan hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan secara tegas bagi setiap
peristiwa konkret dan tidak boleh ada penyimpangan (flat justitia et pereat
mundus/ hukum harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh).71
Menurut Gustav Radbruch, sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo
mengatakan bahwa, “hukum itu harus memenuhi berbagai karya sebagai nilai
dasar dari hukum. Nilai dasar hukum tersebut adalah keadilan, kegunaan, dan
kepastian hukum.72
Sekalipun ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari
hukum, namun antara mereka terdapat suatu ketegangan. Oleh karena ketiga-
tiganya berisi tuntutan yang berlainan, sehingga mempunyai potensi untuk saling
bertentangan.73
Keadilan, sesungguhnya konsep keadilan sangat sulit mencari tolak
ukurnya karena adil bagi suatu pihak belum tentu dirasakan oleh pihak lainnya.
Kata keadilan berasal dari kata adil, yang berarti dapat diterima secara obyektif.74
Menurut L.J Van Apeldoon mengatakan bahwa, “keadilan tidak boleh dipandang
sama arti dengan persamarataan, keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang
memperoleh bagian yang sama”.75
Maksudnya keadilan menuntut tiap-tiap
perkara harus ditimbang tersendiri, artinya adil bagi seseorang belum tentu adil
bagi yang lainnya. Tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai
71 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,
Jakarta, Sinar Grafika, 2014, h.130-131 72 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1996, h.19 73 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1996, h.19 74
Algra, dkk, Mula Hukum, Jakarta, Bina Cipta, 1983, h.7 75
L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum , terj. Oetarid Sadino, Jakarta, Pradnya
Paramita, 1993, h.11
41
jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan dimana terdapat
keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, dan setiap orang
memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.76
Keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan persamarataan. Keadilan
bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama, jika hukum
semata-mata menghendaki keadilan, jadi semata-mata mempunyai tujuan
memberi tiap-tiap orang apa yang patut diterimanya, maka ia tak dapat
membentuk peraturan-peraturan umum. Tertib hukum yang tak mempunyai
peraturan umum, bertulis atau tidak bertulis adalah tidak mungkin. Tak adanya
peraturan umum, berarti ketidaktentuan yang sungguh-sungguh, mengenai apa
yang disebut adil atau tidak adil. Ketidaktentuan itu akan menyebabkan
perselisihan, Jadi hukum harus menentukan peraturan umum, harus
menyamaratakan. Keadilan melarang menyamaratakan; keadilan menuntut supaya
tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri makin banyak hukum memenuhi
syarat, peraturan yang tetap, yang sebanyak mungkin meniadakan ketidakpastian,
jadi makin tepat dan tajam peraturan hukum itu, makin terdesaklah keadilan.
Itulah arti summum ius, summa iniuria, keadilan yang tertinggi adalah
ketidakadilan yang tertinggi.77
Oleh karena itu penekanan yang lebih cenderung kepada asas keadilan
dapat berarti harus mempertimbangkan hukum yang hidup di masyarakat, yang
terdiri dari kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Hakim dalam
alasan dan pertimbangan hukumnya harus mampu mengakomodir segala
ketentuan yang hidup dalam masyarakat berupa kebiasaan dan ketentuan hukum
yang tidak tertulis, manakala memilih asas keadilan sebagai dasar memutus
perkara yang dihadapi.
Sejalan dengan itu, keadilan merujuk kepada sifat melawan hukum
materiel dan kesalahan dalam pengertian normatif. Dalam penjelasan terdahulu
76 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum , terj. Oetarid Sadino, Jakarta, Pradnya
Paramita, 1993, h.11 77 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum , terj. Oetarid Sadino, Jakarta, Pradnya
Paramita, 1993, h.11-13
42
dikemukakan bahwa sifat melawan hukum materiel didasarkan pada norma
tertulis, norma tidak tertulis, kesusilaan dan kepatutan yang menilai kepatutan dari
perbuatan yang dilarang. Dengan kata lain, objek penilaian sifat melawan hukum
materiel dibatasi pada hal-hal yang dilarang oleh undang-undang (asas legalitas).
Perbuatan yang tidak dilarang tidak termasuk dalam penilaian sifat melawan
hukum materiel. Berbeda dengan aturan pidana yang bersifat statis, doktrin sifat
melawan hukum materiel justru ditujukan untuk merespon perubahan sosial dan
meletakkan dinamika sosial itu dalam koridor-koridor prinsipiel yang telah
ditentukan dalam hukum pidana. Dengan doktrin sifat melawan hukum materiel,
hakim dapat memberikan penilaian dan penafsiran dinamis atas kekakuan aturan
pidana dengan tetap mengikuti perubahan sosial sekaligus tetap menghormati asas
legalitas. Kadang kala penilaian kepatutan itu menyatakan bahwa perbuatan yang
dilarang undang-undang itu dianggap patut dan oleh karenanya bukan merupakan
tindak pidana. Namun adakalanya, penilaian kepatutan itu menyatakan perbuatan
terlarang itu tidak patut dan oleh karenanya perbuatan tersebut merupakan tindak
pidana.78
Dijelaskan pula bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana tidak terlepas
dari aturan-aturan pidana, akan tetapi hakim diberikan keleluasaan untuk
menggali lebih jauh berdasarkan keadilan yang hidup pada masyarakat apakah
aturan perbuatan yang dilarang undang-undang tersebut dianggap patut atau
tidaknya. Hal demikian menjelaskan bahwa hakim bukanlah sekedar corong
undang-undang yang hanya menjadikan undang-undang sebagai dasar penjatuhan
pidana akan tetapi harus pula memperhatikan nilai sosial perasaan hukum yang
hidup pada masyarakat tentangg perbuatan yang dilarang tersebut.
Selain doktrin sifat melawan hukum materiel, keadilan juga merujuk
kepada doktrin kesalahan dalam pengertian normatif, inilah tugas berat seorang
hakim dalam menjatuhkan putusan tidak terkait dengan penilaian normatif, tetapi
bagaimana ia mendudukkan posisinya sebagai representasi masyarakat dan
mendekatkannya dengan keadaan individualitas pembuat tindak pidana. Penilaian
78
Muhammad Ainul Syamsu, Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum
Pidana, Jakarta, Prenadamedia Group, 2016, h.168-169
43
normatif menjadi bermakna manakala hakim dapat menjalankan tugas beratnya
itu. Dalam keadaan demikian, suatu keniscayaan bagi hakim untuk mengetahui
dan memahami keadaan pembuat tindak pidana sehingga dapat mengukur sejauh
mana pidana yang layak dijatuhkan. Sebab, pidana yang layak bukan hanya
pidana yang tidak melebihi ancaman pidana tetapi pidana itu dapat memberikan
manfaat bagi pembuat tindak pidana.79
Masyarakat mengharapkan kepastian hukum, karena dengan adanya
kepastian hukum masyarakat akan tahu tentang yang diperbuatnya sehingga akan
menciptakan ketertiban, namun seringkali dalam proses peradilan masyarakat
sering mengeluhkan proses yang lama dan berbelit-belit padahal tujuan daripada
hukum itu untuk kepastian dan tidak berbelit-belit.
Oleh karena itu tentang apa arti dari sebuah kepastian hukum merupakan
suatu hal yang sangat penting pula bagi masyarakat, kepastian hukum yang
dituangkan dalam putusan hakim merupakan hasil yang didasarkan pada fakta-
fakta persidangan yang relevan secara yuridis serta dipertimbangkan dengan hati
nurani. Hakim selalu dituntut untuk selalu dapat menafsirkan makna undang-
undang dan peraturan-peraturan lain yang dijadikan dasar untuk diterapkan.
Hal tersebut sangat penting, oleh karena dengan adanya kepastian hukum
itu akan sangat mempengaruhi wibawa hakim dan elektabilitas pengadilan itu
sendiri. Karena putusan hakim yang mengandung unsur kepastian hukum akan
memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum.
Hal ini disebabkan putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap,
bukan lagi pendapat dari hakim itu sendiri yang memutus perkara, tetapi sudah
merupakan pendapat dari institusi pengadilan dan menjadi acuan masyarakat
dalam pergaulan sehari-hari.80
Kepastian hukum merujuk kepada asas legalitas yang menegaskan bahwa
tiada perbuatan merupakan tindang pidana kecuali terlebih dahulu diatur dalam
aturan tertulis. Aturan tertulis yang memuat larangan ini didasarkan pada standar
79 Muhammad Ainul Syamsu, Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum
Pidana, Jakarta, Prenadamedia Group, 2016, h.171-172 80
Wantu, Fence, Op.Cit, http://www.academia.edu.com. Diakses pada 22 November
2018 pukul 22.00 WIB
44
umum masyarakat tentang perbuatan tertentu. Dimensi sosial yang terkandung
dalam kepastian hukum bersifat statis karena dinamika aturan pidana bergantung
kepada kriminalisasi, perubahan atau dekriminalisasi. Namun sepanjang tidak
dilakukan dekriminalisasi, maka hakim tetap menjadikan aturan pidana sebagai
syarat pertama dalam mengadili terdakwa. Jika merujuk kepada kepastian hakim
di atas, maka harus diakui bahwa sebagian fondasi hukum pidana dibangun di atas
kerangka normatif sistematis. Hal ini berarti bahwa keberlakuan hukum pidana
diawali dengan pengaturan norma tertulis dalam suatu sistem hukum. Norma-
norma inilah yang dijadikan acuan untuk menentukan suatu perbuatan tententu
sebagai tindak pidana. Sesuai dengan ajaran tatbestandsmabig-keit, rumusan delik
memuat seperangkat aturan tentang jenis-jenis tindak pidana. Jenis tindak pidana
inilah yang pertama kali menjadi pertimbangan hakim untuk menentukan
keberlanjutan fase selanjutnya. Dalam konsteks ini, maka penjatuhan pidana harus
diawali dengan terpenuhinya unsur delik. Tidak terpenuhinya unsur delik
menyebabkan syarat penjatuhan pidana tidak terpenuhi.81
81 Muhammad Ainul Syamsu, Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum
Pidana, Jakarta, Prenadamedia Group, 2016, h.167-168
45
BAB IV
ANALISA PUTUSAN ULTRA PETITA DALAM HUKUM PIDANA
INDONESIA DAN HUKUM ISLAM
A. Bentuk Putusan Ultra Petita Pada Peradilan Pidana
1. Putusan Hakim Menggunakan Pasal Di Luar Dakwaan Jaksa Penuntut
Umum
Putusan hakim menggunakan pasal di luar dakwaan jaksa penuntut
umum penulis temukan dalam putusan Nomor 17/Pid.Sus/2014/PN.JKT.PST.
Terhadap putusan tersebut terdakwa Susi alias uci bersama-sama dengan
M.akil Mochtar selaku hakim konstitusi melakukan atau turut serta
melakukan perbuatan yang menerima hadiah atau janji yaitu menerima hadiah
atau janji yaitu menerima uang sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah), padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya
untuk diadili, yaitu hadiah atau janji tersebut diberikan oleh Tubagus Chaeri
Wardana Chasan dan Ratu atut Choisiyah kepada M.akil Mochtar melalui
terdakwa dengan maksud agar M.akil Mochtar selaku hakim Mahkamah
Konstitusi dan selaku ketua panel Hakim membatalkan keputusan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lebak tentang rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara tingkat Kabupaten pada pemilihan umum
Bupati dan wakil Bupati Kabupaten Lebak tahun 2013 dan memerintahkan
KPU Kabupaten Lebak untuk melaksanakan pemungutan suara ulang
diseluruh tempat pemungutan suara di Kabupaten Lebak.
Selain itu terdakwa bersama-sama dengan M.akil Mochtar selaku
Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melakukan
atau turut serta melakukan perbuatan yang menerima hadiah atau janji, yaitu
menerima uang sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili,
yaitu hadiah atau janji tersebut diberikan oleh Rycko Menoza dan Eki
46
Setyanto kepada M.akil Mochtar melalui terdakwa dengan maksud agar
M.akil Mochtar selaku ketua panel Hakim memutus permohonan perkara
Konstitusi terkait keberatan atas rekapitulasi hasil perhitungan perolehan
suara tingkat Kabupaten Lampung Selatan tahun 2010 tidak dapat diterima.
Atas perbuatan tersebut, terdakwa didakwa oleh Jaksa Penuntut
Umum dengan menggunakan bentuk dakwaan kumulatif, yaitu dakwaan
kesatu dan kedua menggunakan pasal 12 huruf c Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Adapun rumusan pasal nya
sebagai berikut:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda paling sedikit RP.200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak RP.1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah):HAKIM yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk
diadili, Dipidana sebagai pelaku tindak pidana mereka yang
melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta
melakukan perbuatan. Adapun dalam putusan hakim sebagai berikut:
Menyatakan terdakwa SUSI TUR ANDAYANI alias UCI tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
korupsi, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 12 huruf c
dalam dakwaan kesatu dan kedua, undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
47
Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP membebaskan terdakwa
oleh karena itu dari dakwaan kesatu dan kedua tersebut.
Menyatakan terdakwa SUSI TUR ANDAYANI alias UCI terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi
secara bersama-sama dan Tindak Pidana Korupsi secara berlanjut,
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 6 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20
Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP dan pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP;
Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap terdakwa SUSI TUR
ANDAYANI alias UCI dengan pidana penjara selama: 5 (lima) tahun dan
denda sebesar RP.150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah), dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana
kurungan selama 3 (tiga) bulan.
Sebelumnya dalam rapat permusyawaratan majelis hakim untuk
mengambil keputusan tidak tercapai mufakat bulat karena terdapat anggota
majelis hakim yang mempunyai pendapat yang berbeda (dissenting opinion).
Hakim anggota III Sofialdi,SH berbeda pendapat dengan putusan ketua
majelis hakim anggota I dan hakim anggota II, menyatakan bahwa terhadap
dakwaan penuntut umum No. 05/24/02/2014, tanggal 11 Februari 2014 telah
dinyatakan obscour (kabur) maka terhadap surat tuntutan penuntut umum No.
TUT: 20/24/05/2014, tanggal 19 Mei 2014 akan berimplikasi/ berakibat
hukum kepada terdakwa Susi Tur Andayani yakni tidak dapat dipersalahkan
dan dijatuhi pidana berdasarkan surat dakwaan penuntut umum yang obscour
(kabur) tersebut.
48
Sementara hakim anggota IV Alexander Marwata,AK,SH,CFE
mengemukakan pendapat bahwa dalam rangka system penegakan hukum
pidana (criminal justice system), selain kemandirian hakim dan pengadilan,
juga dibutuhkan profesionalisme aparat penegak hukum lainnya, yakni
penyidik dan penuntut umum. Kekhilafan atau kecerobohan yang dilakukan
oleh penuntut umum yang tidak mendakwakan pasal 6 ayat (1) dan pasal 13
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun
20001, seharusnya tidak ditimpakan tanggung jawabnya kepada terdakwa.
Jika majelis hakim membuat putusan terhadap kesalahan yang tidak
didakwakan jaksa penuntut umum, menurut hakim anggota IV, hal ini sama
saja dengan mentolelir atau memberi kelonggaran terhadap kecerobohan yang
dilakukan oleh jaksa penuntut umum. Hal ini akan memberi efek buruk dalam
rangka penegakan hukum. Tidak tertutup kemungkinan, kedepan jaksa
penuntut umum akan membuat surat dakwaan asal-asalan dengan harapan
dalam proses pemeriksaan perkara pengadilan, majelis hakim akan
mengoreksinya sesuai dengan fakta-fakta di persidangan.
Terhadap apa yang dijelaskan di atas bahwa dalam putusan Nomor
17/Pid.Sus/TPK/2014/PN/JKT.PST dimana dalam putusannya hakim
memutus di luar dari apa yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Dalam
hukum acara pidana putusan tersebut menyimpang dari asas-asas hukum
acara pidana serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 182 ayat (4), Pasal
191 ayat (1), dan Pasal 193 ayat (1) Undang-Undang No.8 tentang hukum
acara pidana selanjutnya disebut KUHAP.
Apabila melihat secara kaku dan tegas didalam aturan KUHAP Pasal
182 ayat (4), bahwa musyawarah hakim harus didasarkan atas surat dakwaan
dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di persidangan. Menurut
penulis terhadap putusan diatas, terlihat bahwa ada pelanggaran hukum acara
yang dilakukan oleh hakim yang menjatuhkan putusan dalam kasus diatas,
karena hakim menjatuhkan putusan terhadap pasal-pasal yang tidak
didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Apabila perbuatan terdakwa dalam
pemeriksaan di persidangan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan
49
perbuatan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka
seharusnya terdakwa dibebaskan karena hakim dalam pemeriksaan
dipersidangannn dibatasi oleh surat dakwaan dari jaksa penuntut umum
sehingga dalam menjatuhkan putusan hakim juga harus berdasarkan pada
surat dakwaan. Aturan tersebut telah jelas diatur dalam Pasal 191 ayat (1)
KUHAP. Serta dalam ketentuan Pasal 193 ayat (1) hakim dapat menjatuhkan
pidana apabila perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan
meyakinkan, apabila perbuatan terdakwa tidak terbukti maka terdakwa
seharusnya dibebaskan dan tidak dapat dijatuhi pidana.
Penulis berpendapat bahwa apa yang diputus hakim di luar dari apa
yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum ini sangat merugikan terdakwa,
karena terdakwa dijerat dengan apa yang tidak didakwakan kepadanya.
Bukankah putusan hakim sejatinya diadakan untuk menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa dalam bingkai tegaknya hukum dan keadilan. Dimana
para pencari keadilan tentu saja berharap bahwa putusan seorang hakim
benar-benar memenuhi rasa keadilan masyarakat (sense of justice). Adanya
putusan yang dijatuhkan oleh hakim di luar pasal yang tidak didakwakan oleh
jaksa penuntut umum melanggar ketentuan dalam peraturan hukum acara
pidana.
Penulis juga berpendapat bahwa putusan Nomor
17/Pid.Sus/2014/PN.JKT.PST belum memenuhi unsur keadilan, dimensi
keadilan dilihat dengan mendasarkan bahwa terdakwa diputus menggunakan
surat dakwaan yang tidak jelas, tidak cermat, dan tidak lengkap (obscuur
libel). Dan bila dilihat secara seksama hulu dari masalah hakim memutus di
luar dari apa yang didakwakan jaksa penuntut umum adalah kurang cermat
nya jaksa penuntut umum dalam membuat surat dakwaan dengan
menggunakan pasal yang kurang tepat. Sehingga demi kepastian hukum
hakim memilih memutus dengan pasal yang lebih tepat.
2. Putusan Hakim yang Melebihi Batas Maksimal Ancaman Pidana
50
Bentuk putusan Ultra Petita dimana hakim memutus melebihi dari
batas ancaman pidana penulis temukan dalam putusan Nomor
394/Pid.Sus/2015/PT/Mdn. Penulis membaca putusan Pengadilan Negeri
Lubuk Pakam Nomor 2046/Pid.Sus/2014/PN.Lbp, dimana dalam kasus ini
dengan terdakwa Ir. Andy Setyawan Pane seorang karyawan swasta yang
lahir di Medan 8 Oktober 1969 laki-laki berusia 46 tahun merupakan suami
dari Iin Almeina Lubis.
Kasus bermula ketika kekerasan yang dilakukan terdakwa dalam
lingkup rumah tangga, yang menjadi korban dari perbuatan terdakwa yaitu Iin
Almeina Lubis dalam perkara ini sebagai saksi korban. Terdakwa resmi
menikah sejak 6 Desember1997, dan sampai saat ini dikarunia 3 orang anak
yaitu Fairus Aini Pane berusia 15 tahun, Fadli Rizki Haidir Pane berusia 12
tahun, dan Fina Almeira Izza Pane berusia 5 tahun. Namun pernikahan
terdakwa mulai kurang harmonis sejak Desember 2012 yang diduga karena
terdakwa mulai berselingkuh, saksi korban juga pernah mendapati foto
kemesraan terdakwa dengan Melva Cristina Sitorus, lantaran saksi korban
dapat melalui MMS terjadi pada Desember 2013. Februari 2014 saksi
mendapat berita bahwasanya suaminya atau terdakwa sedang sakit dan
menjalani rawat inap di Klinik Bagan Batu, saksi dan adiknya menjenguk
suami atau terdakwa tetapi pada saat sampai di Klinik Bagan Batu terdakwa
tidak mengizinkan masuk saksi korban untuk menjenguknya, kemudian
terdakwa meminta temannya untuk membelikan tiket bus untuk saksi korban
pulang, tetapi saksi korban dan adiknya memutuskan untuk menginap di hotel
dan kembali pada esok harinya.
Keesokan harinya saksi korban dan adiknya pergi ke Klinik Bagan
Batu tempat terdakwa dirawat, saat itu saksi korban mendapati Handphone
terdakwa ada panggilan masuk bernama “My Hubby 2” saksi korban curiga
terdakwa sudah menikah lagi. Setelah kejadian di Klinik Bagan Batu sekitar
Februari 2014 saksi korban pergi kerumah adik iparnya yaitu Melia Pane,
adik iparnya mengatakan bahwa terdakwa memang sudah menikah siri
dengan Melva Cristina Sitorus sekitar Januari 2014. Kemudian saksi korban
51
bersama dengan Bapak Ipan, ibu saksi yaitu Mariana Naiboho, kakak ipar
saksi Linda Lovita, dan anak saksi Fairus Aini Pane mendatangi rumah
mertua saksi dengan berniat mengambil barang-barang milik saksi korban.
Namun mertua saksi korban yang bernama Abdul Gani Pane dan adik ipar
saksi yang bernama Anita tidak mengizinkan saksi korban masuk
kerumahnya karena didalam rumah sedang ada Melva Cristina Sitorus,
kemudian mertua saksi korban menunjukan surat dari Pengadilan Agama
yang menyatakan terdakwa memberi biaya ketiga anak terdakwa dan saksi
korban setiap bulannya sekitar tanggal 29 sampai dengan 10 terdakwa
mengirim uang di rekening anak terdakwa Fairus Aini Pane sejumlah Rp.
3.000.000,- (tiga juta rupiah). Saksi korban mengalami gangguan depresi
ringan sebagaimana kesimpulan dari Visum Eet Repertum Psychiatricum
Nomor 22/SK/VISUM/V/2014 pada tanggal 28 Mei 2014 yang diperiksa dan
ditanda tangani oleh dr. Evawaty Siahaan,Sp.Kj di RSUD Dr. Pirngadi
Medan.
Akibat dari tindakan terdakwa dalam hal ini Ir. Andy Setyawan Pane
selaku suami korban dituntut oleh jaksa penuntut umum dengan ancaman
Pasal 45 ayat (2) yaitu dengan ancaman pidana penjara maksimal 4 bulan dan
denda paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Melihat dari
dakwaan tersebut, Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor
2046/Pid.Sus/2014/PN.Lbp menjatuhkan putusan pada tanggal 16 Februari
2015, yang amarnya sebagai berikut, bahwa terdakwa Ir. Andy Setywan Pane
telah terbukti melakukan tindak pidana “kekerasan psikis dalam ruang
lingkup rumah tangga”. Serta menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa
dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dengan percobaan 8 (delapan)
bulan.
Amar putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam dijatuhkan, ternyata
Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding sebab dirasakan kurang memberi
efek jerah dan terlalu ringan untuk terdakwa. Jaksa penuntut umum
mengajukan permintaan banding dalam tenggang waktu ketentuan Undang-
Undang maka daripada itu permohonan banding tersebut dapat diterima.
52
Berdasarkan permintaan banding tersebut maka putusan yang dikeluarkan
oleh Pengadilan Negeri Lubuk Pakam akan disempurnakan dan diperbaiki,
dengan memperhatikan Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pengadilan
Tinggi Medan menjatuhkan putusan Nomor 394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn yang
isi dari amarnya adalah menerima permintaan banding tdari jaksa penuntut
umum dan memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor
2046/Pid.Sus/2014/PN.Lbp pada tanggal 21 September 2015. Membebankan
terdakwa untuk membayar biaya perkara pada kedua tingkat pengadilan.
Dengan keputusan yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Medan tersebut,
terdakwa menerima dan tidak mengajukan upaya hukum kasasi.
Dalam amar putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor
394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn yang dipimpin oleh Dahlia Brahmana S.H, M.H
selaku hakim ketua majelis, dan Amril, S.H, M.Hum, dan Ade Komarudin,
S.H, M.Hum selaku hakim anggota yang memutuskan perkara tindak
kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan oleh suami
terhadap istri dengan berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga beserta ketentuan-ketentuan hukum dari perundang-undangan
lainnya yang berkaitan dengan perkara ini dengan berpedoman KUHAP.
Hakim memutus dalam putusan Nomor 394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn sebagai
berikut:
1. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Kekerasan Psikis dalam Lingkup Rumah
Tangga”
2. Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa oleh karena itu dengan
pidana penjara 5 (lima) bulan,
3. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam
kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp.
2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).
53
Membaca penjelasan diatas bahwasanya tuntutan jaksa penuntut
umum pada Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor
2046/Pid.Sus/2014/PN.Lbp menuntut terdakwa dengan ancaman Pasal 45
ayat (2) yaitu dengan ancaman pidana penjara maksimal 4 bulan dan denda
paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Dan hakim pada
Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor 2046/Pid.Sus/2014/PN.Lbp
menjatuhkan putusan terhadap terdakwa terbukti melakukan tindak pidana
“kekerasan psikis dalam ruang lingkup rumah tangga”. Serta menjatuhkan
pidana penjara kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat)
bulan dengan percobaan 8 (delapan) bulan. Dan hakim pada Pengadilan
Tinggi Medan menjatuhkan putusan Nomor 394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn
terbukti melakukan tindak pidana “kekerasan psikis dalam ruang lingkup
rumah tangga”. Serta menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa dengan
pidana penjara selama 5 (lima) bulan dengan pasal yang sama yaitu Pasal 45
ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah.
Melihat putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor
394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn, hakim dalam menjatuhkan putusannya
berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tepatnya pada pasal 45 ayat
(2) yaitu:
“(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit
atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian
atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)”
Dapat dilihat dari uraian diatas hakim dalam penjatuhkan putusan
terhadap terdakwa melebihi dari ancaman pidana dimana Pasal 45 ayat (2)
UU No.23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
ancaman pidana nya adalah 4 (empat) bulan akan tetapi, hakim dalam putusan
54
Nomor 394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn mejatuhkan pidana terhadap terdakwa
dengan pidana 5 (lima) bulan penjara.
Menurut penulis ini sebuah perbuatan yang melanggar asas legalitas
dalam hukum pidana serta putusan ini belum tercapainya kepastian hukum.
Kepastian hukum sendiri merujuk kepada asas legalitas yang menegaskan
bahwa tiada perbuatan merupakan tindak pidana kecuali terlebih dahulu
diatur dalam aturan tertulis. Dalam memutuskan suatu perkara hakim
memang memiliki kewenangan untuk memutus sesuai dengan fakta
persidangan dan keyakinannya, namun dalam menjatuhkan suatu hukuman
dianggap perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku terlebih
dianggap sangat perlu untuk memperhatikan asas legalitas. Asas legalitas
sendiri telah diatur didalam KUHP pada Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi:
“(1) suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan-
ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.
Dalam penerapan suatu hukum asas legalitas merupakan hal yang
terpenting didalam hukum pidana. Fungsi dari asas legalitas sendiri untuk
melindungi rakyat dari pemerintah yang dengan keinginan menyatakan
tindakan rakyat merupakan suatu kejahatan dan lantas dijatuhi hukuman tanpa
adanya pemenuhan unsur-unsur dalam Undang-Undang, dalam hal ini
kekuasaan pemerintah dibatasi. Dapat dikatakan pemerintah merupakan
pelaksana dari ketentuan Undang-Undang.
Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 394/Pid.Sus/PT.Mdn,
merupakan bentuk putusan Ultra Petita dimana dalam penjatuhan pidana
hakim melebihi dari batas maksimal ancaman pidana pada Pasal 45 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga, seharusnya putusan hakim tidaklah melebihi batas
maksimal ancaman pidana karenanya melanggar asas legalitas dalam hukum
pidana. Penjatuhan pidana yang melebihi ancaman pidana tidak dibenarkan
55
karena bertentangan dengan ancaman pidana yang dirumuskan (asas
legalitas).82
Hakim memiliki keterikatan untuk menjatuhkan suatu hukuman antar
pidana minimal dan maksimal, namun hakim dapat mengabaikan jika
keyakinan pidana minimum masih dirasa terlalu berat apabila kepastian dan
keadilan hukum belum didapat. Menurut Sudharmawatiningsih berpendapat,
merupakan kewenangan daripada hakim memutus sesuai fakta persidangan
dan keyakinannya memberikan pemidanaan melebihi tuntutan jaksa penuntut
umum jika dirasa adil dan rasional. Hakim dapat memutus lebih tinggi dari
tuntutan jaksa penuntut dan umum, tetapi tidak boleh melebihi batasan
maksimum ancaman pidana yang ditentukan oleh undang-undang.83
Berdasarkan uraian diatas penulis berpendapat dalam putusan
394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn, memang terdakwa telah memenuhi dan terbukti
melakukan tindak pidana kekerasan psikis. Akan tetapi lebih baik jika majelis
hakim lebih memperhatikan asas legalitas dengan memperhatikan batas
maksimal ancaman pidana pada ketentuan Pasal 45 ayat (2) undang-undang
nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
dimana batas maksimal ancaman pidana nya adalah 4 (empat) bulan, akan
tetapi pada putusan hakim disini memutus 5 (lima) bulan artinya putusan
hakim tersebut melebih batas maksimal ancaman pidana.
B. Pandangan Hukum Islam Mengenai Putusan Ultra Petita
Tugas seorang hakim sangatlah berat karena tidak hanya
mempertimbangkan kepentingan hukum saja dalam putusan perkara yang
dihadapi melainkan juga mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat agar
terwujudnya kepastian hukum. Dalam menetapkan sanksi maka seorang
hakim harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip peradilan sesuai dalam
82
Muhammad Ainul Syamsu, Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum
Pidana, Jakarta, Kencana, 2016, h.40 83
Sudharmawatiningsih, Laporan Penelitian Tentang Putusan Pemidanaan Lebih
Tinggi dari Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, Jakarta, Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan
Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2015, h.2
56
nilai etika Islam yang telah digariskan oleh Alquran sebagai pertimbangan
dalam menjalankan profesinya.
Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan nas yang
terdapat dalam Alquran maupun hadist, yang mengatur kehidupan manusia.84
Hukum Islam tidaklah mengatur secara khusus mengenai masalah Ultra
Petita atau pun tuntutan yang diajukan oleh jaksa. Yang dikenal hanyalah
dengan istilah gugatan yang diajukan oleh penggugat kepada tergugat, dalam
menyelesaikan perkara pidana terdapat seorang jaksa yang memiliki
wewenang dalam hal penuntutan. Di dalam putusan
No.17/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST dan No.394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn,
dimana dalam putusan nya hakim memutus di luar dari apa yang didakwakan
oleh jaksa penuntut umum dan hakim memutus melebihi batas ancaman
pidana dimana dalam putusan tersebut adalah terkait masalah tindak pidana
Korupsi dan tindak pidana Kekerasan Psikis dalam Lingkup Rumah Tangga.
Di dalam sistem peradilan Islam, sikap hakim memutus perkara dalam
Islam adanya asas kebebasan yang telah menjadi salah satu pokok pegangan
yang harus melandasi para hakim (qadhi) dalam melaksanakan tugas
peradilannya. Kebebasan yang dimaksud disini adalah kebebasan dalam arti
tidak tak terbatas, yaitu bebas tetapi harus dengan ketentuan yang terdapat
dalam al-quran dan sunnah Rasulullah saw, atau dengan perundang-undangan
yang berlaku. Ini berarti bahwa hakim sebagai pelaksana tugas kehakiman,
tidak boleh dicampuri atau dipengaruhi oleh pihak-pihak lain. Bahwa di
dalam Islam telah ditegaskan bahwa manakala hukum suatu perkara tidak
dijumpai dalam al-quran dan sunnah Rasulullah saw, maupun dalam
perundang-undangan lainnya, maka kepada hakim diberikan wewenang untuk
berijtihad sesuai dengan esensi dan hakekat keadilan.85
Islam mengajarkan bahwa pemegak hukum, khususnya hakim yang
memutus perkara, pada perkara pidana untuk selalu berorientasi kepada
84
Said Agil Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta,
Penasmadani, 2004, h.6 85
Muhammad Kurdi, Kemandirian Hakim (Perspektif Hukum Islam), Gowa,
Alauddin University Press Cet 1, 2012, h.83-84
57
keadilan, kebenaran dan berprinsip adanya kesamaan di hadapan hukum.
Allah berfirman dalam QS al- Nisa’/4: 135 sebagai berikut:
ولى عل أوفسنم اميه بالقسط شهدآء لل يآايهاالذيه آمىىا مىوىا قى
ا فالل أول بهما فل تتبعىا أوالىالديه والقزبيه إن ينه غىيا أو فقيز
ا الهىآي أن تعدلىا وإن تلىآ أوتعزضىا فإن هللا مان بما تعملىن خبيز
Yang artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-
benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu
sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin,
maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu
kerjakan.86
Ayat diatas, Allah SWT memerintahkan agar manusia menegakkan
keadilan menjadi saksi yang adil walaupun terhadap diri sendiri, orang tua
dan keluarga dekat. Penulis juga mengambil kesimpulan bahwasanya penegak
hukum (hakim) dalam menjalankan profesinya haruslah bertindak adil dalam
menegakkan hukum bagi masyarakat pencari keadilan karena merupakan
perintah Allah SWT.
Dalam pidana Islam, mengenal pembagian jarimah (tindak pidana)
menjadi tiga bagian, yaitu : Hudud, Qishah dan Takzir. Hudud adalah tindak
pidana yang dijelaskan secara rinci tindakannya maupun hukumannya.
Qishah adalah tindak pidana pembunuhan dan pelukaan pada tubuh.
Sedangkan takzir adalah tindak pidana yang belum diatur secara rinci
tindakannya maupun hukumannya dalam Al-Qur’an dan Hadis.
86
Kementrian Agama RI, Al-Quranulkarim, h.100
58
Hakim dalam memutuskan persoalan yang dihadapi harus
berpedoman pada nas Al-Qur’an dan Hadis, namun juga diperbolehkan untuk
menggunakan akalnya. Banyak perdebatan antara boleh atau tidaknya hakim
memutuskan dengan akalnya. Namun para fuqaha dalam hal ini berpegang
pada hadis Aisyah tentang kisah Hindun binti Utbah bin Rabi’ah dengan
suaminya, Abu Sufyan bin Harb. Ketika itu Hindun mengadukan
permasalahannya kepada Nabi, lalu Nabi berkata kepada Hindun :
مال ينفيل وولدك بالمعزوف )اخزجه البخار والىسائ( خذ
“Ambillah harta yang dapat mencukupimu dan anak – anakmu
dengan cara yang patut” (HR. Bukhari dan Nasai)
Perintah dalam hadis ini, tanpa terlebih dahulu mendengarkan
kesaksian dari lawan (tergugat) yaitu Abu Sufyan. Secara logika, jika seorang
hakim dapat memutus perkara berdasarkan dugaan maka hakim juga lebih
patut untuk memutus perkara menurut kebenaran yang ia yakini. Hakim
dengan kebenaran yang ia yakini dapat memutus perkara dan menentukan
pidana bagi seseorang sesuai dengan apa yang patut diterima oleh orang yang
melakukan tindak pidana. Dalam kasus jarimah takzir, hakim bisa
menentukan hukuman yang pantas bagi terdakwa. Pun dalam kasus jarimah
hudud dan qishah, hakim pun masih bisa berijtihad dan berlainan dengan apa
yang sudah ditetapkan dalam nas Al-Qur’an dan Hadis selama memenuhi
tujuan dari pidana islam. Sebagai contoh dalam kasus jarimah Syurb al –
Khamr. Dalam Hadis hukuman bagi pelaku syurb al – Khamr adalah 40 kali
dera, imam syafi’i berpendapat bahwa hukuman untuk jarimah khamr adalah
80 kali dera. 40 kali dera merupakan hukuman had yang ditentukan oleh nas,
sedangkan 40 kali dera yang lain merupakan takzir, bila memang hakim
memandang perlu untuk ditambah hukuman takzir.
Menetapkan hukuman hudud ataupun kisas, hukum Islam
mendelegasikan wewenang kepada hakim sebagai pihak yang menjalankan
hukuman, bukan yang memilihkan hukuman. Karenanya hakim tidak dapat
59
mengurangi, menambahkan, meringankan, atau memperberat hukuman, sebab
hukuman yang telah diterapkan adalah hukuman yang telah ditentukan
(muqaddarah). Selain membatasi wewenang hakim, hukum Islam juga
membatasi wewenang badan pembuat hukum (legislatif).87
Adapun pada
tindak pidana takzir hakim diberi kekuasaan dan ukuran hukumannya. Hakim
bisa memilih hukuman yang berat ataupun ringan. Hakim juga berhak
memberikan hukuman pada batas maksimal atau minimalnya dan ia juga bisa
memerintahkan untuk melaksanakan hukuman atau menundanya.
Dalam hukum pidana Islam juga mengenal asas legalitas, dalam
sejarah hukum Islam tidak pernah suatu perbuatan dianggap sebagai tindak
pidana dan tidak pernah dijatuhi hukuman sebelum perbuatan tersebut
dinyatakan sebagai tindak pidana dan diberi sangsinya baik dalam Al-Quran
maupun hadist. Allah berfirman dalam QS Al-Isra 17/15 sebagai berikut:
ه ٱهتدي فإوما يهتد لىفسهۦ ومه ضل فإوما يضل عليها ول تشر واسر م
بين حتى نبعث رسول وسر أخزي وما مىا معذ
Artinya: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka
sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan
barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang
lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul”.
(QS Al-Isra ayat 15).
Ayat diatas mengandung makna bahwa Al-Quran diturunkan oleh
Allah SWT kepada Rasulullah SAW supaya menjadi peringatan dalam bentuk
aturan dan ancaman hukuman kepada ummat-Nya. Asas legalitas dalam
hukum pidana Islam adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada
pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang
mengaturnya. Artinya suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah apabila
87
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina „iy Al-Islamy, (terj. Tim Tsalisah), Jil, III,
Jakarta, Kharisma Ilmu, 2007, h.107
60
ada nash (Al-Quran) yang melarang perbuatan tersebut dan mengancamnya
dengan hukuman. Abdul Qadir Audah mengatakan sebelum ada nash
(ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal
sehat.88
Hukum Islam tidaklah mengatur secara khusus mengenai istilah Ultra
Petita. Dan berdasarkan penjelasan di atas maka pandangan hukum Islam,
hakim dibolehkan menjatuhkan sanksi lebih berat maupun lebih ringan
kepada terdakwa tergantung jenis tindak pidana yang dilanggar meskipun
berbeda sebagaimana tuntutan dari jaksa penuntut umum. Namun tetap harus
berpegang teguh pada Alquran dan Hadist. Artinya hakim diperbolehkan
berijtihad menentukan hukum terhadap terdakwa akan tetapi harus tetap
berpegang teguh terhadap al-quran dan hadist.
Ijtihad adalah upaya menemukan hukum dengan menggunakan
potensi-potensi yang dimiliki (kecerdasan akal, kehalusan rasa, keluasan
imajinasi, ketajaman intuisi dan kearifan). Ijtihad berupaya menemukan
hukum yang seadil-adilnya, sesuai dengan tuntutan syariat. Ijtihad sama
seperti penemuan hukum lain, bertujuan untuk menjembatani jarak antara
harapan atau tuntutan masyarakat dengan idealitas hukum. Ijtihad berusaha
untuk menciptakan suatu keadaan yang seimbang, sehingga hukum yang
dihasilkan tidak hanya menciptakan keadilan semata, melainkan juga
kepastian dan kemanfaatan di masyarakat.89
88 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005, h.131
89 M. Natsir Asnawi, Hermeneutika Putusan Hakim, Yogyakarta, UII Press, 2014,
h.25
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri
pembahasan dalam skripsi ini, peneliti memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Pertimbangan hakim memasukkan Ultra Petita dalam putusan pidana dimana
hakim memutus di luar dari dakwaan jaksa penuntut umum pada putusan
Nomor 17/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST adalah kurang cermat nya jaksa
penuntut umum dalam menggunakan pasal yang di dakwakan terhadap
terdakwa, sehingga agar tercapainya kepastian hukum hakim memilih
memutus menggunakan pasal yang menurut hakim tepat terhadap terdakwa.
Memang seharusnya hakim dalam memutus harus memperhatikan surat
dakwaan apa yang di dakwakan jaksa penuntut umum, seharusnya terdakwa
dibebaskan karena terdakwa di dakwa apa yang tidak di dakwakan oleh jaksa
penuntut umum dan belum tercapainya rasa keadilan kepada terdakwa.
Namun dalam hal ini hakim memiliki sebuah kewenangan dan kebebasan
yang di atur dalam kekuasaan kehakiman dimana hakim memutus menurut
keyakinannya tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Hal ini lah kemudian
hakim memutus terdakwa menggunakan pasal yang menurut hakim lebih
tepat. Penuntut umum, tetapi tidak boleh melebihi batasan maksimum
ancaman pidana yang ditentukan oleh undang-undang.
2. Pandangan hukum Islam tidak di atur dengan jelas mengenai Ultra Petita
akan tetapi, untuk membuat putusan hakim diperbolehkan berpedoman pada
ijtihadnya sebagai landasan dalam memutuskan suatu perkara akan tetapi
harus sesuai pedoman Al-Quran dan hadist. Ijtihad ini menjadi salah satu
sumber hukum Islam yang di sahkan oleh para ulama terdahulu. Apabila
hakim dalam membuat suatu putusan melalui ijtihadnya apabila benar dalam
62
berijtihad seorang hakim tersebut mendapatkan dua pahala dan apabila salah
maka hakim mendapat satu pahala.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan melalui penelitian ini,
penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Dalam hal membuat surat dakwaan jaksa penuntut umum sebaiknya
memperhatikan dengan benar, cermat, dan tapat pasal dakwaan yang akan di
dakwakan terhadap terdakwa agar nantinya hakim membuat putusan dengan
baik dan benar.
2. Hakim sebaiknya memperhatikan batas maksimal ancaman pidana terhadap
pasal yang digunakan jaksa penuntut umum agar tidak lagi memutus melebihi
batas maksimal ancaman pidana karena hal itu melanggar asas legalitas dalam
hukum pidana.
3. Dalam hukum Islam hakim sebaiknya memutus suatu perkara melalui ijtihad
yang mendalam sehingga putusan hakim tersebut memenuhi rasa keadilan
bagi terdakwa.
63
DAFTAR PUSTAKA
Ainul, Muhammad Syamsu, Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum
Pidana, Jakarta: Prenadamedia Group, 2016
Anshori, Imam Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Malang: Setara Press,
2014
Arifin, Jaenal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
Jakarta: Fajar Interpratama, 2008
Bertens, Kees, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1999
Budiarto, Miriam, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar
Harapan, 1991
- - - - - - - - -, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2001
Burhan, Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2000
Daud, Muhammad Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005
Devi, Rosalina Kusumaningrum, Putusan Ultra Petita dalam Perkara Pidana,
Jurnal Putusan Ultra Petita dalam Perkara Pidana, Yogyakarta: 2017
Djalil, Basiq, Peradilan Islam, Jakarta: Amzah, 2012
Fahmi, Ahmadi Muhammad, Metode Penelitian Hukum, Lembaga Penlitian UIN
Syarif Hidayatullah, 2010
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Bandung: Rineka Cipta, 2008
- - - - - - -, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke
Reformasi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1986
64
Harahap, Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Hatta, Muhammad Ali, Peradilan Sederhana Cepat dan Biaya Ringan Menuju
Keadilan Restoratif, Bandung: PT. Alumni, 2012
Koto, Alaidin, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001
Kurdi, Muhammad, Kemandirian Hakim (Perspektif Hukum Islam), Gowa:
Alauddin University Press Cet. I, 2012
Mahmud, Peter Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2011
- - - - - - - - - - - , Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Group,
2008
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002
Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Jakarta:
STIH IBLAM, 2004
Muhammad, Teungku Hasby Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam,
Jakarta: PT. Al Ma’arif 1964
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -, Peradilan dan Hukum Acara Islam,
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001
Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya bakti, 2007
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika
Aditama, 2003
Qadir, Abdul Audah, At-Tasyri‟ Aljina „Iyah Al-Is lamy, (Terj. Tsalisah), Jil.III,
Jakarta: Kharisma Ilmu, 2007
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996
65
Ranuhandoko, I.P.M, Terminologi Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta: Sinar
Grafika, 2000
Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progesif,
Jakarta: Sinar Grafika, 2014
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: Prenada
Media Group, 2012
Ritonga, Rahman, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Fajar Interpratama, 2008
Salam, Muhammad Madkur, Al- Qadha Fil Al-Islam, Terj. Imron AM, Peradilan
Dalam Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993
- - - - - - - - - - - - - - , Peradilan Dalam Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1993
Seno, Oemar Adji, Hukum Hakim Pidana, Jakarta: Erlangga, 1984
Setyo, Deni Bagus Yuherawan, Dekontruksi Asas Legalitas Hukum Pidana,
Sejarah Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum
Pidana, Jakarta: Setara Press, 2014
Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan kedua, Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas
Hukum Undip, 1990
Sukanto, Soejono dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: IND
HILLCO, 2001
Syafei’, Zakaria, Negara Daellam Perspektif Islam Fiqh Siyasah, Jakarta:
Hartomo Media Pustaka, 2012
Tasidjawa, Yuhenly, Kajian Yuridis Tentang Kemandirian Kekuasaan Kehakiman
Dalam Rangka Penegakan Hukum, (Law Enforcement, Jurnal Lex
Administratum, Volume III/ No.6/ Agust/2015)
Tjitrosudibyo, dan Subekti, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1969
66
Van, L.J, Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Terj. Oetarid Sadino, Jakarta:
Pradnya sParamita, 1993
Waluyo, Bambang, Pidana Dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2000
Wantjik, Imam Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Malang: Setara Press,
2014
Zulkarnain, Praktik Peradilan, Malang: Setara Press, 2013
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana atau yang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P U T U S A N
Nomor: 17/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tindak pidana korupsi
pada tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa, menjatuhkan putusan
terhadap Terdakwa:
Nama lengkap : SUSI TUR ANDAYANI alias UCI
Tempat lahir : JakartaUmur/Tanggal lahir : 48 Tahun/12 Oktober 1965
Jenis kelamin : PerempuanKebangsaan : IndonesiaTempat Tinggal : Jalan Cendana Gg Durian No.08
Tanjung Senang Bandar Lampung• Jalan Way Semangka No.20
Pahoman Bandar Lampung
Agama : IslamPekerjaan : AdvokatPendidikan : S-2
Dalam perkara ini Terdakwa dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Klas I
Jakarta Timur Cabang KPK oleh:
• Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, sejak tanggal 03 Oktober 2013
sampai dengan tanggal 22 Oktober 2013;------------------------------------------
• Diperpanjang oleh Penuntut Umum sejak tanggal 23 Oktober 2013
sampai dengan tanggal 01 Desember 2013;---------------------------------------
• Diperpanjang pertama oleh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak tanggal 02 Desember 2013
sampai dengan tanggal 31 Desember 2013;---------------------------------------
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P U T U S A N
Nomor : 394/PID.SUS/2015/PT-MDN.
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana
dalam Peradilan Tingkat Banding, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut
dalam perkara Terdakwa :
Nama lengkap : TERDAKWA;
Tempat lahir : Medan;
Umur/ tanggal lahir : 46 Tahun /08 Oktober 1969;
Jenis kelamin : Laki-laki;
Kebangsaan : Indonesia;
Tempat tinggal : Kab. Prekan Baru;
Agama : Islam;
Pekerjaan : Karyawan Swasta;
Terdakwa tidak ditahan;
Pengadilan Tinggi tersebut;
Telah membaca Penetapan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Medan tanggal
24 Juni 2015, nomor : 394/PID.SUS/2015/PT.MDN, serta berkas perkara
Pengadilan Negeri Lubuk Pakam nomor : 2046/Pid.Sus/2014/PN.Lbp, dan surat-
surat yang bersangkutan dengan perkara tersebut;
Membaca surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Lubuk
Pakam, yang mendakwa Terdakwa dengan dakwaan sebagai berikut :
DIKABURKAN.
- 1 -
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal
45 Ayat (2) UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga ;
Membaca surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Lubuk
Pakam, bahwa Terdakwa telah dituntut sebagai berikut :
1. Menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana “Kekerasan
psikis dalam lingkup rumah tangga” sebagaimana dimaksud dalam
dakwaan melanggar Pasal 45 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa selama 3 (tiga) bulan ;
3. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar
Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).
Membaca putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam nomor : 2046/
Pid.Sus/2014/PN.Lbp, tanggal 16 Februari 2015, yang amarnya berbunyi sebagai
berikut :
1. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Kekerasan Psikis Dalam Lingkup Rumah Tangga;
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 4
(empat) bulan;
3. Memerintahkan pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali dikemudian hari
ada perintah lain dari Hakim karena terdakwa melakukan tindak pidana
sebelum habis masa percobaan 8 (delapan) bulan ;
4. Membebankan terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp.2000,00
(dua ribu rupiah);
Telah membaca :
- 2 -
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
1. Akta Permintaan Banding yang dibuat oleh Wakil Panitera Pengadilan
Negeri Lubuk Pakam bahwa pada tanggal 23 Februari 2015, Jaksa
Penuntut Umum telah mengajukan permintaan banding terhadap Putusan
Pengadilan Negeri Lubuk Pakam nomor : 2046/Pid.Sus/2014/PN.Lbp,
tanggal 16 Februari 2015;
2. Relaas pemberitahuan permintaan banding yang dibuat oleh Jurusita
Pengganti Pengadilan Negeri Medan, bahwa permintaan banding tersebut
telah diberitahukan kepada Terdakwa pada tanggal 29 Mei 2015;
3. Relaas mempelajari berkas perkara Pengadilan Negeri Lubuk Pakam
tanggal 5 Maret 2015, yang disampaikan masing-masing kepada Jaksa
Penuntut Umum dan Terdakwa, untuk mempelajari berkas perkara tersebut,
selama 7 (tujuh) hari terhitung mulai tanggal pemberitahuan tersebut
sebelum berkas dikirim ke Pengadilan Tinggi;
Menimbang, bahwa permintaan banding oleh Jaksa Penuntut Umum telah
diajukan dalam tenggang waktu dan menurut tata cara serta syarat-syarat yang
ditentukan oleh Undang-Undang, oleh karena itu permohonan banding tersebut
secara formal dapat diterima;
Menimbang, bahwa dalam perkara ini Jaksa Penuntut Umum meskipun
mengajukan banding akan tetapi tidak mengajukan memori banding;
Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim Pengadilan Tinggi mempelajari
dengan seksama berkas perkara yang dimohonkan banding oleh Jaksa Penuntut
Umum yang terdiri dari Berita Acara Pemeriksaan dari Penyidik, Berita Acara
Pemeriksaan Persidangan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam berikut surat yang
timbul dipersidangan berhubungan dengan perkara ini dan turunan resmi putusan
Pengadilan Negeri Lubuk Pakam nomor : 2046/Pid.Sus/2014/PN.Lbp, tanggal 16
Februari 2015, berpendapat bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat
Pertama yang mendasari putusannya mengenai telah terbuktinya secara sah dan
meyakinkan kesalahan Terdakwa sebagaimana yang didakwakan kepadanya telah
- 3 -
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
tepat dan benar, oleh karenanya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dapat
menyetujui dan mengambil alih sebagai pertimbangan hukumnya sendiri dalam
memeriksa dan memutus perkara ini ditingkat banding, kecuali pidana yang
dijatuhkan terhadap Terdakwa, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menilai terlalu
ringan, belum memenuhi rasa keadilan, dimana akibat perbuatan Terdakwa,
mengakibatkan korban mengalami gangguan depresi ringan;
Menimbang, bahwa hukuman yang akan dijatukan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi sebagaimana tersebut dibawah ini, dinilai telah memenuhi rasa
keadilan, dan diharapkan dapat membuat efek jera bagi Terdakwa dan pelaku
kejahatan serupa dikemudian hari;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka
Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam nomor : 2046/Pid.Sus/2014/PN.Lbp,
tanggal 16 Februari 2015, yang dimitakan banding tersebut harus diperbaiki;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa tetap dinyatakan bersalah dan
dipidana, maka dibebani pula untuk membayar biaya perkara yang timbul dikedua
tingkat peradilan;
Memperhatikan pasal 45 ayat (2) Undang-Undang nomor : 23 tahun 2004
tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, Undang-Undang Republik
Indonesia nomor : 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, serta peraturan perundang-
undangan lain yang bersangkutan;
MENGADILI :
• Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum;
• Memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam nomor : 2046/
Pid.Sus/2014/PN.Lbp, tanggal 16 Februari 2015, yang dimintakan banding,
sekedar pidana yang dijatuhkan terhadap Terdakwa, sehingga amar
selengkapnya sebagai berikut :
- 4 -
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
1. Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Kekerasan Psikis Dalam Lingkup Rumah Tangga;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 5 (lima) bulan;
3. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam
kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp.2.500,-
(dua ribu lima ratus rupiah).
Demikian diputus dalam musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Tinggi
Medan pada hari Senin tanggal 21 September 2015 oleh Kami : DAHLIA
BRAHMANA, SH.MH. Hakim Pengadilan Tinggi Medan sebagai Hakim Ketua
Majelis, AMRIL, SH.MHum. dan ADE KOMARUDIN, SH.MHum. masing-masing
sebagai Hakim Anggota, yang ditunjuk untuk memeriksa dan mengadili perkara
tersebut ditingkat banding, berdasarkan Penetapan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi
Medan tanggal 24 Juni 2015, nomor : 394/PID.SUS/2015/PT.MDN, putusan mana
diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal 29
September 2015, oleh Ketua Majelis dengan didampingi Hakim-Hakim Anggota
tersebut serta BAIK SITEPU, SH. Panitera Pengganti pada Pengadilan Tinggi
Medan, tanpa dihadiri oleh Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa.
Hakim Anggota, Hakim Ketua,
ttd ttd
1. AMRIL, SH.MHum. DAHLIA BRAHMANA, SH.MH.
ttd
2. ADE KOMARUDIN, SH.MHum.
Panitera Pengganti,
ttd
BAIK SITEPU, SH.
- 5 -
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
- 6 -
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6