ultra petita dalam putusan hakim menurut hukum...

82
i ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM ISLAM Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H) Oleh: Ahmad Zaelani NIM 11140430000026 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H/2019 H

Upload: vodung

Post on 12-Aug-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

i

ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT

HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM ISLAM

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)

Oleh:

Ahmad Zaelani

NIM 11140430000026

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/2019 H

Page 2: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

ii

ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT

HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM ISLAM

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)

Oleh:

Ahmad Zaelani

NIM 11140430000026

Di Bawah Bimbingan

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Alfitra, SH. M.Hum. Ainul Syamsu, SH. MH.

NIP. 197202032007011034 NIP.

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H/ 2019 M

Page 3: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM

MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM ISLAM “ Telah

diajukan dalam sidang manaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi

Perbandingan Mazhab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada

12 Februari 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Program Strata satu (S-1) pada Program Studi

Perbandingan Mazhab.

PANITIA UJIAN MUNAQASAH

1. Ketua : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si (.................................)

NIP. 1974121320003121002

2. Sekretaris : Hidayatulloh. MH. (.................................)

NIP. 198708302018011002

3. Pembimbing I : Dr. Alfitra, SH. M.Hum. (.................................)

NIP. 197202032007011034

4. Pembimbing II : Ainul Syamsu, SH. MH (.................................)

NUP. 9920113021

5. Penguji I : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si (.................................)

NIP. 1974121320003121002

6. Penguji II : Mara Sutan Rambe, SHI. MH (.................................)

NIDN. 2124058501

Jakarta, 12 februari 2019

Mengesahkan

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Dr.Ahmad Tholabi Kharlie, SH. MH.MA

NIP. 197608s072003121001

Page 4: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah
Page 5: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

v

ABSTRAK

Ahmad Zaelani. NIM 11140430000026. ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN

HAKIM MENURUT HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM ISLAM.

Program Studi Perbandingan Mazhab, Konsentrasi Perbandingan Hukum,

Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, 1440 H/2019 M.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi faktor

diterapkannya Ultra Petita dalam putusan pidana oleh hakim dan untuk

mengetahui pandangan hukum Islam mengenai Ultra Petita. Dalam menjalankan

tugasnya hakim haruslah berlaku adil melalui sebuah putusannya karena seorang

hakim telah disumpah menurut agama dan Negara, rujukan dari seorang hakim

memutus sebuah perkara dalam hukum pidana adalah surat dakwaan jaksa

penuntut umum dan sudah seharusnya hakim memutus sebuah perkara bersumber

dari dakwaan jaksa penuntut umum dan tidak boleh memutus nmelebihi batas

ancaman maksimal pidana agar tidak melanggar asas legalitas hukum pidana.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan

metode pengumpulan studi pustaka (library research) dengan melakukan

pengkajian terhadap norma-norma hukum, buku-buku, dan peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Dengan obyek putusan No.

17/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST dan putusan No. 394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam putusan Nomor

17/Pid.Sus/2014/PN/JKT.PST hakim memutus di luar dari apa yang didakwakan

jaksa penuntut umum dirasa kurang memenuhi unsur keadilan bagi terdakwa

karena terdakwa di putus oleh hakim dengan pasal yang tidak di dakwakan oleh

jaksa penuntut umum, sedangkan pada putusan Nomor 394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn

hakim memutus melebihi batas maksimal ancaman pidana pada Pasal 45 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga dalam putusan ini hakim kurang memperhatikan asas legalitas

dalam hukum pidana, serta dalam pandangan hukum Islam hakim boleh

menggunakan ijtihadnya untuk menemukan suatu kebenaran dalam sebuah

perkara yang menurut hakim keputusannya merupakan suatu kebenaran.

Kata kunci : Ultra Petita, Putusan Hakim, Hukum Pidana, Hukum Islam

Di bawah bimbingan Pembimbing I Dr. Alfitra, SH, M.Hum dan Pembimbing II

Ainul Syamsu, SH, MH

Daftar Pustaka : 1964 s.d 2016

Page 6: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

vi

KATA PENGANTAR

بسم اهلل الرحمن الرحيم

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat

rahmat, hidayah, serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan

baik. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Baginda Nabi Muhammad

SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliah ke zaman ilmiah seperti

sekarang ini.

Selanjutnya, penulis akan menyampaikan rasa terimakasih tak terhingga

kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik

berupa moril maupun materil. Karena tanpa bantuan dan dukungannya, penulis

tidak akan menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis secara

khusus akan menyampaikan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH,MH,MA, Dekan Fakultas Syari’ah dan

Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, Ketua Program Studi Perbandingan

Mazhab dan bapak Hidayatulloh, MH, Sekretaris Program Studi Perbandingan

Mazhab.

3. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A, dosen penasehat akademik penulis.

4. Bapak Dr. Alfitra, SH.M.Hum dan Bapak Ainul Syamsu, SH. MH, dosen

pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu serta memberikan arahan,

saran dan ilmunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendidik dan

memberikan ilmu yang tak ternilai harganya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Adhar dan Ibunda Marfuah atas

pengorbanan dalam mendidik, mengasuh dan berjuang sampai ke titik ini dan

tak pernah lupa untuk mendoakan, memberikan arahan serta dukungan kepada

penulis. Juga kepada kakak Mega Sari dan adik Siti Fatikha yang telah

memberikan doa serta dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

Page 7: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

vii

ini. Salam hormat dan rindu untuk mereka semoga selalu diberikan

keselamatan, kesehatan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT.

7. Fitria Heryani Silvia S.Pd teman terbaik penulis yang telah banyak

memberikan pesan dan kesan terhadap penulis. Semoga Allah SWT tetap

memberikan kesehatan kepadanya.

8. Sahabat dan teman terbaik penulis yang telah banyak membantu dalam hal

apapun selama di ciputat, ananda Reno Tri Ramadhan, Fahri Muhammad,

Murtadhi Achmad, Abdullah Mahfud, Abdul Harist, Budi Kurniawan, Ari Al

Maulana, M. Angga Yuda, Khalil Gibran, Fahmi Fajrianto, Deni Alamsyah,

Sahrul Fauzi, dan Ahmad Tio Handini S.H. Semoga Allah selalu memberikan

kesehatan dan keselamatan. Salam hormat penulis dan ucapan terimakasih

sebanyak-banyak nya yang telah banyak membantu penulis selama 4,5 tahun

berada di ciputat

Akhir kata semoga Allah SWT membalas semua kebaikan atas bantuan

yang telah diberikan kepada penulis. Semoga kebaikan kalian menjadi berkah dan

amal jariyah untuk kita semua. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

penulis serta pembaca pada umumnya. Aamiin.

Jakarta, 20 Januari 2019

Penulis

Page 8: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ..................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv

ABSTRAK .......................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi

DAFTAR ISI ....................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................... 5

D. Tinjauan Review Terdahulu ......................................................... 5

E. Metode Penelitian ........................................................................ 8

F. Sistematika Penulisan .................................................................. 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN ............. 13

A. Pengertian kekuasaan kehakiman ................................................ 13

B. Asas Kekuasaan Kehakiman Merdeka ........................................ 14

C. Kekuasaan Kehakiman dan Hukum Pidana Indonesia dan Hukum

Islam ............................................................................................ 18

BAB III TINJAUAN UMUM TERHADAP ULTRA PETITA ......................... 31

A. Pengertian Ultra Petita ................................................................ 31

B. Putusan Ultra Petita Hubungan dengan Asas Legalitas dalam Pasal

1 ayat (1) KUHP .......................................................................... 34

C. Putusan Ultra Petita Hubungannya dengan Asas Kepastian Hukum

dan Keadilan dalam Penjatuhan Pidana ...................................... 38

Page 9: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

viii

BAB IV ANALISA PUTUSAN ULTRA PETITA DALAM HUKUM PIDANA

INDONESIA DAN HUKUM ISLAM..................................................44

A. Bentuk Putusan Ultra Petita pada Peradilan Pidana ................... 44

B. Pandangan Hukum Islam Mengenai Putusan Ultra Petita .......... 54

BAB V PENUTUP ................................................................................................... 60

A. Kesimpulan .................................................................................. 60

B. Saran ............................................................................................ 61

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 62

LAMPIRAN

Page 10: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Rasulullah saw adalah hakim yang pertama, setelah Rasulullah bangkit

menyampaikan risalah, beliau pun bertindak sebagai hakim. Dengan demikian

dapatlah kita menetapkan bahwa hakim pertama dalam Islam adalah Rasulullah

sendiri.1 Karena setelah Islam datang dan Allah memerintahkan nabi Muhammad

SAW agar menyampaikan risalah, maka ia memerintahkan juga agar ia

menyelesaikan segala sengketa yang timbul.2 Dengan firman-Nya yang artinya:

“Maka demi Tuhanmu, mereka itu (hakekatnya) tidak beriman, sehingga

mereka mau menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka

perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati sesuatu keberatan

terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.

(QS. An-nisaa 4:64)

Dalam menjalankan tugas nya seorang hakim yang telah disumpah menurut

agama dan Negara, keadilan adalah unsur yang harus dikedepankan oleh seorang

hakim. Karena unsur keadilan merupakan sarana terpenting untuk mencapai cita-

cita dan tujuan yang telah diatur oleh undang-undang.

Tentu produk hukum seorang hakim adalah sebuah putusan-putusan di

dalam Peradilan. Hakim merupakan wakil tuhan di dunia untuk menentukan salah

atau tidaknya perbuatan manusia di dunia. Asas kekuasaan kehakiman di

Indonesia diatur oleh undang-undang nomor 48 tahun 2009 pasal 1 berbunyi :

“Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

pancasila dan undang-undang dasar Negara republik indonesia tahun 1945, demi

terselenggaranya Negara hukum republik indonesia”.

1 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, PT. Alma’arif,

Yogyakarta, 1964, h.34 2 Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam, alih bahasa oleh Imron A.M,

Surabaya, PT. Bina Ilmu, 1993, h.34

Page 11: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

2

Dengan adanya jaminan Undang-Undang tersebut, sudah seharusnya hakim

menjalankan tugasnya dalam menegakkan hukum dan keadilan bebas dari segala

tekanan dari pihak mana pun juga, sehingga dapat memberikan putusan yang se

adil-adilnya.3

Hakim peradilan umum dalam proses pemeriksaan di persidangan

berwenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam konteks sistem peradilan pidana

pengadilan berfungsi untuk menguji keabsahan tindakan penyidikan, penuntutan

serta melakukan pengawasan terhadap terpidana yang diputus bersalah4 Ketika

hakim memutus suatu perkara, hukum dijadikan sebagai sarana sedangkan

keadilan adalah tujuannya.5

Bila melihat secara tegas dan kaku tugas seorang hakim dalam Undang-

Undang Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP) pasal 191 ayat (1): “Jika

pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan

terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepanya tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan, maka terdakwa di putus bebas”.6

Kemudian disebutkan dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP Musyawarah

hakim dalam putusan didasarkan atas dua hal yakni surat dakwaan dan segala

sesuatu yang terbukti didalam persidangan. Dalam melakukan dakwaan di dalam

persidangan sering kita menemukan Jaksa Penuntut Umum salah dalam

melakukan pasal dakwaan ataupun salah dalam mendakwa terhadap terdakwa di

pengadilan. Sehingga sering kita temukan Putusan hakim dalam peradilan pidana

di luar dari dakwaan Jaksa Penuntut Umum bisa lebih tinggi atau lebih rendah dari

dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

3 Rimdan,Kekuasaan Kehakiman Pasca-Amandemen Konstitusi,Jakarta.,Kencana Prenada

Media Group, 2012, h.50. 4 Muhammad Ainul Syamsu,Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana,

Jakarta, kencana, 2016, h.1-2 5 Zulkarnain, Praktik Peradilan Pidana, malang, setara pres, 2013, h.4-5

6 LIhat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Page 12: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

3

Jika kita melihat KUHAP Pasal 191 ayat (1) secara tegas dan kaku putusan

tersebut merupakan cacat Hukum, merupakan masalah dan menjadi sebuah

perbincangan apakah Putusan Hakim seperti itu dibenarkan atau tidak..Kenyataan

tersebut kemudian melahirkan putusan Ultra Petita, dimana Hakim menjatuhkan

Putusan diluar dari apa yang telah didakwakan oleh jaksa penuntut umum, Ultra

Petita dalam hukum formil mengandung pengertian penjatuhan putusan atas

perkara yang tidak dituntut atau meluluskan lebih dari pada yang diminta. Ultra

Petita menurut I.P.M. Ranuhandoko adalah melebihi yang diminta.7 Terdakwa

hanya dapat dipidana jika terbukti telah melakukan delik yang disebut dalam

dakwaan. Jika terdakwa terbukti melakukan delik tetapi tidak disebut dalam

dakwaan, maka ia tidak dapat dipidana.8

Seharusnya terdakwa dibebaskan oleh hakim, ini sejalan dengan apa yang

dikatakan pasal 191 ayat (1) Undang-Undang No. 8 tentang hukum acara Pidana

selanjutnya disebut KUHAP: “ Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil

pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa yang didakwakan kepadanya tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.

Hakim pada prinsipnya tidak dapat menjatuhkan hukuman kepada terdakwa

apabila perbuatan tersebut tidak didakwakan oleh Jaksa Penuntut umum dalam

surat dakwaannya.9 sudah seharusnya bahwa hakim dalam memutus Putusan

harus memperhatikan Dakwaan Jaksa Penuntut umum.Seperti yang terjadi di

dalam Putusan no.17/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST hakim yang memberi

putusan di luar dari dakwaan jaksa penuntut umum dan pada Putusan Pengadilan

Tinggi Medan Nomor 394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn dimana hakim memutus

melebihi maksimal ancaman pidana. Putusan tersebut bertentangan dengan pasal

191 ayat (1) dan melanggar dari asas-asas hukum pidana. Sehingga ini ada

penyimpan terhadap Undang-Undang dan cacat Hukum.

7 I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum, cetakan kedua (Jakarta: Sinar Grafika,2000).

h.522 8 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, h.168

9 Lilik mulyadi, Hukum Acara Pidana, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2007, h.39

Page 13: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

4

Berdasarkan uraian di atas maka penulis merasa tertarik untuk menganalisis

lebih dalam melalui sebuah karya tulis yang berbentuk skripsi dengan judul

“ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM

PIDANA INDONESIA DAN HUKUM ISLAM”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi beberapa

masalah dalam peneltian ini, di antaranya:

a. Ketentuan Hukum Pidana terkait Ultra Petita

b. Ketentuan Hukum Pidana Hakim dalam memutus perkara di luar

dakwaan Jaksa Penuntut Umum

c. Ketentuan Hakim memutus melebihi batas maksimal ancaman

Pidana

d. Penjelasan Ultra Petita dalam Hukum Pidana

e. Pandangan hukum Islam tentang Utra Petita

f. Pertimbangan Hakim memasukkan Ultra Petita pada putusan

Pidana

2. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah dalam penulisan skripsi ini, peneliti

membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih

dan terarah sesuai dengan yang diharapkan peneliti.

Di sini Peneliti akan membahas apa pertimbangan hakim

memasukkan Ultra Petita dalam putusan pidana dan bagaimana

pandangan hukum Islam mengenai Ultra Petita pada Putusan Nomor

17/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST dan Putusan Nomor

394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn.

3. Perumusan Masalah

Page 14: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

5

Berdasarkan uraian latar belakang, identifikasi masalah dan

pembatasan masalah, maka peneliti merumuskan masalah utama yang

menjadi fokus permasalahan, dapat di uraikan perumusan masalah

sebagai berikut:

a. Apa pertimbangan hakim memasukan Ultra Petita dalam

putusan pidana?

b. Bagaimana Pandangan Hukum Islam mengenai masalah

tentang Utra Petita?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian yang ingin penulis capai tersebut adalah sebagai

berikut:

a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim memasukan Ultra Petita

dalam putusan pidana

b. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam mengenai masalah

ultra petita.

2. Manfaat penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sekurang-

kurangnya untuk:

a. Kegunaan teoritis, sebagai sumbangsih ilmu pengetahuan yang

diharapkan memberikan kontribusi pemikiran pada dunia akademik

dan hukum di masyarakat.

b. Kegunaan praktis, diharapkan berguna untuk menjadi acuan bagi

penerapan suatu ilmu dilapangan atau masyarakat.

D. Tinjuan review Terdahulu

Sejauh penelusuran yang sudah penulis lakukan ada beberapa

skripsi yang membahas berkaitan dengan Ultra Petitra Di antaranya:

1. Skripsi oleh Rizka Meisa, Fakultas Hukum Universitas Jember Tahun 2015;

yang berjudul “Ultra Petita Oleh Hakim dalam Penegakan Hukum

Page 15: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

6

Pidana di Indonesia. Dengan rumusan masalah dari penelitian ini adalah

diperbolehkan atau tidak hakim membuat Putusan Ultra Petita berdasarkan

Ketentuan KUHAP dan UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman dan bagaimana Putusan Ultra Petita dalam sistem Peradilan

Pidana. Metode penelitiannya adalah metode penelitian yuridis normatif,

yaitu suatu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-

kaidah atau norma dalam hukum positif yang berlaku. Menggunakan

pendekatan kasus yakni: Putusan Mahkamah Agung Nomor

1626/Pid.Sus/2012, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1625

K/Pid.Sus/2012, Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.sus/2011,

Putusan Mahkamah Agung Nomor 675 K/Pid/1987, Putusan Mahkamah

Agung Nomor 818 K/Pid/1984. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa

Hakim dalam Peradilan Pidana diperbolehkan membuat Putusan Ultra

Petita hal ini didasarkan pada prinsip kebebasan hakim yang ada di dalam

pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Meskipun sesungguhnya jika dilihat dalam ketentuan KUHAP secara

legalitas ini melanggar Pasal 191 ayat (1) KUHAP namun di lain pihak

Putusan ini juga menegakan asas cepat, sederhana dan biaya ringan, selain

itu yurisprudensi dijadikan sebagai salah satu pertimbangan Hakim dalam

membuat Putusan Ultra Petita.

2. Skripsi oleh Nofrianto, Fakultas Hukum Universitas Andalas Tahun 2011;

menulis dengan judul “Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Nomor

003/PUU-IV/2006 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terhadap

Undang-Undang Dasar 1945”. Rumusan masalah dari penelitian ini

bagaimana pertimbangan hukum hakim Mahkamah Konstitusi dalam

memberikan Putusan pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi dan Bagaimana Implikasi Hukum terhadap putusan

Mahkamah Konstitusi perkara No.003/PUU-IV/2006 dalam pengujian

Page 16: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

7

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kesimpulan

dari penelitian ini Ultra Petita bukan hanya sekedar keinginan hakim belaka

namun lebih kepada sebuah kebutuhan hukum. Ultra Petita sebagai jawaban

hakim untuk mencari kekosongan hukum yang timbul akibat adanya

peraturan yang mengatur. Hak dasar warga Negara akan lebih terlindungi

dengan adanya putusan tersebut lantaran menjamin rasa keadilan. Pengujian

peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting karena pada

dasarnya memang tidak ada suatu peraturan perundang-undangan yang

dibuat dengan sempurna.

3. Skripsi oleh Abdullah fikri, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Tahun 2012; dengan judul “Putusan

Ultra Petita Mahkamah Konstitusi Dalam Perspektif Fiqh Siyasah”.

Dengan rumusan masalah adalah bagaimana pandangan Fiqh Siyasah

terhadap putusan Ultra Petita mahkamah konstitusi. Kesimpulan dari

penelitian ini bahwa Putusan Ultra Petita Mahkamah Konstitusi,

diperbolehkan dalam perspektif Fiqh Siyasah, selama putusan tersebut

mengandung kemaslahatan umum sebagai tujuan Fiqh Siyasah dan dapat

diterima oleh mayoritas masyarakat sebagai tolok ukur tercapainya

kemaslahatan.

Berdasarkan kajian terdahulu di atas, belum ditemukan karya ilmiah

yang secara khusus membahas Ultra Petita dalam putusan hakim menurut

hukum pidana Indonesia dan hukum Islam, walaupun ada yang membahas

Ultra Petita dalam sistem peradilan pidana namun rumusan masalah dan

studi kasus berbeda dengan penelitian ini, umumnya juga para peneliti

mengkaji masalah Ultra Petita dalam ruang lingkup Mahkamah Konstitusi.

Oleh karena itu, peneliti bermaksud mengisi kekosongan penelitian tentang

Putusan Ultra Petita, khususnya Ultra Petita dalam Putusan Hakim menurut

Pukum Pidana Indonesia dan Hukum Islam.

Page 17: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

8

E. Metode Penelitian

Dalam menyusun penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan

beberapa metode, antara lain:

1. Jenis Peneltian

Dalam menghimpun bahan yang dijadikan skripsi dalam

penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian yuridis normatif

(penelitian hukum normatif) yaitu penelitian hukum yang dilakukan

dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.10

2. Pendekatan Penelitian

Terkait skripsi ini penulis menggunakan beberapa pendekatan.

Melalui pendekatan tersebut penulis akan mendapatkan informasi dan

berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari

jawabannya. Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah:

a. Pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan ini

dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi

yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.11

b. Pendekatan kasus (case approach), pendekatan ini dilakukan

dengan cara melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan

dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Yang menjadi kajian

pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau

reasoning yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada

suatu putusan.12

10 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,

Jakarta, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010. h.38 11

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2011, h.93 12

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2011, h.94

Page 18: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

9

c. Pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan

konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Dengan

mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam

ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang akan

melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum,

dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.

Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin

tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun

suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang

dihadapi.13

3. Sumber Data

Sumber data adalah segala sesuatu yang menjadi sumber dan

rujukan penelitian. Adapun sumber data dalam penelitian ini peneliti

bagi ke dalam dua jenis data, yaitu:

a. Sumber primer

Data primer yaitu data yang didapat dari bahan-bahan yang

diperlukan. Dan disebut juga bahan-bahan hukum yang

mengikat.14

bersifat utama dan penting yang memunginkan untuk

mendapatkan sejumlah informasi berkaitan dengan penelitian,

yaitu:

1) Salinan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat putusan

nomor: 17/PID.SUS/TPK/2014/PN/JKT.PST.

2) Salinan Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor

394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn.

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana atau yang disebut Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

13

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2011, h.95 14

Soejono Sukanto dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: IND

HILLCO, 2001),h.13

Page 19: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

10

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman.

5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

6) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

b. Sumber Sekunder

Yaitu bahan hukum yang menjelaskan tentang bahan hukum

primer, yaitu data pendukung data pelengkap, adapun bahan

hukum sekunder peneliti gunakan adalah buku-buku hukum,

jurnal-jurnal hukum, kamus-kamus hukum, termasuk data-data

atau dokumen-dokumen dari internet yang berkaitan dengan

pembahasan dalam penelitian ini.15

4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan dan studi

pustaka (library research). Studi pustaka dilakukan guna

mengklarifikasinya dengan masalah yang dikaji. Adapun bahan

hukum, baik bahan hukum primer, maupun sekunder diuraikan dan

di hubungkan sedemikian rupa, sehingga ditampilkan pada penelitian

yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah

dirumuskan.

5. Teknik Pengolahan Data

Cara mengolahnya dengan mengumpulkan data-data yang

diperoleh dari pendekatan yang dilakukan oleh peneliti yaitu

pendekatan perundang-undangan. Dan kemudian dianalisis untuk

mendapatkan titik terang dan jawaban terhadap permasalahan yang

dikaji.

15 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2011, h.155

Page 20: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

11

6. Teknik analisa data

Setelah melalui beberapa proses pengumpulan data yang

dilakukan dengan macam-macam metode yang dipilih, maka data

yang sudah ada akan diolah dan dianalisa agar mendapatkan hasil

yang bermanfaat dari penelitian ini. Pengolahan data yang dilakukan

dengan mengadakan studi dengan teori dan asas dalam hukum

pidana dan hukum Islam.

7. Pedoman Penulisan Skripsi

Dalam penulisan skripsi ini penulis berpedoman pada buku

pedoman penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2017.

F. Sistematika Penulisan

Pedoman penulisan yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah berdasarkan buku pedoman panduan penyusunan skripsi dan karya

ilmiah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta Tahun 2017, dan untuk menjadikan penelitian ini

menjadi penelitian yang terarah dan sistematis maka pembahasan skripsi ini

dilakukan dan ditulis melalui tiga tahap penulisan yaitu pendahuluan, isi dan

penutup. Dari bagian-bagian tersebut terdiri dari bab-bab dan di dalam bab

terdapat sub-sub bab. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai

berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Berisikan pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah,

identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan (review) kajian

terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Page 21: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEKUSAAN KEHAKIMAN

Bab ini, akan diuraikan menjadi tiga pokok pembahasan yaitu

pembahasan terkait pengertian Kekuasaan Kehakiman, Asas

Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kekuasaan Kehakiman

dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Islam.

BAB III TINJAUAN TERHADAP ULTRA PETITA

Bab ini berisikan tentang pengertian Ultra Petita, Putusan Ultra

Petita hubungannya dengan Asas Legalitas Dalam Pasal 1 ayat (1)

KUHP dan Putusan Ultra Petita hubungannya dengan Asas

Kepastian Hukum dan Keadilan Dalam Penjatuhan Pidana.

BAB IV ANALISA PUTUSAN ULTRA PETITA DALAM HUKUM

PIDANA INDONESIA DAN HUKUM ISLAM

Bab ini mencoba menguraikan tentang bentuk Putusan Ultra Petita

pada Peradilan Pidana antara lain Putusan Hakim menggunakan

Pasal di luar dakwaan jaksa penuntut umum, Putusan hakim yang

melebihi batas maksimal ancaman pidana dan pandangan hukum

Islam mengenai putusan Ultra Petita.

BAB V PENUTUP

Pada bagian akhir penulisan skripsi ini terdiri dari kesimpulan

terhadap penilitian ini serta berisikan saran terhadap penelitian

yang berjudul ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM

TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT

HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM ISLAM.

Page 22: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

13

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

A. Pengertian Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk

mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa

sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang

yang mempunyai Kekuasaan itu.16

Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.17

Pengertian seperti tersebut merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal

24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

setelah amandemen ketiga tahun 2001, berbunyi “Kekuasaan Kehakiman

merupakan Kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan”.18

Definisi yang disebutkan di atas bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan

kekuasaan yang merdeka yang di amanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Tahun 1945 untuk menyelenggarakan peradilan agar terciptanya suatu

penegakkan hukum serta keadilan untuk masyarakat. Pengertian kekuasaan

Negara yang merdeka, dimaksudkan bahwa kekuasaan kehakiman di samping

kekuasaan pemerintah dan kekuasaan perundang-undangan mempunyai

kekuasaan yang bebas.19

Dengan kata lain bebas dari intervensi kekuasaan yang

lainnya.

16

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Penerbit Gramedia, 2001 17

Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman. 18

Lihat Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 19 K Wantjik Saleh, Kekuasaan dan Keadilan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1977, h.17

Page 23: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

14

Bebas yang dimaksud bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat

dilaksanakan dengan sebebas-bebasnya tanpa rambu-rambu pengawasan, oleh

karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk

berperkara yang baik (general principles of proper justice), dan peraturan-

peraturan yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan

di ajukannya upaya hukum.20

Jadi dalam pelaksaannya, penegakkan prinsip

kebasan dalam kekuasaan kehakiman harus tetap berada di jalur yang benar

sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 serta hukum yang berlaku. Perlu ditekankan

kembali bahwa hakim dalam kekuasaan kehakiman untuk menjalankan

tugasnyanya diberikan kekuasaan yang bebas namun tidak serta merta dalam

putusannya, hakim bebas memutus seorang terdakwa sesuai keinginannya, akan

tetapi bebas yang dimaksud tetap berada pada koridor yang telah di amanatkan

oleh pancasila, UUD 1945, serta hukum yang berlaku agar tercipta suatu keadilan

dalam putusannya.

B. Asas Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka

Landasan hukum konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah Pasal

24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen, yang menegaskan

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”21

Lebih lanjut diikuti oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman sebagai payung hukum seluruh badan peradilan di

Indonesia, pada Pasal 1 ayat (1) kembali ditegaskan:

“Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan Negara yang Merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara hukum Republik

Indonesia”22

20 Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Malang, Setara Press, 2014,

h.131 21

Lihat Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen 22 Lihat lebih lanjut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

Page 24: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

15

Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka adalah kebebasan pengadilan yang

mengandung di dalamnya kebebasan dalam menjalankan tugas peradilannya.23

Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal.

Ia menjadi ciri pula suatu Negara hukum. The Universal Declaration of Human

Right, pada Pasal 10 mengatakan sebagai berikut.

Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an

independent and impartial tribunal in the determination of his rights and

obligation and of any criminal charge against him.

(Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya

di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak

memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya

dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya).

Sehubungan dengan itu, Pasal 8 berbunyi sebagai berikut.

Everyone has the right to an effective remedy by the competent national

tribunals for act violating the fundamental rights granted him by the

constitution or by law.

(Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim

nasional yang kuasa terhadap tindakan perkosaan hak-hak dasar, yang

diberikan kepadanya oleh Undang-Undang Dasar Negara atau Undang-

Undang).

Dapat diartikan juga bahwa Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka ialah

kewenangan seorang hakim yang diatur oleh konstitusi dalam mengadili dan

memutus perkara di dalam persidangan itu harus bebas dari pengaruh pihak

23

M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana Cepat dan Biaya Ringan Menuju Keadilan

Restoratif, Bandung, Penerbit P.T Alumni, 2012, h.132

Page 25: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

16

manapun. Ditemukan beberapa asas-asas Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka,

di antaranya:

1. Asas Kebebasan Hakim

Asas Kebebasan Hakim di atur dalam Undang-Undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 24 ayat (1), berbunyi “Kekuasaan

kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” dan diatur pula dalam

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, berbunyi

”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

Dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia, kata kebebasan

digunakan terhadap lembaga peradilan (kekuasaan kehakiman yang merdeka),

maupun terhadap hakim (kebebasan hakim) sebagai aparatur inti kekuasaan

kehakiman. Istilah kebebasan hakim sebagai suatu prinsip yang telah

ditancapkan konstitusi, ternyata dalam tataran implementasi personal maupun

sosial telah banyak menimbulkan berbagai macam penafsiran. Ketika kata

kebebasan digabungkan dengan kata hakim, yang membentuk kata majemuk

“kebebasan hakim”, maka penafsirannya bermacam-macam. Ada yang

menafsirkan bahwa kebebasan hakim merupakan kebebasan yang tidak

bersifat mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan

keadilan yang harus didasarkan (terikat kepada dasar Pancasila).24

Oleh karena

itu kebebasan hakim tidak bersifat mutlak, maka kebebasan hakim tidak boleh

terlepas dari unsur tanggung jawab. Kebebasan hakim bukanlah kebebasan

yang mutlak dan tanpa batas yang cenderung menjurus kepada kesewenang-

wenangan.25

24

Miriam Budiarto, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta, Sinar

Harapan, 1991, h.1 25

Kees Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Kanisius, Yogyakarta, 1999, h.94

Page 26: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

17

Dengan demikan sudah sepatutnya dalam menjalankan tugas nya

hakim haruslah bebas dari semua tekanan pihak manapun, agar tercipta

putusan hakim yang adil se adil-adilnya. Akan tetapi tentu ada batasan-batasan

kebebasan hakim dalam memutus suatu perkara dalam persidangan, dibatasi

oleh Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang.

2. Asas Peradilan Dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa”

Dasar hukum asas ini adalah pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945

setelah amandemen, yang berbunyi,

(1) “Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa”. (2) “Negara

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya

itu”.26

Kemudian lebih lanjut diatur dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009, “Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan

ketuhanan yang Maha Esa”. 27

Asas ini berlaku untuk semua lingkungan

badan peradilan.

Irah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”

sebagai kekuatan eksekutorial, dengan adanya irah tersebut maka dalam setiap

putusan atau penetapan badan peradilan mempunyai kekuatan untuk

dilaksanakan atau eksekusi. tanggung jawab hakim yang paling utama adalah

kepada Tuhan yang Maha Esa tergambar dalam irah-irah “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa” bukan sekedar penghias pada setiap

putusan, namun merupakan esensi dari pertanggung jawaban hakim kepada

Tuhan karena hubungan hakim sebagai manusia dengan Tuhan bersifat sangat

pribadi dan tidak mungkin diketahui orang lain.

Proses mengadili bukan hanya berkaitan dengan penalaran dan olah

pikir secara ilmiah, namun memerlukan sentuhan perasaan dan hati nurani

26

Lihat lebih lanjut pasal 29 ayat (1)(2) Undang-Undang Dasar 1945 setelah

amandemen 27

Lihat pasal 2 ayat (1) Undang-Undang nomor 48 Tahun 2009

Page 27: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

18

melalui proses kontemplasi yaitu pada saat menentukan keyakinan dalam

dirinya dan menentukan besaran pidana yang setimpal dengan dengan

perbuatan si terdakwa. Hati nurani akan menjadi ukuran dalam menjatuhkan

berat ringannya pidana, sehingga walaupun dalam beberapa hal hakim harus

senantiasa menghindari sifat dasar manusiawinya seperti perasaan simpati dan

sentimental, namun dia juga tidak boleh kehilangan jati dirinya sebagai

manusia yang memiliki perasaan dan hati nurani.28

3. Asas Objektifitas

Penyelesaian perkara secara objektif dilandasi oleh pasal 4 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menegaskan “Pengadilan mengadili

menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang” artinya, hakim dalam

memeriksa dan memutus perkara yang di ajukan kepadanya haruslah objektif

dan tidak boleh memihak kepada pihak tertentu.29

Sebagai bentuk upaya untuk

mewujudkan objektifitas hakim dalam mengadili, maka didalam undang-

undang nomor 48 Tahun 2009 telah diatur bahwa pihak-pihak yang diadili

berhak ingkar atas hakim-hakim yang mengadilinya, akan tetapi haruslah

disertai dengan alasan-alasan terhadap penolakan tersebut. 30

Lebih lanjut alasan-alasan yang diajukan setidaknya menyangkut

karena terikat hubungan sedarah atau hubungan suami istri atau istri meskipun

telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, atau

panitera.31

Asas Objektifitas dalam proses persidangan di pengadilan adalah

sebuah keharusan, memperlakukan semua pihak dengan sama di depan hukum

tidak memihak terhadap para pihak yang berperkara dipengadilan. Karena

penyelesaian konflik atau sengketa akan baik dan dapat diterima oleh semua

pihak jika dilakukan secara objektif (tidak memihak).

28 Yuhenly Tasidjawa, Kajian Yuridis Tentang Kemandirian Kekuasaan Kehakiman

Dalam Rangka Penegakan Hukum (Law Enforcement, Jurnal Lex administratum, Volume.

III/No.6/Ags/2015 29

Lihat lebih lanjut Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 30

Lihat Pasa 17 Ayat (1) (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 31

Lihat Lebih Lanjut Pasal 17 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

Page 28: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

19

C. Kekuasaan Kehakiman dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum

Islam

1. Kekuasaan Kehakiman dalam Hukum Pidana Indonesia

Kekuasaan Kehakiman dalam Hukum Pidana Indonesia, sudah

pasti membahas tentang hakim. Yang dimaksud hakim dalam hukum

pidana disebutkan oleh KUHAP pasal 1 butir 8 berbunyi ”hakim adalah

pejabat peradilan Negara yang diberi wewenang oleh undang-undang

untuk mengadili”. Selain KUHAP pengertian hakim menurut Undang-

Undang Nomor 48 Tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 1 ayat (5)

disebutkan bahwa:

“Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada

badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan

hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan

peradilan tersebut”.

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, seperti

yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu bahwa:

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan. Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberentikan

sebagai hakim ditetapkan dengan Undang-Undang”.

Fungsi kekuasaan kehakiman diatur dalam pasal 1 Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 yang berbunyi :

“ Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

Page 29: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

20

keadailan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara

hukum Republik Indonesia”.

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam hal ini mengandung

arti bahwa Kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak

kekuasaan ekstra yudisial, kecuali sebagaimana yang disebut dalam

Undang Undang Dasar 1945. Kebebasan dalam pelaksanaan wewenang

yudisial sifatnya tidak mutlak, karena tugas dari seoramg hakim adalah

untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga

putusannya mencerminkan rasa keadilan untuk rakyat Indonesia. Masalah

kebebasan hakim perlu dihubungkan dengan masalah bagaimana hakim

dalam mengikuti yurisprudensi, kebebasan hakim dalam menemukan

hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum.32

Untuk menemukan

hukum, hakim dapat bercermin pada yurisprudensi dan pendapat ahli

hukum.

Menurut Muchsin bahwa: 33

“Behubungan dengan kebebasan hakim ini, perlu pula dijelaskan

mengenal posisi hakim yang tidak memihak (Impartial Judge).

Istilah tidak memihak disini tidak diartikan secara harfiah, karena

dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak kepada yang

benar”.

Menurut Andi Hamzah bahwa:34

“Dalam hal ini, hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah

dalam pertimbangan dan penilaiannya. Hakim tidak memihak

berarti juga bahwa hakim itu tidak menjalankan perintah dari

pemerintah. Bahkan jika harus demikian, menurut hukum hakim

32

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2009,

h.104 33

Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Jakarta,

STIH IBLAM, 2004, h.20 34

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Bandung, Rineka cipta, 2008, h.91

Page 30: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

21

dapat memutuskan menghukum pemerintah, misalnya tentang

keharusan ganti kerugiaan yang tercantum dalam KUHAP”.

Tonggak utama dari pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman adalah

hakim, seorang hakim sudah sepatutnya mempunyai integritas tinggi,

jujur, dan menguasai betul hukum secara sempurna karena, profesi hakim

merupakan profesi hukum. Maka hakim adalah orang yang tahu hukum

sehingga ia tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa

yang di ajukan kepadanya. Sesuai yang diatur dalam pasal 16 ayat (1) UU

No.35 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,

“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu

perkara yang di ajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak atau

kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Hakim berbeda dengan pejabat lain ia harus benar-benar menguasai

hukum, bukan sekedar mengandalkan kejujuran dan kemauan baiknya.

Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa.35

“Perbedaan antara pengadilan dan instasi-instasi lain ialah bahwa

pengadilan dalam melakukan tugasnya sehari-hari selalu secara

positif dan aktif memperhatikan dan melaksanakan macam-macam

peraturan hukum yang berlaku dalam suatu Negara. Di bidang

hukum pidana hakim bertugas menerapkan apa in concreto ada

oleh seorang terdakwa dilakukan suatu perbuatan melanggar

hukum pidana. Untuk menetapkan ini oleh hakim harus dinyatakan

secara tepat Hukum Pidana yang mana telah dilanggar”.

Di dalam UUD 1945 mengenai masalah kebebasan hakim atau

masalah kebebasan peradilan telah diatur secara tersurat dalam Pasal 24

dan Pasal 25. Hal ini sudah menjadi jaminan yang cukup kuat di

Indonoesia, dengan demikian kebebasan peradilan adalah merupakan suatu

35

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung,

Refika Aditama, 2003, h.26-27

Page 31: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

22

syarat mutlak suatu Negara hukum. Sebab suatu pengadilan yang bebas

dapat memberikan pengadilan tanpa dipengaruhi oleh pihak manapun dan

dalam bentuk apapun.

Jadi, pengadilan menjatuhkan pidana apabila pengadilan

berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya, Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Terdakwa bukan

begitu saja dapat dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, tetapi harus

didukung sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dua alat bukti yang

sah tersebut harus dapat meyakinkan hakim akan kesalahan terdakwa dan

tindak pidana yang dilakukannya.

Menurut Hazewinkel Suringa, dalam kerangka kebebasan hakim

untuk menentukan berat ringannya hukuman, dimana ia dapat bergerak

dalam batas-batas maksimal hukuman ataupun memilih jenis hukuman

maka dapat ditegaskan disini bahwa alasan-alasan tersebut, baik ia jadikan

landasan untuk memberatkan hukuman ataupun untuk meringankannya,

tidak merupakan arti yang essentieel lagi. 36

Dalam batas-batas tersebut hakim pidana adalah bebas dalam

mencari hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa secara tepat, suatu

kebebasan tidak berarti kebebasan yang mutlak secara tidak terbatas,

menurut Gunter Warda, seorang hakim harus mempertimbangkan sifat dan

seriusnya delik yang dilakukan, keadaan yang meliputi perbuatan-

perbuatan yang dihadapkan kepadanya, ia harus melihan kepribadiaan dari

perilaku perbuatan, dengan umurnya, tingkat pendidikannya, apakah ia

pria atau wanita, lingkungannya, sifatnya sebagai bangsa dan hal-hal

lain.37

Dalam menerapkan peraturan pidana, hakim mempunyai

kebebasan:

a. Memilih beratnya pidana yang bergerak dari minimum ke maksimum

dalam perumusan delik yang bersangkutan.

36

Oemar Seno Adji, Hukum Hakim Pidana, Jakarta, Erlangga, 1984, h.8 37

Oemar Seno Adji, Hukum Hakim Pidana, Jakarta, Erlangga, 1984, h.8

Page 32: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

23

b. Memilih pidana pokok mana yang patut dijatuhkan, apakah pidana

mati, pidana penjara, pidana kurungan (dalam rancangan KUHP adalah

pidana tutupan) ataukah pidana denda, sesuai dengan pertimbangan

berat ringannya perbuatan yang dilakukan.

c. Sebelum hakim tiba pada pemilihan seperti pada huruf a dan b, ia

dapat memilih apakah ia menjatuhkan hanya pidana bersyarat saja,

manakala ia memandang lebih bermanfaat bagi masyarakat dan

terpidana jika ia menjatuhkan pidana bersyarat saja. 38

d. Menurut Andi Hamzah, jika hakim menjatuhkan pidana harus dalam

rangka menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum

bagi seseorang. Jadi, bukan hanya balas dendam, rutinitas pekerjaan

maupun bersifat formalitas. Memang apabila kita kembali pada tujuan

hukum acara pidana, secara sederhana adalah untuk menemukan

kebenaran materiil. Bahkan sebenarnya tujuannya lebih luas yaitu

tujuan hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran

materiil itu hanya merupakan tujuan antara. Artinya ada tujuan akhir

yaitu yang menjadi tujuan seluruh tertib hukum Indonesia, dalam hal

itu mencapai suatu masyarakat yang tertib, tentram, damai, adil, dan

sejahtera (tata tentram karta rahaja).39

2. Kekuasaan Kehakiman dalam Hukum Islam

Kekuasaan Kehakiman dalam tradisi Islam, sering dipadankan

dengan istilah Sulthah Qadhaiyah, kata Sulthah berasal dari bahasa arab

yang berarti pemerintahan, Sedangkan Qadhaiyah adalah putusan,

peradilan, atau penyelesaian perselisihan. Jadi Sultha Qadhaiyah secara

estismologi adalah kekuasaan yang berkaitan dengan kehakiman atau

peradilan, sedangkan secara terminologi Sulthatun bi ma‟na al qudrah

yaitu:

38

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke

Reformasi, Jakarta, Pradnya Paramita, 1986, h.77 39

Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, 2000,

h.89

Page 33: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

24

“Kekuasaan atas sesuatu yang kokoh dari dari bentuk perbuatan

yang dilaksanakan atau bentuk perbuatan yang ditinggalkan”.

Maksudnya yaitu, Kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin

jalannya proses perundang-undangan sejak penyusunannya sampai

pelaksanaannya serta mengadili perkara perselisihan, baik yang

menyangkut perkara perdata maupun pidana. Dalam bahasa Indonesia,

istilah ini dikenal dengan Kekuasaan Yudikatif.40

Sebagaimana diketahui bahwa, salah satu prinsip dasar dari

pemerintahan/Negara yang ditekankan dalam Islam adalah Negara

Hukum. Sebagai Negara hukum, maka tegaknya keadilan merupakan suatu

kewajiban yang harus diwujudkan di dalam kehidupan bernegara. Al-

Quran mengatur masalah ini dalam surat An-Nisa (4); 58 yang artinya:

“Sesungguhnya Allah telah menyuruh kamu menyampaikan

amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu)

apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu

menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran

yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha

Mendengar lagi Maha Melihat. (Qs. An-Nissa (4): 58).41

Sedangkan untuk mewujudkan hukum yang adil, tidak mungkin

dapat dicapai tanpa adanya lembaga peradilan (yudikatif) yang berfungsi

untuk melaksanakan semua ketentuan hukum secara konsekuen.

Karenanya, kehadiran lembaga yudikatif dalam sistem kenegaraan Islam

merupakan sebuah keniscayaan dan menjadi syarat mutlak yang harus

dipenuhi.

40

Rahman Ritonga, Ensiklopedia Hukum Islam, sebagai dikutip Jaenal Arifin,

Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta, Fajar Interpratama,

2008, h.146 41

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, Jakarta, Magfiroh Pustaka,

h.87

Page 34: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

25

Begitu urgennya Sulthah Qadhaiyyah (lembaga yudikatif), maka

tidak heran kalau sejak awal kehadiran Negara dalam khazanah sejarah

Islam, lembaga yudikatif ini telah ada dan berfungsi, meskipun masih

dalam bentuknya yang sangat sederhana. Kecuali itu, pada awalnya

kekuasaan yudikatif tersebut hanya dipegang oleh khalifah atau orang

yang mewakilinya untuk menjalankan kekuatan tersebut. Bahkan, pada

massa Nabi Muhammad SAW, Sulthah Qadhaiyyah beserta dua lembaga

lainnya pembuat hukum dan pelaksana hukum berada di tangan Nabi

sendiri.

Sejarah perkembangan Kekuasaan Kehakiman dalam Islam bisa

dilihat dari awal munculnya peradilan pada masa Rasulullah saw sampai

dengan pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada masa Rasulullah saw adalah

hakim yang pertama, setelah Rasulullah saw bangkit menyampaikan

risalah, beliau pun bertindak sebagai hakim. Dengan demikian dapatlah

kita menetapkan bahwa hakim pertama dalam Islam adalah Rasulullah

sendiri.42

Selain sebagai hakim Rasulullah pun memegang Kekuasaan

eksekutif, legislatif, dan yudikatif oleh karenanya segala urusan

kewenangan Sulthan Qadhaiyah bertumpu pada kekuasaan.

Pada masa dinasti Umayyah Kekuasaan Kehakiman menyebutnya

lembaga pelaksana hukum (Nizam al-Qadha‟), sedangkan pada masa

dinasti Abbasiyah menyebutnya lembaga yang bertugas memberi

penerangan dan pembinaan hukum (Nizham al-Mazhalim).43

Semua

lembaga tersebut bertujuan utuk menegakkan ketertiban umum baik pada

pemerintahan maupun masyarakat umum. Walaupun berbeda dalam

penggunaan istilah untuk Kekuasaan Kehakiman, tetapi masing-masing

badan yang dibawahnya sama-sama memiliki tiga badan peradilan sebagai

pelaksana Kekuasaan Kehakiman yaitu wilayah Al-qadha, wilayah al-

hisbah, dan wilayah Al-mazhakim. Berikut wilayah pembagiannya:

42

T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Yogyakarta,

PT Alma’arif, 1964, h.10 43

Lihat Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di

Indonesia, Jakarta, Fajar Interpratama, 2008, h.170

Page 35: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

26

e. Al-Qadha

Qadha adalah lembaga yang bertugas memberi penerangan dan

pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan, dan

masalah wakaf. Secara spesifik, salam Madkur pengertian: lembaga

yang bertugas memutuskan sengketa antara dua pihak yang bertikai

dengan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Dengan benar

dan adil tanpa memihak kepada salah satunya, menempatkan mereka

sama dihadapan hukum Allah.44

Lembaga ini dimulai sejak masa

Rasulullah SAW kemudian di sempurnakan pasa masa sesudahnya.

Badan Al-Qadha dipimpin oleh seorang Qadhi yang bertugas membuat

fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang di gali langsung dari Al-Quran,

sunnah rasul, Ijma‟, atau berdasarkan Ijtihad. Badan ini bebas dari

pengaruh penguasa dalam menetapkan keputusan hukum, sekalipun

terhadap penguasa. Dalam konteks Indonesia, Qadha ini dapat

disamakan dengan badan perradilan agama dan peradilan umum.45

Namun jika dilihat dari perspektif kontemporer, fungsi lembaga Qadhi

ini bisa dikatakan mirip dengan fungsi badan yudikatif dan legislatif,

dalam fungsi yudikatif Qadhi mengurusi kasus yang membutuhkan

penyelesaian secara hukum Islam dan mengadili perkara-perkara

perdata dan perkara pidana berdasarkan hukum Islam. Dengan

demikian dalam hukum Islam hakim tidak boleh terpengaruh oleh

siapapun dalam kedudukan nya sebagai hakim kecuali terhadap

kebenaran dan keadilan semata.

f. Al-Hisbah

Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman

dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah

44

Muhammad Salam Madkur, Al-Qadha Fil Al-Islam, ter. Imron AM, Peradilan

Dalam Islam, Surabaya, PT Bina Ilmu , 1993 h.65 45

Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,

Jakarta, Kencana, 2008, h.166-167

Page 36: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

27

kezaliman. Pejabatnya disebut Al-Muhtasib yang bertugas untuk

menangani masalah kriminal, mengawasi hukum, mengatur ketertiban

umum dan masalah-masalah kriminal lainnya, mereka ditunjuk oleh

khalifah untuk mengawasi di pasar-pasar dan para pedagang agar tidak

terjadi kecurangan. Seorang Muhtasib memiliki hak untuk

melaksanakan hukuman apabila terjadi pelanggaran secara langsung

tanpa menunggu proses pengadilan. Dalam konteks sekarang, fungsi

Muhtasib sama dengan polisi pasar di zaman sekarang, hanya ada

perbedaannya, polisi tidak dapat menghukum terdakwa tanpa diajukan

ke pengadilan dahulu.46

g. Al-Madzalim

Qadhi Madzalim bertugas untuk menyelesaikan suatu perkara yang

tidak dapat diputuskan oleh Qadha dan Muhtasib, dengan cara

peninjauan kembali putusan tersebut atau dengan cara menyelesaikan

perkara banding. Badan ini memiliki Mahkamah Madzalim. Sidangnya

selalu diselenggarakan di masjid dan dihadiri oleh lima unsur sebagai

anggota sidang yaitu; Para pembela dan pembantu sebagai juri, para

hakim, para fuqaha, para khatib, dan para saksi. Wilayah Al-Mudzalim

adalah wilayah atau lembaga kehakiman tingkat tinggi yang pusatnya

dipegang khalifah, sedangkan untuk daerah, jabatan ini dipegang oleh

Qadhi Madzalim. Wilayat Al-Madzalim ini juga menangani tindakan

pejabat-pejabat Negara termasuk hakim yang berbuat sewenang-

wenang terhadap rakyat. Kalau dibandingkan dengan lembaga-

lembaga kehakiman sekarang, bisa dipadankan dengan Pengadilan

Tinggi atau Mahkamah Agung, sebagai tempat bagi orang yang kalah

dan tak puas yang mengajukan perkaranya kembali. Dengan adanya

Mahkamah Agung dan ketuanya ini, kekuasaan Negara di bidang

46

Jaenal Aripin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,

Jakarta, Kencana, 2008, h.168

Page 37: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

28

pengadilan bertambah lengkap. Dibawah Mahkamah Agung ada

pengadilan tinggi dan dibawahnya ada pengadilan Negara.47

h. Al- Mahkamah Al-Asykariyyah

Lembaga ini dibentuk pada masa dinasti Abbasiyah adalah diartikan

sebagai peradilan/mahkamah militer. Hakim dilembaga ini Qadhi Al-

asykar dan Al-jund. Posisi ini sudah ada sejak sultan salahudin Yusuf

bin Ayyub. Tugasnya adalah menghadiri sidang-sidang di Dar al-Adl,

terutama ketika persidangan tersebut menyangkut tentang anggota

tentara/militer.48

Sumber Hukum Kekuasaan Kehakiman dalam Islam menurut kitab

Fiqh, landasan yang harus digunakan sebagai putusan hakim adalah nash-

nash dan hukum yang pasti (qath‟i tsubut wa „adalah) dari Al-Quran dan

sunnah dan hukum-hukum yang disepakati oleh ulama (mujma „alaih),

atau hukum yang yang telah dikenal dalam agama secara dharuri (pasti).

Apabila perkara yang diajukan ke hadapan hakim itu terdapat hukum

dalam nash (qath‟i dalalah), atau terdapat ketentuan yang disepakati oleh

ulama atauy ketentuan hukumnya telah diketahui secara dharuri oleh kaum

muslimin, kemudian hakim memutuskan dengan keputusan yang

menyalahi hal tersebut maka putusan itu batal dan berhak dibatalkan.

Jadi pedoman bagi seorang hakim dalam hukum islam untuk

memutus suatu perkara di dalam fiqh islam yaitu nash-nash yang qath‟i

dalalah dan juga qath‟i tsubut nya, baik itu di dalam Al-quran maupun

hadist dan hukum-hukum yang sudah di ijma‟ kan, atau yang mudah

diketahui dari agama. Apabila hakim memutus perkara berlawanan dengan

ketetapan-ketetapan nash yang sudah diterangkan, maka putusannya harus

di batalkan.49

47

Zakaria Syafe’I, Negara dalam Perspektif Islam Fiqih Siyasah, Jakarta, Hartomo

Media Pustaka, 2012, h.126 48

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di

Indonesia, Jakarta, Kencana, 2008, h.169 49

T.M Hasby Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang, PT.

Pustaka Rizki Putra, 2001, h.62

Page 38: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

29

Hakim haruslah berpedoman pada Alquran, hadist serta hukum

yang telah di sepakati oleh ulama. Namun apabila perkara yang sedang

dihadapi hakim putusannya tersebut tidak terdapat baik pada Alquran,

Hadist, ataupun Al-Ijma‟ atau tidak ada di dalam nash sama sekali, maka

haruslah memperhatikan pribadi dari hakim yang memutus perkara

tersebut, karena hukum yang diberikan itu mungkin berbeda-beda

dikarenakan hakim ada yang seorang mujtahid ada pula hakim yang

Muqallid yang tidak di haruskan mengikuti suatu mazhab tertentu,

Undang-Undang tertentu, atau Muqallid itu diharuskan mengikuti sutau

mazhab tertentu.

Di samping Al-Quran dan hadist, sumber hukum yang banyak

digunakan oleh hakim kala itu adalah yurisprudensi dan preseden hukum

yang ditinggalkan oleh hakim-hakim sebelum masa Dinasti Abbasiyah.

Tidak dipungkiri hakim-hakim masa Dinasti Umayah telah memutus

berbagai persolan baik yang ada ketentuannya dalam nash maupun yang

belum. Keputusan-keputusan itu bisa jadi rujukan bagi hakim masa

abbasiyah. Hakim-hakim masa Dinasti Abbasiyah semakin

berkembangnya pemikiran hukum yang digagas oleh para Imam mazhab,

semakin memperkaya rujukan hakim dalam memeriksa dan memutus

perkara di sidang-sidang pengadilan yang mereka jalani. Banyak sekali

hasil pemikiran mujtahid itu baik dalam bentuk metodologi (ushul fiqh),

maupun hasil (fiqh) dapat dijadikan sebagai sumber hukum bagi peradilan.

Hakim di samping memiliki keahlian dalam memeriksa dan memutus

perkara, mereka juga fuqaha yang ahli baik dalam memeriksa dan

memutus perkara, mereka juga fuqaha yang ahli baik dalam epistimologi

hukum Islam maupun ilmu-ilmu lainnya.

Hakim memiliki kebebasan untuk melakukan interpretasi terhadap

teks yang masih „am, mutlaq, yang memerlukan penafsiran hukum.

Khalifah tidak berhak membatasi kebebasan pemikiran hakim tersebut dan

tidak ada satu Fuqaha ataupun Mujtahid yang bisa melarang seorang

hakim berijtihad atau memberi fatwa terhadap sesuatu peristiwa hukum

Page 39: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

30

yang diajukan kepadanya kebebasan itu akhirnya memang berwujud pada

kompleksitas teks hukum yang diajukan sebagai rujukan atau dasar

putusan dalam lingkungan peradilan.50

Jika terjadi pendapat yang berbeda

tentang suatu hal, lebih baik dikembalikan kepada Allah dan Rasul, tidak

dikembalikan ke ulil amri, seperti yang disebutkan dalam firman Allah

surah An-Nisa (4) ayat 59, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul

(Nya), dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan

pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah

(Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman

kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama

(bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisaa (4): 58).51

Abu bakar biasa merujuk kepada kitab Allah saat memutuskan

suatu hukum. Jika ketentuan hukum tidak terdapat dalam kitab Allah maka

ia akan merujuk kepada sunnah Nabi. Jika ketentuan hukum tidak

ditemukan juga maka ia akan mengundang para sahabat untuk

bermusyawarah menetapkannya. Jika diperoleh kesepakatan maka

keputusan perkara dengan kesepakatan tersebut. Umar bin Khattab pun

melakukan metode yang sama, bila tidak ditemukan suatu hukum di dalam

Al-Quran dan As-sunnah maka ia melihat apakah Abu Bakar pernah

menetapkan hukumannya. Jika sudah, maka ia mengikutinya. Namun jika

belum, ia juga akan mengundang para sahabat untuk memutus hukum

tersebut. Selain itu, dalam berijtihad Umar bin Khattab sangat

mempertimbangkan kemaslahatan umat ketimbang melihat Zahir ayat

sementara tujuan hukum tidak tercapai. Misalnya, penetapan Umar bin

Khattab mengenai tanah rampasan kepada para tentara. Jika tanah tersebut

dirampas dari pemiliknya, mereka akan kehilangan mata pencaharian yang

50

Alaidin Koto, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2001,

h.125 51

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemah, Jakarta, Magfiroh Pustaka,

2006 h.87

Page 40: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

31

pada akhirnya menjadi beban Negara. Tetapi, apabila mereka yang

menggarapnya dan membayar pajak pada Negara, akan bermanfaat bagi

Negara. Selain mempertimbangkan kemaslahatan, Umar bin Khattab yang

menggunakan qiyas sebagai metode ijtihadnya.52

52

Basiq Djalil, Peradilan Islam, Amzah, Jakarta, 2012, h.140

Page 41: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

32

BAB III

TINJAUAN UMUM TERHADAP ULTRA PETITA

A. Pengertian Ultra Petita

a. Pengertian Ultra Petita

Ultra Petita berasal dari bahasa latin, yakni Ultra yang berarti

sangat, sekali, ekstrim, berlebihan dan Petita yang berarti permohonan.53

Putusan Ultra Petita adalah suatu putusan atas perkara melebihi dari yang

dituntut atau diminta oleh jaksa penuntut umum. Ultra Petita merupakan

penjatuhan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan

lebih daripada yang diminta. Ultra Petita menurut I.P.M.Ranuhandoko

adalah melebihi yang diminta.54

Ultra Petita dalam hukum formil

mengandung pengertian sebagai penjatuhan putusan atas perkara yang

tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari pada yang diminta. Ketentuan

ini berdasarkan Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat

(2) dan ayat (3) Rbg. Sedangkan Yahya Harahap mengartikan Ultra Petita

sebagai hakim yang mengabulkan tuntutan melebihi ataupun diluar dari

apa yang dituntut.55

b. Jenis Putusan Ultra Petita

Putusan merupakan akhir dari sebuah proses pemeriksaan di dalam

persidangan. Putusan pidana yang bersifat ultra petita terdiri dari beberapa

jenis, yaitu:

1). Putusan pengadilan yang menjatuhkan pidana melebihi lamanya

tuntutan pidana yang diajukan oleh penuntut umum. Hakim dapat

menjatuhkan pidana melebihi tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut

53

Rosalina Devi Kusumaningrum, Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana,

Jurnal Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana, Yogyakarta, 2017 h.3 54

Rosalina Devi Kusumaningrum, Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana,

Jurnal Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana, Yogyakarta, 2017 h.3 55

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, persidangan,

penyitaan, pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, h.801

Page 42: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

33

umum dengan memberikan hukuman maksimum sebagaimana ditentukan

oleh Undang-undang.

2). Putusan pengadilan yang menyatakan bersalah dan menjatuhkan pidana

terhadap terdakwa, namun bukan berdasarkan pasal yang didakwakan oleh

penuntut umum. Terhadap jenis putusan ultra petita ini bertentangan

dengan ketentuan Pasal 182 ayat (4) KUHAP, bahwa musyawarah hakim

harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti

dalam pemeriksaan di sidang, sehingga seharusnya hakim dalam

menjatuhkan putusan berdasarkan dakwaan yang diajukan oleh jaksa

penuntut umum bukan mencari-cari Pasal yang lain yang tidak

didakwakan terhadap perbuatan terdakwa.

3). Putusan pengadilan yang menyatakan terdakwa bersalah melakukan

tindak pidana atas apa yang didakwakan oleh penuntut umum dan

kemudian menjatuhkan pidana melebihi dari ancaman maksimal ataupun

dibawah ancaman minimum pasal yang didakwakan.56

c. Larangan Putusan Ultra Petita Dalam Hukum Acara Pidana

Putusan Ultra Petita dalam hukum acara pidana terdiri dari

beberapa jenis sebagaimana telah dipaparkan diatas. Ada putusan Ultra

Petita yang diperbolehkan. Terhadap putusan Ultra Petita yang tidak

diperbolehkan dalam hukum acara pidana, antara lain:

1) Putusan yang dijatuhkan oleh hakim di luar pasal yang didakwakan

oleh jaksa penuntut umum. Adanya putusan di luar pasal yang tidak

didakwakan oleh jaksa penuntut umum tentu akan menimbulkan suatu

ketidakadilan, karena terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi

pidana atas perbuatan yang tidak sama sekali didakwakan oleh jaksa

56

Rosalina Devi Kusumaningrum, Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana,

Jurnal Putusan Ultra Petita Dalam Perkara Pidana, Yogyakarta, 2017 h.3

Page 43: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

34

penuntut umum. Selain itu, tentu akan merugikan hak terdakwa karena

tidak dapat melakukan pembelaan untuk mempertahankan hak-haknya

di persidangan. Dalam aturan hukum acara pidana Pasal 182 ayat (4)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana telah jelas diatur bahwa hakim dalam

menjatuhkan putusan harus berdasarkan pada surat dakwaan jaksa

penuntut umum. Dengan adanya putusan yang dijatuhkan oleh hakim

diluar pasal yang tidak didakwakan oleh jaksa penuntut umum tentu

telah bertentangan dengan Pasal 182 ayat (4) KUHAP.

2) Putusan pidana yang dijatuhkan oleh hakim melebihi ancaman

maksimum ataupun dibawah ancaman minimum yang dituangkan

dalam pasal undang-undang hukum pidana yang dipergunakan oleh

jaksa penuntut umum dalam dakwaannya. Meskipun hakim memiliki

kebebasan, namun kewenangan hakim dibatasi oleh peraturan

perundang-undangan. Hakim dalam melakukan pemeriksaan

dipersidangan dibatasi dengan adanya surat dakwaan dan dalam

menjatuhkan putusan pemidanaan hakim dibatasi dengan adanya

ancaman pidana minimum sampai dengan ancaman pidana maksimum

sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan tidak boleh

menjatuhkan putusan pidana melebihi ancaman pidana maksimum

maupun dibawah ancaman pidana minimum, karena dalam setiap

peraturan perundang-undangan telah diatur batas minimum dan batas

maksimum yang dapat dijatuhkan bagi terdakwa sehingga apabila

hakim menjatuhkan putusan pidana melebihi batas maksimum atau

dibawah batas minimum, maka hakim dianggap telah melampaui batas

kewenangannya.

Page 44: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

35

B. Putusan Ultra Petita Hubungannya dengan Asas Legalitas Dalam Pasal 1

ayat (1) KUHP

Sejarah Asas legalitas (Principle of legality) biasa dikenal dalam bahasa

latin sebagai “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege” (tidak ada delik,

tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu). Adagium tersebut sebenarnya

berasal dari Von Feuerbach, sarjana hukum pidana jerman (1775-1833). Dialah

yang merumuskan dalam pepatah latin dalam bukunya yang berjudul “Lechrbuch

des peinlichen recht” (1801).57

Menurut sejarahnya di dalam hukum Romawi kuno yang memakai bahasa

latin, tidak dikenal pepatah ini, juga asas legalitas tidak dikenal. Dalam sebuah

karangan berjudul “Tijdschrift v.Strafrecht” disebutkan bahwa di zaman Romawi

itu tidak dikenal kejahatan yang dinamakan criminal extra ordinaria, artinya

kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang.58

Di antara crimina extra ordinaria ini yang sangat terkenal adalah criminal

stellionatus, yang letterlijk artinya: perbuatan jahat, durjana. Jadi tidak ditentukan

perbuatan apa yang dimaksud disitu. Sewaktu hukum Romawi kuno itu diterima

(diresipieer) di Eropa barat pada abad pertengahan (sebagaimana halnya dengan

Indonesia dalam zaman penjajahan meresipieer hukum Belanda), maka pengertian

tentang crimina extra ordinaria diterima pula oleh raja-raja yang berkuasa. Dan

dengan adanya crimina extra ordinaria ini lalu diadakan kemungkinan untuk

menggunakan hukum pidana itu secara sewenang-wenang menurut kehendaknya

dan kebutuhan raja sendiri.59

Pada puncak reaksi terhadap kekuasaan yang mutlak (absolutisme) dari

para raja-raja, yang dinamakan jaman Ancient Regine, maka di situlah timbul

pikiran tentang harus ditentukan dalam wet lebih dahulu perbuatan-perbuatan

yang dapat dipidana, agar supaya penduduk lebih dahulu bisa tahu dan tidak akan

57

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2002, h.23 58

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2002, h.23 59

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2002, h.24-25

Page 45: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

36

melakukan perbuatan tersebut. Pertama-tama diketemukan pikiran tentang asas

legalitas oleh Montesquieu dalam bukunya ”L‟esprit des Lois” dalam bukunya

“Dus Contract Social” (1762). Asas tersebut pertama-tama mempunyai bentuk

sebagai undang-undang ialah dalam Pasal 8 “Declaration des droits de L‟homme

et du citoyen” (1789), semacam undang-undang dasar yang pertama yang

dibentuk dalam tahun pecahnya Revolusi Perancis. Bunyinya: “Tidak ada suatu

yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan dalam undang-

undang dan diundangkan secara sah”. Dari Declaration des droits de L‟homme eet

du citoyen, asas ini dimasukkan dalam Pasal 4 Code Penal Perancis, di bawah

pemerintahan Napoleon (1801). Dan dari sini asas ini dikenal oleh Netherland

karena penjajahan Napoleon, sehingga mendapat tempat dalam Wetboek van

Strafrecht Netherland 1881, pasal 1 dan kemudian karena adanya asas

konkordansi antara Netherland Indie dan Netherland masuklah dalam Pasal 1 WvS

Netherland Indie.60

Perumusan asas legalitas dari Von Feurbach61

dalam bahasa latin itu

dikemukakan berhubungan dengan teorinya yang dikenal dengan nama teori “vom

psychologischen zwang”, yang menganjurkan supaya dalam menentukan

perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang

macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang

macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian ini maka orang yang

akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu diketahui pidana apa

yang dijatuhkan kepadanya nanti jika perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian

dalam batinnya, dalam psychennya, lalu diadakan tem atau tekanan untuk tidak

berbuat, dan kalau sampai melakukan perbuatan tadi, maka jika dijatuhi pidana

kepadanya bisa dipandang sebagai sudah disetujuinya sendiri. Jadi pendirian Von

Feurbach mengenai pidana ialah pendirian yang tergolong absolud (mutlak).

Sama halnya teori pembalasan (retribution).

Kata asas berasal dari bahasa arab asasun yang berarti dasar atau prinsip,

sedangkan kata “legalitas” berasal dari bahasa latin yaitu lex yang berarti undang-

60

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2002, h.25 61

Ibid, Baca juga Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan ke-dua, Semarang: Yayasan Sudarto

Fakultas Hukum UNDIP, 1990, h.25

Page 46: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

37

undang, atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai dengan ketentuan

undang-undang. Dengan demikian arti legalitas adalah keabsahan menurut

undang-undang.62

Asas legalitas berkaitan dengan ketentuan yang menyatakan

bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang

yang mengaturnya.

Menurut Moeljatno, asas legalitas (Principle of legality) adalah asas yang

menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana

jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Dalam bahasa

latin disebut sebagai nullum delictum nulla poena sine praevia lege. (tidak ada

delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).63

Menurutnya, dari

formulasi Asas Legalitas tersebut setidaknya dikandung tiga pengertian: 1) tidak

ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih

dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang, 2) untuk

menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, 3) aturan-

aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.64

Sedangkan Peter Mahmud

Marzuki mendefinisikannya sebagai tiada seorang pun dapat dipidana karena

melakukan suatu perbuatan jika tidak ada aturan undang-undang yang mengatur

sebelum perbuatan dilakukan.65

Kedua pengertian di atas memiliki subtansi yang

sama yaitu perbuatan seseorang pada dasarnya tidak dapat dijerat hukum apabila

tidak ada undang-undang yang mengaturnya sebelum perbuatan tersebut

dilakukan. Sementara itu, lebih tegas menurut Wirdjono Prodjodikoro, bahasa

latin Asas Legalitas yang berbunyi nullum delictum, nulla puna sine praevia lege

poenali diartikan tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang

hukum pidana terlebih dahulu.66

Para ahli hukum pidana pada dasarnya sepakat dengan adanya 3 (tiga)

makna dalam asas legalitas, yaitu: a) tidak ada perbuatan yang dilarang dan

62

Subekti dan Tjitrosudibyo, Kamus Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 1969, h.63 63

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2000. h.23 64

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2000, h.25 65

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Group,

2008, h.215 66

Wirdjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung, Refika

Aditama, 2003, h.43

Page 47: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

38

diancam dengan pidana kalau hal itu belum dinyatakan terlebih dahulu dala suatu

undang-undang, b) untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh

digunakan analogi (qiyas), c) aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku

surut.67

Tiga makna asas legalitas tersebut mengakibatkan adanya dua implikasi,

yaitu: 1) larangan menggunakan analogi (prinsip non analogi), dan 2) keharusan

menggunakan undang-undang pidana yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan.

Artinya, dilarang memberlakukan undang-undang pidana secara retroaktif (prinsip

non-retroaktif) 68

Di Indonesia, asas legalitas diwujudkan dalam aturan hukum yaitu Pasal 1

ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan: “Tiada

suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam

perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan” ketentuan

tentang “aturan pidana dalam undang-undang yang telah ada” dalam Pasal 1 ayat

(1) KUHP ini memiliki pengertian bahwa harus ada empat unsur penting dalam

hukum pidana, yaitu: 1) kualifikasi perbuatan pidana, 2) undang-undang pidana

yang harus diberlakukan, 3) sumber hukum pidana, dan 4) sisitem hukum pidana.

69

Asas legalitas dipandang sebagai asas terpenting dalam hukum pidana

Indonesia, karenanya diatur dalam KUHP, sebagai babon atau induknya hukum

pidana. Pengaturan asas legalitas dalam Buku I (satu) KUHP tentang Ketentuan

Umum, membawa konsekuensi bahwa ketentuan asas legalitas itu berlaku

terhadap kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Buku II maupun pelanggaran

dalam Buku III KUHP. Demikian juga berlaku bagi semua peraturan pidana yang

diatur dalam UU diluar KUHP, kecuali UU tersebut membuat penyimpangan (lex

specialist derogate legi generali). Asas legalitas pada hakikatnya adalah tentang

ruang berlakunya hukum pidana menurut waktu dan sumber atau dasar hukum

67

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2000, h.25 68

Deni Setyo Bagus Yuherawan, Dekontruksi Asas Legalitas Hukum Pidana, Sejarah

Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, Jakarta, Setara Press, 2014,

h.5 69

Deni Setyo Bagus Yuherawan, Dekontruksi Asas Legalitas Hukum Pidana, Sejarah

Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, Jakarta, Setara Press, 2014,

h.2-3

Page 48: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

39

(dasar legalisasi) dapat dipidanya suatu perbuatan. (jadi sebagai dasar

kriminalisasi atau landasan yuridis pemidanaan).

Pasal 1 ayat (1) dalam asas legalitas KUHP mengandung makna “tidak ada

perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana apabila hal itu terlebih

dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang” artinya bahwa

untuk mengatakan bahwa perbuatan perbuatan tersebut dapat atau tidaknya

dikatakan tindak pidana apabila telah diatur dalam undang-undang tersebut. Asas

legalitas sendiri bertujuan untuk mewujudkan suatu kepastiaan hukum maka

setiap perbuatan yang dilarang haruslah disebutkan dengan jelas dan tegas berikut

sanksinya di dalam suatu ketentuan hukum.

C. Putusan Ultra Petita Hubungannya Dengan Asas Kepastian Hukum dan

Keadilan Dalam Penjatuhan Pidana

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tujuan dari hukum itu sangat

beragam dan berbeda-beda menurut pendapat ahli hukum. Dari pendapat yang

berbeda-beda tersebut jika kita simpulkan maka akan dapat kita klasifikasikan

adanya 3 (tiga) tujuan hukum yang selama ini berkembang, yaitu sebagai berikut:

1. Aliran etis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu

semata-mata hanya untuk mencapai keadilan.

2. Aliran utilitis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan hukum itu

hanyalah untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan masyarakat.

3. Aliran normatif yuridis, yang menganggap bahwa pada prinsipnya tujuan

hukum itu adalah untuk menciptakan kepastian hukum.70

Pandangan yang menganggap tujuan hukum semata-mata hanyalah

keadilan belaka, diragukan karena keadilan itu sendiri sebagai sesuatu yang

abstrak. Keadilan dapat berwujud kemauan sifatnya tetap dan terus menerus untuk

memberikan bagi setiap orang apa yang menjadi haknya, dan ada pula yang

melihat keadilan itu sebagai pembenaran bagi pelaksana hukum yang

diperlawankan dengan kesewenang-wenangan, hal ini terdapat pada aliran etis.

70

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,

Jakarta, Sinar Grafika, 2014, h.130

Page 49: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

40

Aliran utilitis memasukkan ajaran moral praktis yang menurut

penganutnya bertujuan untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang

sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin warga masyarakat, sementara aliran

normatif/yuridis dogmatis yang pemikirannya bersumber pada positivistis yang

beranggapan bahwa hukum sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri, tidak lain

hanyalah kumpulan aturan yang terdapat dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan atau hukum yang tertulis saja, dan tujuan pelaksanaan hukum dalam hal

ini untuk sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum

menginginkan hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan secara tegas bagi setiap

peristiwa konkret dan tidak boleh ada penyimpangan (flat justitia et pereat

mundus/ hukum harus ditegakkan meskipun langit akan runtuh).71

Menurut Gustav Radbruch, sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo

mengatakan bahwa, “hukum itu harus memenuhi berbagai karya sebagai nilai

dasar dari hukum. Nilai dasar hukum tersebut adalah keadilan, kegunaan, dan

kepastian hukum.72

Sekalipun ketiga-tiganya itu merupakan nilai dasar dari

hukum, namun antara mereka terdapat suatu ketegangan. Oleh karena ketiga-

tiganya berisi tuntutan yang berlainan, sehingga mempunyai potensi untuk saling

bertentangan.73

Keadilan, sesungguhnya konsep keadilan sangat sulit mencari tolak

ukurnya karena adil bagi suatu pihak belum tentu dirasakan oleh pihak lainnya.

Kata keadilan berasal dari kata adil, yang berarti dapat diterima secara obyektif.74

Menurut L.J Van Apeldoon mengatakan bahwa, “keadilan tidak boleh dipandang

sama arti dengan persamarataan, keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang

memperoleh bagian yang sama”.75

Maksudnya keadilan menuntut tiap-tiap

perkara harus ditimbang tersendiri, artinya adil bagi seseorang belum tentu adil

bagi yang lainnya. Tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai

71 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,

Jakarta, Sinar Grafika, 2014, h.130-131 72 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1996, h.19 73 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1996, h.19 74

Algra, dkk, Mula Hukum, Jakarta, Bina Cipta, 1983, h.7 75

L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum , terj. Oetarid Sadino, Jakarta, Pradnya

Paramita, 1993, h.11

Page 50: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

41

jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan dimana terdapat

keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, dan setiap orang

memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.76

Keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan persamarataan. Keadilan

bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama, jika hukum

semata-mata menghendaki keadilan, jadi semata-mata mempunyai tujuan

memberi tiap-tiap orang apa yang patut diterimanya, maka ia tak dapat

membentuk peraturan-peraturan umum. Tertib hukum yang tak mempunyai

peraturan umum, bertulis atau tidak bertulis adalah tidak mungkin. Tak adanya

peraturan umum, berarti ketidaktentuan yang sungguh-sungguh, mengenai apa

yang disebut adil atau tidak adil. Ketidaktentuan itu akan menyebabkan

perselisihan, Jadi hukum harus menentukan peraturan umum, harus

menyamaratakan. Keadilan melarang menyamaratakan; keadilan menuntut supaya

tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri makin banyak hukum memenuhi

syarat, peraturan yang tetap, yang sebanyak mungkin meniadakan ketidakpastian,

jadi makin tepat dan tajam peraturan hukum itu, makin terdesaklah keadilan.

Itulah arti summum ius, summa iniuria, keadilan yang tertinggi adalah

ketidakadilan yang tertinggi.77

Oleh karena itu penekanan yang lebih cenderung kepada asas keadilan

dapat berarti harus mempertimbangkan hukum yang hidup di masyarakat, yang

terdiri dari kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Hakim dalam

alasan dan pertimbangan hukumnya harus mampu mengakomodir segala

ketentuan yang hidup dalam masyarakat berupa kebiasaan dan ketentuan hukum

yang tidak tertulis, manakala memilih asas keadilan sebagai dasar memutus

perkara yang dihadapi.

Sejalan dengan itu, keadilan merujuk kepada sifat melawan hukum

materiel dan kesalahan dalam pengertian normatif. Dalam penjelasan terdahulu

76 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum , terj. Oetarid Sadino, Jakarta, Pradnya

Paramita, 1993, h.11 77 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum , terj. Oetarid Sadino, Jakarta, Pradnya

Paramita, 1993, h.11-13

Page 51: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

42

dikemukakan bahwa sifat melawan hukum materiel didasarkan pada norma

tertulis, norma tidak tertulis, kesusilaan dan kepatutan yang menilai kepatutan dari

perbuatan yang dilarang. Dengan kata lain, objek penilaian sifat melawan hukum

materiel dibatasi pada hal-hal yang dilarang oleh undang-undang (asas legalitas).

Perbuatan yang tidak dilarang tidak termasuk dalam penilaian sifat melawan

hukum materiel. Berbeda dengan aturan pidana yang bersifat statis, doktrin sifat

melawan hukum materiel justru ditujukan untuk merespon perubahan sosial dan

meletakkan dinamika sosial itu dalam koridor-koridor prinsipiel yang telah

ditentukan dalam hukum pidana. Dengan doktrin sifat melawan hukum materiel,

hakim dapat memberikan penilaian dan penafsiran dinamis atas kekakuan aturan

pidana dengan tetap mengikuti perubahan sosial sekaligus tetap menghormati asas

legalitas. Kadang kala penilaian kepatutan itu menyatakan bahwa perbuatan yang

dilarang undang-undang itu dianggap patut dan oleh karenanya bukan merupakan

tindak pidana. Namun adakalanya, penilaian kepatutan itu menyatakan perbuatan

terlarang itu tidak patut dan oleh karenanya perbuatan tersebut merupakan tindak

pidana.78

Dijelaskan pula bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana tidak terlepas

dari aturan-aturan pidana, akan tetapi hakim diberikan keleluasaan untuk

menggali lebih jauh berdasarkan keadilan yang hidup pada masyarakat apakah

aturan perbuatan yang dilarang undang-undang tersebut dianggap patut atau

tidaknya. Hal demikian menjelaskan bahwa hakim bukanlah sekedar corong

undang-undang yang hanya menjadikan undang-undang sebagai dasar penjatuhan

pidana akan tetapi harus pula memperhatikan nilai sosial perasaan hukum yang

hidup pada masyarakat tentangg perbuatan yang dilarang tersebut.

Selain doktrin sifat melawan hukum materiel, keadilan juga merujuk

kepada doktrin kesalahan dalam pengertian normatif, inilah tugas berat seorang

hakim dalam menjatuhkan putusan tidak terkait dengan penilaian normatif, tetapi

bagaimana ia mendudukkan posisinya sebagai representasi masyarakat dan

mendekatkannya dengan keadaan individualitas pembuat tindak pidana. Penilaian

78

Muhammad Ainul Syamsu, Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum

Pidana, Jakarta, Prenadamedia Group, 2016, h.168-169

Page 52: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

43

normatif menjadi bermakna manakala hakim dapat menjalankan tugas beratnya

itu. Dalam keadaan demikian, suatu keniscayaan bagi hakim untuk mengetahui

dan memahami keadaan pembuat tindak pidana sehingga dapat mengukur sejauh

mana pidana yang layak dijatuhkan. Sebab, pidana yang layak bukan hanya

pidana yang tidak melebihi ancaman pidana tetapi pidana itu dapat memberikan

manfaat bagi pembuat tindak pidana.79

Masyarakat mengharapkan kepastian hukum, karena dengan adanya

kepastian hukum masyarakat akan tahu tentang yang diperbuatnya sehingga akan

menciptakan ketertiban, namun seringkali dalam proses peradilan masyarakat

sering mengeluhkan proses yang lama dan berbelit-belit padahal tujuan daripada

hukum itu untuk kepastian dan tidak berbelit-belit.

Oleh karena itu tentang apa arti dari sebuah kepastian hukum merupakan

suatu hal yang sangat penting pula bagi masyarakat, kepastian hukum yang

dituangkan dalam putusan hakim merupakan hasil yang didasarkan pada fakta-

fakta persidangan yang relevan secara yuridis serta dipertimbangkan dengan hati

nurani. Hakim selalu dituntut untuk selalu dapat menafsirkan makna undang-

undang dan peraturan-peraturan lain yang dijadikan dasar untuk diterapkan.

Hal tersebut sangat penting, oleh karena dengan adanya kepastian hukum

itu akan sangat mempengaruhi wibawa hakim dan elektabilitas pengadilan itu

sendiri. Karena putusan hakim yang mengandung unsur kepastian hukum akan

memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum.

Hal ini disebabkan putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap,

bukan lagi pendapat dari hakim itu sendiri yang memutus perkara, tetapi sudah

merupakan pendapat dari institusi pengadilan dan menjadi acuan masyarakat

dalam pergaulan sehari-hari.80

Kepastian hukum merujuk kepada asas legalitas yang menegaskan bahwa

tiada perbuatan merupakan tindang pidana kecuali terlebih dahulu diatur dalam

aturan tertulis. Aturan tertulis yang memuat larangan ini didasarkan pada standar

79 Muhammad Ainul Syamsu, Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum

Pidana, Jakarta, Prenadamedia Group, 2016, h.171-172 80

Wantu, Fence, Op.Cit, http://www.academia.edu.com. Diakses pada 22 November

2018 pukul 22.00 WIB

Page 53: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

44

umum masyarakat tentang perbuatan tertentu. Dimensi sosial yang terkandung

dalam kepastian hukum bersifat statis karena dinamika aturan pidana bergantung

kepada kriminalisasi, perubahan atau dekriminalisasi. Namun sepanjang tidak

dilakukan dekriminalisasi, maka hakim tetap menjadikan aturan pidana sebagai

syarat pertama dalam mengadili terdakwa. Jika merujuk kepada kepastian hakim

di atas, maka harus diakui bahwa sebagian fondasi hukum pidana dibangun di atas

kerangka normatif sistematis. Hal ini berarti bahwa keberlakuan hukum pidana

diawali dengan pengaturan norma tertulis dalam suatu sistem hukum. Norma-

norma inilah yang dijadikan acuan untuk menentukan suatu perbuatan tententu

sebagai tindak pidana. Sesuai dengan ajaran tatbestandsmabig-keit, rumusan delik

memuat seperangkat aturan tentang jenis-jenis tindak pidana. Jenis tindak pidana

inilah yang pertama kali menjadi pertimbangan hakim untuk menentukan

keberlanjutan fase selanjutnya. Dalam konsteks ini, maka penjatuhan pidana harus

diawali dengan terpenuhinya unsur delik. Tidak terpenuhinya unsur delik

menyebabkan syarat penjatuhan pidana tidak terpenuhi.81

81 Muhammad Ainul Syamsu, Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum

Pidana, Jakarta, Prenadamedia Group, 2016, h.167-168

Page 54: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

45

BAB IV

ANALISA PUTUSAN ULTRA PETITA DALAM HUKUM PIDANA

INDONESIA DAN HUKUM ISLAM

A. Bentuk Putusan Ultra Petita Pada Peradilan Pidana

1. Putusan Hakim Menggunakan Pasal Di Luar Dakwaan Jaksa Penuntut

Umum

Putusan hakim menggunakan pasal di luar dakwaan jaksa penuntut

umum penulis temukan dalam putusan Nomor 17/Pid.Sus/2014/PN.JKT.PST.

Terhadap putusan tersebut terdakwa Susi alias uci bersama-sama dengan

M.akil Mochtar selaku hakim konstitusi melakukan atau turut serta

melakukan perbuatan yang menerima hadiah atau janji yaitu menerima hadiah

atau janji yaitu menerima uang sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar

rupiah), padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut

diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya

untuk diadili, yaitu hadiah atau janji tersebut diberikan oleh Tubagus Chaeri

Wardana Chasan dan Ratu atut Choisiyah kepada M.akil Mochtar melalui

terdakwa dengan maksud agar M.akil Mochtar selaku hakim Mahkamah

Konstitusi dan selaku ketua panel Hakim membatalkan keputusan Komisi

Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lebak tentang rekapitulasi hasil

penghitungan perolehan suara tingkat Kabupaten pada pemilihan umum

Bupati dan wakil Bupati Kabupaten Lebak tahun 2013 dan memerintahkan

KPU Kabupaten Lebak untuk melaksanakan pemungutan suara ulang

diseluruh tempat pemungutan suara di Kabupaten Lebak.

Selain itu terdakwa bersama-sama dengan M.akil Mochtar selaku

Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melakukan

atau turut serta melakukan perbuatan yang menerima hadiah atau janji, yaitu

menerima uang sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), padahal

diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili,

yaitu hadiah atau janji tersebut diberikan oleh Rycko Menoza dan Eki

Page 55: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

46

Setyanto kepada M.akil Mochtar melalui terdakwa dengan maksud agar

M.akil Mochtar selaku ketua panel Hakim memutus permohonan perkara

Konstitusi terkait keberatan atas rekapitulasi hasil perhitungan perolehan

suara tingkat Kabupaten Lampung Selatan tahun 2010 tidak dapat diterima.

Atas perbuatan tersebut, terdakwa didakwa oleh Jaksa Penuntut

Umum dengan menggunakan bentuk dakwaan kumulatif, yaitu dakwaan

kesatu dan kedua menggunakan pasal 12 huruf c Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Adapun rumusan pasal nya

sebagai berikut:

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara

paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun

dan pidana denda paling sedikit RP.200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah) dan paling banyak RP.1.000.000.000,00 (satu milyar

rupiah):HAKIM yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui

atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk

diadili, Dipidana sebagai pelaku tindak pidana mereka yang

melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta

melakukan perbuatan. Adapun dalam putusan hakim sebagai berikut:

Menyatakan terdakwa SUSI TUR ANDAYANI alias UCI tidak

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

korupsi, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 12 huruf c

dalam dakwaan kesatu dan kedua, undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Page 56: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

47

Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP membebaskan terdakwa

oleh karena itu dari dakwaan kesatu dan kedua tersebut.

Menyatakan terdakwa SUSI TUR ANDAYANI alias UCI terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi

secara bersama-sama dan Tindak Pidana Korupsi secara berlanjut,

sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 6 ayat (1) huruf a

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 20

Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1

KUHP dan pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP;

Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap terdakwa SUSI TUR

ANDAYANI alias UCI dengan pidana penjara selama: 5 (lima) tahun dan

denda sebesar RP.150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah), dengan

ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana

kurungan selama 3 (tiga) bulan.

Sebelumnya dalam rapat permusyawaratan majelis hakim untuk

mengambil keputusan tidak tercapai mufakat bulat karena terdapat anggota

majelis hakim yang mempunyai pendapat yang berbeda (dissenting opinion).

Hakim anggota III Sofialdi,SH berbeda pendapat dengan putusan ketua

majelis hakim anggota I dan hakim anggota II, menyatakan bahwa terhadap

dakwaan penuntut umum No. 05/24/02/2014, tanggal 11 Februari 2014 telah

dinyatakan obscour (kabur) maka terhadap surat tuntutan penuntut umum No.

TUT: 20/24/05/2014, tanggal 19 Mei 2014 akan berimplikasi/ berakibat

hukum kepada terdakwa Susi Tur Andayani yakni tidak dapat dipersalahkan

dan dijatuhi pidana berdasarkan surat dakwaan penuntut umum yang obscour

(kabur) tersebut.

Page 57: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

48

Sementara hakim anggota IV Alexander Marwata,AK,SH,CFE

mengemukakan pendapat bahwa dalam rangka system penegakan hukum

pidana (criminal justice system), selain kemandirian hakim dan pengadilan,

juga dibutuhkan profesionalisme aparat penegak hukum lainnya, yakni

penyidik dan penuntut umum. Kekhilafan atau kecerobohan yang dilakukan

oleh penuntut umum yang tidak mendakwakan pasal 6 ayat (1) dan pasal 13

Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun

20001, seharusnya tidak ditimpakan tanggung jawabnya kepada terdakwa.

Jika majelis hakim membuat putusan terhadap kesalahan yang tidak

didakwakan jaksa penuntut umum, menurut hakim anggota IV, hal ini sama

saja dengan mentolelir atau memberi kelonggaran terhadap kecerobohan yang

dilakukan oleh jaksa penuntut umum. Hal ini akan memberi efek buruk dalam

rangka penegakan hukum. Tidak tertutup kemungkinan, kedepan jaksa

penuntut umum akan membuat surat dakwaan asal-asalan dengan harapan

dalam proses pemeriksaan perkara pengadilan, majelis hakim akan

mengoreksinya sesuai dengan fakta-fakta di persidangan.

Terhadap apa yang dijelaskan di atas bahwa dalam putusan Nomor

17/Pid.Sus/TPK/2014/PN/JKT.PST dimana dalam putusannya hakim

memutus di luar dari apa yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Dalam

hukum acara pidana putusan tersebut menyimpang dari asas-asas hukum

acara pidana serta bertentangan dengan ketentuan Pasal 182 ayat (4), Pasal

191 ayat (1), dan Pasal 193 ayat (1) Undang-Undang No.8 tentang hukum

acara pidana selanjutnya disebut KUHAP.

Apabila melihat secara kaku dan tegas didalam aturan KUHAP Pasal

182 ayat (4), bahwa musyawarah hakim harus didasarkan atas surat dakwaan

dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di persidangan. Menurut

penulis terhadap putusan diatas, terlihat bahwa ada pelanggaran hukum acara

yang dilakukan oleh hakim yang menjatuhkan putusan dalam kasus diatas,

karena hakim menjatuhkan putusan terhadap pasal-pasal yang tidak

didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Apabila perbuatan terdakwa dalam

pemeriksaan di persidangan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan

Page 58: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

49

perbuatan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka

seharusnya terdakwa dibebaskan karena hakim dalam pemeriksaan

dipersidangannn dibatasi oleh surat dakwaan dari jaksa penuntut umum

sehingga dalam menjatuhkan putusan hakim juga harus berdasarkan pada

surat dakwaan. Aturan tersebut telah jelas diatur dalam Pasal 191 ayat (1)

KUHAP. Serta dalam ketentuan Pasal 193 ayat (1) hakim dapat menjatuhkan

pidana apabila perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan

meyakinkan, apabila perbuatan terdakwa tidak terbukti maka terdakwa

seharusnya dibebaskan dan tidak dapat dijatuhi pidana.

Penulis berpendapat bahwa apa yang diputus hakim di luar dari apa

yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum ini sangat merugikan terdakwa,

karena terdakwa dijerat dengan apa yang tidak didakwakan kepadanya.

Bukankah putusan hakim sejatinya diadakan untuk menyelesaikan suatu

perkara atau sengketa dalam bingkai tegaknya hukum dan keadilan. Dimana

para pencari keadilan tentu saja berharap bahwa putusan seorang hakim

benar-benar memenuhi rasa keadilan masyarakat (sense of justice). Adanya

putusan yang dijatuhkan oleh hakim di luar pasal yang tidak didakwakan oleh

jaksa penuntut umum melanggar ketentuan dalam peraturan hukum acara

pidana.

Penulis juga berpendapat bahwa putusan Nomor

17/Pid.Sus/2014/PN.JKT.PST belum memenuhi unsur keadilan, dimensi

keadilan dilihat dengan mendasarkan bahwa terdakwa diputus menggunakan

surat dakwaan yang tidak jelas, tidak cermat, dan tidak lengkap (obscuur

libel). Dan bila dilihat secara seksama hulu dari masalah hakim memutus di

luar dari apa yang didakwakan jaksa penuntut umum adalah kurang cermat

nya jaksa penuntut umum dalam membuat surat dakwaan dengan

menggunakan pasal yang kurang tepat. Sehingga demi kepastian hukum

hakim memilih memutus dengan pasal yang lebih tepat.

2. Putusan Hakim yang Melebihi Batas Maksimal Ancaman Pidana

Page 59: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

50

Bentuk putusan Ultra Petita dimana hakim memutus melebihi dari

batas ancaman pidana penulis temukan dalam putusan Nomor

394/Pid.Sus/2015/PT/Mdn. Penulis membaca putusan Pengadilan Negeri

Lubuk Pakam Nomor 2046/Pid.Sus/2014/PN.Lbp, dimana dalam kasus ini

dengan terdakwa Ir. Andy Setyawan Pane seorang karyawan swasta yang

lahir di Medan 8 Oktober 1969 laki-laki berusia 46 tahun merupakan suami

dari Iin Almeina Lubis.

Kasus bermula ketika kekerasan yang dilakukan terdakwa dalam

lingkup rumah tangga, yang menjadi korban dari perbuatan terdakwa yaitu Iin

Almeina Lubis dalam perkara ini sebagai saksi korban. Terdakwa resmi

menikah sejak 6 Desember1997, dan sampai saat ini dikarunia 3 orang anak

yaitu Fairus Aini Pane berusia 15 tahun, Fadli Rizki Haidir Pane berusia 12

tahun, dan Fina Almeira Izza Pane berusia 5 tahun. Namun pernikahan

terdakwa mulai kurang harmonis sejak Desember 2012 yang diduga karena

terdakwa mulai berselingkuh, saksi korban juga pernah mendapati foto

kemesraan terdakwa dengan Melva Cristina Sitorus, lantaran saksi korban

dapat melalui MMS terjadi pada Desember 2013. Februari 2014 saksi

mendapat berita bahwasanya suaminya atau terdakwa sedang sakit dan

menjalani rawat inap di Klinik Bagan Batu, saksi dan adiknya menjenguk

suami atau terdakwa tetapi pada saat sampai di Klinik Bagan Batu terdakwa

tidak mengizinkan masuk saksi korban untuk menjenguknya, kemudian

terdakwa meminta temannya untuk membelikan tiket bus untuk saksi korban

pulang, tetapi saksi korban dan adiknya memutuskan untuk menginap di hotel

dan kembali pada esok harinya.

Keesokan harinya saksi korban dan adiknya pergi ke Klinik Bagan

Batu tempat terdakwa dirawat, saat itu saksi korban mendapati Handphone

terdakwa ada panggilan masuk bernama “My Hubby 2” saksi korban curiga

terdakwa sudah menikah lagi. Setelah kejadian di Klinik Bagan Batu sekitar

Februari 2014 saksi korban pergi kerumah adik iparnya yaitu Melia Pane,

adik iparnya mengatakan bahwa terdakwa memang sudah menikah siri

dengan Melva Cristina Sitorus sekitar Januari 2014. Kemudian saksi korban

Page 60: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

51

bersama dengan Bapak Ipan, ibu saksi yaitu Mariana Naiboho, kakak ipar

saksi Linda Lovita, dan anak saksi Fairus Aini Pane mendatangi rumah

mertua saksi dengan berniat mengambil barang-barang milik saksi korban.

Namun mertua saksi korban yang bernama Abdul Gani Pane dan adik ipar

saksi yang bernama Anita tidak mengizinkan saksi korban masuk

kerumahnya karena didalam rumah sedang ada Melva Cristina Sitorus,

kemudian mertua saksi korban menunjukan surat dari Pengadilan Agama

yang menyatakan terdakwa memberi biaya ketiga anak terdakwa dan saksi

korban setiap bulannya sekitar tanggal 29 sampai dengan 10 terdakwa

mengirim uang di rekening anak terdakwa Fairus Aini Pane sejumlah Rp.

3.000.000,- (tiga juta rupiah). Saksi korban mengalami gangguan depresi

ringan sebagaimana kesimpulan dari Visum Eet Repertum Psychiatricum

Nomor 22/SK/VISUM/V/2014 pada tanggal 28 Mei 2014 yang diperiksa dan

ditanda tangani oleh dr. Evawaty Siahaan,Sp.Kj di RSUD Dr. Pirngadi

Medan.

Akibat dari tindakan terdakwa dalam hal ini Ir. Andy Setyawan Pane

selaku suami korban dituntut oleh jaksa penuntut umum dengan ancaman

Pasal 45 ayat (2) yaitu dengan ancaman pidana penjara maksimal 4 bulan dan

denda paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Melihat dari

dakwaan tersebut, Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor

2046/Pid.Sus/2014/PN.Lbp menjatuhkan putusan pada tanggal 16 Februari

2015, yang amarnya sebagai berikut, bahwa terdakwa Ir. Andy Setywan Pane

telah terbukti melakukan tindak pidana “kekerasan psikis dalam ruang

lingkup rumah tangga”. Serta menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa

dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan dengan percobaan 8 (delapan)

bulan.

Amar putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam dijatuhkan, ternyata

Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding sebab dirasakan kurang memberi

efek jerah dan terlalu ringan untuk terdakwa. Jaksa penuntut umum

mengajukan permintaan banding dalam tenggang waktu ketentuan Undang-

Undang maka daripada itu permohonan banding tersebut dapat diterima.

Page 61: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

52

Berdasarkan permintaan banding tersebut maka putusan yang dikeluarkan

oleh Pengadilan Negeri Lubuk Pakam akan disempurnakan dan diperbaiki,

dengan memperhatikan Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Pengadilan

Tinggi Medan menjatuhkan putusan Nomor 394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn yang

isi dari amarnya adalah menerima permintaan banding tdari jaksa penuntut

umum dan memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor

2046/Pid.Sus/2014/PN.Lbp pada tanggal 21 September 2015. Membebankan

terdakwa untuk membayar biaya perkara pada kedua tingkat pengadilan.

Dengan keputusan yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Medan tersebut,

terdakwa menerima dan tidak mengajukan upaya hukum kasasi.

Dalam amar putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor

394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn yang dipimpin oleh Dahlia Brahmana S.H, M.H

selaku hakim ketua majelis, dan Amril, S.H, M.Hum, dan Ade Komarudin,

S.H, M.Hum selaku hakim anggota yang memutuskan perkara tindak

kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga yang dilakukan oleh suami

terhadap istri dengan berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga beserta ketentuan-ketentuan hukum dari perundang-undangan

lainnya yang berkaitan dengan perkara ini dengan berpedoman KUHAP.

Hakim memutus dalam putusan Nomor 394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn sebagai

berikut:

1. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana “Kekerasan Psikis dalam Lingkup Rumah

Tangga”

2. Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa oleh karena itu dengan

pidana penjara 5 (lima) bulan,

3. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam

kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp.

2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah).

Page 62: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

53

Membaca penjelasan diatas bahwasanya tuntutan jaksa penuntut

umum pada Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor

2046/Pid.Sus/2014/PN.Lbp menuntut terdakwa dengan ancaman Pasal 45

ayat (2) yaitu dengan ancaman pidana penjara maksimal 4 bulan dan denda

paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Dan hakim pada

Pengadilan Negeri Lubuk Pakam Nomor 2046/Pid.Sus/2014/PN.Lbp

menjatuhkan putusan terhadap terdakwa terbukti melakukan tindak pidana

“kekerasan psikis dalam ruang lingkup rumah tangga”. Serta menjatuhkan

pidana penjara kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat)

bulan dengan percobaan 8 (delapan) bulan. Dan hakim pada Pengadilan

Tinggi Medan menjatuhkan putusan Nomor 394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn

terbukti melakukan tindak pidana “kekerasan psikis dalam ruang lingkup

rumah tangga”. Serta menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa dengan

pidana penjara selama 5 (lima) bulan dengan pasal yang sama yaitu Pasal 45

ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah.

Melihat putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor

394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn, hakim dalam menjatuhkan putusannya

berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tepatnya pada pasal 45 ayat

(2) yaitu:

“(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit

atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian

atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4

(empat) bulan atau denda paling banyak Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah)”

Dapat dilihat dari uraian diatas hakim dalam penjatuhkan putusan

terhadap terdakwa melebihi dari ancaman pidana dimana Pasal 45 ayat (2)

UU No.23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

ancaman pidana nya adalah 4 (empat) bulan akan tetapi, hakim dalam putusan

Page 63: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

54

Nomor 394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn mejatuhkan pidana terhadap terdakwa

dengan pidana 5 (lima) bulan penjara.

Menurut penulis ini sebuah perbuatan yang melanggar asas legalitas

dalam hukum pidana serta putusan ini belum tercapainya kepastian hukum.

Kepastian hukum sendiri merujuk kepada asas legalitas yang menegaskan

bahwa tiada perbuatan merupakan tindak pidana kecuali terlebih dahulu

diatur dalam aturan tertulis. Dalam memutuskan suatu perkara hakim

memang memiliki kewenangan untuk memutus sesuai dengan fakta

persidangan dan keyakinannya, namun dalam menjatuhkan suatu hukuman

dianggap perlu memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berlaku terlebih

dianggap sangat perlu untuk memperhatikan asas legalitas. Asas legalitas

sendiri telah diatur didalam KUHP pada Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi:

“(1) suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan-

ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.

Dalam penerapan suatu hukum asas legalitas merupakan hal yang

terpenting didalam hukum pidana. Fungsi dari asas legalitas sendiri untuk

melindungi rakyat dari pemerintah yang dengan keinginan menyatakan

tindakan rakyat merupakan suatu kejahatan dan lantas dijatuhi hukuman tanpa

adanya pemenuhan unsur-unsur dalam Undang-Undang, dalam hal ini

kekuasaan pemerintah dibatasi. Dapat dikatakan pemerintah merupakan

pelaksana dari ketentuan Undang-Undang.

Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor 394/Pid.Sus/PT.Mdn,

merupakan bentuk putusan Ultra Petita dimana dalam penjatuhan pidana

hakim melebihi dari batas maksimal ancaman pidana pada Pasal 45 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga, seharusnya putusan hakim tidaklah melebihi batas

maksimal ancaman pidana karenanya melanggar asas legalitas dalam hukum

pidana. Penjatuhan pidana yang melebihi ancaman pidana tidak dibenarkan

Page 64: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

55

karena bertentangan dengan ancaman pidana yang dirumuskan (asas

legalitas).82

Hakim memiliki keterikatan untuk menjatuhkan suatu hukuman antar

pidana minimal dan maksimal, namun hakim dapat mengabaikan jika

keyakinan pidana minimum masih dirasa terlalu berat apabila kepastian dan

keadilan hukum belum didapat. Menurut Sudharmawatiningsih berpendapat,

merupakan kewenangan daripada hakim memutus sesuai fakta persidangan

dan keyakinannya memberikan pemidanaan melebihi tuntutan jaksa penuntut

umum jika dirasa adil dan rasional. Hakim dapat memutus lebih tinggi dari

tuntutan jaksa penuntut dan umum, tetapi tidak boleh melebihi batasan

maksimum ancaman pidana yang ditentukan oleh undang-undang.83

Berdasarkan uraian diatas penulis berpendapat dalam putusan

394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn, memang terdakwa telah memenuhi dan terbukti

melakukan tindak pidana kekerasan psikis. Akan tetapi lebih baik jika majelis

hakim lebih memperhatikan asas legalitas dengan memperhatikan batas

maksimal ancaman pidana pada ketentuan Pasal 45 ayat (2) undang-undang

nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

dimana batas maksimal ancaman pidana nya adalah 4 (empat) bulan, akan

tetapi pada putusan hakim disini memutus 5 (lima) bulan artinya putusan

hakim tersebut melebih batas maksimal ancaman pidana.

B. Pandangan Hukum Islam Mengenai Putusan Ultra Petita

Tugas seorang hakim sangatlah berat karena tidak hanya

mempertimbangkan kepentingan hukum saja dalam putusan perkara yang

dihadapi melainkan juga mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat agar

terwujudnya kepastian hukum. Dalam menetapkan sanksi maka seorang

hakim harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip peradilan sesuai dalam

82

Muhammad Ainul Syamsu, Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum

Pidana, Jakarta, Kencana, 2016, h.40 83

Sudharmawatiningsih, Laporan Penelitian Tentang Putusan Pemidanaan Lebih

Tinggi dari Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, Jakarta, Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan

Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2015, h.2

Page 65: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

56

nilai etika Islam yang telah digariskan oleh Alquran sebagai pertimbangan

dalam menjalankan profesinya.

Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan nas yang

terdapat dalam Alquran maupun hadist, yang mengatur kehidupan manusia.84

Hukum Islam tidaklah mengatur secara khusus mengenai masalah Ultra

Petita atau pun tuntutan yang diajukan oleh jaksa. Yang dikenal hanyalah

dengan istilah gugatan yang diajukan oleh penggugat kepada tergugat, dalam

menyelesaikan perkara pidana terdapat seorang jaksa yang memiliki

wewenang dalam hal penuntutan. Di dalam putusan

No.17/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST dan No.394/Pid.Sus/2015/PT.Mdn,

dimana dalam putusan nya hakim memutus di luar dari apa yang didakwakan

oleh jaksa penuntut umum dan hakim memutus melebihi batas ancaman

pidana dimana dalam putusan tersebut adalah terkait masalah tindak pidana

Korupsi dan tindak pidana Kekerasan Psikis dalam Lingkup Rumah Tangga.

Di dalam sistem peradilan Islam, sikap hakim memutus perkara dalam

Islam adanya asas kebebasan yang telah menjadi salah satu pokok pegangan

yang harus melandasi para hakim (qadhi) dalam melaksanakan tugas

peradilannya. Kebebasan yang dimaksud disini adalah kebebasan dalam arti

tidak tak terbatas, yaitu bebas tetapi harus dengan ketentuan yang terdapat

dalam al-quran dan sunnah Rasulullah saw, atau dengan perundang-undangan

yang berlaku. Ini berarti bahwa hakim sebagai pelaksana tugas kehakiman,

tidak boleh dicampuri atau dipengaruhi oleh pihak-pihak lain. Bahwa di

dalam Islam telah ditegaskan bahwa manakala hukum suatu perkara tidak

dijumpai dalam al-quran dan sunnah Rasulullah saw, maupun dalam

perundang-undangan lainnya, maka kepada hakim diberikan wewenang untuk

berijtihad sesuai dengan esensi dan hakekat keadilan.85

Islam mengajarkan bahwa pemegak hukum, khususnya hakim yang

memutus perkara, pada perkara pidana untuk selalu berorientasi kepada

84

Said Agil Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial, Jakarta,

Penasmadani, 2004, h.6 85

Muhammad Kurdi, Kemandirian Hakim (Perspektif Hukum Islam), Gowa,

Alauddin University Press Cet 1, 2012, h.83-84

Page 66: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

57

keadilan, kebenaran dan berprinsip adanya kesamaan di hadapan hukum.

Allah berfirman dalam QS al- Nisa’/4: 135 sebagai berikut:

ولى عل أوفسنم اميه بالقسط شهدآء لل يآايهاالذيه آمىىا مىوىا قى

ا فالل أول بهما فل تتبعىا أوالىالديه والقزبيه إن ينه غىيا أو فقيز

ا الهىآي أن تعدلىا وإن تلىآ أوتعزضىا فإن هللا مان بما تعملىن خبيز

Yang artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-

benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu

sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin,

maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti

hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu

memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka

sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu

kerjakan.86

Ayat diatas, Allah SWT memerintahkan agar manusia menegakkan

keadilan menjadi saksi yang adil walaupun terhadap diri sendiri, orang tua

dan keluarga dekat. Penulis juga mengambil kesimpulan bahwasanya penegak

hukum (hakim) dalam menjalankan profesinya haruslah bertindak adil dalam

menegakkan hukum bagi masyarakat pencari keadilan karena merupakan

perintah Allah SWT.

Dalam pidana Islam, mengenal pembagian jarimah (tindak pidana)

menjadi tiga bagian, yaitu : Hudud, Qishah dan Takzir. Hudud adalah tindak

pidana yang dijelaskan secara rinci tindakannya maupun hukumannya.

Qishah adalah tindak pidana pembunuhan dan pelukaan pada tubuh.

Sedangkan takzir adalah tindak pidana yang belum diatur secara rinci

tindakannya maupun hukumannya dalam Al-Qur’an dan Hadis.

86

Kementrian Agama RI, Al-Quranulkarim, h.100

Page 67: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

58

Hakim dalam memutuskan persoalan yang dihadapi harus

berpedoman pada nas Al-Qur’an dan Hadis, namun juga diperbolehkan untuk

menggunakan akalnya. Banyak perdebatan antara boleh atau tidaknya hakim

memutuskan dengan akalnya. Namun para fuqaha dalam hal ini berpegang

pada hadis Aisyah tentang kisah Hindun binti Utbah bin Rabi’ah dengan

suaminya, Abu Sufyan bin Harb. Ketika itu Hindun mengadukan

permasalahannya kepada Nabi, lalu Nabi berkata kepada Hindun :

مال ينفيل وولدك بالمعزوف )اخزجه البخار والىسائ( خذ

“Ambillah harta yang dapat mencukupimu dan anak – anakmu

dengan cara yang patut” (HR. Bukhari dan Nasai)

Perintah dalam hadis ini, tanpa terlebih dahulu mendengarkan

kesaksian dari lawan (tergugat) yaitu Abu Sufyan. Secara logika, jika seorang

hakim dapat memutus perkara berdasarkan dugaan maka hakim juga lebih

patut untuk memutus perkara menurut kebenaran yang ia yakini. Hakim

dengan kebenaran yang ia yakini dapat memutus perkara dan menentukan

pidana bagi seseorang sesuai dengan apa yang patut diterima oleh orang yang

melakukan tindak pidana. Dalam kasus jarimah takzir, hakim bisa

menentukan hukuman yang pantas bagi terdakwa. Pun dalam kasus jarimah

hudud dan qishah, hakim pun masih bisa berijtihad dan berlainan dengan apa

yang sudah ditetapkan dalam nas Al-Qur’an dan Hadis selama memenuhi

tujuan dari pidana islam. Sebagai contoh dalam kasus jarimah Syurb al –

Khamr. Dalam Hadis hukuman bagi pelaku syurb al – Khamr adalah 40 kali

dera, imam syafi’i berpendapat bahwa hukuman untuk jarimah khamr adalah

80 kali dera. 40 kali dera merupakan hukuman had yang ditentukan oleh nas,

sedangkan 40 kali dera yang lain merupakan takzir, bila memang hakim

memandang perlu untuk ditambah hukuman takzir.

Menetapkan hukuman hudud ataupun kisas, hukum Islam

mendelegasikan wewenang kepada hakim sebagai pihak yang menjalankan

hukuman, bukan yang memilihkan hukuman. Karenanya hakim tidak dapat

Page 68: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

59

mengurangi, menambahkan, meringankan, atau memperberat hukuman, sebab

hukuman yang telah diterapkan adalah hukuman yang telah ditentukan

(muqaddarah). Selain membatasi wewenang hakim, hukum Islam juga

membatasi wewenang badan pembuat hukum (legislatif).87

Adapun pada

tindak pidana takzir hakim diberi kekuasaan dan ukuran hukumannya. Hakim

bisa memilih hukuman yang berat ataupun ringan. Hakim juga berhak

memberikan hukuman pada batas maksimal atau minimalnya dan ia juga bisa

memerintahkan untuk melaksanakan hukuman atau menundanya.

Dalam hukum pidana Islam juga mengenal asas legalitas, dalam

sejarah hukum Islam tidak pernah suatu perbuatan dianggap sebagai tindak

pidana dan tidak pernah dijatuhi hukuman sebelum perbuatan tersebut

dinyatakan sebagai tindak pidana dan diberi sangsinya baik dalam Al-Quran

maupun hadist. Allah berfirman dalam QS Al-Isra 17/15 sebagai berikut:

ه ٱهتدي فإوما يهتد لىفسهۦ ومه ضل فإوما يضل عليها ول تشر واسر م

بين حتى نبعث رسول وسر أخزي وما مىا معذ

Artinya: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka

sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan

barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian)

dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang

lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul”.

(QS Al-Isra ayat 15).

Ayat diatas mengandung makna bahwa Al-Quran diturunkan oleh

Allah SWT kepada Rasulullah SAW supaya menjadi peringatan dalam bentuk

aturan dan ancaman hukuman kepada ummat-Nya. Asas legalitas dalam

hukum pidana Islam adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada

pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang

mengaturnya. Artinya suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah apabila

87

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jina „iy Al-Islamy, (terj. Tim Tsalisah), Jil, III,

Jakarta, Kharisma Ilmu, 2007, h.107

Page 69: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

60

ada nash (Al-Quran) yang melarang perbuatan tersebut dan mengancamnya

dengan hukuman. Abdul Qadir Audah mengatakan sebelum ada nash

(ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal

sehat.88

Hukum Islam tidaklah mengatur secara khusus mengenai istilah Ultra

Petita. Dan berdasarkan penjelasan di atas maka pandangan hukum Islam,

hakim dibolehkan menjatuhkan sanksi lebih berat maupun lebih ringan

kepada terdakwa tergantung jenis tindak pidana yang dilanggar meskipun

berbeda sebagaimana tuntutan dari jaksa penuntut umum. Namun tetap harus

berpegang teguh pada Alquran dan Hadist. Artinya hakim diperbolehkan

berijtihad menentukan hukum terhadap terdakwa akan tetapi harus tetap

berpegang teguh terhadap al-quran dan hadist.

Ijtihad adalah upaya menemukan hukum dengan menggunakan

potensi-potensi yang dimiliki (kecerdasan akal, kehalusan rasa, keluasan

imajinasi, ketajaman intuisi dan kearifan). Ijtihad berupaya menemukan

hukum yang seadil-adilnya, sesuai dengan tuntutan syariat. Ijtihad sama

seperti penemuan hukum lain, bertujuan untuk menjembatani jarak antara

harapan atau tuntutan masyarakat dengan idealitas hukum. Ijtihad berusaha

untuk menciptakan suatu keadaan yang seimbang, sehingga hukum yang

dihasilkan tidak hanya menciptakan keadilan semata, melainkan juga

kepastian dan kemanfaatan di masyarakat.89

88 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005, h.131

89 M. Natsir Asnawi, Hermeneutika Putusan Hakim, Yogyakarta, UII Press, 2014,

h.25

Page 70: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

61

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri

pembahasan dalam skripsi ini, peneliti memberikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertimbangan hakim memasukkan Ultra Petita dalam putusan pidana dimana

hakim memutus di luar dari dakwaan jaksa penuntut umum pada putusan

Nomor 17/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST adalah kurang cermat nya jaksa

penuntut umum dalam menggunakan pasal yang di dakwakan terhadap

terdakwa, sehingga agar tercapainya kepastian hukum hakim memilih

memutus menggunakan pasal yang menurut hakim tepat terhadap terdakwa.

Memang seharusnya hakim dalam memutus harus memperhatikan surat

dakwaan apa yang di dakwakan jaksa penuntut umum, seharusnya terdakwa

dibebaskan karena terdakwa di dakwa apa yang tidak di dakwakan oleh jaksa

penuntut umum dan belum tercapainya rasa keadilan kepada terdakwa.

Namun dalam hal ini hakim memiliki sebuah kewenangan dan kebebasan

yang di atur dalam kekuasaan kehakiman dimana hakim memutus menurut

keyakinannya tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Hal ini lah kemudian

hakim memutus terdakwa menggunakan pasal yang menurut hakim lebih

tepat. Penuntut umum, tetapi tidak boleh melebihi batasan maksimum

ancaman pidana yang ditentukan oleh undang-undang.

2. Pandangan hukum Islam tidak di atur dengan jelas mengenai Ultra Petita

akan tetapi, untuk membuat putusan hakim diperbolehkan berpedoman pada

ijtihadnya sebagai landasan dalam memutuskan suatu perkara akan tetapi

harus sesuai pedoman Al-Quran dan hadist. Ijtihad ini menjadi salah satu

sumber hukum Islam yang di sahkan oleh para ulama terdahulu. Apabila

hakim dalam membuat suatu putusan melalui ijtihadnya apabila benar dalam

Page 71: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

62

berijtihad seorang hakim tersebut mendapatkan dua pahala dan apabila salah

maka hakim mendapat satu pahala.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan melalui penelitian ini,

penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Dalam hal membuat surat dakwaan jaksa penuntut umum sebaiknya

memperhatikan dengan benar, cermat, dan tapat pasal dakwaan yang akan di

dakwakan terhadap terdakwa agar nantinya hakim membuat putusan dengan

baik dan benar.

2. Hakim sebaiknya memperhatikan batas maksimal ancaman pidana terhadap

pasal yang digunakan jaksa penuntut umum agar tidak lagi memutus melebihi

batas maksimal ancaman pidana karena hal itu melanggar asas legalitas dalam

hukum pidana.

3. Dalam hukum Islam hakim sebaiknya memutus suatu perkara melalui ijtihad

yang mendalam sehingga putusan hakim tersebut memenuhi rasa keadilan

bagi terdakwa.

Page 72: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

63

DAFTAR PUSTAKA

Ainul, Muhammad Syamsu, Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum

Pidana, Jakarta: Prenadamedia Group, 2016

Anshori, Imam Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Malang: Setara Press,

2014

Arifin, Jaenal, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,

Jakarta: Fajar Interpratama, 2008

Bertens, Kees, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1999

Budiarto, Miriam, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar

Harapan, 1991

- - - - - - - - -, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2001

Burhan, Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2000

Daud, Muhammad Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum

Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005

Devi, Rosalina Kusumaningrum, Putusan Ultra Petita dalam Perkara Pidana,

Jurnal Putusan Ultra Petita dalam Perkara Pidana, Yogyakarta: 2017

Djalil, Basiq, Peradilan Islam, Jakarta: Amzah, 2012

Fahmi, Ahmadi Muhammad, Metode Penelitian Hukum, Lembaga Penlitian UIN

Syarif Hidayatullah, 2010

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Bandung: Rineka Cipta, 2008

- - - - - - -, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke

Reformasi, Jakarta: Pradnya Paramita, 1986

Page 73: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

64

Harahap, Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,

Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2008

Hatta, Muhammad Ali, Peradilan Sederhana Cepat dan Biaya Ringan Menuju

Keadilan Restoratif, Bandung: PT. Alumni, 2012

Koto, Alaidin, Sejarah Peradilan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2001

Kurdi, Muhammad, Kemandirian Hakim (Perspektif Hukum Islam), Gowa:

Alauddin University Press Cet. I, 2012

Mahmud, Peter Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2011

- - - - - - - - - - - , Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Group,

2008

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002

Muchsin, Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Jakarta:

STIH IBLAM, 2004

Muhammad, Teungku Hasby Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam,

Jakarta: PT. Al Ma’arif 1964

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -, Peradilan dan Hukum Acara Islam,

Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001

Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya bakti, 2007

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika

Aditama, 2003

Qadir, Abdul Audah, At-Tasyri‟ Aljina „Iyah Al-Is lamy, (Terj. Tsalisah), Jil.III,

Jakarta: Kharisma Ilmu, 2007

Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996

Page 74: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

65

Ranuhandoko, I.P.M, Terminologi Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta: Sinar

Grafika, 2000

Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progesif,

Jakarta: Sinar Grafika, 2014

Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: Prenada

Media Group, 2012

Ritonga, Rahman, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta: Fajar Interpratama, 2008

Salam, Muhammad Madkur, Al- Qadha Fil Al-Islam, Terj. Imron AM, Peradilan

Dalam Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993

- - - - - - - - - - - - - - , Peradilan Dalam Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu,

1993

Seno, Oemar Adji, Hukum Hakim Pidana, Jakarta: Erlangga, 1984

Setyo, Deni Bagus Yuherawan, Dekontruksi Asas Legalitas Hukum Pidana,

Sejarah Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum

Pidana, Jakarta: Setara Press, 2014

Sudarto, Hukum Pidana I, Cetakan kedua, Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas

Hukum Undip, 1990

Sukanto, Soejono dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: IND

HILLCO, 2001

Syafei’, Zakaria, Negara Daellam Perspektif Islam Fiqh Siyasah, Jakarta:

Hartomo Media Pustaka, 2012

Tasidjawa, Yuhenly, Kajian Yuridis Tentang Kemandirian Kekuasaan Kehakiman

Dalam Rangka Penegakan Hukum, (Law Enforcement, Jurnal Lex

Administratum, Volume III/ No.6/ Agust/2015)

Tjitrosudibyo, dan Subekti, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1969

Page 75: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

66

Van, L.J, Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Terj. Oetarid Sadino, Jakarta:

Pradnya sParamita, 1993

Waluyo, Bambang, Pidana Dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 2000

Wantjik, Imam Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Malang: Setara Press,

2014

Zulkarnain, Praktik Peradilan, Malang: Setara Press, 2013

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara

Pidana atau yang disebut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 Tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga

Page 76: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

P U T U S A N

Nomor: 17/PID.SUS/TPK/2014/PN.JKT.PST

“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tindak pidana korupsi

pada tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa, menjatuhkan putusan

terhadap Terdakwa:

Nama lengkap : SUSI TUR ANDAYANI alias UCI

Tempat lahir : JakartaUmur/Tanggal lahir : 48 Tahun/12 Oktober 1965

Jenis kelamin : PerempuanKebangsaan : IndonesiaTempat Tinggal : Jalan Cendana Gg Durian No.08

Tanjung Senang Bandar Lampung• Jalan Way Semangka No.20

Pahoman Bandar Lampung

Agama : IslamPekerjaan : AdvokatPendidikan : S-2

Dalam perkara ini Terdakwa dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Klas I

Jakarta Timur Cabang KPK oleh:

• Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, sejak tanggal 03 Oktober 2013

sampai dengan tanggal 22 Oktober 2013;------------------------------------------

• Diperpanjang oleh Penuntut Umum sejak tanggal 23 Oktober 2013

sampai dengan tanggal 01 Desember 2013;---------------------------------------

• Diperpanjang pertama oleh Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sejak tanggal 02 Desember 2013

sampai dengan tanggal 31 Desember 2013;---------------------------------------

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1

Page 77: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

P U T U S A N

Nomor : 394/PID.SUS/2015/PT-MDN.

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Tinggi Medan, yang memeriksa dan mengadili perkara pidana

dalam Peradilan Tingkat Banding, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut

dalam perkara Terdakwa :

Nama lengkap : TERDAKWA;

Tempat lahir : Medan;

Umur/ tanggal lahir : 46 Tahun /08 Oktober 1969;

Jenis kelamin : Laki-laki;

Kebangsaan : Indonesia;

Tempat tinggal : Kab. Prekan Baru;

Agama : Islam;

Pekerjaan : Karyawan Swasta;

Terdakwa tidak ditahan;

Pengadilan Tinggi tersebut;

Telah membaca Penetapan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Medan tanggal

24 Juni 2015, nomor : 394/PID.SUS/2015/PT.MDN, serta berkas perkara

Pengadilan Negeri Lubuk Pakam nomor : 2046/Pid.Sus/2014/PN.Lbp, dan surat-

surat yang bersangkutan dengan perkara tersebut;

Membaca surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Lubuk

Pakam, yang mendakwa Terdakwa dengan dakwaan sebagai berikut :

DIKABURKAN.

- 1 -

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1

Page 78: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal

45 Ayat (2) UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga ;

Membaca surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Lubuk

Pakam, bahwa Terdakwa telah dituntut sebagai berikut :

1. Menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana “Kekerasan

psikis dalam lingkup rumah tangga” sebagaimana dimaksud dalam

dakwaan melanggar Pasal 45 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa selama 3 (tiga) bulan ;

3. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar

Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).

Membaca putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam nomor : 2046/

Pid.Sus/2014/PN.Lbp, tanggal 16 Februari 2015, yang amarnya berbunyi sebagai

berikut :

1. Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana “Kekerasan Psikis Dalam Lingkup Rumah Tangga;

2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 4

(empat) bulan;

3. Memerintahkan pidana tersebut tidak perlu dijalani kecuali dikemudian hari

ada perintah lain dari Hakim karena terdakwa melakukan tindak pidana

sebelum habis masa percobaan 8 (delapan) bulan ;

4. Membebankan terdakwa membayar biaya perkara sejumlah Rp.2000,00

(dua ribu rupiah);

Telah membaca :

- 2 -

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2

Page 79: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

1. Akta Permintaan Banding yang dibuat oleh Wakil Panitera Pengadilan

Negeri Lubuk Pakam bahwa pada tanggal 23 Februari 2015, Jaksa

Penuntut Umum telah mengajukan permintaan banding terhadap Putusan

Pengadilan Negeri Lubuk Pakam nomor : 2046/Pid.Sus/2014/PN.Lbp,

tanggal 16 Februari 2015;

2. Relaas pemberitahuan permintaan banding yang dibuat oleh Jurusita

Pengganti Pengadilan Negeri Medan, bahwa permintaan banding tersebut

telah diberitahukan kepada Terdakwa pada tanggal 29 Mei 2015;

3. Relaas mempelajari berkas perkara Pengadilan Negeri Lubuk Pakam

tanggal 5 Maret 2015, yang disampaikan masing-masing kepada Jaksa

Penuntut Umum dan Terdakwa, untuk mempelajari berkas perkara tersebut,

selama 7 (tujuh) hari terhitung mulai tanggal pemberitahuan tersebut

sebelum berkas dikirim ke Pengadilan Tinggi;

Menimbang, bahwa permintaan banding oleh Jaksa Penuntut Umum telah

diajukan dalam tenggang waktu dan menurut tata cara serta syarat-syarat yang

ditentukan oleh Undang-Undang, oleh karena itu permohonan banding tersebut

secara formal dapat diterima;

Menimbang, bahwa dalam perkara ini Jaksa Penuntut Umum meskipun

mengajukan banding akan tetapi tidak mengajukan memori banding;

Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim Pengadilan Tinggi mempelajari

dengan seksama berkas perkara yang dimohonkan banding oleh Jaksa Penuntut

Umum yang terdiri dari Berita Acara Pemeriksaan dari Penyidik, Berita Acara

Pemeriksaan Persidangan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam berikut surat yang

timbul dipersidangan berhubungan dengan perkara ini dan turunan resmi putusan

Pengadilan Negeri Lubuk Pakam nomor : 2046/Pid.Sus/2014/PN.Lbp, tanggal 16

Februari 2015, berpendapat bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat

Pertama yang mendasari putusannya mengenai telah terbuktinya secara sah dan

meyakinkan kesalahan Terdakwa sebagaimana yang didakwakan kepadanya telah

- 3 -

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3

Page 80: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

tepat dan benar, oleh karenanya Majelis Hakim Pengadilan Tinggi dapat

menyetujui dan mengambil alih sebagai pertimbangan hukumnya sendiri dalam

memeriksa dan memutus perkara ini ditingkat banding, kecuali pidana yang

dijatuhkan terhadap Terdakwa, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menilai terlalu

ringan, belum memenuhi rasa keadilan, dimana akibat perbuatan Terdakwa,

mengakibatkan korban mengalami gangguan depresi ringan;

Menimbang, bahwa hukuman yang akan dijatukan oleh Majelis Hakim

Pengadilan Tinggi sebagaimana tersebut dibawah ini, dinilai telah memenuhi rasa

keadilan, dan diharapkan dapat membuat efek jera bagi Terdakwa dan pelaku

kejahatan serupa dikemudian hari;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka

Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam nomor : 2046/Pid.Sus/2014/PN.Lbp,

tanggal 16 Februari 2015, yang dimitakan banding tersebut harus diperbaiki;

Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa tetap dinyatakan bersalah dan

dipidana, maka dibebani pula untuk membayar biaya perkara yang timbul dikedua

tingkat peradilan;

Memperhatikan pasal 45 ayat (2) Undang-Undang nomor : 23 tahun 2004

tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, Undang-Undang Republik

Indonesia nomor : 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, serta peraturan perundang-

undangan lain yang bersangkutan;

MENGADILI :

• Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum;

• Memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam nomor : 2046/

Pid.Sus/2014/PN.Lbp, tanggal 16 Februari 2015, yang dimintakan banding,

sekedar pidana yang dijatuhkan terhadap Terdakwa, sehingga amar

selengkapnya sebagai berikut :

- 4 -

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4

Page 81: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

1. Menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana “Kekerasan Psikis Dalam Lingkup Rumah Tangga;

2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 5 (lima) bulan;

3. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam

kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding sebesar Rp.2.500,-

(dua ribu lima ratus rupiah).

Demikian diputus dalam musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Tinggi

Medan pada hari Senin tanggal 21 September 2015 oleh Kami : DAHLIA

BRAHMANA, SH.MH. Hakim Pengadilan Tinggi Medan sebagai Hakim Ketua

Majelis, AMRIL, SH.MHum. dan ADE KOMARUDIN, SH.MHum. masing-masing

sebagai Hakim Anggota, yang ditunjuk untuk memeriksa dan mengadili perkara

tersebut ditingkat banding, berdasarkan Penetapan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi

Medan tanggal 24 Juni 2015, nomor : 394/PID.SUS/2015/PT.MDN, putusan mana

diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Selasa tanggal 29

September 2015, oleh Ketua Majelis dengan didampingi Hakim-Hakim Anggota

tersebut serta BAIK SITEPU, SH. Panitera Pengganti pada Pengadilan Tinggi

Medan, tanpa dihadiri oleh Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa.

Hakim Anggota, Hakim Ketua,

ttd ttd

1. AMRIL, SH.MHum. DAHLIA BRAHMANA, SH.MH.

ttd

2. ADE KOMARUDIN, SH.MHum.

Panitera Pengganti,

ttd

BAIK SITEPU, SH.

- 5 -

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5

Page 82: ULTRA PETITA DALAM PUTUSAN HAKIM MENURUT HUKUM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45552/1/AHMAD ZAELANI-FSH.pdfprogram studi perbandingan mazhab . fakultas syariah

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

- 6 -

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6