dadang rochyaman baru

30
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk ciptaan tuhan, manusia pada dasarnya sama di depan Tuhan. Setiap orang diberikan akhlak, akal budi, dan kebebasan dalam menentukan apa yang baik untuknya dan apa yang tidak baik untuknya. Kebebasan yang ada pada setiap orang itu dibatasi oleh hak asasi orang lain. Ini artinya bahwa setiap orang memiliki kewajiban mengakui dan menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini tidak hanya berlaku bagi setiap orang tetapi berlaku juga bagi Negara. Hak asasi yang melekat pada manusia secara kodrati merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak- hak ini tidak dapat kita ingkari. Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat manusia. Selanjutnya menurut KUHAP, hak asasi 1

Upload: oking-m-de-souza

Post on 29-Jun-2015

214 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: dadang rochyaman baru

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai makhluk ciptaan tuhan, manusia pada dasarnya sama di depan

Tuhan. Setiap orang diberikan akhlak, akal budi, dan kebebasan dalam

menentukan apa yang baik untuknya dan apa yang tidak baik untuknya.

Kebebasan yang ada pada setiap orang itu dibatasi oleh hak asasi orang lain.

Ini artinya bahwa setiap orang memiliki kewajiban mengakui dan

menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini tidak hanya berlaku bagi

setiap orang tetapi berlaku juga bagi Negara.

Hak asasi yang melekat pada manusia secara kodrati merupakan

anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat kita ingkari.

Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat manusia.

Selanjutnya menurut KUHAP, hak asasi manusia1 tanpa adanya diskriminasi

juga sesuai dengan asas “equality before law ’’, menyatakan adanya perlakuan

yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan

pembedaan perlakuan.

Sejalan dengan asas “ equality before law”, yang intiya mengatur

perlakuan yang sama atas setiap orang di muka hukum,dan hal yang sama juga

telah diatur dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang RI No.48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman di mana dikatakan bahwa : “pengadilan

mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.

1 UU RI No. 39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, hlm. 38

1

Page 2: dadang rochyaman baru

Masalah Keadilan dan hak-hak asasi manusia dalam kaitanya dengan

penegak hukum memang bukan pekerjaan yang mudah untuk dilaksanakan2.

banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat menunjukan bahwa kedua hal

tersebut kurang mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, padahal

sangat jelas dalam Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia,

masalah perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat yang penting

sebagai perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan sila

Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.3

Salah satu contoh kurangnya diperhatikan masalah keadilan dan hak

asasi adalah berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap korban.saat ini

kita banyak membicarakan hak-hak tersangka dan sering melupakan hak-hak

korban, yang sebenarnya lebih adil untuk diperhatikan. Ada satu hal yang

perlu diperhatikan yaitu walaupun kerapkali kerugian atau penderitaan korban

disebabkan oleh kelalaian dan kekurang hati-hatiannya sendiri, namun korban

adalah manusia yang merupakan objek dan subjek serta anggota masyarakat.

Dalam membahas materi hukum acara pidana yang berkaitan dengan

hak-hak manusia ada kecenderungan untuk membahas hal-hal yang berkaitan

dengan hak-hak tersangka atau terdakwa tanpa memperhatikan hak-hak

korban juga. Hal ini dapat dilihat dari tidak banyaknya teliratur maupun

seminar yang membicarakan hal ini.

Salah satu hak korban yang merupakan bagian dari perlindungan

terhadap korban yaitu hak ganti kerugian yang berwujud pemberian

2 Didik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan (Jakart: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 24

3 Ibid

2

Page 3: dadang rochyaman baru

konpensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Dalam KUHAP telah diatur mengenai

pemberian ganti rugi terhadap korban berupa ganti kerugian yang bersifat

materil, sedangkan untuk kerugian immaterial harus melalui pengajuan

perkara secara perdata oleh korban. Selain KUHAP, pemberian ganti kerugian

juga diatur dalam undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan

HAM yaitu berupa hak konpensasi, restitusi, dan rehabilitasi terhadap korban

pelanggaran HAM yang berat. Dengan melihat pada kedua aturan tersebut,

dapat disimpulkan bahwa belum adanya undang-undang yang mengatur

konpensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang memadai dan benar-benar secara

khusus memberikan perlindungan terhadap korban tanpa adanya perbedaan.

Dalam pelaksanaan kedua undang-undang ini juga belum dapat

diterapkan secara sempurna terbukti dari sampai saat ini tidak ada satu pun

korban pelanggaran HAM yang mendapat konpensasi dan restitusi. Hal ini

terjadi karena adanya kelemahan dalam pengaturan, baik menyangkut

konsepnya maupun prosedurnya. Dalam pengalaman pengadilan HAM,

menunjukkan bahwa regulasi dan aturan pelaksanaannya menjadi dasar

pemenuhan hak-hak korban justru mempersulit impelementasi hak-hak korban

pelanggaran HAM berat4.

Berdasarkan pengalaman kedua undang-undang tersebut maka

diperlukan undang-undang yang mengatur Kompensasi, Restitusi, dan

Rehabilitasi secara khusus terhadap korban yang maksimal dengan lebih

4 Wahyu Wagiman Zainal Abidian, Praktik Kompensasi dan Restitusi di Indonesia, Sebuah Kajian Awal, (Jakarta : Indoneisa Corruption Watch).

3

Page 4: dadang rochyaman baru

memperhatikan kepentingan korban. Undang-undang ini juga harus memenuhi

prinsip persamaan hak sehingga dalam pelaksanaannya tidak diskriminatif.

Menanggapi hal tersebut, akhirnya pemerintah mengesahkan undang-

undang No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban (UU PSK)

pada tanggal 11 Agustus 2006. Walaupun tidak diatur secara khusus, namun

setidaknya undang-undang ini telah mengatur tentang pemberian Kompensasi

dan Restitusi bukan hanya terhadap korban pelanggaran HAM berat,

melainkan juga terhadap korban kejahatan pidana. Dalam undang-undang ini

kompensasi diberikan oleh Negara pada korban pelanggaran HAM berat,

sedangkan restetusi merupakan ganti kerugian yang merupakan tanggung

jawab pelaku tindak pidana.

Meskipun pemberian kompensasi, restetusi, dan rehabilitasi sudah

diatur dalam undang-undang tersebut, tetapi hak korban tersebut belum bias

terwujud karena instrument pendukungnya belum terwujud. Salah satu hal

yang paling vital selain aturan pelaksanaannya, yaitu belum terbentuknya

LPSK (lembaga perlindungan saksi dan korban) yang sesuai amanat paling

lambat 11 Agustus 2007, namun sampai penulis menulis pembahasan ini,

LPSK tersebut masih belum terbentuk, padahal lembaga inilah yang akan

memberikan perlindungan bagi saksi dan korban, termasuk dalam proses

pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Menurut UU PSK,

kompensasi dan restitusi dilakukan setelah ada penetapan dari pengadilan atas

permohonan dari LPSK (lembaga perlindungan saksi dan korban)5. jadi

terbentuknya lembaga ini sangat diharapkan oleh masyarakat yang

5 Ibid

4

Page 5: dadang rochyaman baru

mendambakan keadilan, khususnya para korban tindak pidana.Menurut pakar

hukum praktik pencucian uang, DR.Yenti Ganarsih, S.H., M.H., dalam acara

yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Trisakti bekerja sama

dengan partnership for Governance Reform in Indonesia di Jakarta, kamis 4

oktober 2007, menyatakan bahwa peran LPSK ini sangat penting untuk

mengungkap kejahatan yang teroganisasi,seperti pencucian uang, korupsi,

narkoba, maupun terorisme.6 Namun keberadaan LPSK ini dikhawatirkan

tidak akan optimal dalam memberikan perlindungan khususnya kepada korban

akibat lemahnya koordinasi antar lembaga dalam birokrasi di Indonesia.7

Selain kelemahan dari instrument pendukungnya yang belum terwujud,

masih banyak kelemahan yang langsung berkaitan dengan pengaturan

pemberian kompensasi,restetusi,dan rehabilitasi, ditambah pengetahuan

masyarakat terhadap hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang masih

kurang atau bahkan tidak ada.Hal ini dinilai nantinya akan menjadi kendala

dan mempengaruhi pelaksanaan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi

tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut, penulis ingin melakukan analisis

secara yuridis mengenai pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan

rehabilitasi dengan maksud agar pembaca mendapat gambaran tentang

pengaturan kompensasi, restitusi,dan rehabilitasi, kendala yang akan muncul

pada pelaksanaan dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala

tersebut.

6 Vin, “LPSK Dikhawatirkan Tidak Optimal” Kompas, 6 Oktober 2007, hlm. 4.7 Ibid

5

Page 6: dadang rochyaman baru

Oleh karena tujuan itu,maka penulis mengemukakan suatu judul

sebagai berikut : “Analisis Yuridis Terhadap pelaksanaan pemberian

kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Sebagai Hak-hak Korban Terkait

dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan

saksi dan korban”.

B. Identifikasi masalah

Dalam penelitian ini akan dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang

merupakan hak-hak korban dalam Undang-undang No.13 Tahun 2006?

2. Apa saja kendala yang mungkin akan muncul dalam pelaksanaan

pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi terkait dengan

pemenuhan hak-hak korban?

3. Upaya apakah yang dapat dilakukan untuk menjamin terlaksananaya

pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi?

C. Tujuan penelitian

Berdasarkan uraian permasalahan yang telah disebutkan di atas,maka

dikemukakan tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Untuk memberikan gambaran mengenai pengaturan kompensasi,

restitusi, dan rehabilitasi yang merupakan hak-hak korban dalam

Undang-undang No.13 Tahun 2006.

6

Page 7: dadang rochyaman baru

2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang mungkin nanti muncul dalam

pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi terkait

dengan pemenuhan hak-hak korban.

3. Untuk memberikan gambaran tentang upaya-upaya yang dapat dilakukan

untuk menjamin terlaksananya pemberian kompensasi, restitusi, dan

rehabilitasi terkait dengan pemenuhan hak-hak korban.

D. Kegunaan penelitian

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran teoritis dalam pengembangan Ilmu Pengetahuan

Pidana, dan dapat dijadikan sumber telaahan dan informasi alternatif bagi

penelitian-penelitian hukum berikutnya, sehingga pada gilirannya dapat

memperkaya khasanah keilmuan Ilmu Hukum pada umumnya dan

hukum Pidana pada khususnya.

2. Secara praktis hasil penelitian ini kiranya dapat dijadikan pertimbangan

dan bahan masukan alternative bagi Aparat Penegak hukum khususnya

masalah perlindungan saksi fan korban.

3. Disamping itu, bahwa penulisan hukum ini utamanya untuk memenuhi

syarat akademik terakhir dalam menyelesaikan studi pada Fakultas

Hukum Universitas Purwakarta yang tercinta ini, sehingga dapat

kiranya dipertahankan di hadapan Tim penguji Sidang Komprehensif

Penulisan Hukum.

7

Page 8: dadang rochyaman baru

E. Kerangka Pemikiran

Menurut Arief Gosita, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah

dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan

kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan

hak asasi yang menderita.8 sedangkan menurut Muladi, korban adalah orang-

orang baik secara individu maupun kolektif telah mendapat kerugian,

termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan

substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau

komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing Negara, termasuk

penyalagunaan kekuasaan.9 Jadi pada intinya korban bukan oarng secara

individu tetapi juga secara kolektif yang menderita akibat perbuatan-perbuatan

yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan lebih

luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari

korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban

mengatasi penderitaannya.

Mengenai kerugian korban, Separovic mengatakan bahwa kerugian

korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian

karena menjadi korban kejahatan, tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran

atau kerugian yang ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan.10

Untuk mengatasi kerugian korban terdapat perlindungan kepada korban

berupa ganti kerugian. Saat ini ganti kerugian korban hanya meliputi kerugian

yang langsung diakibatkan kepada korban, sedangkan kerugian yang tidak

8 Arief Gurita dalam Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, op cit., hlm. 469 Muladi dalam Ibid, hlm. 47.10 Ibid, hlm. 48

8

Page 9: dadang rochyaman baru

langsung diabaikan. Oleh karena itu sangat penting perlindungan yang

maksimal bagi korban dalam hal ini pemberian ganti kerugian, baik yang

ditimbulkan secara langsung maupun yang tidak.

Salah satu wujud perlindungan kepada korban yaitu pemberian

kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. pengertian kompensasi dan restitusi

merupakan istilah yang dalam penggunaannya sering ditukar. Namun,

menurut Stephen Schafer, perbedaan antara kedua istilah itu adalah,

kompensasi lebih bersifat keperdataan. Kompensasi timbul dari permintaan

korban, dan dibayar oleh masyarakat atau Negara (the responsible of the

society), sedangkan restetusi lebuh bersifat pidana, yang timbul dari putusan

pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud

pertanggungjawaban terpidana (the responsible of the offender). Untuk istilah

rehabilitasi dapat diartikan sebagai upaya pemulihan.11

Pentingnya korban memperoleh pemulihan sebagai upaya

menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami ganguan, dengan tepat

dikemukakan Muladi saat menyatakan:korban kejahatan perlu dilindungi

karena pertama, masyarakat dianggap sebagai suatu wujud system

kepercayaan yang melembaga. Kepercayaan ini terpadu melalui norma-norma

yang diekspresikan di dalam struktur kelembagaan seperti kepolisian,

kejaksaan, pengadilan, dan sebagainya. Terjadinya kejahatan atas diri korban

akan bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut sehingga

pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut korban akan

berfungsi sebagai sarana pengembalian system kepercayaan tersebut. kedua,

11 Ibid, hlm. 167

9

Page 10: dadang rochyaman baru

adanya argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial karena negara boleh

dikatakan memonopoli seluruh reasi sosial terhadap kejahatan dan melarang

tindakan-tindakan pribadi. Oleh karena itu, jika terdapat korban kejahatan,

maka Negara harus memperhatikan kebutuhan korban dengan cara

peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak. Ketiga, perlindungan korban

yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemindanaan, yaitu

penyelesaian konflik. Dengan adanya penyelasaian konflik yang ditimbulkan

oleh adanya tindak pidana akan memulihkan keseimbangan dan

mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.12

Setelah sekian lama banyak pihak menunggu lahirnya undang-undang

yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban,

akhirnya pada tanggal 11 Agustus 2006 tentang perlindungan saksi dan

korban, di sahkan dan diberlakukan. Sekalipun beberapa materi dalam

undang-undang ini belum ada aturan pelaksanaannya, dengan adanya undang-

undang ini sedikitnya telah memberikan angun segar bagi korban kejahatan.13

Dalam rangka pengaturan hukum pidana terhadap korban kejahatan, dikenal

dua model perlindungan, yaitu:14

1. Procedural Right Model (model Hak-hak procedural) :model ini

menekankan pada dimungkinkannya peran korban yang sangat aktif

dalam proses peradilan tindak pidana.korban diberi akses yang luas untuk

meminta segera dilakukan penuntutan, termasuk boleh meminta untuk 12 Ibid, hlm. 161 - 16213 Ibid, hlm. 15114Yenti Gunarsih, “Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Rangka Pembentukan Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)”, (Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional tentang Sosialisasi LPSK, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Trisakti bekerja sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia. Jakarta, 4 Oktober 2007).

10

Page 11: dadang rochyaman baru

diahadirkan atau didengarkan keterangannya di setiap sidang pengadilan

di mana kepentingan korban terkait di dalamnya (termasuk dimintai

konsultasi oleh lembaga pemasyarakatan sebelum diberikan lepas

bersyarat atau bahkan diberi tahu ketika pelaku dibebaskan sepenuhnya).

2. The Services Model (Model pelayanan) : model ini menekankan pada

perlunya standar standar bbagi Pembinaan korban yang harus

dilaksanakan oleh polisi,jaksa dan hakim.Dengan pedoman baku dalam

model ini proses peradilan pidana mudah mempertimbangkan kerugian

yang diderita oleh korban dan selanjutnya untuk menentukan kompensasi

bagi korban.

Mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan

sebagai akibat terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan,maka dasr dari

perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa teori, di

antaranyasebagai berikut:15

1. Teori Utilitas

Teori ini menitik beratkan pada kemanfaatan yang terbesar bagi jumlah

yang terbesar.konsep pemberian perlindungan dapat diterapkan sepanjang

memberikan kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan dengan tidak

diterapkan konsep tersebut, tidak saja bagi korban kejahatan, tetapi juga

bagi system penegakan hokum pidana secara keseluruhan.

2. Teoti Tanggung jawab

15Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, op. cit., hlm. 162 – 163.

11

Page 12: dadang rochyaman baru

Pada hakikatnya subjek hukum (orang maupun kelompok) bertanggung

jawab terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannaya sehingga

apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan

orang lain menderita kerugian (dalm arti luas), orang tersebut harus

bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ada alasan

yang membebaskannya.

3. Teori ganti kerugian

Sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahan terhadap orang lain,

pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk memberikan ganti

kerugian pada korban atau ahli warisnya.

Undang-undang No.13 Tahun 2006 mengatur tentang kompensasi,

restitusi, dan rehabilitasi dalam pasal yang berurutan, yaitu pasal 6 untuk

rehabilitasi, dan pasal 7 untuk kompensasi dan restitusi. Adapun bunyi

pasal 6 yang mengatur tentang rehabilitasi yang dalam undang-undang ini

hanya diberikan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat

sebagai berikut :

korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak

atas sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, juga berhak untuk

mendapatkan:

a. bantuan medis

b. bantuan rehabilitasi psiko sosial.

Selanjutnya dalam pasal 7 diatur tentang kompensasi dan restetusi

dalam hal ini adalah ganti kerugian sebagai berikut :

12

Page 13: dadang rochyaman baru

(1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:

a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat;

b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab

pelaku tindak pidana.

(2) Keputusan mengenai kompensasi dan restetusi diberikan oleh

pengadilan

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restetusi

diatur dengan peraturan pemerintah

Prosedural dalam hal pemberian bantuan dalam hal ini menyangkut

bantuan medis dan rehabilitasi psiko sosial diatur pada pasal 33 sampai

dengan pasal 36 prosedur ini terdiri dari tiga tahap yaitu :

1. Tahap pengajuan permohonan pemberian bantuan

2. Tahap pemeriksaan kelayakan bantuan

3. Tahap pelaksanaan pemberian bantuan

F. Metode penelitian

1. Obyek penelitian

Penelitian tentang “ Analisis Yuridis terhadap pelaksanaan pemberian

kompensasi, restitusi,dan rehabilitasi sebagai Hak-hak korban terkait

dengan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan

korban merupakan suatu penelitian yuridis normatif. Sebagai suatu

penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisis

13

Page 14: dadang rochyaman baru

norma hukum, baik hukum dalam peraturan perundang-undangan maupun

hukum dalam putusan-putusan pengadilan. Oleh karena itu, obyek yang

dianalisis adalah norma-norma hukum baik yang ada dalam peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan hak-hak kompensasi, restitusi,

dan rehabilitasi yang dibuat oleh lembaga pembuat Undang-undang

maupun dalam praktik yang telah ditetapkan di Indonesia dan pendapat

ahli hukum berkaitan dengan masalah kompensasi, restitusi,dan

rehabilitasi.

Adapun sifat dari penelitian ini yaitu deskriptif analisis dengan

gambaran gejala-gejala khusus yang ada lalu dianalisis untuk menarik

suatu kesimpulan, dalam hal ini gejala-gejala yang berhubungan dengan

kompensasi, restitusi,dan rehabilitasi.

Pemahaman yang mendalam tentang pengaturan kompensasi,

restitusi, dan rehabilitasi dianalisis dengan mendasarkan Undang-undang

No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban. Selain itu

undang-undang tersebut, penulis juga menganalisis dengan berdasarkan

pada peraturan perundang- undangan lainnya yang berkaitan dengan judul

dari skripsi ini, dan praktik yang telah ditetapkan di Indonesia.

2. Jenis Data dan Sumber Data

Berdasarkan jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam

penelitian ini adalah data sekunder, yaitu yang diperoleh melalui studi

kepustakaan.

14

Page 15: dadang rochyaman baru

Data kepustakaan dibedakan dalam tiga bahan hukum yaitu bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Namun

penulis dalam hal ini hanya memakai bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder.

Bahan-bahan hukum primer yang digunakan oleh penulis sebagai

sumber data dalam penelitian ini meliputi kitab undang-undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang

perlindungan saksi dan korban, dan peraturan perundang-undangan

sebelum adanya UU No.13 Tahun 2006 tersebut yang ada kaitanya

dengan pemberian kompensasi, restetusi, dan rehabilitasi yang merupakan

inti dari judul skripsi penulis. Sedangkan bahan hukum sekunder meliputi

buku-buku, majalah atau koran, data-data internet, dan karya ilmiah

lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

3. Cara Pengumpulan Data

Cara pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui studi

kepustakaan, yaitu dengan mencari data dalam buku-buku, majalah atau

koran, undang-undang, serta karya ilmiah lainya yang berhubungan

dengan penelitian ini.

Adapun tempat-tempat yang di datangi untuk mengumpulkan

data,antara lain : Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Purwakarta,

15

Page 16: dadang rochyaman baru

Perpustakaan Mahkamah Agung. selain itu, penulis juga mengakses data-

data melalui internet. Dalam hal ini penulis juga melakukan wawancara.

4. Pengolahan dan Analisis Data

Dalam melakukan analisis data, penulis menggunakan cara kualitatif,

artinya data kepustakaan dianalisis secara mendalam, holistic (satu

kesatuan), dan komprehensif (menyeluruh) sehingga nantinya dapat

menjawab permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

5. Cara Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini menggunakan logika

dedukatif, yaitu metode penarikan kesimpulan yang bersifat khusus dari

pernyataan-pernyataan yang sifatnya umum. Metode ini dilakukan dengan

cara menganalisis pengertian atau konsep-konsep umum,antara lain

mengenai konsep tentang pemberian kompensasi,restetusi, dan rehabilitasi

dari aspek Hukum Acara Pidana.kajian terhadap konsep yang bersifat

umum tersebut akan dianalisis secara khusus dari aspek Undang-undang

No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.

G. Sistematika penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Dalam Bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang,

permasalahan, tujuan penelitian, metode penelitian yang

16

Page 17: dadang rochyaman baru

digunakan, kerangka teori, dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM ACARA PIDANA,

KORBAN DAN HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN

GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hukum acara pidana secara

umum, Korban, dan segala hal yang berkaitan dengan ganti

kerugian kepada korban.

BAB III KAPAN MENGENAI PEMBERIAN KOMPENSASI,

RESTITUSI, DAN REHABILITASI KEPADA KORBAN

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pemberian kompensasi,

dan Restitusi, dan rehabilitasi kepada korban yang merupakan

obyek dalam Penulisan skripsi ini. Di samping itu, dalam bab ini

penulis juga akan menguraikan beberapa contoh kasus yang

berkaitan dengan obyek penulis skripsi ini.

BAB IV ANALISIS TERHADAP MASALAH DALAM PEMBERIAN

KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI

SEBAGAI HAK-HAK KORBAN

Dalam bab ini akan diuraikan hasil analisis dan jawaban dari

permasalahan yang dikemukakan dalam penulisan ini. Ada tiga

permasalahan yang dikemukakan yaitu mengenai bagaimana

pengaturan kompensasi, restetusi, dan rehabilitasi dalam UU No.

13 Tahun 2006, kendala yang mungkin muncul dalam

17

Page 18: dadang rochyaman baru

pelaksanaannya, dan upaya apa yang dapat dilakukan untuk

mengatasi kendala tersebut.

BAB V PENUTUP

Dalam ini bagian akhir dari seluruh kegiatan penulisan, yang

berupa kesimpulan dan saran.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Jakarta : sinar Grafika, 2001.

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban kejahatan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007.

Marpaung, Leden, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Dalam Hukum Pidana, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,1999.

Ramelan, Hukum Acara Pidana Indonesia Teori Dan Implementasi, Cet.1. Jakarta : Sumber Ilmu Jaya,2006.

18

Page 19: dadang rochyaman baru

Syahrial Martanto wiryawan dan melly setyowati, Pemberian bantuan dalam undangundang perlindungan saklsi dan korban sebuah Observasi awal, Jakarta : Indonesia Corruption Watch,2007.

Supriyadi Widodo Edyyono, Lembaga Perlindungan Saksi di Indonesia Sebuah pemetaan awal, Jakarta : Indonesia Corruption Watch, 2007.

Wahyu Wagiman dan Zainal Abidin, Praktik kompensasi dan Restitusi di Indonesia sebuah kajian awal, Jakarta : Indonesia Corruption Watch,2007.

B. Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM jo PP No.3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restetusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Yang Berat.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

19