Download - dadang rochyaman baru
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk ciptaan tuhan, manusia pada dasarnya sama di depan
Tuhan. Setiap orang diberikan akhlak, akal budi, dan kebebasan dalam
menentukan apa yang baik untuknya dan apa yang tidak baik untuknya.
Kebebasan yang ada pada setiap orang itu dibatasi oleh hak asasi orang lain.
Ini artinya bahwa setiap orang memiliki kewajiban mengakui dan
menghormati hak asasi orang lain. Kewajiban ini tidak hanya berlaku bagi
setiap orang tetapi berlaku juga bagi Negara.
Hak asasi yang melekat pada manusia secara kodrati merupakan
anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak ini tidak dapat kita ingkari.
Pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat manusia.
Selanjutnya menurut KUHAP, hak asasi manusia1 tanpa adanya diskriminasi
juga sesuai dengan asas “equality before law ’’, menyatakan adanya perlakuan
yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan
pembedaan perlakuan.
Sejalan dengan asas “ equality before law”, yang intiya mengatur
perlakuan yang sama atas setiap orang di muka hukum,dan hal yang sama juga
telah diatur dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang RI No.48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman di mana dikatakan bahwa : “pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.
1 UU RI No. 39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, hlm. 38
1
Masalah Keadilan dan hak-hak asasi manusia dalam kaitanya dengan
penegak hukum memang bukan pekerjaan yang mudah untuk dilaksanakan2.
banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat menunjukan bahwa kedua hal
tersebut kurang mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, padahal
sangat jelas dalam Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia,
masalah perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat yang penting
sebagai perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan sila
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.3
Salah satu contoh kurangnya diperhatikan masalah keadilan dan hak
asasi adalah berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap korban.saat ini
kita banyak membicarakan hak-hak tersangka dan sering melupakan hak-hak
korban, yang sebenarnya lebih adil untuk diperhatikan. Ada satu hal yang
perlu diperhatikan yaitu walaupun kerapkali kerugian atau penderitaan korban
disebabkan oleh kelalaian dan kekurang hati-hatiannya sendiri, namun korban
adalah manusia yang merupakan objek dan subjek serta anggota masyarakat.
Dalam membahas materi hukum acara pidana yang berkaitan dengan
hak-hak manusia ada kecenderungan untuk membahas hal-hal yang berkaitan
dengan hak-hak tersangka atau terdakwa tanpa memperhatikan hak-hak
korban juga. Hal ini dapat dilihat dari tidak banyaknya teliratur maupun
seminar yang membicarakan hal ini.
Salah satu hak korban yang merupakan bagian dari perlindungan
terhadap korban yaitu hak ganti kerugian yang berwujud pemberian
2 Didik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan (Jakart: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 24
3 Ibid
2
konpensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Dalam KUHAP telah diatur mengenai
pemberian ganti rugi terhadap korban berupa ganti kerugian yang bersifat
materil, sedangkan untuk kerugian immaterial harus melalui pengajuan
perkara secara perdata oleh korban. Selain KUHAP, pemberian ganti kerugian
juga diatur dalam undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan
HAM yaitu berupa hak konpensasi, restitusi, dan rehabilitasi terhadap korban
pelanggaran HAM yang berat. Dengan melihat pada kedua aturan tersebut,
dapat disimpulkan bahwa belum adanya undang-undang yang mengatur
konpensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang memadai dan benar-benar secara
khusus memberikan perlindungan terhadap korban tanpa adanya perbedaan.
Dalam pelaksanaan kedua undang-undang ini juga belum dapat
diterapkan secara sempurna terbukti dari sampai saat ini tidak ada satu pun
korban pelanggaran HAM yang mendapat konpensasi dan restitusi. Hal ini
terjadi karena adanya kelemahan dalam pengaturan, baik menyangkut
konsepnya maupun prosedurnya. Dalam pengalaman pengadilan HAM,
menunjukkan bahwa regulasi dan aturan pelaksanaannya menjadi dasar
pemenuhan hak-hak korban justru mempersulit impelementasi hak-hak korban
pelanggaran HAM berat4.
Berdasarkan pengalaman kedua undang-undang tersebut maka
diperlukan undang-undang yang mengatur Kompensasi, Restitusi, dan
Rehabilitasi secara khusus terhadap korban yang maksimal dengan lebih
4 Wahyu Wagiman Zainal Abidian, Praktik Kompensasi dan Restitusi di Indonesia, Sebuah Kajian Awal, (Jakarta : Indoneisa Corruption Watch).
3
memperhatikan kepentingan korban. Undang-undang ini juga harus memenuhi
prinsip persamaan hak sehingga dalam pelaksanaannya tidak diskriminatif.
Menanggapi hal tersebut, akhirnya pemerintah mengesahkan undang-
undang No. 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban (UU PSK)
pada tanggal 11 Agustus 2006. Walaupun tidak diatur secara khusus, namun
setidaknya undang-undang ini telah mengatur tentang pemberian Kompensasi
dan Restitusi bukan hanya terhadap korban pelanggaran HAM berat,
melainkan juga terhadap korban kejahatan pidana. Dalam undang-undang ini
kompensasi diberikan oleh Negara pada korban pelanggaran HAM berat,
sedangkan restetusi merupakan ganti kerugian yang merupakan tanggung
jawab pelaku tindak pidana.
Meskipun pemberian kompensasi, restetusi, dan rehabilitasi sudah
diatur dalam undang-undang tersebut, tetapi hak korban tersebut belum bias
terwujud karena instrument pendukungnya belum terwujud. Salah satu hal
yang paling vital selain aturan pelaksanaannya, yaitu belum terbentuknya
LPSK (lembaga perlindungan saksi dan korban) yang sesuai amanat paling
lambat 11 Agustus 2007, namun sampai penulis menulis pembahasan ini,
LPSK tersebut masih belum terbentuk, padahal lembaga inilah yang akan
memberikan perlindungan bagi saksi dan korban, termasuk dalam proses
pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Menurut UU PSK,
kompensasi dan restitusi dilakukan setelah ada penetapan dari pengadilan atas
permohonan dari LPSK (lembaga perlindungan saksi dan korban)5. jadi
terbentuknya lembaga ini sangat diharapkan oleh masyarakat yang
5 Ibid
4
mendambakan keadilan, khususnya para korban tindak pidana.Menurut pakar
hukum praktik pencucian uang, DR.Yenti Ganarsih, S.H., M.H., dalam acara
yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Trisakti bekerja sama
dengan partnership for Governance Reform in Indonesia di Jakarta, kamis 4
oktober 2007, menyatakan bahwa peran LPSK ini sangat penting untuk
mengungkap kejahatan yang teroganisasi,seperti pencucian uang, korupsi,
narkoba, maupun terorisme.6 Namun keberadaan LPSK ini dikhawatirkan
tidak akan optimal dalam memberikan perlindungan khususnya kepada korban
akibat lemahnya koordinasi antar lembaga dalam birokrasi di Indonesia.7
Selain kelemahan dari instrument pendukungnya yang belum terwujud,
masih banyak kelemahan yang langsung berkaitan dengan pengaturan
pemberian kompensasi,restetusi,dan rehabilitasi, ditambah pengetahuan
masyarakat terhadap hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang masih
kurang atau bahkan tidak ada.Hal ini dinilai nantinya akan menjadi kendala
dan mempengaruhi pelaksanaan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi
tersebut.
Sehubungan dengan hal tersebut, penulis ingin melakukan analisis
secara yuridis mengenai pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan
rehabilitasi dengan maksud agar pembaca mendapat gambaran tentang
pengaturan kompensasi, restitusi,dan rehabilitasi, kendala yang akan muncul
pada pelaksanaan dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala
tersebut.
6 Vin, “LPSK Dikhawatirkan Tidak Optimal” Kompas, 6 Oktober 2007, hlm. 4.7 Ibid
5
Oleh karena tujuan itu,maka penulis mengemukakan suatu judul
sebagai berikut : “Analisis Yuridis Terhadap pelaksanaan pemberian
kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Sebagai Hak-hak Korban Terkait
dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan
saksi dan korban”.
B. Identifikasi masalah
Dalam penelitian ini akan dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang
merupakan hak-hak korban dalam Undang-undang No.13 Tahun 2006?
2. Apa saja kendala yang mungkin akan muncul dalam pelaksanaan
pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi terkait dengan
pemenuhan hak-hak korban?
3. Upaya apakah yang dapat dilakukan untuk menjamin terlaksananaya
pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi?
C. Tujuan penelitian
Berdasarkan uraian permasalahan yang telah disebutkan di atas,maka
dikemukakan tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Untuk memberikan gambaran mengenai pengaturan kompensasi,
restitusi, dan rehabilitasi yang merupakan hak-hak korban dalam
Undang-undang No.13 Tahun 2006.
6
2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang mungkin nanti muncul dalam
pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi terkait
dengan pemenuhan hak-hak korban.
3. Untuk memberikan gambaran tentang upaya-upaya yang dapat dilakukan
untuk menjamin terlaksananya pemberian kompensasi, restitusi, dan
rehabilitasi terkait dengan pemenuhan hak-hak korban.
D. Kegunaan penelitian
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran teoritis dalam pengembangan Ilmu Pengetahuan
Pidana, dan dapat dijadikan sumber telaahan dan informasi alternatif bagi
penelitian-penelitian hukum berikutnya, sehingga pada gilirannya dapat
memperkaya khasanah keilmuan Ilmu Hukum pada umumnya dan
hukum Pidana pada khususnya.
2. Secara praktis hasil penelitian ini kiranya dapat dijadikan pertimbangan
dan bahan masukan alternative bagi Aparat Penegak hukum khususnya
masalah perlindungan saksi fan korban.
3. Disamping itu, bahwa penulisan hukum ini utamanya untuk memenuhi
syarat akademik terakhir dalam menyelesaikan studi pada Fakultas
Hukum Universitas Purwakarta yang tercinta ini, sehingga dapat
kiranya dipertahankan di hadapan Tim penguji Sidang Komprehensif
Penulisan Hukum.
7
E. Kerangka Pemikiran
Menurut Arief Gosita, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah
dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan
kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan
hak asasi yang menderita.8 sedangkan menurut Muladi, korban adalah orang-
orang baik secara individu maupun kolektif telah mendapat kerugian,
termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan
substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau
komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing Negara, termasuk
penyalagunaan kekuasaan.9 Jadi pada intinya korban bukan oarng secara
individu tetapi juga secara kolektif yang menderita akibat perbuatan-perbuatan
yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan lebih
luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari
korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban
mengatasi penderitaannya.
Mengenai kerugian korban, Separovic mengatakan bahwa kerugian
korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian
karena menjadi korban kejahatan, tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran
atau kerugian yang ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan.10
Untuk mengatasi kerugian korban terdapat perlindungan kepada korban
berupa ganti kerugian. Saat ini ganti kerugian korban hanya meliputi kerugian
yang langsung diakibatkan kepada korban, sedangkan kerugian yang tidak
8 Arief Gurita dalam Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom, op cit., hlm. 469 Muladi dalam Ibid, hlm. 47.10 Ibid, hlm. 48
8
langsung diabaikan. Oleh karena itu sangat penting perlindungan yang
maksimal bagi korban dalam hal ini pemberian ganti kerugian, baik yang
ditimbulkan secara langsung maupun yang tidak.
Salah satu wujud perlindungan kepada korban yaitu pemberian
kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. pengertian kompensasi dan restitusi
merupakan istilah yang dalam penggunaannya sering ditukar. Namun,
menurut Stephen Schafer, perbedaan antara kedua istilah itu adalah,
kompensasi lebih bersifat keperdataan. Kompensasi timbul dari permintaan
korban, dan dibayar oleh masyarakat atau Negara (the responsible of the
society), sedangkan restetusi lebuh bersifat pidana, yang timbul dari putusan
pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud
pertanggungjawaban terpidana (the responsible of the offender). Untuk istilah
rehabilitasi dapat diartikan sebagai upaya pemulihan.11
Pentingnya korban memperoleh pemulihan sebagai upaya
menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami ganguan, dengan tepat
dikemukakan Muladi saat menyatakan:korban kejahatan perlu dilindungi
karena pertama, masyarakat dianggap sebagai suatu wujud system
kepercayaan yang melembaga. Kepercayaan ini terpadu melalui norma-norma
yang diekspresikan di dalam struktur kelembagaan seperti kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, dan sebagainya. Terjadinya kejahatan atas diri korban
akan bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut sehingga
pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut korban akan
berfungsi sebagai sarana pengembalian system kepercayaan tersebut. kedua,
11 Ibid, hlm. 167
9
adanya argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial karena negara boleh
dikatakan memonopoli seluruh reasi sosial terhadap kejahatan dan melarang
tindakan-tindakan pribadi. Oleh karena itu, jika terdapat korban kejahatan,
maka Negara harus memperhatikan kebutuhan korban dengan cara
peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak. Ketiga, perlindungan korban
yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemindanaan, yaitu
penyelesaian konflik. Dengan adanya penyelasaian konflik yang ditimbulkan
oleh adanya tindak pidana akan memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.12
Setelah sekian lama banyak pihak menunggu lahirnya undang-undang
yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban,
akhirnya pada tanggal 11 Agustus 2006 tentang perlindungan saksi dan
korban, di sahkan dan diberlakukan. Sekalipun beberapa materi dalam
undang-undang ini belum ada aturan pelaksanaannya, dengan adanya undang-
undang ini sedikitnya telah memberikan angun segar bagi korban kejahatan.13
Dalam rangka pengaturan hukum pidana terhadap korban kejahatan, dikenal
dua model perlindungan, yaitu:14
1. Procedural Right Model (model Hak-hak procedural) :model ini
menekankan pada dimungkinkannya peran korban yang sangat aktif
dalam proses peradilan tindak pidana.korban diberi akses yang luas untuk
meminta segera dilakukan penuntutan, termasuk boleh meminta untuk 12 Ibid, hlm. 161 - 16213 Ibid, hlm. 15114Yenti Gunarsih, “Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Rangka Pembentukan Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)”, (Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional tentang Sosialisasi LPSK, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Trisakti bekerja sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia. Jakarta, 4 Oktober 2007).
10
diahadirkan atau didengarkan keterangannya di setiap sidang pengadilan
di mana kepentingan korban terkait di dalamnya (termasuk dimintai
konsultasi oleh lembaga pemasyarakatan sebelum diberikan lepas
bersyarat atau bahkan diberi tahu ketika pelaku dibebaskan sepenuhnya).
2. The Services Model (Model pelayanan) : model ini menekankan pada
perlunya standar standar bbagi Pembinaan korban yang harus
dilaksanakan oleh polisi,jaksa dan hakim.Dengan pedoman baku dalam
model ini proses peradilan pidana mudah mempertimbangkan kerugian
yang diderita oleh korban dan selanjutnya untuk menentukan kompensasi
bagi korban.
Mengacu pada penerapan perlindungan hak-hak korban kejahatan
sebagai akibat terlanggarnya hak asasi yang bersangkutan,maka dasr dari
perlindungan korban kejahatan dapat dilihat dari beberapa teori, di
antaranyasebagai berikut:15
1. Teori Utilitas
Teori ini menitik beratkan pada kemanfaatan yang terbesar bagi jumlah
yang terbesar.konsep pemberian perlindungan dapat diterapkan sepanjang
memberikan kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan dengan tidak
diterapkan konsep tersebut, tidak saja bagi korban kejahatan, tetapi juga
bagi system penegakan hokum pidana secara keseluruhan.
2. Teoti Tanggung jawab
15Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, op. cit., hlm. 162 – 163.
11
Pada hakikatnya subjek hukum (orang maupun kelompok) bertanggung
jawab terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannaya sehingga
apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan
orang lain menderita kerugian (dalm arti luas), orang tersebut harus
bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ada alasan
yang membebaskannya.
3. Teori ganti kerugian
Sebagai perwujudan tanggung jawab karena kesalahan terhadap orang lain,
pelaku tindak pidana dibebani kewajiban untuk memberikan ganti
kerugian pada korban atau ahli warisnya.
Undang-undang No.13 Tahun 2006 mengatur tentang kompensasi,
restitusi, dan rehabilitasi dalam pasal yang berurutan, yaitu pasal 6 untuk
rehabilitasi, dan pasal 7 untuk kompensasi dan restitusi. Adapun bunyi
pasal 6 yang mengatur tentang rehabilitasi yang dalam undang-undang ini
hanya diberikan kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat
sebagai berikut :
korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak
atas sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, juga berhak untuk
mendapatkan:
a. bantuan medis
b. bantuan rehabilitasi psiko sosial.
Selanjutnya dalam pasal 7 diatur tentang kompensasi dan restetusi
dalam hal ini adalah ganti kerugian sebagai berikut :
12
(1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM yang berat;
b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab
pelaku tindak pidana.
(2) Keputusan mengenai kompensasi dan restetusi diberikan oleh
pengadilan
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restetusi
diatur dengan peraturan pemerintah
Prosedural dalam hal pemberian bantuan dalam hal ini menyangkut
bantuan medis dan rehabilitasi psiko sosial diatur pada pasal 33 sampai
dengan pasal 36 prosedur ini terdiri dari tiga tahap yaitu :
1. Tahap pengajuan permohonan pemberian bantuan
2. Tahap pemeriksaan kelayakan bantuan
3. Tahap pelaksanaan pemberian bantuan
F. Metode penelitian
1. Obyek penelitian
Penelitian tentang “ Analisis Yuridis terhadap pelaksanaan pemberian
kompensasi, restitusi,dan rehabilitasi sebagai Hak-hak korban terkait
dengan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan
korban merupakan suatu penelitian yuridis normatif. Sebagai suatu
penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisis
13
norma hukum, baik hukum dalam peraturan perundang-undangan maupun
hukum dalam putusan-putusan pengadilan. Oleh karena itu, obyek yang
dianalisis adalah norma-norma hukum baik yang ada dalam peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan hak-hak kompensasi, restitusi,
dan rehabilitasi yang dibuat oleh lembaga pembuat Undang-undang
maupun dalam praktik yang telah ditetapkan di Indonesia dan pendapat
ahli hukum berkaitan dengan masalah kompensasi, restitusi,dan
rehabilitasi.
Adapun sifat dari penelitian ini yaitu deskriptif analisis dengan
gambaran gejala-gejala khusus yang ada lalu dianalisis untuk menarik
suatu kesimpulan, dalam hal ini gejala-gejala yang berhubungan dengan
kompensasi, restitusi,dan rehabilitasi.
Pemahaman yang mendalam tentang pengaturan kompensasi,
restitusi, dan rehabilitasi dianalisis dengan mendasarkan Undang-undang
No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban. Selain itu
undang-undang tersebut, penulis juga menganalisis dengan berdasarkan
pada peraturan perundang- undangan lainnya yang berkaitan dengan judul
dari skripsi ini, dan praktik yang telah ditetapkan di Indonesia.
2. Jenis Data dan Sumber Data
Berdasarkan jenis dan bentuknya, data yang diperlukan dalam
penelitian ini adalah data sekunder, yaitu yang diperoleh melalui studi
kepustakaan.
14
Data kepustakaan dibedakan dalam tiga bahan hukum yaitu bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Namun
penulis dalam hal ini hanya memakai bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder.
Bahan-bahan hukum primer yang digunakan oleh penulis sebagai
sumber data dalam penelitian ini meliputi kitab undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang
perlindungan saksi dan korban, dan peraturan perundang-undangan
sebelum adanya UU No.13 Tahun 2006 tersebut yang ada kaitanya
dengan pemberian kompensasi, restetusi, dan rehabilitasi yang merupakan
inti dari judul skripsi penulis. Sedangkan bahan hukum sekunder meliputi
buku-buku, majalah atau koran, data-data internet, dan karya ilmiah
lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
3. Cara Pengumpulan Data
Cara pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui studi
kepustakaan, yaitu dengan mencari data dalam buku-buku, majalah atau
koran, undang-undang, serta karya ilmiah lainya yang berhubungan
dengan penelitian ini.
Adapun tempat-tempat yang di datangi untuk mengumpulkan
data,antara lain : Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Purwakarta,
15
Perpustakaan Mahkamah Agung. selain itu, penulis juga mengakses data-
data melalui internet. Dalam hal ini penulis juga melakukan wawancara.
4. Pengolahan dan Analisis Data
Dalam melakukan analisis data, penulis menggunakan cara kualitatif,
artinya data kepustakaan dianalisis secara mendalam, holistic (satu
kesatuan), dan komprehensif (menyeluruh) sehingga nantinya dapat
menjawab permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
5. Cara Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan dalam penelitian ini menggunakan logika
dedukatif, yaitu metode penarikan kesimpulan yang bersifat khusus dari
pernyataan-pernyataan yang sifatnya umum. Metode ini dilakukan dengan
cara menganalisis pengertian atau konsep-konsep umum,antara lain
mengenai konsep tentang pemberian kompensasi,restetusi, dan rehabilitasi
dari aspek Hukum Acara Pidana.kajian terhadap konsep yang bersifat
umum tersebut akan dianalisis secara khusus dari aspek Undang-undang
No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.
G. Sistematika penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Dalam Bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang,
permasalahan, tujuan penelitian, metode penelitian yang
16
digunakan, kerangka teori, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM ACARA PIDANA,
KORBAN DAN HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN
GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hukum acara pidana secara
umum, Korban, dan segala hal yang berkaitan dengan ganti
kerugian kepada korban.
BAB III KAPAN MENGENAI PEMBERIAN KOMPENSASI,
RESTITUSI, DAN REHABILITASI KEPADA KORBAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pemberian kompensasi,
dan Restitusi, dan rehabilitasi kepada korban yang merupakan
obyek dalam Penulisan skripsi ini. Di samping itu, dalam bab ini
penulis juga akan menguraikan beberapa contoh kasus yang
berkaitan dengan obyek penulis skripsi ini.
BAB IV ANALISIS TERHADAP MASALAH DALAM PEMBERIAN
KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI
SEBAGAI HAK-HAK KORBAN
Dalam bab ini akan diuraikan hasil analisis dan jawaban dari
permasalahan yang dikemukakan dalam penulisan ini. Ada tiga
permasalahan yang dikemukakan yaitu mengenai bagaimana
pengaturan kompensasi, restetusi, dan rehabilitasi dalam UU No.
13 Tahun 2006, kendala yang mungkin muncul dalam
17
pelaksanaannya, dan upaya apa yang dapat dilakukan untuk
mengatasi kendala tersebut.
BAB V PENUTUP
Dalam ini bagian akhir dari seluruh kegiatan penulisan, yang
berupa kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Jakarta : sinar Grafika, 2001.
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban kejahatan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007.
Marpaung, Leden, Proses Tuntutan Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Dalam Hukum Pidana, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,1999.
Ramelan, Hukum Acara Pidana Indonesia Teori Dan Implementasi, Cet.1. Jakarta : Sumber Ilmu Jaya,2006.
18
Syahrial Martanto wiryawan dan melly setyowati, Pemberian bantuan dalam undangundang perlindungan saklsi dan korban sebuah Observasi awal, Jakarta : Indonesia Corruption Watch,2007.
Supriyadi Widodo Edyyono, Lembaga Perlindungan Saksi di Indonesia Sebuah pemetaan awal, Jakarta : Indonesia Corruption Watch, 2007.
Wahyu Wagiman dan Zainal Abidin, Praktik kompensasi dan Restitusi di Indonesia sebuah kajian awal, Jakarta : Indonesia Corruption Watch,2007.
B. Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM jo PP No.3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restetusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Yang Berat.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
19