cyberculture

19
Cyberculture: Konsep Kehadiran tanpa Melibatkan Tubuh Cyberculture adalah berbagai fenomena sosial yang berkaitan dengan internet dan jaringan komunikasi (blog, online multi- player game. Konsep cyberspace diperkenalkan dalam sebuah novel sci-fi True Name oleh Vernor seorang novelis yang juga ahli matematika pada tahun 1981. Vernor menggunakan istilah “The Other Plane” untuk menggambarkan keberadaan sebuah jaringan. Konsep ini yang kemudian diadaptasi oleh William Gibson pada tahun 1984 dalam novelnya Neuromancer. Cyberspace. A consensual hallucination experienced daily by billions of legitimate operators, in every nation, by children being taught mathematical concepts — A graphic representation of data abstracted from the banks of every computer in the human system. Unthinkable complexity. Lines of light ranged in the nonspace of the mind, clusters and constellations of data. Like city lights, receding. (William Gibson 1984: 51 sebagaimana dikutip Wood dan Smith, 2005:18) Cyberspace digambarkan oleh Gibson jauh sebelum teknologi internet menjadi berkembang. Juga, visualisasi atas representasi grafis di dunia World Wibe web (WWW) yang ada di layar komputer saat ini. Ide Gibson dalam penggunaan kata cyberspace ini setelah ia memerhatikan keyakinan yang muncul dari anak-anak setelah mereka bermain video games. Bahwa anak-anak tersebut meyakini bahwa permainan tersebut adalah nyata dan semua bangunan, ruang, interaksi, maupun benda-benda yang ada di permainan tersebut diyakini sebagai sebuah kenyataan atau eksis meski kenyataan itu

Upload: ryanita-arrini

Post on 10-Aug-2015

246 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Cyberculture adalah berbagai fenomena sosial yang berkaitan dengan internet dan jaringan komunikasi (blog, online multi-player game. Konsep cyberspace diperkenalkan dalam sebuah novel sci-fi True Name oleh Vernor seorang novelis yang juga ahli matematika pada tahun 1981.

TRANSCRIPT

Page 1: Cyberculture

Cyberculture: Konsep Kehadiran tanpa Melibatkan Tubuh

Cyberculture adalah berbagai fenomena sosial yang berkaitan dengan internet dan

jaringan komunikasi (blog, online multi-player game. Konsep cyberspace diperkenalkan dalam

sebuah novel sci-fi True Name oleh Vernor seorang novelis yang juga ahli matematika pada

tahun 1981. Vernor menggunakan istilah “The Other Plane” untuk menggambarkan keberadaan

sebuah jaringan. Konsep ini yang kemudian diadaptasi oleh William Gibson pada tahun 1984

dalam novelnya Neuromancer.

Cyberspace. A consensual hallucination experienced daily by billions of legitimate

operators, in every nation, by children being taught mathematical concepts — A graphic

representation of data abstracted from the banks of every computer in the  human system.

Unthinkable complexity. Lines of light ranged in the nonspace of the mind, clusters and

constellations of data. Like city lights, receding. (William Gibson 1984: 51 sebagaimana dikutip

Wood dan Smith, 2005:18)

Cyberspace digambarkan oleh Gibson jauh sebelum teknologi internet menjadi

berkembang. Juga, visualisasi atas representasi grafis di dunia World Wibe web (WWW) yang

ada di layar komputer saat ini. Ide Gibson dalam penggunaan kata cyberspace ini setelah ia

memerhatikan keyakinan yang muncul dari anak-anak setelah mereka bermain video games.

Bahwa anak-anak tersebut meyakini bahwa permainan tersebut adalah nyata dan semua

bangunan, ruang, interaksi, maupun benda-benda yang ada di permainan tersebut diyakini

sebagai sebuah kenyataan atau eksis meski kenyataan itu tidak bisa dijangkau oleh mereka. “ to

develop a belief that there’s some kind of actual space behind the screen, someplace you can’t

see but you know is there” (McCaffery, 1992:272 sebagaimana dikutip Wood dan Smith,

2005:19).

Merujuk pada kata yang digunakan Gibson, cyberspace lebih dekat dengan

penggambaran “consensual hallucination”, namun Bromberg (1996)

menyamakan cyberspace sebagai “non-linier reality of mind-altering drugs”. Sedangkan

Rushkoff (1994) menggunakan kata cyberspace untuk membawa pikiran (manusia) ketingkat

atau level selanjutnya dari kesadaran manusia.

Page 2: Cyberculture

Namun, Shawn Wilbur (1997) menjelaskan bahwa melalui fasilitas Web memungkinkan

adanya kontak yang halus (ethereal contact), bahwa seseorang akan menemukan efek dalam

kehidupan mereka ketika berhubungan dengancyberspace. Sebab, karakteristik dunia virtual bisa

menghasilkan efek dan di sisi lain ia juga menjadikan dirinya sebagai sebuah efek. The

characteristic of the virtual is that is able to produce effects, or to produce itself as an effect even

in the absence of “real effects” (Wilbur, 1997:9-10). Hubungan antarindividu di dunia virtual

bukankah sekadar hubungan yang dikatakan sebagai “substanceless halluciantion” semata; pada

dasarnya hubungan tersebut terjadi secara nyata, memiliki arti, dan juga bisa

berdampak/berlanjut pada kehidupan yang sesungguhnya. Hal inilah yang kemudian ditegaskan

oleh Howard Rheingold (1993:5) bahwa cyberspace merupakan ruang konseptual dimana semua

kata, hubungan manusia, data, kesejahteraan, dan juga kekuatan dimanifestasikan oleh setiap

orang melalui teknologi CMC atau Computer Mediated Communication. “the conceptual space

where words, human relationships, data, wealth,and power are manifested by people using CMC

technology”.

Meski Wood dan Smith dalam bukunya Online Communication, Lingking Technology,

Identitym & Culture (2005:19) mengakui bahwa keberadaan katacyberspace mudah untuk

ditelusuri dibandingkan dengan pendefenisiannya, tetapi pendefinisian cyberspace yang

ditawarkan oleh keduanya bukanlah sekadar halusinasi semata, melainkan lebih dekat kepada

“consensual, conceptual space”. Sedangkan menurut Nguyen dan Alexander (1996)

menyatakan cyberspace merupakan sinyal dari kemajuan modernitas,“cyberspace signals the

breakdown of modernity”, Turkle (1996) menggambarkanncyberspace sebagai sebuah konteks

post-modernis untuk memainkan diri, “is a postmodern context for playing with the self”,

dan Cyberspace bagi Danet (1997) sebagai “intrinsically a playfull medium” (sebagaimana

dikutip Hine 2000:7).

Untuk mendekati pengertian cyberspace, Kitchin (1998) sebagaimana dikutip oleh

Christine Hine dalam bukunya Virtual Etnography (2001:5-7)  memaparkan efek

dari cyberspace ke dalam tiga karateristik: pertama, merubah peran waktu dan

ruang; kedua, merubah pola komunikasi dan peran komunikasi massa ;ketiga mempertanyakan

dualisme seperti yang nyata dan yang virtual, kebenaran atau fiksi, keotentikan atau produksi,

peran teknologi dan natural, atau representasi dan realitas. Kondisi ini kembali ditegaskan oleh

Poster (1990;1995) bahwa keberadaan internet merupakan fenomeda post-modern yang

Page 3: Cyberculture

mengaburkan batas-batas antara manusia dan (teknologi) mesin serta antara yang real dan yang

virtual.

Cyberculture as a Culture

Internet menurut Hine (2007) bisa didekati dalam dua aspek apabila menggunakan

pendekatan etnografi, yakni internet sebagai budaya dan internet sebagai artefak kebudayaan.

Perbedaan ini berimplikasi—khususnya untuk para peneliti etnografi—kepada  perbedaan

penggunaan metodologi dalam penelitian di satu sisi maupun secara tegas memaparkan

keuntungan maupun kelemahan di sisi lain.

Sebagai sebuah budaya (culture),  pada awalnya internet ditenggarai sebagai model

komunikasi yang sederhana bila dibandingkan dengan model komunikasi secara langsung

atau face-to-face (Baym, 1998). Bahwa interaksi face-to-facetidak hanya melibatkan teks sebagai

simbol atau tanda dalam berinteraksi semata. Ekspresi wajah, tekanan suara, cara memandang,

posisi tubuh, agama, usia, ras, dan sebagainya merupakan tanda-tanda yang juga berperan dalam

interaksi antarindividu. Sedangkan dalam CMC interaksi terjadi berdasarkan teks semata bahkan

emosipun ditunjukkan dengan menggunakan teks, yakni dengan simbol-simbol dalam emoticon.

Dengan menggunakan perspektif psikologi sosial, beberapa peneliti seperti Kiesher, Siegel, dan

McGuire (1984) maupun Sproull dan Kiesler (1986,1991) mengadakan eksperimen terhadap

berkurangnya ikatan sosial yang terjadi antaranggota dalam CMC. Selain itu, penelitian ini juga

untuk mengungkapkan bagaimana perbedaan antara interaksi melalui medium teknologi dan

interaksi yang berlangsung secara face-to-face di antara anggota grup dengan memberikan

masing-masing grup diberikan tugas.

Hasil eksperimen didapat bahwa grup yang mengerjakan tugas melalui medium komputer

ternyata memiliki kekurangan dalam ikatan (emosional) sosial dan juga tidak memberikan efek

kepada setiap anggota. Teks yang digunakan dalam surat elektonik (electronic mail/e-mail) tidak

memberikan tanda-tanda sosial antaranggota seperti jenis kelamin, usia, ras, agama, ekspresi

wajah, atau intonation yang pada dasarnya mempunyai pengaruh dalam interaksi secara

langsung. Juga, dalam CMC setiap anggota sepertinya tidak memiliki ikatan emosional dan

kesadaran bahwa dirinya merupakan anggota kelompok sehingga apa yang mereka lakukan

hanya terpaku pada pengerjaan tugas-tugas semata. Berbeda dengan kelompok yang berinteraksi

Page 4: Cyberculture

langsung, bahwa setiap anggota tidak hanya memiliki fokus pada pengerjaan tugas semata 

melainkan terjadi hubungan atau interaksi antarindividu dalam berbagai topik.

Namun, penelitian selanjutnya bisa memetakan bahwa meski dalam CMC ikatan

emosional sangatlah kabur dibandingkan interaksi lansung, bila dalam kondisi dan

situasi tertentu ternyata melalui CMC tanda-tanda sosial juga memiliki pengaruh. Salah satunya

yang dilakukan oleh Rheingold (1993) melalui eksperimen yang disebut dengan WELL (Whole

Eart’Lecctronic Link) yang menggambarkan kondisi dari sekelompok individu yang berinteraksi

melalui CMC dalam waktu lama pada akhirnya tetap memunculkan efek terhadap relasi personal

antaranggotanya. Virtual communities are social aggregations that emerge from the Net when

enough people carry on those public discussions long enough, with sufficient human feeling, to

form webs of personal relationships in cyberspace (Rheingold, 1993: 5 sebagaimana dikutip

Hine, 2000:17).

Begitu juga simpulan yang didapat oleh Curtis (1992) serta Buckman (1992) yang

memfokuskan penelitiannya kepada MUDs atau Multi-Usser Dimensions, dimana

setiap user atau pengguna internet bisa menjadi siapa saja dan bisa memiliki multi-identitas di

internet, menyimpulkan bahwa interaksi melalui CMC pada dasarnya tidaklah berbeda jauh dari

konteks sosial yang selama ini dipahami dalam interaksi langsung. Merujuk dari penelitian awal

baik dalam WELL maupun MUDs, pada akhirnya linkungan dengan segala fenomena yang ada

di internet mengarah pada terbentuknya komunitas virtual, “…that online enviroments can form

virtual communities” (Hine, 2000:17).

Selanjutnya penelitian terhadap internet dan penggunanya beralih untuk mengungkapkan

persepsi antar anggota sebagaimana yang dilakukan oleh Jones (1995), McLaughlin (1995),

maupun Kollock dan Smith (1999). Ada perubahan mendasar tentang konsep relasi yang terjadi

melalui CMC, bahwa dalam dunia siber selalu ada relasi sosial yang berarti dan eksis

sebagaimana yang terjadi dalam interaksi face-to-face. CMC diposisikan sebagai konteks sosial

yang berhubungan dengan interaksi antarindividu dibandingkan hanya sekadar menjadikan CMC

sebagai medium untuk menujukkan efek baik-buruk. Perkembangan ini pada akhirnya membawa

internet sebagai objek penelitian dari berbagai bidang seperti antropologi, studi media, kajian

budaya, ilmu politik, studi komunikasi dan media. Penelitian Mark Smith (1999) yang berhasil

memetakan struktur sosial maupun level-level aktivitas yang terjadi di di grup diskusi Usenet.

Sedangkan hasil penelitian Reid (1995) menunjukkan bahwa hadirnya budaya melalui MUDs

Page 5: Cyberculture

muncul akibat interaksi antaranggota melalui teks bahasa serta setiap anggota membangun

caranya sendiri untuk saling berhubungan serta membanguan situasi/lingkungan antaranggota.

Pada akhirnya studi terhadap fenomena-fenomena internet, seperti komunitas virtual, ditenggarai

sebagai pendorong untuk melakukan pendefenisian baru terhadap kata komunitas yang selama

ini hanya terbatas pada praktik-prakti sosial serta kehadiran fisik semata.

Kritik terhadap studi maupun penelitian terhadap internet bahwa dalam dunia virtual

peneliti harus bisa memastikan bahwa sumber-sumber yang didapat memiliki keotentikan dan

kredibilitas. Artinya, tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran internet dengan dunia sibernya

memungkinkan pengguna atau userbisa menjadi siapa saja dan bisa menjadi berbagai identitas

individu. Sebab, bila hanya menyandarkan pada intenet, maka satu-satunya yang menjadi

rujukan adalah teks itu sendiri. Teks pria dalam dunis siber ditandai dengak teks P-R-I-A,

sementara dalam interaksi face-to-face tanda pria dapat diketahui secara langsung. Inilah yang

terjadi dengan Margaret Mead (Freeman, 1996 sebagaimana dikutip Hine, 2000:22) dimana

responden di dunia siber yang dipakainya ternyata memberikan keterangan atau informasi palsu.

Oleh karena itu, Turkle (1995:324) memberikan penegasan bahwa interaksi yang

dilakukan secara online, dalam konteks penelitian, haruslah dapat dipastikan kebenaran identitas

responden secara offline atau penelitian telah memastikan bertemu secara face-to-face. Turkle

chose not to report on online interactions unless she had also met face-to-face the person

involved, considering that for her purposes this level of verification of online identities was

required. She acknowledges that this `real-life bias’ is appropriate for her own study, while it

may not be so for others (Hine, 2000:22).

Salah seorang pemikir postmodernisme yang menaruh perhatian besar pada persoalan

kebudayaan dalam masyarakat kontemporer adalah Jean Baudrillard. Agak berbeda dengan

Page 6: Cyberculture

filsuf-filsuf postmodernisme lainnya yang memusatkan diri pada metafisika dan epistemologi,

Baudrillard lebih memilih kebudayaan sebagai medan pengkajian. Baudrillard ingin

mengungkapkan transformasi dan pergeseran yang terjadi dalam struktur masyarakat Barat

dewasa ini yang disebutnya sebagai masyarakat simulasi dan hiperrealitas. Ia mencoba

menggabungkan pemikiran Marx dengan strukturalisme Perancis. Selain dari Marx, Baudrillard

mengambil alih pemikiran Barthes mengenai semiologi, Marcel Mauss seorang antropolog

strukturalis mengenai gift atau pemberian, dan Georges Bataille mengenai expenditure atau

belanjaan (Lechte, 1994: 233). Bersepakat dengan dua pemikir terakhir, Baudrillard menolak

prinsip nilai-guna dan nilai-tukar Marx dan menyatakan bahwa aktivitas konsumsi manusia pada

dasarnya merupakan aktivitas non-utilitarian (Baudrillard, 1993: 68). Ia mengadopsi pendapat

Mauss dan Bataille bahwa dalam institusi semacam Kula dan Potlach dalam masyarakat primitif,

kebiasaan memberi sesuatu dan membelanjakan sesuatu ternyata didasarkan pada prestise dan

kebanggaan simbolik, bukan pada kegunaan. Inilah prinsip yang kini semakin transparan

berlangsung dalam aktivitas konsumsi masyarakat dewasa ini. Nilai tanda (sign-value) dan nilai-

simbol (symbolic-value) telah menggantikan nilai-guna (use-value) dan nilai-tukar (exchange-

value). Baudrillard mengintrodusir sebuah karakter khas kebudayaan masyarakat Barat dewasa

ini. Menurutnya, kebudayaan Barat dewasa ini adalah sebuah representasi dari dunia simulasi,

yakni dunia yang terbentuk dari hubungan berbagai tanda dan kode secara acak, tanpa referensi

relasional yang jelas. Hubungan ini melibatkan tanda real (fakta) yang tercipta melalui proses

produksi, serta tanda semu (citra) yang tercipta melalui proses reproduksi. Dalam kebudayaan

simulasi, kedua tanda tersebut saling menumpuk dan berjalin membentuk satu kesatuan. Tidak

dapat lagi dikenali mana yang asli, yang real, dan mana yang palsu, yang semu. Semuanya

menjadi bagian realitas yang dijalani dan dihidupi masyarakat Barat dewasa ini.

Kesatuan inilah yang disebut Baudrillard sebagai simulacra atau simulacrum, sebuah

dunia yang terbangun dari sengkarut nilai, fakta, tanda, citra dan kode. Realitas tak lagi punya

refernsi, kecuali simulacra itu sendiri. Dengan menganalisa masyarakat dan kebudayaan

Amerika, Baudrillard menyatakan bahwa dalam wacana simulasi realitas yang sesungguhnya

(fakta) tidak hanya bercampur dengan realitas semu (citra), namun bahkan telah dikalahkan oleh

citra. Lebih jauh, citra lebih dipercaya ketimbang fakta. Inilah era hiperrealitas, dimana realitas

asli dikalahkan oleh realitas buatan.

Page 7: Cyberculture

KEBUDAYAAN POSTMODERN JEAN BAUDRILLARD 

Melalui bukunya yang banyak menarik perhatian, Simulations (1983), Baudrillard

memaparkan kondisi sosial-budaya masyarakat Barat yang disebutnya tengah berada dalam

dunia simulacra, simulacrum dan simulasi. Inilah dunia yang terbangun dari konsekuensi relasi

perkembangan ilmu dan teknologi, kejayaan kapitalisme lanjut, konsumerisme, serta runtuhnya

narasi-narasi besar modernisme. Baudrillard menyatakan bahwa paradigma modernisme yang

berdiri di atas logika produksi seperti disuarakan Marx kini sudah tidak relevan lagi. Jika era pra-

modern ditandai dengan logika pertukaran simbolik (symbolic exchange), era modern ditandai

dengan logika produksi, maka kini tengah menjelang sebuah era baru, yakni era postmodern,

yang ditandai dengan logika simulasi. Bersamaan dengan lahirnya era postmodern, menurut

Baudrillard, maka prinsip-prinsip modernisme pun tengah menghadapi saat-saat kematiannya.

Dalam bahasanya yang khas, Baudrillard mengumandangkan kematian modernisme dengan

logika produksinya sebagai: The end of labor. Ungkapan Baudrillard ini sekaligus menandakan

keyakinannya akan datangnya era baru, era postmodern. Dalam era postmodern, prinsip simulasi

menjadi panglima, dimana reproduksi (dengan teknologi informasi, komunikasi dan industri

pengetahuan) menggantikan prinsip produksi, sementara permainan tanda dan citra mendominasi

hampir seluruh proses komunikasi manusia. Dalam masyarakat simulasi seperti ini, segala

sesuatu ditentukan oleh relasi tanda, citra dan kode. Tanda adalah segala sesuatu yang

mengandung makna, yang mengikuti teori semiologi Saussurean memiliki dua unsur, yakni

penanda (bentuk) dan petanda (makna). Citra adalah segala sesuatu yang nampak oleh indera,

namun sebenarnya tidak memiliki eksistensi substansial. Sementara kode adalah cara

pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial, untuk memungkinkan satu pesan dapat

disampaikan dari seseorang kepada orang yang lain (Piliang, 1998: 13).

Dalam dunia simulasi, identitas seseorang misalnya, tidak lagi ditentukan oleh dan dari

dalam dirinya sendiri. Identitas kini lebih ditentukan oleh konstruksi tanda, citra dan kode yang

membentuk cermin bagaimana seorang individu memahami diri mereka dan hubungannya

dengan orang lain. Lebih lanjut, realitas-realitas ekonomi, politik, sosial dan budaya,

kesemuanya diatur oleh logika simulasi ini, dimana kode dan model-model menentukan

bagaimana seseorang harus bertindak dan memahami lingkungannya. Ruang realitas kebudayaan

dewasa ini, menurut Baudrillard merupakan cerminan apa yang disebutnya sebagai simulacra

atau simulacrum. Simulacra adalah ruang realitas yang disarati oleh proses reduplikasi dan daur-

Page 8: Cyberculture

ulang berbagai fragmen kehidupan yang berbeda (dalam wujud komoditas citra, fakta, tanda,

serta kode yang silang-sengkarut), dalam satu dimensi ruang dan waktu yang sama (Piliang,

1998: 196). Simulacra tidak memiliki acuan, ia adalah duplikasi dari duplikasi, sehingga

perbedaan antara duplikasi dan yang asli menjadi kabur. Dalam ruang ini tidak dapat lagi

dikenali mana yang asli dan mana yang palsu, mana hasil produksi dan mana hasil reproduksi,

mana objek dan mana subjek, atau mana penanda dan mana petanda.

Ruang simulacra ini memungkinkan seseorang menjelajahi berbagai fragmen realitas, baik nyata

maupun semu; mereproduksi, merekayasa dan mensimulasi segala sesuatu sampai batasannya

yang terjauh. Dunia simulacra, yang menjadi wacana dominan kesadaran masyarakat Barat

dewasa ini, papar Baudrillard, sebenarnya telah ada semenjak era Renaisans. Realitas simulacra

memiliki tiga tingkatan periode historis, semenjak era Renaisans hingga sekarang, yakni

simulacra Orde Pertama, simulacra Orde Kedua dan simulacra Orde Ketiga (Baudrillard, 1983:

54-56).

Simulacra Orde Pertama, berlangsung semenjak era Renaisans-Feodal hingga permulaan

Revolusi Industri. Dalam orde ini, realitas dunia dipahami berdasarkan prinsip hukum alam,

dengan ciri ketertiban, keselarasan, hierarki alamiah serta bersifat transenden. Alam menjadi

pendukung utama sekaligus determinan kebudayaan. Tanda-tanda yang diproduksi dalam orde

ini adalah tanda-tanda yang mengutamakan integrasi antara fakta dan citra secara serasi dan

seimbang. Hal ini berkaitan erat dengan kehendak manusia zaman itu untuk mempertahankan

struktur dunia yang alamiah. Dengan demikian, prinsip dominan yang menjadi ciri simulacra

Orde Pertama adalah prinsip representasi. Bahasa, objek dan tanda adalah tiruan dari realitas

alamiah yang dibentuk secara linear dan tunggal. Sebagai tiruan, bahasa, objek dan tanda masih

memiliki jarak dengan objek aslinya (Kellner, 1994: 103).

Simulacra Orde Kedua, berlangsung bersamaan dengan semakin gemuruhnya era

industrialisasi yang merupakan konsekuensi logis Revolusi Industri. Revolusi Industri, di satu

sisi telah memberikan sumbangan besar bagi perkembangan kebudayaan. Namun disisi lain,

Revolusi Industri juga telah menimbulkan ekses-ekses negatif bagi kebudayaan. Logika

produksi, yang menjadi prinsip simulacra Orde Kedua, telah mendorong perkembangan

teknologi mekanik sampai pada batasannya yang terjauh. Mengikuti Walter Benjamin, dalam

esainya, The Work of Art in The Era of Mechanical Reproduction (1969), Baudrillard

menyatakan bahwa dengan teknologi reproduksi mekanik sebagai media dan prinsip produksi

Page 9: Cyberculture

objek-objek alamiah telah kehilangan aura dan sifat transendensinya. Objek kini bukan lagi

tiruan yang berjarak dari objek asli, melainkan sepenuhnya sama persis seperti yang asli. Dengan

kemajuan teknologi reproduksi mekanik inilah, prinsip komoditi dan produksi massa menjadi ciri

dominan era simulacra Orde Kedua. Simulacra Orde Ketiga, lahir sebagai konsekuensi logis

perkembangan ilmu dan teknologi informasi, komunikasi global, media massa, konsumerisme

dan kapitalisme pada era Pasca Perang Dunia II. Lebih dari masa-masa sebelumnya, pada orde

ini relasi berbagai unsur dan struktur budaya mengalami perubahan mendasar. Tanda, citra, kode

dan subjek budaya tidak lagi merujuk pada referensi dan realitas yang ada. Simulacra Orde

Ketiga ini ditandai dengan hukum struktural. Tanda membentuk struktur dan memberi makna

realitas. Inilah era yang disebut Baudrillard sebagai era simulasi.

Dalam era simulasi ini, realitas tak lagi memiliki eksistensi. Realitas telah melebur

menjadi satu dengan tanda, citra dan model-model reproduksi. Tidak mungkin lagi kita

menemukan referensi yang real, membuat pembedaan antara representasi dan realitas, citra dan

kenyataan, tanda dan ide, serta yang semu dan yang nyata. Yang ada hanyalah campur aduk

diantara semuanya. Baudrillard memandang berkembangnya teknologi digital yang bertumpu

pada model-biner ini sebagai suatu dasar proses transformasi sosial masyarakat kapitalisme

lanjut. Gagasan McLuhan tentang medium is message ditariknya sampai ke batasannya yang

paling ekstrem, yakni media yang berupa kode-kode digital. Dengan kode-kode digital maka

proses reproduksi beranjak ke batasannya yang paling ekstrem pula. Ketika objek-objek

direproduksi dengan teknologi model-biner, maka objek-objek menjadi tidak dapat dibedakan

satu sama lain, bahkan dari model-model yang menjadi sumbernya. Lebih lanjut, realitas menjadi

kehilangan referensi. Realitas, menurut Baudrillard, kini harus didefinisikan kembali sebagai

segala sesuatu yang mungkin dan dapat direproduksi secara

Postmodernisme: Sebuah Dunia Hiperrealitas

Hiperrealitas adalah sebuah gejala di mana banyak bertebaran realitas-realitas buatan

yang bahkan nampak lebih real dibanding realitas sebenarnya. Boneka Barbie, yang telah

diproduksi dan terus diproduksi oleh Mattel Toys sejak tahun 1959, adalah contoh nyata

hiperrealitas, ketika suatu realitas buatan telah melampaui realitas yang sebenarnya. Dibuat tanpa

referensi proporsi tubuh dan kecantikan yang wajar, Barbie tampil sebagai boneka dengan

kecantikan dan kesempurnaan tubuh yang melebihi gambaran kecantikan manusia. Barbie juga

Page 10: Cyberculture

melampaui ukuran kehidupan manusia dengan peran-peran yang ditanamkan padanya sebagai

wanita karier, fotomodel, guru taman kanak-kanak, bintang film, duta kehormatan PBB, aktivis

lingkungan hidup dan lain sebagainya pada saat yang sama. Singkat kata, ia adalah figure

manusia sempurna. Makna-makna yang ditanamkan ke dalam sosok Barbie ini merupakan

silang-sengkarut tanda, citra dan kode-kode yang sengaja diciptakan untuk menjaga

eksistensinya sebagai simbol wanita modern. Dengan representasi seperti ini Barbie seolah lahir

sebagai Barbie yang real, Barbie yang hidup, Barbie yang benar-benar ada dengan segala

keleluarbiasaannya. Ia bahkan lebih jauh menjadi model bagi manusia untuk menentukan dan

membentuk ukuran kecantikan dan kesempurnaan penampilan tubuhnya.

Pemikiran Baudrillard mendasarkan diri pada beberapa asumsi hubungan manusia dan

media, yang disebut Baudrillard sebagai realitas mediascape (Baudrillard, 1983: 14). Dalam

realitas mediascape media massa menjadi produk budaya paling dominan. Dengan media massa,

media kini tak lagi sebatas sebagai perpanjangan badan manusia ala McLuhan, namun media kini

sekaligus merupakan ruang bagi manusia untuk membentuk identitas dirinya.

Dengan pandangannya yang cenderung fatalis dan nihilis, Baudrillard menarik garis tajam

pemikiran McLuhan sampai batasannya yang terjauh. Ia mengangkat pandangan-pandangan

McLuhan tentang perpanjangan badan manusia dan global village ke dalam konteks

perkembangan mutakhir dunia Barat, yang dewasa ini telah menjelma menjadi desa besar yang

disebut Baudrillard sebagai hiperreal village (Baudrillard, 1983: 16).

Perkembangan ilmu dan teknologi dewasa ini dengan micro processor, memory bank,

remote control, telecard, laser disc dan internet menurut pandangan Baudrillard, tidak saja dapat

memperpanjang badan atau pusat sistem syaraf manusia, namun bahkan lebih fantastis lagi,

mampu mereproduksi realitas, masa lalu dan nostalgia; menciptakan realitas baru dengan citra-

citra buatan; menyulap fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan; serta melipat realitas

sehingga tak lebih dari sebuah layar kaca televisi, disket ataupun internet (Piliang, 1998: 197).

Robot misalnya, yang pada awalnya diciptakan sebagai perpanjangan badan dan sistem

syaraf manusia, kini telah menjelma menjadi pesaing manusia (misalnya dalam bidang lapangan

kerja, olahraga catur dan lomba kecerdasan). Dengan televisi dan media massa misalnya, realitas

buatan (citra-citra) seolah lebih real dibanding realitas aslinya. Lebih jauh, realitas buatan (citra-

citra) kini tidak lagi memiliki asal-usul, referensi ataupun kedalaman makna. Tokoh Rambo,

boneka Barbie, Jurrasic Park, atau Star Trek Voyager yang merupakan citra-citra buatan adalah

Page 11: Cyberculture

realitas tanpa referensi, namun nampak lebih dekat dan nyata dibanding keberadaan tetangga kita

sendiri. Dalam kondisi seperti ini, realitas, kebenaran, fakta dan objektivitas kehilangan

eksistensinya. Hiperrealitas adalah realitas itu sendiri (Baudrillard, 1983: 183). Yakni, era yang

dituntun oleh model-model realitas tanpa asal-usul dan referensi (Baudrillard, 1983: 2). Dimana,

yang nyata tidak sekedar dapat direproduksi, namun selalu dan selalu direproduksi (Baudrillard,

1983: 146).

Dalam bukunya yang sudah menjadi klasik, Simulations (1983), Baudrillard menjelaskan

lebih detail kondisi hiperrealitas ini sebagai: Tak ada lagi cermin diri, penampakan, kenyataan

dan konsep-konsep yang dikandungnya. Tak ada lagi pengembaraan imajiner: lebih dari itu, yang

ada adalah miniaturisasi genetik sebagai ciri dimensi simulasi. Kenyataan kini dibentuk dari unit-

unit miniatur, dari matriks, memory bank dan model-model acuan dan dengannya kenyataan

dapat direproduksi sampai jumlah yang tak terhingga. Kenyataan pun kini tak lagi harus rasional,

karena ia tak lagi dapat diukur dengan ukuran-ukuran ideal. Kenyataan kini tak lebih dari apa

yang beroperasi. Dan karena ia tak lagi dibungkus oleh imajinasi-imajinasi, maka kenyataan pun

kini tak lagi real sama sekali. Kenyataan adalah hiperrealitas itu sendiri, produk sintesa model

model gabungan dalam ruang hiperspace tanpa atmosfer). Jean Baudrillard juga mengungkapkan

dua istilah, yakni: Simulasi dan Simulacra dalam menjelaskan konsep hiperrealitas itu sendiri.

Simulasi adalah suatu proses dimana representasi (gambaran) atas suatu objek justru

menggantikan objek itu sendiri, dimana representasi itu menjadi hal yang lebih penting

dibandingkan objek tersebut. Analoginya, bila suatu peta merepresentasikan (menggambarkan)

suatu wilayah, maka dalam simulasi, justru peta-lah yang mendahului wilayah. Di dalam wacana

simulasi, manusia mendiami suatu ruang realitas dimana perbedaan antara yang benar dan palsu

menjadi tipis (manusia hidup dalam suatu ruang khayal yang nyata). Misalnya discovery channel

pada televisi, sebenarnya hampir sama nyatanya dengan pelajaran IPA di sekolah, karena sama-

sama menawarkan informasi mengenai kehidupan flora dan fauna pada anak-anak. 

Ada 4 hierarki/tahap dalam simulasi: (Baudrillard, 1983) 

1. Ketika suatu tanda dijadikan refleksi dari suatu realitas. Misal: seni adalah wujud dari

realitas.

2. Ketika suatu tanda sudah menutupi dan menyesatkan realitas itu sendiri. Misal: Gaul

itu adalah dengan menonton MTV.

Page 12: Cyberculture

3. Ketika suatu tanda menutupi ketiadaan dari suatu realitas. Misalnya: Disneyland, yang

sebenarnya hanya ada dalam khayalan anak-anak namun dibuat menjadi nyata untuk menutupi

ketiadaan Disneyland tersebut.

4. Dan akhirnya tanda tersebut menjadi sesuatu yang tidak ada hubungannya sama sekali

dengan realitas, dan ini lah yang disebut Baudrillard sebagai Simulacra. Misalnya: Dunia The

Matrix dalam film yang dibintangi Keanu Reeves.

Simulacra ini memungkinkan manusia untuk mendiami satu ruang yang sarat akan

duplikasi dan daur ulang dari berbagai fragmen dunia yang berbeda-beda pada waktu yang sama.

Misalnya masyarakat Bandung yang mengkonsumsi kopi ala starbucks di tempat perbelanjaan

Cihampelas Walk; atau remaja SMA yang saling berkenalan dalam dunia friendster. Nah, seperti

Shopping Malls, Televisi, dan Friendster itu lah yang merupakan miniatur dari dunia yang

dilipat, seperti yang sudah disebutkan diatas.

Sumber:

http://kangarul.wordpress.com/ http://bloghendrigmail.blogspot.com/2009/10/jean-baudrillard.html